Oleh :
KELAS L
Program Studi S1 Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
Surabaya
2017
A. PERTIMBANGAN INVESTASI PADA AKTIVA TETAP SECARA TUNAI,
KREDIT BANK, LEASING, DAN ANGSURAN
Perlakuan Pajak Sisi Beli Tunai
Alternatif pembelian dengan menggunakan biaya sendiri atau tunai tidak ada
kandungan bunga atau biaya untuk angsuran utang. Berdasarkan keadaan yang ada,
maka dalam alternatif pembelian tunai perhitungan yang dilakukan adalah perhitungan
untuk biaya penyusutan sebagai komponen biaya yang dapat atau diperbolehkan
sebagai pengurang dalam laba atau rugi fiskal.
Karena ada transaksi penyerahan BKP, maka bagi perusahaan pembeli akan
membayarkan PPN Masukan (Pasal 1A Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009)
Transaksi jual-beli ini tidak dikenakan Pajak Penghasilan apapun selama pembelian
asset ini tidak melalui pialang atau dilakukan secara langsung dengan PKP penjual aset
Beban depresiasi atas asset tersebut dapat diakui guna untuk mengurangkan pajak
penghasilan badan
Melalui ketentuan Pasal 9 ayat (2), UU PPh secara tegas menyatakan bahwa
pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan
sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
Pengadaan aktiva mobil pick up secara angsuran terdapat biaya bunga dan biaya
penyusutan yang dapat dijadikan sebagai pengurang penghasilan bruto. Apabila
pembelian secara angsuran dibandingkan dengan pembelian secara tunai maka
pembelian aktiva secara angsuran memiliki komponen biaya yang lebih banyak,
sehingga besarnya biaya yang dikeluarkan dan diakui menurut ketentuan perpajakan
Indonesia akan lebih besar juga. Dengan biaya yang lebih besar, maka penghasilan kena
pajak akan menjadi lebih kecil dan selanjutnya akan diperoleh PPh terutang yang lebih
kecil. Hal inilah yang menjadikan pembelian secara angsuran akan lebih menghemat
pajak dibanding dengan pembelian secara tunai.
Dalam transaksi leasing ada beberapa pihak yang terlibat, antara lain lessor,
lessee, supplier, dan disamping itu transaksi leasing juga sering melibatkan bank dan
perusahaan asuransi.
Di Indonesia dikenal 2 jenis leasing yaitu Financial Lease (Capital Lease) dan
Operating Lease.
Yang kedua, Operating Lease adalah suatu sistem penyewaan dimana pihak
yang menyewakan menyediakan jasa-jasa tertentu seperti asuransi atau pemeliharaan,
syarat-syarat kontraknya biasanya tidak menjamin pihak lessor memperoleh
pengembalian penuh ongkos-ongkos barang modal dan lain sebagainya (non full payout
lease) dan ia menanggung resiko ekonomi dari kepemilikannya itu. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa jenis sewa-guna-usaha ini adalah kontrak sewa-menyewa biasa.
Pihak lessor menyediakan barang modal untuk digunakan oleh lessee selama masa
sewa, dan pihak lessee berkewajiban membayar uang sewa. Pada waktu berakhirnya
masa kontrak, lessee berkewajiban mengembalikan barang modal tersebut.
1. Atas penyerahan jasa dari lessor kepada lessee, dikecualikan dari pengenaan PPN.
2. Tidak ada pemotongan PPh Pasal 23
Perlakuan PPh Bagi Lessor Pada Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi (Pasal 17
Ayat (1) KMK-1169/KMK.01/1991)
1. seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh
lessor merupakan obyek Pajak Penghasilan
2. lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan
tanpa hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan
1984 beserta peraturan pelaksanaannya.
Perlakuan PPh Bagi Lessee Pada Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi (Pasal 17
Ayat (2) KMK-1169/KMK.01/1991)
1. pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee
adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
2. lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-
usaha tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.
Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha tanpa hak opsi dari lessor
kepada lessee, terhutang Pajak Pertambahan Nilai. (Pasal 18 KMK-
1169/KMK.01/1991).
Karena operating lease dipersamakan dengan jasa sewa-menyewa biasa, maka otomatis
operating lease juga menjadi objek pengenaan PPN. Dalam hal ini yang wajib
memungut PPN adalah lessor, terutama bila lessor sudah menjadi Pengusaha Kena
Pajak (PKP). Jadi, lessor harus menambahkan PPN 10% dari nilai angsuran bulanan
yang ditagihkan kepada lessee. Di samping itu, lessor juga harus membuat Faktur
Pajak atas setiap pemungutan PPN tersebut.
Jenis PPh yang harus dipotong lessee bisa berupa PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 ayat
(2). Itu bergantung pada bentuk barang modal yang di-leasing-kan. Bila barang modal
yang di-leasing berbentuk tanah atau bangunan, maka jenis PPh yang harus dipotong
adalah PPh Final Pasal 4 ayat (2). Sementara jika selain tanah maupun bangunan,
PPh yang harus dipotong adalah PPh Pasal 23.
Berdasarkan UU PPN Pasal 4 ayat (3), jasa Sewa-Guna-Usaha bukan merupakan Jasa
Kena Pajak, jadi perusahaan peminjam (Lessee) tidak perlu membayarkan PPN atas
jasa leasing (Tidak perlu PPN Masukan)
Lessee mengakui adanya PPN Masukan ketika pembelian asset dari lessor. Hal ini
dikarenakan BKP tersebut dianggap diserahkan secara langsung dari supplier oleh PKP
Pemasok kepada Lessee
Karena bersifat financial lease, maka asset dapat diakui menjadi milik Lessee, namun
menurut Pasal 14 KMK-1169/KMK.01/1991, depresiasi atas asset tersebut tidak boleh
dikurangkan untuk mengurangi nilai PPh badan yang terhutang
Transaksi ini ini tidak melibatkan PPh pasal 23 mengenai pengenaan atas pemberian
atas suatu jasa
Jika melakukan operating lease, maka kesimpulannya adalah Konsekuensi perusahaan
ketika melakukan keputusan pembelian asset dengan menggunakan model ini yaitu:
1. Dalam Pasal 11 ayat (1) undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dicantumkan
bahwa pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada saat penyerahan Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Jadi
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip dasar akrual (accrual basis),
artinya pajak sudah terhutang pada saat penyerahan meskipun atas penyerahan
tersebut belum atau belum sepenuhnya diterima pembayarannya.
2. Perhitungan bunga yang terjadi dalam penjualan dengan cicilan/angsuran (atau beli-
sewa) pada hakekatnya timbul karena pembayaran tidak dilakukan dengan tunai.
Perhitungan bunga tersebut timbul karena adanya perjanjian pinjaman uang yang
diberikan oleh si penjual kepada pembeli yang dikaitkan dengan penyerahan Barang
Kena Pajak yang bersangkutan.
3. Mengingat Pajak Pertambahan Nilai sudah terhutang pada saat penyerahan,
sepanjang perhitungan bunga tidak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
harga jual, maka Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai
yang terhutang adalah harga jual tunai sebelum diperhitungkan bunga angsuran.
Jadi syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa dalam perjanjian jual-beli dengan
cicilan/angsuran atau perjanjian beli-sewa harus dinyatakan dengan jelas harga
penjualan tunai dari Barang Kena Pajak yang bersangkutan dan perhitungan bunga atas
pinjaman yang diberikan oleh penjual. Dalam rencana pembayaran cicilan/angsuran
(bulanan/triwulan dsb.) agar dicantumkan dengan jelas hutang pokok dan perhitungan
bunganya. Kalau dalam perjanjian jual-beli cicilan/angsuran atau beli-sewa tersebut
tidak dapat dipisahkan jumlah Harga Jual dan perhitungan bunganya, maka bunga
tersebut dianggap sebagai bagian dari Harga Jual, dan Dasar Pengenaan Pajak adalah
Harga Jual termasuk bunga.
a. Metode garis lurus (straight-line method) yaitu metode yang digunakan untuk
menghitung penyusutan yang dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama
masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut.
Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan, perbaikan atau
perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan,
hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu (1)
tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
ditetapkan bagi harta tersebut.
b. Metode saldo menurun (declining-balance method) yaitu metode yang digunakan untuk
menghitung penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus
disusutkan sekaligus.
Metode ini tidak dapat digunakan untuk menghitung penyusutan atas bangunan.
Kelompok 1 4 tahun
Kelompok 2 8 tahun
Kelompok 3 16 tahun
Kelompok 4 20 tahun
Bangunan permanen 5%
PT. Abadi membeli aset tetap berupa mesin, dengan harga perolehan Rp 1.000.000.000,00.
Mesin tersebut dalam aset tetap kelompok 1. Besarnya beban penyusutan dapat dilihat pada
tabel berikut :
1 250.000.000 500.000.000
2 250.000.000 250.000.000
3 250.000.000 125.000.000
4 250.000.000 125.000.000
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa besarnya beban penyusutan per tahun berbeda-beda tetapi pada
akhir masa manfaat (tahun ke-4) jumlah akumulasi penyusutan adalah sama. Sehingga dalam
perpajakan perbedaan besarnya beban penyusutan ini dikenal dengan istilah beda waktu/beda
sementara (timing difference/temporary difference). Walaupun berdasarkan nilai nominal pada
akhir masa manfaat besarnya akumulasi beban penyusutan sama, namun jika ditinjau dari nilai
tunai (present value) jumlahnya akan menjadi berbeda.
Dalam contoh ini, untuk mengetahui nilai tunai (present value) tingkat diskon yang digunakan
adalah 20%. (Lihat tabel).
Metode Penyusutan
1
208.333 500.000.0 416.6 0,83
250.000.000 .333,30 00,00 66.667 3333
1.000.0 722.8
00.000 647.183.642 1.000.000.000,00 97.377
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa mesin yang pada saat perolehannya sebesar Rp
1.000.000.000,00 dan pada akhir masa manfaat (tahun ke-4) dengan discount factor 20%
jumlah nilai tunai (present value) dari akumulasi beban penyusutan mesin dengan
menggunakan metode garis lurus sebesar Rp 647.183.642,00 dan menggunakan metode saldo
menurun sebesar Rp 722.897.76,50
Tabel (Perbandingan besar penghematan pajak antara metode garis lurus dan metode saldo
menurun dengan tingkat diskonto 20%).
Berdasarkan perhitungan di atas diperoleh besarnya penghematan pajak yang dapat dilakukan
jika perusahaan memilih metode saldo menurun dalam menghitung besarnya beban peyusutan.
Tarif pajak yang digunakan adalah tarif pajak tertinggi yaitu 30% karena diasumsikan bahwa
perusahaan telah mencapai laba di atas Rp 100.000.000. Dengan tingkat diskon 20% besar
penghematan pajak adalah Rp 216.869.212,96 Rp 194.115.092,59 = Rp 22.714.120,37
KASUS
1 Januari 2009, PT. XYZ membeli aset mesin produksi dengan harga perolehan
keseluruhan Rp 800.000.000,-. Untuk kepentingan pelaporan fiskal, mesin dikategorikan
kelompok 2 dengan masa manfaat 8 tahun, dan selama ini perusahaan melakukan penyusutan
dengan metode straight line method.
Setelah disusutkan selama 4 tahun , pada awal Januari 2013 perusahaan merencanakan
akan mengajukan nilai revaluasi ke kantor Pajak atas aset mesin tersebut. Berdasarkan hasil
penilaian, harga mesin dipasaran meningkat menjadi Rp 1.000.000.000,-. Dengan asumsi
bahwa untuk tahun 2013 dan seterusnya perusahaan mampu mencetak laba fiskal, perusahaan
sedang memilih apakah akan melakukan revaluasi atas mesin atau tidak?
Data umum Revaluasi Tidak
revaluasi
Kenaikan Nilai Aset (Nilai Revaluasi Nilai Buku Fiskal sebelum 600.000.000
revaluasi)
PPh Final yang harus dibayar 10 % dari kenaikan nilai asset. 60.000.000
Dasar Penyusutan Baru (masa manfaat baru revaluasi 8 tahun) 1000.000.000 400.000.000
Manfaat yang diterima dengan adanya revaluasi adalah adanya kenaikan biaya penyusutan
Rp 600.000.000,- dengan masa manfaat baru 8 tahun. Biaya penyusutan per tahun Rp 75.000.000,-
mulai tahun 2013 sampai dengan tahun 2020. Mengingat tarif pajak yang dikenakan adalah 25 %, maka
penghematan pajak dengan adanya revaluasi dari kenaikan biaya penyusutan adalah 25 % dari biaya
penyusutan setiap tahun.
Selisih 11.943.750,00
Karena nilai NPV dari penghematan pajak untuk 8 tahun kedepan lebih besar dari pajak
atas revaluasi maka PT. XYZ disarankan untuk melakukan revaluasi.
LAMPIRAN
TUNAI
Diketahui: Harga Perolehan Rp. 100.000.000
Metode Garis Lurus
0 Rp. 100.000.000
BI Rate 6,5%
Tahun PV
1 0,93896713
2 0,88165928
3 0,82784909
4 0,77732309
Tarif PPh Badan 25%
KREDIT BANK
Diketahui: Harga Aktiva Tetap Rp 100.000.000
Bunga Pinjaman 10%
PPN 10%
Jangka Waktu Pinjaman 2 Tahun
Tabel Angsuran
Bulan Angsuran Angsuran Total Angsuran Sisa pinjaman
Bunga Pokok
0 0 0 0 Rp 110.000.000,00
Total Rp Rp Rp
11.822.605,53 110.000.000,00 121.822.605,53
Sumber : http://www.simulasikredit.com/simulasi_bunga_anuitas.php
0 0 0
TOTAL IDR
2,750,671.21
LEASING
Diketahui: Harga mesin Rp 100.000.000
Bunga deposit 7,5%
Bunga pinjaman 6,5% (digunakan untuk diskonto)
Bunga sewa usaha 10%
Jangka waktu sewa 2 tahun
Jaminan Rp. 10.000.000
Nilai sewa guna usaha Rp. 90.000.000
PV = Rp. 90.000.000
Tingkat bunga perbulan = 0,83%
Tingkat diskon per bulan = 0,5416%
Jika perusahaan menggunakan penyusutan saldo menurun maka nilai perolehan mesin
adalah 109673040.9 dan total nilai tunai yang dapat dibiayakan adalah 61396855,73
ANGSURAN
Diketahui: Harga perolehan Rp. 100.000.000
BI rate 6,5%
Suku bunga angsuran 10%
Diangsur 2 tahun = 24 bulan
Angsuran per bulan ($4.614.308,02)
Total ($110.743.392,39)
Bln Angsuran Bunga Pokok Saldo
0 IDR 100.000.000
($100.000.000,0
Tot ($110.743.392,39) $10.743.392,39 0)
Penghematan Pajak