Anda di halaman 1dari 56

Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai


Naik Sinukaban

Ketua Umum Pengurus Pusat MKTI Periode 2004 2007 Jurusan ilmu Tanah,
Institut Pertanian Bogor

PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas topografi
secara alami sedemikian rupa sehingga setiap air hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan
mengalir melalui titik tertentu (titik pengukuran di sungai) dalam DAS tersebut. Dalam Bahasa
Inggris pengertian DAS sering diidentikan dengan watershed, catchment area atau river basin.

Pengertian DAS tersebut menggambarkan bahwa DAS adalah suatu wilayah yang mengalirkan
air yang jatuh di atasnya beserta sedimen dan bahan terlarut melalui titik yang sama sepanjang
suatu aliran atau sungai. Dengan demikian DAS atau watershed dapat terbagi menjadi beberapa
sub DAS dan sub-sub DAS, sehingga luas DAS pun akan bervariasi dari beberapa puluh meter
persegi sampai ratusan ribu hektar tergantung titik pengukuran ditempatkan.

Apabaila ada kegiatan di suatu DAS maka kegiatan tersebut dapat mempengaruhi aliran air di
bagian hilir baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penebangan hutan secara sembarangan di
bagian hulu suatu DAS dapat mengganggu distribusi aliran sungai di bagian hilir. Pada musim
hujan air sungai akan terlalu banyak bahkan sering menimbulkan banjir tetapi pada musim
kemarau jumlah air sungai akan sangat sedikit atau bahkan kering. Disamping itu kualitas air
sungai pun menurun, karena sedimen yang terangkut akibat meningkatnya erosi cukup banyak.
Perubahan penggunaan lahan atau penerapan agroteknologi yang tidak cocok pun dapat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air yang mengalir ke bagian hilir.

Oleh karena itu, dari segi hidrologi, erosi dan sedimentasi, DAS dapat dianggap sebagai suatu
sistem dimana perubahan yang terjadi di suatu bagian akan mempengaruhi bagian lain dalam
DAS tersebut. Berbagai kegiatan dalam pengelolaan dan pengembangan DAS yang dapat
mempengaruhi kualitas dan kuantitas air, yang pada gilirannya kualitas seluruh lingkungan
hidup, antara lain, penebangan hutan, penambangan, permukiman, lingkungan pabrik, perubahan
penggunaan lahan, penerapan teknik konservasi tanah dan air, pengembangan pertanian lahan
kering, termasuk tanaman pangan, tanaman perkebunan, seperti tebu, karet, kelapa sawit, dan
perubahan agroteknologi.

DAMPAK KERUSAKAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Sumberdaya alam utama yang terdapat dalam suatu DAS yang harus diperhatikan dalam
pengelolaan DAS adalah sumberdaya hayati, tanah dan air. Sumberdaya tersebut peka terhadap
berbagai macam kerusakan (degradasi) seperti kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity),
kehilangan tanah (erosi), kehilangan unsur hara dari daerah perakaran (kemerosotan kesuburan
tanah atau pemiskinan tanah), akumulasi garam (salinisasi), penggenangan (water logging), dan
akumulasi limbah industri atau limbah kota (pencemaran) (Rauschkolb, 1971; ElSwaify, et. al.
1993). Menurunnya kualitas air yang disebabkan baik oleh sedimen yang bersumber dari erosi
maupun limbah industri (polusi) sudah sangat dirasakan di daerah aliran sungai yang
berpenduduk padat.

Erosi di daerah tropika basah dengan berbagai fenomena yang bertalian erat dengannya seperti
penurunan produktivitas tanah, sedimentasi, banjir, kekeringan, termasuk jenis kerusakan DAS
yang memerlukan penanganan segera dengan menggunakan teknologi yang telah dikuasai
maupun teknologi baru, agar degradasi lingkungan tidak berlanjut mencapai tingkat yang gawat.
Dampak negatif erosi terjadi pada dua tempat yaitu pada tanah tempat erosi terjadi, dan pada
tempat sedimen diendapkan.

Kerusakan utama yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi adalah kemunduran kualitas sifat-
sifat biologi, kimia, dan fisik tanah. Kemunduran kualitas tanah tersebut dapat berupa kehilangan
keanekaragaman hayati, unsur hara dan bahan organik yang terbawa oleh erosi, tersingkapnya
lapisan tanah yang miskin hara dan sifat-sifat fisik yang menghambat pertumbuhan tanaman,
menurunnya kapasitas infiltrasi dan kapasitas tanah menahan air, meningkatnya kepadatan tanah
dan ketahanan penetrasi serta berkurangnya kemantapan struktur tanah. Hal tersebut pada
akhirnya berakibat pada memburuknya pertumbuhan tanaman, menurunnya produktivitas tanah
atau meningkatnya pasokan yang dibutuhkan untuk mempertahankan produksi. Memburuknya
sifat-sifat biologi, kimia dan fisik tanah serta menurunnya produktivitas tanah sejalan dengan
semakin menebalnya lapisan tanah yang tererosi (Sudirman et al 1986).

Tanah dan bagian-bagian tanah yang terangkut oleh aliran permukaan diendapkan di bagian
tertentu atau masuk ke sungai serta diendapkan di dalam sungai, waduk, danau atau saluran-
saluran air. Disamping itu dengan berkurangnya kapasitas infiltrasi tanah yang mengalami erosi
akan menyebabkan aliran permukaan (run off) meningkat. Peningkatan aliran permukaan dan
mendangkalnya sungai mengakibatkan banjir semakin sering dengan tingkatan (derajat) yang
semakin berat pada setiap musim hujan. Terjadinya banjir sudah merupakan fenomena yang
berulang setiap tahun di banyak DAS di Indonesia.

Berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah yang mengalami erosi di bagian hulu DAS
menyebabkan pengisian kembali (recharge) air di bawah tanah (ground water) juga berkurang
yang mengakibatkan kekeringan di musim kemarau. Dengan demikian terlihat bahwa peristiwa
banjir dan kekeringan merupakan fenomena ikutan yang tidak terpisahkan dari peristiwa eropsi.
Bersama dengan sedimen, unsur-unsur hara terutama N dan P serta bahan organikpun banyak
yang ikut terbawa masuk ke dalam waduk atau sungai (Sinukaban 1981). Hal ini mengakibatkan
terjadinya eutrofikasi berlebihan dalam danau atau waduk sehingga memungkinkan
perkembangan tananam air menjadi lebih cepat dan pada akhirnya mempercepat pendangkalan
dan kerusakan waduk atau danau tersebut. Meningkatnya aktivitas pertambangan dan
pembanguan pabrik yang tidak diikuti dengan teknik konservasi dan penanganan limbah yang
memadai, akan meningkatkan pencemaran yang luar biasa di bagian hilir.
Dari gambaran tersebut telihat juga bahwa laju erosi suatu DAS dapat dijadikan salah satu
indikator kecepatan proses pengrusakan (degradasi) DAS. Untuk menilai laju erosi yang terjadi
di suatu DAS, petunjuk dasar yang mudah diperoleh adalah konsentrasi sedimen dalam aliran
permukaan (Sinukaban 1981). Berdasarkan konsentrasi sedimen dalam air sungai, laju erosi di
beberapa DAS di Indonesia pada 30 40 tahun yang lalu sudah mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan (Badrudin Mahbub, 1978) dan di banyak tempat sudah lebih besar dari erosi
yang dapat ditoleransikan (Sinukaban 1994). Dari perkembangan pengamatan ternyata laju erosi
saat ini sudah semakin meningkat dan sudah jauh lebih gawat dari pada keadaan 30 40 tahun
yang lalu, terutama pada DAS kategori prioritas I.

Banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau adalah indikator utama kerusakan
DAS yang sangat jelas. Pada dasarnya banjir terjadi karena sebagian besar dari hujan yang jatuh
ke bumi tidak masuk kedalam tanah mengisi akuifer, tetapi mengalir di atas permukaan yang
pada gilirannya masuk ke sungai dan mengalir sebagai banjir ke bagian hilir. Hal ini terjadi
karena kapasitas infiltrasi tanah sudah menurun akibat rusaknya DAS. Faktor utama kerusakan
DAS yang mengakibatkan menurunnya infiltrasi adalah: (1) hilang / rusaknya penutupan
vegetasi permanen / hutan di bagian huilu, (2) pengunaan lahan yang tidak sesuai dengan
kemampuannya, dan (3) penerapan teknologi pengelolaan lahan / pengelolaan DAS yang tidak
memenuhi syarat yang diperlukan.

Penurunan infiltrasi akibat kerusakan DAS mengakibatkan meningkatnya aliran permukaan (run
off) dan menurunnya pengisian air bawah tanah (groundwateri) mengakibatkan meningkatnya
debit aliran sungai pada musim hujan secara drastis dan menurunnya debit aliran pada musim
kemarau. Pada keadaan kerusakan yang ekstrim akan terjadi banjir besar di musim hujan dan
kekeringan pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi kehilanghan air dalam
jumlah besar di musim hujan yaitu mengalirnya air ke laut dan hilangnya mata air di kaki bukit
akibat menurunnya permukaan air bawah tanah. Dengan perkataan lain, pengelolaan DAS yang
tidak memadai akan mengakibatkan rusaknya sumberdaya air.

PERANAN KONSERVASI TANAH DAN AIR PADA PELESTARIAN


PRODUKTIVITAS DAN SUMBERDAYA AIR

Untuk menjaga produktivitas lahan, maka penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan
lahan serta penggunaan agroteknologi harus disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah
dan air yang memadai. Tipe teknik konservasi tanah dan air yang banyak diterapkan di seluruh
dunia termasuk dalam pengelolaan DAS di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam empat
kelompok utama yaitu agronomi, vegetatif, struktur, dan manajemen (WASWC, 1998).

Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok agronomi antara lain
penanaman tanaman campuran (tumpang sari), penananam berurutan (rotasi), penggunaan mulsa,
pengolahan tanah minimum, penananam tanpa olah tanah, penanaman mengikuti kontur,
penananam di atas guludan mengikuti kontur, penggunaan pupuk hijau atau pupuk buatan, dan
penggunaan kompos.

Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok vegetatif antara lain
penanaman tanaman pohon atau tanaman tahunan (seperti kopi, teh, tebu, pisang), penanaman
tanaman tahunan di batas lahan (tanaman pagar), penanaman strip rumput (vetiver, rumput
makanan ternak).

Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok struktur antara lain
saluran penangkap aliran permukaan, saluran pembuangan air, saluran teras, parit penahan air
(rorak), sengkedan, guludan, teras guludan, teras bangku, dam penahan air, dan embung
pemanen air hujan.

Teknik konservasi tanah dan air yang dikelompokkan ke dalam kelompok manajemen antara
lain perubahan pengunaan lahan menjadi lebih sesuai, pemilihan usaha pertanian yang lebih
cocok, pemilihan peralatan dan masukan komersial yang lebih tepat, penataan pertanian
termasuk komposisi usaha pertanian, dan penentuan waktu persiapan lahan, penanaman, dan
pemberian input.

Penerapan teknik konservasi tanah dan air yang memadai di berbagai proyek pengembangan
pertanian dan penelitian telah membuktikan bahwa teknik konservasi tanah dan air mampu
menstabilkan produktivitas pertanian dan bahkan pada beberapa tempat mampu meningkatkan
produktivitas dan pendapatan petani (Sihite dan Sinukaban, 2004).

Penanaman sayuran mengikuti kontur pada tanah Andosol yang mempunyai drainase yang baik
di Citere Jawa Barat mampu mempertahankan produktivitas lahan dan sangat efektif menekan
erosi. Penggunaan rorak dan tananam penaung multistrata di pekebunan kopi rakyat mampu
menekan erosi dan meningkatkan pendapatan petani sampai lebih dari Rp. 6.000.000 di DAS
Besai Lampung barat.

Untuk menjaga kelestarian sumberdaya air di suatu DAS, maka penutupan vegetasi permanen
harus tetap dijaga kelestariannya, penggunaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan dan
teknologi pengelolaan DAS harus memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Di DAS
yang didominasi oleh daerah pertanian, penerapan teknik konservasi yang memadai sangat
diperlukan untuk meningkatkan infiltrasi dan menurunkan aliran permukaan yang pada
gilirannya dapat melestarikan sumberdaya air.

Hasil penelitian tentang pengaruh teknik konservasi tanah dan air yang memadai dalam
pengelolaan DAS terhadap kelestarian sumber daya air di Jawa Barat dan Lampung sangat
positif (Sinukaban et al, 1998, Sihite dan Sinukaban 2004). Penelitian di Jawa Barat dan
Lampung Barat tersebut menunjukan bahwa teknik pengelolaan DAS yang memenuhi kaidah
konservasi tanah dan air akan menurunkan aliran permukaan (quick flow) dan menaikan aliran
dasar (base flow) serta memperpanjang masa aliran dasar secara substansial (Sinukaban et al,
198).

Walaupun hanya sepertiga dari luas DAS yang menerapkan teknik konservasi yang memadai,
teknik konservasi tersebut sudah mampu menekan koefisien aliran permukaan dari 0,72 menjadi
0,49 pada tahun berikutnya dan menjadi 0,39 dua tahun setelah penerapan teknik konservasi.
Disamping itu koefisien aliran dasar (base flow) meningkat dari 0,28 menjadi 0,51 pada tahun
berikutnya dan menjadi 0,61 dua tahun setelah peneapan teknik konservasi (Tabel 1). Disamping
adanya peningkatan debit aliran dasar, penerapan teknik konservasi tanah dan air juga
memperpanjang lamanya aliran dasar dari hanya sampai bulan Juni pada saat belum
diterapkannya teknik konservasi menjadi sampai bulan Juli setelah setahun penerapannya dan
menjadi sampai bulan Agustus setelah dua tahun (Gambar 1 dan 2). Bila dikombinasikan dengan
peningkatan penutupan vegetasi permanen dan menempatkan penggunaan lahan yang sesuai
dengan kemampuannya maka kelestarian sumberdaya air di DAS akan terjaga secara lestari.
Gambar 1. Jumlah, rata-rata dan minimum aliran permukaandan hujan dari Oktober 1992 -
September 1995 di daerah tangkapan Citere Jawa Barat
Gambar 2. Perbandingan antara aliran maksimum, rata-rata dan minimum dari tiga musim hujan
di Daerah Tangkapan Citere Jawa Barat

KONSEPSI PENGEMBANGAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Pengembangan / pengelolaan DAS adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia untuk
memanfaatkan sumberdaya alam DAS secara rasional guna memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkan taraf hidup, seraya membina hubungan yang harmonis antara sumberdaya alam
dan manusia serta keserasian ekosistem secara lestari. Untuk itu maka setiap kegiatan dalam
DAS harus juga memenuhi tujuan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).
Suatu kegiatan pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan apabila pembangunan itu dapat
mewujudkan paling sedikit tiga indikator utama secara simultan yaitu pendaatan yang cukup
tinggi, teknologi yang digunakan tidak mengakibatkan degradasi lingkungan dan teknologi
tersebut dapat diterima (acceptable) dan dapat dikembangkan oleh masyarakat (replicable)
dengan sumberdaya lokal yang dimiliki.

Keadaan DAS dianggap sebagai suatu sistem, maka dalam pembangunannya pun, DAS harus
diperlakukan sebagai suatu sistem (Gill, 1979). Dengan memperlakukan DAS sebagai suatu
sistem dan pengembangannya bertujuan untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan,
maka sasaran pengembangan DAS akan menciptakan ciri-ciri yang baik sebagai berikut:

1. Mampu memberikan produktivitas lahan yang tinggi. Setiap bidang lahan harus
memberikan produktivitas yang cukup tinggi sehingga dapat mendukung kehidpan yang
layak bagi petani yang mengusahakannya. Produktivitas yang tinggi dapat diperoleh
apabila lahan tersebut digunakan sesuai dengan kemampuannya. Untuk itu harus dipilih
komoditas pertanian yang cocok dengan faktor biofisik setempat dan dikelola dengan
agroteknologi yang memenuhi persyaratan, sehingga produktivitas tetap tinggi dan
kualitas lahan terjaga secara lestari.
2. Mampu mewujudkan pemerataan produktivitas di seluruh DAS. Perencana pengelolaan
DAS harus memberikan perhatian serius pada hal ini agar seluruh stakeholders di
dalam DAS memperoleh pendapatan yang dapat mendukung kehidupan yang layak.
Apabila keadaan seperti ini terwujud maka DAS tersebut akan bersifat lentur, sehingga
walaupn ada kegagalan produksi di salah satu bagian DAS akibat bencana alam, maka
bagian lain DAS akan dapat membantu bagian yang terkena bencana.
3. Dapat menjamin kelestarian sumberdaya air. Salah satu faktor penting yang harus
diwujudkan dalam setiap sistem pengelolaan DAS adalah menjaga fungsi DAS sebagai
pengatur tata air yang baik. Oleh sebab itu fungsi hidrologis DAS harus dapat terjaga
secara lestari yang dicirikan oleh ketersediaan sumberdaya air yang meliputi kuantitas,
kualitas dan distribusi yang baik sepanjang tahun di seluruh DAS.

Suatu daerah aliran sungai terdiri dari bagian hulu, tengah dan hilir. Berbagai kegiatan dapat
dijumpai dalam pengembangan satu DAS, antara lain, kegiatan konstruksi seperti: pembangunan
jalan, perluasan kota / daerah permukiman, industri, pengembangan tenaga listrik, dam atau
waduk untuk irigasi atau hidrolistrik, kegiatan pengerukan, pembangunan kanal, transportasi /
navigasi, pertambangan, pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan serta kegiatan lainnya.
Setiap kegiatan bertujuan untuk memenuhi kepentingan masyarakat. Dari sisi lain kegiatan
tersebut mempunyai kemungkinan menghasilkan dampak negatif terhadap kegiatan lainnya.
Oleh karena itu semakin banyak kegiatan dalam pengembangan suatu DAS apabila tidak
dilandasi oleh suatu perencanaan yang menyeluruh dan terintegrasi, akan semakin besar
terjadinya persaingan atau konflik atau benturan di antara berbagai kegiatan yang dapat
menimbulkan berbagai masalah.

Sebagai contoh kemungkinan terjadinya benturan berbagai kegiatan adalah pekerjaan penggalian
/ pembongkaran tanah selama kegiatan konstruksi dam, waduk atau jalan raya dapat
mengakibatkan terjadinya sedimentasi perairan di sebelah hilir. Pengembangan pertanian di
daerah berlereng, apabila tidak disertai usaha konservasi yang memadai, akan menyebabkan
terjadinya erosi dan sedimentasi pada dam / waduk. Demikian pula dengan dampak negatif
terhadap kualitas lingkungan yang dapat diakibatkan oleh pembangunan di bidang industri atau
pertambangan. Tujuan yang lebih besar dari setiap kegiatan pembangunan dalam suatu DAS
seharusnya sama, yaitu untuk menmberikan kontribusi pada: (1) pembangunan ekonomi
nasional, (2) pembangunan daerah atau wilayah, (3) usaha memperbaiki dan meningkatkan
kualitas lingkungan.

Untuk menghindari atau mengurangi kemungknan timbulnya masalah, benturan atau persaingan
antar kegiatan dalam suatu DAS, diperlukan suatu rencana pengembangan yang komprehensif
dan terpadu. Betapa pun sukarnya penyusunan rencana ini, hanya dengan cara inilah tujuan
kegiatan tersebut dapat dicapai, tanpa atau dengan benturan yang minimal. Di dalam
perencanaan yang demikian, berbagai aspek yang mempengaruhi pengelolaan DAS seperti sifat
tanah, karakteristik hidrologi DAS, potensi yang dapat dikembangkan guna memberikan
kontribusi di bidang: pangan, industri , pertambangan, penyediaaan air untuk irigasi, industri dan
air minum, maupun kemungkinan terjadinya banjir, erosi, sedimentasi dan lainnya, harus
diperhitungkan. Demikian pula dengan faktor sosial ekonomi seperti kependudukan, tingkat
pendapatan, pemasaran hasil, kelembagaan, pelayanan di bidang pendidikan dan sebagainya juga
perlu diperhatikan.

Perencanaan pengembangan DAS terpadu tersebut harus dilakukan secara interdisipliner


sehingga semua stakeholders menyadari atau mengetahui apa yang harus dilakukan di setiap
bagian di dalam DAS tersebut agar kelestarian sumber daya lahan dan air dapat terjamin.
Berbagai model sudah tersedia dan dapat dipakai dalam membuat perencanaan terpadu
tersebut. Setelah perencanaan secara menyeluruh dilakukan maka aktivitas pengembangan
dapat dilakukan oleh setiap stakeholders sesuai bidang, sektor, atau profesinya.

Daftar Pustaka

Badrudin M. 1978. Tingkat Erosi Beberapa Wilayah Sungai di ndonesia. Direktorat Penyediaan
Masalah Air.

Gill, N. 1979. Watershed Development with Special Reference to Soil and Water Conservation.
FAO. Soil. Bull. No. 44.

Rauschkolb, R.S. 1971. Land Degradation. FAO Soil Bull, No. 13


Sihite, J. and Sinukaban. 2004. Economic Valuation of Land Use Cange in Besai Sub Watershed
Tulang Bawang Lampung. Proceed of International Seminar on Toward Harmonization
between Development and Environmental Conservation in Biological Production 3 5 Dec
2004. Cilegon, Indonesia.

Sinukaban, N. 1981. Erosion Selectivity as Affected by Tillage Planting System. Ph.D Thesis
University of Winconsin, Madison, USA.

Sinukaban, N. 1994. Integrated Land Managementfor Sustainable Agriculture Development in


Indonesia. Contour Vol. VI no. 1.

Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. J.L. Amstrong and MG Nethery, 1994. Effect of Soil
Conservation Practices and Slope Lengths on Run Off, Soil Loss and Yield of Vegetables in
West Java. Aust, J. Soil and Water Cons. 7(3): 25-29.

Sinukaban, N., H. Pawitan, S. Arsyad. and J. Amstrong. 1998. Impact of soil and Water
Conservation Practiceson Stream Flows in Citere Catchment, West Java, Indonesia. Toward
Sustainable Land Use. Advances in Geoecology 31:1275-1280

Sudirman, N. Sinukaban, Suwardjo dan S. Arsyad. 1985. Pengaruh Tingkat Erosi dan Pengapurn
terhadap Produktivitas Tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk (6)9-14.

Swaify, El. S.A, S. Arsyad, dan P. Krisnalajati. 1983. Soil erosion by Water. Dalam Carpenter
R.A. (Ed). 1983. Natural system for Development What Planners Need To Know, Mc, millan,
Publ, Co:19-161

WASWC (World Association of soil dan eater Conservation). 1998. Wocat (World Overview of
Conervation Approachs and Technologies). A Frame Work for the Evaluation of Soil and water
Conservation. Lang Druck AG, Bern Switzerland.

Sumber: Naik Sinukaban (2007). Peranan Konservasi Tanah dan Air dalam Pengelolaan
Daerah Aliran Sungai. Dalam Fahmudin Agus et al (2007) (Penyunting). Bunga Rampai
Konservasi Tanah dan Air. Jakarta: Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air
Indonesia 2004-2007.

Pembangunan Daerah Berbasis Strategi


Pengelolaan DAS
Oleh : NAIK SINUKABAN

Sumber: http://muhtadi71.wordpress.com/2008/
Otonomi daerah (OTDA) yang secara universal dikenal sebagai desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah (UU Otonomi
Daerah,1999). Desentralisasi secara efektif dan menyeluruh telah dilaksanakan di Indonesia
sejak 1 Januari 2001 dengan dasar hukum pokok yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah. Dalam Undang-undang tersebut desentralisasi menyangkut
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada daerah otonom yang berada
pada tingkat di bawahnya. Namun prinsip desentralisasi bukan hanya mengenai penyerahan
wewenang pemerintahan, tetapi yang lebih penting lagi adalah transfer proses pengambilan
keputusan (transfer of decision-making process) dari otoritas pusat kepada otoritas tingkat daerah
yang paling dekat dengan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan
pembangunan.

Pelaksanaan otonomi daerah (OTDA) yang luas dan utuh di Indonesia ditempatkan pada daerah
kabupaten dan daerah kota, sedangkan OTDA di propinsi merupakan otonom yang terbatas.
Penerapan desentralisasi merupakan respon atas gagalnya sistem pembangunan nasional yang
sentralistik dan keinginan berbagai daerah untuk mendapatkan manfaat dan rasa keadilan dalam
alokasi hasil pengelolaan sumberdaya alam. Sistem sentralistik yang diterapkan di Indonesia
selama masa orde baru telah berakhir dengan kondisi antiklimaks dari pelaksanaan pembangunan
jangka panjang yang ditandai oleh terjadinya krisis ekonomi, sosial, dan politik. Era sentralisasi
ekonomi dan pemerintahan yang diterapkan secara nasional oleh pemerintahan orde baru selama
32 tahun (1966-1998) telah banyak menguras sumberdaya alam (SDA) lokal dan mengalirkan
keuntungan ekonomi yang diperoleh ke pusat pemerintahan dan bisnis di Jakarta sehingga
menimbulkan ketimpangan ekonomi dan sosial di daerah. Indikator hasil pengurasan SDA secara
sentralistik di Indonesia ditunjukkan dengan terjadinya kesenjangan ekonomi antara daerah dan
pusat, tingginya tingkat kemiskinan di daerah, kerusakan lingkungan hidup di daerah , dan
lemahnya kelembagaan di daerah.

Munculnya era reformasi menggantikan orde baru menguatkan tuntutan daerah untuk
mendapatkan kewenangan yang luas dalam pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan
sumberdaya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah secara berkeadilan.

Pembangunan Dalam Era Otonomi Daerah

Desentralisasi mengasumsikan bahwa dengan semakin pendeknya rentang birokrasi,


pembangunan dapat dijalankan lebih terfokus dan tepat sesuai dengan aspirasi dan
perkembangan masyarakat serta dinamika pembangunan .

Pelaksanaan OTDA dalam pembangunan daerah diharapkan dapat mendorong pemberdayaan


masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, dan
mengembangkan fungsi dan peran kelembagaan (legislatif) di daerah.

Desentralisasi sebagai instrumen kebijakan pembangunan merupakan kebalikan sistem


sentralistik. Suatu alat atau instrumen bisa sesuai atau bisa pula tidak sesuai dalam penggunaanya
untuk mencapai tujuan. Stockmayer (1999) menyatakan bahwa desentralisasi dapat lebih
mendekatkan peranan (pelayanan) pemerintah terhadap masyarakat, terutama yang menyangkut
efisiensi pelaksanaan pembangunan. Sesungguhnya desentralisasi menyangkut masalah ekonomi
secara keseluruhan, terutama yang menyangkut distribusi hasil pemanfaatan sumberdaya alam
(SDA) yang lebih merata dan dinikmati lebih besar oleh masyarakat di daerah. Beberapa peran
dan manfaat yang diharapkan dari penerapan desentralisasi antara lain adalah: (a) mempercepat
terselenggaranya pelayanan publik dan pengadaan fasilitas kepada masyarakat, sehingga
mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, (b) alokasi dan distribusi hasil pemanfaatan
sumberdaya alam lebih adil dan merata, (c) membuka peluang berkembangnya pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah yang lebih merata, (d) meningkatkan peran pemerintah
daerah dan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam secara lebih efisien, efektif, dan
sesuai dengan dinamika masyarakat di daerah, dan (e) menempatkan posisi pengambil kebijakan
lebih dekat dengan kepentingan masyarakat.

Implementasi Otonomi Daerah Dalam Pembangunan

Namun dalam perkembangan pelaksanaan OTDA, telah teridentifikasi beberapa hal yang
berpotensi menimbulkan masalah atau konflik antara lain : (a) adanya daerah miskin dan kaya
sebagai konsekuensi tidak meratanya distribusi sumberdaya alam (SDA) dan kesenjangan tingkat
kemampuan sumberdaya manusia, (b) adanya perbedaan kepentingan antar daerah dalam
pemanfaatan SDA yang dapat memicu timbulnya konflik antar daerah otonom yang berdekatan,
dan (c) keberhasilan pelaksanaan otonomi tidak diukur dengan prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development), sehingga OTDA mengeksploitasi SDA secara besar-
besaran untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

Daerah otonom dengan kewenangan yang diberikan sesungguhnya memiliki tanggung-jawab


yang lebih besar dalam menjamin keberhasilan kinerja pembangunan di daerah. Kinerja
pembangunan pada umumnya dipengaruhi oleh empat faktor penentu, yaitu sumberdaya alam
(natural capital), sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan manusia (man made
capital), dan kelembagaan formal maupun informal masyarakat (social capital) (Kartodihardjo,
1999). Oleh sebab itu pemahaman OTDA tidak boleh parsial, tetapi harus menyeluruh dan
komprehensif di dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang
menjamin pemanfaatan sumberdaya alam secara bertanggung jawab dengan memperhatikan
kelestarian fungsi ekologis, ekonomis, dan sosial budaya. Namun hal itu tidak terjadi diseluruh
OTDA. Beberapa pemerintah daerah tidak memahami prinsip pembangunan berkelanjutan dalam
pelaksanaan OTDA sehingga mereka memprioritaskan pemanfaatan sumberdaya alam sebagai
modal utama untuk membiayai pembangunan daerah.

Upaya eksploitasi SDA secara besar-besaran di beberapa daerah untuk mengejar target
pendapatan asli daerah (PAD) disinyalir telah meningkatkan laju kerusakan SDA. Banyak pelaku
pembangunan di daerah mengejar PAD sebesar-besarnya sebagai indikator keberhasilan
pelaksanaan OTDA yang akhirnya berdampak pada penurunan kualitas lingkungan. Dampak
kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi pada daerah setempat (on-site effects) seperti longsor
dan erosi tanah tetapi juga di luar daerah setempat (off-site effects) seperti banjir dan
sedimentasi. Fenomena degradasi lingkungan seperti banjir, erosi, longsor, sedimentasi dimusim
hujan serta kekeringan dimusim kemarau itu sudah terjadi dengan frekuensi yang semakin sering
dan intensitas yang semakin parah.
Hal ini akan mengakibatkan produktivitas pertanian semakin menurun, biaya pengelolaan
lingkungan semakin tinggi, dan petani miskin menjadi semakin miskin

Pembangunan Daerah dan Pengelolaan DAS

Konsekuensi dari pelaksanaan OTDA juga berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan daerah
aliran sungai (DAS). Batas daerah otonom (Kabupaten/Kota/Propinsi) secara umum tidak
berimpit dengan batas DAS. Suatu DAS dibatasi oleh topografi alami berupa punggung-
punggung bukit/gunung, dimana presipitasi yang jatuh di atasnya mengalir melalui titik keluar
tertentu (outlet) yang akhirnya bermuara ke danau atau laut. Wilayah DAS terdiri dari komponen
sumberdaya biotik, abiotik, dan lingkungan lainnya yang saling berinteraksi membentuk suatu
sistem.

Suatu kegiatan dibagian hulu DAS akan berpengaruh pada daerah dibagian hilir. Dengan
demikian DAS menjadi integrator beragam interaksi komponen ekosistem, sehingga batas DAS
sering dijadikan patokan batas bioregion. Batas bioregion dalam pembagunan daerah menjadi
sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan yang menjamin keseimbangan fungsi ekologis
dan ekonomi. Sungai, pada umumnya berada di tengah DAS, sering dijadikan batas terluar dari
batas administratif daerah otonom. Oleh karena itu batas DAS akan bersifat lintas lokal
melampaui batas-batas kekuasaan politis dan administrasi, sehingga masalah DAS pada
umumnya menyangkut beberapa kabupaten dalam satu atau lebih propinsi. Pengaturan dan
pengelolaan SDA dalam DAS dirasakan semakin kompleks dalam era OTDA dan berpotensi
menimbulkan konflik antar daerah otonom. Oleh karena itu strategi atau konsep pengelolaan
DAS dalam era otonomi daerah sangat diperlukan untuk menghindari konflik dan degradasi SDA
dan lingkungan.

Masalah pengelolaan DAS dalam kaitannya dengan OTDA sebaiknya tidak diletakkan dalam
perspektif perbedaan antara batas ekologis DAS dengan batas administrasi daerah otonom secara
kaku. Oleh sebab itu DAS harus dipandang sebagai suatu kesatuan bio-region yang mungkin
terdiri dari beberapa daerah otonom yang secara ekologis dan ekonomi saling berkaitan.
Selanjutnya OTDA dijadikan alat untuk mencapai tujuan pemanfaatan potensi SDA
berkelanjutan dan bukan merupakan tujuan. Pandangan ini sejalan dengan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang:

bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang beraneka ragam perlu dilakukan secara terkoordinasi
dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola pembangunan yang
berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang
dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup.

Wilayah DAS sebagai kesatuan bio-region harus dipahami secara holistik dan komprehensif oleh
penyelenggara daerah otonom. Prinsip dasar dari DAS sebagai bio-region adalah keterkaitan
berbagai komponen dalam DAS secara spasial (ruang), fungsional, dan temporal (waktu).
Perubahan salah satu bagian dari bio-region atau DAS akan mempengaruhi bagian lainnya,
sehingga dampak dari perubahan bagian bio-region atau DAS tersebut tidak hanya akan
dirasakan oleh bagian itu sendiri (on site) tetapi juga bagian luarnya (off site). Rusaknya hutan di
bagian hulu akan menimbulkan banjir, erosi, sedimentasi, dan penurunan kualitas air di bagian
hilirnya.

Ketidakpahaman atas implementasi prinsip keterkaitan SDA dalam bio-region atau DAS dapat
menimbulkan konflik antar daerah/regional, terutama yang menyangkut alokasi dan distribusi
sumberdaya. Semakin terbatas suatu SDA dibandingkan dengan permintaan masyarakat, maka
kompetisi untuk memperoleh SDA tersebut semakin tinggi dan peluang terjadinya konflik makin
besar. Hal ini jelas terlihat pada konflik pemanfaatan sumber daya air, hutan, dan lahan.

Konflik yang terjadi dalam masyarakat selalu menimbulkan dampak negatif dalam
pembangunan, dimana pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan menjadi tidak terjamin
atau bahkan hancur. Oleh karena itu implementasi pengelolaan DAS dalam pelaksanaan OTDA
tidak boleh mengandung potensi konflik antar wilayah.

Strategi Pengelolaan DAS Lintas Daerah

Penggunaan SDA yang meliputi beberapa wilayah perlu diatur oleh strategi pengelolaan DAS
secara terpadu, menyeluruh, fleksibel, efisien, dan berkeadilan dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan. Dari uraian diatas terlihat bahwa kapasitas untuk mengelola SDA atau DAS
secara berkelanjutan masih sangat lemah . Untuk itu diperlukan kegiatan peningkatan kapasitas
(Capacity building) yang sistematis secara terus menerus. Strategi yang dapat ditempuh dalam
peningkatan kapasitas dan untuk menghindari terjadinya konflik antar-wilayah adalah :

1. Membangun kesepahaman dan kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan


DAS lintas regional
2. Membangun sistem legislasi yang kuat
3. Meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam Pengelolaan DAS
4. Meningkatkan kemampuan SDM dalam pengelolaan SDA

Membangun Kesepahaman dan Kesepakatan Masing-masing daerah otonom perlu


memahami mekanisme hidrologis yang berjalan secara alami dalam penggunaan SDA lintas
regional. Mekanisme hidrologis menekankan adanya karakteristik
ketergantungan/interdependensi (interdependency) antar spasial.Sebagai contoh terjadi
penurunan penutupan lahan di bagian hulu DAS dapat mengakibatkan terjadinya banjir saat
musim hujan di bagian hilir, dan meningkatnya buangan limbah di bagian hulu dapat
menurunkan kualitas air aliran sungai di hilirnya.

Masalah ketidakmerataan dan ketidak efisienan penggunaan alokasi SDA yang mencakup
kuantitas dan kualitasnya sering memicu timbulnya konflik antar daerah. Daerah yang memiliki
sumberdaya lebih dan cenderung menguasainya secara eksklusif akan mengancam daerah-daerah
lainnya sepanjang DAS. Penguasaan secara eksklusif bersifat kaku akan memicu terjadinya
inefisiensi sumberdaya dan meningkatkan biaya pemakaian sumberdaya serta memicu konflik.

Beragam aktifitas pembangunan yang dilakukan sepanjang DAS selalu saling terkait, sehingga
untuk menghindari terjadinya konflik dalam pemanfaatan SDA perlu dibangun kesepakatan antar
daerah otonom. Dasar kesepakatan adalah komitmen bersama untuk membangun sistem
pengelolaan DAS yang berkelanjutan yang melandaskan setiap strategi pada upaya untuk
mencapai keseimbangan dan keserasian antara kepentingan ekonomi, ekologis, dan sosial
budaya. Komitmen bersama antar daerah otonom adalah strategi awal yang perlu dilakukan
untuk menyusun langkah-langkah pengelolaan DAS. Salah satu faktor dari ketidakberhasilan
pengelolaan DAS selama ini adalah tidak dibangunnya komitmen bersama antar daerah secara
baik. Wujud dari komitmen bersama adalah munculnya perhatian dan tanggung-jawab bersama
terhadap kelestarian SDA pada setiap unit kegiatan pembangunan di daerah masing-masing.

Proses untuk mencapai komitmen bersama dapat ditempuh dengan melakukan negosiasi politik
antar daerah yang didasarkan pada adanya kepentingan bersama dalam memanfaatkan SDA,
sehingga alokasi dan distribusi SDA dapat ditetapkan secara adil.

Kerjasama antar daerah otonom dapat diwujudkan dengan membentuk Badan Kerjasama antar
Daerah (Pasal 87 ayat 2, UU No. 22/1999). Keputusan bersama yang membebani masyarakat dan
Daerah harus mendapat persetujuan DPRD masing-masing. Jika Kabupaten/Kota tidak dapat
melaksanakan kerjasama antar daerah, maka kewenangan penyediaan pelayanan lintas
kabupaten/kota dilaksanakan oleh Propinsi. Apabila kerjasama antar Propinsi diperlukan maka
kerjasama tersebut harus dibawah koordinasi pemerintah pusat. Kewenangan propinsi juga
mencakup kewenangan yang tidak dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota karena dalam
pelaksanaannya dapat merugikan Kabupaten/Kota masing-masing. Jika pelaksanaan kewenangan
Kabupaten/Kota dapat menimbulkan konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota, maka
Kabupaten dan Kota dapat membuat kesepakatan agar kewenangan tersebut dilaksanakan oleh
Propinsi.

Membangun Sistem Legislasi yang Kuat

Kebijakan publik dalam aspek pengelolaan sumberdaya alam akan memiliki kekuatan untuk
mengendalikan perilaku masyarakat (publik) apabila dikukuhkan oleh sistem legal (hukum) yang
memadai. Legislasi dalam pengelolaan DAS sangat diperlukan terutama dalam merancang dan
mendukung pelaksanaan kebijakan pengelolaan DAS. Beberapa peran legislasi dalam menjamin
pelaksanaan pengelolaan DAS yang baik adalah :
Adanya Undang-undang, keputusan presiden, atau produk hukum lainnya yang dapat dijadikan
dasar untuk membentuk institusi dan perangkat organisasi yang dibutuhkan dalam
mengimplementasikan pengelolaan DAS berkelanjutan.

Untuk melegalisasi mandat yang diterima oleh institusi yang dibentuk dan menjamin sahnya
alokasi anggaran rutin yang diberikan oleh pemerintah
Untuk mengurangi aktivitas yang menimbulkan kerusakan lingkungan dalam DAS dan
memaksa publik untuk mentaati prinsip-prinsip pengelolaan DAS berkelanjutan.Legislasi
lingkungan dapat mengatur perilaku manusia dalam hubungannya dengan alokasi dan
pemanfaatan sumberdaya alam, seperti lahan, air, udara, mineral, hutan dan lanskap alam.
Perilaku manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam diberi pedoman agar tidak
menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan.Legislasi memberikan kekuatan
(power) dan kewenangan (authorities) kepada pemerintah atau lembaga yang ditunjuk
berdasarkan undang-undang untuk melakukan pengaturan, penguasaan, pengusahaan,
pemeliharaan, perlindungan, rehabilitasi, pemberian sanksi, penyelesaian konflik dan
sebagainya, dalam mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alam dan lingkungan untuk
mewujudkan tujuan pengelolaan sumberdaya alam yang dikehendaki (sustainable natural
resources development) Produk legal harus menempatkan prinsip keadilan dan kemanfaatan
sebagai pertimbangan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan DAS.

Meningkatkan Peranan Institusi Pengelolaan DAS.

Institusi atau kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak yang
mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari
lingkungan. Institusi mengatur apa yang dilarang untuk dikerjakan oleh individu atau dalam
kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Oleh karena itu, institusi adalah
instrumen yang mengatur antar individu (Kartodihardjo, et.al, 2000).

Institusi juga berarti seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat, dimana masyarakat
tersebut telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, bentuk-bentuk aktifitas
yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah
diberikan, serta tanggung-jawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur
hubungan antar individu dan/atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan
sumberdaya alam tertentu (Schmid, 1987 dalam Kartodihardjo, 2000). Di Amerika Serikat
dikenal adanya riparian right dan appropriation-rights dalam pengelolaan sumberdaya air.

Institusi sebagai modal dasar masyarakat (social capital) dapat dipandang sebagai aset produktif
yang mendorong anggotanya untuk bekerjasama menurut aturan perilaku tertentu yang disetujui
bersama untuk meningkatkan produktifitas anggotanya secara keseluruhan. Ikatan institusi
masyarakat yang rusak secara langsung akan menurunkan produktifitas masyarakat dan menjadi
faktor pendorong percepatan eksploitasi sumberdaya alam disekitarnya (Kartodihardjo, et. al,
2000).

Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan (property


rights) sumberdaya, batas-batas kewenangan (jurisdiction boundary) masyarakat dalam
memanfaatkan sumberdaya, dan aturan-aturan perwakilan (rules of representation) dalam
memanfaatkan sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi
pemerintah merupakan institusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral
dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sangat tergantung
dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya.

Penguatan institusi dalam pengelolaan DAS dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan


pengelolaan DAS. Kondisi institusi yang kuat merupakan prasyarat penyelenggaraan
pengelolaan DAS yang baik. Kinerja institusi pengelolaan DAS di Indonesia relatif tertinggal
dibandingkan dengan Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, bahkan Thailand.
Ketergantungan terhadap sumberdaya alam yang masih tinggi dan kurangnya kepedulian
masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan merupakan indikator
lemahnya institusi pengelolaan DAS di Indonesia. Institusi pengelolaan DAS yang ada di
Indonesia belum memiliki peranan yang kuat terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat dalam DAS. Pengembangan kelembagaan masih bersifat keproyekan, sehingga
intervensi penguatan institusi hanya berjalan selama proyek masih ada.
Instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS di Indonesia sebagai institusi formal
cukup beragam. Kendala yang sering dihadapi antara lain adalah masalah koordinasi program;
seringkali program yang sama atau mirip diusulkan oleh instansi yang berbeda.

Duplikasi program akan menyebabkan ketidak efisienan anggaran berupa pemborosan dan mark-
up, ketidaksinambungan pembinaan program, serta ketidakjelasan rentang kewenangan
pengelolaan DAS. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia belum
menerapkan prinsip strategi satu perencanaan (one plan strategy) dengan baik, sehingga tingkat
keberhasilan program pengelolaan DAS masih rendah. Prinsip one river, one plan belum di
implementasikan secara menyeluruh.

Meningkatkan Kualitas SDM

Kualitas sumberdaya manusia untuk pengelolaan SDA secara umum masih rendah dan terdapat
kesenjangan diseluruh daerah otonom. Kemampuan petani, perencana pengelolaan DAS, pejabat
yang melaksanakan pengelolaan DAS masih sangat rendah untuk mengelola SDA secara
berkelanjutan dan menerapkan prinsip one river one plan.

Petani tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang tindakan tepat apa yang harus dia lakukan
didalam usahataninya agar tidak terjadi degradasi lahan yang dapat menurunkan produktivitas
lahannya. Penyuluh pertanianpun tidak dibekali pengetahuan dan pedoman yang memadai untuk
membimbing petani dalam memilih dan menerapkan agroteknologi atau teknik-teknik konservasi
yang memadai. Pejabat yang berwewenang menentukan kebijakan pun tidak punya pemikiran
dan konsep yang menyeluruh (holistic) untuk mengelola SDA secara berkelanjutan dalam suatu
DAS. Pejabat didaerah hilir hanya mau mempertimbangkan teknologi yang diperlukan untuk
mencegah banjir didaerahnya, walaupun ada teknologi pencegahan banjir yang lebih efektif dan
berkelanjutan melalui pengelolaan DAS dibagian hulu/ diluar daerahnya. Padahal kalau
teknologi pengelolaan DAS yang dilaksanakan dibagian hulu, maka selain banjir dapat dicegah/
dikurangi, kekeringan dimusim kemaraupun dapat diatasi.

Oleh sebab itu diperlukan program pelatihan yang sistematis secara terus menerus untuk
meningkatkan kapasitas individu/ SDM dalam pengelolaan SDA agar prinsip pembangunan
berkelanjutan terlaksana diseluruh DAS dan daerah otonom.

Kesimpulan

Pelaksanaan pembangunan daerah dalam era otonomi daerah berpengaruh terhadap pengelolaan
DAS. Karakteristik SDA yang bersifat lintas daerah /lokal melewati batas kekuasaan politis dan
administratif berpotensi menimbulkan konflik antar daerah otonom. Potensi konflik antar daerah
banyak terkait dengan alokasi dan penggunaan SDA yang menyangkut aspek ketidakluwesan
(inflexible), ketidakefisienan (inefficient), ketidakadilan (inequitable). Disamping itu persepsi
keberhasilan suatu daerah otonom adalah jumlah PAD mengakibatkan terjadinya pemanfaatan
SDA secara berlebihan yang akhirnya menimbulkan degradasi SDA yang ditandai oleh banjir,
longsor, sedimentasi dan kekeringan yang semakin sering dan parah.
Strategi pengelolaan DAS dalam era otonomi daerah harus dilakukan melalui peningkatan
kapasitas (capacity building) daerah yang meliputi : (a) membangun kesepahaman dan
kesepakatan antar daerah otonom dalam pengelolaan SDA; (b) membangun sistem legislasi yang
kuat; dan (c) meningkatkan peranan institusi (kelembagaan) dalam pengelolaan SDA dan (d)
meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan (training).

DAFTAR PUSTAKA

Kartodihardjo, H. 1999. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai : Konsep,


Paradox, dan Masalah, serta Upaya Peningkatan Kinerja. Makalah Lokakarya Nasional
Kebijaksanaan Pengelolaan DAS. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan Penghijauan dan
Reboisasi Pusat. Bogor, 18 Februari 1999.

Kartodihardjo, H, K. Murtilaksono, H.S. Pasaribu, U. Sudadi, dan N. Nuryantono. 2000. Kajian


Institusi Pengelolaan DAS dan Konservasi Tanah. K3SB Bogor.

UU Otonomi Daerah, 1999. Undang-undang Otonomi Daerah UU No. 22. 1999 tentang
Pemerintah Daerah; UU No 25 Thn. 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah; UU No 28 Thn 1999, tentang penyelenggara yang bersih dan bebas dari KKN.

Stockmayer, A. 1999. Decentralization : Global Fad or Recipe for Sustainable Local


Development Agriculture + Development Vol (6) : 1

SISTEM EKOLOGI DAN MANAJEMEN


DAERAH ALIRAN SUNGAI
Tejowulan, R.S. dan Suwardji

Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL), Fakultas Pertanian
Universitas Mataram

ABSTRAK

Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi oleh
punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. DAS oleh
karenanya merupakan satu kesatuan sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk
mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat diperoleh secara optimal dan
berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-
baiknya. Makalah ini secara singkat menyajikan pokok-pokok pikiran tentang sistim ekologi dan
filosofi DAS untuk mencapai pengelolaan DAS yang berkelanjutan dan menguntungkan.

PENDAHULUAN
Pengertian daerah aliran sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai yang
menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan dengan istilah dalam bahasa
inggris drainage basin, drainage area, atau river basin. Sehingga batas DAS merupakan garis
bayangan sepanjang punggung pegunungan atau tebing/bukit yang memisahkan sistim aliran
yang satu dari yang lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri atas dua bagian utama daerah
tadah (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan daerah penyaluran air yang berada di
bawah daerah tadah.

Dalam pengelolaannya, DAS hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya darat.
Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada hubungan antara kebutuhan
manusia dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia tersebut.

Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan manakala sumberdaya tersebut tidak
lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya melimpah. Pada kondisi dimana
sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan manusia pengelolaan DAS dimaksudkan untuk
mendapatkan manfaat sebaik-baiknya dari segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial budaya
maupun keamanan-kemantapan nasional. Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS
melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah pemborosan.

Dalam makalah ini akan dibahas (1) Pengertian DAS dan DAS sebagai Sistem Ekologi, (2)
Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (3) Hakekat DAS sebagai dasar dalam
pengelolaannya, (4) Dasar-dasar pengelolaan DAS, dan (5) Data dasar yang diperlukan untuk
merencanakan pengelolaan DAS.

PENGERTIAN DAS DAN DAS SEBAGAI SISTIM EKOLOGI

Banyak definisi tentang sumberdaya (resource) seperti obtainable reserve supply of desirable
thing (suatu persediaan barang yang diperlukan, berupa suatu cadangan yang dapat diperoleh)
(Menard,1974). Pengetian sumberdaya selalu menyangkut manusia dan kebutuhannya serta
usaha atau biaya untuk memperolehnya. Oleh karena berkaitan dengan kebutuhan manusia, maka
sumberdaya mempunyai arti nisbi (relative).

Atas dasar kehadirannya, sumberdaya dapat dipilahkan ke dalam dua kelompok (1) sumberdaya
alam dan (2) sumberdaya buatan manusia. Ada juga yang menggolongkan sumberdaya atas dasar
kemantapannya terhadap kegiatan manusia : (1) sumberdaya yang sangat mantap, (2)
sumberdaya yang cukup mantap dan (3) sumberdaya yang tidak mantap. Suatu sumberdaya
tertentu dapat mempunyai nilai kemantapan beragam, tergantung dari gatranya yang
diperhatikan. Misalnya, tanah sebagai tubuh alam mempuyai nilai kemantapan daripada
kesuburannya. Mutu air jauh lebih mudah goyah daripada jumlahnya. Manusia secara jelas tidak
dapat mengubah volume udara dalam atmosfer akan tetapi dia secara nisbi mudah
mencemarkannya.

Selain itu, ada yang menggolongkan sumberdaya atas kemampuannya untuk memperbaiki diri
(self restoring). Dalam hal ini sumberdaya dibagi ke dalam dua kategori: (1) terbarukan
(renewable), seperti udara, air tanah, hutan dan ikan. Memang ditinjau secara local atau
setempat, air tanah, hutan, dan ikan dapat menyusut atau habis. Akan tetapi secara keseluruhan,
mereka itu tidak akan habis selama faktor-faktor pembentuknya masih tetap berfungsi. Bahkan
yang habis di suatu tempat akan dapat timbul kembali jika diberi kesempatan cukup. (2) Tak-
terbarukan (non-renewable), seperti minyak bumi, panas dan cebakan mineral.

DAS merupakan gabungan sejumlah sumberdaya darat, yang saling berkaitan dalam suatu
hubungan interaksi atau saling tukar (interchange). DAS dapat disebut suatu sistem dan tiap-tiap
sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem) atau anasirnya (component).
Kalau kita menerima DAS sebagai suatu sistem maka ini berarti, bahwa sifat dan kelakuan DAS
ditentukan bersama oleh sifat dan kelakuan semua anasirnya secara terpadu (integrated). Arti
terpadu di sini ialah bahwa keadaan suatu anasir ditentukan oleh dan menentukan keadaan
anasir-anasir yang lain.

Yang dinamakan sistem ialah suatu perangkat rumit yang terdiri atas anasir-anasir yang saling
berhubungan di dalam suatu kerangka otonom, sehingga berkelakuan sebagai suatu keseluruhan
dalam menghadapi dan menanggapi rangsangan pada bagian manapun (Dent dkk. 1979;
Spedding, 1979). Disamping memiliki ciri penting berupa organisasi dalam (internal
organization), atau disebut pula dengan struktur fungsi (fungtional structure), suatu sistem
dipisahkan batas system dari sistem yang lain. Batas ini memisahkan sistem dari
lingkungannya, atau memisahkan sistem yang satu dari yang lain. Lingkungan ialah
keseluruhan keadaan dan pengaruh luar (external), yang berdaya (affect) batas hidup,
perkembngan dan ketahanan hidup (survival) suatu sistem (De Santo,1978).

Anasir-anasir DAS ialah iklim hayati (bioclimate), relief, geologi, atau sumberdaya mineral,
tanah, air (air permukaan dan air tanah), tetumbuhan (flora), hewan (fauna), manusia dan
berbagai sumberdaya budaya seperti sawah, ladang, kebun, hutan kemasyarakatan (HKm), dan
sebagainya. Berbagai anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas sangat mempengaruhi
berbagai aspek dalam sistim DAS. Sebagai contoh, relief dapat mempengaruhi distribusi lengas
tanah dan lama penyinaran matahari. Tanah dan relief mempengaruhi keadaan hidrologi
permukaan, keadaan vegetasi dan keadaan sumberdaya budaya. Iklim ikut mengendalikan
keadaan vegetasi dan sumberdaya budaya.

DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek dan dapat dimanfaatkan oleh manusia
untuk berbagai peruntukan. Setiap anasir dalam DAS memerlukan cara penanganan yang
berbeda-beda tergantung pada watak, kelakuan dan kegunaan masing-masing. Sebagai contoh,
ketrampilan dan pengetahuan anasir manusia dapat menyuburkan tanah yang tadinya gersang.
Namun karena berlainan kepentingan, maka dapat terjadi bahwa suatu tindakan yang baik untuk
suatu anasir DAS tertentu justru akan merugikan jika diterapkan pada anasir DAS yang lain.
Sebagai contoh, penanaman jalur hijau untuk melindungi tebing aliran terhadap pengikisan atau
longsoran, dapat mendatangkan kerugian atas pengawetan sumberdaya air karena meningkatkan
transpirasi yang membuang sebagian air yang dialirkan. Hal ini menunjukkan bahwa
perencanaan pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif, yang lebih mementingkan
pengoptimuman kombinasi keluaran (optimization of the combined output) dari pada
pemaksimuman salah satu keluaran saja.

DAS yang mempunyai gatra ruang (space) atau luas (size), bentuk (form), ketercapaian
(accessibility) dan keterlintasan (trafficability). Gatra-gatra ini menyangkut nilai ekonomi
penggunaan DAS, karena menentukan tingkat peluang berusaha dalam DAS, nilai hasil usaha
dan kedudukan nisbi DAS selaku sumberdaya dibanding dengan DAS yang lain. Gatra-gatra
ruang, bentuk, ketercapaian dan keterlintasan bersama-sama dengan harkat anasir-anasir DAS
yang telah disebutkan di atas, menentukan kedudukan DAS dalam urutan prioritas
pengembangan,. Keunikan dan keberagaman DAS menimbulkan berbagai pertimbangan dalam
penggunaan alternatif menurut kepentingan yang berubah sejalan dengan perkembangan
kebutuhan dan keinginan. Macam dan jumlah kebutuhan serta keinginan merupakan fungsi
waktu dan tempat. Maka dari itu pengertian tentang makna waktu dan tempat sangat menentukan
ketepatan perencanaan tataguna DAS. Tanpa perencanaan tataguna yang memadai, penggunaan
DAS dapat menjurus ke arah persaingan antar berbagai kepentingan, yang akhirnya hanya akan
saling merugikan, dan pada gilirannya akan menimbulkan degradasi sumberdaya DAS yang
tidak terkendalikan.

HAKEKAT DAS SEBAGAI DASAR DALAM PENGELOLAANNYA

Pada dasarnya DAS merupakan satu kesatuan hidrologi. DAS penampung air, mendistribusikan
air yang tertampung lewat suatu sistem saluran dari hulu ke hilir, dan berakhir di suatu tubuh air
berupa danau atau laut. Barsama dengan atmosfir dan laut (atau danau), DAS menjadi tempat
kelangsungan daur hidrologi. Hubungan hidrologi antara atmosfir dan tubuh air bumi dapat
berjalan secara langsung, atau lewat peranan DAS. Terjadi pula hubungan hidrologi lansung
antara DAS dan atmosfir. Hubungan hidrologi segitiga antara atmosfir, DAS dan tubuh air bumi
(laut) disajikan pada Gambar 1. Bagan ini memperlihatkan peranan DAS sebagai penghubung
dua waduk air alam utama, yaitu atmosfir dan laut. Ini menjadi dasar pertama dalam pengelolaan
DAS.

Selaku suatu wilayah kegiatan pendauran air maka DAS merupakan suatu satuan fisik yang
cocok bagi penelaahan proses-proses yang menentukan pembentukan bentang lahan (landscape)
khas di berbagai wilayah bumi. Proses-proses yang berlangsung di dalam DAS dapat dikaji
berdasar pertukaran bahan dan energi (Leopold dkk, 1964). Hal ini menjadi dasar kedua dalam
pengelolaan DAS. Gambar 2 merupakan acuan DAS sebagai suatu system yang bertopang pada
proses pertukaran bahan dan energi.
Setiap DAS cenderung memperluas diri, baik dengan jalan erosi mundur dan/atau menyamping
di daerah hulu, maupun dengan jalan pengendapan di daerah hilir, termasuk pembentukan jalur
berkelok (meander) di dataran pantai dan pembentukan delta di depan kuala. Dilihat dari segi ini
maka DAS merupakan suatu satuan geomorfologi yang bersifat sangat dinamik, dibentuk oleh
proses- proses fluvial dan memperoleh corak dan cirinya dari paduan dua proses yang saling
berlawanan. Proses yang satu ialah degradasi (penurunan) di daerah hulu dan proses yang lain
ialah agradasi (peningkatan) di daerah hilir. Dengan demikian ada proses perpindahan material
dari hulu ke hilir. Salah satu hasil morfogenesa penting semacam ini adalah pembentukan
bentang tanah atau pola agihan tanah yang khas di tiap-tiap DAS. Keadaan ini merupakan dasar
ketiga dalam pengelolaan DAS.
Di depan telah diuraikan tentang berbagai gatra dan keaneka ragaman pemanfaatan DAS. Hal ini
merupakan dasar keempat dalam pengelolaan DAS.

Dari dasar pengelolaan pertama dan kedua mengandung suatu pengertian penting, bahwa DAS
merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Hal ini dapat dilihat dari berfungsinya
interaksi luar (functioning of external interactions), yang menurut De Santo (1978) merupakan
kategori kedua yang membentuk hakekat kehadiran suatu sistem. Dasar pengelolaan kedua,
ketiga dan keempat menunjuk kepada suatu pengertian penting berikutnya, bahwa DAS
merupakan suatu sistem peubah energi (energy transformer). Hal ini dapat dipandang adanya
interaksi berfungsinya faktor-faktor internal (functioning of internal interactions). Yang menurut
De Santo (1978) merupakan kategori pertama yang membentuk hakekat kehadiran suatu sistem.

DASAR-DASAR PENGELOLAAN DAS


Pengelolaan DAS biasanya mengacu pada pengelolaan dua anasirnya (component) yang
dianggap terpenting, yaitu sumberdaya tanah dan air. Adapun anasir yang lain, seperti iklim,
vegetasi, relief dan manusia, diperlukan sebagai faktor-faktor dalam pengelolaan.

Maksud pengelolaan DAS ialah mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS
sesuai dengan kemampuanya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan
yang berkembang menurut waktu. Dalam ungkapan sesuai dengan kemampuannya tersirat
pengertian selaras dan lestari. Ungkapan manfaat lengkap dan kebutuhan masyarakat yang
beraneka ragam dan yang berkembang menurut waktu mengisyaratkan bahwa (1) hasil keluaran
DAS tidak boleh hanya bermacam tunggal, akan tetapi harus terdiri atas berbagai hasil keluaran
yang berkombinasi secara optimum, dan (2) rencana pengelolaan harus bersifat lentur (flexible)
yang berisi sejumlah alternatif.

Untuk mengarahkan pengelolaan, diperlukan tiga unsur pengarah. Yang pertama diperlukan ialah
variable-variabel keputusan (decision variables), yang menjadi sumber pembuatan alternatif.
Yang kedua diperlukan ialah maksud dan tujuan (objectives), ini dapat sebuah atau lebih. Yang
ketiga ialah kendala (constraint), yang membatasi gerak variabel-variabel keputusan dalam
membuat alternatif-alternatif untuk mencapai maksud dan tujuan yang ditetapkan. Khusus
mengenai pengelolaan DAS, yang dapat dipakai sebagai variebel-variabel keputusan ialah (1)
keempat dasar untuk pengelolaan DAS yang telah disebutkan terdahulu (DAS selaku
penghubung dua waduk air alam utama, kehadiran DAS didukung oleh kegiatan pertukaran
bahan dan energi, DAS berkembang melalui proses perubahan dalam dan DAS bergatra ganda
yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan), (2) pemanfaatan DAS harus dapat
menimbulkan pemerataan manfaat antara daerah hulu dan hilir, dan (3) pengembangan DAS
harus dapat memberikan sumbangan bagi kepentingan regional dan atau nasional. Maksud atau
tujuan pengelolaan DAS telah disebutkan di atas.

Yang dapat ditunjuk sebagai kendala terhadap perkembangan DAS ialah iklim, relief, tanah, air,
sumberdaya mineral, vegetasi, beberapa gatra tertentu manusia, ruang/luas, bentuk, ketercapaian
dan keterlindasan. Pendek kata semua anasir DAS yang dikenai atau terlibat dalam pengelolaan.

Dalam rencana pengelolaannya, DAS dibagi menjadi dua satuan pengelolaan. Satuan
pengelolaan hulu mencakup seluruh daerah tadah atau daerah kepala sungai. Satuan pengelolaan
hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Oleh Ray dan Arora (1973)
istilah watershed digunakan secara terbatas untuk menamai daerah tadah, sedang daerah
bawahan mereka namakan dengan istilah commanded area. Yang dinamakan commended
area ialah daerah-daerah yang secara potensial berpengairan. Di DAS yang dapat dibangun
suatu bendungan atau waduk maka seluruh daerah yang terkuasai oleh bangunan tersebut (daerah
yang terletak dibawah garis tinggi pintu bendungan atau waduk) merupakan commended area.

Pengelolaan daerah tadah ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut ini (Roy &Arora, 1973): (1)
Pengendalian aliran permukaan tanah (excess) yang merusak, sebagai usaha mengendalikan
banjir, (2) Memperlancar infiltrasi air kedalam tanah. (3) Mengusahakan pemanfaatan aliran
permukaan untuk maksud-maksud yang berguna, (4) Mengusahakan semua sumberdaya tanah
dan air untuk memaksimumkan produksi.
Faktor-faktor yang berdaya (affect) atas program pengelolaan daerah tadahan atau DAS hulu
ialah (Roy & Arora, 1973): (1) Bentuk dan luas daerah tadahan, (2) Lereng dan timbulan makro
(3) Keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah, (4) Intensitas, jangka waktu dan
agihan curah hujan (5) Rupa dan mutu vegetasi penutup, (6) Penggunaan lahan terkini.

Tujuan pengelolaan DAS hilir dapat diringkas sebagai berikut: (1) Mencegah atau
mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan, sehingga tidak merusak dan menurunkan
kemampuan lahan.(2) Memperbaiki pengatusan (drainage) lahan untuk meningkatkan
kemampuannya. (3) Meningkatkan dayaguna air dari sumber-sumber air tersediakan. (4)
Meliorasi tanah, termasuk memperbaiki daya tanggap tanah terhadap pengairan, dan kalau perlu
juga reklamasi tanah atas tanah-tanah garaman, alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral
mentah.

Faktor-faktor pokok yang berdaya atas program pengelolaan daerah hilir ialah: (1) Bentuk daerah
hilir dan perbandingan luasnya dengan luas daerah tadahan.(2) Perbedaan landaian (gradient)
lereng umum daerah hilir terhadap landaian lereng umum daerah tadahan. (3) Timbulan makro,
ketinggian muka lahan pukul rata, jeluk (depth) pukul rata air tanah, dan keadaan tanah. (4)
Intensitas, jangka waktu dan agihan curah hujan.(5) Rupa dan vegetasi penutup. (6) Penggunaan
lahan kini.

Perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS,
karena hal itu akan menentukan keuntungan yang dapat diperoleh, atau kesempatan yang
terbuka, dalam pengelolaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir menentukan seberapa besar
keuntungan yang secara potensial dapat diperoleh karena pengelolaan DAS hulu benar-benar
terwujudkan. Dengan kata lain, pengelolaan DAS hilir bertujuan meningkatkan daya tanggapnya
terhadap dampak pengelolaan DAS hulu.

Hubungan ini dapat digambarkan pada Gambar 3. Dari bagian ini tampak, bahwa pengelolaan
DAS hulu bertujuan rangkap: (1) meningkatkan harkatnya sebagai lahan usaha dan atau lahan
permukiman, dan (2) memperbaiki dampaknya atas DAS hilir untuk memperluas peluang
memperbaiki keadaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir berperanan melipatkan pengaruh
perbaikan yang telah dicapai di DAS hulu. Menurut pandangan ekologi maka daerah hulu
dikelola sebagai daerah penyumbang (donor) bahan dan energi, atau boleh juga disebut sebagai
lingkungan pengendali (conditioning environtment). Sementara itu, daerah hilir merupakan
daerah penerima (acceptor) bahan dan energi, atau lingkungan konsumsi atau lingkungan yang
dikendalikan (commanded environment). Dengan demikian pengelolaan DAS harus bersifat
menyeluruh dan dapat memadukan bagian hulu dan hilir menjadi satu sistem.
DATA DASAR YANG DIPERLUKAN DALAM PENGELOLAAN DAS

Penanganan sumberdaya untuk pemanfaatannya memerlukan data dasar sebagai pangkal otak.
Demikian pula halnya dengan pengelolaan DAS. Data dasar (baseline data) ialah sekumpulan
keterangan hakiki tentang suatu masalah (matter) yang relevan dengan watak (nature) masalah
itu. Data itu dapat berupa ciri (characteristic) atau terukur (measureable). Mutu tidak dapat
diamati atau diukur secara langsung, karena ditentukan oleh saling tindak sejumlah sifat, dan
hanya dapat diketahui, dirasakan atau dinilai dari akibat atau perwujudan (manifestation) yang
ditimbulkan. Yang dimaksud dengan akibat atau perwujudan ialah tindakannya dalam
mempengaruhi kecocokan sumberdaya (DAS, lahan) bagi suatu penggunaan tertentu. Taraf
kepentingan nisbi tiap sifat yang menentukan suatu mutu tertentu, bergantung pada keadaan
lingkungan (Brinkman dan Smyth, 1973). Misalnya, erodibilitas tanah sebagai mutu ditentukan
bersama oleh faktor-faktor kemiringan dan panjang lereng, permeabilitas tanah, dan kemantapan
struktur tanah. Taraf kepentingan nisbi permeabilitas tanah menjadi menonjol dalam lingkungan
iklim basah. Dalam lingkungan iklim kering, yang mana erosi angin menjadi bentuk erosi pokok,
tinggal kemantapan struktur tanahlah yang menjadi faktor yang menonjol.

Erosivitas hujan bersama dengan erodibilitas tanah menentukan mutu lahan yang disebut
kerentanan lahan terhadap erosi air. Macam mutu yang lain antara lain kesuburan tanah, iklim,
kebersihan air, keterlindasan (trafficability), dan keramah tamahan penduduk. Mutu dapat
diharkatkan dengan sebutan (buruk, sedang, baik) atau dengan nilai tertentu (scoring).
Data dasar untuk pengelolaan DAS terdiri atas ciri dan mutu semua anasir atau gatra DAS yang
penting dalam menentukan kemampuan (capability) DAS. Macam data yang sekurang-
kurangnya harus dikumpulkan ialah:

1. Neraca air makro (menurut iklim) dan neraca mikro (atau neraca lengas tanah menurut
hidrologi lahan).
2. Erosivitas hujan dan erodibilitas tanah, untuk daerah-daerah beriklim kering, erosivitas
hujan diganti dengan erosivitas angin.
3. Keadaan iklim hayati, yang mencakup agihannya menurut tinggi tempat dan kedudukan
topografi.
4. Proses fluvial dalam geomorfologi (erosi, sedimentasi, hidrolika sungai, pembentukan
delta, dataran banjir, dataran interfluvial, dataran estuarin, bentukan morfologi destruktif,
seperti lembah, peneplain, morfologi karst, dsb).
5. Kemampuan lahan untuk pertanian, baik produktivitas maupun potensialitasnya.
6. Tataguna lahan kini dan produktivitasnya, termasuk tataguna sumberdaya air kini.
7. Ketercapaian wilayah dan keterlintasan.
8. Kerapatan dan distribusi penduduk, laju pertambahan penduduk, mata pencaharian,
kemampuan usaha, tingkat pendapatan dan kekayaan keluarga, tingkat kesehatan, dan
mobilitas penduduk.
9. Rata-rata dan distribusi luas lahan milik atau garapan dan tingkat penerapan teknologi.

Dari analisa dan penilaian data dasar akan diperoleh pengetahuan, kesimpulan atau petunjuk
tentang :

1. Tingkat peluang dan prospek pengembangan.


2. Beberapa alternatif arah dan bentuk pengembangan, termasuk pertimbangan kerjasama
dengan DAS tetangga dengan maksud saling mengisi.
3. Macam dan jumlah masukan yang diperlukan.
4. Prioritas penanganan segi-segi persoalan, baik untuk menyiapkan keadaan dan suasana
yang serasi bagi memulakan (start) pembangunan yang sebenarnya, maupun untuk
pentahapan pembangunan secara bernalar menurut tempat dan waktu.

Dari macam ragam data dasar yang diperlukan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan DAS harus
dikerjakan secara multidisiplin. Yang diartikan dengan multidisiplin ialah suatu titik tolak
pandangan atau sikap, atau kerangka pendekatan, yang memadukan berbagai bidang
pengetahuan yang relevan dengan watak dan kelakuan masalah, menjadi satu sistem analitik.
Agar supaya sistem analitik ini dapat berfungsi efektif, tiap-tiap bidang pengetahuan yang
menjadi unsur-unsurnya diberi kedudukan tertentu di dalam kerangka kerja. Unsur-unsur
tersebut dapat diurutkan pada garis gerak analisa sesuai dengan pertimbangan hirarki tertentu.
Dengan jalan ini suatu unsur memperoleh masukan dari unsur lain yang berkedudukan hirarki
lebih tinggi dan pada gilirannya, unsur yang tersebut pertama tadi memberikan masukan kepada
unsur berikutnya yang berkedudukan hirarki lebih rendah.

Sistem analitik seperti ini mempunyai struktur bertingkat. Biasanya pengumpulan data dasar dan
analisa kualitatif fisik berada pada tingkat atas (langkah kerja pertama), dan memberikan
masukan kepada analisa sosial-ekonomi dan pengharkatan kuantitatif yang berada pada tingkat
bawah (langkah kerja kedua). Maka system analisa seperti ini disebut pula pendekatan
bertingkat dua. Dapat pula analisa semua gatra dikerjakan secara berdampingan (hirarki
tunggal), dan sistemnya dinamakan pendekatan sejajar (ILRI, 1977).

Kedua macam pendekatan itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.


Pendekatan bertingkat atau bertahap bersifat lebih terarah, memiliki urutan kegiatan yang jelas
tanpa langkah-langkah yang saling berhimpitan. Dengan demikian ia bersifat lebih fleksibel
dalam hal penganggaran penghasilan kegiatan survai dan pengumpulan data pada hal-hal yang
langsung diperlukan untuk analisa dan pengharkatan.

Penghampiran sejajar sering menghambat analisa tuntas mengenai kemampuan menyeluruh


(ultimate capability) suatu sumberdaya, karena terjerat dalam pertimbangan sosial-ekonomi yang
membuat batasan tempat dan waktu. Dengan demikian prospek mutlak suatu sumberdaya tidak
terungkapkan. Untuk keperluan pengharkatan lahan, FAO dan International Institute for Land
Reclamation and Improvement (ILRI), memilih pendekatan bertahap (ILRI, 1977). Penulis juga
memperoleh pengalaman yang memuaskan dalam menerapkan penghampiran bertahap ini.
Bidang sosial-ekonomi boleh saja ditangani pada tahap pertama kegiatan bersama-sama dengan
bidang fisik, asal saja terbatas pada pengumpulan data dasar.

Dalam menghubungkan asas kepaduan disiplin dengan pengelolaan DAS, Martin (1970) dalam
kata pengantarnya untuk Symposium on The Interdisciplinary Aspects of Watershed
Management di Montana State University mengemukakan bahwa professional from the many
different disciplines will work in concert to bring about total watershed managenent.

PENUTUP

Maksud pengelolaan DAS adalah untuk mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari
DAS sesuai dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka
ragam dan yang berkembang menurut waktu. Mengingat bahwa DAS merupakan suatu system
yang terbentuk dari gabungan sumberdaya yang saling berkaitan dan berinteraksi, maka dalam
pengelolaannya harus memperhatikan semua anasir-anasir penyusunnya. Karena DAS
merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek maka pemanfaatan DAS harus bersifat
komprehensif yang lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran daripada
pemaksimuman salah satu keluaran saja. Oleh karena itu, pengelolaan DAS harus dilaksanakan
secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan guna mendapatkan manfaat sebaik-baiknya.
Dengan memahami DAS sebagai suatu system ekologi, diharapkan pengelolaan DAS akan dapat
lebih terarah, bermanfaat, dan berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Brinkman, R. dan Smith, A.J. (1979). Land evaluation for rural purpose. ILRI Publ. No. 17.
Wageningen.

Dawes, J.H. (1970). Influence of soil on water yield. Proc. Symp. Interdisc. Aspects Watershed
Management. Mon. State University.

Dent, J.B., Blackie, M.J. & Harrison, S.R.(1979). System simulation in agriculture. Appl. Sci.
Publ. Ltd. London.

De Santo. R.S. (1978). Concept of applied ecology. Springer-Verlag, New York.

ILRI. (1977). Framework for land evaluation. Inter. Land Recl. Improv. Wageningen
Leopold, L.B., Wolman, MG. Dan Miller, J.P. (1964). Fluvial processes in geomorphology. WH.
Freeman and Co. San Fransisco.

Martin, G.L. 1970. Introduction. Proc. Symp. Interdisc. Ascept Watershed Man. Mon. State
Univ. h. 1-2. Amer. Soc. Civ. E. New York.

Meinzer, O.E. 1942. Ground Water. Dalam: Meinzer, O.E., Editor, Hydrology. Ch. XA. Dover
Publ. Inc. New York.

Menard, H.W. 1974. Geology. resources, and society. W. H. Freeman and Co. San Francisco.

Michigan State Univ. 1976. Design and management of rural ecosystems. ASRA Information
Resosurces, National Science Foundation. Wasington, D. C.

Morgan, R. P. C. 1979. Soil erosion. Logman. London.

Nelson, A. & Nelson, K. D. 1973. Dictionary of water and water engineering Butterwarths & Co,
Ltd. London.

Notohadiprawiro, T. 1977. Suatu cara pengharkatan cepat tapak darat (land site) bagipendirian
pemukiman baru. Kongres Nasional Ilmu Tanah II. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia.
Yogyakarta.

_______________ 1980. Penghijauan : kontroversi yang berkepanjangan. Seminar Penghijauan


P. I. P. R. / R. S. D. C. Yogyakarta.

___________, & Drajad, M. 1980. Rancangan klasifikasi kemampuan lahan untuk permukiman
ketanian. Rancangan pertama. Dep. I. Tanah. Fak. Pert. UGM. Belum diterbitkan.

___________, Sukodarmodjo, S., & Drajad, M. 1980. Beberapa fakta dan angka tentang
lingkungan fisik waduk Wonogiri dan kepentingannya sebagai dasar pengelolaan. Lokakarya
Pengembangan dan Pelestarian Wilayah Waduk Wonogiri. Tawangmangu.

Oldeman, R. A. A. 1979. Blueprints for a new tropical agroforestry tradition. Proc. 50th Symp.
Trop. Agr. Bull. 303. Kon. Inst. Tropen. Amsterdam. H. 25-34.

Rqy, K. & Arora, D.R. 1973. Technology of agricultural land development and water
management. Satya pakashan. Tech. India Publ. New Delhi.
Soepraptohardjo, M. & Robinson, G. H., editors. 1975. A proposed land capability appraisal
system for agricultural uses in Indonesia. Soil. Inst. Bogor.

Steele, J. G. 1967. Soil suvey interpretation and iats use. Fao Soil Bull. No. 8.

Storie, R. E. 1964. Handbook of soil evaluation. Assoc. Students Store. Univ. Calif. Berkeley.

Spedding, C. R. W. 1979. An introduction to agricultural systems. Appl. Sci. Publ. Ltd. London.
Wassink, J. T. 1979. Agroforestry, een samenspel van land- en bosbouw ten behoeve van de
mens en zijn milieu. 67e Jaarverslag Kon. Inst. Tropen Amsterdam.

DISKUSI
Pertanyaan :

1. Pada kenyataanya sulit sekali pengelolaan DAS didasarkan pada batas-batas administrasi.
Dengan adanya Otonomi Daerah maka ada bentrok antara DAS hulu dengan DAS hilir.
2. Saran (Masyarakat yang berada di hilir membayar ke daerah hulu).
3. Yang diuraikan tadi hanya masih dalam teori-teori DAS saja, tetapi aplikasinya belum.
4. Karakteristik aliran sungai akan kita angkat sebagai variable utama.

Tanggapan :

1. Memang benar, bahwa yang disampaikan hanya bersifat teoritis, tetapi ini berfungsi
untuk meningkatkan kesadaran kita.
2. Saran-saran kami terima untuk dipertimbangkan.

Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran


Sungai: Cakupan, Permasalahan, dan Upaya
Penerapannya
C. Nugroho S. Priyono dan S. Andy Cahyono

Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan DAS, IBB. Jln. A. Yani Pabelan,
Solo Email: bp2tp@indo.net.id

ABSTRAK

Pendekatan pengelolaan daerah aliran sungai yang pernah diragukan efektivitasnya kini mulai
relevan kembali seiring dengan semakin lajunya degradasi sumber daya alam di daerah aliran
sungai. Perubahan situasi, kondisi, dan pergeseran paradigma dalam pengelolaan daerah aliran
sungai perlu diikuti dengan teknologi pengelolaan daerah aliran sungai yang sesuai. Makalah ini
menguraikan cakupan, permasalahan pengelolaan sumber daya alam, dan upaya yang perlu
dilakukan supaya semua pihak dapat mengacunya. Selain penerapan teknologi dalam konteks
pengelolaan sumber daya alam, faktor kelembagaan juga merupakan faktor penting. Untuk itu,
diperlukan kontribusi dari banyak pihak dalam suatu kerangka kerja pengelolaan daerah aliran
sungai yang disepakati.

ABSTRACT

The effectiveness of watershed management approach was questioned, but this approach is now
becoming relevant because of the current problems related to the increasing of natural resource
degradation in the watershed. Technology used in the natural resource management in the
watershed is understood as parts of watershed management technology. The current change of
situation, condition and new paradigm in watershed management need to be followed by
updating watershed management technologies. This paper discusses the coverage, problems of
natural resources management in watershed and efforts to be taken so that all stakeholders are
able to refer to it. In the watershed management, the institutional aspect is also an important
factor besides technology implementations. Contributions from each stakeholder are needed to
formulate the common framework of watershed management

PENDAHULUAN

Persoalan sedimentasi, penurunan muka air suatu waduk atau danau serta maraknya kejadian
bencana alam akhir-akhir ini seperti longsor, banjir, dan kekeringan, dapat dipandang sebagai
indikator tidak optimalnya pengelolaan sumber daya (alam dan manusia) dalam daerah aliran
sungai (DAS). Intervensi dan kebutuhan manusia dalam pemanfaatan sumber daya yang semakin
meningkat membuat makin banyaknya DAS yang rusak dan kritis.

Gambaran kerusakan DAS dan degradasi lahan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pada
tahun 1984 terdapat 22 DAS dalam keadaan kritis dengan luas 9.699.000 ha, kemudian
meningkat menjadi 39 DAS kritis pada tahun 1994 dengan luas lahan kritis mencapai 12.517.632
ha, dan pada tahun 2000 DAS kritis berjumlah 42 DAS dengan luas lahan kritis mencapai
23.714.000 ha (Soenarno, 2000; Ditjen RRL, 1999). Saat ini diperkirakan 13% atau 62 DAS dari
470 DAS di Indonesia dalam kondisi kritis, meskipun kegiatan konservasi tanah dan air dalam
pengelolaan DAS sudah sejak lama dilakukan.

Di Indonesia, pentingnya konservasi tanah dan air pada satuan sistem DAS mulai disadari setelah
terjadi banjir besar Bengawan Solo tahun 1966. Kesadaran tersebut ditindaklanjuti dengan upaya
penanggulangan pada skala luas melalui Proyek Penghijauan Departemen Pertanian 001 pada
tahun 1969. Sistem pengelolaan DAS untuk mendukung pelaksanaan konservasi tanah
diformulasikan pada tahun 1972 melalui proyek Upper Solo Watershed Management and Upland
Development Project (TA INS/72/006). Dari perjalanan waktu penyelenggaraan pengelolaan
DAS, kegiatan pengelolaan DAS dapat diartikan sebagai pengelolaan sumber daya alam (SDA)
berskala DAS berdasarkan integrasi keterlibatan masyarakat, pengetahuan teknis, dan struktur
organisasi beserta arah kebijakan kegiatan.

Pendekatan pengelolaan DAS menjadi relevan kembali setelah munculnya persoalan pengelolaan
SDA serta dampak pengelolaan yang buruk. Sementara itu, pendekatan pengelolaan DAS juga
mengalami perubahan seiring dengan adanya perubahan situasi, permasalahan, kondisi, dan
pergeseran paradigma. Makalah ini menguraikan cakupan, permasalahan pengelolaan SDA, dan
upaya yang perlu dilakukan agar semua pihak dapat mengacunya.

CAKUPAN PENGELOLAAN DAS

Daerah aliran sungai secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan/kawasan yang dibatasi
oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen,
dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet).
Oleh karena itu, pengelolaan DAS merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang
menempatkan DAS sebagai unit pengelolaan. Pada dasarnya pengelolaan DAS merupakan upaya
manusia untuk mengendalikan hubungan timbal balik antara SDA dengan manusia dan
keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan SDA bagi manusia secara berkelanjutan.

Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem dimana terjadi interaksi antara organisme dari
lingkungan biofisik dan kimia secara intensif serta terjadi pertukaran material dan energi. Dalam
ekosistem DAS dapat dilihat hubungan antara hujan sebagai input, DAS sebagai pemroses, dan
air sebagai output. Hujan sebagai input dalam ekosistem DAS bisa dianggap sebagai faktor yang
tidak dapat dikendalikan oleh manusia. DAS sebagai faktor proses merupakan unsur yang bisa
diubah atau diperlakukan untuk bisa memanfaatkan sumber daya yang ada di dalamnya dan bisa
menekan kerusakan yang terjadi (Priyono dan Cahyono, 2003). Karena DAS secara alamiah juga
merupakan satuan hidrologis, maka dampak pengelolaan yang dilakukan di dalam DAS akan
terindikasikan dari keluarannya yang berupa tata air.

Terdapat hubungan yang sangat erat antara hulu dan hilir dalam DAS, dimana hulu sebagai
daerah tangkapan air akan memberikan dampak dari pengelolaan yang dilakukan di hulu.
Sementara itu, hilir berperan sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu (dampak
baik atau buruk). Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya di dalam DAS perlu dilakukan
secara terpadu (integrated resource management) untuk dapat mengakomodir semua
kepentingan.

PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI DAERAH


ALIRAN SUNGAI

Bertitik tolak dari pemahaman bahwa pengelolaan SDA dapat dikatakan bagian dari pengelolaan
DAS, maka permasalahan pengelolaan DAS yang timbul sebagian besar juga bermuatan masalah
pengelolaan SDA. Keberhasilan ataupun kegagalan dalam pengelolaan SDA di dalam DAS akan
berimplikasi pada pengelolaan DAS.

Sumber daya hutan

Indonesia dikaruniai salah satu hutan tropis yang terluas dan terkaya keanekaragaman hayati
serta potensinya di dunia. Namun demikian, laju kerusakan hutan dan pembentukan lahan kritis
di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Gambaran umum kondisi kerusakan hutan
menunjukkan bahwa dari 105 juta ha kawasan hutan di Indonesia, 57,7 juta ha (55%) diantaranya
mengalami kerusakan. Menurut laporan Forest Watch Indonesia (2001), laju kehilangan hutan
semakin meningkat. Pada tahun 1980-an laju kehilangan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1
juta ha/tahun, kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha/tahun pada tahun 1990-an. Saat
ini laju kehilangan hutan telah mencapai 2 juta ha/tahun. Meskipun angka-angka tersebut masih
diperdebatkan kesahihannya, tetapi kecenderungan tersebut perlu diwaspadai mengingat
kebutuhan kayu terus meningkat dan kebakaran hutan menjadi rutin terjadi.

Pada tahun 1998, kebutuhan kayu nasional adalah sebanyak 39,75 juta m3 dan diperkirakan
meningkat menjadi 52,18 juta m3 pada tahun 2003. Sementara itu, kapasitas pemenuhan
kebutuhan tersebut sampai saat ini hanya 18,14 juta m3, sehingga masih ada kekurangan 34,04
juta m3 (Goldammer et al., 1999). Situasi tersebut akan berdampak negatif apabila pemenuhan
kebutuhan kayu tersebut tidak diikuti dengan teknik silvikultur dan pembalakan yang lestari
(Priyono et al., 2000). Pengelolaan SDA hutan harus menerapkan teknologi yang
mempraktekkan prinsip pembalakan dengan dampak minimum (Reduced Impact Logging/RIL).
Selain itu, pengelolaan hutan juga menghadapi persoalan sosial berupa penjarahan dan
perambahan hutan. Kondisi tersebut dipicu oleh kesenjangan sosial ekonomi antara masyarakat
sekitar hutan dengan pengusaha hutan, selain kondisi politik dan penegakan hukum yang tidak
mendukung. Untuk itu, diperlukan teknologi dan rekayasa sosial yang memberi ruang lebih luas
dan penyertaan masyarakat untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan. Cukup banyak program
yang bernuansa partisipatif dikembangkan untuk memberi solusi masalah tersebut, tetapi
pengalaman menunjukkan bahwa program yang berhasil adalah yang berasal dari masyarakat
setempat.

Sumber daya lahan

Persoalan utama dalam pengelolaan sumber daya lahan (SDL) adalah penurunan luas lahan
pertanian sebagai akibat konversi ke non-pertanian. Peningkatan konversi lahan pertanian
menjadi lahan non-pertanian akan mengancam lahan hutan, karena pertanian akan merambah
kawasan hutan untuk dibuka menjadi lahan pertanian. Hal tersebut disinyalir dari hasil penelitian
Abbas (1997), Mulyana (1998), dan Cahyono (2001). The World Bank (1990) memperkirakan
40.000 ha/tahun lahan pertanian dikonversi menjadi lahan non-pertanian di Indonesia. Dalam
satuan DAS, konversi tersebut sebagian besar terjadi di hilir DAS.

Ditinjau dari aspek kualitas, terjadi penurunan kualitas lahan sebagai akibat erosi yang semakin
meningkat. The World Bank (1990) mencatat bahwa rata-rata erosi di lahan pertanian Pulau
Jawa pada tanah vulkanik sebesar 6-12 t/ha/tahun dan pada tanah kapur sebesar 20-60 t/ha/tahun.
Sementara itu, laju pembentukan tanah sangat lambat (30-725 tahun/mm tanah) dan
ekstensifikasi pertanian sangat mahal. Hal ini ditambah lagi dengan intensifikasi pertanian yang
sudah mencapai taraf levelling off apabila tidak ditemukannya teknologi baru yang dapat
meningkatkan produktivitas pertanian. Mencermati hal tersebut, maka diperlukan pembatasan
konversi lahan dan pengendalian erosi dengan satuan pengelolaan DAS. Program tata ruang
dengan pendekatan pengelolaan DAS merupakan upaya penanganan masalah konversi lahan.

Sumber daya air

Persoalan ketersediaan air dan distribusinya selalu menjadi permasalahan umum. Ketersediaan
air di musim kemarau menjadi sangat terbatas, sementara pada musim penghujan banjir terjadi di
mana-mana. Penurunan tinggi muka air (TMA) di beberapa danau dan waduk mengalami
penurunan akibat konsumsi dan penggunaan lahan terus meningkat.

Di Pulau Jawa, jumlah air tersedia mencapai 142,3 milyar m3/tahun dan kebutuhan air mencapai
77,8 milyar m3/tahun (Kananto et al., 1998). Angka tersebut merupakan jumlah total dalam
setahun sementara pada bulan-bulan kering jelas penggunaan dan konsumsi lebih tinggi dari
pasokannya. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air, diperlukan penekanan pada jumlah
pemakaian. Mengingat bahwa sektor pertanian menggunakan 80-90% dari jumlah air tersedia
maka penggunaan air di sektor pertanian perlu terus ditingkatkan.
Sementara itu adanya otonomi daerah yang memberi ruang lebih besar pada daerah dalam
mengelola sumber daya air telah membawa beberapa konsekuensi pengelolaan sumber daya air
dalam konteks DAS, yaitu: a. pemanfaatan air oleh suatu daerah berarti menghilangkan peluang
pemanfaatan oleh daerah lain, padahal mungkin saja oportunity cost di daerah lain lebih tinggi;
b. pencemaran pada daerah hulu akan berdampak pada bagian hilir; dan c. daerah hulu sering
berfungsi sebagai daerah pelestari, tetapi penerima manfaatnya di daerah hilir. Selain itu daerah
hulu kehilangan peluang pengembangan daerahnya untuk mendukung daerah hilir tanpa adanya
kompensasi dari yang menerima manfaat.

Pengembangan teknologi pengelolaan DAS untuk sumber daya air ditujukan pada teknologi
yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air (terutama irigasi) dan konsumsi air. Selain itu
perlu didukung dengan pengembangan kelembagaan tradisional seperti Subak di Bali, Karuhan
di Tasikmalaya Jawa Barat, atau Pasang di Sulawesi Selatan. Dalam kaitan inilah, maka
penggunaan DAS sebagai unit hidrologi dapat dimanfaatkan secara efektif dan efisien dalam
pengembangan model dan teknologi pengelolaan sumber daya air dalam DAS.

Diversifikasi flora fauna Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar di dunia.
Keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia luar biasa tinggi, meliputi 11% spesies
tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia, dan 16% spesies burung (Forest Watch Indonesia, 2001).

Degradasi lahan, deforestrasi, konversi lahan, kebakaran hutan, kekeringan, banjir, dan longsor
mengakibatkan menurunnya keanekaragaman flora dan fauna. Dalam kaitannya terhadap
perlindungan biodiversity, maka kehati-hatian sangat diperlukan. Hal ini mengingat topografi
wilayah Indonesia yang sebagian besar bergunung dan berbukit yang memungkinkan tingginya
endemi dan percepatan kepunahan.

Bertitik tolak pada pemikiran bahwa DAS merupakan representasi ekosistem, maka satuan DAS
dapat dijadikan sebagai pendekatan dalam pengelolaan flora fauna. Ekosistem dalam DAS terdiri
atas beberapa subsistem yang saling terkait, berintegrasi, berinteraksi, dan bersinergi.

TEKNOLOGI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Peningkatan jumlah penduduk berdampak pada semakin meningkatnya permintaan akan


kebutuhan manusia terutama pangan. Semakin intensif dan ekstensifnya penggunaan lahan
pertanian membuat banyak lahan pertanian terdegradasi, sehingga timbul kesan bahwa pertanian
itu eksploitatif terhadap lahan dan mengabaikan pelestarian lingkungan.

Hasil penelitian Abbas (1997), Mulyana (1998), dan Cahyono (2001) menunjukkan bahwa
pembukaan areal padi mulai mengarah ke lereng-lereng DAS hulu dan lahan marjinal. Begitu
pula dengan tanaman palawija, hortikultura, tembakau, dan tanaman bernilai ekonomis tinggi
lainnya. Misal, kentang di Dieng Wonosobo, Tembakau di Temanggung yang sangat
menguntungkan secara ekonomi (Kurnia, 2000), meskipun menyebabkan erosi (Donie, 2002).
Akibatnya, terjadi penggundulan hutan, penebangan pohon, dan pemanfaatan lahan secara
intensif.
Untuk memaksimalkan keuntungan dan pendapatan, maka upaya konservasi diminimalkan oleh
pengusaha dan petani. Menurut Arifin (1996) dan Cahyono (2002), petani mau mengadopsi suatu
teknologi konservasi hanya jika terdapat manfaat ekonomis dari kegiatan tersebut. Petani dengan
pendapatan rendah, mungkin sadar bahwa teknologi konservasi akan bermanfaat dan mengurangi
erosi, tetapi mereka tidak mampu untuk menerapkan teknologi konservasi tersebut. Sebaliknya
bagi petani di lereng bukit yang cenderung erosi akan enggan untuk mengadopsi teknologi
konservasi jika penghasilan dari usaha taninya tidak terpengaruh oleh erosi yang terjadi. Oleh
karena itu, kebijakan konservasi tanah perlu diintegrasikan dengan kebijakan pangan dan
pertanian secara keseluruhan.

Pertanian sering dianggap eksploitatif akibat dari pelaksanaan konservasi tanah yang belum
merupakan bagian dari pengelolaan lahan maupun pengelolaan tanaman. Untuk itu, maka sistem
pertanian harus merupakan bagian dari pengelolaan lahan dalam satuan DAS. Pertanian
merupakan suatu sistem yang menggunakan input produksi (lahan, tenaga kerja, modal, dan
manajemen) melalui sebuah proses alam dan menghasilkan produk pertanian. Hal ini identik
dengan pengelolaan DAS yang dapat dianggap pula sebagai sebuah sistem produksi.

Pengelolaan DAS dapat dilihat sebagai sebuah sistem perencanaan produksi yang menggunakan
pengelolaan input dengan input alam untuk menghasilkan output berupa barang dan jasa, dengan
konsekuensi efek pada sistem alam di on-site dan off site (Gambar 1). Dari sisi ekonomi, sistem
pengelolaan DAS adalah suatu cara proses produksi dengan mengeluarkan biaya untuk input dan
pengelolaan serta mendapat manfaat ekonomi dari output yang dihasilkan. Gambar 1 juga
menunjukkan prinsip dasar analisis manfaat biaya.

Pengelolaan DAS dapat menghasilkan dampak positif berupa produksi pertanian, hasil hutan,
peternakan, rekreasi, air dan sebagainya. Selain itu pengelolaan DAS dapat pula menghasilkan
efek negatif berupa erosi, sedimentasi, kehilangan unsur hara, longsor, dan sebagainya.
Penurunan pada dampak negatif pengelolaan DAS akan meningkatkan output. Apabila dampak
positif yang dapat diperoleh dari pengelolaan DAS lebih besar dibandingkan dengan dampak
negatifnya, maka pengelolaan DAS tersebut memberikan manfaat bersih yang positif. Jadi,
tujuan pengelolaan DAS adalah untuk memaksimumkan manfaat sosial ekonomi bersih pada
kegiatan penggunaan lahan di dalam DAS.
Gambar 1. Sistem Pengelolaan DAS secara umum

Manfaat bersih dari pengelolaan DAS akan berkelanjutan apabila disertai dengan kegiatan
konservasi tanah. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada cara
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000).
Konservasi tanah bukan berarti penundaan atau pelarangan penggunaan tanah, tetapi
menyesuaikan jenis penggunaannya dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai
dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tanah berfungsi secara lestari. Setiap perlakuan yang
diberikan pada sebidang tanah akan mempengaruhi tata air, sehingga usaha untuk
mengkonservasi tanah juga merupakan konservasi air.
Selain penerapan teknologi dalam pengelolaan SDA dan implementasi praktek konservasi,
pengelolaan DAS juga mencakup kelembagaan para pihak yang terkait dalam pengelolaan SDA.
Kelembagaan tidak hanya menyangkut organisasi tetapi juga aturan main antar-organisasi,
kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi dan jejaring kerja antar-organisasi.
Persoalan kelembagaan inilah yang sekarang menjadi lebih dominan daripada penerapan
teknologi, mengingat adanya perubahan tatanan politik. Tumpang tindihnya kewenangan dan
tidak adanya jejaring kerja yang baik membuat pengelolaan SDA tidak efisien bahkan cenderung
bersifat eksploitatif.

Pengelolaan DAS yang baik membutuhkan adanya jejaring kerja yang baik antar institusi
pengelola SDA di DAS dalam suatu kerangka kerja yang disepakati bersama. Konsensus akan
kerangka kerja tersebut perlu dibangun dari seluruh pihak yang terkait. Namun pengalaman juga
menunjukkan bahwa konsensus sulit diharapkan untuk dapat terjadi secara alamiah, tetapi di
banyak kasus dibutuhkan suatu tekanan dari salah satu pihak yang dominan. Yang penting dalam
hal ini adalah, apabila konsensus kerangka kerja telah disepakati, semua pihak perlu meng-
implementasikan secara konsisten sesuai tugas dan fungsi masing-masing.

PENUTUP

Teknologi pengelolaan DAS sering disederhanakan dengan praktek konservasi tanah dan air.
Pengertian ini perlu dikembalikan lagi pada pendekatan pengelolaan DAS sebagai upaya
pengelolaan SDA dalam suatu ekosistem. Teknologi pengelolaan DAS ke depan sudah
seharusnya menjadi bagian kebutuhan masyarakat yang berada dalam suatu DAS.

Pengembangan teknologi pertanian harus merupakan bagian dari pengelolaan DAS yang
memadukan produksi dan konservasi. Untuk itu konservasi lahan harus menjadi suatu kebutuhan
(need) bagi petani dalam berusaha tani dalam bingkai DAS. Dengan penerapan teknologi dalam
konteks pengelolaan SDA di DAS akan diperoleh penyelenggaraan pengelolaan DAS yang baik.
Untuk itu diperlukan kontribusi dari banyak pihak dalam suatu kerangka kerja pengelolaan DAS
yang disepakati. Keberhasilan pengelolaan DAS tidak semata-mata dipengaruhi oleh teknologi,
tetapi juga oleh partisipasi masyarakat, kelembagaan, kebijakan, dan akses masyarakat dalam
mengelola SDA yang ada dalam DAS.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S. 1997. Revolusi Hijau dengan Swasembada Beras dan Jagung. Sekretariat Badan
Pengendali Bimas. Departemen Pertanian Republik Indonesia, Jakarta.

Arifin, B. 1996. Kontroversi Program Konservasi Lahan. Jurnal Sosio Ekonomika 2 (3): 9-18.

Arsjad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB Press. Bogor.

Cahyono, S.A. 2001. Analisis Penawaran dan Permintaan Beras di Propinsi Lampung dan
Kaitannya dengan Pasar Beras Domestik dan Internasional. Tesis Magister Sains. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Cahyono, S.A. 2002. Konservasi tanah dalam konteks kebijakan. Info DAS 13: 14-26. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor.

Ditjen RRL (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan). 1999. Luas Lahan Kritis di
Indonesia dan Statistik dalam Angka. Direktorat Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah
Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan, Jakarta.

Donie, S. 2002. Prilaku bertani masyarakat Dieng, kelestarian daerah aliran sungai dan
solusinya. hlm. 121-132 dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitan dan Pengembangan Teknologi
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Wonosobo, 9 September 2002.

Forest Watch Indonesia. 2001. Potret Kehutanan Indonesia. Forest Watch Indonesia, Bogor.

Goldammer, J.G., W. Schindelle, B. Seibert, A.A. Hoffmann, and H. Abberger. 1999. Impacts of
fire on dipterocarp forest ecosystems in South East Asia. pp. 15-39. In Proceeding 3rd
International Symposium on Asia Tropical ForestManagement, Impact of Fire and Human
Activities in the Tropic. Samarinda, 20-23 September 1999.

Kananto, W. Hatmoko, dan Widayati. 1998. Konsumsi dan produksi air Pulau Jawa. hlm. 82-123
dalam Prosiding Seminar Sehari Pengelolaan Hutan dan Produksi Air untuk Kelangsungan
Pembangunan. Perum Perhutani-Yayasan IMTEK. Jakarta, 23 September 1998.

Kurnia, U. 2000. Penerapan Teknik Konervasi Tanah pada Lahan Usahatani Sayuran Dataran
Tinggi. hlm. 47-58 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian
Pengelolaan DAS. Bogor, 2-3 September 1999. Alternatif Teknologi Konservasi Tanah. Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Mulyana, A. 1998. Keragaan Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia dan Prospek
Swasembada Menuju Era Perdagangan Bebas: Suatu Analisis Simulasi. Disertasi Doktor.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Priyono, C.N.S dan S. A. Cahyono. 2003. Status dan strategi pengembangan pengelolaan DAS di
masa depan di Indonesia. Alami 8(1):1-5.

Priyono, C.N.S, Mastur dan S. Donie. 2000. DAS merupakan unit pengelolaan sumber daya alam
yang lestari dan berkeadilan. hlm. 66-79 dalam Prosiding Ekspose Hasil Penelitian BTP DAS
Surakarta, Pengelolaan DAS dalam Kaitannya dengan Otonomi Daerah. Surakarta, 21 November
2000.

Soenarno. 2000. Daerah Banjir di Indonesia Bertambah. Harian Kompas tanggal 24 Oktober
2000. Jakarta. 19 hlm.

The World Bank. 1990. Indonesia: Sustainable Development of Forest, Land and Water. A
World Bank Country Report. Washington.

Sumber:
SISTEM PENGELOLAAN LAHAN
KERING DI DAERAH ALIRAN SUNGAI
BAGIAN HULU
Oleh: Amiruddin Syam
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Jalan A. Yani No. 70, Bogor
16161

(Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003)

ABSTRAK
Upaya pemerintah dalam memperbaiki pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai (DAS)
bagian hulu telah dilakukan melalui berbagai proyek. Proyek tersebut bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani, serta untuk mendorong partisipasi
petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air. Hasil kajian menunjukkan bahwa sistem
usaha tani konservasi teras bangku dan teras gulud dapat meningkatkan produktivitas usaha tani
dan pendapatan petani, serta dapat menurunkan laju erosi. Tingkat adopsi teknologi secara
parsial cukup tinggi, khususnya teknologi pola tanam, varietas unggul, budi daya tanaman pakan
dan usaha ternak, serta upaya tindakan konservasi tanah secara vegetatif. Hasil tersebut diduga
karena evaluasi dan analisis alternatif sistem konservasi belum memberikan informasi yang
komprehensif. Untuk mengadopsi paket teknologi secara utuh, para petani mengalami kesulitan
karena beberapa kendala seperti keterbatasan modal dan tenaga kerja keluarga. Implikasi
kebijakan pada tahapan perbaikan teknologi dan formulasi kebijakan perlu memperhatikan upaya
untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pelestarian sumber daya tanah dan air. Pada
tahap awal, pemerintah berperan untuk meningkatkan sumber daya manusia dan subsidi, dan
pada tahap pengembangan untuk mendorong pihak swasta agar berinvestasi di lahan tersebut.
Kata kunci: Lahan kering, pengelolaan daerah aliran sungai, pengelolaan lahan

ABSTRACT

Dry land management at upstream part of watershed area Government efforts in improving
management of dry land in upstream part of a watershed area have been carried out through
some projects. The general objectives of the projects were to increase land productivity, and
farmers income, and to support farmers participation in land and water resource conservation.
The results of the assessment showed that application of bench terrace and bund terrace could
increase crop productivity and farmers income, and decrease erosion rate. The level of
technology adoption was partially high enough, especially cropping pattern, improved variety,
fodder crop culture, animal husbandry, and vegetative land conservation. The results were
assumed because the evaluation and analysis of conservation system were based on limited
information. Some constraints inhibitted farmers in adopting the complete package of technology
one capital and family labor. Technology improvement and policy formulation should stressed
on the community participation in implementing land and water resource conservation. In early
stage, the government needs to improve quality of human resources and through the provision of
subsidy. At the development stage, government needs to encourage private sector in dry land
investment.
Keywords: Uplands, watershed management, land management

PENDAHULUAN

Lahan kering di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk pembangunan pertanian.
Namun, produktivitas umumnya rendah, kecuali sistem pertanian lahan kering dengan tanaman
tahunan/perkebunan. Pada usaha tani lahan kering dengan tanaman pangan semusim,
produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk
yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana 1994).

Lahan kering terutama di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu umumnya menghadapi
masalah kerusakan lingkungan yang makin parah sehingga menurunkan produktivitas lahan,
meningkatkan erosi dan sedimentasi, serta memacu meluasnya banjir pada musim hujan.
Masalah tersebut memerlukan perhatian serius karena dapat menghambat pembangunan
pertanian khususnya peningkatan produksi pangan.

Upaya pemerintah untuk menangani masalah kerusakan lingkungan pada lahan kering di DAS
sebenarnya sudah dimulai sebelum perang kemerdekaan. Pada tahun 1950, pemerintah
menganjurkan petani untuk menanam pohonpohonan secara besar-besaran, dan pada tahun 1967
mulai dianjurkan untuk membuat teras bangku (DHV Consultants 1990). Namun, upaya tersebut
belum berhasil. Luas lahan kritis yang pada tahun 1980 mencapai 6.936.408 ha (Biro Pusat
Statistik 1981) hanya turun menjadi 6.400.400 ha pada tahun 1994 (Biro Pusat Statistik 1994)
atau turun 7,70% selama 14 tahun. Namun, perbaikan tersebut terjadi di luar kawasan hutan
(hanya 32%). Di dalam kawasan hutan, luas lahan kritis justru makin meningkat (16,30%) dalam
periode yang sama.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan DAS cukup serius. Sukmana et al. (1988)
mengemukakan bahwa, upaya pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut dimulai pada awal
tahun 1970-an melalui proyek DAS Solo, kemudian disusul Proyek Citanduy I dan II, Proyek
Wonogiri, dan Proyek Bangun Desa. Pada tahun 1985 dibentuk Proyek Pertanian Lahan Kering
dan Konservasi Tanah (P2LK2T) yang lebih dikenal dengan nama Upland Agriculture
and Conservation Project (UACP) untuk menangani lahan kritis di DAS Brantas (Jawa Timur)
dan DAS Jratunseluna (Jawa Tengah), kemudian National Watershed Management and
Conservation Project (NWMKP) yang dimulai tahun 1995 dan berakhir bulan September 1999
(Abdurachman dan Agus 2000).

Tulisan ini bertujuan untuk membahas permasalahan DAS bagian hulu, mengemukakan program
penanggulangan dan implementasinya, serta mengidentifikasi kendala pengembangan dan cara
menanggulanginya.

KONDISI LAHAN KERING DI DAERAH ALIRAN SUNGAI

Lahan kering di DAS kawasan barat Indonesia pada umumnya mempunyai curah hujan tinggi,
topografi curam, dan formasi geologi lemah sehingga tanah peka terhadap erosi. Selain itu,
tekanan kepadatan penduduk yang terus meningkat, pola tanam yang kurang baik, lahan usaha
tani sempit, serta keadaan fisik lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat petani yang sangat
heterogen menyebabkan pengelolaan lahan kering di kawasan DAS makin kompleks (Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air 1985).

Dalam upaya menangani lahan kering yang tergolong kritis, pemerintah telah menetapkan 80
DAS yang tergolong kritis karena erosi. Dari 80 DAS bermasalah tersebut, 36 DAS tergolong
DAS prioritas, dan 11 DAS di antaranya terdapat di Pulau Jawa, seperti DAS Citarum, Cimanuk,
Citanduy, Solo, Jratunseluna, dan Brantas (Sutadipradja et al. 1986). Luas lahan kritis di
kawasan DAS tersebut diperkirakan meningkat rata-rata 400.000 ha/tahun jika tidak ada upaya
rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang memadai. Peningkatan luas lahan kritis terutama
disebabkan oleh pengelolaan yang tidak benar, antara lain penggunaan lahan yang tidak sesuai
dengan kemampuannya serta tidak disertai dengan usaha konservasi tanah dan air.

Hardianto et al. (1992) mengemukakan bahwa umumnya petani di wilayah DAS di Jawa
merupakan pemilik penggarap dengan luas pemilikan lahan 0,302 ha. Lahan tersebut umumnya
berupa areal pemukiman/pekarangan, tegalan, dan perbukitan. Tegalan sebagian besar sudah
diteras bangku, sedangkan perbukitan umumnya berupa lahan tandus yang terlantar. Tegalan
digunakan untuk budi daya tanaman pangan, pekarangan untuk tanaman tahunan, dan perbukitan
untuk tanaman penghasil kayu. Tanaman pangan yang diusahakan adalah jagung, ubi kayu, padi
gogo, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, dan kacang tunggak. Di samping itu, petani menanam
kacang gude, koro benguk, dan koro pedang sebagai tanaman sela. Tanaman tahunan yang
dominan adalah kelapa, melinjo, petai, mangga dan pisang, sedangkan tanaman sayuran yang
diusahakan adalah cabai, bawang merah, kacang panjang, mentimum, dan tomat. Selain itu, juga
diusahakan tanaman penghasil bahan industri seperti kenanga dan randu, penghasil kayu seperti
jati, sengon, akasia, johar, dan mahoni, serta tanaman penghasil pakan ternak seperti lamtoro,
turi, kaliandra, glirisidia, lamtoro merah, dan flemingia.

Lebih lanjut Hardianto et al. (1992) menjelaskan bahwa usaha ternak merupakan kegiatan yang
cukup penting untuk menambah pendapatan, menyediakan tenaga kerja dalam pengolahan tanah,
dan menghasilkan pupuk organik. Jenis ternak yang banyak dipelihara adalah sapi peranakan
ongole (PO), kambing kacang, kambing peranakan etawa (PE), domba gibas, dan ayam buras.
Jenis pakan yang diberikan berupa campuran rumput gajah, rumput setaria ditambah hijauan
tanaman tahunan dan limbah tanaman pangan. KEPAS (1985) mengidentifikasi permasalahan di
daerah lahan kering
sebagai berikut:

1. Upaya pemerintah dalam pembangunan pertanian di masa lampau terlalu dipusatkan pada
padi sawah, sedangkan lahan kering (termasuk DAS bagian hulu) kurang mendapatkan
perhatian sehingga tidak memperoleh keuntungan dari program-program pembangunan
yang disponsori pemerintah. Satu-satunya program khusus untuk lahan kering adalah
program penghijauan dan reboisasi untuk tanah negara. Namun, program ini pun
dihadapkan kepada berbagai kesulitan yang antara lain disebabkan oleh relatif kurangnya
perhatian, sehingga kondisi infrastruktur yang ada jauh lebih buruk daripada di daerah
dataran rendah.
2. Di daerah lahan kering, potensi erosi cukup tinggi karena intensitas hujan cukup tinggi,
lereng curam, dan pola tanam kurang baik. Erosi yang berlangsung lama telah
menurunkan tingkat kesuburan tanah dan bahkan mengurangi atau menghilangkan
lapisan olah tanah.
3. Modal dan motivasi penduduk terbatas akibat rendahnya pendapatan dan produktivitas
lahan. Di samping itu, tipe penguasaan lahan berhubungan erat dengan sistem usaha tani
dan konservasi tanah di daerah lahan kering. Pemilikan lahan yang relatif sempit serta
sistem sewa dan sakap ikut memberikan dampak negatif terhadap sistem usaha tani
berwawasan lingkungan.
4. Kegiatan penyuluhan dihadapkan kepada kendala sosial budaya dan prasarana/sarana
perhubungan sehingga penyuluhan relatif kurang. Keterampilan petani umumnya hanya
bersifat kebiasaan yang diwariskan dan berorientasi pada subsistensi, sedangkan program
penyuluhan yang ada seperti penghijauan, perkebunan, dan kehutanan hanya berkaitan
dengan aspek tertentu dan kurang menekankan pada partisipasi petani.

USAHA KONSERVASI YANG SUDAH DILAKUKAN

Upaya Departemen Terkait Upaya mengatasi masalah lahan kritis di DAS perlu memperhatikan
beberapa hal, antara lain sumber terjadinya lahan kritis, tingkat kekritisan lahan, jenis tanah dan
iklim, kondisi sosial ekonomi, dan tingkat bahaya erosi. Upaya itu perlu diformulasikan dengan
tepat dalam tiga komponen penanganan, yaitu perbaikan teknologi, kebijakan yang tepat, dan
partisipasi masyarakat secara penuh (Nelson 1991). Berdasarkan tingkat kekritisan lahan,
selanjutnya ditetapkan prioritas penanganan. Dengan memperhatikan dampak yang lebih luas
dan kemungkinan keberhasilan yang besar, maka prioritas utama penanganan adalah lahan
dengan tingkat kekritisan ringan, yaitu lahan yang berpotensi kritis dan semikritis. Konservasi
ditujukan untuk mencegah terjadinya degradasi lebih lanjut dan menghindari hilangnya lahan
produktif.

Prawiradiputra et al. (1995) menjelaskan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia merupakan


kegiatan multisektoral sebagaimana dituangkan dalam Program Inpres Reboisasi dan
Penghijauan (Inpres No. 8/1976). Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa ada enam instansi
pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program tersebut, yaitu Departemen
Dalam Negeri (instansi pimpinan), Departemen Kehutanan (perencanaan dan pemantauan),
Departemen Keuangan (pengawas keuangan), Departemen Pertanian (bantuan teknis),
Departemen Pekerjaan Umum (bantuan teknis), dan Bappenas.

Pencetusan Pekan Penghijauan Nasional (PPN) di Gunung Mas, Bogor tahun 1961 ternyata tidak
berhasil menghentikan perluasan lahan kritis. Pada tahun 1975, lahan kritis di Indonesia
mencapai 10.751.000 ha, tah n 1988 turun menjadi 9.731.000 ha, pada tahun 1993 naik 22%
(dibandingkan kondisi 1975) menjadi 13.218.970 ha, atau setara luas Pulau Jawa. Padahal
program reboisasi dan penghijauan bertujuan untuk menghentikan proses pengkritisan lahan dan
mengurangi jumlah lahan kritis. Untuk meningkatkan usaha reboisasi dan penghijauan,
pemerintah mencanangkan Gerakan Satu Juta Pohon (Direktorat Jenderal Reboisasi dan
Rehabilitasi Lahan 1985).
Penghijauan merupakan cara konservasi lahan yang efektif khususnya untuk menjaga fungsi
hidrologis lahan di DAS hulu. Erosi dan aliran permukaan masing-masing dapat menurun
95,80% dan 76,90% (Pakpahan et al. 1992). Namun karena penghijauan lebih banyak bertujuan
melestarikan sumber daya lahan dibanding kepentingan petani, maka pelaksanaannya banyak
menemui hambatan. Menurut Pusat Pengembangan Agribisnis (1991), tingkat adopsi teras
melalui rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) pada daerah unit pelestarian sumber
daya alam (UPSA) masih rendah yaitu 33%. Sejumlah petani (20%) sudah mengadopsinya tetapi
masih perlu ditingkatkan, sedangkan sisanya belum mengadopsi upaya RLKT tersebut.

Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) yang lebih dikenal dengan
nama UACP, juga mempunyai tujuan pokok bukan semata-mata meningkatkan penghasilan
petani, tetapi juga melindungi infrastruktur (waduk, saluran irigasi) di bagian hilirnya. Daerah
kerja UACP meliputi lahan kering dengan kemiringan 15% dan erosi sudah mengancam
produktivitas lahan. Melalui kegiatan UACP dilakukan penyempurnaan teras bangku dengan
tanaman penguat teras yang selain berfungsi untuk menstabilkan lahan juga untuk menyediakan
pakan ternak. Proyek tersebut dikelola secara lintas sektoral dengan Departemen Dalam Negeri
selaku pelaksana utama (leading agency) (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air
1985).

Kebijakan pengembangan lahan kering di DAS bagian hulu berpedoman pada Surat Keputusan
Menteri Pertanian No.175/Kpts/RC.220/4/1987 tentang Pedoman Pola Pembangunan di DAS
yang dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kesesuaian lahan, kemiringan lahan, kultur
teknis, dan asas-asas konservasi yang berwawasan lingkungan (Departemen Pertanian 1987). Di
Jawa Tengah, kebijakan tersebut telah dijabarkan dalam berbagai petunjuk pelaksanaan yang
berisikan strategi, langkah-langkah, dan kegiatan pembinaan.

Penelitian dan Pengembangan

Pengelolaan lahan kering di DAS bagian hulu perlu memperhatikan konservasi tanah dan air
untuk mencegah penurunan produktivitas lahan akibat erosi oleh air hujan (Suwardjo 1981). Di
Indonesia yang memiliki iklim basah, pada umumnya erosi terjadi karena air hujan (Sofijah dan
Suwardjo 1979). Sehubungan dengan itu, penanganan lahan kering di DAS Brantas dan
Jratunseluna bagian hulu dilakukan dengan usaha tani konservasi yang mengkombinasikan
teknik konservasi secara mekanik dan vegetatif dalam suatu pola usaha tani terpadu (Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1990). Sasarannya adalah meningkatkan
produktivitas usaha tani dan pendapatan petani, menurunkan laju erosi, serta meningkatkan
partisipasi petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air.

Empat model usaha tani konservasi yang diuji yaitu:

Model A: Sistem usaha tani yang dilakukan oleh petani sebagai pembanding.

Model B: Sistem usaha tani konservasi teras bangku, ditanami tanaman pangan dan tahunan pada
bidang olah, rumput pakan pada bibir dan tampingan teras, serta melibatkan ternak.
Model C: Sistem usaha tani konservasi teras gulud, ditanami tanaman pangan dan tanaman
tahunan pada bidang olah, rumput dan leguminosa pohon pada guludan, dan ternak.

Model D: Sistem usaha tani konservasi teras individu, ditanami tanaman tahunan, rumput, dan
leguminosa pohon, serta ternak.

Kesesuaian ketiga model usaha tani introduksi (B,C,D) didasarkan pada kemiringan lahan,
kedalaman tanah, kepekaan terhadap erosi, dan pola usaha tani. Model B dan C diarahkan untuk
memperbaiki usaha tani di tegalan, atau kemiringan lahan 1545%, sedangkan model D untuk
memulihkan lahan perbukitan yang tandus dengan kemiringan lahan lebih besar dari 45% .

Tabel 1 menyajikan produksi tanaman pangan, tanaman tahunan, dan tanaman pakan pada setiap
model usaha tani. Dua model introduksi (B dan C) menghasilkan produktivitas usaha tani lebih
tinggi dibanding model petani (model A). Pada model B dan C, hasil panen selain diperoleh dari
tanaman pangan juga dari tanaman tahunan dan pakan ternak, sehingga secara kumulatif
memberikan nilai produksi dan pendapatan bersih lebih tinggi (Tabel 2). Pada usaha tani model
D, hasil panen lebih mengandalkan pada tanaman tahunan (buah-buahan dan kayu-kayuan),
sehingga selama tanaman tersebut belum menghasilkan, tingkat produktivitas usaha taninya
masih rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan model petani.
Setelah tahun ketiga, pendapatan usaha tani dari model B dan C semakin meningkat dan stabil,
sedangkan pada model petani relatif tetap. Sebaliknya pendapatan bersih model D setiap tahun
berfluktuasi, karena hasil panen masih ergantung pada tanaman kayu-kayuan dan ternak
kambing.

Batas ambang laju erosi setiap model usaha tani konservasi sebesar 10,60 t/ha/ tahun untuk
model A, 10,50 t/ha/tahun untuk model B, 8,40 t/ha/tahun untuk model C, dan 5,20 t/ha/tahun
untuk model D (Tim Survei Tanah DAS Brantas 1988). Sembiring et al. (1991) mengemukakan
bahwa penurunan erosi sampai pada ambang laju erosi terjadi pada dua model introduksi, yaitu
model B sebesar 3,20 t/ha/tahun pada 1990/91 dan model C yang mencapai 6,40 t/ ha/tahun pada
1990/91. Pada dua model lainnya (A dan D), erosi telah menurun tetapi masih di atas ambang
laju erosi, yaitu berturutturut 20,20 dan 11,40 t/ha/tahun. Penurunan erosi ini diduga karena
kondisi teras yang semakin mantap, tanaman penguat teras dan tanaman tahunan sudah
berkembang, serta pengelolaan tanaman dan lahan yang semakin baik. Ini terlihat dari nilai crops
practice (CP) yang semakin kecil.

Pemanfaatan Tanaman Tahunan


Tanaman tahunan mempunyai peran penting dalam meningkatkan pendapatan petani lahan
kering di DAS. Setiap tingkat kelerengan, tebal solum dan kepekaan tanah terhadap erosi
membutuhkan keberadaan tanaman tahunan dengan proporsi 25100% (Proyek Penelitian
Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1987).

Namun, petani umumnya kurang menyadari manfaat tanaman tersebut sehingga motivasi mereka
untuk mengembangkan tanaman tahunan relatif kecil. Sebagai contoh, di Desa Sumberkembar
dan Srimulyo (DAS Brantas), tanaman tahunan yang ditanam kurang mendapat perawatan
sehingga banyak yang mati (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1988).
Penelitian di Desa Kates menunjukkan bahwa keengganan petani untuk memelihara tanaman
tahunan selain jeruk disebabkan oleh ketidaktahuan petani akan peran tanaman tersebut (Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1989). Di beberapa daerah, tanaman tahunan
terutama jeruk berkembang cukup pesat, seperti di Desa Sumberejo (Blitar) dan Desa Kates
(Tulungagung) (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air 1988).

Model analisis di atas kurang memadai untuk tanaman buah-buahan atau pada model/sistem
usaha tani lain yang mempunyai komponen tanaman tahunan yang mempunyai nilai ekonomi,
seperti kayu, getah, pupuk kompos, dan makanan ternak (Syam et al. 1993). Periode evaluasi
P3HTA selama 6 tahun belum menggambarkan nilai ekonomi sepenuhnya dari tanaman tahunan,
karena dalam periode tersebut, baru 23 tahun tanaman tahunan memberikan manfaat. Berkaitan
dengan itu, nilai investasi untuk membuat struktur teknik konservasi belum dihitung sebagai
pengeluaran.

Analisis proyek seharusnya dapat menjangkau periode manfaat ekonomi secara penuh, seperti
diuraikan oleh Lutz et al. (1994) dan Current et al. (1995). Akan lebih sempurna bila dianalisis
dari dua sisi, yaitu manfaat bagi masyarakat dan individu petani. Namun, dari sisi petani saja
sudah cukup memadai karena: 1) pengambilan keputusan penggunaan lahan dilakukan oleh
petani (bukan oleh pemerintah) berdasarkan tujuan, manfaat yang dapat diperoleh dan kendala
yang dihadapi, dan 2) penggunaan lahan umumnya tergantung pada sifat-sifat biofisik spesifik
lokasi yang bervariasi walaupun dalam luasan yang kecil.

Analisis proyek perlu dilakukan mengikuti prinsip berikut ini. Pertama, pengaruh erosi terhadap
produktivitas berbeda-beda pada setiap titik waktu (misalnya satu tahun) selama periode yang
diinginkan. Data setiap titik waktu tersebut kemudian dipakai untuk menduga manfaat tiap tahun.
Kedua, penghitungan tersebut diulangi untuk kondisi yang akan dialami jika diterapkan suatu
tindakan konservasi. Ketiga, manfaat investasi penerapan teknologi konservasi diperoleh dengan
mengurangi nilai kini (net present value) biaya dan manfaat tanpa dan dengan teknologi
konservasi. Selanjutnya, manfaat dan biaya marginal dapat dihitung dan diperbandingkan satu
sama lain.

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA TANI KONSERVASI LAHAN KERING

Prospek Pengembangan Adnyana dan Manwan (1993) mengemukakan bahwa pengembangan


usaha tani terpadu berkelanjutan ditentukan oleh empat faktor utama, yaitu: 1) komitmen
kebijakan dan program pemerintah; 2) dukungan eksternal (penyuluhan, kredit, subsidi,
pemasaran, serta kelembagaan dan unsur pelayanan lainnya); swasta), dan 4) ketersediaan
teknologi. Faktor-faktor tersebut saling terkait satu sama lain sehingga memerlukan pendekatan
secara terpadu dalam suatu sistem.

Sehubungan dengan hal tersebut, teknologi yang diteliti di lahan kering DAS merupakan
teknologi usaha tani konservasi yang dikembangkan dari hasil-hasil penelitian verifikasi
teknologi, yang terdiri atas komponen teknologi ternak dan pakan, tanaman tahunan/hortikultura,
konservasi tanah, dan tanaman pangan. Dalam pelaksanaannya dilakukan perbaikan secara
bertahap menuju sistem usaha tani dengan produktivitas yang stabil dan lestari dengan tetap
memperhatikan kebutuhan dan kemampuan petani. Konservasi tanah diarahkan pada penutupan
lahan oleh vegetasi (konservasi vegetatif) dengan penanaman rumput di bibir dan tampingan
teras, pertanaman lorong, dan tumpang sari.

Hardianto et al. (1992) mengemukakan hasil pengujian teknologi usaha tani konservasi tanah
selama enam tahun di Kabupaten Blitar yang termasuk kawasan DAS Brantas. Pola tanam yang
diintroduksikan adalah model A: jagung + ubi kayu + kedelai/kacang tanah; model B: jagung +
kacang tanah + ubi kayukedelai/ kacang tunggak, rumput setaria, rumput gajah, pisang, adpokat,
pepaya; model C: jagung + kacang tanah + ubi kayu-kedelai/kacang tunggak, rumput setaria,
rumput gajah, pisang, adpokat, pepaya, dan model D: jagung, sentro sema, lamtoro, pisang,
adpokat, jati. Hasil pengujian menunjukkan bahwa model B dan C dapat menurunkan tingkat
erosi sampai di bawah batas ambang dan meningkatkan pendapatan petani, sehingga kedua
model tersebut mempunyai prospek untuk dikembangkan. Tanaman pangan yang dominan dan
memberikan hasil relatif stabil adalah jagung, ubi kayu, kedelai, dan kacang tanah. Tanaman
tahunan seperti kelapa, pisang, dan melinjo mempunyai potensi untuk dikembangkan, demikian
juga ternak kambing, karena dapat menambah dan menstabilkan pendapatan petani.

Usaha tani di wilayah batuan kapur didominasi oleh tanaman pangan (Soemarno et al. 1985), dan
ada kecenderungan terjadi pergeseran bertahap dari tanaman pangan yang kurang mempunyai
nilai ekonomi seperti ubi kayu ke tanaman lain yang bernilai ekonomi lebih tinggi, seperti
kedelai, kacang tanah, cabai, dan bawang merah. Peluang pengembangan tanaman tersebut
cukup besar karena memberikan keuntungan yang relatif tinggi.

Analisis usaha tani empat pola tanam alternatif menunjukkan bahwa pola tanam kedelai dan
kacang tanah dapat meningkatkan pendapatan usaha tani. Dari keempat pola alternatif tersebut,
pola III memberikan keuntungan bersih tertinggi (Rp 1.478.350/ha), dan terendah pada pola II
(Rp 120.000/ha). Pola I dan IV memberikan pendapatan hampir sama, masing-masing Rp
877.850/ ha dan Rp 873.525/ha. Pada pola III, komponen penerimaan terbesar diperoleh dari
hasil penjualan kedelai dan kacang tanah. Kedua komoditas tersebut memberikan hasil cukup
tinggi, dan harga jualnyapun cukup baik. Untuk pola II, rendahnya penerimaan disebabkan hasil
cabai cukup rendah, hanya 447 kg/ha karena iklim yang terlalu kering atau musim kemarau
panjang (Hardianto et al. 1992 dan Sembiring et al. 1991). Di lahan kering Kabupaten
Trenggalek dan Malang (Jawa Timur), pemberian pupuk kandang 1015 ton yang
dikombinasikan dengan 200 kg urea, 200 kg TSP, dan 200 kg KCl/ha, memberikan hasil cabai
4,435,13 t/ha di Trenggalek dan 5,816,50 t/ha di Malang (Hendarto et al. 1991).

Ditinjau dari aspek konservasi tanah, pengembangan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi
mempunyai dampak positif terhadap kesuburan tanah, karena petani cenderung memberikan
pupuk kandang ke lahan sehingga meringankan biaya investasi. Di samping itu, dengan makin
menurunnya tingkat erosi dan sudah membudayanya pemberian pupuk kandang, kesuburan lahan
akan meningkat sehingga membuka peluang untuk budi daya tanaman komersial lainnya.

Selain dari tanaman pangan dan tanaman tahunan, petani model B, C, dan D juga memperoleh
pendapatan dari usaha pemeliharaan ternak kambing. Ternak kambing yang diberikan pada tahun
1985 masing-masing 1 ekor pejantan dan 4 ekor induk per petani telah berkembang pesat
(Hardianto et al. 1992). Laju peningkatan populasi per tahun tertinggi terjadi pada petani model
D, rata-rata 44%, sedangkan pada petani model B hanya 35,60% dan model C 28,90%. Laju
kelahiran pada model B dan D relatif tinggi, masing-masing 105,50% dan 102,20%, tetapi pada
model C dan D masih rendah masing-masing hanya 56,30% dan 12,60%.

Kemampuan optimal satu rumah tangga petani, dengan ketersediaan tenaga kerja keluarga 3
orang, dalam memelihara ternak kambing berkisar antara 45 ekor. Pemeliharaan kambing di
atas 7 ekor dinilai kurang efisien oleh petani, khususnya dalam penggunaan tenaga kerja
keluarga, sehingga petani cenderung mengalihkan usahanya ke ternak sapi yang dianggap lebih
bernilai.

Jumlah petani penggaduh pada awal tahun proyek (1985) sebanyak 6 orang. Pada tahun 1988
dan 1990 jumlah penggaduh bertambah masing-masing sebanyak 4 orang, dengan ternak
gaduhan berasal dari hasil pengembangan ternak kambing penggaduh pertama. Hal ini
menunjukkan bahwa ternak kambing relatif lebih cepat memeratakan subsidi kepada petani
lainnya.

Faktor Pendukung Upaya Pengembangan

Abdurachman et al. (1993) mengemukakan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan teknologi usaha tani konservasi lahan kering adalah: 1) komitmen dan dukungan
pemerintah daerah; 2) adanya keterkaitan peneliti, penyuluh dan kelompok tani; 3) tingkat
partisipasi petani; 4) sistem pendukung/ pelayanan; dan 5) kelayakan teknologi anjuran dan
tingkat adopsi. Dukungan pemerintah daerah dalam penerapan teknologi konservasi sangat
penting karena petani kurang mampu melaksanakan teknologi konservasi secara mandiri. Selain
dukungan dari atas, peran kelompok tani dan lembaga-lembaga pedesaan juga sangat penting.
Abdurachman et al. (1993) menyimpulkan bahwa integrasi proyek dengan lembaga pedesaan
seperti LKMD dan kelompok tani serta adanya kerja sama antara peneliti, penyuluh, aparat desa,
dan petani telah memperkuat kemampuan desa dalam pengembangan sistem usaha tani
konservasi.

Keterkaitan antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani sangat penting. Asisten lapang dan
(34 orang di tiap lokasi) yang tinggal di desa memudahkan komunikasi dengan kelompok tani
dan koordinasi dengan penyuluh lapangan. Partisipasi petani umumnya sangat baik pada awal
proyek, tetapi selanjutnya menurun.

Telah disadari bahwa peran lembaga pelayanan seperti lembaga pemasaran, perkreditan, dan
penyalur sarana produksi sangat penting dalam proses adopsi teknologi usaha tani konservasi di
DAS bagian hulu. Selain itu, adanya perbedaan faktor fisik dan sosial-ekonomi petani
menyebabkan teknologi yang dianjurkan juga perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Rachman et al. (1989) mengemukakan bahwa sistem pertanaman lorong tidak dapat diterapkan
di seluruh lahan penelitian karena lahan sudah diteras. Begitu pula pola tanam tidak dapat
diseragamkan di semua lokasi karena adanya perbedaan jenis tanah, curah hujan, dan keinginan
petani.

Di lahan kering DAS, petani banyak yang telah mengadopsi teknologi sistem usaha tani
konservasi karena mereka sudah mengetahui manfaatnya. Legum penutup tanah misalnya dapat
memperbaiki kesuburan tanah sehingga meningkatkan hasil ubi kayu sampai 1 ton gaplek, dan
jagung 0,30 ton pipilan kering. Di samping itu, tanaman koro juga dapat menghasilkan biji
sekitar 40 kg/600 m2 guludan (Sembiring et al. 1989). Selanjutnya Syam et al. (1989)
menyimpulkan bahwa adopsi teknologi bukan hanya terjadi pada petani kooperator, tetapi juga
pada petani nonkooperator, seperti teknologi pembuatan teras, penanaman tanaman penguat
teras, pembuatan saluran pembuangan air (SPA), pola tanam, dan penggunaan varietas unggul
padi gogo dan jagung.

Terdapat tiga aspek pendukung yang perlu diperhatikan dalam program pengembangan/transfer
teknologi usaha tani konservasi kepada petani, yaitu aspek pemasaran, aspek teknis, dan aspek
sosial ekonomi.

Aspek pemasaran

Ketersediaan pasar diperlukan untuk mengimbangi peningkatan produksi. KEPAS (1985)


mengemukakan bahwa pemasaran merupakan salah satu kunci keberhasilan pengembangan
sistem usaha tani. Namun, masalah ini masih merupakan titik lemah bagi petani lahan kering di
DAS. Dalam memasarkan hasil kelapa, adpokat, melinjo, dan jeruk, petani lebih banyak
bertindak pasif dan menunggu didatangi oleh tengkulak atau pedagang pengumpul, karena
keterbatasan kemampuan, pengetahuan, dan desakan kebutuhan petani. Untuk mendorong petani
agar aktif dalam pemasaran hasil, perlu dibentuk rantai tata niaga minimal dari produsen (petani)
sampai pedagang penyalur. Untuk memasarkan hasil tanaman semusim, seperti jagung, gaplek,
kedelai, kacang tanah, kacang hijau, kacang panjang dan cabai, petani umumnya tidak menemui
kesulitan karena mereka dapat menjualnya langsung ke pasar desa, pasar kecamatan, atau
melalui tengkulak yang datang ke desa.

Aspek teknis

Sembiring et al. (1989) mengemukakan bahwa pembuatan teras bangku dan teras gulud dapat
mengurangi erosi secara efektif. Hal ini karena bangunan teras berfungsi untuk: 1) mengurangi
panjang lereng sehingga dapat mengurangi laju aliran permukaan, 2) mengatur aliran air ke
saluran pembuangan dengan mengurangi penghanyutan; dan 3) meningkatkan infiltrasi air ke
dalam tanah. Penerapan teknik konservasi tanah selayaknya mempertimbangkan tiga hal, yaitu
curah hujan, kondisi tanah (kemiringan, ketebalan solum, sifat tanah), dan kemampuan petani
(biaya, waktu dan tenaga kerja keluarga yang tersedia).

Rachman et al. (1989) mengemukakan bahwa hampir seluruh petani telah menerapkan teknologi
teras bangku tanpa memperhitungkan kesesuaiannya dengan jenis dan kondisi tanah. Akibatnya
bangunan teras sering rusak, seperti tampingan teras runtuh, bidang teras bergeser, dan tanaman
penguat teras lepas. Di samping itu, air drainase lebih terpusat sehingga dibutuhkan tenaga
khusus untuk penanganan saluran air.

Teknik konservasi alternatif yang lebih sesuai untuk tanah dangkal dan tanah yang didominasi
liat 2:1 adalah teras gulud atau pertanaman lorong. Hal tersebut didukung oleh Fagi et al. (1988)
yang mengemukakan bahwa bangunan teras bangku terbukti tidak stabil pada tanah bertekstur
berat dan mengandung mineral liat 2:1 (Vertisol/Grumusol), serta tanah yang bersolum dangkal.
Begitu juga Suwardjo et al. (1984) menyatakan bahwa usaha pencegahan erosi dengan
pembuatan teras bangku memang cukup baik, tetapi hanya sesuai untuk tanah yang mempunyai
solum dalam dengan bahan induk tanah dari bahan vulkan. Pada tanah bersolum dangkal, atau
yang bersolum dalam tetapi kaya akan unsur beracun seperti Al dan Fe, pembuatan teras bangku
kurang baik untuk pertumbuhan tanaman pangan.

Penanganan lahan perbukitan tandus masih belum memberikan hasil memuaskan sehingga usaha
tani konservasi dengan teras individu perlu disempurnakan. Alternatif perbaikan yang dapat
ditempuh adalah penanaman tanaman leguminosa yang dapat tumbuh cepat sehingga cepat
menutup tanah, serta tahan terhadap kondisi tanah marginal.

Beberapa jenis tanaman leguminosa yang dapat digunakan untuk merehabilitasi lahan kritis
dengan jenis tanah Troporthent adalah koro pedang (Canavala ensiformis), koro benguk
(Mucuna pruriens), gude (Cajanus cajan), dan komak (Dilichos lablab). Koro pedang dapat
berproduksi 1,80 t biji/ha dan 0,36 t pupuk hijau/ha dengan kemampuan penutupan tanah 90%.
Koro benguk menghasilkan 0,51 t biji/ha dengan penutupan tanah 90%. Gude menghasilkan 0,53
t biji/ha dengan penutupan tanah 70%, serta komak menghasilkan 1,04 t biji/ha dengan
penutupan tanah 90% (Sembiring et al. 1989). Produk tanaman leguminosa tersebut, selain
dikonsumsi juga dapat dijual dengan harga yang cukup tinggi, serta daunnya dapat digunakan
sebagai pupuk hijau. Penanaman leguminosa dapat dilakukan dengan biaya rendah.

Aspek sosial ekonomi

Tingkat migrasi penduduk yang cukup tinggi merupakan gejala umum di daerah lahan kering
DAS, sehingga jumlah tenaga kerja produktif di desa menjadi terbatas. Tingginya tingkat migrasi
tersebut berkaitan dengan perbaikan tingkat pendidikan kaum muda dan rendahnya kesempatan
berusaha di desa. Di masa mendatang, keterbatasan tenaga kerja keluarga merupakan kendala
pengembangan usaha tani yang menuntut curahan tenaga lebih intensif. Modal juga merupakan
kendala pengembangan, khususnya untuk budi daya tanaman komersial yang membutuhkan
modal relatif besar, sehingga hanya petani mampu saja yang dapat mengusahakannya.

Petani yang bermodal lemah hanya dapat mengusahakannya dalam jumlah terbatas. Hasil
penelitian di DAS Jratunseluna memberikan informasi bahwa ada hubungan antara kelompok
umur kepala keluarga dengan aktivitas luar usaha tani. Kepala keluarga usia muda cenderung
lebih aktif bekerja di luar usaha tani, terutama pada kelompok usia 3544 tahun (Rahmanto et al.
1989).
Luas penguasaan lahan yang relatif sempit menyebabkan petani tidak dapat memanfaatkan
tenaga kerja secara produktif serta pendapatan yang diperoleh dari usaha tani belum mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya (Napitupulu 1979). Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi,
petani aktif pada berbagai kegiatan produktif di luar usaha tani. Menurut Kristianto (1985),
dalam melakukan kegiatan usaha tani petani umumnya hanya mengandalkan tenaga kerja
keluarga.

Petani mengelola usaha taninya selama musim hujan, yaitu 56 bulan dalam setahun. Setelah
panen selesai, lahan diberakan dan petani mencari pekerjaan lain di desanya atau di kota terdekat
untuk mendapat tambahan pendapatan.

Teknologi usaha tani konservasi lahan kering sudah cukup banyak, baik yang bersifat komponen
tunggal maupun gabungan beberapa komponen yang saling memperkuat, misalnya penanaman
rumput pakan unggul pada teras bangku dan pengelolaan pakan/limbah pertanian untuk
meningkatkan produktivitas ternak.

Di samping itu, tanaman pangan atau hortikultura yang ditata berdasarkan pola tanam yang
sesuai dapat meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi erosi tanah. Teknologi konservasi
tersebut sudah disampaikan kepada petani oleh P3HTA melalui demonstrasi model usaha tani
dan oleh Sustainable Upland Farming System (SUFS) melalui demplot.

Namun, tampaknya proses adopsi teknologi hanya terjadi pada petani kooperator dan itu pun
tidak secara berkelanjutan, misalnya bibir teras ditanami lagi dengan ubi kayu, varietas tanaman
pangan kembali ke varietas lokal, dan sisa panen tidak dikembalikan ke dalam tanah atau dibakar
(Abdurachman
et al. 1993).

Agar petani mau dan mampu menerapkan teknologi konservasi sederhana dan murah, P3HTA
melaksanakan penelitian usaha tani dengan pendekatan bottom-up yaitu partisipasi petani diberi
prioritas. Pendekatan ini sangat memperhatikan kelemahan petani dalam hal permodalan dan
pengetahuan, serta besarnya ketergantungan pada alam. Namun, tingkat adopsi teknologi oleh
petani tetap masih rendah yang antara lain
disebabkan oleh:

Partisipasi penyuluh masih kurang dan jumlah penyuluh terbatas, sehingga perannya
masih perlu ditingkatkan Setiani et al. 1991).
Penyuluhan dan pembinaan petani lebih bersifat perseorangan (bukan kelompok tani)
karena lokasi petani yang berjauhan.
Meskipun penelitian memperhatikan usaha tani sebagai suatu sistem, dalam
kenyataannya penelitian komponen teknologi lebih menonjol, sehingga kesimpulan yang
diperoleh juga bersifat komponen atau parsial.
Peneliti mendapat kesukaran dalam menganalisis data karena kurangnya
ulangan/perlakuan, materi kurang seragam, data kurang lengkap (petani melakukan panen
tanpa sepengetahuan peneliti, karena petak percobaan tersebar), dan sering kali
peningkatan produksi tidak nyata karena masukan rendah.
Sehubungan dengan hal itu, pengembangan sistem usaha tani konservasi perlu dilakukan dengan
memperhatikan tiga hal, yakni: 1) bertitik tolak dari kondisi, kebutuhan, partisipasi dan aspirasi
petani; 2) berorientasi pada pemecahan masalah petani dan wilayah; dan 3) melibatkan peneliti
interdisiplin yang bekerja sama dengan penyuluh, petani dan pihak terkait lainnya.

Pengukuran dampak dan manfaat penerapan teknologi konservasi dilakukan dengan mengikuti
pendekatan sebelum dan sesudah pengembangan (before and after approach) pada lokasi tempat
teknologi dirakit. Untuk daerah lain yang memiliki kondisi yang sama digunakan pendekatan
nol-satu (zero one approach) atau kooperator vs nonkooperator.

KESIMPULAN

Permasalahan lahan kritis terutama di DAS bagian hulu perlu mendapat perhatian yang besar,
karena 45% DAS tergolong prioritas dan 27,50% merupakan superprioritas.

Akumulasi permasalahan terjadi karena selama ini program rehabilitasi dan konservasi lahan
kurang memadai. Petani yang umumnya miskin mempunyai lahan garapan sempit dan
menggunakan lahan tidak sesuai dengan kemampuannya serta tidak disertai tindakan konservasi
yang tepat. Di samping itu, program pemerintah kurang memfokuskan perhatian kepada
partisipasi petani karena kendala sosial budaya, serta sarana/prasarana perhubungan.

Berbagai program penelitian dan pengembangan model rakitan teknologi usaha tani konservasi
dapat memberikan sumbangan besar terhadap pengelolaan DAS bagian hulu. Model yang
dirancang tidak saja bertujuan meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani, tetapi
juga untuk melindungi infrastruktur di bagian hilirnya. Di DAS Brantas bagian hulu, penerapan
model yang tepat dapat menurunkan erosi 24 69% di bawah batas ambang erosi, selain
meningkatkan produksi.

Pengembangan teknologi usaha tani konservasi perlu didukung oleh pemerintah daerah, kerja
sama peneliti, penyuluh dan petani, lembaga pelayanan, dan partisipasi petani. Dukungan yang
kurang optimal akan menyebabkan pengembangan atau adopsi teknologi usaha tani konservasi
oleh petani menjadi terhambat.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

Dalam evaluasi teknologi usaha tani konservasi perlu digunakan analisis proyek sehingga
informasi yang didapat lebih sempurna. Setiap DAS mempunyai karakteristik yang spesifik
sehingga memerlukan rakitan teknologi yang spesifik lokasi.

Partisipasi petani dalam pengelolaan DAS perlu diperluas, tidak hanya dalam tahap
pengembangan teknologi dan adopsi tetapi juga dalam pengelolaan DAS. Pada tahap perbaikan
teknologi, formulasi kebijakan perlu ditekankan pada upaya mendorong partisipasi masyarakat.
Pada tahap awal, peran pemerintah diperlukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia dan memberikan subsidi, dan pada tahap pengembangan untuk mendorong pihak swasta
agar berinvestasi di lahan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., D. Lubis, dan H.M. Toha. 1993. Penelitian pengembangan sistem usaha tani
konservasi di DAS bagian hulu. Risalah Penelitian Pengembangan Sistem Produksi Pertanian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm. 235248.

Abdurachman, A. dan F. Agus. 2000. Pengembangan teknologi konservasi tanah pasca-


NWMCP. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Alternatif Teknologi Konservasi Tanah. Sekretariat Tim Pengendali Bantuan
Penghijauan dan Reboisasi Pusat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 2538.

Adnyana, M.O. dan I. Manwan. 1993. Prosedur pelaksanaan, strategi dan program penelitian
pengembangan. Risalah Penelitian Pengembangan Sistem Produksi Pertanian. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm 117.

Biro Pusat Statistik. 1981. Statistik Indonesia 1980/81. Biro Pusat Statistik. Jakarta. 125 hlm.

Biro Pusat Statistik. 1994. Statistik Indonesia 1994. Biro Pusat Statistik. Jakarta. 131 hlm.
Current, D., E. Lutz, and S.J. Scherr. 1995. The cost and benefits of agro-forestry to farmers. The
World Bank Research Observer 10(2): 151180.

Departemen Pertanian. 1987. Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 175/Kpts/RC. 220/ 4/1987
Tentang Pedoman Pola Pembangunan Pertanian Di Daerah Aliran Sungai. Departemen
Pertanian, Jakarta. 15 hlm.

Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1985. Program pengelolaan DAS di
Indonesia. Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Program Studi Pengembangan
DAS pada Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor. hlm 121.

DHV Consultants. 1990. Laporan Akhir Pengalaman Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Proyek
Kali Konto Fase Ke-3 dan Perpanjangan Fase ke-3. Jilid I. Departemen Kehutanan Republik
Indonesia dan Departemen Luar Negeri Kerajaan Belanda. 65 hlm.

Fagi, A.M., I.G. Ismail, U. Kusnadi, Suwardjo, dan A.S. Bagyo. 1988. Penelitian sistem usaha
tani di daerah aliran sungai. Risalah Lokakarya Penelitian Lahan Kering dan Konservasi. Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 114.

Hardianto, R., T. Hendarto, E. Masbula, dan N.L. Nurida. 1992. Status dan prospek
pengembangan sistem usaha tani konservasi di lahan kering berkapur DAS Brantas. Prosiding
Seminar Penelitian dan Pengembangan Sistem Usaha Tani Konservasi di Lahan Kering DAS
Jratunseluna dan Brantas. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang
Pertanian, Jakarta. hlm. 99120.

Hendarto, T., Djumali, dan N.L. Nurida. 1991. Usaha perbaikan teknologi pemupukan dan peran
cabai merah dalam sistem usaha tani konservasi di lahan kering DAS Brantas. Seminar
Penelitian dan Pengembangan Sistem Usaha Tani Konservasi di Lahan Kering DAS Jratunseluna
dan Brantas. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian,
Jakarta. hlm. 185194.

KEPAS. 1985. The Critical Uplands of Ecosystem in Java: An Agro-Ecosystem Analysis. 72


hlm.

Kristianto, K. 1985. Peranan peternakan dan pertanian lahan kering Dalam Peluang Kerja dan
Berusaha di Pedesaan. BPFE, Yogyakarta. 69 hlm.

Lutz, E., S. Pagiola, and C. Reiche. 1994. The cost and benefits of soil conservation. The
Farmers Viewpoint. The World Bank Research Observer 9(2): 273295.

Napitupulu, M. 1979. Meningkatkan martabat petani buruh sesuai tujuan pembangunan nasional
Dalam Seminar Petani Buruh. Jakarta. hlm. 2538. Nelson, R. 1991. Managing Drylands.
Finance and Development. IMF & World Bank. p. 1119.

Pakpahan, A., N. Syafaat, A. Purwoto, H.P. Saliem, dan G.S. Hardono. 1992. Kelembagaan
lahan dan konservasi tanah dan air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Monograph
Series No.5: 98 hlm.

Prawiradiputra. B.R., S. Sukmana, A.N. Ginting, dan A. Syam. 1995. Tinjauan beberapa proyek
sistem usaha tani konservasi di daerah aliran sungai bagian hulu (dengan perhatian khusus pada
komponen penelitian). Prosiding Lokakarya Pemantapan Rencana Penelitian 1995/96. Keragaan
Teknologi Usaha Tani dan Rencana Penelitian DAS. Bagian Proyek Peningkatan Kemampuan
Perencanaan Penghijauan dan Reboisasi Pusat, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
hlm. 1532.

Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1985. Program Penelitian Pola Usaha
Tani Terpadu dan Konservasi Tanah 1986/871990/91. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 51
hlm.

Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1987. Laporan Tahunan 1986/87.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 75 hlm.

Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1988. Laporan Tahunan 1987/88.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 83
hlm.

Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1989. Laporan Tahunan 1988/89.
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 89
hlm.

Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air. 1990. Petunjuk Teknis Usaha Tani
Konservasi Daerah Aliran Sungai. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan
Litbang Pertanian, Jakarta. 85 hlm.
Pusat Pengembangan Agribisnis. 1991. Layanan Konsultasi Monitoring dan Evaluasi. Proyek
Rehabilitasi Lahan dan Pengembangan Agroforestry untuk Sub DAS Cimanuk Hulu. Pusat
Pengembangan Agribisnis, Jakarta. 45 hlm.

Rachman, A., H. Suwardjo, R.L. Watung, dan H. Sembiring. 1989. Efisiensi teras bangku dan
teras gulud dalam pengendalian erosi. Risalah Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian Lahan
Kering dan Konservasi di Daerah Aliran Sungai. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah
dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 1118.

Rahmanto, B., P. Amir, dan A. Syam. 1989. Penjajagan persepsi petani terhadap nilai lahan
garapan dan biaya pembuatan teras serta preferensi petani dalam menanamkan modal. Risalah
Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di DAS. Proyek
Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 257266.

Sembiring, H., M. Thamrin, A. Farid, G. Kartono, A. Rachman, dan S. Sukmana. 1989.


Pengaruh bentuk teras terhadap erosi dan produktivitas tanah aquic tropudalf di Srimulyo,
Malang. Risalah Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di
DAS. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
hlm. 1824.

Sembiring, H., A. Farid, A. Ispandi, G. Kartono, dan H. Suwardjo. 1991. Kajian beberapa jenis
tanaman legum penutup tanah untuk rehabilitasi lahan kritis. Risalah Diskusi Ilmiah Hasil
Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di DAS. Proyek Penelitian Penyelamatan
Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 2428.

Setiani, C., B. Prasetyo, dan U. Haryati. 1991. Peranan kelembagaan dalam adopsi sistem usaha
tani konservasi (demplot) dan kapas (IKR), suatu tinjauan sosiologi. Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Lahan Kering dan Konservasi Tanah di Lahan Sedimen dan Vulkan DAS Bagian
Hulu. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
hlm. 7790.

Soemarno, M., M. Mustadjab, and I. Semaoen. 1985. Overview of Agriculture and Rural
Development in East Java and The Brantas Basin. Brawidjaja University Research Center,
Malang. hlm 2131.

Sofijah, A. dan Suwardjo. 1979. Pengaruh teras, sistem pengelolaan tanaman dan sifat hujan
terhadap erosi dan aliran permukaan pada tanah Latosol Darmaga. Pusat PenelitianTanah dan
Agroklimat, Bogor. 14 hlm.

Sukmana, S. 1994. Budi daya lahan kering ditinjau dari konservasi tanah. Prosiding Penanganan
Lahan Kering Marginal melalui Pola Usaha Tani Terpadu di Jambi. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor. hlm. 1829.

Sukmana, S., Suwardjo, U. Kusnadi, dan A. Syam. 1988. Usaha konservasi di daerah aliran
sungai bagian hulu. Sistem Usaha Tani di Lima Agroekosistem. Risalah Lokakarya Penelitian
Sistem Usaha Tani. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. hlm.
199222.

Sutadipradja, E., A.N. Ginting, O. Satjapradja, H. Soediman, and Hadipurnomo. 1986.


Watershed management approaches in Indonesia. Proceeding of Workshop on Standardization of
Guidelines for Watershed Management Approaches and Research in the ASEAN Region, Chang
Mai, Thailand, 2130 November 1984. hlm. 6882.

Suwardjo. 1981. Peranan Sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah dan Air pada Sistem Usaha
Tani Tanaman Semusim. Disertasi Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. 85 hlm.

Suwardjo, N. Sinukaban, dan A. Barus. 1984. Makalah erosi dan kerusakan tanah di daerah
transmigrasi. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Pola Usaha Tani Menunjang Transmigrasi,
Cisarua, Bogor, 2729 Februari 1984. hlm. 1535.

Syam, A., U. Kusnadi, S. Sukmana, G. Kartono, R. Hardianto, A. Ispandi, dan N.L. Nurida 1989.
Tingkat Pendapatan Petani Model Usaha Tani Konservasi di DAS Brantas. Risalah Diskusi
Ilmiah Hasil Penelitian Lahan Kering dan Konservasi di DAS. Proyek Penelitian Penyelamatan
Hutan, Tanah dan Air, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 217224.

Syam, A., Al Sri Bagyo, dan M.O. Adnyana. 1993. Perbandingan teras bangku, teras gulud dan
tanpa teras: suatu analisis ekonomi. Prosiding Seminar Perakitan dan Pengembangan Teknologi
Sistem Usaha Tani Tanaman Pangan. Buku-I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor. hlm. 4765.

Tim Survei Tanah DAS Brantas. 1988. Laporan Survei dan Pemetaan Tanah Detail DAS Brantas
Hulu, Kabupaten Malang, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek, Propinsi Jawa Timur.
No.31/PPT/1988. Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah. Bappeda Tingkat I
Jawa TimurPusat Penelitian Tanah, Bogor. 185 hlm.

Anda mungkin juga menyukai