Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

ATRESIA DUODENUM

Oleh:
Sylvia Restu Mayestika 1740312267

Preseptor
dr. H. Jon Effendi, Sp.B, Sp.BA

ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Atresia Duodenum adalah tidak terbentuknya atau tersumbatnya duodenum

(bagian terkecil dari usus halus) sehingga tidak dapat dilalui makanan yang akan

ke usus. Atresia duodenum merupakan salah satu abnormalitas usus yang biasa

ditemui didalam ahli bedah pediatrik dan merupakan lokasi yang paling sering

terjadinya obstruksi usus di hampir semua kasus osbtruksi.1 Atresia duodenum

dijumpai satu diantara 6.000─10.000 kelahiran hidup. Dasar embriologi

terjadinya atresia duodenum disebabkan karena kegagalan rekanalisasi duodenal

pada fase padat intestinal bagian atas dan terdapat oklusi vascular di daerah

duodenum dalam masa perkembangan fetal.2

Setengah dari semua bayi baru lahir dengan atresia duedenal juga

mempunyai anomali kongenital pada sistem organ lainnya. Lebih dari 30% dari

kasus kelainan ini ditemukan pada bayi dengan sindrom down. Adapun kelainan

lain yang dapat ditemui diantaranya pancreas annulare (23%), Penyakit jantung

congenital (22%), malrotasi (20%), atresia esophagus (8%) dan lainnya (20%).1

Laporan lain menyebutkan bahwa atresia duodenum berkaitan dengan

prematuritas (46%), maternal polyhidramnion (33%), down syndrome (24%),

pankreas annulare (33%) dan malrotasi (28%).3

Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana mengakibatkan bayi dapat

mengalami asfiksia, dehidrasi, hiponatremia dan hipokalemia yang diakibatkan

muntah-muntah.2

Berikut ini akan diuraikan sebuah kasus bayi dengan atresia duodenum dari

aspek teori, penatalaksanaan, serta kesesuaian teori dengan penatalaksanaannya.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum (bagian pertama dari

usus halus) tidak berkembang dengan baik, sehingga tidak berupa saluran terbuka

dari lambung yang tidak memungkinkan perjalanan makanan dari lambung ke

usus.4

2.2 Embriologi

Minggu 4 pertumbuhan lapis epitel usus lebih cepat dibandingkan panjang

lempeng usus,shg terdapat sumbatan usus. Seiring pertumbuhan usus, mulai pula

proses vakuolisasi sehingga terjadi rekanalisasi usus. Rekanalisasi berakhir

minggu 8─10. Penyimpangan rekanalisasi menyebabkan, stenosis, atresia,web/

diafgrama mukosa. Penyimpangan rekanalisasi paling sering di daerah papila

vateri.4

Atresia duodenum disebabkan kegagalan rekanalisasi duodenal pada fase

padat intestinal bagian atas, terdapat oklusi vascular dalam duodenum. Terdapat

hubungan kelainan perkembangan khususnya dengan pancreas dalam bentuk baji

yang interposisi antara bagian proksimal dan distal atresia; pancreas anulare.4

Gambar 1. Tipe anomali rekanalisasi

duodenum. Dilatasi segmen proksimal yang

normal diperlihatkan pada masing-masing

tipe. A. Diafragma; B. Solid cord dan atresia;

C. segmental absence.5

3
Pendapat lain mengungkapkan bahwa pankreas bagian ventral duodenum

mengadakan putaran ke kanan dan fusi dengan bagian dorsal. Bila saat putaran

berlangsung ujung pancreas bagian ventral melekat pada duodenum maka

berbentuk cincin pancreas (anulare) yang melingkari duodenum. Duodenum

tidak tumbuh sehinnga terbentuk stenosis atau atresia. Akhir saluran empedu

umumnya duplikasi, masuk ke duodenum di atas dan bawah atresia sehingga

empedu dapat dijumpai baik diproksimal ataupun distal atresia.6

2.3 Epidemiologi

Insiden atresia duodenum adalah 1 per 5000─10.000 kelahiran. Obstruksi

duodenum kongenital intrinsik merupakan dua pertiga dari keseluruhan obstruksi

duodenal kongenital (atresia duodenal 40─60%, duodenal web 35─45%, pankreas

anular 10─30%, stenosis duodenum 7─20%). Tidak terdapat predileksi rasial dan

gender pada penyakit ini. Sekitar setengah dari bayi yang lahir dengan obstruksi

duodenal mempunyai kelainan congenital dari sistem organ lain.7

Tabel 1. Kelainan kongenital yang berhubungan dengan atresia duodenum3

Type No. (%) of cases


Cardiac 53 (38)
Renal 19 (14)
Esophageal atresia or tracheoesophageal fistula 8 (6)
Imperporata anus 7 (5)
Skeletal 8 (6)
Central nervous system 4 (3)
Other* 11 (8)

*Other indicates additional anomalies

4
Laporan lain menyebutkan (Arnold, 2003) bahwa anomali yang

berhubungan dengan obstruksi duodenal adalah Down syndrome (28%), Pankreas

annulare (23%), Penyakit jantung kongenital (23%), Malrotasi (20%), Atresia

esofagus/fistula trakheaesofageal (9%), Kelainan traktus Genitourinaria (8%),

Anomalies anorektal (4%), kelainan usus lainnya (4%) dan anomali lainnya

(11%).8

2.4 Etiologi

Meskipun penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenum masih

belum diketahui, patofisologinya telah dapat diterangkan dengan baik. Seringnya

ditemukan keterkaitan atresia atau stenosis duodenum dengan malformasi

neonatal lainnya menunjukkan bahwa anomali ini disebabkan oleh gangguan

perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia duodenum berbeda dari atresia

usus lainnya, yang merupakan anomali terisolasi disebabkan oleh gangguan

pembuluh darah mesenterik pada perkembangan selanjutnya. Tidak ada faktor

resiko maternal sebagai predisposisi yang ditemukan hingga saat ini. Meskipun

hingga sepertiga pasien dengan atresia duodenum menderita pula trisomi 21

(sindrom Down), namun hal ini bukanlah faktor resiko independen dalam

perkembangan atresia duodenum.4

2.5 Patologi
Disebabkan oleh faktor intrinsik didalam duodenum, dapat pula total atau

parsial, atau tanpa diafragma mukosa. Diameter bukaan dapat kecil sekali atau

besar, mendekati diameter lumen normal. Faktor ekstrinsik tekanan laur

duodenum seperti pita Ladd.6

5
Ladd mengklasifikasikan obstruksi duodenal menjadi instrinsic and extrinsic

lesion. Beberapa penyebab paling umum diperlihatkan pada table di bawah ini.

Tabel 2. Klasifikasi Ladd: Beberapa lesi kongenital7

Instrinsic Lession Extrinsic Lession


Duodenal atresia Annular pancreas
Duodenal stenosis Malrotation
Duodenal web Peritoneal bands
Anterior portal vein

2.6 Klasifikasi
Gray dan Skandalakis membagi atresia duodenum menjadi tiga jenis, yaitu:7
1) Tipe I (92%)

Mukosal web utuh atau intak yang terbentuk dari mukosa dan submukosa

tanpa lapisan muskularis. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu hingga

beberapa millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimal dan

distal. Lambung dan duodenum proksimal atresia mengalami dilatasi (Mucosal

web Tipe I atresia). Arteri mesenterika superior intak.

2) Tipe II (1%)

Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh pita jaringan ikat (Fibrous

cord Tipe II atresia). Arteri Mesenterika intak.

3) Tipe III (7%)

Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa hubungan pita jaringan ikat

(Complete separation Tipe III atresia).

6
Tipe I

Tipe II Tipe III


Gambar 2. Atresia duodenal; 3 tipe anatomis9

2.7 Patofisiologi

Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal

yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya) atau

kegagalan rekanalisasi pita padat epithelial (kegagalan proses vakuolisasi).

Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi dalam

usia kehamilan 30─60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal secara

sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat duodenum

padat mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui proses

apoptosis, atau kematian sel terprogram, yang timbul selama perkembangan

normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia duodenum berkaitan

dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling

duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan perkembangan duodenal

daripada suatu perkembangan dan/atau berlebihan dari pancreatic buds.

Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut,

yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm,

7
dikelilingi sel yang berasal dari mesoderm. Pensinyalan sel antara kedua lapisan

embrionik ini tampaknya memainkan peranan sangat penting dalam

mengkoordinasikan pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum.

2.8 Diagnosis

2.8.1 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal letak tinggi.

Atresia duodenum ditandai dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama

setelah lahir. Gejala akan nampak dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa

pasien dapat timbul gejala dalam beberapa jam hingga beberapa hari setelah

kelahiran. Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering

terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal. Seringkali muntahan tampak

biliosa, namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini terjadi proksimal

dari ampula Vaterii. Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati

deteksi abnormalitas saluran cerna dan bertumbuh hingga anak-anak, atau lebih

jarang lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya

pada anak yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami

obstruksi saluran cerna proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus segera

dilakukan pemeriksaan menyeluruh.10,11

Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus

mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika

atresia diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang

tinggi, maka muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang mengental.

Apabila pada usus yang lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampak

adanya fekal. Apabila anak terus menerus muntah pada hari pertama kelahiran

8
ketika diberikan susu dalam jumlah yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan

pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan harus dicurigai mengalami

obstruksi usus.16,17

Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai gejala penting untuk

menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan memiliki

mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan

berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal. Pada beberapa

kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal. Pengeluaran

mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi, pada

beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani

dengan cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan,

gangguan keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi

alkalosis metabolik hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik

akan mengalirkan cairan berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.16,17

Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami aspirasi gastrik dengan

ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat, biasanya aspirasi gastrik berukuran

kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan

pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak, mengalami demam. Kondisi ini

disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila temperatur diatas 103º F,

maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau peritonitis.16,17

Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini

tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat.

Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat

tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak

9
nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang

dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentari

menjadi kosong. Pada beberapa neonatus, distensi bisa sangat besar setelah hari

ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi karena ruptur lambung atau usus

sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal. Neonatus dengan atresia

duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid, sehingga obstruksi

intestinal tidak segera dicurigai. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh

akibat dari dilatasi lambung dan duodenum proksimal.16

Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati

epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran

kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka

gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian dinding perut.16

Riwayat kehamilan dengan penyulit polihidramnion dan bayi dengan

sindroma Down harus dicurigai menderita atresia duodenal. Polihidramnion

terlihat pada 50 % dengan atresia duodenal.10,11

Gambar 3. Pasien dengan Sindrome Down yang menderita atresia duodenal1

10
2.8.2 Pemeriksaan Penunjang

a) Foto polos abdomen

Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak

akan terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble),

gelembung lambung dan duodenum proksimal atresia. Bila 1 gelembung

mungkin duodenum terisi penuh cairan, atau terdapat atresia pylorus atau

membrane prapilorik. Atresia pilorik sangat jarang terdapat dan harus ditunjang

muntah tidak hijau. Bila 2 gelembung disertai gelembung udara kecil kecil di

distal, mungkin stenosis duodenum, diafgrama membrane mukosa, atau

malrotasi dengan atau tanpa volvulus2,12

Gambar 4. Foto polos abdomen posisi AP dan lateral yang memperlihatkan


gambaran “the double-bubble sign” pada atresia duodenum.5

b) USG Abdomen

Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi

duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort besar untuk

18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, 52% bayi dengan

obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero. Obstruksi duodenum ditandai

khas oleh gambaran double-bubble (gelembung ganda) pada USG prenatal.

11
Gelembung pertama mengacu pada lambung, dan gelembung kedua mengacu

pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik yang terdilatasi. Diagnosis

prenatal memungkinkan ibu mendapat konseling prenatal dan

mempertimbangkan untuk melahirkan di sarana kesehaan yang memiliki

fasilitas yang mampu merawat bayi dengan anomali saluran cerna.10,11

Gambar 5 . Prenatal sonogram pada potongan sagital oblik memberikan gambaran


double bubble sign pada fetus dengan atresia duodenum. In utero, the stomach (S)
dan duodenum (D) terisi oleh cairan.12

2.8 Tatalaksana

2.8.1 Persiapan Prabedah

Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan

lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah muntah dan

aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa, hiponatremia dan

hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus. Pembedahan elektif pada pagi hari

berikutnya.2

12
2.8.2 Pembedahan

Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan

tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan harus

dikoreksi dengan tindakan pembedahan selama hari pertama setelah bayi lahir.

Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi melalui

insisi pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan yang ada telah

dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum dengan cara yang

minimal invasive.7 Atau dapat dilakukan tindakan pembedahan Anastomosis

duodenoyeyunostomi. Tidak dilakukan reseksi bagian atresia, karena dapat terjadi

pemotongan ampula vateri dan saluran Wirsungi.6

Prosedur pembedahan dimulai dengan insisi tranversal pada supra umbilikal

abdominal, 2 cm di atas umbilikus dengan cakupan mulai dari garis tengah

sampai kuadran kanan atas. Setelah membuka kavum abdominal, dilakukan

inspeksi di dalamnya untuk mencari kemungkinan adanya kelainan anomali

lainnya. Untuk mendapatkan gambaran lapang pandang yang baik pada pars

superior duodenum, dengan sangat hati-hati dilakukan penggeseran hati (liver)

selanjutnya kolon asenden dan fleksura coli dekstra disingkirkan dengan

perlahan-lahan. 7

Gambar 6. Transverse supra-umbilical


abdominal incision.13

13
Terdapat dua bentuk anastomosis duodenduodenostomy yang dapat
dilakukan yaitu bentuk 1) Side to side duodenostomy dan 2) Proksimal tranverse
to distal longitudinal (Diamond Shaped Duodenoduodenostomy).7

Gambar 7. Side-to-side Duodeno-duodenostomy and “diamond-shaped”


13
anastomosis

Tindakan operasi Diamond Shaped Duodenoduodenostomy (DSD) dilakukan

sebagai berikut.

Incisi tranversal pada akhir duodenum proximal

Insisi longitudinal dibuat pada bagian yang lebih kecil duodenum

distal

Papila Vattery ditempatkan dengan melihat bile flow

Orientasi penyambungan seperti pada gambar di atas (gambar)

Nellaton cateter yang kecil dimasukkan melalui ujung segmen distal

yang dibuat.

20─30 ml saline hangat diinjeksikan

Cateter kemudian dilepas

Biagio Zuccarello et al (2009) melakukan modifikasi teknik Kimura untuk


tindakan pembedahan pada atresia duodenal, yaitu sebagai berikut.14

14
Gambar 8. Personal modification (inverted diamond-shaped anastomosis): (a-b)
longitudinal incision on the proximal dilated duodenum and transverse incision on
the distal duodenum; (c-d-e-) anastomosis of posterior duodenal wall in a single
layer with interrupted sutures;(f-g) anastomosis of the anterior duodenal wall.14

2.9 Komplikasi
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi,

terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat terjadi

komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum), gangguan

motilitas usus, atau refluks gastroesofageal. Penelitian Laura K et al3 (1998)

yang dilakukan terhadap 92 neonatus dengan atresia duodenal (Tipe I 64%,

Tipe II 17%, Tipe III 18%) dengan melakukan tindakan pembedahan

Duodenoduodenostomy (86%), duodenotomy with web excision (7%) and

duodenojejunostomy (5%), didapatkan komplikasi postoperative (Postoperative

Complications) yaitu 4 neonatus (3%) dengan obstruksi, congestive

heart failure (9%), ileus paralitik yang berkepanjangan (4%), pneumonia (5%),

infeksi luka superfisialis (3%). Komplikasi lanjut termasuk perlekatan

15
obtruksi usus (9%), dismotilitas duodenal lanjut yang menghasilkan

megaduodenum yang membutuhkan duodenoplasty (4%), dan gastroesophageal

refluks disease yang tidak respon dengan pengobatan dan membutuhkan

pembedahan antirefluk (Nissen Fundoplication Surgery) (5%).3

Angka kematian (Operative Mortality Rate) adalah 4% (5/138). 5 Kasus

kematian terjadi dalam 30 hari postoperative dan berhubungan dengan complex

congenital heart anomalies. 14 kasus (10%) berhubungan dengan sepsis dan Multi

organ system failure termasuk gagal jantung pada 6 kasus (4%).,meningitis pada 1

kasus (0,7%), gagal hati pada 1 kasus (0,7%) dan penyakit jantung kongenital

kompleks pada 4 kasus (3%). 2 kasus (1%) tidak diketahui penyebab

kematiannya.3

2.10 Prognosis

Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama 50 tahun

terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik, neonatologi, dan

teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat hingga 90%.4,7

Tabel 3. Survival Data for Duedenal Atresia3

Location of Atresia Source, Years Survival,%

Duedenal Atresia deLorimier et al, 1969 60


Nixon and Tawes, 1971 60
Stauffer and Irving, 1977 69
Kullendorf, 1983 90
Grosfeld and Rescoria, 1993 95
Mooney et al, 1987 95
Current study 86

16
Mortalitas umumnya berkaitan dengan kelainan anomaly lain yang dialami

khususnya bayi dengan Trisomi 21 dan kelainan komplek jantung (complex

cardiac anomaly). Faktor lain yang turut mempengaruhi tingkat mortalitas adalah

prematuritas, BBLR dan keterlambatan diagnosis.15

17
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

 Nama : By. MZ

 Jenis Kelamin : Laki-Laki

 Umur : 0 tahun

 Agama : Islam

 Status Pernikahan : Belum Menikah

 Pekerjaan :-

 Alamat : Nipah

 Tanggal masuk : 28 November 2018

18
3.2. Anamnesis

3.2.1. Keluhan Utama

Muntah hijau berulang sejak lahir

3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang

 NBBLR 2200 gram PBL 46 cm lahir seksio secarea atas indikasi poli

hidramnion, usia kehamilan 36 – 37 minggu langsung menangis kuat.

 Injeksi vit. K sudah diberikan saat lahir

 Anak muntah kehijauan berulang sejak lahir 4-8 kali/hari, jumlah ± ¼

gelas tiap kali muntah

 Mekonium (+)

 Perut tampak membuncit sejak usia 1 hari, semakin bertambah buncit

sejak 1 minggu SMRS

 Tampak kuning sejak usia 2 hari, awalnya kuning hanya pada mata dan

wajah selanjutnya kuning menyebar hingga seluruh tubuh

 Demam tidak ada

 Sesak nafas tidak ada

 BAK terakhir 3 jam SMRS, warna pekat dan jumlah sedikit

 BAB belum ada sejak lahir

 Telah dilakukan echocardiography dengan hasil ASD dan PDA

 Pasien sebelumnya telah dirawat di RS swasta di kota Padang dengan

suspek Atresia Duodenum. Pasien telah dirawat selama 11 hari dan dirujuk

untuk direncanakan operasi. Anak dipuasakan sejak lahir dan mendapat

nutrisi hanya lewat infus.

19
3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu

3.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan yang serupa dengan pasien

3.3. Pemeriksaan Fisik

3.3.1. Umum

 Keadaan umum : Letargi, kurang aktif

 Kesadaran : Komposmentis

 Tekanan darah :-

 Frekuensi nadi : 168 x/menit

 Frekuensi napas : 40 x/menit

 Suhu : 37°C

 Edema : Tidak edema

 Ikterus :+

 Anemia :-

 Sianosis :-

3.3.2. Khusus

o Kulit : Hangat, turgor agak lambat, ikterik (+) kramer 5

o Kelenjar getah bening : Pembesaran (-)

o Kepala : Bulat, simetris, lingkar kepala 33,5 cm, ubun –

ubun besar cekung, normosefal

o Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut

o Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (+/+)

20
o Telinga : Tidak ditemukan kelainan

o Hidung : Tidak ditemukan kelainan

o Tenggorok : Tonsil dan faring sulit dinilai

o Gigi dan mulut : Mukosa bibir dan mulut basah

o Leher : JVP 5 – 2 cmH2O

o Toraks

o Paru

 Inspeksi : Simetris kiri = kanan, retraksi (-)

 Palpasi : fremitus kiri = kanan

 Perkusi : Sonor

 Auskultasi : Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

o Jantung

 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

 Palpasi : Iktus kordis teraba LMCS RIC V

 Perkusi : Batas jantung sulit dinilai

 Auskultasi : Reguler, murmur (+) di RIC II parasternal

sinistra, gallop (-)

o Abdomen

 Inspeksi : Distensi (+), Darm Contour (-), Darm

Steifung (-)

 Palpasi : Nyeri tekan (-), Nyeri lepas (-), Defans

muskular (-), Asites (-). Hepar lien sulit

dinilai

 Perkusi : Timpani

21
 Auskultasi : Bising usus menurun

o Pinggang : Ramping pinggang +/+

o Punggung : Tidak ditemukan kelainan

o Genitalia : Tidak ditemukan kelainan

o Rektal : Anus tenang, sfingter menjempit, mukosa licin,

ampula sulit dinilai, teraba massa ekstralumen,

feses (-), lendir (-), darah (-)

o Anggota gerak : Akral hangat, CRT <2 detik

3.4. Pemeriksaan Laboratorium

3.4.1. Darah

 Hb : 13,8 g/dL

 Leukosit : 14.950 / mm3

 Trombosit : 433.000 /mm3

 Hematokrit : 38%

3.4.2. Kimia Klinik

 PT/APTT : 17,1/49,8 detik

 Na / K /Cl : 112 / 5,1/82 mmol/L

 Bilirubin total / direk / indirek : 35,5 / 1,6 / 33,9 mg/dL

 SGOT / SGPT : 56 / 27 u/L

 Kesan : Natrium menurun, klorida menurun,

hiperbilirubinemia, SGOT

meningkat

22
Foto Polos Abdomen

Kesan: Tampak gambaran doubke-bubble.sugestif obstruksi letak tinggi karena

atresia duodenum

3.5. Diagnosis

 Atresia Duodenum dengan dehidrasi sedang

 Hiperbilirubinemia ec. Susp peningkatan siklus enterohepatik

 Hiponatremia

23
 Penyakit Jantung Bawaan Asianotik ec PDA + ASD

3.6. Tata Laksana

 Monitoring tanda vital

 Hangatkan/selimuti pasien (inkubator)

 Pasien dipuasakan

 Dekompresi => pasang OGT

 Rencana laparotomy + duodenoduodenostomy

 IVFD NaCl 360 cc/hari (200cc/kgBB/hari)

 Ampicilin Sulbactam 3 x 100 mg (i.v)

 Gentamisin 1 x 10 mg (i.v)

 Koreksi NaCl 3% 30 cc dalam 12 jam -> 2,5 cc/jam

3.7 Laporan Operasi

 Pasien posisi supine dalam general anestesi

 Desinfeksi lapangan operasi

 Lakukan insisi transverse 2 cm supraumbilical

 Buka kutis, subkutis, fasia, muscle cutting, peritoneum

 Eksplorasi => tampak atresia duodenum

 Lakukan duodenoduodenodtomy dengan kimuro procedure

 Tes pasase usus, tidak tampak keluar cairan, cairan sampai ke distal

 Jahit luka operasi lapis demi lapis

24
3.8 Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanactionam : dubia ad bonam

25
BAB 4

DISKUSI

Seorang pasien laki-laki berusia 11 hari dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil

Padang dari RS Swasta di kota Padang dengan keluhan muntah hijau berulang

sejak lahir. Bayi muntah hijau harus dianggap terdapat obstruksi saluran cerna

sampai dapat dibuktikan bahwa tidak terdapat obstruksi. Muntah (emesis)

merupakan tanda kelainan saluran gastrointestinal. Muntah adalah ekspulsi kuat

isi saluran cerna bagian atas (lambung dan kadang duodenum) melalui mulut.

Rangsangan terkuat untuk muntah adalah iritasi dan distensi lambung. Impuls

saraf diteruskan ke pusat muntah di medula oblongata, dan impuls kembali ke

organ-organ saluran cerna bagian atas, diafragma, dan otot perut. Lambung

terperas di antara diafragma dan otot perut, lalu isi perut keluar dari sfinkter

esofageal yang terbuka. Muntah yang berwarna hijau (bilious emesis)

menandakan kemungkinan adanya ileus atau obstruksi distal dari insersi common

bile duct ke duodenum. Gejala lain yang mungkin berkaitan adalah sepsis,

perdarahan, rasa sakit, dan gangguan bernapas.

Cairan empedu adalah cairan basa, pahit, dan berwarna kuning-kehijauan

yang diproduksi di hati dan disimpan di kantung empedu. Kantung empedu akan

mengeluarkan cairannya melalui cystic duct ke common bile duct. Sfinkter Oddi

mengatur aliran cairan empedu melalui common bile duct ke duodenum pars

desendens. Ketika terdapat obstruksi setelah bukaan common bile duct di sfinkter

Oddi, muntah akan berwarna hijau. Jika obstruksinya proksimal dari bukaan ini,

muntah tidak akan berwarna hijau.

26
Laura K et al (1998) pada penelitiannya terhadap 152 neonatus dengan

atresia duodenal mengungkapkan bahwa manifestasi klinis yang diperoleh

diantaranya 126 neonatus dengan muntah hijau (bilious), 13 neonatus masing-

masing dengan upper abdominal distension dan feeding intolerance.

Gambar 9. Anatomi Saluran empedu

Dari anamnesis, diperoleh informasi bahwa ibu pasien menderita

Polihidramnion. Hal ini diketahui karena bayi lahir seksio sesarea atas indikasi

polihiramnion. Ibu yang mempunyai riwayat penyulit polihidramnion dalam

kehamilannya harus dicurigai menderita atresia duodenal. Polihidramnion terlihat

pada 50% dengan atresia duodenal. Laura K et al (1998) dalam penelitiannya

mendapatkan bahwa dari 138 kasus obstruksi duodenal sebanyak 45 kasus (33%)

berhubungan dengan maternal polyhydramnion.3 Merkel M (2011) melaporkan

27
sebanyak 16 kasus (40%) dari 40 bayi dengan atresia duodenal telah didiagnosa

polihidramnion sebelumnya.7

Pasien langsung dipuasakan sejak lahir, namun tetap muntah banyak.

Gejala dan tanda yang bisa mengarahkan ke diagnosis atresia duodenum adalah

bayi mengalami muntah banyak segera setelah lahir, berwarna kehijauan akibat

adanya empedu (biliosa), muntah terus-menerus meskipun bayi dipuasakan

selama beberapa jam, ditemukan pembengkakan abdomen bagian atas, hilangnya

bising usus setelah beberapa kali buang air besar mekonium. Tanda dan gejala

yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal tinggi. Atresia duodenum ditandai

dengan onset muntah dalam beberapa jam pertama setelah lahir. Pengeluaran

mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak terganggu.

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan ikterik pada kulit pasien dengan

kramer 5. Kramer 5 menadakan kuning hingga telapak tangan dan telapak kaki

(bilirubin total >17 mg%). Peningkatan bilirubin disebabkan karena terdapatnya

obstruksi ekstrahepatal yang disebabkan oleh adanya obstruksi saluran cairan

empedu dan obstruksi pada sfingter odi tempat keluarnya cairan empedu ke

duodenum.

Pada pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran double buble tanpa gas

pada distalnya. Radiografi polos yang menunjukkan gambaran double bubble

tanpa gas pada distalnya adalah gambaran khas atresia duodenal. Adanya gas pada

usus distal mengindikasikan stenosis duodenum, web duodenum, atau anomali

duktus hepatopankreas. Kadang kala perlu dilakukan pengambilan radiograf

dengan posisi pasien tegak atau posisi dekubitus.

28
Pada pasien dilakukan tindakan dekompresi dengan cara pemasangan

sonde lambung dan dilakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini

dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi dan muntah. Tindakan koreksi

cairan dan elektrolit juga dilakukan.

Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal merupakan indikasi

untuk dilakukan tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif

emergensi dan harus dikoreksi dengan tindakan pembedahan selama hari

pertama setelah bayi lahir. Walaupun merupakan Relatif Emergency namun

tidak boleh tergesa-gesa dilakukan operasi sebelum Status hemodinamik dan

elektrolit Stabil. Setelah kondisi pasien membaik maka pasien dipersiapkan

untuk dilakukan tindakan pembedahan dimana Duodenoduodenostomy

merupakan prosedur pilihan.

Setelah tindakan pembedahan selesai, pasien dirawat di ruang perawatan

intensif (Neonatal Intensif Care Unit) agar mendapatkan perawatan dan

monitoring yang lebih maksimal.

29
DAFTAR PUSTAKA
1. Mirza B, Ijaz L, Saleem M and Sheikh A. Multiple associated anomalies in a
single patient of duodenal atresia: a case report. Cases Journal 2008, 1:215
2. Kartono D. Atresia Duodenum dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Editor
Reksoprodjo S. Binarupa Aksara. FKUI.
3. Laura K, Vecchia D, Grosfeld JL, West KW et al. Intestinal Atresia and
Stenosis: A 25─Year Experience With 277 Cases. Arch Surg J,
1998;133:490─497
4. Karrer F, Potter D, Calkins C. Duodenal Atresia. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/932917-print.
5. Mandell G, Karan J. Imaging in Duodenal Atresia. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/408582-overview#showall.
6. Merkel M. Postoperative Outcome after Small Bowel Atresia. Department of
Pediatric and Adolescent Surgery at Medical University of Graz. Disertasi.
2011.
7. Sweed Y. Duodenal obstruction. In Puri P (ed): Newborn Surgery, 2nd ed,
London, Arnold, 2003, p 423.
8. Lewis N.Pediatric Duodenal Atresia and Stenosis Surgery. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/935748-overview#showall.
9. Anonym Duodenal Atresia. Available at
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/print/ency/001131.htm.
10. Mandel G. Duodenal Atresia. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/408582-print.
12. Traubici J. The Double Bubble Sign. Radiology 2001; 220:463–464.
13. Puri P, Höllwarth M. Pediatric surgery. Berlin: Springer; 2006. p. 205.
14. Zuccarello B, Spada A, Centorrino A, Turiaco N, Chirico MR, and Parisi S.
Clinical Study: The Modified Kimura’s Technique for the Treatment of
Duodenal Atresia. International Journal of Pediatrics 2009;1─5.
15. Puri P, Höllwarth ME. Pediatric Surgery. Berlin: Springer; 2006. p. 203─28.

30
16. Kessel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis Of Duodenal
Atresia Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The British Journal of
Radiology.2011;66: 86-88
17. Hayden CK, Marshall ZS, Michael D, Leonard ES. Combine Esophageal and
Duodenal Atresia: Sonograpic Findings. Arch Surg.2003;140:225-230
18. Richard FL, Benneth AL, Norman GB, Anthony JB, Brian RJ. Sonographic
Appearance of Duodenal Atresia in Utero. Am J Roentgenol.2001;131:701-
702
19. Zuccarello B, Spada A, Centorrino A, Turiaco N, Chirico MR, and Parisi S.
Clinical Study: The Modified Kimura’s Technique for the Treatment of
Duodenal Atresia. International Journal of Pediatrics 2009;1─5.
20. Puri P, Höllwarth ME. Pediatric Surgery. Berlin: Springer; 2006. p. 203─28.
21. Kessel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis Of Duodenal
Atresia Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The British Journal of
Radiology.2011;66: 86-88
22. Hayden CK, Marshall ZS, Michael D, Leonard ES. Combine Esophageal
and Duodenal Atresia: Sonograpic Findings. Arch Surg.2003;140:225-230
23. Richard FL, Benneth AL, Norman GB, Anthony JB, Brian RJ. Sonographic
Appearance of Duodenal Atresia in Utero. Am J Roentgenol.2001;131:701-
702

31

Anda mungkin juga menyukai