Kelompok PBL E8
Rullyn Suzana Saputri Mandar 102010243
Pendahuluan
Batuk darah adalah darah atau dahak bercampur darah yang dibatukkan yang berasal
dari saluran pernafasan bagian bawah (mulai glotis ke arah distal). Sebetulnya sudah ada
penyakit dasar tetapi keluhan penyakit tidak mendorong berobat ke dokter. Berdasarkan
etiologi maka dapat digolongkan : (1) Batuk darah idiopatik, yaitu batuk darah yang tidak
diketahui penyebabnya. (2) Batuk darah sekunder, yaitu batuk darah yang diketahui
penyebabnya, oleh karena tuberculosis, bronkiektasis, abses paru, pneumonia, bronkitis,
karsinoma.
Dalam makalah ini saya akan membahas etiologi, epidemiologi, gejala klinis,
patogenesis dan penatalaksanaan pada tuberkulosis paru, kanker paru, bronkiektasi,
pneumonia, mikosis paru, PPOK (bronkitis kronik), dan abses paru.
Anamnesis
1
pasien, keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat penggunaan obat, dan riwayat sosial. Pertanyaan
yang diajukan berkaitan dengan keluhan yang didapatkan dan riwayat penyakit sekarang.
Penyakit sistem pernapasan salah satunya menimbulkan gejala batuk. Berikut hal yang dapat
ditanyakan.1
Pemeriksaan fisik
2
bernapasnya, apakah normal atau tidak. Selanjutnya dilakukan palpasi untuk mengevaluasi
area toraks, kesimetrisan toraks, dan vokal fremitus. Saat melakukan palpasi, evaluasi apakah
pasien merasa nyeri saat ditekan. Dalam vokal fremitus, hal yang dirasakan adalah getaran
yang Pemeriksaan selanjutnya adalah perkusi. Normalnya suara paru yang diperkusi adalah
sonor. Apabila terjadi pneumonia, hasil perkusi parunya adalah redup.Kemudian dilakukan
auskultasi pada pasien dengan menggunakan stetoskop. Terdapat empat suara paru normal
yaitu tracheal, bronchial, bronchovesikuler, dan vesikuler terjadi pada dinding toraks.1
Diferrential diagnosis
Pemeriksaan Penunjang:3
1. Pemeriksaan Darah; Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meinggi dengan hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumalh limfosit masih di
bawah normal. Laju endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh,
jumlah leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap darah
mulai turun ke arah normal lagi.
2. Tes serologis; Pemeriksaan ini dapat menunjukkan proses tuberkulosis masih aktif
atau tidak. Kriteria positif yang dipakai di Indonesia adalah titer 1/128. Menggunakan
suatu fosfatida kaolin. Hasil positif ditunjukkan dengan adanya penggumpalan atau
aglutinasi.
3. Pemeriksaan Radologis; terdapat cavitas paru dan scar infiltrat.
3
4. Pemeriksaan Sputum; dilakukan melalui pewarnaan tahan asam. Kriteria sputum BTA
positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu
sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum.3
Gejala klinis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah
banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.
Keluhan yang terbanyak adalah: (1) Demam. Biasanya subferil atau menyerupai demam
influenza. Tetapi kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-410C. serangan demam
pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya
hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari
serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan
berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. (2) Batuk/batuk darah. Gejala ini
banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan
untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam
jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut berupa batuk darah karena
terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberkulosis terjadi pada
kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus. (3) Sesak napas. Sesak napas
akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah
bagian paru-paru. (4) Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila
infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pluera sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya. (5) Malaise. Penyakit
tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa
anoreksia, penurunan berat badan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll.
Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.4
Etiologi
4
tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat
tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun
dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Di dalam
jaringan kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat
kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan
yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-
paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi
penyakit tuberculosis.4
Epidemiologi
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih
tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO
mendeklarasikan TB sebagai global helath emergency. Indonesia adalah negeri dengan
prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Berdasarkan survei kesehatan
rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking nomor 3
sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.4
Patogenesis
Tuberkulosis primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang
buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari
sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel
pada saluran napas atau jaringan paru. Partikel bisa masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer. Kuman akan dihadapi pertama kali oleh netrofil, kemudian baru oleh makrofag.
Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.3
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Di sini
ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang dijaringan paru akan
5
berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek primer
atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer ini dapat terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila
menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pluera. Kuman dapat juga masuk melalui
saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar keseluruh organ seperti paru, otak,
ginjal, dan tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian
paru menjadi TB milier.3
Dari sarang primer akan muncul peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis
regional). Sarang primer limfangitis lokal + limfadenitis regional = kompleks primer (Ranke).
Semua proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat
menjadi:3,4
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di
hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya > 5 mm dan kurang
lebih 10% diantaranya daapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
Berkomplikasi dan menyebar secara: a). per kontinuitatum, yakni menyebar ke
sekitarnya, b). secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di
sebelahnya. Kuman dapat juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar
ke usus, c). secara limfogen, ke organ tubuh lainny, d). secara hematogen, ke organ
tubuh lainnya.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit
dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit
6
dan berbagai jaringan ikat. TB sekunder juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia
muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis). Tergantung dari jumlah kuman, virulensi-
nya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi:4
Secara keselurahan akan terdapat 3 macam sarang yakni: 1). Sarang yang sudah sembuh,
sarang bentuk ini tidak perlu pengobatan lagi. 2). Sarang aktif eksudatif, sarang bantuk ini
perlu pengobatan yang lengkap dan sempurna. 3). Sarang yang berada antara aktif dan
sembuh. Sarang bentuk ini dapat sembuh spontan, tetapi mengingat kemungkinan terjadinya
eksaserbasi kembali, sebaiknya diberikan pengobatan yang sempurna juga.4
Penatalaksanaan
Medikamentosa
INH (Isoniazid): dosis 5-10 mg/KgBB/hr. Dosis max 300-600 mg/hr. Efek samping:
neuritis perifer, neurotoksisitas, urtikaria, vaskulitis, agranulositisis trombositopenia,
ikterus, nekrosis hati multilobuler.
Rifampisin: dosis 450-600 mg/hr. Efek samping: cairan tubuh seperti urin, feses,
keringat jadi warna merah, flu like syndrome, trombositopenia, ikterus, penyakit hati
kronik, pemberian secara intermittent menyebabkan timbulnya sindroma hepatorenal.
Nsufisiensi renal akut, hipersensitifitas, kelainan hematologik, ganghuan saraf.
Etambutol: dosis 15 mg/kgBB/hr. Efek samping neuritis retrobulbar meliputi buta
warna, lapang pandang berkurang, skotoma. Nyeri sendi, peningkatan asam urat.
7
Streptomisin: dosis 20 mg/kgBB/hr. Efek samping: ototoksisitas, nefrotoksik.
Pirazinamid: dosis 15-40 mg/KgBB/hr. Efek samping : gangguan fungsi hati antara
lain ikterus dan peningkatan SGOT dan SGPT. Keadaan berat bisa nekrosis hati.
Peningkatan asam urat.3,4
Non-medikamentosa
Faktor penting untuk keberhasilan pengobatan adalah ketaatan pasien minum regimen
obat. DOTS (Directly Observed treatment Short Course strategy) adalah salah satu cara
memastikan bahwa pasien taat menjalankan pengobatan, Dengan DOTS, pekerja perawat
kesehatan atau seseorang ditunjuk. Mengawasi pasien menelan masing-masing dosis
pengobatan Tb. Langkah-langkah seperti DOTS dipilih untuk meningkatkan ketaatan dan
memastikan bahwa pasien meminum obat yang dianjurkan.4
Kanker paru
Pemeriksaan penunjang:5
1. Radiologi; Foto thorax posterior anterior (PA) dan lateral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru.
Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan massa udara pada
bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra. Bronkhografi,
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2. Laboratorium; Sitologi untuk melihat tahapan karsinoma dan pemeriksaan fungsi paru
untuk mengukur seberapa besar kapasitas paru yang masih berfungsi baik.
3. Pemeriksaan histopatologi, adalah standar emas diagnosis kanker paru, untuk
mendapatkan spesimennya dapat dengan cara biopsi
4. Petanda tumor; Petanda tumor, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan Biologi Molekuler; cara paling sederhana dapat menilai ekspresi
beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti protein p53,
bcl2,dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah
menentukan prognosis penyakit.5
Gejala klinis
8
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila
sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam stadium lanjut. Gejala-gejala dapat bersifat
:5,6
Lokal (tumor tumbuh setempat) yaitu batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk
kronis, hemoptisis, mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas,
kadang terdapat kavitas seperti abses paru, dan atelektasis.
Invasi lokal: nyeri dada, dispnea karena efusi pleura, invasi ke pericardium sehingga
terjadi temponade atau aritmia, sindrom vena cava superior, sindrom Horner, dan
suara serak karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent.
Gejala penyakit metastasis: pada otak, tulang, hati, adrenal, limfadenopati servikal
dan supraklavikula (sering menyertai metastasis)
Sindrom paraneoplastik, terdapat pada 10% kanker paru dengan gejala: Sistemik:
penurunan berat badan, anoreksia, demam. Hematologi: leukositosis, anemia,
hiperkoagulasi. Hipertrofi osteoartropati, Neurologik: dementia, ataksia, tremor,
neuropati perifer. Neuromiopati, Endokrin: sekresi berlebihan hormon paratiroid
(huperkalsemia), Dermatologik: eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh, Renal:
syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIADH)
Asimptomatik: sering terdapat pada perokok pada PPOK yang terdeteksi secara
radiologis, dan terdapat kelainan berupa nodul soliter.
Seperti umumnya kanker yang lain penyebab yang pasti dari kanker paru belum
diketahui, tetapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat karsinogenik
merupakan faktor penyebab utama, disamping adanya faktor lain seperti kekebalan tubuh,
genetik, dll. Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru sangat
berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan Doering (1928), telah melaporkan
tingginya insiden kanker paru pada perokok dibandingkan degan yang tidak merokok. Laki-
laki adalah kelompok kasus terbanyak meskipun angka kejadian pada perempuan cendrung
meningkat, hal itu berkaitan dengan gaya hidup (merokok) .Prevalensi kanker paru di negara
maju sangat tinggi. Insiden puncak kanker paru terjadi antara usia 55 65 tahun.6
Patogenesis
9
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia
hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya
pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi
perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura,
biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini
menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal.
Gejala gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptisis, dispneu, demam, dan dingin.
Wheezing unilateral dapat terdengar pada auskultasi. Pada stadium lanjut, penurunan berat
badan biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat
bermetastase ke struktur struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus,
pericardium, otak, tulang rangka.5
Penatalaksanaan
Bedah; Bedah yang dilakukan adalah dengan membuang 1 lobus paru (kadang lebih)
tempat ditemukannya tumor dan juga membuang semua kelenjar getah bening
mediastinal.
Kemoterapi; Kemoterapi adalah memberikan obat anti-kanker pada pasien dengan
cara diinfuskan. Pada kemoterapi diberikan lebih dari 1 jenis obat antikanker dan
biasanya 2 macam, tujuannya agar lebih banyak sel kanker yang dapat dibunuh
dengan jalur yang berbeda.
Obat Anti Kanker; karboplatin, golongan taxan, gemsitabine, capecitabine dengan
dosis sangat kecil sehingga tidak mempunyai efek sistemik.5
Bronkiektasis
Pemeriksaan penunjang
1. Foto toraks dada. Tidak sensitif dalam mendeteksi derajat dari penyakit
(ringan/sedang). Dari foto polos dapat terlihat gambaran seperti jalur tram, cincin,
garis pararel dan struktur tubular. Pada bronkiektasis sakular, terdapat gambara ruan
kistik, air fluid level atau gambaran honeycomb.
2. CT-scan, standar baku dalam mendiagnosis bronkiektasis. Lebih sensitif
dibandingkan foto polos dada menggambarkan dliatasi saluran napas pada kedua
10
lobus dan lingula. Karasteristik: bronchial tapering menurun, bronkus terihat 1 cm
pada tepi paru, rasio ukuran bronkoarteri meningkat ( tanda sig net ring)
3. Pemeriksaan sputum, kultur sputum, pewarnaan, dapat ditemukan neurtofilia dan
kolonisasi. Selain itu dapat dilakukan tes resistensi antibiotic (terutama pada infeksi
pseudomonas aeroginosa).7
Gejala klinis
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas
dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri
khas penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis
dan pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada
penyakit yang berat, dan tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.
Bronkiektasis yang mengenai lobus atas sering dan memberikan gejala. Keluhan-keluhan
pada bronkiektasis meliputi: (1) Batuk. Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain
batuk produktif berlangsung kronik, dan frekuensi mirip seperti bronchitis kronik (bronchitic-
like symptoms), jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi
hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari tidur. Kalau tidak ada infeki
sekunder sputumnya mukoid, sedangkan apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulent,
dan dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap (fetor ex ore). (2) Hemoptisis. Hemoptisis
atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Kelainan ini terjadi akibat
nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul
perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi. (3) Sesak napas (dispnea), mengi. Pada
sebagian besar pasien (50%) ditemukan keluhan sesak napas. (4) Demam berulang.
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang
pada bronkus maupun paru, sehingga sering timbul demam (demam berulang). Dari
pemeriksaan fisik dapat ditemukan takipneu, ronki basah (hingga 70% kasus), mengi dan jari
tabuh. Jika disertai penyakit sistemik berat lainnya dapat terjadi hipoksemia kronik, kor
pulmonal, atau gagal ventrikel kanan.7
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasis)
dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten atau
ireversibel. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding
bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang rawan dan
11
pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah bronkus kecil (medium
size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang. Penyebab bronkiektasis sampai sekarang
masih belum diketahui dengan jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat
timbul secara kongenital maupun didapat. Insiden bronkiektasis meningkat seiring
bertambahnya usia, sekitar 272 per 100.000 orang dengan usia >75 tahun. Sering ditemui
pada perempuan usia > 50 tahun yang tidak merokok. Insidens perempuan lebih tinggi
dibandingkan laki-laki.7
Patogenesis bronkiektasis
Penatalaksanaan bronkiektasis:7
Pengobatan konservatif
1. Pengelolaan umum
Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien. Contoh: membuat
ruangan hangat, udara kering, mencegah atau menghentikan merokok, dan
mecegah atau menghindari asap rokok, debu, dan sebagainya.
Memperbaiki drainase secret bronkus, cara yang baik dikerjakan sebagai
berikut: melakukan drainase postural, mencairkan sputum yang kental,
mengatur posisi tempat tidur pasien, dan mengontrol infeksi saluran napas
2. Pengelolaan khusus
12
Kemoterapi pada bronkiektasis
Drainase secret dengan bronkoskop
3. Pengobatan simptomatik
Pneumonia
Pemeriksaan penunjang
13
Gambar 2. Gambaran Radiologis Pneumonia Bakteri
Sumber: www.google.co.id/image
2. Pemeriksaan laboratorium: leukositosis umumnya menandai adanya infeksi bakteri,
peningkatan jumlah lekosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai
30.000/ul. hitung jenis lekosit terdapat pergeseran ke kiri. peningkatan LED. Analisis
gas darah menunjukkan hipoksemia dan hipokarbia, dan pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik.9
Gejala klinis
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului infeksi saluran nafas atas akut selama
beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai
40oC, sesak nafas, nyeri dada, dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna
merah karat (untuk streptococcus pneumoniae), merah muda (untuk staphylococcus aureus),
atau kehijauan dengan bau khas (untuk pseudomonas aeruginosa). Pada sebagian penderita
juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala.9
Etiologi.9
14
Gangguan imun yg mendasari : a. Gangguan imunitas humoral infeksi
kuman
b. Gangguan imunitas selular virus,
jamur, mikobakterium, dan protozoa
Epidemiologi
Patogenesis pneumonia
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor yaitu keadaan (imuitas) inang,
mikroorganisme yang menyerang pasien dan lingkungan yang berinteraksi satu sama lain.
Interaksi ini akan menentukan klasifikasi dan bentuk manifestasi dari pneumonia, berat
ringannya penyakit, diagnosis empirik, rencana terapi secara empiris serta prognosis dari
pasien. Cara terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui
droplet sering disebabkan Streptococcus pneumoniae, melalui selang infuse oleh
Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemasangan ventilator oleh Pseudomonas
aeruginosa dan Enterobacter.9
Penatalaksanaan:9
15
Penyakit Penyebab Antimikroba
Pneumonia aspirasi Anaerob, aerob S. aureus Penisilin
komunitas dan RS gram (-) enterik Klindamisin
Tetra-klavulanat
Pneumonia nosokomial Bakteri gram negatif Piperasilin
Tazobaktam
karbapenem
Pemeriksaan penunjang:
Gejala Klinis
Secara klinis gejala mikosis paru sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala berarti
sampai dengan gejala paling berat yang bisa menimbulkan kematian. Gejala utama yang
sering dijumpai adalah sama dengan gejala penyakit paru yang lainnya yaitu berupa batuk,
batuk kronik dengan dahak, kadang-kadang sesak napas, batuk darah, sakit dada, dan
demam.10
Penyakit paru karena jamur (mikosis paru) termasuk ke dalam mikosis sistemik.
Kekerapan dan masalah yang ditimbulkan mikosis paru juga meningkat. Penyebab terbanyak
adalah Candida albicans 36,67%, kemudian Aspergillus fumigatus 27,33%, Candida sp. dan
16
A.flavus masing-masing 11,6%, Rhizopus sp. 5,56%, A.niger 3,70%, Mucor sp. 1,85%, dan
Nocardia sp. 1,85%. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan ternyata dijumpai 3,35%
mikosis paru pada pasien dengan gejala batuk kronik dan berdahak.10
Patofisiologi
Penatalaksanaan
Pada saat ini anti jamur yang digunakan untuk pengobatan mikosis sistemik adalah
amfoterisin B, flusitosin, ketokonasol, itrakonasol dan flukonasol. Untuk penyakit jamur yang
tidak mengancam jiwa, pilihan jatuh pada flukonasol. Bila flukonasol tidak aktif terhadap
jamur penyebab, pilih itrakonasol. Untuk infeksi jamur sistemik berat, mula-mula diberikan
amfoterisin B sebagai terapi awal, kemudian baru diteruskan denan flukonasol atau
itrakonasol. 10
Pemeriksaan penunjang
17
1. Tes Spirometri; menghitung Forced Expiratory Volume (FEV1) dan Forced Vital
Capacity (FVC), yaitu volume ekspirasi maksimal yang dapat dihembuskan dalam
detik pertama dan tarikan napas maksimal yang dapat dihirup dalam satu kali tarikan
napas yang dalam.rasio FEV1/FVC minimal mencapai angka 70%. Pada pasien
PPOK rasio akan menurun dibawah 70%.
2. COPD Assessment Test; pasien mengisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan
PPOK seperti sifat batuk, sputum, dyspnea, sesak dada, dll. Jawaban pasien dinilai
berdasarkan skor yang telah ditentukan (0-40) dan semakin tinggi skor maka tingkat
keparahan penyakit akan semakin tinggi.
3. Pemeriksaan radiologis; dapat dilakukan dengan x-ray. Penampakan yang paling
umum terjadi adalah hiperinflasi paru, peningkatan udara retrosternal, dan adanya
bulla.11
Gejala klinis
Gejala utama bronkitis kronik adalah batuk berdahak yang menetap. Selama bertahun-
tahun, tidak ada gangguan pernapasan lain, tetapi akhirnya pasien mengalami sesak jika
beraktivitas (berolahraga). Dengan berlalunya waktu, dan biasanya dengan berlanjutnya
merokok, elemen-elemen lain PPOK mulai muncul, termasuk hiperkapnia, hipoksemia, dan
sianosis ringan. Bronchitis kronik berat yang telah berlangsung lama sering menyebabkan kor
pulmonale dan gagal jantung. Kematian juga dapat disebabkan oleh memburuknya fungsi
pernapasan akibat infeksi bakteri akut berulang.11
Dapat dipicu oleh berbagai faktor seperti merokok, pajanan lingkungan pekerjaan,
polusi udara, hiperresponsivitas bronkial, faktor genetik, penyakit autoimun, dan eksaserbasi
akut. Rokok dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput lendir bronchus sehingga
drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri.Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, merupakan sumber bakteri
yang dapat menyerang dinding bronchus. Dilatasi bronchus (bronchiectasis) menyebabkan
gangguan susunan dan fungsi dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi.
Kedua jenis kelamin dan semua usia dapat terkena, tetapi bronkitis kronik paling sering
dijumpai pada pria usia pertengahan. Bronkitis kronik 4 sampai 10 kali lebih sering pada
perokok berat tanpa memandang jenis kelamin, usia, pekerjaan, atau tempat tinggal.11
18
Patogenesis
Faktor primer atau pemicu dalam pembentukan bronkitis kronik adalah iritasi kronik
oleh bahan-bahan yang terhirup, misalnya asap rokok (90% pasien adalah perokok) dan padi-
padian, kapas, dan debu silika. Infeksi bakteri dan virus merupakan hal penting yang dapat
memicu eksaserbasi akut penyakit.
Gambaran paling dini dari bronchitis kronik adalah hipersekresi mucus di saluran
napas besar karena terjadinya hipertrofi kelenjar submukosa di trakea dan bronkus. Protease
yang dikeluarkan dari neutrofil serta metalloproteinase matriks, merangsang terjadinya
hipersekresi mucus. Seiring dengan menetapnya bronkitis kronik, juga terjadi peningkatan
mencolok jumlah sel goblet di saluran napas kecil-bronkus kecil dan brokiolus sehingga
terjadi produksi mucus yang berlebihan yang ikut menyebabkan obstruksi saluran napas.
Diperkirakan bahwa, baik hipertrofi kelenjar submukosa maupun peningkatan sel goblet
adalah suatu reaksi metaplastik protektif terhadap asap rokok atau polutan lain (misalnya
sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Hipersekresi mucus di saluran napas besar adalah
penyebab pembentukan berlebihan sputum. Peran infeksi tampaknya hanya sekunder. Infeksi
tifdak memicu bronchitis kronik, tetapi berperan dalam menimblkan eksaserbasi akut. Asap
rokok mempermudah terjadi infeksi, dapat dengan mengganggu kerja silia epitel saluran
napas, dapat secara langsung merusak epitel saluran napas, dan menghambat kemampuan
leukosit bronkus dan alveolus membersihkan bakteri. Infeksi virus juga dapat menyebabkan
eksaserbasi bronkitis kronik.11
Penatalaksanaan
19
5. Kortikosteroid; sebagai antiinflamasi yang bekerja dengan cara menurunkan
permeabilitas kapiler sehingga jumlah mucus berkurang, menghambat aktifitas
enzim proteolitik, dan menghambat prostaglandin.
6. Antibiotik; hanya diberikan pada kasus eksaserbasi yang diseababkan oleh
karena bakteri.11
Abses paru
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru yang
terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nana (pus) dalam parenkim paru pada
satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan kavitas pada tuberculosis paru.
Abses paru lebih sering terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dan umumnya terjadi
pada usia tua.11
Pemeriksaan penunjang
Gambaran klinis
Onset penyakit bisa berjalan lambat atau mendadak/akut. Disebut abses akut bila
terjadinya kurang dari4-6 minggu. Umumnya pasien memiliki riwayat perjalan penyakit 1-3
minggu dengan gejala awal adalah badan terasa lemah, tidak nafsu makan, penurunan berat
badan, batuk kering, keringat malam, demam intermitten bisa disertai menggigil dengan suhu
tubuh mencapai 39,40C atau lebih. Tidak ada demam tidak menyingkirkan adanya abses
paru. Setelah beberapa hari dahak bisa menjadi purulen dan bisa mengandung darah.
Kadang-kadang kita belum curiga adanya abses paru sampai dengan abses tersebut
menembus bronkus dan mengeluarkan banyak sputum dalam beberapa jam sampai dengan
20
beberapa hari yang bisa mengandung jaringan paru yang mengalami gangren. Sputum yang
berbau amis dan berwarna anchovy menunjukkan penyebabnya bakteri anearob dan disebut
dengan putrid abscesses, tetapi tidak didapatkannya sputum dengan ciri diatas tidak
menyingkirkan kemungkinan infeksi anaerob. Bila terdapat nyeri dada menunjukkan
keterlibatan pleura. Batuk darah bisa dijumpai, biasanya ringan tetapi ada yang massif. Pada
beberapa kasus penyakit berjalan sangat akut dengan mengeluarkan sputum yang berjumlah
banyak dengan lokasi abses biasanya di segmen apikal lobus atas. Sedangkan abses paru
sekunder seperti yang disebabkan oleh septiK emboli paru dan infark. Abses sudah bisa
timbul hanya dalam waktu 2-3 hari.12
Patogenesis
Bermacam-macam faktor yang berinteraksi dalam terjadinya abses paru seperti daya
tahan tubuh dan tipe dari mikroorganisme patogen yang menjadi penyebab. Terjadinya abses
paru biasanya melalui dua cara yaitu aspirasi dan hematogen. Yang paling sering dijumpai
adalah kelompok abses paru bronkogenik yang termasuk akibat aspirasi, stasis sekresi, benda
asing, tumor, dan striktur bronkial. Keadaan ini menyebabkan obstruksi bronkus dan
terbawanya organisme virulen yang akan menyebabkan infeksi pada daerah distal obstruksi
tersebut. Abses seperti ini banyak terjadi pada psien bronkitis kronik karena banyanya mukus
pada saluran napas bawahnya yang merupakan kultur media yang sangat baik bagi organisme
yang teraspirasi.
Secara hematogen, yang paling sering terjadi adalah akibat septikemi atau sebagai
fenomena septik emboli, sekunder dari fokus infeksi dari bagian lain tubuhnya seperti
tricuspid valve endocarditis. Penyebaran hematogen ini umumnya akan berbentuk abses
multiple dan kecil-kecil adalah lebih sulit dari abses single walaupun ukurannya besar. Secara
umum diameter abses paru bervariasi dari beberapa mm sampai 5 cm. atau lebih. Disebut
abses primer bila infeksi diakibatkan aspirasi atau pneumonia yang terjadi pada orang
normal, sedangkan abses sekunder bila infeksi terjadi pada orang yang sebelumnya sudah
mempunyai kondisi seperti obstruksi, dronkiektasis dan gangguan imunitas.
Selain itu abses paru dapat terjadi akibat necrotizing pneumonia yang menyebabkan
terjadinya nekrosis dan pencairan pada daerah yang mengalami konsolidasi, dengan organism
penyebabnya paling sering adalah Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumonia dan grup
Pseudomonas. Abses yang terjadi biasanya multiple dan berukuran kecil-kecil (<2cm). Bula
atau kista yang sudah ada bisa berkembang menjadi abses paru.11,12
21
Etiologi
Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pasien abses paru adalah eradikasi secepatnya dari patogen
penyebab dengan pengobatan yang cukup, drainase yang adekuat dari empiema, dan
pencegahan komplikasi yang terjadi. Pasien abses paru memerlukan istirahat yang cukup.
Bila abses paru pada foto dada menunjukkan diameter 4 cm atau lebihh sebaiknya pasien
pasien dirawat inap. Posisi berbaring pasien hendaknya miring dengan paru yang terkena
abses berada diatas supaya gravitasi drainase lebih baik. Bila segmen superior lobus bawah
yang terkena, maka hendaknya bagian atau tubuh pasien /kepala berada dibagian terbawah
(posisi trendelenberg). Diet biasanya bubur biasa dengan tinggi kalori tinggi protein. Bila
abses telah mengalami resolusi dapat diberikan nasi biasa. Penyembuhan sempurna abses
paru tergantung dengan pegobatan antibioti yang adekuat dan diberikan sedini mungkin
segera setelah sampel dahak dan darah diambil untuk dikultur dan tes sensitivita. Kebanyakan
abses paru yang disebabkan bakteri anerob kumannya tidak dapat ditentukan dengan pasti,
sehingga pengobatan diberikan secara empiric. Antibiotic yang paling baik adalah
klindamisin oleh karena mempunyai spectrum yang lebih baik pada bakteri anaerob.
Klindamisin diberikan mula-mula dengan dosis 3x600 mg intravenous, kemudian 4x300 mg
oral/hari. Regimen alternatif adalah penisilin G 2-10 juta unit/hari, ada yang sampai
memberikan 25 juta unit atau lebih/hari, dikombinasikan dengan streptomisin, kemudian
dilanjutkan dengan penisilin oral 4x500-750 mg/hari. Antibiotic parenteral diganti keoral bila
pasien tidak panas lagi dan merasa sudah baikan. Kombinasi penisilin 12-18 juta unit/hari dan
metronidazol 2 g/hari dengan dosis terbagi (untuk penyebab bakteri anaerob) yang diberikan
22
selama 10 hari.Kemudian antibiot ic diberikan sesuai dengan hasil tes sensitivitas, abses paru
yang disebabkan oleh stafilokokus harus diobati dengan penisilinase resistant penicillin atau
sefalosporin generasi pertama, sedangkan untuk Staphylococcus aureus yang methicillin
resistant pilihannya adalah vankomisin. Abses paru amubik diberikan metronidazol 3x750
mg, sedangkan bila penyakitnya serius dan terjadi rupture dari abses harus ditambahkan
emetin parenteral pada 5 hari pertama. Resolusi sempurna biasanya membutuhkan waktu
pengobatan 6-10 minggu dengan pemberian antibiotic oral sebagai pasien rawat jalan.12
Tiap kemungkinan penyakit memiliki prognosis yang berbeda-beda. Dalam kasus ini,
tindakan pencegahan dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan perjalanan penyakit
menjadi lebih buruk. dengan melakukan pengobatan berdasarkan regimen yang dianjukan,
maka hasil yang diharapkan juga akan lebih baik, serta menghindari faktor-faktor pencetus
yang dapat memperburuk keadaan. Tindakan terapi sedini mungkin akan membantu
meringankan komplikasi lebih lanjut.12
Kesimpulan
Pada kasus ini, dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sesuai, maka akan
mungkin didapatkan diagnosis yang tepat dari pasien. Dengan adanya pemeriksaan
penunjang yang memadai untuk tiap kemungkinan penyakit yang dicurigai, working
diagnosis akan mengarah lebih tepat. Pada kasus ini, dikarenakan hasil pemeriksaan
penunjang yang spesifik yang diminta yaitu pemeriksaan BTA belum keluar, maka pasien
belum dapat didiagnosis sebagai tuberkulosis paru, untuk itu penting untuk membuat
beberapa daftar kemungkinan penyakit yang mungkin dari gejala klinik yang dikeluhakan
pasien.
23
Daftar pustaka
1. Thomas J, Monaghan T. Buku saku oxford pemeriksaan fisik & keterampilan praktis.
Jakarta: EGC;2012.h.168-82.
2. Santoso M, Kartadinata H, Yuliani IW, Widjaja WH, Kurnia Y, Rumawas MA. Buku
panduan keterampilan klinik. Jakarta: Fakultas Kedokteran UKRIDA;2011.h.40-9.
3. Wardhani DP, Uyainah A. Tuberkulosis. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S,
Pradipta EA, penyunting. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014.
4. Ipd
5. Pradipta EA, Wardhani DP, Uyainah A. Kanker paru. Dalam: Tanto C, Liwang F,
Hanifati S, Pradipta EA, penyunting. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014
6. Ipd ca 2006
7. Rahmatullah P. Bronkiektasis. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata K,
Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
publishing;2014.h.1682-9
8. Wardhani DP, Uyainah. Bronkiektasis. Dalam: Tanto C, Liwang F, Hanifati S,
Pradipta EA, penyunting. Kapita selekta kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Media
Aesculapius; 2014.h.284-6.
9. Dahlan Z. Pneumonia. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata K,
Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
publishing;2014.h.1608-12
24
10. Tanjung A, Keliat EN. Mikosis paru. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata K, Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6.
Jakarta: Interna publishing;2014.h.1658-64
11. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & Cotran dasar patologis penyakit. Edisi ke-
7. Jakarta: EGC;2007.
12. Rasyid A. Abses paru. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata K,
Setiyohadi B, Syam AF, penyunting. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna
publishing;2014.h.1651-7
25