Anda di halaman 1dari 5

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaktercampuran pelarut-pelarut :

Polaritas adalah sifat fisika dari suatu bahan, yang berhubungan dengan sifat fisika lainnya seperti titik leleh
dan titik didih, kelarutan dan interaksi intermolekular diantara molekul-molekul. Secara umum, ada
hubungan langsung antara polaritas suatu molekul dengan jumlah dan tipe ikatan polar atau ikatan kovalen
non polar yang ada.

Dalam beberapa kasus, sebuah mulekul dengan ikatan polar, tetapi berada dalam pengaturan yang simetrik,
dapat menghasilkan molekul yang nonpolar, misalnya karbon dioksida (CO2).

Istilah ikatan polar sering digunakan untuk menggambarkan penggunaan/pembagian elektron diantara atom-
atom. Dalam ikatan kovalen nonpolar, elektron digunakan secara bersama-sama diantara dua atom. Ikatan
kovalen polar adalah dimana satu atom memiliki kekuatan yang lebih besar terhadap elektron dibandingkan
atom lainnya. Jika interaksi relatif ini lebih kuat, maka ikatan ini adalah ikatan ionik.

Kelarutan adalah sejumlah zat terlarut ( solute) yang dapat larut dalam pelarut spesifik dibawah kondisi yang
diberikan. Bahan yang terlarut disebut solute dan cairan pelarut disebut sebagai solvent, yang keduanya
secara bersama-sama membentuk larutan ( solution). Proses pelarutan disebut sebagai solvasi, atau hidrasi
jika pelarut yang digunakan adalah air.

Kelarutan suatu mulekul dapat dijelaskan dengan dasar polaritas dari molekul. Misalnya air ( polar ) dan
benzene ( nonpolar), pelarut-pelarut ini tidak bercampur. Secara umum, like dissolve like ; bahan dengan
polaritas yang ssama akan larut kedalam bagian lainnya. Pelarut polar seperti air, mempunyai muatan parsial
yang akan berinteraksi dengan dengan muatan parsial dari suatu senyawa polar, misalnya natrium klorida.
Begitupula dengan senyawa nonpolar yang tidak memiliki muatan, pelarut polar tidakdapat berinteraksi
dengan senyawa tersebut. Alkana adalan senyawa nonpolar, dan tidak larut kedalam pelarut polar misalnya
petroleum eter.

Pelarut dengan nilai konstanta dielektrik yang tinggi ( r > 10 ), seperti air dan ammonia, dikenal sebagai
pelarut polar dan pelarut ionisasi, digunakan untuk pembentukan dan pemisahan ion-ion dalam larutannya,
dan jika nilai r sekitar 2, seperti dietil eter, tetraklorometan, dan heksan, adalah pelarut non polar dan pelarut
non ionisasi. Terdapat pula banyak pelarut-pelarut dengan sifat yang berada dipertengahan antara keduanya.

Secara umum, konstanta dielektrik pelarut digunakan sebagai perhitungan kasar untuk memperkirakan
polatitas dari pelarut tersebut. Polaritas air yang tinggi diindikasikan dari konstanta dielektriknya yaitu 80,10
pada suhu 20C. Pelarut dengan konstanta dielektrik kurang dari 15 secara umum dikenal sebagai pelarut
non polar. Secara teknik, konstanta dielektrik mengukur kemampuan pelarut untuk mereduksi medan gaya
dari medan elektrik disekitar partikel bermuatan yang tercelup didalamnya. Reduksi ini selanjutnya
dibandingkan dengan medan gaya dari partikel bermuatan didalam kondisi vakum. Dalam istilah Layperson,
konstanta dielektrik pelarut dapat pikirkan sebagai kemampuan pelarut tersebut untuk mereduksi muatan
internal dari solute.

Jika dua cairan berbeda dicampurkan, maka berbagai tipe sifat-sifat dapat timbul akibat pencampuran ini.
Jika molekul dalam cairan pelarut memiliki ukuran, bentuk, polaritas sifat kimia yang sama, maka keduanya
akan bercampur dalam berbagai perbandingan. Sebagai contoh, benzene dan metilbenzen ( toluene )
keduanya akan tercampur secara sempurna. Seperti halnya dengan larutan ideal, yang tidak memenuhi
Hukum Raoults, koefisien aktivitas mendekati nilai 1 :

= p/p = x

Jika komponen molekul jauh berbeda dalam polaritas, ukuran dan sifat kimia ( misalnya air dan
tetraklorometan), maka keduanya tidak dapat bercampur seluruhnya. Hal ini merupakan kondisi yang penting
untuk pelarut ekstraksi. Distribusi dari solute diantara pasangan pelarut yang tidakbercampur ( immiscible
solvent ) tergantung terutama pada kelarutan solute pada masing-masing cairan tersebut.

Untuk sistem kromatografi cair dikenal deret eluotropik dikembangkan untuk kuantitasi polaritas dari
pelarut. Digunakan index polaritas setelah Snyder, yang mengklasifikasikan pelarut-pelarut sebagai pelarut
polar kuat atau sebagai pelarut polar lemah atau nonpolar. Skala polaritas ini berdasarkan pengukuran
kelarutan dalam dioksan, nitrometan dan etanol.. Tabel berikut dalah daftar indeks polaritas, P, untuk
pemilihan pelarut yang digunakan dalam kromatografi cair.

PELARUT DAN TINGKAT POLARITASNYA

PELARUT INDEK POLARITAS


Pentana 0
1,1,2-Triklorotrifluoroetana 0
Siklopentana 0,1
Heptana 0,1
Heksana 0,1
Iso oktana 0,1
Petroleum eter 0,1
Sikloheksana 0,2
N-butiklorida 1,0
Toluena 2,4
Metal t-butil eter 2,5
o-xylene 2,5
Klorobenzena 2,7
O-diklorobenzena 2,7
Etil eter 2,8
Dikolrometana 3,1
Etilen diklorida 3,5
n-butil alkohol 3,9
Isopropil alkohol 3,9
n-butil asetat 4,0
Isobutyl alkohol 4,0
Metal isoamil keton 4,0
n-propil alkohol 4,0
Tetrahidrofuran 4,0
Kloroform 4,1
Metal isobutyl keton 4,2
Etil asetat 4,4
Metal n-propil ketone 4,5
Metal etil ketone 4,7
1,4- dioxana 4,8
Aseton 5,1
Methanol 5,1
Piridin 5,3
2-metoksiatenol 5,5
Asetonitrit 5,8
Propilen karbonat 6,1
N-n dimetilformamida 6,4
Dimetil asetamida 6,5
N-metilpirolidon 6,7
Dimetilsulfoksida 7,2
Air 1

GUGUS FUNGSIONAL

Para ahli dalam meneliti sifat-sifat senyawa karbon menemukan keteraturan-keteraturan. Terbukti dari
eksperimen, bahwa dalam tiap reaksi hanya bagian tertentu saja dari molekul senyawa karbon yang
mengalami perubahan dan juga beberapa senyawa memberikan reaksi yang sama terhadap satu macam
pereaksi. Sebagai contoh dapat diambil molekul etanol (CH3CH2OH). Bila etanol bereaksi , bagian yang
aktif ialah gugus OH (gugus hidroksil), sedangkan bagian yang lainnya, yaitu gugus etil, kerapkali tinggal
tetap saja. Jadi molekul etanol terdiri atas gugus etil (CH3 CH2 -) yang tidak berubah selama reaksi dan
gugus OH yang dapat berubah.

Bagian yang mengalami perubahan ini disebut gugus fungsionil dan dapat terdiri atas satu atom atau
beberapa macam atom. Gugus fungsionil dalam molekul inilah yang terutama menentukan sifat kimia
senyawa itu. Adakalanya suatu senyawa mempunyai lebih dari satu gugus fungsionil. Sifat senyawa dalam
hal ini akan merupakan gabungan dari sifat berbagai gugus fungsionil yang dimilikinya. Gugus fungsionil
juga memegang peranan penting dalam menentukan polaritas suatu senyawa/molekul.

Contoh beberapa gugus fungsional (bagian yang dilingkari) dalam suatu molekul :
Polaritas beberapa gugus fungsionil dapat disusun sebagai berikut :

MENGENAL POLARITAS FASA DIAM PELARUT DALAM KROMATOGRAFI

Fasa diam pada kromatografi gas ada yang bersifat polar, semipolar dan tak polar yang dapat dikenali
berdasarkan prinsip dasar diatas. Berdasarkan gugus fungsionil yang dimiliki oleh setiap jenis fasa diam
tersebut, dapat disusun urutan polaritas dari beberapa jenis fasa diam yang umum digunakan pada
kromatografi gas (Tabel 2). Disamping keenam jenis fasa diam tersebut, masih terdapat banyak lagi jenis
fasa diam lainnya.

Tabel 2. Urutan Polaritas beberapa Fasa Diam pada Kromatografi Gas.

Fasa diam yang paling banyak digunakan pada TLC dan HPLC adalah silika dan alumina. Berbagai
pemisahan pada selulosa dan poliamida juga telah banyak dipublikasikan, hanya saja pemakaiannya tidak
seluas silika dan alumina. Karena tidak semua pemisahan dapat dilakukan pada silika maka dikembangkan
fasa terikat (bonded phase) seperti RP 2, RP 8, RP 18, diol, amina dan siano. Susunan fasa diam yang
umum digunakan pada TLC dan HPLC, dimulai dari yang paling polar (C18) diberikan pada tabel 3 di
bawah ini :
Tabel 3. Ukuran Polaritas Fasa Diam pada TLC dan HPLC

Bagaimana halnya dengan urutan polaritas fasa gerak?. Fasa gerak yang umum digunakan pada TLC dan
HPLC terdiri dari campuran berbagai pelarut organik. Polaritas pelarut dapat disusun menurut ukuran
kekuatan teradopsinya pelarut tersebut pada adsorben (yang banyak digunakan alumina) dan susunan yang
terbentuk dikenal sebagai deret eluotropik pelarut.

Suatu pelarut bersifat relatif polar, dapat mengusir pelarut yang relatif tak polar dari ikatannya dengan
alumina. Dalam deret eluotropik menurut Trappe, Wren dan Strain, pelarut-pelarut disusun menurut
besarnya kekuatan pelarut (solvent strength) eo, berangkat dari yang tak polar menuju ke yang sifatnya
polar (makin ke bawah makin polar).

Tabel 4. Deret Eluotropik Pelarut

Deret eluotropik dapat dipakai untuk menentukan kekuatan pelarut yang optimal untuk suatu pemisahan
tertentu. Misal pada suatu pemisahan HPLC menggunakan fasa diam silika, diperoleh nilai tr yang terlalu
besar, dalam arti komponen ditahan terlalu kuatoleh kolom. Dengan menggunakan deret eluotropik, fasa
gerak yang dipakai dapat dimodifikasi jenisnya atau diubah komposisinya menjadi eluen dengan kepolaran
relatif lebih tinggi agar komponen dapat terelusi oleh fasa gerak relatif lebih cepat. Dapat juga digunakan
campuran dari dua, tiga bahkan empat pelarut untuk mendapatkan kekuatan pelarut untuk mendapatkan
kekuatan pelarut yang optimal. Misalnya dibuat campuran isooktana (eo =0,42) dengan komposisi
sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan sama dengan CCl4 (eo =0,18). Bagaimana strategi
emngubah komposisi pelarut dalam TLC dan HPLC, akan dibahas pada tulisan yang akan datang. (Julia
Kantasubrata, Puslitbang Kimia Terapan LIPI).

Kesimpulan :

1. Faktor yang mempengaruhi ketidakbercampuran suatu pelarut dengan pelarut lainnya tergantung pada
polaritas, ukuran, bentuk dan sifat kimia yang sama.

2. Untuk memprediksi ketidaktercampuran suatu pelarut dapat dgunakan perbandingan polaritas dari pelarut-
pelarut tersebut.

3. Aturan umum yang berlaku dalam kelarutan adalah like dissolve like. Pelarut hidrokarbon nonpolar
seperti heksan merupakan pelarut yang paling baik untuk hidrokarbon padat seperti naftalen. Ester
merupakan pelarut yang baimbagi ester-ester, dan air atau pelarut polar lainnya diperuntukkan untuk
senyawa-senyawa polar dan ionic.

Anda mungkin juga menyukai