Anda di halaman 1dari 16

Ketela pohon

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ketela pohon

Gambar deskriptif dari Koehlers


Medizinischepflanzen
Klasifikasi ilmiah
Kingdom: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Ordo: Malpighiales
Famili: Euphorbiaceae
Subfamili: Crotonoideae
Bangsa: Manihoteae
Genus: Manihot
Spesies: M. esculenta
Nama binomial
Manihot esculenta
Crantz

Manihot esculenta

Ketela pohon, ubi kayu, atau singkong (Manihot utilissima) adalah perdu tahunan tropika dan
subtropika dari suku Euphorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil
karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.

Daftar isi
1 Deskripsi
2 Sejarah dan pengaruh ekonomi
o 2.1 Sejarah Budidaya dan Penyebarannya
o 2.2 Di Hindia Belanda
3 Pengolahan
4 Penggunaan
5 Kadar gizi
6 Etimologi dan sinonim
7 Produksi sedunia
8 Lihat pula
9 Referensi
o 9.1 Referensi umum
o 9.2 Referensi khusus
10 Pranala luar

Deskripsi
Perdu, bisa mencapai 7 meter tinggi, dengan cabang agak jarang. Akar tunggang dengan
sejumlah akar cabang yang kemudian membesar menjadi umbi akar yang dapat dimakan. Ukuran
umbi rata-rata bergaris tengah 23 cm dan panjang 5080 cm, tergantung dari klon/kultivar.
Bagian dalam umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan
simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya
warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat meracun bagi manusia.[butuh
rujukan]
Umbi ketela pohon merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat namun sangat miskin
protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung
asam amino metionina.[butuh rujukan]

Sejarah dan pengaruh ekonomi


Sejarah Budidaya dan Penyebarannya

Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa
prasejarah di Brasil dan Paraguay, sejak kurang lebih 10 ribu tahun yang lalu. Bentuk-bentuk
modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan.
Meskipun spesies Manihot yang liar ada banyak, semua kultivar M. esculenta dapat
dibudidayakan. Walaupun demikian, bukti-bukti arkeologis budidaya singkong justru banyak
ditemukan di kebudayaan Indian Maya, tepatnya di Meksiko dan El Salvador.

Produksi singkong dunia diperkirakan mencapai 192 juta ton pada tahun 2004. Nigeria
menempati urutan pertama dgn 52,4 juta ton, disusul Brasil dgn 25,4 juta ton. Indonesia
menempati posisi ketiga dgn 24,1 juta ton, diikuti Thailand dgn 21,9 juta ton (FAO, 2004[1])
Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton di Amerika Latin
dan Kepulauan Karibia.

Di Hindia Belanda

Singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada
sekitar tahun 1810[2], setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 dari
Brasil. Menurut Haryono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke
Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Tanaman ini dapat dipanen sesuai
kebutuhan. Sifat itulah yang menyebabkan tanaman ubi kayu seringkali disebut sebagai gudang
persediaan di bawah tanah, tulis Haryono.[butuh rujukan]

Butuh waktu lama singkong menyebar ke daerah lain, terutama ke Pulau Jawa. Diperkirakan
singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Timur pada 1852. Bupatinya
sebagai seorang pegawai negeri harus memberikan contoh dan bertindak sebagai pelopor. Kalau
tidak, rakyat tidak akan mempercayainya sama sekali, tulis Pieter Creutzberg dan J.T.M. van
Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.[butuh rujukan]

Namun hingga 1876, sebagaimana dicatat H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam buku
De Zoete Cassave (Jatropha janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal atau tidak ada
sama sekali di beberapa bagian Pulau Jawa, tetapi ditanam besar-besaran di bagian lain.
Bagaimanapun juga, singkong saat ini mempunyai arti yang lebih besar dalam susunan
makanan penduduk dibandingkan dengan setengah abad yang lalu, tulisnya, sebagaimana
dikutip Creutzberg dan van Laanen. Sampai sekitar tahun 1875, konsumsi singkong di Jawa
masih rendah. Baru pada permulaan abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat.
Pembudidayaannya juga meluas. Terlebih rakyat diminta memperluas tanaman singkong
mereka.[butuh rujukan]

Peningkatan penanaman singkong sejalan dengan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang
pesat. Ditambah lagi produksi padi tertinggal di belakang pertumbuhan penduduk. Singkong
khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai, tulis Marwati Djoened
Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia V. Hingga saat ini,
singkong telah menjadi salah satu bahan pangan yang utama, tidak saja di Indonesia tetapi juga
di dunia. Di Indonesia, singkong merupakan makanan pokok ketiga setelah padi-padian dan
jagung.[butuh rujukan]

Pabrik Tapioka Kedung Kawung Cikalahang milik firma Goan Goan & Co, Cirebon, Jawa Barat
(tahun tidak diketahui)

Hindia Belanda pernah menjadi salah satu pengekspor dan penghasil tepung tapioka terbesar di
dunia. Di Jawa banyak sekali didirikan pabrik2 pengolahan singkong untuk dijadikan tepung
tetapioka. Seperti dalam buku Handbook of the Netherlands East Indies, pada tahun 1928
tercatat 21,9% produksi tetapioka diekspor ke Amerika Serikat, 16,7% ke Inggris, 8,4% ke
Jepang, lalu 7% dikirim ke Belanda, Jerman, Belgia, Denmark dan Norwegia. Biasanya tepung
olahan singkong tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku lem dan permen karet, industri tekstil
dan furniture.[butuh rujukan]

Singkong adalah nama lokal di kawasan Jawa Barat untuk tanaman ini. Nama "ubi kayu" dan
"ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal
dari kata dalam bahasa Portugis "castilla" (dibaca "kastiya"), karena tanaman ini dibawa oleh
orang Portugis dan Castilla (Spanyol).[butuh rujukan]

Pengolahan
Umbi singkong dapat dimakan mentah. Kandungan utamanya adalah pati dengan sedikit glukosa
sehingga rasanya sedikit manis. Pada keadaan tertentu, terutama bila teroksidasi, akan terbentuk
glukosida racun yang selanjutnya membentuk asam sianida (HCN). Sianida ini akan memberikan
rasa pahit. Umbi yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram
umbi segar, dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Proses pemasakan dapat
secara efektif menurunkan kadar racun.[butuh rujukan]

Dari pati umbi ini dibuat tepung tapioka (kanji).

Penggunaan
Singkong segar

Singkong kupas

Dimasak dengan berbagai cara, singkong banyak digunakan pada berbagai macam masakan.
Direbus untuk menggantikan kentang, dan pelengkap masakan. Tepung singkong dapat
digunakan untuk mengganti tepung gandum, cocok untuk pengidap alergi gluten.

Kadar gizi
Kandungan gizi singkong per 100 gram meliputi:[3]

Kalori 121 kal


Air 62,50 gram
Fosfor 40,00 gram
Karbohidrat 34,00 gram
Kalsium 33,00 miligram
Vitamin C 30,00 miligram
Protein 1,20 gram
Besi 0,70 miligram
Lemak 0,30 gram
Vitamin B1 0,01 miligram

Sedangkan daun singkong yang banyak dijadikan sayuran pada masakan Sunda dan masakan
Padang memiliki nutrisi sebagia berikut:[4]

Nutrisi Satuan Kadar


Protein gram 6.8
Kalsium mg 165
Fosfor mg 54
Besi mg 2.0
Vitamin A IU 11000
Vitamin C mg 275

Etimologi dan sinonim


Singkong adalah nama lokal di kawasan Jawa Barat untuk tanaman ini. Nama "ubi kayu" dan
"ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal
dari kata "castilla" (dibaca "kastilya"), karena tanaman ini dibawa oleh orang Portugis dan
Castilla (Spanyol).[butuh rujukan]

Dalam bahasa lokal, bahasa Jawa menyebutnya pohung, bahasa Sangihe bungkahe, bahasa
Tolitoli dan Gorontalo kasubi, dan bahasa Sunda sampeu

Singkong sebagai tanaman umbi-umbian dapat menggantikan posisi beras sebagai


makanan pokok masyarakat. Potensi singkong pun lebih mudah diproduksi dan
dijadikan produk olahan lainnya. prinsip penanamannya juga mudah dan bisa hidup
dalam kondisi ekstrim sekalipun 1 hektar (ha) kebun singkong bisa memproduksi 100
ton, sedangkan padi saja hanya 5 ton. Jadi lebih untung singkong dan lebih mudah,
walaupun dari segi keilmuan singkong itu rakus tanah jadi haus diimbangi pemupukan,
yang penting harus ada kemauan untuk itu mari kita manfaatkan peluang baru ini
jadikan singkong suatu prospek bisnis yang masih sangat jarang saingannya

seperti kita tahu bahwa singkong ini sebenarnya sangat mudah di kembang biakkan
dan sangat tahan dengan iklim , dengan memanfaatkan ketahanan singkong tersebut
kita dapat membudidayakan dengan mudah

singkong saat ini lain dengan singkong pada jaman dahulu di mana singkong untuk saat
ini merupakan suatu komoditas yang banyak di perlukan oleh masyarakat, karena kita
semua tahu bahwa singkong selain sangat baik untuk kesehatan ternyata banyak sekali
manfaat singkong yang tidak kita tahu sebut saja :
saat ini singkong sudah bisa untuk pembuatan plastik dan bisa juga di buat sebagai
bahan bakar yang ramah lingkunganBaca juga Artikel tentang Manfaat Singkong dan
kandungan Gizinya
Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian unggulan perguruan tinggi berjudul Singkong
untuk Kedaulatan Pangan: Studi Kolaboratif yang dilakukan oleh 10 (sepuluh) pusat studi di
bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta. Penelitian kolaborasi ini berawal dari keinginan untuk
mengembangkan semangat gotong royong mempelajari ketahanan pangan dan kedaulatan energi,
khususnya yang terkait dengan singkong sebagai alternatif pangan demi menuju ketahanan
pangan nasional.Lebih lanjut, penelitian kolaboratif ini diharapkan dapat memberi sumbangsih
yang komprehensif berdasarkan bidang keilmuan masing-masing pusat studi bagi bangsa
Indonesia secara luas dan pemerintah secara khususnya dalam bentuk rekomendasi kebijakan
terkait dengan singkong dan ketahanan pangan di Indonesia.

Sebagai pusat studi yang berorientasi pada persoalan sosial di regional Asia Tenggara, Pusat
Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) memfokuskan penelitian singkong ini pada studi komparasi
pengelolaan singkong sebagai alternatif pangan di Thailand dan Vietnam, dua negara yang saat
ini menduduki posisi puncak eksportir singkong di level dunia. Penelitian ini berangkat dari
anggapan sederhana bahwa ketika suatu negara berhasil menjadi eksportir terbesar dunia,
tentunya negara itu sudah terlebih dahulu berhasil mencukupi kebutuhan pangan di dalam
negerinya sendiri.Lebih lanjut, dengan mempelajari skema ketahanan pangan di negara-negara
tersebut, peneliti akan dapat merumuskan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah Indonesia
mengenai ketahanan pangan, khususnya yang terkait dengan singkong sebagai komoditas pangan
alternatif.

Kami selaku Masyarakat Singkong Indonesia sangat mendukung program KETAHANAN PANGAN
BERBASIS SINGKONG. Upaya kami selama ini melakukan soisalisai mengenai tepung modifikasi sebagai
substitusi terigu dng semua kalangan. Bentuk nyatanya dng pendirian organisasi kemasyarakatan
Masyarakat Sigkng Indonesia dan melakukan pendirian berbagai cabang organisasi di setiap kabupaten
di Indonesia. Target satu kabupaten 1.000 ha untuk penanaman singkong dng pola cluster system.
Industri utamanya yg menjadi fokus pada industri Tepung Singkong Modifikasi. Kami juga bekerjasama
dng pihak LIPI untuk penyediaan ENZIM dan peralatan pengering chip singkong. Mudah - mudahan
semua kalangan menyadari akan pentingnya deversifikasi pangan dalam rangkang ketahanan pangan
berkelanjutan/swasembada pangan berkelanjutan.
Bisa dibayangkan apabila produksi Gandum Dunia MENURUN dan Impor gandum
dibatasi/sulit......Langkah terbaik, mulai saat ini segera canangkan alternatif pangan base Singkong....
Terimakasih pak Welirang, sungguh karyamu sangat berharga,....Salam Agro WINDIARTAJI

PROKAL.CO, Bicara tentang makanan pokok selain beras, identik dengan jagung, umbi-
umbian, dan lainnya. Padahal, pangan alternatif tak melulu soal pengganti sumber
karbohidrat saja.

Batasan tentang panganan alternatif, menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan
(BKPP) Kaltim Fuad Assadin, sangat luas. Tak hanya dalam cakupan pertanian dan perkebunan,
termasuk juga perternakan dan lainnya.
Pangan alternatif tidak selalu ke beras atau jagung. Pangan alternatif juga tentang sumber
lainnya seperti protein, seperti daging dan yang lain, ucap dia saat mengisi program Samarinda
Pagi garapan STV (televisi jaringan Kaltim Post Group).

Kemudian, bicara tentang indikator ketahanan pangan, menurut dia, adalah aman, beragam,
bergizi, seimbang, merata, dan terjangkau. Dilihat dari jumlah ketersediaan pangan di Kaltim,
kini sudah terus meningkat mendekati angka 100 persen. Sudah memenuhi kriteria ideal dalam
urusan ketahanan pangan.

Hingga 2015, data ketersediaan pangan nabati dan hewani mencapai 97,7 persen. Dari sudut
pandang muatan lokal, ketersediaan beras masih terbatas. Bila dalam setiap harinya masyarakat
membutuhkan 375 ribu ton, yang tersedia baru sekitar 300 ribu ton beras. Begitu juga
ketersediaan jagung yang semakin sedikit. Lebih parah adalah kedelai, sehingga harus
mendatangkan dari luar. Tapi, kalau dicampur dengan produksi lokal, sebenarnya cukup,
jelasnya.

Untuk lima tahun ke depan, BKPP Kaltim berfokus mengembangkan singkong sebagai pangan
alternatif. Dari singkong, diperhatikan tentang gizinya, karena setiap sumber makanan
semuanya memiliki kekurangan dan kelebihan, termasuk singkong, paparnya.

Mengapa masyarakat perlu mengonsumsi pangan alternatif? Akademisi asal Universitas


Mulawarman itu mencontohkan ketika beras telah dipisahkan dari kulitnya, serat dan vitamin
dari beras akan berkurang.

Ketika masuk tubuh dikonversi jadi gula dan glukosa. Bisa membuat cepat lapar juga. Nah, bila
terlalu sering mengonsumsi beras olahan, bisa menjadi pemicu diabetes, terangnya.

Berdasar hal tersebut, ketika masyarakat telah sadar akan pentingnya pangan alternatif,
pemerintah wajib memikirkan cara menyediakan. Tetapi, inilah yang menjadi persoalan karena
masyarakat belum mandiri, belum mampu memproduksi pangan alternatif itu, ujar Fuad.

Terang dia, perlu keterlibatan dinas-dinas terkait untuk mendorong produksi dari masyarakat.
Perlu ada kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah. Salah satunya dengan membentuk
swasembada pangan, pungkasnya. (*/ni/*/ndy/k8)

Dulu, singkong dikenal sebagai makanan pokok masyarakat menengah kebawah karena mereka tidak
mampu membeli beras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga ubi kayu itu identik dengan
makanan murahan atau makanan kampung.

Namun, kini banyak orang yang mulai melirik singkong untuk dijadikan bahan pangan alternatif sebagai
pengganti beras dan berbagai olahan camilan yang lezat di dunia bisnis kuliner.

Singkong yang memiliki nama latin Menihot Utilissima itu termasuk golongan "secondary corps" atau
komoditi kelas dua, padahal tanaman rakyat tersebut mengandung karbohidrat yang lebih tinggi
dibandingkan nasi putih.

"Singkong dapat dijadikan substitusi pangan alternatif sebagai pengganti beras karena memiliki
kandungan gizi yang cukup sebagai makanan pokok," kata Ketua Pusat Penelitian Pangan dan Pertanian
Industrial Strategis (Puslit P2IS) Universitas Jember, Dr Ir Yuli Hariyati MS.

Untuk itu, dalam rangkaian kegiatan Dies Natalies ke-49 Unej yang dikemas dalam Festival Tegalboto
beberapa waktu lalu juga menyuguhkan berbagai acara yang berkaitan dengan singkong, mulai dari
talkshow, mengolah makanan berbahan singkong, hingga lomba mengupas ubi kayu tersebut.

"Kami ingin mewujudkan Unej sebagai pusat penelitian singkong di Indonesia berdasarkan tujuh riset
unggulan yang sudah ditetapkan Kampus Tegalboto tahun ini," tuturnya.

Potensi ketersediaan singkong yang melimpah ruah di negeri tercinta ini bisa menjadi alternatif andalan
untuk mewujudkan ketahanan pangan dan diharapkan surplus beras sebesar 10 juta ton pada tahun
2014 mendatang.

"Singkong dapat menjadi subtitusi dan solusi alternatif pangan di Indonesia yang bisa menggantikan
bahan pokok beras, sehingga kebijakan impor bisa ditekan. Semua bisa terwujud dengan dukungan
masyarakat dan stakeholder," katanya.

Kendati demikian, Yuli mengakui bahwa tidak mudah mengubah pola konsumsi masyarakat yang sudah
terlanjur cinta dengan beras, kemudian menggantinya dengan singkong sebagai makanan pokok.

"Tidak bisa dipungkiri bahwa lidah orang Indonesia sudah sangat terbiasa dengan konsumsi nasi dari
beras, sehingga perlu gebrakan seperti yang dilakukan Walikota Depok Nur Mahmudi Ismail melalui
program One Day No Rice di daerahnya," ucapnya.

Untuk menuju ketahanan pangan, lanjjut dia, diperlukan keberanian mengubah pola konsumsi dan
melakukan diversifikasi pangan untuk mewujudkan swasembada pangan demi terciptanya masyarakat
yang makmur.

Banyak sekali nilai strategis yang dimiliki singkong, apabila dijadikan makanan pokok pengganti beras
karena umbi-umbian yang kaya karbohidrat tersebut mudah ditanam dan cocok dengan kultur tanah di
Indonesia.

"Singkong juga dapat diolah menjadi berbagai makanan sehat yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga
harga jualnya tidak murah seperti singkong mentah," ujarnya.

Nah, sudah saatnya masyarakat memperkuat ketahanan pangan dengan mengandalkan singkong
sebagai makanan pengganti beras karena ubi kayu itu juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.(*)
Ketahanan pangan adalah ketersediaan pangan dan kemampuan seseorang untuk
mengaksesnya. Sebuah rumah tangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika penghuninya
tidak berada dalam kondisi kelaparan atau dihantui ancaman kelaparan.[2] Ketahanan pangan
merupakan ukuran kelentingan terhadap gangguan pada masa depan atau ketiadaan suplai
pangan penting akibat berbagai faktor seperti kekeringan, gangguan perkapalan, kelangkaan
bahan bakar, ketidak stabilan ekonomi, peperangan, dan sebagainya. Penilaian ketahanan pangan
dibagi menjadi keswadayaan atau keswasembadaan perorangan (self-sufficiency) dan
ketergantungan eksternal yang membagi serangkaian faktor risiko. Meski berbagai negara sangat
menginginkan keswadayaan secara perorangan untuk menghindari risiko kegagalan transportasi,
namun hal ini sulit dicapai di negara maju karena profesi masyarakat yang sudah sangat beragam
dan tingginya biaya produksi bahan pangan jika tidak diindustrialisasikan.[3] Kebalikannya,
keswadayaan perorangan yang tinggi tanpa perekonomian yang memadai akan membuat suatu
negara memiliki kerawanan produksi.

World Health Organization mendefinisikan tiga komponen utama ketahanan pangan, yaitu
ketersediaan pangan, akses pangan, dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan adalah
kemampuan memiliki sejumlah pangan yang cukup untuk kebutuhan dasar. Akses pangan adalah
kemampuan memiliki sumber daya, secara ekonomi maupun fisik, untuk mendapatkan bahan
pangan bernutrisi. Pemanfaatan pangan adalah kemampuan dalam memanfaatkan bahan pangan
dengan benar dan tepat secara proporsional. FAO menambahkan komponen keempat, yaitu
kestabilan dari ketiga komponen tersebut dalam kurun waktu yang panjang.[2]

Kebijakan sebuah negara dapat mempengaruhi akses masyarakat kepada bahan pangan, seperti
yang terjadi di India. Majelis tinggi India menyetujui rencana ambisius untuk memberikan
subsidi bagi dua pertiga populasi negara itu. Rancangan Undang-Undang Ketahanan Pangan ini
mengusulkan menjadikan pangan sebagai hak warga negara dan akan memberikan lima kilogram
bahan pangan berharga murah per bulan untuk 800 juta penduduk miskinnya.[4]

Sejarah
Ketahanan pangan adalah sebuah kondisi yang terkait dengan ketersediaan bahan pangan secara
berkelanjutan. Kekhawatiran terhadap ketahanan pangan telah ada dalam sejarah. Sejak 10 ribu
tahun yang lalu lumbung telah digunakan di Tiongkok dengan kekuasaan penggunaan secara
terpusat di peradaban di Tiongkok Kuno dan Mesir Kuno. Mereka melepaskan suplai pangan di
saat terjadinya kelaparan. Namun ketahanan pangan hanya dipahami pada tingkat nasional,
dengan definisi bahwa negara akan aman secara pangan jika produksi pangan meningkat untuk
memenuhi jumlah permintaan dan kestabilan harga. Definisi baru mengenai ketahanan pangan
dibuka pada tahun 1966 di World Food Summit yang menekankan ketahanan pangan dalam
konteks perorangan, bukan negara.[5][6]

Pilar ketahanan pangan


Ketersediaan
Kambing dapat menjadi sebuah solusi permasalahan ketahanan pangan global karena mudah
dipelihara

Ketersediaan pangan berhubungan dengan suplai pangan melalui produksi, distribusi, dan
pertukaran.[7] Produksi pangan ditentukan oleh berbagai jenis faktor, termasuk kepemilikan lahan
dan penggunaannya; jenis dan manajemen tanah; pemilihan, pemuliaan, dan manajemen tanaman
pertanian; pemuliaan dan manajemen hewan ternak; dan pemanenan.[8] Produksi tanaman
pertanian dapat dipengaruhi oleh perubahan temperatur dan curah hujan.[7] Pemanfaatan lahan,
air, dan energi untuk menumbuhkan bahan pangan seringkali berkompetisi dengan kebutuhan
lain.[9] Pemanfaatan lahan untuk pertanian dapat berubah menjadi pemukiman atau hilang akibat
desertifikasi, salinisasi, dan erosi tanah karena praktik pertanian yang tidak lestari.[9]

Produksi tanaman pertanian bukanlah suatu kebutuhan yang mutlak bagi suatu negara untuk
mencapai ketahanan pangan. Jepang dan Singapura menjadi contoh bagaimana sebuah negara
yang tidak memiliki sumber daya alam untuk memproduksi bahan pangan namun mampu
mencapai ketahanan pangan.[3][10]

Distribusi pangan melibatkan penyimpanan, pemrosesan, transportasi, pengemasan, dan


pemasaran bahan pangan.[8] Infrastruktur rantai pasokan dan teknologi penyimpanan pangan juga
dapat mempengaruhi jumlah bahan pangan yang hilang selama distribusi.[9] Infrastruktur
transportasi yang tidak memadai dapat menyebabkan peningkatan harga hingga ke pasar
global.[9] Produksi pangan per kapita dunia sudah melebihi konsumsi per kapita, namun di
berbagai tempat masih ditemukan kerawanan pangan karena distribusi bahan pangan telah
menjadi penghalang utama dalam mencapai ketahanan pangan.[10]

Akses

Akses terhadap bahan pangan mengacu kepada kemampuan membeli dan besarnya alokasi bahan
pangan, juga faktor selera pada suatu individu dan rumah tangga.[7] PBB menyatakan bahwa
penyebab kelaparan dan malagizi seringkali bukan disebabkan oleh kelangkaan bahan pangan
namun ketidakmampuan mengakses bahan pangan karena kemiskinan.[11] Kemiskinan
membatasi akses terhadap bahan pangan dan juga meningkatkan kerentanan suatu individu atau
rumah tangga terhadap peningkatan harga bahan pangan.[12] Kemampuan akses bergantung pada
besarnya pendapatan suatu rumah tangga untuk membeli bahan pangan, atau kepemilikan lahan
untuk menumbuhkan makanan untuk dirinya sendiri.[13] Rumah tangga dengan sumber daya yang
cukup dapat mengatasi ketidakstabilan panen dan kelangkaan pangan setempat serta mampu
mempertahankan akses kepada bahan pangan.[10]

Terdapat dua perbedaan mengenai akses kepada bahan pangan. (1) Akses langsung, yaitu rumah
tangga memproduksi bahan pangan sendiri, (2) akses ekonomi, yaitu rumah tangga membeli
bahan pangan yang diproduksi di tempat lain.[8] Lokasi dapat mempengaruhi akses kepada bahan
pangan dan jenis akses yang digunakan pada rumah tangga tersebut.[13] Meski demikian,
kemampuan akses kepada suatu bahan pangan tidak selalu menyebabkan seseorang membeli
bahan pangan tersebut karena ada faktor selera dan budaya.[12] Demografi dan tingkat edukasi
suatu anggota rumah tangga juga gender menentukan keinginan memiih bahan pangan yang
diinginkannya sehingga juga mempengaruhi jenis pangan yang akan dibeli.[13] USDA
menambahkan bahwa akses kepada bahan pangan harus tersedia dengan cara yang dibenarkan
oleh masyarakat sehingga makanan tidak didapatkan dengan cara memungut, mencuri, atau
bahkan mengambil dari cadangan makanan darurat ketika tidak sedang dalam kondisi darurat.[14]

Pemanfaatan

Ketika bahan pangan sudah didapatkan, maka berbagai faktor mempengaruhi jumlah dan kualitas
pangan yang dijangkau oleh anggota keluarga. Bahan pangan yang dimakan harus aman dan
memenuhi kebutuhan fisiologis suatu individu.[12] Keamanan pangan mempengaruhi
pemanfaatan pangan dan dapat dipengaruhi oleh cara penyiapan, pemrosesan, dan kemampuan
memasak di suatu komunitas atau rumah tangga.[7][8] Akses kepada fasilitas kesehatan juga
mempengaruhi pemanfaatan pangan karena kesehatan suatu individu mempengaruhi bagaimana
suatu makanan dicerna.[8] Misal keberadaan parasit di dalam usus dapat mengurangi kemampuan
tubuh mendapatkan nutrisi tertentu sehingga mengurangi kualitas pemanfaatan pangan oleh
individu.[10] Kualitas sanitasi juga mempengaruhi keberadaan dan persebaran penyakit yang
dapat mempengaruhi pemanfaatan pangan[8] sehingga edukasi mengenai nutrisi dan penyiapan
bahan pangan dapat mempengaruhi kualitas pemanfaatan pangan.[10]

Stabilitas

Stabiitas pangan mengacu pada kemampuan suatu individu dalam mendapatkan bahan pangan
sepanjang waktu tertentu. Kerawanan pangan dapat berlangsung secara transisi, musiman,
ataupun kronis (permanen).[8] Pada ketahanan pangan transisi, pangan kemungkinan tidak
tersedia pada suatu periode waktu tertentu.[12] Bencana alam dan kekeringan mampu
menyebabkan kegagalan panen dan mempengaruhi ketersediaan pangan pada tingkat
produksi.[8][12] Konflik sipil juga dapat mempengaruhi akses kepada bahan pangan.[12]
Ketidakstabilan di pasar menyebabkan peningkatan harga pangan sehingga juga menyebabkan
kerawanan pangan. Faktor lain misalnya hilangnya tenaga kerja atau produktivitas yang
disebabkan oleh wabah penyakit. Musim tanam mempengaruhi stabilitas secara musiman karena
bahan pangan hanya ada pada musim tertentu saja.[8] Kerawanan pangan permanen atau kronis
bersifat jangka panjang dan persisten.[12]

Tantangan untuk mencapai ketahanan pangan

Erosi tanah; angin meniupkan lapisan tanah atas yang kering


Degradasi lahan

Lihat pula: Desertifikasi

Pertanian intensif mendorong terjadinya penurunan kesuburan tanah dan penurunan hasil.[15]
Diperkirakan 40% dari lahan pertanian di dunia terdegradasi secara serius.[16] Di Afrika, jika
kecenderungan degradasi tanah terus terjadi, maka benua itu hanya mampu memberi makan
seperempat penduduknya saja pada tahun 2025.[17]

Hama dan penyakit

Karat batang pada gandum

hama dan penyakit mampu mempengaruhi produksi budi daya tanaman dan peternakan sehingga
memiliki dampak bagi ketersediaan bahan pangan. Contoh penyakit tanaman Ug99, salah satu
tipe penyakit karat batang pada gandum dapat menyebabkan kehilangan hasil pertanian hingga
100%. Penyakit ini telah ada di berbagai negara di Afrika dan Timur Tengah. Terganggunya
produksi pangan di wilayah ini diperkirakan mampu mempengaruhi ketahanan pangan
global.[18][19][20]

Keanekaragaman genetika dari kerabat liar gandum dapat digunakan untuk memperbarui varietas
modern sehingga lebih tahan terhadap karat batang. Gandum liar ini dapat diseleksi di habitat
aslinya untuk mencari varietas yang tahan karat, lalu informasi genetikanya dipelajari. Terakhir
varietas modern dan varietas liar disilangkan dengan pemuliaan tanaman modern untuk
memindahkan gen dari varietas liar ke varietas modern.[21][22]

Krisis air global


Kanal irigasi telah menjadikan kawasan padang pasir yang kering di Mesir menjadi lahan
pertanian

Berbagai negara di dunia telah melakukan importasi gandum yang disebabkan oleh terjadinya
defisit air,[23] dan kemungkinan akan terjadi pada negara besar seperti China dan India.[24] Tinggi
muka air tanah terus menurun di beberapa negara dikarenakan pemompaan yang berlebihan.
China dan India telah mengalaminya, dan negara tetangga mereka (Pakistan, Afghanistan, dan
Iran) telah terpengaruh hal tersebut. Hal ini akan memicu kelangkaan air dan menurunkan
produksi tanaman pangan.[25] Ketika produksi tanaman pangan menurun, harga akan meningkat
karena populasi terus bertambah. Pakistan saat ini masih mampu memenuhi kebutuhan pangan di
dalam negerinya, namun dengan peningkatan populasi 4 juta jiwa per tahun, Pakistan
kemungkinan akan melirik pasar dunia dalam memenuhi kebutuhan pangannya, sama seperti
negara lainnya yang telah mengalami defisit air seperti Afghanistan, Ajlazair, Mesir, Iran,
Meksiko, dan Pakistan.[26][27]

Secara regional, kelangkaan air di Afrika adalah yang terbesar dibandingkan negara lainnya di
dunia. Dari 800 juta jiwa, 300 juta penduduk Afrika telah hidup di lingkungan dengan stres
air.[28] Karena sebagian besar penduduk Afrika masih bergantung dengan gaya hidup berbasis
pertanian dan 80-90% penduduk desa memproduksi pangan mereka sendiri, kelangkaan air
adalah sama dengan hilangnya ketahanan pangan.[29]

Investasi jutaan dolar yang dimulai pada tahun 1990an oleh Bank Dunia telah mereklamasi
padang pasir dan mengubah lembah Ica yang kering di Peru menjadi pensuplai asparagus dunia.
Namun tinggi muka air tanah terus menurun karena digunakan sebagai irigasi secara terus
menerus. Sebuah laporan pada tahun 2010 menyimpulkan bahwa industri ini tidak bersifat
lestari.[30] Mengubah arah aliran air sungai Ica ke lahan asparagus juga telah menyebabkan
kelangkaan air bagi masyarakat pribumi yang hidup sebagai penggembala hewan ternak.[31]

Perebutan lahan

Kepemilikan lahan lintas batas negara semakin meningkat. Perusahaan Korea Utara Daewoo
Logistics telah mengamankan satu bidang lahan yang luas di Madagascar untuk mebudidayakan
jagung dan tanaman pertanian lainnya untuk produksi biofuel. Libya telah mengamankan 250
ribu hektare lahan di Ukraina dan sebagai gantinya Ukraina mendapatkan akses ke sumber gas
alam di Libya. China telah memulai eksplorasi lahan di sejumlah tempat di Asia Tenggara.
Negara di semenanjung Arab telah mencari lahan di Sudan, Ethiopia, Ukraina, Kazakhstan,
Pakistan, Kamboja, dan Thailand. Qatar berencana menyewa lahan di sepanjang panyai di Kenya
untuk menumbuhkan sayuran dan buah, dan sebagai gantinya akan membangun pelabuhan besar
dekat Lamu, pulau di samudra Hindia yang menjadi tujuan wisata.[32][33][34]

Perubahan iklim

Fenomena cuaca yang ekstrem seperti kekeringan dan banjir diperkirakan akan meningkat
karena perubahan iklim terjadi.[35] Kejadian ini akan memiliki dampak di sektor pertanian.
Diperkirakan pada tahun 2040, hampir seluruh kawasan sungai Nil akan menjadi padang pasir di
mana aktivitas budi daya tidak dimungkinkan karena keterbatasan air.[36] Dampak dari cuaca
ekstrem mencakup perubahan produktivitas, gaya hidup, pendapatan ekonomi, infrastruktur, dan
pasar. Ketahanan pangan pada masa depan akan terkait dengan kemampuan adaptasi budi daya
bercocok tanam masyarakat terhadap perubahan iklim. Di Honduras, perempuan Garifuna
membantuk meningkatkan ketahanan pangan lokal dengan menanam tanaman umbi tradisional
sambil membangun metode konservasi tanah, melakukan pelatihan pertanian organik dan
menciptakan pasar petani Garifuna. Enam belas kota telah bekerja sama membangun bank benih
dan peralatan pertanian. Upaya untuk membudidayakan spesies pohon buah liar di sepanjang
pantai membantu mencegah erosi tanah.[37]

Diperkirakan 2.4 miliar penduduk hidup di daerah tangkapan air hujan di sekitar Himalaya.[38]
Negara di sekitar Himalaya (India, Pakistan, China, Afghanistan, Bangladesh, Myanmar, dan
Nepal) dapat mengalami banjir dan kekeringan pada dekade mendatang.[39] Bahkan di India,
sungan Ganga menjadi sumber air minum dan irigasi bagi 500 juta jiwa.[40][41] Sungai yang
bersumber dari gletser juga akan terpengaruh.[42] Kenaikan permukaan laut diperkirakan akan
meningkat seiring meningkatnya temperatur bumi, sehingga akan mengurangi sejumlah lahan
yang dapat digunakan untuk pertanian.[43][44]

Semua dampak dari perubahan iklim ini berpotensi mengurangi hasil pertanian dan peningkatan
harga pangan akan terjadi. Diperkirakan setiap peningkatan 2.5% harga pangan, jumlah manusia
yang kelaparan akan meningkat 1%.[45] Berubahnya periode dan musim tanam akan terjadi
secara drastis dikarenakan perubahan temperatur dan kelembaban tanah.[46]

Lihat pula

Anda mungkin juga menyukai