Anda di halaman 1dari 60

PEDOMAN

DIAGNOSIS & TERAPI


SMF UROLOGI
LABORATORIUM ILMU BEDAH

RSU Dr. SAIFUL ANWAR/


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2010
KATA PENGANTAR
Buku Pedoman Diagnosis dan Terapi (PDT) SMF Urologi RSU Dr. Saiful Anwar
Malang merupakan panduan bagi para dokter, baik para PPDS I maupun
mahasiswa kedokteran, dalam menyamakan persepsi utamanya yang
berhubungan dengan perawatan dan penatalaksanaan pasien urologi.
Adanya era globalisasi berdampak pada peningkatan kesadaran masyarakat
akan hak yang dimilikinya, yang berdampak pula dalam peningkatan kompetisi
pemberian pelayanan terhadap masyarakat di segala bidang. Hal ini juga
mempengaruhi pelayanan di bidang kesehatan, sehingga menimbulkan tuntutan
akuntabilitas, transparansi, serta peningkatan mutu dalam pelayan di institusi
kesehatan.
Buku ini disusun berdasarkan pola epidemiologi penyakit, perkembangan di
bidang diagnostik dan terapi, serta berpedoman pada referensi yang mutakhir.
Perbaikan dan penyempurnaan buku pedoman ini akan dilakukan secara berkala,
sehingga relevan dengan perkembangan epidemiologi penyakit yang ada. Dengan
demikian, diharapkan dapat mengurangi risiko terjadinya kesalahan dalam
melayani dan menangani pasien serta dapat meningkatkan mutu pelayanan,
pendidikan, dan penelitian.

A.n. Tim Penyusun PDT Urologi


SMF Urologi RSU Dr. Saiful Anwar Malang
Ka SMF Urologi,

dr. Besut Daryanto, SpB, SpU


NIP. 19620430 198901 1 002
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DIVISI LOWER URINARY TRACT ............................................................. 1 - 10
STRIKTUR URETRA ................................................................................... 1
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH) .................................................. 5
RUPTUR URETRA TRAUMATIKA............................................................... 8
DIVISI STONE ....................................................................................... 11 - 16
BATU SALURAN KEMIH (BSK) ................................................................ 11
DIVISI ANDROLOGY/MENS HEALTH ................................................... 11 - 25
TORSIO TESTIS ....................................................................................... 17
HIDROKEL .............................................................................................. 19
VARIKOKEL ............................................................................................. 21
DISFUNGSI EREKSI ................................................................................. 23
DIVISI URO-ONCOLOGY ...................................................................... 25 - 32
TUMOR TESTIS ....................................................................................... 25
HEMATURIA ........................................................................................... 28
DIVISI PEDIATRIC UROLOGY................................................................ 33 - 40
UNDESENSUS TESTIS ............................................................................. 33
HIPOSPADIA ........................................................................................... 36
PARAPHYMOSIS ..................................................................................... 38
FIMOSIS ................................................................................................. 39
DIVISI INFECTION ................................................................................ 41 - 42
UROSEPSIS ............................................................................................. 41
DIVISI LOWER URINARY TRACT

Tim Penyusun:
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
STRIKTUR URETRA

BATASAN
Penyempitan atau penyumbatan lumen uretra karena pembentukan jaringan
fibrotik (parut) pada uretra dan/atau daerah peri uretra, yang pada tingkat lanjut
dapat menyebabkan fibrosis pada korpus spongiosum.
Striktur uretra dapat terjadi karena infeksi, trauma pada uretra, dan kelainan
bawaan. Infeksi yang paling sering menjadi penyebabnya adalah infeksi oleh
kuman gonokokus yang telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnya.
Trauma yang menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada
selangkangan (straddle injury), fraktur tulang pelvis, dan instrumentasi/tindakan
transuretra uretra yang kurang hati-hati.

PATOFISIOLOGI
Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan
terbentuknya jaringan sikatrik pada uretra. Jaringan sikatrik pada lumen uretra
menimbulkan hambatan aliran urine hingga retensi urine. Aliran urine yang
terhambat mencari jalan keluar di tempat lain (di sebelah proksimal striktura)
dan akhirnya mengumpul di rongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan
abses periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada
keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut sebagai fistula
seruling.
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur uretra dibagi menjadi 3
tingkatan, yaitu:
1) Ringan : jika oklusi yang terjadi kurang dari sepertiga diameter lumen uretra
2) Sedang : jika terdapat oklusi setengah sampai sepertiga diameter lumen uretra
3) Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari setengah diameter lumen uretra
Pada penyempitan derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di korpus
spongiosum, yang dikenal dengan spongiofibrosis.

GEJALA KLINIS
Keluhan yang muncul berupa sulit kencing (harus mengejan), pancaran bercabang,
menetes, sampai retensi urine. Selain itu, bisa juga disertai pembengkakan/abses di
daerah perineum dan skrotum, serta bila terjadi infeksi sistematik juga timbul
panas badan, menggigil, dan kencing berwarna keruh.

[1]
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
Adapun pemeriksaan fisis yang dilakukan untuk mengetahui adanya striktur
uretra adalah:
1. Anamnesis yang lengkap (uretritis, trauma dengan kerusakan pada panggul,
straddle injury, instrumentasi pada uretra, penggunaan kateter uretra, kelainan
sejak lahir)
2. Inspeksi: meatus eksternus sempit,pembengkakan serta fistula di daerah
penis,skrotum,perineum,suprapubik.
3. Palpasi: teraba jaringan parut sepanjang perjalanan uretra anterior; pada
bagian ventral penis, muara fistula bila dipijit mengeluarkan getah/nanah
4. Rectal toucher (colok dubur)
Untuk mengetahui pola pancaran urine secara obyektif, dapat diukur dengan
cara sederhana atau dengan memakai alat uroflowmetri. Kecepatan pancaran
urine untuk pria normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang
dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi.
Untuk melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra dibuat
foto uretrografi. Lebih lengkap lagi dibuat foto bipolar sisto-uretrografi untuk
mengetahui panjang striktur, yaitu dengan memasukkan bahan kontras secara
antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Selain itu, untuk
melihat pembuntuan uretra secara langsung dilakukan melalui uretroskopi,
yaitu melihat striktur uretra transuretra.

DIAGNOSIS BANDING
1. Batu ureter dengan/tanpa infiltrate urin
2. Kelainan-kelainan dari kelenjar prostat

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan striktur uretra tergantung pada lokasinya, panjang/pendeknya
striktur, serta keadaan darurat (retensi urin, sistostomi (trokar, terbuka), infiltrat
urin, insisi multipel, dan drain).
Jika pasien datang karena retensi urine, secepatnya dilakukan sistostomi suprapubik
untuk mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan
pemberian antibiotika.

[2]
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktur uretra adalah:
1. Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati-hati. Tindakan
yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka baru
yang pada akhirnya menimbulkan striktur lagi yang lebih berat. Tindakan ini
dapat menimbulkan salah jalan (false route).
2. Uretrotomi interna, yaitu memotong jaringan sikatriks uretra dengan pisau
Otis/Sachse. Otis dikerjakan bila belum terjadi striktur uretra total, sedangkan
pada striktur yang lebih berat, pemotongan striktur dikerjakan secara visual
dengan memakai pisau Sachse.
3. Uretrotomi eksterna, adalah tindakan operasi terbuka berupa pemotongan
jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis di antara jaringan uretra
yang masih sehat.
Untuk penggunaan antibiotik lihat standar antibiotik SMF Urologi RSU Dr. Saiful
Anwar
Catatan untuk dokter umum:
a. Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, coba kateterisasi
(kateter karet/ lateks)
b. Bila terjadi retensi urin, maka dilakukan sistostomi, kemudian dirujuk
c. Bila terjadi infiltrat urin, maka dilakukan sistostomi dan insisi multipel,
kemudian dirujuk apabila proses infeksi sudah tenang.

PROGNOSIS
Striktur uretra kerap kali kambuh, sehingga pasien harus sering menjalani
pemeriksaan yang teratur oleh dokter. Penyakit ini dikatakan sembuh jika
setelah dilakukan observasi selama 1 tahun tidak menunjukkan tanda-tanda
kekambuhan.
Setiap pasien kontrol berkala dilakukan pemeriksaan pancaran urine yang
langsung dilihat oleh dokter atau dengan pemeriksaan uroflowmetri. Utuk
mencegah terjadinya kekambuhan, sering kali pasien harus menjalani
beberapa tindakan, antara lain dilatasi berkala dengan busi dan kateterisasi
bersih mandiri berkala (KBMB) atau CIC (clean intermitten catheterization),
yaitu pasien dianjurkan melakukan kateterisasi secara periodik pada waktu
tertentu dengan kateter yang bersih (tidak perlu steril).

[3]
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,
hal 153-156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smiths General Urology 17th ed., Mc Graw Hill
2004, hal. 77, 613, 620-623
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbells Urology 9th ed.,
WB Saunders, Philadephia 2002, hal. 3915-3930

[4]
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA (BPH)

BATASAN
Benign prostate hyperplasia (BPH) merupakan pembesaran jinak kelenjar prostat
yang disebabkan oleh hiperplasia beberapa atau semua komponen prostat,
antara lain jaringan kelenjar dan jaringan fibro-muskular. Hiperplasia ini dapat
menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika.

PATOFISIOLOGI
BPH diderita oleh lelaki berusia di atas 50 tahun. Penyebabnya belum diketahui
secara pasti, diduga antara lain karena perubahan hormonal dan
ketidakseimbangan faktor pertumbuhan.

GEJALA KLINIS
Berupa Lower Urinary Tract Symptom (LUTS), yaitu:
1. gangguan pengeluaran, berupa kelemahan pancaran urine, hesitansi,
proses kencing berlangsung lebih lama, rasa tidak puas pada akhir kencing.
2. gangguan penyimpanan, berupa frekuensi, urgensi, nokturia, dan disuria.
3. residu urine makin banyak dan terjadi retensi urine.
Untuk menentukan berat ringannya keluhan tersebut, maka digunakan
penghitungan dengan IPPS (International Prostate Symptom Score)

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


1. Pemeriksaan fisis
Inspeksi buli-buli:
ada/tidak penonjolan perut di daerah suprapubik (buli-buli penuh/kosong)
Palpasi Buli-buli:
tekanan di daerah suprapubik menimbulkan rangsangan ingin kencing
bila buli-buli berisi/penuh
Perkusi:
buli-buli penuh berisi urine memberi suara redup
2. Colok dubur

[5]
3. Laboratorium
darah lengkap, urine lengkap, biakan urine, serum kreatinin, BUN, PSA
(prostate spesific antigen)
4. Radiologi
USG
IVP atas indikasi
5. Uroflowmetri

DIAGNOSIS BANDING
1. Prostatitis
2. Keganasan prostat

KOMPLIKASI
1. Infeksi pada saluran kemih (ISK)
2. Urosepsis
3. Trabekulasi buli, divertikuli buli
4. Batu buli-buli
5. Hidronefrosis
6. Hematuria
7. Penurunan fungsi ginjal (pada yang disertai retensi urin kronis)

PENATALAKSANAAN
Tergantung pada berat ringan keluhan pasien
1. Ringan (IPPS<8, maks. flow rate >15ml/s)
Watchful waiting
2. Sedang (IPPS 9-18, maks. flow rate 10-15 ml/s)
Medikamentosa:
-blocker (tamsulosin,doxazosin atau terazosin); anti androgen
(inhibitor 5- reduktase)
3. Berat (IPPS >18, maks. flow rate <10 ml/s)
Operatif: pembedahan terbuka bila volume 100cc, endoskopik (TUR-P)
Syarat terapi watchful waiting dan medikamentosa, harus disingkirkan
kemungkinan keganasan prostat

[6]
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,
hal 153-156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smiths General Urology 16th ed, The
McGraw Hill Companies 2004, hal 367-374
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbells Urology 8th ed.,
WB Saunders, Philadephia 2002, hal 1297-1433
4. Ikatan Ahli Urologi Indonesia, Panduan Penatalaksanaan Benign Prostate
Hyperplasia (BPH), IAUI 2003

[7]
RUPTUR URETRA TRAUMATIKA

BATASAN
Ruptur uretra adalah kerusakan kontinuitas uretra yang disebabkan oleh ruda
paksa yang datang dari luar (patah tulang panggul atau straddle injury) atau
dari dalam (kateterisasi, tindakan-tindakan melalui uretra).

PATOFISIOLOGI
Uretra pars membranasea melalui diafragma urogenital dan bagian ini yang
sering mengalami kerusakan. Diafragma urogenital terikat pada rami inferior
os pubis dan bila terjadi patah tulang panggul maka diafragma bergerak dan
terjadi robekan pada uretra pars membranase tersebut. Uretra bagian
proksimal terdorong ke atas oleh hematoma di daerah periprostatika dan
perivesikal. Ruptur di daerah uretra anterior terjadi pada straddle injury atau
instrumentasi iatrogenic (kataterisasi,sistoskopi)

GEJALA KLINIS
1. Riwayat trauma yang khas: ruptur uretra anterior/straddle injury, ruptur
uretra posterior, patah tulang panggul (os pubis/simpisis pubis).
2. Pada umunya didapatkan perdarahan uretra, baik pada ruptur anterior
maupun posterior.
3. Pada ruptur uretra posterior biasanya tidak dapat melakukan miksi,
sedangkan pada ruptur uretra anterior didapatkan hematoma atau
pembengkakan di daerah kantong buah zakar, kadang-kadang disertai pula
dengan pembengkakan perineum dan batang penis, disebut sebagai
hematoma kupu-kupu.
4. Pada patah tulang panggul dan ruptur uretra posterior, kemungkinan
besar terjadi kerusakan organ ganda (multipel).

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


Pemeriksaan colok dubur pada pasien dengan patah tulang panggul dan
persangkaan ruptur uretra, didapatkan massa lunak yang menonjol ke dalam
rektum yang disebabkan kumpulan darah rongga panggul. Selain itu prostat
didapatkan tidak berada di tempatnya semula, prostat pindah ke atas

[8]
(melayang). Pemeriksaan selanjutnya adalah pembuatan uretrogram retrogad
(pada ruptur uretra terjadi ekstravasasi cairan kontras) serta uretrografi.

DIAGNOSIS BANDING
Ruptur buli-buli
bila ada pembuatan uretrogram tidak didapatkan ekstravasasi kontras
sepanjang uretra, cairan kontras ke dalam buli-buli dan terdapat ekstravasasi
kontras di luar buli.

KOMPLIKASI
1. Dini : - perdarahan
- Infeksi
- Infiltrate urin
2. Lanjut : striktur uretra

PENATALAKSANAAN
1. Perdarahan diatasi dengan pemasangan infus dan pemberian cairan
elektrolit atau darah, tergantung derajat perdarahan yang ditemui
2. Pembedahan darurat
Pada ruptur uretra selalu dilakukan sistostomi untuk mengalihkan aliran
urin (diversion)
3. PER (Primary Endoscopy Realignment), selanjutnya dipasang kateter 16Fr
selama 2 minggu
4. Bila PER tidak berhasil, dilakukan sachse atau end to end anastomose 4-
6 bulan sesudah trauma
5. Kateter sistostomi diganti tiap 2 minggu, sampai dkerjakan operasi
definitive (lihat juga tata laksana striktur uretra)

Catatan :
Tidak dibenarkan melakukan kateterisasi pada persangkaan rupture uretra

[9]
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,
hal 153-156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smiths General Urology 16th ed, The
McGraw Hill Companies 2004, hal 367-374
Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbells Urology 8th ed.,
WB Saunders, Philadephia 2002, hal 1297-1433

[10]
DIVISI STONE

Tim Penyusun:
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
BATU SALURAN KEMIH (BSK)

BATASAN
Batu saluran kemih (BSK) merupakan suatu kondisi didapatkannya batu di
dalam saluran kemih (mulai dari kaliks sampai dengan uretra anterior).

PATOFISIOLOGI/ ETIOLOGI
Pembentukan BSK diduga ada hubungannya dengan gangguan aliran urine,
gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan lain yang
masih belum terungkap (idiopatik).
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
batu saluran kemih pada seseorang. Faktor-faktor itu adalah faktor intrinsik yaitu
keadaan yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh
yang berasal dari lingkungan di sekitarnya.
1. Faktor intrinsik, meliputi:
a) Herediter (keturunan)
b) Umur (paling sering didapatkan pada usia 3050 tahun)
c) Jenis kelamin
jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan pasien
perempuan.
2. Beberapa faktor ekstrinsik diantaranya adalah:
a) Geografi
pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu saluran
kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain sehingga dikenal sebagai
daerah stone belt (sabuk batu)
b) Iklim dan temperatur
c) Asupan air
kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral kalsium pada air
yang dikonsumsi, dapat meningkatkan insiden batu saluran kemih
d) Diet
diet banyak purin, oksalat, dan kalsium mempermudah terjadinya
penyakit batu saluran kemih.
e) Pekerjaan
sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya banyak duduk atau
kurang aktifitas (sedentary life).
[11]
GEJALA KLINIS
Tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu, dan penyulit/komplikasi
yang telah terjadi. Penyakit BSK dapat memberikan gejala klinis yang sangat
bervariasi, dari yang tanpa keluhan sampai dengan keluhan yang sangat berat.
Keluhan yang paling sering dirasakan adalah nyeri pinggang (kmng) yang
dapat bersifat kolik ataupun bukan kolik. Nyeri tersebut terasa mulai dari
pinggang menjalar ke depan dan ke arah kemaluan disertai nausea dan muntah,
selain itu dapat juga berupa nyeri saat kencing. Hematuria seringkali dikeluhkan
akibat trauma pada mukosa saluran kencing, yang terkadang didapatkan dari
pemeriksaaan urinalisis berupa hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam
harus dicurigai suatu urosepsis dan ini merupakan kedaruratan Urologi. Hal lain
yang sering dikeluhkan adalah terjadinya retensi urine jika didapatkan batu
pada uretra atau leher buli buli.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan nyeri ketok pada daerah kosto-
vertebra, teraba ginjal pada sisi sakit (akibat hidronefrosis), terlihat tanda-tanda
gagal ginjal, retensi urine, dan jika disertai infeksi didapatkan demam/menggigil.
Pemeriksaan sedimen urine menunjukkan adanya leukosituria, hematuria, dan
dijumpai kristal-kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urine mungkin
menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea. Pemeriksaan faal
ginjal bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal
dan untuk mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto PIV. Perlu juga
diperiksa kadar elektrolit yang diduga sebagai faktor penyebab timbulnya batu
saluran kemih, antara lain kadar dari kalsium, oksalat, fosfat, maupun urat di
dalam darah maupun urine.
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya
batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium
fosfat bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain,
sedangkan batu asam urat bersifat non opak (radio-lusen).
Pemeriksaan Pielografi Intra Vena (PIV) ini bertujuan untuk menilai keadaan
anatomi dan fungsi ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batu semi-opak
ataupun batu non opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos perut. Jika PIV
belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih akibat adanya
penurunan fungsi ginjal, sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi
retrograd.

[12]
Pemeriksaan USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan
PIV, yaitu ketika pasien memiliki alergi terhadap bahan kontras, faal ginjal yang
menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan USG dapat menilai
adanya batu di ginjal atau di buli-buli (yang ditunjukkan sebagai echoic shadow),
hidronefrosis, pionefrosis, atau pengkerutan ginjal.

DIAGNOSIS BANDING
1. Pielonefrosis akuta
2. Tumor ginjal
3. Tuberkuloasis ginjal
4. Kolik dari organ lain

PENATALAKSANAAN
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk
melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah telah
menimbulkan obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi sosial.
Batu dapat dikeluarkan dengan cara medikamentosa, dipecahkan dengan ESWL,
melalui tindakan endourologi, bedah laparoskopi, atau pembedahan terbuka.
Medikamentosa
Terapi medikamentosa ditujukan untuk batu yang ukurannya kurang dari 5 mm,
karena diharapkan batu dapat keluar spontan. Terapi yang diberikan bertujuan
untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran urine dengan pemberian diuretikum,
dan minum banyak supaya dapat mendorong batu keluar dari saluran kemih.
ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)
Alat ESWL adalah pemecah batu yang digunakan untuk memecah batu ginjal,
batu ureter proksimal, atau batu buli-buli tanpa melalui tindakan invasif dan
tanpa pembiusan. Batu dipecah menjadi fragmen kecil sehingga mudah
dikeluarkan melalui saluran kemih. Tidak jarang pecahan batu yang sedang keluar
menimbulkan perasaan nyeri kolik dan menyebabkan hematuria.
Endourologi
Tindakan endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu
saluran kemih, yaitu berupa tindakan memecah batu dan mengeluarkannya dari
saluran kemih melalui alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih.
Alat itu dimasukkan melalui uretra atau melalui insisi kecil pada kulit (perkutan).
Proses pemecahanan batu dapat dilakukan secara mekanik, dengan memakai
energi hidrolik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
[13]
Beberapa tindakan endourologi itu adalah:
1. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy)
yaitu mengeluarkan batu yang berada dalam saluran ginjal, dengan cara
memasukkan alat endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada kulit. Batu
kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu menjadi fragmen-
fragmen kecil.
2. Litotripsi
yaitu memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan alat
pemecah batu (litotriptor) ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan
evakuator Ellik.
3. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi
yaitu memasukkan alat ureteroskopi per-uretram guna melihat keadaan
ureter atau sistem pielo-kaliks ginjal. Dengan memakai energi tertentu, batu
yang berada di dalam ureter maupun sistem pelvikalises dapat dipecah
melalui tuntunan ureteroskopi/ureterorenoskopi ini.
4. Ekstraksi Dormia
yaitu mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat keranjang
Dormia

Bedah Laparoskopi
Pembedahan laparoskopi untuk mengambil batu saluran kemih saat ini
sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk mengambil batu ureter.

Bedah terbuka
Di klinik atau rumah sakit yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk
tindakan endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, maka pengambilan batu masih
dilakukan melalui pembedahan terbuka.
Pembedahan terbuka itu antara lain adalah:
1. Pielolitotomi atau Nefrolitotomi
2. Ureterolithotomi
3. Vesicolithotomi
4. Urethrolithotomi
5. Nefrektomi

[14]
KOMPLIKASI
1. Obstruksi: Hidroureter,hidronefrosis
2. Infeksi: Sistitis, pionefrosis,urosepsis
3. Gagal ginjal akut dan kronis

PENCEGAHAN
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang tidak
kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Angka
kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50%
dalam 10 tahun.
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur yang
menyusun batu saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada
umumnya pencegahan itu berupa:
1. menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi urine
sebanyak 2-3 liter per hari,
2. diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu,
3. aktivitas harian yang cukup, dan
4. pemberian medikamentosa.
Beberapa diet yang dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah:
1. rendah protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urine dan
menyebabkan suasana urine menjadi lebih asam,
2. rendah oksalat,
3. rendah garam karena natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri, dan
4. rendah purin. Diet rendah kalsium tidak dianjurkan kecuali pada pasien yang
menderita hiperkalsiuri absortif tipe II.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,
hal 153-156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smiths General Urology 16th ed., Mc Graw Hill
2004, hal. 77, 613, 620-623
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbells Urology 8th ed.,
WB Saunders, Philadephia 2002, hal. 3915-3930

[15]
[16]
DIVISI ANDROLOGY/MENS HEALTH

Tim Penyusun:
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
TORSIO TESTIS

BATASAN
Terpeluntirnya funikulus spermatikus yang berakibat terjadinya gangguan
aliran darah pada testis.

PENYEBAB
1. Trauma
2. Kelainan sistem penyangga testis (anomali bell-clapper)

PATOFISIOLOGI
Secara fisiologis otot kremaster berfungsi menggerakkan testis mendekati dan
menjauhi rongga abdomen guna mempertahankan suhu ideal untuk testis.
Adanya kelainan sistem penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami
torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan
pergerakan yang berlebihan itu, antara lain perubahan suhu yang mendadak,
celana dalam yang terlalu ketat dan trauma yang mengenai skrotum.

GEJALA KLINIS
Keluhan berupa nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan
diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan ini dikenal sebagai akut skrotum.
Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut sebelah bawah, sehingga jika
tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Pada bayi gejalanya
tidak khas yakni gelisah, rewel, atau tidak mau menyusui.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


1. Anamnesis yang lengkap mengenai proses kejadian
2. Inspeksi: testis membengkak, letaknya lebih tinggi dan lebih horisontal
daripada testis sisi kontralateral.
3. Palpasi: kadang-kadang pada torsio testis yang baru saja terjadi dapat diraba
adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus.
4. Pemeriksaan sedimen urine tidak menunjukkan adanya lekosit dalam urine
dan pemeriksaan darah tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada
torsio testis yang sudah lama dan telah mengalami keradangan steril.

[17]
DIAGNOSIS BANDING
1. Epididimitis akut.
Secara klinis sulit dibedakan dengan torsio testis. Nyeri skrotum akut
biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh, keluarnya nanah dari
uretra. Jika dilakukan elevasi atau pengangkatan testis terkadang nyeri
akan berkurang, sedangkan pada torsio testis nyeri tetap ada. Pada
pemeriksaan sedimen urine didapatkan adanya leukosituria atau
bakteriuria
2. Hernia skrotalis inkarserata
3. Hidrokel terinfeksi

PENATALAKSANAAN
1. Detorsi manual
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya dengan
jalan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena
biasanya ke medial maka dianjurkan memutar kearah lateral dulu dan jika
tidak terjadi perubahan dicoba ke arah medial. Jika detorsi berhasil
operasi harus tetap dilaksanakan.
2. Operasi
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis
pada arah yang benar dan setelah itu dinilai apakah testis yang
mengalami torsio masih voable atau sudah nekrosis.Jika testis masih
hidup, dikaukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos kemudian
disusul orkidopeksi pada testis kontralateral.
Orkidopeksi dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap
pada tiga tempat, sedangkan pada testis yang sudah nekrosis dilakukan
orkidektomi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,
hal 153-156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smiths General Urology 16th ed., Mc Graw Hill
2004
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbells Urology 8th ed.,
WB Saunders, Philadephia 2002

[18]
HIDROKEL

BATASAN
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan diantara lapisan parietalis
dan viseralis tunika vaginalis, yang dalam keadaan normal cairan ini berada dalam
keseimbangan antara produksi dan resorbsi oleh sistem limfatik di sekitarnya.

PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI
Hidrokel pada bayi baru lahir dapat disebabkan oleh belum sempurnanya
penutupan prosesus vaginalis dan belum sempurnanya sistem limfatik di daerah
skrotum dalam melakukan resorbsi cairan hidrokel.
Hidrokel pada orang dewasa dapat terjadi secara idiopatik(primer) dan sekunder.
Penyebab sekunder terjadi karena kelainan pada testis atau epididimis yang
menyebabkan terganggunya sistem sekresi atau resorbsi cairan di kantong
hidrokel.

GEJALA KLINIS
1. Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri.
2. Pada hidrokel testis dan hidrokel funikulus besarnya benjolan dikantong
skrotum tidak berubah sepanjang hari, sedangkan pada hidrokel
komunikan besarnya dapat berubah-ubah yaitu bertambah besar pada
saat anak menangis.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


1. Tampak benjolan di skrotum dengan konsistensi kistus dan pada
penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi.
2. Menurut letak kantong hidrokel terhadap testis, hidrokel dapat dibedakan
menjadi:
a. hidrokel testis bila kantong hidrokel seolah-olah mengelilingi testis
sehingga testis tidak dapat diraba
b. hidrokel funikulus bila kantong hidrokel berada di kranial dari testis dan
hidrokel komunikan bila terdapat hubungan antara prosesus vaginalis
dengan rongga peritoneum (pada palpasi kantong hidrokel terpisah dari
testis dan dapat dimasukkan ke dalam rongga abdomen).

[19]
DIAGNOSIS BANDING:
1. Tumor testis
2. Edema skrotum

PENATALAKSANAAN
Hidrokel pada bayi biasanya ditunggu hingga anak mencapai usia 1 tahun
dengan harapan setelah prosesus vaginalis menutup, hidrokel akan sembuh
sendiri, tetapi jika hidrokel masih tetap ada atau bertambah besar maka perlu
untuk dilakukan koreksi.
Pada hidrokel kongenital dilakukan pendekatan inguinal karena seringkali
disertai hernia inguinalis sehingga pada saat koreksi sekaligus melakukan
herniorafi.
Pada hidrokel testis dewasa dilakukan pendekatan skrotal dengan melakukan
eksisi dan marsupialisasi, sedang pada hidrokel funikuli dilakukan ekstirpasi
hidrokel secara intoto.

KOMPLIKASI
Jika dibiarkan, hidrokel yang cukup besar mudah mengalami trauma dan
hidrokel permagna bisa menekan pembuluh darah yang menuju ke testis
sehingga menimbulkan atrofi testis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Macferlane NIT, Urology 3rd ed., Lippincott William & Wilkins, Philadelphia
2001.
2. Siroky M.B., Edelsteia R.A., Krane R.J., Manual of Urology 2nd ed., Lippincott
Williams & Wilkins, Philadelphia 1999.
3. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smiths General Urology 16th ed., Mc Graw Hill
2004
4. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbells Urology 8th ed.,
WB Saunders, Philadephia 2002

[20]
VARIKOKEL

BATASAN
Varikokel adalah dilatasi abnormal dari vena pada pleksus pampiniformis
akibat gangguan aliran darah balik vena spermatika interna.

PATOGENESIS
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab varikokel,
tetapi dari pengamatan membuktikan bahwa varikokel sebelah kiri lebih
sering dijumpai daripada sebelah kanan. Jika terdapat varikokel di sebelah
kanan atau varikokel bilateral patut dicurigai adanya: kelainan pada rongga
retroperitoneal (terdapat obstruksi vena karena tumor), muara vena
spermatika kanan pada vena renails kanan, atau adanya situs inversus.
Varikokel dapat menimbulkan gangguan proses spermatogenesis melalui
beberapa cara, antara lain:
1. Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi testis sehingga testis mengalami
hipoksia karena kekurangan oksigen.
2. Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (antara lain katekolamin dan
prostaglandin) melalui vena spermatika interna ke testis.
3. Peningkatan suhu testis.
4. Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan,
memungkinkan zat-zat hasil metabolit tadi dapat dialirkan dari testis kiri
ke testis kanan sehingga menyebabkan gangguan spermatogenesis testis
kanan dan pada akhirnya terjadi infertilitas.

GEJALA KLINIS
Keluhan yang sering muncul adalah belum mempunyai anak setelah beberapa
tahun menikah, adanya benjolan di atas testis, dan nyeri pada testis.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


Pemeriksaan dilakukan dalam posisi berdiri, dengan memperhatikan keadaan
skrotum kemudian dilakukan palpasi.
Secara klinis varikokel dibedakan dalam 3 tingkatan/derajat:

[21]
1. Derajat kecil adalah varikokel yang dapat dipalpasi setelah pasien
melakukan manuver valsava
2. Derajat sedang adalah varikokel yang dapat dipalpasi tanpa melakukan
manuver valsava
3. Derajat besar adalah varikokel yang sudah dapat dilihat bentuknya tanpa
melakukan manuver valsava.
Untuk menilai seberapa jauh varikokel telah menyebabkan kerusakan pada tubuli
seminiferi dilakukan pemeriksaan analisis semen.

TERAPI
Varikokel yang telah menimbulkan gangguan fertilitas atau gangguan
spermatogenesis merupakan indikasi untuk mendapatkan suatu terapi.
Tindakan yang dikerjakan adalah ligasi tinggi vena spermatika interna secara
Palomo melalui operasi terbuka atau bedah laparoskopi.

EVALUASI
Pasca tindakan dilakukan evaluasi keberhasilan terapi, dengan melihat beberapa
indikator antara lain berupa bertambahnya volume testis, perbaikan hasil analisis
semen (yang dikerjakan setiap 3 bulan), atau pasangan itu menjadi hamil.
Pada kerusakan testis yang belum parah, evaluasi pasca bedah vasoligasi
tinggi dari Palomo didapatkan 80% terjadi perbaikan volume testis, 60-80%
terjadi perbaikan analisis semen, dan 50% pasangan menjadi hamil.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo B B, Dasar-dasar urologi, 2nd edition, 2007, 142-145.
2. Siroky M.B, Oates R.D, Babayan R.K, hand book of Urology 3rd ed,
Lippincot Williams & Wilkins, Philadelphia 2004, 404-405.
3. Walsh P.C, Retik A.B, Vaughn ED, Wein A.J, Campbells Urology 9th ed,
Saunders Philadelphia 2004, 2115-2122.

[22]
DISFUNGSI EREKSI

BATASAN
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang menetap seorang pria untuk
mencapai atau mempertahankan ereksi yang cukup guna melakukan aktifitas
seksual yang memuaskan.

ETIOLOGI
Etiologi disfungsi ereksi dibagi menjadi dua kategori yaitu psikogenik dan organik.
Dahulu,faktor psikogenik dianggap sebagai penyebab terbesar disfungsi ereksi,
namun saat ini lebih dari 80% kasus disebabkan faktor organik. Faktor organik
terbagi atas vaskulogenik, neurogenik dan hormonal. Drug-induced,dan kerisakan
kavernosal,dimana factor vaskulogenik yaitu gangguan aliran (inflow) atau arterial
merupakan kasus yang sering ditemukan.

DIAGNOSIS
Evaluasi terhadap pasien yang mengeluh disfungsi ereksi meliputi evaluasi
seksual, evaluasi medic dan evaluasi psikologik. Wawancara atau anamnesis
yang cermat dapat membedakan antara penyebab psikogenik dan
organic.Untuk membantu mengidentifikasi adanya disfungsi ereksi,digunakan
suatu International Index Erectile Function-5 (IIEF-5),terdiri dari 5
pertanyaan,dan diberi skor 1-5,jika total dari scoring hasilnya 21
menunjukkan adanya disfungsi ereksi .
Pada pemeriksaan fisik, perhatian khusus diberikan pada system yang terlibat
dengan fungsi ereksi yaitu kardiovaskular,neurologi dan
urogenital,Tpemeriksaan karidovaskular mencakup tanda vital (terutama
tekana darah dan nadi) dan tanda-tanda hipertensi atau penyakit jantung
iskemik. Bruit arteri abdominalis atau femoralis dan hilangnya nadi
ekstremitas bawah mengindikasikan penyakit vascular.
Nocturnal Penile Tumescene (NPT) merupakan uji untuk mengetahui adanya
ereksi nocturnal pada saat tidur. Pada pasien dengan disfungsi ereksi
psikogenik menunjukkan ereksi yg nocturnal yang normal,sedangkan pada
disfungsi ereksi organic terdapat kelainan pada ereksi nocturnal.

[23]
Kaversonografi/kavernosometri merupakan pencitraan sekaligus mengukur
tekanan corpora kavernosa.
Ultrasonografi Doppler, dapat dipakai untuk menilai aliran darah pada penis
setelah dilakukan induksi ereksi
Injeksi Intrakavernosa dengan obat-obat vasoaktif,dimana dinilai rigiditas
penis mulai dari tidak ada respon hingga terjadi rigiditas penuh setelah
penyuntikkan.

PENATALAKSANAAN
Lini Pertama
dengan pemberian obat per oral, yaitu vasodilator arteri atau arteriol
pada korpus kavernosum antara lain sildenafil sitrat, aphomorphine
sublingual, fentolamin, Yohimbin, Pentoksililin, dan trad
pemakaian alat vakum penis dan terapi psikososial
Lini Kedua
injeksi obat-obatan vasikatif secara intrakavernosa, antara lain papaverin,
fentolamin, prostanglandin E1, atau kombinasinya
Lini Ketiga
pemasangan prosthesis penis, yang berbentuk non inflatable (tidak dapat
mengembang) dan inflatable (dapat mengembang.)

DAFTAR PUSTAKA
1. Dean RC, Lue TF. 2005. Physiology of Penile Erection and Pathophysiology
of Erectile Dysfunction. Urol Clin North Am. 2005 November; 32(4): 379v
2. Miller AT.1998, Diagnostic Evaluation of erectile Dysfunction. American
Family Physichian.(Am Fam Physician 2000;61:95-104,109-10.
3. Purnomo BB., 2007. Dasar-Dasar Urologi. Malang CV.Sagung Seto.hal.197-
206.
1.

[24]
DIVISI URO-ONCOLOGY

Tim Penyusun:
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
TUMOR TESTIS

BATASAN
Semua pembesaran dan perubahan konsistensi dari testis harus dianggap
suatu keganasan, sampai terbukti sebaliknya.

EPIDIMIOLOGI
Tumor testis merupakan keganasan terbanyak pada pria yang berusia 15-35
tahun, dan merupakan 1-2% semua neoplasma pada pria. Lebih dari 5% kasus
adalah tumor testis bilateral.

ETIOLOGI
Terdapat beberapa faktor yang erat kaitannya dengan peningkatan kejadian
tumor testis, antara lain:
1. Maldesensus testis
2. Trauma testis
3. Atrofi atau infeksi testis
4. Pengaruh hormon
Terdapat 7-10% pasien dengan karsinoma testis menderita maldesensus
testis, proses tumorgenesis pasien dengan maldesensus 48 kali lebih besar
daripada testis normal meskipun sudah dilakukakn orkidopeksi.

KLASIFIKASI
Sebagian besar (95%) tumor testis berasal dari sel germinal sedangkan sisanya
berasal dari non germinal.
1. Germinal
a) Seminoma
1. Klasik
2. Anaplastik
3. Spermatositik
b) Non seminoma
1. Karsinoma sel embrional
2. Koriokarsinoma
3. Teratoma
4. Tumor yolk sac

[25]
2. Non germinal
a) Tumor sel Leydig
b) Tumor sel Sertoli
c) Gonadoblastoma
3. Sekunder (metastase) tumor
a) Limfoma
b) Leukemia infiltratif
PENYEBARAN
Limfogen
Tumor testis menyebar melalui pembuluh limfe menuju kelenjar limfe
retroperitoneal (para aorta), kemudian menuju ke kelenjar limfe
mediastinal dan supraklavikula
Hematogen
Tumor menyebar secara hematogen ke paru, hepar dan otak
GAMBARAN KLINIS
1. Keluhan utama : pembesaran testis tanpa nyeri
2. Keluhan akibat penyebaran (M) 10%
Nyeri belakang (back pain)
Kolik ureter
Tumor abdomen
Ginekomasti
Batuk
Pada pemeriksaan fisis testis terdapat benjolan padat keras, tidak nyeri pada
palpasi, dan tidak menunjukkan tanda transiluminasi. Diperhatikan adanya
infiltrasi tumor pada funikulus atau epididimis. Perlu dicari kemungkinan adanya
massa di abdomen, benjolan kelenjar supraklavikuler, ataupun ginekomasti.
PENANDA TUMOR
Penanda tumor yang paling sering diperiksa pada tumor testis adalah:
1. FP (Alfa Feto Protein) adalah glikoprotein yang diproduksi oleh embrional,
teratokarsinoma, atau tumor yolk sac tetapi tidak diproduksi oleh
koriokarsinoma murni dan seminoma murni.
2. HCG (Human Chorionic Gonadotropin) adalah glikoprotein pada keadaan
normal diproduksi oleh jaringan trofoblas. Penanda ini meningkat pada semua
pasien koriokarsinoma, 40-60% pada karsinoma embrional, 5-10% pada
seminoma murni

[26]
PENCITRAAN
Pemeriksaan ultrasonografi dapat membedakan dengan jelas lesi intratestikuler
atau lesi ekstratestikuler dan massa padat atau kistik. Pemeriksaan CT Scan
berguna menentukan ada tidaknya metastasis pada retroperitoneum.

DIAGNOSIS BANDING
1. Orko-epididimitis
2. Hidrokel
3. Spermatokel

PENATALAKSANAAN
Pada dugaan tumor testis tidak diperkenankan melakukan biopsi testis untuk
penegakan diagnosis patologi anatomi tetapi dengan cara mengambil jaringan
melalui radikal orkidektomi.
Dari hasil pemeriksaan patologi dapat dikategorikan antara seminoma dan
non seminoma. Jenis seminoma memberikan respon yang yang cukup baik
terhadap radiasi sedangkan jenis non seminoma tidak sensitif. Oleh karena itu
radiasi eksterna dipakai sebagai ajuvan terapi pada seminoma testis. Pada non
seminoma yang belum melewat stadium III dilakukan pembersihan kelenjar
retroperitoneal atau retroperitoneal lymphnode disection (RPLND). Tindakan
diseksi kelenjar pada pembesaran aorta yang sangat besar didahului dengan
pemberian sitostatika terlebih dahulu dengan harapan akan terjadi
downstaging dan ukuran tumor akan mengecil. Sitostatika yang diberikan di
berbagai klinik tidak sama. Di beberapa klinik diberikan kombinasi regimen
PVB (Sisplatinum, Vinblastin, dan Bleomisin).

DAFTAR PUSTAKA
1. Albers P, Albrecht W, Algaba F, Bokemeyer C, Cedermark GC, Fizazi K,
Horwich A, Laguna MP. Guidelines on testicular cancer. In European
Association of Urology Guidelines, 2010.
2. Presti JC. Tumor of the testis. In Tanagho EA, Mc Annich JW, Smiths
General Urology 17th ed. Mc Grow Hill Companies 2008. 375-383.
3. Purnomo BB. Dasar-dasar Urologi 2nd ed, 2007, 181-186.
4. Richie JP, Steele GS. Neoplasm of the testis. In Wein AJ, Kavoussi LR, Novick
AC, Partin AW. Campbells Urology 9th ed. Saunders Philadelphia 2007.
5. Siroky MB, Oates RD, Babayan RK. Handbook of urology 3rd ed. Lippincot
Williams & Walkins 2004. 284-291.

[27]
HEMATURIA

BATASAN
Hematuria adalah didapatkannya sel-sel darah merah di dalam urine. Secara
visual, hematuria dibedakan dalam 2 keadaan, yaitu hematuria makroskopik dan
mikroskopik. Hematuria makroskopik adalah hematuria yang secara kasat mata
dapat dilihat sebagai urine yang berwarna merah dan hematuria mikroskopik
adalah hematuria yang secara kasat mata tidak dapat dilihat sebagai urine yang
berwarna merah tetapi pada pemeriksaan mikroskopik diketemukan lebih dari 2
(dua) sel darah merah per lapangan pandang.
Hematuria makroskopik yang berlangsung terus menerus dapat mengancam jiwa
karena dapat menimbulkan penyulit berupa: terbentuknya gumpalan darah yang
dapat menyumbat aliran urine, eksanguinasi sehingga menimbulkan syok
hipovolemik/anemi, dan menimbulkan urosepsis.

PATOFISIOLOGI
Hematuria dapat disebabkan oleh kelainan-kelainan yang berada di dalam
sistem urogenitalia atau kelainan yang berada di luar sistem urogenitalia.
Kelainan yang berasal dari sistem urogenitalia antara lain adalah:
1. Infeksi/inflamasi antara lain pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis,
sistitis, dan uretritis
2. Tumor jinak atau tumor ganas yaitu: tumor Wilm, tumor Grawitz, tumor
pielum, tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hiperplasia
prostat jinak.
3. Kelainan bawaan sistem urogenitalia, antara lain : kista ginjal dan ren
mobilis
4. Trauma yang mencederai sistem urogenitalia.
5. Batu saluran kemih.
Adapun kelainan-kelainan yang berasal dari luar sistem urogenitalia,
diantaranya adalah kelainan pembekuan darah, SLE, dan kelainan sistem
hematologik yang lain.

[28]
GEJALA KLINIS
Pasien dengan hematuria mikroskopik biasanya dijumpai secara kebetulan,
sewaktu pasien tersebut melakukan pemeriksaan urinalisis karena suatu
indikasi atau pada saat melakukan general check-up. Adapun pasien dengan
gross hematuria biasanya datang ke dokter karena mendapati urine yang
berwarna merah atau datang karena keluhan tidak bisa miksi karena adanya
sumbatan bekuan darah.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


Anamnesis
Dalam mencari penyebab hematuria perlu digali data yang terjadi pada saat
episode hematuria, antara lain:
Bagaimanakah warna urine yang keluar?
Apakah diikuti dengan keluarnya bekuan-bekuan darah?
Di bagian manakah pada saat miksi urine berwarna merah?
Apakah diikuti dengan perasaan sakit ?
Karakteristik suatu hematuria dapat dipakai sebagai pedoman untuk
memperkirakan lokasi penyakit primernya, yaitu apakah warna merah terjadi
pada awal miksi, semua proses miksi, atau pada akhir miksi.
Tabel Porsi Hematuria Pada Saat Miksi
Inisial Total Terminal
Terjadi pada awal miksi seluruh proses miksi akhir miksi
Tempat kelainan uretra buli-buli, ureter atau ginjal leher buli-buli

Kualitas warna urine dapat juga menolong menentukan penyebab hematuria.


Darah baru yang berasal dari buli-buli, prostat, dan uretra berwarna merah
segar sedangkan darah lama atau yang berasal dari glomerulus berwarna
lebih coklat dengan bentuk seperti cacing (vermiform).
Nyeri yang menyertai hematuria dapat berasal dari nyeri di saluran kemih
bagian atas berupa kolik atau gejala iritasi dari saluran kemih bagian bawah
berupa disuria atau stranguria.
Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan diperhatikan adanya hipertensi yang mungkin merupakan
manifestasi dari suatu penyakit ginjal. Syok hipovolumik dan anemia mungkin
disebabkan karena banyak darah yang keluar. Diketemukannya tanda-tanda
[29]
perdarahan di tempat lain adalah petunjuk adanya kelainan sistem
pembekuan darah yang bersifat sistemik.
Palpasi bimanual pada ginjal perlu diperhatikan adanya pembesaran ginjal
akibat tumor, obstruksi, ataupun infeksi ginjal. Massa pada suprasimfisis
mungkin disebabkan karena retensi bekuan darah pada buli-buli. Colok dubur
dapat memberikan informasi adanya pembesaran prostat benigna maupun
karsinoma prostat.
Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan urinalisis
Pemeriksaan ini dapat mengarahkan kita kepada hematuria yang disebabkan
oleh faktor glomeruler ataupun non glomeruler. Pada pemeriksaan pH urine
yang sangat alkalis menandakan adanya infeksi organisme pemecah urea di
dalam saluran kemih, sedangkan pH urine yang sangat asam mungkin
berhubungan dengan batu asam urat. Sitologi urine diperlukan untuk
mencari kemungkinan adanya keganasan sel-sel urotelial.
2. Pielografi Intra Vena (PIV)
Merupakan pemeriksaan rutin yang dianjurkan pada setiap kasus hematuria.
Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan adanya batu saluran kemih, kelainan
bawaan saluran kemih, tumor-tumor urotelium, trauma saluran kemih, serta
beberapa penyakit infeksi saluran kemih. Adanya bekuan darah atau tumor
urotelium sering kita jumpai sebagai gambaran filling defect yang bisa dilihat
pada sistem pelvikaliseal, ureter, dan buli-buli.
3. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat adanya massa yang solid atau kistus,
adanya batu non opak, bekuan darah pada buli-buli/pielum, dan untuk
mengetahui adanya metastasis tumor di hepar.
4. Sistoskopi atau sisto-uretero-renoskopi
Pemeriksaan ini dikerjakan jika pemeriksaan penunjang di atas belum
dapat menyimpulkan penyebab hematuria. Tindakan itu biasanya
dilakukan setelah bekuan darah yang ada di dalam buli-buli dibersihkan
sehingga dapat diketahui asal perdarahan.

DIAGNOSIS BANDING
Harus diyakinkan dahulu, benarkah seorang pasien menderita hematuria, pseudo
hematuria, atau perdarahan per-uretra. Pseudo atau false hematuria adalah urine
yang berwarna merah atau kecoklatan yang bukan disebabkan sel-sel darah
merah. Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena hemoglobinuria, mioglobinuria,
[30]
konsentrasi asam urat yang meningkat, sehabis makan/minum bahan yang
mengandung pigmen tumbuh-tumbuhan yang berwarna merah, atau setelah
mengkonsumsi beberapa obat-obatan tertentu antara lain: fenotiazina, piridium,
porfirin, rifampisin, dan fenolftalein. Perdarahan per-uretra adalah keluarnya
darah dari meatus uretra eksterna tanpa melalui proses miksi, hal ini sering terjadi
pada trauma uretra atau tumor uretra.

KOMPLIKASI
1. Retensi urine karena bekuan darah
2. Infeksi
3. Anemia yang berat, bila hematuria profus atau berlangsung lama

PENATALAKSANAAN
Jika terdapat gumpalan darah pada buli-buli yang menimbulkan retensi urine,
dicoba dilakukan kateterisasi dan pembilasan buli-buli dengan memakai
cairan garam fisiologis, tetapi jika tindakan ini tidak berhasil, pasien
secepatnya dirujuk untuk menjalani evakuasi bekuan darah transuretra dan
sekaligus menghentikan sumber perdarahan. Jika terjadi eksanguinasi yang
menyebabkan anemia, harus difikirkan pemberian transfusi darah. Demikian
juga jika terjadi infeksi harus diberikan antibiotika.
Setelah hematuria dapat ditanggulangi, tindakan selanjutnya adalah mencari
penyebabnya dan selanjutnya menyelesaikan masalah primer penyebab
hematuria.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Edisi Kedua. CV Sagung Seto, Jakarta, 2007,
hal 153-156.
2. Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smiths General Urology 16th ed, The
McGraw Hill Companies 2004, hal 367-374
3. Walsh P.C., Retik A.B., Vaughan E.D., Wein A.J., Campbells Urology 8th ed.,
WB Saunders, Philadephia 2002, hal 1297-1433

[31]
[32]
DIVISI PEDIATRIC UROLOGY

Tim Penyusun:
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
UNDESENSUS TESTIS

BATASAN
Merupakan kondisi ketika testis tidak berada di dalam kantong skrotum, tetapi
berada di salah satu tempat sepanjang jalur penurunan testis yang normal.

PATOFISIOLOGI/ETIOLOGI
A. Abnormalitas gubernakulum testis
Penurunan testis dipandu oleh gubernakulum. Massa gubernakulum yang
besar akan mendilatasi jalan testis, kontraksi, involusi, dan traksi serta fiksasi
pada skrotum akan menempatkan testis dalam kantong skrotum. Ketika testis
telah berada di kantong skrotum gubernakulum akan diresorbsi.
B. Defek intrinsik testis
Maldesensus dapat disebabkan disgenesis gonadal dimana kelainan ini
membuat testis tidak sensitif terhadap hormon gonadotropin.
C. Defisiensi stimulasi hormonal/endokrin
Hormon gonadotropin maternal yang inadequat menyebabkan desensus
inkomplet. Tingginya kriptorkismus pada prematur diduga terjadi karena
tidak adequatnya HCG menstimulasi pelepasan testosteron masa fetus akibat
dari imaturnya sel Leydig dan imaturnya aksis hipothalamus-hipofisis-testis.

FAKTOR RESIKO
1. BBLR (kurang 2500 mg)
2. Ibu yang terpapar estrogen selama trimester pertama
3. Kelahiran ganda (kembar 2, kembar 3)
4. Lahir prematur (umur kehamilan kurang 37 minggu)
5. Berat janin yang dibawah umur kehamilan.
6. Mempunyai ayah atau saudara dengan riwayat UDT

GEJALA KLINIS
Pasien biasanya dibawa berobat ke dokter karena orang tuanya tidak
menjumpai testis di kantong skrotum, sedangkan pasien dewasa mengeluh
karena infertilitas. Kadang-kadang merasa ada benjolan di perut bagian
bawah yang disebabkan testis maldesensus mengalami trauma, mengalami
torsio, atau berubah menjadi tumor testis.
[33]
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Tidak adanya satu atau dua testis dalam skrotum. Pasien dapat mengeluh
nyeri testis karena trauma, misal testis terletak di atas simpisis ossis
pubis. Pada dewasa keluhan UDT sering.
2. Pemeriksaan fisik meliputi :
a. Penentuan lokasi testis.
b. Penentuan apakah testis palpabel.
Bila palpable, ada beberapa kemungkinan yaitu testis retraktil, UDT,
testis ektopik, serta sindrom ascending testis. Bila impalpable,
kemungkinannya ialah intrakanalikuler, intraabdominal, atrofi testis,
dan agenesis

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan bila testis impalpable atau meragukan beberapa modalitas
penunjang diperlukan.

DIAGNOSIS BANDING
1. Testis retraktil
2. Anorkismus
3. Testis atrofi

PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya testis yang tidak berada di skrotum harus diturunkan ke
tempatnya, baik dengan cara medikamentosa maupun pembedahan. Dengan
asumsi bahwa jika dibiarkan, testis tidak dapat turun sendiri setelah usia 1 tahun
sedangkan setelah usia 2 tahun terjadi kerusakan testis yang cukup bermakna,
maka saat yang tepat untuk melakukan terapi adalah pada usia 1 tahun.
Medikamentosa
Obat yang sering dipergunakan adalah hormon hCG yang disemprotkan
intranasal.
Operasi
Tujuan operasi pada kriptorkismus adalah:
1. Mempertahankan fertilitas
2. Mencegah timbulnya degenerasi maligna
3. Mengurangi resiko cidera khususnya bila testis terletak di tuberkulum pubik
[34]
4. Mencegah kemungkinan terjadinya torsio testis
5. Melakukan koreksi hernia
6. Psikologis
Operasi yang dikerjakan adalah orkidopeksi yaitu meletakkan testis ke dalam
skrotum dengan melakukan fiksasi pada kantong sub dartos.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kedokteran UGM, Undescencus Testiculorum atau Undescencus Testis atau
Undescended Testicle, http://kedokteranugm.com/?tag=undesensus-testis.
diakses pada tanggal 15 November 2010 pada pukul 17.55 WIB
2. Purnomo, Basuki B., dasar-dasar urologi 2nd edition, Malang 2007, Hal
139-140.

[35]
HIPOSPADIA

BATASAN
Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang terletak
disebelah ventral penis dan sebelah proksimal ujung penis. Letak meatus
uretra bisa terletak pada glandular hingga perineal.
Pada hipospadia tidak didapatkan prepusium ventral sehingga prepusium
dorsal menjadi berlebihan (dorsal hood) dan sering disertai dengan korde
(penis angulasi ke ventral). Kadang-kadang didapatkan stenosis meatus
uretra, dan anomali bawaan berupa testis maldesensus atau hernia inguinalis.
Kejadian seluruh hipospadia yang bersamaan dengan kriptokismus adalah 9%,
tetapi dengan hipospadia posterior sebesar 32%.

ETIOLOGI
Multifaktorial
Keturunan
Beberapa teori meliputi:
1. Kontaminasi lingkungan estrogenik
2. Tekanan dari anggota badan janin pada saat perkembangan penis
3. Kurangnya human chorionic gonadotropin (HCG) dalam plasenta
4. Kelainan dalam metabolisme androgen sebagai manifestasi lokal
endokrinopati sistemik

KLASIFIKASI
Berdasarkan letak muara ureter setelah dilakukan koreksi, Brownie (1936)
membagi hipospadia dalam tiga bagian besar, yaitu hipospadia anterior
(terdiri atas tipe glanular, subcoronal, dan penis distal), hipospadia medius
(terdiri atas midshaft dan penis proksimal), serta hipospadia posterior (terdiri
atas penoskrotal, skrotal, dan perineal).

GEJALA KLINIS
Kulit yang tidak lengkap
Distal uretra pada glands
Kelengkungan penis ke arah ventral

[36]
DIAGNOSIS BANDING
Genetalia ambigu

TINDAKAN
Tujuan fungsional terapi hipospadia adalah:
1. kosmetik penis; sehingga fungsi miksi dan fungsi seksual normal (ereksi
lurus dan pancaran ejakulasi kuat)
2. penis dapat tumbuh dengan normal.
Tahapan-tahapan rekonstruksi adalah melakukan koreksi korde (ortoplasti),
membuat neouretra dari kulit penis (uretroplasti), dan membuat glans.
Berbagai metode rekonstruksi telah diperkenankan mulai dari metode satu
tahap hingga dua tahap. Pilihan metode tergantung dari pengalaman
operator.
Reparasi hipospadia dianjurkan pada usia pra sekolah agar tidak mengganggu
kegiatan belajar pada saat operasi. Perlu diingat bahwa sering kali
rekonstruksi hipospadia membutuhkan lebih dari sekali operasi, koreksi
ulangan bila terjadi komplikasi
Pada hipospadia posterior dengan disertai testis maldesensus dianjurkan
untuk melakukan uteroskopi praoperatif guna melihat kemungkinan adanya
pembesaran utrikulus prostatikus yang mungkin terdapat keraguan jenis
kelamin (seksual ambiquity).
Penyulit yang dapat terjadi setelah operasi hipospadia adalah: fistula
uretokutan, stenosis meatus uretra, korde yang belum sepenuhnya terkoreksi,
dan timbulnya divertikel uretra.

DAFTAR PUSTAKA
1. Schwartz W, The 5-Minute Pediatric Consult, Lippincott Williams & Wilkins,
2008, http://www.wrongdiagnosis.com/h/hypospadias/book-diseases-20a.htm
2. Purnomo BB, Dasar-dasar Urologi, Sagung Seto, 2008, hal 152-153.

[37]
PARAPHYMOSIS

DEFINISI
Parafimosis adalah prepusium penis yang diretraksi sampai si sulkus
koronarius tidak dapat dikembalikan pada kedaan semula dan timbul jeratan
pada penis di belakang sulkus koronarius.

PATOFISIOLOGI
Menarik (retraksi) prepusium ke proksimal biasanya dilakukan pada saat
bersenggama/masturbasi atau setelah pemasangan kateter. Jika prepusium
tidak dikembalian ke tempat semula, menyebabkan gangguan aliran balik
vena superfisial sedangkan aliran arteri tetap berjalan normal. Hal ini
menyebabkan edema glans penis dan dirasakan nyeri. Jika dibiarkan bagian
penis di sebelah distal jeratan makin membengkak yang akhirnya bisa
mengalami nekrosis glans penis.

DIAGNOSIS
Diagnosis parafimosis dibuat berdasarkan pemeriksaan fisis, yaitu didapatkan
prepisium yang tidak dapat diretraksi kembali

TERAPI
1. Prepusium diusahakan untuk dikembalikan secara normal dengan teknik
memijat glans selama 3-5 menit. Diharapkan edema berkurang dan secara
perlahan-lahan prepusium dikembalikan pada tempatnya.
2. Jika tidak berhasil, maka dilakukan dorsum insisi pada jeratan sehingga
prepisiun dapat dikembalikan pada tempatnya. Setelah edema dan proses
inflamasi menghilang pasien dianjurkan untuk menjalani sirkumsisi

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo, Basuki B. 2008. Dasar-Dasar Urologi. SMF/Lab Ilmu Bedah RSU
Dr. Saiful Anwar Fakultas Kedokteran Univ. Brawijaya Malang.
2. Santoso, Adi, dkk. 2005. Panduan Penatalaksanaan Urologi Anak. Ikatan
Ahli Urologi Indonesia. Http://iaui.or.id/ast/file/pediatric_urology.doc.
Diakses pada tanggal 15 November 2010

[38]
FIMOSIS

BATASAN
Fimosis adalah prepusium penis yang tidak dapat diretraksi (ditarik) ke
proksimal sampai ke korona glandis.

PATOFISIOLOGI
Fimosis dialami oleh sebagian besar bayi baru lahir karena terdapat adesi
alamiah antara prepusium dengan glans penis. Hingga usia 3-4 tahun penis
tumbuh dan berkembang dan debris yang dihasilkan oleh epitel prepusium
(smegma) mengumpul didalam prepusium dan perlahan-lahan memisahkan
prepusium dari glans penis. Ereksi penis yang terjadi secara berkala membuat
prepusium terdilatasi perlahan-lahan sehingga prepusium menjadi retraktil
dan dapat ditarik ke proksimal.
Pada sebagian anak, prepusium tetap lengket pada glans penis, sehingga
ujung preputium mengalami penyempitan dan akhirnya dapat mengganggu
fungsi miksi/berkemih. Smegma terjadi dari sel-sel mukosa prepusium dan
glans penis yang mengalami deskuamasi oleh bakteri yang ada didalamnya.

GEJALA KLINIS
Tanda dan gejala fimosis diantaranya :
1. Gangguan aliran urine berupa sulit kencing, pancaran urine mengecil,
menggelembungnya ujung prepusium penis saat miksi, dan menimbulkan
retensi urin.
2. Higiene lokal yang kurang bersih menyebabkan terjadinya infeksi yaitu
postitis, balanitis, balanopstitis.
3. Dapat terjadi corpus smegma yaitu timbunan smegma di dalam sakus
prepusium penis.

PENATALAKSANAAN
1. Tidak dianjurkan melakukan retraksi yang dipaksakan, karena dapat
menimbulkan luka dan terbentuk sikatriks pada ujung prepusium
sehingga akan terbentuk fimosis sekunder.
2. Menjaga personal hygiene terutama penis dan tidak mencuci penis
dengan banyak sabun.
[39]
3. Fimosis disertai balanitis xerotica obliterans dapat diberikan salep
dexamethasone 0,1% yang dioleskan 3/4 kali, dan diharapkan setelah 6
minggu pemberian prepusium dapat diretraksi spontan.
4. Fimosis dengan keluhan miksi, menggelembungnya ujung prepusium pada
saat miksi atau infeksi postitis merupakan indikasi untuk dilakukan
sirkumsisi, dimana pada fimosis disertai balanitis / postitis harus diberikan
antibiotika terlebih dahulu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo, Basuki. Dasar-dasar Urologi. Ed 2. Jakarta. Penerbit CV Sagung
Seto. 2008
2. McGregor TB, Pike JG, Leonard MP (March 2007). Pathologic and physiologic
phimosis: approach to the phimotic foreskin. http://www.cfp.ca/cgi/
content/full/53/3/445

[40]
DIVISI INFECTION

Tim Penyusun:
1. Dr. dr. Basuki B. Purnomo, SpU
2. dr. Besut Daryanto, SpB, SpU
3. dr. Kurnia Penta Seputra, SpU
UROSEPSIS

BATASAN
Urosepsis adalah sepsis yang disebabkan oleh mikrobakteria yang berasala
dari saluran kemih

EPIDEMIOLOGI
Penelitian di rumah sakit di Amerika Serikat selama kurun waktu antara 1979-
2000 menunjukkan bahwa insidens sepsis menunjukkan peningkatan rata-rata
8,7% setiap tahunnya. Insiden laki-laki lebih banyak mengalami sepsis
dibandingkan wanita. Sebagian besar kematian disebabkan karena disfungsi
organ multiple. Dikatakan bahwa jika tidak disertai dengan komplikasi disfungsi
organ, hanya 15% pasien sepsis yang meninggal, sedangkan jika diikuti dengan
disfungsi organ multiple angka kematian meningkat menjadi 70%.

ETIOLOGI
Karena merupakan penyebaran infeksi maka kuman penyebabnya sama dengan
kuman penyebab infeksi primer di traktus urinarius yaitu golongan kuman
coliform negatif. E coli merupakan penyebab tersering menimbulkan sepsis.
Kelainan urologi yang sering menimbulkan urosepsis adalah batu saluran
kemih, hyperplasia prostat, dan keganasan saluran kemih yang menyebabkan
hidronefrosis dan bahkan pionefrosis.

PATOFISIOLOGI
Patogenesis dari gejala klinis urosepsis adalah akibat dari masuknya
endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida dari dinding sel bakteri kedalam
sirkulasi darah.
Dengan adanya endotoksin tersebut memacu terjadinya rangkaian septic
cascade. Keadaan ini menimbulkan sindroma respon inflamasi sistemik atau
systemic inflammation response syndrome.
Dikatakan SIRS jika terdapat paling sedikit dua dari beberapa kriteria berikut:
1. Suhu tubuh > 380C atau <360C
2. Denyut nadi > 90
3. Frekuensi nafas >20 atau PaCO2 <32
4. Leukosit darah >12000 atau <4000/dL atau >10% bentuk leukosit muda
[41]
Dikatakan sepsis jika didapatkan SIRS dengan tanda infeksi dan sepsis berat jika
disertai dengan hipotensi (sistole <90mmHg), atau terdapat disfungsi organ, atau
hipoperfusi (terdapat salah satu kondisi berikut, yaitu hipoksemia, peningkatan
asam laktat, atau oliguria). Derajat sepsis paling berat adalah syok septic yaitu
sepsis yang disertai dengan hipotensi dan hipoperfusi.

DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis suatu urosepsis harus dibuktikan bahwa bakteri
yang beredar didalam darah (kultur darah) sama dengan bakteri yang ada dalam
urin (kutur urin). Secara umum dikatakan urosepsis merupakan komplikasi dari
beberapa situasi antara lain:
1. tindakan instrumentasi pada traktus genitourinaria
2. abses renal
3. pielonefritis akut
4. Infeksi akibat obstruksi saluran kemih atau pasien dengan gangguan
kekebalan imunitas
5. bakteriuri akibat pemasangan kateter pada obstruksi dan pasien dengan
gangguan kekebalan imunitas.
Selain itu, dilakukan pemeriksaan untuk mencari sumber infeksi dan akibat dari
kelainan yang ditimbulkan pada beberapa organ. Segera dilakukan pemeriksaan
yang meliputi laboratorium, dan pencitraan.

PENATALAKSANAAN
Penanganan urosepsis harus dilakukan secara komprehensif dan ditujukan
terhadap:
Penanganan infeksi yang meliputi eradikasi kuman penyebab infeksi serta
menghilangkan sumber infeksi
Akibat dari infeksi yaitu SIRS, syok septic atau disfungsi multiorgan
Toksin atau mediator yang dikeluarkan oleh bakteri

DAFTAR PUSTAKA
2. Johnson. CC, MD. Definitions, Classification and Clinical Presentation of
Urinary Tract Infections. Med. Clin of North Am 1991; 75:2. 241-52.
3. Naber KG, Bergman B, Bishop MC, Johansen TEB, Botto H, Lobel B (ed).
European Association of Urology: Guidelines on Urinary and Male Genital
Tract Infections. 2001.
4. Concencus Conference Criteria Defining Sepsis dalam Lazaron V dan Barke
RS. Urol Clin of N Am, 1999, 26, hal 688

[42]

Anda mungkin juga menyukai