Anda di halaman 1dari 12

ETIKA MASYARAKAT SUKU BUGIS

Tugas Mata Kuliah Etiket dan Pengembangan Kepribadian

Kelompok 4 Kearsipan A:

Fridayana Ratnasari (16/396817/SV/11001)

Didi Pranata (16/401088/SV/11592)

Mei Puji Lestari (16/401116/SV/11620)

Meida Atik Nazihah (16/401117/SV/11621)

Mila Febriani (16/401119/SV/11623)

Muhammad Galih P. (16/401122/SV/11626)

Dwi Lestari (16/405776/SV/12472)


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang mana atas berkat rahmat dan
karunia-Nyalah makalah yang berjudul, ETIKA MASYARAKAT SUKU BUGIS
terselesaikan.

Makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Etiket dan
Pengembangan Kepribadian. Kami menyadari bahwa dalam penulisan ini masih banyak
kekurangan dan kesalahan. Hal ini semata-mata karena keterbatasan kemampuan kami. Oleh
sebab itu kami harapkan saran dan kritik dari semua pihak, khususnya pembaca.

Harapan kami, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan khususnya bagi kami
selaku penulis.

Yogyakarta, 20 Maret 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................ i

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan ....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................3
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................................ 7
B. Saran...................................................................................................................... 8
Daftar Pustaka.................................................................................................................... 9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etika merupakan aturan, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesama serta
menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Dalam hal ini setiap daerah memiliki etika
yang berbeda. Etika tersebut terbentuk dari kebiasaan serta hasil interaksi antar masyarakat dari
suatu wilayah. Berdasarkan hal tersebut makalah ini akan memaparkan mengenai Etika
Masyarakat Suku Bugis.

Bugis merupakan kelompok etnik dengan wilayah asal Sulawesi Selatan. Ciri utama
kelomok etnik ini adalah bahasa dan adat istiadat, sehingga pendatang melayu dan minangkabau
yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang di
kerajaan Goa telah terakulturasi, sehingga dikategorikan sebagai orang bugis. Bugis adalah suku
yang tergolong ke dalam suku-suku melayu deuteron. Masuk ke nusantara setelah gelombang
migrasi pertama dari daratan asia atau tepatnya Yunan. Kata Bugis berasal dari To Ugi yang
berarti orang Bugis. Penamaan Ugi merujuk pada raja pertama kerajaan cina.

Interaksi yang dilakukan masyarakat suku Bugis lambat laun membentuk etika. Etika
tersebut merupakan watak maupun kebiasaan yang menjadi ciri dari suku Bugis. Dalam
kehidupan sehari-hari etika digunakan untuk acuan dalam melakukan aktivitas, misalnya dalam
bertutur kata, makan, berpakaian dan lain-lain.Sehingga apa yang dilakukan tidak berdasarkan
kehendak pribadi namun berdasarkan etika yang ada. Dengan begitu dapat tercipta keselarasan
perilaku antar masyarakat Suku Bugis.

B. Rumusan Masalah

1) Bagaimana etika bertutur-kata/berkomunikasi masyarakat suku Bugis?

2) Bagaimana etika bersantap masyarakat suku Bugis?

3) Bagaimana etika bersalaman dalam masyarakat suku Bugis?


4) Bagaimana etika berpakaian dan berdandan masyarakat suku Bugis?

5) Bagaimana etika dalam memberikan nasehat kepada anak Suku Bugis?

6) Bagaimana etika pernikahan dalam Suku Bugis?

Tujuan Penulisan

1) Mengetahui etika bertutur-kata/berkomunikasi masyarakat Suku Bugis

2) Mengetahui etika bersantap masyarakat Suku Bugis

3) Mengetahui etika bersalaman dalam masyarakat Suku Bugis

4) Mengetahui etika berpakaian dan berdandan masyarakat Suku Bugis

5) Mengetahui etika dalam memberikan nasehat kepada anak Suku Bugis

6) Mengetahui etika pernikahan dalam Suku Bugis


BAB II

PEMBAHASAN

Etika Bertutur-Kata/Komunikasi Masyarakat Suku Bugis

1. Bahasa yang dipakai sehari-hari adalah bahasa Bugis.


2. Mempunyai aturan tertentu dalam menghormati bagi lawan bicara.
3. Berbagai cara yang dikenal masyarakat Bugis dalam menghormati lawan bicara. Pertama,
Penggunaan kata-kata atau imbuhan penghormatan (Honorifik). Kedua, sikap dan tingkah
laku dalam menghadapi lawan bicara. Ketiga, intonasi atau nada dalam berbicara
4. Bagi seseorang yang disuruh menjemput sesuatu atau meminta di rumah orang lain harus
duduk dahulu baru mulai berbicara.
5. Mengiyakan sesuatu dengan cara mengangguk. Menolak/membantah sesuatu dengan
menggelengkan kepala adalah sikap yang tidak hormat.
6. Di akhir suku kata biasanya orang Bugis selalu menggunakan nada yang menurun.
7. Dalam Masyarakat Bugis dikenal 3 tingkatan bahasa yang digunakan untuk menilai
lawan bicaranya. Pertama, bilamana seseorang merasa lawan bicaranya mempunyai
status sosial lebih tinggi ataupun sama, atau mempunyai usia yang lebih tua maka ia akan
menggunakan nada ada conga (memandang lebih tinggi). Kedua, bilamana seseorang
memandang status sosial yang kurang lebih sama atau umur yang kurang lebih sama
maka ia akan menggunakan adamakkaraseng (kata yang memandang sama). Ketiga,
adacuku biasanya digunakan pada anak-anak atau yang dianggap belum dewasa

Etika Bersantap Suku Bugis

Pada umumnya masyarakat Bugis, para ibu rumah tangga dibantu anak perempuan untuk
menghidangkan makanannya di atas nampan atau baki yang mempunyai daya tampung 5-6
piring sebagai tempat lauk pauk. Sedangkan nasi ditempatkan di luar baki, biasanya bentuk bakul
atau tempat nasi terbuat dari logam atau plastik. Piring biasanya diletakkan melingkari baki atau
ditumpuk disamping baki dekat gelas air minum.
1. Jika saat mendapat panggilan untuk bersantap, sebaiknya duduk bersila dan melingkar
bersama yang lainnya menghadap baki. Dahulukan yang lebih tua saat mengambil piring.
2. Jangan memegang bagian bawah piring, memegang bagian bawah piring sebenarnya
merupakan hal yang wajar dilakukan tetapi masyarakat Bugis menganggap hal tersebut
sebagai sikap yang menyalahi aturan makan.
3. Tidak diperkenankan mengambil lauk-pauk bersamaan dengan yang lainnya.
4. Meninggalkan tempat duduk terlebih dahulu merupakan tindakan yang kurang ajar.
5. Makan terlalu lambat sambil memainkan makanan didalam mulut hal tersebut juga tidak
mencerminkan sikap makan yang baik.
6. Masyarakat Bugis makan bersama dengan menyamakan Pace atau Irama, terutama
menyesuaikan diri dengan orang yang lebih tua.

Etika Bersalaman Suku Bugis

Di kalangan Suku Bugis, jabat tangan biasa di sebut Majjama. Terdapat beberapa etika
yang sering dilakukan pada waktu berjabat tangan. Ketika berjabat tangan maka keduanya saling
memandang satu sama lain. Tidak dibenarkan menjabat tangan seseorang sambil mengarahkan
pandangan kita ke tempat lain. Artinya pada waktu berjabat tangan maka kita melihat bayangan
(tau-tau) kita sendiri pada retina mata orang yang kita jabat tangannya.

Tetua Bugis mengatakan, Riwettummu mennang siame pale lima ripadammu rupatau,
tangngai tau-taummu ri tau-tau matanna balinmu, nasaba narekko massaileko adatoha murese-
resei pakkalebbina padammu rupatau (Ketika engkau berjabat tangan dengan sesamamu
manusia, lihatlah bayanganmu di retinanya orang yang dijabat tangannya, sebab jika engkau
tidak melihatnya sama halnya menginjak-injak pengahargaan dari sesamamu manusia).
Etika Berpakaian dan berdandan Suku Bugis

1. Anak laki-laki mengenakana celana pendek, kadang-kadang berbaju dan tidak.


2. Lelaki dewasa biasanya memakai sarung pelekat dengan ujung atasnya digulung erat-erat
sehingga melingkar di perut (mabbida) disertai dengan baju kaos singlet. Kadang mereka
songkok atau topi haji bewarna putih bagi yang telah naik haji.
3. Perempuan dewasa pada umumnya memakai sarung batik disimpulkan di perut
(makkawi) dan memakai kebaya. Ada pula perempuan yang tidak memakai kebaya tetapi
memakai baju lengan pendek sampai kesiku.
4. Pakaian tidur orang Bugis adalah sarung ditambah dengan baju yang biasa mereka pakai
sehari-hari. Intinya sarung merupakan pakaian pokok untuk tidur.

Etika dalam Memberikan Nasehat Kepada Anak Suku Bugis

Dalam menasehati anak-anak maka yang paling banyak berperan adalah ibu, termasuk
pengawasan tingkah laku dan tutur kata yang dianggap tata krama. Namun tidak menutup
kemungkinan apabila orang lain akan memberikan nasehat. Seorang anak bila sedang dinasehati
oleh orang tuanya atau siapa saja yang di dalam hubungan kekerabatan pantas memberikan
nasehat, harus lebih banyak berdiam diri, bicara seperlunya, dan bila perlu menjawab pada waktu
yang diberikan untuk menjawab.

Etika Pernikahan pada Masyarakat Suku Bugis

1. Ajangang-jangang (mamanu-manu)
Penyeledikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar
belakang pihak wanita.
2. Assuro (massuro)
Acara pinangan secara resmi.
3. Appanasa
Menentukan hari pernikahan.
4. Appanai Leko Lompo
Pihak laki-laki menghantarkan pattere ada (cincin) dan Leko Caddi (daun sirih).
5. Abarumbung
Mandi uap yang dilakukan calon mempelai wanita.
6. Appasili Bunting
Seperti acara siraman guna pembersihan diri lahir dan batin sehingga mempelai siap
mengarungi rumah tangga.
7. Akkorongtigi
Pemakain daun pacar guna pembersihan si calon mempelai.
8. Assimorong
Merupakan acara akad nikah dan menjadi puncak dari rangkain upacara perkawinan
9. Appabajikang Bunting
Proses menyatukan kedua mempelai kemudian menghantarkan kamar mempelai wanita lalu
bersanding diatas tempat tidur untuk mengikuti acara pemasangan sarung sebanyak tujuh
lembar.
10. Alleka Bunting
Acara sering disebut ngunduh mantu. Mempelai wanita ditemani beberapa anggota keluarga
diantar ke rumah orang tua mempelai pria.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Etika merupakan aturan, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesama
serta menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Dalam hal ini setiap daerah
memiliki etika yang berbeda. Interaksi yang dilakukan masyarakat suku Bugis lambat
laun membentuk etika. Etika tersebut merupakan watak maupun kebiasaan yang menjadi
ciri dari suku Bugis. Dengan begitu dapat tercipta keselarasan perilaku antar masyarakat
Suku Bugis.

Dalam etika bertutur-kata/berkomunikasi haruslah memperhatikan siapa lawan


bicaranya. Apabila lebih tua/memiliki kedudukan yang tinggi maka perkataan yang
digunakan harus dengan rasa hormat.

Dalam etika bersantap masyarakat Suku Bugis, yang mempersiapkan makanan


adalah ibu dan anak perempuan. Saat dipersilakan untuk makan maka sebaiknya
duduk bersila mengkuti yang lain menghadap baki. Tidak diperkenankan mengambil
lauk bersamaan, sebaiknya menunggu dulu orang yang lebih tua untuk mengambil
lauk.

Ketika bersalaman mata harus melihat ke orang yang kita jabat tangannya sebagai
bentuk penghormatan karena apabila memalingkan pandangan disebut tidak sopan.

Pakaian yang digunakan oleh masyarakat Suku Bugis antara laki-laki dengan
perempuan pun berbeda. Pakaian yang dikenakan saat rtidur pun berbeda, mereka
cenderung menggunakan pakaian yang lebih sederhana.

Saat orang tua maupun orang lain menasehati sebaiknya tidak menimpali apa yang
mereka katakan. Lebih baik diam atau menjawab seperlunya sesuai dengan waktu
yang diperkenankan untuk menjawab.
Dalam etika pernikahan Suku Bugis terdapat tata cara yang urut dalam prosesi
pernikahan. Etika yang digunakan pun memiliki makna dan filosofi.

Berdasarkan hal tersebut etika membuat seseorang berperilaku baik dimata


masyarakat sekitarnya. Selain itu apa yang mereka kerjakan mengandung nilai-nilai
positif.

Saran
Etika yang semakin berkembang tentunya akan memunculkan suatu perubahan.
Apabila masyarakat Suku tidak menjaga etika yang mereka miliki dengan baik maka hal
tersebut akan hilang. Maka perlu kebiasaan untuk memulihkan etika agar tidak berubah,
misalnya dengan cara sebagai berikut:

a. Menulis buku pelajaran mulai dari tingkat dasar yang mengajarkan adab sopan
santun.
b. Orang tua mengajarkan etika yang baik sejak dini sehingga dapat menjadi kebiasaan
di kemudian haribagi anak.
c. Menyeleksi budaya luar yang masuk agar etika yang dimiliki tetap sesuai dengan
adat yang ada.
d. Menanamkan rasa bangga terhadap budaya sendiri kepada anak.
Daftar Pustaka

telukbone.or.id

Ayatrohaedi, dkk. 1989. TATAKRAMA DI BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA. Jakarta:


Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai
Budaya.

Anda mungkin juga menyukai