Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Rinitis diartikan sebagai proses inflamasi yang terjadi pada membranmukosa hidung,
yang ditandai dengan gejala-gejala hidung seperti rasa panas di rongga hidung, rinore, dan
hidung tersumbat.1 Secara garis besar, rinitis dibagi kepada 2 bagian yaitu rinitis nonalergik
dan alergi. Gejala-gejala hidung yang berlangsung kronis tanpa penyebab alergi disebut
rinitis nonalergik. Sedangkan bila didapati adanya penyebab alergi (alergen) dikenal dengan
rinitis alergik.1 Karaktieristik gejala pada rinitis nonalergik sering susah dibedakan dengan
rinitis alergik. Oleh karena itu, hasil negative dari tes sensitivitas yang diperantarai Ig-E
terhadap aeroallergen yang releven, penting untuk menkonfirmasi diagnosis.1 Dan perlu
diketahui bahwa tes kulit positif pada aeroallergen yang tidak relevan dapat terjadi pada
rinitis nonalergik.1

Rinitis nonalergik sungguh mudah dikenali. Tetapi, walaupun demikian, insidensi dan
terapinya belum diketahui dengan pasti. Penelitian epidemiologi dan percobaan terapi baru-
baru ini meningkatkan pengetahuan kita dalam mencermati prekuensi terjadinya penyakit ini
dan modalitas terapi yang efektif.

Rinitis nonalergi yang dapat juga disebabkan oleh infeksi dibagi atas dua bagian
besar, yaitu rinitis akut dan rinitis kronis. Rinitis akut terdiri dari rinitis virus, rinitis bakteri,
dan rinitis iritan. 2 sedangkan yang termasuk rinitis kronis adalah rinitis simplek kronis, rinitis
hipertrofi, rinitis atrofi (ozaena), rinitis sika, dan rinitis kaseosa.2 hampir setengah dari pasien
yang datang dengan gejala-gejala hidung tersebut diatas, menderita rinitis akut.

Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin/rhino (hidung) dan itis (radang).
Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput lendir (membran
mukosa) hidung.
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik. Rhinitis
akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri.
Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau
trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke

1
dalam rhinitis akut diantaranya adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri
akut supuratif.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian rhinitis
kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis yang
disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca),
dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak
disebabkan oleh peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan
rhinitis medikamentosa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

ANATOMI HIDUNG

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah:


1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsumnasi), 3) puncak hidung (hip), 4) ala
nasi, 5) hidung luar; dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri 1) tulang hidung (os nasal), 2) prosesus frontalis os
maksila, dan 3) prosesus nasalis os frontal; sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari
beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang
kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut
juga sebagai kartilago alar mayor, dan 4) tepi anterior kartilago septum. [ 3,4,5 ]
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang
dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu
atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang
disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang nares
anterior, disebut vetibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang mempunyai banyak
kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. [ 3,4,5 ]
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior
dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2) vomer, 3) krista
nasalis os maksila, dan 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago
septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. Septum dilapisi oleh mukosa hidung. [ 3,4,5 ]
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah
ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah
konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya
rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan

3
labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin
etmoid. [ 3,4,5 ]
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius
dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan
dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral rongga
hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. [ 3,4,5 ]
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os
palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Lamina kribriformis
merupakan lempeng tulang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa =
saringan) tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga
hidung dibentuk oleh os sfenoid. [ 3,4,5]

Gambar 1. Anatomi hidung

4
Kompleks ostiomeatal (KOM )
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang
dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang membentuk
KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger
nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi
dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior
dan frontal. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan
patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait. [ 3 ]

Vaskularisasi hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior
yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a. karotis interna. Bagian bawah rongga hidung
mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna, di antaranya ialah ujung a. palatina
mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n. sfenopalatina
dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
mendapat pendarahan dari cabang-cabang a. fasialis. Pada bagian depan septum terdapat
anastomosis dari cabang-cabang a. sfenopalatina, a. etmid anterior, a. labialis superior dan a.
palatine mayor, yang disebut pleksus kiesselbach (littles area). Pleksus kiesesselbach
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber
epistaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama
yang sama dan brjalan berdampingan denga arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v. oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena
dihidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya
penyeabaran infeksi sampai ke intrakranial. [ 3,4,6 ]

Gambar 2. Vaskularisasi hidung

5
Persarafan hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n. Etmoidalis
anterior, yang merupakan cabang dari n. Nasosiliaris, yang berasal dari n. Oftalmikus (N. V-
1). Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris, juga memberikan
persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
saraf simpatis dari m. Petrosus superfisialis mayor profundus. Ganglion sfenopalatina terletak
di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. Fungsi penghidupan berasal dari
n. Olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus
olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidup pada mukosa olfaktorius
di daerah sepertiga atas hidung. [ 3,4 ]

Gambar 3. Persarafan hidung

Mukosa hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernapasan (mukosa olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silis ( ciliated peudostratified collumner epithelium ) dan di antaranya terdapat sel-sel goblet.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertia berlapis
semu tidak bersilia (pseudostratified collumner non ciliated epithelium) epitelnya dibentuk
oleh tiga macam sel, yaitu sel, penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah

6
mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menadi sel epitel skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa respratori berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lender (mucous blanket) pada permukaannya. Di bawah epitel terdapat
tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan
limfoid. Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai susunan yangkhas. Arteriol
terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara paralel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahab pada anyaman kapiler perglanduler dan sub
epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang
besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujungnya
sinusoid mempunyai sfingter oto. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke
pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venaula. Dengan susunan demikian mukosa hidung
menyerupai jaringan kavernosa yang erektil, yang mudah mengmbangkan dan mengerut.
Vasodilatasi dan vasosonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom. [ 3,4,6 ]

Sistem transpor mukosilier


Sistem transport mukosilier merupakan system pertahanan aktif rongga hidung
terhadap virus, bakteri, jamur atau partikel berbahaya lain yang terhirup bersama udara.
Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lendir. Palut
lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada pada epitel dan kelenjar seromusinosa
subnukosa. Bagian bawah dari palut lender terdiri dari cairan serosa sedangkan bagian
permukaan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan faktor
komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim, inhi bitor lekoprotease
sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA). [ 3 ]
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk pertahanan lokal yang
bersifat antimikrobial. IgA berfungsi untuk mengeluarkan mikroorganisma dari jaringan
dengan mengikat antigen tersebut pada lumen saluran napas, sedangkan IgG beraksi didalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi jika terpajang dengan antigen banteri. Pada sinus
maksila, sistem transpor mukosilier menggerakkan sekret sepanjang dinding anterior, medial,
posterior dan lateral serta atap rongga sinus membentuk gambaran serta atap rongga sinus
membentuk gambaran halo atau bintang yang mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium
secret akan lebih kental tetapi drenasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan negatif dan
berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan tidak akan menghentikan atau

7
mengubah transport, dan sekret akan melewati mukosa yang rusak terebut. Tetapi jika sekret
lebih kental, sekret akan terhenti pada mukosa yang mengalami defek. [ 3 ]
Gerakan sistem transpor mukosilier pada sinus frontal mengikuti gerakan spiral.
Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal, kemudian keatap, dinding lateral dan bagian
inferior dari dinding anterior dan posteror menuju area frontal. Gerakan spiral menuju ke
ostiumnya terjadi pada sinus sphenoid, sedangkan pada sinus etmoid terjadi gerakan
rectilinear jika ostiumnya terletak di dasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat pada
salah dindingnya. [ 3 ]
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transprort mukosilier. Rute pertama
merupakan gabungan sekresi sinus frontal, maksila dan etmoid anterior. Secret ini biasanya
bergabung di dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalalan menuju tepi bebas prosesus
unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian
antero inferior orifisium tuba eustachius. Transpor aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan
epitel skuamosa pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan gaya gravitasi
dan proses menelan. [ 3 ]
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan sphenoid yang
bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju naso faring pada bagian posterosuperior
orifisium tuba eustachius. Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan
bergabung dengan sekret rute pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret pada
septum akan berjalan vertical kea rah bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan
menyatu di bagian inferior tuba eustachius. [ 3 ]

FISIOLOGI HIDUNG

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis
hidung dan sinus paranasal adalah: 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air
conditioning), penyaring udara, humikifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan
mekanise inunologik lokal; 2) fungsi pengidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan
reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk
resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran tuara sendiri melalui
kondukdi tulang; 4) fungsi static dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5)
refleks nasal. [ 3,4,5 ]

8
Fungsi respirasi
Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem repirasi melalui nares anterior, lalu
naik ke atas stinggi konka media dan kemudian turun ke bawah kearah nasorafing. Aliran
udara di hidung ini benbentuk lingkungan atau arkus. Udara yang dihirup akan menglami
humidifikasi oleh palut lendir. Pada musim panas, udara hamper jenuh oleh uap air, sehingga
terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat
celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah
epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. [ 3,4,5]
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh: a) rambut (vibrissae) pada vesti bulum nasi, b) silis, c) palut lender. Debu dan
bakteri akan melekat pada palut lender dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin. [ 3,4,5,7 ]

Fungsi penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghidu dan pencecep dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pencecep adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan, seperti perbedaan rasa
manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal
dari cuka dan asam jawa. [ 3,4,5,7 ]

Fungsi fonetik
Resonasi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan bernyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonasi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rinolalia). Hidung membantu pembentukkan konsonan nasal (m, n, ng), rongga
mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara. [ 3,4,5,7 ]

9
Gambar 4. Sistem olfaktoris

RINITIS

RINITIS AKUT

1. Rinitis virus

Rinitis virus terbagi 3, yaitu:

Rinitis simplek (pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza)

Etiologi. Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui
droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara lain, adenovirus,
picovirus, dan subgrupnya seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa
inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam 2-3 minggu.

Gambaran klinis. Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung, lalu segera
diikuti dengan hidung tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien
merasa dingin, dan terdapat demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan
membengkak. Awalnya, secret hidung (ingus) encer dan sangat banyak. Tetapi bisa
jadi mukopurulen bila terdapat invasi sekunder bakteri, seperti Streptococcus

10
Haemolyticus, pneumococcus, staphylococcus, Haemophillus Influenzae, Klebsiella
Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.

Pengobatan. Tirah baring sangat diperlukan untuk mencegah penyakit semakin berat.
Pasien disarankan minum air lebih dari biasanya. Gejala-gejalanya dapat diatasi
dengan pemberian antihistamin dan dekongenstan. Analgesikberguna untuk mengatasi
sakit kepala, demam dan myalgia. Analgesik yang tidak mengandung aspirin lebih
dianjurkan karena aspirin dapat menyebabkan virus semakin berkembang biak.
Antibiotik diberikan bila terdapat infeksi sekunder bakteri.

Komplikasi. Rinitis akut biasanya dapat sembuh sendiri (self-limiting) dan membaik
secara spontan setelah 2-3 minggu, tetapi kadang-kadang, komplikasi seperti sinusitis,
faringitis, tonsiitis, bronchitis, pneumonia dan otitis media dapat terjadi.

Rinitis Influenza

Virus influenza A,B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan gejalanya mirip
denagn common cold. Komplikasi sehubungan dengan infeksi bakteri sering terjadi.

Rinitis Eksantematous

Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rinitis, dimana
didahului dengan eksantemanya sekita 2-3 hari. Infeksi sekunder dan komplikasi lebih
sering dijumpai dan lebih berat.

2. Rinitis Bakteri

Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu:

Infeksi Non-spesifik

Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder.

Rinitis bakteri primer. Tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi
pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus. Membrane putih keabu-abuan
yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung, yang apabila diangkat dapat
menyebabkan pendarahan.

Rinitis bakteri sekunder. Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rinitis viral akut

11
Rinitis difteri

Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis difteri dapat bersifat
primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan dapat terjadi dalam bentuk
akut atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada penderita dengan
riwayat imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena
cakupan program imunisasi yang semakin meningkat. Gejala rinitis akut ialah demam,
toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin ada paralisis otot pernafasan. Pada
hidung ada ingus yang bercampur darah. Membrane keabu-abuan tampak menutup
konka inferior dan kavum nasi bagian bawah, membrannya lengket dan bila diangkat
dapat terjadi perdarahan. Ekskoriasi berupa krusta coklat pada nares anterior dan bibir
bagian atas dapat terlihat. Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin sistemik, dan
antitoksin difteri.

3. Rinitis Iritan

Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat
iritatifseperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Atau bisa juga disebabkan oleh
trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa manipulasi intranasal,contohnya pada
pengangkatan corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang
disebut dengan immediate catarrhal reaction bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung
tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab atau dapat
menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan bergantung
pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi karenanya.

Tanda dan Gejala

Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit dibedakan antara tipe
yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung, bersin,
hidung tersumbat, dan terdapatnya ingus yang encer hingga mukopurulen. Mukosa hidung
dan konka berubah warna menjadi hiperemis dan edema. Biasanya diikuti juga dengan gejala
sistemik seperti demam, malaise dan sakit kepala.23

Pada rinitis influenza, gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit pada otot.
Pada rinitis eksantematous, gejala terjadi sebelum tanda karekteristik atau ruam muncul.
Ingus yang sangat banyak dan bersin dapat dijumpai pada rinitis iritan.

12
Diagnosis

Rinitis akut umumnya didiagnosis dari gambaran klinisnya. Walaupun pada dasarnya
memiliki tanda dan gejala yang hampir sama, tetapi terdapat juga beberapa karekteristik yang
khas membedakannya. Pada rinitis bakteri difteri, diagnosis pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan kuman dari secret hidung.23

Terapi dan Pencegahan

Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan setelah
kurang lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan lebih bersifat
simptomatik, seperti analgetik, antipiretik, nasal dekongestan dan antihistamin disertai
dengan istirehat yang cukup. Terapi khusus tidak diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi
seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik perlu diberikan.23,24,25

Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis akut adalah dengan
menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat. Dengan begitu dapat terbentuknya system imuitas
yang optimal yang dapat melindungi tubuh dari serangan za-zat asing. Istirehat yang cukup,
mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan olahraga yang teraturjuga baik untuk
menjaga kebugaran tubuh. Selain itu, mengikuti program imunisasi lengkap juga dianjurkan,
seperti vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis eksantematous.25

RINITIS KRONIK
Rhinitis Hipertrofi
Etiologi
Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan sinus atau
sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor. 8
Manifestasi Klinis
Gejala utama adalah sumbatan hidung. Sekret biasanya banyak, mukopurulen dan
sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi, permukaannya berbenjol-benjol
ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi. 8

13
Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis hipertrofi.
Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam trikloroasetat) atau dengan
kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan konkotomi. 8

Rinitis Sika
Etiologi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di lingkungan
yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan anemia, peminum alkohol, dan
gizi buruk. 8

Manifestasi Klinis

Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien
mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadang-kadang disertai epitaksis. 8

Terapi

Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung. 8

Rhinitis Difteri
Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae.

Manifestasi klinis

Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis, sekret hidung
bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, terdapat krusta
coklat di nares dan kavum nasi. Sedangkan rhinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan.

Terapi

Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin lokal, dan
intramuskular.

14
Rhinitis Atrofi

Etiologi
Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu infeksi kuman
Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis kronis, kelainan hormonal, dan
penyakit kolagen. 26

Manifestasi Klinis

Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang hidung. Mukosa
hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang
berbau busuk. Keluhan biasanya nafas berbau, ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau,
gangguan penghidu, sakit kepala, dan hidung tersumbat. 26

Terapi

Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan antibiotika berspektrum


luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe. Jika tidak ada perbaikan, maka dilakukan
operasi penutupan lubang hidung untuk mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa
menjadi normal kembali. 26

Rhinitis Sifilis

Etiologi
Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum. 26

Manifestasi Klinis
Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut lainnya. Hanya
pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa. Sedangkan pada rhinitis sifilis tertier
ditemukan gumma atau ulkus yang dapat mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang
dihasilkan merupakan sekret mukopurulen yang berbau. 26

Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung. 26

15
Rhinitis Tuberkulosa
Etiologi
Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis. 26

Manifestasi Klinis

Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang mukopurulen dan
krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk noduler atau ulkus, jika mengenai tulang
rawan septum dapat mengakibatkan perforasi26

Terapi

Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung. 26

Rhinitis Lepra

Etiologi

Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae. 26

Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau, dan produksi sekret
yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena adanya destruksi tulang dan kartilago
hidung. 26

Terapi

Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin, dan clofazimin
selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup. 26

16
Rhinitis Jamur

Etiologi

Penyebab rhinitis jamur diantaranya adalah Aspergillus yang menyebabkan aspergilosis,


Rhizopus oryzae yang menyebabkan mukormikosis, dan Candida yang menyebabkan
kandidiasis. 26

Manifestasi Klinis

Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna hijau kecoklatan.
Pada mukomikosis biasanya pasien datang dengan keluhan nyeri kepala, demam,
oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis paranasalis, dan sekret hidung yang pekat, gelap,
dan berdarah. 26

Terapi

Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat cuci hidung. 26

Rinitis alergi

Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik
tersebut (von Pirquet, 1986). 8

Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 8

Pasien dengan rhinitis alergi juga dapat mengalami penurunan kualitas hidup. Hal ini
diakibatkan karena gangguan tidur yang ditimbulkan, gangguan dalam belajar maupun
bekerja. Rhinitis alergi juga sering berhubungan dengan komorbiditas lain, seperti asthma,
konjungtivitis dan rhinosinusitis.9

17
Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang
secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki
peran penting. Pada 20 30% semua populasi dan pada 10 15% anak semuanya atopi.
Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai
50%. Peran lingkungan dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh
lingkungan, terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi.8

Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama
udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk
sari, dan lain-lain.8

Epidemiologi
Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi,
diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rhinitis alergi telah menjadi problem kesehatan
global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia. Rhinitis alergi
juga telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien datang berobat ke dokter. Namun,
prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya pasien yang
mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak terhitung
pada survey resmi.

Patofisilogi
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-self"
yang berpasangan dengan memory. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh melibatkan limfosit
T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang bertindak di dalam dan di luar
sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem tersebut dan juga beraneka ragam
mediator. Gell dan Coombs menggambarkan empat jenis reaksi hipersensitivitas: langsung,
sitotoksik, komplek imun, dan tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi
(rangsangan antibodi dan antibodi-dependent, sitotoksisitas dimediasi sel). Namun, rhinitis

18
alergi melibatkan terutama jenis ,Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena
berbagai terapi modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk
memiliki pemahaman umum tentang hal tersebut.10

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas)
setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam. 8

Gambar 5. Reaksi Alergi

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. 8

Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0).

19
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 8

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator
kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4
(LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai
sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)
dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). 8

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga


menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1(ICAM 1). 8

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah
pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi
seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta pengingkatan
sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-
CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung
adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein(E DP ), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik

20
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi. 8

Gambaran histopatologik
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan
pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang
interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada
jaringan mukosa dan submukosa hidung. 8

Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten)
sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi
proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. 8

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 8

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan


Misalnya: tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan
serta jamur.

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan


Misalnya: susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-
kacangan.

2. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan


Misalnya: penisilin dan sengatan lebah.

3. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa
Misalnya: bahan kosmetik, perhiasan.

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran, sehingga
memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang member gejala asma bronchial
dan rhinitis alergi. 8

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari: 8

21
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi
respon tersier.

3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.

Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)


Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara
yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau
rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan
mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

2. Rinitis alergi sepanjangt ahun (perenial)


Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa
variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling
sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah (indoor) dan alergen luar
rumah (outdoor). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur. Alergen
ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya disertai dengan
gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan

22
musiman tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering
ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 8

1. Intermiten (kadang-kadang)
Bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 8

1. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi dihadapan
pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis
alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya bersin
merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak
dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila
terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC
dan kadang-kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. 8
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi.
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang

23
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang
diutarakan oleh pasien.8 Gejala klinis lainnya dapat berupa popping of the ears,
berdeham, dan batuk-batuk lebih jarang dikeluhkan.11

Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas tersedia.
Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah
mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini
disebut allergic shiner.8
Selain dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena
gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan
menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease.8
Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior
faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral
faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue). 8

Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA
(Enzyme Linked Immuno SorbentAssay Test). 8

Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,


tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam
jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap)

24
mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN
menunjukkan adanya infeksi bakteri.8

b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. 8

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan provokasi
(Challenge Test).8

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.
Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien
setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet
eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu
ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan. 8

Diagnosis banding
Diagnosa banding dari rhinitis alergi adalah sebagai berikut:8,12

1. Rhinitis Non-alergik
Rhinitis non-alergik adalah suatu keadaan inflamasi hidung yang
disebabkan oleh selain alergi. Keadaan ini tidak dapat diidentifikasi dengan
pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi IgE
spesifik serum).

Kelainan ini dapat bermacam-macam bergantung dari penyebabnya,


antara lain:

- rhinitis vasomotor
- rhinitis gustator

25
- rhinitis medikamentosa
- rhinitis hormonal

2. Immotile cilia syndrome (ciliary dyskinesis)


Diskinesia Silia Primer (PCD, juga disebut sindrom immotile-silia)
ditandai oleh penurunan nilai bawaan dari clearance mukosiliar (PKS).
Manifestasi klinis termasuk batuk kronis, rinitis kronis, dan sinusitis kronis.
Otitis dan otosalpingitis yang umum di masa kanak-kanak, seperti juga
poliposis hidung dan agenesis sinus frontalis.13

Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan allergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi. 8
2. Medikamentosa
a. Antihistamin
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang
bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan
merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini
pertama pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau
tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. 8,11
Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin
generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1
bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai
efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk
kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin,
siproheptadin, sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar
darah otak. Bersifat selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak
mempunyai efek antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP
minimal (non-sedatif). 8,11
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta
efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat.

26
Antihistamin non sedative dapat dibagi menjadi dua golongan menurut
keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang
mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan
repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan aritmia ventrikel,
henti jantung dan bahkan kematia medadak (sudah ditarik dari peredaran).
Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan
levosetirisin. 8
Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai
sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa. 8

Tabel 1. Antihistamin oral optimal untuk rhinitis alergi

Tabel 2. Efek samping sedasi dari antihistamin

27
b. Dekongestan
Golongan obat ini tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik.
Onset obat topikal jauh lebih cepat daripada preparat sistemik., namun dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa bila digunakan dalam jangka waktu
lama.11
Obat dekongestan sistemik yang sering digunakan adalah
pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat ini dapat
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah. Dosis obat ini 15 mg untuk
anak 2-5 tahun, 30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa,
diberikan setiap 6 jam. Efek samping dari obat-obatan ini yang paling sering
adalah insomnia dan iritabilitas. 11
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide,
bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor. 8
d. Kortikosteroid
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung
akibat respon fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering
dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal
bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah
pengeluaran protei n sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak
hiperresponsif terhadap rangsangan allergen (bekerja pada respon cepat dan
lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit
(mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat.
Pada respons fase lambat, obat ini juga menghambat proses inflamasi dengan
menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat
dicapai bila diberikan sebagai profilaksis. 8
e. Lainnya
Pengobatan baru lainnya untuk riniris alergi adalah anti leukotrien
(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan. 8

28
Menurut penelitian yang dilakukan pada tahun 2006, membuktikan
bahwa pseudoephedrine dan montelukast memiliki efek yang serupa dalam
mengatasi gejala dan memperbaiki kualitas hidup pasien. 14

3. Operatif
Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),
konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kaeuterisasi
memakai AgNO3 25% atau triklor asetat8
4. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG blocking
antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu
intradermal dan sublingual. 8

Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah: 8

1. Polip hidung.
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.


3. Sinusitis paranasal.

Rinitis vasomotor

Gangguan vasomotor hidung adalah terdapatnya gangguan fisiologik lapisan mukosa


hidung yang disebabkan oleh bertambahnya aktivitas parasimpatis. 8 Rinitis vasomotor adalah
gangguan pada mukosa hidung yang ditandai dengan adanya edema yang persisten dan
hipersekresi kelenjar pada mukosa hidung apabila terpapar oleh iritan spesifik. Kelainan ini

29
merupakan keadaan yang non-infektif dan non-alergi. Rinitis vasomotor disebut juga dengan
vasomotor catarrh, vasomotor rinorrhea, nasal vasomotor instability, non spesific allergic
rhinitis, non - Ig E mediated rhinitis atau intrinsic rhinitis. 8,15-17
Rinitis vasomotor mempunyai gejala yang mirip dengan rinitis alergi sehingga sulit
untuk dibedakan. Pada umumnya pasien mengeluhkan gejala hidung tersumbat, ingus yang
banyak dan encer serta bersin-bersin walaupun jarang. 8
Etiologi yang pasti belum diketahui, tetapi diduga sebagai akibat gangguan
keseimbangan fungsi vasomotor dimana sistem saraf parasimpatis relatif lebih dominan.
Keseimbangan vasomotor ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang berlangsung temporer,
seperti emosi, posisi tubuh, kelembaban udara, perubahan suhu luar, latihan jasmani dan
sebagainya, yang pada keadaan normal faktor-faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan
oleh individu tersebut. 8
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan THT serta
beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan kemungkinan jenis rinitis lainnya. 15
Penatalaksanaan rinitis vasomotor bergantung pada berat ringannya gejala dan dapat dibagi
atas tindakan konservatif dan operatif. 16,17

Epidemiologi
Sebanyak 30 60 % dari kasus rinitis sepanjang tahun merupakan kasus rinitis
vasomotor dan lebih banyak dijumpai pada usia dewasa terutama pada wanita. Walaupun
demikian insidens pastinya tidak diketahui. Biasanya timbul pada dekade ke 3 4. Secara
umum prevalensi rinitis vasomotor bervariasi antara 7 21%.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Jessen dan Janzon ( 1989 ) dijumpai
sebanyak 21% menderita keluhan hidung non alergi dan hanya 5% dengan keluhan hidung
yang berhubungan dengan alergi. Prevalensi tertinggi dari kelompok non alergi dijumpai
pada dekade ke 3. 17
Sibbald dan Rink ( 1991 ) di London menjumpai sebanyak 13% dari pasien,
menderita rinitis perenial dimana setengah diantaranya menderita rinitis vasomotor. 17
Sunaryo, dkk ( 1998 ) pada penelitiannya terhadap 2383 kasus rinitis selama 1 tahun di RS
Sardjito Yogyakarta menjumpai kasus rinitis vasomotor sebanyak 33 kasus ( 1,38 % )
sedangkan pasien dengan diagnosis banding rinitis vasomotor sebanyak 240 kasus ( 10,07 %
). 18

30
Etiologi
Etilogi pasti rinitis vasomotor belum diketahui dan diduga akibat gangguan keseimbangan
sistem saraf otonom yang dipicu oleh zat-zat tertentu. 8,17

Beberapa faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor : 8,17

obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, seperti ergotamin,
chlorpromazin, obat anti hipertensi dan obat vasokonstriktor topikal.
faktor fisik, seperti iritasi oleh asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang
tinggi dan bau yang merangsang.
faktor endokrin, sepeti keadaan kehamilan, pubertas, pemakaian pil anti hamil dan
hipotiroidisme.
faktor psikis, seperti stress, ansietas dan fatigue.

Patofisiologi
Sistem saraf otonom mengontrol aliran darah ke mukosa hidung dan sekresi dari
kelenjar. Diameter resistensi pembuluh darah di hidung diatur oleh sistem saraf simpatis
sedangkan parasimpatis mengontrol sekresi kelenjar. Pada rinitis vasomotor terjadi disfungsi
sistem saraf otonom yang menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis yang disertai
penurunan kerja saraf simpatis. Baik sistem simpatis yang hipoaktif maupun sistem
parasimpatis yang hiperaktif, keduanya dapat menimbulkan dilatasi arteriola dan kapiler
disertai peningkatan permeabilitas kapiler, yang akhirnya akan menyebabkan transudasi
cairan, edema dan kongesti. 17
Teori lain mengatakan bahwa terjadi peningkatan peptide vasoaktif dari selsel
seperti sel mast. Termasuk diantara peptide ini adalah histamin, leukotrin,
prostaglandin, polipeptide intestinal vasoaktif dan kinin. Elemen-elemen ini tidak
hanya mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, tetapi
juga meningkatkan efek asetilkolin dari sistem saraf parasimpatis terhadap sekresi
hidung, yang menyebabkan rinore. Pelepasan peptide-peptide ini tidak diperantarai
oleh Ig-E (non-Ig E mediated) seperti pada rinitis alergi. 19
Adanya reseptor zat iritan yang berlebihan juga berperan pada rinitis
vasomotor. Banyak kasus yang dihubungkan dengan zat-zat atau kondisi yang
spesifik. Beberapa diantaranya adalah perubahan temperatur atau tekanan udara,

31
perfume, asap rokok, polusi udara dan stress ( emosional atau fisikal ). 19 Dengan demikian,
patofisiologi dapat memandu penatalaksanaan rinitis
vasomotor yaitu : 16,19
1. meningkatkan perangsangan terhadap sistem saraf simpatis
2. mengurangi perangsangan terhadap sistem saraf parasimpatis
3. mengurangi peptide vasoaktif
4. mencari dan menghindari zat-zat iritan.

Patogenesis
Rinitis vasomotor merupakan suatu kelainan neurovaskular pembuluh-pembuluh
darah pada mukosa hidung, terutama melibatkan sistem saraf parasimpatis. Tidak dijumpai
alergen terhadap antibodi spesifik seperti yang dijumpai pada rinitis alergi. Keadaan ini
merupakan refleks hipersensitivitas mukosahidung yang non spesifik. Serangan dapat
muncul akibat pengaruh beberapa faktor pemicu. 18
1. Latar belakang 15
adanya paparan terhadap suatu iritan -> memicu ketidakseimbangan sistem saraf
otonom dalam mengontrol pembuluh darah dan kelenjar pada mukosa hidung ->
vasodilatasi dan edema pembuluh darah mukosa hidung -> hidung tersumbat dan
rinore.
disebut juga rinitis non-alergi ( nonallergic rhinitis )
merupakan respon non spesifik terhadap perubahan perubahan
lingkungannya, berbeda dengan rinitis alergi yang mana merupakan respon
terhadap protein spesifik pada zat allergennya.
tidak berhubungan dengan reaksi inflamasi yang diperantarai oleh IgE ( IgE-
mediated hypersensitivity )
2. Pemicu ( triggers ) : 20
alkohol
perubahan temperatur / kelembapan
makanan yang panas dan pedas
bau bauan yang menyengat ( strong odor )
asap rokok atau polusi udara lainnya
faktor faktor psikis seperti : stress, ansietas
penyakit penyakit endokrin
obat-obatan seperti anti hipertensi, kontrasepsi oral

32
Gejala klinis
Gejala yang dijumpai pada rinitis vasomotor kadang-kadang sulit dibedakan
dengan rinitis alergi seperti hidung tersumbat dan rinore. Rinore yang hebat dan bersifat
mukus atau serous sering dijumpai. Gejala hidung tersumbat sangat bervariasi yang dapat
bergantian dari satu sisi ke sisi yang lain, terutama sewaktu perubahan posisi. 8 Keluhan
bersin-bersin tidak begitu nyata bila dibandingkan dengan rinitis alergi dan tidak terdapat rasa
gatal di hidung dan mata. Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh
karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, dan juga oleh karena asap rokok
dan sebagainya. 8 Selain itu juga dapat dijumpai keluhan adanya ingus yang jatuh ke
tenggorok ( post nasal drip ). 20 Berdasarkan gejala yang menonjol, rinitis vasomotor
dibedakan dalam 2 golongan, yaitu golongan obstruksi ( blockers ) dan golongan rinore (
runners / sneezers ). Prognosis pengobatan golongan obstruksi lebih baik daripada golongan
rinore. Oleh karena golongan rinore sangat mirip dengan rinitis alergi, perlu anamnesis dan
pemeriksaan yang teliti untuk memastikan diagnosisnya. 8

Diagnosis
Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi keseimbangan vasomotor dan
disingkirkan kemungkinan rinitis alergi.1 Biasanya penderita tidak mempunyai riwayat alergi
dalam keluarganya dan keluhan dimulai pada usia dewasa. 8,20
Beberapa pasien hanya mengeluhkan gejala sebagai respon terhadap paparan zat
iritan tertentu tetapi tidak mempunyai keluhan apabila tidak terpapar. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak gambaran klasik berupa edema mukosa hidung, konka hipertrofi
dan berwarna merah gelap atau merah tua (karakteristik), tetapi dapat juga dijumpai berwarna
pucat. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol ( tidak rata ). Pada rongga hidung terdapat
sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinore, sekret yang ditemukan
bersifat serosa dengan jumlah yang banyak. Pada rinoskopi posterior dapat dijumpai post
nasal drip.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Test
kulit ( skin test ) biasanya negatif, demikian pula test RAST, serta kadar Ig E total dalam
batas normal. Kadang- kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi
dalam jumlah yang sedikit. Infeksi sering menyertai yang ditandai dengan adanya sel
neutrofil dalam sekret. 8, 20

33
Pemeriksaan radiologik sinus memperlihatkan mukosa yang edema dan mungkin tampak
gambaran cairan dalam sinus apabila sinus telah terlibat. 8
Tabel 3. Gambaran klinis dan pemeriksaan pada rinitis vasomotor
Riwayat penyakit - Tidak berhubungan dengan
musim
- Riwayat keluarga ( - )
- Riwayat alergi sewaktu
anak-anak ( - )
- Timbul sesudah dewasa
- Keluhan gatal dan bersin ( -
)
Pemeriksaan THT - Struktur abnormal ( - )
- Tanda tanda infeksi ( - )
- Pembengkakan pada
mukosa ( + )
- Hipertrofi konka inferior
sering dijumpai
Radiologi X Ray / CT - Tidak dijumpai bukti kuat
keterlibatan
sinus
- Umumnya dijumpai
penebalan mukosa
Bakteriologi - Rinitis bakterial ( - )
Test alergi Ig E total - Normal
Prick Test - Negatif atau positif lemah
RAST - Negatif atau positif lemah

Diagnosis banding20
1. Rinitis alergi

2. Rinitis infeksi

34
Rinitis alergi Rinitis vasomotor

Mulai serangan Belasan tahun Dekade ke 3 4

Riwayat terpapar allergen ( -


Riwayat terpapar allergen (+)
)

Reaksi Ag - Ab terhadap Reaksi neurovaskuler


Etiologi
rangsangan spesifik terhadap beberapa
rangsangan mekanis atau
kimia, juga faktor psikologis

Gatal & bersin Menonjol Tidak menonjol

Gatal dimata Sering dijumpai Tidak dijumpai

Test kulit Positif Negatif

Sekret hidung Peningkatan eosinofil Eosinofil tidak meningkat

Eosinofil darah Meningkat Normal

Ig E darah Meningkat Tidak meningkat

Tidak membantu Membantu


Neurektomi n. vidianus
Tabel 4. Perbandingan rinitis alergi dan rinitis vasomotor

Penatalaksanaan
Pengobatan rinitis vasomotor bervariasi, tergantung kepada faktor penyebab dan gejala yang
menonjol.
Secara garis besar, pengobatan dibagi dalam : 8,20
1. Menghindari penyebab / pencetus ( Avoidance therapy )
2. Pengobatan konservatif ( Farmakoterapi ) :

35
i. Dekongestan atau obat simpatomimetik digunakan untuk mengurangi
keluhan hidung tersumbat. Contohnya : Pseudoephedrine dan
Phenylpropanolamine ( oral ) serta Phenylephrine dan Oxymetazoline (
semprot hidung ).
ii. Anti histamin : paling baik untuk golongan rinore.
iii. Kortikosteroid topikal mengurangi keluhan hidung tersumbat, rinore dan
bersin-bersin dengan menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan oleh
mediator vasoaktif. Biasanya digunakan paling sedikit selama 1 atau 2
minggu sebelum dicapai hasil yang memuaskan. Contoh steroid topikal :
Budesonide, Fluticasone, Flunisolide atau Beclomethasone
iv. Anti kolinergik juga efektif pada pasien dengan rinore sebagai keluhan
utamanya. Contoh : Ipratropium bromide ( nasal spray )
3. Terapi operatif ( dilakukan bila pengobatan konservatif gagal ) :
Kauterisasi konka yang hipertrofi dengan larutan AgNO3 25% atau
triklorasetat pekat ( chemical cautery ) maupun secara elektrik
(electrical cautery).
Diatermi submukosa konka inferior ( submucosal diathermy of the
inferior turbinate )
Bedah beku konka inferior ( cryosurgery )
Reseksi konka parsial atau total (partial or total turbinate resection)
Turbinektomi dengan laser ( laser turbinectomy )
Neurektomi n. vidianus ( vidian neurectomy ), yaitu dengan melakukan
pemotongan pada n. vidianus, bila dengan cara diatas tidak
memberikan hasil. Operasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
keluhan rinore yang hebat. Terapi ini sulit dilakukan, dengan angka
kekambuhan yang cukup tinggi dan dapat menimbulkan berbagai
komplikasi

Simptom Jenis terapi Prosedur

- Kauterisasi konka ( chemical atau


Obstruksi hidung Reduksi konka
electrical )
- Diatermi sub mukosa

36
- Bedah beku ( cryosurgery )

- Turbinektomi parsial atau total


Reseksi konka
- Turbinektomi dengan laser ( laser

turbinectomy )

- Eksisi nervus vidianus


Rinore Vidian
neurectomy - Diatermi nervus vidianus

Tabel 5. Terapi operatif terhadap rinitis vasomotor


Komplikasi20
1. Sinusitis
2. Eritema pada hidung sebelah luar
3. Pembengkakan wajah
Prognosis
Prognosis dari rinitis vasomotor bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat membaik dengan
tiba tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang diberikan. 20

Rinitis medikamentosa

Definisi

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung yang berupa gangguan respons
normal vasomotor. Kelainan ini merupakan akibat dari pemakaian vasokontriktor topikal
seperti obat tetes hidung atau obat semprot hidung dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Istilah rinitis mendikamentosa ini
pertama kali dikenalkan oleh Lake pada tahun 1946. [21,22]

Etiologi

Penyakit rinitis medikamentosa disebabkan oleh pemakaian obat sistemis yang


bersifat sebagai antagonis adreno-reseptor alfa seperti anti hipertensi dan psikosedatif .
Selain itu aspirin, derivat ergot, pil kontrasepsi , dan anti cholinesterasi yang digunakan
secara berlebihan juga dapat menyebabkan gangguan hidung. Obat vasokonstriktor topikal
sebaiknya isotonik dengan sekret hidung yang normal, dengan pH antara 6,3 dan 6,5, serta

37
pemakaiannya tidak lebih dari satu minggu. Jika tidak, akan terjadi kerusakan pada mukosa
hidung berupa:[3]

1. Silia rusak 5. Stroma tampak edema


2. Sel goblet berubah ukurannya 6. Hipersekresi kelenjar mukus
3. Membran basal menebal 7. Lapisan submukosa menebal
4. Pembuluh darah melebar 8. Lapisan periostium menebal

Antihipertensi Phosphodiesterase type 5 Hormon


inhibitors

Amiloride Sildenafil Estrogen


Angiotensin- Tadalafil Eksogenous
converting enzyme Vardenafil Pil kontrasepsi
inhibitors
-blockers
Chlorothiazide
Clonidine
Hydralazine
Hydrochlorothiazide
Prazosin
Reserpine

Anti-nyeri Psikotropik Lain- lain

Aspirin Chlordiazepoxide- Kokain


NSAIDs amitriptyline Gabapentin
Chlorpromazine
Risperidone
Thioridazine
Tabel 6 : Obat yang menyebabkan Drug-Induced Rhinitis

38
Dekongestan Imidazolines

Simpatomimetik :
Amfetamin Klonidin
Benzedrine Naphazolin
Kafein Oxymetazolin
Ephedrin Xylometazolin
Mescalin
Phenylephrin
Phenylpropanolamin
Pseudoephedrin

Tabel 7 : Dekongestan yang menyebabkan Rhinitis Medikamentosa

Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang amat peka terhadap rangsangan atau iritan
sehingga harus berhati hati dalam mengkonsumsi obat vasokonstriksi topikal dari golongan
simptomatik yang dapat mengakibatkan terganggunya siklus nasal dan akan berfungsi
kembali dengan menghentikan pemakaian obat. Pemakaian vasokonstriktor topikal yang
berulang dalam waktu lama, akan mengakibatkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound
dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga menimbulkan terjadinya obstruksi atau
penyumbatan. Dengan adanya gejala obstruksi hidung ini menyebabkan pasien lebih sering
dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut sehingga efek vasokonstriksi berkurang, pH
hidung berubah dan aktivitas silia terganggu, sedangkan efek balik akan menyebabkan
obstruksi hidung lebih hebat dari keluhan sebelumnya. Bila pemakaian obat diteruskan akan
menyebabkan dilatasi dan kongesti jaringan. Kemudian terjadi pertambahan mukosa jaringan

39
dan rangsangan selsel mukoid, sehingga sumbatan akan menetap dengan produksi sekret
yang berlebihan. 3

Selain itu, terdapat juga hipotesis bahwa rhinitis medikamentosa terjadi sebagai akibat
berkurangnya produksi nor-epinefrin simpatetik endogen menerusi jalur umpan balik negatif.
Dengan penggunaan dekongestan dalam jangka waktu yang lama, saraf simpatetik tidak bisa
berfungsi untuk mempertahankan vasokonstriksi karena pelepasan nor-epinefrin yang
ditekan. 3

Manifestasi klinis

Keluhan utama pasien adalah hidung tersumbat secara terus menerus tanpa
mengeluarkan sekret. Penampakan pada pemeriksaan fisis bagi rhinitis medikamentosa tidak
jauh bedanya dengan infeksi atau rhinitis alergi. Mukosa hidung kelihatan kemerahan
( beefy-red ) dengan area bercak pendarahan dan sekret yang minimal atau udem. Selain itu
juga, mukosanya bisa tampak pucat dan udem, juga bisa menjadi atrofi dan berkrusta
disebabkan penggunaan dekongestan hidung dalan jangka waktu yang lama. 3,7

Diagnosis

Kriteria bagi diagnosis Rhinitis Medikamentosa adalah :- 3,7

i. Riwayat pemakaian vasokontriktor topikal seperti obat tetes hidung atau obat semprot
hidung dalam waktu lama dan berlebihan.
ii. Obstruksi hidung yang berterusan ( kronik ) tanpa pengeluaran sekret atau bersin.
iii. Ditemukan mukosa hidung yang menebal pada pemeriksaan fisis.

Rhinitis medikamentosa sering terjadi disebabkan oleh kondisi medis lainnya yang
menyebabkan penggunaan dekongestan. Jadi, penting untuk menjalankan beberapa
pemeriksaan lainnya untuk mengidentifikasi kondisi medis lainnya yang berpotensi untuk
diobati. Di antara pemeriksaannya adalah uji tusuk bagi pasien yang mempunyai riwayat
rhinitis alergi, uji aspirin bagi pasien yang mempunyai trias ASA dan pemeriksaan rinoskopi
untuk mengidentifikasi deviasi septal, abnormalitas struktur anatomi dan juga polip hidung.
3,7,21,22

40
Diagnosis banding

Diagnosis banding untuk Rinitis Medikamentosa adalah :- 21


i. Rinitis Alergi
ii. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Rhinitis
iii. Polip Nasi
iv. Rinitis Non-Alergi
v. Rhinosinusitis

Penatalaksanaan

Jika rinitis medikamentosa dikenal pasti akibat penggunaan dekongentan topikal,


maka pasien harus dinasihatkan agar segera dihentikan penggunaannya. Pasien juga harus
diberi edukasi mengenai keluhan yang dialami dan diberikan pengobatan alternatif lainnya
bagi menggantikan obat yang menyebabkan terjadinya sumbatan hidung pada pasien. 3,8,22

Penghentian penggunaan secara mendadak dapat menyebabkan rebound swelling dan


kongesti. Beberapa obat telah dikenalpasti bagi mengatasi masalah ini yaitu dengan
menggunakan Cromolyn, sedatif / hipnotik, semprotan hidung yang menggunakan larutan
saline. Adenosin trifosfat oral, obat tetes deksametason dan obat tetes triamcinolon juga
membantu dalam usaha menyembuhkan pasien. 3,8,22

Menurut penelitian, kombinasi antihistamin oral dengan dekongestan bersama


penggunaan deksametason intranasal juga direkomendasikan buat pengobatan rhinitis
medikamentosa. Pada penelitian lainnya, injeksi kortikosteroid ( triamsinolone asetat 20 mg
pada turbinasi anterior juga mampu mengurangkan kongesti hidung. Glukokortikosteroid
intranasal ( semprotan deksametason sodium fosfat / budesonide ). 3,8,22

Komplikasi

Hampir semua pasien pada akhirnya bisa menghentikan penggunaan obat tetes
hidung dengan penyembuhan sempurna. Pada pasien yang tidak bisa menghentikan
penggunaannya, menurut penelitian dapat terjadi hiperplasia menetap yang memerlukan
intervensi yang bervariasi dari elektrokauter submukosa atau kryoterapi untuk mengurangkan
destruksi turbinasi melalui penggunaan laser dan reseksi bedah. Komplikasi lainnya yang
dapat terjadi adalah seperti perforasi septum, rinitis atropi dan infeksi sinus. 8

41
Prognosis

Penelitian menunjukkan bahwa hampir semua pasien bisa menghentikan penggunaan


obat tetes hidung dan akhirnya menunjukkan penyembuhan yang sempurna. Bagi yang tetap
menggunakan obat tersebut, fenomena kongesti rebound ini akan tetap berlangsung selagi
pasien tidak menghentikan pengobatan tersebut. 8

42
BAB III

KESIMPULAN

Rinitis adalah masalah yang signifikan dalam kesehatan individu, dan timbul dengan
gejala hidung tersumbat, rhinorrhea, gatal hidung. Rinitis berkaitan dengan berbagai
penyakit antara lain rhinosinusitis, asma dan otitis media. Rinitis akut merupakan penyebab
morbiditas yang signifikan, walaupun sering dianggap sepele oleh para prektisi. Gejala-gejala
rinitis akut secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pasien karena gejala-gejala
sistemik yang turut menyertainya, seperti fatigue, sakit kepala dan gangguan kognitif. Rinitis
akut merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri secara spontan setelah kurang lebih 12
minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan adalah bersifat simptomatik seperti
analgesic, antipiretik, nasal dekongenstan dan antihistamin. Terapi nonfarmakologi adalah
tirah baring total untuk mendapatkan istirehat yang mencukupi. Terapi khusus tidak
diperlukan, kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik
perlu diberikan.

Tindakan pencegahan yang dapat dilakuakan meliputi istirehat yang cukup,konsumsi


makanan dan minuman yang sehat, olahraga teratur utuk membina system imunisasi yang
optimal. Selain itu dapat juga mengikuti program imunisasi lengkap yang dijalankan oleh
pemerintah.

Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan. Pembagian rhinitis kronis
berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan
oleh peradangan dapat kita temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis
spesifik (difteri, atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur). Sangat penting untuk memeriksa gejala
pada setiap pasien untuk menentukan patofisiologi yang terjadi dalam tiap rinitis dan untuk
merencanakan pengobatan sehingga bisa memudahkan pemulihan dengan efek samping yang
minimal.

43
44
DAFTAR PUSTAKA

1. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University


School of Medicine. Diunduh dari http://nypollencount.com/Articles/Non-
Allergic%20Rhinitis.pdf [diakses tanggal 21 April 2013]
2. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat.
Edisi 4. New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8

3. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [ cited 2011
October 25 ]. Available from URL: http://www.medscape.com
4. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5th Edition. New Delhi :
Elsevier; 2011. p. 180-184
5. Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology, 11th Edition.
New York : Wiley; 2006. p. 847-850
6. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York : Elsevier; 2006. p.
32-36
7. Dhillon R.S, East C.A, eds. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2 nd
Esition. London : Churchill Livingstone; 2000. p. 30-32
8. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam.
2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis.
2005. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
10. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngology Head and Neck
Surgery: Third Edition. 1998. St Louis: Mosby
11. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991.
Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
12. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di:
http://emedicine.medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 10 Januari
2011.

13. Bergstrm SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di:


http://www.uptodate.com/patients/content/topic.do?topicKey=~CDUFGoQw81hSwm
U. Diunduh pada 10 Januari 2011.

45
14. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the
Treatnement of Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
Diunduh pada 8 Januari 2011.

15. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 87
16. Segal S, Shlamkovitch N, Eviatar E, Berenholz L, Sarfaty S, Kessler A. Vasomotor
rhinitis following trauma to the nose. Ann Otorhinolaryng 1999; 108:208-10.
17. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology. Scott-
Browns Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann, 1997. p. 4/9/1
17.
18. Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THT RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XII,
Semarang, 28 - 30 Oktober, 1999.
19. Wainwright M, Gombako LA. Vasomotor Rhinitis :
http://www.medschool.lsuhsc.edu/otor/Vasorhi.htm
20. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A Pocket
Reference. 2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994. p. 210-3.

21. Ramer J.T, Bailen E, Lockey R.F. Rhinitis Medikamentosa, Allergy Clinical
Immunology Journal, Volume 16(3), 2006 : 148-155.
22. Lockey R.F,ed. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose, Allergy Clinical
Immunology Journal, Volume 118, 2006 : 1017-1018.
23. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis, Clinical
Aspecst. 1st Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
24. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
25. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins. Philadelphia.
273-9. 2000.
26. Maran. Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.

46

Anda mungkin juga menyukai