Anda di halaman 1dari 17

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Minyak atsiri merupakan senyawa mudah menguap yang tidak larut dalam air yang berasal
dari tanaman aromatik. Minyak atsiri bersifat mudah menguap pada suhu kamar, mempunyai rasa
getir, berbau wangi sesuai dengan bau tanaman penghasilnya, dan tidak larut dalam air.
Beberapa metode isolasi minya atsiri yaitu penyulingan, pengempaan/pengepresan, ekstrasi
dengan pelarut, enflurasi, dan maserasi. Isolasi minyak atsiri pada tanaman dapat dilakukan pada
jaringan tanaman di daun, bunga, batang, akar, biji, buah, dan kulit buah. Masing-masing metode
memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam memilih proses Metode pemisahan (isolasi)
minyat atsiri yang cocok ditentukan berdasarkan pada sifat bahan, sifat minyak atsiri, dan kadar
minyak yang terkandung dalam bahan, sehingga dapat menghasilkan minyak atsiri dalam jumlah
yang optimal dan bermutu baik.
Proses pengolahan akan menentukan mutu minyak atsiri, mulai dari proses penanganan
bahan, proses isolasi, hingga proses penyimpanan. Selain itu, penanganan yang baik sangat
diperlukan agar meminimalisasi kehilangan minyak atsiri karena sifatnya yang mudah rusak dan
menguap. Adapun minyak atsiri yang telah diekstrak, umumnya digunakan untuk industri
pembuatan kosmetik, parfum, antiseptik, flavor makanan dan minuman, dan sebagainya.
Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor agroindustri potensial yang dapat
menjadi andalan bagi Indonesia. Indonesia baru menghasilkan sembilan jenis minyak atsiri yaitu:
minyak cengkeh, minyak kenanga, minyak nilam, minyak akar wangi, minyak pala, minyak kayu
putih dan minyak sereh wangi. Hingga saat ini teknologi pengolahan minyak atsiri masih
tertinggal dibanding negara lain, sehingga kebanyakan masih dijual dalam bentuk minyak kasar
dan rendemen yang rendah. Untuk efisiensi proses produksi, perlu dipelajari kondisi yang
optimum dari proses isolasi minyak atsiri sehingga didapatkan rendemen yang tinggi.

B. Tujuan
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui proses pemisahan komponen
minyak atsiri dari berbagai macam bahan dengan teknologi yang sesuai dengan karakteristik
bahan tersebut sehingga diperoleh rendemen minyak yang besar dan mutu minyak yang baik serta
untuk menguji karakteristik minyak atsiri yang akan menentukan mutu minyak atsiri.
II. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan


Pada praktikum isolasi minyak atsiri ini dilakukan tiga metode yaitu penyulingan,
ekstraksi, dan enflurasi. Untuk penyulingan menggunakan peralatan, seperti ketel suling, labu
Florentine, gelas ukur, timbangan, pisau, talenan, Erlenmeyer, pendingin balik, aufhauser, dan
neraca, sedangkan bahan yang dipakai adalah jahe yang belum kering.
Untuk metode ekstraksi dan enflurasi menggunakan bahan bunga melati dan bunga sedap
malam. Peralatan yang digunakan untuk metode ekstraksi diantaranya, ekstraktor, evaporator,
gelas ukur, timbangan, pisau, talenan, dan Erlenmeyer. Sedangkan peralatan dan bahan yang
digunakan untuk metode enflurasi adalah gelas beker, kaca enflurasi, sudip, evaporator, gelas
ukur, timbangan, pisau, talenan, erlenmeyer, etanol 90%, lemak/shortening.

B. Metode
1. Penyulingan

Ketel suling Air secukupnya


Rimpang jahe

Boiler dipanaskan,
Tmaks = 80C
Ditimbang 10 kg

Ketel suling

Labu Florentine dipasang

Suhu ketel uap dinaikkan dan


mengatur tekanan
Minyak jahe

Distilat dipisahkan dan disimpan

Rendemen dihitung (%b/v, %b/b)


2. Ekstraksi dengan Pelarut

Simplisia (bunga melati dan sedap malam)

Dimasukkan ke dalam ekstraktor

Pelarut murni dipompakan ke dalam ekstraktor

Pengotor dipisahkan dengan penyulingan (T dan P rendah)

Pemurnian concrete Melarutkan dalam Fase alcohol


alkohol didinginkan 0C

Pemurnian minyak-alkohol dengan penyulingan suhu Pemurnian lilin


dan tekanan rendah

Minyak atsiri murni

3. Enflurasi
Lemak dihamparkan
bunga melati dan sedap malam ditimbang di lapisan tipis pelat
kaca

Diulangi dengan yang baru beberapa kali Mahkota bunga ditempatkan pada lemak
beberapa jam

Minyak terserap dalam lemak

Diekstraksi dengan alkohol dievaporasi

Minyak atsiri murni


4. Kadar Air

Rimpang jahe 20 gram

Dimasukkan ke dalam labu klafenger Ditambahkan toluene hingga daun terendam

Distilasi dengan suhu titik didih air


Volume air terdistilasi diukur

5. Kadar Minyak

Rimpang jahe

Ditimbang

Dimasukkan ke dalam labu suling

Volume minyak terdistilat diukur


III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
[terlampir]

B. Pembahasan
Minyak atsiri adalah minyak yang mempunyai bau wangi khas yang dihasilkan dari hewan
atau tanaman dimana bau wanginya sesuai dengan bau tanaman penghasilnya. Minyak atsiri
terdiri dari berbagai campuran senyawa kimia yang btermasuk golongan hidrokarbon dan
hidrokarbon O (Ketaren, 1988).
Pada praktikum kali ini bahan yang digunakan adalah jahe. Rimpang jahe merupakan
bagian akar dari tanaman yang akan menjadi tunas-tunas baru bagi tanaman. Bagian luarnya
kuning kotor, atau bila telah tua menjadi agak coklat keabuan. Rimpang jahe memiliki aroma
khas, bila dipotong berwarna putih, kuning, atau jingga.
Berdasarkan taksonomi tanaman, jahe (Zingiber officinale) termasuk dalam:
Divisi : Pteridophyta
Subdivisi : Angiospermae
Klas : monocotyledoneae
Ordo : scitamineae
Famili : Zingiberaceae
Genus : Zingiber
Species : Zingiber officinale
(Koeswara, 2009)
Menurut Paimin (1991), rimpang jahe dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan ukuran,
bentuk dan warna rimpangnya. Umumnya dikenal 3 varietas jahe, yaitu :
1) Jahe putih/kuning besar atau disebut juga jahe gajah atau jahe badak, rimpangnya lebih besar
dan gemuk, ruas rimpangnya lebih menggembung dari kedua varietas lainnya. Jenis jahe ini
biasa dikonsumsi baik saat berumur muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar
maupun jahe olahan.
2) Jahe putih/kuning kecil atau disebut juga jahe sunti atau jahe emprit, ruasnyakecil, agak rata
sampai agak sedikit menggembung. Jahe ini selalu dipanen setelah berumur tua. Kandungan
minyak atsirinya lebih besar dari pada jahe gajah, sehingga rasanya lebih pedas, disamping
seratnya tinggi. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan, atau untuk diekstrak oleoresin dan
minyak atsirinya.
3) Jahe merah, rimpangnya berwarna merah dan lebih kecil dari pada jahe putih kecil sama
seperti jahe kecil, jahe merah selalu dipanen setelah tua, dan juga memiliki kandungan
minyak atsiri yang sama dengan jahe kecil, sehingga cocok untuk ramuan obat-obatan
(Harmono dan Andoko. 2005).
Menurut Syukur (2001) jahe gajah memiliki bobotnya berkisar antara 1-2 kg per rumpun.
Struktur rimpangnya besar dan berbuku- buku. Bagian dalam rimpang apabila
diiris/dipotong/dipatahkan akan terlihat berwarna putih kekuningan. Tinggi rimpang dapat
mencapai 6 12 cm dengan panjang antara 15 35 cm, dan diameter berkisar 8,47 8,50 cm.
Dari rimpang jahe besar ini terkandung minyak atsiri antara 0,82 1,66%, kadar pati 55,10%,
kadar serat 6,89%, dan kadar abu 6,6 7,5%.

Tabel 1. Karakteristik rimpang jahe gajah


Bagian tanaman Jahe Gajah
Struktur Rimpang Besar berbuku
Warna irisan Putih kekuningan
Berat per rimpang (kg) 0.18-2.08
Diameter rimpang (cm) 8.47-8.50
Kadar minyak atsiri (%) 0.82-8.50
Kadar pati (%) 55.10
Kadar serat (%) 6.89
Kadar abu (%) 6.60-7.57
Sumber : Rostiana, dkk (1991)

Jahe putih kecil atau lebih dikenal dengan jahe emprit memiliki rimpang dengan bobot
berkisar 0,5 0,7 kg per rumpun. Struktur rimpang jahe emprit, kecil-kecil dan berlapis. Daging
rimpang berwarna putih kekuningan. Tinggi rimpangnya dapat mencapai 11 cm dengan panjang
antara 6 30 cm, dan diameter antara 3,27 4,05 cm. Kandungan dalam rimpang jahe emprit
antara lain minyak atsiri 1,5 3,5%, kadar pati 54,70%, kadar serat 6,59%, dan kadar abu 7,39
8,90% (Rostiana dkk, 1991).
Jahe merah atau jahe suntil memiliki rimpang dengan bobot antara 0,5 0,7 kg per
rumpun. Struktur rimpang jahe merah, kecil berlapis-lapis dan daging rimpangnya berwarna
jingga muda sampai merah. Diameter rimpang dapat mencapai 4 cm dan tingginya antara 5,26
10,40 cm. Panjang rimpang mencapai 12,50 cm. Kandungan dalam rimpang jahe merah antara
lain minyak atsiri 2,58 3,90%, kadar pati 44,99%, dan kadar abu 7,46% (Rostiana dkk, 1991) .
Bagian utama pada jahe yang dimanfaatkan adalah rimpangnya. Rimpang jahe digunakan
secara luas sebagai bumbu dapur dan obat herbal untuk beberapa penyakit. Rimpang jahe
mengandung beberapa komponen kimia yang berkhasiat bagi kesehatan. Jahe segar digunakan
sebagai anti muntah (antiematic), anti batuk (antitussive/expectorant), merangsang pengeluaran
keringat, dan menghangatkan tubuh (Kimura et al., 2005). Jahe dapat dibuat berbagai produk
olahan jahe seperti simplisia, oleoresin, minyak atsiri, dan serbuk jahe. Jahe memiliki sifat khas,
yaitu oleoresin dan minyak atsiri. Minyak atsiri dan oleoresin jahe terdapat pada sel-sel minyak
jaringan korteks dekat permukaan kulit (Koswara, 1995).
Rimpang jahe berbau harum dan berasa pedas. Komposisi rimpang jahe menentukan tinggi
rendahnya nilai aroma dan rasa pedas jahe. Banyak hal yang mempengaruhi komposisi kimia
rimpang jahe, di antaranya adalah jenis jahe, tanah tempat tumbuhnya, umur panen, penanganan
dan pemeliharaan tanaman, perlakuan pra panen, pemanenan, dan penanganan pasca panen.
Komponen terbesar penyusun jahe segar adalah air, sedangkan pada jahe kering komponen
terbesarnya adalah karbohidrat, terutama pati (Purseglove et al. 1981). Dua komponen utama
yang terdapat pada jahe adalah minyak atsiri dan oleoresin. Minyak atsiri jahe merupakan
komponen pemberi aroma yang khas, sedangkan oleoresin merupakan komponen pemberi rasa
pedas dan pahit.
Menurut Grosch dan Belizt (1999), kandungan senyawa aktif yang terkandung di dalam
jahe sebagian besar adalah gingerol yang selama penyimpanan dapat terdehidrasi menjadi shogaol
yang memiliki rasa pedas lebih rendah dari gingerol. Semua senyawa gingerol memiliki aktivitas
antioksidan yang lebih tinggi dari -tokoferol.

Gambar 1. Struktur kimia gingerol (Purseglove et al. 1981).


Gambar 2. Struktur kimia shogaol (Purseglove et al. 1981).

Di Indonesia, jahe banyak digunakan sebagai bahan pembuat jamu. Jahe muda dimakan
sebagai lalap, acar, dan manisan (basah dan kering). Dalam bentuk tepung dan oleoresinnya, jahe
digunakan untuk memberikan aroma (flavoring agent) dalam industri makanan seperti dalam
pembuatan permen, biskuit, kue, dan lain-lain (Koswara 1995). Manfaat jahe dalam bidang
pengobatan tradisional antara lain sebagai penguat lambung, penghangat badan, serta obat
pencahar (laxative), masuk angin, batuk, bronchitis, asma, dan penyakit jantung (Darwis et al.
1991). Selain itu, jahe juga dipercaya dapat menambah nafsu makan, memperbaiki pencernaan,
mengobati luka, serta mengatasi influenza, diare, rheumatik, kembung, dan cacingan (Paimin,
Murhananto 1991). Enzim protease pada rimpang jahe menyebabkan jahe ini dapat dimanfaatkan
untuk melunakkan daging sebelum dimasak (Muchtadi, Sugiyono 1992).
Guzman dan Siemonsma (1999), menyebutkan minyak atsiri jahe berbentuk cairan kental
berwarna kehijauan sampai kuning dan berbau harum khas jahe. Komponen penyusun utama
minyak jahe adalah gingeren, gingerol, gingeron, zingiberen, linalool, campen, felandrene, sitral,
sineol, borneol dan lain-lain (Lawless, 2002). Untuk penggunaan tertentu, dewasa ini dikenal juga
minyak jahe yang berasal dari jahe segar. Minyak jahe segar berbeda aroma dan komposisi
kimianya dari minyak jahe kering. Hasil penelitian Menon et al. (2007) menunjukkan bahwa
perlakuan pengeringan pada jahe dapat menyebabkan perubahan pada komponen minyak jahe
yang dihasilkan. Oleh karena itu komposisi kimia minyak jahe kering dan minyak jahe segar
berbeda, antara lain dalam minyak jahe kering terdapat zingiberen dan curcumen sedangkan
dalam mi-nyak jahe segar tidak terdapat curcumen.
Minyak atsiri jahe yang dijual di pasaran umumnya diperoleh dari proses hidrodistilasi,
sedangkan minyak atsiri yang memiliki titik didih rendah seperti aroma bunga umumnya
diperoleh melalui pengempaan atau ekstraksi dengan pelarut organik. Di dalam dunia
perdagangan, minyak jahe dikenal dengan nama ginger oil. Menurut EOA, patokan mutu ginger
oil sebagai berikut :
- Warna dan penampilan : cairan berwarna kuning muda sampai kuning
- Berat jenis pada 25oC : 0,871 0,882
- Putaran optik : (-28) (-45)o
- Indeks refraksi, 20oC : 1.4880 1.4940
- Bilangan penyabunan : tidak lebih dari 20
- Kelarutan dalam alkohol : larut dengan kekeruhan
(Lutony, 1994)
Sedangkan menurut SNI 06-1312-1998 syarat mutu minyak jahe memiliki persyaratan
tersendiri yaitu :
Tabel 2. Syarat Mutu Minyak Jahe
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1 Berat jenis, (250C) - 0,8720 - 0,8890
2 0 1,4853 - 1,4920
Indeks bias, (25 C) -
3 Putaran optik - (-320) - (-140)
4 Bilangan asam mg KOH/g Maks. 2
5 Bilangan ester mg KOH/g Maks. 15
6 Bilangan ester setelah Asetilasi mg KOH/g Maks. 90
7 Minyak lemah - Negatif
8 Sidik jari (khromatografi gas) - sesuai datar
Sumber : Badan Standarisasi Nasional.
Jahe kering mengandung minyak atsiri sebanyak 1-3 % (Rostiana dkk, 1991). Sedangkan jahe
segar kandungan minyak atsirinya lebih banyak daripada jahe kering, apalagi kalau tidak dikuliti sama
sekali. Kandungan minyak setiap bagian bagian rimpang jahe berbeda. Kandungan terbanyak di
bagian bawah jaringan epidermis. Semakin ke tengah kandungannya semakin sedikit.
Musim pemanenan sangat mempengaruhi kadar minyak atsiri (Llusia dan Penuelas, 2000; Liu
dkk., 1998; Cedarleaf dkk., 1983). Pemanenan pada musim hujan biasanya memberikan rendemen
minyak atsiri lebih rendah dari pada musim kemarau, karena pada saat itu tumbuhan sedang dalam
tahap pertumbuhan. Jahe yang ditanam pada tanah yang miskin hara dengan iklim kering, umumnya
menghasilkan rimpang yang ukurannya lebih kecil, namun dengan kadar minyak atsiri tinggi.
Minyak jahe digunakan sebagai komponen pewangi dalam produk-produk kosmetik, termasuk
sabun, detergen, cream, lotion dan parfum, terutama parfum tipe oriental dan parfum tipe laki-laki.
Batas maksimum penggunaan minyak jahe dalam parfum 0,4%. Minyak jahe, oleoresin, dan ekstrak
jahe banyak digunakan dalam pembuatan minuman ringan (seperti gingerale, cola), dalam minuman
beralkohol (seperti liqueur dan bitter), makanan beku, dan candy. Disamping itu minyak jahe
digunakan juga sebagai obat rematik, sakit gigi, obat malaria, obat flu, obat batuk, obat untuk infeksi
dan lain-lain. Minyak jahe bersifat analgesik, anti oksidan, antiseptik, stimulan dan bersifat anti
bakteri serta banyak dipakai dalam aromaterapi.
Untuk mendapatkan minyak atsiri dari suatu bahan terutama tanaman dapat dilakukan dengan
empat cara, yaitu penyulingan (distillation), pengepresan (pressing), ekstraksi dengan pelarut
menguap (solvent extraction), dan ekstraksi dengan lemak padat (enfleurasi).
Destilasi atau yang biasa disebut dengan penyulingan adalah suatu proses pemisahan zat cair
atau zat padat dua campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan titik didihnya atau kemudahan zat
tersebut menguap. Perlakuan dengan proses ini didasari bahwa setiap kandungan bahan yang terdapat
didalam suatu zat, karena perbedaan titik didihnya maka akan ada zat yang menguap terlebih dahulu,
diikuti zat yang lainnya pada suhu yang berbeda. Pada penyulingan, campuran zat yang didihkan
kemudian didinginkan ke dalam bentuk cairan.
Pada penyulingan atsiri dikenal tiga cara penyulingan, yaitu pengulingan dengan air (water
destilation), penyulingan air-uap (water-steam destilation), dan penyulingan dengan uap (steam
destilation). Penerapan penggunaan metode tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti
jenis bahan baku tanaman, karakteristik minyak, proses difusi minyak dengan air panas, dekomposisi
minyak akibat efek panas, efisiensi produksi dan alasan nilai ekonomis serta efektifitas produksi.
Proses penyulingan dengan air (water destilation), atau biasa dikenal dengan penyulingan
rebus, dilakukan dengan memasukkan bahan baku, baik yang sudah dilayukan, kering ataupun bahan
basah ke dalam ketel penyuling yang telah berisi air kemudian dipanaskan. Uap yang keluar dari ketel
dialirkan dengan pipa yang dihubungkan dengan kondensor. Uap yang merupakan campuran uap air
dan minyak akan terkondensasi menjadi cair dan ditampung dalam wadah. Selanjutnya cairan minyak
dan air tersebut dipisahkan dengan separator pemisah minyak untuk diambil minyaknya saja. Cara ini
biasa digunakan untuk menyuling minyak aromaterapi seperti mawar dan melati. Kelebihan dari
proses ini yaitu proses pengerjaan yang relative mudah, dan biaya tidak terlalu mahal. Namun,yang
menjadi kelemahan pada proses ini yaitu terkadang panas yang dihasilkan tidak merata sehingga
berpeluang terhadap terjadinya penggosongan bahan. Selain itu, adanya air menyebabkan terjadinya
proses hidrolisis serta waktu penyulingan yang lama. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu ketel
terbuat dari bahan anti karat seperti stainless steel, tembaga atau besi berlapis aluminium.
Proses penyulingan dengan air-uap (water-steam destilation) biasa dikenal dengan proses
kukus. Cara ini sebenarnya mirip dengan sistem rebus, hanya saja bahan baku dan air tidak
bersinggungan langsung karena dibatasi dengan saringan diatas air. Cara ini membutuhkan sedikit air
sehingga bisa menyingkat waktu proses produksi. Kelebihan proses penyulingan dengan cara ini yaitu
minyak atsiri yang dihasilkan dari proses ini mutunya lebih baik karena terbebas dari proses hidrolisa
terhadap komponen minyak atsiri dan proses difusi minyak dengan air panas. Keuntungan-keuntungan
lain yaitu dekomposisi minyak akibat panas akan lebih baik dibandingkan dengan metode uap
langsung (direct steam distillation). Metode penyulingan dengan sistem ini dapat menghasilkan uap
dan panas yang stabil oleh karena tekanan uap yang konstan. Kelemahan dari metode ini yaitu
membutuhkan uap air yang cukup banyak, hal ini karena sejumlah besar uap akan mengembun dalam
jaringan tanaman sehingga bahan bertambah basah dan mengalami aglutinasi. Namun, kelemahan ini
dapt diatais dengan cara metode penyulingan dengan air dan uap dikombinasikan dengan sistem
kohobasi. Selain itu hanya minyak dengan titik didih rendah yang lebih rendah dari air yang dapat
tersuling sehingga hasil penyulingan tidak sempurna.
Proses penyulingan dengan uap langsung (steam destilation), dilakukan dimana hanya uap
bertekanan tinggi yang difungsikan untuk menyuling minyak. Prinsip kerja metode ini adalah
membuat uap bertekanan tinggi didalam boiler, kemudian uap tersebut dialirkan melalui pipa dan
masuk ketel yang berisi bahan baku. Uap yang keluar dari ketel dihubungkan dengan kondensor.
Cairan kondensat yang berisi campuran minyak dan air dipisahkan dengan separator yang sesuai berat
jenis minyak. Penyulingan dengan metode ini biasa dipakai untuk bahan baku yang membutuhkan
tekanan tinggi pada proses pengeluaran minyak dari sel tanaman, misalnya gaharu, cendana, dll.
Menurut Guenther (1987), kelebihan dari metode ini yaitu kualitas minyak yang dihasilkan cukup
baik, tekanan dan suhu dapat diatur, waktu penyulingan pendek, serta tidak terjadi hidrolisis. Namun
metode ini membutuhkan peralatan yang mahal dan juga tenaga ahli yang berpengalaman.
Faktor yang penting pada proses penyulingan adalah pengaruh suhu (panas). Suhu berpengaruh
terhadap tekanan. Tekanan pada penyulingan dapat diaatasi, tetapi suhu uap atau campuran yang
menerobos bahan dalam ketel suling dapat berfluktuasi. Pada umumnya minyak atsiri bersifat tidak
stabil pada suhu tinggi. Agar memperoleh minyak bermutu tinggi, maka perlu diusahakan penyulingan
mulai pada suhu rendah, kemudian perlahan-lahan suhu ditingkatkan (Guenther 1987).
Menurut Rusli (1973), rendemen minyak akan semakin besar dengan semakin panjangnya
waktu penyulingan. Selain itu lama penyulingan berpengaruh terhadap penguapan fraksi-fraksi yang
bertitik didih tinggi (Rusli et al, 1973).. Makin lama penyulingan maka fraksi-fraksi yang bertitik
didih tinggi semakin besar. Pada permulaan penyulingan hasil sulingan sebagian besar terdiri dari
komponen minyak yang bertitik didih rendah selanjutnya disusul dengan komponen yang bertitik
didih lebih tinggi, dan pada saat mendekati akhir penyulingan jumlah minyak akan bertambah kecil.
Penyulingan yang lebih lama akan menyebabkan banyaknya minyak yang terbawa oleh uap.
Pada praktikum pertama dilakukan penyulingan minyak atsiri jahe dengan metoda uap.
Sebelum bahan dilakukan perlakukan awal yaitu perlakukan fisik yaitu dengan memukul bahan.
Perlakukan awal pada bahan bertujuan untuk mempermudah proses penyulingan/distilasi dengan
mengurangi faktor penghambat seperti luas permukaan, kadar air yang tinggi, kadar bahan lain yang
mengikat senyawa atsiri bahan. Pada praktikum proses pemukulan berguna untuk memperluas
permukaan kontak, dan mengeluarkan air pada bahan. Selanjutnya bahan seharusnya dikering-
anginkan untuk mengurangi kadar air yang berlebih, namun tidak boleh dilakukan dengan suhu yang
tinggi sebab dikhawatirkan senyawa atsiri yang volatil hilang.
Setalah tahapan persiapan lalu dilakukan distilasi uap. Uap air dan minyak atsiri akan
bergerak ke atas menuju tabung kondensor dan akan diubah fasenya menjadi fase cair. Kemudia di
tabung florentine kedua jenis cairan tersebut akan terpisah karena perbedaan berat jenis. Minyak jahe
yang dihasilkan berwarna kuning kecoklatan, dengan bau jahe yang pedas. Data yang dihasilkan
menunjukkan minyak atsiri yang berhasil disuling dari 10,8 kg jahe segar sejumlah 0,00205 kg.
Angka ini berarti bobot minyak atsiri yang didapatkan sekitar 0,019% dari bobot bahan. Jumlah
tersebut sangat rendah dibandingkan dengan nilai yang biasanya didapatkan menurut Rostiana (1991)
:
Tabel 3. Karakteristik tiga jenis utama jahe Bagian tanaman
Karakteristik Jahe gajah Jahe emprit Jahe merah
Struktur rimpang Besar berbuku Kecil berlapis Kecil berlapis
Warna irisan Putih kekuningan Putih kekuningan Jingga muda sampai merah
Berat per rimpang (kg) 0.18-2.08 0.10-1.58 0.20-1.40
Diameter rimpang (cm) 8.47-8.50 3.27-4.05 4.20-4.26
Kadar minyak atsiri (%) 0.82-1.66 1.50-3.50 2.58-3.90
Kadar pati (%) 55.10 54.70 44.99
Kadar serat (%) 6.89 6.59 -
Kadar abu (%) 6.60-7.57 7.39-8.90 7.46
Sumber : Rostiana, dkk (1991)
Rendahnya rendemen yang dihasilkan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama adalah
bahan yang digunakan adalah jahe gajah yang memiliki kadar yang tinggi dibandingkan dengan jahe
lainnya jika menggunakan metoda by difference. Pada data diatas dibandingakan Ketiga jenis jahe
diataskan dibedakan berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya ada tiga jenis jahe yang
dikenal, yaitu: jahe gajah (Zingiber officinale var. Roscoe) atau jahe putih, jahe putih kecil atau jahe
emprit (Zingiber officinale var. Amarum), dan jahe merah (Zingiber officinale var. Rubrum) atau jahe
sunti. Kadar air yang tinggi akan menghambat proses keluarnya minyak atsiri karena energi panas
akan ditangkap oleh bahan dan dibagi untuk penguapan air dan penguapan atsiri bahan. Kadar air
yang tinggi juga disebabkan tidak ada proses pengeringan saat perlakukan awal. Pada analisis kadar
air dengan metoda basah/dengan pelarut didapatkan kadar air jahe yang digunakan sebesar 31%.
Tabel diatas juga dapat diperhatikan bahwa jahe gajah memiliki kandungan minyak atsiri
terendah. Pada analisis kadar minyak jahe yang diuji dihasilkan 0.3 %. Seharusnya pada saat distilasi
didapatkan angka yang tidak jauh dari ini. Perbedaan ini disebabkan oleh varietas jahe itu sendiri dan
waktu penanennya juga tidak harus saat masa tua. Jenis jahe ini biasa dikonsumsi baik saat berumur
muda maupun berumur tua, baik sebagai jahe segar maupun jahe olahan. Sedangkan Jahe emprit
selalu dipanen setelah berumur tua. Kandungan minyak atsirinya lebih besar daripada jahe gajah
sehingga rasanya lebih pedas, disamping seratnya tinggi. Jahe ini cocok untuk ramuan obat-obatan,
atau untuk diekstrak oleoresin dan minyak atsirinya.
Faktor lainnya yang menyebabkan rendahnya rendemen adalah karena metoda distilasi uap
tidak cocok dengan karakteristik bahan. Dari tabel diatas diketahui bahwa rata-rata kadar pati pada
jahe tinggi sekitar setengah dari berat bahan. Pati pada bahan akan menghambat keluarnya minyak
atsiri dari bahan. Saat diberi uap panas, pati akan terglatinisasi dan membengkak, sehingga
menghalangi minyak atsirinya yang berada didalam.
Ekstraksi adalah salah satu proses pemisahan zat dalam suatu campuran berdasarkan perbedaan
kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling bercampur. Tujuan ekstraksi ialah memisahkan suatu
komponen dari campurannya dengan menggunakan pelarut. Teknik ini sangat berguna untuk
pemisahan secara cepat dan bersih, baik untuk zat organik maupun anorganik. Solvent extraction
adalah proses pelarutan minyak atsiri yang terkandung dalam sampel bahan menggunakan pelarut
organik yang volatil. Prinsip kerjanya ialah sampel bahan diekstraksi dengan pelarut yang paling
sesuai dalam ekstraktor pada suhu kamar. Pelarut akan berpenetrasi ke dalam sampel bahan dan
melarutkan minyak atsiri beserta lilin, albumin dan pigmen. Lalu pelarut diuapkan dalam evaporator
dengan pengurangan tekanan hingga vakum. Kemudian diperoleh minyak atsiri pekat setelah
dipekatkan pada suhu rendah.
Kelebihan metode ekstraksi antara lain seperti suhu bisa dipertahankan tak terlalu tinggi
selama proses ( 500C), baik dipakai untuk mendapatkan minyak dari bunga-bungaan dan minyak
yang diperoleh memiliki bau yang lebih alami. Kekurangannya ialah minyak yang dihasilkan
cenderung berwarna gelap karena masih mengandung pigmen alami yang bersifat tak dapat menguap.
Selain itu, metode ini butuh relatif banyak pelarut, biaya operasionalnya cukup mahal dan harus
dilakukan oleh tenaga ahli.
Dalam praktikum ini, pelarut yang digunakan adalah N-Heksana. N-Heksana (CH3(CH2)4CH3))
adalah isomer utama heksana yaitu sebuah senyawa hidrokarbon alkana. Seluruh isomer heksana amat
tidak reaktif, dan sering digunakan sebagai pelarut organik yang inert. N-heksana merupakan jenis
pelarut organik yang berfungsi untuk mengekstraksi lemak atau melarutkan lemak sehingga merubah
warna lemak dari kuning menjadi jernih (Mahmudi, 1997). N-heksana umum digunakan sebagai
pelarut dalam ekstraksi untuk memperoleh ekstrak kasar (minyak) dari suatu bahan. Kelebihan n-
heksana ialah daya larutnya cukup bagus terhadap minyak, tak ikut bereaksi selama ekstraksi, titik
didihnya rendah, lebih mudah menguap, dan meninggalkan substansi terlarut yang diinginkan.
Kekurangannya ialah mudah terbakar, dapat mencemari udara, biodegradabilitasnya rendah dan dapat
menimbulkan penyakit. Oleh karena itu perlu alternatif pelarut yang lebih aman seperti etanol atau
isopropil alkohol (Cullison, 2001).
Tabel 4. Sifat fisika dan kimia n-heksana.
Karakteristik
Bobot molekul 86,2 g/mol
Warna Tidakberwarna
Wujud Cair
Titik lebur -95 C
Titik didih 69 C pada 1 atm
Densitas 0,6603 g/ml pada 20 C
(Sumber: Kastianti dan Amalia, 2008)

Metode isolasi berikutnya adalah enflurasi. Enfleurasi biasanya digunakan untuk bahan-bahan
parfum, bukan untuk makanan. Enflurasi adalah pengambilan minyak atsiri dari tanaman
menggunakan vaselin atau lemak padat yang tak berbau dengan konsistensi tertentu. Prinsipnya
adalah dengan melekatkan mahkota bunga-bunga yang baru dipetik di atas lapisan lemak, kemudian
lemak akan mengabsorbsi minyak atsiri (3 kg bunga butuh 1 kg lemak). Dalam metode ini dapat
dilakukan beberapa kali pengulangan dengan bunga baru. Setelah 8 10 minggu, lemak yang telah
jenuh dikerok dan diekstraksi dengan alkohol. Setelah itu disaring untuk memisahkan lemak dan
evaporasi untuk memisahkan alcohol dari minyak atsirinya. Mutu minyak yang diproduksi dengan
cara enflurasi sangat dipengaruhi oleh jenis absorben yang digunakan dan frekuensi penggantian
bunga.
Lemak yang dioleskan pada wadah enfleurasi digoreskan terlebih dahulu sebelum diletakkan
bunga untuk memperluas bidang penyerapan. Bunga diletakkan di atas lemak dengan posisi terbalik
(mahkota menyentuh lemak). Hal ini dilakukan agar proses penyerapan maksimum karena minyak
atsiri terbanyak terletak pada mahkota bunga. Enfleurasi ini tidak dilakukan hanya sekali saja, tetapi
dapat dilakukan beberapa kali ganti bunga, sampai lemak menjadi jenuh. Selama 24 jam, bunga akan
mengeluarkan minyak atsiri yang mencapai maksimum setelah sore hingga malam hari. Sesudah 24
jam, sebagian minyak atsiri bunga telah diadsorbsi oleh lemak dan bunga mulai layu serta berbau
tidak enak. Bunga layu tersebut harus dipisahkan dari lemak dengan tangan ataupun penjepit karena
dapat mencemari bau dari minyak atsiri tersebut. Lemak yang telah jenuh dengan minyak atsiri
memiliki bau yang sangat wangi. Selama proses enfleurasi, wadah harus ditutup, agar minyak atsiri
tidak menguap keluar. Akan tetapi, pada tutupnya juga harus diberikan lubang ventilasi, karena bunga
yang terdapat di dalamnya masih melakukan respirasi dan menghasilkan uap air.
Minyak atsiri yang terdapat dalam lemak dapat keluar apabila diberi pelarut. Pelarut yang
digunakan adalah alkohol 90%. Pelarut ini akan mengubah bentuk fisik trigliserida sehingga
strukturnya terbuka dan mengurangi bahkan mnghilangkan gaya interaksi antara gugus fungsi
karbonil dengan minyak atsiri sehingga pelarut dapat menarik molekul minyak atsiri dari jeratan
trigliserida.
Minyak atsiri dipisahkan dari lemak (pomade) yang terlarut dalam alkohol 90% dan kemudian
disaring dengan menggunakan kertas saring sehingga didapatkan ekstrait. Selanjutnya ekstrait
dipekatkan dengan cara menguapkan alkohol menggunakan alat rotary vacuum evaporator sehingga
diperoleh minyak kental, jernih, mempunyai bau yang bersifat harum dan bersifat lengket.
Penggunaan rotary vacuum evaporator ini, dimaksudkan agar loss minyak atsiri yang terjadi tidak
terlalu banyak karena pada alat ini, minyak yang menguap akan terkondensasi dan kembali masuk ke
dalam minyak.
Kelebihan metode enflurasi adalah dapat menghasilkan minyak dengan warna lebih cerah dan
lebih murah biaya operasionalnya. Namun metode ini hanya dapat diterapkan untuk bunga-bunga
tertentu saja, membutuhkan waktu yang cukup lama dan perlu banyak tenaga terlatih. Kelemahannya,
Teknik ini menyisakan limbah lemak yang perlu dicarikan cara pemanfaatannya, dan perlu tenaga
terampil untuk pekerjaan defleurasi atau mengangkat kuntum-kuntum bunga layu dari lapisan
campuran lemak setelah proses penyerapan atau penangkapan minyak serta memerlukan waktu yang
lebih lama (Guenther, 1987).
Untuk metode ekstraktsi pelarut dan enflurasi, digunakan bunga melati dan bunga sedap
malam. Minyat atsiri dari bunga ini bersifat tidak tahan terhadap panas sehingga cocok diekstrak
menggunakan metode enfleurasi dan ekstraksi. Melati (Jasminum sambac) merupakan tanaman bunga
hias berupa perdu berbatang tegak yang hidup menahun. Bunga melati bermanfaat sebagai bunga
tabur, bahan industri minyak wangi, kosmetika, parfum, farmasi, penghias rangkaian bunga, dan
bahan campuran atau pengharum teh. klasifikasi ilmiah dari melati yaitu :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Famili : Oleaceae
Genus : Jasminum
Spesies : Jasminum sambae

Bunga melati selalu berwarna putih. Meskipun mempunyai ukuran yang biasa dikatakan kecil
tapi mengeluarkan aroma terapi yang dapat dimanfaatkan dalam kesehatan, terutama dalam refleksi
dan menghilangkan stress. Komponen minyak melati (J. officinale) yang dominan adalah benzil
acetat, kemudian diikuti oleh methyl salisilat, Z. jasmone, lynalol, neurol idol, indole, dan benzil
alkohol.
Sedap malam (Polianthes tuberosa) adalah tumbuhan merumpun dengan tinggi 0,5-1,5 m.
serumpun batangnya tumbuh dari satu atau beberapa umbi induk dan beberapa umbi anak. Disebut
sebagai bunga sedap malam lantaran bunga ini biasa mekar dan menebar aroma wangi pada malam
hari. Bunga sedap malam banyak dimanfaatkan sebagai bunga potong dan diolah sebagai bahan
pembuat parfum. Klasifikasi ilmiah dari bunga sedap malam adalah :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Asparagales
Famili : Agavaceae
Genus : Polianthes
Spesies : Polianthes tuberosa

Bunga sedap malam merupakan salah satu jenis bunga yang tetap memproduksi minyak atsiri
beberapa saat setelah pemetikan hingga layu. Oleh karena itu setelah proses ekstraksi perlu kondisi
yang baik agar proses fisiologi bunga tetap berlangsung dalam waktu yang lama sehingga bunga tetap
memproduksi minyak atsiri. Proses ekstraksi yang paling baik melihat sifat fisiologi tersebut adalah
dengan menggunakan lemak nabati/hewani (enfleurasi) (Guenther, 1987).
Minyak sedap malam dalam klasifikasi zat wangi termasuk kategori middle notes yaitu
golongan senyawa minyak atsiri yang ditambahkan ke dalam parfum dengan tujuan memberikan
kesan-kesan tertentu dan untuk menyempurnakan bau wangi dari basic notes (komponen dominan dari
parfum). Minyak sedap malam hasil enfleurasi memiliki warna jingga, berwujud setengah padat pada
suhu ruang, larut dalam alkohol, serta memiliki kekentalan tertentu tergantung suhu dan metode
pemurniannya. Bau wangi yang ditimbulkan dari minyak bunga disebabkan oleh adanya grup
lactones. Parfum dari minyak sedap malam mengandung beberapa komponen kimia seperti eugenol,
benzil benzoat, metil antranilat, indol, metil jasmonat. Kandungan indol dalam bunga sedap malam
dari berbagai varietas bervariasi pada kisaran 0.36-2.15%.

Tabel 4. Sifat Fisika Kimia Minyak Sedap Malam


Absolute Enfleurasi Absolute
Karakteristik
I (Hesse) II (Naves) Chassis

1.009-1.035 - 1.043
Bobot jenis pada 150C -20 30 - -30 21
Putaran Optik - 1.5352dan 1.5136 -
Indeks Bias suhu 200C 32.7 10.6 dan 29.3 -
Bilangan asam 234-280 243 dan 205 -
Bilangan Ester 3.2-5.4 - -
Metil Anthranilat - - 2.0
Bilangan Penyabunan

(sumber: Pomeranz dan Meloan, 1977)

Minyak sedap malam hasil ekstraksi secara enfleurasi dan dengan menggunakan pelarut
menguap bernilai mahal dan digunakan sebagai zat pewangi dasar dalam pembuatan parfum gardenia.
Menurut Ketaren (1988), syarat-syarat lemak yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis
lemak untuk metode enflurasi diantaranya adalah :
1. Lemak tidak berbau, karena bila berbau akan mencemari bau minyak atsiri yang dihasilkan. Bila
yang ada hanya lemak berbau maka terlebih dahulu harus dilakukan proses deodorisasi terhadap
lemak tersebut.
2. Konsistensi lemak yang sesuai, karena lemak yang terlalu keras akan memiliki daya absorbsi
yang rendah, sedangkan bila terlalu lunak, maka lemak akan banyak melekat pada bunga dan
sulit untuk dipisahkan. Pengaturan konsistensi lemak ini bisa dilakukan dengan mencampur
beberapa jenis lemak, baik itu lemak nabati ataupun lemak hewani.
3. Harga lemak yang terjangkau. Bila minyak yang dihasilkan terletak pada kelas mutu yang sama
maka tentunya harga lemak yang murah akan menjadi pilihan.
Dalam menggunakan teknik enfleurasi untuk produksi minyak bunga, jenis lemak yang
berperan sebagai absorben sangat menentukan rendemen dan kualitas minyak bunga yang diperoleh.
Dalam proses enfleurasi minyak bunga, faktor absorben berpengaruh terhadap kualitas dan rendemen
absolut. Lemak hewan yang digunakan sebagai absorben harus bebas dari kotoran atau zat lain, warna,
dan bau spesifik, yang akan mempengaruhi proses absorbsi minyak bunga dan warna serta aroma
absolut bunga yang dihasilkan. Telah disebutkan sebelumnya apabila lemak yang digunakan memiliki
bau yang spesifik maka harus dilakukan pemurnian atau deodorisasi sebelumnya. Hal ini disebabkan
lemak hewan yang tidak dilakukan pemurnian memiliki kandungan asam lemak bebas yang tinggi
yang akan menyebabkan lemak mudah rusak dan tidak tahan lama (Ketaren, 1988).
Menurut Tjiptadi dan Wahyu (1986), campuran lemak sapi dan lemak babi dengan
perbandingan 1 : 2 mempunyai konsistensi yang baik bila digunakan sebagai absorben dalam proses
enfleurasi bunga sedap malam dibandingakan dengan menggunaka mentega putih. Sedangkan untuk
bunga melati rendemen terbesar akan dihasilkan dengan menggunakan campuran antara mentega
putih dan mentega kuning dengan perbandingan 30% untuk mentegaputih dan 70% untuk mentega
kuning. Namun hasil dari metode enfleurasi belum dapat dibandingkan dengan hasil dari ekstraksi
pelaryt, karena belum dapat diketahui banyaknya rendemen yang dihasikan dari proses enfleurasi.
Pada praktikum ini dilakukan pengambilan minyak atsiri dari bunga melati dan bunga sedap
malam dengan metoda ekstraksi pelarut dan enflurasi. Ekstraksi dengan pelarut organik umumnya
digunakan untuk mengekstraksi minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan uap dan air, seperti
untuk mengekstrak minyak dari bunga-bungaan misalnya bunga cempaka, melati, mawar. Bunga-
bungaan yang masih segar dimasukan ke dalam wadah ekstraksi dan selanjutnya ditambahkan pelarut
yaitu benzene. Pelarut yang biasa digunakan adalah pelarut organik yang bertitik didih rendah. Pelarut
organik akan berpenetrasi ke dalam jaringan bunga-bungaan dan akan melarutkan minyak serta bahan
non-volatile yang berupa resin, lilin dan beberapa macam zat warna. Hal ini yang membuat hasil
ekstraksi dengan pelarut pada bunga melati dan sedap malam keruh dan mengandung pengotor.
Selanjutnya adalah menggunakan metoda enflurasi yaitu cara menangkap minyak atsiri
dengan lemak padat. Proses ini digunakan khusus untuk mengekstraksi minyak bunga-bungaan, dalam
rangka mendapatkan mutu dan rendemen minyak yang tinggi. Pada umumnya bunga setelah dipetik
akan tetap hidup secara fisiologis. Daun bunga terus menjalankan proses hidupnya dan tetap
memproduksi minyak atsiri dan minyak ytang terbentuk dalam bunga akan menguap dalam waktu
singkat.
Aktivitas bunga dalam memproduksi minyak akan terhenti dan mati jika kena panas, kontak
atau terendam dalam pelarut organik. Dengan demikian pelarut hanya dapat mengekstraksi minyak
yang terdapat dalam sel bunga yang terbentuk pada saat bahan tersebut kontak dengan pelarut,
sedangkan minyak atsiri yang terbentuk sebelumnya sebagian besar telah menguap. Dengan demikian
ekstraksi minyak atsiri bunga menggunakan pelarut menguap menghasilkan rendemen minyak yang
lebih rendah. Untuk mendapatkan rendemen minyak yang lebih tinggi dan mutu yang baik, maka
selama proses ekstraksi berlangsung perlu dijaga agar proses fisiologi dalam bunga tetap berlangsung
dalam waktu selama mungkin, sehingga bunga tetap dapat memproduksi minyak atsiri. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara mengekstraksi minyak bunga menggunakan lemak hewani atau nabati.
Dari data yang diperoleh terlihat bahwa setelah disaring dan dievaporasi dengan rotary
evaporator akan terbentuk dua lapisan yang terpisah, lapisan bawah (lebih jenuh) merupakan minyak
atsiri dari bunga melati dan bunga sedap malam sedangkan lapisan atas adalah alkohol.
Perbedaan rendemen minyak atsiri hasil enfleurasi dapat disebabkan oleh perbedaan tingkat
kemekaran bunga. Semakin tinggi tingkat kemekaran bunga, semakin tinggi aroma yang dihasilkan,
demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, rendahnya rendemen minyak atsiri yang dihasilkan juga dapat
disebabkan terlalu tingginya tingkat kemekaran bunga, karena minyak yang ada telah banyak
menguap ke udara. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan di atas, rendahnya rendemen juga dapat
disebabkan oleh faktor kekerasan lemak. Jika lemak terlalu lunak, banyak lemak yang menempel pada
bunga sehingga pada saat pemisahan lemak ikut terbuang dengan bunga padahal di dalam lemak
tersebut terdapat sebagian minyak atsiri. Lemak yang terlalu keras juga tidak dapat mengadsorbsi
aroma secara sempurna (Ketaren, 1985).
Wangi yang dihasilkan pada kedua metode ini tidak berbeda nyata pada data yang
dilampirkan. Hal ini berarti pelarut organik yang digunakan tidak merusak dan mengkontaminasi
wangi asli dari bunga. Keberadaan pelarut organik bisa merusak wangi identitas bahan sedangkan
pada cara enflurasi wangi yang dihasilkan khas bunga yang digunakan, karena dilakukan dengan
penangkapan langsung senyawa atsiri yang menguap. Namun wangi dari hasil penyulingan hasil
ekstraksi dengan pelarut menguap lebih baik. Keuntungan dengan cara ekstraksi dengan pelarut
menguap adalah minyak yang dihasilkan mempunyai bau lebih alamiah jika dibandingkan dengan
cara penyulingan (Ketaren, 1985).
IV. PENUTUP

A. Kesimpulan
Metode isolasi minyak atsiri antara lain metode penyulingan, ekstraksi dengan pelarut, dan
enfleurasi. Metode tersebut dilakukan berdasarkan sifat bahan yang akan diambil minyak
atsirinya. Pada praktikum ini penyulingan uap dilakukan untuk mengambil minyak atsiri dari
rimpang yaitu jahe, sedangkan untuk metode ekstraksi dengan pelarut dan enfleurasi digunakan
untuk mengekstrasi minyak atsiri dari bunga melati dan bunga sedap malam, karena sifat bunga
yang tidak tahan suhu tinggi, yang dapat menimbulkan kerusakan komponen minyak atsiri itu
sendiri.
Metode penyulingan yang dipilih adalah penyulingan dengan uap langsung. Metode ini
dipilih karena lebih efisien dibandingkan dengan metode penyulingan air maupun uap-air. Hasil
penyulingan akan lebih cepat dan banyak. Hasil destilasi uap menunjukkan bahwa rendemen
minyak jahe sangat rendah, hal ini dipengaruhi oleh jenis jahe yang banyak mengandung air,
tidak dilakukan pengeringan terlebih dahulu, dan metode distilasi.
Pada metode ekstraksi dengan pelarut diberikan perlakuan perendaman bunga dengan
pelarut yang berbeda, yaitu heksan dan alkohol. Hasil dibandingkan secara kualitatif yaitu
berdasarkan tingkat keharuman. Minyak bunga melati maupun sedap malam yang dilarutkan
dengan heksan lebih harum dibandingkan dengan alcohol. Oleh karena heksan memiliki sifat
yang stabil, mudah menguap dan selektif.
Metode enfleurasi sangat baik untuk bunga karena mampu menghasilkan minyak bunga
dengan jumlah dan mutu yang tinggi, karena selama proses tidak banyak bersentuhan dengan
panas sehingga kehilangan dan kerusakan zat wangi sangat rendah. Namun kelemahannya proses
cukup memakan waktu yang lama dan membutuhkan tenaga yang terampil. Lemak yang baik
digunakan dalam metode ini adalah lemak yang konsisten dan tidak berbau misalnya mentega
putih.
Penetapan kadar air berguna untuk mengetahui kemurnian dan adanya kontaminan dalam
simplisia bahan. Sementara itu, tujuan dari penetapan kadar minyak atsiri adalah untuk mengukur
berapa banyak kadar minyak atsiri yang terdapat dalam simplisia. Hal tersebut sebagai perlakuan
persiapan menentukan seberapa banyak bahan yang digunakan untuk menghasilkan minyak atsiri,
ataupun dalam proses isolasi komponen minyak atsiri.

B. Saran
Semua jenis metode isolasi sebaiknya dipraktikkan, sehingga pemahaman tentang jenis
metode akan lebih menyeluruh. Jumlah alat dan bahan perlu ditambah agar mengurangi proses
menunggu atau antri selama praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. SNI 06-1312-1998. Minyak Jahe. Jakarta: BSN.


Bermawie, N., B. Martono, N. Ajijah, S.F. Syahid dan Hadad, E.A., 1997. Status pemuliaan tanaman
jahe. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. 15 (2) : 39- 56.
Cullison, Jack. 2001. National Pollutant Inventory. Melbourne: Federal Reg.
Darwis, S. N., Indo, M., dan Hasiyah, S. 1991. Tumbuhan Obat Famili Zingiberaceae. Bogor : Pusat
Penelitian Pengembangan Tanaman Industri.
Grosch, W. and H. D. Belizt. 1999. Food Chemistry. Heidelberg : Spring-Verlag.
Guenther, E. 1987. The Essential Oil. New York : Van Nostrand Company Inc..
Guzman, C. C. Dan J. S. Siemonsma. 1999. Plant Resources of South-East Asia, No. 13, Spices.
Bogor : Prosea.
Harmono, Andoko A. 2005. Budi Daya dan Peluang Bisnis Jahe. Jakarta: Agro Media Pustaka.
Ketaren, S. Dan Djatmiko, B. 1980. Minyak Atsiri Bersumber dari Batang dan Akar. Bogor : Fakultas
Teknologi Hasil Pertanian., Institut Pertanian Bogor.
Ketaren S. 1988. Minyak Atsiri. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.
Kimura, M., L. Kimura, B. Luo, and S. Kobayashi. 2005. Antiinflammatory effect of Japanese-seno
medicine Keishi-kajutsuboto and its component drugs on adjuvant air pouch granuloma of
mice. J. Phytoterapy Res. 5(5): 195200.
Koeswara. S, 2009. Jahe dan Hasil Olahannya. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Lawless, J. 2002. Encyclopedia of Essential Oils. London : Thorson. 226 p.
Llusia, J. and J. Penuelas. 2000 Seasonal patterns of terpene content and emission from seven
Mediterranean woody species in field conditions. American Journal of Botany 87 (1): 133140.
Lutony,T.L..1994. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Jakarta : Penerbit Penebar Swadaya.
Mahmudi, M. 1997. Penurunan Kadar Limbah Sintetis Asam Fosfat Menggunakan Ekstraksi Dengan
Pelarut Campuran Isopropanol dan N-heksana. Semarang: Universitas Diponegoro
Menon, N., K.P. Padmakumari, Sankari Kutty. 2007. Effects of Processing on the Flavor Com-pounds
of Indian Fresh Ginger. Journal of Essential oil. 19, 105-109.
Muchtadi,T.R dan Sugiono.1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. PAU
Pangan dan Gizi. Bogor : IPB.
Paimin, F. B., dan Murhananto. 1991. Budidaya, Pengolahan dan Perdagangan Jahe. Jakarta:
Penerbit Penebar Swadaya. Hal 4-17.
Pomeranz, Z.W. dan C.E. Meloan. 1977. Food Analysis : Theory and Practice. AVI Publishing
Company Inc., Connecticut.
Purseglove, J.W., E.G.Brown, C. L. Green, dan S. R. J. Robbins. 1981. Spices Vol 2. London :
Longman.
Rostiana O., A. Abdullah, Taryono dan Hadad E.A., 1991. Jenis jenis tanaman jahe. Edisi khusus
Littro VII (1) : 7 10.
Rusli, Sofyan. 1989. Peningkatan Nilai Tambah Jahe Melalui Beberapa Proses Pengolahan. J.
Litbang Pertanian, Vol. VIII (4).
Rusli, S., R. J. Deswert dan Hardjono. 1973. Pengaruh Kepadatan Bahan dan Lama Penyulingan
terhadap Rendemen dan Mutu Minyak pada Penyulingan Akar Wangi. Makalah pada Seminar
Minyak Atsiri I, 19-21 Desember 1973, Bogor.
Sastrohamidjojo, H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. hal. 203-238.
Syukur, C. 2001. Agar Jahe Berproduksi Tinggi. Jakarta : Penebar Swadaya.
Tjiptadi dan Wahyu. 1986. Teknis Enfleurasi Minyak Atsiri Dari Bunga-bungaan. Laporan Hasil
Penelitian dan Pengembangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Industri Hasil Pertanian. 8 Hlm.
Laporan Praktikum Hari, Tanggal : Selasa, 19 Maret 2013
MK. Teknologi Pati, Gula Dosen: Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si.
Dan Sukrokimia Asisten :
1. Athin Nuryanti F34090111
2. Imastia Rahma S. F34090120

TEKNOLOGI ISOLASI MINYAK ATSIRI

Disusun Oleh :

Rista Fitria F34100003


Moh. Achor Mardliyan F34100005
Anissha Hud Alaydrus F34100015
Hermaslin Pasaribu F34100021
Hafidzar Rohim F34100030
Amilya Romdhani F34100039

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Anda mungkin juga menyukai