Anda di halaman 1dari 16

BIOGAS DARI KOTORAN SAPI DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI

LIMBAH SAMPAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengolahan Limbah Peternakan


Dosen Pengampu: Ari Kusuma Wati, S.Pt., M.Sc.

Disusun oleh:
Kelompok V
Ian Adhi Saputro H0516038
Millati Jaisyul’usrah Sirojd H0516049
Suna Mayyu Akbar H0516078
Tantiana Ayunda Earlyta H0516079

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia mempunyai potensi yang baik di bidang peternakan, namun selama
ini belum dikembangkan sepenuhnya. Hal ini disebabkan sebagian besar peternakan
di Indonesia adalah peternakan yang bersifat tradisonal, termasuk dalam pengolahan
hasil dan limbahnya belum tersentuh teknologi. Peternak biasanya menumpuk feses
sebelum membuang atau membawanya ke sawah. Perlunya pengolahan limbah yang
tepat akan dapat mengurangi dampak pencemaran terhadap ling-kungan.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu adanya teknologi tepat guna yang dapat
me-manfaatkan limbah sehingga dapat mengurangi pencemaran terhadap lingkungan
sekaligus menjadi sumber energi terbarukan yang dapat mengatasi permasalahan
energi.
Biogas merupakan salah satu sumber energi terabarukan yang dapat
menjawab kebutuhan energi alternatif. Biogas adalah gas yang dihasilkan dari proses
penguraian bahan-bahan organik. Biogas solusi yang tepat dalam membantu
permasalahan kebutuhan energi dunia yang semakin berkurang, untuk dapat
menghasilkan suatu gas yang sebagian besar merupakan gas metan (yang memiliki
sifat mudah terbakar) dan karbondioksida, gas yang terbentuk disebut dengan gas bio
(CH4) yaitu komponen utama dari gas bio karena memiliki nilai kalor yang cukup
tinggi dan memiliki sifat tidak berbau dan tidak berwarna.
Biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material organik
dengan bantuan bakteri. Energi biogas berfungsi sebagai energi pengganti bahan
bakar fosil sehingga akan menurunkan gas rumah kaca di atmosfer dan emisi lainnya.
Proses awal pembuatan awal biogas ini adalah dengan cara memasukkan kotoran
sapi ke dalam botol plastik dan dicampur dengan rumen dan atau air sesuai dengan
variabel yang telah ditentukan, lalu aduk atau campur sebentar hingga semua bahan
tercampur rata dalam botol. Menutup botol dengan karet penutup yang telah
dilubangi dan diberi selang, lalu jepit selang menggunakan klip penjepit, sehingga
dalam botol kedap udara, dan kencangkan dengan menggunakan kawat. Kemudian
menyimpannya dalam suhu 30°C atau dalam suhu kamar, disimpan sekitar 30 hari
agar gas yang terbentuk banyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan
biogas antara lain : keadaan di dalam digester, pH, nutrien, temperatur, rasio C/N,
starter. Keadaan di dalam digester harus anaerob dan dijaga dalam kesetimbangan
dinamis. Derajat keasaman dijaga dalam kisaran 6,6-7,6 karena bakteri metanogenik
hanya bisa bekerja dalam range pH tersebut. Kadar nutrien yang cukup seperti
nitrogen dan phospor harus terkandung dalam sistem untuk menjamin ketersediaan
nutrisi bagi pertumbuhan bakteri. Temperatur yang optimum yang dibutuhkan
mikroorganisme untuk merombak bahan adalah 30-38°C untuk mesofilik, dan 49-
57°C untuk termofilik. Perbandingan C/N yang optimum untuk proses pembuatan
biogas adalah berkisar antara 25-30. Pemilihan starter yang baik memang sangat
penting yaitu untuk mempercepat proses perombakan bahan organik, starter yang
bisa digunakan adalah lumpur aktif atau cairan isi rumen.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian biogas?
2. Apa saja pembuatan biogas?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian biogas
2. Mengetahui pembuatan biogas
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biogas
Biomassa adalah energi alternatif paling siap untuk diolah menjadi sumber
energi yang jumlahnya banyak dan berada di sekitar kita dan ramah lingkungan.
Tumbuh-tumbuhan, sampah organik dan kotoran hewan dapat menghasilkan biogas
yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi pengganti minyak, gas, kayu bakar
dan batu bara. Biogas merupakan sumber energi yang bisa diperbaharui (renewable)
sehingga tidak perlu ada kekhawatiran akan semakin menipisnya persediaan sumber
energi.
Secara ilmiah, biogas yang dihasilkan dari sampah organik adalah gas yang
mudah terbakar (flammable). Gas ini dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan
organik oleh bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi tanpa udara).
Umumnya, semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas.
Tetapi hanya bahan organik homogen, baik padat maupun cair yang cocok untuk
sistem biogas sederhana. Bila sampah-sampah organik tersebut membusuk, akan
dihasilkan gas metana (CH4) dan karbondioksida (CO2). Tapi, hanya CH4 yang
dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Umumnya kandungan metana dalam reaktor sampah organik berbeda-beda.
Zhang et al. 1997 dalam penelitiannya, menghasilkan gas metana sebesar 50-80 (%
Volume) dan gas karbondioksida 20-50 (% Volume). Sedangkan Hansen (2001),
dalam reaktor biogasnya mengandung sekitar 60-70 (% Volume) metana, 30-40 (%
Volume) karbon dioksida, dan gas-gas lain, meliputi amonia, hidrogen sulfida,
merkaptan (tio-alkohol) dan gas lainnya. Secara umum komposisi biogas dapat
dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini :
Untuk menghasilkan biogas, dibutuhkan pembangkit biogas yang disebut
biodigester. Proses penguraian material organik terjadi secara anaerob (tanpa
oksigen). Biogas terbentuk pada hari ke 4 – 5 sesudah biodigester terisi penuh, dan
mencapai puncak pada hari ke 20 – 25. Biogas yang dihasilkan oleh biodigester
sebagian besar terdiri dari 54–70 (% Volume) metana (CH4), 27–45 (% Volume)
karbondioksida (CO2), dan gas lainnya dalam jumlah kecil (Rahmanta, 2010). Ada
tiga kelompok bakteri yang berperan dalam proses pembentukan biogas, yaitu:
a. Kelompok bakteri fermentative, yaitu Steptococcus, Bacteriodes, dan beberapa
jenis Enterobactericeae
b. Kelompok bakteri asetogenik, yaitu Desulfovibrio
c. Kelompok bakteri penghasil gas metana, yaitu
Mathanobacterium,Mathanobacillus, Methanosacaria, dan Methanococcus
Bakteri metanogen secara alami dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti:
air bersih, endapan air laut, sapi, kambing, lumpur (sludge) kotoran anaerob ataupun
TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Selama beberapa tahun, masyarakat pedesaan di
seluruh dunia telah menggunakan biodigester untuk mengubah limbah pertanian dan
peternakan yang mereka miliki menjadi bahan bakar gas. Pada umumnya, biodigester
dimanfaatkan pada skala rumah tangga. Namun tidak menutup kemungkinan untuk
dimanfaatkan pada skala yang lebih besar (komunitas). Biodigester mudah untuk
dibuat dan dioperasikan. Beberapa keuntungan yang dimiliki oleh biodigester bagi
rumah tangga dan komunitas antara lain:
 Mengurangi penggunaan bahan bakar lain (minyak tanah, kayu, dsb) oleh rumah
tangga atau komunitas
 Menghasilkan pupuk organik berkualitas tinggi sebagai hasil sampingan
 Menjadi metode pengolahan sampah (raw waste) yang baik dan mengurangi
pembuangan sampah ke lingkungan (aliran air/sungai)
 Meningkatkan kualitas udara karena mengurangi asap dan jumlah karbodioksida
akibat pembakaran bahan bakar minyak/kayu bakar
 Secara ekonomi, murah dalam instalasi serta menjadi investasi yang
menguntungkan dalam jangka Panjang.
Kandungan nutrien utama untuk bahan pengisi biogas adalah nitrogen, fosfor
dan kalium. Kandungan nitrogen dalam bahan sebaiknya sebesar 1,45%, sedangkan
fosfor dan kalium masing-masing sebesar 1,10%. Nutrien utama tersebut dapat
diperoleh dari substrat kotoran ternak dan sampah daun yang dapat meningkatkan
ratio C/N dalam biogas. Feses sapi mengandung hemisellulosa sebesar 18,6%,
sellulosa 25,2%, lignin 20,2%, nitrogen 1,67%, fosfat 1,11% dan kalium sebesar
0,56%, sedangkan feses kuda mengandung hemisellulosa sebesar 23,5%, sellulosa
27,5%, lignin 14,2%, nitrogen 2,29%, fosfat 1,25% dan kalium sebesar 1,38%. Feses
sapi mempunyai C/N ratio sebesar 16,6-25%, sedangkan feses kuda mempunyai C/N
ratio sebesar 25%. Produksi gas metan sangat tergantung oleh rasio C/N dari
substrat. Rentang rasio C/N antara 25-30 merupakan rentang optimum untuk proses
penguraian anaerob. Jika rasio C/N terlalu tinggi, maka nitrogen akan terkonsumsi
sangat cepat oleh bakteri-bakteri metanogen untuk memenuhi kebutuhan protein dan
tidak akan lagi bereaksi dengan sisa karbonnya. Sebagai hasilnya produksi gas akan
rendah. Di lain pihak, jika rasio C/N sangat rendah, nitrogen akan dibebaskan dan
terkumpul dalam bentuk NH4OH.
B. Pengolahan Sampah
Sampah adalah bahan buangan padat atau semi padat yang dihasilkan dari
aktifitas manusia atau hewan yang dibuang karena tidak diinginkan atau tidak
digunakan lagi (tekhobanoglos, dkk,1993). Sampah adalah limbah yang bersifat
padat terdiri dari sampah organik, sampah anorganik dan sampah B3 yang dianggap
tidak berguna lagi dan harus dikelola agar tidak membahayakan lingkungan (Kepala
Dinas dan Tata Kota Palembang, 1999). Sampah-sampah yang berada di Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) sering mengalami kebakaran dan menumpuk karena
hanya ditimbun. Dengan teknologi pemanfaatan sampah menjadi bahan baku
pembuatan biogas, sampah-sampah akan dikumpulkan dan ditambah dengan
pemasangan pipa agar gas metana dapat keluar. Pengolahan sampah berwawasan
lingkungan ini akan memberikan segala kemudahan sehingga membantu
perekonomian di sekitar tempat pembuangan akhir (TPA) sampah di Kota
Palembang. (Sylendra, Sierra, 2000) Berdasarkan sifatnya sampah kota dapat dibagi
menjadi dua yaitu :
a. Sampah organik adalah sampah yang mudah terdegradasi sehingga mudah terurai.
Contohnya : sampah sayuran, daun-daunan, bagian tubuh hewan, sisa makanan,
kertas, kayu dan lain-lain.
b. Sampah anorganik adalah sampah yang sulit terdegradasi sehingga sulit terurai.
Contohnya : plastik, kaca, logam, kaleng dan lain-lain.
Daun kering yang termasuk sampah coklat kaya akan karbon (C) yang menjadi
sumber energi atau makanan untuk mikrobia. Tanda sampah daun biasanya kering,
kasar, berserat dan berwarna coklat (sampah coklat). Guguran atau serasah daun jati
(Tectona grandis) yang lebar menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga
menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Serasah daun jati dapat memicu kebakaran
hutan kecil yang justru mengakibatkan proses pemurnian tegakan jati terdorong
untuk berkecambah, pada saat jenis-jenis pohon lain mati. Namun demikian,
tumpukan serasah dalam jumlah besar dapat mengakibatkan kebakaran hutan yang
besar dan mematikan vegetasi dalam hutan.
C. Pembuatan Biogas

Membuat Starter
1. Menampurkan 12 kg kotoran sapi dan 12 kg air ke dalam sebuah digester,
kemudian diaduk hingga merata.
2. Memasukkan campuran bahan-bahan tadi ke dalam drum tertutup yang bervolume
19 liter. Biarkanlah digester tersebut dalam kondisi tertutup rapat.
3. Menyimpan digester yang telah berisi campuran bahan-bahan tadi pada tempat
yang aman dan terlindung selama 7 (tujuh) hari.
4. Selama penyimpanan, melakukan pengguncangan pada digester tersebut sebanyak
3 (tiga) atau 4 (empat) kali dalam satu minggu
D. Menempatkan Bahan Baku dalam Unit Peralatan
a. Memasukkan bahan organik yang telah disiapkan di atas bersama-sama dengan air
ke dalam digester yang bervolume 19 liter, kemudian aduk hingga merata.
b. Memasukkan starter (kotoran sapi) yang telah disiapkan ke dalam digester 19 liter
yang telah diisi air dan bahan organik, kemudian aduklah hingga merata.
c. Bila sudah yakin bahwa air, stater dan bahan organik telah tercampur rata,
menutup digester dengan penutup yang telah dipasangi pipa, keran dan botol air
(sebagai water trap) yang dilengkapi dengan logam perekat.
d. Memasang plastik pada bagian ujung pipa yang diikat dengan karet ban untuk
menghindari kebocoran gas.
e. Dibiarkan keran dalam keadaan terbuka.
f. Dibarkanlah digester-digester tadi selama 5 hari, 9 hari, 12 hari, 15 hari, 18 hari
dan 21 hari. Selama waktu ini proses fermentasi akan berlangsung dan gas yang
dihasilkan akan terjebak di dalam digester bervolume 19 liter. Gas ini akan
mengalir memenuhi plastik penampung.
g. Sambil menunggu proses fermentasi berlangsung, periksalah apakah ada
kebocoran gas dari digester bervolume 19 liter. Bila terjadi kebocoran segera di
tambal dengan cat atau aspal. Untuk mengetahui adanya kebocoran dapat
dilakukan dengan cara membasahi dinding digester bervolume 19 liter dengan air
sabun. Kebocoran akan terlihat dengan adanya buih pada daerah yang bocor
tersebut.
h. Setelah diketahui digester bervolume 19 liter berisi gas, periksalah gas tersebut
untuk meyakinkan bahwa gas yang terbentuk merupakan gas yang dapat
digunakan untuk bahan bakar. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan membuka
kran dan menyalakan api di atas pipa penyalur gas.
E. Hasil dan Pembahasan
1. Pengaruh Jenis Sampah Terhadap Komposisi Gas Metana (CH4)
Gas Metana (CH4) adalah senyawa yang mudah terbakar. Pada
pembuatan biogas senyawa metana (CH4) merupakan komponen penting yang
menunjukkan kualitas biogas yang dihasilkan. Semakin banyak kandungan gas
metana (CH4) yang dihasilkan maka semakin bagus kualitas biogas tersebut.
Grafik hubungan antara jenis sampah pada berbagai waktu fermentasi terhadap
komposisi metana dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Hubungan antara Jenis Sampah Terhadap Komposisi Metana.
(Suhu Kamar dan Tekanan Atmosfer Inderalaya, Jumlah Masukan 16 Kg,
Komposisi Masukan 70 : 30. Sampah terdiri dari campuran sawi dan kubis, Proses
Batch)
Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah yang
signifikan pada komposisi gas metana yang dihasilkan antara sampah organik dari
jenis sayuran dan usus ayam. Sampah organik dari jenis usus ayam menghasilkan
komposisi gas metana lebih besar daripada sampah organik jenis sayuran. Sampah
organik jenis sayuran menghasilkan komposisi gas metana lebih sedikit karena
sampah sayuran banyak mengandung serat dan selulosa yang berikatan kuat
sehingga sulit diuraikan oleh bakteri (Subowo, 1992).
2. Pengaruh Komposisi Masukan Terhadap Komposisi Metana (CH4)
Data hasil riset, grafik hubungan antara komposisi masukan terhadap
komposisi gas metana dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik Hubungan antara Komposisi Masukan Campuran Sampah Sayuran
dan Kotoran Sapi Terhadap Komposisi Gas Metana. (Suhu Kamar dan Tekanan
Atmosfer Inderalaya, Jumlah Masukan 16 Kg, Komposisi Masukan 70 : 30,
Sampah Terdiri dari Campuran Sawi dan Kubis, Proses Batch)
Keterangan : *Komposisi masukan 30 % = 30 % berat sampah sayuran dan 70 %
kotoran sapi *Komposisi masukan 50 % = 50 % berat sampah sayuran dan 50 %
kotoran sapi *Komposisi masukan 70 % = 70 % berat sampah sayuran dan 30 %
kotoran sapi.
Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah yang
signifikan pada komposisi gas metana yang dihasilkan dari sampah organik jenis
sayuran dengan berbagai komposisi. Sampah sayuran dengan komposisi masukan
30 %, yaitu 30 % sampah sayuran dan 70 % kotoran sapi menghasilkan komposisi
gas metana lebih besar daripada sampah sayuran dengan komposisi masukan 50 %
dan 70 %. Sampah sayuran dengan komposisi masukan 30 % menghasilkan
komposisi gas metana lebih besar karena pada komposisi ini jumlah kotoran sapi
lebih besar, yaitu 70 %. Kotoran sapi banyak mengandung bahan selulosa yang
telah dicerna di perut sapi sehingga lebih mudah diuraikan oleh bakteri pembentuk
gas metana yang berperan penting dalam proses metanogenesis untuk
menghasilkan gas metana (CH4). Data hasil riset grafik hubungan antara
komposisi masukan sampah sayuran pada berbagai waktu fermentasi terhadap
komposisi metana dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Grafik Hubungan antara Komposisi Masukan (Sampah Usus Ayam dan
Kotoran Sapi) Terhadap Komposisi Metana. (Suhu Kamar dan Tekanan Atmosfer
Inderalaya, Jumlah Masukan 16 Kg, Komposisi Masukan 70 : 30, Sampah Terdiri
dari Usus Ayam, Proses Batch)
Keterangan : *Komposisi Masukan 30 % = 30 % Sampah Usus Ayam dan 70 %
Kotoran Sapi *Komposisi Masukan 50 % = 50 % Sampah Usus Ayam dan 50 %
Kotoran Sapi *Komposisi Masukan 70 % = 70 % Sampah Usus Ayam dan 30 %
Kotoran Sapi.
Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah yang
signifikan pada komposisi gas metana yang dihasilkan dari sampah organik jenis
usus ayam dengan berbagai komposisi. Sampah usus ayam dengan komposisi
masukan 70 %, yaitu 70 % sampah usus ayam dan 30 % kotoran sapi
menghasilkan komposisi gas metana lebih besar daripada sampah usus ayam
dengan komposisi masukan 50 % dan 70 %. Sampah usus ayam dengan
komposisi masukan 70 % menghasilkan komposisi gas metana lebih besar karena
pada komposisi ini jumlah usus ayam lebih besar yaitu 70 %. Usus ayam
mengandung kotoran ayam yang banyak mengandung bakteri pembentuk gas
metana yang berperan penting dalam proses metanogenesis untuk menghasilkan
gas metana (CH4), (Sofia, 2005).

3. Pengaruh Waktu Tinggal Fermentasi Terhadap Komposisi Metana (CH4)


Gambar 5. Grafik Hubungan antara Waktu Tinggal Fermentasi Terhadap Komposisi
Gas Metana. (Suhu Kamar dan Tekanan Atmosfer Inderalaya, Jumlah Masukan
16 Kg, Komposisi Masukan 70 : 30, Sampah Terdiri dari Campuran Sawi dan
Kubis, Proses Batch)
Data hasil riset, grafik hubungan waktu tinggal fermentasi terhadap
komposisi gas metana dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar di atas menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan jumlah komposisi gas metana yang dihasilkan sampah
organik dari jenis sayuran dengan berbagai variasi waktu tinggal fermentasi. Pada
hari ke-21 pertumbuhan bakteri mengalami penambahan jumlah atau total massa
sel yang melebihi inokulum asalnya sebagai hasil pertambahan ukuran dan
pertambahan jumlah sel sehingga terjadi peningkatan jumlah populasi bakteri
(Sofa, 2008). Ketika jumlah populasi bakteri meningkat, aktivitas bakteri
menghasilkan gas metana juga meningkat sehingga menghasilkan gas metana
dengan komposisi yang lebih besar. Data hasil riset, grafik hubungan waktu
tinggal fermentasi terhadap komposisi gas metana dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar di bawah menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah komposisi gas
metana yang dihasilkan sampah organik dari jenis usus ayam dengan berbagai
variasi waktu tinggal fermentasi. Pada hari ke-21 pertumbuhan bakteri mengalami
penambahan jumlah atau total massa sel yang melebihi inokulum asalnya sebagai
hasil pertambahan ukuran dan pertambahan jumlah sel sehingga terjadi
peningkatan jumlah populasi bakteri (Sofa, 2008).
Gambar 6. Grafik Hubungan antara Waktu Tinggal Fermentasi Terhadap Komposisi
Metana. (Suhu Kamar dan Tekanan Atmosfer Inderalaya, Jumlah Masukan 16 Kg,
Komposisi Masukan 70 : 30, Sampah Terdiri dari Usus Ayam, Proses Batch)
Ketika jumlah populasi bakteri meningkat, aktivitas bakteri
menghasilkan gas metana juga meningkat sehingga menghasilkan gas metana
dengan komposisi yang lebih besar. Dalam fase pertumbuhannya, setiap makhluk
hidup membutuhkan nutrisi yang mencukupi serta kondisi lingkungan yang
mendukung demi proses pertumbuhan tersebut, termasuk juga bakteri (Darkoni,
2001). Selama waktu fermentasi 21 hari bakteri di dalam kotoran sapi
mendapatkan nutrisi dari usus ayam sehingga berkembangbiak lebih baik untuk
menghasilkan gas metana (CH4).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis sampah organik pasar dari sampah
usus ayam menghasilkan gas metana (CH4) yang lebih banyak dibandingkan
dengan sampah sayuran.
2. Pembuatan biogas dengan bahan baku sampah organik dan kotoran sapi dengan
perbandingan komposisi masukan usus ayam dan kotoran sapi 70 : 30 dihasilkan
komposisi gas metana (CH4) sebesar 54,03% volume biogas.
3. Lamanya waktu fermentasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan komposisi gas
metana (CH4) terbesar terjadi pada fermentasi selama 21 hari.
DAFTAR PUSTAKA

Sari, S. N., M. Sutisna., dan Y. Pratama. 2014. Biogas Yang Dihasilkan Dari
Dekomposisi Enceng Gondok (Eicchornia crassipes) Dengan Penambahan
Kotoran Sapi Sebagi Starter. Bandung: Institut Teknologi Nasional Bandung.
Windyasmara, L., A. Pertiwiningrum., dan L. M. Yusiati. 2012. Pengaruh Jenis Kotoran
Ternak Sebagai Substrat Dengan Penambahan Serasah Daun Jati (Tectona
grandis) Terhadap Karakteristik Biogas Pada Proses Fermentasi. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
Yonathan, A., A. R. Prasetya., dan B. Pramudono. 2013. Produksi Biogas Dari Enceng
Gondok (Eicchornia crassipes): Kajian Konsistensi Dan pH Terhadap Biogas
Dihasilhkan. Semarang: Universitas Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai