Buku Ajar Metode Analisis Perencanaan 2014 PDF
Buku Ajar Metode Analisis Perencanaan 2014 PDF
Tim Penulis:
Ketua
IR. MOH. YOENUS OSMAN, MSP.
NIP. 19510307 197903 1 003
Anggota
MARLY VALENTY PATANDIANAN, ST/MT.
NIP. 19730328 200604 2 001
PROGRAM STUDI
PENGEMBANGAN WILAYAH DAN KOTA
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Halaman
- Halaman Judul................................................................. i
- Halaman Pengesahan..................................................... ii
- Kata Pengantar................................................................ iii
- Daftar Isi........................................................................... v
- Daftar Tabel..................................................................... viii
- Daftar Gambar................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1
A. Gambaran Umum Program Studi.................................... 1
1. Sekolah Perencanaan dan Kompetensi Lulusan............. 1
2. Program Studi PWK Fak. Teknik Univ. Hasanuddin........ 2
B. Tinjauan Mata Kuliah Metode Analisis 3
Perencanaan....................................................................
1. Garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP).................. 4
2. Satuan Acara Pembelajaran (SAP)................................. 6
C. Struktur Buku Ajar .......................................................... 6
BAB II ANALISIS DEMOGRAFI DAN DINAMIKA SOSIAL......... 9
1. Perhitungan Jumlah dan Kepadatan Penduduk.............. 10
2. Perhitungan Persebaran Penduduk................................. 13
3. Komposisi Penduduk....................................................... 14
4. Proyeksi/Perkiraan Laju Pertambahan Penduduk........... 18
5. Analisis Ketenagakerjaan................................................ 32
6. Perhitungan Indeks Kualitas Hidup (IKH)........................ 37
7. Indikator Tingkat Pendidikan Masyarakat....................... 42
8. Metode Partisipasi Kelembagaan Masyarakat................ 48
9. Analisis Dinamika Sosial Masyarakat.............................. 53
10. Perhitungan Indeks Tingkat Perkembangan Wilayah...... 56
BAB III ANALISIS EKONOMI WILAYAH/KOTA........................... 69
1. Perhitungan Struktur Ekonomi dan Pergeserannya......... 70
2. Perhitungan Laju Pertumbuhan Ekonomi ........................ 72
3. Laju Pendapatan/Produktivitas per Kapita........................ 75
4. Metode Location Quorient (LQ)........................................ 77
6. Analisis Input-Output ....................................................... 80
7. Analisis Shift Share ...................................................... 102
8. Analisis Biaya Sumberdaya Domesti............................... 112
9. Distrubusi Pendapatan/ Gini Ratio................................... 115
BAB IV ANALISIS SPASIAL DAN HUBUNGAN ANTAR
WILAYAH ........................................................................ 116
1. Analisis Pola Permukiman............................................... 118
2. Analisis Sistem Hubungan antar Wilayah........................ 142
3. Analisis Aksesibilitas........................................................ 151
4
BAB I
PENDAHULUAN
(DTKTD dan PSDAL-UH, 1992) dan dari buku Analisa Kota dan Daerah
(Warpani, S, 1990). Rincian sumber bacaan lainnya adalah seperti
tersebut dalam Daftar Bacaan/Literatur di bagian akhir buku ajar ini.
2. Satuan Acara Pembelajaran (SAP)
Satuan Acara Pembelajaran adalah rincian penyajian materi
pembelajaran yang disajikan dalam 16 kali kegiatan terdiri dari 3 jam
setiap perkuliahan, termasuk didalamnya kegiatan evaluasi atau penilaian
hasil belajar dari masing-masing mahasiswa peserta didik. Penilaian
dilaksanakan sepanjang proses perkuliahan, dikusi dan tugas-tugas
(kelompok dan individu). Jika diperlukan penilaian yang lebih valid akan
dilakukan evaluasi dalam bentuk ujian tengah semester (mid test) dan
ujian akhir semester (final test)
C. Struktur Buku Ajar
Isi buku ajar ini disusun berdasarkan Pedoman Penulisan Buku Ajar
Prodi PWK Unhas tahun 2014, yang secara terstruktur diuraikan sebagai
berikut:
Halaman Judul
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan
Berisi Gambaran Umum Program Studi, Komptensi Lulusan, Garis
Besar Rencana Pembelajaran (GBRP) dan Struktur Buku Ajar.
Bab II. Analisis Kependudukan dan Dinamika Sosial;
Modul pembelajaran Metode Analisis Kependudukan dan Dinamika
Sosial ini terdiri dari beberapa sub modul, yaitu: Perhitungan dan proyeksi
Jumlah Penduduk; Analisis Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat
Kesejahteraan: Indeks Kualitas Hidup (IKH)/Indeks Pembangunan
Manusia (IPM); serta Analisis Mobilitas/Dinamika Masyarakat:
Bab III. Analisis Ekonomi Wilayah/Kota
Berisi uraian Analisis Struktur ekonomi wilayah (Nasional, Provinsi,
Kabupaten/Kota); Perhitungan Laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan
laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita; Analisis Location
Quotient (LQ) untuk mengetahui sektor basis dan sektor unggulan
wilayah, Metode Analisis Input - Output (I-O Analysist) serta Analisis
komparatif produksi/komoditas unggulan.
9
BAB II
ANALISIS DEMOGRAFI DAN DINAMIKA SOSIAL
2. Persebaran Penduduk
Analisis digunakan untuk mengetahui penyebaran penduduk antara
kota dan desa, serta antar unit-unit wilayah (misalnya untuk RUTR
kecamatan)
(i) Persebaran Penduduk Desa dan Kota
Merupakan proporsi penduduk desa dan kota terhadap jumlah
penduduk.
(ii) Persebaran Penduduk Antar Wilayah Kecamatan
Angka persebaran diketahui dengan cara membandingkan
kepadatan penduduk antar wilayah kecamatan.
Penilaian:
Persebaran proporsional atau persebaran tidak proporsional.
Persebaran proporsional adalah persebaran dimana jumlah penduduk
sebanding dengan ketersediaan sumberdaya alam (termasuk lahan) di
wilayah yang ditinjau.
Keunggulan:
Informasi tentang jumlah penduduk desa, kota dan wilayah kecamatan
mudah diperoleh.
Kelemahan:
Gambaran yang diperoleh masih sangat umum.
13
3. Komposisi Pendududk
Komposisi penduduk dibedakan menurut umur dan jenis kelamin.
Komposisi dimaksud dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan
fasilitas pelayanan 13ector dan ekonomi.
(i) Komposisi Menurut Umur
Struktur umur yang umum dipakai adalah interval waktu 5 tahun,
yaitu:
0 - 4 tahun
5 - 9 tahun
10 14 tahun
15 19 tahun
20 24 tahun
25 29 tahun
30 34 tahun
35 39 tahun
40 44 tahun
45 49 tahun
50 54 tahun
55 59 tahun
60 64 tahun
65 + tahun
Tabel 2.2: Proyeksi Jumlah Penduduk Perempuan di DKI Jakarta tahun 1971 -1976
1 2 3 4 5 6 7 8 9
0-4 381.956 0.94528 - 18.250 493.543 - - -
5-9 319.450 0.98100 361.055 22.350 383.405 - - -
10-14 267.518 0.98043 313.380 29.500 342.880 - - -
15-19 265.251 0.97430 262.283 57.800 320.083 292.667 0.107 31.315
20-24 227.890 0.96927 258.432 49.900 308.334 268.112 0.242 64.883
25-29 201.771 0.96518 220.887 29.000 249.887 225.829 0.239 53.973
30-34 164.195 0.96077 194.745 15.850 210.959 187.395 0.236 44.225
35-39 135.959 0.95608 157.754 10.800 168.554 152.257 0.159 24.209
40-44 94.009 0.94998 129.988 7.350 137.338 115.674 0.070 8.097
45-49 60.930 0.93753 89.307 4.650 93.957 77.444 0.009 697
50-54 47382 0.91695 57.124 3.450 60.574 - - -
55-59 25.220 0.73655 43.477 1.950 45.397 - - -
21
n
nj = Ni ji . Ni
i 1
j = 1,5; i = 1,4
dengan :
nj menyatakan-golongan umur tahunan :
n1 = 0 tahun, n2 = 1 tahun, n3 = 2 tahun,
n4 = 3 tahun dan n5 = 4 tahun.
Ni menyatakan jumlah penduduk pada kelompok umur ke-i, yaitu : N1 = 0-
4 tahun, N2 = 5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, N4 = 15-19 tahun.
ji menyatakan koefisien pengganda Sprague yang diperlihatkan pada
faktor 4.
Tabel 2.4. Pengganda Sprague
N1 N2 N3 N4 N5
FIRST END-PANEL
nl +0.3616 -0.2768 + 0.1488 - 0.0336 -
n2 +0.2640 -0.0960 + 0.0400 - 0.0080 -
n3 +0.1840 + 0.0400 - 0.0320 +0.0080 -
n4 + 0.1200 + 0.1360 - 0.0720 + 0.0160 .
n5 +0.0704 + 0.1968 - 0.0848 + 0.0176 -
FIRST NEXT-TO-END PANEL
nl +0.0336 + 0.2272 - 0.0752 + 0.0144 -
n2 +0.0080 + 0.2320 - 0.0480 +0.0080 -
n3 - 0.0080 + 0.2160 - 0.0080 + 0.0000 -
n4 - 0.0160 + 0.1840 + 0.0400 - 0.0080 -
n5 - 00176 + 0.1408 + 0.0912 - 0.9144 -
MID-PANEL
nl - 0.0128 + 0.0848 + 0.1504 - 0.0240 + 0.0016
n2 -0.0015 + 0.0144 + 0.2224 - 0.0416 +0.0064
n3 +0.0084 - 0.0336 +0.2544 - 0.0336 - 0.0064
n4 +O0064 - 0.0416 + 0.2224 - 0.0144 - 0.0016
n5 +0.0016 - 0.0240 + 0.1504 +0.0848 - 0.0128
LAST NEXT-TO-END PANEL
nl - 0.0144 +0.0912 + 0.1408 - 0.0176 -
n2 - 0.0080 +0.0400 + 0.1840 - 0.0160 .
n3 +0.0000 - O.0080 + 0.2160 - 0.0080 -
n4 +0.0080 - a0480 +0.2320 + 0.0080 -.
n5 +0.0144 - 0.0752 +0.2272 +0.0336 -
LAST END PANEL
nl +0.0176 - 0,0848 +0.1968 +0.0764 -
n2 +0.0168 - 0.0720 +0.1360 +0.1200 -
n3 +0.0080 - 0.0320 + 0.0400 +0.1640 -
n4 - 0.0080 + 0.0400 -0.0960 +0.2640
n5 - 0.0336 + 0.1488 - 0.2768 + 03615 -
23
c. Mid Panel
Kelompok umur ini juga menggunakan rumus yang sama dengan yang
digunakan pada kelompok umur sebelumnya, dengan perbedaan terletak
pada jumlah 23ector penggandanya, yaitu sebanyak 5 buah
23ector23e2323 dengan 4 buah pada kelompok umur yang dibahas
sebelumnya.
N3 diletakkan pada kelompok umur yang ingin dipecah, N2 dan Ni untuk
dua kelompok umur sebelumnya, dan N4 dan N5 untuk kelompok umur
sesudahnya.
Misalnya kelompok umur yang ingin dipecah adalah 10-14 tahun, maka n1
= 10 tahun, n2 = 11 tahun, n3 = 12 tahun, n4 = 13 tahun, dan ns = 14
tahun. Data kelompok umur yang digunakan adalah Ni = 0-4 tahun, N2 =
5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, N4 = 15-19 tahun, dan N5 = 20-24 tahun.
Catatan:
Untuk Last next-to-end panel pemecahan umur dihitung dengan cara yang
sama First next-to-end panel, sedang pemecahan umur untuk last end
panel dihitung dengan cara yang serupa dengan first end panel.
Contoh:
Perkirakan jumlah anak usia sekolah (7-12 tahun) berdasarkan data
jumlah penduduk menurut kelompok umur yang diperlihatkan pada
kelompok 1.
Golongan umur 7-12 tabun terdiri atas dua kelompok umur, yaitu 5-9
tahun dan 10-14 tahun. Kelompok umur 5-9 tahun dipecah dengan
menggunakan First next-to-end panel, sedangkan kelompok umur 4 tahun
dipecah dengan menggunakan faktor pengganda pada mid panel.
Golongan umur 5 tahun = 0.0336 x 66.082 + 0.2272 x 64.652 0.0752 x
49.285 + 00144 x 35.866 = 13.720 (dibulatkan)
Golongan umur 6 tahun = 0.0080 x 66.082 + 0.2320 x 64.652 0.0480 x
49.285 + 0.0080 x 35.866 = 13.499 (dibulatkan)
24
5. Analisis Ketenagakerjaan
Analisis dalam lingkup ini diperlukan untuk memperoleh informasi
yang berkaitan dengan jumlah penduduk yang tidak produktif, tingkat
partisipasi angkatan kerja, tingkat pengangguran, dan proyeksi tingkat
partisipasi angkatan kerja.
(i) Angka Beban Tanggungan
Angka beban tanggungan (Dependency Ratio) merupakan
angka yang menyatakan perbandingan antara jumlah penduduk yang
tidak produktif (umur dibawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas) dengan
jumlah penduduk yang termasuk usia produktif (umur 15-64 tahun).
{(Po 14 + P65+) / (P15 64)} * 100
Penilaian:
Angka Beban-Tanggungan Tinggi : > 70
Angka Beban Tanggungan Sedang : 51 69
Angka Beban Tanggungan Rendah : <50
(ii) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Tingkat partisipasi angkatan kerja (Labor Force Participation) atau
biasa disingkat TPAK menyatakan perbandingan jumlah angkatan kerja
dengan jumlah penduduk usia kerja (di Indonesia umur 10 tahun ke atas).
TPAK = (jumlah angkatan kerja/jumlah penduduk usia kerja ) * 100
Penilaian :
TPAK Tinggi = > 70
TPAK Sedang = 50-69
TPAK Rendah = < 50
Data yang dibutuhkan berupa :
- Jumlah penduduk usia kerja (umur 10 tahun ke atas)
- Jumlah angkatan kerja.
25
Dalam proyeksi ini perlu dibuat asumsi mengenai TPAK pada masa yang
akan datang.
Selain itu, TPAK pada masa yang akan datang dapat diketahui dengan
melakukan extrapolasi sebagai berikut:
lfxt+1 = lfxt * { lfxt / (lfxt-1)}
dengan
lfxt+1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t +1
lfxt = TPAK kelompok umur x pada tahun t
x
lf t-1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t 1
Tata perhitungan TPAK dengan cara extrapolasi dapat dilakukan dengan
menggunakan bantuan tabel berikut:
UMUR lfto 1971 lfto 1980 3:2 Uto Ut lfto * Uto lft * Ut 8:7 t
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10-19 0.4938 0.4217 0.854 0.5062 0.5783 0.250 0.244 0.976 -0.833
20-34 0.6826 0.4141 0.606 0.3172 0.5859 0.217 0.243 1.120 -0.678
35-44 0.3397 0.6306 1.856 0.6603 0.3694 0.224 0.233 1.040 1.930
UMUR lf 1990
10-19 0.4217 * (100 0.833) /100 = 0.4182
20-34 0.4141 * (100- 0.678)/ 100 = 0.4113
35-44 0,6306 * (100-1.930)/ 100 = 0.6428
Contoh:
Perhitungan IKH dengan menggunakan contoh angka IMR, LE dan LR
yang ditemukan di sebelumnya yaitu masing-masing 85, 58, dan 72,5
akan menghasilkan IKH sebagai berikut:
IKH = 1/3 [{(229-85)/2,22} + {(58-38)/0,39} + 72,5]
IKH = 62,8
Berdasarkan pengelompokan sebelumnya, maka angka IKH yang
dihasilkan dari perhitungan diatas yakni 62,8 adalah termasuk kategori
sedang.
Kelebihan:
- Berlaku umum bagi berbagai model pembangunan.
- Terhindar dari ukuran-ukuran yang menggambarkan nilai khusus
masyarakat tertentu
- Mengukur hasil/output proses pertumbuhan ekonomi (pembangunan).
- Sederhana dan prosesnya mudah dimengerti
- Dapat dibandingkan (comparable) secara internasional.
Kelemahan
- Data indikator mengenai ketiga faktor dalam IKH seringkali kurang
tersedia di setiap kabupaten
- Angka IKH ini kurang tajam dalam mengukur tingkat pendapatan
masyarakat, padahal tingkat pendapatan sering pula dijadikan tolok ukur
kualitas kehidupan ekonomi masyarakat.
Seringkali data yang diperoleh kurang akurat atau kurang 33ector. Sebab
pendataan yang demikian ini biasanya dilakukan paling cepat lima tahun
sekali sejalan dengan pelaksanaan sensus atau survey penduduk antar
sensus.
(iii) Rasio Guru dan Murid
Metode ini mengukur jumlah murid yang dilayani oleh setiap guru
dalam proses belajar mengajar, jadi secara tidak langsung mengukur
kualitas proses pendidikan di suatu wilayah.
Perhitungan Rasio Guru-Murid dilakukan menurut jenjang pendidikan,
yaitu rasio guru-murid pada SD, SLTP dan SLTA.
Data yang diperlukan ialah jumlah guru serta jumlah murid/siswa
keseluruhan-nya di suatu wilayah menurut jenjangnya masing-masing.
Cara perhitungannya ialah dengan rumus sederhana:
jumlah murid
Ratio Guru dan Murid ________________
jumlah guru
Contoh:
Di kabupaten X terdapat 87.500 murid SD, dengan jumlah guru sebanyak
1950 orang, maka rasio guru-murid untuk tingkat SD adalah :
87500 / 1950 = 44,9 dibulatkan menjadi 45.
Artinya setiap guru SD di kabupaten ini melayani rata-rata 45 orang murid.
Dengan prosedur yang sama dapat dihitung rasio guru-murid pada tingkat
SLTP das SLTA.
Makin kecil rasio guru-murid menunjukkan makin tingginya intensitas
proses belajar mengajar, yang berarti pula makin tingginya kualitas proses
pendidikan di wilayah yang bersangkutan.
Sebagai patokan umum dalam penilaian, rasio guru-murid yang dinilai baik
dan mampu meningkatkan kualitas proses belajar mengajar secara nyata
adalah:
- SD = 1: 30 sampai 40
- SLTP = 1: 20 sampai 25
- SLTA = 1:15 sampai 20
Kelebihan :
Mudah dihitung dan datanyapun mudah diperoleh, karena data mengenai
rasio guru-murid ini setiap tahun diremajakan oleh Kantor Depdikbud.
Kelebihan lainnya adalah metoda ini dapat menjelaskan kualitas dari
proses pendidikan yang terjadi pada suatu wilayah.
Kelemahan :
Metoda ini menjelaskan perkembangan proses belajar mengajar
dikalangan penduduk yang hanya sementara terdaftar pada pendidikan
34
b. Sedang:
Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat 50%-69% dari seluruh
lembaga dimaksud masuk dalam kelompok aktif. Diberi skor dalam
skala 5-7.
c. Rendah:
Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat kurang dari 50%
diantara lembaga dimaksud masuk dalam kelompok Aktif. Diberi skor
1-4.
Dengan cara agregasi ini maka pada tingkat kabupaten akan diperoleh
36ecto pengelompokan lembaga-lembaga yang diukur menurut tingkat
aktifitas dan skornya masing-masing sebagai berikut:
6. Interpretasi Hasil.
Hasil perhitungan indeks tingkat perkembangan wilayah
dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Kelompok dengan indeks
perkembangan tertinggi diinterpretasikan sebagai sub wilayah yang
memiliki tingkat perkembangan terbaik dibandingkan dengan sub wilayah
lainnya yang ada di dalam lingkup wilayah perencanaan. Kelompok
dengan indeks perkembangan menengah merupakan sub wilayah dengan
tingkat perkembangan sedang, sedangkan yang terakhir, yaitu kelompok
yang memiliki nilai terkecil merupakan kelompok sub wilayah yang
memiliki tingkat perkembangan yang terbelakang dibanding dengan sub
wilayah lainnya.
Contoh Perhitungan.
Contoh perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah dengan
menggunakan data Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan.
Data dari berbagai indikator. sosial ekonomi diperlihatkan pada Tabel 2.5
sampai dengan 2.9
Tabel 2.5. Indikator Perumahan
Catatan:
Kolom 2,3 dan 4 dinyatakan untuk setiap 1000 orang penduduk.
43
Tabel 2.10. Indeks Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan
PERUMAHAN PENDIDIKAN KESEHATAN KK AKSESIBILITAS TO
KECAMATAN TAL
Al A2 A3 A4 A5 Bl B2 B3 B4 B5 B6 C1 C2 C3 C4 C5 C Dl E1 E2 E3 E4 E5 E
1. Mandai 2 3 3 ii 3 3 3* 3 3 15 3 2 2 1 2 10 1 1 2 2 1 2 8 10,4
2. Tanralili 1 2 5 3 1 1 1 1 7 1 1 1 3 7 1 1 1 1 2 1 6 6,3
3. Camba 1 3 6 2 2 1 1 1 7 1 1 1 3 7 1 1 1 1 3 1 7 6,7
4. Mallawa 1 3 6 1 1 1 1 2 6 3 3 3 3 13 1 1 1 1 2 1 6 7,5
5. Bantimurung 1 1 4 3 2 1 1 1 8 1 1 1 3 7 1 1 1 1 2 1 6 6.2
6. Maros Baru 1 1 4 3 3 2 3 3 14 2 1 1 1 6 2 3 3 3 1 3 13 9,6
$. Marps Utara 3 2 3 11 3 3 3 2 2 13 3 3 2 2 11 3 3 3 3 1 3 13 13,2
Al = % rumah yang memiliki sumber air bersih C1 = Jumlah Fasilitas Kesehatan per 1 km luas wilayah
A2 = % rumah yang memiliki WC C2 = Jumlah Dokter per 1000 orang penduduk
A3 = % rumah yang memiliki aliran listrik C3 = Jumlah Paramedis per 1000 orang penduduk
A4 = % rumah yang 2 dari komponen utamanya (lantai, C4 = Jumlah Dukun per 1000 orang penduduk
dinding dan atap) terbuat dari bahan permanen C5 = Tingkat Mortalitas
A = Nilai total untuk mdikator perumahan C = Nilai total untuk indikator kesehatan
B1 = % penduduk yang mclek huruf E1 = Jumlah pesawat telefon per 1000 orang penduduk
B2 = % penduduk usia sekolah (SD) yang terdaftar pada SD E2 = Jumlah TV per 1000 orang penduduk
B3 = % penduduk usia sekolah (SUIT) yang terdaftar di E3 = Jumlah Radio per 1000 orang penduduk
SLTP E4 = Jarak (dalam km) ke Ibu Kota Kecamatan
B4 = %jumlah penduduk yang lulus SD E5 = Kondisi permukaan jalan penghubung ke Ibu Kota
B5 = %jumlah penduduk yang lulus SLTP Kecamatan
B = Nilai total untuk indikator pendidikan E = Nilai total untuk indikator aksesibilitas
D1 = % penduduk usia kerja yang bekerja
Keunggulan
Metoda ini selain relatif mudah dan membutuhkan data yang umumnya
telah tersedia pada hampir semua kabupaten di Indonesia, juga mampu
memberikan gambaran tentang tingkat perkembangan relatif dari
kecamatan-kecamatan yang ada pada kabupaten yang ditinjau,
khususnya yang berkaitan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
penduduk. Dengan demikian dapat ditemukenali kecamatan-kecamatan
yang relatif kurang mendapat pelayanan sosial ekonomi yang membutuh-
kan penanganan khusus agar mampu mencapai tingkat pelayanan yang
setara dengan kecamatan lainnya.
Kelemahan
Hasil analisis hanya merupakan potret dari tingkat perkembangan relatif
kecamatan-kecamatan yang terdapat pada kabupaten yang ditinjau, tetapi
tidak memberikan informasi tentang penyebab berkembang atau tidak
berkembangnya suatu kecamatan.
Di samping itu, seperti dengan metoda lain yang berbasis pada skala/
pembobotan, metoda ini cenderung bersifat subyektif. Bobot yang
diberikan pada suatu indikator sangat tergantung kepada penilaian si
perencana yang umumnya dipengaruhi, secara sadar atau tidak sadar,
oleh pertimbangan yang bersifat subyektif.
Pemilihan indikator juga merupakan titik kritis keberhasilan metoda ini
memberikan gambaran nyata tentang tingkat perkembangan kecamatan.
Hasil analisis mungkin kurang tepat disebabkan oleh pemilihan indikator
yang kurang mewakili keadaan yang sebenarnya. Hal ini sulit dihindari,
utamanya bagi perencana pemula, karena suatu indikator mungkin tepat
untuk diterapkan pada suatu wilayah tetapi belum tentu sesuai untuk
wilayah lainnya.
Salah satu upaya untuk mengatasi kelemahan ini adalah menghitung
terlebih dahulu nilai yang diberikan pada suatu kelompok-indikator,
misalnya tingkat aksesibilitas fisik, dengan menggunakan metoda
pengukuran aksesibilitas yang telah baku. Dengan pendekatan ini
"kekeliruan" dalam pemilihan dan pemberian bobot bagi indikator-indikator
aksesibilitas dapat dihindari. Pendekatan ini jelas meminta waktu dan
proses analisis yang lebih rumit, tetapi diimbangi dengan basil analisis
yang relatif lebih akurat.
1
BAB III
ANALISIS EKONOMI WILAYAH
2
1. Struktur Ekonomi dan Pergeserannya
Analisis struktur ekonomi digunakan untuk mengetahui sumbangan
atau peranan masing-masing kegiatan ekonomi atau sektor dalam
perekonomian kabupaten secara keseluruhan dalam suatu tahun tertentu.
Dengan kata lain, dengan analisis ini dapat diketahui besarnya persentase
masing-masing kegiatan ekonomi atau sektor dalam Pendapatan
Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupate/kota.
Struktur ekonomi ini bisa mempunyai pengertian yang dinamis
apabila struktur ekonomi tersebut tidak dibatasi pada suatu tahun tertentu
saja, melainkan dalam suatu rangkaian waktu, sehingga dapat dilihat
proses pergeseran struktur ekonomi.
Untuk mengukur struktur ekonomi kabupaten digunakan rumus:
Nilai PDRB setiap sektor
Struktur Ekonomi = * 100%
Nilai PDRB total
Contoh :
Kegiatan ekonomi suatu kabupaten A dikelompokkan dalam tiga sektor
utama, yakni pertanian, industri, dan jasa dengan PDRB sebagai berikut:
3
- Untuk perhitungan pergeseran struktur ekonomi, data yang dibutuhkan
adalah PDRB menurut harga berlaku atau lebih tepat menurut harga
konstan dalam beberapa tahun.
Keunggulan :
Metoda analisis ini sangat mudah dilakukan karena datanya tersedia pada
hampir semua kabupaten dengan pembagian sektor yang lebih rinci.
Kelemahan :
Salah satu kelemahan dari metoda analisis ini bersumber pada
kelemahan pengukuran PDRB itu sendiri, yakni hanya mengukur kegiatan
produksi yang melalui transaksi pasar. Disamping itu, metoda analisis ini
tidak mampu mendeteksi faktor-faktor penyebab pergeseran struktur
ekonomi dalam suatu kabupaten.
2. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Analisis ini digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi
kabupaten dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada
proses karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau
perkembangan. Oleh karena itu pemakaian indikator pertumbuhan
ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya
selama Pelita atau periode tertentu, tetapi dapat pula secara tahunan.
Laju pertumbuhan ekonomi diukur melalui indikator perkembangan
PDRB dari tahun ke tahun. Cara menghitung laju pertumbuhan ekonomi
dapat dilakukan dengan tiga metoda, yaitu:
1. Cara Tahunan
PDRBx - PDRBx-1
Laju Pertumbuhan PDRBx = * 100%
PDRBx-1
dengan
PDRBx = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun tertentu
PDRBx-1 = Pendapatan Domestik Regional Bruto 1 tahun
sebelumnya.
Contoh :
Jika PDRB tahun 1983 sebesar Rp.73.697,6 miliar dan tahun 1984
Rp.77.996,8 milliar, maka laju pertumbuhan ekonomi adalah :
Laju Pertumbuhan Ekonomi
= {(77.996,8 73.697,6) / 73.697,6} * 100 % = 5,8 %
2. Cara rata-rata setiap tahun :
PDRBn
r n 1 1*100%
PDRBo
4
Keterangan:
r = laju pertumbuhan ekonomi rata-rata setiap tahun
n = jumlah tahun
PDRBn = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun terakhir periode
PDRBo = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun awal periode
Contoh :
PDRB tahun awal Pelita II (1973) sebesar Rp.9.566,5 miliar dan
PDRB akhir Pelita II (1978) sebesar Rp.6.753,4 miliar.
n=6
9.566,5
r n 1 1
6.753,4
r 5 1,4165 1
log r = {1/5 log 1,4165} 1
= 0,030243 - 1
log r = anti log 0,030243 - 1
= 7,2%
5
3. Laju Pendapatan/Produktivitas per Kapita
Dengan metoda analisis ini dapat diketahui pendapatan per kapita
yang menunjukkan kemampuan yang nyata dari suatu kabupaten dalam
menghasilkan barang dan jasa. Pada umumnya pendapatan per kapita
disebut juga produktivitas per kapita. Sesungguhnya ini hanya soal istilah
karena cara perhitungan yang digunakan sama.
Suatu wilayah kabupaten yang memiliki jumlah penduduk yang
tergolong besar dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi,
mempunyai tantangan yang lebih besar daripada kabupaten yang
tergolong kecil dengan laju pertumbuhan rendah. Tingkat kemajuan suatu
kabupaten secara riel: dapat ditunjukkan dengan indikator berikut:
ix = Laju Pertumbuhan PDRBx r
dengan:
r = laju pertumbuhan penduduk (%)
i = laju pendapatan per kapita, jika angkanya negatif berarti kemerosotan
x = tahun tertentu
Sedangkan tingkat produktivitas per kapita suatu kabupaten dapat diukur
dengan indikator:
npx = PDRBx / Px
dengan
np = nilai produktivitas kabupaten per kapita, sering disebut juga
pendapatan per kapita
P = jumlah penduduk
x = tahun tertentu
Contoh :
1. Laju pertumbuhan PDRB tahun 1978 sebesar 7% dan laju
pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun dalam periode 1971-1980
2,1%. Dengan demikian laju produktivitas / pendapatan per kapita
adalah :
ix = 7% -2,1% = 4,9%.
2. PDRB tahun 1980 atas dasar harga konstan 1973 sebesar Rp.11.169
juta, sedangkan penduduk tahun 1980 tercatat 125.000 jiwa. Nilai
produktivitas per kapita per tahun adalah:
npx = Rp. 11.169.000.000 / 125.000 = Rp. 89.352
6
Keunggulan:
Di samping perhitungan dan data metoda analisis ini relatif mudah karena
tersedia pada hampir semua kabupaten, hasil perhitungan yang diperoleh
dapat menggambarkan kemampuan riel kabupaten dalam menghasilkan
barang dan jasa karena unsur penduduk digunakan sebagai penimbang
dan pengaruh kenaikan harga sudah dihilangkan.
Kelemahan:
Sama halnya pada perhitungan yang menggunakan rata-rata, metoda
analisis ini tidak menggambarkan tingkat kemakmuran pada berbagai
pelapisan masyarakat.
4. Analisis Location Quotient (LQ)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat
spesialisasi sektor-sektor di suatu kabupaten atau sektor-sektor apa saja
yang merupakan sektor basis atau sektor "leading".
Location Quotient banyak digunakan sebagai alat yang sederhana
untuk mengukur spesialiasi relatif suatu wilayah/kabupaten pada sektor-
sektor tertentu. Location Quotient ini mempunyai penggunaan yang luas
sehingga satuan pengukuran apa saja dapat digunakan untuk
menghitungnya. Untuk ilustrasi yang akan digunakan adalah alat ukur
yang paling umum, yakni kesempatan kerja (employment). Untuk
menghitung Location Quotient kesempatan kerja, maka kesempatan kerja
pada sektor tertentu suatu kabupaten dikaitkan dengan peubah acuan
(reference variable), yakni kesempatan kerja total pada tingkat kabupaten
dan tingkat nasional. Hubungan antara kedua tingkat tersebut
dibandingkan dan dianalisis.
Kesempatan kerja suatu sektor yang disebut peubah spesialisasi,
dikaitkan dengan kesempatan kerja total atau peubah acuan melalui suatu
ratio yang sederhana, kemudian ratio tingkat kabupaten dan tingkat
nasional dibandingkan melalui ratio yang lain. Jadi Location Quotient
merupakan ratio dari ratio.
Rumus yang digunakan adalah:
peubah spesialisasi kabupaten
peubah acuan kabupaten
LQ =
peubah spesialisasi nasional
peubah acuan nasional
Dalam kasus kesempatan kerja, rumus di atas menjadi:
jumlah tenaga kerja suatu sektor kabupaten
jumlah tenaga kerja seluruh sektor kabupaten
LQ =
jumlah tenaga kerja sektor yang sama nasional
jumlah tenaga kerja seluruh sektor nasional
7
Dari perhitungan Location Quotient suatu sektor, aturan umum yang
digunakan adalah :
- Jika LQ > 1, disebut sektor basis, yakni sektor yang tingkat
spesialisasinya lebih tinggi daripada tingkat nasional.
- Jika LQ < 1, disebut sektor non-basis, yakni sektor yang tingkat
spesialisasinya lebih rendah daripada tingkat nasional.
- Jika LQ = 1, tingkat spesialisasi kabupaten sama dengan tingkat
nasional.
Contoh :
Misalkan pada suatu kabupaten, kesempatan kerja di sektor pertanian
adalah 120.000 pada suatu tahun tertentu, kesempatan kerja total
kabupaten tersebut adalah 315.000. Dimisalkan juga pada tahun yang
sama, kesempatan kerja sektor pertanian nasional adalah 10.000.000
dan kesempatan kerja total nasional 36.000.000.
Location Quotient sektor pertanian kabupaten yang bersangkutan
adalah:
120.000
315.000
LQ =
10.000.000
36.000.000
0,38
LQ =
0,28
= 1,4
8
Kelemahan:
Perlu diketahui bahwa nilai perhitungan location quotient dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Nilai hasil perhitungannya bias karena tingkat
disaggregasi peubah spesialisasi, pemilihan peubah acuan, pemilihan
entity yang diperbandingkan, pemilihan tahun dan kualitas data.
5. Analisis Input-Output
Analisis ini menjawab pertanyaan mengenai keterkaitan produksi
(production linkages) di antara berbagai kegiatan ekonomi/sektor dalam
suatu kabupaten pada suatu tahun tertentu. Hal tersebut tercermin dalam
keterkaitan kedepan (forward linkage), keterkaitan kebelakang (backward
linkage), dan pengaruh-ganda (multiplier effects) permintaan akhir (final
demand) dari konsumen, pemerintah, sektor-sektor ekonomi kabupaten,
dan dari luar kabupaten terhadap produksi masing-masing sektor dalam
kabupaten yang bersangkutan.
Analisis input-output didasarkan pada teori keseimbangan umum
(general equilibrium) karena mengintegrasikan permintaan (demand) dan
penawaran (supply), memberikan manfaat antara lain: (a) mampu
memberikan gambaran rinci mengenai perekonomian dengan
mengkuantifikasikan ketergantungan (interdependency) antar sektor, (b)
dapat digunakan untuk memperkirakan dampak permintaan akhir dan
perubahannya terhadap keluaran berbagai sektor produksi, nilai tambah,
penerimaan pajak, kebutuhan tenaga kerja dan sebagainya, (c) dapat
digunakan untuk memproyeksi peubah-peubab ekonomi pada butir b di
atas, dan (d) memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai
pengaruh yang terkuat terhadap pertumbuhan ekonomi (sektor leading)
serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan perekonomian
regional dan nasional.
Analisis input-output bertolak dari anggapan bahwa suatu sistem
perekonomian terdiri dari sejumlah kegiatan ekonomi atau sektor- sektor
yang saling berkaitan satu sama lain. Masing-masing sektor
menggunakan keluaran (output) dari sektor lain sebagai masukan (input)
bagi keluaran yang dihasilkannya dan selanjutnya menjadi masukan pula
bagi sektor lain. Transaksi antar sektor ini disebut transaksi-antara atau
permintaan antara (intermediate demand). Di samping menjadi masukan
sektor lain, terdapat pula keluaran dari suatu sektor yang menjadi
masukan bagi sektor itu sendiri, dan sebagai barang konsumsi bagi
pemakai akhir (final demand).
Dalam suatu input-output yang bersifat terbuka dan statis,
transaksi-transaksi yang dikaji dilandasi oleh tiga asumsi dasar sebagai
berikut:
9
- homogenitas atau keseragaman : setiap sektor hanya menghasilkan
satu jenis barang dan jasa dengan masukan tunggal.
- proporsionalitas atau kesebandingan : kenaikan penggunaan masukan
ber-banding lurus dengan kenaikan keluaran.
- additivitas atau penjumlahan : efek total dari kegiatan produksi pada
berbagai sektor merupakan penjumlahan efek masing-masing kegiatan.
Model umum analisis input-output dapat ditulis dalam bentuk notasi
matriks sebagai berikut:
X = AX + F
atau :
X = (I-A)-1 F
dengan :
X = jumlah keluaran yang dihasilkan oleh suatu sektor
A = koefisien masukan, yakni keluaran suatu sektor yang dibeli
oleh sektor lain sebagai masukan untuk menghasilkan satu
unit keluaran
F = permintaan akhir terhadap keluaran suatu sektor
I = matriks identitas, yakni matriks yang elemennya pada
diagonal utama adalah satu dan lainnya nol.
(I - A) = matriks Leontief
(I - A)-1 = matriks kebalikan (inverse) Leontief
Langkah-Langkah Dasar:
Langkah 1: Sebagai langkah awal dalam analisis input-output adalah
menyusun tabel transaksi. Tabel ini berisi keterangan-keterangan
tentang bagaimana, baik dalam satuan kuantitatif fisik atau dalam
satuan mata uang, keluaran suatu sektor terdistribusi ke sektor-
sektor lain sebagai masukan antara dan ke permintaan akhir.
Contoh tabel transaksi yang terdiri atas 3 sektor (pertanian, industri
dan jasa) diperlihatkan pada tabel 3.1.
Alokasi
Permintaan Antara Permintaan Akhir Jumlah
Keluaran
Keluaran
Susunan Rumah
Pertanian Industri Jasa Lainnya
Masukan Tangga
Masukan Pertanian 3 8 18 100 21 150
Antara Industri 33 10 9 20 8 80
Jasa 15 5 30 7 60
Masukan Upah/Gaji 75 30 12 - - 117
Primer Lainnya 24 27 18 - - 69
Jumlah Masukan 150 80 60 150 36
10
Pembacaan tabel ke samping (baris) menunjukkan bahwa dari jumlah
keluaran sektor pertanian sebanyak 150, senilai 3 digunakan oleh sektor
pertanian sendiri sebagai masukan, senilai 8 digunakan oleh sektor
industri, 18 digunakan oleh sektor jasa, dan sisanya senilai 121 (= 100 +
21) digunakan oleh permintaan akhir sebagai barang konsumsi.
Pembacaan tabel ke bawah (kolom) menunjukkan bahwa dari jumlah
masukan sektor pertanian senilai 150, senilai 3 berupa masukan dari
sektor itu sendiri, senilai 33 masukan dari sektor industri, 15 dari sektor
jasa, dan selebihnya senilai 99 ( = 75 + 24) berupa masukan primer yang
disebut juga nilai tambah bruto (gross valued added). Total nilai tambah
bruto dicantumkan pada kolom terakhir (sel yang diarsir) sebesar 186.
Nilai tambah bruto ini mencerminkan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) Kabupaten, berupa balas jasa atas pemakaian faktor-faktor
produksi yang terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal dari kewiraswataan.
Dari cara pemasukan angka-angka dengan sistem matriks dapat dilihat
bahwa-tiap angka pada setiap sel muncul dua kali, yakni sebagai elemen
baris dan sebagai elemen kolom. Hal ini menunjukkan keterkaitan
(interdependency) antar-sektor dalam perekonomian.
Tabel transaksi dapat juga ditulis dalam bentuk notasi matriks. Misalkan xij
merupakan keluaran sektor i yang digunakan sebagai masukan oleh
sektor j, Fi merupakan permintaan akhir terhadap keluaran sektor i, Vi
melambangkan nilai tambah sektor i, dan Xj adalah jumlah keluaran sektor
j, maka tabel transaksi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:
3
Baris: x
j 1
ij Fi X i ; untuk i = 1,2,3
3
Kolom: x
i 1
ij V j X j ; untuk i = 1,2,3
11
Cara yang sama dilakukan untuk memperoleh koefisien masukan primer,
yaitu dengan membagi elemen kolom dengan jumlah masukan.
Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa untuk setiap unit yang dihasilkan oleh
sektor pertanian, memerlukan masukan 2 persen dari sektor itu sendiri, 22
persen dari sektor industri, 10 persen dari sektor jasa, dan sisanya, 66
persen masukan primer.
Untuk memudahkan perhitungan selanjutnya, tanpa memasukkan
masukan primer, elemen Tabel 3.2 (aij) dapat disusun dalam bentuk
matriks (matriks koefisien masukan) dengan nama matriks A sebagai
berikut:
0,02 0,100 0,30
A
0,22 0,125 0,15
0,10
0,063 0,05
12
1 0 0 0,02 0,100 0,30
( I A)
0 1 0
0,22 0,125 0,15
0 0 1
0,10 0,063 0,05
0,98 0,100 0,30
0,22 0,875 0,15
0,10 0,063 0,95
13
permintaan akhir terhadap keluaran sektor pertanian, industri, dan jasa
akan meningkat menjadi:
Pertanian = 150
Industri = 35
Jasa = 40
Hitung output setiap sektor untuk memenuhi kenaikan permintaan
akhir tersebut.
Dengan menggunakan matriks kebalikan Leontief, keluaran masing-
masing sektor dapat dihitung sebagai berikut:
1,09 0,15 0,37 150
X ' ( I A) 1
F'
0,03 1,20 0,27
30
0,13 0,09 1,11
40
184
98
68
14
PDRB = (0,66)(184) + (0,71)(98) + (0,50)(68) = 225,02
Dengan demikian, PDRB Kabupaten X diramalkan meningkat menjadi
225 setelah terjadi kenaikan permintaan akhir.
3. Menghitung kesempatan kerja yang tercipta pada masing- masing
sektor.
Untuk tujuan ini perlu diketahui terlebih dahulu koefisien tenaga kerja
dari masing-masing sektor, dengan rumus:
Ii = Li / Xi atau Li = Ii . Xi
dengan:
li = pengganda tenaga kerja
Li = kesempatan kerja di sektor i
Misalkan kesempatan kerja pada masing-masing sektor di Kabupaten X
adalah :
L pertanian = 35.000 orang
L industri = 11.000 orang
L jasa = 7.500 orang
maka koefisien tenaga kerja:
l pertanian = 35.000/150.000.000 = 0,002333
l industri = 11.000/80.000.000 0,000138
l jasa = 7.500/60.000.000 = 0,000125
Kesempatan kerja masing-masing sektor menjadi:
l pertanian . X pertanian = (0,002333) . (184.000.000) = 42.933
orang
l industri . X industri = (0,000138) . (98.000.000) = 13.475
orang
l jasa . X jasa = (0,000125) . (68.000.000) = 8.500
orang
Dengan demikian, dapat diketahui tambahan kesempatan kerja yang
tercipta akibat peningkatan permintaan akhir terhadap keluaran masing-
masing sektor sebagai berikut:
Sektor pertanian = 42.933 - 35.000 = 7.933 orang
Sektor industri = 13.475 -11.000 = 2.475 orang
Sektor jasa = 8.500 - 7.500 = 1.000 orang
4. Pengganda Pendapatan dan Pengganda Kesempatan Kerja.
Pengganda pendapatan dan Pengganda kesempatan kerja adalah
angka yang menunjukkan berapa kali pendapatan dan kesempatan kerja
meningkat sebagai akibat kenaikan satu unit permintaan akhir terhadap
keluaran suatu sektor.
15
Pengganda pendapatan dapat dibagi dalam Pengganda
Pendapatan Kerja Tipe I dan II, dan Pengganda Kesempatan Kerja.
Pengganda Pendapatan Tipe I dan II dibedakan oleh perlakuan rumah
tangga dan upah dan gaji. Pada Tipe II, rumah tangga yang tadinya
berada pada kolom permintaan akhir, dimasukkan pada permintaan
antara, demikian juga upah dan gaji pada masukan antara. Model ini
disebut model tertutup (closed model) karena memperlakukan rumah
tangga sebagai peubah endogen. Pengganda pendapatan Tipe II tersebut
sangat penting dalam perencanaanj angka panjang untuk peningkatan
pendapatan di masa yang akan datang.
a. Pengganda Pendapatan Tipe I:
Pengganda ini dihitung dengan rumus:
3
PPT - Ij = c
i 1
ij .. Pj
dengan:
PPT Ij = Pengganda Pendapatan Tipe I sektor j
cij = unsur matriks kebalikan Leontief
Pj = koefisien masukan upah / gaji rumah tangga sektor j
Untuk menghitung PPT-I terlebih dahulu perm diketahui koefisien
upah/ gaji dengan rumus:
Pj = (Besarnya Upah & Gaji pada Sektor J / Jumlah Keluaran Sektor j
atau:
P pertanian = 75/150 = 0,50
P industri = 30/80 = 0,38
P jasa = 12/60 = 0,20.
Dengan demikian, PPT-I dari masing-masing sektor dapat dihitung
PPT I pertanian =
0,50 x 1,09 + 0,38 x 0,15 + 0,20 x 0,37
0,50
= 1,35
PPT I industri =
0,50 x 0,30 + 0,38 x 1,20 + 0,20 x 0,28
0,38
= 1,74
PPT I jasa =
0,50 x 0,13 + 0,38 x 0,09 + 0,20 x 1,11
0,20
= 1,61
16
meningkatkan pendapatan di sektor industri sebesar 1,74 kali lipat. Hal
penting untuk perencanaan di masa datang bahwa ditinjau dari
kesempatan kerja, sektor industri yang perlu dikembangkan.
b. Pengganda Pendapatan Tipe II.
Terlebih dahulu perlu dibuat matriks yang diperluas dengan
memasukkan tambahan kolom konsumsi rumah tangga dan baris upah
dan gaji, yakni (I -Ah) dan matriks kebalikannya, (I - Ah)-1.
17
3
c
j 1
ij .l j
PKK j =
lj
dengan:
PKKj = pengganda tenaga kerja
c ij = elemen matriks kebalikan Leontief
lj = koefisien tenaga kerja sektor j :
Berdasarkan rumus tersebut dapat dihitung pengganda kesempatan
kerja dimaksud :
PKK pertanian =
0,002333 x 1,09 + 0,000138 x 0,15 + 0,000125 x 0,37
0,002333
= 1,12
PKK industri =
0,002333 x 0,30 + 0,000138 x 1,20 + 0,000125 x 0,28
0,000138
= 1,96
PKK jasa =
0,002333 x 0,13 + 0,000138 x 0,09 + 0,000125 x 1,11
0,000125
= 1,45
Dari contoh yang diberikan, ternyata sektor industri memiliki
pengganda pendapatan yang tertinggi, yakni 1,96.
5. Pengganda Keluaran (output multiplier).
Pengganda keluaran, mengukur pengaruh langsung dan tidak
langsung kenaikan satu unit permintaan akhir terhadap keluaran suatu
sektor dan selanjutnya pada keluaran sektor-sektor ekonomi lainnya.
Pengganda keluaran dapat dihitung dengan rumus:
3
PK j = c
j 1
ij ; untuk j 1, 2, 3;
dengan:
PKj = pengganda keluaran sektor j
c ij = kebalikan matriks Leontief
Penerapan rumus inti dalam contoh kasus di atas memberikan:
PK pertanian = 1,09 + 0,30 + 0,13 = 1,52
PK industri = 0,15 + 1,20 + 0,09 = 1,44
PK jasa = 0,37 + 0,28 + 1,11 = 1,76
Pengganda keluaran yang paling besar dimiliki oleh sektor jasa yang
berarti bahwa kenaikan permintaan akhir terhadap keluaran sektor ini
mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung yang paling besar
atas keluaran seluruh sektor perekonomian.
18
6. Keterkaitan langsung ke depan (forward linkage) dan keterkaitan
langsung ke belakang (backward linkage) setiap sektor.
Keterkaitan langsung ke depan menggambarkan dampak sektor
tertentu ter-hadap sektor-sektor lainnya yang menggunakan keluaran
sektor tersebut sebagai masukan antara untuk setiap unit kenaikan
permintaan akhir. Keterkaitan langsung ke depan suatu sektor dihitung
dengan menjumlahkan koefisien teknologi sektor tersebut ke kanan atau
elemen kolom :
dengan:
KLD i = keterkaitan langsung ke depan sektor i
x ij = banyaknya keluaran sektor i yang digunakan oleh sektor j
Xi = jumlah keluaran sektor i (antara dan akhir)
dari rumus tersebut diperoleh :
KLD pertanian = 0,02 + 0,10 + 0,30 = 0,42
KLD industri = 0,22 + 0,125 + 0,15 = 0,50
KLD jasa = 0,10 + 0,063 + 0,05 = 0,21
Kaitan langsung ke depan tertinggi dimiliki oleh sektor industri. Ini berarti
bahwa keluaran sektor industri mempunyai pengaruh yang lebih besar
terhadap sektor-sektor Iain yang menggunakan keluaran tersebut sebagai
masukan dibandingkan keluaran sektor pertanian dan sektor jasa.
Keterkaitan langsung ke belakang menggambarkan dampak sektor
tertentu terhadap sektor-sektor lain yang keluarannya digunakan sebagai
masukan antara untuk setiap unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan
langsung ke belakang suatu sektor didukung dengan menjumlahkan
koefisien teknologi sektor tersebut ke bawah atau menurut elemen baris :
dengan:
KLBj = keterkaitan langsung ke belakang sektor j
xij = banyaknya masukan sektor j
Xj = jumlah masukan sektor j
Dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh :
KLB pertanian = 0,02 + 0,22 + 0,10 = 0,32
KLB industri = 0,10 + 0,125 + 0,063 = 0,29
KLB jasa = 0,30 + 0,15 + 0,05 = 0,50
Keterkaitan langsung ke belakang yang paling besar dimiliki oleh sektor
jasa yang sekaligus berarti bahwa keluaran sektor ini paling besar
pengaruhnya terhadap sektor-sektor lain yang keluarannya digunakan
oleh sektor jasa sebagai masukan dibandingkan sektor pertanian dan
industri.
7. Daya penyebaran (backward power of dispersion) dan daya
kepekaan (forward power of dispersion).
Daya penyebaran menggambarkan pengaruh yang timbul oleh
kenaikan satu unit permintaan akhir keluaran suatu sektor terhadap
peningkatan keluaran semua sektor dalam perekonomian. Bila
19
koefisiennya 1, menunjukkan kebutuhan masukan antara sektor tertentu
dapat menimbulkan dampak peningkatan keluaran di atas rata-rata
terhadap sektor-sektor lainnya. Sektor yang mempunyai koefisien daya
penyebaran yang paling tinggi berarti mempunyai pengaruh yang terbesar
dalam pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan.
Daya penyebaran dapat dihitung dengan rumus :
DPj = Daya penyebaran sektor j
Daya kepekaan menggambarkan pengaruh yang ditimbulkan oleh
kenaikan satu unit permintaan akhir keluaran semua sektor terhadap
keluaran salah satu sektor ekonomi. Sektor yang memiliki daya kepekaan
yang paling tinggi berarti sektor tersebut akan terkena pengaruh yang
paling besar dari pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan.
Daya kepekaan dihitung dengan rumus :
DKi = daya kepekaan sektor i
Untuk melihat sektor yang dapat dijadikan prioritas dalam proses
pengembangan kabupaten, maka semua indekss keterkaitan antar sektor
produksi yang dihitung dengan analisis input-output disajikan sekaligus
dalam suatu tabel. Bentuk tabel dimaksud dengan menggunakan hasil
analisis sebelumnya diperlihatkan pada Tabel 3.4.
20
bobot yang diberikan pada indekss PKK relatif lebih besar dibanding
dengan bobot yang diberikan pada indekss lainnya.
Keunggulan :
Analisis input-output merupakan peralatan analisis yang dapat
memberikan begitu banyak informasi yang sangat relevan untuk
perencanaan pembangunan wilayah dan sangat luwes. Peralatan ini
dapat digunakan dengan tingkat aggregasi yang lebih besar atau lebih
kecil -dalam sektor-sektor antara, permintaan akhir ataupun pada
pemasok primer sesuai kebutuhan. Dalam praktek, yang paling umum
dilakukan adalah melakukan agregasi sektor-sektor yang relatif memiliki
volume penjualan yang kecil ke dalam katagori "sektor-sektor lainnya".
Keluwesannya juga terletak pada data yang digunakan. Secara ideal, data
yang digunakan bersumber dari survei kegiatan ekonomi kabupaten
mengenai transaksi penjualan dan pembelian dalam satu tahun. Tetapi
pendekatan yang lebih sederhana dapat dilakukan dengan melakukan
survei skala kecil pada kegiatan usaha mengenai proporsi masukan yang
dibeli dari berbagai sumber dan keluaran yang dijual pada berbagai
kegiatan usaha lainnya atau pasar. Hal ini dapat merupakan subsitusi
survei intensif yang berskala besar. Keluaran total dapat diestimasi dari
Hal yang paling penting dari analisis input-output ini adalah
kemampuannya untuk digunakan sebagai alat perencanaan wilayah yang
terintegrasi karena dapat menunjukkan keterkaitan/ketergantungan antar
sektor dalam perekonomian kabupaten.
Kelemahan :
Kelemahan utama analisis input-output terletak pada kesalahfahaman
yang sering timbul, seolah-olah menggambarkan model perekonomian
suatu wilayah padahal sesungguhnya hanya merupakan suatu potret yang
kasar tentang keterkaitan antar-sektor.
Kelemahan lain adalah angka-angka yang ada pada tabel kebutuhan yang
menggambarkan jumlah keluaran pada suatu waktu. Dengan
menggunakan angka-angka tersebut sebagai dasar prediksi dapat
menyesatkan karena anggapan bahwa keterkaitan antar-sektor pada
setiap tingkat keluaran adalah sama. Anggapan ini tidak realistis sehingga
hasil prediksi yang diperoleh tidak dapat diterima sepenuhnya.
Data yang digunakan untuk analisis input-output adalah data penjualan
dari setiap sektor. Berhubung keterbatasan data, penyusunan tabel input-
output untuk tingkat kabupaten masih dipandang sulit dan memerlukan
penelitian dasar terhadap kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Jika suatu
kabupaten memiliki data yang terbatas, maka analisis input-output dapat
21
memberikan kerangka dasar untuk pengumpulan data untuk perencanaan
pembangunan.
6. Analisis Shift Share
Metoda analisis Shift-Share digunakan untuk mengetahui kinerja
perekonomian kabupaten, pergeseran struktur, posisi relatif sektor-sektor
ekonomi dan identifikasi sektor-sektor "unggul" kabupaten dalam
kaitannya dengan perekonomian acuan (nasional atau propinsi) dalam
dua atau lebih titik waktu.
Metoda analisis ini pada hakekatnya merupakan teknik yang relatif
sederhana untuk menganalisis perubahan struktur perekonomian lokal
dalam kaitan dengan perekonomian acuan yang lebih besar.
Perekonomian lokal dapat berupa kota, kabupaten, atau propinsi,
sedangkan perekonomian acuan dapat berupa propinsi atau negara.
Analisis shift-share yang bertitik tolak pada asumsi pertumbuhan sektor
kabupaten yang sama dengan pada tingkat nasional, membagi perubahan
atau pertumbuhan kinerja ekonomi lokal/kabupaten dalam tiga komponen,
yakni:
1. Komponen pertumbuhan nasional (national growth component) :
mengukur perubahan kinerja ekonomi pada perekonomian acuan.
2. Komponen pertumbuhan proporsional (mix-industry or proportional
shift component) : mengukur perbedaan pertumbuhan sektor-sektor
ekonomi acuan dengan pertumbuhan agregat. Apabila komponen ini
pada salah satu sektor nasional bernilai positif, berarti bahwa sektor
tersebut berkembang dalam perekonomian acuan. Sebaliknya jika
negatif, sektor tersebut menurun kinerjanya.
3. Komponen pergeseran atau pertumbuhan pangsa wilayah (differential
shift atau regional share) : mengukur kinerja sektor-sektor lokal
terhadap sektor-sektor yang sama pada perekonomian acuan. Apabila
komponen ini pada salah satu sektor positif, maka daya saing sektor
lokal meningkat dibandingkan sektor yang sama pada ekonomi acuan,
dan apabila negatif terjadi sebaliknya.
Dengan demikian, apabila perubahan atau pertumbuhan kinerja
ekonomi kabupaten adalah PEK, pertumbuhan nasional adalah KPN,
pertumbuhan proporsional adalah KPP, dan KPK adalah pertumbuhan
daya saing kabupaten, maka hal tersebut dapat ditulis dengan rumus :
PEK = KPN + KPP + KPK
22
Y* = indikator ekonomi nasional akhir tahun kajian
Y = indikator ekonomi nasional awal tahun kajian
Yi = indikator ekonomi nasional sektor i akhir tahun kajian
Yi = indikator ekonomi nasional sektor i awal tahun kajian
yi = indikator ekonomi kabupaten sektor i akhir tahun kajian
yi = indikator ekonomi kabupaten sektor i awal tahun kajian
Sedang Pergeseran Netto (PN) dihitung dengan rumus:
PN = KPP + KPK
Langkah-langkah Dasar
Dengan mengambil contoh data Pendapatan Domestik Regional
Bruto Kabupaten Tual, Maluku Tenggara (PDRBT) dan Pendapatan
Domestik Bruto Indonesia (PDB), pada tahun 1985 dan 1989 menurut
harga konstan 1983, berikut ini adalah langkah-langkah dasar dalam
analisis shift-share :
Langkah 1: Hitung dan bandingkan pertumbuhan pendapatan di
kabupaten dengan nasional. Untuk memudahkan analisis,
perekonomian kabupaten dan nasional dipecah dalam sebelas
sektor, yakni pertanian, pertambangan / penggalian, industri
pengolahan, listrik / gas / air minum, bangunan, perdagangan /
hotel / restoran, pengangkutan / komunikasi, bank / lembaga
keuangan lainnya, pemerintahan / pertahanan, dan jasa-jasa. Tabel
berikut menunjukkan bahwa pendapatan nasional tumbuh 26,14
persen, sedangkan pendapatan Kabupaten Tual hanya tumbuh
21,38 persen. Bagaimana pertumbuhan pendapatan kabupaten
dijelaskan dalam kaitannya dengan pertumbuhan pendapatan
nasional?
Langkah 2 : Hitung perubahan pendapatan kabupaten setiap sektor, yaitu
dengan memperkurangkan pendapatan pada akhir waktu kajian
untuk masing-masing sektor (elemen kolom 4 Tabel 6.5) dengan
pendapatan pada awal tahun kajian (elemen kolom 3 Tabel 6.5).
Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 6.6 .
Langkah 3 : Hitung komponen masing-masing pertumbuhan sesuai
rumus yang telah dijabarkan secara rinci sebagai berikut:
a. Komponen Pertumbuhan Nasional (KPN): Bagi jumlah PDB89
(baris 12 kolom 6 Tabel 6.5) dengan PDB85 (baris 12 kolom 5
Tabel 6.5), kemudian hasil pembagian tersebut dikurangi 1.
Hasilnya adalah 0,26 atau 26 persen. Angka-angka inilah yang
menjadi KPN pada semua sektor.
b. Komponen Pertumbuhan Proporsional (KPP) :
23
1. Bagi angka-angka PDB89 menurut sektor (elemen-elemen
kolom 6 Tabel 6.5) dengan angka-angka sektor yang sama
pada PDB89 (elemen-elemen kolom 5 Tabel 6.5).
2. Bagi jumlah PDB89 (baris 12 kolom 6 Tabel 6.5) dengan
PDBS5 (baris 12 kolom 5 Tabel 6.5)
3. Perkurangkan hasil butir 1 dengan hasil butir 2 untuk masing-
masing sektor.
4. Isi kolom KPP dengan hasil butir 3.
c. Komponen Pertumbuhan Daya Saing Kabupaten (KPK):
1. Bagi angka-angka PDRBT89 menurut sektor (elemen-elemen
kolom 4 Tabel 6.5) dengan angka-angka sektor yang sama
pada PDRBT85 (elemen-elemen kolom 3 Tabel 6.5).
2. Perkurangkan hasil butir 1 dengan hasil KPP butir 1
3. Isi kolom KPK dengan hasil butir 2.
Hasil perhitungan yang dilakukan ditunjukkan pada Tabel 3.7 berikut:
24
pendapatannya berasal dari sektor-sektor yang lamban
pertumbuhannya, maka pendapatan di kabupaten tersebut akan
tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan nasional. Sebaliknya,
apabila sebagian besar pen-dapatan bersumber dari sektor-sektor
yang pesat pertumbuhannya, maka porsinya akan meningkat
dalam perekonomian nasional, cateris paribus. Dari Tabel 6.7
diketahui bahwa sektor-sektor yang positif adalah industri, listrik,
bangunan, per-dagangan, angkutan, bank, dan pemerintahan,
sedangkan yang negatif adalah pertanian, pertambangan, sewa
rumah dan jasa- jasa.
Langkah 5 : Selanjutnya temukenali sektor-sektor KPK yang bertanda
positif dan negatif. Tabel 6.7 menunjukkan bahwa sektor-sektor
yang bertanda positif atau yang mengalami peningkatan daya
saing/keunggulan komparatif kabupaten dalam kaitan dengan
kabupaten lainnya pada waktu kajian adalah pertanian (1 persen),
listrik (44 persen), perdagangan (5 persen), angkutan (21 persen),
dan bank (241 persen). Sedangkan yang bertanda negatif atau
yang mengalami penurunan adalah pertambangan^ persen),
industri (5 persen), bangunan(46 persen), sewa rumah (3 persen),
pemerintahan (7 persen) dan jasa-jasa (2 persen).
Langkah 6 : Analis dapat dilanjutkan (optional) dengan menghitung
pergeseran bersih (net shift) untuk menemukenali sektor-sektor
maju dan kurangmaju, yaitu dengan menjumlahkan komponen KPP
dan KPK dari masing-masing sektor. Apabila hasil penjumlahan
yang diperoleh untuk suatu sektor adalah positif, maka sektor yang
bersangkutan termasuk maju. Sebaliknya jika negatif, maka sektor
tersebut kurang maju. Tabel 6.7 menunjukkan bahwa sektor-sektor
yang kurang maju adalah pertanian, pertambangan, bangunan,
sewa rumah, pemerintahan, dan jasa-jasa, sedangkan sektor
industri, listrik, perdagangan, angkutan, dan bank termasuk
kategori maju.
Langkah 7 : Sebagai alternatif dari langkah 6 , analisis lain yang dapat
dilakukan adalah dengan menemukenali sektor-sektor yang
termasuk unggul, agak unggul, agak mundur dan mundur dalam
selang waktu kajian. Untuk tujuan ini KPK dan KPP semua sektor
kabupaten diletakkan pada suatu diagram sumbu yang terdiri dari
empat kuadran. Kuadran I merepresentasikan sektor unggul karena
baik KPK maupun KPP memiliki nilai positif, kuadran II
merepresentasikan sektor agak mundur karena KPK negatif tetapi
25
KPP positif, Kuadran III merepresentasikan sektor mundur KPK dan
KPP negatif, dan kuadran IV merupakan tempat kedudukan sektor
agak unggul karena KPK positif walaupun KPP negatif. Yang
menjadi acuan utama dalam analisis ini adalah KPK atau
komponen pertumbuhan daya saing kabupaten. Hal ini dapat
dipahami karena komponen tersebut merupakan komponen
terpenting dalam pertumbuhan suatu kabupaten.
Posisi sektor-sektor ekonomi Kabupaten Tual diperlihatkan pada
Gambar 6.1.
Langkah 8 : Kalikan komponen KPN, KPP, dan KPK masing-masing
sektor pada Tabel 6.7 dengan sektor yang sama pada PDB85
untuk mengetahui nilai absolut pertumbuhan.
Tabel 3.8 menunjukkan bahwa angka-angka PEK menurut sektor sama
dengan angka-angka perubahan PDRB pada Tabel 3.6.
Data yang dibutuhkan :
Data pendapatan kabupaten (PDRB) dan propinsi atau nasional (PDB)
yang diperinci menurut sektor pada dua titik waktu, misalnya awal Pelita
dan akhir Pelita yang berdasarkan harga konstan. Apabila ingin dilihat
pergeseran yang bersifat dinamis, maka dapat digunakan data lebih dari
dua titik waktu. Data lain yang umum
Keunggulan:
Metoda ini banyak digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih
rinci mengenai pergeseran struktur ekonomi. Demikian pula metoda ini
disamping dapat menggambarkan posisi relatif masing-masing sektor
perekonomian kabupaten terhadap perekonomian nasional, juga dapat
digunakan untuk menemukenali sektor-sektor unggulan dapat dipacu
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain itu, metoda ini
dapat pula digunakan untuk menemukenali sektor-sektor yang posisi
relatifnya lemah tetapi dianggap strategis (pertimbangan penyerapan
tenaga kerja) untuk dipacu agar dapat meningkatkan kesempatan kerja.
Perhitungannya relatif mudah, demikian pula data yang diperlukan mudah
diperoleh karena tersedia pada hampir semua kabupaten.
Kelemahan:
Asumsi yang melandasi bahwa sektor-sektor acuan tumbuh dengan
tingkat yang sama. Kelemahan lain adalah pergeseran posisi sektor
dianggap linear.
26
7. Revealed Comparative Advantage (RCA)
Metoda analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan
komparatif komoditas yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh suatu
kabupaten.
RCA pada hakekatnya membandingkan rasio antara ekspor
komoditas tertentu dari suatu kabupaten dengan pangsanya pada ekspor
total.
Data yang diperlukan:
Untuk analisis RCA diperlukan data mengenai nilai ekspor komoditas yang
dikaji dari suatu kabupaten berdasarkan harga konstan. Apabila hendak
dibandingkan pergeseran koefisien RCA, maka sebaiknya data yang
dikumpulkan dalam beberapa titik waktu, misalnya tahun 1970; 1975;
1980, dan seterusnya.
Keunggulan :
Metoda analisis ini sederhana dan dapat memberikan gambaran singkat
mengenai keunggulan komparatif komoditas yang dihasilkan atau
diperdagangkan dari suatu kabupaten. Data yang diperlukan relatif mudah
diperoleh.
Kelemahan :
Tidak memberikan petunjuk tentang faktor-faktor penyebab terjadinya
keunggulan komparatif dan mengabaikan impor komoditas yang dikaji.
27
mj = nilai total input antara yang diimpor langsung untuk
komoditas j (dalam US $ kalau pasar internasional)
rj = nilai total penerimaan faktor-faktor produksi luar
negeri atau dari wilayah lain (nasional atau
propinsi) yang digunakan dalam komoditas j, baik
langsung maupun tidak langsung (dalam US $
kalau pasar internasional).
n = jumlah jenis faktor produksi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan komoditas j.
Efek eksternalitas pada rumus BSD biasanya dihilangkan karena sampai
saat ini belum ada metoda yang baik untuk memperkirakan besarnya efek
eksternalitas tersebut. Dengan rumus BSD di dapat dihitung produksi
suatu komoditas dikatakan efisien dari segi ekonomi apabila nilai BSD
lebih kecil daripada harga bayangan nilai tukar uang (koefisien BSD < 1).
Hal ini berarti bahwa sumberdaya domestik yang harus dikorbankan untuk
menghemat atau memperoleh devisa dari komoditas tersebut lebih kecil
daripada sumberdaya domestik yang bersedia dikorbankan pada sistem
ekonomi. Hai ini berarti bahwa permintaan dalam lokal suatu komoditas
lebih menguntungkan dengan cara menghasilkan atau memproduksi
komoditas tersebut secara lokal. Sebaliknya kegiatan dikatakan tidak
efisien apabila nilai BSD lebih besar daripada harga bayangan nilai tukar
uang (koefisien BSD > 1) yang berarti bahwa pemenuhan permintaan
lokal lebih menguntungkan dengan mendatangkan komoditas tersebut.
Apabila nilai BSD sama dengan harga bayangan nilai tukar uang, maka
komoditas tersebut bersifat netral (koefisien BSD = 1).
Contoh:
Penerimaan penjualan kopi yang dihasilkan di kabupaten Tana Toraja
(Propinsi Sulawesi Selatan) di tangan petani sebesar Rp. 614.175,-
sedangkan di tangan eksportir sebesar Rp. 1.126.729 / ton. Komponen
biaya produksi dinyatakan dalam Tabel 3.10.
Perhatikan bahwa biaya yang dikeluarkan (biaya finansial) pada tabel di
atas seluruhnya dikonversi ke biaya ekonomi sebelum dipisahkan menjadi
komponen domestik dan komponen asing. Hal ini perlu dilakukan agar
hasil perhitungan tidak dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah
dibidang keuangan, seperti pajak, subsidi, dan sebagainya. Jadi dalam hal
ini biaya ekonomi benar-benar mencerminkan biaya yang sebenarnya
harus dikeluarkan jika tidak ada campur tangan pemerintah.
28
Keunggulan :
Metoda analisis ini mampu memberi petunjuk apakah suatu jenis
komoditas efisien diproduksi secara lokal atau diimpor dari luar
kabupaten. Hasil perhitungan sangat rinci sehingga memberikan
gambaran nyata tentang keunggulan komparatif suatu komoditas karena
adanya perhitungan biaya yang sangat rinci.
Kelemahan :
Perhitungan metoda ini cukup rumit dan membutuhkan informasi yang
lengkap sehingga kurang memungkinkan dilakukan oleh setiap
kabupaten. Walaupun rumit dan rinci, faktor eksternalitas seperti dampak
lingkungan masih diabaikan.
9. Distribusi Pendapatan
Metoda analisis ini dapat memberi gambaran mengenai distribusi
pendapatan atau pemilikan faktor-faktor produksi di antara berbagai
lapisan masyarakat dalam suatu wilayah.
Indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur distribusi
pendapatan, yakni kurva Lorenz.
Kurva Lorenz
Peralatan ini disebut juga kurva frekuensi persentase kumulatif
yang menggambarkan data tentang distribusi persentase
kekayaan/pendapatan dalam hubungannya terhadap distribusi persentasi
jumlah keseluruhan penduduk yang menerima pendapatan dalam suatu
kabupaten.
Penggambaran kurva Lorenz dimulai dengan mengubah data pendapatan
dan jumlah penerima pendapatan ke dalam prosentase kemudian
menyusunnya ke dalam distribusi pendapatan kumulatif.
29
BAB IV.
ANALISIS STRUKTUR TATA RUANG
30
Tabel 4.1. Informasi yang Dibutuhkan dan Metoda Analisis dalam Analisis
Struktur Tata Ruang
31
Perlu ditambahkan disini bahwa analisis yang dilakukan
berdasarkan metoda-metoda yang disebutkan di atas dititik beratkan pada
klasifikasi pemukiman berdasarkan fungsi pelayanan sosial ekonomi yang
dimilikinya. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh hasil-hasil
analisis yang diperoleh perlu pula dikombinasikan dengan klasifikasi
pemukiman dari segi morfologi, yang cenderung membedakan
pemukiman menjadi sistem perkotaan dan pedesaan, berdasarkan
karakteristik fisik dan kependudukan, serta klasifikasi yang berdasarkan
ukuran jumlah dan kepadatan penduduk, seperti kota metropolitan, kota
madya, ibukota kabupaten, kecamatan, dan desa.
Kedua pendekatan klasifikasi di atas tidak dijabarkan disini, karena
dianggap telah cukup banyak dibahas pada buku-buku teks yang lain, dan
khusus yang berkaitan dengan masalah kependudukan dibahas pada bab
lain laporan ini.
(i) SKALOGRAM
32
- Daftar semua pemukiman yang ada pada wilayah yang ditinjau.
- Jumlah penduduk untuk setiap pemukiman
- Peta yang menunjukkan lokasi dari setiap pemukiman
- Daftar fungsi / fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terdapat pada
setiap pemukiman.
Penyusun skalogram dilakukan dengan mengikuti tahapan sebagai
berikut:
1. Buat sebuah tabel yang jumlah barisnya sama dengan jumlah satuan
pemukiman ditambah satu, dan jumlah kolomnya sama dengan jumlah
fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terdapat pada wilayah yang
ditinjau ditambah satu.
2. Kolom pertama, dimulai pada baris kedua, diisi dengan nama satuan
pemukiman, dimulai dengan satuan pemukiman yang memiliki jumlah
penduduk terbesar.
3. Pada baris pertama dimulai dari kolom kedua berturut-turut k-earah
kanan diisi dengan nama atau kode dari fungsi / fasilitas pelayanan.
Dengan-demikian setiap sel dari tabel tersebut mewakili keberadaan
suatu fungsi pada suatu satuan pemukiman.
4. Isi dengan tanda "X" sel yang mewakili fungsi tertentu yang terdapat
pada suatu satuan permukiman.
Contoh hasil langkah-langkah 1 sampai dengan 4 diperlihatkan pada
Gambar 4..1 untuk 7 satuan pemukiman dan 12 fungsi pelayanan.
Gambar 4.1. Skalogram Fungsi Pemukiman
FASILITAS PELAYANAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kota A X X X X X X X X X X X X
Kota B X X X X X X X
Kota C X X X X X X
Kota D X X X
Kota E X X
Kota F X X X X X
Kota G X X
33
Gambar 4.2. Skalogram Fungsi Pemukiman Yang Telah Diolah
FASILITAS PELAYANAN
7 1 9 5 3 6 8 10 2 4 11 12
Kota A X X X X X X X X X X X X
Kota B X X X X X X X .
Kota C X X X X X X
Kota F X X X X X
Kota D X X X
Kota E X X
Kota G X X
Jumlah fungsi yang ikut dianalisis dengan metoda ini bervariasi dari suatu
wilayah ke wilayah lainnya, serta tergantung pada justifikasi perencana
tentang fungsi apa saja yang paling penting untuk menentukan derajat
sentralitas suatu pemukiman.
Sebagai gambaran fungsi pelayanan sosial ekonomi yang dapat dipakai
dalam analisis skalogram diperlihatkan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3. Fungsi Pelayanan Sosial Ekonomi
KATEGORI FUNGSI/FASILITAS
Aktivitas Ekonomi Pusat Perbelanjaan atau super-market
Pasar Umum
Toko (dengan berbagai jenisnya)
Bank dan lembaga keuangan lainnya
Industri manufaktur
Fasilitas Pelayanan Sosial Sekolah (dengan berbagai tingkatan dan
jenisnya)
Rumah sakit swasta
Rumah sakit pemerintah
Klinik swasta, Puskesmas
Apotik dan rumah obat
Perpustakaan Umum
Fasilitas Pelayanan Bandara
Transportasi dan Pelabuhan
Komunikasi Terminal Bus
Stasiun Kereta Api
Stasiun Radio
Penerbit Surat Kabar
Kantor Pos
Kantor Telepon dan Telekomunikasi
34
KATEGORI FUNGSI/FASILITAS
Infra Struktur dan Fasilitas Pusat Pembangkit Listrik
Pemeliharaan Perusahaan Air Minum
Bengkel perbaikan peralatan pertanian
Pemasok bahan konstruksi
Toko Pemasok kebutuhan hardware
Aktivitas Rekreasi Fasilitas Olah Raga (dirinci menurut jenisnya)
Gymnasium atau auditorium
Bioskop (harian)
Bioskop (periodik)
Night Club
Taman dengan fasilitasnya
Fasilitas Pelayanan Pribadi Photo Copy
Studio Foto
Restaurant
Kuburan
Hotel (dirinci menurut kelasnya)
Organisasi Koperasi
Kemasyarakatan Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Profesi
Lembaga / Organisasi Olah Raga
Pelayanan Penyuluhan Lembaga Pengamanan (swasta)
dan Keamanan Kantor Palang Merah
Kantor Penyuluhan Pertanian
Lembaga Penyuluhan untuk kegiatan
sektoral lainnya
Lembaga Swadaya Masyarakat ,
Keunggulan:
Metoda Skalogram membutuhkan data yang relatif mudah untuk
dikumpulkan dan prosedur analisis juga relatif tidak terlalu rumit.
Di samping itu metoda dapat memproses data kuantitatif yang tidak bebas
kesalahan (error-prone) atau tidak andal secara statistik dengan hanya
menggunakan materi kualitatifnya yang batas kesalahannya relatif rendah,
sehingga dengan demikian mampu menggantikan metoda analisis
kuantitatif lainnya yang memerlukan data kuantitatif yang sulit
dikumpulkan secara cepat dan mur ah.
Metoda ini mampu menganalisis data kualitatif yang sebelumnya hanya
dapat dianalisis secara intuitif.
35
Kelemahan:
C=t/T
dengan :
C = bobot fungsi
t = nilai sentralitas total, diambil sama dengan 100
T = jumlah total fungsi dalam wilayah yang ditinjau.
36
Tabel 4.4. Perhitungan Bobot Fungsi
SATUAN FUNGSI
TOTAL
PEMUKIMAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A 1 1 1 1 1 1 1 1 10
B 1 1 1 1 1 0 1 0 8
C 1 1 1 1 0 0 0 0 6
D 1 1 1 1 0 1 0 0 7
E 1 1 1 0 0 0 0 0 5
F 1 1 1 0 0 0 0 0 0 4
G 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3
H 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3
Jumlah Fungsi 8 8 8 6 5 4 2 ? 2 1 46
Centralitas Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bobot 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 50.0 50.0 50.0 100
4. Tambahkan satu baris pada tabel dimaksud dan tuliskan pada baris
tersebut hasil perhitungan bobot fungsi tadi.
Hasil langkah-langkah 1 sampai dengan 4 diperlihatkan pada Tabel 4.4
5. Buat tabel lain yang serupa dengan tabel sebelumnya. Ganti angka "1"
yang ada dengan bobot fungsi yang telah dihitung pada langkah 3.
6. Hitung jumlah total dari setiap bobot fungsi untuk mendapatkan indeks
sentralitas terbobot dari setiap satuan pemukiman.
Hasil akhir diperlihatkan pada Tabel 4.5.
Keunggulan :
Sama dengan metoda skalogram, malah metoda ini menghasilkan urutan
hirarki pusat pelayanan yang lebih tajam, meskipun data yang dibutuhkan
37
tidak terlalu banyak dan umumnya mudah diperoleh, serta proses
analisisnya relatif lebih mudah dilakukan.
Kelemahan :
Sama dengan metoda skalogram.
38
3. Fungsi nomor 2 pada skalogram terlihat memiliki tingkat kesalahan
terbesar, oleh sebab itu dieliminasi. Setelah dihitung ulang diperoleh
nilai e, Tn dan n yang baru, yaitu masing-masing 5, 30 dan 60.
Gambar 4.6. Skalogram Untuk Penyusunan Skala Guttman
SATUAN FUNGSI
PEMUKIMAN 3 1 2 7 4 6 5
D X X X X X X X
A X X X X X
B X X X X X
H X X X X X
C X X X
F X X X
E X X X X
J X
G X X
I X X
e 1 2 3 0 1 I 0 8
Tn 9 7 7 7 3 3 1 37
n = 10 x 7 = 70
4. Dengan nilai yang baru tersebut dihitung kembali Kr dan Ks, dan
diperoleh Kr = 0,916 dan Ks = 0,66.
Keduanya lebih besar dari batas bawah yang diizinkan, dengan
demikian skalogram tersebut dapat diterima.
5. Dengan skalogram yang bam ditentukan skala dari setiap fungsi, yaitu
sama dengan nilai Tn-nya masing-masing.
6. Skala dari setiap satuan pemukiman ditentukan berdasarkan fungsi
dengan skala terbesar yang dimiliki oleh satuan pemukiman.
Skala Guttman yang diperoleh dapat dikombinasikan dengan metoda lain
untuk mengelompokkan pemukiman ke dalam beberapa tingkatan
perkembangan dan menampilkannya pada peta.
Sebagai contoh diberikan hasil analisis yang dilakukan pada Wilayah
Aliran Sungai (DAS) Bicol di Philipina (lihat Tabel 4.6). Hirarki pemukiman
yang diperoleh berdasarkan skala Guttman dikelompokkan ulang menjadi
30 skala jenjang (stepscale) yang selanjutnya dipadatkan menjadi9
jenjang saja. Dengan menggunakan jenjang ini sebagai indikator tingkat
perkembangan, dapat ditarik serangkaian garis isopleth yang melingkupi
39
pemukiman/wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang sama,
seperti diperlihatkan pada Gambar 4.6.
Keunggulan:
Walaupun data yang dibutuhkan relatif mudah diperoleh dan proses
analisis-nya juga tidak terlalu rumit tetapi mampu memperlihatkan pola /
distribusi tingkat perkembangan wilayah. Pola ini membantu proses
analisis lainnya (seperti analisis sistem hubungan) untuk memahami
struktur tata ruang wilayah yang ditinjau.
40
Kelemahan:
Dalam prakteknya sulit ditemui pola fungsi pelayanan memenuhi asumsi
yang mendasari metoda ini. Oleh sebab itu sering dalam proses
penyusunan skala Guttman, beberapa fungsi terpaksa dihilangkan agar
asumsi dimaksud dapat dipenuhi. Padahal fungsi tersebut (berdasarkan
pendekatan lain) justru yang menentukan derajat sentralitas dari suatu
pusat pelayanan.
Di samping itu hasil analisis baru memberikan perkiraan kasar tentang
hirarki perkembangan pemukiman sehingga masih perlu di cross-check
dengan hasil analisis metoda lainnya.
(v) Analisis Ambang Batas
Analisis ambang batas (Threshold Analysis) digunakan untuk
menghitung jumlah penduduk minimal yang dibutuhkan untuk mendukung
keberadaan suatu fungsi atau fasilitas pelayanan sosial ekonomi.
Salah satu pendekatan yang dapat dipakai dalam analisis ini adalah
aturan yang direkomendasikan oleh Marshall (dalam PSDALUH-DTKTD,
1992) sebagai berikut :
Ambang batas adalah jumlah penduduk dari pusat pelayanan yang
terdapat pada garis yang membagi dua daftar urutan pusat-pusat
dengan cara sedemikian rupa sehingga jumlah pusat yang tidak
memiliki fungsi di atas garis pembagi tadi sama dengan jumlah
pusat yang memiliki fungsi yang terdapat di bawah garis pembagi.
Jika suatu ambang batas telah ditemukan, maka ambang ini
(bersama dengan fungsinya) secara berurutan dapat dihilangkan
kecuali sekurang-kurangnya setengah dari pusat-pusat yang
berada di atas ambang batas memiliki fungsi yang ditinjau.
Prosedur untuk menentukan ambang batas suatu fungsi peiayanan sosial
ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Buat suatu tabel yang diisi dengan pusat pelayanan yang diurut
berdasarkan jumlah penduduknya dikaitkan dengan keberadaan (1)
atau ketidak beradaan (0) dari semua fungsi atau fasilitas pelayanan.
Tabel dimaksud dengan menggunakan data hipotetis diperlihatkan
pada Tabel 4.7
2. Gunakan aturan Marshall pertama untuk mengidentifikasi ambang
batas dari setiap fungsi
3. Gunakan aturan Marshall kedua untuk mengeliminasi beberapa fungsi.
41
Tabel 4.7. Perhitungan Ambang Batas untuk Fungsi-Fungsi Pelayanan
Sosial Ekonomi
42
Informasi ini minimal dapat dipakai pada proses pemeriksaan silang (cross
checking) dengan hasil yang diperoleh dari metoda analisis lainnya.
(vi) Distribusi Fungsi Pelayanan
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat / hirarki pusat-pusat
pelayanan dan distribusi fungsi-fungsi pelayanan sosial ekonomi
dihubungkan dengan jumlah penduduk atau satuan pemukiman yang
membutuhkan pelayanan tersebut.
Analisis didasarkan pada hasil yang diperoleh dari analisis
skalogram dan indeks sentralitas terbobot yang telah dilakukan terdahulu.
Analisis tingkat pusat-pusat pelayanan dilakukan dengan
mengelompokkan satuan-satuan pemukiman berdasarkan indeks
sentralitas terbobot (1ST) yang dimilikinya. Berdasarkan nilai IST-nya
masing-masing kelompok tersebut dinamakan pusat pelayanan pertama
(PP1), pusat pelayanan kedua (PP2), dan seterusnya.
Dengan membandingkan nilai IST rata-rata dari setiap kelompok dapat
diketahui apakah distribusi pusat-pusat pelayanan tersebut cukup baik
sehingga mampu menjangkau satuan-satuan pemukiman yang ada.
Sebagai acuan dapat digunakan kaidah bahwa jika IST pusat pelayanan
pada suatu tingkatan memiliki nilai sekitar 0.5 dari IST pusat pelayanan
pada tingkatan di atasnya, maka dianggap hirarki pusat-pusat pelayanan
di wilayah yang ditinjau cukup baik. Sebaliknya jika IST pusat pelayanan
pada tingkatan tertinggi sangat besar dibanding dengan IST pada
tingkatan berikutnya, maka terjadi struktur primasi (primacy), artinya
pelayanan pada wilayah tersebut terkonsentrasi hanya pada satu pusat
utama saja.
Untuk memberikan gambaran lebih jauh tentang metoda analisis
dimaksud, diperlihatkan Hasil analisis hirarki pusat-pusat pelayanan di
kabupaten XXX
Tabel 4.8. Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan di Kabupaten XXX
43
Tabel 4.8 di atas memperlihatkan bahwa pusat-pusat pemukiman di
Kabupaten Pacitan berdasarkan indekss sentralitasnya dibagi menjadi 5
kategori, yaitu pusat pelayanan utama (PPI), pusat pelayanan kedua
(PP2), pusat pelayanan ketiga (PP3) dan pusat pelayanan keempat (PP4).
Kategori kelima tidak digolongkan sebagai pusat pelayanan (hanya
merupakan pemukiman biasa) karena tidak / kurang memiliki kemampuan
pelayanan kepada wilayah sekitarnya.
Informasi yang dapat diperoleh dari tabel ini antara lain bahwa terdapat
kesenjangan yang cukup besar antara PPI (dengan IST = 1.493) dengan
PP2 yang memiliki IST rata-rata hanya sebesar 270, atau sekitar kurang
dari 20% IST PPI. Dengan kata lain bahwa PP2 di kabupaten XXX hanya
memiliki kurang dari 20 % fasilitas yang terdapat di PPI. Padahal seperti
disebutkan sebelumnya, persentase tersebut seyogyanya berkisar 50%.
Keadaan ini menunjukkan bahwa adanya ketidak seimbangan struktur
pusat-pusat di kabupaten XXX, pola hirarki pusat-pusat pelayanan
membentuk struktur primacy atau terkosentrasi pada satu pusat saja, yaitu
di kota XXX. Hal ini merupakan indikator ketersediaan fungsi pelayanan
yang tidak merata serta penyampaian pelayanan sosial ekonomi yang
tidak efisien pula.
Analisis akan lebih tajam lagi jika tabel hirarki pusat-pusat pelayanan tadi
dilengkapi dengan jumlah dan persentase pemukiman serta jumlah dan
persentase penduduk yang berdiam pada setiap kelompok pusat-pusat
tadi. Dari kaitan ini dapat dilihat distribusi penduduk yang terlayani dengan
intensitas pelayanan tertentu. Berdasarkan informasi tersebut dapat
ditemukenali program-program indikatif untuk memperbaiki atau
meningkatkan kondisi fungsi pelayanan di wilayah yang ditinjau.
Keunggulan :
Keunggulan metoda terletak pada kesederhanaannya, baik yang
menyangkut jumlah dan jenis data yang dibutuhkannya, maupun prosedur
analisisnya, Walaupun demikian metoda ini mampu menggali informasi
yang berkaitan dengan tingkatan dan distribusi pelayanan sosial ekonomi
pada suatu wilayah.
Kelemahan :
Karena metoda ini berbasis pada hasil analisis skalogram, maka semua
kelemahan dari metoda skalogram juga otomatis menjadi kelemahan
metoda ini. Di samping itu, analisis distribusi pelayanan tidak
44
memperhitungkan faktor aksesibilitas lokasi, sehingga tidak memberikan
gambaran distribusi pelayanan yang sebenarnya.
2. Analisis Sistem Hubungan
Analisis Sistem Hubungan digunakan untuk menemukenali lokasi
strategis bagi penempatan / pengembangan fasilitas sosial ekonomi dilihat
dari segi potensinya sebagai wilayah tujuan penduduk dan luas jangkauan
pelayanannya.
Untuk maksud tersebut, perlu dievaluasi berbagai jenis keterkaitan
fungsional antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Khusus untuk
penyusunan RUTR, analisis keterkaitan fungsional dimaksud cukup
dilakukan untuk 3 jenis keterkaitan, yaitu : (i) keterkaitan ekonomi, (ii)
keterkaitan fisik, dan (iii) keterkaitan sosial.
Analisis keterkaitan ekonomi difokuskan pada keterkaitan antara
pusat-pusat pemasaran yang ada, keterkaitan fisik difokuskan pada
analisis sistem jaringan perhubungan / transportasi, sedangkan analisis
sosial difokuskan pada hubungan yang terjadi akibat adanya pelayanan
sosial ekonomi, khususnya sekolah dan rumah sakit.
Pertanyaan analitik yang berkaitan dengan analisis sistem hubungan
diperlihatkan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Pertanyaan Analitis dalam Analisis Sistem Hubungan.
45
penduduk khususnya yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi
masyarakat.
Prosedur analisis ini adalah sebagai berikut:
1. Kompilasi daftar pasar-pasar yang terdapat pada pusat-pusat
pemukiman. Data yang dibutuhkan antara lain berupa frekuensi dan
besaran pasar, yaitu meliputi jumlah pedagang, jenis dan jumlah
komoditas yang diperdagangkan, luas lantai, dan sebagainya.
Umumnya data tersebut telah tersedia sehingga tidak membutuhkan
survei khusus.
2. Memetakan dan mengklasifikasikan pasar menurut frekuensi dan
besarannya.
3. Mengukur aktivitas pasar; Untuk penyusunan RUTR aktivitas pasar
dapat diukur secara tidak langsung, yaitu dengan menganalisis data
yang berkaitan dengan jumlah penerimaan retribusi pasar yang
berhasil dikumpulkan, jumlah izin yang dikeluarkan, luas lantai yang
digunakan oleh pedagang, ukuran bangunan pasar permanen dan
data-data lainnya.
4. Menentukan wilayah pengaruh pasar. Perkiraan kasar tentang wilayah
pengaruh suatu pasar dilakukan dengan menganalisis data asal tujuan
komoditas pada setiap pasar yang ada pada satuan pemukiman,
hambatan-hambatan alamiah, dan sarana serta prasarana transportasi
yang menghubungkan satuan-satuan pemukiman. Data dimaksud
dikumpulkan pada tingkatan satuan pemukiman {desa-desa) dan
umumnya telah tersedia, antara lain pada buku Kabupaten dalam
Angka, Kecamatan dalam Angka, atau Buku Profil Desa. Data orientasi
pasar juga dapat diperoleh dari buku Common Data Base (CDB)
Kabupaten yang disusun oleh PUSIDO/P2Rsetempat, atau jika tidak
tersedia dapat dicari pada kantor Kanwil/Dinas Perdagangan setempat.
Jika data sekunder tidak tersedia, maka dibutuhkan survei khusus.
Untuk keadaan seperti ini, disarankan untuk melakukan analisis pusat
pemasaran dengan mengambil beberapa pasar dengan berbagai
hirarki, misalnya 2 atau 3 pasar terbesar dan beberapa pasar lokal
lainnya sebagai sample.
Keunggulan :
Analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui luas atau jangkauan
wilayah pelayanan suatu pasar dengan hanya mengandalkan data
sekunder saja, sehingga tidak diperlukan survei khusus.
Kelemahan :
46
Metoda analisis ini tidak mampu menjelaskan lingkup orientasi pemasaran
terutama bagi pasar-pasar besar yang melayani perdagangan yang
bersifat lebih luas (antar wilayah).
b. Analisis Jaringan Transportasi
Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antar satuan-satuan
pemukiman berdasarkan jaringan transportasi yang tersedia dan tingkat
efektivitas pelayanan sistem jaringan transportasi dilihat dari jumlah
satuan pemukiman / penduduk yang terlayani.
Data yang dibutuhkan untuk analisis ini antara lain [3] :
1. Kerapatan jalan, yaitu berupa panjang jalan dibagi dengan luas
wilayah.
2. Kebutuhan transportasi bagi penduduk pedesaan
3. Kualitas / kelas jalan, untuk menentukan aksesibilitas terhadap
fasilitas pelayanan yang ada di pusat-pusat pelayanan.
4. Jarak rata-rata satuan pemukiman ke jaringan transportasi utama.
5. Klasifikasi jalan menurut: jalan negara, jalan propinsi dan jalan
kabupaten.
6. Moda transportasi yang tersedia, mulai dari dokar, sepeda, sepeda
motor, mobil, dan sebagainya, dikaitkan dengan kemudahan
transportasi pada masa sekarang dan pada masa akan datang.
7. Kondisi permukaan jalan, misalnya beraspal, jalan krikil, jalan tanah,
dan sebagainya, dikaitkan dengan kriteria-kriteria aksesibilitas.
8. Data asal dan tujuan perjalanan penumpang dan barang, termasuk
volumenya.
Umumnya data di atas telah tersedia, misalnya dapat diperoleh dari buku
Kabupaten dalam Angka, dan khusus untuk data asal tujuan perjalanan
penumpang dan barang dapat diperoleh dari hasil survei asal dan tujuan
yang dilakukan secara periodik oleh Departemen Perhubungan atau dapat
dikumpulkan dari kantor DLLAJ setempat.
Data tersebut dikompilasi menurut moda, jaringan dan kondisi jalan, dan
diarahkan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kondisi
dan kemampuan jaringan transportasi melayani kebutuhan penduduk.
Contoh hasil analisis dimaksud ditayangkan pada Tabel 7.10 yang
memperlihatkan kemampuan pelayanan yang ditawarkan oleh jaringan
transportasi pada suatu wilayah hipotetis.
Dengan memperhatikan tabel ini terlihat bahwa jaringan transportasi pada
wilayah yang ditinjau belum memadai, karena persentase penduduk yang
47
tidak terlayani oleh jalan raya mencapai angka 30 % yang berdiam pada
321 satuan pemukiman (kurang lebih 41 % dari total satuan pemukiman
yang ada).
Jumlah jalan aspal juga kurang memadai karena hanya mampu melayani
9% dari seluruh jumlah penduduk, atau hanya menghubungkan 3% dari
total satuan pemukiman saja.
Tabel 4.10 Jumlah Penduduk dan Satuan Pemukiman yang Dilayani
oleh Jaringan Jalan di Kabupaten Antah Berantah
48
1. Kumpulkan data tentang jumlah sekolah menengah yang ada pada
setiap satuan pemukiman.
2. Pilih beberapa sekolah menengah yang ada pada setiap satuan
pemukiman sebagai cuplikan (sample).
3. Catat asal dari siswa sekolah yang dicuplik tersebut dan buat
distribusinya menurut jarak dari sekolah.
4. Hasil tabulasi data (hipotetis) diperlihatkan pada Tabel 4.11
Beberapa informasi dapat ditarik dari Tabel 4.11, antara lain bahwa
pelayanan sekolah menengah tidak terdistribusi merata pada seluruh
wilayah kabupaten. Sekitar60%dari seluruh sekolah menengah terdapat
pada dua kota saja, yaitu kota A dan B.
Informasi lainnya yang dapat ditarik, bahwa berdasarkan data tersebut
terlihat bahwa untuk kota A, 58 % siswanya berasal dari 242 satuan
pemukiman di luar kota A, dan dari jumlah itu sekitar 85 % (205 satuan
pemukiman) dalam jangkauan jarak kurang dari 5 km. Ini menunjukkan
kecilnya jangkauan pelayanan fungsi tersebut.
Keunggulan dan Kelemahan :
Informasi yang diperoleh dari analisis ini bersama-sama dengan kedua
jenis analisis yang disebutkan terdahulu dapat dipakai untuk menentukan
sentralitas dari suatu pusat pelayanan sekaligus jangkauan wilayah
pelayanannya.
49
Analisis ini hanya menjelaskan pelayanan yang sifatnya "kedalam"
(sekolah dan rumah sakit) dan bukan untuk fungsi pelayanan yang bersifat
sentral (misalnya fasilitas pelayanan pendidikan tinggi atau rumah sakit
spesialistis) yang cenderung melayani penduduk yang berasal dari luar
kabupaten.
3. Analisis Aksesibilitas
Analisis Aksesibilitas diarahkan untuk mengetahui tingkat
kemudahan hubungan dari penduduk yang berdiam pada suatu
pemukiman yang tersebar dalam wilayah perencanaan untuk menikmati
fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terletak pada pusat-pusat
pelayanan.
Dengan kata lain analisis dapat digunakan untuk menentukan
satuan-satuan pemukiman yang tidak terjangkau secara memadai oleh
pusat-pusat pelayanan sosial ekonomi (wilayah terisolasi).
Tingkat kemudahan diukur dengan jumlah pengorbanan yang harus
dikeluarkan oleh penduduk untuk menikmati pelayanan sosial ekonomi
yang tersedia pada pusat-pusat pelayanan. Jumlah pengorbanan
Dalam proses analisis aksesibilitas, analisis diarahkan untuk menjawab
sekurangnya dua pertanyaan analitis yang diperlihatkan pada Tabel 4.12
50
Tabel 4.12. Pertanyaan Analitis yang Berkaitan dengan Aksesibilitas
PERTANYAAN / INFORMASI METODA ANALISIS
Seberapa jauh jangkauan pelayanan Indeks Wilayah Pelayanan
yang mampu disediakan oleh suatu
jenis fasilitas pelayanan.
Bagaimana mengukur tingkat Model Aksesibilitas
kemudahan yang dimiliki oleh suatu
lokasi / pusat pelayanan
51
Fungsi Pelayanan Jarak Rata-Rata
Balai Pertemuan 0 Km (terletak pada kota A)
Sekolah Dasar 5 Km
Puskesmas 10 Km
Rumah Sakit 20 Km
SLTP 20 Km
52
kurang atau tidak memadai. Jika kriteria jangkauan pelayanan untuk balai
pertemuan adalah sekurang-kurangnya 50 % penduduk berdiam pada
lokasi yang berjarak kurang dari 10 km dari balai pertemuan, maka
berdasarkan data di atas diperoleh kesimpulan bahwa aksesibilitas fungsi
tersebut jauh di atas rata-rata.
Keunggulan :
Analisis membutuhkan data yang umumnya tersedia atau gampang
dikumpulkan dan proses analisisnya juga relatif mudah. Walaupun
demikian metoda ini mampu dengan cepat memperlihatkan kekurangan
fungsi-fungsi pelayanan tertentu pada wilayah yang ditinjau, dan sekaligus
memberikan informasi alternatif lokasi tempat pengembangan fungsi-
fungsi pelayanan yang dianggap kurang.
Kelemahan :
Hasil analisis tidak mencerminkan tingkat aksesibilitas yang sebenarnya,
karena analisis tidak didasarkan pada pengukuran jumlah penduduk yang
betul-betul membutuhkan fasilitas pelayanan tersebut.
Di samping itu, hasil pengukuran hanya mencerminkan aksesibilitas yang
bersifat fisik saja, variabel-variabel lainnya belum tercermin. Misalnya,
penduduk yang berdiam di dekat rumah sakit swasta yang modern, secara
fisik memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi, tetapi pada kenyataannya
tidak mampu menikmati fasilitas pelayanan rumah sakit tersebut karena
tidak memiliki uang yang cukup.
5. Model Aksesibilitas
berdasarkan pendekatan lain, misalnya DAS atau lainnya.
Untuk memudahkan analisis diasumsikan bahwa semua perjalanan
dilakukan antar pusat-pusat kawasan. Pada contoh ini diambil 3 buah
kawasan. Model ini dapat dipakai untuk mengukur tingkat kemudahan
suatu pusat pelayanan yang memiliki beberapa fungsi pelayanan sosial
ekonomi. Model mengacu pada pendekatan bahwa tingkat aksesibilitas
dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang berpotensi untuk memanfaatkan
fasilitas pelayanan yang tersedia. Makin banyak jumlah penduduk makin
tinggi pula aksesibilitas pusat pelayanan tersebut.
Contoh cara perhitungan indeks aksesibilitas lokasi dengan menggunakan
data hipotetis adalah sebagai berikut :
1. Tentukan kawasan dan pusat kawasan
Kawasan dimaksud dapat ditentukan berdasarkan wilayah administratif
(kecamatan), atau
53
2. Tentukan jaringan perhubungan antara setiap pusat serta jenis sarana
transportasi yang ada.
3. Hitung waktu jelajah, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan
dari satu pusat ke pusat kawasan lainnya, termasuk waktu jelajah
dalam pusat kawasan. Hasil perhitungan dinyatakan dalam bentuk
tabel sebagai berikut:
FUNGSI
KAWASAN
A B
1 23.63 10.00
2 5.00 0.43
3 1.46 0.41
54
Pada model ini diasumsikan bahwa bobot setiap fungsi tergantung pada
jumlah kunjungan dan waktu jelajah rata-rata yang dibutuhkan untuk
menikmati pelayanan yang ditawarkan fungsi tersebut.
Bobot dimaksud dihitung dengan rumus berikut:
W j = Nj x T j x P j
dengan:
Nj = Jumlah kunjungan rata-rata ke fungsi j dalam waktu
tertentu.
Tj = Waktu jelajah rata-rata ke lokasi fungsi j
Pj = Proporsi penduduk yang menggunakan fungsi j
55
BAB V.
PENUTUP
1. Proses Pembelajaran
Pembelajaran dalam kelas dilaksanakan dengan mengadopsi
proses pembelajaran berbasis student center learning. Kelas dibagi dalam
kelompok sesuai dengan modul dan sub modul pembelajaran. Mahasiswa
melakukan pendalaman berpedoman kepada modul/bahan ajar serta
mengembangkan materi dengan tugas pengayaan yang dicari melalui
internet.
Kelompok mahasiswa adalah juga kelompok peserta seminar.
Dalam hal ini setiap kelompok menjadi penyaji dari modul/sub modul yang
menjadi tuga kelompoknya.
Pendalaman materi secara individu ilakukan dengan meminta
mahasiswa peserta untuk menjadi penanya atau memberi penjelasan atas
materi diskusi.
2. Evaluasi
Evaluasi adalah proses penilaian kompetensi peserta perkuliahan,
yaitu menguji kemampuan mahasiswa sesuai dengan tujuan
pembelajaran, dalam hal ini tujuan umum pembelajaran dan tujuan khusus
pembelajaran.
Indikator penialain evaluasi, adalah:
a) Menilai keaktifan mahasiswa dengan memperhatikan
kehadira, partisipasi dalam seminar/diskusi.
b) Memeriksa tugas-tugas kelompok dan tugas individu
c) Mengadalan mid semester test. Test ini sifatnya tentatif,
bergantung kepada penilaian sepanjang proses
pembelajaran
d) Penialai akhir semester (final test). Evaluasi ini dilakukan
untuk mengetahui kompetensi individu yang sering kurang
berkembang karena kerja kelompok yang tidak memeberi
kesempatan untuk berkembang.
3. Kisi-kisi Evaluasi
Kisi-kisi evaluasi adalah rangkuman materi belajar yang diharapkan
dapat menjadi indikator penilaian kemampuan atau kompetensi yang
diharapkan sebagai hasil akhir pembelajaran.
56
Mataeri kisi-kisi ini adalah mencakup substansi tujuan khusus
pembelajaran, yaitu:
Setelah mengikuti proses pembelajaran, mahasiswa peserta mata
kuliah menguasai dan mampu menggunakan metode:
(1) Analisis Kependudukan meliputi Proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis
Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indekss Kualitas
Hidup (IKH)/Indekss Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis
Mobilitas/Dinamika Masyarakat:
(2) Analisis ekonomi wilayah meliputi: Analisis Struktur ekonomi wilayah
(Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); Laju pertumbuhan ekonomi
wilayah dan laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita;
Analisis sektor basis dan sektor unggulan wilayah, serta Analisis
komparatif produksi/komoditas unggulan.
(3) Analisis spasial meliputi Analisisi Pola Permukiman, Analisis Sistem
Hubungan antar Wilayah, Analisis Ketergantungan antar Wilayah serta
Analisis Aksesibilitas.
57
DAFTAR PUSTAKA
58
15. _____________(1976). Urban Function for Rural Development, John
Wiley , New York
16. Richardson, H, W. (1972), Input-Output and Regional Economics,
Halsted Press Book, John Wiley , New York.
17. ______________(1972). Regional Economics, Halted Press John
Wiley , New York.
18. Sen, Amartya (1983). Development Economics Which Way New?,
Economic Journal Vol. 93 No. 372.
19. Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi,
Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
20. _______________(2008), Perencanaan Pembangunan Wilayah, Edisi
Revisi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta
21. Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan Daerah, Penerbit ITB,
Bandung.
59