Diajukan kepada:
dr. Muttaqien Pramudigdo, Sp.S
Disusun oleh:
Rachman Fadhilla
G4A015066
2017
i
LEMBAR PENGESAHAN
Text-Book Reading
Disusun oleh :
Rachman Fadhilla G4A015066
Mengetahui,
Pembimbing
ii
DAFTAR ISI
iii
A. Definisi.................................................................................................................................. 18
B. Etiologi.................................................................................................................................. 18
C. Epidemiologi ......................................................................................................................... 18
D. Patomekanisme ..................................................................................................................... 18
E. Penegakkan Diagnosis .......................................................................................................... 18
F. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................................................ 19
G. Diagnosis Banding ................................................................................................................ 19
H. Penatalaksanaan .................................................................................................................... 19
I. Prognosis ............................................................................................................................... 19
V. Kapsulitis Adesiva Bahu......................................................................................................... 20
A. Definisi.................................................................................................................................. 20
B. Anatomi................................................................................................................................. 20
C. Patomekanisme ..................................................................................................................... 29
D. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................................................ 33
E. Penegakkan diagnosis ........................................................................................................... 33
F. Diagnosis Banding ................................................................................................................ 33
G. Penatalaksanaan .................................................................................................................... 34
H. Prognosis ............................................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 35
iv
DAFTAR GAMBAR
v
1
B. Etiologi
Terowongan karpal yang sempit selain dilalui oleh nervus medianus juga dilalui
oleh beberapa tendon fleksor. Setiap kondisi yang mengakibatkan semakin padatnya
terowongan ini dapat menyebabkan terjadinya penekanan pada nervus medianus
sehingga timbullah STK (Rambe, 2004).
Pada sebagian kasus etiologinya tidak diketahui, terutama pada penderita lanjut
usia. Beberapa penulis menghubungkan gerakan yang berulang-ulang pada
pergelangan tangan dengan bertambahnya resiko menderita gangguan pada
pergelangan tangan termasuk STK (Rambe, 2004).
Pada kasus yang lain etiologinya adalah (Rambe, 2004):
1. Herediter : neuropati herediter yang cenderung menjadi
pressure palsy, misalnya HMSN ( hereditary motor
and sensory neuropathies) tipe III.
2. Trauma : dislokasi, fraktur atau hematom pada lengan bawah,
pergelangan tangan dan tangan .Sprain pergelangan
tangan. Trauma langsung terhadap pergelangan
tangan. Pekerjaan : gerakan mengetuk atau fleksi
dan ekstensi pergelangan tangan yang berulang-
ulang.
3. Infeksi : tenosinovitis, tuberkulosis, sarkoidosis.
4. Metabolik : amiloidosis, gout.
5. Endokrin : akromegali, terapi estrogen atau androgen, diabetes
mellitus, hipotiroidi, kehamilan.
6. Neoplasma : kista ganglion, lipoma, infiltrasi metastase,
mieloma.
7. Penyakit kolagen vascular : artritis reumatoid, polimialgia reumatika,
skleroderma, lupus eritematosus sistemik.
8. Degeneratif : osteoartritis.
2
C. Epidemiologi
Carpal tunnel syndrome merupakan neuropati yang paling sering dijumpai.
Penyakit ini biasanya timbul pada usia pertengahan. Wanita lebih banyak terkena CTS
dibandingkan dengan pria. Prevalensi CTS bervariasi, di Mayo Clinic, pada tahun
1976-1980 insiden CTS sebesar 173 per 100.000 pasien wanita/tahun dan 68 per
100.000 pasien pria/tahun. Di Maastricht, Belanda, 16% wanita dan 8% pria
dilaporkan terbangun dari tidurnya akibat parestesi jari-jari. Sebanyak 45% wanita
dan 8% pria yag mengalami gejala ini terbukti menderia CTS setelah dikonfirmasi
dengan pemeriksaan elektrodiagnostik. Pada populasi Rochester, Minnesota,
ditemukan rata-rata 99 kasus per 100.000 penduduk per tahun (Rambe, 2004).
D. Anatomi
Carpal tunnel adalah suatu terowongan fibro-osseous yang dibentuk oleh tulang-
tulang karpal dan flexor retinaculum. Ukuran dari terowongan ini bervariasi dengan
ukuran paling umum adalah panjang 2-5 cm dan lebar 2-3 cm. Sembilan ruas tendon
fleksor dan N. Medianus berjalan di dalam carpal tunnel. Nervus dan tendon
memberikan fungsi sensibilitas dan pergerakan pada jari jari tangan (Pecina & D,
2001).
Nervus Medianus akan bercabang menjadi komponen radial dan ulnar.
Komponen radial dari N. Medianus akan menjadi cabang sensorik pada permukaan
palmar jari-jari pertama dan kedua serta menjadi cabang motorik m. abductor pollicis
brevis, m. opponens pollicis, dan bagian atas dari m. flexor pollicis brevis. Komponen
ulnaris dari N. Medianus memberikan cabang sensorik ke permukaan jari kedua,
ketiga, dan sisi radial jari keempat (Pecina & D, 2001).
3
F. Penegakkan Diagnosis
Pada tahap awal gejala umumnya berupa gangguan sensorik saja .Gangguan
motorik hanya terjadi pada keadaan yang berat. Gejala awal biasanya berupa
parestesia, kurang merasa (numbness) atau rasa seperti terkena aliran listrik (tingling)
pada jari dan setengah sisi radial jari walaupun kadang-kadang dirasakan mengenai
seluruh jari-jari. Keluhan parestesia biasanya lebih menonjol di malam hari. Gejala
lainnya adalah nyeri di tangan yang juga dirasakan lebih berat pada malam hari
sehingga sering membangunkan penderita dari tidurnya. Rasa nyeri ini umumnya agak
berkurang bila penderita memijat atau menggerak-gerakkan tangannya atau dengan
meletakkan tangannya pada posisi yang lebih tinggi. Nyeri juga akan berkurang bila
penderita lebih banyak mengistirahatkan tangannya. Bilapenyakit berlanjut, rasa nyeri
dapat bertambah berat dengan frekuensi serangan yang semakin sering bahkan dapat
menetap. Kadang-kadang rasa nyeri dapat terasa sampai ke lengan atas dan leher,
sedangkan parestesia umumnya terbatas di daerah distal pergelangan tangan
(Kurniawan, et al., 2016).
Dapat pula dijumpai pembengkakan dan kekakuan pada jari-jari, tangan dan
pergelangan tangan terutama di pagi hari. Gejala ini akan berkurang setelah penderita
5
berpendapat bahwa tes ini sangat sensitif untuk menegakkan diagnosa STK
(Fauzi, 2015).
6. Torniquet test.
Dilakukan pemasangan tomiquet dengan menggunakan tensimeter di atas siku
dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala
seperti STK, tes ini menyokong diagnose (Fauzi, 2015).
7. Tinel's sign.
Tes ini mendukung diagnosa hila timbul parestesia atau nyeri pada daerah
distribusi nervus medianus kalau dilakukan perkusi pada terowongan karpal
dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi (Fauzi, 2015).
8. Pressure test.
Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu jari.
Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti STK, tes ini
menyokong diagnose (Fauzi, 2015).
9. Luthy's sign (bottle's sign).
Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau
gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan
rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnose (Fauzi, 2015).
10. Pemeriksaan sensibilitas.
Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik (two-point discrimination) pada
jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan
menyokong diagnose (Fauzi, 2015).
11. Pemeriksaan fungsi otonom.
Diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang
terbatas pada daerah innervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung
diagnosa STK (Fauzi, 2015).
G. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan radiologis dapat dilakukan untuk membantu mencari
penyebab CTS. Foto rontgen yang dilakukan pada pergelangan tangan dapat
membantu mencari etiologi seperti fraktur atau arthritis. Foto polos vertebre cervical
dapat dilakukan untuk mengeliminasi kemungkinan kelainan yang dapat
menimbulkan gejala serupa CTS (Cartwright, 2012).
7
I. Penatalaksanaan
1. Konservatif
a. Non Medika Mentosa
a) Istirahatkan Pergelangan tangan.
b) Pemasangan bidai.
Pemasangan bidai pada posisi netral pergelangan tangan. Bidai
dapat dipasang terus-menerus atau hanya pada malam hari selama 2-3
minggu (Kurniawan, et al., 2016).
8
c) Nerve Gliding.
Suatu latihan yang terdiri dari berbagai gerakan latihan dari
ekstremitas atas dan leher yang menghasilkan ketegangan dan gerakan
membujur sepanjang saraf median dan lain dari ekstremitas atas.
Latihan-latihan ini didasarkan pada prinsip bahwa jaringan dari sistem
saraf perifer dirancang untuk gerakan, dan bahwa ketegangan dan
meluncur saraf mungkin memiliki efek pada neurofisiologi melalui
perubahan dalam aluran pembuluh darah dan axoplasmic. Latihan
dilakukan sederhana dan dapat dilakukan oleh pasien setelah instruksi
singkat (Kurniawan, et al., 2016).
d) Fisioterapi
Fisioterapi ditujukan pada perbaikan vaskularisasi pergelangan
tangan (Kurniawan, et al., 2016).
b. Medika Mentosa
1) Obat anti inflamasi non steroid
2) Injeksi steroid
Deksametason 1-4 mg/mL atau hidrokortison 10-25 mg atau
metilprednisolon 20-40 mg diinjeksikan ke dalam terowongan karpal
menggunakan jarum no 23 atau 25 pada lokasi 1 c kea rah proksimal
lipat pergelangan tangan di sebelah medial tendon muskulus palmaris
longus dengan membentuk sudut 30. Suntikan dapat diulang dalam 7-
10 hari untuk total tiga atau empat suntikan. Tindakan operatif dapat
dipertimbangkan bila hasil terapi belum memuaskan setelah diberi 3 kali
suntikan. Suntikan harus digunakan dengan hati-hati untuk pasien
dibawah usia 30 tahun (Kurniawan, et al., 2016).
3) Vitamin B6 (piridoksin)
Beberapa penulis berpendapat bahwa salah satu penyebab CTS
adalah defisiensi piridoksin sehingga mereka menganjurkan pemberian
piridoksin 100-300 mg/hari selama 3 bulan (Kurniawan, et al., 2016).
2. Operatif
Operasi hanya dilakukan pada kasus yang tidak mengalami perbaikan dengan
terapi konservatif atau bila terjadi gangguan sensorik yang berat atau adanya
atrofi otot-otot thenar (Kurniawan, et al., 2016).
J. Prognosis
9
Ad Vitam : Ad bonam.
Ad fucntionam : Ad bonam.
Ad Sanationam : Ad bonam.
10
D. Patomekanisme
Pada trigger finger, peradangan dan hipertrofi selubung retinakular semakin
membatasi gerak tendon fleksor. Selubung ini biasanya membentuk sistem katrol yang
11
terdiri dari serangkaian katrol annular dan cruciform di setiap digit yang berfungsi
untuk memaksimalkan produksi gaya tendon fleksor dan efisiensi gerak. Katrol annular
pertama (A1) pada kepala metakarpal adalah katrol yang paling sering terkena pada jari
pemicu, meskipun kasus pemicu telah dilaporkan pada katak annular kedua dan ketiga
(A2 dan A3, masing-masing), serta palmar aponeurosis (Makkouk, et al., 2008).
Karena letaknya, katrol A1 dikenakan gaya tertinggi dan gradien tekanan selama
pegangan normal maupun daya. Gesekan berulang dan pembengkakan yang tidak
disengaja yang disebabkan oleh pergerakan tendon fleksor melalui katrol A1 telah
dibandingkan dengan berjumbai di ujung tali setelah diulang berulang-ulang melalui
mata jarum. Pemeriksaan mikroskopis pada katrol memicu A1 telah lama menunjukkan
degenerasi dan selaput infiltrasi sel inflamasi, namun perbandingan ultrastruktural
terbaru dari pulley A1 normal dan memicu mungkin telah menjelaskan apa yang
mungkin merupakan fase kunci dalam patogenesis jari pemicu. Studi yang
menggunakan mikroskop elektron pemindaian dan transmisi untuk memeriksa
permukaan meluncur pada katrol A1 menunjukkan bahwa spesimen normal memiliki
matriks ekstraselular amorf, termasuk kondrosit, yang melapisi lapisan paling atas dari
katrol. Sampel patologis memiliki penampilan umum yang serupa, namun dengan area
yang bervariasi dan berbentuk seperti kehilangan matriks ekstraselular. Daerah ini
ditandai dengan proliferasi chondrocyte dan produksi kolagen tipe III. Dengan
demikian telah didalilkan bahwa metaplasia fibrokartilagen ini dihasilkan dari friksi
dan kompresi berulang antara tendon fleksor dan lapisan dalam yang sesuai dari katrol
A1 (Makkouk, et al., 2008).
E. Tanda dan Gejala
1. Anamnesis
a. Nyeri sendi interphalangeal proksimal pada pagi hari
b. Bila jari/ ibu jari difleksikan akan sulit untuk diekstensikan kembali secara
aktif
12
c. Bila diekstensikan secara pasif akan timbul bunyi klek disertai nyeri di
daerah metacarpofalangeal.
2. Pemeriksaan
a. Tendovaginitis otot-otot fleksor jari tangan
b. Nyeri sendi interphalangeal
c. Ekstensi pasif jari: nyeri metacarpofalangeal
d. Fleksi jari: sulit diekstensikan kembali secara aktif
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium : Darah rutin, Rheumatoid Faktor
2. Radiologi : X-Foto pada jari yang sakit
G. Diagnosis Banding
1. Rheumatoid arthritis
2. Osteoartritis
H. Penatalaksanaan
1. Konservatif
a. Non Medika Mentosa
1) Fisioterapi
2) Edukasi : hindari penekanan pada jari/ibu jari saat bekerja
b. Medika Mentosa
1) NSAID : Natrium diklofenak 75-100 mg/hari, meloksikam 7,5-15 mg/hari,
asetaminofen 2-4 gr/hari, ketoprofen 75mg/hari, dan lain-lain.
2) Injeksi local kortikosteroid
3) Injeksi proloterapi
2. Operatif
I. Prognosis
Ad Vitam : Bonam.
Ad fucntionam : Dubia ad bonam.
Ad Sanationam : Bonam.
13
pekerjaan yang menggunakan jari-jari tangan. Riwayat penyakit lain seperti pada
rheumatoid arthritis dapat menyebabkan pula deformitas dan kesulitan
menggerakkan ibu jari. Pada kasus-kasus dini, nyeri ini belum disertai edema
yang tampak secara nyata (inspeksi), tapi pada kasus-kasus lanjut tampak edema
terutama pada sisi radial dari polluks (Supadmi, 2015).
Penyakit de Quervain klasik mempengaruhi mereka yang berada dalam usia
30-50 tahun. Insiden pada wanita mungkin sampai enam kali dari pada pria.
Proses ini diperparah oleh aktivitas yang berulang-ulang dan deviasi ulnar
simultan pada pergelangan tangan (Kurniawan, et al., 2016).
2. Pemeriksaan Fisik
Biasanya terdapat pembengkakan sekitar 2 cm proksimal dan styloid radius.
Karena pembengkakan dan nyeri mengakibatkan kesulitan menggerakkan ibu jari
dan pergelangan tangan. Iritasi saraf oleh tendon sheath mengakibatkan rasa baal
pada dorsal ibu jari dan telunjuk (Kurniawan, et al., 2016).
Pada pemeriksaan fisik, terdapat nyeri tekan pada daerah prosesus stiloideus
radius, kadang-kadang dapat dilihat atau dapat teraba nodul akibat penebalan
pembungkus fibrosa pada sedikit proksimal prosesus stiloideus radius, serta rasa
nyeri pada aduksi pasif dari pergelangan tangna dan ibu jari. Dapat juga dlakukan
pemeriksaan khusus yang disebut Finkelsteins test yaitu dengan cara
membengkokkan ibu jari kea rah telapak tangan kemudian pergelangan tangan
ditekuk dalam posisi lnar deviasi, positif bila terasa nyeri yang tajam pada
pergelangan tangan (Supadmi, 2015).
Lakukan tes Finkelstein secara bilateral untuk membandingkan bagian yang
tidak terkena. Selain dengan tes Finkelstein harus diperhatikan pula sensorik dari
ibu jari, reflex otot-otot dan epikondilitis lateral pada tennis elbow untuk melihat
sensasi nyeri apakah primer atau merupakan reffered pain (Supadmi, 2015).
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk menunjang diagnosis
penyakit ini. Kadang dilakukan pemeriksaan serum untuk melihat adanya factor
rheumatoid untuk mengetahui penyebab penyakit ini, tetapi hal ini juga tidak spesifik
karena beberapa penyakit lain juga menghasilkan factor rheumatoid di dalam
darahnya (Supadmi, 2015).
Pemeriksaan radiologic secara umum juga tidak ada yang secara spesifik
menunjang untuk mendiagnosis penyakit ini. Akan tetapi, penemuan terbaru dalam
16
F. Diagnosis Banding
Yang merupakan diagnosis banding dari de Quervains syndrome adalah sebagai
berikut:
1. Carpal tunnel syndrome, dimana pada penyakit ini dirasakan nyeri pada ibu jari
tangan, yang juga dapat dirasakan pada seluruh pergelangan tangan bahkan dapat
mencapai sampai ke lengan. Carpal tunnel syndrome adalah kumpulan gejala
yang disebabkan oleh kompresi pada bervus medianus akibat inflamasi pada
pergelangan tangan. Penyebab inflamasi dapat karena suatu inflamasi pada
pergelangan tangan. Penyebab inflamasi dapat karena suatu inflamasi pada
pergelangan tangan. Gejala lain pada penyakit ini adalah adanya rasa panas dan
kelemahan otot-otot pergelangan tangan (Kurniawan, et al., 2016).
2. Osteoartritis pada persendian di pergelangan tangan
3. Kienbock disease yaitu osteonecrosis pada os lunate
4. Degenerative arthritis pada sendi radiokafoid, cervical radiculopathy trauma
segmen C5 atau C6
5. Sindroma intersection dimana tenosynovitis pada tendon dari kompartemen
dorsal pertama (tendon otot ekstensor polisis brevis dan otot abductor polisis
longus) sampai ke tendon kompartemen dorsal kedua (otot ekstensor carpi
radialis longus dan otot ekstensor carpi radialis brevis), dengan gejala nyeri dan
inflamasi pada bagian distal pada daerah dorsolateral dari lengan bawah. Nyeri
pada penyakit ini lebih kurang di daerah lateral dibandingkan dengan de Quarvain
syndrome (Supadmi, 2015).
6. Sindroma Wartenberg, disebabkan oleh kompresi pada cabang superfisial nervus
radialis yang mempersarafi bagian dorsal ibu jari dan sebagian jari telunjuk. Hal
ini dapat disebabkan oleh tekanan kronis pada saraf, aktivitas yang melakukan
gerakan repetitive, maupun trauma. Pasien dengan sindroma Wartenberg
mengeluhkan rasa nyeri pada bagian dorsal radial tangan. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan Tinels sign yaitu dengan mengetuk ringan diatas
nervus radialis dan pasien akan merasakan sensasi yang serupa dnegan sengatan
listrik ringan (Supadmi, 2015).
17
G. Penatalaksanaan
1. Konservatif
Dapat diberikan analgesic atau injeksi local kortikosteroid. Kortikosteroid
dapat digunakan sebagai anti inflamasi karena dapat mensupresi migrasi dari sel-
sel polimorfonuklear dan mencegah peningkatan permeabilitas kapiler. Pada
orang dewasa dapat diberikan dosis 20-40 mg metilprednisolon atau dapat juga
diberikan hidrokortison yang dicampur dengan sedikit obat anestesi local seperti
lidokain. Campuran obat ini disuntikan pada tendon sheat dari kompartemen
dorsal pertama yang terkena (Supadmi, 2015).
2. Operatif
Intervensi bedah diperlukan jika terapi konservatif tidak efektif lagi terutama
pada kasus-kasus lanjut dimana telah terjadi perlengketan pada tendon sheath.
Tindakan operasi mungkin diperluan jika gejala yang parah atau tidak membaik.
Tujuan pembedahan adalah untuk membuka kompartemen (penutup) untuk
membuat lebih banyak ruang untuk tendon (Supadmi, 2015).
H. Prognosis
Ad Vitam : Bonam.
Ad fucntionam : Dubia ad bonam.
Ad Sanationam : Dubia ad bonam.
18
D. Patomekanisme
Kondisi ini terutama disebabkan oleh proses degeneratif yang berlebiham dari
tendo ekstensor carpi radialis brevis dan tendo ekstensor linnya. Selain dari perubahan
degenerative, penelitian histologis menemukan adanya jaringan granulasi, rupture
mikro, fibroblast dalam jumlah besar, hyperplasia vascular, kolagen tidak terstruktur,
dan sedikitnya sel inflamasi seperti makrofag, limfosit, dan neutrophil di dalam
jaringan. Evaluasi dengan menggunakan alat ulatrasoud sering menemukan adanya
kalsifikasi, robekan intrasubstansi, iregularitas epikondilus lateral, dan penebalan serta
heterogenesitas dari tendo ekstensor (Buchanan & Hugnes, 2017).
E. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
19
Gerakan pada thorakal joint berhubungan dengan lower cervical yaitu pada
C7 dengan T1, dan upper lumbar yaitu pada L1, sehingga apabila lower
cervical mengalami suatu patologis maka upperthorakal juga akan
mengalami suatu keluhan. Gerak spine juga akan mempengaruhi gerakan
pada nucleus pulposus yang berfungsi sebagai bantalan air yang distabilisasi
oleh annulus fibrosus dan kemampuannya dalam merespon setiap perubahan
postur tubuh baik static maupun dinamik. Pada saat ekstensi akan terjadi
gerakan nucleus ke anterior dan terjadi gerak luncur dan menekuk ke arah
posterior pada uppervertebrae. Selain itu pada thorakal akan terjadi
pengurangan kurva, penyempitan bagian posterior diskus, pelebaran bagian
anterior diskus, serta terjadi pengembangan rongga toraks. Pada saat fleksi
akan terjadi gerak anterior luncur dan menekuk vertebrae di atasnya terhadap
diskus dan vertebrae di bawahnya dan nukleusnya bergeser ke posterior.
Gerak fleksi pada thorakal dapat terjadi penambahan kurva, pelebaran bagian
posterior diskus, serta pengecilan rongga toraks. Pada saat terjadi lateral
fleksi atau rotasi akan terjadi gerakan tilting dari uppervertebrae pada
ipsilateral dan nucleus bergerak ke arah yang berlawanan dengan arah
gerakan dan terjadi peningkatan tension pada bagian annulus. Gerak lateral
fleksi selalu diikuti dengan gerak rotasi yang dikenal dengan coupled
movemen (Sudarma, 2012).
g. Costovertebral dan Costotransversal
Costovertebral dan costotransversal yang terlibat dalam gerakan bahu
adalah costa 1-2-3-4 yang secara bertahap mengikuti gerak lengan atas
seperti intervertebral joint dengan winging dan rotasi. Pada frozen shoulder
terjadi gerak kompensasi dari costovertebral (Sudarma, 2012).
3. Otot-otot Bahu
Bahu merupakan anggata gerak atas yang mempunyai mobilitas yang luas
karena memiliki bentuk ball and socket dengan bentuk socked dari kavitas
gleinodalis yang datar. Mobilitas yang luas dari sendi bahu tersebut, maka bahu
memiliki otot-otot bahu yang kuat sebagai stabilitas aktifnya. Otot-otot bahu
selain untuk stabilitas dari sendi bahu kompleks, juga menghasilkan gerakan
bahu, tiap otot bahu dapat menyokong lebih dari satu gerakan bahu. Adapun otot-
otot bahu tersebut adalah (Sudarma, 2012):
26
skapula dan upward rotation scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. spinal
acessorius( NC.IX ), radiks C1-C5 (Sudarma, 2012).
o. M. middle trapezius berorigo pada processus spinosus vertebra thorakal
pertama sampai kelima dan ligamen supra spinal, berinsersio pada perbatasan
medial processus akromion skapula dan spina skapula, otot ini berfungsi
untuk adduksi skapula. M middle trapezius dipersyarafi oleh n. spinal
acessorius (NC.IX ), radiks C1-C5 (Sudarma, 2012).
p. M. lower trapezius berorigo pada processus spinosus vertebra thorakal
keenam sampai keduabelas dan ligamen supraspinosus, berinsersio pada
tuberculum diatas ujung spina skapula. M. Lower trapezius berfungsi untuk
depresi skapula dan upward rotation scapula, otot ini dipersyarafi oleh n.
spinal acessorius ( NC.IX ), radiks C1-C5 (Sudarma, 2012).
q. M. rhomboideus major berorigo pada processus spinosus T2-T5 dan ligament
supraspinosus, berinsersio pada perbatasan vertebra skapula diantara spina
dan angulus inferior skapula. M. rhomboideus major berfungsi untuk adduksi
dan down ward rotation scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. dorsal scapular,
radiks C5 (Sudarma, 2012).
r. M. rhomboideus minor berorigo pada processus spinosus C7 dan T1 dan
permukaan inferior ligamentum nuchae, berinsersio pada dasar spina scapula
(Sudarma, 2012).
s. M. rhomboideus minor berfungsi untuk adduksi dan downward rotation
scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. dorsal scapular, radiks C5 (Sudarma,
2012).
t. M. serratus anterior berorigo pada permukaan anteriorsuperior iga atas
kedelapan dan kesembilan, berinsersio pada permukaan anterior perbatasan
vertebra skapula. M. serratus anterior berfungsi untuk abduksi skapula dan
upward rotation scapula, otot ini dipersyarafi oleh n. throracalis longus,
radiks C5-C7 (Sudarma, 2012).
u. M. subclavius berorigo pada anterior iga pertama dan kartilagonya, otot ini
menyebar keatas dan berinsersio sepanjang sisi tengah dalam klavikula,
fungsi otot ini untuk depresi scapula (Sudarma, 2012).
v. M. pectoralis minor berada di bawah M. pectoralis major. Otot ini berorigo
pada permukaan luar atas iga iga ketiga, empat, dan lima dekat dengan
kartilagonya, berinsersio pada processus coracoideus scapula. M. pectoralis
29
C. Patomekanisme
Frozen shoulder merupakan suatu syndrom atau kondisi dengan serangan nyeri dan
keterbatsan gerak aktif dan pasif yang sering dialami oleh orang berusia 40-60 tahun
dan memiliki riwayat trauma, sering kali ringan. Penyebab frozen shoulder tidak
diketahui, diduga penyakit ini merupakan respon auto immobilisasi terhadap hasil-hasil
rusaknya jaringan (Sudarma, 2012).
Meskipun penyebab utamanya idiopatik, banyak yang menjadi presdiposisi frozen
shoulder yaitu usia, repetitive injury, diabetes mellitus, kelumpuhan, post operasi
payudara atau dada, infark miocardia, dan dari dalam sendi glenohumeral (tendonitis
bicipitalis, inflamasi rotator cuff, fracture ) atau kelainan ekstra artikular (cervical
spondylisis, angina pectoris) (Sudarma, 2012).
Frozen shoulder adalah patologi pada sendi glenohumeral, dimana terjadi
perubahan inflamasi berupa formasi adhesi pada kapsul sendi dan membransinovial
yang menyebabkan perlengketan pada kapsul ligamen glenohumeral sehingga terjadi
keterbatasan gerak sendi bahu. Selain pada kapsul dan membrane sinovial, perubahan
inflamasi juga dapat menyebar pada struktur periarticular lainnya. Oleh karena itu,
untuk lebih memahami tentang perubahan patologis pada struktur jaringan karena
frozen shoulder akan dijabarkan sebagai berikut (Sudarma, 2012):
1. Penyebab Frozen Shoulder dari Faktor Muskular dan Bursa
Patologi frozen shoulder dapat bermula dari tendonitis otot-otot rotator cuff,
yang terdiri atas M. supraspinatus; M. infraspinatus; M. subskapularis dan M. teres
minor, demikian pula tendonitis M. Biceps kaput longum dan bursa sub acromialis
juga merupakan pencetus terjadinya frozen shoulder. Inflamasi atau patologi pada
tendon otot tersebut mengakibatkan nyeri adanya nyeri akan menimbulkan
penurunan ambang rangsang A dan tipe C polymodal sehingga terjadi hiperalgesia
bahkan allogenia yang apabila terjadi peregangan kecil saja dapat menimbulkan
nyeri yang berakibat autoimmobilisasi yang lebih kuat akhirnya dapat
menyebabkan frozen shoulder.
30
memerlukan gaya yang sangat besar untuk menggerakkan sendi melalui arkus
gerakan normal. Struktur kapsular juga mengalami kerusakan sehingga control
sendi terganggu (Sudarma, 2012).
Secara histologis, autoimobilisasi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
hilangnya ekstensibilitas kapsular yang mencakup pembentukan abnormal cross-
bridging antara serabut kolagen sintesis baru dan serabut kolagen lama serta
hilangnya jarak kritikal serabut kolagen. Semuanya itu disebabkan oleh
menurunnya asam hyaluronik dan kandungan air didalam sinovial sendi sehingga
menciptakan terjadinya adhesive (perlengketan) intra artikuler (Sudarma, 2012).
Pada frozen shoulder terdapat perubahan patologi pada kapsul artikularis
glenohumeral yaitu perubahan pada kapsul sendi bagian anterior superior
mengalami synovitis, kontraktur ligament coracohumeral, dan penebalan pada
ligament superior glenohumeral, pada kapsul sendi bagian anterior inferior
mengalami penebalan pada ligament inferior glenohumeral dan perlengketan pada
resessus axilaris, sedangkan pada kapsul sendi bagian posterior terjadi kontraktur,
sehingga khas pada kasus ini rotasi paling bebas, abduksi terbatas dan rotasi
eksternal paling terbatas atau biasa disebut pola kapsuler (Sudarma, 2012).
Namun demikian, karena aktivitas sehari-hari lebih banyak menggunakan
rotasi internal dan adduksi bahu, sehingga akan lebih menguntungkan. Namun
demikian apabila tidak ditangani dengan cepat dan tepat, maka ditakutkan akan
merusak jaringan yang disekitaranya, sehingga menyebabkan keterbatasan gerak
secara keseluruhan. Perubahan patologi tersebut terjadi karena rusaknya jaringan
lokal berupa inflamasi pada membran synovial dan capsul sendi glenohumeral
yang membuat formasi adhesive21 sehingga menyebabkan perlengketan pada
kapsul sendi dan terjadi peningkatan viskositas cairan sinovial sendi glenohumeral
dengan kapasitas volume hanya sebesar 5-10ml, yang pada sendi normal bisa
mencapai 20- 30ml, dan selanjutnya kapsul sendi glenohumeral menjadi
mengkerut, pada pemeriksaan gerak pasif ditemukan keterbatasan gerak pola
kapsuler dan firm end feel dan inilah yang disebut frozen shoulder (Sudarma,
2012).
Histologis frozen shoulder yang terjadi pada sendi glenohumeral seperti telah
dijelaskan di atas adalah kehilangan ekstensibilitas dan termasuk abnormal cross-
bridging diantara serabut collagen yang baru disintesa dengan serabut collagen
yang telah ada dan menurunkan jarak antar serabut yang akhirnya mengakibatkan
32
penurunan kandungan air dan asam hyaluronik secara nyata. Pada post
immobilisasi perlekatan jaringann fibrosa menyebabkan perlekatan atau adhesi
intra artikular dalam sendi sinovial dan mengakibatkan penurunan mobilitas
(Sudarma, 2012).
3. Sendi yang Terpengaruh Frozen Shoulder
Pada patofisiologi frozen shoulder inflamasi pada bursa subdeltoidea yang
merupakan bagian dari sendi suprahumeral adalah salah satu pencetus dari frozen
shoulder maupun efek kelanjutan dari dari frozen shoulder sendiri. Karena dalam
melakukan gerakannya sendi glenohumeral tidak berdiri sendiri dan selalu terkait
dengan 6 sendi yang lain yang tergabung dalam shoulder complex, maka perubahan
patologi pada sendi glenohumeral seperti frozen shoulder, juga akan berpengaruh
terhadap 6 struktur sendi yang lain yang tergabung dalam shoulder complex,
diantaranya shoulder girdle (sendi skapulothorakal dan akromioklavikula) dan
sendi intervertebra (cervikothorakal). Keterbatasan gerak yang terjadi akibat frozen
shoulder akan yang dikompensasi oleh gerak skapulothorakal atau biasa disebut
reserve scapulohumeral. Karena adanya kompensasi tersebut maka lama-kelamaan
akan menyebabkan adanya hipermobilitas dari sendi akromioklavikula dan
overstretch dari sendi skapulothorakal. Lain halnya dengan sendi skapulotorakal
dan akromioklavikula, pada sendi intervertebra (lower cervical dan upper thoracal)
justru malah terjadi hypomobile (Sudarma, 2012).
Pada tahap kronis frozen shoulder dapat menyebabkan antero postion head
posture karena hipomobile dari struktur cervico thoracal. Terkadang hipomobile
pada kondisi frozen shoulder mengakibatkan nyeri sehingga menyebabkan
kontraktur pada ligament supraspinosus, dan spasme pada otot-otot
cervikothorakal spasme pada otot-otot cervikothorakal dan jika berkepanjangan
akan menimbulkan "vicious circle of reflexes" yang mengakibatkan medulla
spinalis membangkitkan aktivitas efferent sistem simpatis secara berlebihan
sehingga menimbulkan mikrosirkulasi pada glenohumeral yang menyebabkan
ketegangan miofibroblas. Ketegangan miofibroblas tersebut mengakibatkan
kontraktur pada otot-otot fixator gelang bahu dan ligamen longitudinal posterior.
Karena stabilitas sendi bahwa sebagian besar oleh muskulotendinogen, maka
gangguan pada otot gelang bahu akan memerparah keterbatasan gerak bahu
(Sudarma, 2012).
33
D. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah rutin, GDP, GDS
2. Rontgen articulation glenohumeral, akromioklavikular, korakoakromial.
E. Penegakkan diagnosis
1. Anamnesis
Pasien kapsulitis adesiva umumnya dating dengan keluhan
a. Nyeri saat tidur
b. Nyeri di bagian depan dan samping bahu
c. Keterbatasan lingkup gerak sendi
d. Biasanya nyeri akan timbul saat melakukan aktivitas
e. Kadang penderita dating dengan keluhan tidak bisa menyisir rambut, tidak
bisa mengonde rambut, tidak bisa mengambil dompet di saku belakang,
termasuk tidak bisa sempurna gerakan sholat, bahkan kadang-kadang
mengeluh tidak bisa melaksanakan aktivitas sehari-hari sebagaimana mestinya
2. Pemeriksaan fisik
Periksaan fisik yang dilakukan untuk memeriksa hal-hal yang diperlukan
untuk menegakkan diagnose ataupun dasar penyusunan problematic, tujuan dan
tindakan fisioterapu, antara lain sebagai berikut
a. Pemeriksaan derajat nyeri
Penilaian intensitas nyeri dengan menggunakan visual analog scale yaitu
cara pengukuran derajat nyeri dengan skala nilai 0-10 yaitu nilai 0 tidak nyeri,
nilai 1-3 nyeri ringan, nilai 4-6 nyeri sedang, nilai 7-10 nyeri berat sampai
sangat berat.
b. Pemeriksaan lingkup gerak sendi (LGS)
Pada pemeriksaan ROM (range of motion) yang menurun baik itu gerakan
aktif maupun pasif.
F. Diagnosis Banding
1. Tendinitis supraspinatus
2. Tendinitis kasifikan
3. Tendinitis bisipitalis
4. Bursitis subakromialis
5. Ruptur rotator cuff
6. Subluksasio sendi glenohumeral
7. Dislokasi acromioclavicular dan sternoclaicular
34
G. Penatalaksanaan
1. Konservatif
a. Non Medika Mentosa
1) Fisioterapi
b. Medika Mentosa
1) Analgetik dan NSAID
2) Tindakan minimal invasive:
a) Injeksi intraartikuler kortikosteroid dengan 1 ml sterid dengan 1ml
lidokain 2% dalam suit 2 cc dengan jarum 25 G diberikan dengan
program 6 minggu, 4 bulan, 6 bulan dan 1 tahun
b) Injeksi prolotherapi : injeksi intraartikuler 5 mL dekstrose 25%, 5 mL
lidocaine 2% dalam spuit 10cc
2. Operatif
H. Prognosis
Ad Vitam : Bonam.
Ad fucntionam : bonam.
Ad Sanationam : bonam.
35
DAFTAR PUSTAKA
Buchanan, B. & Hugnes, J., 2017. Tennis Elbow (Lateral Epicondylitis). [Online]
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431092/?report=printable
[Accessed 16 June 2017].
Fauzi, A., 2015. Trigger Finger. Jurnal Kesehatan Universitas Lampung, 5(9), pp. 134-140.
Kurniawan, M., Suharjanti, I. & Pinzon, R. T., 2016. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
Makkouk, A. H., Oetgen, M. E., Swigart, C. R. & Dodds, S. D., 2008. Trigger Finger : Etiology,
Evaluation, and Treatment. Current Reviews in Musculoskeletal Medicine, Volume I,
pp. 92-96.
Sudarma, N. N. G., 2012. Penambahan TRaksi Maximaly Lose Pack Position Glenohumeral
pada Intervensi Micro Wave Diathermy dan Ultrasound Mengurangi Nyeri Frozen
Shoulder. Denpasar: Universitas Udayana.
Tana, L., 2004. Carpa Tunnel Syndrome pada Pekerja Garmen di Jakarta. Buletin Penelitian
Kesehatan, 32(2), pp. 78-82.