Anda di halaman 1dari 20

Nama Kelompok : 1.

Akhmad Hafiz Adytia


2. Apriansyah
3. Cherly Meigita
Kelas : 6 EGC

2. TINJAUAN PUSTAKA

1. Biogas
Biogas yang didominasi oleh gas metana, merupakan gas yang dapat
dibakar. Metana secara luas diproduksi di permukaan bumi oleh bakteri
pembusuk dengan cara menguraikan bahan organik. Sekurangnya 10 tipe
bakteri pembusuk yang berbeda dari bakteri methanogenesis yang
berperan dalam pembusukan. Biogas merupakan campuran gas yang
dihasilkan dari aktivitas bakteri metanogenik pada kondisi anaerobik atau
fermentasi bahan-bahan organik (Wahyuni, 2010). Komposisi jenis gas
dan jumlahnaya pada suatu unit biogas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi jenis gas dan jumlahnya pada suatu unit biogas

Jenis Gas Karellas, 2010 Juanga, 2005


Metana CH4 55 75 % 50 60 %
Karbon Dioksida CO2 25 45 % 38 48 %
Karbon Monoksida CO 0 0.3 %
Nitrogen N2 15%
Hidrogen H2 03% 2%
Hidrogen Sulfida H2S 0.1 0.5 %
Oksigen O2 sedikit

Seperti terlihat pada Tabel 1 komposisi biogas berkisar antara


50 75% metana dan 25 48% karbon dioksida. Biogas mengandung gas
lain seperti karbon monoksida, hidrogen, nitrogen, oksigen, hidrogen
sulfida. Kandungan gas tergantung dari bahan yang masuk ke dalam
bioreaktor (Karellas, 2010 dan Juanga, 2005).
Biogas merupakan produk dari pendegradasian substrat organik
secara anaerobik. Karena proses ini menggunakan kinerja campuran
mikroorganisme dan tergantung terhadap berbagai faktor seperti suhu, pH,
hydraulic retention, rasio C:N dan sebagainya sehingga proses ini berjalan
lambat (Yadvika et al, 2004).
Karakteristik dari metana murni adalah mudah terbakar, selain itu
dapat mengakibatkan ledakan (Meynell, 1976). Kandungan metana dengan
udara akan menentukan pada kandungan berapa campuran yang mudah
meledak dapat dibentuk. Pada LEL (lower explosive limit) 5.4% metana
dan UEL (upper explosive limit) 13.9% basis volume. Dibawah 5.4%
tidak cukup metana sedangkan, diatas 14% terlalu sedikit oksigen untuk
menyebabkan ledakan. Temperatur yang dapat menyebabkan ledakan
sekitar 650 750oC, percikan api dan korek api cukup panas untuk
menyebabkan ledakan (Meynell, 1976).
Nilai kalori biogas tergantung pada komposisi metana dan
karbondioksida, dan kandungan air di dalam gas. Biogas mengandung
banyak kandungan air akibat dari temperatur pada saat proses, kandungan
air pada bahan dapat menguap dan bercampur dengan metana. Pada biogas
dengan kisaran normal yaitu 60-70% metana dan 30-40% karbondioksida,
nilai kalori antara 20 26 J/cm3. Kesetaran biogas dengan sumber energi
lain menurut disajikan pada Tabel 2. Nilai kalori bersih dapat dihitung dari
persentase metana seperti berikut (Meynel, 1976) :
Q = k m ...................... ( 1 )
Dimana Q = Nilai kalor bersih (joule/cm3)
k = Konstanta (0.33)
m = Persentase metana (%)

Tabel 2. Kesetaraan biogas dengan sumber energi lain (1 m3 biogas)


Sumber Energi Kesetaraan
Elpiji 0.46 Kg
Minyak Tanah 0.62 l
Minyak solar 0.52 l
Bensin 0.80 l
Gas kota 1.50 m3
Kayu bakar 3.50 Kg
Sumber : Wahyuni, 2010

2. 2. Jerami
Jerami padi adalah batang padi yang ditinggalkan termasuk daun
sesudah diambil buahnya yang masak. Sekitar 30% jerami padi digunakan
untuk beberapa kepentingan manusia berupa atap rumah, kandang,
penutup tanah (mulsa), bahkan bahan bakar industri dan untuk pakan
ternak (bila terpaksa) selebihnya dibuang atau dibakar yang tidak jarang
akibatnya mengganggu keseimbangan lingkungan. Pemanfaatan jerami
padi untuk pakan ternak di Indonesia berkisar antara 31-39%,
dikembalikan ketanah sebagai pupuk (36-62 %) dan sisanya berkisar 7-
16% digunakan untuk industri (Komar, 1984).
Masyarakat petani pada umumnya masih rendah dalam pemanfaatan
Jerami. Sebagian besar petani hanya membakar jerami padi setelah panen
dimana limbah ini berfungsi sebagai pupuk organik, di samping itu adanya
anggapan dari responden bahwa hijauan pakan tersedia dalam jumlah yang
mencukupi dilahan pekarangan, sawah dan kebun untuk kebutuhan ternak
(Febrina dan Liana, 2008). Winarno et al, (1985) menyatakan limbah
pertanian pada umumnya belum mendapat perhatian dan belum banyak
dimanfaatkan untuk menjadi komoditas baru yang mempunyai harga lebih
baik atau nilai tambah (added value) yang setinggi mungkin sehingga
dapat memberikan kontribusi terhadap pendapatan total rumah tangga
petani. Potensi jerami di Indonesia sangat besar, menurut ZREU (2000),
potensi jerami padi sekitar 49 juta ton per tahun. Potensi Biomassa
disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Potensi Biomassa (jerami padi) di Indonesia


Jerami padi merupakan salah satu limbah pertanian yang paling besar
di Indonesia. Pemanfaatan limbah jerami padi sebagai salah satu bahan
baku alternatif produksi glukosa dalam proses bioetanol mulai
dikembangkan di beberapa negara termasuk di Indonesia. Hal ini
disebabkan karena jerami padi harganya sangat murah dan memiliki
kandungan selulosa yang cukup tinggi yaitu mencapai 25.4-35.5%.
Komposisi kimia lainnya yaitu hemiselulosa 32.3-37.1%, lignin 6.4-10%
dan abu (Lei at al, 2010). Jerami padi setelah panen memiliki kadar air
sekitar 40%. Komposisi kimia jerami padi sangat bervariasi hal ini
dipengaruhi oleh varietas padi, tempat tumbuh, serta pupuk yang
digunakan. Di Indonesia rata-rata kadar hara jerami padi adalah 0.4% N,
0.02% P, 1.4% K, 5.6% Si dan mengandung 40-43% C (Makarim et al,
007). Karakteristik jerami disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik jerami padi


Parameter Nilai
Ukuran Partikel (mm) 35
Kadar Air 10.20
Total Solid (g/L) 14.60
Volatile Solid (g/L) 12.63
Kadar C dalam TS (bk) (%) 41.18
Kadar N dalam TS (bk) (%) 0.69
Kadar P dalam TS (bk) (%) 0.044
Sumber : Lei et al, (2010)

Menurut Kim dan Dale (2004) potensi jerami kurang lebih 1,4 kali
dari hasil panen. Rata-rata produktivitas padi nasional adalah 48.95 ku/ha,
sehingga jumlah jerami yang dihasilkan kurang lebih 68.53 ku/ha. Potensi
jerami yang sangat besar ini sebagian besar masih disia-siakan oleh petani.
Sebagian besar jerami hanya dibakar menjadi abu, sebagian kecil
dimanfaatkan untuk pakan ternak.

2. 3. Sampah Pasar
Sampah mempunyai kontribusi besar terhadap meningkatnya emisi
gas rumah kaca, hal ini dikarenakan penumpukan sampah tanpa diolah
akan melepaskan gas metana/methane (CH4). Setiap 1 ton sampah padat
menghasilkan 50 kg gas metana. Diperkirakan pada tahun 2020, sampah
yang dihasilkan oleh penduduk indonesia sekitar 500 juta kg/hari atau
190 ribu ton/tahun (Nengsih, 2002).
Pada tahun 2007 total timbulan sampah dari 170 kota yang mengikuti
program Adipura mencapai 45.4 juta meter kubik. Dari jumlah tersebut,
sekitar 71 persen atau sebanyak 32.5 juta meter kubik terangkut ke tempat
pembuangan akhir (TPA). Menurut pedoman IPCC 2006, timbulan
sampah di Indonesia adalah sebesar 0.28 ton per kapita per tahun. Dengan
menggunakan asumsi tersebut dan proyeksi jumlah penduduk tahun
2001 2007, timbulan sampah pada tahun 2007 diperkirakan mencapai
63 ribu ton dimana 58 persen diantaranya berasal dari pulau Jawa. Hal ini
sesuai dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk di pulau Jawa yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau besar lainnya di Indonesia.
Peta timbunan sampah domestik disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta sebaran timbulan sampah domestik tahun 2010


(sumber: ICCSR, 2010)

Dari timbulan sampah tersebut, sekitar 80% dibuang ke tempat


pembuangan akhir (TPA) sampah, 5% dibakar di insinerator, 1% dibuat
kompos, dan 5% sisanya tidak teridentifikasi namun kemungkinan besar
ada yang didaur ulang. Dilihat dari komposisinya, sampah di Indonesia
didominasi oleh bahan organik sebesar 65%, kertas sebesar 13%, plastik
sebesar 11%, dan kayu sebesar 3%. Sisanya adalah tekstil, karet, logam,
gelas, dan keramik masing-masing sebesar 1% (KLH, 2008). Komposisi
sampah disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Komposisi sampah (KLH, 2008)

Menurut Biswas (2007) karakteristik limbah buah dan sayuran di


dominasi oleh kandungan air yang tinggi. Karakteristik limbah buah dan
sayuran disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik limbah buah dan sayuran


Karakteristik Biswas et al, 2007 Alvarez & Liden, 2007
Kadar Air (%) 89.14 87.30
Kadar Abu (%) 0.98 0.80
TS (%) 10.76 12.70
VS (%) 9.78 11.90
Rasio C/N 9.5 -

2. 4. Fermentasi
Menurut Esposito et al (2011) dan Batstone et al (2002) secara garis
besar proses pembentukan biogas dapat dilihat pada Gambar 4 dan dibagi
dalam empat tahap yaitu: hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan
metanogenesis.
Limbah Pertanian Inert (partikel,
(Jerami padi & Sampah Pasar) terlarut)

Disintegrasi

Karbohidrat Protein Lemak

Hidrolisis
Gula/ Long Chain Fatty
Asam Amino (AA)
Monosakarida(MS) Acids (LCFA)

1 2 3 Asidogenesis

Asam Valeric (HVa),


Propionate
Asam Butyric (HBu)
5
4

Asetogenesis

Acetat H2

6 7 Metanogenesis

Metana (CH4),
CO2

Acidogenesis dari 5) Asetogenesis dari butyrate dan valerate


1) Gula 3) LCFA 6) Aseticlastoc methanogenesis
2) Asam Amino 4) Propionate 7) hydrogenotrophic methanogenesis

Gambar 4. Skema konversi biomassa menjadi metana (Esposito et al,


2011 dan Batstone et al, 2002)

1. Tahap Hidrolisis
Pada tahap hidrolisis, bahan organik dienzimatik secara eksternal
oleh enzim ekstraselular (selulose, amilase, protease dan lipase)
mikroorganisme. Bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat
komplek, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Sebagai
contoh polisakarida diubah menjadi monosakarida sedangkan protein
diubah menjadi peptida dan asam amino. Menurut Deublein dan
Steinhauser (2008), dalam tahapan hidrolisis terjadi pemecahan enzimatis
dari bahan yang tidak mudah larut seperti lemak, polisakarida, protein,
asam nukleat dan lain-lain menjadi bahan yang mudah larut. Protein
dihidrolisis menjadi asam-asam amino, karbohidrat menjadi gula-gula
sederhana, sedang lemak diurai menjadi asam rantai pendek.
2. Tahap Asidogenesis
Pada tahap asidogenesis, bakteri menghasilkan asam, mengubah
senyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam
asetat, hidrogen dan karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri
anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Untuk
menghasilkan asam asetat bakteri tersebut memerlukan oksigen dan
karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan,
pembentukan asam dalam kondisi anaerobik sangat penting untuk
membentuk gas metan oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya.
Selain itu, bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul
rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida, H2S
dan sedikit gas metan (Amaru, 2004).
Menurut Deublein dan Steinhauser (2008) produk terpenting dalam
tahapan asidogenesis adalah asam asetat, asam propionate, asam butirat,
H2 dan CO2. Selain itu dihasilkan sejumlah kecil asam formiat, asam
laktat, asam valerat, methanol, etanol, butadienol dan aseton.
3. Asetogenesis
Tidak semua produk asetogenesis dapat dipergunakan secara
langsung pada tahap metanogenesis, alkohol dan asam volatile rantai
pendek tidak dapat langsung dipergunakan sebagai substrat pembentuk
metan, tetapi harus dirombak dulu oleh bakteri asetogenik menjadi asetat,
H2 dan CO2. Produk yang dihasilkan ini menjadi substrat pada
pembentukan gas metan oleh bakteri metanogenik. Setelah asidogenesis
dan asetogenesis, diperoleh asam asetat, hidrogen, dan karbondioksida
yang merupakan hasil degradasi anaerobik bahan organik.
4. Tahap Pembentukan Gas Metana (Metanogenesis)
Pada tahap ini bakteri metanogenik mendekomposisikan senyawa
dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul
tinggi. Sebagai contoh bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2 dan asam
asetat untuk membentuk metana dan CO2. Bakteri penghasil asam dan gas
metana bekerjasama secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk
keadaan atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan
bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri
penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan
menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam. Metana
diproduksi dari asam asetat, hidrogen dan karbon dioksida (Juanga, 2005).
Prinsip reaksi metanogenik disajikan pada Gambar 5.

Hidrogen 4H2 + CO2 CH4 + 2H2O


Asetat CH3COOH CH4 + CO2
Format 4HCOOH CH4 + 3CO2 + 2H2O
Metanol 4CH3OH 3CH4 + CO2 + 2H2O
Karbon Monoksida 4CO + 2H2O CH4 + 3H2CO3
Trimetilamin 4(CH3)2N + 6H2O 9CH4 + 3CO2 + 4NH3
Dimetilamin 2(CH3)2NH + 2H2O 3CH4 + CO2 + 2NH3
Monometilamin 4(CH3)NH2 + 2H2O 3CH4 + CO2 + 4NH3
Metil mercaptan 2(CH3)2S + 3H2O 3CH4 + CO2 + H2S
Logam 4Meo + 8H + CO2 4Meo + CH4 + 2H2O

Gambar 5. Prinsip reaksi metanogenik (Juanga, 2005)

Menurut Hoffman (2000) dan Juanga (2005) menyatakan bahwa


teknologi fermentasi media padat memiliki beberapa kelebihan. Kelebihan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Keuntungan teknologi fermentasi media padat


Aspek Keuntungan
Proses pengolahan limbah alami
Memerlukan sedikit lahan dibandingkan
komposting secara aerobik dan landfill
Pengolahan limbah
Reduksi volume dan berat limbah buangan ke
landfill
Reduksi konsentrasi leacheate
Proses produksi energi bersih
Menghasilkan kualitas tinggi energi
Keuntungan Energi terbarukan
Biogas yang terjamin

Signifikan mengurangi emisi gas rumah kaca


Menyisihkan bau
Keuntungan Lingkungan
Memproduksi kompos yang kaya nutrient
Keuntungan recycle maksimum
Keuntungan biaya Efektivitas Biaya
Sumber : Juanga (2005
6. Faktor yang Berpengaruh pada Proses Fermentasi
Proses pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas
yaitu proses pemecahan bahan organik oleh aktivitas bakteri metanogenik
dan bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami
terdapat dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran
binatang, manusia dan sampah organik rumah tangga. Proses anaerobik
dapat berlangsung di bawah kondisi lingkungan yang luas walaupun
proses yang optimal hanya terjadi pada kondisi yang terbatas (Haryati,
2006). Kondisi pengoperasian pada proses anaerobik dapat dilihat pada
Tabel 6.

Tabel 6. Kondisi pengoperasian pada proses anaerobik


Parameter Nilai
Suhu
Mesofilik 35 oC
Termofilik 54 oC
pH 78
Waktu retensi 10 30 hari
Laju pembebanan 0.07 0.16 kg.VS/m3/hari
Hasil Biogas 0.28 0.69 m3/kg.VS
Kandungan Metana 60 70 %
Sumber : Engler et al (2000)

Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik yaitu bakteri hidrolitik


yang memecah bahan organik menjadi gula dan asam amino, bakteri
fermentatif yang mengubah gula dan asam amino menjadi asam organik,
bakteri asidogenik mengubah asam organik menjadi hidrogen,
karbondioksida dan asam asetat dan bakteri metanogenik yang
menghasilkan metan dari asam asetat, hidrogen dan karbondioksida. Di
dalam reaktor biogas, terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan,
yakni bakteri asidogenik dan bakteri metanogenik. Kedua jenis bakteri ini
perlu eksis dalam jumlah yang berimbang. Bakteri-bakteri ini
memanfaatkan bahan organik dan memproduksi metan dan gas lainnya
dalam siklus hidupnya pada kondisi anaerob. Mereka memerlukan kondisi
tertentu dan sensitif terhadap lingkungan mikro dalam reaktor seperti
temperatur, keasaman dan jumlah material organik yang akan dicerna.
Terdapat beberapa spesies metanogenik dengan berbagai karateristik
(Haryati, 2006).
Aktivitas metabolisme mikroorganisme penghasil metana tergantung
pada faktor:
1. Temperatur
Gas metana dapat diproduksi pada tiga kisaran temperatur sesuai
dengan bakteri yang hadir. Bakteri psyhrofilik 07oC, bakteri mesofilik
pada temperatur 1340oC sedangkan termofilik pada temperatur 55 60oC.
Temperatur yang optimal untuk reaktor adalah temperatur 3235oC,
kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk
pertumbuhan bakteri dan produksi metana di dalam reaktor dengan lama
proses yang pendek (Haryati, 2006). Bakteri metanogenik tidak aktif pada
temperatur sangat tinggi atau rendah. Temperatur optimumnya yaitu
sekitar 35C. Jika temperatur turun menjadi 10C, produksi biogas akan
terhenti. Pengaruh kondisi temperatur terhadap laju proses anaerobik
digestion disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Representatif grafik suhu anaerobic digestion (Juanga, 2005)

Produksi biogas yang memuaskan berada pada daerah mesofilik


yaitu antara 2530C. Biogas yang dihasilkan pada kondisi di luar
temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida yang lebih
tinggi. Pemilihan temperatur yang digunakan juga dipengaruhi oleh
pertimbangan iklim. Untuk kestabilan proses, dipilih kisaran temperatur
yang tidak terlalu lebar. Pengaruh perbedaan kondisi suhu terhadap
produksi biogas dan metana disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Perbedaan kondisi suhu terhadap produksi biogas dan metana


Kondisi Total Total
Suhu Laju Biogas Laju Metana
Anaerobic Biogas metana
Digestion o l/kg l/kg l/kg l/kg
C l L
(AD) TS VS TS VS
Termofilik 48.19 23.28 225.8 282.1 109.1 136.3
AD
Mesofilik 41.55 20.53 194.7 243.3 96.2 120.2
basah
Ambien 31.52 15.64 147.7 184.5 73.3 91.6
Termofilik 40.96 16.29 153.9 191.9 61.1 76.3
AD
Mesofilik 51.74 26.36 194.0 123.5 98.8 123.5
kering
Ambien 39.56 19.74 148.3 185.3 74 92.5
Sumber : Lianhua et al (2010).

2. Lama Proses
Lama proses atau jumlah hari bahan terproses didalam bioreaktor.
Pada reaktor tipe aliran kontinyu, bahan akan bergerak dari inlet menuju
outlet selama waktu tertentu akibat terdorong bahan segar yang
dimasukkan, setelah itu bahan akan keluar dengan sendirinya. Misalnya
apabila lama proses atau pengisian bahan ditetapkan selama 30 hari, maka
bahan akan berada didalam bioreaktor atau menuju outlet selama 30 hari.
Setiap bahan mempunyai karakteristik lama proses tertentu, sebagai
contoh untuk kotoran sapi diperlukan waktu 2030 hari. Sebagian biogas
diproduksi pada 10 sampai dengan 20 hari pertama (Wahyuni, 2010)
Apabila terlalu banyak volume bahan yang dimasukkan (overload) maka
akibatnya lama pengisian menjadi terlalu singkat. Bahan akan terdorong
keluar sedangkan biogas masih diproduksi dalam jumlah yang cukup
banyak.
3. Derajat Keasaman (pH)
Kegagalan proses pencernaan anaerobik dalam reaktor biogas bisa
dikarenakan tidak seimbangnya populasi bakteri metanogenik terhadap
bakteri asam yang menyebabkan lingkungan menjadi sangat asam (pH
kurang dari 7) yang selanjutnya menghambat kelangsungan hidup bakteri
metanogenik. Kondisi keasaman yang optimal pada pencernaan anaerobik
yaitu sekitar pH 6.8 sampai 8, laju pencernaan akan menurun pada kondisi
pH yang lebih tinggi atau rendah (Wahyuni, 2010), sedang menurut
Nguyen (2004), kondisi optimum pH pada rentang 7.2 sampai 8.2.
4. Penghambat Nitrogen dan Ratio Carbon Nitrogen
Menurut Wahyuni (2010) dan Haryati (2006), bakteri yang terlibat
dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa elemen sesuai dengan
kebutuhan organisme hidup seperti sumber makanan dan kondisi
lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar
30 kali lebih cepat dibanding nitrogen. Hubungan antara jumlah karbon
dan nitrogen dinyatakan dengan rasio karbon/nitrogen (C/N), rasio
optimum untuk reaktor anaerobik berkisar 20 - 30. Jika C/N terlalu tinggi,
nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri metanogen untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dan hanya sedikit yang bereaksi
dengan karbon akibatnya biogas yang dihasilnya menjadi rendah.
Sebaliknya jika C/N rendah, nitrogen akan dibebaskan dan berakumulasi
dalam bentuk amonia (NH4) yang dapat meningkatkan pH. Jika pH lebih
tinggi dari 8.5 akan menunjukkan pengaruh negatif pada populasi bakteri
metanogen.

Desain dan Konstruksi Reaktor


Reaktor fermentasi skala laboratorium dibuat dari bahan flexi glass
(10 l). Reaktor ini dilengkapi dengan asesoris yang meliputi termostat,
aerator, penampung lindi dan pengukur volume biogas. Desain reaktor
dapat dilihat pada Gambar 10. Adapun spesifikasi reaktor yang digunakan
adalah volume 10 l, suhu 35oC, dan resirkulasi air lindi dilakukan tiap hari
secara manual.
Gambar 10. Desain reaktor skala 10 l (Modifikasi : Kusch et al,
2008)

Gambar 10 memperlihatkan bahwa reaktor biogas yang digunakan


terdiri atas tiga bagian yaitu: Bagian penampung biogas (A), Reaktor
anaerobik (B), dan Bagian penampung cairan lindi (C). Bahan baku
(limbah jerami padi dan sampah) akan difermentasikan di dalam bagian
reaktor anaerobik (B) yang dilengkapi dengan pemanas (heater) dan
pengatur suhu (thermostat), guna menjaga suhu pada kisaran 35-40 0C
(mesofilik). Pada proses fermentasi bahan akan dihasilkan biogas yang
akan mengalir ke atas melalui pipa menuju tempat penampungan biogas
(bagian A). Lindi yang dihasilkan dari proses fermentasi akan
dikumpulkan di bagian C dan akan disirkulasi kembali ke bagian B secara
manual melalui pipa sirkulasi lindi. Pada bagian B ditambahkan blower
untuk uji pengaruh aerasi.
BAHAN BAKU
(Sampah pasar &
Jerami)

Pengecilan ukuran 2-5 cm

Penimbangan
(2.5 kg Sampah
& 1 kg Jerami)

Pengukuran TS-VS
Sampah (+Kotoran sapi Fermentasi Media Padat bahan, COD bahan &
277 g, Jerami (+kotoran pada suhu 35-40oC selama lindi, pH bahan&lindi
sapi 350 g & air 3000 g) 30-40 hari setiap 2 hari sekali

Analisis : kadar air,


KOMPOS & kadar abu, TS, VS,
BIOGAS PUPUK CAIR pH, COD, N, P

Pengukuran volume Kompos yang terbentuk


gas yang terbentuk dijadikan starter dengan
penambahan umpan baru
dengan perbandingan 50:50
dan 25:75

Pengukuran TS-VS
Fermentasi Media Padat bahan, COD bahan &
pada suhu 35-40oC selama lindi, pH bahan&lindi
30-40 hari setiap 2 hari sekali

KOMPOS &
BIOGAS PUPUK CAIR

Analisis : kadar air,


Pengukuran volume
kadar abu, TS, VS,
gas yang terbentuk
pH, COD, N, P

Gambar 11. Diagram alir penelitian utama


4. 7. DESAIN TEKNOLOGI FERMENTASI MEDIA PADAT

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa jerami dan sampah pasar


dapat dikonversi menjadi salah satu sumber energi terbarukan, yaitu
berupa biogas. Pada aplikasi sistem ini, maka fermentasi pertama
dilakukan dengan menggunakan bahan baku limbah jerami atau sampah
pasar dan ditambahkan kotoran sapi segar sebagai inokulum. Pada
fermentasi selanjutya baru dilanjutkan dengan penggunaan kembali
digestat sebanyak 25 persen dan umpan baru berupa bahan organik (jerami
dan sampah pasar) sebanyak 75 persen. Potensi penerapan hasil penelitian
ini dalam sekala lebih besar sangat memungkinkan, karena produksi
jerami padi dan sampah yang sangat besar di Indonesia dan masih belum
banyak dimanfaatkan.
Desain teknologi fermentasi media padat digunakan untuk limbah
padatan seperti sayuran/hijauan, sampah pasar dan jerami. Desain yang
dibuat adalah sistem batch (curah), tidak perlu menggunakan pipa alir,
tangki tunggal merupakan desain yang paling baik untuk digunakan.
Tangki dapat dibuka dan slurry buangan proses dapat dikeluarkan dan
digunakan sebagai pupuk kemudian bahan baku yang baru dimasukkan
lagi. Tangki ditutup dan proses fermentasi diawali kembali. Tergantung
dari jenis bahan limbah dan temperatur yang dipakai, sistem batch akan
mulai berproduksi setelah minggu kedua sampai minggu keempat, laju
peningkatan produksi menjadi lambat lalu menurun setelah satu bulan.
Sistem batch biasanya dibuat dalam beberapa set sekaligus sehingga paling
tidak ada yang beroperasi dengan baik. Menurut Romli (2010), sistem
batch memiliki kemampuan menghasilkan 50 sampai 100 kali lebih besar
laju produksi biogas karena dua hal. Pertama, lindi secara kontinu
dilakukan resirkulasi yang memungkinkan tersebarnya inokulan, nutrient
dan asam-asam, dan ini sebenarnya adalah efek pengadukan parsial.
Kedua, sistem curah berjalan dalam suhu yang relative lebih tinggi
daripada suhu umumnya landfill.
Keterangan :
A. Bagian penampung biogas
B. Reaktor utama
C. Penampung lindi dan pompa
untuk sirkulasi lindi
D. Pompa untuk sirkulasi lindi
E. Inlet umpan
F. Outlet digestat

Gambar 22. Rancangan reaktor biogas

Untuk aplikasi di lapangan, rancangan bioreaktor biogas yang


digunakan tentu berbeda dengan bioreaktor skala laboratorium. Untuk
skala penelitian mungkin cukup dengan kapasitas reaktor 10 liter, tetapi
untuk skala aplikasi di lapangan kapasitas tersebut tidak cukup. Dalam
rancangan bioreaktor skala lapangan, kapasitas reaktor dibuat dalam
satuan volume sekitar 4000 liter. Gambar 22 menujukkan desain reaktor
biogas untuk skala lapangan.
Reaktor terdiri dari tiga bagian utama, yaitu reaktor, penampung gas
dan penampung air lindi. Sistem fermentasi yang digunakan adalah
fermentasi padat (solid state fermentation). Pada bagian reaktor terdiri dari
saluran inlet, outlet, dan tempat fermentasi. Pada penampung lindi
dilengkapi dengan pompa untuk mensirkulasi air lindi. Penampung gas
sendiri terbuat dari plastik tebal.
Bahan baku awal berupa jerami padi atau sampah pasar, air dan
kotoran sapi dimasukkan melalui saluran inlet. Reaktor juga dilengkapi
saluran outlet untuk mengeluarkan digestat, sehingga tidak perlu
membongkar semuanya. Bentuk umpan yang semi padat, membuat proses
pengeluaran digestat dengan cara mendorong dari bagian inlet. Bahan
untuk membuat reaktor dapat berupa stainless steel atapun beton.
Penampung gas terbuat dari plastik tebal yang ditempatkan dibagian atas
reaktor dengan kapasitas 6000 liter. Proses resirkulasi lindi dapat
dilakukan dengan menggunakan pompa atau juga bisa tanpa menggunakan
pompa dengan mengecilkan ukuran pipa resirkulasi dan memanfaatkan
tekanan cairan. Biogas dari penampung gas langsung bisa dialirkan ke
kompor untuk memasak.
Limbah biomassa mempunyai rasio C:N yang tinggi dibandingkan
limbah kotoran ternak sehingga perlu ditambahkan sumber nitrogen.
Limbah pertanian menghasilkan biogas delapan kali lebih banyak
dibandingkan limbah kotoran ternak (Haryati, 2006). Campuran dari
limbah kotoran ternak dan limbah sayuran merupakan campuran yang
ideal untuk menghasilkan biogas, dengan perbandingan jumlah limbah
sayuran yang lebih banyak.

Anda mungkin juga menyukai