Kelompok PBL E8
Rullyn Suzana Saputri Mandar 102010243
Pendahuluan
Skenario
Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dibawa ibunya ke poliklinik RS karena sering batuk
sejak 3 bulan yang lalu. Batuk terutama terjadi pada malam hari dan tidak disertai dengan
demam. Anak telah sering dibawa berobat ke puskesmas namun tidak banyak mengalami
perubahan. Seminggu terakhir, batuk pilek yang dialami anak semakin sering.
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Merupakan keluhan subjektif yang timbul bila ada perasaan tidak nyaman
gangguan/kesulitan lainnya saat bernapas yang tidak sebanding dengan tingkat aktivitas.
Serangan sesak napas akut yang berat merupakan kedaruratan medis karena keadaan ini
menunjukkan adanya tension pneumothorax, asma, atau gagal jantung kiri akut.3,4
1. Inspeksi
Ada/tidaknya lesi pada dada seperti spider naevi, scar, pelebaran vena-vena superfisial
akibat bendungan vena dan sebagainya.
Menentukan jenis napas seperti torakal (tumor abdomen, peritonitis),abdominal
(PPOK lanjut) dan kombinasi seperti torakoabdominal padawanita sehat dan pria
sehat abdominaltorakal. Perhatikan pasien apakahmenggunakan otot-otot bantu
pernapasan, kalau ada biasanya pada pasienRBC paru lanjut atau PPOK. Lihat apakah
ada paru yang tertinggal? Kalauada berarti ada gangguan di daerah paru yang
tertinggal.
Bentuk toraks antara lain; pectus excavatum (dada dan tulang sternum cekungke
dalam), pectus carinatum (dada dan tulang sterum menonjol ke depan),barrel chest
(diameter anteroposterior membesar) sedangkan posteriorperhatikan apakah
berbentuk kifosis atau skoliosis.
2. Palpasi
- Palpasi statis
- Palpasi dinamisyaitu :
Pemeriksaan ekspansi paru yang normal adalah kedua sisi dadaharus sama-sama
terangkat dan mengembang selama inspirasimaksimal.
Pemeriksaan vokal fremitus, meletakkan kedua telapak tangan pada permukaan
dinding dada lalu minta pasien menyebutkan 77 atau 99 dan rasakan getarannya.
Dilaporkan sebagai normal,melemah(hidrotorak, atelektasis) dan
mengeras(pneumonia, TBCaktif).
3. Perkusi
Melakukan pengetukan pada dada dengan jari dan mendengarkan bunyiketukan yaitu:
sonor(paru normal), hipersonor (pneumotorak, emfisema, bulayang besar), redup
(pneumonia, efusi pleura sedang), pekak(tumor paru,efusipleura masif) dan timpani
(lambung). Pengetukan bergantian secara zig-zag(kanan-kiri).
4. Auskultasi
Bunyi pernapasan terdengar pada hampir seluruh lapangan paru. Bunyi pernapasan
terdiri dari fase inspirasi diikuti dengan fase ekspirasi. Ada 4 macam bunyi pernapasan
abnormal, yaitu:
a. Bunyi pernapasan trakeal, adalah bunyi yang sangat kasar, keras dan dengan nada
tinggi yang terdengar pada bagian trakea ekstratoraks.
b. Bunyi pernapasan bronkial, adalah bunyi yang keras, dengan tinggi nada tinggi,
seperti udara mengalir melalui pipa. Komponen ekspirasinya lebih keras dan lebih
lama ketimbang komponen inspirasi.
c. Bunyi pernapasan bronkovesikuler, adalah campuran bunyi bronkial dan bunyi
vesikuler. Komponen inspirasi dan ekspirasinya sama panjang.
d. Bunyi pernapasan vesikuler, adalah bunyi lemah dengan tinggi nada rendah yang
terdengar diatas kebanyakan lapangan paru. Komponen inspirasinya jauh lebih
panjang ketimbang komponen ekspirasi, yang jauh lebih lemah dan seringkali tidak
terdengar.4,5
Tabel 1. Perbandingan Pemeriksaan Fisik Penyakit Paru.
Pemeriksaan Penunjang
Eosinofilia pada darah dan sputum terjadi pada asma. Eosinofilia darah lebih dari 250-
400 sel/mm3 adalah biasa. Sputum penderita asma sangat kental, elastis dan keputih-putihan.
Cat biru metilen-eosin biasanya menampakkan banyak eosinofil dan granula dari sel yang
terganggu. Beberapa penyakit pada anak selain asma mungkin menyebabkan eosinofilia
dalam sputum. Biakan sputum biasanya tidak membantu pada anak asma karena superinfeksi
bakteri jarang dan biakan seringkali terkontaminasi dengan organisme orofaring. Dalam
sputum akan didapat kristal Charcot-Leyden dan spiral Cursch-mann. Protein serum dan
kadar imunoglobulin biasanya normal pada asma, kecuali bahwa kadar IgE mungkin
bertambah. Uji tuberculin penting dan bukan saja karena di Indonesia masih banyak
tuberculosis, tetapi juga karena kalau ada tuberculosis dan tidak diobati, asmanya-pun
mungkin sukar dikontrol. Uji alergi kulit dan URAS (uji alergosorben) atau penentuan IgE
spesifik secara in vitro lainnya, berguna dalam mengenali alergen lingkungan yang secara
potensial penting.
Uji tantangan inhalasi bronkus jarang sekali dilakukan untuk menjajaki arti klinik
keterlibatan alergen dengan uji kulit, karena tantangan alergenik dapat menimbulkan respon
asma fase lambat, prosedur ini memakan waktu dan hanya satu alergen yang dapat diuji pada
suatu saat. Bila diagnosis asma tidak pasti, uji hiper-responsivitas terhadap pengaruh
bronkokonstriktif metakolin atau histamin dapat membantu anak yang cukup tua untuk
bekerja sama pada uji fungsi paru. Uji provokatif metakolin tidak boleh dilakukan bila garis
dasar fungsi paru abnormal; respon terhadap terapi bronkodilator lebih tepat.
Respon penderita asma terhadap uji olahraga sangat khas. Lari selama 1-2 menit sering
menyebabkan bronkodilatasi pada penderita dengan asma; tetapi bila bernapas dalam udara
yang kering dan relatif dingin, olahraga berat yang lama menyebabkan bronkokonstriksi yang
sebenarnya pada semua subjek asmatis. Peragaan respons abnormal terhadap olahraga ini
secara diagnostik membantu dan menolong dalam meyakinkan penderita dan orangtua
mengenai pentingnya pengobatan pencegahan. Lari pada treadmill 3-4 mil/jam dengan
kemiringan 15% serta bernapas melalui mulut selama sekurang-kurangnya 6 menit akan
menimbulkan penyumbatan jalan napas pada kebanyakan penderita dengan asma, terutama
jika olahraga menyebabkan kenaikan frekuensi nadi sampai sekurang-kurangnya 180
denyut/menit. Pengukuran fungsi paru sebelum olahraga, segera sesudah olahraga, juga 5 dan
10 menit kemudian biasanya menampakkan penurunan angka aliran ekspirasi puncak (peak
expiratory flow rate = PEFR) atau volume ekspirasi paksa (forced expiratory volume = FEV)
dalam 1 detik (FEV1) sekurang-kurangnya 15% tanpa premedikasi. Jika olahraga tidak
menyebabkan penyumbatan jalan napas, uji diulangi pada hari lainnya ketika kelembaban
udara relatif rendah, biasanya mendatangkan respons positif pada penderita asma. Uji
olahraga harus ditangguhkan jika terjadi penyumbatan jalan napas yang berarti. Bila mungkin
bronkodilator dan kromolin harus dihentikan selama sekurang-kurangnya 8 jam sebelum
pengujian; teofilin lepas lambat (slow release) jangan diberikan 12-24 jam sebelum
pengujian.
Setiap anak yang diduga menderita asma tidak memerlukan roentgenogram dada, tetapi
pemeriksaan ini seringkali tepat untuk mengesampingkan kemungkinan diagnosis lainnya
ataupun komplikasi, seperti atelektasis atau pneumonia. Corakan paru sering bertambah pada
asma. Hiperinflasi terjadi selama serangan akut dan dapat menjadi kronis apabila
penyumbatan jalan napas menetap. Atelektasis dapat terjadi sebanyak 6% anak selama
eksaserbasi akut dan sepertinya terutama melibatkan lobus media kanan, dimana atelektasis
dapat menetap selama berbulan-bulan. Roentgenogram ulangan selama masa eksaserbasi
biasanya tidak diindikasikan bila tidak ada demam; bila tidak ada kecurigaan pneumotoraks,
atau takipnea yang lebih dari 60 denyut/menit, takikardia yang lebih dari 160/menit, ronki
atau mengi setempat, atau suara pernapasan yang berkurang.
Uji fungsi paru bermanfaat dalam mengevaluasi anak yang diduga menderita asma.
Pada mereka yang diketahui menderita asma, uji demikian berguna dalam menilai tingkatan
penyumbatan jalan napas dan gangguan pertukaran gas, pada pengukuran respons jalan napas
terhadap alergen dan bahan kimia yang dihirup, atau olahraga (uji provokasi bronkus), dalam
menilai respons terhadap agen teraupetik, dan dalam mengevaluasi perjalanan penyakit
jangka lama. Penilaian fungsi paru pada asma adalah paling bermanfaat bila dibuat sebelum
dan sesudah pemberian aerosol bronkodilator, suatu prosedur yang menunjukkan tingkat
reversibilitas penyumbatan jalan napas pada saat pengujian. Kenaikan PEFR atau FEV1,
sekurang-kurangnya 10% sesudah terapi aerosol, sangat memberi kesan asma. Kegagalan
dalam merespons tidak berarti mengesampingkan asma dan dapat disebabkan oleh status
asmatikus atau karena fungsi paru yang mendekati maksimum.1,6
Diagnosis Banding
Bronkitis Akut
Penyakit ini merupakan suatu penyakit radang pada bronkus yang biasanya mengenai
trakea dan laring, sehingga sering disebut sebagia laringotracheobronchitis . Radang ini dapat
timbul sebagai kelainan jalan nafas atau sebagai bagian dari penyakit sistemik seperti morbili,
pertussis, difteri, dan tifus abdominal. Penyakit ini biasanya didahului oleh infeksi saluran
nafas bagian atas. Infeksi bakteri sekunder dengan Streptococcus pneumoniae, Moraxella
catarrhalis dan H. influenza dapat terjadi. Khasnya, pasien datang dengan batuk kering, tidak
produktif dan timbulnya relatif bertahap, mulai 3-4 hari sesudah munculnya rhinitis.
Ketidakenakan substernal bawah atau nyeri dengan dada terasa panas dan pemeriksaan
dengan auskultasi sering terdengan ronki yang positif.Biasanya pada penyakit ini tidak ada
terapi yang spesifik, pasien dalam beberapa minggu akan sembuh sendiri.7
Bronkiolitis
Penyakit yang merupakan reaksi inflamasi bronkus kecil dan bronkiolus, dimana sering
terjadi pada anak-anak sebagai akibat dari infeksi virus namun tidak jarang juga bisa terjadi
pada orang dewasa. Penyakit ini tidak hanya disebabkan oleh infeksi melainkan juga dapat
disebabkan oleh inhalasi gas toksik, karbon, asam klorida, gas klorin, ammonia, dan sulfur
klorida. Sedangkan bila infeksi sering kali disebabkan oleh adenovirus, rhinovirus, virus
parainfluenza dan Mycoplasma pneumonia.
Diagnosis Kerja
Asma bronkial
Asma bronkial adalah penyakit saluran nafas yang ditandai oleh serangan mendadak
dyspnea, batuk, serta mengi(bunyi patologis). Serangan asma ini dapat berlangsung singkat
dan ringan atau berat dan berlangsung selama berhari-hari. Penyakit ini dapat diklasifikasikan
dalam dua kelompok besar, yaitu asma alergik dan non alergik.
Asma alergik adalah suatu penyakit alergi seperti rhinitis, urtikaria, dan eczema. Pasien yang
berusia muda umumnya cenderung memiliki komponen alergi yang kuat yang biasanya
didasari dengan adanya riwayat atopik pada keluarga. Diferensiasi sel-T pada pasien penyakit
ini memacu produksi berlebihan dari sel tipe TH2 serta IgE dan respon imun yang didominasi
eosinofil.Sedangkan asma non alergik tidak memperlihatkan riwayat alergi. Pasien yang
berusia tua umunya cenderung menderita penyakit ini atau memiliki etiologi campuran.
Biasanya adanya infeksi saluran nafas yang mencetus aktifnya peran IgE. Asma alergik
merupakan suatu penyakit yang paling sering ditemukan, biasanya dicetus oleh debu serbuk
sari dan makanan. Sedangkan asma non alergik biasanya ini biasanya suatu penyakit
berkelanjutan atau sekunder karena pernah diderita saat masih berusia muda dan mengalami
relaps atau lebih dipengaruhi oleh genetik.8
Etiologi
Biasanya penyebab dari penyakit ini adalah adanya penyempitan pada daerah bronkial
sehingga penyumbatan aliran udara saat seseorang melakukan ekpirasi oleh faktor-faktor
pencetus tertentu antara lain.
Alergen utama debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan.
Iritan seperti asap, bau-bauan, polutan.
Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus.
Perubahan cuaca yang ekstrim.
Kegiatan jasmani yang berlebihan.
Lingkungan kerja.
Obat-obatan, misalnya OAINS.
Emosi.
Epidemiologi
Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin, umur pasien,
status atopi, faktor keturunan, serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-kanak ditemukan
prevalensi anak laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi menjelang dewasa
perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan lebih banyak
daripada laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi dari dewasa, tetapi adapula
yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak. Angka ini juga berbeda-beda
antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma
berkisar antara 5-7%.9
Patofisiologi
Patologi asma berat adalah bronkokonstriksi, hipertrofi otot polos bronkus, hipertrofi
kelenjar mukosa, edema mukosa, infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil, basofil, makrofag)
dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomonis adalah Kristal Charcot-Leyden (lisofosfolipase
membran eosinofil), spiral Cursch-mann (silinder mukosa bronkial), dan benda-benda Creola
(sel epitel terkelupas).
Mediator yang baru disintesis dan disimpan dilepaskan dari sel mast mukosa lokal
pasca-rangsangan nonspesifik atau pengikatan alergen terhadap imunoglobulin E (IgE)
terkait-sel mast spesifik. Mediator seperti histamin, leukotrien C4, D4, dan E4 serta faktor
pengaktif trombosit mencetuskan bronkokonstriksi, edema mukosa dan respon imun. Respon
imun awal menimbulkan bronkokonstriksi, dapat diobati dengan agonis reseptor-2, dan
dapat dicegah dengan penstabil-sel mast (kromolin atau nedokromil). Respon hiper-responsif
jalan napas berkelanjutan dengan infiltrasi eosinofil dan neutrofil, dapat diobati dan dicegah
dengan steroid, dan dapat dicegah dengan kromolin atau nedokromil.
Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena jalan napas intratoraks
biasanya menjadi lebih kecil selama ekspirasi. Walaupun penyumbatan jalan napas difus,
penyumbatan ini tidak seragam semua di seluruh paru. Atelektasis segmental atau
subsegmental dapat terjadi, memperburuk ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi.
Hiperinflasi menyebabkan penurunan kelenturan, dengan akibat kerja pernapasan bertambah.
Kenaikan tekanan transpulmoner, yang diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan napas yang
tersumbat, dapat menyebabkan penyempitan lebih lanjut, atau penutupan dini (prematur)
beberapa jalan napas total selama ekspirasi, dengan demikian menaikkan risiko
pneumotoraks. Kenaikan tekanan intratoraks dapat mengganggu aliran balik vena dan
mengurangi curah jantung, yang kemungkinan tampak sebagai pulsus paradoksus.
Hipoksia dan asidosis dapat menyebabkan vasokontriksi pulmonal, tetapi kor pulmonal
akibat dari hipertensi pulmonal yang bertahan bukan merupakan komplikasi asma yang
lazim. Hipoksia dan vasokontriksi dapat mencederai sel alveolar tipe II, mengurangi produksi
surfaktan, yang normalnya menstabilkan alveoli. Dengan demikian proses ini dapat
memperburuk kecenderungan ke arah atelektasis.6
Gejala Klinis
Pada penyakit ini sering kali timbul dyspnea, ortopnea, batuk yang tersering pada
malam hari disertai sputum kental dan lengket, mengi, sesak dada, penurunan bising nafas,
hiperonans, hipoksia, takikardi, sulit saat bernafas, kelainan kulit, retraksi interkostal, dan
biasanya disertai dehidrasi.Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan beratnya derajat
hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat reversibel secara spontan ataupun dengan
pengobatan. Gejalanya bersifat paroksismal, yaitu membaik pada siang hari dan memburuk
pada malam hari. Gejala-gejala tersebut tidak selalu terlihat bersama-sama. Ada penderita
yang hanya batuk tanpa rasa sesak, atau sesak dan mengi saja.Beratnya derajat serangan asma
dibagi dalam serangan derajat ringan, sedang dan berat berdasarkan persentase APE. Nilai
dugaan sesuai kriteria yaitu serangan derajat ringan bila APE > 60% nilai dugaan. Serangan
asma ringan antara lain;
Penatalaksanaan
Non-medikamentosa
Penyuluhan
Menghindari faktor pencetus
Pengendali emosi
Pemakaian oksigen
Medika Mentosa
Target pengobatan pada penyakit ini biasanya meliputi beberapa hal, antara lain
menjaga saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi, membebaskan obstruksi
saluran nafas dengan memberikan bronkodilator inhalasi kerja cepat dan mengurangi
inflamasi saluran pernafasan serta mencegah kekambuhan dengan memberikan
kortikosteroid.
Ada dua macam obat anti asma : terapi simtomatik menggunakan relievers, yaitu
bronkodilator (agonis , teofilin) dan disease-modifying therapy atau controller yang
menggunakan obat antiinflamasi (kortikosteroid, kromolin, antileukotrein). Saat terjadi
serangan asma, obat yang digunakan adalah relievers dibantu dengan controller. Setelah
serangan dapat diatasi dan periode asimtomatik telah tercapai, obat yang digunakan hanya
controller atau bahkan tanpa obat lagi, tetapi penerita dibekali peak flow meter untuk
memantau arus puncak.11
Komplikasi
Kelelahan dan dehidrasi, merupakan kurangnya cairan dalam tubuh yang dapat
menyebabkan hilangnya kesadaran.
lnfeksi jalan napas, merupakan suatu gejala yang ditandai dengan adanya penyumbatan
pada saluran nafas oleh bakteri, virus, dan sebagainya.
Cor pulmonale merupakan hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi pulmonal
yang disebabkan penyakit parenkim paru atau pembuluh darah paru yang tidak
berhubungan dengan kelainan jantung kiri.
Gagal napas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan tekanan parsial
normal O2 dan atau CO2 didalam darah.
Pneumotoraks (jarang), merupakan penumpukan dari udara yang bebas dalam dada diluar
paru yang menyebabkan paru untuk mengempis, dan yang terakhir adalah PPOK, yang
merupakan suatu penyakit obstruksi saluran nafas dan biasanya disebabkan infeksi
saluran nafas serta bronkospasme.
Prognosis
Prognosis jangka panjang asma anak pada umumnya baik. Sebagian besar asma anak
hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Sekitar 50% asma episodik jarang sudah
menghilang pada umur 10-14 tahun dan hanya 15% yang menjadi asma kronik pada umur 21
tahun. 20% asma episodik sudah tidak timbul pada masa akil-baliq, 60% tetap sebagai asma
episodik sering dan sisanya sebagai asma episodik jarang. Hanya 5% dari asma
kronik/persisten yang dapat menghilang pada umur 21 tahun, 20% menjadi asma episodik
sering, hampir 60% tetap sebagai asma kronik/persisten dan sisanya menjadi asma episodik
jarang. Secara keseluruhan dapat dikatakan 70-80% asma anak bila diikuti sampai dengan
umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.1
Edukasi
Pasien biasanya diminta untuk menghindari faktor alergen dan polusi udara. Kemudian
memakan makanan cukup kalori, cairan, dan elektrolit, serta istirahat yang cukup.
Kesimpulan
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang anak tersebut menderita
asma bronkial. Asma bronkial merupakan inflamasi yang ditandai adanya mengi dan rasa
sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas. Penatalaksanaan asma terdiri dari
pemberian obat bronkodilator sebagai pereda yaitu beta 2 agonist seperti salbutamol dan
terbutalin.
Daftar Pustaka
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-3. Jakarta:
Infomedika; 2007. h. 1203-1228.
2. Saranani R. Asma bronkial.. Edisi Februari 2014. Diunduh dari
www.academia.edu/5106624/asma_bronkial. 12 Juli 2016.
3. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2009. h. 83-8.
4. Sloane E. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC; 2004.h.266-77.
5. Kowalaks JP, Welsh W. Buku pegangan uji diagnostik. Edisi ke-3. Jakarta: EGC;
2009.h.651-745.
6. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta: EGC; 2013. h.
776-7.
7. Somantri I. Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika; 2007. h. 142-4.
8. Mitchell, Kumar, Abbas, Fausto. BS Dasar patologis penyakit.Edisi ke-7. Jakarta:
EGC;2006. h. 435-7.
9. Sudoyo, AW dkk. Buku ajar llmu penyakit dalam. Jakarta: Penerbit: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;2006.h.245-50.
10. Isselbacher,dkk. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume ke-4. Jakarta:
EGC;2000. h.1577-82.
11. Djojodibroto D. Respirologi. Jakarta: EGC; 2009.h.111-2.
12. Diagnosis dan penatalaksanaan pada asma bronkial. Edisi Maret 2012. Diunduh dari
http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-penatalaktsanaan-pada-penyakit-
asma-bronkial.html. 12 Juli 2016.