Anda di halaman 1dari 170

LAPORAN PRAKTIKUM

PENGELOLAAN TANAH MARGINAL

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA I
ANALISI KUALITAS TANAH LAHAN MARGINAL

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rendahnya produktivitas tanaman di tanah asam, disebabkan oleh beberapa faktor


antara lain pH rendah, adanya unsur-unsur Al, Fe, dan Mn yang bersifat toksis, dan
defisiensi unsur hara seperti N, P, Ca, dan Mg. Kondisi tersebut disebabkan oleh
rendahnya aktivitas mikrob dengan jumlah populasi mikrob di tanah masam berkisar
antara 29.4.101 14.8.104 cfu gr-1 tanah (Prihastuti 2012). Populasi mikrob pada lahan
yang subur lebih dari 106 cfu gr-1 tanah. Pengelolaan lahan masam lebih difokuskan
pada upaya pengelolaan fisik dan kimia seperti peningkatan pemupukan anorganik dan
pemberian kapur. Keadaan ini menunjukkan bahwa sudah saatnya upaya meningkatkan
kesuburan tanah masam dilakukan dengan penambahan mikrob. Salah satunya dapat
memanfaatkan pupuk hayati yang mengandung mikrob sebagai agen hayati.

Tanah masam mempunyai kendala fisik maupun kimia yang menghambat


pertumbuhan tanaman. Pemupukan dan pengapuran merupakan penanganan tanah
masam yang dapat menjadikan tanah produktif (Rochayati et al., 1986; Adimihardja et
al., 2006). Bahtiar (2008) menambahkan bahwa kapur yang merupakan kelompok
karbonat seperti kalsit (CaCO3) dan Dolomit (CaMg(CO3 )2) lazim digunakan dalam
upaya meningkatkan pH tanah karena akan terdisosiasi menjadi ion Ca2+, Mg 2+ dan
CO3 2- di dalam tanah.
B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini, antara lain :


Mengetahui kualitas tanah pada lahan marginal.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanah mineral masam umumnya memiliki pH yang sangat masam hingga agak masam,
yaitu pH < 5.5 ,miskin akan basa dapat ditukar, kompleks jerapan didominasi oleh
oksida dan hidroksida Al dan Fe, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa
(KB) lapisan atas tanah umumnya rendah sampai dengan sedang (Subagyo et al., 2000).
Kemasaman tanah mempengaruhi sifat kimia dan biologi tanah, termasuk ketersediaan
hara dan toksisitas logam, yang juga dapat mempengaruhi komunitas mikrob dalam
banyak hal (Sylvia et al., 2005).

Mikrob dan tanaman lebih sesuai pada kondisi pH tanah mendekati netral pada kisaran
pH 6 sampai 7, sehingga peningkatan kemasaman tanah sering disertai dengan
perubahan jenis mikrob dan aktivitasnya di tanah. Pada kondisi pH tanah < 5,5 akan
mengakibatkan keseimbangan antara bakteri dan jamur tanah dimana keadaaan lebih
didominasi fungi, hal ini karena banyak bakteri tanah tidak mentoleransi kondisi tanah
yang masam dengan baik. Menurut Kraal et al. (2009) bahwa kelarutan Al yang tinggi
dapat menekan respirasi tanah, nitrifikasi, dan keragaman dari mikrob tanah. Kondisi
pH yang rendah, konsentrasi logam yang tinggi dan bahan organik yang rendah
merupakan permasalahan utama pada tanah (Zanuzzi et al., 2009; Martinez Pagan et al.,
2011) dan dapat mempengaruhi biomassa mikrob melalui penghambatan aktivitas
mikrob (Utobo dan Tewari 2015).

Populasi mikrob dalam tanah dapat menjadi indikator untuk menentukan produktivitas
tanah (Sutedjo et al., 1991). Mikrob tanah memainkan peran penting dalam ekosistem
tanaman-tanah, di mana mikrob tanah bertindak sebagai jembatan untuk adaptasi
tanaman di tanah (Aroca dan Ruiz-Lozano 2009). Selain itu, mikrob tanah dapat
berkontribusi besar dalam meremediasi tanah yang terkontaminasi logam berat
(GarciaDelgado et al., 2015; Liu et al., 2015). Berbagai kelompok mikrob yang mampu
hidup pada kondisi ekstrim, baik pada pH rendah (asidofilik), pH tinggi (alkalofilik) dan
suhu tinggi (termofilik) dapat ditemukan di lingkungan ini. Mikroba ini tergolong unik
karena bakteri tersebut mempunyai kemampuan oksidasi atau reduksi terhadap logam
berat atau garamgaram logam seperti besi (Fe) dan sulfur (S), dan dapat hidup pada pH
yang rendah.
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop.

B. Prosedur Kerja

Amati lahan marginal di sekitar tempat tinggal saudara sesuai kriteria lahan marginal
diatas.
Lakukan pengamatan pada lahan marginal dan interview warga sekitar dengan list
berikut
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

Tanggal Pengamatan : Senin, 30 Agustus 2021


Lokasi Pengamatan (Alamat Lengkap) : Tambang Pasir Gandatapa, Sumbang, Kab.
Banyumas, Jawa Tengah
Titik Koordinat Lokasi Pengamatan : 109°15’34°E
Ketinggian tempat (mdpl) : 750 mdpl
Iklim : Golongan D (sedang)
Cuaca saat pengamatan : Cerah Berawan
Relief makro : Bergelombang
Relief mikro : Agak Berbukit
Lereng, arah : Selatan ke Utara
Lereng, panjang : 146 meter
Lereng , % : 28.5 % (Agak Curam)
Bahan induk : Batu pasir liat
Fisiografi : Perbukitan angkatan
Drainase permukaan : Sangat cepat
Permeabilitas : Cepat
Banjir : Tanpa
Erosi : Ringan
Keadaan batu : Cobbles (kerikil) dengan ukuran 0,5 – 2cm
Warna tanah : 2,5 YR 2,5/2 (very dusky red)
Tekstur tanah : SL (Lempung Berpasir)
Struktur tanah : 2 (cukup/ moderat), bila diremas pecah jadi agregat 2 yanglebih kecil
Konsistensi : a. Basah (B): kelekatan tanah (stickiness) = ss (slightly sticky/ agak lekat),
bila diremas, tanah tertinggal pada salah satu jari; plastisitas (plasticity )= p
(plastic/plastis), dapat dibuat gelintir tanah, masa tanah kurang tahan terhadap tekanan
b. Lembab (L): Gembur (frible), bila digenggam menggumpal, diremas bercerai dan bila
ditekan melekat. c. Kering: Lepas (loose), butir tanah lepas-lepas/ terpisah
Vegetasi : Rerumputan
Penggunaan lahan : Lahan Terbuka
Produksi : -
Pemupukan : Tidak pernah dipupuk
Pola pertanaman : Searah kontur
Pertumbuhan : Lambat
Kedalaman air tanah : 15 meter
Kedalam akar 60-250 cm : 100 cm
Horison : B2
Epipedon : Ochrik, warna terang (value dan kroma lembab > 3)
Sub surface : Albik, horison berwarna pucat (E) dengan value lembab > 5
Faktor pembatas : Lereng (agak curam)
pH tanah : 6
Kandungan bahan organik : 60% Kadar Bahan Organik = 100 x (a-b)/a = 100 x (5-2)/5
= 60%
Ciri khusus tanah : Berpori makro, tekstur pasir atau kerikil dan sedikit lengket,
kandungan unsur hara rendah, padat bila kering dan konsistensinya jelek. Secara visual,
berwarna coklat kemerahan.

B. Pembahasan

Lahan marginal yang diamati pada hari senin tanggal 30 Agustus 2021 di tambang
Gandatapa Kec.Sumbang Kab Banyumas merupakan lahan marginal yang bersifat
masam dengan ciri lahan berdebu, berkerikil, dan unsur hara yang rendah. Lahan
tersebut memiliki ketinggian 750 mdpl dan beriklim gol D. Saat pengambilan sample
cuaca dilokasi cerah berawan. Lahan tersebut memiliki relief makro bergelombang dan
relief mikro agak berbukit dan memiliki lereng agak curam dengan arah selatan ke utara
dan panjang 146 m, bahan induk tanah tersebut adalah batu pasir dengan fisiografi
perbukitan. Drainase permukaan lahan tersebut cepat, dan permeabilitas 4 sedang.
Lahan tersebut tidak terkena banjir selama 1 tahun kebelakang, dan erosinya ringan.
Warna tanah very dusky red dengan struktur tanah moderat, lahan tersebut memiliki
vegetasi berupa rumput dengan laju pertumbuhan yang lambat. Kedalaman air tanah
diperkirakan 15 m dengan kedalaman akar 100 cm. ph tanah 6,0 dengan kandungan
bahan organik sekitar 60%
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Lahan marginal yang diamati pada hari senin tanggal 30 Agustus 2021 di tambang
Gandatapa Kec.Sumbang Kab Banyumas merupakan lahan marginal yang bersifat
masam dengan ciri lahan berdebu, berkerikil, dan unsur hara yang rendah. Lahan
tersebut memiliki relief makro bergelombang dan relief mikro agak berbukit dan
memiliki lereng agak curam dengan arah selatan ke utara dan panjang 146 m, bahan
induk tanah tersebut adalah batu pasir dengan fisiografi perbukitan. Lahan tersebut tidak
terkena banjir selama 1 tahun kebelakang, dan erosinya ringan. Warna tanah very dusky
red dengan struktur tanah moderat, lahan tersebut memiliki vegetasi berupa rumput
dengan laju pertumbuhan yang lambat.

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar M. 2008. Pengaruh bahan organik dan kapur terhadap sifat-sifat kimia tanah
podsolik dari Jasinga [skripsi].Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Garcia-Delgado, C., Yunta, F., Eymar, E. 2015. 72 Jur. Agroekotek 13 (1) : 61 – 73, Juli
2021 Bioremediation of MultiPolluted Soil by Spent Mushroom (Agaricus
bisporus) substrate: Polycyclic Aromatic Hydrocarbons Degradation and Pb
Availability. Journal of Haza
Kraal, P., Nierop, K.G.J., Kaal, J., Tietema, A. 2009. Carbon Respiration and Nitrogen
Dynamics in Corsican Pine Litter Amended with Aluminium and Tannins. Soil
Biol Biochem. 4: 2318-2327.
Subagyo, H., Suharta, N., Siswanto, A.B. 2000. Tanah Tanah Pertanian di Indonesia.
Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. 21-65
Sutedjo, M.M., Kartasapoetra, A.G., Sastroatmodjo, S. 1991. Soil Microbiology. Jakarta
(ID): Rineka Cipta.
Sylvia, D.M., Fuhrmann, J.G., Hartel, P.G., Zuberer, D.A., eds. 2005. Principles and
Applications of Soil Microbiology (No. QR111 S674 2005). Upper Saddle River,
NJ, Pearson Prentice Hall
Utobo, E.B., Tewari, L. 2015. Soil Enzymes as Bioindicators of Soil Ecosystem Status.
Appl Ecol Environ Res. 13: 147- 399
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA II
PERBAIKAN KUALITAS TANAH LAHAN MARGINAL

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rendahnya produktivitas tanaman di tanah asam, disebabkan oleh beberapa faktor


antara lain pH rendah, adanya unsur-unsur Al, Fe, dan Mn yang bersifat toksis, dan
defisiensi unsur hara seperti N, P, Ca, dan Mg. Kondisi tersebut disebabkan oleh
rendahnya aktivitas mikrob dengan jumlah populasi mikrob di tanah masam berkisar
antara 29.4.101 14.8.104 cfu gr-1 tanah (Prihastuti 2012). Populasi mikrob pada lahan
yang subur lebih dari 106 cfu gr-1 tanah. Pengelolaan lahan masam lebih difokuskan
pada upaya pengelolaan fisik dan kimia seperti peningkatan pemupukan anorganik dan
pemberian kapur. Keadaan ini menunjukkan bahwa sudah saatnya upaya meningkatkan
kesuburan tanah masam dilakukan dengan penambahan mikrob. Salah satunya dapat
memanfaatkan pupuk hayati yang mengandung mikrob sebagai agen hayati.
Tanah masam mempunyai kendala fisik maupun kimia yang menghambat pertumbuhan
tanaman. Pemupukan dan pengapuran merupakan penanganan tanah masam yang dapat
menjadikan tanah produktif (Rochayati et al., 1986; Adimihardja et al., 2006). Bahtiar
(2008) menambahkan bahwa kapur yang merupakan kelompok karbonat seperti kalsit
(CaCO3) dan Dolomit (CaMg(CO3 )2) lazim digunakan dalam upaya meningkatkan pH
tanah karena akan terdisosiasi menjadi ion Ca2+, Mg 2+ dan CO3 2- di dalam tanah
B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini, antara lain :


Mengetahui cara memperbaiki kualitas tanah lahan marginal.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanah mineral masam umumnya memiliki pH yang sangat masam hingga agak masam,
yaitu pH < 5.5 ,miskin akan basa dapat ditukar, kompleks jerapan didominasi oleh
oksida dan hidroksida Al dan Fe, kapasitas tukar kation (KTK) dan kejenuhan basa
(KB) lapisan atas tanah umumnya rendah sampai dengan sedang (Subagyo et al., 2000).
Kemasaman tanah mempengaruhi sifat kimia dan biologi tanah, termasuk ketersediaan
hara dan toksisitas logam, yang juga dapat mempengaruhi komunitas mikrob dalam
banyak hal (Sylvia et al., 2005).
Mikrob dan tanaman lebih sesuai pada kondisi pH tanah mendekati netral pada kisaran
pH 6 sampai 7, sehingga peningkatan kemasaman tanah sering disertai dengan
perubahan jenis mikrob dan aktivitasnya di tanah. Pada kondisi pH tanah < 5,5 akan
mengakibatkan keseimbangan antara bakteri dan jamur tanah dimana keadaaan lebih
didominasi fungi, hal ini karena banyak bakteri tanah tidak mentoleransi kondisi tanah
yang masam dengan baik. Menurut Kraal et al. (2009) bahwa kelarutan Al yang tinggi
dapat menekan respirasi tanah, nitrifikasi, dan keragaman dari mikrob tanah. Kondisi
pH yang rendah, konsentrasi logam yang tinggi dan bahan organik yang rendah
merupakan permasalahan utama pada tanah (Zanuzzi et al., 2009; Martinez Pagan et al.,
2011) dan dapat mempengaruhi biomassa mikrob melalui penghambatan aktivitas
mikrob (Utobo dan Tewari 2015).
Populasi mikrob dalam tanah dapat menjadi indikator untuk menentukan produktivitas
tanah (Sutedjo et al., 1991). Mikrob tanah memainkan peran penting dalam ekosistem
tanaman-tanah, di mana mikrob tanah bertindak sebagai jembatan untuk adaptasi
tanaman di tanah (Aroca dan Ruiz-Lozano 2009). Selain itu, mikrob tanah dapat
berkontribusi besar dalam meremediasi tanah yang terkontaminasi logam berat
(GarciaDelgado et al., 2015; Liu et al., 2015). Berbagai kelompok mikrob yang mampu
hidup pada kondisi ekstrim, baik pada pH rendah (asidofilik), pH tinggi (alkalofilik) dan
suhu tinggi (termofilik) dapat ditemukan di lingkungan ini. Mikroba ini tergolong unik
karena bakteri tersebut mempunyai kemampuan oksidasi atau reduksi terhadap logam
berat atau garamgaram logam seperti besi (Fe) dan sulfur (S), dan dapat hidup pada pH
yang rendah.

Derajat Keasaman (pH)

pH tanah dapat dijadikansebagai acuan dalam menilai kualitas atau kesehatan


tanah, dalam rangka pemenuhan kebutuhan media tumbuh tanaman. Lantoi et al.
(2016) menyatakan bahwa reaksi tanah(pH) bukan hanya menunjukkan keasamanatau
kebasaan, tetapi dapat memperlihatkan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
Berdasarkan parameter pH, nilai pH termasuk pada kategori tanah masam.
Ditinjau dari kesehatan tanah, tanah tersebut kurang sehat. Lantoi et al.(2016)
menerangkan bahwa tanah dengan nilai pH 4,5–6,5 merupakan tanah dengan tingkat
kesehatan kurang sehat. Arahan peningkatan pH ialah dengan menambahkan bahan
organik melalui pemupukan. Menurut Ch’Ng et al. (2014), tambahan bahan organik
dapat meningkatkan pH tanah dan pada saat yang sama dapat mengurangi Al-dd
dan Fe-dd yang mengikat unsur hara yang diseraptanaman. Olafisoye et al. (2016)
menambahkan bahwa bahan organik merupakan donor elektron yang dapat
menyumbang reaksi reduksi logam-logam pada pH tanah yang rendah.

C-Organik

C-Organik merupakan salah satu unsur utama penyusun bahan organik dalam
tanah, berupa sisa-sisa tanaman dan tumbuhanserta hewan dari berbagai tingkat
dekomposisi. C-organik berperan menyediakan media tumbuh yang baik yang
dibutuhkan tanaman. C-organik dapat menentukanciri fisik, kimia, dan biologi tanah.
Nilai persentaseC-organik tanah sawah tadah hujan di Desa Umbu Pabal Selatan
adalah 1,40–4,83; jika dikategorikan berdasarkan Pusat Penelitian Tanah (1995)
berada dalam status rendah dan tinggi. Pada kedua lokasi, yaitu Lairoba dan
Aukalebung, kandungan C-organik termasuk tinggi, sedangkan kategori pada
Marada Bakul adalah rendah. Perbedaan status organik yang tersedia dalam tanah
dapat disebab oleh beberapa faktor seperti jenis tanah dan ciri fisiktanah (tekstur,
permeabilitas, aerasi, dan porositas tanah). Darmawijaya (1990) menjelaskan bahwa ciri
fisik tanah dapat memengaruhiciri kimia dan biologi dalam tanah. Salah satu faktor lain
yang mungkin adalah kebiasaan beberapa petani setempat ialah membakar jerami
dan sisa-sisa limbah panen; akibatnya, tidak terjadi proses dekomposisi sehingga
kandungan C-organiknya rendah. Kandungan C-organik tanah sawah tadah hujan
Desa Umbu Pabal Selatan sangat tinggi. Keadaan ini mungkin dipengaruhi oleh
pengolahan sawah pada saat musim hujan dan kebiasaan petani membiarkanresidu
tanaman padi dan gulma pada lahan sawah. Pinatih et al.(2015) mengemukakan
bahwa pemanfaatan jerami sebagai bahan organik akan meningkatkan kesuburan
tanah dan unsur hara makro maupun mikro yang diperlukan oleh tanaman. Ginting et
al. (2013) menambahkan bahwa sumber bahan organik yang tinggi berasal dari
tanaman yang melakukan proses fotosintesis. Bagian tanaman yang menjadi sumber
organik adalahdaun, rerumputan, gulma, dan sisa limbah pascapanen seperti jerami
padi.

N-Total

Nitrogen merupakan unsur hara yang sangat dibutuhkan tanaman dalam jumlah
banyak. Bentuk N yang diserap oleh tanaman adalahamonium (NH4+) dan nitrat
(NH3+) sehingga nilai N-total tanah menentukan jumlah yang tersedia bagi
tanaman, sebab senyawa nitrogen tersebut mudah larut dan hilang ke atmosferpada
saat irigasi. Nitrogen tersedia dalam bentuk N organik yang dapat larut dan tersedia.
Menurut Wild (1981) nitrogen yang tidak terjerap oleh koloid tanah sehingga tersedia
bagi tanaman, cepat hilang, dan terlarut dalam air. Berdasarkan Tabel 1, status
harkat N-total sawah tadah hujan di Desa Umbu Pabal Selatan sangat rendah, rendah,
dan sedang, dengan nilai N0,09–0,37. Untuk lokasi Lairoba dan Aukalebung, status
nitrogen sedang, sedangkan untuk lokasi Marada Bakul beragam, yaitu sangat
rendah, rendah, dan sedang. Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan
ketersediaan N dalam tanah terbatas, antaralain (1) sifat nitrogen yang sangat
mudah bergerak, (2) pencucian hara N oleh air hujan, (3) terangkut saat panen,
(4) terikat oleh mineral tanah, dan (5) dimanfaatkanoleh organisme (Ginting et
al. 2013). Menurut Sakti et al.(2011), ciri fisik tanah dapat
memengaruhiketersediaan N dalam tanah. Bila diperhatikan bahwa ketersediaan
N dalam tanah berbanding lurus dengan ketersediaan bahan organik dalam tanah.
Faktor lainnya adalah ketersediaan air yang terbatas yang mengakibatkan proses
dekomposisi oleh mikroorganismedalam tanah tidak berjalan, sehingga N-total tanah
pun terbatas.

P-Tersedia

P-tersedia adalah unsur P tanah yang dapat terlarut dalam air dan asam sitrat, dengan
P yang terlarut dalam air merupakan unsur P yang dapat diserap oleh tanaman.
Fosforus anorganik berupa senyawa kompleks Al-P, Fe-P, dan Ca-P, bersifat
alkali, tidak terlarut, sehingga tidak tersedia untuk tanaman. Menurut Damanik et
al.(2010), bentuk fosfat anorganik terikat dengan unsur logam. Umaternate et al.(2014)
mengatakan bahwa unsur P yang dapat diserap oleh tanaman ialah dalam bentuk
H2PO4-, HPO42-, dan PO43-dalam larutan tanah. Berdasarkan Tabel 1, kandungan P
dalam tanah sawah tadah hujan Desa Umbu Pabal Selatan adalah 3,90–23,89 ppm;
termasuk dalam kategori sangat rendah danrendah. Pada lokasi Lairoba dan
Aukalebung, status P adalah rendah, sedangkan pada lokasi Marada Bakul
statusnya beragam, yaitu sangat rendah dan rendah. Dengan status P tersebut, maka
diperlukan tambahan melalui pemupukan. Salah satu faktor rendahnya kandungan P
ialah rendahnya kandungan organik pada lokasi tersebut. Dikti (1991) menjelaskan
bahwa kecenderunganrendahnya fosforus dalam tanah dipengaruhi oleh bahan
organik, ketersediaan air, dan mineral-mineral yang terdapat dalam tanah. Faktor yang
memengaruhiketersediaan P dalam tanah yaitu(1) C-organik, (2) pH tanah, (3)
kandungan Fe, Al, dan Ca, dan (4) ciri fisik tanah. Sakti et al.(2011) berpendapat bahwa
perbedaan ketersediaan P dalam tanah dipengaruhi oleh ordo tanah, misalkan pada ordo
inceptisol, kandungan P tergolong rendah karena kandungan mineral
kaokolinik. Goswani (1986) mengungkapkan bahwa dalam sawah tadah hujan
sering terjadi fiksasi P dengan Al dan Fe dalam bentuk Al-P dan Fe-P, akibat
pergantian kondisi kering dan basah yang berkepanjangan. Rendahnya unsur P dan
meningkatnya kandungan Al kondisi tanah kering, dan tinggi kandungan Fe pada
kondisi tanah tergenang air. Faktor yang berkorelasi positif dengan kandungan P-
tersedia dalam tanah adalahpH, sebab P-tersedia dan dapat diserap oleh tanamanpada
rentang pH 6,0–7,0.
K-Tersedia Kalium tersedia adalah bentuk K yang dapat diserap oleh tanaman,
dengan kalium tanah berada pada keseimbangan bentuk, yaitu mineral, terfiksasi,
dapat-dipertukarkan, dan terlarut dalam air. Menurut Rahma et al.(2014), bahwa
unsur K yang diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+Muatanpositif akan
membantu menetralkan muatan listrik yang dibentuk oleh nitrat, fosfat, Ca, Mg, dan
unsur lainnya.Hasil analisis (Tabel 1) menggambarkan kandungan K dari 0,42
sampai 1,50 me/100g; termasuk kategori sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Bila
dikelompokkan ke dalam status kesuburan, K-tersedia termasuk sangat tinggi.
Keadaan ini dapat dipengaruhi oleh sisa-sisa hasil panen yang tertinggal, jerami padi
tersebar, sisa penggunaan pupuk, dan tergenang air irigasi dalam waktu yang
cukup lama, mengakibatkan terendapnya kalium. Tingginya harkat K disebabkan oleh
nilai KTK yang tinggi. Menurut Suseno et al.(2018), meningkatnya K-tersedia
ialah karena kemampuan tanah dalam menahan K dan menurunkan sifat pencucian
kalium. Pinatih et al.(2015) menjelaskan bahwa topografi datar dapat
menyebabkan kandungan K sangat tinggi, disebabkan oleh pengendapan kalium
dalamtanah. Lokasi sawah tadah hujan dalam studi ini terletak pada daerah terendah
dan dikelilingi perbukitan. Dari ketiga lokasi, Lairoba dan Aukalebung memiliki
kandungan K tinggi dan sangat tinggi, sedangkan Marada Bakul beragam, yaitu sedang,
tinggi, dan sangat tinggi. Rahma et al.(2014) berargumen bahwa status K sangat
tinggiadalah karena kalium terletak pada permukaan tanah; bila semakin dalam
statusnya semakin rendah. Kandungan K beragam di Marada Bakul,
kemungkinan karena ciri fisik tanah, kimia tanah, curah hujan yang tinggi, dan
teknik pengelolaan. Ketersediaan K tanah sedang, diindikasikan oleh miskin
kandungan kation-kation basa, yang dipengaruhi oleh pencucian K oleh air dan
terserap oleh tanaman (terangkut) tanpa pengembalian dengan metode pemupukan
ataupun pengapuran

Kapasitas Tukar Kation

KTK merupakan salah satuindikator dalam menentukan status kesuburan


tanah, sebab terdapat koloid tanah yang dapat menentukan jumlah kation yang
dapat diserap dan dipertukarkan dengan jumlah yang tersedia untuk tanaman. Kation
basa (Ca, Mg, K, dan Na) memilikikejenuhan yang tinggi dan terlarut dalam air
sehingga tersedia nutrisi bagi tanaman. Sudaryono (2009) mengatakan bahwa nilai
KTK dapat menentukan kemudahan unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman.
Kation-kation yang dijerap oleh koloid tanah dapat digantidengan unsur kation lainnya,
kation yang dapat dipertukarkan, tidak mudah hilang dan tercuci oleh air,
sehingga dapat tersedia untuk tanaman.Hasil pengujian tanah sawah (Tabel 1)
menggambarkan nilai KTK kategori tinggi, yakni 29,92–39,21 me/100g. Dengan
status KTK tinggi, ada kemungkinan bahwa pengolahan lahan yang hanya dilakukan
pada saat musim hujan, sehingga pemanfaatan unsur kation dalam tanah
rendah dan pengaruh sisa pascapanen tanaman padi dan pencucian unsur
kation juga sangat kecil. Pinatih et al.(2015) mengatakan bahwa jenis tanah yang
tergolong pada kategori muda dan berkembang mempunyai nilai KTK tinggi sebab
belum banyak terjadi pencucian unsur-unsur kation basa dalam tanah. Tingginya nilai
KTK disebabkan oleh kandungan C-organik yang tinggi. Rahma et al.(2014)
menjelaskan bahwa KTK berkorelasi positif dengan ketersediaan bahan organik
dalam tanah. Meningkatnya humus karena jumlah bahan organik yang tinggi
mengakibatkan jumlah koloid tanah meningkat sehingga KTK dalam tanah
status haranya akan tinggi. Hubungan C-organik dan KTKdi Lairoba dan
Aukalebung linear, yaitu C-organik tinggi dan KTK tinggi. Namun, tidak
demikian di Marada Bakul, C-organik rendah tetapi status KTK tinggi. Terdapat
beberapa faktor, yaitu sifat koloid tanah dan terbatasnya ketersediaan air
yang mengakibatkan unsur kation berikatan dengan senyawa anorganik seperti Al.
Sufardi et al.(2017) daerah dengan iklim kering memilikiKTK rendah disebabkan
sistem muatan variabel dan memiliki aktivitas liat yang rendah, liat aktivitas
rendah karena komposisi tanah tersusun fraksi-fraksi oksidadan hidroksidaFe dan
Al yang mengandung muatan negatif. Hubungan KTK dan bahan organik tidak
positif, sebab pada lahan kering bahan organik cepat menurun berkisar 30‒60 %
dengan kurun waktu 10 tahun.Penilaian Status Kesuburan TanahBerdasarkan hasil
penilaian hasil kombinasi indikator ciri tanah pada ketiga lokasi sawah tadah
hujan di Desa Umbu Pabal Selatan, didasarkan pada ciri tanah(Pusat Penelitian Tanah
1995), dilanjutkan dengan analisis spasial, maka status kesuburan tanah sawah tadah
hujan ialah rendah, sedang, dan tinggi dapat terlihat pada peta kesuburan. Kelas
kesuburan tanah sawah untuk setiap lokasi adalah sebagai berikut: Lairoba
dengan status tinggi, Aukalebung dengan status sedang dan tinggi, sedangkan
Marada Bakul dengan status rendah, sedang, dan tinggi. Luas setiap kategori ialah
rendah (96,9 ha), sedang (194,6 ha), dan tinggi (160,3 ha).
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop
B. Prosedur Kerja

Amati lahan marginal di sekitar tempat tinggal saudara sesuai kriteria lahan marginal
diatas.
Lakukan pengamatan pada lahan marginal.
Lakukan perhitungan terhadap kandungan hara tanaman berdasarkan data yang ada.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Faktor Perlakuan Lahan Pasir

Varietas Arang
V₁ = Terong Ungu A₀ = Tanpa Arang
V₂ = Terong Hijau A₁ = Dengan Arang

Kombinasi faktor perlakuan

No Varietas Arang Kombinasi


1 V1A0
A₀ V1A0
2
3 V1A0
V1
4 V1A1
A₁ V1A1
5
6 V1A1
7 V2A0
A₀ V2A0
8
9 V2A0
V2
10 V2A1
A₁ V2A1
11
12 V2A1
Hasil Perhitungan Pembenah Tanah
Bahan Organik (BO) = (3%−0,4%) × 4 kg × 1

100 48%

2,6
= × 4kg × 10049

100

100 48

= 0,216 kg/polybag
= 216 gram/polybag
Dosis Arang Sekam
Digunakan 1,25% dari bobot tanah
Polybag dan tanah 4 kg
Arang sekam = 4000 gr × 1,25
100
= 50 gr/polybag

Dosis Pupuk NPK Majemuk 200kg/ha


Jarak Tanam 70 × 60 = 4200 cm3 = 0,42m2
1 ha = 10.000 m2 / 0,42m2 = 23.809.524
Dosis 200kg / 23.809.524 = 0.00839
= 8.39 gr
B. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis dasar kualitas unsur hara kompos granul ela sagu
menunjukkan bahwa pH kompos cenderung agak basa (pH H2O7.8 dan pH KCl 7.5).
Hal ini ni menunjukkan bahwa aplikasi kompos berbahan baku ela sagu dapat
berfungsi untuk meningkatkanpH tanah dan mengurangi efek merugikan
(penurunan pH tanah) akibat pemberian pupuk anorganik. Kandungan bahan
organik dalam kompos ela sagu relatif tinggi yaitu 26.85%. Sedangkan untuk
kandungan nutrisinya, konsentrasi unsur hara N, P, dan K yang ada dalam kompos
berbahan baku ela sagu berturut-turut sebesar 1,56 %, 1,03 % dan 0,69%. dengan
kadar air 12 –15 %. Apabila dibandingkan dengan kandungan hara dari kotoran hewan
seperti sapi dan ayam (hasil penelitian Tanah, 1993), kandungan unsur N dan P, dari
kompos berbahan baku ela sagu cenderung lebih tinggi, sedangkan unsur K masih
lebih rendah daripada kotoran ayam, namun lebih tinggi dibandingkan kotoran
sapi. Kompos yang diproduksi memiliki C/N ratio 10 yang berarti bahwa pupuk tersebut
termasuk kualitas tinggi dan cepat terdekomposisi sehingga lebih cepat dalam
penyediaan unsur hara. Pengkayaan unsur hara yang dilakukan melalui penambahan
NPK mampu meningkatkan kandungan N, P dan K, masing-masing menjadi N =
2.43%, P = 1,02% dan K = 0.87%
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dasar kualitas unsur hara kompos granul ela sagu
menunjukkan bahwa pH kompos cenderung agak basa . Sedangkan untuk kandungan
nutrisinya, konsentrasi unsur hara N, P, dan K yang ada dalam kompos berbahan baku
ela sagu berturut-turut sebesar 1,56 %, 1,03 % dan 0,69%. dengan kadar air 12 –15
%. Kompos yang diproduksi memiliki C/N ratio 10 yang berarti bahwa pupuk tersebut
termasuk kualitas tinggi dan cepat terdekomposisi sehingga lebih cepat dalam
penyediaan unsur hara.

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabri M. 2008. Kajian Metode Penetapan Kapasitas Tukar Kation Zeolit Sebagai
Pembenah Tanah Untuk Lahan Pertanian Terdegradasi. Jurnal Standardisasi
10(2): 5659.

Bahtiar M. 2008. Pengaruh bahan organik dan kapur terhadap sifat-sifat kimia tanah
podsolik dari Jasinga [skripsi].Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.

Ch’Ng, HY, OH Ahmed, NMA Majid. 2014. Improving Phosphorus Availability In An


Acid Soil Using Organic Amendments Produced From Agroindustrial Wastes.
The Scientific World Journal. https://doi.org/10.1155/2014/506356

Damanik MMB, Bachtiar EH, Fauzi, Sariffudin, Hanum H. 2010. Kesuburan Tanah dan
Pemupukan. Medan (ID): USU Press Darmawijaya I. 1990. Klasifikasi Tanah:
Dasar Teori bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Yogyakarta
(ID). Gadjah Mada University Press.

[Dikti] Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 1991. Kesuburan Tanah. Jakarta (ID):
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Garcia-Delgado, C., Yunta, F., Eymar, E. 2015. 72 Jur. Agroekotek 13 (1) : 61 – 73, Juli
2021 Bioremediation of MultiPolluted Soil by Spent Mushroom (Agaricus
bisporus) substrate: Polycyclic Aromatic Hydrocarbons Degradation and Pb
Availability. Journal of Haza

Ginting, Rosmenda, Sulkifli N. 2013. Pemetaan Status Unsur Hara C-Organik Dan
Nitrogen Di Perkebun Nanas (Ananas comosus L. Merr) Rakyat Desa Panribuan
Kecamatan Dolok Silau Kabupaten. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(4):
13081318 Goswani NN. 1986. Soil Tests as A Guide to Fertilizer Needs of
Irrigated Rice. Fertilizer News 31(9): 2633

Irawan, Bambang. 2015. Dinamika Produksi Padi Sawah dan Padi Gogo: Implikasinya
Terhadap Kebijakan Peningkatan Produksi Padi. Badan Litbang Pertanian
http://www.litbang.pertanian. go.id/buku/swasembada/
Jawang UP, Bistok HS, Tinjung MP. 2017. Evaluasi Zona Agroekologi Kabupaten
Sumba Tengah Berbasis Sistem Informasi Geografis. Konser Karya Ilmiah
Nasional 2017 - Menghadapi Tantangan dan Meraih Kemandirian Pertanian
Indonesia 5 Mei 2017. Salatiga (ID).

Kraal, P., Nierop, K.G.J., Kaal, J., Tietema, A. 2009. Carbon Respiration and Nitrogen
Dynamics in Corsican Pine Litter Amended with Aluminium and Tannins. Soil
Biol Biochem. 4: 2318-2327.

Subagyo, H., Suharta, N., Siswanto, A.B. 2000. Tanah Tanah Pertanian di Indonesia.
Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. 21-65
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA III
PENGATURAN AIR TANAH LAHAN MARGINAL (IRIGASI/PENGAIRAN)

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Air tanah adalah semua air yang terdapat pada lapisan pengandung air (akuifer) dibawah
permukaan tanah, mengiri ruang pori batuan dan berada dibawah water table. Akuifer
merupakan suatu lapisan, formasi atau kumpulan formasi geologi yang jenuh air yang
punya kemampuan untuk menyimpan dan meluluskan air dalam jumlah cukup dan
ekonomis, serta bentuk dan kedalamannya terbentuk ketika terbentuknya cekungan air
tanah. Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrologis,
tempat semua kejadian hidrologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran dan
pelepasan air tanah berlangsung. Air menutupi hampir 71% permukaan tanah, air
diperlukan untuk kelangsungan proses biokimia organisme hidup, sehingga sangat
esensial (Haridjaja, 2013).
Kadar air tanah diukur berdasarkan kebutuhan harian yang ditentukan oleh
besarnya evapotranspirasi pada hari tersebut. Pengukuran dilakukan dengan cara setiap
hari memberikan air kedalam polibag dengan jumlah yang sama misalnya 1000 ml,
kemudian dibiarkan sampai seluruh air gravitasi turun, sedangkan air yang terikat pada
tanah menjadi air kapasitas lapang (Ichsan, dkk. 2010).
Air diperlukan oleh tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, antara
lain untuk memenuhi transpirasi dalam proses asimilasi dimana reaksi kimia dalam
tanah hanya berlangsung bila terdapat air. Pelepasan suatu unsur-unsur hara dari mineral
primer terutama juga karena pengaruh air, dimana yang kemudian mengangkutnya ke
tempat lain atau pencucian unsur hara. Sebaliknya, kemampuan air menghanyutkan
unsur hara dapat pula dimanfaatkan untuk mencuci garam-garam yang berada dalam
tanah (Hanafiah 2014).
Sebagaian besar air yang diperlukan oleh tumbuhan berasal dari tanah. Air ini
harus tersedia pada saat tumbuhan memerlukannya. Kebutuhan air setap tumbuhan
berbeda. Tumbuhan air memerlukan air lebih banyak dibandingkan jenis tumbuhan
lainnya. Air merupakan substansi yang paling umum di atas bumi dan diperlukan untuk
semua kehidupan. Penyediaan air tawar dalam jangka waktu lama selama terus-menerus
sama dengan presipitasi (hujan) tahunan yang rata-ratanya 26 inci (650 mm) untuk
permukaan lahan dunia. Air dibagikan tidak merata oleh curah hujan, berubah bentuk,
berpindah dari satu tempat ke lainnya (Hanafiah, 2014).
Bedasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan pratikum pengamatan kadar air
tanah karena kita ingin mengetahui kandungan air pada tiap lapisan. Dan juga kita ingin
memahami lebih detail mengenai kandungan air dalam tanah karena kandungan air
sangat berpengaruh pada kesesuaian tanah untuk diolah.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain,


1. mengatahui pengaturan air tanah lahan marginal.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kadar air tanah dipengaruhi oleh sifat fisik tanah. Dimana kadar air tanah adalah selisih
dari masukan air melalui inflitrasi. Ditambah kondensasi oleh tanaman dan adsorbsi
oleh tanah dikurangi kehilagan air melalui evaportranspirasi, aliran permukaan,
perkolasi dan rembesan literal, dimana adsorbsi air oleh tanah dan masukya air kedalam
tanah dipengaruhi oleh tekstur, struktur dan porositas tanah sehingga air yang masuk
tergantung dari tanah (Hanafiah, 2014).
Kadar air tanah adalah konsentrasi air dalam tanah yang biasanya dinyatakan
dengan berat kering. Kadar air tanah dapat dinyatakan dalam persen volume yaitu
persentase volume air terhadap volume tanah. Cara ini mempunyai keuntungan karena
dapat memberikan gambaran tentang ketersediaan air bagi tanaman pada volume tanah
tertentu. Cara penetapan kadar air dapat dilakukan dengan sejumlah tanah basah
dikering ovenkan dalam oven pada suhu 100 °C-110 °C untuk waktu tertentu. Air yang
hilang karena pengeringan merupakan sejumlah air yang terkandung dalam tanah
tersebut. Air irigasi yang memasuki tanah mula-mula menggantikan udara yang terdapat
dalam pori makro dan kemudian pori mikro. Jumlah air yang bergerak melalui tanah
berkaitan dengan ukuran pori-pori pada tanah. Penentuan kandungan air dalam tanah
dapat ditentukan dengan istilah nisbi, seperti basah dan kering dan istilah jenuh atau
tidak jenuh (Gusli 2015).
Koefisien air tanah yang merupakan koefisien yang menunjukkan potensi ketersediaan air
tanah untuk mensuplai kebutuhan tanaman, terdiri dari Jenuh atau retensi maksimum, yaitu
kondisi di mana seluruh ruang pori tanah terisi oleh air. Kapasitas lapang adalah kondisi
dimana tebal lapisan air dalam pori-pori tanah mulai menipis, sehingga tegangan antar air-
udara meningkat hingga lebih besar dari gaya gravitasi. Koefisien layu (titik layu permanen)
adalah kondisi air tanah yang ketersediaannya sudah lebih rendah ketimbang kebutuhan
tanaman untuk aktivitas, dan mempertahankan turgornya. Koefisien higroskopis adalah kondisi
di mana air tanah terikat sangat kuat oleh gaya matrik tanah (Hanafiah 2014).

Kemampuan tanah menahan air dipengaruhi antara lain oleh tekstur tanah. Tanah-tanah
bertekstur kasar mempunyai daya menahan air lebih kecil daripada tanah bertekstur halus.
Oleh karena itu, tanaman yang ditanam pada tanah pasir umumnya lebih mudah kekeringan
daripada tanah-tanah bertekstur lempung atau liat. Kondisi kelebihan air ataupun kekurangan
air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Ketersediaan air dalam tanah dipengaruhi:
banyaknya curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, besarnya
evapotranspirasi (penguapan langsung melalui tanah dan melalui vegetasi), tingginya muka air
tanah, kadar bahan organik tanah, senyawa kimiawi atau kandungan garam-garam, dan
kedalaman solum tanah atau lapisan tanah (Rayes, 2014).
Kadar air tanah merupakan salah satu bagian penyusun tanah. Air tanah hampir
seluruhnya berasal dari udara dan atau atmosfer terutama di daerah tropis air hujan itu
dapat merembes ke dalam tanah yang disebut infiltrasi. Sedangkan sisanya mengalir di
permukaan tanah sebagai aliran permukaan tanah. Air infiltrasi tadi bila dalam jumlah
banyak dan terus merembes kedalam tanah secara vertikal dan meninggalkan daerahnya
perakaranya yang disebut perkolasi, yang akhirnya sampai pada lapisan yang kedap air
yang kemudian ekumpul disitu menjadi air tanah atau sering disebut ground water.
Mengetahui banyaknya air di dalam tanah yang tersedia bagi tanaman adalah penting
sekali terutama dalam hal penentuan pemberian air pada tanaman atau pengairan
tanaman agar supaya tidak terjadi kelebihan ataupun kekurangan air. Dalam hal ini
nilai-nilainya sangat ditentukan terutama oleh tekstur tanah. Tekstur tanah yang lebih
tinggi mempunyai tekstur yang halus, sebaliknya tekstur yang rendah mempunyai
teksttur yang kasar nilainya akan lebih rendah lagi dibandingkan dengan hal yang tadi.
Kapasitas kandungan air tanah maksimum adalah jumlah air maksimal yang dapat
ditampung oleh tanah setelah hujan turun dengan sangat lebat atau besar. Semua pori-
pori tanah baik makro maupun mikro, dalam keadaan terisi oleh angin sehingga tanah
menjadi jenuh dengan air. Jika terjadi penambahan air lebih lanjut, maka akan terjadi
penurunan air gravitasi yang bergerak lurus terus kebawah (Hanafiah, 2014).
Banyaknya air yang tersedia bagi tanaman dicari dengan jalan penentuan
kandungan air pada tanaman lapang dikurangi dengan presentase keadaan tanah pada
titik layu permanen. Dalam hal ini nilai-nilainya sangat ditentukn terutama oleh tekstur
tanah. Tekstur tanah yang lebih tinggi mempunyai tekstur yang halus, sebaliknya tekstur
tanah yang kasar nilainya akan lebih rendah dibandingkan dengan hal yang tadi.
Kapasitas kandungan air tanah maksimum adalah jumlah air maksimal yang dapat
ditampung oleh tanah setelah setelah hujan turun dengan sangat lebat atau besar. Semua
pori-pori tanah baik makro maupun mikro, dalam keadaan terisi oleh angin sehingga
tanah menjadi jenuh (Hanafiah, 2014).
Dengan tersedianya kadar air di dalam tanah, maka proses pertumbuhan tanaman
akan berlangsung dengan baik. Sebab air tanah dapat bekerja sebagai pelarut dan
pembawa ion-ion hara dari rhizosfer ke dalam akar tanaman. Selain itu juga sebagai
pemicu reaksi kimia dalam penyediaan hara, yaitu dari hara tidak tersedia menjadi hara
yang tersedia bagi pertumbuhan tanaman. Kadar air juga menopang aktivitas mikroba
dalam merombak unsur hara serta sebagai pembawa oksigen terlarut ke dalam tanah.
Dimana oksigen yang berada dalam tanah ini juga dibutuhkan bagi tanaman dalam
pertumbuhannya. Kadar air tanah dapat menjadi stabilisator temperatur tanah serta
mempermudah dalam pengolahan tanah yang cocok untuk pertanian (Defriyanto, 2015).
Menurut Astiningrum, (2015), kegunaan air bagi pertumbuhan tanaman adalah:
1. sebagai unsur hara tanaman, tanaman memerlukan air dari tanah dan CO2 dari
udara untuk membentuk gula dan karbohidrat dalam proses fotosintesis.
2. air sebagai pelarut, segala sesuatu di dalam tanah selalu dapat larut di dalam air,
terutama jika air tersebut mengandung asam-asam atau basa-basa. Kelarutan
merupakan ukuran kekuatan stabilitas suatu kristal, suatu garam dapat larut dalam air
jika daya tarik-menarik ion-ion terhadap molekul-molekul air lebih kuat
dibandingkan daya tarik menarik ion-ion yang satu terhadap ion yang lainnya.
Kemampuan air dalam melarutkan sebagian bahan mempunyai arti penting pada
pembentukan tanah dan pertumbuhan tanaman.
III. METODE PRAKTIKUM
C. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop

D. Prosedur Kerja

Prosedur yang dilakukan pada praktikum acara ini adalah sebagai berikut:
1. Studi literatur mengenai dilakukan pengaturan air tanah lahan marginal.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

Perhitungan kebutuhan air tanaman ditentukan dengan prosedur berikut:

No Prosedur
1 Penetapan Volume dan Berat Tanah
a. Jarak tanam 25 cm x 25 cm
Luas permukaan tanah = 20 x 20 = 625 cm2
b. Kedalaman jelajah akar 25 cm
Volume jelajah akar = 625 cm2 x 25 cm =15.625 cm3
c. Berat Jenis Tanah (Bji) = 1,3 g/cm3
(BTKo) Bobot Tanah Kering Oven = 1,3 x 10000 = 13000 g

2 Penetapan Kebutuhan Air


a. Kadar kering udara 20%
BTKu = (BTKo/100) x (100 + KaKu)
= 0,01 x 13000 x (100+20)
= 15600 g
b. Kadar air pada kapasitas lapang 55%
BTKL= 0,01 x BTKo x (100 + KaKL)
= 0,01 x 13000 x (100+55)
= 20150 g
c. Bobot air yang digunakan untuk mengkapasitaslapangkan 14000 g tanah
kering oven adalah 20150 – 15600 = 4550 g = 4550 mL
3 Penentuan Tebal Evapotranspirasi Harian
a. Bobot tanah dalam polybag setelah mengalami penguapan 2 hari 3265 g
Air hilang (V) = 4000 – 3265 = 735 g atau 735 mL
b. Diameter polybag 25 cm (jari-jari 12,5 cm)
Luas permukaan polybag yang menguapkan air:
= πr2 = 3,1425 x (12,5)2 cm2
= 491,016 cm2
Volume = πr2 x tebal, maka:
t = V/πr2
t = 735/491,016 = 1,4968 cm = 11,4968 mm (2 hari)
c. Tebal Evapotranspirasi Harian, maka:
= 11,4968 mm/2
= 5,7484 mm

B. Pembahasan

Analisis ketahanan terhadap cekaman kekeringan berdasarkan pada nilai indeks


cekaman menunjukkan bahwa kultivar Grobogan dan Galunggung mempunyai indeks
cekaman rendah sehingga kedua kultivar tersebut merupakan kultivar yang tahan
terhadap cekaman kekeringan karena mengalami penurunan hasil rendah dengan adanya
cekaman kekeringan (hasil stabil). Kultivar Kaba, Argomulyo, Panderman, Ijen,
Baluran dan Petek agak tahan terhadap cekaman kekeringan karena mempunyai indeks
cekaman sedang. Kultivar Sibayak, Tanggamus, Anjasmoro, Wilis, Garut, Gepak
Kuning, Seulawah dan Sinabung merupakan kultivar yang tidak tahan terhadap
cekaman kekeringan karena mempunyai indeks cekaman yang tinggi atu hasil yang
tidak stabil.

Kebutuhan air untuk setiap kultivar kedelai berbedabeda (Tabel 2). Kultivar
Grobogan dan Galunggung merupakan kultivar yang tahan terhadap cekaman
kekeringan dan mempunyai kebutuhan air yang rendah. Penyiraman 2 hari sekali
mengakibatkan kebutuhan air kedua kultivar tersebut meningkat, dan mulai menurun
pada penyiraman 4 hari sekali. sekali mengakibatkan kebutuhan air kultivar
Burangrang, Kaba dan Malabar mulai menurun, sedangkan kultivar Argomulyo,
Panderman, Ijen dan Baluran kebutuhan air mulai menurun pada penyiraman 4 hari
sekali. Penyiraman 2 hari sekali mengakibatkan kebutuhan air kultivar Argomulyo dan
Petek meningkat. Kultivar Sibayak, Tanggamus, Anjasmoro, Wilis, Garut, Gepak
Kuning, Seulawah dan Sinabung merupakan kultivar yang tidak tahan terhadap
cekaman kekeringan. Penyiraman 2 hari sekali mengakibatkan kebutuhan air kedelapan
kultivar tersebut mulai menurun. Penyiraman 8 hari sekali secara nyata menurunkan
kebutuhan air 18 kultivar kedelai yang diuji. Pengurangan kebutuhan air merupakan
salah satu mekanisme tanaman untuk menjadi tahan terhadap cekaman kekeringan
(Blum, 2005; Zhou dkk., 2012).

Peningkatan interval penyiraman secara nyata menurunkan efisiensi penggunaan air


(Tabel 3). Efisiensi penggunaan air merupakan nisbah antara bobot kering tanaman
dengan kebutuhan air (Anyia dan Herzog, 2004) dan menunjukkan kemampuan
tanaman untuk mengubah air tersedia menjadi bahan kering (Ali dkk., 2005).
Meningkatnya interval penyiraman menyebabkan produksi bahan kering menurun
sehingga efisiensi penggunaan air menurun. Hasil analisis korelasi secara nyata
menunjukkan adanya korelasi negatif antara kebutuhan air tanaman dan efisiensi
penggunaan air (r = - 0,70*). Hal ini menunjukkan bahwa pengurangan kebutuhan air
dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air Menurut Gardner dkk. (1985), efisiensi
penggunaan air tidak sama dengan ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Hal ini
juga terjadi pada penelitian ini, bahwa kultivar kedelai dengan kebutuhan air rendah dan
efisiensi penggunaan air tinggi tidak selalu tahan terhadap cekaman kekeringan.
Kultivar Grobogan dan Galunggung tahan terhadap cekaman kekeringan dengan
kebutuhan air yang lebih rendah dibandingkan kultivar Burangrang, Kaba, Tanggamus,
Anjasmoro, Argomulyo, Wilis, Panderman, Ijen, Baluran, Garut, Gepak Kuning,
Seulawah dan Sinabung. Kultivar Sibayak tidak tahan terhadap cekaman kekeringan
tetapi mempunyai efisiensi penggunaan air yang sama dengan kultivar Grobogan dan
Galunggung yang tahan terhadap cekaman kekeringan. Efisiensi penggunaan air
kultivar Sibayak lebih tinggi dibandingkan kultivar Burangrang, Kaba, Argomulyo,
Panderman dan Ijen yang merupakan kultivar agak tahan terhadap cekaman kekeringan.
Kultivar Galunggung tahan terhadap cekaman kekeringan tetapi efisiensi penggunaan
air sama dengan kultivar Burangrang, Kaba, Panderman, Ijen, Baluran, Petek, Malabar
yang merupakan kultivar agak tahan dan kultivar Tanggamus, Anjasmoro, Wilis, Garut,
Gepak Kuning, Seulawah dan Sinabung yang merupakan kultivar tidak tahan terhadap
cekaman kekeringan. Kultivar Petek merupakan kultivar yang agak tahan terhadap
cekaman kekeringan dengan kebutuhan air yang rendah dan efisiensi penggunaan air
tinggi. Kultivar Sinabung merupakan kultivar yang tidak tahan terhadap cekaman
kekeringan tetapi mempunyai efisiensi penggunaan air tinggi.Hal ini didukung oleh
hasil analisis korelasi antara indeks cekaman dan kebutuhan air tanaman yang positif
tidak nyata (r = 0,17) dan antara indeks cekaman dengan efisiensi penggunaan air (r =
0,00).Hasil analisis korelasi antara indeks sensitivitas cekaman dengan kebutuhan air
tanaman adalah positif tidak nyata (r = 0,20) dan antara indeks sensitivitas cekaman
dengan efisiensi penggunaan air adalah negatif tidak nyata (r = - 0,01). Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat kebutuhan air tanaman dan efisiensi penggunaan air tidak
mempengaruhi tingkat ketahanan terhadap cekaman kekeringan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan

Analisis ketahanan terhadap cekaman kekeringan berdasarkan pada nilai indeks


cekaman menunjukkan bahwa kultivar Grobogan dan Galunggung mempunyai indeks
cekaman rendah sehingga kedua kultivar tersebut merupakan kultivar yang tahan
terhadap cekaman kekeringan karena mengalami penurunan hasil rendah dengan adanya
cekaman kekeringan . Kultivar Kaba, Argomulyo, Panderman, Ijen, Baluran dan Petek
agak tahan terhadap cekaman kekeringan karena mempunyai indeks cekaman sedang.
Penyiraman 2 hari sekali mengakibatkan kebutuhan air kedelapan kultivar tersebut
mulai menurun. Penyiraman 8 hari sekali secara nyata menurunkan kebutuhan air 18
kultivar kedelai yang diuji. Pengurangan kebutuhan air merupakan salah satu
mekanisme tanaman untuk menjadi tahan terhadap cekaman kekeringan .

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Astiningrum, Murti. 2015. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Magelang: Fakultas Pertanian


Universitas Tidar.
Cahyono, Ongko. 2014. Ilmu Tanah. Surakarta: Universitas Tugas Pembangunan.
Darwis. 2017. Pengelolaan Air Tanah. Pustaka AQ. Yogyakarta.
Defriyanto. 2015. Sifat Fisik Tanah dan Tingkat Kepekaan Erosinya Pada Kawasan
Karst Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati. Universitas Negeri Semarang. Semarang.
Gusli, S. 2015. Penuntun Praktikum Dasar-dasar Ilmu tanah. Makassar: Fakultas
Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar.
Hanafiah. 2014. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada, Palembang.
Hanafiah, K.A. 2014. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Rajawali Pers.
Haridjaja. 2013. Perbedaan Nilai Kadar Air Kapasitas Lapang Berdasarkan Metode
Alhricks, Drainase Bebas, Dan Pressure Plate Pada Berbagai Tekstur Tanah
Dan Hubungannya Dengan Pertumbuhan Bunga Matahari (Helianthus annuus
L.). Jurnal Tanah Lingkungan. Vol. 5, No. 2, hal. 52-59.
Ichsan, Cut Nur, dkk. 2010. Respon Kedelai Kultivar Kipas Putih dan Wilis Pada Kadar
Air Tanah Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan dan Hasil [Versi elektronik].
Jurnal Agrista, 14(1): 25-29.
Rayes, Mochtar Lutfi. 2017. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Malang: UB Press.
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA IV
VIABILITAS DAN VIGOR BENIH

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Benih kedelai cepat mengalami deteriorasi atau penurunan viabilitas dan vigor terutama
jika disimpan pada kondisi simpan yang kurang optimum. Menurut Ilyas (2006),
penggunaan benih bermutu rendah dengan viabilitas dan vigor yang rendah akan
menghasilkan persentase pemunculan bibit yang rendah, bibit tidak toleran terhadap
cekaman abiotik, dan lebih sensitif terhadap penyakit. Benih kedelai yang telah dipanen
biasanya tidak langsung ditanam, sehingga suplai benih untuk musim tanam berikutnya
melalui fase penyimpanan yang relatif lama. Benih tanaman yang disimpan dalam
jangka waktu tertentu akan mengalami kemunduran yang mengakibatkan penurunan
mutu benih yang disebut deteriorasi. Laju deteriorasi tidak dapat dihentikan dan
dikembalikan seperti semula serta mampu membuat viabilitas dan vigor benih menurun.
Kemunduran pada benih memiliki kurva linear yang menurun secara cepat, namun
dapat diperlambat dengan cara memberikan perlakuan tertentu pada benih. Salah satu
upaya dalam mengatasi kemunduran benih tersebut dapat diterapkan teknologi seed
coating. Menurut Kuswanto (2003), seed coating merupakan proses pembungkusan
benih dengan bahan tertentu sebagai pembawa zat aditif. Tujuan dilakukannya seed
coating antara lain: (1) meningkatkan kinerja benih selama perkecambahan, (2)
melindungi benih dari gangguan atau pengaruh kondisi lingkungan, (3)
mempertahankan kadar air benih, (4) mengurangi dampak kondisi ruang penyimpanan,
dan (5) memperpanjang daya simpan benih. Oleh karena itu dengan penerapan seed
coating diharapkan viabilitas dan vigor benih pada periode simpan dapat dipertahankan
secara optimal.

Benih bermutu tinggi dapat dicirikan dari vigor yang tinggi (Ilyas 2012). Menurut
Sadjad et al. (1999), vigor benih adalah kemampuan benih tumbuh normal pada kondisi
lapang suboptimal. Secara umum, vigor benih dibagi menjadi dua kategori, yaitu vigor
kekuatan tumbuh dan vigor daya simpan. Vigor kekuatan tumbuh mengindikasikan
vigor benih pada kondisi suboptimal, sedangkan vigor daya simpan adalah kemampuan
benih untuk disimpan dalam kondisi suboptimal.
Sebagian kondisi tanah di Lampung tergolong tanah ultisol yang bereaksi masam
dengan pH berkisar 4,6 - 6,0 (Supriatin et al., 2017). Menurut Prasetyo & Suriadikarta
(2006) tanah ultisol memiliki unsur hara yang rendah, pH rendah, dan kandungan
organik yang rendah. Gejala dari keracunan Al adalah sistem perakaran yang tidak
berkembang (pendek dan tebal) akibat penghambatan perpanjangan sel. Ciri utama
keracunan Al adalah terjadi penghambatan pertumbuhan akar, yang pada akhirnya akan
menurunkan produktifitas tanaman (Kochian et al., 2004). Kandungan Al yang tinggi
mengakibatkan akar tidak efisien dalam menyerap unsur hara dan air (Milatuzzahroh et
al., 2019). Kondisi tanah tersebut dapat menghambat perkecambahan benih saat disemai
di lapang. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan
perkecambahan kedelai pada kondisi lahan seperti di atas yaitu dengan perlakuan teknik
priming. Priming adalah perlakuan pada benih yang akan mempersiapkan proses
metabolisme benih akan aktif tanpa terjadinya perkecambahan. Perlakuan priming dapat
meningkatkan perkecambahan, mempercepat waktu kemunculan bibit dan
meningkatkan pembentukan tegakan (Nawaz et al., 2013). Terdapat beberapa macam
priming yaitu hydro priming, halo priming, osmo priming, dan hormonal priming.
Hydro priming adalah perendaman benih pada air sebelum dikecambahkan. Halo
priming mengacu pada perendaman benih dalam larutan garam anorganik yaitu NaCl,
KNO3 CaCl2, CaSO4, dll. Osmo priming adalah perlakuan benih yang direndam dalam
larutan gula, Polyethilen Glycol (PEG), gliserol, sorbitol, atau manitol. Keberhasilan
priming dalam memperbaiki perkecambahan benih telah dilaporkan pada benih kedelai
(Langeroodi and Noora, 2017), gandum (Putra & Kurnia, 2019), barley (Jocković et al.,
2018), mentimun (Anwar et al., 2020), dan jagung (Prasetyo & , Arifin Noor Sugiharto,
2019). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh priming pada
perkecambahan benih kedelai yang dikecambahkan pada tanah ultisol.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain,


1. Mengetahui gejala hama dan penyakit tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Benih Secara Umum


Benih adalah biji tanaman yang digunakan untuk tujuan penanaman. Sehingga
masalah teknologi benih berada dalam ruang lingkup agronomi. Agronomi sendiri
diartikan sebagai suatu gugus ilmu pertanian yang mempelajari pengelolaan lapang
produksi dengan segenap unsure alam (iklim, tanah, air), tanaman, hewan dan manusia
untuk mencapai produksi tanaman secara maksimal (Kartasapoetra, 1986).
Benih merupakan biji tanaman yang dipergunakan untuk keperluan pengembangan
usaha tani dan mempunyai fungsi agronomis. Benih yang bermutu adalah benih yang
telah dinyatakan sebagai benih yang bekualitas tinggi. Benih yang baik dan bermutu
akan sangat menunjang dalam peningkatan produknya baik dari segi kuantitas maupun
kualitas (Rineka, 1986).
Benih juga diartikan sebagai biji tanaman yang tumbuh menjadi tanaman muda
(bibit), kemudian dewasa dan menghasilkan bunga. Melalui penyerbukaan bunga
berkembang menjadi buah atau polong, lalu menghasilkan biji kembali. Benih dapat
dikatakan pula sebagai ovul masak yang terdiri dari embrio tanaman, jaringan cadangan
makanan, dan selubung penutup yang berbentuk vegetatif. Benih berasal dari biji yang
dikecambahkan atau dari umbi, setek batang, setek daun, dan setek pucuk untuk
dikembangkan dan diusahakan menjadi tanaman dewasa (Purwanti, 2004).
Dalam konteks agronomi, benih dituntut untuk bermutu tinggi sebab benih harus
mampu menghasilkan tanaman yang berproduksi maksimum dengan sarana teknologi
yang maju. Seiring petani mengalami kerugian yang tidak sedikit baik dari segi biaya
maupun waktu yang berharga akibat penggunaan benih yang bermutu rendah. Oleh
karena itu meskippun pertumuhan dan produksi tanaman sangat dipengaruhi oleh
keadaan iklim dan cara bercocok tanamn, tetapi harus diingat pentingnya pemilihan
mutu benih yang akan digunakan (Sukarman, 2000).

Viabilitas Benih
Pengujian benih merupakan analisis beberapa parameter fisik dan kualitas
fisiologis sekumpulan benih yang biasanya didasarkan pada perwakilan sejumlah
contoh benih. Pengujian dilakukan untuk mengetahui mutu kualitas kelompok benih.
Pengujian benih merupakan metode untuk menentukan nilai pertanaman di lapangan.
Salah satu contoh pengujian benih adalah uji viabilitas benih atau uji perkecambahan
benih. Uji viabilitas benih dapat dilakukan secara tak langsung, misalkan dengan
mengukur gejala-gejala metabolisme ataupun secara langsung dengan mengamati dan
membandingkan unsur-unsur tumbuh tertentu (Soetopo, 2005).
Viabilitas adalah kemampuan benih atau daya hidup benih untuk tumbuh secara
normal pada kondisi optimum. Berdasarkan pada kondisi lingkungan pengujian
viabilitas benih dapat dikelompokkan ke dalam viabilitas benih dalam kondisi
lingkungan sesuai (favourable) dan viabilitas benih dalam kondisi lingkungan tidak
sesuai (unfavourable). Pengujian viabilitas benih dalam kondisi lingkungan tidak sesuai
termasuk kedalam pengujian vigor benih. Perlakuan dengan kondisi lingkungan sesuai
sebelum benih dikecambahkan tergolong untukmenduga parameter vigor daya simpan
benih, sedangkan jika kondisi lingkungan tidak sesuai diberikan selama pengecambahan
benih maka tergolong dalam pengujian untuk menduga parameter viabilitas tumbuh
benih (Ryastika, 2011).
Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi
kecambah. Istilah lain untuk viabilitas benih adalah daya kecambah benih, persentase
kecambah benih atau daya tumbuh benih. Viabilitas benih merupakan daya kecambah
benih yang dapat ditunjukkan melalui gejala metabolisme atau gejala pertumbuhan,
selain itu daya kecambah juga merupakan tolok ukur parameter viabilitas potensial
benih (Sadjad, 1994).
Pada uji viabilitas benih, baik uji daya kecambah atau uji kekuatan tumbuh benih,
penilaian dilakukan dengan membandingkan kecambah satu dengan yang lain dalam
satu substrat. Sebagai parameter untuk viabilitas benih digunakan presentase
perkecambahan. Persentase kecambah yang tinggi sangat diinginkan oleh para petugas
persemaian, dan segala sesuatu selain benih murni yang berkecambah akan dianggap
sebagai hal yang tidak berguna, oleh karena itu pegujian kecambah atau viabilitas harus
menggambarkan kecambah yang potensial. Potensi perkecambahan merupakan hal yang
secara langsung didapatkan pada pengujian perkecambahan. Pengujian perkecambahan
secara luas digunakan, baik untuk pengujian benih standard maupun untuk pengujian
informal secara sederhana di persemaian (Ryastika, 2011).
Kelangsungan daya hidup benih ditunjukan oleh persentase benih yang akan
menyelesaikan perkecambahan, kecepatan perkecambahan dan vigor akhir yanga
menyelesaikan perkecambahannya. Proses perkecambahan suatu benih, memerlukan
kondisi lingkungan yang baik, viabilitas benih yang tinggi dan pada beberapa jenis
tanaman tergantung pada upaya pemecahan dormansinya. Kualitas benih digolongkan
menjadi tiga macam, yaitu kualitas genetik, fisiologis, dan kualitas fisik. Pengujian
viabilitas dilakukan untuk mengetahui kualitas fisiologis yang berkaitan dengan
kemampuan benih untuk berkecambah. Index matematis terhadap perkecambahan dapat
mudah untuk menggambarkan kualitas benih yang dapat diterima oleh seluruh
konsumen (Ryastika, 2011).
Benih dengan viabilitas tinggi tentunya memiliki daya vigor benih yang kuat,
karena didukung oleh komponen cadangan makanan dalam biji yang cukup untuk
menopang pertumbuhan awal dari biji sebelum memperoleh makanan dari dalam tanah
(Sadjad, 1993).
Menurut Copeland dan McDonald (2001), viabilitas benih dapat diukur dengan
tolok ukur daya berkecambah (germination capacity). Perkecambahan benih adalah
muncul dan berkembangnya struktur terpenting dari embrio benih serta kecambah
tersebut menunjukkan kemampuan untuk berkembang menjadi tanaman normal pada
kondisi lingkungan yang menguntungkan. Viabilitas benih menunjukkan daya hidup
benih, aktif secara metabolik dan memiliki enzim yang dapat mengkatalis reaksi
metabolik yang diperlukan untuk perkecambahan dan pertumbuhan kecambah.
Copeland dan McDonald (2001) juga menjelaskan bahwa kemungkinan besar
viabilitas benih tertinggi terjadi pada saat masak fisiologi. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi viabilitas benih yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal dapat mempengaruhi viabilitas benih yaitu kondisi lingkungan pada saat
memproduksi benih, saat panen, pengolahan, penyimpanan, dan lingkungan tempat
pengujian benih. Kondisi tersebut seperti kemasan benih, suhu, komposisi gas, dan
kelembaban ruang simpan. Faktor internal yang dapat mempengaruhi viabilitas benih
yaitu sifat genetik benih, kondisi kulit benih, dan kadar air benih.

Metode Pengujian Viabilitas Benih


Pada umumnya viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh
menjadi kecambah. Istilah lain untuk viabilitas benih adalah daya kecambah benih,
persentase kecambah benih atau daya tumbuh benih. Perkecambahan benih mempunyai
hubungan erat dengan viabilitas benih dan jumlah benih yang berkecambah dari
sekumpulan benih merupakan indeks dari viabilitas benih (Danuarti, 2003).
Viabilitas ini makin meningkat dengan bertambah tuanya benih dan mencapai
perkecambahan maksimum jauh sebelum masak fisiologis atau sebelum tercapainya
berat kering maksimum, pada saat itu benih telah mencapai viabilitas maksimum (100
persen) yang konstan tetapi sesudah itu akan menurun sesuai dengan keadaan
lingkungan. Umumnya parameter untuk viabilitas benih yang digunakan adalah
presentase perkecambahan yang cepat dan pertumbuhan perkecambahan kuat dalam hal
ini mencerminkan kekuatan tumbuh yang dinyatakan sebagai laju perkecambahan.
Penilaian dilakukan dengan membandingkan kecambah satu dengan kecambah lainnya
sesuai kriteria kecambah normal, abnormal dan mati. Uji viabilitas benih dapat
dilakukan secara tak langsung, misalkan dengan mengukur gejala-gejala metabolisme
ataupun secara langsung dengan mengamati dan membandingkan unsur-unsur tumbuh
tertentu (Danuarti, 2003).
Pengujian viabilitas ada beberapa macam yaitu pengujian pemotongan (cutting test),
tetrazolium (TZ), pemotongan embrio, dan pengujian hydrogen peroksida (H2O2).
Pengujian viabilitas benih biasanya kurang tepat diterapkan untuk benih-benih yang
berukuran sangat kecil, bahkan teknik pengambilan/pemotongan embrio hampir tidak
mungkin dilakukan. Untuk memudahkan dalam pengujian benih, benih yang digunakan
harus berukuran agak besar seperti sengon buto (Enterolobium cyclocarpum Jacq)
(Kuswant, 2007).
Pengujian benih dengan tetrazolium merupakan salah satu uji yang efektif. Uji
tetrazolium memanfaatkan prinsip dehidrogenase yang merupakan group enzim
metabolism pada sel hidup, yang mana mudah diamati perubahan warnanya. Selain uji
TZ, uji hydrogen peroksida (H2O2) juga merupakan uji yang efektif. uji ini merupakan
uji viabilitas yang lain, yang membentuk transisi menjadi pengujian kecambah. Daya
Berkecambah (DB) merupakan tolok ukur viabilitas potensial yang merupakan simulasi
dari kemampuan benih untuk tumbuh dan berproduksi normal dalam kondisi optimum
(Kuswant, 2007).

III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop
B. Prosedur Kerja

Prosedur yang dilakukan pada praktikum acara ini adalah sebagai berikut:
1. Studi literatur mengenai dilakukan gejala hama dan penyakit tanaman
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 1. Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh priming dan varietas pada variabel
perkecambahan benih kedelai yang dikecambahkan pada tanah ultisol

Variabel P V Px
V
Waktu Munculnya Kecambah (hari) tn tn tn
Jumlah Kecambah Pada Hari Pertama (%) tn * tn
Waktu Kecambah 50 % (hari) ** ** tn
Kecepatan Perkecambahan % (hari) tn tn tn
Daya Berkecambah (%) ** tn tn
Berat Kering Kecambah Normal (gram) ** ** tn
Panjang Hipokotil Kecambah Normal (cm) * ** tn
Panjang Radikula Kecambah Normal (cm) tn tn tn
Keterangan : P = Priming
V = Varietas
P x V = Interaksi priming dan varietas
* = Nyata pada α 5 %
** = Sangat nyata
pada α 1 % tn = Tidak
nyata

Tabel 2. Pengaruh priming terhadap waktu munculnya kecambah dan T50 % yang
dikecambahkan pada tanah ultisol

Priming WMK T50 %


(hari) (hari)
Kontrol 2.81 ab 2.97 ab
Air 3.08 b 3.25 b
KNO3 1 % 2.86 ab 3.03 ab
KNO3 2 % 2.93 ab 3.03 ab
GA3 50 ppm 2.52 a 2.66 a
GA3 100 ppm 2.90 ab 2.78 ab
PEG 7.5 % 2.98 ab 3.12 ab
BNJ 0.05 0.53 0.47
Keterangan : WMK = Waktu Munculnya Kecambah (hari)

T50 % = waktu munculnya kecambah sebanyak 50 %


Tabel 3. Pengaruh priming terhadap kecepatan perkecambahan, first counting, dan daya
berkecambah benih kedelai yang dikecambahkan pada tanah ultisol

Priming Kct FC DB (%)


(%/hari) (%)
Kontrol 35.91 ab 39.11 a 96.89 a
Air 32.69 b 32.89 a 87.56 b
KNO3 1 % 35.59 ab 32.89 a 80.88 bc
KNO3 2 % 35.45 ab 42.22 a 87.11 b
GA3 50 ppm 40.21 a 44.00 a 82.67 bc
GA3 100 ppm 34.89 ab 34.67 a 80.00 bc
PEG 7,5 % 33.98 ab 24.44 a 75.11 c
BNJ 0,05 6.80 33.28 9.03
Keterangan : Kct = Kecepatan Perkecambahan (%/hari)
FC = First Counting/jumlah kecambah pada hari
pertama (%) DB = Daya Berkecambah (%)

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa priming berpengaruh nyata pada


waktu kecambah 50% (T50), daya berkecambah (%), Berat Kering Kecambah Normal
(g), dan Panjang Hipokotil Kecambah Normal (cm). Varietas berpengaruh nyata pada
jumlah kecambah pada hari pertama (%), waktu kecambah 50% (T50 %), Berat Kering
Kecambah Normal (g), dan Panjang Hipokotil Kecambah Normal (cm) serta tidak
terdapat interaksi priming dan varietas (Tabel 1). Berdasarkan hasil penelitian perlakuan
priming mampu mempercepat waktu munculnya kecambah dan waktu munculnya
kecambah sebanyak 50 % apabila dikecambahkan pada tanah ultisol. Priming Giberelin
50 ppm memberikan waktu tercepat pada variabel waktu munculnya kecambah pada
hari ke 2.52 dibandingkan priming air yang muncul pada hari ke 3.03. Priming
Giberelin 50 ppm juga memberikan waktu tercepat dalam waktu munculnya kecambah
sebanyak 50 % yaitu pada hari ke 2.66 dibandingkan priming air yang muncul pada hari
ke 3.25. Priming lainnya seperti KNO3 1 %, KNO3 2 %, Giberelin 100 ppm, dan PEG
7.5 % juga dapat mempercepat waktu perkecambahan benih yang dikecambahakan pada
tanah ultisol, walaupun tidak ada perbedaan diantara perlakuan priming tersebut (Tabel
2). Kemampuan priming Giberelin dalam meningkatkan waktu munculnya kecambah
dan T50 % sejalan dengan penelitian (Ghobadi et al., 2012) pada tanaman gandum,
tanaman kedelai (Langeroodi & Noora, 2017), cabai (Ulya et al., 2020).

Hal ini dikarenakan Giberelin merupakan hormon tumbuh yang berperan


penting dalam proses perkecambahan, karena dapat mengaktifkan reaksi enzimatik di
dalam benih (Bey et al., 2005). Priming air memiliki waktu muncul kecambah dan T50
% terendah dikarenakan kadar air benih yang tinggi dapat meningkatkan laju
kemunduran benih pada tempat penyimpanan. Laju kemunduran benih dapat
diperlambat dengan cara kadar air benih harus dikurangi sampai kadar air benih
optimum (Tuwu et al., 2012). Kadar air benih yang melebihi batas kritikalnya akan
menyebabkan kerusakan protein, diduga terbentuknya radikal bebas. Hasil penelitian
menyatakan bahwa priming Giberelin 50 ppm memiliki nilai kecepatan perkecambahan
yaitu 40.21 %/hari dibandingkan priming air yaitu sebesar 32.69 %/hari, sedangkan
perlakuan priming lainnya seperti KNO3 1 %, KNO3 2 %, Giberelin 100 ppm, dan PEG
7.5 % dan juga dapat meningkatkan kecepatan perkecambahan walaupun tidak berbeda
diantara priming tersebut. Perlakuan priming ataupun kontrol tidak memiliki perbedaan
pada variabel jumlah radikula yang muncul pada hari pertama, tetapi nilai tertingginya
berada pada priming Giberelin 50 ppm sebesar 44.00 %. Variabel pengamatan jumlah
kecambah yang muncul pada hari pertama tidak memiliki perbedaan pada tiap
perlakuan priming maupun kontrol. Dengan nilai tertingginya Giberelin 50 ppm yaitu
44,00 % dibandingkan priming PEG 7.5 % yaitu 24.44 %. Daya berkecambah tertinggi
didapatkan oleh perlakuan kontrol sebesar 96.89 %, priming air dan KNO3 2 % juga
dapat meningkatkan daya berkecambah dengan nilai DB 87.56 % dan 87.11 %. (Tabel
3).

Priming Giberelin terbaik dalam kecepatan perkecambahan sejalan dengan


waktu munculnya kecambah dan T50 %, hal ini dikarenakan apabila waktu munculnya
kecambah cepat maka kecepatan perkecambahan setiap harinya juga akan meningkat
(Tabel 2). Daya berkecambah perlakuan kontrol tertinggi dibandingkan perlakuan lain,
dikarenakan benih kedelai yang digunakan adalah benih baru, sehingga daya
berkecambahnya masih tinggi. Untuk melihat perbedaannya diamati pada variabel lain,
seperti waktu munculnya kecambah ataupun kecepatan perkecambahan per harinya.
Hasil penelitian menyatakan bahwa perlakuan kontrol memiliki nilai berat kering
kecambah normal terbaik yaitu 5.67 g, sedangkan priming air, KNO3 1 %, Giberelin 50
ppm, Giberelin 100 ppm, dan PEG 7.5 % tidak ada perbedaan diantara priming tersebut.
Variabel panjang hipokotil kecambah normal terbaik juga pada perlakuan kontrol yaitu
21.99 cm dibandingkan priming KNO3 1 % yaitu 18.05 cm. Variabel panjang radikula
kecambah normal tidak terdapat perbedaan diantara perlakuan priming ataupun kontrol,
dengan panjang radikula tertinggi yaitu priming Giberelin 12.02 cm (Tabel 4).

Bobot kering kecambah normal dan panjang hipokotil kecambah normal tertinggi
adalah perlakuan kontrol dikarenakan benih kedelai yang digunakan pada penelitian ini
adalah benih kedelai baru. Sehingga akan tetap berkecambah dan yang membedakannya
adalah variabel lain seperti kecepatan perkecambahan dan waktu munculnya kecambah.
Giberelin (GA3) memainkan peran penting dalam banyak aspek pertumbuhan dan
perkembangan tanaman, seperti perkecambahan biji, perpanjangan batang, akar dan
perkembangan bunga (Leite et al., 2003). Oleh karena itu, Giberelin berperan penting
dalam meningkatkan panjang radikula kecambah. Hal ini sejalan dengan penelitian
(Miladinov et al., 2018) pada tanaman kedelai, tanaman jagung (Supardy et al., 2016),
dan mentimun (Anwar et al., 2020). Benih kedelai varietas Anjasmoro, Burangrang, dan
Grobogan pada waktu munculnya kecambah tidak terdapat perbedaan antar varietasnya,
dengan nilai tertinggi benih Burangrang yaitu 2.75 hari. Pada variabel waktu munculnya
kecambah sebanyak 50 % bahwa benih Burangrang memiliki nilai T50 % sebesar 2.77
hari dibandingkan benih Grobogan sebesar 3.16 hari (Tabel 5).
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa priming berpengaruh nyata pada


waktu kecambah 50% (T50), daya berkecambah (%), Berat Kering Kecambah Normal
(g), dan Panjang Hipokotil Kecambah Normal (cm). Varietas berpengaruh nyata pada
jumlah kecambah pada hari pertama (%), waktu kecambah 50% (T50 %), Berat Kering
Kecambah Normal (g), dan Panjang Hipokotil Kecambah Normal (cm) serta tidak
terdapat interaksi priming dan varietas

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Copeland, L. O. and M. B. McDonald. 2001. Principles of Seed Science and


Technology. 4th edition. London Kluwer Academic Publishers. 425p
Sadjad.1994. Kuantifikasi metabolisme benih. PT Widia Sarana Indonesia.
Jakarta
Kartasapoetra, A. G. 1986. Teknologi Benih Pengolahan Benih dan Tuntunan Pra
ktikum. Jakarta: Bina Aksara.
Purwanti, S. 2004. Kajian suhu ruang simpan terhadap kualitas benih kedelai hitam dan
kedelai kuning. Jurnal Ilmu Pertanian 11(1)
Rineka Cipta. 1986. Teknologi Benih, Pengolahan benih dan tuntunan praktikum.
Jakarta : Rineka Cipta
Sukarman dan M. Rahardjo. 2000. Karakter fisik, kimia dan fisiologis benih beberapa
varietas kedelai. Buletin Plasma Nutfah 6(2)
Danuarti. 2003. Pengujian Viabilitas dan Vigor Benih Beberapa jenis Tanaman yang
Beredar di Pasar Ambon. Jurnal Agrologia. Vol 2 No 1. Halaman 3,5 dan 9.
Kamil. 1982. Viabilitas Benih 1. Bandung: Penerbit Angkasa.
Kartasapoetra. 1992. Teknologi Benih Pengolahan Benih dan Tuntutan Praktikum.
Jakarta: Rineka Cipta.
Kuswant. 2007. Analisis Benih. Yogyakarta: Kanisius.
Ryastika, M. 2011. Pengujian Mutu dan Kualitas Benih. Jurnal crop Agro. Vol 9. No 2.
Halaman 4 dan 5.
Sadjad. 1993. Dari Benih ke Benih. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soetopo. 2005. Uji Viabilitas Benih. Jakarta: Rajawali Press.
Suita, E. 2013. Pengaruh Sortasi Benih terhadap Viabilitas dan Pertumbuhan Bibit Akor
(Acacia auriculiformis). Jurnal Perbenihan Tanaman Hutan. Volume 1 Nomor 2.
Halaman 9.
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA V
PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedelai (Glicine max (L) Merr) merupakan salah satu jenis tanaman kacang-
kacangan yang mempunyai peranan penting dalam pola konsumsi pangan di dunia. Hal
ini karena kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang dibutuhkan oleh
tubuh manusia (Suprapto, 1996). Menurut Adisarwanto, dkk. (2000), alasan mengapa
produksi kedelai Indonesia tidak mampu mengimbangi kebutuhan dalam negeri karena
produktivitas relatif masih rendah yakni berkisar 1,20 t.ha-1, sementara negara
penghasil utama kedelai dunia seperti USA dan Brasil di atas 2,0 t.ha-1. Sesungguhnya
jika pada keadaan lingkungan tumbuh yang optimal tanaman kedelai mampu
berproduksi mencapai 2,5 t.ha-1. Penyebab rendahnya produksi ini karena adanya
kendala seperti; luas areal cenderung menurun, adanya cekaman lingkungan misalnya
kahat hara, hama penyakit, genangan atau banjir serta kekeringan (Adisarwanto, dkk.,
2000). Keadaan jenuh air merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi kedelai di
lahan bekas sawah pada awal musim kemarau. Penanaman pada kondisi jenuh air
dikenal sebagai budidaya jenuh air (BJA), dalam hal ini memberikan irigasi secara
terus menerus dengan tinggi muka air tanah yang tetap sehingga lapisan tanah di
bawah perakaran menjadi jenuh air. Tinggi muka air tanah yang diusahakan tetap stabil
bertujuan untuk menghilangkan pengaruh negatif kelebihan terhadap pertumbuhan
tanaman, sehingga akan beraklimatisasi dan selanjutnya menyesuaikan dan
memperbaiki pertumbuhannya.

Budidaya kedelai jenuh air pada beberapa tempat, dapat memperbaiki pertumbuhan
dan meningkatkan produksi kedelai dibanding dengan cara irigasi biasa pada beberapa
varietas (Rodiah dan Sumarno, 1993). Hasil penelitian Adisarwanto dan Suhartina
(2000), tanaman kedelai varietas Agromolyo toleran terhadap kondisi tanah jenuh air
hingga tanaman berumur 50 hari setelah tanam (HST) dengan ketinggian 15 cm dari
permukaan atas bedengan.

Luas tanah vertisol di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah 136.750 ha tersebar
hampir di seluruh daerah (Badan Pusat Statistik, 2009) dan penggunaan umumnya
dijadikan sawah. Setelah panen padi, biasanya petani menanam jenis tanaman kacang-
kacangan, antara lain kacang kedelai. Penanaman kedelai di lahan sawah umumnya
dilakukan pada awal MK I (Musim Kering pertama) yang jatuh pada bulan Februari-
Maret dan masa tanam MK II (Musim Kering kedua) yaitu pada bulan Juni-Juli. Pada
bulan-bulan tersebut sering terjadi kondisi iklim yang tidak menentu, terutama masalah
waktu, frekuensi dan distribusi curah hujan yang tetap turun di awal musim kemarau
dengan jumlah curah hujan yang masih tinggi, sehingga hal ini sering mengakibatkan
areal pertanaman kedelai mengalami cekaman genangan air.

Pengaruh negatif dari kondisi tanah jenuh air dapat dikurangi dengan cara
melakukan teknik pengelolaan kelebihan air yang tepat, yaitu dengan membuat saluran
drainase, tinggi permukaan air yang berada dalam saluran drainase diusahakan agar
selalu tetap pada level tertentu serta waktu yang tepat untuk terjadinya penggenangan.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini, antara lain :


Mengetahui respon pertumbuhan tanaman kedelai terhadap lahan marginal.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kacang kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan
dasar banyak makanan dari Asia Timur seperti kecap, tahu, dan tempe. Berdasarkan
peninggalan arkeologi, tanaman ini telah dibudidayakan sejak 3500 tahun yang lalu di
Asia Timur. Kedelai merupakan sumber utama protein nabati dan minyak nabati dunia.
Penghasil kedelai utama dunia adalah Amerika Serikatmeskipun kedelai praktis baru
dibudidayakan masyarakat di luar Asia setelah 1910. Kedelai mulai dikenal di Indonesia
sejak abad ke-16. Awal mula penyebaran dan pembudidayaan kedelai yaitu di Pulau
Jawa, kemudian berkembang ke Bali, Nusa Tenggara, dan pulau-pulau lainnya. Kedelai
memiliki kandungan gizi yang tinggi selain protein yang sangat diperlukan oleh tubuh
misalnya vitamin A, vitamin B, niacin, besi, fosfor, kalium, lemak, karbohidrat dan
kedelai juga banyak dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat serta
keperluan industry (Adisarwanto, 2008).

Luas lahan tanaman kedelai di Indonesia masih tergolong rendah diakibatkan karena
alih lahan untuk tanaman perkebunan sehingga untuk lahan produksi tanaman kedelai
masih rendah. Di Sumatra Utara luas lahan produksi untuk tanaman kacang
kedelaisekitar 3.955,3 ha dan rata-rata hasil produksi per hektar yaitu sekitar 1.280
ton/ha(BPS, 2018). Kebutuhan kedelai tanah dari tahun ke tahun terus meningkat
sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan gizi masyarakat, pangan,
serta meningkatnya kapasitas industri pakan dan makanan di Indonesia. Produksi
kacang kedelai dalam negeri belum mencukupi kebutuhan Indonesia yang masih
memerlukan substitusi impor dari luar negeri. Oleh sebab itu pemerintah terus berupaya
meningkatkan jumlah produksi melalui intensifikasi, perluasan areal pertanaman dan
penggunaan pemupukan yang tepat serta pemakaian bibit unggul yang bersertifikat
(Adisarwanto, 2006).

Rendahnya produksi kacang kedelai di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor


seperti rendahnya kualitas benih, kurangnya pengetahuan petani tentang pemupukan,
ketersediaan varietas unggul yang masih terbatas, pengelolaan tanah, rendahnya bahan
organik, pembuatan drainase yang buruk (tingginya pencucian), periode kekeringan
yang cukup lama dan banyaknya alih lahan yang digunakan untuk tanaman perkebunan.
Di sampin0g hal di atas pemberian pupuk dalam bentuk pupuk organik dan pupuk
anorganik merupakan hal penting dalam peningkatan produksi kacang kedelai
(Suprapto, 2006).

III. METODE PRAKTIKUM

C. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop.
D. Prosedur Kerja

Amati tanaman kedelai pada lahan marginal.


Lakukan pengukuran terhadap pertumbuhan tanaman kedelai.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

Hasil Tanaman kedelai dengan umur 2 bulan setelah tanam


B. Pembahasan

tanaman kedelai lebih tinggi pada tinggi muka air 25 cm dan 20 cm di stadia vegetatif
aktif. Hal ini karena pada ketersediaan air tanah yang demikian kedelai mampu
melakukan pembelahan meristem apical melalui hara yang diserap, karena kondisi air
tanah dalam keadaan yang optimal (Ginting, dkk. 2011). Sementara pada tinggi muka
air yang sama untuk stadia pertumbuhan lainnya, tinggi tanaman kedelai berbeda tidak
nyata, sebagai akibat tanaman belum mendapat perlakuan genangan saat pertumbuhan
vegetatif.

Pada tinggi muka air tanah 15 cm untuk stadia vegetatif aktif memberikan tanaman
kedelai yang lebih tinggi dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan stadia pembungaan
dan pengisian polong. Sebaliknya pada stadia kematangan biji memberikan tinggi
tanaman yang lebih rendah. Situasi ini diakibatkan oleh kekurangan air sehingga
menyebabkan aktifitas metabolisme tanaman terganggu, secara langsung atau tidak
langsung berpengaruh pada hara yang tidak optimal. Hal ini akan menyebabkan
pembelahan meristem apical melalui hara yang diserap oleh tanaman kedelai akan
terganggu karena kondisi air tanah dalam keadaan kurang optimal.

Tanaman kedelai lebih tinggi pada tinggi muka air tanah 20 cm dibandingkan tinggi
muka air tanah lainnya pada semua stadia pertumbuhan. Pada tinggi muka air tanah 25
cm tinggi tanaman kedelai kurang optimal, karena kekurangan air bagi pertumbuhan
tanaman kedelai dalam hal ini selama genangan tanaman tidak di lakukan penyiraman
air dan hanya berasal dari baki saja.

Pada tinggi muka air tanah 20 cm di stadia pertumbuhan vegetatif aktif tinggi tanaman
kedelai lebih optimal. Hal ini merupakan kondisi kecukupan air bagi pertumbuhan
tinggi tanaman kedelai. Ketersediaan tanah yang demikian tanaman kedelai mampu
menyerap air dan hara dari dalam tanah untuk pertumbuhannya karena kondisi air tanah
dalam keadaan optimal. Pada tinggi muka air tanah 15 cm pertumbuhan tanaman
kedelai kurang optimal. Hal ini karena kondisi kelebihan air bagi pertumbuhan tanaman
kedelai. Air yang tersedia dalam tanah adalah selisih antara air yang terdapat pada
kapasitas lapang dan titik layu permanen. Disamping itu serapan air oleh akar tanaman
dipengaruhi oleh laju transpirasi, sistim perakaran, dan ketersediaan air tanah. daun
tanaman kedelai lebih luas pada semua tinggi muka air tanah di stadia vegetatif aktif
dan berbeda dengan perlakuan lainnya. Hal ini karena pada stadia tersebut air yang
cukup tersedia sehingga tanaman mampu menyerap air dan hara secara optimal.
Sementara pada tinggi muka air tanah yang sama untuk stadia pertumbuhan lainnya,
luas dalam tanaman kedelai berbeda tidak nyata, sebagai akibat karena pada kondisi
demikian pengaruh genangan sehingga kelebihan air bagi pertumbuhan daun tanaman
kedelai yakni menurunya CO2 untuk proses fotosintesis dan O2 untuk respirasi menjadi
tidak lancar, dan akibatnya daun tanaman kedelai menjadi kecil (Ginting, dkk. 2011).

Disamping itu daya ikat air di tinggi muka air tanah 25 pada beberapa stadia
pertumbuhan dalam keadaan tidak optimal sehingga dapat menghambat pertumbuhan
daun tanaman kedelai. Menurut Indranada (1995), 98 % air yang diambil oleh tanaman
akan hilang melalui proses transpirasi. Proses transpirasi ini penting untuk
mempertahankan sel-sel daun yang di luar agar tetap lembab sehingga laju penyerapan
CO2 untuk proses fotosintesis dan O2 untuk respirasi menjadi lebih lancar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa perlakuan tinggi muka air tanah
20 cm pada stadia pertumbuhan vegetatif aktif (T2S1) memberikan pertumbuhan dan
hasil yang lebih baik dengan tinggi tanaman (55,40 cm), luas daun (56,67 cm²), jumlah
polong isi (74,33 polong), bobot biji tanaman (42,27 g), dan bobot kering tanaman
(76,80 g) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain.

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T., R. D. Purwaningrahayu dan Riwanoja. 2000. Respon


Kedelai Terhadap Pemupukan pada Kondisi Tanah Jenuh Air.
Laporan Teknis Balitkabi 2000. 7 hal.
Adisarwanto, T., dan Suhartina. 2000. Tanggapan Beberapa Varietas
Kedelai terhadap Kondisi Tanah Jenuh Air.Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan, Vol 20 No. 1 Tahun 2001. Balai Penelitian
Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi,Malang.
htt://202.155.106.199/download. Diakses pada tanggal 20 Maret
2008.
Ghulamadi Munif, Aziz Arifin Sandra, Melati Maya, Dewi Nurwita, dan
Rais Astuti Sri. 2006. Aktifitas Nitrogenase, Hara dan
Pertumbuhan Dua varietas Kedelai pada Kondisi Jenuh Air dan
Kering. Buletin Agronomi (34) (1) 32-38.
Ginting, T., Raga, H., Sutarto, Y. 2011. Analisis Pertumbuhan dan Hasil
Kedelai (Glicine max (L) Merrill) Akibat Tingkat dan Waktu
Penggenangan yang Berbeda pada Tanah Vertisol Sawah Naibonat,
Kupang Timur. Laporan Penelitian Dosen Muda. Fakultas
Pertanian, Universitas PGRI NTT.
Indranada 1995. Pengolahan Kesuburan tanah, Universitas
Gadjah Mada.
Yogyakarta.
Jumin, H. 1989. Ekologi Tanaman. Penerbit Rajawali Pers. Jakarta.
Rodiah dan Sumarno. 1993. Keragaman Hasil Genotip Kedelai pada
Keadaan Tanah Jenuh Air. Risalah Seminar Hasil Penelitian
Tanaman Pangan Tahun 1993. Balittan. Bogor. Hal 115-124
Suprapto. 1996. Bertanam Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. 93
hal
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA VI
RESPON PERTUMBUHAN TERHADAP BOBOT BASAH DAN BOBOT
KERING TAJUK

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kedelai (Glicine max (L) Merr) merupakan salah satu jenis tanaman kacang-
kacangan yang mempunyai peranan penting dalam pola konsumsi pangan di dunia. Hal
ini karena kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang dibutuhkan oleh
tubuh manusia (Suprapto, 1996). Menurut Adisarwanto, dkk. (2000), alasan mengapa
produksi kedelai Indonesia tidak mampu mengimbangi kebutuhan dalam negeri karena
produktivitas relatif masih rendah yakni berkisar 1,20 t.ha-1, sementara negara
penghasil utama kedelai dunia seperti USA dan Brasil di atas 2,0 t.ha-1. Sesungguhnya
jika pada keadaan lingkungan tumbuh yang optimal tanaman kedelai mampu
berproduksi mencapai 2,5 t.ha-1. Penyebab rendahnya produksi ini karena adanya
kendala seperti; luas areal cenderung menurun, adanya cekaman lingkungan misalnya
kahat hara, hama penyakit, genangan atau banjir serta kekeringan (Adisarwanto, dkk.,
2000). Keadaan jenuh air merupakan salah satu penyebab rendahnya produksi kedelai di
lahan bekas sawah pada awal musim kemarau. Penanaman pada kondisi jenuh air
dikenal sebagai budidaya jenuh air (BJA), dalam hal ini memberikan irigasi secara
terus menerus dengan tinggi muka air tanah yang tetap sehingga lapisan tanah di
bawah perakaran menjadi jenuh air. Tinggi muka air tanah yang diusahakan tetap stabil
bertujuan untuk menghilangkan pengaruh negatif kelebihan terhadap pertumbuhan
tanaman, sehingga akan beraklimatisasi dan selanjutnya menyesuaikan dan
memperbaiki pertumbuhannya.

Budidaya kedelai jenuh air pada beberapa tempat, dapat memperbaiki pertumbuhan
dan meningkatkan produksi kedelai dibanding dengan cara irigasi biasa pada beberapa
varietas (Rodiah dan Sumarno, 1993). Hasil penelitian Adisarwanto dan Suhartina
(2000), tanaman kedelai varietas Agromolyo toleran terhadap kondisi tanah jenuh air
hingga tanaman berumur 50 hari setelah tanam (HST) dengan ketinggian 15 cm dari
permukaan atas bedengan.

Luas tanah vertisol di Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah 136.750 ha tersebar
hampir di seluruh daerah (Badan Pusat Statistik, 2009) dan penggunaan umumnya
dijadikan sawah. Setelah panen padi, biasanya petani menanam jenis tanaman kacang-
kacangan, antara lain kacang kedelai. Penanaman kedelai di lahan sawah umumnya
dilakukan pada awal MK I (Musim Kering pertama) yang jatuh pada bulan Februari-
Maret dan masa tanam MK II (Musim Kering kedua) yaitu pada bulan Juni-Juli. Pada
bulan-bulan tersebut sering terjadi kondisi iklim yang tidak menentu, terutama masalah
waktu, frekuensi dan distribusi curah hujan yang tetap turun di awal musim kemarau
dengan jumlah curah hujan yang masih tinggi, sehingga hal ini sering mengakibatkan
areal pertanaman kedelai mengalami cekaman genangan air.

Pengaruh negatif dari kondisi tanah jenuh air dapat dikurangi dengan cara
melakukan teknik pengelolaan kelebihan air yang tepat, yaitu dengan membuat saluran
drainase, tinggi permukaan air yang berada dalam saluran drainase diusahakan agar
selalu tetap pada level tertentu serta waktu yang tepat untuk terjadinya penggenangan.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain


1. mengetahui respon pertumbuhan terhadap bobot basa dan bobot kering tajuk.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat. Menurut
data Badan Pusat Statistik (2015) produksi kedelai pada tahun 2013 sebesar 779.992 ton biji
kering, menurun sebanyak 63.161 ton (7,49%) dibandingkan tahun 2012. Khususnya pada tahun
2014 produksi kedelai di Sumatera Utara mencapai 4.680 ton (www.sumutprov.go.id, 2015).
Penurunan produksi kedelai diperkirakan terjadi karena turunnya luas panen seluas 13,49 ribu
ha (2,38 %) dan produktivitas sebesar 0,28 kuintal/ha (1,89%), diperkirakan penurunan yang
relatif besar terjadi di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Kepulauan Riau, Sumatera
Selatan dan Sumatera Utara. Sehingga di butuhkan budidaya tanaman kedelai yang efektif,
salah satu kendala dalam peningkatan produksi kedelai adalah kurangnya lahan produktif,
sehingga peningkatan produksi kedelai akan diarahkan ke lahan kering masam ultisol yang
arealnya cukup luas. Menurut Dinas Pertanian Sumatera Utara penambahan areal tanam di
daerah Sumatera Utara bisa dilakukan dengan pemanfaatan lahan-lahan tidur milik pemerintah,
termasuk perusahaan BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara (www.sumutprov.go.id., 2015).

Strategi penanaman kedelai di Indonesia menurut Atman (2009) dengan intensifikasi


pertanaman untuk mendukung peningkatan produksi kedelai antara lain dapat dilakukan melalui
perluasan areal tanam. Perluasan areal tanam tidak hanya dilakukan pada daerah-daerah yang
sebelumnya menjadi sentra produksi kedelai tetapi juga membuka daerah-daerah pertumbuhan
baru. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas,
mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia. Sebaran terluas
terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua
(8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha), dan Nusa Tenggara (53.000 ha)
(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006). Sedangkan Risnawati (2010) mengatakan bahwa tanah ini
kurang sesuai untuk perkembangan kedelai karena kandungan Al, Fe dan Mn tinggi. Pada lahan
masam terjadi defisiensi hara N, P, Ca, Mg, Mo yang dibutuhkan tanaman.

Fosfor dapat merangsang perkembangan akar sehingga tanaman akan lebih tahan terhadap
kekeringan mempercepat pekembungaan dan pemasakan buah, biji atau gabah selain itu juga
dapat menambah nilai gizi (lemak dan protein). Dari hasil penelitian Hadirah (2011)
menunjukkan bahwa pemupukan fosfat sangat nyata terhadap tinggi tanaman dan produksi biji
kedelai yaitu berat biji kering. Indonesia beriklim tropik basah dengan curah hujan yang tinggi,
basa – basa tercuci dari komplek koloid tanah sehingga menyebabkan tanah-tanah di Indonesia
pada umumnya reaksinya masam, pH rendah kompleknya disebut khelat (Damanik, et al., 2011
III. METODE PRAKTIKUM
E. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop.

F. Prosedur Kerja

Amati tanaman kedelai pada lahan marginal.


Lakukan pengukuran terhadap pertumbuhan tanaman kedelai.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi Tanaman (cm)

Hasil sidik ragam tinggi tanaman ( lampiran 6 ) menunjukkan

perlakuan kombinasi limbah cair industri tempe dan urea memberikan

pengaruh yang tidak beda nyata terhadap tinggi tanaman, Hasil rerata tinggi

tanaman dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Rerata Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun


Perlakuan Tinggi tanaman Jumlah daun
Cm Helai
N1 19.38 16.53
N2 19.58 18.67
N3 19.21 17.40
N4 20.51 15.27
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom,
menunjukkan tidak ada beda nyataberdasarkan uji F taraf α
=5%.

N1 =( 100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe )


N2= ( 75 % N- urea + 25 % N- limbah cair tempe )
N3= ( 25 % N-urea + 75 % N- limbah cair tempe )
N4= (0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe )

Dari Tabel 1, menunjukan bahwa rerata tinggi tanaman memberikan

pengaruh tidak beda nyata pada semua perlakuan atau relatif sama. Hal ini

menunjukkan bahwa pemberian limbah cair industri tempe dan urea dengan

berbagai konsentrasi memberikan pengaruh yang sama terhadap tinggi tanaman

selada. Hal ini dikarenakan terpenuhinya unsur hara yang dibutuhkan tanaman

khusunya unsur hara nitrogen. Fungsi unsur N pada tanaman akan merangsang
pembelahan dan pembesaran sel. Didukung oleh Gardner et al. (1991), menyatakan

nitrogen di dalam tanaman akan di gunakan lebih untuk pertumbuhan


pucuk dibandingkan untuk pertumbuhan akar, selain itu unsur hara nitrogen pada

limbah cair industri tempe dapat memacu pertumbuhan tanaman, karena nitrogen

membentuk asam-asam amino menjadi protein. Protein yang terbentuk digunakan

untuk membentuk hormon pertumbuhan.

Menurut Sarief (1986) menyatakan bahwa dengan tersedianya unsur hara

makro (Nitrogen) dalam jumlah yang cukup pada saat pertumbuhan vegetatif, maka

proses fotosintesis akan berjalan aktif, sehingga pembelahan, pemanjangan dan

diferensiasi sel akan berjalan dengan baik. Pengamatan tinggi tanaman ini dapat

terlihat laju pertumbuhan pada selada yang mengalami fluktuasi dari setiap

perlakuannya. Fluktuasi pertumbuhan tinggi tanaman dapat dilihat pada

Gambar 1.

25.00
tinggi taanaman (cm)

20.00

15.00 N1

10.00 N2
N3
5.00 N4

0.00
12345678910 11 12

Gambar 1. Pertumbuhan Tinggi Tanaman


Keterangan : N1 =( 100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe ) N2=
( 75 % N- urea + 25 % N- limbah cair tempe ) N3=
( 25 % N-urea + 75 % N- limbah cair tempe ) N4=
(0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe )
Berdasarkan gambar 1, terlihat bahwa pemberian limbah cair industri tempe

dengan berbagai konsentrasi dapat mempengaruhi laju pertumbuhan tinggi tanaman.

Pada pengamatan ke 1 sampai 7 pertumbuhan tanaman masih terlihat pada

pertumbuhan tinggi tanaman yang relatif stabil. Hal ini disebakan pada minggu-

minggu pertama tanaman belum dapat menyerap unsur lebih banyak dan masih

adaptasi dengan lingkungan selain itu disebabkan juga karena jumlah daun yang

masih sedikit sehingga proses fotosintat masih sedikit dan menyebabkan laju

pertumbuhan masih lambat. Pada pengamatan ke 8 pertumbuhan tinggi tanaman

mulai melambat, hal ini di karenakan penambahan pupuk dilakukan pada minggu ke 2

sehingga unsur hara yang dibutuhkan dapat tercukupi khususnya unsur nitrogen .

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mas’ud (2009) tingginya kandungan

nitrogen (N) pada nutrisi buatan sendiri memacu peningkatan jumlah daun dan tinggi

tanaman selada dibandingkan pupuk buatan lainnya. Fungsi nitrogen merangsang

pertumbuhan tanaman dan memberikan warna hijau pada daun. Nitrogen lebih

banyak terdapat di dalam bagian jaringan muda dibandingkan jaringan tua tanaman,

terutama terakumulasi pada daun dan biji.

Jumlah Daun (helai)

Pengamatan jumlah helai daun dihitung pada daun yang telah membuka

sempurna. Hasil sidik ragam tinggi tanaman ( lampiran 6 ) menunjukkan perlakuan

kombinasi limbah cair industri tempe dan urea memberikan pengaruh yang tidak

beda nyata atau sama terhadap jumlah daun. Hasil rerata jumlah daun tersaji pada

tabel.1
Dari Tabel 1, menunjukan bahwa jumlah daun memberikan pengaruh tidak

beda nyata pada semua perlakuan atau relatif sama. Hal ini dikarenakan oleh

kandungan nitrogen pada perlakuan yang diberikan sama. Fungsi nitrogen pada

tanaman adalah merangsang pertumbuhan sel khususnya pada ujung pertumbuhan

tanaman sehingga semakin tinggi tanaman selada semakin banyak juga jumlah daun

yang tumbuh. Daun juga merupakan organ tanaman tempat mensintesis makanan

untuk kebutuhan tanaman maupun sebagai cadangan makanan. Daun memiliki

klorofil yang berperan dalam melakukan fotosintesis. Semakin banyak jumlah daun,

maka tempat untuk melakukan proses fotosintesis lebih banyak dan dan hasilnya

lebih banyak juga

Hasil tanaman selada adalah pada bagian daunnya, oleh karena itu pupuk

yang diberikan sebaiknya banyak mengandung unsur nitrogen (N). Hal tersebut dapat

dikaitkan dengan sifat-sifat penyediaan unsur hara pada tanaman, karena apabila

unsur hara yang diberikan pada tanaman dalam jumlah yang berlebihan dari yang

dibutuhkan oleh tanaman justru akan menyebabkan tanaman tumbuh kurang

optimal. Dalam perlakuan yang dilakukan kandungan nitrogen yang diberikan sama

sehingga jumlah dan tinggi tanamn pertumbuhannya realtif sama. Pola laju

pertumbuhan jumlah daun tersaji dalam gambar 2.


2
0
jumlah daun ( helai)
1
8
1 N
6 1
1 N
4
2
1
2 N
1 3
0
8 Gambar 2. Pertumbuhan Jumlah Daun
123456789101112 N
Keterangan
6 : N1 =( 100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe ) N2= 4
4 ( 75 % N- urea + 25 % N- limbah cair tempe ) N3=
2 ( 25 % N-urea + 75 % N- limbah cair tempe ) N4=
0 (0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe )
Berdasarkan gambar2 terlihat bahwa pemberian limbah cair industri tempe

dengan berbagai konsentrasi dapat mempengaruhi laju pertumbuhan jumlah daun .

pada pengamatan 1 sampai 8 atau minggu ke 1 ,2 dan 3 pertumbuhan jumlah daun

antar perlakuan relatif sama, sedangkan pada pengamatan ke 9 pertumbuhannya

sangat cepat. Hal ini karena sebelum pengamatan ke 9 dilakukan aplikasi perlakuan

sehingga unsur hara yang dibutuhkan tanaman tercukupi. Hal ini sesuai dengan

pendapat Gardner et.all,.1991 salah satu bagian yang pada masa pertumbuhan

vegatatif selada adalah daun muda atau tunas yang sedang tumbuh

A. Hasil Tanaman

Bobot Segar Tajuk (gram)


bobot segar tajuk merupakan salah satu parameter yang sering digunakan

untuk mempelajari pertumbuhan tanaman. Bobot segar tajuk adalah bobot tanaman

setelah dipanen sebelum tanaman tersebut layu dan kehilangan air, selain
itu bobot segar tajuk merupakan total bobot tanaman tanpa akar yang menunjukkan

hasil aktivitas metabolik tanaman itu sendiri (Salisbury dan Ross, 1995). Hasil sidik

ragam bobot segar tajuk ( lampiran 6 ) menunjukkan perlakuan kombinasi limbah cair

industri tempe dan urea memberikan pengaruh yang tidak beda nyata terhadap

bobot segar tajuk . Hasil rerata bobot segar tajuk tersaji dalam tabel 2.

Tabel 2. Rerata Bobot Segar Tajuk dan Bobot Kering Tajuk


Perlakuan Bobot segar Bobot kering Kadar air
tajuk (g) tajuk (g) tanaman %
N1 217.66 2.26 98,96
N2 233.25 2.41 98,97
N3 222.73 1.89 99,15
N4 191.51 1.80 99,01
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom, menunjukkan
tidak ada beda nyataberdasarkan uji F taraf α= 5%.

N1 =( 100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe )


N2= ( 75 % N- urea + 25 % N- limbah cair tempe )
N3= ( 25 % N-urea + 75 % N- limbah cair tempe )
N4= (0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe )

Dari Tabel 2, menunjukan bahwa rerata bobot segar tajuk memberikan

pengaruh tidak beda nyata pada semua perlakuan atau relatif sama. Hal ini

dikarenakan kebutuhan tanaman akan unsur hara makro dan mikro yang sama telah

terpenuhi dengan penambahan limbah cair industri tempe dan urea dengan berbagai

perlakuan (lampiran 2). Seperti pada pernyataan Harjadi (2007) mengatakan bahwa

ketersediaan unsur hara berperan penting sebagai sumber energi sehingga tingkat

kecukupan hara berperan dalam mempengaruhi biomassa dari suatu tanaman. Bobot

segar tajuk yang tinggi pada perlakuan ini disebabkan oleh jumlah daun dan tinggi

tanam yang relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan


pendapat Darwin 2012. Pada komoditas sayuran daun jumlah daun akan

berpengaruh terhadap bobot segar tajuk. Semakin banyak jumlah daun maka akan

menunjukkan bobot segar tajuk yang tinggi .

Berat segar tajuk meliputi batang dan daun yang berarti akumulasi dari hasil

fotosintesis dan dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara. Sitompul dan Guritno,

1995 menyatakan bahwa perhitungan berat kering tanaman penting dilakukan,

karena berat kering digunakan untuk melihat metabolisme tanaman. Berat kering

dapat mewakili hasil metabolit tanaman karena didalam daun dan organ lain

mengandung hasil metabolit. Pertambahan berat kering digunakan sebagai indikator

pertumbuhan tanaman karena berat kering mencerminkan akumulasi senyawa

organik yang berhasil disintesis tanaman dari senyawa anorganik yaitu air dan CO2.

Bobot segar tajuk juga merupakan gambaran dari fotosintesis selama

tanaman melakukan proses pertumbuhan, 90% dari berat kering tanaman merupakan

hasil dari fotosintesis. Syekfani (2002) menyatakan bahwa dengan pemberian pupuk

organik, unsur hara yang tersedia dapat diserap tanaman dengan baik karena itulah

pertumbuhan daun lebih lebar dan fotosintesis terjadi lebih banyak. Hasil fotosintesis

inilah yang digunakan untuk membuat sel-sel batang, daun dan akar sehingga dapat

mempengaruhi bobot segar tajuk tersebut. Perbedaan bobot segar pada aplikasi

limbah cair tempe tersaji dalam gambar4.


bobot segar tajuk (g)

perlakuan

Gambar 3. Bobot Segar Tajuk


Keterangan : N1 =( 100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe ) N2=
( 75 % N- urea + 25 % N- limbah cair tempe ) N3=
( 25 % N-urea + 75 % N- limbah cair tempe ) N4=
(0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe )

Histogram rerata bobot segar tajuk menunjukkan perlakuan N2 (75 % N- urea

+ 25 % N- limbah cair tempe) memberikan bobot segar tajuk paling tinggi sebesar

233.25 gram dan paling rendah pada perlakuan N4 ( 0% N-urea + 100 % N-limbah cair

tempe ) sebesar 191,51 gram. Perbedaan bobot segar tajuk disebabkan oleh

ketersediaan unsur hara. menurut Tjionger, M. (2006) faktor ketersediaan unsur hara

dapat berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga

berpengaruh pada berat segar tajuk. Artinya unsur hara yang terdapat pada

perlakuan N2 dapat tersedia atau terserap oleh tanaman melalui akar sehingga

mempengaruhi hasil fotosontesis yang akan mempengaruhi bobot segar tajuk.

Semakin besar biomassa suatu tanaman, maka kandungan hara dalam tanah yang

terserap oleh tanaman juga besar. Biomassa akar merupakan akumulasi fotosintat

yang berada diakar.


Bobot Kering Tajuk (gram)
Berat kering tajuk menunjukkan jumlah biomassa yang dapat diserap oleh

tanaman. Menurut Larcher (1975) berat kering tanaman merupakan hasil

penimbunan hasil bersih asimilasi CO2 yang dilakukan selama pertumbuhan dan

perkembangan tanaman. Pada pertumbuhan tanaman itu sendiri dapat dianggap

sebagai suatu peningkatan berat segar dan penimbunan bahan kering. Jadi semakin

baik pertumbuhan tanaman maka berat kering juga semakin meningkat. Hasil sidik

ragam bobot kering tajuk ( lampiran 6 ) menunjukkan perlakuan kombinasi limbah

cair industri tempe dan urea memberikan pengaruh yang tidak beda nyata atau sama

terhadap bobot kering tajuk. Hasil rerata bobot kering tajuk tersaji pada tabel 2.

Berdasarkan Tabel 2 , dalam penggunaan limbah cair industri tempe dan urea

tanaman selada memberikan rerata hasil bobot kering tajuk yang relatif sama, yaitu

pada perlakuan N1 = (100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe) 2.26, N2= ( 75 % N-

urea + 25 % N- limbah cair tempe ) 2.41, N3= ( 25 % N-urea + 75

% N- limbah cair tempe ) 1.89, N4= (0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe ) 1.80,

Pertumbuhan yang relatif sama ini dilihat dari kebutuhan tanaman yang sama telah

terpenuhi dengan penambahan limbah cair industri tempe dan urea dengan berbagai

perlakuan (lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian limbah cair tempe

dapat menggantikan pupuk urea sebagai sumber nutrisi tanaman. Untuk melihat hasil

bobot segar tanaman selada dari masing –masing perlakuan tersaji dalam gambar

dibawah ini;
bobot kering tajuk (g)

perlakuan

Gambar 4. Bobot Kering Tajuk


Keterangan : N1 =( 100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe ) N2=
( 75 % N- urea + 25 % N- limbah cair tempe ) N3=
( 25 % N-urea + 75 % N- limbah cair tempe ) N4=
(0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe )

Histogram rerata bobot kering tajuk menunjukkan perlakuan N2 (75 % N-

urea + 25 % N- limbah cair tempe) memberikan bobot kering tajuk paling tinggi

sebesar 2,41 gram dan paling rendah pada perlakuan N4 ( 0% N-urea + 100 % N-

limbah cair tempe ) sebesar 1,80 gram. Perbedaan hasil bobot kering tajuk selain

dipengaruhi oleh bobot segar tajuk, dipengaruhi juga oleh jumlah daun karena daun

merupakan tempat akumulasi hasil fotosintat tanaman. Adanya peningkatan proses

fotosintesis akan meningkatkan pula hasil fotosintesis berupa senyawa- senyawa

organik yang akan ditranslokasikan ke seluruh organ tanaman dan berpengaruh

terhadap berat kering tanaman (Nurdin , 2011). Hasil berat kering merupakan

keseimbangan anatara fotosintesis dan respirasi. Fotosintesis akan meningkatkan

berat kering karena pengambilan CO2 sedangkan respirasi mengakibatkan penurunan

berat kering karena pengeluaran C02. Apabila respirasi


lebih besar dibanding fotosistesis tumbuhan maka akan berkurang berat keringnya dan

begitu pula sebaliknya.

Kadar Air Tanaman (%)

Hasil sidik ragam kadar ait tanaman ( lampiran 6 ) menunjukkan perlakuan

kombinasi limbah cair industri tempe dan urea memberikan pengaruh yang tidak

beda nyata atau sama terhadap kadar ait tanaman. Rerata kadar air tanaman tersaji

pada tabel 2.

Dari Tabel 2, menunjukkan bahwa rerata kadar air tanaman memberikan

pengaruh tidak beda nyata pada semua perlakuan atau relatif sama, artinya

perlakuan yang diberikan memberikan hasil yang sama terhadap kadar air tanaman.

Kadar air tanaman berhubungan langsung dengan bobor segar dan kering tanaman

pada perlakuan N1 dan N2 memiliki kadar air yang lebih sedikit sehingga bobot

segarnya lebih banyak. Kadar air yang tinggi juga berpengaruh pada pertumbuhan

dan kualitas daun setelah panen.

(Munandar, dkk 1995) mengatakan bahwa kelebihan air menyebabkan kurangnya

aerase yang akan berdampak hampir sama dengan kekurangan air terhadap tanaman

yang menyebabkan pori tanah terisi oleh air. Tanaman yang mengalami kondisi

seperti ini akan berdampak negatif terhadap pertumbuhannya karena mengganggu

proses fotosintesa dan metabolisme dari tanaman. Dampak tersebut akan

berpengaruh terhadap efek morfologis dan fisiologis pada tanaman, Efek

morfologisnya adalah daun tanaman akan mengalami klorosis dan senesens lebih

awal, pemanjangan batang berkurang dan pertumbuhan akar menjadi terbatas.

Selanjutnya efek fisiologisnya adalah berkurangnya konsentrasi hormon


pertumbuhan dalam akar maupun ujung pertumbuhan daun, transfer hormon

pertumbuhan ke ujung pertumbuhan daun dibatasi yang akan mengakibatkan

kelayuan.

Bobot Segar Akar (gram)

Bobot segar akar merupakan bobot basah akar setelah panen tanpa ada proses

pengeringan terlebih dahulu. penimbangan dilakukan menggunakan timbangan

analitik dengan satuan gram. Sistem perakaran tanaman lebih dikendalikan oleh sifat

genetik dari tanaman yang bersangkutan, kondisi tanah atau media tanam. Faktor

yang mempengaruhi pola sebaran akar antara lain : penghalang mekanis, suhu tanah,

aerasi, ketersedian hara dan air. Pengukuran berat segar akar ini adalah untuk

mengetahui seberapa besar air yang terkandung dalam akar tanaman tersebut .

Hasil sidik ragam bobot segar akar ( lampiran 6 ) menunjukkan perlakuan

kombinasi limbah cair industri tempe dan urea memberikan pengaruh yang sama

atau tidak beda nyata terhadap bobot segar akar. Rerata bobot segar akar tersaji

dalam tabel 3.

Tabel 3. Rerata Bobot Segar Akar, Bobot Kering Akar dan Panjang Akar
Perlakuan Bobot segar akar Bobot kering Panjang akar
(g) akar (g) (cm)
N1 41.27 0.64 26.71
N2 40.34 0.75 28.47
N3 45.21 0.50 29.52
N4 42.73 0.74 27.23
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom,
menunjukkan tidak ada beda nyataberdasarkan uji F taraf α
5%.
N1 =( 100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe )
N2= ( 75 % N- urea + 25 % N- limbah cair tempe )
N3= ( 25 % N-urea + 75 % N- limbah cair tempe )
N4= (0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe )

Dari Tabel 3, menunjukan bahwa rerata bobot segar akar memberikan

pengaruh tidak beda nyata pada semua perlakuan atau relatif sama. Hal ini

dikarenakan kebutuhan tanaman akan unsur hara makro dan mikro telah terpenuhi

dengan penambahan limbah cair industri tempe dan urea dengan berbagai perlakuan

(lampiran 2). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian limbah cair industri tempe atau

perlakuan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh yang sama terhadap bobot

segar akar. Penggunaan limbah cair tempe pada tanaman selada memberikan rerata

hasil berat segar akar yang relative sama, sehingga sama pula dalam peningkatan

pertumbuhan akarnya. Perkembangan yang sama ini dimungkinkan karena unsur

yang tersedia pada semua perlakuan telah sama tercukupi (lampiran 2).

Perkembangan akar akan baik apabila ditunjang oleh strukur tanah dalam kondisi

yang baik, sehingga dalam penyerapan unsur hara akan maksimal.

Menurut Irwan (2005) pemberian pupuk atau bahan organik yang memiliki

kandung N yang cukup saat tanaman dapat mempertahankan awal pertumbuhan

tanaman yang bagus, sehingga dapat meningkatkan jumlah akar yang banyak.

Apabila jumlah akar pada tanaman dalam jumlah yang banyak akan mendukung

pertumbuhan tanaman itu sendiri, karena pada dasarnya akar merupakan salah satu

organ tanaman yang digunakan untuk menyimpan air dan biomasa dari tanah yang

kemudian akan di distribusikan pada tanaman yang nantinya akan digunakan untuk

proses metabolisme pada tanaman itu sendiri. seperti yang diungkapkan Fahrudin F

(2009) bahwa apabila perakaran dengan


baik maka pertumbuhan bagian tanaman yang lain akan berkembang baik pula,

karena akar dapat menyerap unsur hara yang dibutuhkan tanaman

Bobot Kering Akar (gram)

bobot kering akar sangat terggantung pada volume akar dan jumlah akar

tanaman itu sendiri, sehingga banyak tidaknya volume dan jumlah akar berpengaruh

bayak terhadap berat kering akar terpengaruh juga. Pertumbuhan tanaman paling

sedikit 90 persen bahan kering tanaman adalah hasil fotosintesis. Biomassa juga

memberikan suatu dasar yang mudah bagi tanaman terutama mengukur kemampuan

tanaman sebagai penghasil fotosintesis. Nisbah biomassa bagian-bagian yang

berlainan terhadap biomassa total yang sering kali digunakan sebagai ikhtisar data

pembagian yang baik ( Tomo, Wani dan Hadi, 1993 ).

Hasil sidik ragam bobot segar akar ( lampiran 6 ) menunjukkan perlakuan

kombinasi limbah cair industri tempe dan urea memberikan pengaruh yang sama

atau tidak beda nyata terhadap bobot kering akar. Rerata bobot kering akar tersaji

dalam tabel 3.

Dari Tabel 3, menunjukan bahwa rerata bobot kering akar memberikan

pengaruh tidak beda nyata pada semua perlakuan atau relatif sama. Hal ini

menunjukan bahwa pemberian limbah cair industri tempe dapat menggantikan

peranan pupuk urea dalam budidaya selada. Untuk melihat hasil bobot kering

tanaman selada dari masing –masing perlakuan tersaji dalam gambar


bobot kering akar

perlakuan

Gambar 5. Bobot Kering Akar


Keterangan : N1 =( 100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe ) N2=
( 75 % N- urea + 25 % N- limbah cair tempe ) N3=
( 25 % N-urea + 75 % N- limbah cair tempe ) N4=
(0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe )

Histogram rerata bobot kering akar menunjukkan perlakuan N2 (75 % N- urea

+ 25 % N- limbah cair tempe) memberikan bobot kering tajuk paling tinggi sebesar

0,75 gram dan paling rendah pada perlakuan N4 ( 0 % N-urea + 100 % N-limbah cair

tempe) sebesar 0,75 gram. Hal ini dikarenakan limbah cair tempe juga mengadung

unsur kalium sebesar 13,60 ppm dan diduga unsur tersebut dapat mendukung

perkembangan tanaman selada sehingga berpengaruh pada bobot kering akar. Jacob

(1995) menjelaskan bahwa kalium mempunyai peranan penting dalam metabolisme

tanaman, penghasil energi, dan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan akar,

karena dengan peluasan perakaran pada tanaman kemugkinan jumlah unsur hara

yang diserap akan banyak, sehingga pertumbuhan tanaman akan menjadi baik
Panjang Akar (cm)

Pengamatan panjang akar dilakukan setelah panen yaitu dengan

menggunakan mistar dengan satuan centimeter (cm). Berdasarkan hasil sidik ragam

panjang akar tanaman selada pada (Lampiran 6) menunjukkan bahwa penggunaan

limbah cair industri tempe dan urea memberikan pengaruh yang sama atau tidak

beda nyata terhadap panjang akar. Hasil rerata panjang akar tanaman selada pada

akhir pengamatan (minggu ke -5 setelah tanam) disajikan pada Tabel 3.

Dari Tabel 3, menunjukan bahwa rerata panjang akar tanaman selada

memberikan pengaruh tidak beda nyata pada semua perlakuan atau relatif sama. Hal

ini menunjukkan bahwa pemberian limbah cair industri tempe atau perlakuan yang

dilakukan dengan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh yang sama terhadap

panjang akar. karena Jumlah unsur hara dalam air yang dapat diserap tanaman

tergantung pada kesempatan untuk mendapatkan air dan unsur hara tersebut dari

dalam tanah. Hal ini tergantung pada jumlah perakaran, panjang perakaran, luas

permukaan akar dan jumlah unsur hara dan air yang tersedia dalam tanah (Sitompul

dan Guritno, 1995: 96-97).

Faktor lain yang mempengaruhi penyebaran akar adalah ketersedian air.

Sesuai pendapat (Lakitan 1993). Faktor yang mempengaruhi pola penyebaran akar

antara lain ialah, suhu tanah, aerasi, ketersediaan air dan ketersediaan unsur hara.

Peningkatan panjang akar dapat terjadi saat akar tanaman berusaha menjakau

ketempat-tempat yang lebih dalam untuk mencari sumber air. penyerapan air dapat

terjadi dengan perpanjangan akar ke tempat baru yang masih banyak air.
Panjang akar meningkat bila cekaman air meningkat (Ghidyal dan tomar, 1982). Pada

penelitian ini pemberian air atau penyiraman dilakukan dengan volume yang sama

sehingga panjang akar yang dihasil dihasil tidak berbeda nyata karena dimungkinkan

jangkauan akar untuk mendapatkan sumber air sama.

Hasil Tanaman Ton per Hektar

Hasil sidik ragam hasil tanaman selada ton/ha pada (Lampiran 6)

menunjukkan bahwa penggunaan limbah cair industri tempe dan urea memberikan

pengaruh yang sama atau tidak beda nyata terhadap hasil tanaman. Rerata hasil

tanaman selada pada akhir pengamatan (minggu ke -5 setelah tanam) disajikan

pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Tanaman Ton per Hektar


Perlakuan Hasil tanaman ton/hektar
N1 =( 100 % N-urea + 0 % N- limbah cair tempe) 54,42
N2= ( 75 % N- urea + 25 % N- limbah cair tempe ) 58,31
N3 =(25 % N-urea + 75 % N- limbah cair tempe ) 55,68
N4=(0% N-urea + 100 % N-limbah cair tempe ) 47,88
Keterangan : Angka yang diikuti huruf yang sama pada tiap kolom, menunjukkan
tidak ada beda nyataberdasarkan uji F taraf α =5%.

Dari Tabel 4, menunjukan bahwa rerata hasil tanaman memberikan pengaruh

tidak beda nyata pada semua perlakuan atau relatif sama Hal ini di sebabkan karena

kebutuhan unsur hara dalam tanah dengan cara pemupukan yang dilakukan mampu

meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Pemupukan bertujuan untuk

mendorong pertumbuhan, meningkatkan produksi, dan memperbaiki kualitas

tanaman. Respons tanaman terhadap pemberian pupuk akan meningkat jika

pemberian jenis pupuk, dosis, waktu, dan cara pemberian pupuk dilakukan dengan

tepat (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004). Kandungan unsur hara yang


seimbang dalam tanah mempunyai peranan penting untuk tanaman selama tanaman

tersebut tumbuh sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan

mempengaruhi produksi tanaman. Sudirja (2005) menyatakan bahwa unsur hara yang

cukup dan seimbang sangat diperlukan tanaman. Tanaman dapat tumbuh dengan

baik juga didukung oleh kondisi dan sifat tanah yang baik sehingga tanaman dapat

menggunakan hara dalam tanah secara maksimal.


V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Rerata tinggi tanaman memberikan pengaruh tidak beda nyata pada semua perlakuan
atau relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian limbah cair industri tempe dan
urea dengan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh yang sama terhadap tinggi
tanaman selada. Hal ini dikarenakan terpenuhinya unsur hara yang dibutuhkan tanaman
khusunya unsur hara nitrogen. Fungsi unsur N pada tanaman akan merangsang
pembelahan dan pembesaran sel.

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap menerapkan
protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang selama ini
dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Damanik, M.M.B., B.E Hasibuan., Fauzi, Sarifuddin dan H. Hanum, 2011. Kesuburan
Tanah Dan Pemupukan. USU Press. Medan.
Jumin, H. B. 1987. Dasar- dasar Agronomi. Rajawali Press, Jakarta. Karmawati, E.,
Zainal, M., Syakir, M., Joni, M., Ketut, A., Rubiyo. 2010. Budidaya dan Pasca
Panen Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor.
Lindawati, N., Izhar dan H. Syafria. 2000. Pengaruh pemupukan nitrogen dan interval
pemotongan terhadap produktivitas dan kualitas rumput lokal kumpai pada tanah
podzolik merah kuning. JPPTP 2(2): 130-133.
Marsono dan P. Sigit, 2001. Pupuk Akar. Redaksi Agromedia, Jakarta.
Nugroho, J. P. 2000. Pengaruh Pemberian Kapur (CaCO,) dan Pemupukan Dengan
Unsur Kalium (KCI) Pada Tanah Podsolik Darmaga Terhadap Semai Sengon
serta Pembuatan Kurva Buffer. IPB, Bogor.
Quddusy, N. 1999. Respon Pemupukan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.) Pada Media
Tumbuh yang Diberi Kompos Alang-Alang dengan Trichoderma. Fakultas
Pertanian, ITB.
Rini, Hazli, N., Hamzar, S., Teguh, B. P., 2005.Pemberian Fly Ash Pada Lahan
Gambut untuk Mereduksi Asam Humat dan Kaitannya Terhadap Kalsium (Ca)
dan Magnesium (Mg). MIPA FKIP Universitas Riau, Pekan Baru.
Supriadi dan Soeharsono. 2005. Kombinasi Pupuk Urea Dengan Pupuk Organik Pada
Tanah Inceptisol Terhadap Respon Fisiologis Rumput Hermada (Sorghum
Bicolor). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Yogyakarta.
Suriatna, S. 1992. Pupuk dan Pemupukan. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Suryani, D dan Zulfebriansyah. 2007. Komoditas Kakao : Potret Dan Peluang
Pembiayaan. Economic Review No. 210 Desember 2007. Diakses dari
http://www.bni.co.id/Portals/0/Docume nt/Komoditas%20Kakao.pdf.
Wuryaningsih, S., Sutater, T., dan Sutomo. 1997. Pengaruh Dosis dan Frekwensi
Pemberian Pupuk Kalium serta Persentase Air Tersedia terhadap Tanaman Melati.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Jakarta. Jurnal Hortikultura I
(3). Hal 781-787.
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA VII
PENGENALAN GEJALA HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Produksi kedelai nasional tahun 2008 sebesar 671.600 ton dengan luas lahan 526.796
Ha. Data di atas menunjukkan bahwa produksi kedelai di Indonesia berkisar antara 1-
1,5 ton/Ha. Hasil tersebut hanya memenuhi 40 persen dari kebutuhan dalam negeri.
mencapai 1.679.400 ton sehingga kita harus mengimpor kedelai sedikitnya 1 juta
ton/tahun. Lonjakan import kedelai disebabkan oleh peningkatan konsumsi produk
industri kecil seperti tahu, tempe, kecap, dan susu semakin populer sebagai pengganti
daging. Jenis industri yang tergolong skala kecil-menengah ini jumlahnya sangat
banyak, menyebabkan tingginya tingkat kebutuhan konsumsi kedelai (Anonim 2004;
Anonim 2010).

Dalam upaya untuk mengendalikan hama, petani sekarang masih bertumpu pada
insektisida, karena cara-cara yang lain seperti penggunaan varietas tahan dan musuh
alami belum banyak digunakan. Pengendalian hama menggunakan insektisida sudah
biasa di lakukan, tetapi kegagalan dalam menanggulangi hama masih sering terjadi.
Penggunaan insektisida tanpa didasari pengetahuan bioekologi hama dan teknik aplikasi
yang benar mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pengendalian, bahkan dapat
menyebabkan terjadinya kasus resistensi dan resurjensi (Marwoto 1992). Untuk
mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida tersebut, maka pengendalian hama
secara konvensional (menggunakan pestisida) mulai ditinggalkan dan beralih pada
pengendalian berdasarkan konsepsi pengelolaan hama terpadu (PHT). Untung (1993)
menyatakan bahwa PHT lebih mengutamakan pengendalian dengan memanfaatkan
peran berbagai musuh alami hama. Musuh alami pada keseimbangan alam yang baik
selalu berhasil mengendalikan populasi hama, tetap berada di bawah aras ekonomi.
Oleh karena itu, dengan memberikan kesempatan kepada musuh alami untuk bekerja
berarti dapat mengurangi penggunaan pestisida. Mengingat peran parasit dan predator
dalam menekan populasi hama secara alami cukup penting, maka upaya konservasi
musuh alami di lapang perlu lebih diperhatikan
B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain,


1. Mengetahui gejala hama dan penyakit tanaman.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kedelai adalah komoditas pangan utama di Indonesia selain padi dan jagung.
Kedelai merupakan tanaman sumber protein yang murah, sehingga dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Kebutuhan terhadap kedelai semakin
meningkat dari tahun ketahun sejalan dengan bertambahnya penduduk dan
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap makanan berprotein nabati (Sarawa &
Nurmas, 2012).Namun bila dilihat dari hasil produksinya masih belum memuaskan.
Produktivitas kedelai nasional saat ini masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor, diantaranya adalah banyak petani kedelai saat ini masih berbasis pada
pertanian rakyat yang berciri skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan
teknologi seadanya, lokasi dan kondisi lingkungan yang kurang mendukung serta
gangguan hama dan penyakit (Atman, 2009). Padahal potensinya masih dapat
ditingkatkan sampai melalui pemanfaatan teknologi maju dan pemeliharaan yang
intensif (Efendi, 2010). Faktor yang sampai sekarang menjadi masalah adalah gangguan
hama. Serangan hama tentu dapat menurunkan produktivitas, bahkan menyebabkan
gagal panen yang berpengaruh tidak hanya bagi kelangsungan hidup petani itu sendri
tetapi juga terhadap salah satu sumber devisa negara. Sehingga diperlukan usaha
pengendalian hama secara tepat. Salah satu dasar untuk menentukan cara pengendalian
adalah dengan mengetahui jenis hama melalui proses identifikasi ditambah dengan
tingkat kerusakan yang ditimbulkan dari hama tersebut. Ukuran hama yang kecil,
tempat meyerang hama yang tersembunyi, gejala-gejala serangan yang sama dan
morfologi yang sama dari beberapa jenis hama yang berbeda sangat mempengaruhi
proses identifikasi. Identifikasi terhadap hama pada kedelai memang harus dilakukan
secara cepat dan seakurat mungkin, dikarenakan hama pada tanaman tersebut dapat
dengan cepat menyebar serta menyerang keseluruh lahan pertanian.
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop

B. Prosedur Kerja

Prosedur yang dilakukan pada praktikum acara ini adalah sebagai berikut:
1. Studi literatur mengenai dilakukan gejala hama dan penyakit tanaman
IV. PEMBAHASAN

Lalat Bibit Kacang


Ophiomyia phaseoli

Lalat bibit kacang menyerang sejak tanaman muda muncul ke permukaan tanah hingga
tanaman umur 10 hari. Lalat betina meletakkan telur pada tanaman muda yang baru
tumbuh. Telur diletakkan di dalam lubang tusukan antara epidermis atas dan bawah
keping biji atau disisipkan dalam jaringan mesofil dekat pangkal keping biji atau
pangkal helai daun pertama dan kedua. Telur berwarna putih seperti mutiara dan
berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 0,31 mm dan lebar 0,15 mm. Setelah dua
hari, telur menetas dan keluar larva. Larva masuk ke dalam keping biji atau pangkal
helai daun pertama dan kedua, kemudian membuat lubang gerekan. Selanjutnya larva
menggerek batang melalui kulit batang sampai ke pangkal batang, dan berubah bentuk
menjadi kepompong. Pada pertumbuhan penuh, panjang larva mencapai 3,75 mm.
Kepompong mula-mula berwarna kuning kemudian berubah menjadi kecoklat-coklatan.

Lalat Batang
Melanagromyza sojae
Imago berwarna hitam, bentuk tubuhnya serupa dengan lalat bibit kacang, dengan sayap
transparan. Ukuran tubuh serangga betina 1,88 mm dan serangga jantan 3,90 mm. Telur
diletakkan pada bagian bawah daun sekitar pangkal tulang daun di daun ketiga dan daun
yang lebih muda. Telur berbentuk oval dengan ukuran panjang 0,36 mm dan lebar 0,13
mm. Setelah 2–7 hari telur menetas menjadi larva dan makan jaringan daun, kemudian
menuju batang melalui tangkai daun dan masuk serta menggerek batang bagian dalam.
Kepompong terbentuk di dalam batang dengan ukuran panjang 2,35 mm dan lebar 0,80
mm.

Lalat Pucuk
Melanagromyza dolicostigma

Serangga dewasa berupa lalat berwarna hitam, bentuknya serupa dengan lalat kacang.
Panjang tubuh serangga betina 2,25 mm dan lebar tubuh 0,64 mm dengan rentang sayap
5,65 mm, sedangkan serangga jantan mempunyai panjang tubuh 1,95 mm dan lebar
0,66 mm dengan rentang sayap 5,15 mm. Telur diletakkan pada permukaan bawah dari
daun-daun bagian pucuk yang belum membuka. Telur berwarna hijau keputih-putihan,
berbentuk lonjong dengan ukuran panjang 0,38 mm dan lebar 0,15 mm. Setelah keluar
dari telur, larva makan dan menggerek ke dalam jaringan daun, kemudian menuju pucuk
tanaman melalui tulang daun. Panjang tubuh larva yang telah tumbuh penuh berkisar
3,30-3,76 mm dengan lebar 0,7 mm. Kepompong dibentuk di dalam batang bagian
pucuk. Panjang kepompong berkisar 2,35-2,55 mm dengan lebar 0,42 mm.

Aphis
Aphis glycines Matsumura
Tubuh Aphis glycines berukuran kecil, lunak dan berwarna hijau agak kekuning-
kuningan. Sebagian besar jenis serangga ini tidak bersayap, tetapi bila populasi
meningkat, sebagian serangga dewasanya membentuk sayap yang bening. Aphis dewasa
yang bersayap ini kemudian berpindah ke tanaman lain untuk membentuk koloni yang
baru. Serangga ini menyukai bagian-bagian muda dari tanaman inangnya. Panjang
tubuh Aphis dewasa berkisar antara 1-1,6 mm. Nimfa Aphis dapat dibedakan dengan
imagonya dari jumlah ruas antena. Jumlah antena nimfa instar satu umumnya 4 atau 5
ruas, instar kedua 5 ruas, instar tiga 5 atau 6 ruas dan instar empat atau imago 6 ruas.
Serangga muda (nimfa) dan imago mengisap cairan tanaman.

Kumbang Kedelai
Phaedonia inclusa Stall

Kumbang kedelai dewasa berbentuk kubah. Kumbang jantan panjangnya 4-5 mm,
sedang yang betina 5-6 mm. Tubuh kumbang berwarna hitam mengkilap dengan bagian
kepala dan tepi sayap depan berwarna kecoklatan. Kumbang dewasa aktif pada pagi dan
sore hari, sedangkan pada siang hari bersembunyi di celahcelah tanah. Kumbang
dewasa makan daun, pucuk tanaman, bunga dan polong. Bila tanaman disentuh,
kumbang akan menjatuhkan diri seolah-olah mati. Kumbang betina meletakkan telur
secara berkelompok pada permukaan bawah daun. Telur berbentuk bulat panjang dan
berwarna kuning/kuning pucat dengan panjang 1,33 mm. Kelompok telur terdiri dari 5-
10 butir. Setelah 4 hari, telur menetas dan keluar larva. Larva yang baru keluar dari telur
untuk sementara tinggal di tempat telur diletakkan, kemudian pindah dan makan bagian
pucuk bunga dan polong. Larva muda berwarna abu-abu gelap sedangkan larva dewasa
berwarna agak terang. Larva berganti kulit sebanyak 3 kali. Menjelang menjadi
kepompong, larva menuju ke tanah dan berkepompong di sela-sela gumpalan tanah.
Kepompong berwarna kuning pucat, dengan panjang 3-5 mm. Masa menjadi
kepompong selama 8 hari.

Ulat Jengkal
Chrysodeixis chalcites Esper; Thysanoplusia (=Trichoplusia) orichalcea Fabricius

Ngengat betina meletakkan telur pada permukaan bawah daun secara satu persatu.
Mula-mula telur berwarna putih kemudian berubah menjadi kuning. Setelah 3-4 hari,
telur akan menetas. Ulat yang keluar berwarna hijau dan dikenal dengan sebutan ulat
jengkal karena perilaku jalannya. Panjang tubuh ulat yang telah mencapai pertumbuhan
penuh sekitar 40 mm. Ulat dewasa membentuk kepompong dalam daun yang dianyam.
Setelah 7 hari, kepompong tumbuh menjadi ngengat.

Penyakit Karat
Phakopsora pachyrhizi
Pada daun pertama berupa bercak-bercak berisi uredia (badan buah yang memproduksi
spora). Bercak ini berkembang ke daun-daun di atasnya dengan bertambahnya umur
tanaman. Bercak terutama terdapat pada permukaan bawah daun. Warna bercak coklat
kemerahan seperti warna karat. Bentuk bercak umumnya bersudut banyak berukuran
sampai 1 mm. Bercak juga terlihat pada bagian batang dan tangkai daun.

Penyakit Pustul Bakteri


Xanthomonas axonopodis pv glycines

Gejala awal berupa bercak kecil berwarna hijau pucat, tampak pada kedua permukaan
daun, menonjol pada bagian tengah lalu menjadi bisul warna coklat muda atau putih
pada permukaan bawah daun. Gejala ini sering dikacaukan dengan penyakit karat
kedelai. Tetapi bercak karat lebih kecil dan sporanya kelihatan jelas. Bercak bervariasi
dari bintik kecil sampai besar tak beraturan, berwarna kecoklatan. Bercak kecil bersatu
membentuk daerah nekrotik yang mudah robek oleh angin sehingga daun berlubang-
lubang; pada infeksi berat menyebabkan daun gugur

Penyakit Antraknose Colletotrichum dematium var truncatum dan C. destructivum


jamur. Tulang daun pada permukaan bawah tanaman terserang biasanya menebal
dengan warna kecoklatan. Pada batang akan timbul bintik-bintik hitam berupa duri-duri
jamur yang menjadi ciri khas. Siklus Penyakit dan Epidemiologi Patogen bertahan
dalam bentuk miselium pada residu tanaman atau pada biji terinfeksi. Miselium menjadi
penyebab tanaman terinfeksi tanpa menimbulkan perkembangan gejala sampai tanaman
menjelang masak. Infeksi batang dan polong terjadi selama fase reproduksi apabila
cuaca lembab dan hangat

Penyakit Target Spot


Corynespora cassiicola

Bercak coklat kemerahan timbul pada daun, batang, polong, biji, hipokotil, dan akar,
dengan diameter 10- 15 mm. Kadang-kadang mengalami sonasi, yaitu membentuk
lingkaran seperti pada papan tembak (target).
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Serangan hama tentu dapat menurunkan produktivitas, bahkan menyebabkan gagal


panen yang berpengaruh tidak hanya bagi kelangsungan hidup petani itu sendri tetapi
juga terhadap salah satu sumber devisa negara. Sehingga diperlukan usaha pengendalian
hama secara tepat. Salah satu dasar untuk menentukan cara pengendalian adalah dengan
mengetahui jenis hama melalui proses identifikasi ditambah dengan tingkat kerusakan
yang ditimbulkan dari hama tersebut. Ukuran hama yang kecil, tempat meyerang hama
yang tersembunyi, gejala-gejala serangan yang sama dan morfologi yang sama dari
beberapa jenis hama yang berbeda sangat mempengaruhi proses identifikasi. Identifikasi
terhadap hama pada kedelai memang harus dilakukan secara cepat dan seakurat
mungkin, dikarenakan hama pada tanaman tersebut dapat dengan cepat menyebar serta
menyerang keseluruh lahan pertanian.

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Atman.2009.Strategi peningkatan Produksi di Indonesia. Tambua. 8(1):39-45

_______. 2004. Vegetable Soybean Production. AVRDC Insect Pests Manajemen.


http:// www. Avrdc. org/vegetable soybean production,ipm.htm. [diakses
Februari 2010]

Efendi.2010. Peningkatan Pertumbuhan dan Produksi Kedelai Melalui Kombinasi


Pupuk organic Lamtorogung dengan Pupuk Kandang

Marwoto. 1992. Masalah Efektifitas Pengendalian Hama Kedelai di Tingkat Petani.


Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balittan.
Malang. Hal. 37-43.

Sarawa, Nurmas A, Aj MD. 2012. Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kedelai (Glcine
Max L.) yang Diberi Pupuk Guano dan Mulsa Alang-Alang. Jurnal
Agroteknos. 2(2):97-105

Untung K. 1993. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA VIII
IDENTIFIKASI HAMA DAN PATHOGEN TANAMAN KEDELAI

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumbangan kedelai dalam penyediaan bahan pangan yang bernilai gizi tinggi cukup
besar, karena mengandung protein nabati tinggi dan asam amino yang lebih lengkap
dari bahan pangan lainnya. Kedelai merupakan bahan utama tempe, tahu, kecap, susu
kedelai, dan tauco. Karena itu konsumsi kedelai di Indonesia selalu meningkat dari
tahun ke tahun sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan
per kapita, dan kesadaran masyarakat akan nilai gizi makanan (Badan Litbang Pertanian
2007).

Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu sentra produksi kedelai dengan
kontribusi 14,2% terhadap produksi nasional, sehingga diharapkan dapat berperan
dalam memenuhi target produksi nasional menuju swasembada kedelai 2014. Sejak
tahun 2008, Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah
telah melakukan upaya peningkatan produksi kedelai, antara lain melalui program
percepatan penerapan peningkatan mutu intensifikasi (PMI) dan pengelolaan tanaman
terpadu (PTT), mendorong optimalisasi pemanfaatan lahan, perluasan areal tanam,
pengembangan penangkar dan produsen benih kedelai, serta memantapkan sistem
jaringan benih antarlapang (Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah
2008). Namun peningkatan produksi dapat mengimbangi peningkatan laju permintaan.

Upaya pengembangan kedelai yang lebih nyata diarahkan melalui peningkatan areal
tanam dan peningkatan produktivitas. Perluasan areal tanam dilakukan melalui
peningkatan indeks pertanaman (IP) di lahan sawah irigasi dan tadah hujan, lahan
kering yang diberakan dengan sistem monokultur maupun tumpangsari, areal tanam
perkebunan, dan hutan yang belum menghasilkan (tegakan muda), sementara upaya
peningkatan produktivitas dilakukan melalui penggunaan varietas unggul bermutu serta
budidaya kedelai yang baik dan benar. Upaya perluasan areal dan peningkatan
produktivitas dihadapkan pada rendahnya nilai kompetitif kedelai dibandingkan dengan
komoditas pangan lainnya, terlebih pada lahan sawah irigasi, tadah hujan, dan lahan
kering (Prasetyo 2011).
Salah satu terobosan peningkatan areal kedelai adalah di areal hutan Perum
Perhutani yang dikelola oleh Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Potensi lahan
untuk pengembangan tanaman pangan termasuk kedelai di areal hutan perhutani Jawa
Tengah seluas 108.451 ha (Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah 2011). Sebagai sarana
untuk mendiseminasikan inovasi teknologi budidaya kedelai di kawasan hutan, Adhie et
al. (2011) dan Prayudi et al. (2012) menyatakan bahwa gelar teknologi budidaya kedelai
di kawasan hutan jati muda di Ngawi dan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Telawa
memberikan hasil yang baik.

Kendala utama bagi petani kedelai di kawasan hutan jati muda yang masih
memerlukan pendampingan yang intensif adalah serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT). Dari hasil pengamatan pendahuluan diperoleh informasi bahwa jenis
dan intensitas serangan OPT kedelai berbeda antar kawasan, terutama kawasan yang
baru dimanfaatkan untuk ditanami kedelai, dibandingkan dengan kawasan yang sudah
biasa ditanami kedelai atau jagung. Dengan informasi pendahuluan tersebut, telah
dilaksanakan pengkajian yang bertujuan untuk mengidentifikasi jenis dan intensitas
serangan OPT pada pertana

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain,


1. mengetahui identifikasi hama dan pathigen tanaman kedelai.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kedelai adalah komoditas pangan utama di Indonesia selain padi dan jagung.
Kedelai merupakan tanaman sumber protein yang murah, sehingga dapat digunakan
untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat. Kebutuhan terhadap kedelai semakin
meningkat dari tahun ketahun sejalan dengan bertambahnya penduduk dan
meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap makanan berprotein nabati (Sarawa &
Nurmas, 2012).Namun bila dilihat dari hasil produksinya masih belum memuaskan.
Produktivitas kedelai nasional saat ini masih sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor, diantaranya adalah banyak petani kedelai saat ini masih berbasis pada
pertanian rakyat yang berciri skala usaha kecil, manajemen sederhana, pemanfaatan
teknologi seadanya, lokasi dan kondisi lingkungan yang kurang mendukung serta
gangguan hama dan penyakit (Atman, 2009). Padahal potensinya masih dapat
ditingkatkan sampai melalui pemanfaatan teknologi maju dan pemeliharaan yang
intensif (Efendi, 2010). Faktor yang sampai sekarang menjadi masalah adalah gangguan
hama. Serangan hama tentu dapat menurunkan produktivitas, bahkan menyebabkan
gagal panen yang berpengaruh tidak hanya bagi kelangsungan hidup petani itu sendri
tetapi juga terhadap salah satu sumber devisa negara. Sehingga diperlukan usaha
pengendalian hama secara tepat. Salah satu dasar untuk menentukan cara pengendalian
adalah dengan mengetahui jenis hama melalui proses identifikasi ditambah dengan
tingkat kerusakan yang ditimbulkan dari hama tersebut. Ukuran hama yang kecil,
tempat meyerang hama yang tersembunyi, gejala-gejala serangan yang sama dan
morfologi yang sama dari beberapa jenis hama yang berbeda sangat mempengaruhi
proses identifikasi. Identifikasi terhadap hama pada kedelai memang harus dilakukan
secara cepat dan seakurat mungkin, dikarenakan hama pada tanaman tersebut dapat
dengan cepat menyebar serta menyerang keseluruh lahan pertanian.
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop

B. Prosedur Kerja

Prosedur yang dilakukan pada praktikum acara ini adalah sebagai berikut:
1. lakukan pengamatan pada tanaman kedelai.
2. Studi literatur mengenai dilakukan gejala hama dan penyakit tanaman
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Intensitas serangan pada pola tanam


Jenis OPT Baru Setelah kedelai Setelah jagung
dimanfaatkan
Lalat bibit (Ophiomya phaseoli) - * *
Layu kecambah (Rhizoctonia solani) * ** **
Aphis (Aphis glycines) * ** **
Kutu kebul (Bemisia tabaci) - * *
Karat daun (Phakopsora pachirrhyzi) * * *
Belalang (LOCUSTA sp.) *** * **
Ulat grayak (Spodoptera LITURA) ** * *
Ulat penggulung daun (Lamprosema indicata) * ** **
Pustul bakteri (Xanthomonas axonopodis) * * *
Virus mosaik kedelai (Virus) * *** ***
Kepik polong (RiPTORTUS linearis) * * *
Kepik hijau (Nezara VIRIDULA) * *** **
Penggerek polong (Etiella zinckenella) * *** ***
-) tidak ditemukan, *) intensitas serangan <1–10%, **) intensitas serangan >10–25%, ***) intensitas serangan

>25–50%.

B. Pembahasan

Hasil pengkajian menunjukkan telah diidentifikasi 13 jenis OPT pada tanaman kedelai
yang diusahakan di kawasan hutan jati muda. Pada Tabel 1 terlihat bahwa keberadaan
OPT pada lahan yang baru dimanfaatkan berbeda dengan lahan yang telah dimanfaatkan
untuk kedelai untuk usahatani kedelai atau jagung. Pada lahan yang baru diman- 218
Prayudi: OPT, hasil kedelai pada pola tanam di kawasan hutan jati muda faatkan untuk
kedelai tidak ditemukan lalat bibit (O. phaseoli) dan kutu kebul (B. tabaci), tetapi
serangga belalang (Locusta sp.) merupakan hama yang dominan, diikuti oleh ulat
grayak (S. litura). Fakta tersebut memberikan indikasi bahwa belalang maupun ulat
grayak yang bersifat polifag telah eksis di kawasan hutan sebelum kedelai diusahakan.
Kedua jenis OPT tersebut mampu bertahan hidup dengan vegetasi yang tumbuh di
bawah tegakan jati muda. Sementara sembilan jenis OPT lainnya menunjukkan
intensitas serangan relatif sama dan merupakan OPT yang potensial berkembang pada
pertanaman kedelai yang akan datang. Pada pertanaman kedelai setelah kedelai, OPT
yang dominan adalah virus mosaik kedelai, kepik hijau (N. viridula), dan penggerek
polong (E. zinckenella), diikuti oleh layu kecambah (R. solani), Aphis (A. glycines),
dan ulat penggulung daun (L. indicata). Tujuh jenis OPT lainnya menunjukkan
intensitas serangan yang relatif sama. Virus mosaik kedelai berkembang pesat karena
patogen dapat menular melalui biji dan ditularkan oleh A. glycines (Puslitbangtan 1990,
Semangun 1991, Soejadi et al. 1993). Kepik hijau juga merupakan OPT yang dominan
karena kepik hijau dapat berkembang dengan baik pada tanaman kedelai.
Ketidakcermatan mengantisipasi kepik hijau pada kedelai berakibat tingginya intensitas
serangan hama ini pada kedelai.

Penggerek polong juga merupakan OPT dominan. Hal ini disebabkan pada saat
berusahatani kedelai, petani juga menanam kacang tanah dan kacang panjang yang juga
merupakan inang penggerek polong kedelai. Umumnya petani tidak pernah melakukan
pengendalian OPT tersebut pada kacang tanah maupun kacang panjang, sehingga OPT
berkembang lebih lanjut pada tanaman kedelai. Layu kecambah (R. solani) merupakan
penyakit yang potensial berkembang lebih lanjut. Hal ini disebabkan patogen dapat
berkembang pada pelepah daun kedelai. Apabila jerami kedelai yang terdapat patogen
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 2013 219
dimanfaatkan untuk mulsa kedelai, besar kemungkinan patogen menular dari jerami
padi ke kedelai, seperti yang dilaporkan Prayudi et al. (2002). Pada pertanaman kedelai
setelah jagung, OPT yang dominan adalah virus mosaik kedelai dan penggerek polong
(E. zinckenella), diikuti oleh layu kecambah (R.solani), Aphis (A. glycines), belalang
(Locusta sp.), ulat penggulung daun (L. indicata), dan kepik hijau (N. viridula). Virus
mosaik kedelai berkembang pesat karena patogen dapat menular melalui biji, dan
ditularkan oleh A. glycine. Penggerek polong juga merupakan OPT dominan. Hal ini
disebabkan pada saat melakukan usahatani jagung, petani juga menanam secara
selingan kacang tanah dan kacang panjang yang juga merupakan inang penggerek
polong kedelai. Umumnya petani tidak pernah melakukan pengendalian OPT tersebut
pada kacang tanah maupun kacang panjang, sehingga OPT berkembang lebih lanjut
pada tanaman kedelai. Layu kecambah (R. solani) merupakan penyakit yang potensial
untuk dapat berkembang lebih lanjut. Hal ini disebabkan patogen dapat berkembang
pada pelepah daun jagung bahkan sampai pada tongkol. Apabila jerami jagung yang
terdapat patogen dimanfaatkan untuk mulsa kedelai, besar kemungkinan patogen
menular dari jerami jagung ke kedelai
Dari data tersebut diperoleh informasi bahwa kehilangan hasil akibat serangan 13 jenis
OPT cukup besar (58,6–61,0%). Hal ini terutama disebabkan oleh kerusakan tanaman,
terutama daun dan polong (biji), bahkan tanaman mati. Soekarna dan Harnoto (1993)
menyatakan bahwa kerusakan daun yang parah mengakibatkan tanaman tidak mampu
melakukan fungsi fisiologi dengan maksimal, bahkan terhenti melakukan berfotosintesis
proses pengisian polong terhenti. Biji yang rusak dan tidak menarik menyebabkan
harganya rendah di pasaran. Pengendalian OPT utama dilaksanakan dengan
menggunakan karbosulfan 25,5% sebagai perawatan benih untuk mengendalikan hama
lalat bibit. Penyemprotan satu kali sipermetrin 15 g/l bertujuan untuk mengendalikan
hama perusak daun, dan dua kali penyemprotan deltametrin 25 g/l untuk mengendalikan
hama perusak polong, sesuai dengan anjuran Marwoto et al. (2006). Untuk antisipasi
OPT pada usahatani kedelai selanjutnya, diperlukan strategi pengendalian yang
komprehensif dan ramah lingkungan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari data tersebut diperoleh informasi bahwa kehilangan hasil akibat serangan 13 jenis
OPT cukup besar (58,6–61,0%). Hal ini terutama disebabkan oleh kerusakan tanaman,
terutama daun dan polong (biji)

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Adhie, M., Marwoto, T. Sundari, G. Wahyu, A. Inayati, A. Taufik, C. Prahoro, E.


Marsudi, J.S. Utomo dan A. Musaddad. (2011). Sosialisasi dan Gelar Teknologi
Budidaya Mendukung Pencanangan Tanam Perdana Kedelai di Kawasan Hutan
Jati. Laporan Kegiatan. Balikabi, Malang. 37 p.

Badan Litbang Pertanian, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kedelai.
Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian, Jakarta.

Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah. 2008. Rencana Strategis Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah 2008–20013.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah,
Ungaran.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The pests of Crops in Indonesia. PT Ichtiar Baru van Hoeve,
Jakarta. Marwoto; S. Hardaningsih, dan A. Taufik. 2006. Hama, Penyakit, dan
Masalah Hara pada

Tanaman Kedelai. Identifikasi dan Pengendaliannya. Puslitbang Tanaman Pangan.


Bogor. 67 p.

Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. 2011. Laporan Tahunan Perum Perhutani Jawa
Tengah Tahun 2011. Semarang. 293 p.

Prasetyo, T. 2011. Manajemen Usaha Tani Kedelai Berwawasan Agribisnis. Makalah


pada Semiloka Nasional 14 Juli 2011. Dukungan untuk Pemberdayaan Petani
dalam Pengem- bangan Agribisnis Pedesaan. Semarang. 10 p.

Prayudi, B. (2002). Efek Dosis Trichoderma HARZIANUM dalam Pengendalian


Penyakit Layu Semai terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai di Lahan Rawa.
pp: 165–171. Dalam Prayudi. B., A. Jumberi, M. Sarwani, I. Noor (Ed.)
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering dan Lahan Rawa.
Banjarbaru.
Prayudi, B., T. Sudaryono, Suprapto, T. Prasetyo, A. Hermawan, dan Yulianto. (2012).
Sosiali- sasi dan Gelar Teknologi Budidaya Kedelai di Kawasan Hutan Jati
Muda di Jawa Tengah. Laporan Hasil Kegiatan BPTP Jawa Tengah, Ungaran.
42 p.

Puslitbang Tanaman Pangan. 1990. Petunjuk Bergambar untuk Identifikasi Hama dan
Penyakit Kedelai di Indonesia. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. 115 p.

Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada


Univ.

Press. 449 p.

Soedjadi, M., M. Amir., dan R. Martoatmodjo. 1993. Penyakit Kedelai dan


Penanggulang- annya. pp: 331–356. Dalam Somaatmadja, S., M. Ismunadji,
Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, Yuswadi. (Ed.). Kedelai. Cetakan kedua.
Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Soekarna, D. dan Harnoto. 1993.
Pengendalian Hama Kedelai. hlm 319–330. Dalam Soma- atmadja, S., M.
Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, Yuswadi. (Ed.). Kedelai.

Cetakan kedua. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.

Tengkano, W dan M. Soehardjan. 1993. Jenis Hama Utama pada Berbagai Fase
Pertumbuhan Tanaman Kedelai. hlm 295–318. Dalam Somaatmadja, S., M.
Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, Yuswadi. (Ed.). Kedelai.
Cetakan kedua. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor.
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA IX
PENILAIAN KERUSAKAN TANAMAN

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya pembudidayaan dilakukan agar tanaman dapat


terpelihara.Pemeliharaan tersebut bertujuan untuk mengendalikan suatu serangan baik
dari serangan hama, maupun penyakit. Kegagalan dalam usaha dibidang pertanian
diantaranya disebabkan oleh adanya organisme pengganggu tanaman. Dalam budidaya
tanaman pelaksanaan perlindungan hama terpadu sangat berpengaruh. Agar mampu
menghasilkan produksi yang maksimal, menguntungkan, dan berkualitas.

Pengamatan hama dan penyakit tanaman merupakan kegiatan utama dalam


proses Pengendalian Hama Terpadu. Kegiatan ini diharapkan dapat mengurangi
hambatan tersebut diatas, sehingga secara bertahap Pengendalian Hama Terpadu
dilaksanakan secara konsekuen. Untuk jangka pendek pengamatan bertujuan untuk
mendeteksi timbulnya hama dan penyakit tanaman pada saat yang paling awal, sehingga
pengendalian dini dapat dilaksanakan dengan baik. Sedangkan untuk jangka panjang,
data pengamatan hama dan penyakit dapat digunakan untuk menysusn suatu program
peramalan hama dan penyakit tanaman

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain

1. mengetahui nilai kerusakan tanaman


II. TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Pengamatan dan Ambang Ekonomi

Pengamatan adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan data atau
keterangan dengan jalan mengamati, melalukan perhitungan atau pengukuran terhadap
obyek yang diteliti. Pengamatan atau observasi adalah proses pengambilan data dalam
penelitian di mana peneliti atau pengamat melihat situasi penelitian. (Kardinan, 2004).
Ambang ekonomi yaitu tingkat kepadatan populasi hama atau tingkat intensitas
kerusakan tanaman yang mulai mengakibatkan terjadinya kerugian ekonomik.. Ambang
Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih
besar daripada biaya pengendalian. (Djojosumarto, 2000)

Peranan Pengamatan dalam Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu

Pengamatan merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan baik sebelum kegiatan
pengendalian dilakukan yaitu untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan kegiatan
pengendalian, maupun sesudah pengendalian dilakukan yaitu untuk melakukan evaluasi
terhadap hasil pengendalian yang dilalukan tersebut.

Jadi data atau informasi/keterangan yang diperoleh dari hasil pengamatan dapat
dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan:

Perlu tidaknya pengendalian dilakukan


Metode pengendalian yang dipilih dan bagaimana cara melaksanakannya
Tindakan apa dan bagaimana cara melakukannya yang harus diambil untuk mencegah
meluasnya penyakit dan serangan hama.

Macam-macam Pengamatan

Berdasarkan sifatnya, pengamatan dibedakan menjadi:

Pengamatan kualitatif, bila kegiatan pengamatan bermaksud untuk mengetahui macam


hama atau penyakit, lokasinya dan bagaimana keadaannya.
Pengamatan kuantitatif, bila kegiatan pengamatan bermaksud untuk mengetahui lebih
rinci tentang hama atau penyakit, yaitu berapa luas serangan dan intensitasnya.
Berdasarkan kekerapan (frekuensi) nya, pengamatan dibedakan menjadi:

Pengamatan tetap/pengamatan kontinyu/pengamatan regular, yaitu pengamatan yang


dilakukan terus menerus secara berkala atau dengan skala (interval) waktu tertentu pada
suatu wilayah pengamatn tertentu. Pengamatan tetap menghasilkan data keadaan hama
penyakit dari waktu ke waktu sehingga dapat memberi gambaran tentang dinamika
penyakit dan populasi hama di wilayah pengamatan tersebut.
b. Pengamatan keliling/incidental, yaitu pengamatan yang dilakukan sekali- sekali
bila keadaan memerlukan. Pengamatan keliling bertujuan untuk menutupi kekurangan
yang terdapat pada pengamatan tetap, karena pada pengamatan tetap jumlah petah
contoh sangat terbatas. Pada prinsipnya pengamatan keliling adalah pengamatan untuk
mengetahgui terjadinya serangan hama atau timbulnya penyakit pada tempat-tempat
tertentu yang dapat menjadi sumber hama atau penyakit. Dasar dilakukannya
pengamatan keliling adalah bila secara visual tanaman atau bagian tanaman
menunjukan gejala yang patut dicurigai, atau adanya informasi dari sumber yang dapat
dipercaya.

Berdasarkan jumlah sampel (comtoh) yang diamati, pengamatan dibedakan menjadi:

Pengamatan global, yaitu pengamatan yang cukup dilakukan pada skala wilayah
pengamtan yang cukup luas, tetapi dengan jumlah sampel yang relative sedikit. Data
atau informasi yang diperoleh biasanya masih sangat kasar atau masih kurang teliti.
Pengamatan halus, merupakan kelanjutan dari kegiatan pengamatan global yaitu apabila
pengamatan global diperoleh data atau informasi yang menunjukan adanya penyakit
atau serangan hama yang cukup mengkhawatirkan. Untuk itu perlu dilakukan
penambahan jumlah sampel yang diamati untuk meningkatkan ketelitian dari data atau
informasi yang diperoleh.
Pengamatan dan Penilaian Serangan Hama

Seringkali diperlukan penialain terhadap tingkat serangan hama, baik


berdasarkan tingkat kepadatan populasi hama maupun tingkat intensitas kerusakannya.
Biasanya pertanaman berdasarkan penilaian tersebut dikategorikan menjadi:

Pertanaman sehat
Bila pertanaman mengalami serangan hama mulai tidak ada sama
sekali sampai batas ambang ekonomi

Pertanaman dengan serangan/kerusakan ringan


Bila pertanaman mengalami serangan hama mulai batas ambang
ekonomi sampai di bawah kerusakan 25%

Pertanaman dengan serangan/kerusakan sedang

Bila pertanaman mengalami serangan hama mulai batas kerusakan


25% sampai dibawah 50%

Pertanaman dengan serangan/kerusakan berat


Bila pertanaman mengalami serangan hama mulai batas kerusakan
50% sampai dibawah 85%

Pertanaman dengan serangan/kerusakan puso


Bila pertanaman mengalami kerusakan sama dengan atau lebih dari
85%

Seringkali untuk jenis hama-hama tertentu (misalnya wereng coklat) batasan


mengenai penilaian serangan/kerusakannya menggunakan cara penilaian tersendiri yang
berbeda dengan cara penilaian yang dikemukakan di atas. Penentuan penilaian terhadap
tingkat serangan maupun kerusakan tersebut tidak akan dapat dilakukan tanpa diadakan
pengamatan.

Pengamatan dan Penilaian Serangan Penyakit

Tingkat kerusakan tanaman yang disebabkan oleh penyakit tanaman disebut


intensitas penyakit. Berbeda pada hama tanaman gejala kerusakan merupakan satu-
satunya sarana yang dapat dipergunakan untuk menentukan intensitas penyakit.

Pada kasus yang penyakit mengakibatkan matinya atau tidak berproduksinya


tanaman (misalnya damping off dan penyakit-penyakit viral) atau rusaknya bagian
komersial tanaman (misalnya buah, bunga, dan sebagainya) penentuan intensitas
penyakit sangat mudah karena hanya dinyakatan dalam persen tanaman atau bagian
tanaman yang sakit terhadap keseluruhan populasi tanaman atau bagian tanaman yang
diamati. Dengan perkataan lain tanaman yang diamati hanya dinilai sebagai sakit atau
sehat, tanpa memandang tingkat kerusakannya.
Untuk kasus diluar tersebut diatas, pada tanaman atau bagian tanaman yang
diamati harus dilakukan penilaian tingkat kerusakan masing-masing tanaman atau
bagian tanaman dan intensitas penyakit atau fungsi dari tingkat kerusakan tanaman atau
bagian tanaman tersebut.

Intensitas penyakit lebih sulit ditentukan bila suatu penyakit menyebabkan


kerusakan pada berbagai organ tanaman, misalnya daun, dan buah, akrena untuk
masing-masing organ tanaman diperlukan suatu standar penialian penyakit tertentu.
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop

B. Prosedur Kerja

Prosedur yang dilakukan pada praktikum acara ini adalah sebagai berikut:
1. lakukan pengamatan pada tanaman kedelai.
2. Studi literatur mengenai dilakukan gejala hama dan penyakit tanaman
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

Tabel Pengamatan Kejadian Penyakit

Perlakuan Minggu 1
∑ tanaman ∑ tanaman sakit Kejadian Penyakit (%)
Lahan Subur 6 3 50 %
Lahan Marginal 6 3 50 %

Tabel Pengamatan Intensitas Penyakit

Perlakuan Minggu 1
Skor ∑ tanaman sakit Intensitas Penyakit (%)
Lahan Subur 0 0
1 1
2 2
50 %
3 0
4 0
5 0
Lahan Marginal 0 0
1 0
2 0
50%
3 2
4 1
5 0
Tabel Pengamatan Persentase Serangan

Perlakuan Minggu 1
∑ tanaman ∑ tanaman terserang Persentase Serangan (%)
Lahan Subur 6 3 50%
Lahan Marginal 6 3 50%

Tabel Pengamatan Intensitas Serangan

Perlakuan Minggu 1
Skor ∑ tanaman rusak Intensitas Serangan(%)
mutlak
Lahan Subur 0 0 0%
1 0 0%
2 0 0%
3 1 55%
4 0 0%
Lahan Marginal 0 0 0%
1 0 0%
2 0 0%
3 2 60%
4 0 0%

B. Pembahasan

Pada 1 HSI intensitas kerusakan daun pada metode dengan pilihan (DP) berkisar
antara 2,75% hingga 5,21% dengan nilai rata-rata keseluruhan 3,50%. Intensitas
kerusakan masih sangat rendah hal ini disebabkan karena umur larva baru satu hari
setelah diinfestasi. Untuk galur Brg/MLG 0511-29 intensitas kerusakannya paling
rendah (2,75%) dan lebih rendah dibandingkan varietas pembanding Lawit (3,14%).
Galur Brg/Myp-3 intensitas kerusakannya paling tinggi (5,21%) dan lebih tinggi
daripada Lawit. Pada metode tanpa pilihan (TP), intensitas kerusakan berkisar antara
9,80% hingga 14,89%. Pada metode TP terlihat intensitas kerusakannya lebih tinggi
dibanding metode DP. Hal ini disebabkan pada metode TP, larva ulat grayak dipaksa
mengkonsumsi tanaman yang ada. Pada metode TP intensitas kerusakan terendah pada
galur Grb/Lwt-22 (9,80%) di mana juga lebih rendah daripada Lawit (12,94%).
Sedangkan intensitas kerusakan tertinggi tetap pada galur Brg/Myp-3 (14,89%) lebih
tinggi daripada Lawit (Tabel 1).

Rata-rata intensitas kerusakan daun pada 3 HSI sebesar 9,94% (metode DP) dan
17,43% (metode TP). Kenaikan intensitas keruskan sebesar 64% dibandingkan pada 1
HSI (metode DP), dan 27% (metode TP). Intensitas kerusakan pada metode DP berkisar
antara 8,10% hingga 12,29%. Kerusakan terendah pada galur Mlbr/MLG 0927-15
(8,10%). Dan kerusakan tertinggi pada Lawit (12,29%). Pada metode TP kerusakan
daun berkisar antara 13,76% hingga 19,94%. Kerusakan terendah pada galur Grb/Lwt-
22 (13,76%) dan kerusakan tertinggi pada galur Brg/Myp-3 (19,94) (Tabel 2)

Rata-rata intensitas kerusakan daun pada 5 HSI sebesar 19,56% (metode DP) dan
26,30% (metode TP). Kenaikan intensitas keruskan sebesar 49% dibandingkan pada 3
HSI (metode DP), dan 33% (metode TP). Intensitas kerusakan pada metode DP berkisar
antara 16,27% hingga 24,41%. Kerusakan terendah pada galur Brg/MLG 0511-29
(16,27%). Dan kerusakan tertinggi pada Lawit (24,41%). Pada metode TP kerusakan
daun berkisar antara 22,47% hingga 29,80%. Keruskan terendah pada galur Brg/Myp-
14 (22,47%) dan kerusakan tertinggi pada galur Grb/Lwt-17 (29,80%) (Tabel 3). Rata-
rata intensitas kerusakan daun pada 7 HSI sebesar 26,46% (metode DP) dan 29,59%
(metode TP). Pada metode DP kerusakan daun berkisar antara 23,79% (Brg/Myp-3)
hingga 29,32% (Grb/Lwt-12). Sedangkan pada metode TP kerusakan daun berkisar
antara 21,82 (Anj/MLG 0511-20) hingga 37,66% (Grb/Lwt-22). Pada metode TP
kerusakan sudah mencapai hingga 30%. Kerusakan daun kedelai 30% dapat
mempengaruhi kedelai (Arifin 1989). Tinggi rendahnya intensitas kerusakan daun
dipengaruhi oleh populasi ulat grayak. Pada metode DP, dalam setiap tanaman tidak
selalu terdapat populasi larva ulat grayak, dan dalam beberapa hari pengamatan larva
ulat grayak bebas berpindah-pindah tempat untuk mengkonsumsi daun kedelai. Oleh
sebab itu, intensitas keruskan daun yang terjadi pada metode DP relatif rendah.
Sedangkan pada metode TP, larva ulat grayak dipaksa untuk mengkonsumsi daun
kedelai yang ada. Sehingga dalam empat periode pengamatan sudah terlihat tingginya
intensitas kerusakan daun. Arifin (1994; 2012) menyatakan bahwa kerusakan dan
kehilangan hasil karena ulat grayak ditentukan oleh populasi, stadia serangga, stadia
tanaman dan tingkat kerentanan kedelai
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada metode DP, dalam setiap tanaman tidak selalu terdapat populasi larva ulat
grayak, dan dalam beberapa hari pengamatan larva ulat grayak bebas berpindah-pindah
tempat untuk mengkonsumsi daun kedelai. Oleh sebab itu, intensitas keruskan daun
yang terjadi pada metode DP relatif rendah. Sedangkan pada metode TP, larva ulat
grayak dipaksa untuk mengkonsumsi daun kedelai yang ada. Sehingga dalam empat
periode pengamatan sudah terlihat tingginya intensitas kerusakan daun. Arifin (1994;
2012) menyatakan bahwa kerusakan dan kehilangan hasil karena ulat grayak ditentukan
oleh populasi, stadia serangga, stadia tanaman dan tingkat kerentanan kedelai

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2011. Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tnaman Pangan.


Jakarta. 46 p. Diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
Anonymous a, 2011. http://www.blogiztic.net/info/tanaman/hama-dan-penyakit-
pada-tanaman-cabai.html. Diakses pada 13 Desember 2011
Anonymous, b. 2011. http://www.google.co.id/gambar/lalat buah. Diakses pada
tanggal 12 Desember 2011.
Anonymous, c. 2011. http://www.google.co.id/gambar/nyamuk. Diakses pada
tanggal 12 Desember 2011.
Anonymous, d. 2011. http://www.google.co.id/gambar/semut. Diakses
pada tanggal 12 Desember 2011.
Anonymous, e. 2011. http://www.google.co.id/gambar/laba-laba. Diakses
pada tanggal 12 Desember 2011.
Chemblink, 2008. Hexaconazole. Diakses dari
http://www.chemblink.com/ products/ 79983-71-4.htm. Diakses
10 Des.2011
Departemen Pertanian. 2002. Luas Tanam, Produksi Dan Produktivitas Jagung.
Departemen Pertanian. Jakarta.
Djojosumarto, Panut. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian.
Kanisius, Yogyakarta.
Kardinan, Agus. 2004. Pestisida Nabati Ramuan Dan Aplikasi. Penebar

Swadaya, Jakarta.

Pakki, Syahrir., 2005. Epidemiologi Dan Pengendalian Penyakit Bercak Daun


(Helminthosporium sp.) Pada Tanaman Jagung. Balai Penelitian
Tanaman Serealia, Maros.
Pusat Data Pertanian, 2001. Data Produksi Tanaman Pangan dan Hortikultura.
Pusat Data Pertanian, Jakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA X
PENGENDALIAN HAYATI DAN PENGELOLAAN HABITAN

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan kedelai pada tahun 2004 telah mencapai 2,02 juta ton, sedangkan
produksi dalam negeri hanya 0,71 juta ton sehingga kekurangannya 1,31 juta ton
terpaksa di impor (Badan Litbang Pertanian 2005). Untuk menekan laju impor kedelai
dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam termasuk
pembukaan lahan baru. Salah satu kendala dalam peningkatan produksi kedelai adalah
gangguan hama yang dapat menurunkan hasil sampai 80%, bahkan puso apabila tidak
ada tindakan pengendalian. Tanaman kedelai sangat disukai oleh hama, terbukti dengan
banyaknya hama yang menyerang, yakni hama dalam tanah, hama bibit, hama daun,
hama penggerek batang, dan hama polong kedelai.

Upaya pengendalian didasarkan atas konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)


dengan mengutamakan peningkatan peran pengendalian secara alami (iklim, musuh
alami, dan kempetitor). Pestisida digunakan apabila komponen pengendalian lain tidak
lagi mampu mengendalikan hama dan aplikasinya didasarkan kepada pemantauan
ambang kendali dan dampak negatifnya terhadap lingkungan diusahakan seminimal
mungkin (Untung 1993).

Prinsip operasional PHT adalah pengendalian hama yang merupakan bagian dari
komponen atau subsistem dari sistem pengelolaan Agroekosistem. Dengan demikian,
pengendalian hama dan penyakit harus diterapkan dalam kerangka budi daya tanaman
dan usahatani secara keseluruhan. Pendekatannya bersifat terpadu antarsektor dan
antardisiplin ilmu tanpa mengutamakan salah satu sektor/disiplin ilmu tertentu. Dalam
sistem PHT, pengendalian hama mencakup seluruh gatra pengelolaan ekosistem
pertanian, termasuk gatra teknis, ekologis, ekonomis, dan sosial budaya (Marwoto dan
Sri Hardaningsih 2004). Untuk memperoleh hasil yang tinggi pengambilan keputusan
pengendalian hama harus didasarkan atas analisis ekosistem kedela

B. Tujuan

1. Mengetahui jenis agens hayati dan aplikasinya serta mengelola habitat


II. TINJAUAN PUSTAKA

PENGENDALIAN HAMA TERPADU

Pendekatan Pengendalian

Pengendalian hama dan penyakit pada tanaman kedelai berlandaskan


strategi penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah suatu cara
pendekatan atau cara pengendalian hama dan penyakit yang didasar- kan pada
pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan ekosistem
yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
Strategi PHT adalah mendukung secara kompatibel semua teknik atau
metode pengendalian hama dan penyakit didasarkan pada asas ekologi dan
ekonomi. Prinsip operasional dalam PHT adalah:

Budidaya tanaman sehat


Tanaman yang sehat mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap
gangguan hama. Untuk itu penggunaan paket-paket teknologi produksi dalam
praktek-praktek agronomis yang dilaksanakan harus diarahkan kepada
terwujudnya tanaman yang sehat.

Pelestarian musuh alami


Musuh alami (parasit, predator dan patogen serangga) merupakan faktor
pengendali hama penting yang perlu dilestarikan dan dikelola agar mampu
berperan secara maksimum dalam pengaturan populasi hama di lapang.

Pemantauan ekosistem secara terpadu

Pemantauan ekosistem pertanaman yang intensif secara rutin oleh petani


merupakan dasar analisis ekosistem untuk pengambilan keputusan dan melakukan
tindakan yang diperlukan.

Petani sebagai ahli PHT


Petani sebagai pengambil keputusan dan ketrampilan dalam menganalisis
ekosistem serta mampu menetapkan keputusan pengendalian hama secara tepat
sesuai dengan dasar PHT.
Analisis Ekosistem sebagai Dasar Pengendalian Hama
Sistem PHT dalam pengambilan keputusan didasarkan atas analisis
ekosistem. Analisis ekosistem yang telah ditetapkan dan berfungsi terdiri atas tiga
subsistem, yaitu: pemantauan, pengambilan keputusan, dan tindakan (Gambar 1).

Subsistem pemantauan (monitoring) berfungsi untuk selalu memantau


keadaan agroekosistem yang dikelola melalui kegiatan pengamatan rutin, baik
terhadap komponen biotik (keadaan tanaman, intensitas kerusakan, populasi hama
dan penyakit, populasi musuh alami, keadaan gulma dan lain-lain) maupun
komponen abiotik (curah hujan, suhu, air, angin dan lain-lain). Pengamatan secara
rutin (misal satu minggu sekali) dapat dilakukan oleh petugas pengamat khusus atau
oleh petani yang sudah terlatih. Metode pengamatan harus dibuat praktis dan ekonomis
tetapi tetap dengan ketelitian statistik yang dapat dipertanggungjawabkan.

Subsistem pengambilan keputusan (decision making) berfungsi untuk


menentukan keputusan pengelolaan hama yang tepat yang didasarkan pada analisis
data hasil pemantauan yang secara rutin diterima dari subsistem pemantauan.
Pengambilan keputusan didasarkan pada model dan

Teknologi pengelolaan hama yang dikuasai oleh dan tersedia bagi si


pengambil keputusan. Keputusan yang diambil merupakan berbagai tindakan yang
perlu dilakukan pada agroekosistem agar sasaran PHT terpe- nuhi, termasuk keputusan
kapan dan bagaimana pestisida digunakan.

Subsistem program tindakan (action program) mempunyai fungsi untuk segera


melaksanakan keputusan dan rekomendasi yang dibuat oleh subsistem pengambilan
keputusan dalam bentuk tindakan pengendalian atau pengelolaan hama pada unit
lahan atau lingkungan pertanian yang dikelola. Tindakan tersebut dapat dilakukan
oleh petani secara per orangan atau berkelompok.
Komponen Pengendalian
Komponen pengendalian hama yang dapat dipadukan dalam penerapan PHT
pada tanaman kedelai adalah:

Pemanfaatan pengendalian alami dengan mengurangi tindakan- tindakan yang dapat


merugikan atau mematikan perkembangan musuh alami.

Pengendalian fisik dan mekanik yang bertujuan untuk mengurangi populasi


hama/penyakit, mengganggu aktivitas fisiologis hama yang normal, serta mengubah
lingkungan fisik menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan perkembangan hama.
Pengurangan populasi hama/ penyakit dapat dilakukan juga dengan mengambil
kelompok telur dan membunuh larva hama atau imagonya atau mengambil tanaman
yang sakit.

Pengelolaan ekosistem melalui usaha bercocok tanam, yang bertujuan untuk


membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan
pembiakan atau pertumbuhan serangga hama dan penyakit serta mendorong
berfungsinya agensia pengendali hayati.

Beberapa teknik bercocok tanam antara lain:

Penanaman verietas tahan


Penggunaan benih sehat yang berdaya tumbuh tinggi
Pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup hama
Sanitasi, membersihkan sisa-sisa tanaman atau tanaman lain yang dapat dipakai
sebagai inang
Penetapan masa tanam, dan diusahakan dalam satu hamparan dapat tanam serempak
atau selisih waktu tanam tidak lebih dari 10 hari.
Penanaman tanaman perangkap atau penolak dengan tujuan agar hama akan lebih
senang pada tanaman perangkap, misalnya: penanaman jagung pada areal
pertanaman kedelai untuk menarik hama ulat buah (Helicoverpa armigera),
menanam sesbania pada pertanaman kedelai untuk menarik hama penghisap
polong.

Penggunaan pestisida nabati atau kimiawi secara selektif untuk me- ngembalikan
populasi hama pada asas keseimbangannya. Keputusan penggunaan pestisida
dilakukan setelah analisis ekosistem terhadap hasil pengamatan dan ketetapan
tentang ambang kendali. Pestisida yang dipilih harus yang efektif dan telah
diizinkan.
III.

IV. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop

B. Prosedur Kerja

Siapkan medium PDA dan PDB


Tumbuhkan T. harzianum pada medium PDA selama 7 hari.
Tanamkan 5 potongan T. harzianum berumur 7 hari ke dalam 100 mL medium PDB
dalam Erlenmeyer 200 mL. Pemotongan dan penanaman pada medium PDB dilakukan
secara aseptik.
Gojok dengan menggunakan shaker dengan kecepatan 150 rpm selama 4 hari dan
inkubasikan pada suhu ruang.
Jamur T. harzianum dipanen dan dipindahkan seluruhnya dalam Erlenmeyer 2 L berisi
medium PDB 1 L secara aseptik, kemudian digojok pada kecepatan 150 rpm dan
diinkubasi pada suhu kamar selama 7 hari.
Jamur T. harzianum dipanen dan ditanam pada media perbanyakan padat berupa onggok
atau jagung yang sudah disterilkan dengan cara 1 L inokulum T. harzianum
dicampurkan dengan 2 kg onggok atau jagung, lalu diaduk sampai rata.
Setelah dicampurkan dan diaduk, onggok atau jagung disimpan dalam nampan-nampan
plastik dan dimasukkan dalam inkubator bersuhu 37o C selama 7 hari.
Onggok atau jagung setiap hari diaduk agar pertumbuhan T. harzianum merata di semua
bagian. Pertumbuhan T. harzianum ditandai dengan diselubunginya onggok atau jagung
oleh jamur berwarna hijau.
Setelah 7 hari, onggok atau jagung yang sudah ditumbuhi oleh T. harzianum
dikeluarkan dari inkubator dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60o C selama 4 hari.
Onggok atau jagung yang sudah bercampur dengan T. harzianum dihaluskan dengan
cara diblender dan siap dijadikan bibit untuk dicampur dengan pembawa.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


9 MST 10 MST 11 MST 12 MST
Jenis insektisida nabati
Ekstrak daun Azadirachta indica 1,95 b 3,81 b 6,43 b 12,28 b
Ekstrak daun Tephrosia vogelii 2,27 b 4,35 b 6,69 b 13,03 b
Esktrak daun Lantana camara 3,49 b 6,69 b 7,46 b 14,11 b
Esktrak bunga Lantana camara 4,94 b 7,33 b 9,79 b 18,15 b
Tanpa insektisida nabati 27,33 a 32,68 a 37,48 a 66,02 a
BNT (0,05) 3,12 4,09 4,89 9,51
Varietas kedelai
Varietas Anjasmoro 9,47 a 12,49 a 15,32 a 29,41 a
Varietas Kipas Merah 6,52 b 9,46 b 11,82 b 20,02 b
BNT (0,05) 1,97 2,59 3,09 6,01
B. Pembahasan

Pestisida nabati adalah pestisida dengan bahan dasar dari tumbuhan yang digunakan

untuk mengendalikan OPT. Bahan dasar tersebut mengandung senyawa aktif yang

merupakan metabolit sekunder dari tumbuhan (bahan bioaktif) yang berperan

melindungi diri dari serangan OPT. Lebih dari 400.000 jenis senyawa kimia yang ada

pada tumbuhan, namun baru sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang

telah teridentifikasi. Lebih dari 1.500 jenis tumbuhan di dunia diketahui berpengaruh

buruk terhadap serangga. Di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun.

Famili tumbuhan yang merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah

Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae, tetapi belum

dimanfaatkan maksimal (Dadang 1999). Dengan kemajuan teknologi dibidang kimia,

banyak senyawa kimia yang berasal dari tumbuhan telah diidentifikasi dan diisolasi

untuk pengendalian serangga hama. Pestisida nabati memiliki berbagai fungsi, yaitu:

Sebagai repelen, yaitu menolak kehadiran serangga karena bau yang menyengat.
Sebagai antifidan, yaitu mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot
karena ada rasa pahit.
Mencegah serangga meletakkan telur.
Sebagai racun syaraf.
Mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga.
Sebagai atraktan, yaitu pemikat kehadiran serangga pada perangkap serangga.
Mengendalikan pertumbuhan jamur maupun bakteri.
dibandingkan dengan ekstrak daun T. vogelii, ekstrak daun dan bunga L. camara.

Aplikasi ekstrak daun A. indica ada tanaman terung dapat menyebabkan residu pada

bagian tanaman termasuk daun. Hama pengisap polong yang mengkonsumsi daun yang
sudah diaplikasi ekstrak tersebut akan mengalami kelainan seperti gangguan fisiologis,

kelumpuhan, terjadinya peng- hambatan makan, dan kematian. Terjadi- nya gangguan

pada hama pengisap polong menyebabkan kerusakan pada daun menjadi berkurang

sehingga bisa menye- babkan kematian. Kandungan senyawa aktif dari A. indica adalah

senyawa azadi- rachtin. Senyawa azadirachtin memiliki pengaruh aktivitas biologis

terhadap serangan hama seperti penghambat aktivitas makan, penghambat perkembang-

an dan ganti kulit, penolakan peneluran, dan efek kematian (Schmutterer 1990, Mordue

(Luntz) & Nisbet 2000). Ekstrak daun T. vogelii memiliki kandungan senyawa rotenone

yang menyebakan gangguan fisiologis dan efek kematian (Lambert et al. 1993,

Hollingworth 2011), sehingga dapat menurunkan kerusakan daun. Ekstrak daun L.

camara mengandung senyawa lantaden A dan lantaden B yang termasuk golongan

terpenoid (Ghisalberti 2000). L. camara dilaporkan memiliki sifat insektisidal, anti-

ovoposisi, penghambatan aktivitas makan, penghambatan pertum- buhan, efek kematian

terhadap serangga hama (Deshmukhe et al. 2011, Hendrival & Khaidir 2012, Sousa &

Costa 2012). Ekstrak daun dan bunga L. camara memiliki pengaruh aktivitas biologis

yang lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak daun A. indica dan T. vogelii terhadap

pengisap polong.

Intensitas serangan hama pengisap polong pada umur tanaman 9−12 MST pada

varietas Kipas Merah berkisar antara 6,52%−20,02% yang lebih rendah diban- dingkan

varietas Anjasmoro berkisar antara 9,47%−29,41% (Tabel 1). Intensitas serangan hama

pengisap polong pada kedua varietas kedelai tergolong rendah, hal ini mengindikasikan

adanya faktor ketahanan morfologis pada kedua varietas dan kemungkinan hama

pengisap polong mati karena aplikasi insektisida nabati. Karakteristik morfologi pada
polong seperti jumlah trikoma, luas permukaan polong, dan jumlah polong per buku

merupakan

sistem pertahanan kedelai terhadap hama perusak polong. Jumlah trikoma pada

varietas Kipas Merah yaitu 41,6 trikoma/4 mm2 yang lebih banyak dibandingkan

varietas Anjasmoro yaitu 29,1 trikoma/4 mm2. Diasumsikan trikoma yang rapat

bertindak sebagai penghalang mekanis bagi stilet hama pengisap polong untuk dapat

mencapai kulit polong. Luas permukaan polong diduga berperan dalam ketahanan

tanaman kedelai terhadap hama pengisap polong. Luas permukaan polong dan jumlah

polong per buku pada varietas Kipas Merah yaitu 304,8 mm2 dan 101,2 polong yang

lebih rendah dibandingkan varietas Anjasmoro yaitu 396,8 mm2 dan 113,8 polong

(Tabel 2). Di antara karakter morfologi polong, polong yang memiliki trikoma berperan

penting dalam ketahanan kedelai terhadap hama pengisap polong. Ketahanan kedelai

terhadap hama pengisap polong R. linearis dipengaruhi oleh ketebalan kulit polong dan

kerapatan trikoma. Trikoma yang rapat dan panjang mengurangi banyaknya luka

tusukan stilet pengisap polong (Suharsono 2006). Trikoma polong berpengaruh

terhadap intensitas serangan penggerek polong. Semakin sedikit jumlah trikoma maka

polong berpeluang lebih besar terserang penggerek polong, sehingga makin rentan

terhadap penggerek polong kedelai (Suharsono 2009).


VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pestisida nabati adalah pestisida dengan bahan dasar dari tumbuhan yang digunakan
untuk mengendalikan OPT. Bahan dasar tersebut mengandung senyawa aktif yang
merupakan metabolit sekunder dari tumbuhan (bahan bioaktif) yang berperan
melindungi diri dari serangan OPT. Lebih dari 400.000 jenis senyawa kimia yang ada
pada tumbuhan, namun baru sekitar 10.000 jenis produksi metabolit sekunder yang
telah teridentifikasi. Lebih dari 1.500 jenis tumbuhan di dunia diketahui berpengaruh
buruk terhadap serangga. Di Indonesia terdapat 50 famili tumbuhan penghasil racun.
Famili tumbuhan yang merupakan sumber potensial insektisida nabati adalah
Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae, tetapi belum
dimanfaatkan maksimal

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis


kedelai. Badan Litbang Pertanian. jakarta. 32 p.
Marwoto, Era Wahyuni, dan K.E. Neering. 1991. Pengelolaan pestisida dalam
pengendalian hama kedelai secara terpadu. Monograf Balittan Malang
No. 7. 38 p.
Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarto. 1992. Rumusan lokakarya
pengendalian hama terpadu tanaman kedelai. 6 p.
Marwoto dan Sri Hardaningsih. 2004. Identifikasi hama penyakit kedelai serta
cara pengendaliannya. Lokakarya Pengembangan Kedelai melalui
Pendekatan PTT di Lahan Kering Masam. Balitkabi-BPTP Lampung. 72
p.
Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuarso. 1988. An outline of soybean pest in
Indonesia in Faunestic aspects. Seminar Balittan Bogor, 6 December
1988. 37 p.
Sri Hardaningsih. 1999. Penyakit-penyakit pada tanaman kedelai dan cara
penanggulangannya. Proyek Pelatihan dan Perbanyakan Benih Kedelai
Bermutu (JICA-SSP). Bedali, Lawang.
Tengkano, W., dan M. Suhardjan. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase
pertumbuhan tanaman kedelai. Dalam: Sadikin et al. (Eds). Kedelai.
Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. p. 295-318.
Untung, K. 1993. Konsep pengendalian hama terpadu. Offset, Yogyakarta.
14
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA XI
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT DENGAN PESTISIDA

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan Tanaman merupakan suatu kegiatan yang melindungi tanaman


dari serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) seperti serangan hama
penyebab penyakit, gulma yang dapat menimbulkan kerusakan dan kerugian
baek secara kualitas dan kuantitas serta merugikan nilai ekonomis.

Pengertian perlindungan tanaman menurut Peraturan Pemerintah. Cakupan


perlindungan tanaman pada era globalisasi, agribisnis dan otonomi daerah.
Tujuan Perlindungan Tanaman (a) pencegahan, pengendalian dan
pemantauan/peramalan OPT, (b) peningkatan kuantitas dan kualitas hasil-hasil
pertanian, (c) peningkatan daya saing produk pertanian di pasar, (d) peningkatan
penghasilan dan kesejahteraan petani, (e) peningkatan kualitas dan
keseimbangan lingkungan hidup.(Martono, 1996)

Pada penyakit tanaman yang harus diperhatikan tidak per individu, tetapi
dalam populasi. Pada umumnya petani/petugas memeriksakan tanamannya kalau
menunjukkan gejala yang khas. Namun perlu dibiasakan pemeriksaan dilakukan
berdasarkan hasil yang diperoleh, apakah terjadi kehilangan hasil. Dengan
demikian perlu dilakukan observasi yang mendalam, tidak hanya terhadap gejala
pada tanaman, tetapi juga pada cuaca, media tanah dan hara, air dan bahan kimia
yang dipakai, serta cara budidaya.

Ilmu-ilmu yang terkait terhadap kegiatan penerapan perlindungan tanaman


antara lain adalah : Ekologi dan epidemiologi, Fisiologi tumbuhan, patologi
anatomi dan morfologi, genetika, taksonomi dan geografi tumbuhan,
bakteriologi, mikologi, virologi, entomologi, fitopatologi, ilmu gulma,
agronomi, ilmu tanah, mikrobiologi, biokimia, kimia, bioteknologi, fisika,
meteorologi, matematik dan statistik untuk peramaln OPT, teknologi informasi,
ekonomi untuk penentuan ambang pengendalian ( Yudiarti, 2007)

Gulma adalah tumbuhan yang keberadaannya dapat menimbulkan gangguan


dan kerusakan bagi tanaman budidaya maupun aktivitas manusia dalam
mengelola usahataninya (Djafarudin, 2001). Hama adalah hewan penggangu
tanaman yang secara fisik masih dapat dilihat secara kasat mata tanpa bantuan
alat dan terdapat di lingkungan tanaman yang dapat menyebabkan kerusakan
tanaman baik secara kualitas dan kuantitas sehingga menyebabkan kerugian
ekonomis. Hama yang mengganggu tanaman seperti filum yang anggotanya
diketahui berpotensi sebagai hama tanaman adalah Aschelminthes (nematoda),
Mollusca (siput), Chordata (binatang bertulang belakang), dan Arthropoda
(serangga, tunggau, dan lain-lain).

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain


1. mengetahui pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Pembasmi hama atau pestisida adalah bahan yang digunakan untuk


mengendalikan, menolak, memikat, atau membasmi organisme
pengganggu. Nama ini berasal dari pest ("hama") yang diberi akhiran
-cide ("pembasmi"). Sasarannya bermacam-macam, seperti serangga,
tikus, gulma, burung, mamalia, ikan, atau mikrobia yang dianggap
mengganggu. Pestisida biasanya, tapi tak selalu, beracun. dalam
bahasa sehari-hari, pestisida seringkali disebut sebagai "racun".
Tergantung dari sasarannya, pestisida dapat berupa
insektisida (serangga)
fungisida (fungi/jamur)
rodensida (hewan pengerat/Rodentia)
herbisida (gulma)
akarisida (tungau)
bakterisida (bakteri)
larvasida (larva)

Penggunaan pestisida tanpa mengikuti aturan yang diberikan


membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan, serta juga dapat
merusak ekosistem. Dengan adanya pestisida ini, produksi pertanian
meningkat dan kesejahteraan petani juga semakin baik. Karena
pestisida tersebut racun yang dapat saja membunuh organisme
berguna bahkan nyawa pengguna juga bisa terancam bila
penggunaannya tidak sesuai prosedur yang telah ditetapkan. menurut
depkes riau kejadian keracunan tidak bisa di tanggulangi lagi sebab
para petani sebagian besar menggunakan pestisida kimia yang sangat
buruk bagi kesehatan mereka lebih memilih pestisida kimia dari pada
pestisida botani (buatan) kejadian keracunan pun sangat meningkat di
provinsi tersebut. mMnurut data kesehatan pekan baru tahun 2007 ada
446 orang meninggal akibat keracunan
pestisida setiap tahunnya dan sekitar 30% mengalami gejala
keracunan saat menggunakan pestisida Karena petani kurang tau cara
menggunakan pestisida secara efektif dan penggunaan pestisida secara
berlebihan, dan berdasarkan hasil penilitian Ir. La Ode Arief M.
Rur.SC. dari Sumatera Barat tahun 2005 mengatakan penyebab
keracunan pestisida di Riau akibat kurang pengetahuan petani dalam
penggunaan pestisida secara efektif dan tidak menggunakan alat
pelindung diri saat pemajanan pestisida,hasilnya dari 2300 responden
yang peda dasarnya para petani hanya 20% petani yang menggunakan
APD (alat pelindung diri), 60% patani tidak tau cara menggunakan
pestisida secara efektif dan mereka mengatakan setelah manggunakan
pestisida timbul gejala pada tubuh ( mual,sakit tenggorokan, gatal -
gatal, pandangan kabur, Dll.)dan sekitar 20% petani tersebut tidak tau
sama sekali tentang bahaya pestisida terhadap kesehatan,begitu tutur
Ir. La Ode Arief M. Rur.SC. beliau juga mengatakan semakin rendah
tingkat pendidikan petani semakin besar risiko terpajan penyakit akibat
pestisida. Oleh karena itu, adalah hal yang bijak jika kita melakukan
usaha pencegahan sebelum pencemaran dan keracunan pestisida
mengenai diri kita atau makhluk yang berguna lainnya.
Pestisida sebelum digunakan harus diformulasi terlebih dahulu.
Pestisida dalam bentuk murni biasanya diproduksi oleh pabrik bahan
dasar, kemudian dapat diformulasi sendiri atau dikirim ke formulator
lain. Oleh formulator baru diberi nama. Berikut ini beberapa formulasi
pestisida yang sering dijumpai:
Cairan emulsi (emulsifiable concentrates/emulsible concentrates)
Butiran (granulars)
Debu (dust)
Tepung (powder)
Oli (oil)
Fumigansia (fumigant)
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop.
B. Prosedur Kerja

Prosedur yang dilakukan pada praktikum acara ini adalah sebagai berikut:
1. lakukan pengamatan pada tanaman kedelai.
2. Studi literatur mengenai dilakukan gejala hama dan penyakit tanaman
IV. PEMBAHASAN

Kedelai adalah tanaman pangan sebagai penyumbang gizi potein yang besar
bagi kita. Kedelai pun sangat mudah dalam hal budidayanya dan memiliki syarat
tumbuh yang sesuai dengan iklim tropis Kabupaten Pidie Jaya. Harga jual yang
sering berfluktuasi menyebabkan petani sedikit kecewa bila panen berlimpah.
Harga jual yang tinggi di Kabupaten Pidie Jaya bisa diperoleh jika panen
dilakukan saat umur kedelai masih muda. Sedangkan panen tua sering dilakukan
untuk alokasi penyediaan benih selanjutnya.

Budidaya kedelai tak terlepas dari pengendalian hama dan penyakit


tanaman yang menyerang tanaman kedelai. Terdapat banyak jenis hama dan
penyakit yang menyerang tanaman kedelai, hama yang sering dijumpai antara
lain lalat kacang, kutu daun, kutu kebul, tungau merah, thrips, ulat grayak, ulat
jengkal,penggulung daun, kumbang daun kedelai, ulat buah, penggerek polong,
sedangkan penyakit kedelai dapat berupa karat daun, kerdil, busuk rhizoctonia.

Pada prinsipnya, teknik pengendalian haruslah berkonsep ramah


lingkungan. Dalam artian mengedepankan keseimbangan ekosistem alami
dengan cara mengkondisikan tanaman berada pada tingkat ekosistem yang
aman, keseimbangan terbentuk dengan sendirinya. Hal inilah yang mengacu
pada teknik pengendalian secara terpadu.

Dalam melakukan usaha pengendalian hama dan penyakit pada kedelai


harus cermat dan teliti serta cepat tanggap dengan melakukan pengamatan dan
memantau perkembangan tanaman kedelai di lapangan. Mengutamakan sistem
pengendalian alami menggunakan pestisida nabati yang mudah diperoleh di
lingkungan tempat kita tinggal. Penggunaan pestisida nabati yang relatif aman
tanpa residu telah terbukti dapat mengusir hama maupun penyakit yang akan
berkembang mengganggu tanaman kedelai. Pestisida nabati merupakan aternatif
preventif dalam usaha pengendalian hama dan penyakit pada kedelai.
Pengendalian secara terpadu harus memperhatikan petani berbagai komponen,
yang pertama adalah menerapkan suatu sistem budidaya tanaman sehat dengan
tujuan agar tanaman mempunyai ketahanan ekologis yang tinggi dari gangguan
dan serangan OPT, selanjutnya menggunakan musuh alami sebagai teknik
pengendalian yang paling aman secara alami sehingga keberadaan musuh alami
mutlak harus dilestarikan, pengamatan rutin terhadap perkembangan tanaman
kedelai yang dibudidayakan, dan yang terakhir petani sebagai seorang
pembudidaya harus mampu bersikap dalam mengambil keputusan serta terampil
dalam menganalisis agroekosistem.

Tindakan pengendalian dengan menggunakan pestisida alami dilakukan


jika tingkat serangan hama dan penyakit pada tanaman kedelai masih di bawah
ambang batas aman untuk pengendalian yaitu di bawah 30 persen. Hal inilah
yang menuntut petani kedelai harus bijak dalam mengambil keputusan dengan
selalu mengamati perkembangan dan tingkat serangan yang terjadi.

Berikut beberapa serangan hama dan penyakit kedelai serta tindakan pengendaliannya.

Ulat jengkal
Pengendalian secara biologis dapat dilakukan dengan melepas musuh alaminya yaitu
Apanteles sp. dan Listomastix sp. Sedangkan pengendalian secara kimiawi tetap
berpedoman pada petunjuk pemakaian sesuai dengan dosis yang telah dianjurkan.

Ulat Polong
Ulat peggerek polong ini dapat dikendalikan dengan cara melakukan penanaman
serempak atau dengan selisih waktu kurang dari 30 hari. Selanjutnya melakukan
pergiliran tanaman dengan tanaman selain kaeang-kacangan. menggunakan obor untuk
menarik perhatian ngengat, sehingga apabila ngengat mendekat akan mati terbakar.
Sedangkan pemberantasan secara kimia menggunakan insektisida dilakukan dengan
dosis sesuai anjuran.

Ulat grayak
Pengaturan rotasi tanaman dengan tanaman yang tidak diserang oleh hama ini.
Pemberantasan secara kimia dilakukan dengan penyemprotan insektisida dengan dosis
sesuai anjuran.

Tungau merah
Daun yang terserang dibuang, dan hama yang ada ditangkap. Pemberantasan secara
biologis dilakukan dengan predator tungau yaitu Phytoseulus persimilis, Scolothrip
sexmaculatus, Stethorus gievifrons, dan P. macropilis. Pemberantasan secara kimia
dilakukan dengan penyemprotan insektisida dengan dosis sesuai anjuran.

Kepik hijau
Penerapan sistem pergiliran tanaman dan pengaturan waktu tanam secara serempak,
serta pengumpulan dan pemusnahan imago atau nimfa. Pengendalian secara kimiawi
dilakukan dengan penyemprotan insektisida dengan dosis sesuai anjuran.

Ulat penggulung daun


Pengaturan jadwal tanam secara serentak atau dengan pergiliran tanaman. Sebaiknya
daun yang terserang dibuang atau dibakar. Pengendalian secara kimia dapat dilakukan
dengan penyemprotan insektisida dengan dosis sesuai anjuran.

Karat daun
Teknik pengendalian dengan cara penggunaan varietas yang tahan terhadap penyakit
ini, yaitu varietas Wilis, Merbabu, Raung, Dempo, Krakatau, Tampomas, dan Cikurai.
Perendaman benih dalam larutan fungisida. Mengatur jarak tanam. Jarak tanam yang
terlalu dekat dapat meningkatkan kelembaban. Menanam secara serampak. Sanitasi dan
menjaga kebersihan area tanaman. Pengendalian secara kimia dengan penggunaan
fungisida yang sesuai dengan anjuran.

Kerdil
Penanaman varietas kedelai yang tahan terhadap serangan Aphis sp., misalnya varietas
Orba dan Wilis. Pemusnahan tanaman yang terserang. Penyemprotan dengan
penyemprotan pestisida yang sesuai dengan anjuran.

Busuk Rhizoctonia
Perbaikan drainase dan pengapuran. Penyemprotan dengan fungisida yang sesuai
dengan anjuran.

Antraknosa
Memusnahkan tanaman yang terinfeksi. Rotasi atau pergiliran tanaman dengan tanaman
yang bukan sejenis. Menggunakan benih yang toleran dan bebas patogen. Penyemprotan
fungisida.

Layu Bakteri
Menggunakan benih yang toleran. Sanitasi dan menjaga kebersihan lahan.
Memusnahkan tanaman yang terinfeksi. Mengatur jarak tanam. Membuat drainase yang
baik.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Tindakan pengendalian dengan menggunakan pestisida alami dilakukan


jika tingkat serangan hama dan penyakit pada tanaman kedelai masih di bawah
ambang batas aman untuk pengendalian yaitu di bawah 30 persen. Hal inilah
yang menuntut petani kedelai harus bijak dalam mengambil keputusan dengan
selalu mengamati perkembangan dan tingkat serangan yang terjadi.

B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa
yang selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

D. Foth, Henry. 1994. Dasar-Dasar Ilmu Tanah Edisi Keenam Ahli Bahasa Dr.
Soenartono Adisoemarto, Ph.D. Erlangga. Jakarta.

Guntur, Nova Dwi. Dkk. 2010. Pengaruh Atraktan Nabati Ekstrak Selasih
(Ocimum sanctum l.) Dan Daun Wangi (Melaleuca bracteata l.)
Terhadap Lalat Buah Jantan (Diptera: trypetidae) pada Tanaman
Mentimun. Universitas Lampung. Lampung

Irma sari, saturday, June 19, 2010 10:13:00 AM, Daslintan,


http://my.opera.com/irmasmall/blog/daslintan

Lakitan, Benyamin. 1993. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT.Raja


Grafindo Persada. Jakarta.

Martoredjo Toekidjo. 1983. Ilmu Penyakit Lepas Panen. Ghalia Indonesia :


Jakarta.
Pracaya. 1996. Hama dan Penyakit Tumbuhan. Universitas Indonesia Press. :
Jakarta
Sastrahidayat, Ika Rochidjatun. 1990. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Usaha
Nasional : Surabaya.
Semangun, Haryono. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.

Setiawati, A. Dkk. 2005. Pengendalian Kutu Kebul dan Nematoda Parasitik


Secara Kultur Teknik pada Tanaman Kentang. J. Hort. 15(4):288-296.

Suhaendah, Endah. Dkk. 2008. Uji Ekstrak Daun Suren Dan Beauveria
Bassiana Terhadap Mortalitas Ulat Kantong Pada Tanaman Sengon.
Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Jawa Barat

Tegmina. 2011. http://tegmina.wordpress.com/2011/03/09/morfologi-serangga/


Triharso. 1994. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Gajah Mada. Universitas
Press. Yogyakarta.
Triharso. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada
University Press . Yogyakarta.

Untung, Kasumbogo. 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu (edisi


kedua). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Yakup, Y.S. 2002. Gulma dan Teknik Pengendaliannya. Faperta Unsri


.Palembang.
Zulfitriany, D.M. dkk. 2004. Pemanfaatan Minyak Sereh (Andropogon nardus
l.) Sebagai Atraktan Berperekat Terhadap Lalat Buah (Bactrocera spp.)
Pada Pertanaman Mangga. J. Sains & Teknologi, Desember 2004, Vol.
4 No.3: 123-129
LAPORAN PRAKTIKUM
PENGELOLAAN TANAH MARGINAL
ACARA XII
KEANEKARAGAMAN VEGETASI PADA AGROEKOSISTEM LAHAN
MARGINAL

Semester:
Ganjil 2021/2022

Oleh :
Nama : Muhamad Bilal Fachrozi
NIM : A1D019115
Kelas :C

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2021
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ekosistem gambut merupakan salah satu ekosistem unik yang terdapat di Indonesia.
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 tahun 2014 junto PP No. 57 tahun 2016,
didefinisikan bahwa lahan gambut merupakan lahan yang terbentuk dari material
organik yang terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak
sempurna dan terakumulasi pada rawa. Tutupan luas lahan gambut tropika sekitar 44
juta ha secara global, mewakili sebesar 11% dari area lahan gambut keseluruhan (Page
et al. 2011). Sedangkan sumber lain menyebutkan bahwa luas lahan gambut Indonesia
diperkirakan sebesar 21 juta ha (36% dari luas lahan gambut tropis dunia) (Wetlands
Intenational 2006) dan 14,9 juta ha tahun 2011 (BBPPSDLP 2011).

Lahan gambut tropika menyediakan sejumlah jasa ekosistem seperti biodiversitas,


pemeliharaan habitat, siklus air dan komoditas untuk eksploitasi (Rahajoe et al. 2016).
Karakteristik yang terdapat di lahan gambut masih mampu membentuk keanekaragaman
tumbuhan yang cukup tinggi. Total sekitar 927 spesies tumbuhan berbunga dan paku-
pakuan yang telah tercatat di lahan gambut (Yule 2010). Menurut Mirmanto (2010),
lahan gambut di Sebangau didominasi oleh pepohonan famili Dipterocarpaceae,
Clusiaceae, Myrtaceae, dan Sapotaceae. Pada daerah Tasik Betung dan Bukit Batu,
Riau, jenis pepohonan yang mendominasi adalah Campnosperma squamatum,
Mangifera parvifolia, Mezzettia havilandii, dan Gonystylus bancanus (Sadili 2015).
Pada daerah Rawa Tripa, Aceh, jenis pepohonan yang mendominasi yaitu Artocarpus
commune, Myristica fragrans dan Laurus nobilis (Djufri dan Samingan 2013). Pada
daerah Hampangen, Kalimantan Tengah, jenis pepopohan yang mendominasi di
antaranya yaitu Cratoxylum glaucum, Garcinia rigida, dan Nephelium ramboutan-ake
(Pratama et al. 2012).

Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian atau perkebunan
dan lahan gambut yang terdrainase menyebabkan teroksidasinya permukaan gambut
serta hilangnya simpanan karbon secara cepat ke atmosfir, hal tersebut mengakibatkan
subsidens secara berlanjut pada permukaan gambut dan berkontribusi terhadap
perubahan iklim (Osaki et al. 2016). Di Indonesia sekitar 3,74 juta hektar lahan gambut
telah berada dalam kondisi terdegradasi (Wahyunto et al. 2016). Hutan rawa gambut
yang telah mengalami degradasi akibat adanya konversi lahan menjadi perkebunan dan
areal pertanian tidak hanya menyebabkan kerusakan ekosistem, tetapi juga
menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati (Tata dan Pradjadinata 2013). Areal
perkebunan merupakan pola penggunaan lahan yang mendominasi di Kesatuan
Hidrologis Gambut (KHG) Sungai Mendahara – Batanghari, Provinsi Jambi. Data
menunjukkan bahwa terdapat sebesar 12.382 ha kebun sawit dan 137 ha kebun kopi di
Kecamatan Mendahara Ulu (BPS-Kabupaten Tanjung Jabung Timur 2017).
Berdasarkan hal tersebut, diperlukan kajian terkait dengan perubahan komposisi dan
keanekaragaman tumbuhan akibat adanya konversi lahan di KHG Sungai Mendahara –
Sungai Batanghari, Provinsi Jambi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui
pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap komposisi dan keanekaragaman
tumbuhan.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini antara lain,


1. mengetahui keanekaragaman vegetasi pada agroekosistem lahan marginal
II. TINJAUAN PUSTAKA

Tanah gambut atau Histosols adalah tanah yang mempunyai lapisan bahan organik
dengan ketebalan > 40 cm dengan berat isi > 0,1 g/cm3 , atau mempunyai ketebalan >
60 cm apabila berat isi nya < 0,1 g/cm3 (Soil Survey Staff, 2010). Luas gambut di
Indonesia tersebar di Sumatera yaitu 6.436.649 ha (43,18 %), Kalimantan 4.778.004 ha
(32,06%), dan Papua 3.690.921 ha (24,76 %) dengan total luas 14,9 juta ha . Angka ini
jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dikemukakan Soepraptohardjo dan Diessen
(1976) yaitu sekitar 17 juta ha. Berdasarkan pulau, gambut terluas terdapat di Sumatera
yaitu 6.436.649 ha yang didominasi oleh lahan gambut dataran rendah di daerah pantai
timur dan sebagian lahan gambut dataran tinggi di sekitar Sumatera Utara yakni di
Kabupaten Humbang Hasundutan (Ritung et al., 2011).

Sebaran tanah gambut dipengaruhi oleh letak dan cara pembentukannya.


Pembentukan tanah gambut dipengaruhi oleh iklim, topografi (datar-cekung),
organisme (vegetasi), bahan induk (termasuk bahan mineral sebagai substratum), dan
waktu pembentukannya (Ritung et al., 2013). Keragaman sifat kimia tanah gambut
dipengaruhi oleh komposisi bahan induk, laju dekomposisi, lingkungan sekitarnya,
substratum dan ketebalan gambut. Lahan gambut yang bahan penyusunannya dari lumut
(sphagnum) lebih subur dibandingkan dari gambut berkayu. Polak (1975)
mengemukakan bahwa gambut yang ada di Sumatera dan Kalimantan umumnya
didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Gambut yang dibentuk dari bahan kayu-kayuan
umumnya banyak mengandung senyawa lignin yang dalam proses degradasinya akan
menghasilkan 5 asam-asam fenolat (Stevenson, 1994). Tanah gambut memiliki tingkat
kesuburan rendah ditandai dengan kemasaman tanah yang tinggi (pH 3-4), ketersediaan
unsur hara makro mikro yang rendah, kandungan asam-asam organik yang beracun bagi
tumbuhan dan kapasitas tukar kation yang tinggi namun kejenuhan basa yang rendah
(Najiyati et al., 2005).

Sifat fisik tanah gambut merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat
produktivitas tanaman yang diusahakan pada lahan gambut, karena menentukan kondisi
aerasi, drainase, daya menahan beban, serta tingkat atau potensi degradasi lahan
gambut. Dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, karakteristik atau sifat fisik
gambut yang penting untuk dipelajari adalah kematangan gambut, kadar air, berat isi
(bulk density), daya menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan tanah
(subsidence), & sifat kering tak balik (irreversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).
Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi saprik (matang), hemik
(setengah matang), dan fibrik (mentah). BD tanah gambut yang sangat rendah yaitu <
0,1 g cm-3 ditemukan pada gambut fibrik (mentah), sedangkan gambut pantai dan
gambut yang terletak di jalur aliran sungai mempunyai BD yang relatif lebih tinggi,
yakni > 0,2 g cm-3 karena adanya pengaruh bahan mineral, namun masih jauh
dibanding BD tanah mineral yang unepberkisar 0,7-1,4 g cm-3 (Dariah et al, 2012).
III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Bahan yang diperlukan yaitu data hasil pengamatan dan literatur. Alat yang diperlukan
yaitu alat tulis dan laptop.

B. Prosedur Kerja

Prosedur yang dilakukan pada praktikum acara ini adalah sebagai berikut:
1. lakukan pengamatan pada tanaman kedelai.
2. Studi literatur mengenai keanekaragaman vegetasi pada agroekosistem lahan
marginal.
IV. PEMBAHASAN

Spesies vegetasi tingkat anakan (semai) dengan nilai kerapatan tertinggi di lokasi
penelitian adalah spesies Lepinoria mucronata Rich. dan Dicranopteris linearis (Burm.)
F. Underw. sebesar 2,91 50 ind/m2 atau 31,46 % dan 2,78 ind/m2 atau 30,05 %. Spesies
lainnya memiliki nilai kerapatan dibawah 1 atau berkisar mulai 0,005 ind/m2 - 0,89
ind/m2 atau 0,05 % - 9,66 %. Sementara untuk vegetasi tingkat pancang (sapling), nilai
kerapatan spesiesnya hanya 0,005 ind/m2 atau 100 % karena hanya ada 1 individu Pinus
merkusii yang ditemukan di lokasi penelitian seperti yang tertera pada Tabel 6.2.
Komposisi dan dominansi vegetasi dapat dilihat dari nilai kerapatan spesies, indeks nilai
penting (INP) tiap spesies, dan indeks dominansi. INP berguna untuk menentukkan
dominansi jenis tumbuhan yang satu terhadap jenis tumbuhan lainnya. Agar INP dapat
ditafsirkan maknanya, maka digunakan kriteria berikut: Nilai INP tertinggi dibagi 3,
sehingga INP dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu tinggi (T), sedang (S),
dan rendah (R) (Fachrul, 2007). Maka dari Tabel 6.1. diperoleh spesies dengan INP
tertinggi yaitu Lepinoria mucronata Rich. sebesar 43,46. Nilai ini kemudian dibagi tiga
sehingga diperoleh kriteria berikut: 0 – 14,48 (Rendah), 14,49 – 28,97 (Sedang), dan
28,98 – 43,46 (Tinggi). Berdasarkan kriteria tersebut, dapat diperoleh spesies dengan
kriteria INP tinggi di lokasi penelitian yaitu Lepinoria mucronata Rich. dan
Dicranopteris linearis (Burm.) F. Underw. berturut-turut sebesar 43,46 dan 39,38.
Spesies dengan kriteria INP sedang yaitu Melastoma malabathricum L., Leptospermum
flavescens J. sm, Zizania aquatica (L.) dan Dianella ensifolia (L.) Redoute berturut-turut
sebesar 25,15 %, 19,26 %, 17,66 %, dan 16,8 %. Sebagian besar spesies lain di lokasi
penelitian memiliki INP berkriteria rendah dengan kisaran 1,38 % - 8,12 % yakni
sebanyak 16 spesies. Hal ini menunjukkan bahwa Lepinoria mucronata Rich. dan
Dicranopteris linearis (Burm.) F. Underw. adalah spesies yang paling dominan di lokasi
penelitian jika dibandingkan dengan spesies lainnya. Sementara untuk vegetasi tingkat
pancang (sapling) yang tertera pada 51 Tabel 6.2. memilki nilai INP 200. Hal ini terjadi
karena hanya 1 spesies untuk tingkat pancang (sapling). Selain INP, indeks dominansi
(C) juga dapat menentukan status dominansi suatu komunitas tumbuhan dalam hal
tingkat keterpusatan spesies nya. Kriteria hasil indeks dominansi adalah: jika 0<C<C
Pada hasil analisis frekuensi, ditemukan bahwa plot 4.1 memiliki jumlah spesies
terbanyak yaitu 16 spesies tingkat semai (anakan) dan 1 spesies tingkat pancang
(sapling). Jika dilihat dari perkembangan tanah gambutnya, terlihat bahwa tingkat
dekomposisi gambut di plot tersebut sudah matang (saprik) dan nilai pH yang lebih
tinggi dari plot yang lain yaitu 5,1 sehingga tanaman yang sanggup tumbuh di plot
tersebut sudah lebih banyak. Sementara pada plot yang lain, spesies yang ditemukan
lebih sedikit dan cenderung hanya spesies-spesies pionir yang dapat bertahan pada tanah
miskin atau terganggu. Terutama pada plotplot yang kondisinya sudah kering seperti
plot 5.2 dan 6.2 memiliki jumlah spesies paling sedikit yakni 4 dan 3 spesies. Spesies
Melastoma malabathricum L. (Harendong) dan Dianella ensifolia (L.) Redoute (Lili
Rami) memiliki frekuensi tertinggi di lokasi penelitian dikarenakan tumbuhan ini
merupakan tumbuhan pionir dan invasif, yaitu tumbuhan yang dapat tumbuh dan
beradaptasi di tanah-tanah ekstrem atau 56 terganggu, sehingga keberadaannya cukup
tersebar disemua plot pada lokasi penelitian. Selain itu, Melastoma malabathricum L.
(Harendong) juga merupakan tumbuhan indikator tanah masam. Pada Tabel 6.1 dan 6.2
vegetasi dengan INP tertinggi adalah Lepinoria mucronata Rich. (Purun) dan
Dicranopteris linearis (Burm.) F. Underw. (Resam).

Purun adalah tumbuhan khas rawa yang memang dapat beradaptasi dengan baik di
daerah tergenang. Tumbuhan ini memiliki perkembangbiakan yang cepat sehingga
memiliki kerapatan yang tinggi dan batang berongga sehingga dapat beradaptasi di area
tergenang. Sedangkan Resam merupakan divisi paku-pakuan yang merupakan
tumbuhan pionir dan dapat menginvasi suatu areal. Tumbuhan ini juga toleran terhadap
tanah masam atau tanah terganggu dan diduga dapat menyebabkan efek alelopati
sehingga dapat mengalahkan tumbuhan lain (Susanti et al, 2014). Namun, nilai C pada
lokasi penelitian tergolong rendah dan menunjukkan bahwa tidak ada spesies yang
menjadi pusat komunitas vegetasi pada lahan gambut Lintong Nihuta. Jadi, spesies
dengan INP tertinggi pun belum dapat dikatakan menjadi pusat dominasi pada lahan
gambut ini. Menurut Widhiastuti dan Alief (2006) daerah yang terus diganggu akan
mengalami suksesi tahapan awal dan sulit mencapai kestabilan. Rendahnya nilai C dan
banyaknya tumbuhan pionir serta paku-pakuan pada lahan gambut Lintong Nihuta
mengindikasikan bahwa lokasi ini sedang berada pada tahapan awal suksesi. Pada lokasi
penelitian hanya ditemukan kelas pertumbuhan anakan (semai) dan pancang (sapling),
sementara kelas pertumbuhan pohon (trees) dan tiang (pole) tidak ditemukan. Menurut
UNEP (2008) lahan gambut memiliki ekosistem 57 unik dan spesies-spesies (flora,
fauna) yang bersifat spesifik. Terdapat beberapa flora spesifik atau khas gambut yang
hanya tumbuh baik di gambut, misalnya: Jelutung rawa (Dyera lowii), Ramin
(Gonystylus bancanus), Kempas atau Bengeris (Kompassia malaccensis), Punak
(Tetrameristaglabra), Perepat (Combretocarpus rotundatus), Pulai rawa (Alstonia
pneumatophora), Terentang (Campnosperma spp.), Bungur (Lagerstroemia speciosa),
Nyatoh (Palaquium spp.), Bintangur (Callophylum spp.), Belangeran (Shorea
balangeran), Meranti rawa (Shorea pauciflora) dan Rengas (Melanorrhoea walichii).
Semua jenis vegetasi tersebut hanya tumbuh baik pada habitat rawa gambut, namun
tidak satupun ditemukan di lahan gambut Lintong Nihuta. Hal ini diduga terjadi karena
kelas pertumbuhan ini hanya tumbuh jika ekosistem atau suksesi yang sudah stabil atau
mencapai tahap klimaks (Widhiastuti dan Alief, 2006).

Berdasarkan nilai H’ pada lokasi penelitian yaitu 0,8 , daerah gambut Lintong
Nihuta termasuk pada kondisi tidak stabil. Pada plot dengan H’ tertinggi yaitu plot 4.1
sebesar 0,9 memang ditemukan spesies-spesies yang berpotensi menjadi kelas
pertumbuhan pohon (trees) dan tiang (pole) seperti Viburnum odoratissium Ker Gawl
(Viburnum manis), Pinus Merkusii (Tusam) dan Salix sp (Dedalu), namun hanya
ditemukan dalam kelas pertumbuhan pancang (sapling) dan semai (anakan). Plot ini
memiliki H’ tertinggi karena kondisi plot nya yang diduga sudah mengalami
penimbunan oleh tanah mineral. Perkembangan tanah pada plot ini juga tergolong
Saprik dan pH yang lebih tinggi dari plot lain yaitu 5,1. Sedangkan pada plot 6.2 dengan
nilai H’ terendah sebesar 0,2 kondisi tanah gambut telah kering dan plot 6.2 berada di
lokasi pertambangan oleh karena itu kondisi vegetasi nya yang paling tidak stabil. 58
Faktor lain seperti kemasaman tanah dan rendahnya kesuburan gambut juga
mempengaruhi tumbuhan yang dapat hidup di tempat ini. Menurut Noor, et al. (2016)
tanah gambut pada daerah Kabupaten Humbahas hanya dipengaruhi oleh air hujan saja
tanpa adanya penambahan bahan mineral. Data iklim juga menunjukkan bahwa iklim di
lokasi tersebut adalah tipe A (iklim sangat basah) yaitu iklim dengan curah hujan sangat
tinggi. Hal ini juga menyebabkan komposisi vegetasi di gambut Lintong Nihuta
cenderung didominasi oleh habitus semak belukar.
Menurut Wahyunto dan Dariah (2014) penutupan gambut oleh semak belukar
adalah salah satu tanda bahwa gambut tersebut telah terdegradasi. Diduga degradasi
disebabkan oleh penggunaan lahan untuk pertanian dan lokasi pertambangan dengan
drainase berlebih sehingga sebagian tanah gambut di lokasi penelitian telah menjadi
kering. Hal ini terlihat juga dari tingkat dekomposisi di lokasi penelitian yang sudah
matang (saprik). Pada gambut saprik umumnya vegetasi cenderung stabil dan suksesi
dapat berkembang menuju tahap klimaks, namun itu terjadi pada gambut saprik dataran
rendah yang mengalami penambahan bahan mineral dari sungai atau laut (topogen)
sehingga tanah gambut menjadi lebih subur atau eutrofik (Wiratmoko et al., 2008).
Sementara pada gambut Lintong Nihuta, tingkat kematangan saprik diduga dipengaruhi
oleh tingginya aktivitas manusia di lokasi ini, seperti drainase dan penggunaan lahan
gambut sebagai lokasi pertambangan sehingga gambut menjadi kering dan
terdekomposisi lebih cepat namun memiliki tingkat kesuburan yang rendah atau
oligotrofik karena tidak adanya penambahan bahan mineral dari sungai atau laut.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sifat fisik tanah gambut merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat
produktivitas tanaman yang diusahakan pada lahan gambut, karena menentukan kondisi
aerasi, drainase, daya menahan beban, serta tingkat atau potensi degradasi lahan gambut
B. Saran

Sebaiknya praktikum kali ini bisa di adakan secara langsung dengan tetap
menerapkan protokol kesehatan, supaya para mahasiswa bisa memahami apa yang
selama ini dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA
[BBPPSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan
Pertanian. 2011. Peta Lahan Gambut Indonesia. Skala 1: 250.000. Jakarta. (ID):
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.

[BPS-Kabupaten Tanjung Jabung Timur] Badan Pusat Statistik-Kabupaten Tanjung


Jabung Timur. 2017. Kabupaten Tanjung Jabung Timur dalam Angka. Tanjung
Jabung Timur (ID): CV Suber Sentosa Multimedia.

[KFCP] The Kalimantan Forests and Climate Partnership. 2010. The Fruiting
Phenology of Peat-Swamp Forest Tree Species at Sabangau and Tuanan, Central
Kalimantan, Indonesia. Jakarta (ID): Australian Indonesia Partnership.

Astiani D. 2016. Tropical peatland tree-species diversity altered by forest degradation.


Biodiversitas. 17(1): 102-109.

Beck H. 2008. Tropical Ecology. USA: Towson University. Corlett RT. 2009. Seed
dispersal distances and plant migration potential in tropical East Asia. Biotropica.
41(5):592-598.

Daryono H. 2009. Potensi, permasalahan dan kebijakan yang diperlukan dalam


pengelolaan hutan dan lahan rawa gambut secara lestari. Jurnal Analisis
Kebijakan Kehutanan. 6(2):71-101.

Davies SJ, Palmiotto PA, Ashton PS, Lee HS, Lafrankie JV. 1998. Comparative
ecology of 11 sympatric species of Macaranga in Borneo: tree distribution in
relation to horizontal and vertical resource heterogeneity.

Sitorus, B. 2003. Alternatif Kebijakan Bagi Pemecahan Masalah Tanah Gambut.


Fakultas Pertanian Universitas Sumatera. Medan.

Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan Komunitas.


Jakarta: Penerbit Usaha Nasional.

Soepraptohardjo, M. and P.M. Driessen. 1976. The lowland peats of Indonesia, a


chalenge for the future. Peat and Podzolic Soils and Their Potential for
Agriculture in Indonesia. pp. 11-19. In Proceedings ATA 106
Midterm Seminar, Tugu October 1314, 1976. Soil Research Institute, Bogor. Soil
Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. Eleventh Edition. United States
Departement of Agriculture. Natural Resources Conservation Services.

Stevenson, F.J. and A. Fitch. 1994. Reactions with organic matter. In: J.F. Loneragan,
A.D. Robson, and R.D. Graham (Eds.). Copper in Soil and Plants. Academic
Press. Sydney.

Suin, N.M. 1999. Metode Ekologi. Ditjen Perguruan Tinggi. Dep. Pendidikan dan
Kebudayaan. Jakarta.

Sundra, I Ketut. 2016. Metode dan Teknik Analisis Flora dan Fauna Darat. FMIPA
Universitas Udayana. Denpasar.

Susanti, A.T.A., Mayta, N. I., Siti, F. 2014. Potensi Alelopati Ekstrak Daun Resam
Terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Anakan Gulma Mikania micronata
Kunth. Jurnal JOM FMPA. Pekanbaru.

Tarigan, H. 2021. Kajian Beberapa Sifat Fisik dan Kimia tanah Gambut di Kecamatan
Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan. Repository USU.

Medan UNEP. 2008. Assesment on Peatland, Biodiversity, and Climate Change. Main
Report. UNEP, GEF, Global Environment Center, Wetland International. Global
Environment Center and Wetland International. 179 hlm.

Anda mungkin juga menyukai