Oleh:
Futri Fauziah 150510170143
Tebu merupakan tanaman utama penghasil gula di Indonesia. Akan tetapi, hingga
saat ini produksi gula lokal belum mampu memenuhi semua kebutuhan dalam negeri.
Pada tahun 2010, produksi tebu secara nasional tercapai 2,267 juta ton (Basis Data
Statistik Pertanian) sehingga dengan asumsi peningkatan 10,80% yang telah ditetapkan,
target produksi 3,4 juta ton pada tahun 2014 akan tercapai. Asumsi varietas yang
digunakan adalah tebu VMC 76-16.
Kedelai (Glycine max) adalah sejenis tanaman kacangkacangan yang berfungsi
sebagai sumber utama protein dan minyak nabati di dunia. Kedelai (Glycine max) adalah
sejenis tanaman kacangkacangan yang berfungsi sebagai sumber utama protein dan
minyak nabati di dunia. Kedelai merupakan salah satu tanaman palawija yang sangat
penting bagi Indonesia dengan kebutuhan mencapai angka 2,2 juta ton/tahun. Sementara
itu, produksinya hanya 851.647 ton sehingga terjadi kekurangan kedelai yang sebagian
besar masih dipenuhi dari impor. Asumsi varietas yang digunakan adalah kedelai
Kaba.
Karena hal tersebut, maka dibutuhkan suatu introduksi teknologi guna
meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai dan gula dalam negeri. Untuk
menambah areal pertanaman kedelai, dapat dilakukan metode tumpang sari yang
merupakan salah satu pola tanam yang dapat meningkatkan produktivitas lahan.
Umur tanaman
Usia ideal tanaman tebu hingga siap panen sekitar 11 bulan - 12 bulan. Kedelai
bisa dipanen pada umur 80 hari atau kurang. Tebu ditanam lebih dulu, sedangkan kedelai
ditanam setelah umur tebu mencapai 2–3 minggu setelah tanam.
Sistem pertanaman
Lahan yang digunakan adalah sawah lahan kering tadah hujan. Panjang tiap
juringan tebu 8 m. Tanaman kedelai sebagai tanaman tumpang sari ditanam dengan jarak
tanam 40 x 15 cm 2 biji perlubang. Sistem budi daya ini menggunakan jarak tanam antar
juringan yang lebar (pusat ke pusat/pkp 160 cm) sehingga memberi kesempatan untuk
dilaksanakannya sistem tumpang sari. Masing-masing varietas kedelai ditanam di antara
juringan tanaman tebu sehingga terdapat empat petak dengan luasan ±80 m2.
Hasil tertentu
Asumsi data dari hasil penelitian (Rifai, A., Basuki, S., & Utomo, B., 2014).
Maka dapat dihitung Nilai Kesetaraan Lahan (NKL) tumpang sari tebu VMC 76-
16 dan kedelai Kaba dengan rumus sebagai berikut:
Dapat dilihat bahwa nilai Kesetaraan Lahan (NKL) yang didapat adalah 2,2 yang
berarti lebih > 1, artinya menunjukkan bahwa dengan sistem tanam ganda (tumpang sari)
tebu VMC 76-16 dan kedelai Kaba yang dilakukan lebih efisien dalam pemanfaatan
lahan daripada masing-masing tanaman tersebut ditanam secara monokultur.
Pemanfaatan lahan tanaman tebu (0–3 bulan) merupakan suatu usaha untuk
memaksimalkan fungsi lahan pertanian supaya berhasil guna dan berdaya guna.
Sedangkan penanaman kedelai tumpang sari dengan tebu (Bulai) merupakan salah satu
usaha untuk memaksimalkan fungsi lahan tersebut.
Sistem tanam tumpang sari merupakan sistem budi daya tanaman yang dapat
meningkatkan produksi lahan. Sistem usaha pertanian ini bertujuan untuk mendapatkan
hasil panen lebih dari satu kali dari jenis atau beberapa jenis tanaman pada sebidang
tanah yang sama dalam satu tahun. Pilihan ini diambil untuk mengurangi tingkat resiko
kegagalan produksi, menyerap tenaga kerja yang lebih merata sepanjang tahun,
meningkatkan produktivitas lahan, dan menjadikan lebih efisien penggunaan energi atau
cahaya matahari serta dalam penggunaan air.
IV. CONTOH PERHITUNGAN ATER dan RK
a. ATER
Menghitung produktivitas sistim tumpangsari hanya dengan NKL saja tampaknya
belum cukup, karena produksi pertanaman tidak hanya secara tunggal merupakan fungsi
dari areal tanah, tanaman, manajemen, dan lingkungan, yang kesemuanya dicerminkan
dalam NKL, tapi juga berhubungan dengan lamanya waktu yang digunakan untuk
pertumbuhan tanaman tersebut (“duration of growth”) atau lamanya waktu yang
digunakan pada lahan tersebut oleh tanaman yang diusahakan baik tunggal maupun
tumpangsari. Jadi dalam hal ini waktu perlu diperhatikan. Tampaknya tumpangsari lebih
kompleks, termasuk bentuk sisipan (relay) yang lebih sederhana sekali pun. Konsep ini
disebut sebagai ATER (Area Time Equivalency Ratio) (Hiebsch, 1978) dikutip Leihner,
1983. Dirumuskan dengan:
Contoh : Hasil ubikayu dan buncis, ATER pada berbagai sistim pertanaman di
CIAT Palmira (1981) (Leihner, 1983).
b. Kompetisi Tanaman (RK)
Dalam 2 tanaman yang berasosiasi terjadi rasio kompetisi (The Competitive Ratio
= CR) atau RK yaitu Rasio Kompetisi yang dihitung secara sederhana dari suatu
pertanaman terhadap pertanaman lain dan koreksi tersebut mengikuti ruang (tempat) yang
dirancang untuk setiap pertanaman. RK untuk tanaman x yang berasosiasi dengan
tanaman y ditulis :
Contoh perhitungan IP :
Tersedia lahan untuk ditanami seluas 4,0 ha. Dalam setahun lahan tersebut
ditanami berturut-turut 4,0 ha tanaman padi, 4,0 ha tanaman kedelai , 3,0 ha tanaman
jagung. Berapa IP ?
Jawab :
Dari lahan 4,0 ha telah dihasilkan panen 2 x luas + 3/4 luas lahan tersebut,
atau selama setahun lahan tersebut penggunaannya belum cukup intensif, karena
mengalami bera 25 %.
b. Indeks Intensitas Pertanaman (IIP) = Cropping Intensity Index (CII)
Artinya : IIP adalah nisbah antara jumlah luas pertanaman kali umur tanaman
masing-masing dalam pola tanam setahun terhadap luas lahan yang tersedia untuk
ditanami kali 12 bulan x 100%.
Artinya :
Pada luas lahan tersebut dalam 1 tahun dapat diusahakan :
Padi sawah = 66,66 %
Ubikayu = 20,00 %
Bera = 13,34 %
Indonesia Productivity and Quality Institute. Pengertian dan Karateristik Kualitas Lingkungan
Hidup. Diakses 29 Maret 2020 pada https://ipqi.org/pengertian-dan-karateristik-kualitas-
lingkungan-hidup/
Rifai, A., Basuki, S., & Utomo, B. (2014). Nilai kesetaraan lahan budi daya tumpang sari
tanaman tebu dengan kedelai: Studi kasus di Desa Karangharjo, Kecamatan Sulang,
Kabupaten Rembang. Widyariset, 17(1), 59-69.
Sudaryono, S. (2004). Pengaruh naungan terhadap perubahan iklim mikro pada budidaya
tanaman tembakau rakyat. Jurnal Teknologi Lingkungan, 5(1).