Anda di halaman 1dari 18

Makalah Zoonosis

Campylobacteriosis dan Clostridial Infection

Oleh;

Chairul Saputra Siregar 13-204

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH

201
BAB I

PENDAHULAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai penyakit yang muncul di masyarakat saat ini banyak berasal dari
hewan. Hal ini menjadi menjadi sangat penting karena penyakit dari hewan
tersebut sewaktu waktu dapat mewabah hingga jangkauannya luas. Sehingga
diperlukanlah langkah langkah terpadu untuk mencegah dan menanggulanginya.
Mewabahnya penyakit asal hewan terkait dengan populasi manusia, lingkungan,
dan agen penyakit itu sendiri yang dapat berimplikasi pada kemunculan suatu
penyakit zoonosis. Penyakit zoonosis menurut Badan Kesehatan Dunia (World
Health Organization/WHO) adalah suatu penyakit yang secara alamiah dapat
menular di antara hewan vertebrata dan manusia.

Penyakit pada hewan dapat ditularkan langsung dan tidak langsung atau
melaui produk hewan seperti daging, susu, dan telur termasuk penyakit yang
ditimbulkan akibat mengkonsumsi makanan (foodborne disease) dan penyakit
yang disebabklan masuknya agen pathogen ke dalam saluran pencernaan (food
infection) serta food intoxination. Keadaan ini akan menyulitkan usaha untuk
memutus mata rantai penyebaran penyakit termasuk zoonosis. Pada makalah ini
kelompok kami akan memaparkan tentang Campylobacteriosis dan Clostridial
Infection.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana cara penularan Campylobacteriosis dan Clostridial Infection
2. Bagaimana pola penyakit Campylobacteriosis dan Clostridial Infection
3. Bagaimana tindakan pengendalian penyakit Campylobacteriosis dan
Clostridial Infection
CAMPYLOBACTERIOSIS

Campylobacteriosis adalah infeksi oleh bakteri Campylobacter, jenis yang


paling sering menginfeksi adalah C. jejuni. Campylobacteriosis termasuk dalam
infeksi bakteri yang paling umum menyerang manusia, khususnya melalui
makanan yang terkontaminasi bakteri. Umumnya menyebabkan peradangan pada
perut, kadang-kadang berdarah, sindrom diare /disentri, kebanyakan menyebabkan
kram, demam dan rasa sakit. Penyakit menular ini telah lama tersebar di seluruh
dunia, namun belum ada laporan tentang adanya kasus penyakit ini di Indonesia.
Sebelumnya penyakit ini dikenal dengan nama vibriosis, menyerang sapi perah
dan menyebabkan adanya infertilitas disertai dengan abortus pada sapi bunting.
Sapi perah dilaporkan lebih rentan terhadap penyakit ini dan lebih banyak kasus di
lapangan daripada sapi potong. Sedangkan pada ternak domba kasus di lapangan
lebih jarang terjadi.

A. PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Infeksi kuman C. jejuni berasal dari makanan (misalnya susu yang tidak
dipasteurisasi), minuman (air terkontaminasi), kontak dengan hewan yang
terinfeksi (unggas, anjing, kucing, domba dan babi), feses hewan atau melalui
makanan yang terkontaminasi seperti daging ayam yang belum dimasak dengan
baik. Kadang-kadang infeksi dapat menyebar melalui kontak langsung orang per
orang, hewan yang terinfeksi atau ekskretanya serta aktivitas seksual anal-genital-
oral sebagai transmisi.

Campylobacter spesies sensitif terhadap asam klorida dalam lambung, dan


pengobatan antasida dapat mengurangi jumlah inokulum yang diperlukan untuk
menyebabkan penyakit.

C. jejuni berkembang biak di usus kecil, menginvasi epitel, menyebabkan


radang yang mengakibatkan munculnya sel darah merah dan darah putih pada
tinja. Kadang-kadang C.jejuni masuk ke dalam aliran darah sehingga timbul
gambaran klinik demam enterik. Invasi jaringan yang terlokalisasi serta aktivitas
toksin menyebabkan timbulnya enteritis (prevalensinya lebih tinggi). C.jejuni
dapat menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar. Ada
2 tipe toksin yang dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heat-labile enterotoxin.
Perubahan histopatologi yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis. C.
jejuni dimana pada tahap awalnya adalah kemotaksis dan motilitas kuman menuju
sel epitel usus, diikuti dengan adhesi, invasi dan berkembang di dalam vakuola sel
usus. Di dalam sel usus kuman memproduksi Cytolethal Distending Toxin (CDT)
yang menyebabkan kerusakan pada sel usus. Kerusakan sel usus tersebut
menyebabkan peradangan pada usus (enteritis) dengan gejala klinis diare cair dan
kadang berdarah.

B. PROSES PENULARAN Campylobacter jejuni KE MANUSIA


Kuman C. jejuni merupakan penyebab utama enteritis pada manusia dan juga
menyebabkan diare pada sapi, anjing, kucing dan primata non-manusia. Spesies
ini juga sebagai penyebab mastitis pada sapi dan aborsi di domba.Pada
ayam, kalkun, merpati, gagak dan burung camar dan liar burung, kuman
ini merupakan bagian dari flora usus normal.
Kejadian infeksi Campylobacter berhubungan dengan materi berupa susu,
daging ayam, air dan air tanah. Infeksi pada C. jejuni masuk melalui mulut
bersama makanan (misalnya susu yang tidak dipasteurisasi), minuman (air
terkontaminasi), kontak dengan hewan yang terinfeksi (unggas, anjing, kucing,
domba dan babi) atau dengan feses hewan melalui makan yang terkontaminasi
seperti daging ayam yang belum dimasak dengan baik. Kadang-kadang infeksi
dapat menyebar melalui kontak langsung dari manusia ke manusia atau hewan
yang terinfeksi atau ekskretanya serta aktivitas seksual anal-genital-oral sebagai
transmisi
Campylobacter biasanya ada bersamaan dengan mikroorganisme pathogen
lainnya seperti E.coli, Salmonella dan Cryptospodium. Penyakit ini sering terjadi
pada tempat-tempat umum seperti sekolah, pusat-pusat penitipan anak, rumah
perawatan, tempat pelatihan dan rumah sakit. Hal tersebut dimungkinkan terjadi
karena sanitasi yang kurang baik dan adanya kontaminasi silang saat menyiapkan
makanan. Bahan makanan yang sering menyebabakan infeksi Campylobacter
antara lain daging ayam, kalkun, sapi, babi, ikan dan susu. Makanan lainnya yang
sering terkontaminasi adalah seafood mentah seperti tiram dan jamur.
Campylobacter peka terhadap tekanan oksigen, temperatur dan
pengeringan. Transmisi melalui vektor sangatlah penting terhadap penyebaran
pathogen ini. Yang menjadi vektor ini antara lain hewan liar dan hewan domestik.
Burung liar yang menjadi vektor antara lain merpati, burung camar dan gagak.
Burung liar ini juga dapat menyebarkan pathogen ini ke air danau sehingga
mengkontaminasi air disekitarnya sehingga air menjadi sumber dari C. jejuni.
Survey menunjukkan 20% 100% daging ayam retail tercemar C. jejuni.
Hal ini tidak mengejutkan karena pada ayam yang sehat didalam ususnya
mengandung kuman ini sebagai flora yang biasa berada pada usus ayam. Pada
transmisi C. jejuni pada daing ayam, produk yang paling sering menyebabkan
Campylobacteriosis adalah pemasakan daging yang tidak masak, organ ayam
(hati, jantung dan gizzard), bagian caudal yaitu kaki dan sayap ayam. C.
jejuni dapat bertahan dipermukaan daging segar selama lebih dari enam hari.

C. CAMPYLOBACTERIOSIS PADA MANUSIA


Angka kejadian campylobacteriosis pada pasien penderita diare hampir sama
dengan kejadian salmonellosisatau shigellosis. Hasil penelitian di negara Amerika
menunjukkan angka kejadian salmonelosis berkisar 300-1500 kasus/100.000
penduduk, infeksi Escherichia coli 30 kasus/tahun (SPARLING, 1998)
dan campylobacteriosis1/1000 orang. Laporan dari negara Inggris dan Wales,
lebih dari 1% populasi terinfeksi setiap tahunnya dengan kerugian ekonomi
mencapai 12 million. Sebaliknya di Indonesia hanya sedikit informasi mengenai
infeksi C. jejuni pada manusia, salah satunya adalah yang dilaporkan oleh
BALITVET, Bogor pada tahun 1984 yaitu tentang kasus keracunan susu C.
jejuni di Jawa Barat.
Masa inkubasi campylobacteriosis pada manusia umumnya 2 4 hari
ketika kuman mengalami multiplikasi dalam usus dan mencapai jumlah 106 109
per gram feses. Untuk terjadinya infeksi hanya diperlukan sekitar 800 kuman C.
jejuni dengan gejala klinis berupa demam, diare, muntah dan sakit perut. C.
jejuni menghasilkan enterotoksin yang mirip dengan penyakit kolera dan
toksin Escherichia coli.
Banyak kejadian Campylobacteriosis pada manusia bersifat sporadik.
Kejadian dari penyakit ini memiliki karakteristik epidemiologik yang berbeda dari
infeksi sproradik. Penyakit umumnya terjadi pada musim semi dan gugur.
Konsumsi susu mentah sebagai sumber infeksi pada 30 dari 80 kejadian luar
biasa Campylobacteriosis pada manusia, seperti yang dilaporkan oleh CDC antara
tahun 1973 dan 1992. Terjadinya penyakit ini disebabkan oleh mengkonsumsi
susu mentah pada saat kunjungan anak sekolah ke peternakan selama musim
sedang. Sebaliknya, puncak Campylobacter sporadic terjadi selama musim panas.
Faktor resiko lainnya yang proporsinya lebih kecil dari penyakit sproradik
diantaranya minum air yang tidak dimasak dengan baik, perjalanan ke luar negeri,
mengkonsumsi babi panggang atau sosis, minum susu mentah atau susu botol,
kontak dengan anjing atau kucing, khususnya binatang kesayangan anak-anak
atau binatang kesayangan yang terkena diare. Penyebaran dari manusia ke
manusia tidak umum terjadi. Pangan asal hewan merupakan faktor penting dalam
penyebaran Campylobacter jejuni terhadap manusia.
Di Amerika Serikat Campylobacter umumnya menyerang pada bayi,
kurang lebih 14 per 100.000 per tahun terjangkit penyakit ini. Dengan samakin
bertambahnya umur (anak-anak), maka kejadian semakin menurun yaitu 4 per
100.000 orang per tahun. Kejadian pada orang dewasa meningkat lagi yaitu
sebesar 8 per 100.000 orang pertahun. Diantara umur remaja dan dewasa,
diperkirakan < 3 per 100.000 orang per tahun. Setiap orang ada kecenderungan
dapat terinfeksi kuman C. jejuni, tetapi anak di bawah umur 5 tahun dan orang
dewasa (15-29 tahun) merupakan yang paling rentan terinfeksi kuman ini.
Umumnya orang tidak menyadari bahwa penyakit sakit perut yang dialami
merupakan penyakit yang disebabkan oleh apa yang mereka makan. Biasanya
mikroba dalam makanan seperti daging atau telur yang dimasak kurang matang,
penanganan produk yang salah, atau tercemarnya produk oleh kotoran hewan.
Beberapa penderita bisa sembuh tanpa pergi ke dokter, tetapi beberapa yang
lainnya tidak sembuh. Satu dari 1000 orang yang diidentifikasi terinfeksi
kuman Campylobacter jejuni Guillain Barre, suatu penyakit kronis yang secara
perlahan menimbulkan kelumpuhan badan dari kaki ke atas.

D. CAMPYLOBACTERIOSIS PADA TERNAK

Penularan dapat terjadi melalui kontak pada perkawinan alami dan juga
melalui inseminasi buatan. Penularan penyakit lewat inseminasi buatan dapat
terjadi dikarenakan adanya kontaminasi bakteri campylobacter pada air mani yang
digunakan inseminasi. Setelah bakteri masuk pada hewan target, maka bakteri
akan berkembang dengan cepat dalam vagina sapi yang tertular. Selanjutnya hal
ini dapat juga menjadi sarana penularan terhadap pejantan yang mengawini betina
yang tertular bakteri tersebut.
Selain penularan lewat kawin alami, penularan bakteri campylobacter juga
dapat terjadi melalui kotoran, rumput kering maupun melalui alat-alat bekas yang
dipakai pada kandang.

E. TINDAK PENGENDALIAN PENYAKIT


Campylobacter jejuni dapat dicegah dan dikendalikan, dengan mengkonsumsi
makanan atau bahan pangan segar daripada makanan atau bahan pangan yang
telah diawetkan atau dengan mengkonsumsi makanan yang telah diproses
dekontaminasi yang terkontrol dengan baik seperti pasteurisasi, sterilisasi dan
direbus, contoh makanan yang aman yaitu susu yang telah dipasteurisasi, roti,
tepung, jam, madu, pikel, dan manisan buah. Pencegahan yang lain yaitu dengan
menjaga kebersihan diri (mencuci tangan dengan sabun, khususnya selama
mengolah makanan.) dan kebersihan lingkungan.
Menurut Bill Marler, langkah yang paling penting dan dapat diandalkan untuk
mencegah infeksi Campylobacter adalah memasak semua produk unggas dengan
benar.
1. Pastikan bahwa bagian paling tebal dari burung (pusat dada) mencapai 840C
atau lebih tinggi. Disarankan bahwa suhu mencapai 690C setidaknya untuk bahan
pengisi dan 740C untuk produk daging ayam giling, sedangkan untuk paha dan
sayap dimasak hingga lemaknya keluar.
2. Pertimbangkan untuk menggunakan makanan iradiasi dalam dosis yang
disetujui telah ditunjukkan untuk menghancurkan sedikitnya 99,9% dari patogen
bawaan makanan yang umum termasuk Campylobacter, yang berhubungan
dengan daging, unggas, dan kontaminasi sekunder produk segar.
3. Pastikan bahwa makanan lain seperti buah dan sayur tidak pernah kontak
dengan pisau untuk memotong daging atau unggas atau peralatan yang digunakan
selama pemotongan.
4. Jangan meninggalkan makanan di luar ruangan dengan kondisi terbuka
selama lebih dari 2 jam.
5. Hindari produk susu mentah dan air tanah tanpa perlakuan (klorinasi atau
dimasak)
6. Cuci buah dan sayuran dengan benar terutama jika dimakan mentah. Jika
memungkinkan sayurn dan buah dikupas terlebih dahulu.
7. Cuci tangan dengan menggunakan sabun dan air, terutama pada ujung jari
dan lipatan kuku dan dikeringkan dengan kertas sekali pakai setelah kontak
dengan hewan peliharaan, terutama anak-anak anjing, atau hewan ternak.

Selain dengan memperhatikan kebersihan pangan, dewasa ini telah dikembangkan


beberapa teknik untuk mencegah terjadinya infeksi Campylobacter. Teknik-teknik
ini adalah teknik competitive exclusion (CE) dan teknik iradiasi.
1. Teknik Competitive Exclusion (CE)
Pada tahun 1973 Nurmi dan Rantala telah memperkenalkan konsep Competitive
Exclusion (CE) untuk mengurangi infeksi Salmonella. Flora intestin dari ayam
dewasa dimasukkan dalam burung muda sebagai suspense fecal dropping atau
sebagau subkultur anaerob. Diyakini bahwa pertumbuhan anaerob dari kuman CE
dapat mengurangi Salmonella. Kondisi yang sama juga diharapkan dapat
mengurangi C. jejuni. Kendala yang dihadapi adalah kemungkinan adanya jasad
pathogen bagi manusia atau burung karena jasad yang ada tidak di identifikasi
terlebih dahulu dan tidak dapat diterapkan disemua negara karena jasad yang ada
belum tentu sama.
Guna untuk meningkatkan efektivitas CE dapat dilakukan dengan cara
mengetahui jasad yang ada dan digunakan jasad yang mampu menghasilkan
metabolic antagonistic terhadap C. jejuni sehingga populasinya dapat ditekan atau
dilakukan dengan diet karbohidrat.
2. Teknik Iradiasi
Iradiasi gamma telah digunakan sebagai metode pengawetan bahan pangan
dibeberapa negara seperti Belgia, Perancis, Jepang dan Belanda. Di Indonesia
teknik ini baru digunakan dalam skala laboratorium. Proses dilakukan dengan
penyinaran pangan menggunakan kobalt radioisotop (60Co). Iradiasi akan
mempengaruhi fungsi metabolism dan fragmentasi DNA yang dapat
mengakibatkan kematian sel mikroba, sehingga memperbaiki kualitas
mikrobiologi pangan dengan mengurangi jumlah jasad perusak dan pathogen.
Berbeda dengan inaktivasi termal, iradiasi pada dosis rendah tidak berpengaruh
terhadap sifat sensoris pangan.
Penggunaan iradiasi pada dosis 1,0 Kg dapat mengontrol Trichinella spiralis pada
daging babi dam dosis 3,0 Kg dapat mengeliminasi Salmonella pada unggas.
Iradiasi juga dapat mengontrol jasad-jasad pathogen pada manusia
seperti Salmonella, C. jejuni, E. coli , Listeria monocytogenes dan dalam dosis
yang lebih tinggi terhadap Clostridium botulinum pada unggas.
Beberapa faktor yang mempengaruhi resistensi mikrobia terhadap inaktivasi
dengan radiasi adalah komposisi kimia dan fisik bahan, suhu selama iradiasi,
aktivasi air dan kondisi sel itu sendiri. Efektivitas dosis iradiasi gamma untuk
inaktivasi kuman patogen dipengaruhi oleh kadar protein, lemak dan kandungan
air. Pada lingkungan cair pengaruh iradiasi pada kematian meningkat karena
radikal bebas yang dihasilkan lebih banyak. Protein dan karbohidrat mempunyai
pengaruh melindungi sebagai senyawa yang berkompetisi dengan kuman untuk
berinteraksi dengan radikal bebas yang dihasilakn selama hidroisi air.
Resistensi C. jejuni terhadap iradiasi tidak dipengaruhi oleh umur jasad dan fase
stasioner dicapai setelah 16 sampai 20 jam. Nilai D10 (kGy) adalah 0,23 pada
daging sapi rendah lemak yang disimpan pada kondisi beku dan 0,175 jika
disimpan di kulkas. Untuk kadar lemak yang tinggi jika disimpan pada kondisi
beku makanan nilai D10 adalah 0,207 dan 0, 199 jika disimpan di kulkas. Hasil
uji juga menunjukkan bahawa sensivitas C. jejuni lebih besar
daripada E.coli O157;H7 dan Salmonella.
CLOSTRIDIAL INFECTION
Clostridium merupakan bakteri gram positif, berbentuk batang, semua
spesies mempunyai endospore yang berperan penting dalam metabolisme
fermentatif bakteri ini. Bakteri Clostridium tidak akan tumbuh dalam kondisi
aerobic dan sel vegetatifnya akan mati apabila terpapar O2 namun sporanya akan
bertahan dalam jangka waktu panjang di udara.
Bakteri ini hidup dalam lingkungan anaerobic, seperti tanah, sedimen di
perairan dan intestinum hewan. Bakteri ini dapat memfermentasi berbagai
komponen organik dengan produk akhir seperti asam butyric, asam asetat,
butanol, aseton serta mneghasilkan CO2 dan H2 dalam jumlah besar selama
memfermentasi gula.
Proses fermentasi asam amino dan asam lemak akan menghasilkan bau
busuk. Clostridium juga menghasilkan enzim ekstraselluler untuk menghancurkan
molekul biologis seperti protein, lipid, collagen, cellulose serta komponen
biologis lain yang terdapat di lingkungan. Bakteri Clostridium memiliki peranan
penting dalam biodegradasi dan siklus karbon. Beberapa
species Clostridium bersifat pathogen seperti Clostridium perfringens, C. difficile,
C. tetani and C. botulinum (Todar, 2012).
Beberapa spesies clostridium yang dapat menyebabkan penyakit pada
manusia :
Clostridium botulinum
Bakteri ini dapat memproduksi racun botulinum pada makanan atau luka yang
dapat menyebabkan botulismus. Spora C. botulinumyang terdapat pada madu
dapat menyebabkan botulismus pada bayi dan anak anak. Botulismus pada bayi
menyebabkan blockade otot motoric dan fungsi autonomy. Penyakit ini pertama
kali terjadi akhir tahun 1970 di USA. Sejak saat itu sudah lebih dari 1000 kasus
yang sama telah dilaporkan oleh Center for Disease Control and Prevention
(CDC). Penelitian menunjukkan adanya toksin dan spora Clostridium
botulinum pada madu yang beredar di USA, sehingga CDC merekomendasikan
agar tidak memberikan madu pada anak berusia dibawah 12 bulan (Maria, 2002).
Clostridium difficile
Clostridium difficile menyebabkan Antibiotic Assosiated Diarrhea (AAD) dan
kondisi serius lainnyapada intestinum seperti colitis dan pseudomembran colitis
pada manusia. Kondisi ini terjadi karena pertumbuhan berlebih dari bakteri pada
colon, akibat pertumbuhan flora normal colon terhambat oleh antimicrobial terapi.
Manusia sehat tidak akan terinfeksi Clostridium difficile . Faktor predisposisi
infeksi bakteri ini diantaranya penggunaan antibiotic dalam jangka waktu yang
panjang, operasi gastrointestinal, respon immune yang sangat menurun. C.
difficile memiliki dua toksin : Toksin A atau enterotoksin menyebabkan
akumulasi cairan pada intestinum. Toksin B merupakan toksin cytophatic yang
bersifat lethal
Clostridium perfingens
Bakteri ini merupakan penyebab utama dari keracunan makanan dan gas gangrene
pada manusia. Bakteri ini juga dapat menyebabkan enteroteksemia yang dikenal
dengan penyakit karena terlalu banyak makan atau bulir ginjal pada sapi dan
domba. C. perfingens bermanfaat sebagai salah satu komponen pengembang roti
yang lazim digunakan saat ini. Perfingen berarti terbagi menjadi bagian bagian
kecil. C. perfingen sering ditemukan pada daging dan ayam, kontraksi abdominal
dan diare terjadi 8-16 jam setelah mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi .
perfingen. Spora bakteri ini tahan terhadap panas dan dingin. Bentuk vegetatif
akan terjadi saat suhu berkisar antara 16-52o C. Bakteri akan menghasilakn
enterotoksin yang menyebabkan diare dan kontraksi abdominal. Untuk
menghindari infeksi, makanan harus dimakan dalam kondisi panas atau
dipanaskan dengan suhu diatas 74oC (Todar, 2012).
Gas gangrene umumnya terjadi pada luka atau bekas operasi. Pasien yang
menderita penyakit ini umumnya juga menderita penyakit pada pembuluh darah
seperti atherosclerosis, diabetes atau kanker colon. Clostridium
perfingens memproduksi banyak toksin, toksin alpha, beta, epsilon dan iota,
empat toksin yang dapat menyebabkan kematian. Toksin ini dapat menyebabkan
kerusakan jaringan, sel darah dan pembuluh darah. Gejala klinik gas gangrene
yang menciri pada penderita berupa demam tinggi, nanah berwarna kecoklatan,
adanya gelembung gas dibawah kulit, kulit kehilangan warnanya, dan tercium bau
busuk (Todar, 2012).
Clostridium tetani
Infeksi terjadi akibat kontaminasi luka oleh C. tetani. Kondisi anaerobic
pada jaringan luka merupakan kondisi yang sempurna untuk C. tetani melakukan
replikasi dan mengeluarkan eksotoksin. Toksin spasmusgenic, tetanospasmin
menghambat neuron dan memblokade pengeluaran neurotransmitters, glycine dan
asam gamma aminobutyric. Tetanus ditandai dengan spasmus otot disekeliling
luka, sakit pada otot leher dan rahang. Penderita tidak mengalami demam, namun
berkeringat dalam jumlah banyak dan mengalami kejang serta kekakuan otot
(Wells, 1996).

Kontaminasi C. difficile pada makanan


1. difficile bakteri yang bermanfaat sekaligus pathogen pada hewan domestic
dan pakan hewan, dan belum ada penelitian yang membandingkan isolat C.
difficile pada hewan dengan C. difficile yang menginfeksi manusia. Peneliti
menemukan tidaka ada hubungan antara C. difficile pada anjing dan kucing
dengan
2. difficile pada manusia. Toxinotype (TOX)V/PCR ribotype 078/PGFGE tipe
NAP7 atau NAP8/REA tipe BK merupakan strain yang dominan terdapat
pada sapi dan babi di Eropa dan USA, juga merupakan pathogen pada
manusia. C. difficile strain lain yang pathogen terhadap manusia ribotipr 017
dan 066 ternyata sudah pernah dilakukan isolasi dari hewan (Gould,2010).
Pada tahun 2005, dilaporkan adanya kontaminasi C. difficile sebanyak 20% dari
sejumlah sampel daging siap saji, termasuk 21% dari daging sapi, dan 14% dari
daging sapi muda. Hasil isolasi menunjukkkan C. difficile yang mengkontaminasi
daging ini bersifat toksigenic dan hampir seluruhnya sama dengan strain yang
menginfeksi manusia. C. difficile diisolasi dari 42% sampel daging sapi, babi dan
kalkun yang diperoleh dari Tucson, Arizona selama 3 bulan. Produk yang
dijadikan sampel merupakan produk yang diperjualbelikan secara nasional. C.
difficile ditemukan tidak hanya pada produk daging setengah matang namun juga
pada produk daging mentah (Gould, 2010).
Patogenesitas
Clostridum difficile menyebar melalui ingesti dari spora yang menyebar diantara
pasien melalui perawat atau lingkungan. Spora resisten dalam kondisi asam di
perut dan berkembang menjadi bentuk vegetatifnya di usus kecil. Gangguan
pertumbuhan flora normal usus akibat penggunaan antimikrobia dalam jangka
waktu lama, memungkinkan C. difficile berproliferasi dan menunjukkan gejala
klinik berupa diare , colitis sampai kematian. Virulensi C. difficile disebabkan 2
toksin yang dimiliki yaitu t oksin A dan toksin B, dikode oleh gen tcdA dan tcdB.
Toksin C pada C. difficile bersifat tidak pathogen. Terapi antimikrobia dengan
toksin merupakan hal penting dalam perkembangan CDI (Lessa, 2012).
Beberapa hal yang mempengaruhi patogenesis Clostridium difficile :
1. Toksin A dan toksin B yang diproduksi oleh Clostridium difficile
2. Pemberian antibiotic untuk penyakit gastrointestinal yang menghambat
pertumbuhan flora normal usus.
3. Produksi proteolytic dan hydrolytic enzim yang diproduksi fimbria dan
fllagela,
4. Khemotaksis dan adhesi pada reseptor usus
5. Produksi kapsul
Kelima factor inilah yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan koloni C.
difficile dan meyebabkan kerusakan jaringan pada usus (Boriello, 1998).
Adhesi
Adhesi jaringan merupakan factor virulensi dari banyak mikroorganisme
pathogen. Indikasi pertama yang menunjukkkan C. difficilemengadhesi jaringan
usus manusia ditemukan pada tahun 1979. Adhesi terjadi pada bagian terminal
ileum dan sekum, yang dikenal dengan istilah ileocaecitis. Toksin A berperan
penting dalam perlekatan bakteri ke dinding usus. Beberapa hal lain yang
mendukung perlekatan bakteri di dinding usus diantaranya fimbria bipolar .
beberapa strain C. difficile bersifat motil dan berflagella. Physiochemical yang
dimiliki mikroorganisme ini juga berkontribusi dalam adhesi terhadap dinding
usus. Permukaan sel C. difficile bersifat hydrophobic moderat (Boriello, 1998).
Kemotaksis
Kemampuan bakteri bergerak dari lumen ke bagian mucus usus
menyebabkan proteolysis pada dinding usus. Kemotaksis terjadi diiringi dengan
kematian, Tingkat keparahan dari kemotaksis menandai derajat patogenesitas dari
strain bakteri (Boriello, 1998).
Kapsul
Kapsula yang dimiliki C. difficile bersifat anti fagositosis, yang mencegah bakteri
di fagosit di permukaan sel. Kapsula C. difficiletersusun atas polysakarida.
Akumulasi polymorphonuclear sel pada jaringan usus disebabkan karena toksin A
yang merusak jaringan usus (Boriello, 1998).
Enzim hydrolitik
Enzim hyaluronidase adalah salah satu enzim hydrolitik yang diproduksi C.
difficile dalam kondisi anaerob pada jaringan usus manusia yang terinfeksi bakteri
ini. (Boriello, 1998).
Toksin
Clostridium difficile memiliki toksin A dan toksin B. Perbedaan terbesar
dari toksin A dan toksin B adalah toksin A menyebabkan akumulasi cairan pada
hewan coba, sedangkan toksin B tidak. Toksin B merupakan penyebab utama
enterocolitis pada hewan coba, sedangkan toksin A diduga memiliki peranan
penting dalam pembentukan lesi intestinal dan diare (Boriello, 1998).
Data terakhir yang diterima dari 28 rumah sakit di Amerika selatan, menunjukkan
infeksi C difficile menjadi masalah kesehatan utama. Hasil pengumpulan data
menunjukkan diagnosis terhadap CDI mengalami kenaikan dari 3.82% per 1000
orang pada tahun 2000 menjadi 8,75% per 1000 orang pada tahun 2008, yang
terjadi pada usia 65tahun.
Kemampuan C. difficile membentuk spora merupakan kunci utama dari
kemampuannya bertaha dalam tubuh pasien dan lingkungan dalam jangka waktu
lama. C. difficile menginfeksi melalui rute fecal oral. Patogenesis yang tampak
pada gambar diatas dibuat dengan menggunakan hamster sebagai model.
Kebanyakan sel vegetative mati di dalam lambung, hanya sekitar 1% yang dapat
sampai ke usus kecil. Spora C. difficile resisten terhadap asam sehingga dapat
sampai ke usus kecil, dan tetap bertahan dan berkembang walaupun terdapat asam
empedu. Beberapa factor virulensi termasuk flagella dan enzim hydrolytic juga
merupakan factor penyebab penyakit. Namun, factor virulensi utama dari bakteri
ini adalah toksin A dan toksin B.
Toksin A dan toksin B bersifat cytotoksin, kedua toksin ini menyebabkan
kenaikan permeabilitas vascular dengan membuka hubungan antar sel, kedua
toksin ini juga menyebabkan hemorraghi. Kedua toksin ini juga dapat
menyebabkan tumor necrosis factor alpha dan profinflammatory interleukins yang
menyebabkan respon radang dan bentukan pseudomembran. Pseudomembran
colon ditandai dengan plak berwarna putih sampai kekuningan. Gambaran
preparat histologi dari plak tersebut terdiri dari neutrophil, fibrin, mucin dan
debris sel. Hanya strain C. difficile yang pathogen yang dappat menyebabkan
diare.
Pada manusia dewasa penderita CDI karier asymptomatic toksin ini jarang
ditemukan. Toksin A memiliki peran penting dalam pathogenesis bakteri, Karena
toksin A menyebabkan kerusakan sel dan akumulasi cairan pada hewan coba,
sedangkan toksin B tidak memiliki aktivitas enterotoksik secara langsung. Toksin
B berperan setelah dinding gastrointestinal dirusak oleh toksin A (Poutanen,
2004). Jumlah kematian akibat enterocolitis yang disebabkan C.
difficile mengalami peningkatan dari 793 kematian pada tahun 1999 menjadi 7483
pada tahun 2008, 93% kematian terjadi pada umur diatas 65 tahun.(Lessa, 2012).
Tingkat kejadian CDI pada anak anak mengalami peningkatan dari 0,724%
menjadi 1,28 persen per 1000 penderita. Kejadian tertinggi terjadi pada anak usia
1 4 tahun serta kejadian terendah terjadi pada anak usia dibawah 1 tahun.
Pengetahuan tentang CDI pada anak anak sangatlah sedikit, beberapa penelitian
menunjukkan bahwa tingkat kejadian CDI meningkat pada kelompok anak anak
yang menderita kanker, transplatasi organ, gstrotomi dan jejunostomi (Lessa,
2012). Wanita postpartum memiliki resiko tinggi terinfeksi C. difficile pada tahun
2006 dilaporkan 1706 wanita postpartum menderita CDI di 4 (empat) Negara
bagian amerika, 67% dari penderita melahirkan dengan cara Sectio caesaria
(Lessa, 2012).

F. TINDAKANN PENGENDALIAN
Berhenti menggunakan antibiotik yang memicu infeksi ialah sangat penting
serta mungkin merupakan satu-satunya pengobatan yang diperlukan. Yang lain
mungkin membutuhkan pengobatan dengan antibiotik baru (metronidazole atau
vancomycin). Antibiotik ini menahan pertumbuhan C. diff, saat mengizinkan
bakteri normal untuk tumbuh di dalam usus. Demam biasanya hilang dalam 2 atau
3 hari, dan diare, dalam 3 atau 4 hari. Cairan diberikan untuk dehidrasi.
Pengobatan lainnya adalah probiotik atau, untuk kasus yang lebih parah, operasi
untuk mengangkat usus besar yang terkena. Probiotik adalah bakteri
menguntungkan dan ragi yang membantu mengembalikan keseimbangan
mikroorganisme yang sehat di dalam usus besar. Penyakit ini umumnya bisa
kambuh dan memerlukan pengobatan lebih banyak lagi.

Apa saja perubahan gaya hidup atau pengobatan rumahan yang dapat dilakukan
untuk mengatasi infeksi clostridium difficile?

Gaya hidup dan pengobatan rumahan di bawah ini mungkin dapat mengatasi infeksi
clostridium difficile:

Ingat mencuci tangan dengan sabun dan air


Gunakan antibiotik untuk C. diff sampai habis
Minum banyak cairan yang mengandung air, garam, dan gula, misalnya jus buah encer,
minuman kaleng, dan kaldu
Makan makanan yang mengandung tepung jika terkena diare berair. Kentang, mi, nasi,
gandum, oatmeal, dan biskuit asin merupakan pilihan baik
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Sinaa M. 2006. Diagnosis Of Campylobacter Enteritis By Direct


Microscopical Examination. Irak ;University of Dohuk

Dharmojono. 2001. Limabelas penyakit menular dari binatang ke manusia. Jakarta


; Milenia Populer

Gillespie, Stephen H.and Peter M. Hawkey.2005. Principles and Practice Of


Clinical Bacteriology. UK ; John Wiley & Sons, Ltd

Hidayat, Nur. 1997. Penghambatan Kuman Campylobacter jejuni Pada Bahan


Pangan. Jurnal Habitat Volume 8 No. 98.

Hu, L., dan D.J. Kopecko. 2003. Campylobacter Spesies. Di dalam Miliotis,
M.D. dan J.F. Bier (eds). Internasional Handbook of Foodborne Pathogens.
Marcel Dekker Inc., New York

Friedenberg,F, 2014. Clostridium difficile in Primary Care. www.Medcare.co.id

Gould, H.L dan Brandi L. 2010. Clostridium difficile in Food and Domestic
Animals : A New Foodborne Pathogen?. Centers for Disease Control and
Prevention, Atlanta, Georgia. Halaman 583 584

Prasetyo, D. 2004. Pengaruh Pemberian Antibiotik Terhadap Populasi dan


Pengaruh Pemberian Antibiotik Terhadap Populasi dan Produksi Toksin
Produksi Toksin Produksi Toksin Clostridium difficile Clostridium difficile pada
Pasien Demam Tifoid dan Pneumonia serta Hubungannya dengan Tifoid dan
Pneumonia serta Hubungannya dengan Gejala Diare Gejala Diare. Sari Pedati
Vol. 5 halaman 58 63

Anda mungkin juga menyukai