Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali kongenital


yang terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten. Anus imperforata atau
atresia ani merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak
sempurna, sedangkan kloaka persisten merupakan suatu kondisi yang diakibatkan
karena pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia, dan traktus digestivus
tidak terjadi.

Jadi, atresia ani adalah kelainan kongenital anus dimana anus tidak
mempunyai lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan
kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah
terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang
cermat atau pemeriksaan perineum.

Secara epidemiologi, atresia ani diperkirakan terdapat dalam 1:5000


kelahiran, dengan insiden yang sama antara pria dan wanita.

1
BAB II

ATRESIA ANI

2.1. DEFINISI

Atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang berarti tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah
suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ
tubular secara kongenital yang disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya
lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga
tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena
proses penyakit yang mengenai saluran itu.

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus


imperforata meliputi anus, rektum, atau keduanya. Atresia ani adalah malformasi
kongenital dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar (Gambar 1). Ada juga
yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan
embrionik pada bagian distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal.

Gambar 1. Atresia ani

2
2.2. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Kanalis analis merupakan bagian yang paling sempit, tetapi normal dari
ampula rekti. Menurut definisi ini, maka sambungan anorektal terletak pada
permukaan atas dasar pelvis yang dikelilingi oleh muskulus sfingter ani eksternus.
Dua pertiga bagian atas kanal ini merupakan derivat hindgut, sedangkan satu
pertiga bawah berkembang dari anal pit. Kanalis analis berasal dari proktoderm
yang merupakan invaginasi ektoderm, sedangkan rektum berasal dari entoderm.
Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus, sedangkan kanalis analis oleh
anoderm yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar.

Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis
epitel. Perubahan jenis epitel yang terjadi adalah dari kolumner ke stratified
squamous cell. Perubahan jenis epitel ini terletak pada linea dentata atau biasa
disebut garis anorektum, garis mukokutan, atau linea pektinata. Di daerah ini
terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi yang
terjadi di daerah ini dapat menimbulkan abses sehingga anorektum dapat
membentuk fistel. Kanalis analis dan kulit luar di sekitarnya kaya akan persarafan
sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum
mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri.

Kanalis analis memiliki panjang kurang lebih 3 sentimeter. Sumbunya


mengarah ke ventrokranial yaitu ke arah umbilikus dan membentuk sudut yang
nyata ke dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat. Lekukan antar-sfingter
sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan colok dubur dan
menunjukkan batas antara sfingter interna dan eksterna (garis Hilton).

Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter
interna dan sfingter eksterna. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi
sfingter interna, otot longitudinal, bagian tengah dari otot levator (puborektalis),
dan komponen muskulus sfingter eksternus. Muskulus sfingter internus terdiri atas
serabut otot polos, sedangkan muskulus sfingter eksternus terdiri atas serabut otot
lurik.

3
Pada bayi normal, terdapat susunan otot serat lintang yang berfungsi
membentuk bangunan seperti cerobong yang melekat pada os. Pubis, bagian bawah
sakrum, dan bagian tengah pelvis. Ke arah medial otot-otot ini membentuk
diafragma yang melingkari rektum, menyusun ke bawah sampai kulit perineum.
Bagian atas bangunan cerobong ini dikenal sebagai muskulus levator dan bagian
terbawah adalah muskulus sfingter eksternus. Pembagian secara lebih rinci dari
struktur cerobong ini adalah muskulus ischiococcygeus, illeococcygeus,
pubococcygeus, puborectalis, deep external, sfingter eksternus dan superficial
external sphinter. Muskulus sfingter eksternus merupakan serabut otot parasagital
yang saling bertemu di depan dan belakang anus. Bagian di antara muskulus levator
dan sfingter eksternus disebut muscle complex atau vertical fiber.

Gambar 2. Anatomi anus dan rektum

Vaskularisasi anorektal

Kanalis analis dan rektum mendapatkan vaskularisasi dari arteri


hemoroidalis superior, arteri hemoroidalis media, dan arteri hemoroidalis inferior.
Arteri hemoroidalis superior merupakan akhir dari arteri mesenterika inferior dan
melalui dinding posterior dari rektum dan mensuplai dinding posterior, juga ke

4
kanan dan ke kiri dinding pada bagian tengah rektum, kemudian turun ke linea
dentata. Arteri hemoroidalis media merupakan cabang dari arteri illiaca interna.
Arteri hemoroidalis inferior merupakan cabang dari arteri pudenda interna, ia
berjalan di medial dan vertikal untuk mensuplai kanalis analis di bagian distal dari
linea dentata.

Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta,


sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang vena
illiaca. Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan
berjalan kearah kranial ke dalam vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui
vena lienalis ke vena porta. Vena hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam
vena pudenda interna dan ke dalam vena iliaca interna dan sistem kava.
Gambar 3. Anatomi anus dan rektum

5
Gambar 4. Vaskularisasi anorektal

Persarafan

Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatis dan parasimpatis. Inervasi


parasimpatis berasal dari nervus sacralis III, V yang kemudian membentuk nervus
epiganti, memberikan cabang ke rektum dan berhubungan dengan pleksus
Auerbach. Saraf ini berfungsi sebagai motor dinding usus dan inhibitor sfingter
serta sensor distensi rektum. Pesarafan simpatis berasal dari ganglion lumbalis II,
III, V dan pleksus para aurticus, kemudian membentuk pleksus hipogastrikus
kemudian turun sebagai nervus presakralis. Saraf ini berfungsi sebagai inhibitor
dinding usus dan motor sfingter internus. Inervasi somatik dari muskulus levator
ani dan muscle complex berasal dari radiks anterior nervus sacralis III,V.

6
Sistem Limfatik

Sistem limfe dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limfe


sepanjang pembuluh hemoroidalis superior ke arah kelenjar limfe paraaorta melalui
kelenjar limfe illiaca interna, sedangkan limfe yang berasal dari kanalis analis
mengalir ke arah kelenjar inguinal.

2.3. EPIDEMIOLOGI

Secara epidemiologi, atresia ani diperkirakan terdapat dalam 1:5000


kelahiran, dengan insiden yang sama antara laki-laki dan perempuan. Pada laki-
laki, yang lebih sering terjadi adalah atresia ani dengan fistula rektouretral, diikuti
fistula rektoperineal kemudian fistula rektovesika, sedangkan pada perempuan
adalah fistula rektovagina dan fistula rektovestibuler kemudian kloaka persisten.
Empat puluh sampai tujuh puluh persen dari penderita mengalami satu atau lebih
defek tambahan dari sistem organ lainnya. Defek urologi adalah anomali yang
paling sering berkaitan dengan kelainan ini, diikuti defek pada vertebra,
ekstremitas, dan sistem kardiovaskular.

2.4. ETIOLOGI

Etiologi secara pasti dari atresia ani belum diketahui, namun ada sumber
mengatakan bahwa kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan,
fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Menurut penelitian
beberapa ahli, diduga faktor genetik berpengaruh terhadap terjadinya atresia ani,
namun masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab
atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai
peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak
yang mempunyai sindrom genetik, kelainan kromosom, atau kelainan kongenital
lain juga berisiko untuk menderita atresia ani, contohnya adalah penderita Down
Syndrome.

7
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3
bulan.
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus,
rektum bagian distal, serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu
keempat sampai keenam usia kehamilan.

Sebanyak 60% pasien dengan atresia ani dapat disertai dengan beberapa
kelainan kongenital saat lahir yang disebut dengan Sindroma VACTERL
(Vertebrae, Anal, Cardial, Tracheoesophageal, Renal, Limb). Kelainan yang ada,
yaitu:
1. Kelainan pada sistem kardiovaskular
- Atrial Septal Defect
- Patent Ductus Arteriosus
- Tetralogy of Fallot
- Ventricular Septal Defect
2. Kelainan sistem pencernaan
- Obstruksi duodenal
- Kelainan tracheoesophageal
Kelainan yang sering terjadi adalah atresia esofagus.
3. Kelainan sistem perkemihan
Kelainan ini merupakan kelainan yang paling sering terjadi, dan terdapat pada
50% pasien dengan atresia ani. Refluk vesikoureter dan hidronefrosis
merupakan kondisi yang paling sering terjadi, namun juga dapat terjadi renal
agenesis, horseshoe, dan dysplastic. Semakin tinggi letak anomali yang ada,
maka semakin besar frekuensi terjadinya abnormalitas urologi.
4. Kelainan tulang belakang
- Hemivertebrae
- Skoliosis

8
- Syringomyelia
- Spinal lipoma
- Myelomeningocele
Tidak adanya dua atau lebih vertebrae berhubungan dengan prognosis yang
buruk terhadap kontinensia dari usus dan vesica urinaria.

2.5. KLASIFIKASI

Secara fungsional, pasien dengan anus imperforata/atresia ani dibagi


menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Tanpa anus, tetapi dengan dekompresi adekuat traktus gastrointestinal dicapai
melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutama melibatkan bayi perempuan dengan fistula rektovagina
atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan
bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat
sementara waktu.
2. Tanpa anus dan tanpa fistula atau traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar
feses.
Pada kelompok ini, tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan
dekompresi spontan kolon, sehingga memerlukan beberapa bentuk intervensi
bedah segera.

Secara tradisional, klasifikasi atresia ani dibagi menjadi dua berdasarkan


letak terminasi rektum terhadap dasar pelvis, yaitu:
1. Anomali letak rendah
Rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung
rektum paling jauh 1 cm. Anomali ini dapat berupa stenosis anus yang hanya
membutuhkan dilatasi membran atau merupakan membran anus tipis yang
mudah dibuka segera setelah anak lahir. Baik pada laki-laki maupun
perempuan, anomali letak rendah berhubungan dengan perineal fistula. Pada
laki-laki, fistula berhubungan dengan midline raphe dari skrotum atau penis
(Gambar 5). Pada perempuan, fistula dapat berakhir pada vestibulum vagina

9
(fistula rektovestibular), karena rektum lebih ke depan mendekati vestibulum
(Gambar 6). Terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik
dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran
genitourinarius.

Gambar 5. Anomali letak rendah pada laki-laki, perineal fistula midline raphe

Gambar 6. Fistula vestibular, pada fistula dimasukkan sebuah kateter

10
2. Anomali letak tinggi (supralevator)
Pada anomali letak tinggi, ujung rektum tidak mencapai tingkat muskulus
levator ani dengan jarak antara ujung buntu rektum sampai kulit perineum lebih
dari 1 cm. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistel genitourinarius
rektovesikal (pria) atau rektovagina (perempuan). Pada perempuan, anomali
letak tinggi sering berhubungan dengan kloaka persisten. Jika fistula yang
terbentuk adekuat, maka secara klinis tidak terdapat tanda-tanda obstruksi.
Sedangkan bila tidak adekuat, maka terdapat tanda-tanda obstruksi yang lebih
nyata.

Sumber lain menyebutkan, bahwa klasifikasi dari atresia ani dibagi menjadi
3 berdasarkan letak anatominya (Tabel 1).

Stephen dan Smith

Tipe Atresia Ani berdasarkan letak menurut Stephens dan Smith (1984)
yaitu :
1. High / tinggi (Supra levator).
2. Intermediate / sedang (sebagian translevator).
3. Low / rendah (fully translevator).

11
Tabel 1. Klasifikasi atresia ani

Klasifikasi Perempuan Laki-laki


Letak tinggi Agenesis anorektal Agenesis anorektal dengan
dengan atau tanpa fistula atau tanpa fistula uretra
rektovaginal, atresia rekti. rektoprostatik, atresia
rekti.
Intermediat Agenesis anorektal Agenesis anorektal dengan
dengan atau tanpa fistula atau tanpa fistula uretra
rektovaginal, agenesis rektobulbar, agenesis anus
anus
Letak rendah Fistula anovestibular atau Fistula anokutaneus
fistula anokutaneus (anteriorly displaced
(anteriorly displaced anus), stenosis anus
anus), stenosis anus

Cloaca

Melbourne
Melbourne membagi atresia ani berdasarkan garis pubococcygeus dan garis
yang melewati ischii:
1. Letak tinggi, rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus
pubococcygeus).
2. Letak intermediet, akhiran rektum terletak di muskulus levator ani tetapi tidak
menembusnya. Lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang
normal.
3. Letak rendah, akhiran rektum berakhir di bawah muskulus levator ani.

Wingspread 1984

12
Berdasarkan klasifikasi Wingspread, atresia ani dikelompokkan menurut
jenis kelamin.
1. Laki laki, dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan I dan golongan II.
Pada laki laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistula
urin, atresia rektum, perineum datar, dan fistula tidak ada. Jika ada fistula urin,
tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat
fistula ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak
fistula adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin
jernih, berarti fistula terletak uretra karena fistula tertutup kateter. Bila dengan
kateter urin mengandung mekonium maka fistula ke vesika urinaria. Bila
evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Jika
fistula tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu
segera dilakukan kolostomi.

Golongan II pada laki laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistula perineum,
membran anal, stenosis anus, dan fistula tidak ada. Fistula perineum sama
dengan pada wanita; lubangnya terdapat pada anterior dari letak anus normal.
Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput.
Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definitif secepat
mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan definitif harus
dilakukan. Bila tidak ada fistula dan udara < 1 cm dari kulit pada invertogram,
perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah.

2. Perempuan, dibagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan I dan golongan II.


Pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan, yaitu kelainan kloaka,
fistula vagina, fistula rektovestibular, atresia rektum, dan fistula tidak ada. Pada
fistula vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feses menjadi
tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistula vestibulum,
muara fistula terdapat di vulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama
penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai
makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam
keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus

13
urinarius, traktus genetalis, dan saluran cerna. Evakuasi feses umumnya tidak
sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus
tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk
lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera
dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistula, dibuat invertogram. Jika udara > 1
cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.

Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan, yaitu kelainan


fistula perineum, stenosis anus, dan fistula tidak ada. Lubang fistula perineum
biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda
timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus
terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidak
lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak ada
fistula dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit, dapat segera dilakukan
pembedahan definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu
dilakukan kolostomi.

Alberto Pena
Alberto Pena membagi klasifikasi atresia ani berdasarkan lokasi dari
permulaan fistula (Tabel 2).

Tabel 2. Klasifikasi Atresia Ani Menurut Alberto Pena

Males Females
Perineal fistula Perineal fistula
Rectourethral fistula Vestibular fistula
Bulbar (the lowest
portion of the posterior
urethra)
Prostatic the upper
portion of the posterior
urethra

14
Rectovesical fistula (bladder Persistent cloaca
neck) < 3cm common channel
> 3cm common channel
Imperforate anus without fistula Imperforate anus without fistula
Rectal atresia Rectal atresia
Complex defects Complex defects

Laki-laki
1. Fistula perineal
Fistula perineal adalah kelainan yang paling sederhana yang dapat terjadi baik
pada pria maupun wanita. Pasien memiliki lubang kecil yang terletak pada
perineum anterior ke pusat sfingter eksternal, dekat dengan skrotum pada pria
atau vulva pada wanita. Pasien ini biasanya memiliki sakrum yang baik, alur
garis tengah, dan lesung anal. Frekuensi kerusakan organ lain terkait yang
mempengaruhi sekitar 10%. Diagnosis ditetapkan oleh inspeksi perineum
sederhana, tetapi sering kali diagnosis ini terlewatkan karena pemeriksaan
neonatal yang kurang memadai. Keterlambatan diagnosis mungkin memiliki
dampak signifikan yaitu obstipasi.

Gambar 7. Fistula perineal

2. Fistula rektouretral

15
Dalam fistula rektouretral, rektum berkomunikasi dengan bagian bawah uretra
(uretra bulbar) atau bagian atas dari uretra (uretra prostat). Mekanisme sfingter
pada umumnya baik, tetapi pada sebagian pasien memiliki otot-otot perineal
dan perineum datar. Sakrum juga memiliki derajat perkembangan yang
berbeda, terutama dalam kasus fistula rektouretral prostat. Sebagian besar
pasien memiliki sakrum yang kurang berkembang, perineum yang datar,
skrotum terpecah menjadi dua belah, dan letak lesung anal sangat dekat dengan
skrotum.

Gambar 8. Fistula rektouretral

3. Fistula rektovesikal (bladder neck)


Pada pasien yang memiliki fistula rektovesikal, rektum berkomunikasi dengan
saluran kemih pada tingkat leher kandung kemih. Mekanisme sfingter pada
umumnya kurang berkembang. Sakrum kurang berkembang dan perineum
terlihat datar. Kelainan ini terjadi pada 10% dari jumlah pasien laki-laki.
Prognosis biasanya tidak baik.

Gambar 9. Fistula rektovesikal

16
4. Anus imperforata tanpa fistula
Kelainan ini memiliki karakteristik yang sama pada kedua jenis kelamin. Anus
yang tertutup biasanya ditemukan 2 cm diatas kulit perineum. Sakrum dan
mekanisme sfingter pada umumnya berkembang dengan baik. Prognosis pada
umumnya juga baik. Kelainan ini sering dikaitkan dengan sindrom down.

Gambar 10. Anus imperforata tanpa fistula

5. Atresia rektum
Kelainan ini merupakan kelainan yang jarang terjadi, yaitu hanya 1% dari
anomali anorektal. Karakteristik pada kedua jenis kelamin sama. Gambaran
yang unik dari kelainan ini yaitu bahwa pasien memiliki lubang anus yang
normal dan anus yang normal. Sebuah halangan terdapat sekitar 2 cm diatas

17
permukaan kulit. Prognosis fungsionalnya sangat baik karena memiliki sfingter
yang normal dan sensasi yang normal.

Perempuan
1. Fistula vestibular
Kelainan ini merupakan kelainan yang sering pada wanita. Rektum terbuka di
depan alat kelamin wanita diluar selaput dara. Pasien sering disalah artikan
sebagai fistula rektovaginal. Prognosis fungsionalnya baik, sakrum biasanya
normal, alur garis tengah perineum, dan lesung anal yang semuanya
menunjukkan mekanisme sfingter masih utuh.

Gambar 11. Fistula vestibular

2. Kloaka persisten
Dalam kasus kloaka persisten, rektum, vagina, dan saluran kemih bertemu
dalam satu saluran tunggal. Perineum memperlihatkan suatu lubang tunggal
tepat di belakang klitoris. Panjang saluran ini bervariasi antara 1-10 cm,
panjang dari saluran ini menunjukkan suatu prognosis. Pasien dengan saluran
dengan panjang < 3 cm pada umumnya sakrum dan sfingter berkembang
dengan baik. Pasien dengan panjang saluran > 3 cm sering kali menunjukkan
kelainan yang lebih kompleks dengan sakrum dan sfingter yang kurang
berkembang dengan baik. Pasien dengan kloaka persisten merupakan suatu
kedaruratan urologi karena 90% memiliki kelainan urologi. Sebelum dilakukan

18
kolostomi, diagnosis urologi harus segera ditegakkan untuk dekompresi
saluran kemih.

Gambar 12. Kloaka persisten

2.6. PATOFISIOLOGI

Asal anus dan rektum merupakan stuktur embriologis yang disebut kloaka.
Secara embriologis, saluran pencernaan berasal dari Foregut, Midgut, dan Hindgut.
Foregut akan membentuk faring, sistem pernapasan bagian bawah, esofagus,
lambung, sebagian duodenum, hati, sistem bilier, serta pankreas. Midgut
membentuk usus halus, sebagian duodenum, caecum, apendiks, kolon ascenden
sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari midgut hingga ke
membran kloaka, membran ini tersusun dari endoderm kloaka dan ektoderm dari
protoderm/analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai primitif
gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan
anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau
translevator berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada
anomali letak tinggi, otot levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan
otot sfingter eksternus dan internus dapat tidak ada atau rudimenter.

Atresia ani terjadi akibat kegagalan punurunan septum anorektal pada


kehidupan embrional. Terjadinya atresia ani adalah karena kelainan kongenital
dimana saat proses perkembangan embriogenik tidak lengkap pada proses
perkembangan anus dan rektum. Dalam perkembangan selanjutnya, ujung ekor dari

19
belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan berkembang jadi genito urinari
dan struktur anorektal. Atresia ani ini terjadi karena ketidaksempurnaan migrasi dan
perkembangan struktur kolon antara 7- 10 minggu selama perkembangan janin.
Kegagalan migrasi tersebut juga karena gagalnya agenesis sakral dan abnormalitas
pada daerah uretra dan vagina atau juga pada proses obstruksi. Atresia ani dapat
terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga
menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan.

Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.


Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin
akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir
ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya
akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya.

Skema 1. Patofisiologi anomali letak tinggi

Agenesis sakral Kegagalan perkembangan Abnormalitas uretra


septum urorektalis dan vagina

Anomali letak tinggi Fistula

m. levator ani tidak normal Urine Feses

m. sfingter eksternus dan


internus tidak ada/rudimenter

2.7. DIAGNOSIS

Pasien dengan atresia ani biasanya berada dalam kondisi yang stabil dan
diagnosisnya segera tampak setelah kelahiran. Cara penegakkan diagnosis adalah
semua bayi yang lahir harus dilakukan pemasukan termometer melalui anusnya,

20
tidak hanya untuk mengetahui suhu tubuh, tapi juga untuk mengetahui apakah
terdapat atresia ani atau tidak. Selain itu juga diperlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang secara cermat.

A. Anamnesis

Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya
mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rektal, adanya
membran anal, dan fistula eksternal pada perineum.

Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam.
Gejala itu antara lain :
- Tidak dapat atau mengalami kesulitan mengeluarkan mekonium (tidak bisa
buang air besar sampai 24 jam setelah lahir).
- Perut membuncit dan pembuluh darah di kulit abdomen terlihat menonjol
(Adele, 1996). Perut kembung biasanya terjadi antara empat sampai delapan
jam setelah lahir.
- Muntah (cairan muntahan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau
juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium).

Adapun perbedaan gejala klinis antara anomali letak rendah dan letak tinggi,
yaitu :
- Obstruksi usus halus letak tinggi memiliki gejala muntah lebih dahulu dan
dehidrasi yang sangat cepat.
- Obstruksi usus halus letak rendah, nyeri lebih dominan pada sentral distensi.
Muntah biasanya lebih lambat.

Gejala yang ada terjadi karena adanya obstruksi usus, oleh karena itu banyak
penyakit lain yang dapat menjadi diagnosis banding (Tabel 3).

21
Tabel 3. Penyakit penyebab obstruksi usus

Penyakit Keterangan

Atresia Intestinal Dapat berupa multiple.

Fibrosis Kistik Dapat menyebabkan obstruksi usus


akibat mekonium inspissated.

Malrotasi Intestinal Merupakan predisposisi dari


volvulus midgut letal.

Alimentary Tract Duplications Dapat menyebabkan obstruksi,


perdarahan, atau intususepsi.

Hirschsprungs Disease Mekonium yang tidak keluar setelah


lahir.

Malformasi Anorektal Cek keadaan anus pada bayi dengan


obstruksi usus.

B. Pemeriksaan fisik

Inspeksi dan Palpasi Perianal

- Apakah terdapat anus atau tidak, bisa juga tidak ada anus dan hanya berupa
lengkungan (anal dimple).
- Jika tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula.
- Bila terdapat mekonium pada perineum mengindikasikan defek letak
rendah dan mekonium di urine merupakan bukti adanya fistula di saluran
kemih. Bila terdapat mekonium bercampur urin, maka terdapat 2
kemungkinan, yaitu fistula rektouretral atau rektovesika. Pada fistula
rektouretral didapatkan mekoneum mula-mula keluar bersama miksi, urine
selanjutnya makin lama makin jernih, dan dapat juga mekoneum keluar
tanpa melalui miksi. Sedangkan pada fistula rektovesika, didapatkan miksi

22
bercampur bersama dengan mekoneun dan dari awal sampai akhir miksi
berwarna kehitaman. Selain itu, cara membedakannya juga dapat dengan
menggunakan kateter. Jika setelah dipasang kateter didapatkan urin jernih,
maka fistula rektouretral karena fistula tertutup oleh kateter, sedangkan
bila terdapat urin bercampur mekonium maka fistula rektovesika.
- Pada perempuan diperiksa genitalia eksterna (fistula vestibulum).
- Pada perempuan jika urine bercampur mekonium dan terdapat hematuria
maka defek berupa letak tinggi. Jika dari uretra keluar mekonium, kencing
jernih, dan terdapat fistula pada perineum maka defek letak rendah.
- Dilihat pada saat anak menangis apakah anus menonjol atau tidak, jika
menonjol maka anomali letak rendah, sedangkan jika tidak maka anomali
letak tinggi.
- Pada bayi yang baru lahir, hal yang harus kita lakukan adalah mengukur
suhu rektum sekaligus melihat apakah terdapat adanya lubang pada anus
dengan menggunakan termometer yang sudah diberi gel.
- Pemeriksaan abdomen:
Inspeksi = perut tampak kembung
Palpasi = distensi, nyeri tekan tidak dijumpai.
Perkusi = hipertimpani
Auskultasi = Peristaltik meningkat, dapat terdengar metalic sound
- Jika dalam 24 jam pertama tidak tampak mekonium baik pada perineum
ataupun urin, dapat dilakukan cross table lateral x-ray dengan posisi bayi
tengkurap.

C. Pemeriksaan Penunjang
Meskipun diagnosis atresia ani dapat dibuat dengan pemeriksaan fisik, sering
kali sulit untuk menentukan apakah bayi memiliki lesi tinggi atau rendah.
Sebuah radiograf polos dari perut dapat membantu menemukan lesi. Selain itu,
harus dicari adanya kelainan lain yang terkait (Sindrom VACTERL) sampai
tidak terbukti adanya kelainan tersebut. Untuk memperkuat diagnosis sering
diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :

23
- Invertogram (Radiografi Abominal Lateral dengan marker radiopaque pada
perineum)
Teknik pengambilan foto ini dapat dibuat setelah udara yang ditelan oleh
bayi sudah mencapai rektum, dan bertujuan untuk menilai jarak puntung
distal rektum terhadap tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus
di kulit peritoneum. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah
bayi lahir agar usus terisi udara, dengan cara Wangensteen & Rice (kedua
kaki dipegang dengan posisi badan vertikal dengan kepala di bawah) atau
knee chest position (sujud), dengan sinar horizontal diarahkan ke trochanter
mayor. Prinsipnya adalah agar udara menempati tempat tertinggi.
Selanjutnya, diukur jarak dari ujung udara yang ada di ujung distal rektum
ke tanda logam (marker Pb) di perineum. Cara Wangensteen dan Rice
digunakan pada kondisi dengan fistula, sedangkan pada knee chest position
digunakan pada kondisi tanpa fistula dengan adanya gejala ostruksi usus.
Dengan menggunakan invertogram, dapat diketahui anomali yang terjadi
merupakan letak rendah atau tinggi (Gambar 13).

Gambar 13. Perbedaan invertogram pada anomali letak rendah (gambar a)


dan anomali letak tinggi (gambar b)

24
Adapun perbedaan gambaran radiologis antara anomali letak rendah dan
letak tinggi, yaitu:
- Obstruksi usus halus letak tinggi terdapat distensi minimal dan sedikir
air fluid level pada pemeriksaan radiologi.
- Obstruksi usus halus letak rendah terdapat multiple central air fluid
level terlihat pada pemeriksaan radiologi.

Syarat dari pembuatan invertogram adalah sebagai berikut:


1. Setelah usia > 24 jam (paling cepat 18 jam, karena udara sudah sampai
ke anus).
2. Hip joint fleksi maksimal.
3. Arah cahaya dari lateral.
4. Kepala di bawah, kaki ke atas agar udara naik ke atas dan mekanium
akan ke bawah.
5. Interpretasi pada invertogram
a. Pada Wangensteen dan Rice
Bila letak udara paling distal: > 1 Cm = letak tinggi / high
< 1 cm = letak rendah / low
= 1 cm = letak intermediate
/ sedang
b. Pada knee chest position

25
Dengan Pubococcygeal line (PC line), yaitu dibuat garis imajiner
antara Pubo/Pubis (tumpang tindih dengan trochanter mayor)
dengan os coccygeal (Gambar 14).
Interpretasinya adalah sebagai berikut:
Ujung buntu di atas PC Line = letak rendah
Ujung buntu di bawah PC Line = letak tinggi
Gambaran radiologi pada anomali letak tinggi dan letak rendah
dengan PC line dapat dilihat pada gambar 15 dan gambar 16.
- USG
USG abdomen dapat membantu menentukan apakah ada anomali saluran
kemih atau saraf pada tulang belakang. Selain itu, Ultrasound pada
perineum (daerah dubur dan vagina) juga berguna untuk menentukan jarak
antara rektum distal mekonium.
- Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat kelainan
bawaan pada jantung pasien.
Gambar 14. Pubococcygeal line

26
Gambar 15. Anomali letak tinggi dengan PC line, a) Anomali letak tinggi, b)
Anomali letak tinggi dengan udara pada level S3, c) Anomali letak tinggi
dengan udara pada PC line dan anomali sakrum

a)
b)

c)

Gambar 16. Anomali letak rendah dengan PC line, a) Anomali letak rendah,
b) Anomali letak rendah dengan penurunan udara inkomplit, c) Setelah 3 jam
tampak lesi yang lebih jelas, d) Anomali letak rendah dengan fistula

27
a)

b)

28
c)

d)

Penegakkan diagnosis anomali letak tinggi dan letak rendah dapat ditegakkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti yang
diperlihatkan pada skema 2.

29
Skema 2. Algoritma penegakkan diagnosis

Mekonium Kembung Muntah

(+) (-) Lambat Dominan Menonjol Lambat


muan

Urine Urine+ Gejala Menangis


jernih mekonium dehidrasi

Menonjol (-)
Kateter Kateter Cepat Lambat
jernih campur
Mekonium mekonium
Penemuan Termometer

Fistula
rektouretral Fistula
-Stenosis Fistula Anus (-) Anus
rektovesi
-Membran (+)
kuler
anal
(+) (-)

Perineal Invertogram
rektovagina
rektovestibuler
Foto Jarak

Air fluid Distensi < 1cm > 1cm


level
Mekonium
Banyak Minimal
Sedikit Multiple

Anomali letak Anomali letak


tinggi rendah

30
2.8. PENATALAKSANAAN

Prinsip penatalaksanaan pada atresia ani berpusat pada penentuan


klasifikasinya, yaitu anomali letak tinggi atau letak rendah, ada atau tidak adanya
fistula, dan mengevaluasi apakah terdapat kelainan kongenital lain yang menyertai.
Dibutuhkan waktu sampai 24 jam sebelum fistula dapat ditemukan, oleh karena itu,
observasi pada neonatus sangat dibutuhkan sebelum operasi definitif dilakukan.
Semua pasien dimasukkan nasogastric tube sebelum makan untuk melihat adanya
atresia esofagus dan dimonitoring apakah terdapat mekonium pada perineum atau
urine. Selain itu, dalam 24 jam pertama, bayi harus mendapatkan terapi cairan dan
antibiotik. Pada anomali letak tinggi dengan atau tanpa fistel dan atresia ani dengan
fistula yang tidak adekuat, sifat tatalaksananya adalah emergency, sedangkan pada
ada atresia ani dengan fistula yang adekuat dan anterior anus adalah elektif.

Penatalaksanaan Anomali Letak Rendah

Pada anomali letak rendah, tindakan yang dilakukan adalah operasi perineal
tanpa kolostomi. Operasi yang dilakukan berupa repair yaitu anoplasti. Terdapat 3
pendekatan yang dapat dilakukan. Untuk anal stenosis, dimana pembukaan anus
berada pada lokasi yang normal, maka dilatasi serial merupakan penatalaksanaan
kuratif. Dilatasi dapat dilakukan sehari-hari oleh orang tua atau pengasuh anak dan
ukuran dari dilator harus dinaikkan secara progresif (dimulai dari 8 atau 9 French
dan dinaikkan ke 14 atau 16 French). Jika pembukaan anal berada di sebelah
anterior dari sfingter eksternus dengan jarak yang kecil antara pembukaan dan
bagian tengah dari sfingter eksternus, dan perineal intak, maka anoplasti cutback
dilakukan. Tindakannya terdiri dari insisi dari orifisium anal ektopik menuju bagian
tengah dari sfingter anus, dan dengan demikian terjadi pelebaran pembukaan anal.
Namun, jika jaraknya lebar antara pembukaan anal dengan bagian tengah dari
sfingter ani eksternus, maka yang dilakukan adalah anoplasti transposisi, dimana
pembukaan anal yang tidak pada tempatnya dipindahkan ke posisi yang normal
pada bagian tengah dari otot sfingter, dan perineal di rekonstruksi.

31
Penatalaksanaan Anomali Letak Tinggi

Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dan intermediat membutuhkan


tiga tahapan rekonstruksi. Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah kolostomi
terlebih dahulu segera setelah lahir untuk dekompresi dan diversi, diikuti dengan
operasi definitif berupa prosedur abdominoperineal pullthrough (Swenson,
Duhamel, Soave) setelah 4-8 minggu (sumber lain menyebutkan 3-6 bulan) dan
diakhiri dengan penutupan dari kolostomi yang dilakukan beberapa bulan
setelahnya. Tindakannya berupa pemisahan fistula rektourinari atau rektovagina
secara pull-through dari kantong rektal bagian terminal menuju posisi anus yang
normal. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi definitif dan dilanjutkan
beberapa bulan setelahnya dengan penutupan kolostomi.

Pena dan DeVries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi


definitif dengan pendekatan postero-sagital anorectoplasty (PSARP), yaitu dengan
cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk
memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel dengan stimulasi
elektrik dari perineum. Jika terdapat adanya kloaka persisten, maka traktus
urinarius perlu dievaluasi secara hati-hati saat kolostomi untuk memastikan
terjadinya pengosongan yang normal dan menentukan apakah vesica urinaria perlu
di drainase dengan vesikostomi. Pada perempuan, jika terdapat kloaka persisten
maka perlu dilakukan rekonstruksi traktus urinarius dan vagina. Jika terdapat
keraguan dalam penentuan letak anomalinya, lebih baik dilakukan kolostomi.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka
panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta
antisipasi trauma psikis. Sebagai tujuan akhirnya adalah defekasi secara teratur dan
konsistensinya baik.

Akhir-akhir ini, teknik operasi definitif dapat difasilitasi dengan prosedur


laparoskopi transabdominal sebagai penatalaksanaan untuk anomali letak tinggi
dan intermediat. Teknik ini memiliki keuntungan teoritis karena dilakukan dengan
penglihatan secara langsung dan menghindari pemotongan struktur-struktur lain

32
yang ada. Namun, perbandingan hasil akhir jangka panjang antara PSARP dan
teknik ini belum diketahui.

Penatalaksanaan pada anomali letak tinggi dilakukan secara operatif, yaitu:

1. Kolostomi
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yaitu pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus
besar melalui dinding perut untuk mengeluarkan feses. Kolostomi dapat
dilakukan pada kolon transversalis ataupun sigmoid yang merupakan organ
intraabdominal. Kolon dipisahkan pada daerah sigmoid, dengan usus bagian
proksimal sebagai kolostomi dan usus bagian distal sebagai mukus fistula.
Pemisahan secara komplit dari usus akan meminimalkan kontaminasi feses
menuju fistula rektourinarius sehingga mengurangi risiko terjadinya urosepsis.
Selanjutnya, bagian distal usus di evaluasi secara radiografik untuk
menentukan lokasi dari fistula rektourinarius. Kolostomi dilakukan pada kolon
transversum sebelah kiri di flexura lienalis atas pertimbangan sebagai proteksi
karena di sebelah kiri tidak ada organ-organ penting, kolon lebih mobile
sehingga lebih mudah, dan pada daerah ini tidak terjadi dehidrasi karena
absorbsi elektrolit maksimal di daerah tersebut sehingga konsistensi feces tidak
keras.

Adapun indikasi kolostomi adalah sebagai berikut:


- Dekompresi usus pada obstruksi
- Stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang atau perforasi
- Sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis
distal.

Manfaat kolostomi, yaitu:


a. Mengatasi obstruksi usus.
b. Memungkinkan pembedahan rekonstruktif untuk dikerjakan dengan
lapangan operasi yang bersih.

33
c. Memberi kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain.

Tipe kolostomi yang dapat digunakan pada bayi dengan atresia ani adalah
kolostomi loop yaitu dengan membuat suatu lubang pada lengkung kolon yang
dieksteriorisasi. Jenis anestesi pada tindakan kolostomi adalah anestesi umum.

Gambar 17. Kolostomi

2. Posterosagital Anorectoplasty (PSARP)

Suatu tindakan operasi definitif pada pasien atresia ani dengan teknik operasi
menggunakan irisan kulit secara sagital mulai dari tulang koksigeus sampai
batas anterior bakal anus. Prosedur ini memberikan beberapa keuntungan
seperti kemudahan dalam operasi fistula rektourinaria maupun rektovaginal
dengan cara membelah otot dasar perlvis, sling, dan sfingter. Saat ini, teknik
yang paling banyak dipakai adalah minimal, limited atau full PSARP.

Macam-macam PSARP

1. Minimal PSARP
Tidak dilakukan pemotongan otot levator maupun vertical fibre, yang
penting adalah memisahkan common wall untuk memisahkan rektum
dengan vagina dan yang dibelah hanya otot sfingter eksternus. Indikasi dari

34
minimal PSARP, yaitu dilakukan pada fistula perineal, anal stenosis, anal
membran, bucket handle dan atresia ani tanpa fistula yang akhiran rektum
kurang dari 1 cm dari kulit.

2. Limited PSARP
Yang dibelah adalah otot sfingter eksternus, muscle fiber, muscle complex
serta tidak membelah tulang koksigeus. Yang penting adalah diseksi rektum
agar tidak merusak vagina. Indikasi dari limited PSARP adalah atresia ani
dengan fistula rektovestibuler.

3. Full PSARP
Dibelah otot sfingter eksternus, muscle complex, dan koksigeus. Indikasi
dari full PSARP, yaitu atresia ani letak tinggi dengan gambaran invertogram
gambaran akhiran rektum lebih dari 1 cm dari kulit, pada fistula
rektovaginalis, fistula rektouretralis, atresia rektum, dan stenosis rektum.

Teknik operasi PSARP

1. Dilakukan dengan anestesi umum, dengan endotrakeal intubasi, dengan


posisi pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan (prone jackknife position).
2. Stimulasi perineum dengan alat pena muscle stimulator untuk identifikasi
anal dimple.
3. Insisi bagian tengah sakrum ke arah bawah melewati pusat sfingter dan
berhenti 2 cm di depannya.
4. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex. Os
coccygeus dibelah sampai tampak musculus levator, lalu muskulus levator
dibelah sampai tampak dinding belakang rektum.
5. Fistula yang ada dari rektum menuju ke vagina atau traktus urinarius
dipisahkan.
6. Rektum dibebaskan dari jaringan sekitarnya.
7. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.
8. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai terjadi tension (dilakukan
rekonstruksi pada muskulus dan dijahit ke rektum)

35
Gambar 18. Sebelum dan sesudah PSARP

Perawatan Pasca Operasi PSARP

1. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari dan salep antibiotik diberikan
selama 8-10 hari.
2. Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari.
Sedangkan pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-
14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka
dengan saluran lebih dari 3 cm.
3. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi dengan Heger dilatation.
Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali
sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga. Setiap minggu,
lebar dilator ditambah 1 mm hingga tercapai ukuran yang diinginkan.
Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat
dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan
diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu
dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan.
Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi.
4. Indikasi penutupan kolostomi adalah apabila sudah tercapai ukuran pada
dilatasi anal yang sudah sesuai dengan umur (maksimal 16 French pada
usia 3 tahun).
5. Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi
karena kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya.

36
Salep tipikal yang mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin
dapat digunakan untuk mengobati eritema popok ini.

Tabel 4. Tabel ukuran businasi menurut usia

Umur Ukuran

1-4 bulan #12

4-12 bulan #13

8-12 bulan #14

1-3 Tahun #15

3-12 tahun #16

>12 tahun #17

Tabel 5. Tabel frekuensi dilatasi

Frekuensi Dilatasi

Tiap 1 hari 1x dalam 1 bulan

Tiap 3 hari 1x dalam 1 bulan

Tiap 1 minggu 2x dalam 1 bulan

Tiap 1 minggu 1x dalam 1 bulan

Tiap 1 bulan 1x dalam 3 bulan

37
Skoring Koltz

Tabel 6. Skoring Koltz

VARIABEL KONDISI SKOR


1-2x sehari 1
2 hari 1x 1
1. Defekasi 3-5x hari sekali 2
3 hari sekali 2
>4 hari sekali 3
Tidak pernah 1
2. Kembung Kadang-kadang 2
Terus menerus 3
Normal 1
3. Konsistensi Lembek 2
Encer 3
Perasaan ingin buang air Terasa 1
4.
besar Tidak terasa 3
Tidak pernah
1
Terjadi bersama
5. Soiling 2
flatus
3
Terus menerus
>1 menit
1
Kemampuan menahan <1 menit
6. 2
feses yang keluar Tidak bisa
3
menahan
Tidak ada 1
7. Komplikasi Komplikasi minor 2
Komplikasi mayor 3

Penilaian hasil skoring: Nilai scoring 7-21


<7 = sangat baik

38
8-10 = baik
11-13 = cukup
>14 = kurang

Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan perempuan dapat dilihat
pada skema 3.

Skema 3. Algoritma penatalaksanaan atresia ani pada laki-laki dan perempuan

Newborn with Anorectal Malformation

Observation 18-24 Hrs


Abdominal ultrasound

Perineal Inspection
And Urinalysis

Fistula No Fistula

Male Female Cross-


table
Lateral,
Film
Perineal Flat Bottom, Cloaca Vestibular Perineal
with
Fistula, Meconium in (or
Patient
Bucket urine vaginal)
in Prone
Handle,
Minimal Position
Midline Emergency
Raphe PSAP,
Colostomy GU Colostomy
Fistula No
Evaluation Colostomy
Colos-
PSARP Limited
Minimal tomy, < 1cm > 1cm
PSARP
PSAP, And if Bowel Bowel
No necessary skin skin
Colosto Vaginos- distance distance
my tomy
Urinary
diversion
39
Colostomy
6 month 4-8 wks Rule out
Associated Malformations
PSARVUP
Verify Normal Growth
PSARP

2.9. KOMPLIKASI

Komplikasi yang terjadi post operasi banyak disebabkan oleh karena


kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, dan keterampilan operator yang kurang serta
perawatan post operasi yang buruk.

Komplikasi awal dari PSARP adalah infeksi dari luka, perdarahan, anus
salah letak, fistula berulang, serta cedera pada uretra dan kandung kemih. Pada
komplikasi selanjutnya, pada umumnya terjadi stenosis, striktur anorektal, prolaps,
dan inkontinensia.

Komplikasi awal dapat dihindari dengan penutupan luka yang adekuat tanpa
meninggalkan celah. Sebagian besar pasien yang melakukan operasi untuk
memperbaiki atresia ani memiliki berbagai derajat konstipasi. Gejala ini lebih berat
terjadi pada kelainan letak rendah dan intermediat. Pasien yang sebelumnya
dilakukan kolostomi baik di daerah proksiamal maupun distal dapat mengalami
obstipasi maka dari itu pasien memerlukan diet kaya serat dan kadang-kadang
sampai dibutuhkan obat pencahar.

2.10. PROGNOSIS

Morbiditas yang ada pasien berhubungan dengan anomali lain yang ada
pada pasien. Tujuan utama dari tatalaksana pada atresia ani adalah kontinensia
feses. Sebanyak 75% pasien memiliki pergerakan usus volunter. Konstipasi
merupakan sekuele yang paling umum. Prognosis pada atresia dapat dievaluasi
dengan cara melihat fungsi klinisnya dan psikologisnya.

40
Evaluasi Fungsi Klinis

- Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar


- Sensasi rektal dan soiling
- Kontraksi otot yang baik pada colok dubur

Pada anomali letak rendah, hasil akhir yang sering terjadi adalah konstipasi,
sedangkan pada anomali letak tinggi adalah inkontinensia feses.

Evaluasi Psikologis

Fungsi kontinensi tidak hanya tergantung integritas atau kekuatan sfingter atau
sensasi saja, tetapi tergantung juga pada bantuan orangtua dan kerja sama serta
keadaan mental penderita.

Pasien dengan fistula perineal, atresia rektal, dan anus imperforata tanpa
fistula pada umumnya setelah dilakukan operasi perbaikan memiliki fungsi defekasi
yang baik. Sekitar 80% dapat mencapai kontrol usus anatara usia 3- 4 tahun.

Pasien pria dengan fistula prostat rektouretral sekitar 60% dapat mencapai
kontrol usus pada usia 3 tahun. Pasien dengan fistula rektovesikal prognosisnya
kurang baik sekitar 20% dapat mencapai kontrol usus atau buang air besar secara
normal pada usia 3 tahun. Pada sakrum yang tidak normal atau letak rendah pada
umumnya akan terjadi inkontinensia feses, dan sakrum yang tidak normal pada
umumnya terjadi pada fistula rektovesikal dan prostat rektouretral.

Pasien wanita dengan fistula rektovestibular sekitar 90% dapat memiliki


gerakan usus yang normal pada usia 3 tahun. Pasien wanita dengan kloaka dengan
saluran kurang dari 3 cm sekitar 80% dapat mencapai gekaran usus yang normal
pada umur 3 tahun. Bila saluran lebih dari 3 cm pada umumnya juga terdapat
kelainan pada sakrum, maka prognosisnya sekitar 25 % terjadi inkontinensia feses,
dan 70 % dari pasien kloaka persisten dengan saluran lebih dari 3 cm menbutuhkan
katerisasi intermiten untuk mengosongkan kandung kemih.

41
Pasien dengan inkontinensia fekal dan diare pada umumnya memerlukan
kolostomi permanen.

42
BAB III

KESIMPULAN

Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali kongenital


yang terdiri dari anus imperforata dan kloaka persisten. Anus imperforata atau
atresia ani merupakan kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak
sempurna, sedangkan kloaka persisten diakibatkan karena pemisahan antara traktus
urinarius, traktus genitalia, dan traktus digestivus tidak terjadi. Etiologi secara pasti
atresia ani belum diketahui, namun faktor genetik diduga berpengaruh terhadap
insiden tersebut.

Berdasarkan letak anatomi, atresia ani dapat dibagi mejadi 3 yaitu letak
tinggi, intermediet, dan rendah. Dan dapat juga di klasifikasikan berdasarkan ada
atau tidaknya fistula dan letak fistula.

Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula.


Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya. Diagnosis didapatkan dengan melihat manifestasi klinis yang
muncul dan dengan inspeksi pada regio perianal. Tindakan yang dilakukan untuk
evakuasi feses yang utama yaitu dengan kolostomi dilanjutkan dengan PSARP
disesuaikan dengan kelainan yang ada.

43
DAFTAR PUSTAKA

Adotey JM, Jebbin NJ. Anorectal disorders requiring surgical treatment in


the University of Port Harcourt Teaching Hospital, Port Harcourt. Nigerian
journal of medicin : journal of the National Association of Resident Doctors
of Nigeria 2004; 13 (4): 3504.

Anonymus. Ilmu Bedah. [cited May 11, 2012]. Available at: http:// www.
bedahugm. net/atresia-ani. ac.

Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews
JB, et al. Pediatric Surgery. In: Schwartzs Principles of Surgery. 9th edition.
McGraw Hill; 2010.p. 2777-2780.

Hidayat, Alimul AA. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 2. Jakarta:


Salemba Medika; 2005.

Kaneshiro NK. Imperforate Anus. [cited May 12, 2012]. Available:


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001147.htm.

Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation.Orphanet Journal of Rare


Diseases2007,2:33. [cited May 25, 2012]. Available: http://www.ojrd
.com/content/2/1/33.

Mahmoud N, Rombeau J, Ross HM, et al.In: Townsend CM, Beauchamp


RD, Evers BM, Mattox KL, editors. Pediatric Surgery. Sabiston Textbook
of Surgery The Biological Basis of Modern Surgical Practice. 17 th edition.
Elsevier Saunders; 2004.p.1746-8.

44
Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of
Pediatric SurgeryVol.2. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2005.p. 1395-1434

Pena A. Surgical Condition of the Anus, Rectum, and Colon. Pediatric


Surgery. Germany: Springer; 2006.p. 289 -312.

Sjamsuhidajat R. De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.hlm. 668-70.

Suriadi. Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: Seto Agung; 2006.hlm 159

Swenson. Anorectal malformation. Pediatric surgery. WB Saunder; 2000.

Texas Pediatric Associates. Imperforate Anus. [cited May 12, 2012].


Available: http://www.pedisurg.com/PtEduc/Imperforate_Anus.htm.

University of Michigan. Imperforate Anus. Departement of Surgery


University of Michigan. [cited May 25, 2012]. Available:
http://www.medcyclopaedia.com/library
/topics/volume_vii/a/anorectalmalformation.

Wakhlu A. Management of Congenital Anorectal Malformation. Pediatric


Surgery. [cited May 12, 2012]. Available at
http://indianpediatrics.net/nov1995/1239.pdf.

Williams N, Bulstrode CJK, Oconnell PR. Bailey and love short practice
of surgery. 25th edition. Edward Arnold (Publisher) Ltd;2008.p. 87-88,
1247.

45

Anda mungkin juga menyukai