Anda di halaman 1dari 10

PENGOMPOSAN LIMBAH PADAT

Mata Kuliah : Teknik Pengolahan Limbah

Disusun Oleh:

Nama : Made Darmayasa


Nim : 1910531047

TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2022
PENGOMPOSAN LIMBAH PADAT
Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari dekomposisi secara aerob
maupun anaerob kotoran ternak (sapi, ayam, babi, kambing, kuda, kelinci dll). Kotoran ternak
padat (feces) yang bercampur sisa makanan, dan kotoran ternak cair dalam bentuk air kencing
(urine) dapat diolah menjadi pupuk organik. Namun ke dua bahan baku tersebut harus
diproses secara aerob atau anaerob untuk menjadi pupuk yang memenuhi standar mutu,
kompos adalah pupuk organik padat sedangkan biourine adalah pupuk organik cair. Pada
budidaya tanaman pangan petani lebih sering memergunakan pupuk kompos dari pada
biourine dan pupuk organik cair lainnya.
Bahan kompos dengan kadar air 60% memiliki karakteristik akan terasa basah jika
diremas tetapi air tidak sampai menetes. Penggunaan pupuk organik sangat efektif bagi
mikroorganisme dalam menyerap N2 untuk peningkatan kesuburan tanah. Kompos juga dapat
meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit serta menurunkan ketersediaan logam-
logam berat.
Kandungan N, P dan K dari beberapa jenis kompos (Sutanto, 2002).

Jenis pupuk organik Nitrogen, % Fosfor, % Kalium, %

Kotoran Kerbau 0,6 – 0,7 2,0 – 2,5 0,4

Kotoran Sapi 0,5 – 1,6 2,4-0 2,9 0,5

Kotoran Kuda 1,5 – 1,7 3,6 – 3,9 4,0

Kotoran Ayam 1,0 – 2,1 8,9 -10,0 0,4

Jerami Padi 0,8 0,2  

A. Standar bahan baku pengomposan limbah padat


1. Limbah Perternakan
 Kotoran Padat Ternak Sapi (Feses)
Sapi dengan berat ± 400-500 kg mengasilkan 30 – 40 kg feses perhari
(Setiyo et al., 2014). Jumlah feses kotoran sapi yang dihasilkan oleh setiap 20
ekor sapi adalah 600 – 800 kg per hari. Kotoran sapi berpotensi dijadikan kompos
karena memiliki kandungan kimia sebagai berikut : nitrogen 0.4 - 1 %, phospor
0,2 - 0,5 %, kalium 0,1 – 1,5 %, kadar air 85 – 92 %, dan beberapa unsure-unsur
lain (Ca, Mg, Mn, Fe, Cu, Zn). Namun untuk menghasilkan kompos yang baik
memerlukan bahan tambahan, karena pH kotoran sapi 4,0 - 4,5 atau terlalu asam
sehingga mikroba yang mampu hidup terbatas.
Sistim kandang ternak yang baik mampu memisahkan antara komponen
input yang berupa pakan ternak dan komponen output yang berupa kotoran
ternak. Kotoran ternak berupa feses dan urine, apabila kandang ternak mampu
menjalankan fungsi tersebut maka sapi yang dipelihara akan tumbuh dengan sehat
dan limbah peternakan lebih mudah untuk segera diproses menjadi pupuk organic
 Sisa Pakan Ternak
Limbah sisa pakan ternak yang dihasilkan oleh setiap 20 ekor sapi dewasa
adalah 200 – 300 kg per hari. Limbah sisa pakan ternak berpotensi dijadikan
bahan tambahan pada pembuatan kompos berbahan baku kotoran sapi. Bahan
tambahan ini memiliki fungsi sebagai penyediaan rongga udara, sehingga proses
pengomposan dapat berlangsung secara optimal. Bahan tambahan tersebut
berpotensi digunakan pada proses pengomposan kotoran sapi dapat mengubah pH,
rasio karbon nitrogen awal proses pengomposan, dan kadar air.
 Air Kencing
Potensi urin sapi menurut Adijaya et al., (2008) yaitu urin ternak sapi jantan
dengan berat ± 300 kg rata-rata menghasilkan 8.000 – 12.000 ml urin/hari,
sedangkan sapi betina dengan berat ± 250 kg menghasilkan 7.500 - 9.000 ml
urin/hari dan Parwati et al., (2008) menyatakan seekor sapi jantan dengan berat
diatas 300 kg di daerah Kintamani rata-rata menghasilkan urin 19.700 ml/hari.
Dari hasil analisis kandungan hara yang dilakukan terhadap urin sapi diketahui
bahwa urin sapi memiliki kandungan hara sebanyak N-total 0,133%, C-organik
0,63%, dan pH 8,65 (Adijaya, 2011).
Urin sapi yang diproses menjadi biourin memiliki kandungan hara seperti
yang terlihat pada Tabel
No Jenis Analisis Nilai
1 pH 9,2
2 N 1,1473 %
3 P 0,0309 %
4 K 0,1711 %
5 C-organik 0,10 %
Sumber : Yasa, 2012.
Kelebihan dari biourin yaitu : (1) bahan baku pupuk tidak hanya dari feces
tapi juga dari kencing ternak, (2) menghemat penggunaan kompos atau pupuk
padat, (3) aplikasinya lebih mudah, dilakukan dengan penyemprotan, dan tidak
harus membuat lubang pada tanah. Di samping itu, biourin juga mengandung zat
perangsang pertumbuhan tumbuhan.
2. Limbah Pertanian
Limbah pertanian secara umum dapat dikelompokan dalam bentuk karbohidrat,
selulose, hemiselologe, lignin, protein dan lemak
Tabel Kandungan kimia beberapa bahan organik padat (Haug, 1980)
Jenis limbah komposisi kimia C/N
Daun-daun C85H138O49N 60
Gulma C29H41O21N 20.4
Rumput C23H38O17N 16.2
Buah dan C16H27O8N 11.3
sayur
Ranting C295H420O186N 208
pohon
Refuse C99H148O59N 69
C64H104O37N 45

 Jerami Padi
Hasil limbah budidaya padi yang berupa jerami memiliki potensi ± 1,4
kali dari total hasil panen gabah. Untuk setiap hasil panen gabah kering giling 
(GKG) 6 ton per ha diperkirakan menghasilkan 8,4 ton jerami. Apabila
jerami padi dijadikan bahan baku utama untuk proses pengomposan akan
menghasilkan kompos sebanyak 60% dari bahan baku awal. Dengan kata lain
kesetaraan pupuk yang dihasilkan oleh satu ha sawah adalah : 208,15 kg urea,
29,23 kg SP36, 449,42 KCl atau total 686,80 NPK dari kompos jerami
padinya.
Menurut beberapa hasil penelitian, kompos jerami padi mengandung:
rasio C/N = 18,88, karbon ( C = 35,11%, nitrogen ( N ) = 1,86%, P2O5 =
0,21%, K2O = 5,35%, dan pada kadar air 55% dasar basaah (d.b). Hara N
sebesar 49 kg setara dengan 106,5 kg UREA atau 233,3 pupuk ZA. Hara P 2O5
sebesar 16 kg setara dengan 44,44 kg SP-36/TS-36 atau 88,88 SP-18. Hara
K2O sebesar 145 kg setara dengan 241,6 kg KCL(60).
 Sekam Padi
Dari proses penggilingan padi, akan diperoleh sekam sekitar 20-30%
dari bobot gabah. Komposisi kimia sekam padi menurut Suharno (1979):
Kadar air : 9,02%
Protein kasar : 3,03%
Lemak : 1,18%
Serat Kasar : 35,68%
Abu : 17,17%
Karbohidrat dasar : 33,71
Komposisi kimia sekam padi menurut DTC-IPB:
Karbon : 1,33%
Hidrogen : 1,54%
Oksigen : 33,64%
Silika : 16,98%
Menurut Suharno (1979), sekam padi memiliki kandungan kadar air 9.02%,
protein 3.03%, lemak 1.18%, serat 35.68%, abu 17.17%, karbohidrat 33.71%.
 Rumput
Kandungan air rumput berada pada rentangan kering sampai sedang..
Menurut Okaraonve dan Ikewuchi (2009) kandungan yang terdapat pada
rumput gajah adalah kadar air 89.0%, abu 2.00%, protein kasar 2.97%, lemak
1,63%, karbohidrat 3.40%, serat kasar 1.00%. pada proses pengomposan,
rumput gajah memiliki peranan sebagai sumber kadungan N dan juga
membantu proses pengomposan lebih cepat karena adanya rongga udara
 Serbuk Kayu
Serbuk kayu adalah kayu halus yang memiliki ukuran kecil yang
dihasilkan dari proses pemotongan kayu. Secara umum serbuk kayu
mengandung selulosa, hemiselulosa, lignin, pentosan. Menurut Haygreen
(1996), sebuk kayu albesia memiliki kandungan selulosa sebesar 48.33% dan
lignin sebesar 27.28%. sedangkan menurut Abdurahim, et al.,(1981), kayu jati
memiliki kandungan selulosa sebesar 47.5%, lignin sebesar 29.9% dan pentose
sebesar 14.4%.
B. Standar proses pengomposan limbah padat
1. Proses Pengomposan Secara Aerob

Kecepatan pengomposan tergantung pada sifat fisik dan kimia bahan organik yang
dikomposkan, mikrorganisme yang berperan dalam dekomposisi dan kondisi lingkungan
untuk proses.

 Rasio karbon nitrogen dari biomassa


Bahan organik padat dari sisa tanaman dan kotoran ternak serta kotoran
manusia menurut Blidstone dan Gray (1985) mengandung senyawa-senyawa yang
larut dalam air panas atau air dingin, senyawa yang larut dalam ester atau alkohol,
protein, hemiselulosa, selulosa, lignin dan mineral. Kondisi awal C/N bahan baku
pada proses pengomposan sangat menentukan lama proses untuk menghasilkan
kompos yang memenuhi standar SNI. pada bahan baku agar bahan biomassa di awal
pengomposan memiliki nilai C/N antara 30-35, sehingga waktu pengomposan
berlangsung antara 3-4 minggu untuk mendapatkan kompos berkualitas.
Penambahan bahan lain pada proses pengomposan limbah peternakan cenderung
untuk memperbaiki sifat fiisik bimassa bukan memperbaiki nilai C/N di awal proses.
Pola perubahan C/N menggambarkan kecepatan reaksi kimia pengomposan.
Di awal pengomposan reaksi kimia pengomposan berlangsung secara cepat, karena
substrat berupa bahan organik dan O2, enzim sangat tersedia untuk berlangsungnya
proses pengomposan. Namun, mulai minggu ke-7 mikrorganisme pengomposan
mulai kekurangan nitrogen untuk sintesa selnya (Martin, 1998), sehingga proses
pengomposan melambat, walaupun dilihat dari nilai C/N masih memungkinkan
terjadinya proses dekomposisi.
 Ketersediaan oksigen
Pembatas keberhasilan proses pengomposan adalah aktivitas mikroorganisme.
Pengaturan ventilasi bertujuan untuk pengaturan ketersediaan oksigen, pengaturan
suhu pengomposan, dan pengaturan kelembaban udara di pori-pori sampah agar
mikroorganisme dapat beraktivitas menguraikan bahan organik . Oksigen
merupakan unsur esensial dalam reaksi pengomposan secara aerob. Jumlah minimal
oksigen di udara apabila suhu optimum untuk pengomposan 5%. Konsentrasi
oksigen di bawah 5% menyebabkan oksigen sulit diserap mikroorganisme (Brodie et
al., 2000). Menurut Nakasaki et al. (1987b) dan Inbar et al. (1988) pada kadar air 60
– 70% konsumsi oksigennya lebih tinggi dari pada pada kadar air di bawah 50%.
Pada kadar air tinggi difusi oksigen lebih sulit karena pori-pori pada material terisi
air. Menurut Yagihashi (2003) kadar air yang optimal untuk proses pengomposan
adalah 60  5%.
 Suhu proses pengomposan
Pada saat proses pengomposan terjadi akan dihasilkan energi yang
menyebabkan suhu selama pengomposan mengalami peningkatan. Temperatur suhu
optimal yang dibutuhkan pada proses pengomposan adalah 35-550C. Pengomposan
pada bahan yang memiliki rasio C/N tinggi seperti bahan subtitusi serbuk gergaji
peningkatan temperatur suhunya tidak dapat melebihi 520C.
Pada mengomposan yang dilakukan secara aerob akan terjadi kenaikan suhu
yang cepat selama 3-5 hari pertama. Timbunan bahan yang mengalami proses
dekomposisi akan mengalami peningkatan suhu hingga 67-700C. Timbunan bahan
organik yang dangkal dapat kehilangan panas dengan cepat, hal tersebut dikarenakan
bahan tidak cukup untuk menahan panas dan juga akan menyebabkan
mikroorganisme menjadi terbunuh sehingga hasil pengomposan berkualitas
(Setyorini et al., 2003)
 Derajat keasaman biomassa
Proses pengomposan berlangsung dengan baik pada kisaran derajat atau nilai
pH optimum bahan organik yang dapat dikomposan berkisar antara 5,5-8,0. Bakteri
sangat menyukai pH netral, sedangkan jamur aktif pada keadaan pH agak asam.
Perubahan pH pada tahap awal hingga tahap akhir pengomposan menunjukkan
proses pengomposan berjalan dengan baik
 Populasi mikroba
Pada saat proses pengomposan berlangsung, bahan organik diubah menjadi
karbondioksida (CO2) dan air (H2O), serta pembebasan energi. Menurut Muriani
(2011), semakin lama poses fermentasi pengomposan terjadi, maka kandungan C-
organik akan semakin berkurang. Hal tersebut dikarenakan oleh mikroorganisme
yang telah merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Proses pengomposan aerob, kurang lebih 2/3 unsur karbon C menguap menjadi
(CO2) dan sisanya 1
/3 bagian bereaksi dengan nitrogen dalam sel hidup.
Pengomposan anaerob akan terjadi pada kondisi kelangkaan oksigen. Bakteri
fakultatif penghasil asam menguraikan bahan organik menjadi asam lemak dan
adelhida, selanjutnya bakteri kelompok lain mengubah asam lemak menjadi metana,
amoniak, CO2, dan hidrogen (Sutanto 2002).
 Penggunaan Inokulan
Aktivator berupa rumen dan kotoran ternak dapat dicampurkan kedalam
sampah organik untuk memperkecil C/N awal pengomposan, karena C/N kotoran
rumen dan kotoran ternak lebih kecil dari C/N sampah organik Penggunaan inokulan
akan meningkatkan populasi mikroorganisme awal pengomposan. Penggunaan
inokulan berupa sampah organik yang sudah dikomposkan dan berumur 2 - 3
minggu dengan perbandingan inokulan dan sampah organik baru 1:2 meningkatkan
populasi mikroorganisme awal pengomposan sebesar 35 %. Selain itu C/N sampah
organik di awal pengomposan juga akan turun dari sekitar 50 menjadi 40.
C/N awal pengomposan 50 diubah menjadi 40, maka lama pengomposan turun
dari 7 minggu menjadi 5 minggu atau turun dua minggu. Namun dengan adanya
penambahan populasi mikroorganisme awal pengomposan sebesar 35%, maka lama
pengomposan untuk sampah organik dengan C/N awal 40 akan turun dari 5 minggu
menjadi 2,4 minggu.
2. Proses pengomposan Secara Anaerob
Bahan yang dikomposkan terlindung dan ditempatkan pada bejana khusus. Pada
system ini biomassa yang dikomposkan dicampur dengan air dengan perbandingan 1 : 1,
hasil dari proses yang utama adalah biogas atau gas metan yang difungsikan sebagai
sumber energy. Hasil lain adalah bio-slurry. Sistem pengomposan modifikasi dari sitim
static pile adalah Intermediate Treatment Facility (ITF). Dalam sistem ini bahan organik
ditimbun dengan ketinggian 2-3 m dan di lapisan teratas diurug tanah, sehingga proses
pengomposan berlangsung secara anaerob
3. Metode Pengomposan Secara Aerob
Penggunaan metode pengomposan secara aerob akan dapat menekan biaya
pengomposan, menurunkan tenaga kerja, mencegah polusi lingkungan, dan untuk
perbaikan sistem pertanian. Metode pengomposan secara aerob dikelompokkan menjadi
4 kelompok, yaitu windrow (open windrow), static pile, serta metode china.
 Open Windrow
Tumpukan bahan organik memanjang disertai sistem pengadukan.
Pengomposan metode open windrow menurut Goatas tinggi tumpukan 1.8 m – 2.7
m, panjang tidak dibatasi, lebar 2.5 m. Lebar lubang angin 0.9 m dengan tinggi 0.6
m. Dengan sistem ini udara yang melewati terowongan akan terdifusi melewati
bahan organik sebagai suplai oksigen. Nishizaki et al. (1997) mengembangkan
metode pengomposan open windrow dibantu elevator dan traktor untuk pembalikan
bahan organik. Tumpukan dengan lebar 2.5 m, tinggi 1.5 m panjang 3.3 m dan
sudut conveyor 45o. Bahan diputar dengan kecepatan 4.5 – 5.1 m/min.
 Pengomposan model china
Salah satu bentuk hasil modifikasi open windrow composting. Pada model
Cina di tumpukan dipasang bambu dalam posisi tegak dari bagian bawah tumpukan
hingga permukaan atas. Namun, di hari ke-1 atau ke-2 bambu yang dipasang
dicabut, sehingga mengasilkan rongga udara. Pada pengomposan ini pembalikan
biomassa dilakukan setiap 7 hari, pada proses pembalikan ditujukan untuk (1)
membuang sebagian panas yang timbul dalam proses pengomposan, (2) menambah
oksigen dalam biomassa dengan meningkatkan jumlah pori, dan (3) mencampur
biomassa yang dikomposkan sehingga lebih homogen.
 Static Pile
Pengomposan metode static pile yang cukup dikenal adalah natural aeration
static pile system (NASP). Selain NASP dikenal pula metode pengomposan forced
aerated static pile. Aerasi dilakukan secara paksa menggunakan udara yang
dilewatkan pada bahan yang dikomposkan dengan cara 1) udara diisap secara
kontinu, 2) udara dihembuskan secara kontinu, 3) gabungan udara diisap dan
dihembuskan, dan 4) udara dihembuskan secara bertahap untuk mempertahankan
suhu pengomposan di bawah 60 oC

C. Standar hasil pengomposan limbah padat


Kompos yang baik dapat digunakan sebagai pupuk organik dan menggantikan atau
sebagai pensubtitusi pupuk kimia. Menurut Martin (1998), kompos yang matang C/N 14 –
20, tidak mengandung zat penghambat pertumbuhan tanaman, dan tidak mengandung
patogen bagi manusia.
1. Standar Mutu Kompos
Beberapa ahli sudah membuat standar mutu kompos termasuk didalamnya lembaga
standarisasi nasional. Standar mutu kompos menurut SNI (Stantar Nasional Indonesia),
Departemen Pertanian (Deptan), Asosiasi Bark Compost Jepang, Indriati dan Wilmot
disajikan pada Tabel berikut.
Tabel Spesifikasi kompos menurut beberapa mutu kompos
Parameter
B C D E
Kandungan bahan organik, %
2.5-
Total N, % 0.4 > - > 1.2
3.5
C/N 10 - 25 - < 35 20-25
>0.02
K2O, % 0.2 > - > 0.3
1
>0.02
P2O5, % 0.1 > - > 0.5
1
pH 6.8-7.5 7 - 8 5.5-7.5 7-8
Kadar air, % < 50 < 35 - 35-45
KTK, , meq/100g > 25 > 25 > 25 > 25
Keterangan :
B = SNI
C = Standar Deptan
D = (Harada et al., 1993)
E = Indrasti dan Wilmot (2001)
Kompos selain memiliki kandungan unsur hara yang baik juga harus memiliki sifat
fisik yang baik pula. Sifat fisik dari kompos yang utama adalah ukuran partikel, kerapatan
massa, dan kemampuan mengikat air Hasil penelitian Zoes et al., (2001) sifat fisik kompos
disajikan pada Tabel berikut
(Zoes et al., 2001) .

Diameter Kadar Kera-patan Kemampuan


Porosi-tas , %
kompos, mm abu, % massa g/cm3 mena-han air, %

>4 44.7 0.45 67.4 66.8


2–4 41.3 0.35 50.3 75.1
1–2 43.2 0.4 67.4 70.1
<1 45.1 0.44 70.2 65.7

Anda mungkin juga menyukai