Anda di halaman 1dari 10

Refleksi [ Pemantulan Cahaya ]

Diagram refleksi sinar cahaya spekular

Sebelumnya kalian sudah membaca mengenai Pendahuluan


OPTIK, dan sekarang kita akan masuk kedalam materi
refleksi atau pemantulan cahaya.

Refleksi atau pantulan cahaya terbagi menjadi 2 tipe:


specular reflection dan diffuse reflection. Specular reflection
menjelaskan perilaku pantulan sinar cahaya pada permukaan
yang mengkilap dan rata, seperti cermin yang memantulkan
sinar cahaya ke arah yang dengan mudah dapat diduga. Kita
dapat melihat citra wajah dan badan kita di dalam cermin
karena pantulan sinar cahaya yang baik dan teratur. Menurut hukum refleksi untuk
cermin datar, jarak subyek terhadap permukaan cermin berbanding lurus dengan jarak
citra di dalam cermin namun parity inverted, persepsi arah kiri dan kanan saling terbalik.
Arah sinar terpantul ditentukan oleh sudut yang dibuat oleh sinar cahaya insiden terhadap
normal permukaan, garis tegak lurus terhadap permukaan pada titik temu sinar insiden.
Sinar insiden dan pantulan berada pada satu bidang dengan masing-masing sudut yang
sama besar terhadap normal.

Citra yang dibuat dengan pantulan dari 2 (atau jumlah kelipatannya) cermin tidak parity
inverted. Corner retroreflector memantulkan sinar cahaya ke arah datangnya sinar
insiden.

Diffuse reflection menjelaskan pemantulan sinar cahaya pada permukaan yang tidak
mengkilap (Inggris:matte) seperti pada kertas atau batu. Pantulan sinar dari permukaan
semacam ini mempunyai distribusi sinar terpantul yang bergantung pada struktur
mikroskopik permukaan. Johann Heinrich Lambert dalam Photometria pada tahun 1760
dengan hukum kosinus Lambert (atau cosine emission law atau Lamberts emission
law) menjabarkan intensitas radian luminasi sinar terpantul yang proposional dengan
nilai kosinus sudut antara pengamat dan normal permukaan Lambertian dengan
persamaan:

Ada 3 buah bentuk cermin pemantul, yaitu : cermin datar, cermin cekung dan cermin
cembung. Pada ketiga cermin itu berlaku persamaan umum yang digunakan untuk
menghitung jarak bayangan (s`) dari suatu benda yang terletak pada jarak tertentu (s) dari
cermin itu.
s = jarak benda

s = jarak bayangan
f = jarak titk api (fokus)

sedang pembesarannya :

h = tinggi (besar) bayangan

h = tinggi (besar) benda

Catatan :

Pemakaian persamaan umum tersebut, harus tetap memperhatikan perjanjian


tanda.
Bila s` menghasilkan harga negatip, berarti bayangan maya, sebaliknya jika
positip, berarti bayangan nyata.
Bila bayangan benda bersifat maya, berarti bayangan tegak terhadap bendanya.

a. Cermin Datar

Permukaan cermin datar sangat halus dan memiliki permukaan yang datar pada bagian
pemantulannya, biasanya terbuat dari kaca. Di belakang kaca dilapisi logam tipis
mengilap sehingga tidak tembus cahaya.

Pembentukan Bayangan pada Cermin Datar


Ketika kita bercermin, bayangan kita tidak pernah dapat dipegang atau ditangkap dengan
layar. Bayangan seperti itu disebut bayangan maya atau bayangan semu.
Bayangan maya selalu terletak di belakang cermin. Bayangan ini terbentuk karena sinar-
sinar pantul yang teratur pada cermin.
Sifat-sifat bayangan yang dibentuk oleh cermin datar adalah sebagai berikut:

a. Bayangannya maya.
b. Bayangannya sama tegak dengan bendanya.
c. Bayangannya sama besar dengan bendanya.
d. Bayangannya sama tinggi dengan bendanya.
Permukaan datar dapat dianggap permukaan sferis
dengan R =
Jadi, jarak titik api (focus) untuk permukaan datar
ialah :

Sehingga pemakaian persamaan umum menjadi


sebagai berikut :

sedang pembesarannya :

Sifat-sifat bayangan pada cermin datar :


1. Bayangan bersifat maya, terletak di belakang cermin bayangan tegak
2. Jarak bayangan = jarak benda
3. Tinggi benda = tinggi bayangan
4. Bayangan tegak

Banyaknya bayangan (n) yang dibentuk oleh dua buah cermin datar yang membentuk
sudut tertentu (a) adalah : n = (360/a)-1

Contoh Soal
Dua cermin datar membentuk sudut 30 satu sama yang lain. Jika suatu benda diletakkan
diantara kedua cermin, tentukan jumlah bayangan yang terbentuk.

Diket : a = 300

Dit: n =?

Jawab:

n=(3600/a)-1

n=(3600/300)-1

n=11 (bayangan terbentuk)


Persamaan Fresnel
Parameter yang digunakan pada
persamaan Fresnel

Persamaan Fresnel adalah deduksi


matematis oleh Augustin Jean Fresnel
hasil pengamatan perilaku gelombang
cahaya ketika merambat antara medium
yang mempunyai indeks bias yang
berbeda. Persamaan Fresnel berlaku
hanya pada indeks bias yang bernilai
real, yaitu pada medium yang tidak
menyerap gelombang cahaya. Indeks bias dapat mempunyai nilai imajiner dan bernilai
kompleks, seperti pada medium logam atau semikonduktor yang menyerap gelombang
cahaya. Persamaan ini juga berlaku hanya pada medium yang bersifat non magnetik
dengan asumsi tidak terjadi interferensi.

Saat gelombang cahaya merambat dari medium dengan indeks bias n1 ke medium dengan
indeks bias n2, Fresnel berpendapat bahwa gelombang cahaya mengalami refleksi dan
refraksi bersamaan. Pendapat ini berbeda dengan hukum Snellius yang menjelaskan
bahwa partikel cahaya hanya membias pada kondisi yang sama.

Intensitas fraksi gelombang cahaya yang mengalami refleksi dari antarmuka ditentukan
oleh reflektansi R dan fraksi gelombang cahaya yang mengalami refraksi ditentukan oleh
transmitansi T.[1]

Perhitungan R bergantung pada polarisasi sinar insiden, disebut Refleksi Fresnel. Jika
gelombang cahaya dipolarisasi oleh medan listrik yang tegak lurus bidang diagram
(polarisasi-s), koefisien refleksi persamaan Fresnel menjadi:

dimana ?t dapat diturunkan dari ?i dengan hukum Snellius dan disederhanakan


menggunakan identitas trigonometrik. Koefisien refleksi untuk polarisasi medan listrik
pada bidang diagram (polarisasi-p) menjadi:
Koefisien transmisi untuk tiap-tiap bidang polarisasi dapat dihitung dengan aritmatika:
Ts = 1 Rs dan Tp = 1 Rp.[2]

Jika sinar insiden tidak terpolarisasi (mempunyai nilai polarisasi-s dan -p), koefisien
refleksi menjadi R = (Rs + Rp)/2.

Persamaan Fresnell untuk koefisien refleksi dengan koefisien amplitudo medan listrik
menjadi:[3]

Pada sudut insiden tertentu, Rp bernilai nol. Hal ini menandakan refleksi keseluruhan dari
gelombang cahaya pada bidang p. Sudut ini dikenal sebagai sudut Brewster, sekitar 56
untuk medium kaca dan udara.

Ketika gelombang cahaya merambat ke medium yang lebih renggang, n1 > n2, pada sudut
insiden di atas sudut kritis semua gelombang cahaya mengalami refleksi dan Rs = Rp = 1.
Fenomena ini disebut total internal reflection. Sudut kritis untuk kaca dan udara sekitar

Koefisien refleksi dan koefisien transmisi pada sudut insiden mendekati normal
antarmuka (i t 0) dapat dihitung dengan persamaan:
Refraksi (atau pembiasan) dalam optika geometris didefinisikan
sebagai perubahan arah rambat partikel cahaya akibat terjadinya percepatan.

Pada optika era optik geometris, refraksi cahaya yang dijabarkan dengan Hukum
Snellius, terjadi bersamaan dengan refleksi gelombang cahaya tersebut, seperti yang
dijelaskan oleh persamaan Fresnel pada masa transisi menuju era optik fisis. Tumbukan
antara gelombang cahaya dengan antarmuka dua medium menyebabkan kecepatan fase
gelombang cahaya berubah. Panjang gelombang akan bertambah atau berkurang dengan
frekuensi yang sama, karena sifat gelombang cahaya yang transversal (bukan
longitudinal). Pengetahuan ini yang membawa
kepada penemuan lensa dan refracting telescope.
Refraksi di era optik fisis dijabarkan sebagai
fenomena perubahan arah rambat gelombang yang
tidak saja tergantung pada perubahan kecepatan,
tetapi juga terjadi karena faktor-faktor lain yang
disebut difraksi dan dispersi.

Contoh terjadinya refraksi yang sangat umum


dijumpai adalah seperti ilustrasi gambar di samping.
Dengan adanya perbedaan indeks bias antara udara
(1,0003) dan air (1,33) di dalam sebuah mangkok,
sebuah benda lurus seperti pensil atau sedotan akan
tampak seperti patah dengan kedalaman air yang
tampak lebih dangkal.

Refraksi ganda

Refraksi ganda atau birefringence atau double refraction adalah dekomposisi sinar
cahaya menjadi dua sinar cahaya yang disebut ordinary ray dan extraordinary ray.

Refraksi ganda terjadi pada saat gelombang cahaya melalui medium material anisotropik
seperti kristal kalsit atau Boron nitrat. Jika material tersebut mempunyai sumbu optis atau
sumbu anisotropik tunggal, maka pembiasan yang terjadi disebut uniaxial birefringence
dengan 2 buah indeks bias material anisotropik, masing-masing untuk 2 buah arah
polarisasi dengan intensitas menurut persamaan:
di mana no dan ne adalah indeks bias untuk polarisasi tegak lurus ordinary ray dan
polarisasi paralel extraordinary ray terhadap sumbu anisotropik.[1]

Biaxial materials, at 590 nm

Material na n n?

borax 1.447 1.469 1.472

epsom salt MgSO47(H2O) 1.433 1.455 1.461

mica, biotite 1.595 1.640 1.640

mica, muscovite 1.563 1.596 1.601

olivine (Mg, Fe)2SiO4 1.640 1.660 1.680

perovskite CaTiO3 2.300 2.340 2.380

topaz 1.618 1.620 1.627

ulexite 1.490 1.510 1.520

Refraksi ganda juga dapat terjadi dengan sumbu anisotropik ganda yang disebut biaxial
birefringence atau trirefringence, seperti yang terjadi pada pembiasan sinar cahaya pada
material anisotropik layaknya kristal atau berlian. Untuk material semacam ini, tensor
indeks bias n, secara umum memiliki tiga eigenvalues yang berbeda, yaitu na, n and n?.

Refraksi gradien
Refraksi gradien adalah refraksi yang terjadi pada
medium dengan indeks bias gradien.

Pada umumnya, indeks bias gradien terjadi karena


peningkatan kepadatan medium yang menyebabkan
peningkatan indeks bias secara tidak linear, seperti
pada kaca, sehingga cahaya yang merambat
melaluinya dapat mempunyai jarak tempuh yang melingkar dan terfokus.

Indeks bias gradien juga terjadi apabila cahaya yang merambat melalui medium dengan
indeks bias konstan, mempunyai intensitas yang sangat tinggi akibat kuatnya medan
listrik, seperti pada sinar laser, sehingga menyebabkan indeks bias medium bervariasi
sepanjang jarak tempuh sinar tersebut. Jika indeks bias berbanding kuadrat dengan medan
listrik/berbanding linear dengan intensitas, akan terjadi fenomena self-focusing dan self-
phase modulation yang disebut efek optis Kerr. Fenomena refraksi gradien dengan indeks
bias berbanding linear dengan medan listrik (yang terjadi pada medium yang tidak
mempunyai inversion symmetry) disebut efek Pockels.
Refraksi negatif

A comparison of refraction in a left-handed


metamaterial to that in a normal material

Refraksi negatif adalah refraksi yang terjadi seolah-


olah sinar cahaya insiden dipantulkan oleh sumbu
normal antarmuka dua medium pada sudut refraksi
yang secara umum tunduk pada hukum Snellius,
namun bernilai negatif.

Refraksi negatif terjadi pada pembiasan antarmuka antara medium yang mempunyai
indeks bias positif dengan medium material meta yang mempunyai indeks bias negatif
oleh desain koefisien permitivitas medan listrik dan permeabilitas medan magnet tertentu
menurut persamaan:

Untuk kebanyakan material, besaran permeabilitas sangat dekat dengan nilai 1 pada
frekuensi optis, sehingga nilai n disederhanakan dengan pendekatan permitivitas: .
Menurut persamaan ini, maka indeks bias dapat bernilai negatif, misalnya seperti pada
sinar x.[3]

Paradox momentum

Pada tahun 1908, Hermann Minkowski membuat persamaan momentum refraksi:[4]

di mana:

p adalah momentum refraksi


E adalah energi foton
c adalah kecepatan cahaya dalam ruang hampa
n adalah indeks bias medium

Pada tahun 1909, Max Abraham membuat usulan persamaan momentum sebagai berikut:
[5]

Rudolf Perierls menjabarkan inkonsistensi antara kedua persamaan ini dalam More
Surprises in Theoretical Physics.[6] Ulf Leonhardt, komisaris Theoretical Physics di
University of St. Andrews, mendiskusikan hal ini, termasuk percobaan resolusinya.[7]
Hukum Snellius
Pembiasan cahaya pada antarmuka antara dua
medium dengan indeks bias berbeda, dengan n2 > n1.
Karena kecepatan cahaya lebih rendah di medium
kedua (v2 < v1), sudut bias 2 lebih kecil dari sudut
datang 1; dengan kata lain, berkas di medium
berindeks lebih tinggi lebih dekat ke garis normal.

Hukum Snellius adalah rumus matematika yang


meberikan hubungan antara sudut datang dan sudut
bias pada cahaya atau gelombang lainnya yang
melalui batas antara dua medium isotropik berbeda,
seperti udara dan gelas. Nama hukum ini diambil dari
matematikawan Belanda Willebrord Snellius, yang
merupakan salah satu penemunya. Hukum ini juga
dikenal sebagai Hukum Descartes atau Hukum
Pembiasan.

Hukum ini menyebutkan bahwa nisbah sinus sudut datang dan sudut bias adalah konstan,
yang tergantung pada medium. Perumusan lain yang ekivalen adalah nisbah sudut datang
dan sudut bias sama dengan nisbah kecepatan cahaya pada kedua medium, yang sama
dengan kebalikan nisbah indeks bias.

Perumusan matematis hukum Snellius adalah

atau

atau

Lambang merujuk pada sudut datang dan sudut bias, dan pada kecepatan
cahaya sinar datang dan sinar bias. Lambang merujuk pada indeks bias medium yang
dilalui sinar datang, sedangkan adalah indeks bias medium yang dilalui sinar bias.

Hukum Snellius dapat digunakan untuk menghitung sudut datang atau sudut bias, dan
dalam eksperimen untuk menghitung indeks bias suatu bahan.
Pada tahun 1637, Ren Descartes secara terpisah menggunakan argumen heuristik
kekekalan momentum dalam bentuk sinus dalam tulisannya Discourse on Method untuk
menjelaskan hukum ini. Cahaya dikatakan mempunyai kecepatan yang lebih tinggi pada
medium yang lebih padat karena cahaya adalah gelombang yang timbul akibat terusiknya
plenum, substansi kontinu yang membentuk alam semesta. Dalam bahasa Perancis,
hukum Snellius disebut la loi de Descartes atau loi de Snell-Descartes.

Sebelumnya, antara tahun 100 hingga 170 Ptolemeus dari Thebaid menemukan hubungan
empiris sudut bias yang hanya akurat pada sudut kecil.[1] Konsep hukum Snellius
pertama kali dijelaskan secara matematis dengan akurat pada tahun 984 oleh Ibn Sahl
dari Baghdad dalam manuskripnya On Burning Mirrors and Lenses[2][3]. Dengan konsep
tersebut Ibn Sahl mampu membuat lensa yang dapat memfokuskan cahaya tanpa aberasi
geometri yang dikenal sebagai kanta asperik. Manuskrip Ibn Sahl ditemukan oleh
Thomas Harriot pada tahun 1602, [4] tetapi tidak dipublikasikan walaupun ia bekerja
dengan Johannes Keppler pada bidang ini.

Pada tahun 1678, dalam Trait de la Lumiere, Christiaan Huygens menjelaskan hukum
Snellius dari penurunan prinsip Huygens tentang sifat cahaya sebagai gelombang.
Hukum Snellius dikatakan, berlaku hanya pada medium isotropik atau "teratur" pada
kondisi cahaya monokromatik yang hanya mempunyai frekuensi tunggal, sehingga
bersifat reversibel.[5] Hukum Snellius dijabarkan kembali dalam rasio sebagai berikut:

Kesimpulan :
Definisi pembiasan adalah refraksi atau pembelokan sinar pada bidang batas dua medium
yang berbeda rapat optiknya. Rapat optic suatu medium akan menentukan besar indek
bias medium itu.
Jika suatu zat mempunyai indeks bias lebih kecil daripada zat lain, maka rapat opticnya
juga lebih kecil. Sebaliknya, jika indeks biasanya lebih besar, maka rapat optiknya lebih
besar.
Pembiasan mengakibatkan beberapa kejadian berikut :
1. Kedalaman semu air jernih
2. Pemantulan sempurna hingga terjadi fatamorgana
3. Ketinggian semu benda-benda langit, akibat pembiasan berkali-kali oleh lapisan
atmosefer yang kerapatannya berbeda-beda.

Anda mungkin juga menyukai