Nely Sendy P.H.1, Claudia Ayu R.1, Ferdianto At Taufiqi1, Trisna Aris S.1
ABSTRAK
ABSTRACT
PENDAHULUAN
Indonesia terkenal sebagai penghasil rempah–rempah, hampir sebagian
besar kotanya menanam tumbuhan ini. Rempah–rempah adalah bagian tumbuhan
yang beraroma atau berasa kuat yang biasanya digunakan dalam jumlah kecil
dalam makanan sebagai pengawet atau penambah rasa dalam masakan. Menurut
Tarwiyah dan Kemal (2010), sifat tersebut disebabkan kandungan zat
aktif aromatis didalamnya. Jika zat atau komponen aktif tersebut dipisahkan
dengan cara diekstrak, baik dengan pelarut tertentu (misalnya etanol) maupun
penyulingan (destilasi) hasilnya masing–masing dikenal dengan nama oleoresin
atau minyak atsiri.
Minyak atsiri adalah minyak yang mudah menguap karena terdiri atas
campuran komponen yang mudah menguap dengan komposisi dan titik didih yang
berbeda. Sebagian minyak atsiri diperoleh dengan cara penyulingan atau
hidrodistilasi. Minyak atsiri sering disebut dengan essensial oil, minyak etiris atau
minyak (Djafar,dkk, 2010).
Salah satu tanaman penghasil minyak atsiri adalah jahe (Zingiber officinale
Roscoe) telah lama dikenal dan tumbuh baik di Indonesia. Jahe dengan varietas
unggul mempunyai sifat–sifat seperti, daya hasil tinggi, kandungan bahan khasiat
obat (minyak atsiri) tinggi, dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit
(Yulianto dan Parjanto, 2010).
Secara umum, sampai saat ini dikenal tiga macam jenis jahe, yakni jahe
merah, jahe putih besar (jahe gajah), dan jahe putih kecil (jahe Emprit). Menurut
Hernani (2001), jahe merah mempunyai kandungan pati (52,9%), minyak atsiri
(3,9%) dan ekstrak yang larut dalam alkohol (9,93%) lebih tinggi dibandingkan
jahe emprit (41,48, 3,5 dan 7,29%) dan jahe gajah (44,25, 2,5 dan 5,81%). Adanya
variasi komponen kimia dalam minyak atsiri jahe bukan saja dikarenakan
varitasnya, tetapi kondisi agroklimat (iklim, musim, geografi) lingkungan, tingkat
ketuaan, adaptasi metabolit dari tanaman, kondisi destilasi dan bagian yang
dianalisa.
Dalam penelitian ini proses perebusan dan kukus dengan perlakuan
perajangan dan keprek lebih ditunjukkan untuk membedakan proses dengan
perlakuan yang mana yang dapat menghasilkan kualitas minyak atsiri yang
sebagaimana telah ditetapkan dalam SNI Minyak Jahe Nomor 06–1312–1989.
Selain itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses dengan
perlakuan yang berbeda terhadap rendemen, aroma, dan warna yang dihasilkan.
0.05%
0.00%
Keprek, destilasi rebus Rajang, destilasi rebus Rajang, destilasi kukus
Warna
Menurut Irfan (2008), minyak atsiri jahe berupa cairan berwarna kuning
cerah serta memiliki karakteristik aroma jahe. Dari hasil pembuatan minyak atsiri
dengan perbedaan metode destilasi, warna yang diamati berdasarkan uji
organoleptik dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pengaruh perbedaan metode destilasi tehadap warna minyak atsiri
yang dihasilkan
Perlakuan Warna
Keprek, destilasi rebus Lebih pekat dan keruh
Rajang, destilasi rebus Lebih pekat
Rajang, destilasi kukus Jernih
Pada penelitian ini, jahe yang diberi perlakuan dikeprek memiliki warna
yang pekat dan keruh. Hal ini disebabkan karena jahe yang dikeprek membuat
beberapa jaringannya rusak dan pecah, sehingga komponen-komponen lain ikut
keluar dan bercampur dengan minyak atsiri yang dihasilkan. Untuk minyak atsiri
yang diberi perlakuan rajang, warnanya lebih jernih karena perajangan hanya
memotong jaringan tidak sampai pecah, sehingga saat penguapan, yang bisa
dikeluarkan hanya minyak atsiri saja.
Untuk minyak atsiri jahe yang menggunakan destilasi rebus, warna
minyak yang dihasilkan lebih gelap. Hal ini terjadi karena proses perebusan yang
disebabkan karena pada saat perebusan dengan air panas, kadar air jahe akan
meningkat sehingga proses ekstraksi menjadi lebih lama. Menurut Supardan
(2009), penggunaan temperatur yang tinggi pada proses perebusan akan
menyebabkan komponen–komponen yang sensitif terhadap panas akan mudah
rusak sehingga kualitas minyak atsiri yang dihasilkan menjadi rendah.
KESIMPULAN
Dari perlakuan tersebut, pembuatan minyak atsiri dengan metode rajang,
destilasi rebus memiliki rendemen tertinggi. Untuk aroma yang paling mendekati
jahe segar adalah minyak atsiri dengan metode rajang, destilasi kukus. Warna
minyak atsiri paling baik adalah pada perlakuan rajang, destilasi kukus. Secara
keseluruhan, minyak atsiri yang memiliki kualitas paling baik adalah dengan
perlakuan dirajang, dan menggunakan metode destilasi kukus.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Fitriana. M. Dani Supardan, dan Asri Gani. 2010. Pengaruh Ukuran
Partikel, SF Rasio dan Waktu Proses Terhadap Rendemen Pada
Hidrodistilasi Minyak Jahe. Aceh: Balai Riset dan Standarisasi Industri
Banda Aceh.
Irfan, Muh. 2008. Kajian Karakteristik Oleoresin Jahe Berdasarkan Ukuran dan
Lama Perendaman Serbuk Jahe Dalam Etanol. Surakarta : Universitas
Negeri Sebelas Maret
Hernani dan Christina Winarti. 2001. Kandungan Bahan Aktif Jahe dan
Pemanfaatannya Dalam Bidang Kesehatan. Bogor: Balai Besar Penelitian
dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.
Supardan, Muhamad Dani,. Ruslan,. Satriana,. dan Normalina Arpi. 2009.
Hidrodistilasi Minyak Jahe (zingiber officinale Rosc.) Menggunakan
Gelombang Ultrasonik. Aceh: Universitas Syiah Kuala.
Supriyanto dan Bambang Cahyono. 2012. Perbandingan Kandungan Minyak
Atsiri Antara Jahe Segar Dan Jahe Kering. Semarang: Laboratorium Kimia
Organik, Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Matematika, Universitas
Diponegoro.
Tarwiyah, Kemal. 2010. Tentang Pengolahan Pangan. Jakarta: Kantor Deputi
Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi.
Yulianto, Faizal Kusuma dan Parjanto. 2010. Analisis Kromosom Jahe (Zingiber
officinale var. officinale). Surakarta: Universitas Negeri Surakarta.