Anda di halaman 1dari 7

BELLS PALSY/ IDIOPATHIC FACIAL PARALYSIS (IFP)

Definisi
Kelumpuhan, paresis (kelemahan) atau paralisis (lumpuh), pada otot wajah yang diinervasi N.
VII, unilateral, onsetnya akut (< 72 jam), etiologinya idiopatik dan biasanya sembuh sendiri.
Menjadi penyakit penyebab paresis otot wajah dan penyakit pada saraf kranial yang paling
sering terjadi.

FYI
Onsetnya cepat (< 72 jam).
Bells palsy bilateral jarang sekali terjadi.
Untuk sekarang, penyebab Bells palsy masih belum diketahui.
Bells palsy bersifat self-limited.
Diagnosis Bells palsy baru dipilih saat tidak ada penyebab lain dari paresis otot
wajah.

Faktor Resiko
Bells palsy bisa terjadi pada pria, wanita dan anak. Paling sering terjadi pada mereka
yang berusia 15-45 tahun
Penyakit lain yang bisa menyebabkan paresis/paralisis fasial adalah stroke, tumor
otak, tumor kelenjar parotis, kanker yang melibatan N. VII, zoster, sarkoidosis dan
penyakit Lyme.
Kehamilan, pre-eklampsia berat, obesitas, hipertensi dan hipertensi kronis, diabetes,
ISPA.
70% palsy N.VII adalah Bells Palsy.

Etiologi
Merupakan lesi LMN yang belum jelas penyebabnya:
o Mungkin saja disebabkan oleh pembentukan edema jinak pada kanalis fasialis
yang disebabkan oleh proses masuk angin/catch cold/exposed to chill; satu
penelitian mendapatkan fakta seringkali orang mengalami paresis setelah naik
mobil dengan jendela terbuka, tidur di lantai, begadang.
o Inflamasi pada N. VII

Herpes simplex virus (HSV)


HSV, khususnya HSV-1, setelah menyebabkan cold sores/fever blister akan
menelusuri kanalis fasialis lalu laten di ganglion genikuli. Saat stres terjadi, virus
teraktivasi dan menyebabkan kerusakan pada saraf.

Patogenesis dan Patofisologi


Penyebab Bells Palsy masih belum jelas sampai sekarang. Teori yang paling sering
digunakan adalah adanya edema ataupun iskemi, yang penyebabkan idiopatik dari N. VII di
dalam kanalis fasialis. Edema atau iskemi tersebut bisa menyebabkan kompresi dari N. VII,
yang sering terlihat pada pemeriksaan MRI.
Bagian pertama kanalis fasialis adalah struktur yang sangat sempit, dipercaya menjadi
lokasi kompresi yang paling sering terjadi. Kanal yang sangat sempit sangat mungkin
menyebabkan inflamasi, demielinasi, iskemis ataupun kompresi yang mengganggu integritas
N. VII.

Manifestasi Klinis
Mata dan mulut kering.
Gangguan pengecapan (disgeusia, parageusia, hipogeusia) atau sensasi pengecapan
hilang (ageusia).
Hiperakusis (ambang rangsang suaranya menjadi lebih rendah).
Paresis/paralisis mulut mulut mencong.
Tidak mampu/sulit untuk menutup kelopak mata (lagoftalmos).
Kesulitan saat mengunyah makanan.
Mati rasa pada bagian mulut dan pipi.

Diagnosis
Anamnesis
o Onsetnya akut, < 72 jam
Pemeriksaan Fisik
o Pemeriksaan Motorik N. VII
Wajah simetris/tidak
Lipatan dahi, tinggi alis, lebar celah mata, lipatan kulit nasolabial,
sudut mulu
Meminta pasien menggerakkan:
Mengerutkan dahi, kalo lumpuh lipatannya ga dalam.
Angkat alis.
Menutup mata rapat-rapat, pemeriksa coba membuka dengan
jari.
Duck face.
Tersenyum.
Menggembungkan pipi, lalu pemeriksa menekan pipi kanan
dan kiri untuk menilai kekuatannya. Jika ada yang lumpuh,
angin akan keluar dari bagian yang lumpuh.
o Pemeriksaan Sensorik N. VII
Menggunakan zat-zat dengan cita rasa yang kuat (gula, asam, garam)
pada bagian kanan dan kiri 2/3 depan lidah.
Meminta pasien menuliskan jawabannya pada kertas.
o Pemeriksaan Parasimpatis
Memeriksa kelenjar lakrimal, basah atau kering
Memeriksa kelenjar sublingual
Memeriksa mukosa hidung dan mulut
o Pemeriksaan Otologis
Lakukan Sthetoscope Loudness Test, pasangkan stetoskop, lalu dekatkan
garputala yang sudah dibunyikan di sisi bell. Bunyi yang lebih keras akan
melakukan lateralisasi ke sisi yang lumpuh (karena paresis m. stapedius),
menyebabkan hiperakusis.
o Pemeriksaan Okuler
Paresis m. orbiculasi okuli meyebabkan pasien tidak bisa menutup matanya
secara penuh pada sisi yang lumpuh, menyebabkan bola mat berputar ke atas
dan ke medial (Bells phenomenon).
Mata tampak kering dan ada abrasi kornea.
o Setelah hasil anamnesa dan PF tidak menunjukkan penyebab pasti dari
paresis/paralisis, barulah diagnosis Bells Palsy ditegakkan.

Pemeriksaan Penunjang
o CT (Computed Tomography) Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging)
baru dilakukan ketika paresis terjadi secara progresif dan tidak mengalami
remisi. Bisa dipakai untuk melihat adanya infeksi, inflamasi, tumor, fraktur
yang bisa melibatkan N. VII.
o Elektrodiagnostik:
EMG (elektromyografi): untuk melihat depolarisasi dan kontraksi otot
volunter.
EnoG (elektroneurografi): untuk melihat integritas N. VII lewat
rekaman depolarisasi otot-otot wajah setelah memstimulasi N. VII.
Amplitudo yang didapatkan pada sisi yang lumpuh akan dibandingkan
dengan amplitudo pada sisi yang sehat.
Kalo amplitudo sisi sakit lebih dari 10% dari sisi sehat
fungsi otot wajah bisa kembali normal secara utuh.
Kalo kurang dari 10% fungsi otot wajah tidak kembali
normal.
Tidak direkomendasikan untuk dilakukan pada paralisis parsial karena
persentasi untuk sembuh total, tanpa terapi atau dengan steroid sangat tinggi.
Direkomendasikan hanya untuk pasien dengan paralisis total.
o Tes serologi untuk mendeteksi IgG anti-HSV 1.

Terapi
Paresis biasanya akan mengalami perbaikan sendirinya tanpa terapi dalam 2-3 minggu
setelah onset dan akan sembuh total dalam 3-4 bulan.
Sebagian besar pasien, meskipun yang mengalami paralisis total selama 3 bulan, bisa
sembuh total, dengan fungsi otot-otot yang kembali normal. Tetapi 30% pasien tidak
mengalami perbaikan seluruhnya, sehingga fungsi otot tak sempurna. Terapi baru dimulai
ketika pasien mengalami kehilangan fungsi otot dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan.
Kortikosteroid (Prednisolone)
o Pemberian masih dalam rentang 72 jam setelah onset dimulai.
o Pasien 16 tahun >>>.
o Punya efek samping: gangguan saluran cerna, ulkus peptikum, peningkatan
tekanan darah, edema perifer
Kortikosteroid bertujuan untuk mempercepat waktu perbaikan paresis dan
memperbaiki fungsi N. VII dengan cara mengobati inflamasi dan edema yang terjadi.
Anti-virus (Acyclovir, Valacyclovir)
Jika akan memberikan anti-virus, berikan bersamaan dengan kortikosteroid.
Terapi profilaksis untuk mata
Penggunaan kacamata, lubrikasi pada mata, penggunaan salep pada mata, penggunaan
moisture chamber glasses, matanya ditutup menggunakan perban sementara.
Rujuk
Saat (1) ada gejala neurologik yang memburuk atau gejala neurologik baru, (2) saat
ada gejala okuler, (3) fungsi otot wajah tidak kembali normal dalam 3 bulan sejak
onsetnya.

Komplikasi
Mata: deposisi partikel asing di mata, abrasi kornea, keratitis dan/ ulserasi kornea
(sensasi terbakar, gatal, iritasi, perubahan pada penglihatan dan nyeri pada mata).
Kerusakan fungsional jangka panjang jika telat diterapi: lagoftalmos permanen,
lakrimasi yang abnormal, mulut mencong.

Prognosis
80-90% pasien sembuh sendirinya dalam 6 minggu-3 bulan.
Outcome buruk: (1) usia lebih dari 60 tahun, (2) paralisis total, (3) penurunan citarasa
atau salivasi pada sisi yang lumpuh.
Timeframe:
o Jika restorasi terjadi dalam 3 minggu, sangat besar kemungkinan bisa sembuh
total, secara fungsional dan kosmetik.
o Jika restorasi terjadi dalam 3 minggu-2 bulan, outcomenya biasanya
memuaskan.
o Jika tidak ada restorasi dalam 2-4 bulan, resiko terjadinya sequelae, paresis
residual ataupun synkinesis, sangat mungkin terjadi.
o Jika tidak ada restorasi dalam 4 bulan, yah begitulah.
Sequelae
o Regenerasi motorik yang tidak optimal
(1) Mulut mencong, (2) epiphora (sekresi lakrimal yang berlebihan), (3)
obstruksi nasal.
o Regenerasi sensorik yang tidak optimal
Disgeusia/ageusia (gangguan atau hilangnya sensasi pengecapan).
o Neo-inervasi/synkinesis
Dalam masa resolusi N. VII, ada serat saraf yang menyambung ke jaringan
otot lain di sekitar otot yang diinervasinya. Saat gerakan volunter dilakukan,
terjadi gerakan involunter (kelopak mata menutup, mulut mencong, bibir
moncong).

Anda mungkin juga menyukai