Anda di halaman 1dari 35

1

Methane Fermantation
Methane fermentation merupakan proses fermentasi biomassa hingga menghasilkan
gas metan yang dapat digunakan sebagai biogas pengganti bahan bakar berbasis
minyak bumi.
Biogas dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik dengan bantuan bakteri
anaerob pada lingkungan tanpa oksigen bebas. Energi gas bio didominasi gas metan
(60% - 70%), karbondioksida (40% - 30%) dan beberapa gas lain dalam jumlah yang
lebih kecil. Gas metan termasuk gas rumah kaca (greenhouse gas), bersama dengan
gas karbon dioksida (CO2) memberikan efek rumah kaca yang menyebabkan
terjadinya fenomena pemanasan global. Pengurangan gas metan secara lokal ini dapat
berperan positif dalam upaya penyelesaian permasalahan global.
Pada prinsipnya, pembuatan gas bio sangat sederhana, hanya dengan memasukkan
substrat (kotoran ternak) ke dalam digester yang anaerob. Dalam waktu tertentu gas
bio akan terbentuk yang selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi, misalnya
untuk kompor gas atau listrik. Penggunaan biodigester dapat membantu
pengembangan sistem pertanian dengan mendaur ulang kotoran ternak untuk
memproduksi gas bio dan diperoleh hasil samping (by-product) berupa pupuk
organik. Selain itu, dengan pemanfaatan biodigester dapat mengurangi emisi gas
metan (CH4) yang dihasilkan pada dekomposisi bahan organik yang diproduksi dari
sektor pertanian dan peternakan, karena kotoran sapi tidak dibiarkan terdekomposisi
secara terbuka melainkan difermentasi menjadi energi gas bio.
Pengolahan Limbah Ternak Menjadi Biogas
Limbah peternakan khususnya ternak sapi merupakan bahan buangan dari usaha
peternakan sapi yang selama ini juga menjadi salah satu sumber masalah dalam
kehidupan manusia sebagai penyebab menurunnya mutu lingkungan melalui
pencemaran lingkungan, menggangu kesehatan manusia dan juga sebagai salah satu
penyumbang emisi gas efek rumah kaca. Pada umumnya limbah peternakan hanya
digunakan untuk pembuatan pupuk organic. Untuk itu sudah selayaknya perlu adanya
usaha pengolahan limbah peternakan menjadi suatu produk yang bisa dimanfaatkan
manusia dan bersifat ramah lingkungan.

2
Pengolahan limbah peternakan melalui proses anaerob atau fermentasi perlu
digalakkan karena dapat menghasilkan biogas yang menjadi salah satu jenis bioenergi.
Pengolahan limbah peternakan menjadi biogas ini diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan pada bahan bakar minyak yang mahal dan terbatas, mengurangi
pencemaran lingkungan dan menjadikan peluang usaha bagi peternak karena
produknya terutama pupuk kandang banyak dibutuhkan masyarakat.
Adanya penggantian bahan bakar minyak ke gas, maka diperlukan gas yang lebih
banyak. Karena persediaan minyak tanah semakin menipis dan harganya mahal,
masyarakat banyak menggunakan kompor gas, oleh karna itu gas semakin banyak
diperlukan. Dengan itu muncullah ide-ide atau alternatif-alternatif lainnya guna
mencukupi kebutuhan akan gas. Untuk itu kita dapat melakukan usaha seperti
pengelolaan lingkungan hidup salah satunya yaitu dengan pengelolaan limbah ternak
menjadi biogas.
Limbah peternakan seperti feses, urin beserta sisa pakan ternak sapi merupakan salah
satu sumber bahan yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan biogas. Namun di
sisi lain perkembangan atau pertumbuhan industri peternakan menimbulkan masalah
bagi lingkungan seperti menumpuknya limbah peternakan termasuknya didalamnya
limbah peternakan sapi. Limbah ini menjadi polutan karena dekomposisi kotoran
ternak berupa BOD dan COD (Biological/Chemical Oxygen Demand), bakteri
patogen sehingga menyebabkan polusi air (terkontaminasinya air bawah tanah, air
permukaan), polusi udara dengan debu dan bau yang ditimbulkannya.
Biogas merupakan renewable energy yang dapat dijadikan bahan bakar alternatif
untuk menggantikan bahan bakar yang berasal dari fosil seperti minyak tanah dan gas
alam (Houdkova et.al., 2008). Biogas juga sebagai salah satu jenis bioenergi yang
didefinisikan sebagai gas yang dilepaskan jika bahan-bahan organik seperti kotoran
ternak, kotoran manusia, jerami, sekam dan daun-daun hasil sortiran sayur
difermentasi atau mengalami proses metanisasi. Gas metan ini sudah lama digunakan
oleh warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai
penghasil panas. Sedangkan proses fermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan gas
metan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta (1776). Hasil identifikasi gas
yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806. Dan Becham
(1868) murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882) adalah orang pertama yang

3
memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan gas metan. Gas ini berasal dari
berbagai macam limbah organik seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran
hewan dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik digestion
(Pambudi, 2008). Biogas yang terbentuk dapat dijadikan bahan bakar karena
mengandung gas metan (CH4) dalam persentase yang cukup tinggi.
Tabel 1. Komponen penyusun biogas
Jenis Gas

Persentase

Metan (CH4)

50 75%

Karbondioksida (CO2)

25 50%

Air (H2O)

0,3%

Hidrogen sulfide (H2S)

1 - 3%

Nitrogen (N2)

0 - 0%

Hidrogen (H2)

0 - 1%

Sebagai pembangkit tenaga listrik, energi yang dihasilkan oleh biogas setara dengan
60 100 watt lampu selama 6 jam penerangan. Kesetaraan biogas dibandingkan
dengan bahan bakar lain dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai kesetaraan biogas dan energi yang dihasilkan
Aplikasi

1m3 Biogas setara dengan


Elpiji 0,46 kg

1 m3 biogas

Minyak tanah 0,62 liter


Minyak solar 0,52 liter
Kayu bakar 3,50 kg

Biogas sebagai salah satu sumber energi yang dapat diperbaharui dapat menjawab
kebutuhan akan energi sekaligus menyediakan kebutuhan hara tanah dari pupuk cair

4
dan padat yang merupakan hasil sampingannya serta mengurangi efek rumah kaca.
Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi alternatif dapat mengurangi penggunaan
kayu bakar. Dengan demikian dapat mengurangi usaha penebangan hutan, sehingga
ekosistem hutan terjaga. Biogas menghasilkan api biru yang bersih dan tidak
menghasilkan asap.
Energi biogas sangat potensial untuk dikembangkan kerena produksi biogas
peternakan ditunjang oleh kondisi yang kondusif dari perkembangkan dunia
peternakan sapi di Indonesia saat ini. Disamping itu, kenaikan tarif listrik, kenaikan
harga LPG (Liquefied Petroleum Gas), premium, minyak tanah, minyak solar, minyak
diesel dan minyak bakar telah mendorong pengembangan sumber energi elternatif
yang murah, berkelanjutan dan ramah lingkungan (Nurhasanah dkk., 2006).
Peningkatan kebutuhan susu dan pencanangan swasembada daging tahun 2010 di
Indonesia telah merubah pola pengembangan agribisnis peternakan dari skala kecil
menjadi skala menengah/besar. Di beberapa daerah telah berkembang koperasi susu,
peternakan sapi pedaging melalui kemitraan dengan perkebunaan kelapa sawit dan
sebagainya. Kondisi ini mendukung ketersediaan bahan baku biogas secara kontinyu
dalam jumlah yang cukup untuk memproduksi biogas.
Pemanfaatan limbah peternakan khususnya kotoran ternak sapi menjadi biogas
mendukung konsep zero waste sehingga sistem pertanian yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan dapat dicapai.
Beberapa keuntungan penggunaan kotoran ternak sebagai penghasil biogas sebagai
berikut :
1. Mengurangi pencemaran lingkungan terhadap air dan tanah, pencemaran
udara (bau).
2. Memanfaatkan limbah ternak tersebut sebagai bahan bakar biogas yang dapat
digunakan sebagai energi alternatif untuk keperluan rumah tangga.
3. Mengurangi biaya pengeluaran peternak untuk kebutuhan energi bagi kegiatan
rumah tangga yang berarti dapat meningkatkan kesejahteraan peternak.

5
4. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya biogas
untuk menjadi energi listrik untuk diterapkan di lokasi yang masih belum
memiliki akses listrik.
5. Melaksanakan pengkajian terhadap kemungkinan dimanfaatkannya kegiatan
ini sebagai usulan untuk mekanisme pembangunan bersih (Clean Development
Mechanism).
Pengolahan Limbah Peternakan Sapi Menjadi Biogas
Pengolahan limbah peternakan sapi menjadi biogas pada prinsipnya menggunakan
metode dan peralatan yang sama dengan pengolahan biogas dari biomassa yang lain.
Adapun alat penghasil biogas secara anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900.
Pada akhir abad ke-19, riset untuk menjadikan gas metan sebagai biogas dilakukan
oleh Jerman dan Perancis pada masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia
II, banyak petani di Inggris dan Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas
kecil yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Akibat kemudahan dalam
memperoleh BBM dan harganya yang murah pada tahun 1950-an, proses pemakaian
biogas ini mulai ditinggalkan. Tetapi, di negara-negara berkembang kebutuhan akan
sumber energi yang murah dan selalu tersedia selalu ada. Oleh karena itu, di India
kegiatan produksi biogas terus dilakukan semenjak abad ke-19. Saat ini, negara
berkembang lainnya, seperti China, Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Nugini telah
melakukan berbagai riset dan pengembangan alat penghasil biogas. Selain di negara
berkembang, teknologi biogas juga telah dikembangkan di negara maju seperti
Jerman.
Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses
fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh
bakteri metan sehingga dihasilkan gas metan (Nandiyanto, 2007). Menurut Haryati
(2006), proses pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses
pemecahan bahanorganik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik
pada kondisi tanpa udara, bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang
mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik
rumah tangga. Gas metan adalah gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H
yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas metan yang dihasilkan kemudian dapat
dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa digunakan sebagai

6
bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar terdiri
dari kotoran dan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti jerami dan
sebagainya serta air yang cukup banyak.
Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C : N, temperatur,
keasaman juga jenis digester yang dipergunakan. Kondisi optimum yaitu pada
temperatur sekitar 32 35C atau 50 55C dan pH antara 6,8 8. Pada kondisi ini
proses pencernaan mengubah bahan organik dengan adanya air menjadi energi gas.
Lebih jelasnya faktor apa saja yang mempengaruhi proses pembuatan gas metan, yaitu
antara lain:
1. Kandungan atau isi yang terkandung dalam bahan.
Salah satu cara untuk menentukan bahan organik yang sesuai untuk digunakan
sebagai bahan sistem biogas adalah dengan mengetahui perbandingan Karbon (C)
dan Nitrogen (N) atau disebut rasio C/N. Perubahan senyawa organik dari limbah
ternak ruminansia menjadi CH4 (gas metan) dan CO2 (gas karbon dioksida)
memerlukan persyaratan rasio C/N antara 20 25. Sehingga kalau menggunakan
limbah ternak ruminansia hanya berbentuk jerami dengan rasio-C/N di atas 65,
maka walaupun CH4 dan CO2 akan terbentuk, perbandingan CH4 : CO2 = 65 : 35
tidak akan tercapai. Mungkin perbandingan tersebut bernilai 45 : 55 atau 50 : 50
atau 40 : 60 serta angka-angka lain yang kurang dari yang sudah ditentukan, maka
hasil biogasnya akan mempunyai nilai bakar rendah atau kurang memenuhi syarat
sebagai bahan energi.
Juga sebaliknya kalau limbah ternak ruminansia yang digunakan berbentuk
kotoran saja, semisal dari kotoran kambing dengan rasio C/N sekira 8, maka
produksi biogas akan mempunyai bandingan antara CH4 dan CO2 seperti 90 : 10
atau nilai lainnya yang terlalu tinggi. Dengan nilai ini maka hasil biogasnya juga
terlalu tinggi nilai bakarnya, sehingga mungkin akan rnembahayakan pengguna.
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu rasio C/N terlalu tinggi atau terlalu
rendah akan mempengaruhi proses terbentuknya biogas, karena ini merupakan
proses biologis yang memerlukan persyaratan hidup tertentu, seperti juga manusia.

7
2. Kadar air
Kadar air bahan yang terkandung dalam bahan yang digunakan, juga seperti
rasio C/N harus tepat. Jika hasil biogas diharapkan sesuai dengan persyaratan yang
berlaku, maka semisal limbah ternak ruminansia yang digunakan berbentuk kotoran
kambing kering dicampur dengan sisa-sisa rumput bekas makanan atau dengan
bahan lainnya yang juga kering, maka diperlukan penambahan air.
Tapi berbeda kalau bahan yang akan digunakan berbentuk lumpur selokan
yang sudah mengandung bahan organik tinggi, semisal dari bekas dan sisa
pemotongan hewan atau manure dari peternakan. Dalam bahannya sudah
terkandung air, sehingga penambahan air tidak akan sebanyak pada bahan yang
kering.
Air berperan sangat penting di dalam proses biologis pembuatan biogas.
Artinya jangan terlalu banyak (berlebihan) juga jangan terlalu sedikit (kekurangan),
ada perbandingan yang berpengaruh pada optimalisasi konversi gas metane.
3. Temperatur
Temperatur selama proses berlangsung, karena ini menyangkut kondisi
optimal hidup bakteri pemroses biogas yaitu antara 27 28C. Dengan temperatur
itu proses pembuatan biogas akan berjalan sesuai dengan waktunya. Tetapi berbeda
kalau nilai temperatur terlalu rendah , maka waktu untuk menjadi biogas akan lebih
lama.
4. Bakteri penghasil metan (metanogens)
Kehadiran jasad pemroses, atau jasad yang mempunyai kemampuan untuk
menguraikan bahan-bahan yang akhirnya membentuk CH4 dan CO2. Dalam limbah
ternak ruminansia semisal kotoran kandang, limbah rumah pemotongan ataupun
rumput dan jerami, serta bahan-bahan buangan lainnya, banyak jasad renik, baik
bakteri ataupun jamur pengurai bahan-bahan tersebut didapatkan. Tapi yang
menjadi masalah adalah hasil uraiannya belum tentu menjadi CH4 yang diharapkan
serta mempunyai kemampuan sebagai bahan bakar.

8
Maka untuk menjamin agar kehadiran jasad renik atau mikroba pembuat
biogas (umumnya disebut bakteri metan), sebaiknya digunakan starter, yaitu bahan
atau substrat yang di dalamnya sudah dapat dipastikan mengandung mikroba metan
sesuai yang dibutuhkan.
5. Aerasi
Aerasi atau kehadiran udara (oksigen) selama proses. Dalam hal pembuatan
biogas maka udara sama sekali tidak diperlukan dalam bejana pembuat. Keberadaan
udara menyebabkan gas CH4 tidak akan terbentuk. Untuk itu maka bejana pembuat
biogas harus dalam keadaan tertutup rapat.
Masih ada beberapa persyaratan lain yang diperlukan agar hasil biogas sesuai
dengan yang diharapkan semisal, pengadukan, pH dan tekanan udara. Tetapi kelima
syarat tersebut sudah merupakan syarat dasar agar proses pembuatan biogas berjalan
sebagaimana mestinya.
Jika dilihat dari segi pengolahan limbah, proses anaerobik juga memberikan beberapa
keuntungan lain yaitu menurunkan nilai COD dan BOD, total solid, volatile solid,
nitrogen nitrat dan nitrogen organic, bakteri coliform dan patogen lainnya, telur insek,
parasit, dan bau.
Proses pencernaan anaerobik, yang merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses
pemecahan bahan organik oleh aktifitas bakteri metanogenik dan bakteri asidogenik
pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat dalam limbah yang
mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan sampah organik
rumah tangga.
Pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu:
a. Hidrolisis dan fermentasi anaerob
Proses ini organisme hidrolitik fermentatif menghidrolisa dan memfermentasi
senyawa organik kompleks seperti protein, lemak dan lain-lain menjadi
senyawa organik yang lebih sederhana (format, asetat, propionat, butirat dan
asam lemak lainnya, etanol), hidrogen dan karbon dioksida (Amatya, 1996).

9
dengan bantuan air (perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk
monomer).
Reaksi hidrolisis dan fermentasi anaerob:
fermentasi

hidrolisis

Senyawa kompleks

C6H12O6

senyawa organik .... (2.1

b. Asetogenesis
pada tahap pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk
pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk
asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana tadi yaitu asam
asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas
karbondioksida, hidrogen dan ammonia. Bakteri asidogen dapat tumbuh dalam
media bersama bakteri metanogenik dan bakteri pengurai sulfat.
Reaksi asidogenesis:
CH3CH2COOH

CH3COOH + CO2 + 3H2 ....... (2.2

(asam propionat)

(asam asetat)

CH3CH2CH2COOH

2CH3COOH + 2H2 ...

(asam butirat)

(asam asetat)

(2.3

c. Methanogenesis
Metanogen menghasilkan produk akhir dengan menggunakan reaktan-reaktan
yang dihasilkan dari dua tahap yang sebelumnya. Asetotropik metanogen
(acetotrophic methanogens), mengubah asetat menjadi metana dan karbon
dioksida.
Reaksi:

CH3COOH

CH4

CO2 .. (2.4

(metana)
Unikarbontropik metanogen (unicarbontrophic methanogens), mengoksidasi
gas hidrogen, metanol atau format dan metilamin menjadi donor elektron dan
mereduksi karbon dioksida dan mengaktifkan grup metil dari metana.
Reaksi:

2H2 + CO2

CH4 + 2H2O ........

(2.5
(metana)

10
d. Reaksi keseluruhan
Metana dan karbon dioksida merupakan produk utama dari proses anaerobik.
Gas-gas ini berjumlah 75-80 % dari gas yang dihasilkan sedangkan sisanya
adalah hidrogen sulfida, nitrogen, dan hidrogen.
Reaksi : Senyawa kompleks

CH4 + CO2 ..........

(2.6

(metana)

Jika dilihat analisa dampak lingkungan terhadap lumpur keluaran (slurry) dari
digester menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan
pebandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair
BOD/COD = 0,5. Sedangkan unsur utama N (1,82%), P (0,73%) dan K (0,41%) tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos (referensi: N
(1,45%), P (1,10%) dan K (1,10%) (Widodo dkk., 2006). Berdasarkan hasil
penelitian, hasil samping pupuk ini mengandung lebih sedikit bakteri patogen
sehingga aman untuk pemupukan sayuran/buah, terutama untuk konsumsi segar.
Saat ini berbagai jenis bahan dan ukuran peralatan biogas telah dikembangkan
sehingga dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, jenis, jumlah dan
pengelolaan kotoran ternak. Peralatan dan proses pengolahan dan pemanfaatan biogas
ditampilkan pada gambar berikut.
Digester dapat dibuat dari bahan plastik Polyetil Propilene (PP), fiber glass atau
semen, sedangkan ukuran bervariasi mulai dari 4 35 m3. Biogas dengan ukuran
terkecil dapat dioperasikan dengan kotoran ternak 3 ekor sapi.
Cara Pengoperasian Unit Pengolahan (Digester) Biogas seperti terjabar dalam Seri
Bioenergi Pedesaan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian tahun 2009 sebagai
berikut :
1. Buat campuran kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1 : 2 (bahan
biogas).

11
2. Masukkan bahan biogas ke dalam digester melalui lubang pengisian (inlet)
hingga bahan yang dimasukkan ke digester ada sedikit yang keluar melalui
lubang pengeluaran (outlet), selanjutnya akan berlangsung proses produksi
biogas di dalam digester.
3. Setelah kurang lebih 8 hari biogas yang terbentuk di dalam digester sudah
cukup banyak. Pada sistem pengolahan biogas yang menggunakan bahan
plastik, penampung biogas akan terlihat mengembung dan mengeras karena
adanya biogas yang dihasilkan. Biogas sudah dapat digunakan sebagai bahan
bakar, kompor biogas dapat dioperasikan.
4. Pengisian bahan biogas selanjutnya dapat dilakukan setiap hari, yaitu
sebanyak kira-kira 10% dari volume digester. Sisa pengolahan bahan biogas
berupa sludge secara otomatis akan keluar dari lubang pengeluaran (outlet)
setiap kali dilakukan pengisian bahan biogas. Sisa hasil pengolahan bahan
biogas tersebut dapat digunakan sebagai pupuk kandang/pupuk organik, baik
dalam keadaan basah maupun kering.
Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau digunakan
langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik, patromas
biogas, penghangat ruang/kotak penetasan telur dan lain sebagainya.
Untuk memanfaatkan kotoran ternak sapi menjadi biogas, diperlukan beberapa syarat
yang terkait dengan aspek teknis, infrastruktur, manajemen dan sumber daya manusia.
Bila faktor tersebut dapat dipenuhi, maka pemanfaatan kotoran ternak menjadi biogas
sebagai penyediaan energi di pedesaan dapat berjalan dengan optimal.
Terdapat sepuluh faktor yang dapat mempengaruhi optimasi pemanfaatan kotoran
ternak sapi menjadi biogas yaitu:
1. Ketersediaan ternak
Jenis jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat menjadi potensi bagi
pengembangan biogas. Hal ini karena biogas dijalankan dengan memanfaatkan
kotoran ternak. Kotoran ternak yang dapat diproses menjadi biogas berasal dari ternak
ruminansia dan non ruminansia seperti sapi potong, sapi perah dan babi; serta unggas.

12
Jenis ternak mempengaruhi jumlah kotoran yang dihasilkannya. Untuk menjalankan
biogas skala individual atau rumah tangga diperlukan kotoran ternak dari 3 ekor sapi,
atau 7 ekor babi, atau 400 ekor ayam.
2. Kepemilikan Ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi dasar pemilihan jenis dan
kapasitas biogas yang dapat digunakan. Saat ini biogas kapasitas rumah tangga
terkecil dapat dijalankan dengan kotoran ternak yang berasal dari 3 ekor sapi atau 7
ekor babi atau 400 ekor ayam. Bila ternak yang dimiliki lebih dari jumlah tersebut,
maka dapat dipilihkan biogas dengan kapasitas yang lebih besar (berbahan fiber atau
semen) atau beberapa biogas skala rumah tangga.
3. Pola Pemeliharaan Ternak
Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas dapat berfungsi optimal.
Kotoran ternak lebih mudah didapatkan bila ternak dipelihara dengan cara
dikandangkan dibandingkan dengan cara digembalakan.
4. Ketersediaan Lahan
Untuk membangun biogas diperlukan lahan disekitar kandang yang luasnya
bergantung pada jenis dan kapasitas biogas. Lahan yang dibutuhkan untuk
membangun biogas skala terkecil (skala rumah tangga) adalah 14 m2 (7m x 2m).
Sedangkan skala komunal terkecil membutuhkan lahan sebesar 40m2 (8m x 5m).
5. Tenaga Kerja
Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja yang berasal dari
peternak/pengelola itu sendiri. Hal ini penting mengingat biogas dapat berfungsi
optimal bila pengisian kotoran ke dalam reaktor dilakukan dengan baik serta
dilakukan perawatan peralatannya.
Banyak kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak optimalnya biogas disebabkan
karena: pertama, tidak adanya tenaga kerja yang menangani unit tersebut; kedua,

13
peternak/pengelola tidak memiliki waktu untuk melakukan pengisian kotoran karena
memiliki pekerjaan lain selain memelihara ternak.
6. Manajemen Limbah/Kotoran
Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan komposisi padat cair kotoran
ternak yang sesuai untuk menghasilkan biogas, frekuensi pemasukan kotoran, dan
pengangkutan atau pengaliran kotoran ternak ke dalam raktor.
Bahan baku (raw material) reaktor biogas adalah kotoran ternak yang komposisi
padat cairnya sesuai yaitu 1 berbanding 2. Pada peternakan sapi perah komposisi
padat cair kotoran ternak biasanya telah sesuai, namun pada peternakan sapi potong
perlu penambahan air agar komposisinya menjadi sesuai.
Frekuensi pemasukan kotoran dilakukan secara berkala setiap hari atau setiap 2 hari
sekali tergantung dari jumlah kotoran yang tersedia dan sarana penunjang yang
dimiliki. Pemasukan kotoran ini dapat dilakukan secara manual dengan cara diangkut
atau melalui saluran.
7. Kebutuhan Energi
Pengelolaan kotoran ternak melalui proses reaktor an-aerobik akan menghasilkan gas
yang dapat digunakan sebagai energi. Dengan demikian, kebutuhan peternak akan
energi dari sumber biogas harus menjadi salah satu faktor yang utama. Hal ini
mengingat, bila energi lain berupa listrik, minyak tanah atau kayu bakar mudah,
murah dan tersedia dengan cukup di lingkungan peternak, maka energi yang
bersumber dari biogas tidak menarik untuk dimanfaatkan.Bila energi dari sumber lain
tersedia, peternak dapat diarahkan untuk mengolah kotoran ternaknya menjadi
kompos atau kompos cacing (kascing).
8. Jarak (kandang-reaktor biogas-rumah)
Energi yang dihasilkan dari reaktor biogas dapat dimanfaatkan untuk memasak,
menyalakan petromak, menjalankan generator listrik, mesin penghangat telur/ungas
dll. Selain itu air panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk proses sanitasi sapi
perah.Pemanfaatan energi ini dapat optimal bila jarak antara kandang ternak, reaktor

14
biogas dan rumah peternak tidak telampau jauh dan masih memungkinkan dijangkau
instalasi penyaluran biogas. Karena secara umum pemanfaatan energi biogas
dilakukan di rumah peternak baik untuk memasak dan keperluan lainnya.
9. Pengelolaan Hasil Samping Biogas
Pengelolaan hasil samping biogas ditujukan untuk memanfaatkannya menjadi pupuk
cair atau pupuk padat (kompos). Pengeolahannya relatif sederhana yaitu untuk pupuk
cair dilakukan fermentasi dengan penambahan bioaktivator agar unsur haranya dapat
lebih baik, sedangkan untuk membuat pupuk kompos hasil samping biogas perlu
dikurangi kandungan airnya dengan cara diendapkan, disaring atau dijemur.
Pupuk yang dihasilkan tersebut dapat digunakan sendiri atau dijual kepada kelompok
tani setempat dan menjadi sumber tambahan pandapatan bagi peternak.
10. Sarana Pendukung
Sarana pendukung dalam pemanfaatan biogas terdiri dari saluran air/drainase, air dan
peralatan kerja. Sarana ini dapat mempermudah operasional dan perawatan instalasi
biogas. Saluran air dapat digunakan untuk mengalirkan kotoran ternak dari kandang
ke reaktor biogas sehingga kotoran tidak perlu diangkut secara manual. Air digunakan
untuk membersihkan kandang ternak dan juga digunakan untuk membuat komposisi
padat cair kotoran ternak yang sesuai. Sedangkan peralatan kerja digunakan untuk
mempermudah/meringankan pekerjaan/perawatan instalasi biogas.
Potensi Pengembangan Biogas dari Limbah Peternakan Sapi di Indonesia
Pada umumnya peternak sapi di Indonesia mempunyai rata- rata 2 5 ekor sapi
dengan lokasi yang tersebar tidak berkelompok. Sehingga penanganan limbahnya baik
itu limbah padat, cair maupun gas seperti feses dan urin maupun sisa pakan dibuang
ke lingkungan sehingga menyebabkan pencemaran. Pengolahan limbah secara
sederhana hanya dengan pemanfaatannya sebagai pupuk organik. (Deptan, 2006)
Diketahui sapi dengan bobot 450 kg menghasilkan limbah berupa feses dan urin lebih
kurang 25 kg per hari (Deptan, 2006). Dan apabila tidak dilakukan penanganan secara
baik maka akan menimbulkan masalah pencemaran lingkungan udara, tanah dan air

15
serta penyebaran penyakit menular. Sehingga sangat diperlukan usaha untuk
mengurangi dampak negatif dari kegiatan peternakan sapi salah satunya dengan
melakukan penanganan yang baik terhadap limbah yang dihasilkan melalui biogas.
Hasil biogas dari rata 3 5 ekor sapi tersebut setara dengan 1-2 liter minyak
tanah/hari (Deptan, 2006). Dengan demikian keluarga peternak yang sebelumnya
menggunakan minyak tanah untuk memasak bisa menghemat penggunaan minyak
tanah 1-2 liter/hari. Pemanfaatan biogas di Indonesia sebagai energi alternatif sangat
memungkinkan untuk diterapkan di masyarakat, apalagi sekarang ini harga bahan
bakar minyak yang makin mahal dan kadang-kadang langka keberadaannya. Besarnya
potensi Limbah biomassa padat di seluruh Indonesia seperti kayu dari kegiatan
industri pengolahan hutan, pertanian dan perkebunan; limbah kotoran hewan,
misalnya kotoran sapi, kerbau, kuda, dan babi juga dijumpai di seluruh provinsi
Indonesia dengan kualitas yang berbeda-beda.
Teknologi biogas adalah suatu teknologi yang dapat digunakan dimana saja selama
tersedia limbah yang akan diolah dan cukup air. Di negara maju perkembangan
teknologi biogas sejalan dengan perkembangan teknologi lainnya. Untuk kondisi di
Indonesia, teknologi biogas dapat dibangun dengan kepemilikan kolektif dan
dipelihara secara bersama. Seperti yang dicanangkan oleh Direktorat Budidaya Ternak
Ruminansia Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian Republik
Indonesia melalui program Pengembangan Biogas Ternak bersama Masyarakat
(BATAMAS) yang dimulai pada tahun 2006.
Beberapa alasan mengapa biogas belum popular penggunaannya di kalangan peternak
atau kalaupun sudah ada banyak yang tidak lagi beroperasi, yaitu kurang sosialisasi,
teknologi yang diterapkan kurang praktis dan perlu pemeliharaan yang seksama dan
kurangnya pengetahuan para petani tentang pemeliharaan digester.
Teknologi biogas dapat dikembangkan dengan input teknologi yang sederhana dengan
bahan-bahan yang tersedia di pasaran lokal. Energi biogas juga dapat diperoleh dari
air buangan rumah tangga; kotoran cair dari peternakan ayam, babi; sampah organik
dari pasar, industri makanan dan sebagainya.

16
Disamping itu, usaha lain yang dapat bersinergi dengan kegiatan ini adalah
peternakan cacing untuk pakan ikan/unggas, industri tahu/tempe dapat menghasilkan
ampas tahu yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi dan limbah cairnya sebagai
bahan input produksi biogas. Industri kecil pendukung juga dapat berkembang, seperti
industri bata merah, industri kompor gas, industri lampu penerangan, pemanas air dan
sebagainya. Sehingga pengembangan teknologi biogas secara langsung maupun tidak
langsung diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan.
Pemanfaatan biogas sebagai sumber energi pada industri kecil berbasis pengolahan
hasil pertanian dapat memberikan multiple effect dan dapat menjadi penggerak
dinamika pembangunan pedesaan. Selain itu, dapat juga dipergunakan untuk
meningkatkan nilai tambah dengan cara pemberian green labelling pada produkproduk olahan yang di proses dengan menggunaan green energy.

17

Ethanol dan Bioethanol Fermantation


Ethanol atau ethyl alcohol (lebih dikenal sebagai alkohol, lambang kimia C2H5OH)
adalah cairan tak berwarna dengan karakteristik antara lain mudah terbakar, larut
dalam air, biodegradable, tidak karsinogenik, dan jika terjadi pencemaran tidak
memberikan dampak lingkungan yang signifikan. Penggunaan etanol sebagai bahan
bakar bernilai oktan tinggi atau aditif peningkat bilangan oktan pada bahan bakar
sebenarnya sudah dilakukan sejak abad 19. Mula-mula ethanol digunakan untuk
bahan bakar lampu pada masa sebelum perang saudara di Amerika Serikat. Kemudian
pada tahun 1860 Nikolaus Otto menggunakan bahan bakar ethanol dalam
mengembangkan mesin kendaraan dengan siklus Otto. Mobil Model T karya Henry
Ford yang diluncurkan pada tahun 1908 dirancang untuk menggunakan bahan bakar
ethanol atau gasoline. Namun karena harganya yang sangat tinggi, ethanol kalah
bersaing dengan bahan bakar yang terbuat dari minyak bumi. Harga minyak bumi
yang membumbung belakangan ini membuat orang kembali mempertimbangkan
ethanol untuk dijadikan bahan bakar kendaraan.
Terdapat beberapa cara penggunaan ethanol untuk campuran gasoline sebagai berikut:
Hydrous ethanol(95% volume), yaitu ethanol yang mengandung sedikit air.
Campuran ini digunakan langsung sebagai pengganti gasoline pada kendaraan dengan
mesin yang sudah dimodifikasi.
Anhydrous ethanol(atau dehydrated ethanol), yaitu ethanol bebas air dan paling
tidak memiliki kemurnian 99%. Etanol ini dapat dicampur dengan gasoline
konvensional dengan kadar antara 5-85%. Pada gasoline dengan campuran ethanol
antara 5-10%, bahan bakar ini dapat langsung digunakan pada mesin kendaraan tanpa
perlu ada modifikasi. Campuran yang umum digunakan adalah 10% etanol dan 90%
gasoline (dikenal dengan nama E10). Campuran etanol dengan kadar lebih tinggi
(kadar bioetanol 85% atau dikenal dengan nama E85) hanya bisa digunakan pada
mesin kendaraan yang sudah dimodifikasi, yang dikenal dengan nama flexible fuel
vehicle. Modifikasi umumnya dilakukan pada tangki BBM kendaraan dan sistem
injeksi BBM.

18
Etanol juga digunakan sebagai bahan baku ETBE (ethyl-tertiary-butyl-ether), aditif
gasoline konvensional.
Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari bahan baku berupa biomassa seperti
jagung, singkong, sorghum, kentang, gandum, tebu, bit, dan juga limbah biomassa
seperti tongkol jagung, limbah jerami, dan limbah sayuran lainnya. Bioetanol
diproduksi dengan teknologi biokimia, melalui proses fermentasi bahan baku,
kemudian etanol yang diproduksi dipisahkan dengan air dengan proses distilasi dan
dehidrasi.
Penggunaan bioetanol sebagai campuran biogasoline memiliki keunggulan sebagai
berikut :
meningkatkan bilangan oktan (dapat menggantikan TEL sebagai aditif, sehingga
mengurangi emisi logam berat timbal)
menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna (mengurangi emisi karbon
monoksida)
mengurangi emisi gas buang karbon dioksida (penelitian menunjukkan pengurangan
hingga 40-80%), dan senyawa sulfur (mengurangi hujan asam)
Produksi Bioetanol
Bioetanol diproduksi dari biomassa dengan proses hidrolisis dan fermentasi gula.
Biomassa mengandung polimer karbohidrat berupa cellulose, hemi-cellulose, dan
lignin. Untuk memproduksi gula dari biomassa, biomassa diolah menggunakan asam
dan enzim. Cellulose dan hemi-cellulose terhidrolisa menjadi sukrosa, kemudian
difermentasi menjadi etanol.
Fermentasi gula menjadi etanol dilakukan dengan menambah ragi (yeast). Ragi
mengandung enzim invertase, yang bertindak sebagai katalis untuk mengubah sukrosa
menjadi glukosa dan fruktosa (C6H12O6). Fruktosa dan glukosa kemudian bereaksi
dengan enzim zymase yang mengubah fruktosa dan glukosa menjadi etanol dan
karbon dioksida. Proses fermentasi berlangsung selama 3 hari dan berlangsung pada

19
temperature 250-300C. Etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi kemudian
dipisahkan dari air menggunakan proses distilasi.

Proses produksi hidrogen, metana, dan bioetanol dapat dilangsungkan secara


terintegrasi, seperti dalam Maxifuel concept (Gambar1). Konsep ini didesain untuk
produksi Etanol dari bahan lignoselulosa, untuk menghasilkan jumlah biofuel yang
maksimum per unit raw material dan memanfaatkan residu untuk konversi lebih lanjut
menjadi energi. Produk utama bioetanol digunakan untuk bahan bakar transportasi
dan penekanan proses ini untuk optimasi produksi etanol. Produksi biofuel yang lain
seperti metana, hidrogen, dan produk bernilai lain seperti bahan bakar padat akan
menambah nilai lebih pada proses. Proses ini juga ramah lingkungan karena dilakukan
recycle dan reuse aliran keluaran. Pengembangan produksi etanol berbasis bahan
lignoselulosa dapat diintegrasikan lebih lanjut dalam produksi bioetanol konvensional
dari bahan jagung, dimana residu jagung dan fiber dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan produktivitas 20% seperti tertera pada Gambar 2.

Gambar 1. Flow sheet dari konsep bahan bakar campuran. Semua bagian proses dan
aliran proses dari biomassa lignoselulosa untuk ethanol, hidrogen, dan metana
diperlihatkan.

20

Gambar 2. Peningkatan yield ethanol dari jagung


http://majarimagazine.com/2008/02/co-production-of-bioethanol-with-othersbiofuels/

Potensi Bioethanol dari Biomassa Lignoselulosa


Limbah lignoselulosa memiliki potensi besar sebagai bahan baku bioethanol. Sebagai
contoh dari 1 ha sawah dapat diproduksi sebesar 766 hingga 1.148 liter bioethanol.
Jika harga ethanol sekarang adalah Rp. 5.500,- maka nilainya adalah Rp. 4,210 juta
hingga Rp. 6,316 juta. Jumlah yang tidak sedikit.
Ethanol dari Jerami Padi
Jerami padi mengandung kurang lebih 39% sellulosa dan 27,5% hemiselullosa. Kedua
bahan polysakarida ini dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana yang selanjutnya
dapat difermentasi menjadi ethanol. Potensi produksi jerami padi per ha kurang lebih
10 15 ton, jerami basah dengan kadar air kurang lebih 60%. Jika seluruh jerami per
ha ini diolah menjadi ethanol (fuel grade ethanol), maka potensi produksinya kurang
lebih 766 hingga 1,148 liter/ha FGE Dengan asumsi harga ethanol fuel grade
sekarang adalah Rp. 5500,- (harga dari pertamina), maka nilai ekonominya kurang
lebih Rp. 4,210,765 hingga 6,316,148 /ha.

21
Menurut data BPS tahun 2006, luas sawah di Indonesia adalah 11.9 juta ha. Artinya,
potensi jerami padinya kurang lebih adalah 119 juta ton. Apabila seluruh jerami ini
diolah menjadi ethanol maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter ethanol (FGE)
dengan nilai ekonomi Rp. 50,1 trilyun. Jika dihitung-hitung ethanol dari jerami sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional.
Ethanol dari Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS)
Kandungan selulosa dan hemiselullosa dari TKKS kurang lebih adalah 45% dan 26%.
Sama seperti jerami padi, kedua polysakarida ini dapat dihidrolysis menjadi gula
sederhana dan selanjutnya difermentasi menjadi ethanol. Sebuah pabrik kelapa sawit
(PKS) dengan kapasitas 60 ton/jam dapat menghasilkan limbah kira-kira 100 ton/hari.
Produksi limbah dapat meningkat atau berkurang tergantung pada TBS (Tandan Buah
Segar) yang diolah. Jika seluruh TKKS ini diolah menjadi ethanol (fuel grade ethanol)
maka potensinya diperkirakan sebesar 8,254 liter/hari. Nilai ekonominya kurang lebih
Rp. 45,395,335 /hari.
Sekali lagi ini hanya teoritis di atas kertas. Tapi setidaknya ini memberi gambaran
tentang besarnya potensi bioethanol yang bisa dihasilkan dari biomassa.
Sumber Limbah Lignoselulosa yang Lain
Indonesia kaya akan biomassa lignoselulosa. Dua contoh di atas adalah sebagian kecil
dari potensi biomassa lignoselulosa yang ada di Indonesia. Masih banyak sumber
biomassa yang lain. Sumber-sumber yang cukup besar antara lain: sampah organik
kota, limbah industri kayu, limbah industri pulp/kertas, dan limbah-limbah
agroindustri yang lain.
Tentunya setiap limbah memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang menentukan
bagaimana teknologi biokonversi yang tepat. Namun, pada prinsipnya setiap limbah
organik lignoselulosa secara teoritis dapat diubah menjadi ethanol. Sekali lagi, potensi
yang besar ini akan tetap menjadi potensi di atas kertas saja. Diperlukan upaya yang
besar untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.
http://www.bioethanol.yolasite.com/index/potensi-bioethanol-dari-biomassalignoselulosa

Produksi Bioethanol Berbahan Baku Biomassa Lignoselulosa

22
Penelitian produksi ethanol berbahan baku biomassa lignoselulosa, lebih dikenal
dengan sebutan Bioethanol atau ethanol generasi ke dua, sangat intensif dilakukan
dalam dua dekade terakhir (Yang & Wayman, 2007) (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij,
2005) (Sanchez & Cardona, 2007). Produksi ethanol dari lignoselulosa sudah dimulai
sejak lama, (Moore, 1919) telah mematenkan teknologi untuk memproduksi ethyl
alcohol (ethanol) dari kayu.
Produksi ethanol dari biomassa lignoselulosa dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar, yaitu: platform biokimia (biochemical platform) atau gula (sugar
platform) dan platform thermokimia (thermochemical platform) (United State
Departemen of Energy, 2008). Platform biokimia meliputi proses hidrolisis selulosa
dan hemiselulosa menjadi monomer gula penyususnnya, fermentasi gula menjadi
ethanol, destilasi dan dehidrasi untuk menghasilkan ethanol fuel grade. Platform
thermokimia secara umum meliputi dua tahapan utama, yaitu: gasifikasi dan
dilanjutkan dengan konversi gas yang dihasilkan menjadi ethanol.
Platform biokimia dapat dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan tahapan
hidrolisis yang dilakukan, yaitu: hidrolisis asam encer (dilute-acid hydrolysis),
hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolysis), dan hidrolisis enzimatik
(enzymatic hydrolysis). Terdapat beberapa variasi teknik dalam hidrolisis enzimatik
yang digabungkan dengan tahapan fermentasi, seperti: Separate (atau Sequential)
Hydrolysis and Fermentation (SHF), Simultaneous Saccharification and
Fermentation (SSF), Simultaneous Saccharification and Co-Fermentation (SSCF),
dan Consolidated BioProcessing (CBP) (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005)
(Lynd, Van, Mcbride, & Laser, 2005).
Secara sederhana proses koversi biomassa lignoselulosa dapat digambarkan seperti
pada Gambar 3 (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Beberapa tahapan utama
yang akan dijelaskan di bawah meliputi: pretreatment, hidrolisis, fermentasi, dan
purifikasi. Dalam setiap tahapan terdapat beberapa variasi, pilihan-pilihan teknologi,
dan status penelitian terkini.
Biomassa

Pretreatment

Hidrolisis

Fermentasi
Ethanol

Purifikasi

23
Limbah Cair
Uap Panas

Limbah padat

Pembangkit
tenaga

Energi Listrik

Gambar 3. Proses konversi sederhana dari biomassa lignoselulosa


http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassalignoselulosa/
1. Pretreatment
Pretreatment biomassa lignoselulosa harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang
tinggi. Hal ini penting untuk pengembangan teknologi biokonversi dalam skala
komersial (Mosier, et al., 2005). Pretreatmen merupakan tahapan yang banyak
memakan biaya dan berpengaruh besar terhadap biaya keseluruhan proses. Sebagai
contoh pretreatment yang baik dapat mengurangi jumlah enzim yang digunakan
dalam proses hidrolisis (Wyman, Dale, Elander, Holtzapple, Ladisch, & Lee,
Coordinated development of leading biomass pretreatment technologies, 2005)
(Wyman, Dale, Elander, Holtzapple, Ladisch, & Lee, Comparative sugar recovery
data from laboratory scale application of leading pretreatment technologies to corn
stover, 2005). Pretreatment dapat meningkatkan hasil gula yang diperoleh. Gula yang
diperoleh tanpa pretreatment kurang dari 20%, sedangkan dengan pretreatment dapat
meningkat menjadi 90% dari hasil teoritis (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005).
Tujuan dari pretreatment adalah untuk membuka struktur lignoselulosa agar selulosa
menjadi lebih mudah diakses oleh enzim yang memecah polymer polisakarida
menjadi monomer gula. Tujuan pretreatment secara skematis ditunjukkan pada
Gambar 4.

24

Gambar 4. Pengaruh pretreatment biomassa lignoselulosa (Mosier, et al., 2005).


Selama beberapa tahun terakhir berbagai teknik pretreatment telah dipelajari melalui
pendekatan biologi, fisika, kimia. Menurut (Sun & Cheng, 2002) pretreatment
seharusnya memenuhi kebutuhan berikut ini:
1) meningkatkan pembentukan gula atau kemampuan menghasilkan gula pada proses
berikutnya melalui hidrolisis enzimatik;
2) menghindari degradasi atau kehilangan karbohidrat;
3) menghindari pembentukan produk samping yang dapat menghambat proses
hidrolisis dan fermentasi,
4) biaya yang dibutuhkan ekonomis.
Ringkasan berbagai teknik pretreatment yang dikembangkan ditampilkan pada Tabel
1 di bawah ini. Teknik pretreatment yang telah dikembangkan lebih banyak dilakukan
secara mekanik atau fisiko-kimia. Pretreatment secara biologi sedikit dilaporkan.
Tabel 1. Pretreatment biomassa lignoselulosa untuk produksi bioethanol
Pretreatment

Proses

Perubahan pada

Referensi

Pretreatment mekanik Milling:

biomassa
- mengurangi ukuran (Taherzadeh & Karimi,

atau fisik

partikel
- ball milling
- meningkatkan luas

2008)

25

- two-rol milling

permukaan yang

(Sun & Cheng, 2002)

kontak dengan
- hammer milling

enzim

(Zhu, et al., 2005)

- colloid milling

- mengurangi

(Thomsen, Thygesen,

kristalisasi

&

selulosa

Thomsen, 2008)

- vibrotory ball
milling

(Ahring, Jensen,
Irradiation:

Nielsen,
Bjerre, & Schmidt,

- gamma-ray

1996)

- electron beam

(Hendriks & Zeeman,

- microwave

2009)

Lainnya:

(Eggeman & Elander,


2005)

- hydrothermal
(Ohgren, Rudolf,
- uap bertekanan

Galbe,

tinggi

& Zacchi, 2006)

- expansi

(Kabel, Bos,
Zeevalking,

- extrusi

Voragen, & Schols,


2007)

- pirolisis
- air panas
Pretreatmen kimia dan Explosion:

- meningkatkan area

fisik-kimia

pemukaan
- eksplosi uap panas

yang mudah diakses

(Sun & Cheng, 2002)


(Taherzadeh & Karimi,
2008)

- ammonia fiber

- delignifikasi

explotion

sebagian atau hampir (Eggeman & Elander,


2005)
keseluruhan

(AFEX)

- menurunkan

(Eklund, Galbe, &

26

- eksplosi CO2

kristalisasi selulosa

- eksplosi SO2

- menurunkan derajat (Negro, Manzanares,


polimerisasi

Alkali:

- ammonia

Oliva,
Ballesteros, &

- hidrolisis
- sodium hidroksida

Zacchi, 1995)

Ballesteros, 2003)

hemiselulosa sebagian
atau keseluruhan

(Bower,
Wickramasinghe,

- ammonium sulfat

Nagle, & Schell, 2008)

- ammonia recycle

(Cara, Ruiz,

percolation (ARP)

Ballesteros,
Manzanares, Negro, &

- kapur (lime)

Castro, 2008)

Asam:

(Kim & Hong, 2001)

- asam sulfat

(Mosier, et al., 2005)

- asam fosfat

(Saha & Cotta, 2008)

- asam hidroklorat

(Shimizu, Sudo, Ono,


Ishihara, Fujii, &

- asam parasetat
Gas:
- Clorin dioksida
- Nitrogen dioksida

Hishiyama, 1998)
(Sun & Chen,
Organosolv
pretreatment by crude
glycerol from
oleochemicals industry

- Sulfur dioksida

for enzymatic
hydrolysis of wheat

Agen Oksidasi:
- Hidrogen peroksida
- oksidasi basah

straw, 2008)
(Sun & Chen,
Enhanced
enzymatic hydrolysis

27

- Ozone

of wheat straw by
aqueous glycerol

Pelarut untuk ekstraksi

pretreatment, 2008)

lignin:
(Sun & Cheng, 2005)
- ekstrasi ethanol-air
(Zhang, et al., 2008)
- ekstrasi benzene-air
(Kim & Lee, 2002)
- ekstraksi etilen glikol

(Zhao, Zhang, & Liu,


2008)

- ekstraksi butanol-air

(Lloyd & Wayman,

- agen pemekar

2005)

(swelling)

(Ahring, Jensen,
Nielsen,
Bjerre, & Schmidt,
1996)
(Silverstein, Chen,
Sharma-Shivappa,
Boyette, & Osborne,
2007)

Biologi

- Fungi Pelapuk Putih delignifikasi


- Aktinomicetes

(Taniguchi, Suzuki,
Watanabe, Sakai,
Hoshino, & Tanaka,

2005)

penurunan derajat
polerisasi

(Shi, Chinn, &

selulosa

Sharma-Shivappa,
2008)

28
penurunan derajat
kristalisasi

(Keller, Hamilton, &

selulosa

Nguyen, 2003)
(Kirk & Chang,
Potential application of
bio-ligninolytic
System, 1981)

http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassalignoselulosa-pretreatment/
2. Hidrolisis Asam
Hidrolisis meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa lignoselulosa,
yaitu: selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula penyusunnya. Hidrolisis
sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan
beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6). Hidrolisis dapat dilakukan
secara kimia (asam) atau enzimatik.
Di dalam metode hidrolisis asam, biomassa lignoselulosa dikontakkan dengan asam
pada suhu dan tekanan tertentu selama waktu tertentu, dan menghasilkan monomer
gula dari polimer selulosa dan hemiselulosa. Beberapa asam yang umum digunakan
untuk hidrolisis asam antara lain adalah asam sulfat (H2SO4), asam perklorat, dan
HCl. Asam sulfat merupakan asam yang paling banyak diteliti dan dimanfaatkan
untuk hidrolisis asam. Hidrolisis asam dapat dikelompokkan menjadi: hidrolisis asam
pekat dan hidrolisis asam encer (Taherzadeh & Karimi, 2007).
Hidrolisis asam pekat merupakan teknik yang sudah dikembangkan cukup lama.
Braconnot di tahun 1819 pertama menemukan bahwa selulosa bisa dikonversi
menjadi gula yang dapat difermentasi dengan menggunakan asam pekat (Sherrad and
Kressman 1945 in (Taherzadeh & Karimi, 2007). Hidrolisis asam pekat menghasilkan
gula yang tinggi (90% dari hasil teoritik) dibandingkan dengan hidrolisis asam encer,
dan dengan demikian akan menghasilkan ethanol yang lebih tinggi (Hamelinck,

29
Hooijdonk, & Faaij, 2005). Hidrolisis asam encer dapat dilakukan pada suhu rendah.
Namun demikian, konsentrasi asam yang digunakan sangat tinggi (30 70%). Proses
ini juga sangat korosif karena adanya pengenceran dan pemanasan asam. Proses ini
membutuhkan peralatan yang metal yang mahal atau dibuat secara khusus. Rekaveri
asam juga membutuhkan energi yang besar. Di sisi lain, jika menggunakan asam
sulfat, dibutuhkan proses netralisasi yang menghasilkan limbah gypsum/kapur yang
sangat banyak. Dampak lingkungan yang kurang baik dari proses ini membatasi
penggunaan asam perklorat dalam proses ini. Hidrolisis asam pekat juga
membutuhkan biaya investasi dan pemeliharaan yang tinggi, hal ini mengurangi
ketertarikan untuk komersialisasi proses ini (Taherzadeh & Karimi, 2007).
Hidrolisis asam encer juga dikenal dengan hidrolisis asam dua tahap (two stage acid
hydrolysis) dan merupakan metode hidrolisis yang banyak dikembangkan dan diteliti
saat ini. Hidrolisis asam encer pertama kali dipatenkan oleh H.K. Moore pada tahun
1919. Potongan (chip) kayu dimasukkan ke dalam tangki kemudian diberi uap panas
pada suhu 300oF selama satu jam. Selanjutnya dihidrolisis dengan menggunakan asam
fosfat. Hidrolisis dilakukan dalam dua tahap. Hidrolisat yang dihasilkan kemudian
difermentasi untuk menghasilkan ethanol. Hidrolisis selulosa dengan menggunakan
asam telah dikomersialkan pertama kali pada tahun 1898 (Hamelinck, Hooijdonk, &
Faaij, 2005). Tahap pertama dilakukan dalam kondisi yang lebih lunak dan akan
menghidrolisis hemiselulosa (misal 0.7% asam sulfat, 190oC). Tahap kedua dilakukan
pada suhu yang lebih tinggi, tetapi dengan konsentrasi asam yang lebih rendah untuk
menghidrolisis selulosa (215oC, 0.4% asam sulfat) (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij,
2005).
Kelemahan dari hidrolisis asam encer adalah degradasi gula hasil di dalam reaksi
hidrolisis dan pembentukan produk samping yang tidak diinginkan. Degradasi gula
dan produk samping ini tidak hanya akan mengurangi hasil panen gula, tetapi produk
samping juga dapat menghambat pembentukan ethanol pada tahap fermentasi
selanjutnya (Gambar 3). Beberapa senyawa inhibitor yang dapat terbentuk selama
proses hidrolisis asam encer adalah furfural, 5-hydroxymethylfurfural (HMF), asam
levulinik (levulinic acid), asam asetat (acetic acid), asam format (formic acid), asam
uronat (uronic acid), asam 4-hydroxybenzoic, asam vanilik (vanilic acid), vanillin,
phenol, cinnamaldehyde, formaldehida (formaldehyde), dan beberapa senyawa lain
(Taherzadeh & Karimi, 2007).

30
http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassalignoselulosa-hidrolisis/
3. Hidrolisis Enzimatis
Selama Perang Dunia ke II ditemukan fungi yang menghancurkan baju dan tenda.
Fungi tersebut adalah Trichoderma reseii yang menghasilkan enzim selulase dan dapat
menghidrolisis selulosa (Hamelinck, Hooijdonk, & Faaij, 2005). Aplikasi hidrolisis
menggunakan enzim secara sederhana dilakukan dengan menganti tahap hidrolisis
asam dengan tahap hidrolisis enzim selulosa. Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa
keuntungan dibandingkan hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula
hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi
memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena
tidak ada bahan yang korosif (Taherzadeh & Karimi, 2007) (Hamelinck, Hooijdonk,
& Faaij, 2005). Beberapa kelemahan dari hidrolisis enzimatis antara lain adalah
membutuhkan waktu yang lebih lama, dan kerja enzim dihambat oleh produk. Di sisi
lain harga enzim saat ini lebih mahal daripada asam sulfat, namun demikian
pengembangan terus dilakukan untuk menurunkan biaya dan meningkatkan efisiensi
hidrolisis maupun fermentasi (Sanchez & Cardona, 2007).
Struktur lignoselulosa membentuk penghambat alami terhadap degradasi oleh
mikroba maupun oleh enzim. Penurunan kecepatan reaksi ditemukan pada hidrolisis
enzimatis selulosa murni. Beberapa penyebab dari penurunan kecepatan reaksi ini
antara lain adalah: penghambatan balik oleh produk, deplesi oleh bagian yang mudah
terdegradasi (kemungkinan deplesi oleh bagian amorphous selulosa), inaktivasi
enzim, dan ikatan atau penjerapan tidak produktif selulase di dalam pori-pori selulosa.
Secara umum penghambatan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu:
pertama terkait dengan struktur lignoselulosa, dan kedua terkait dengan mekanisme
dan interaksi enzim (Palonen, 2004) (Zhu, ODwyer, Chang, Granda, & Holtzapple,
2008).
Beberapa karakteristik fisik struktural lignoselulosa yang menghambat hidrolisis
enzimatis antara lain: kristalinitas (crystalinity), derajat polimerasi, susunan struktur
selulosa (I, II, III, V, atau X), ukuran dan distribusi pori-pori, luas permukaan kontak,
derajat pemekaran (swelling), dan komposisi structural (kandungan dan distribusi

31
lignin) (Palonen, 2004). Peningkatan dan penurunan hasil hidrolisis diketahui
berkaitan dengan peningkatan kristalinitas dari berbagai substrat lignoselulosa yang
berbeda (Sasaki et al., 1979). Studi terbaru oleh (Zhu, ODwyer, Chang, Granda, &
Holtzapple, 2008) menemukan bahwa kristalinitas dan kandungan lignin paling
berpengaruh terhadap kemudahan lignin dihirolisis. Namun diketahui pula bahwa jika
kristalinitas rendah, kandungan lignin tidak terlalu berpengaruh.
Kemudahan diakses (accessibility) substrat lignoselulosa memainkan peranan penting
pada peningkatan hidrolisis enzimatik. Selulosa memiliki permukaan eksternal
(bentuk dan ukuran partikel) dan internal (struktur kapiler serat). Grethelin (1985)
menunjukkan bahwa penghilangan hemiselulosa menghasilkan peningkatan volume
pori-pori yang dapat diakses dan area permukaan spesifik. Ukuran pori-pori juga
diketahui berkaitan dengan derajat pemekaran (degree of swelling) (Stone and Scalla,
1969 di dalam (Palonen, 2004)). Beberapa studi juga menemukan bahwa pengeringan
bahan lignoselulosa berakibat dari hilangnya kapilaritas dinding sel dan berkurangnya
ukuran pori-pori menurunkan efektivitas hidrolisis enzimatis (Esteghlalian et al.,
2001).
Beberapa literatur menyebutkan bahwa kandungan dan distribusi lignin berpengaruh
pada hidrolisis enzimatis. Konversi enzimatik yang tinggi dari selulosa ditemukan
pada kayu lunak (Douglas fir) yang telah didelignifikasi, seperti craft pulp
(kandungan lignin 4%) atau mechanical pulp (kandungan lignin 8%) (Mooney et al.,
1998). Delignifikasi kayu Douglas fir (telah diperlakukan dengan uap panas (steamexplosion)) dengan peroksida alkali panas dapat meningkatkan hasil hidrolisis di
mana kandungan lignin tinggal 8.2%). Selain itu rekoveri enzim setelah hidrolisis
enzimatis juga meningkat (Lu et al., 2002). Di sisi lain, penghilangan sebagian lignin
(kandungan akhir lignin 32-36%) dari kayu lunak (telah diperlakukan dengan uap
panas) dengan perlakuan NaOH menurunkan hasil hidrolisis (Wong et al., 1988;
Schell et al., 1998). Hasil yang sama juga diperoleh dari penghilangan lignin dengan
proses delignifikasi oksigen menggunakan NaOH dimana kecepatan dan hasil
hidrolisis menurun. Namun pada kasus kraft pulp dari kayu lunak, peningkatan hasil
hidrolisis berkorelasi dengan peningkatan derajat delignifikasi (Draude et al., 2001).
Dengan demikian, penghilangan lignin sebagian terlihat membuat kayu (yang telah
diperlakukan dengan uap) menjadi lebih sulit untuk dihidrolisis. Salah satu penjelasan

32
dari fonomena adalah terjadi redeposisi dari lignin yang tidak terekstrak ke pori-pori
dan permukaan selulosa (Wong et al., 1998).
http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassalignoselulosa-hidrolisis-enzimatis/
Hidrolisis enzimatik memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan hidrolisis
asam, seperti diperlihatkan dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2. Perbandingan antara hidrolisis asam dan hidrolisis enzimatik (Taherzadeh &
Karimi, 2006)
Variabel Pembanding
Kondisi hidrolisis yang lunak (mild)
Hasil hidrolisis tinggi
Penghambatan produk selama hidrolisis
Pembentukan produk samping yang
menghambat
Katalis yang murah
Waktu hidrpolisis yang murah

Tidak
Tidak
Tidak

Hidrolisis
Enzimatik
Ya
Ya
Ya

Ya

Tidak

Ya
Ya

Tidak
Tidak

Hidrolisis Asam

4. Fermentasi
Beberapa spesies mikroba dari kelompok yeast/khamir, bakteri dan fungi dapat
memfermentasi karbohidrat menjadi ethanol dalam kondisi bebas oksigen (Lynd,
1996). Mikroba melakukan fermentasi tersebut untuk mendapatkan energi dan untuk
tumbuh. Berdasarkan reaksi kimia fermentasi, hasil maksimum teoritis dari setiap kg
gula adalah 0.51 kg ethanol dan 0.49 kg CO2:
3C5H10O5 > 5C2H5OH + 5CO2 (1)
C6H12O6 > 2C2H5OH + 2CO2 (2)
Mikroba yang sangat umum dimanfaatkan dalam proses fermentasi adalah ragi roti
(Saccharomyces cereviseae) dan Zymomonas mobilis. Saccharomyces cereviseae
memiliki banyak keunggulan antara lain adalah mampu memproduksi ethanol dari
gula C6 (heksosa), toleran terhadap konsentrasi ethanol yang tinggi dan toleran
terhadap senyawa inhibitor yang terdapat di dalam hidrolisat biomassa lignoselulosa
(Olsson and Hahn-Hgerdal 1993; Hahn-Hgerdal et al. 2001). Namun demikian,

33
strain liar dari S. cerevieae tidak dapat memfermentasi gula C5 (pentose) seperti:
xylosa, arabinosa, celloligosaccharides, menjadi salah satu kendala pemanfaatannya.
Beberapa yeast diketahui dapat memfermentasi xylosa seperti: Pichia stipitis
(Verduyn et al. 1985) (Delgenes, Moletta, & Navarro, 1996), Candida shehatae (Ho et
al. 1990) (Sreenath & Jeffries, 2000), dan Candida parapsilosis (Lee et al. 2003),
Kluyveromyces marxianus (Margaritis & Bajpai, 1982),dapat memetabolisme xylosa
melalui kerja xylose reductase (XR) untuk merubah xylosa menjadi xylitol, dan xylitol
dehydrogenase (XDH) untuk merubah xylitol menjadi xylulose. Beberapa bakteri
seperti : Klebsiella planticola (Rossi, et al., 1995), Thermoanaerobacter mathranii
(Ahring, Licht, Schmidt, Sommer, & Thomsen, 1999), dilaporkan dapat
memfermentasi xylosa dan glukosa menjadi ethanol. Beberapa upaya rekayasa
genetika juga telah dilakukan untuk membuat S. cereviseae yang dapat
memfermentasi xylosa dan glukosa (Meinander, Boels, & Hahn-Haigerdal, 1999)
(Helle, Murray, Lam, Cameron, & B., 2004) (Davis, Jeon, Svenson, Rogers, Pearce,
& Peiris, 2005) (Govindaswamy & Vane, 2007). Beberapa fungi juga dilaporkan
dapat memfermentasi xylosa menjadi ethanol, yaitu: Mucor indicus dan Rhizopus
orizae (Millati, Edebo, & Mohammad J.Taherzadeh, Performance of Rhizopus,
Rhizomucor, and Mucor in ethanol production from glucose, xylose, and wood
hydrolyzates, 2005).
http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassalignoselulosa-fermentasi/
5. Purifikasi
Produk hasil fermentasi dikenal dengan istilah bir (beer) yang merupakan campuran
antara ethanol, biomassa sel, dan air. Di dalam tahapan ini, konsentrasi ethanol dari
biomassa lignoselulosa lebih rendah ( 5%) daripada ethanol yang berasal dari
jagung. Konsentrasi ethanol yang dapat ditolelir oleh mikroba adalah kurang lebih
10% pada suhu 30oC, tetapi akan menurun dengan naiknya temperature (Hamelinck,
Hooijdonk, & Faaij, 2005). Produk dari tahapan fermentasi berbentuk seperti bubur
(slurries) dan sulit untuk ditangani, dimana kandungan padatannya sekitar 15%, dan
juga terkait dengan kandungan ethanol yang kurang dari 5%.

34
Tahapan pertama untuk purifikasi (pemurnian) ethanol adalah distilasi bir. Distilasi
dapat dilakukan beberapa tahap sampai kadar ethanol dibawah azeotrope (95%).
Penghilangan sisa air (dehidrasi) dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan
menambahkan kapur tohor (CaO) dimana air akan bereaksi dengan kapur membentuk
Ca(OH)2. Dehidrasi juga bisa menggunakan zeolit sintetik yang dapat menyerap air
dari campuran ethanol-air 95%. Sebanyak kurang lebih 99.9% ethanol dapat
diperoleh dari daur ulang (recycling) antara distilasi dan dehidrasi.
http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassalignoselulosa-purifikasi/
DAFTAR PUSTAKA

http://milmi.staff.ugm.ac.id, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 10.30


WIB
http://id.wikipedia.org/wiki/Fermentasi, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009,
pukul 10.35 WIB
http://www.pertamina.com/index.php, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009,
pukul 11.10 WIB
http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009,
pukul 11.12 WIB
http://netsains.com/2008/03/menyulap-biomassa-menjadi-energi/, diakses pada hari
rabu 30 Desember 2009, pukul 11.15 WIB
http://eug3n14.wordpress.com/2009/06/29/teknologi-selulosic-etanol/, diakses pada
hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.20 WIB
http://www.bioethanol.yolasite.com/index/potensi-bioethanol-dari-biomassalignoselulosa, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.25 WIB
http://cupri.blogspot.com/2009/06/produksi-bioethanol-berbahan-baku.html, diakses
pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.30 WIB
http://isroi.wordpress.com/2008/11/21/produksi-bioethanol-berbahan-baku-biomassalignoselulosa/, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.35 WIB
http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/mkr/article/viewArticle/17282, diakses
pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.40 WIB
http://gayul.wordpress.com/2009/12/12/pengolahan-limbah-ternak-menjadi-biogas/,
diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.42 WIB

35
http://majarimagazine.com/2008/02/co-production-of-bioethanol-with-othersbiofuels/, diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 11.50 WIB
http://mendem.dagdigdug.com/2008/11/23/pemanfaatan-energi-biomassa-sebagaibiofuel-konsep-sinergi-dengan-ketahanan-pangan/, diakses pada hari rabu 30
Desember 2009, pukul 12.00 WIB
http://endarikmajati.blogspot.com/2009/01/energi-biomassa-kelompok-3.html,
diakses pada hari rabu 30 Desember 2009, pukul 12.05 WIB

Anda mungkin juga menyukai