Anda di halaman 1dari 16

USULAN PENELITIAN PROJECT BIOENERGI

PEMBUATAN BIOGAS MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PADA


DESA WANGUNSARI, KEC. LEMBANG, BANDUNG

Disusun Oleh :
Aditya Rio Nugroho (20170210080)
Jeviko Alif Sutambon (20170210086)
Rfiky Hermawan (20170210100)
Arya Eka Pranata (20170210110)
Gustav Ibrahim Adam (20170210115)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKUTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
PEMBUATAN BIOGAS MENGGUNAKAN KOTORAN SAPI PADA DESA
WANGUNSARI, KEC. LEMBANG, BANDUNG

Dengan ini menyatakan bahwa Proposal Project TFPB Fakultas Pertanian


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dengan judul “Pembuatan Biogas Menggunakan
Kotoran Sapi Pada Desa Wangunsari, Kec. Lembang, Bandung” yang disusun oleh :

Ketua : Gustav Ibrahim Adam

Anggota : 1. Aditya Rio Nugroho


2. Jeviko Alif Sutambon
3. Rifky Hermawan
4. Arya Eka Pranata

telah disetujui dan disahkan pada tanggal 19 April 2019

Yogyakarta, 19 April 2019


Menyetujui,
Dosen Mata Kuliah Bioenergi

(Ir. Tony Khristanto Hariadi, MT)


I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Daerah Lembang terletak di sebelah utara Kota Bandung dan terkenal sebagai
daerah wisata dengan udaranya yang sejuk. Salah satu desa di Kecamatan Lembang
adalah Desa Wangunsari yang mata pencaharian utama penduduknya adalah bertani dan
beternak. Saat ini terdapat lebih dari 100 orang peternak yang mepunyai lebih dari 400
ekor sapi dan 100 domba. Selain susu, kegiatan peternakan tersebut juga menghasilkan
kotoran ternak yang sebenarnya cukup potensial bila dapat dimanfaatkan secara optimal.
Menurut Ketua Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Desa Wangunsari Bapak
Agus R. Subandi S.Pd., selama ini kotoran sapi sebagian (50%) sudah dimanfaatkan,
tetapi sisanya dibuang sehingga menimbulkan bau, mencemari saluran air dan sungai.
Kotoran ternak terutama sapi berpotensi untuk diolah menjadi biogas, listrik, batu bata
dan lain sebagainya.
Kebanyakan peternak di Desa Wangunsari memanfaatkan kotoran sapi sebagai
pupuk kandang dengan cara dikeringkan kemudian dicampur dengan gabah. Pemanfaatan
kotoran sapi menjadi biogas masih sangat kecil, hanya ada 5 dari 104 peternak (<5%)
yang sudah memanfaatkannya menjadi biogas. Biogas yang dihasilkan dapat digunakan
sebagai bahan bakar pengganti gas elpiji (LPG) untuk kebutuhan memasak sehari-hari
dan residunya digunakan sebagai pupuk untuk pertanian. Pupuk organik hasil residu
pengolahan biogas memiliki kualitas yang lebih baik dari pada pupuk kandang dari
campuran kotoran sapi dan gabah (Pratava. 2010).
Meningkatnya peternak sapi di Kecamatan Lembang akan meningkatkan
produksi limbah peternakan yang dapat mencemari lingkungan. Kotoran ternak sapi dapat
dimanfaatkan menjadi pupuk organik dan biogas. Dimana 1 ekor sapi dewasa dalam
periode laktasi mampu menghasilkan kotoran padat sebanyak 36.77 kg/hari, Jika
diasumsikan dengan populasi sapi sebanyak 400 ekor, maka jumlah produksi kotoran
yang dihasilkan sebanyak 176.496 ton/tahun. Jumlah tersebut merupakan potensi kotoran
padat sapi di Kecamatan Lembang dalam 1 tahun. maka tidak salah kotoran sapi
dijadikan sebagai energi alternative.
Biogas dibentuk dari hasil fermentasi anaerobik yang merupakan proses
perombakan suatu bahan menjadi bahan lain yang lebih sederhana dengan bantuan
mikroorganisme tertentu dalam keadaan tidak berhubungan langsung dengan udara
bebas. Menurut Buren (1979) biogas dapat dibuat dari bahan-bahan antara lain kotoran
hewan dan manusia, limbah pertanian, sampah kota, limbah industri pertanian dan bahan-
bahan lain yang memiliki kandungan bahan organik. Biogas merupakan campuran dari
metana, karbondioksida, sedikit gas hidrogen, hidrogen sulfida dan atau nitrogen.
Menurut Price dan Paul (1981) gas metana atau CH4 yang terkandung dalam biogas
besarnya 60 sampai dengan 70 %, sedang sisanya berupa gas CO2, H2S, gas nitrogen dan
hidrogen.
Menurut penelitian Rany Puspita Dewi (2018). Pemanfaatan kotoran sapi sebagai
bahan utama dalam pembuatan biogas sangat berpotensi baik untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat. Dari 142.127 ekor ternak menghasilkan produksi gas sebesar 86.690
m3. Nilai produksi biogas yang dihasilkan setara dengan 43.345 kg gas LPG atau 14.448
tabung LPG 3 kg yang dapat memenuhi kebutuhan memasak bagi sekitar 278 rumah
tangga selama 1 tahun.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah cara pembuatan energi alternatif dari kotoran sapi menjadi biogas
di Desa Wangunsari, Kec. Lembang, Bandung?

C. Tujuan
Menjadikan kotoran sapi sebagai energi alternatif dengan memanfaatkannya
menjadi biogas di Desa Wangunsari, Kec. Lembang, Bandung
I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kotoran Sapi Sebagai Sumber Energi


Kotoran sapi merupakan bahan baku potensial dalam pembuatan biogas karena
mengandung pati dan lignoselulosa (Deublein et al., 2008). Biasanya, kotoran sapi
dimanfaatkan sebagai pupuk dan sisanya digunakan untuk memproduksi gas metana
menggunakan proses anaerob. Kotoran sapi adalah biomassa yang mengandung
karbohidrat, protein, dan lemak. Menurut Drapcho et al. (2008) berpendapat bahwa
biomassa yang mengandung karbohidrat tinggi akan menghasilkan gas metana yang
rendah dan CO2 yang tinggi, jika dibandingkan dengan biomassa yang mengandung
protein dan lemak dalam jumlah yang tinggi. Secara teori, produksi metana yang
dihasilkan dari karbohidrat, protein, dan lemak berturut-turut adalah 0,37 ; 1,0 ; 0,58 m3
CH4 per kg bahan kering organik. Kotoran sapi mengandung ketiga unsur bahan organik
tersebut sehingga dinilai lebih efektif untuk dikonversi menjadi gas metana (Drapcho et
al., 2008).
Satu ekor sapi dewasa dapat menghasilkan 23,59 kg kotoran tiap harinya. Pupuk
organik yang berasal dari kotoran ternak dapat menghasilkan beberapa unsur hara yang
sangat dibutuhkan tanaman, seperti terlihat pada Tabel 1. Disamping menghasilkan unsur
hara makro, pupuk kandang juga menghasilkan sejumlah unsur hara mikro, seperti Fe,
Zn, Bo, Mn, Cu, dan Mo. Jadi dapat dikatakan bahwa, pupuk kandang ini dapat dianggap
sebagai pupuk alternatif untuk mempertahankan produksi tanaman. Salah satu cara
menentukan bahan organik yang sesuai untuk menjadi bahan masukan sistem biogas
adalah dengan mengetahui perbandingan karbon 10 (C) dan nitrogen (N) atau disebut
rasio C/N. Beberapa percobaan yang telah dilakukan oleh ISAT menunjukkan bahwa
aktivitas metabolisme dari bakteri metanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar
8-20

B. Parameter yang Mempengaruhi Proses Produksi Biogas


Laju proses pembuatan biogas sangat ditentukan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi mikroorganisme, diantaranya ialah temperatur, pH, ketersediaan unsur
hara, rasio carbon nitrogen dan Kandungan Padatan dan Pencampuran Substrat Berikut
ini adalah pembahasan tentang faktor-faktor tersebut :

1. Temperatur

Gas metana dapat diproduksi pada tiga range temperatur sesuai dengan bakteri
yang hadir. Bakteri psyhrophilic 0 – 7°C, bakteri mesophilic pada temperatur 13 – 40°C,
sedangkan thermophilic pada temperatur 55 – 60°C. Temperatur yang optimal untuk
digester adalah temperatur 30 – 35°C, kisaran temperatur ini mengkombinasikan kondisi
terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi metana di dalam digester dengan lama
proses yang pendek. Temperatur yang tinggi/range thermophilic jarang digunakan karena
sebagian besar bahan sudah dicerna dengan baik pada range temperatur mesophilic,
Bakteri mesophilic adalah bakteri yang mudah dipertahankan pada kondisi buffer yang
mantap (well buffered) dan dapat tetap aktif pada perubahan temperatur yang kecil,
khususnya bila perubahan berjalan perlahan.

2. Derajat keasaman (pH)

Pada dekomposisi anaerob, faktor pH sangat berperan karena pada rentang pH


yang tidak sesuai, mikroba tidak dapat tumbuh dengan maksimum. Bahkan dapat
menyebabkan kematian yang pada akhirnya dapat menghambat perolehan gas metana.
Bakteri-bakteri anaerob membutuhkan pH optimal antara 6,2 – 7,6, tetapi pH yang
terbaik adalah 6,6 – 7,5. Pada awalnya media mempunyai pH ± 6 selanjutnya naik
sampai 7,5. Bila pH lebih kecil atau lebih besar maka akan mempunyai sifat toksik
terhadap bakteri metanogenik. Bila proses anaerob sudsah berjalan menuju pembentukan
biogas, pH berkisar 7-7,8. Pengontrolan pH secara alamiah dilakukan oleh ion NH4 + dan
HCO3 - . Ion-ion ini akan menentukan besarnya pH (Yunus, 1991).

3. Ketersediaan Unsur Hara

bakteri anaerobik membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi yang mengandung


nitrogen, fosfor, magnesium, sodium, mangan, kalsium dan kobalt (Space and McCarthy
didalam Gunerson and Stuckey, 1986). Level nutrisi harus sekurangnya lebih dari
konsentrasi optimum yang dibutuhkan oleh bakteri metanogenik, karena apabila terjadi
kekurangan nutrisi akan menjadi penghambat bagi pertumbuhan bakteri. Penambahan
nutrisi dengan bahan yang sederhana seperti glukosa, buangan industri, dan sisa sisa
tanaman terkadang diberikan dengan tujuan menambah pertumbuhan di dalam digester
(Gunerson and Stuckey, 1986).

4. Rasio Carbon Nitrogen (C/N)

proses anaerobik akan optimal bila diberikan bahan makanan yang mengandung
karbon dan nitrogen secara bersamaan. CN ratio menunjukkan perbandingan jumlah dari
kedua elemen tersebut. Pada bahan yang memiliki jumlah karbon 15 kali dari jumlah
nitrogen akan memiliki C/N ratio 15 berbanding 1. C/N ratio dengan nilai 30 (C/N = 30/1
atau karbon 30 kali dari jumlah nitrogen) akan menciptakan proses pencernaan pada
tingkat yang optimum, bila kondisi yang lain juga mendukung. Bila terlalu banyak
karbon, nitrogen akan habis terlebih dahulu. Hal ini akan menyebabkan proses berjalan
dengan lambat. Bila nitrogen terlalu banyak (C/N ratio rendah; misalnya 30/15), maka
karbon habis lebih dulu dan proses fermentasi berhenti.

5.  Kandungan Padatan dan Pencampuran Substrat

mobilitas bakteri metanogen di dalam bahan secara berangsur – angsur dihalangi


oleh peningkatan kandungan padatan yang berakibat terhambatnya pembentukan biogas.
Selain itu yang terpenting untuk proses fermentasi yang baik diperlukan pencampuran
bahan yang baik akan menjamin proses fermentasi yang stabil di dalam pencerna. Hal
yang paling penting dalam pencampuran bahan adalah menghilangkan unsur – unsur hasil
metabolisme berupa gas (metabolites) yang dihasilkan oleh bakteri metanogen,
mencampurkan bahan segar dengan populasi bakteri agar proses fermentasi merata,
menyeragamkan temperatur di seluruh bagian pencerna, menyeragamkan kerapatan
sebaran populasi bakteri, dan mencegah ruang kosong pada campuran bahan.

C. Proses Pembentukan Biogas


Proses pembentukan biogas dilakukan secara anaerob, bakteri merombak bahan
organik yang terdapat pada kotoran sapi yang telah dijelaskan diatas menjadi biogas dan
pupuk organik, proses pelapukan bahan organik ini dilakukan oleh mikroorganisme
dalam proses fermentasi anaerob. Proses pembentukan biogas ini memerlukan instalasi
khusus yang disebut dengan digester atau bioreaktor anaerobik. Barnett et al. menyatakan
bahwa terdapat tiga keuntungan dari instalasi penghasil biogas yaitu:
1. Penggunaan bahan bakar yang lebih efisien.
2. Menambah nilai pupuk.
3. Menyehatkan lingkungan.
Proses perombakan bahan organik pada kotoran sapi secara anaerob yang terjadi
di dalam digester terdiri dari 4 tahap proses yaitu hidrolisis, fermentasi (asidogenesis),
asetogenesis, dan metanogenesis. Pembentukan Biogas melalui tiga tahap proses yaitu:

1. Hidrolisis/Tahap Pelarutan
Pada tahap ini terjadi penguraian bahan – bahan organik mudah larut yang
terdapat pada kotoran sapi dan pemecahan bahan organik yang kompleks menjadi
sederhana dengan bantuan air (perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk
monomer yang larut dalam air). Senyawa kompleks ini, antara lain protein, karbohidrat,
dan lemak, dimana dengan bantuan eksoenzim dari bakteri anaerob, senyawa ini akan
diubah menjadi monomer (Deublein et al., 2008).
Protein = asam amino, dipecah oleh enzim protease
Selulosa = glukosa, dipecah oleh enzim selulase
Lemak = asam lemak rantai panjang, dipecah oleh enzim lipase

2. Pengasaman/Asetogenesis
Pada tahap pengasaman, komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk
pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk
akhir dari perombakan gula – gula sederhana tadi yaitu asam asetat, propionate, format,
laktat, alkohol dan sedikit butirat, gas karbondioksida, hidrogen dan ammonia. Monomer
yang dihasilkan dari tahap hidrolisis akan didegradasi pada tahap ini. Pembentukan
asamasam organik tersebut terjadi dengan bantuan bakteri, seperti Pseudomonas,
Eschericia, Flavobacterium, dan Alcaligenes (Hambali et al., 2007).
Asam organik rantai pendek yang dihasilkan dari tahap fermentasi dan asam
lemak yang berasal dari hidrolisis lemak akan difermentasi menjadi asam asetat, H2, dan
CO2 oleh bakteri asetogenik (Drapcho et al., 2008). Pada fase ini, mikroorganisme
homoasetogenik akan mengurangi H2 dan CO2 untuk diubah menjadi asam asetat
(Deublein et al., 2008). Tahap asetogenesis berlangsung pada temperatur 25°C didalam
digester (Price dan Cheremisinoff, 1981).

3. Metanogenesis
Pada tahap metanogenesis, terjadi pembentukan gas metan. Bakteri pereduksi
sulfat juga terdapat dalam proses ini yang akan mereduksi sulfat dan komponen sulfur
lainnya menjadi hidrogen sulfida. Bakteri yang berperan dalam proses ini, antara lain
Methanococcus, Methanobacillus, Methanobacterium. Terbentuknya gas metana terjadi
karena adanya reaksi dekarboksilasi asetat dan reduksi CO2.
Pada tahap ini, bakteri metana membentuk gas metana secara perlahan secara
anaerob. Proses ini berlangsung selama 14 hari dengan suhu 25ºC di dalam digester dan
proses ini akan dihasilkan 70% CH4, 30 % CO2, sedikit H2 dan H2S (Price dan
Cheremisinoff, 1981).

D. Karakteristik Bahan Baku


Bahan baku yang digunakan dalam produksi biogas adalah kotoran sapi, kotoran
sapi merupakan salah satu dari bentuk limbah pertanian. Sisa atau buangan senyawa
organik yang berasal dari tanaman ataupun hewan secara alami akan berurai baik akibat
pengaruh lingkungan fisik seperti panas matahari, lingkungan kimia seperti karena
pengaruh senyawa lain atau yang paling umum adalah karena adanya jasad renik yang
disebut mikroba, baik bakteri maupun jamur. Akibat penguraian bahan organik yang
dilakukan jasad renik tersebut, maka akan terbentuk zat atau senyawa yang lebih
sederhana, dan salah satu diantaranya berbentuk CH4 atau gas methan (Nurhasanah et al.,
2006). Kotoran sapi segar mengandung banyak bakteri pembentuk asam dan metana, hal
inilah yang menjadi dasar kenapa kotoran sapi banyak digunakan sebagai bahan
fermentasi anaerobik.
Aktifitas normal dari mikroba yang membentuk gas methan membutuhkan sekitar
80% air dan 20% kandungan kering dari bahan baku fermentasi. Untuk mendapatkan
kandungan kering sebanyak jumlah tersebut maka, bahan baku terlebih dahulu harus
diencerkan dengan air dengan perbandingan 1:2 dan setelah itu dimasukan ke dalam
digester atau bioreaktor. Hal ini juga untuk memudahkan pengaliran slurry ke dalam
bioreaktor serta menghindari terbentuknya sedimentasi yang akan menyulitkan
pengaliran selanjutnya karena salurannya yang tersumbat (Paimin, 1999).
Bakteri yang terlibat dalam proses anaerobik membutuhkan beberapa elemen
penting sesuai dengan kebutuhan hidup mikroorganisme seperti sumber makanan dan
kondisi lingkungan yang optimum. Bakteri anaerob mengkonsumsi karbon sekitar 30 kali
lebih cepat dibanding nitrogen. Rasio optimum untuk reaktor anaerobik berkisar 20 – 30.
Jika C/N bahan terlalu tinggi, maka nitrogen akan dikonsumsi dengan cepat oleh bakteri
metanogen untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhannya dan hanya sedikit yang bereaksi
dengan karbon, akibatnya gas yang dihasilkan menjadi rendah. Sebaliknya jika C/N
bahan baku terlalu rendah, nitrogen akan dibebaskan dan berakumulasi dalam bentuk
ammonia (NH4) yang dapat menyebabkan peningkatan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5
akan mengakibatkan pengaruh yang negatif pada populasi bakteri metanogen, sehingga
akan mempengaruhi laju pembentukan biogas di dalam reaktor. Diketahui nilai rasion
C/N pada kotoran sapi adalah 24 (Waskito, 2004).
Menurut (Paimin, 1999), bakteri yang tinggal di sistem pencernaan
(gastrointestinal tract) dari herbivora, termasuk sapi di sini, umumnya merupakan
keluarga Escherichia coli, Lactobacillus johnson dan Lactobacillus casei. Dalam beberapa
kesempatan (Waskito, 2004). Meneliti populasi bakteri pemicu metanogenesis dari
biomassa di dalam reaktor biogas anaerob. Menurutnya, metanogenesis yang nanti
menjadi cikal bakal pembentukan metana dikatalisasi oleh kerjasama sintrofik antar
bakteri anaeob, bakteri asetogenik sintrofik, dan archaebacteria metanogenik. Walaupun
memiliki komposisi yang berbeda-beda, rata-rata kotoran memiliki koloni
Methanobacteriales, Methanomicrobiales, dan Methanosarcinales. Rata-rata bakteri
dipostulasikan bersifat hidrogenotrofik metanogen.

II. TATA CARA PENELITIAN

A. Bahan dan Alat


Bahan penelitian yang digunakan pada penelitin ini adalah kotoran sapi. Adapun
alat yang digunakan adalah cangkul, selang ember, sekop, kunci pas, kompor, drum,
gergaji, obeng palu, paku dan timbangan.

B. Tata Laksana Penelitian


a. Bak Fermentasi (Digester) sebanyak 1 drum besar. Bak ini terbuat dari 2 buah drum
dengan posisi direbahkan yang sisinya dilubangi dan kemudian disambung dengan
cara di las. Bak dilengkapi dengan pipa pemasukan isian (inlet) dan pipa pengeluaran
pembuangan (out let) yang dipasang dengan sudut kemiringan 450. Bak ini diisi
kotoran sapi sebanyak lebih kurang ¾ drum. Bak fermentasi ini merupakan bak
penghasil gas yang selanjutnya dihubungkan dengan plastik pengumpul gas.
2. Plastik Pengumpul Gas. Plastik ini dibuat terpisah dengan bak fermentasi dan
dihubungkan dengan selang dari bak fermentasi/penghasil gas disatu sisi dan
sisi lainnya ke kompor. Plastik ini digunakan untuk memudahkan pengamatan
apabila gas sudah terbentuk.
3. Ujicoba instalasi biogas: Uji coba dilakukan dengan cara membuka secara
perlahan-lahan kran gas dari digester. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ada gas
yang terbentuk, yang dicirikan adanya penggelembungan plastik dan bau gas seperti
bau khas kotoran sapi. Gas mulai terbentuk pada hari ke -15, dan maksimum
tercapai pada hari ke -20. Setelah gas keluar (hari ke -15) selanjutnya digester diisi
kembali dengan kotoran sapi segar sebanyak 1 arco ( 3-4 ember).
III. PERHITUNGAN

A. Modal

Nama Barang Jumlah Harga Satuan Harga Total


cangkul 3 70.000 210.000
Ember 3 20.000 60.000
selang 10 10.000 100.000
Drum besi 3 100.000 300.000
Kompor 1 150.000 150.000
Pipa paralon 1 150.000 150.000
Semen 2 65.000 130.000
Keran 4 8.000 32.000
Besi 4 250.000 1.000.000
Pasir 1 270.000 270.000
Lem pipa 2 40.000 80.000
Total 2.482.000

B. Model Keuangan dan Numerik

Suku Bunga = 5,4 % Projek Sapi


Investasi Rp 2.482.000
Cash flow 1 tahun Rp 2.000.000
Cash flow 2 tahun Rp 2.500.000
Cash flow 3 tahun Rp 3.000.000
Cash flow 4 tahun Rp 3.500.000
Cash flow 5 tahun Rp 4.000.000

C. Waktu Pengembalian (PP)


Cash flow
Rp 2.482.000 Rp 2.000.000 Rp 2.500.000 Rp 3.000.000 Rp 3.500.000 Rp 4.000.000
Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5
-Rp 2.482k -Rp 482k Rp 2.018k Rp 5.018k Rp 8.518k Rp 12.518k

Pendekatan yang digunakan :


Cash flow bulanan di tahun ke-2 = Rp 2.500.000/12 bulan = Rp 208.333/bulan
Jumlah pengembalian yang dibutuhkan di tahun ke-2 = Rp 482.000 (saldo penutup pada
tahun pertama)
482.000
Payback month = = 2,3 bulan
208.333/bulan
Jadi, Payback period jatuh pada satu tahun 2,3 bulan.
Pendekatan alternatif menghasilkan :
Jumlah pengembalian yang dibutuhkan di tahun ke-2 = Rp 2.500.000 (saldo penutup pada
tahun pertama)
Jadi, bulan pengembalian = Saldo penutup dari tahun sebelumya/Cash flow dari
pengembalian tahunan x 12 bulan
482.000
Jadi, bulan pengembalian = x 12 bulan = 2,3 bulan
2.500.000

D. Tingkat Pengembalian Internal (IRR)

Suku bunga = 40% Arus Kas DCF Doskon Arus Kas


Investasi -Rp 2.482.000 1,0000 -Rp 2.482.000
Chas flow 1 tahun Rp 2.000.000 0,7143 Rp 1.428.600
Chas flow 2 tahun Rp 2.500.000 0,5102 Rp 1.275.500
Chas flow 3 tahun Rp 3.000.000 0,3644 Rp 1.093.200
Chas flow 4 tahun Rp 3.500.000 0,2603 Rp 911.050
Chas flow 5 tahun Rp 4.000.000 0,1859 Rp 743.600
Nilai bersih Rp 2.969.950

Nilai NPV dari Rp 2.969.950 pada 40% dari 0. Di uji coba dengan nilai 80 % :
Suku bunga = 80% Arus Kas DCF Doskon Arus Kas
Investasi -Rp 2.482.000 1,0000 -Rp 2.482.000
Chas flow 1 tahun Rp 2.000.000 0,5556 Rp 1.111.200
Chas flow 2 tahun Rp 2.500.000 0,3086 Rp 771.500
Chas flow 3 tahun Rp 3.000.000 0,1715 Rp 514.500
Chas flow 4 tahun Rp 3.500.000 0,0953 Rp 333.550
Chas flow 5 tahun Rp 4.000.000 0,0529 Rp 211.600
Nilai bersih Rp. 460.350

Nilai NPV dari Rp 460.350 pada 80% dari 0. Di uji coba dengan nilai 60 % :
Suku bunga = 60% Arus Kas DCF Doskon Arus Kas
Investasi -Rp 2.482.000 1,0000 -Rp 2.482.000
Chas flow 1 tahun Rp 2.000.000 0,625 Rp 1.250.000
Chas flow 2 tahun Rp 2.500.000 0,3906 Rp 976.500
Chas flow 3 tahun Rp 3.000.000 0,2441 Rp 732.300
Chas flow 4 tahun Rp 3.500.000 0,1526 Rp 534.100
Chas flow 5 tahun Rp 4.000.000 0,0954 Rp 381.600
Nilai bersih Rp 1.392.500

Nilai NPV dari Rp 1.392.500 pada 60% dari 0. Di uji coba dengan nilai 65 % :
Suku bunga = 65% Arus Kas DCF Doskon Arus Kas
Investasi -Rp 2.482.000 1,0000 -Rp 2.482.000
Chas flow 1 tahun Rp 2.000.000 0,6061 Rp 1.212.200
Chas flow 2 tahun Rp 2.500.000 0,3673 Rp 918.250
Chas flow 3 tahun Rp 3.000.000 0,2226 Rp 667.800
Chas flow 4 tahun Rp 3.500.000 0,1349 Rp 472.150
Chas flow 5 tahun Rp 4.000.000 0,0818 Rp 327.200
Nilai bersih Rp 1.115.600
Nilai NPV dari Rp 1.115.600 pada 65% dari 0.

E. Nilai bersih (NPV)

DCF / factor diskon = 1 / (1+i)n


i untuk 7 tahun kedepan 15 %
Tahun Formula Hasil DFC
0 DCF = 1 / (1+0,15)0 1,0000
1 DCF = 1 / (1+0,15)1 0,8696
2 DCF = 1 / (1+0,15)2 0,7561
3 DCF = 1 / (1+0,15)3 0,6575
4 DCF = 1 / (1+0,15)4 0,5718
5 DCF = 1 / (1+0,15)5 0,4972

Suku bunga = 15% Arus Kas DCF Doskon Arus Kas


Investasi -Rp 2.482.000 1,0000 -Rp 2.482.000
Chas flow 1 tahun Rp 2.000.000 0,8696 Rp 1.739.200
Chas flow 2 tahun Rp 2.500.000 0,7561 Rp 1.890.250
Chas flow 3 tahun Rp 3.000.000 0,6575 Rp 1.972.500
Chas flow 4 tahun Rp 3.500.000 0,5718 Rp 2.001.300
Chas flow 5 tahun Rp 4.000.000 0,4972 Rp 1.988.800
Nilai bersih Rp 7.110.050

DAFTAR PUSTAKA

A.V. Buren. 1979. A Chinese Biogas Manual, Intermediate Technology Publications


Ltd.

BPTP Balitbangtan Sulawesi Selatan. 2018. Pemanfaatan Kotoran Sapi Sebagai Bahan
Biogas. Sulawesi Selatan.

Deublein, D. and Steinhauser, A. (2008). “Biogas from waste and renewable resources:
An introduction.” Wiley-V CH, Weinheim, Germany

Drapcho et al., 2008. In: Drapcho, C. M; Nhuan Ph Nghim; Walker T. (Eds), Biofuels
Engineering Process Technology, McGraw-Hill

Dewi, Rany Puspita, 2017, Perancangan Boiler Mini Berbahan Bakar Biogas
Dengan Berbagai Variasi Tekanan, Magelang; Fakultas Teknik
Universitas Tidar. Jurnal Teknik Energi, 13 (2): 40-43, dalam
http://jurnal.polines.-ac.id/jur-nal/index.php/eksergi/article/view/907, di
akses pada 13 April 2019

Hambali, et al. 2007. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel. Penebar Swadaya:
Jakarta.

Nurhasanah, A., T. W. Widodo, A. Asari, dan E. Rahmarestia. 2006. Perkembangan


Digester Biogas di Indonesia. Balai Besar Pengembangan mekanisasi
Pertanian. Serpong

Paimin F. B. dan Murhananto. 1999. Budidaya Pengolahan Perdagangan Jahe. Penebar


Swadaya. Jakarta

Pratava, A. 2010. Potensi Biogas Untuk Masyarakat Indonesia,


http://majalahenergi.com/forum/energibaru-dan-terbarukan di akses pada
tanggal 18 April 2019
Price, E.C and Cheremisinoff, P.N.1981. Biogas Production and Utilization.Ann Arbor
Science Publishers, Inc .United States of America.

Waskito, D. 2011. Analisis Pembangkit listrik tenaga biogas dengan Pemanfaatan


Kotoran Sapi Di Kawasan Usaha Peternakan Sapi.

Yunus, Hadi Sabari. 1991. Konsepsi Wilayah dan Prinsip Perwilayahan. Yogyakarta.
Hardana.

Anda mungkin juga menyukai