Anda di halaman 1dari 22

JOURNAL READING:

Comparative Study Of The Efficacy Of Topical Steroid And


Antibiotic Combination Theraphy Versus Oral Antibiotic Alone
When Treating Acute Rhinosinusitis

Pembimbing:

dr. Kote Noordhianta, Sp. THT-KL, M.Kes

Penyusun:

Enrico Christian 2017.060.10189

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher

Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Rumah Sakit Umum Daerah R Syamsudin, S.H, Sukabumi

Periode 19 Maret 2018- 21 April 2018


ABSTRAK

LATAR BELAKANG: Rinosinusitis akut disebabkan sebagai akibat dari rinitis viral, infeksi
bakteri juga dapat muncul. Antibiotik intranasal sebagai terapi adjuvan dengan kortikosteroid
umumnya menghasilkan perbaikan gejala yang paling baik
TUJUAN: Kami ingin mengevaluasi secara klinis efek dari antibiotik topikal dan kombinasi
steroid secara intranasal dibandingkan dengan antibiotik oral saja dalam menterapi
rinosinusitis akut
METODE: 40 pasien dengan rinosinusitis bakterial akut dibagi menjadi 2 grup. Grup A
menerima kombinasi antibiotik dan steroid (ofloxacin 0,26% dan dexamethasone 0,053%
tetes hidung) selama 10 hari secara intranasal (5 tetes pada masing-masing lubang hidung/ 8
jam). Grup B, kelompok kontrol menerima antibiotik oral saja (amoxicilin 90 mg/kg)
HASIL: 8 jam setelah pemberian obat, nyeri wajah lebih parah pada grup B dan sumbatan
hidung berkurang pada kedua grup. 10 hari setelah pemberian obat, sekret hidung anterior
pada grup A adalah 0,15%, dan tidak ada pada grup B
KESIMPULAN: Pemberian antibiotik topikal dan kombinasi steroid pada rongga hidung
adalah cara efektif menterapi rinosinusitis bakterial akut tanpa komplikasi dengan
keuntungan berdasarkan teori cara pemberian yang mudah, konsentrasi obat lebih tinggi dan
efek samping sistemik yang minimal

PENDAHULUAN

Mukosa hidung dan sinus paranasal mempuntai sistem yang sangat efisien untuk
fungsi fisiologis menghidu, bernafas dan proteksi. Lapisan epitel saluran nafas bekerja
sebagai barier fisik yang melindungi dari invasi mikroorganisme, sementara sistem
mukosiliar mengcegah infeksi bakteri dan melindungi mukosa dari perlukaan dan kekeringan.
Rinosinusitis paling sering muncul ketika penderita gagal dalam mencegah inflamasi.
Sinusitis hampir selalu disertai secara bersamaan dengan inflamasi pada rongga hidung dan di
banyak kasus didahului dengan rinitis. Akhir-akhir ini, ahli THT telah menemukan hubungan
antara hidung dengan saluran sinus, dan mulai menamakan sinusitis sebagai rinosinusitis.

Rinosinusitis akut paling sering bermula sebagai akibat dari rinitis viral (common
cold) , dan kadang infeksi bakteri. Pemberian anntibiotik sistemik tidak disarankan katrna
memiliki efek samping yang signifikan, dan membawa risiko resistensi. Pengobatan topikal
adalah terapi alternatif dengan tujuan menyalurkan antibiotik langsung ke mukosa hidung.
Kelebihan dari sediaan topikal adalah konsentrasi terapeutik yang lebih tinggi dengan efek
samping sistemik yang lebih minimal, sehingga dengan efektif mengobati infeksi bakteri
seperti biofilm Pseudomonas. Kortikosteroid intranasal dapat digunakan untuk memfasilitasi
drainase dan mengurangi pembekakan mukosa akibat inflamasi. Kortikosteroid intranasal
bekerja pada reseptor glukokortikoid dan menurunkan transkripsi mediator pro-inflamasi
yang telah ada akibat respon inflamasi bertingkat. Karakteristik ini membuat kortikosteroid
intranasal sebagai pilihan dalam manajemen rinosinusitis akut. Sebagai terapi adjuvan
antibiotik pada pasien yang dicurigai rinosinusitis bakterial akut, kortikosteroid intranasal
memberikan perbaikan gejala yang lebih baik dibandingkan dengan antibiotik sistemik saja.

Tujuan kami adalah mengevaluasi secara klinis efek dari terapi antibiotik topikal dan
kombinasi steroid intranasal dibandingkan dengan antibiotik oral saja dalam terapi
rinosinusitis akut.

MATERIAL DAN METODE

Desain studi dan partisipan

Kami melakukan penelitian randomised control trial pada pasien THT di klinik
Rumah Sakit Universitas Suez Canal dan Departemen Mikrobioogi Universitas Suez Canal,
Mesir dari Januari 2009 hingga Maret 2012. Komite etik lokal menyetujui protokol studi dan
kami melakukan surat persetujuan tindakan medis secara tertulis pada masing-masing pasien.

Eligibilitas pasien dan perekrutan

40 pasien dewasa yang memenuhi syarat ikut dalam penelitian ini. Mereka berusia
antara 18-55 tahun dan memenuhi kriteria Berg dan Carenfelt untuk rinosinusitis bakterialis
akut, contohnya mereka minimal memenuhi 2 dari 3 gejala dan 1 tanda klinis sebagai berikut:
sekret hidung purulen, pus pada inspeksi bagian dalam hidung, dan simptom rinosinusitis
selama 7 hari lebih dan kurang dari sama dengan 28 hari dan tidak membaik atau memburuk,
atau rinosinusitis kurang dari 7 hari yang secara signifikan memburuk.
Pasien dieksklusi bila memiliki komorbid yang mungkin menganggu sistem imun,
memiliki alergi atau reaksi merugikan terhadap antibiotik, menerima antibiotik dalam waktu
3 hari sebelumnya, memiliki alergi terhadap penisilin atau amoksisilin, memiliki komplikasi
sinusitis, memiliki kistik fibrosis dan sedang dalam kehamilan.
Pasien yang memenuhi syarat akan datang ke tempat studi dan ada asisten penelitian,
dan diundang oleh dokter mereka. Asisten penelitian membahas kebutuhan partisipasi dan
menyelesaikan pengkajian syarat dan persetujuan tindakan medis.
Randomisasi

Kami melakukan blocked randomisation scheme. Kami menggunakan acak berbasis


komputer untuk mengevaluasi bagaimana obat teralokasi pada subjek. Kami membagi pasien
menjadi 2 grup. Grup A (n=20), menerima kombinasi antibiotik dan steroid (ofloxacin 0,26%
dan dexamethasone 0,053% tetes hidung) selama 10 hari, diberikan melalui hidung (5 tetes
per 1 sisi hidung tiap 8 jam). Grup B (n=20), kelompok kontrol menerima antibiotik oral saja
(amoxicilin 90 mg/kg)

Objektif Dan Evaluasi Hasil

Kami menginginkan mengevaluasi secara klinis efek kombinasi antibiotik topikal dan
steroid dibandingkan dengan antibiotik oral saja dalam mengobati rinosinusitis akut.
Hasil prime adalah efek pengobatan pada kualitas hidup. Kami meminta pasien untuk
menyelesaikan kuesioner mengenai gejala pada hidung mereka (sumbatan hidung, sekret
hidung dan nyeri wajah) pada hari ke 0, dan setelah jam ke 8,24,48, serta pada akhir hari ke
10 dengan Visual Analogue Score (VAS) untuk mengkaji gejala subjektif.
Kami melakukan pemeriksaan THT lengkap dengan aspirasi meatus media pada
seluruh pasien pada hari ke 0 dan hari ke 10 dengan langkah sebagai berikut: kami
menghubungkan fine catheter dengan alat suction dan secara hati-hati memasukannya
kedalam hidung dengan panduan cahaya dari otoskop; kami mengarahkan kateter sedikit
keatas dan menjauhi dari dasar hidung mencari sekret dari meatus media; ketika sekret
dijumpai, kami berhenti menggunakan suction, melepaskan suction dari kateter dan mengirim
kateter ke laboratorium untuk dikultur dan diperiksa sensitivitasnya.

Pengumpulan Data, Alokasi dan Blinding


Pada saat studi mulai dilakukan, setiap pasien dilakukan wawancara dengan dokter
untuk menyelesaikan kuesiomer dan data demografik (termasuk ras dan etnis), dan informasi
penyakit yang didapatkan dari pilihan pada kuesioner. Kemudian dokter akan menyelesaikan
dokumentasi gejala dan tanda lagi pada jam 8,24,48 serta hari ke 10 dengan VAS untuk
mencari tahu gejala subjektif dengan angka 0 yaitu tanpa gejala dan 10 dengan gejala yang
parah atau tidak berubah
Hasil juga dikaji dengan aspirasi dari meatus media untuk dikultur dan dicek
sensitivitasnya pada hari ke 0 dan hari ke 10.
Wawancara lainnya dilakukan selama 10 hari dengan kuesioner terstruktur dan
dilakukan secara blinded

Analisa Statistik
Dengan pilot data, kami memperkirakan 10 pasien pada masing-masing grup akan
menyajikan 89% perbedaan bermakna pada hari ke 10 perawatan.
Kami mengolah data dengan SPSS versi 22 untuk Windows (IBM Corporation,
Amonk New York, USA). Data kuantitatif disajikan dalam bentuk nilai rata-rata + Standar
deviasi, sementara data kualitatif disajikan dalam bentuk angka dan persentase. Kami
menggunakan Student t-test untuk membandingkan signifikansi perbedaan pada variabel
kuantitatif pada distribusi normal.

HASIL
40 pasien (22 wanita dan 18 pria) berusia antara 18-55 tahun (rata-rata usia 29,6
tahun) terdiagnosa dengan rinosinusitis bakterial akut (diagnsosa berdasarkan klinis dan swab
hidung untuk dikultur) termasuk dalam penelitian ini. Kami secara acak membagi mereka
kedalam 2 grup yang sama. Grup A (n=20), menerima kombinasi antibiotik dan steroid
(ofloxacin 0,26% dan dexamethasone 0,053% tetes hidung) selama 10 hari, diberikan melalui
hidung (5 tetes per 1 sisi hidung tiap 8 jam). Grup B (n=20), kelompok kontrol menerima
antibiotik oral saja (amoxicilin 90 mg/kg).
Rata-rata nilai VAS untuk nyeri wajah pada kedua grup terdapat pada gambar 1. Pada
hari ke 10, nyeri wajah tidak ada lagi pada kedua grup. Tidak ada perbedaan bermakna secara
statistik pada kedua grup berdasarkan rata-rata nilai VAS pada hari ke 0, jam ke 8 dan hari ke
10 pada pemberian obat, namun ada perbedaan bermakna pada jam ke 24 dan 48, rata-rata
derajat nyeri wajah lebih rendah pada grup B, seperti yang terdapat pada gambar 1.
Rata-rata nilai VAS untuk sumbatan hidung pada kedua grup terdapat pada tabel 1.
Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik pada kedua grup berdasarkan rata-rata nilai
VAS pada jam ke 9 dan hari ke 10, namun ada perbedaan bermakna pada hari ke 0, jam ke 24
dan 48 setelah pemberian obat, rata-rata derajat sumbatan hidung lebih rendah pada grup B,
seperti yang terdapat pada tabel 1.

Rata-rata nilai VAS untuk sekret hidung pada kedua grup terdapat gambar 2. Tidak
ada perbedaan bermakna secara statistik pada kedua grup berdasarkan derajat sekret hidung
pada hari ke 0, jam ke 24, 48 dan hari ke 10 setelah pengobatan, seperti yang terdapat pada
gambar 2.

Rata-rata nilai VAS pada sekret hidung anterior pada kedua grup terdapat pada tabel
2. Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik pada rata-rata derajat sekret hidung anterior
pada hari ke 0 dan 10 perawatan.
Frekuensi spesies bakteri sebelum perawatan dari kultur secara detail terdapat pada
tabel 3. 15% yang diisolasi dari grup A dan 55% yang diisolasi dari grup B adalah
Streptococcus sp. Haemophilus influenzae terdapat pada 10% dari isolasi grup A dan 0%
dari grup B. Moraxella catarrhalis terdapat pada 5% dari isolasi grup A dan grup B.
Staphylococcus aureus terdapat pada 0% dari grup A dan 15% dari grup B. S. viridans
terdapat pada 10% dari isolasi grup A dan 0% dari grup B. S.epidermidis terdapat pada 35%
dari isolasi grup A dan 10% dari grup B. Sementara itu, terdapat 30% grup A dan 20% grup
B yang tidak berhasil tumbuh kulturnya.

Frekuensi spesies bakteri setelah perawatan dari kultur terdapat pada gambar 3. Tidak
ada bakteri 90% pada grup A dan 95% pada grup B. Streptococcus sp terdapat 5% pada grup
A, dan grup B. S epidermidis terdapat pada 5% dari grup A, namun tidak ada pada grup B.
Tidak ada perbedaan bermakna secara statistik pada kedua grup berdasarkan spesies bakteri
yang muncul pada kultur setelah perawatan.

PEMBAHASAN
Berdasarkan pengetahuan kami dan data, tidak ada publikasi yang membahas
efektifitas antibiotik topikal dan kombinasi steroid dalam terapi rinosinusitis bakterial akut.
Ofloxacin topikal 0,3% telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika
Serikat dalam tatalaksana otitis media supuratif kronik pada anak usia >12 tahun. Obat ini
juga diindikasikan pada tatalaksana otitis media akut pada anak usia >1 tahun dengan tabung
timpanopasti.
Efektivitas pada sediaan topikal juga terbukti melawan patogen yang diisolasi pada
kasus akut dan kronik otitis media. Amoxicilin dan clavulanate oral juga mempunyai
keamampuan terapeutik yang sama pada kasus otitis media akut pada pasien dengan tabung
timpanostomi. Pada akhirnya, minimum inhibitory concentration (MIC) ofloxacin pada
bakteri otitis media akut masih relatif rendah dan dapat secara potensial menembus membran
timpani, contohnya MIC penicilin pada S. pneumonia resisten penisilin sekitar 2 µg/ml
Dari seluruh paparan diatas dan karena ada kesamaan penyebab rinosinusitis bakterial
akut dengan otitis media akut, kami menggunakan ofloxacin topikal pada rongga hidung.
Antibiotik topikal dipertimbankan sebagai alternatif pada tatalaksana sistemik.
Vaughan dan Carvalho melaporkan hasil yang menjanjikan pada nebulisasi antibiotik pada
tatalaksana rinosinusitis kronik eksaserbasi akut pada kelompok pasien dengan bakteri
resisten. Rute topikal dipilih dengan beberapa kelebihan seperti dosis lokal lebih tinggi
dengan efek samping sistemik minimal, harga yang lebih murah serta penurunan angka
kesakitan. Hipotesa ini mendukung penelitian kami.
Pada tahun 2006, penelitian Solares menunjukkan bahwa irigasi hidung dengan
muciprocin dapat mencegah kebutuhan antibiotik intravena namun hanya diberikan
sementara serta menambah biaya. Oleh karena itu, irigasi hidung dengan muciprocin hanya
memberikan terapi yang sederhana pada S. aureus resisten methicilin pada rinosinusitis
kronik eksaserbasi akut. Hal ini mendukung penelitian kami.
Meskipun antibiotik menjadi terapi utama, penelitian akhir- akhir ini menunjukkan
bahwa kortikosteroid yang digunakan sebagai terapi adjuvan dapat memberikan keuntungan
tambahan. Alasannya adalah efek antiinflamasi yang dimilikinya, sehingga edema pada
konka dan obstruksi pada ostium sinus teratasi, menyebabkan drainase yang lebih cepat,
meningkatkan sirkulasi udara dan akses lebih baik pada antibiotik topikal.
Penelitian yang dilakukan Meltzer dengan melibatkan pasien berusia lebih dari sama
dengan 12 tahun dengan rinosinusitis bakterial akut yang dikonfirmasi dengan computed
tomography scan sinus. Pasien diterapi selama 12 hari dengan kombinasi amoxicilin dan
clavulanate potassium dan secara acak menerima obat semprot hidung mometasone furoate
atau obat semprot plasebo. Dari segi gejala, obat semprot mometasone furoate menunjukkan
penurunan gejala sakit kepala, sumbatan dan nyeri wajah dibandingkan placebo (p<0,05).
Terdapat banyak studi yang mengkonfirmasi keamanan steroid intranasal, seperti
studi yang dilakukan oleh Giger. Pada penelitian acak, double blind, parallel group trial
dengan melibatkan 112 pasien dengan rinosinusitis kronik non alergi, mereka tidak
didapatkan tanda supresi adrenal atau perubahan signifikan serum kortisol pagi pada satu
hingga dua kali pemberian beclometasone dipropionate intranasal (400 µg/hari) selama 12
minggu.
Pada penelitian kami, kultur meatus media pasca terapi menunjukkan tidak ada
perbedaan bermakna antara grup A (4 kasus/ 20% yang masih menunjukkan pertumbuhan
bakteri) denga grup B (1 kasus/5% yang masih menunjukkan pertumbuhan bakteri). Hal ini
dapat disebabkan oleh dosis yang kurang poten, clearance yang cepat atau ketidakmampuan
obat untuk mencapai daerah infeksi sinus. Sebagai tambahan, laboratorium mikrobiologi
kami tidak dapat membedakan jika S. pneumonia jika ada dalam level patogomonik (>104
unit koloni)
Kami menemukan kombinasi antibiotik topikal dan steroid efektif dalam menterapi
rinosinusitis bakterial akut ketika tidak ada perbedaan bermakna pada perbaikan klinis grup A
yang menerima kombinasi antibiotik dan steroid dengan grup B yang menerima antibiotik
saja.
Terdapat penundaan perbaikan klinis nyeri wajah dan sumbatan hidung pada jam ke
24 dan 48 pada grup A. Hal ini dapat disebabkan oleh kombinasi kedua obat tidak dapat
mencapai konsentrasi tertinggi pada meatus media, posisi kepala pasien yang tidak tepat saat
pemberian obat ke dalam hidung, atau karena metode aplikasi (tetes, semprot, irigasi).
Penundaan perbaikan klinis juga dapat disebabkan oleh penurunan waktu kontak obat
topikal dengan mukosa hidung karena lapisan mukus diperbaharui setiap 10 menit meskipun
ini dapat terjadi pada mukosa yang tidak terinfeksi dan tidak alergi. Penjelasan lainnya adalah
kegagalan mencapai dosis maksimal karena sistem mucociliary ostium dan aplikasi alat yang
belum dicek tekanannya.

 Rinosinusitis akut berasal dari rinitis virus dan infeksi bakteri dapat muncul kemudian
 Kombinasi antibiotik topikal dan steroid efektif dalam mengobati rinosinusitis bakterial
akut
 Aplikasi langsung antibiotik dan steroid ke rongga hidung adalah cara efektif mengobati
rinosinusitis bakterial akut tanpa komplikasi
 Keuntungan pemberian kombinasi antibiotik topikal dan steroid adalah cara pemakaian
yang mudah, konsentrasi obat lokal tinggi dan efek samping sistemik minimal

Kesimpulan kami, aplikasi langsung kombinasi antibiotik dan steroid pada rongga
hidung efektif untuk mengobati rinosinusitis bakterial akut tanpa komplikasi dengan
keuntungan berdasarkan teori aplikasi obat yang mudah, konsentrasi obat lokal tinggi dan
efek samping sistemik minimal.
TINJAUAN PUSTAKA
SINUSITIS

SINUSITIS AKUT

Sinusitis akut adalah keadaan inflamasi pada sinus. Sinus yang paling sering terkena
berturut-turut adalah sinus maksilaris, ethmoid, frontalis, dan sphenoid. Kadangkala dapat
terkena melebihi 1 sinus, sehingga namanya menjadi multisinusitis bahkan seluruh sinus
(pansinusitis). Paling sering disebabkan oleh infeksi virus, dan kadang bakteri. Bakteri
tersering antara lain Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Staphylococcus
aureus. Kadang dapat juga disebabkan oleh jamur. Sinusitis disebabkan oleh:

1. Kelainan pada hidung


Mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung dan infeksi dapat menjalar dari
hidung hingga ke sinus atau melalui drainase limfatik. Ini adalah penyebab tersering
sinusitis, sehingga terminologi sekarang menjadi rinosinusitis
Namun kelainan pada hidung lainnya juga dapat sebabkan sinusitis, seperti septum
deviasi, alergi, nasal polip, tumor pada cavum nasi, dan kelainan kongenital pada
cavum nasi
2. Berenang dan menyelam
Air yang kotor dan kadar klorin yang tinggi pada air akan masuk kedalam sinus dan
sebabkan inflamasi kimia
3. Odontogen
Infeksi pada molar dan premolar dapat menjalar dan sebabkan sinusitis khususnya
bagian maxilla.

Faktor predisposisi dapat dibagi menjadi 2, yaitu lokal dan umum. Pada faktor lokal:
1. Obstruksi drainase dan ventilasi pada sinus
Dalam keadaan normal, sinus mendapatkan ventilasi dan memproduksi mukus yang
akan keluar melalui ostium melalui bantuan silia kearah rongga hidung. Stasis aliran
mukus ini dapat disebabkan oleh:
a. Pemasangan tampon hidung
b. Deviasi septum
c. Konka hipertrofi
d. Edema ostium sinus karena rinitis alergi atau vasomotor
e. Polip hidung
f. Abnormalitas struktur air cell
g. Neoplasma
2. Obstruksi aliran sinus pada rongga hidung
3. Faktor pertahanan sinus terganggu akibat infeksi berulang
Sementara faktor umum antara lain keadaan lingkungan yang lembab, berpolusi
udara, dan tempat tinggal yang padat, serta keadaan imun seseorang yang buruk seperti
sedang dalam demam, defisiensi gizi dan kelainan sistemik.
Faktor predisposisi diatas menyebabkan drainase sinus menjadi terhambat dan
menjadi tempat berkembangbiakan kuman yang baik. Sinus akan mengalami inflamasi dan
menjadi hiperemis dan edema, dan terjadi peningkatan sekresi mukus. Pada awalnya sekresi
ini bersifat serosa. Namun dengan berjalannya waktu dan bila diikuti dengan infeksi bakteri,
sel-sel PMN akan datang sebabkan cairan menjadi mukopurulen-purulen.
Infectious Disease Society of America (IDSA) pada tahun 2012 menetapkan kriteria
menegakkan sinusitis bila memenuhi 1 mayor dan > 2 minor atau 2 mayor:
Kriteria mayor: Kriteria minor

a. Sekret hidung purulen anterior a. Sakit kepala


b. Sekret hidung purulen posterior b. Telinga sakit, terasa penuh
c. Hidung tersumbat c. Halitosis
d. Wajah terasa penuh atau tersumbat d. Sakit gigi
e. Nyeri wajah atau wajah terasa e. Batuk
tertekan f. Demam
f. Hiposomia atau anosmia g. Lemah

Pada sinusitis odontogen, memiliki kesamaan gejala dengan sinusitis yang berasal
dari hidung (rinogen). Pada kasus odontogen perlu ditanyakan apakah pernah ekstraksi gigi
atau implan gigi. Namun biasanya pada kasus odontogen keluhan hanya dirasakan pada satu
sisi saja dan paling sering keluhannya adalah sekret hidung unilateral purulen kadang berbau.
Keluhan rongga mulut seperti nafas yang berbau, sakit gigi dan sebagainya juga kadang ada
namun tidak selalu ada. Untuk membantu menegakkan diagnostik, dapat menggunakan foto
panoramik.

Sinusitis juga dapat disebabkan oleh jamur. Pasien imunosupresi seperti diabetes
melitus, penggunaan kortikosteroid jangka panjang, AIDS dan orang yang sedang
kemoterapi. Gejala yang ditimbulkan tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan diatas,
namun sering pasien datang dengan keluhan demam. Pasien yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik harus dicurigai infeksinya disebabkan oleh jamur.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan diagnosis sebagai berikut.

1. Transillumination Test (Sensitivitas 73%, Spesifisitas 54%)


Pada pemeriksaan ini, pasien dibawa kedalam ruangan gelap. Untuk memeriksa
adanya sinusitis frontalis, maka sumber cahaya ditempatkan dibawah alis mata.
Satu tangan menutup sumber cahaya seperti pada gambar. Lalu perhatikan di
bagian dahi apakah sinar transilumnasi meredup atau warnanya sama. Bandingkan
kiri dengan kanan

Teknik pemeriksaan sinus frontalis

Untuk memeriksa adanya sinusitis pada sinus maksila, pasien juga dibawa
kedalam ruangan yang gelap. Kepala pasien diposisikan dalam sniffing
position. Kemudian sumber cahaya ditempatkan pada bagian lateral hidung
atau infraorbital rim dan satu tangan menutupi sumber cahaya seperti pada
gambar. Perhatikan sinar transiluminasi pada palatum molae. Apakah ada
penurunan atau sama? Bandingkan antara kiri dan kanan

Teknik pemeriksaan sinus maksilaris


2. Foto roentgen

Untuk menilai masing-masing sinus, diperlukan berbagai teknik posisi foto, yaitu
posisi Waters, Caldwell dan lateral.

Perhatikan keadaan opak dan air level yang mengindikasikan sinusitis.

Posisi kepala pada foto


Waters Lingkaran merah menunjukkan air
fluid level, kemungkinan sinusitis

Posisi kepala pada foto


Caldwell
Tatalaksana medikamentosa berupa:

1. Antibiotik, berupa amoxicilin atau ampicilin. Dapat dikombinasikan berupa


amoxicilin-clavulanate bila ditemukan hal-hal dibawah ini. Diminum 5-7 hari. Jika
alergi penisilin, dapat diganti dengan kombinasi trimethropin-sulfametoksazol atau
obat golongan makrolid.

Namun karena infeksi umumnya disebabkan oleh virus, American Academy of


Otolaryngology- Head and Neck Surgery (AAO-HNS) merekomendasikan watchful
waiting. Cara ini tidak memberikan antibiotik selama 7 hari, hanya terapi simptomatik saja
dengan memantau gejalanya. Terapi yang diberikan berupa irigasi saline, dekongestan,
dan antinyeri/antipiretik jika perlu, selama 3 hari. Jika disebabkan oleh virus, umumnya
akan membaik. Jika gejala tetap/tidak membaik/ bertambah buruk, baru diberikan
antibiotik.

2. Dekongestan topikal 1% efedrin atau 0,1% oxymetazoline


3. Analgesik, paracetamol 500 mg untuk meredakan nyeri bila perlu

Bila dalam 7 hari setelah pengobatan antibiotik tidak membaik, maka perlu dilakukan
pemeriksaan apakah sudah terjadi komplikasi dan resistensi bakteri (kultur). Ganti
antibiotik yang sesuai dengan hasil kultur.

Pada infeksi jamur akut, antijamur sistemik diberikan bersamaan dengan irigasi nasal
untuk menyingkirkan krusta. Antijamur yang direkomendasikan adalah amphotericin B
SINUSITIS KRONIK

Pada keadaan infeksi yang berlangsung lebih dari 12 minggu, maka fungsi silia sudah
rusak dan menyebabkan drainase terganggu. Mukus yang berada pada sinus akan menjadi
tempat perkembangbiakan kuman yang baik sehingga dapat terinfeksi. Infeksi yang kronik ini
sebabkan epitelnya mengalami deskuamasi. Lapisan submukosa terisi oleh limfosit dan sel
plasma, membentuk jaringan granulasi.

Gejala yang ditimbulkan dapat sama dengan yang akut, namun tanda-tanda
peradangan tidak dominan, dan kadang dapat disertai dengan nafas berbau/ sekret hidung
purulen yang berbau. Tatalaksana medikamentosa berupa irigasi nasal dengan hipertonik
nasal saline yang diberikan melalui neti pot dengan tujuan meningkatkan clearance, sehingga
mukus dan krusta keluar serta memacu aktivitas siliar. Steroid intranasal diberikan selama 8
minggu dengan tujuan mengurangi gejala. Steroid yang direkomendasikan adalah
mometasone furoate atau fluticazone propionate. Antibiotik tetap diberikan berupa kombinasi
amoxicilin-asam clavulanate dosis tinggi atau kombinasi trimethropine-sulfametoksazol
(Bactrim)

Menurut AAO-HNS, infeksi yang disebabkan oleh jamur pada sinusitis kronik tidak
direkomendasikan diberikan antijamur oral maupun topikal. Pada tahap ini direkomendasikan
memberikan debridement operasi.

Jika masih dalam 7 hari tidak memberikan perbaikan gejala maka dimulai tindakan
operasi

Operasi pada sinus memiliki indikasi sebagai berikut:


1. Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)

Prinsip tindakan FESS adalah membuang jaringan yang menghambat


kompleks osteomeatal dan memfasilitasi drainase dan memperlebar ostium. Tindakan
ini tetap mempertahankan struktur anatomi normal. 30 menit sebelum tindakan
dimulai, pasien diberikan nasal spray oxymethazoline 0,5% pada hidung yang akan
dioperasi serta pada kedua hidung setelah diberikan anestesi umum. Kemudian
diberikan injeksi 1% lidokain dalam 1:100.000 epinefrin pada 3 lokasi, yaitu dibagian
lateral dan superior dari meatus media bagian superior, serta di bagian inferior dari
meatus media. Kemudian tunggu 5-10 menit.

Manajemen post operasi, pasien harus rajin melakukan irigasi hidung dengan
hipertonik saline untuk membuang krusta. Komplikasinya berupa perdarahan,
kebocoran LCS, hingga kebutaan karena mengenai saraf optik

2. Operasi teknik Caldwell-Luc


Merupakan operasi untuk menyingkirkan anatomi abnormal ireversibel pada
sinus maksilaris yang tidak membaik dengan pengobatan biasa. Operasi ini tidak
dilakukan pada anak <17 tahun. Operasi ini mulai dipertimbangkan pada pasien yang
gagal dengan medikamentosa. Gagal medikamentosa menurut AAO-HNS adalah
tidak ada perbaikan gejala atau ada perburukan gejala setelah 7 hari terdiagnosa
dengan pengobatan yang adekuat. Indikasi operasinya adalah sebagai berikut.
 Sinusitis maksilaris kronik dengan perubahan ireversibel pada mukosa
 Menyingkirkan benda asing pada akar gigi
 Kecurigaan keganasan pada antrum
 Fraktur maksila atau blow out fracture
 Fistula oroantral
 Ligasi arteri maksilaris
 Neurectomi nervus vidian
 Memberikan akses ke sinus etmoid
Pasien diberikan anestesi umum. Daerah insisi diberikan injeksi xylocaine 2%
dalam 1:200.000 epinferin. Mula-mula dilakukan insisi melintang dari insisivus
hingga ke molar seperti pada gambar. Dasar tulang dibuka dengan dan diperlebar
dengan Kerrison punch. Ketika antrum maksilaris terbuka, maka bagian patologiknya
disingkirkan.

Manajemen post operatif berupa menempelkan ice packs ke pipi selama 24


jam untuk mencegah edema, hematoma, dan ketidaknyamanan pada pasien. Lalu
diberikan antibiotik selama 5-7 hari. Tampon hidung dan sinus dilepaskan dalam
waktu 24-48 jam.
Komplikasi yang ditimbulkan berupa perdarahan (dapat ditangani dengan
pemasangan tampon), kerusakan duktus lakrimalis.

3. Ballon sinusplasty
Prinsip tindakan ini menggunakan endoskopi yang sudah terpasang dengan
ballon. Kemudian ballon ini akan dikembangkan, sehingga menyebabkan
mikrofraktur dan menyebabkan pembentukan ulang (reshape) dari ostium sinus,
sehingga ostium sinus menjadi lebih besar dan drainase kembali lancar.
Tindakan ini yang paling tidak invasif dan hanya memerlukan anestesi umum.
Sinusplasty hanya digunakan pada kasus sinusitis yang tidak menyebabkan obstruksi
total.
KOMPLIKASI ORBITA

Penyebaran komplikasi paling sering ke mata. Penyebarannya dapat terjadi karena


kehilangan struktur anatomi yang menghalangi atau hematogen. Alasan paling sering ke mata
karena letaknya berdekatan dengan sinus frontalis dan ethmoidalis. Komplikasi pada mata
lebih sering terjadi pada anak <7 tahun, sedangkan komplikasi intrakranial lebih sering
dijumpai pada remaja hingga dewasa.

Komplikasi pada mata dibagi menjadi beberapa grade, yaitu:

Cellulitis
Preseptal
orbital
cellulitis

Selulitis preseptal dan selulitis orbita umumnya dapat membaik dengan


medikamentosa. Pada selulitis preseptal, pasien diberikan antibiotik, kepala dinaikkan, dan
dikompres hangat. Tatalaksana operasi dikerjakan pada semua kasus abses dan pada keadaan
yang sebabkan gangguan visus dan gangguan refleks pupil, serta yang tidak menunjukkan
perbaikan dalam 48 jam. Tindakan operasi yang dikerjakan adalah Caldwell-Luc atau
external ethmoidectomy untuk mendrainase. FESS juga dapat dikerjakan.

KOMPLIKASI INTRAKRANIAL

Kompliasi intrakranial dapat berbagai macam seperti pada tabel dibawah ini, dan
biasanya terjadi pada usia dewasa. Tatalaksana dengan menggunakan antibiotik dosis tinggi
IV selama 48 jam. Setelah itu, dapat dilakukan drainase pada sinus yang terkena bila tidak
menunjukkan perbaikan. Adanya edema serebri dapat dikurangi dengan memberikan steroid.
Jika terjadi kejang dapat diberikan obat antikejang.

KOMPLIKASI LAINNYA

Mukokele adalah kantung berisi mukus. Dapat disebabkan oleh obstruksi kronis sehingga
kantung ini dapat merusak tulang disekitarnya, atau sumbatan pada kelenjar penghasil mukus
yang dikelilingi oleh epitel sinus yang normal.

1. Mukokele pada sinus frontalis berada di superomedial orbita dan menekan bola mata
ke bawah dan ke lateral. Pasien akan mengeluhkan sakit kepala ringan, disertai
dengan diplopia dan proptosis. Tatalaksana adalah mengembalikan drainase sinus ke
meatus media
2. Mukokele pada sinus ethmoidalis menyebabkan bola mata terdorong kearah depan
dan ke lateral.
3. Mukokele pada sinus maksilaris menyebabkan penonjolan pada tulang karena
terdesak oleh mukokele
4. Mukokele pada sinus sphenoid menyebabkan exopthalmus

Osteomielitis pada os maksila sebagai komplikasi pada sinus maksilaris, lebih sering
terjadi pada balita- anak karena konsistensi tulang maksila masih berongga, menyebabkan
pembengkakan, kemerahan pada pipi, edema pada kelopak mata bawah, sekret hidung
purulen dan demam. Dapat terbentuk fistula. Tatalaksana dengan antibiotik serta drainase.
Osteomielitis pada os frontalis sebagai komplikasi pada sinus frontalis lebih sering
terjadi pada dewasa karena sinus frontalis kurang berkembang saat anak-anak. Pus yang
terbentuk dapat membentuk abses ekstradural. Tatalaksana dengan antibiotik, drainase, dan
bila perlu pengangkatan jaringan nekrosis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Dhingra PL, Dhingra S. Disease of Ear, Nose, and Throat. 6th ed. Philadelphia:
Mosby Elsevier. 2014
2. El Hennawi, et al. Comparative Study of The Efficacy of Topical Steroid and
Antibiotic Alone when Treating Acute Rhinosinusitis. Jpurnal of Laryngology and
Otology. 2015. 129:462-467

3. Nooriyan V, Motaghi A. Assessment of the Diagnostic Accuracy of Limited CT Scan


of Paranasal Sinuses in the Identification of Sinusitis. Iran Red Cres Med
J.2012;14(11):709-12

4. Konen E, et al. The Value of the Occipitomental (Waters') View in Diagnosis of


Sinusitis: A Comparative Study with Computed Tomography. Clinical Radiology.
2000. 55:856-860

5. [IDSA] Infectious Disease Society of America. IDSA Clinical Practice Guideline for
Acute Bacterial Rhinosinusitis in Children and Adults. 2012

6. [AAO-HNS]. American Association of Otolaryngology- Head and Neck Surgery.


Clinical Practice Guideline (Update):Adult Sinusitis. 2015

7. Flint PW, Cummings CW, Phelps T, editors. Cummings otolaryngology head & neck
surgery. 5th ed. Philadelphia, Pa: Mosby/Elsevier; 2010.

Anda mungkin juga menyukai