Anda di halaman 1dari 104

0

Buku Ajar Mata Kuliah

METODE ANALISIS PERENCANAAN

Tim Penulis:

Ketua
IR. MOH. YOENUS OSMAN, MSP.
NIP. 19510307 197903 1 003

Anggota
MARLY VALENTY PATANDIANAN, ST/MT.
NIP. 19730328 200604 2 001

PROGRAM STUDI
PENGEMBANGAN WILAYAH DAN KOTA

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2014
1

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamadulillah, akhirnya penulisan buku


ajar Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan pada Program Studi
Pengembangn Wilayah Kota Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin ini dapat penulis selesaikan.
Materi pembelajaran dan sumber bacaan utama dari buku ajar ini,
penulis kutip dari hasil penelitian Proyek Penataan Ruang Wilayah
Nasional,Bagian Proyek Penyiapan Materi Teknis Penataan Ruang
Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Direktorat Jenderal Cipta Karya
Departemen Pekerjaan Umum, bekerjasama dengan Pusat Studi
Pengembangan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL) Lembaga
Penelitian Unhas dengan judul Studi Tipologi Kabupaten (1992), dalam
hal mana Penulis juga terlibat sebagai anggota peneliti/penulis. Penelitian
tersebut diketuai oleh Sdr. Dr. Ir. A. Mappadjantji Amin, C.Eng. Ketua
PSDAL LP Unhas pada tahun tersebut, yang anggota peneliti/penulisnya
terdiri dari: Prof. Dr. Rahardjo Adisasmita, MEc., Dr. Arlina G. Latif; Ir. M.
Yoenus Osman, MRP., Drs. Tadjuddin Parenta, MA., Prof. Dr. H.M.Arifin
Sallatang; Prof. Drs. H. Sadly AD, MPA.; Dr. Tahir Kasnawi, SU.; Drs.
Hasan Mangunrai, SU,, Ir. Chaeruddin Rasyid, MRP.; Ir. Anwar Umar,
MSc., Drs. Taslim Arifin, MA., Dr. Ir. Roland Barkey dan Drs. Arsyad
Sumah.
Sejumlah perbaikan dan pemutakhiran data telah Penulis lakukan
terhadap materi ajar tersebut serta menambah materi pembelajaran dari
sumber lain seperti dari buku Analisa Kota dan Daerah (Suwardjoko
Warpani, ITB, 1990).
Penulis menyadari bahwa materi buku ajar ini masih jauh dari
lengkap dan sempurna, namun demikian penulis berharap agar dalam
kekurangan tersebut masih memberi arah dan pegangan dalam
pembelajaran mata kuliah Metode Analisis Perencanaan pada Program
2

Studi Perencanaan Pengembangan Wilayah, khususnya pada kelas mata


kuliah yang Penulis ampu.
Atas selesainya penulisan Buku Ajar ini, Penulis menyampaikan
terima kasih kepada ibu Marly Valenty Patandianan, ST.,MT. selaku
anggota Tim Penulis yang melengkapi penulisan ini, serta kepada Ketua
Jurusan Arsitektur dan Ketua Prodi Pengembangan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin yang memberi kesempatan
kepada kami untuk menulis Buku Ajar ini yang didanai dari Bantuan
Operasional Perguruan Tinggi (BOPTN) Tahun 2014.

Makassar, November 2014.


Penulis,

H. Moh. Yoenus Osman


3

DAFTAR ISI
Halaman

- Halaman Judul................................................................. i
- Halaman Pengesahan..................................................... ii
- Kata Pengantar................................................................ iii
- Daftar Isi........................................................................... v
- Daftar Tabel..................................................................... viii
- Daftar Gambar................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1
A. Gambaran Umum Program Studi.................................... 1
1. Sekolah Perencanaan dan Kompetensi Lulusan............. 1
2. Program Studi PWK Fak. Teknik Univ. Hasanuddin........ 2
B. Tinjauan Mata Kuliah Metode Analisis 3
Perencanaan....................................................................
1. Garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP).................. 4
2. Satuan Acara Pembelajaran (SAP)................................. 6
C. Struktur Buku Ajar .......................................................... 6
BAB II ANALISIS DEMOGRAFI DAN DINAMIKA SOSIAL......... 9
1. Perhitungan Jumlah dan Kepadatan Penduduk.............. 10
2. Perhitungan Persebaran Penduduk................................. 13
3. Komposisi Penduduk....................................................... 14
4. Proyeksi/Perkiraan Laju Pertambahan Penduduk........... 18
5. Analisis Ketenagakerjaan................................................ 32
6. Perhitungan Indeks Kualitas Hidup (IKH)........................ 37
7. Indikator Tingkat Pendidikan Masyarakat....................... 42
8. Metode Partisipasi Kelembagaan Masyarakat................ 48
9. Analisis Dinamika Sosial Masyarakat.............................. 53
10. Perhitungan Indeks Tingkat Perkembangan Wilayah...... 56
BAB III ANALISIS EKONOMI WILAYAH/KOTA........................... 69
1. Perhitungan Struktur Ekonomi dan Pergeserannya......... 70
2. Perhitungan Laju Pertumbuhan Ekonomi ........................ 72
3. Laju Pendapatan/Produktivitas per Kapita........................ 75
4. Metode Location Quorient (LQ)........................................ 77
6. Analisis Input-Output ....................................................... 80
7. Analisis Shift Share ...................................................... 102
8. Analisis Biaya Sumberdaya Domesti............................... 112
9. Distrubusi Pendapatan/ Gini Ratio................................... 115
BAB IV ANALISIS SPASIAL DAN HUBUNGAN ANTAR
WILAYAH ........................................................................ 116
1. Analisis Pola Permukiman............................................... 118
2. Analisis Sistem Hubungan antar Wilayah........................ 142
3. Analisis Aksesibilitas........................................................ 151
4

BAB V PENUTUP....................................................................... 161


1. Proses Pembelajaran...................................................... 161
2. Evaluasi/pengujian kompetensi....................................... 161
3. Kisi-kisi evaluasi.............................................................. 162
- DAFTAR PUSTAKA........................................................ 164
- SURAT PERNYATAAN................................................... 165
- LAMPIRAN......................................................................
- Bidodata Penulis.................................................. L-1
- GBRP Mata Kuliah............................................... L-2
- SAP Mata Kuliah.................................................. L-3
5

BAB I
PENDAHULUAN

A. Gambaran Umum Program Studi


A. Sekolah Perencanaan dan Kompetensi Lulusan
Pembangunan nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 adalah diarahkan untuk mencapai kesejehteraan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka ruang wilayah
Indonesia perlu ditata, direncanakan, dimanfaatkan dan dikendalikan
penggunaannya, sehingga diperoleh manfaat penggunaan ruang yang
optimum dan terhindar dari kerusakan lingkungan alamiah serta
penurunan kualitas ruang binaan.
Sehubungan dengan itu maka untuk memperoleh ahli yang andal
dan kompeten di bidang penataan ruang, diperlukan sekolah atau
program pendidikan di bidang perencanaan wilayah dan kota yang
tersebar di seluruh Indonesia (bukan hanya di Pulau Jawa) di tempat
dimana terdapat sumberdaya manusia yang mendukung serta infrastruktur
yang tersedia.
Alumni atau lulusan dari Sekolah Perencanaan atau Program Studi
Perencanaan Pengembangan Wilayah dan Kota ini harus memiliki
kompetensi untuk melakukan kegiatan Penataan Ruang yang menurut
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang meliputi
kompetensi Perencanan Ruang, Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian
Ruang. Para ahli di bidang penataan ruang ini diharapkan akan mengisi
jabatan perencana di instansi pemerintah (Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota) seperti di Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan, Dinas
Pekerjaan Umum, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(BAPPEDA), Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dan bekerja
di perusahaan Konsultan Penataan Ruang.
B. Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin.
Program Studi Pengembangan Wilayah dan Kota untuk jenjang
Strata 1 (S1) pada Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin di Makassar (selanjutnya disingkat Prodi PWK Unhas)
merupakan program studi baru, yang baru dibuka pada tahun 2004 atau
lebih kurang 10 tahun dari waktu penulisan buku ajar ini dilakukan.
Penyusunan kurikulum awal prodi ini (Kurikulum 2004) dilakukan dengan
6

mengadopsi kurikulum Program Studi Teknik Planologi ITB sebagai cikal


bakal dan pelopor pendidikan perencanaan pengembangan wilayah di
Indonsia serta melakukan pembandingan dengan prodi sejenis di
Universitas Diponegoro (yang sudah terbentuk lebih dahulu), kajian pada
prodi sejenis dari perguruan tinggi luar negeri (melalui internet) dan juga
memperhatikan kurikulum inti yang diarahkan oleh Asosiasi Sekolah
Perencanaan Indonesia (ASPI).
Pada periode yang relatif singkat tersebut, Prodi S1 PWK Unhas
telah melakukan review terhadap kurikulum 2004 dan sejak 2014 telah
menerapkan beberapa perubahan dan memasukkan sejumlah mata kuliah
baru disesuaikan dengan pola ilmiah pokok (PIP) Universitas Hasanuddin
serta Visi dan Misi pada Prodi PWK Unhas ini.
B. Tinjauan Mata Kuliah Metode Analisis Perencanaan
Salah satu perubahan yang dilakukan terhadap Kurikulum S1 Prodi
PWK Unhas tahun 2004 adalah terkait dengan Mata Kuliah Metode
Analisis Perencanaan yang disusun buku ajarnya ini, yaitu semula
disajikan dalam dua semester masing-masing pada Semester III (Ganjil)
yaitu Metode Analisis Perencanaan I (2 SKS) dan pada Semester IV
(genap) yaitu Metode Analisis Perencanaan II (2 SKS), diubah menjadi
hanya satu penyajian pada Semester III (ganjil) yaitu Metode Analisis
Perencanaan (3 SKS). Perubahan ini menyebabkan perlunya disusun
kembali materi pembelajaran mata kuliah tersebut oleh karena semula
adalah 4 SKS (dua kali penyajian) menjadi 3 SKS (hanya satu kali
penyajian), Materi pembelajaran harus dikaji ulang untuk disesuaikan
dengan kebutuhan wilayah dan mengatur agar tidak ada yang hilang
dalam proses pembelajaran mata kuliah. Namun demikian, sejumlah
materi metode analisis perencanaan belum dibahas atau belum disajikan
dalam mata kuliah ini, karena pertimbangan waktu penyajian yang
terbatas, keterkaitannya dengan mata kuliah lain serta tingkat kesulitan
bahan pembelajaran. Model analisis lain seperti Analisis SWOT, Analisis
Lahan (kemampuan/daya dukung), Analisis kesesuaian ekonomi (analisis
investasi) akan dibahas pada mata kuliah lain, sedangkan analisis dengan
tingkat kerumitan matematis tinggi seperti Programasi Tujuan Berganda
(goal programming dengan metode Simplex), serta penggunaan
Programasi Integer untuk optimasi ruang agar disajikan pada program
studi lanjutan (S2 dan atau S3). .
Penerapan pembelajaran dengan menerapkan metode Student
Center Learning (SCL) cukup membantu proses penyesuain ini, namun
demikian agar kompetensi yang diharapkan dari proses pembelajaran ini
7

tetap tercapai maka pemberian tugas-tugas latihan, baik kelompok


maupun individu diintensifkan dan memperbanyak diskusi dan dan kajian
mandiri.
1. Garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP)
a) Diskripsi Mata Kuliah
Diskripsi materi pembelajaran mata kuliah Metode Analisis
Perencanaan secara umum adalah membahas tentang metode-metode
atau cara-cara perhitungan dan analisis untuk perencanaan
pengembangan wilayah dan kota, yang dalam mata kuliah ini dibatasi
hanya pada: analisis demografi/kependudukan dan dinamika sosial
masyarakat; analisis ekonomi untuk pembangunan wilayah/kota, dan
analisis spasial dan hubungan antar daerah.
b) Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran atau hasil pembelajaran yang diharapkan
menjadi kompetensi peserta mata kuliah, yaitu: Setelah mengikuti proses
pembelajaran, mhs peserta mampu menggunakan metode analisis
demografi/kependudukan analisis ekonomi untuk pembangunan wilayah,
analisis sumberdaya alam, analisis spasial dan hubungan antar daerah
serta metode analisis lainnya untuk merencanakan pengembangan
wilayah dan kota. Tujuan ini dirinci menjadi beberapa kompetensi khusus,
yaitu: Setelah mengikuti proses pembelajaran, mhs peserta menguasai
dan mampu menggunakan metode:
(1) Analisis Kependudukan meliputi Proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis
Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indeks Kualitas
Hidup (IKH)/Indeks Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis
Mobilitas/Dinamika Masyarakat:
(2) Analisis ekonomi wilayah meliputi: Analisis Struktur ekonomi wilayah
(Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); Laju pertumbuhan ekonomi
wilayah dan laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita;
Analisis sektor basis dan sektor unggulan wilayah, serta Analisis
komparatif produksi/komoditas unggulan.
(3) Analisis spasial meliputi Analisisi Pola Permukiman, Analisis Sistem
Hubungan antar Wilayah, Analisis Ketergantungan antar Wilayah serta
Analisis Aksesibilitas.
c) Literatur/Sumber Bacaan
Sumber bacaan utama dalam menulis buku ajar ini adalah seperti
disebutkan pada kata pengantar, yaitu dari buku Studi Tipologi Kabupaten
8

(DTKTD dan PSDAL-UH, 1992) dan dari buku Analisa Kota dan Daerah
(Warpani, S, 1990). Rincian sumber bacaan lainnya adalah seperti
tersebut dalam Daftar Bacaan/Literatur di bagian akhir buku ajar ini.
2. Satuan Acara Pembelajaran (SAP)
Satuan Acara Pembelajaran adalah rincian penyajian materi
pembelajaran yang disajikan dalam 16 kali kegiatan terdiri dari 3 jam
setiap perkuliahan, termasuk didalamnya kegiatan evaluasi atau penilaian
hasil belajar dari masing-masing mahasiswa peserta didik. Penilaian
dilaksanakan sepanjang proses perkuliahan, dikusi dan tugas-tugas
(kelompok dan individu). Jika diperlukan penilaian yang lebih valid akan
dilakukan evaluasi dalam bentuk ujian tengah semester (mid test) dan
ujian akhir semester (final test)
C. Struktur Buku Ajar

Isi buku ajar ini disusun berdasarkan Pedoman Penulisan Buku Ajar
Prodi PWK Unhas tahun 2014, yang secara terstruktur diuraikan sebagai
berikut:
Halaman Judul
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I. Pendahuluan
Berisi Gambaran Umum Program Studi, Komptensi Lulusan, Garis
Besar Rencana Pembelajaran (GBRP) dan Struktur Buku Ajar.
Bab II. Analisis Kependudukan dan Dinamika Sosial;
Modul pembelajaran Metode Analisis Kependudukan dan Dinamika
Sosial ini terdiri dari beberapa sub modul, yaitu: Perhitungan dan proyeksi
Jumlah Penduduk; Analisis Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat
Kesejahteraan: Indeks Kualitas Hidup (IKH)/Indeks Pembangunan
Manusia (IPM); serta Analisis Mobilitas/Dinamika Masyarakat:
Bab III. Analisis Ekonomi Wilayah/Kota
Berisi uraian Analisis Struktur ekonomi wilayah (Nasional, Provinsi,
Kabupaten/Kota); Perhitungan Laju pertumbuhan ekonomi wilayah dan
laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita; Analisis Location
Quotient (LQ) untuk mengetahui sektor basis dan sektor unggulan
wilayah, Metode Analisis Input - Output (I-O Analysist) serta Analisis
komparatif produksi/komoditas unggulan.
9

Bab IV. Analisis Spasial dan Hubungan antar Wilayah.


Berisi uraian metode analisis hubungan antar wilayah, serta
analisis ketergantungan antar wilayah.
Bab IV. Penutup
Berisi Proses Pembelajaran, Tugas-tugas dan Evaluasi, terdiri dari
uraian proses pembelajaran selama 16 kali pertemuan, rincian tugas dan
evaluasi atau penilaian hasil pembelajaran. Termasuk uraian kisi-kisis soal
untuk penilaian akhir (jika diperlukan test)
Daftar Pustaka
Surat Pernyataan
Lampiran:
- Biodata Penulis
- Garis Besar Rencana Pembelajaran (GBRP) Mata Kuliah
- Satuan Acara Pembelajaran (SAP) Mata Kuliah
10

BAB II
ANALISIS DEMOGRAFI DAN DINAMIKA SOSIAL

Analisis demografi/kependudukan dan dinamika sosial masyarakat


diarahkan untuk menghimpun informasi yang berkaitan dengan penilaian
apakah sumberdaya manusia yang ada pada suatu wilayah merupakan
potensi ataukah masalah bagi usaha-usaha peningkatan produktivitas
wilayah, dan membandingkan tingkat perkembangan relatif dari sub-
wilayah yang terdapat pada suatu provinsi atau kabupaten/kota.
Penilaian dilakukan berdasarkan aspek kuantitas, kualitas dan
kelembagaan. Untuk maksud tersebut informasi yang dibutuhkan dan
metode analisisnya, antara lain :

PERTANYAAN/ INFORMASI METODA ANALISIS


1. Bagaimana jumlah dan tingkat 1. Perhitungan jumlah dan
kepadatan penduduk kepadatan penduduk
2. Bagaimana penyebaran penduduk di 2. Perhitungan persebaran
kabupaten yang ditinjau penduduk
3. Bagaimana komposisi penduduk 3. Perhitungan komposisi umur
menurut umur dan jenis kelamin dan jenis kelamin
4. Berapa besar jumlah penduduk di 4. Perkiraan / proyeksi jumlah
masa yang akan datang penduduk
5. Bagaimana kondisi ketenagakerjaan di 5. Analisis Ketenagakerjaan
masa sekarang dan di masa akan
datang
6. Indeks Kualitas Hidup
6. Bagaimana tingkat pemenuhan
kebutuhan dasar penduduk
7. Pengukuran Indikator
7. Bagaimana tingkat pengembangan
Tingkat Pendidikan
wawasan, pengetahuan dan
Masyarakat.
ketrampilan penduduk
8. Metoda Partisipasi
8. Bagaimana tingkat aktivitas lembaga-
Kelembagaan
lembaga formal di desa
9. Pengukuran Dinamika Sosial
9. Bagaimana tanggapan / response
Masyarakat
masyarakat terhadap program-program
pembangunan
10. Indeks Tingkat
10. Bagaimana perbedaan tingkat
Perkembangan Wilayah.
perkembangan dari sub-sub wilayah
yang ada.
11

1. Perhitungan Jumlah dan Kepadatan Penduduk


Analisis digunakan untuk mengetahui jumlah dan tingkat kepadatan
penduduk dikaitkan dengan sumberdaya lahan yang tersedia. Pengukuran
kepadatan dilakukan dengan tiga cara, yaitu : (i) kepadatan penduduk
kasar (crude density of population), (ii) kepadatan penduduk agraris, dan
(iii) kepadatan penduduk ekonomi (economical density of population).
(i) Kepadatan Penduduk Kasar
Angka kepadatan ini biasanya disebut pula sebagai Kepadatan
Penduduk Matriks, merupakan ratio antara jumlah penduduk persatuan
luas wilayah.
jumlah penduduk
kepadatan kasar =
luas wilayah
Contoh:
Jumlah penduduk pada suatu wilayah 1 juta jiwa dengan luas wilayah
10000 Km2, maka:
kepadatan penduduk adalah 100 jiwa untuk 1 Km 2
Penilaian:
Kepadatan Tinggi : di atas kepadatan nasional
Kepadatan Sedang : sama dengan kepadatan nasional
Kepadatan Rendah : di bawah kepadatan nasional
(ii) Kepadatan Penduduk Agraris
Kepadatan penduduk agraris adalah jumlah penduduk petani tiap 1
Km2 tanah pertanian,
jumlah rumah tangga petani
kepadatan penduduk agraris =
luas tanah pertanian
Contoh:
Jika jumlah rumah tangga petani pada suatu wilayah 10.000 dan luas
tanah pertanian 10 Km2, maka:
Kepadatan penduduk agraris = 10.000 / 10 = 1.000
Jadi kepadatan penduduk agraris adalah 1.000 jiwa per 1 Km 2 atau 1.000
rumah tangga untuk 100 Ha tanah pertanian.
Penilaian:
Kepadatan Agraris Tinggi : 1 rumah tangga untuk tiap < 0.5 Ha
Kepadatan Agraris Sedang : 1 rumah tangga untuk 0.5-1.0 Ha
Kepadatan Agraris Rendah : 1 rumah tangga untuk tiap > 1.0 Ha
(iii) Kepadatan Penduduk Ekonomi
Kepadatan penduduk ekonomi adalah besarnya jumlah penduduk
pada suatu wilayah didasarkan atas kemampuan wilayah yang
bersangkutan.
12

kepadatan penduduk ekonomi = 100 x (@ / c)


dengan:
@ = indeks jumlah penduduk
c = adalah indeks umum produksi pada tahun yang sama
Contoh :
Indeks jumlah penduduk dan produksi wilayah A terlihat pada tabel
berikut:
Tahun
Indeks.
1980 1990
Penduduk (jiwa) 1.000.000 1.200.000 1,2
Produksi (unit) 100.000.000 150.000.000 1,5
Maka Kepadatan Penduduk Ekonomi wilayah A adalah:
= 100 x ( @ / c )
= 100 x (1,2 / 1,5) = 80
Keunggulan:
Data-data yang dibutuhkan seperti jumlah penduduk dan indekss
umum produksi tidak sulit diperoleh.
Kelemahan :
Gambaran yang diperoleh masih bersifat umum.

2. Persebaran Penduduk
Analisis digunakan untuk mengetahui penyebaran penduduk antara
kota dan desa, serta antar unit-unit wilayah (misalnya untuk RUTR
kecamatan)
(i) Persebaran Penduduk Desa dan Kota
Merupakan proporsi penduduk desa dan kota terhadap jumlah
penduduk.
(ii) Persebaran Penduduk Antar Wilayah Kecamatan
Angka persebaran diketahui dengan cara membandingkan
kepadatan penduduk antar wilayah kecamatan.
Penilaian:
Persebaran proporsional atau persebaran tidak proporsional.
Persebaran proporsional adalah persebaran dimana jumlah penduduk
sebanding dengan ketersediaan sumberdaya alam (termasuk lahan) di
wilayah yang ditinjau.
Keunggulan:
Informasi tentang jumlah penduduk desa, kota dan wilayah kecamatan
mudah diperoleh.
Kelemahan:
Gambaran yang diperoleh masih sangat umum.
13

3. Komposisi Pendududk
Komposisi penduduk dibedakan menurut umur dan jenis kelamin.
Komposisi dimaksud dibutuhkan dalam perencanaan pengembangan
fasilitas pelayanan 13ector dan ekonomi.
(i) Komposisi Menurut Umur
Struktur umur yang umum dipakai adalah interval waktu 5 tahun,
yaitu:
0 - 4 tahun
5 - 9 tahun
10 14 tahun
15 19 tahun
20 24 tahun
25 29 tahun
30 34 tahun
35 39 tahun
40 44 tahun
45 49 tahun
50 54 tahun
55 59 tahun
60 64 tahun
65 + tahun

Penilaian: Dengan melihat komposisi umur penduduknya, untuk kelompok


usia di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun, maka dapat ditentukan
penduduk tua (old population) dan penduduk muda (young population),
sebagai berikut:

UMUR PENDUDUK TUA PENDUDUK MUDA


0 14 < = 30 % > = 40 %
15 64 > = 60 % < = 55 %
65 + > = 10 % <=5%

Penggolongan penduduk tua dan penduduk muda dilakukan


dengan melihat umur mediannya, berdasarkan kategori berikut:

UMUR MEDIAN KATEGORI


< = 20tahun Penduduk muda
21 30 tahun Penduduk sedang
> 30 tahun Penduduk tua
14

Umur Median : adalah umur yang membagi penduduk menjadi dua


bagian yang sama, bagian yang pertama lebih muda dan bagian yang
kedua lebih tua dari umur median.
Umur median dihitung dengan ramus:
Md = M1d + {((N/2) fx)) / Mfd} * i
dengan:
M1d = batas bawah kelompok umur yang mengandung jumlah N/2
N = jumlah penduduk
fx = jumlah penduduk kelompok komulatif sampai dengan
kelompok umur yang mengandung N/2
Mfd = jumlah penduduk pada kelompok umur dimana terdapat
nilai N/2
i = kelas interval umur

Contoh: Lihat data hipotetik pada tabel 2.1:


Md = 20 + {((438.775/2) 215.885)) / 37.316} * 5
Md = 20 + 0,0939 * 5 = 20,47
Jadi Umur Median = 20,5 tahun (dibulatkan)

(ii) Rasio Jenis Kelamin (Sex Ratio)


Merupakan perbandingan-banyaknya penduduk laki-laki dengan
banyaknya penduduk perempuan pada suatu wilayah dan waktu tertentu.
Biasanya dinyatakan dalam banyaknya penduduk laki-laki per 100
perempuan.
Tabel 2.1 . Distribusi Penduduk Menurut Kelompok Umur

KELOMPOK UMUR JUMLAH PENDUDUK JUMLAH KUMULATIF


04 66.082 66.082
59 64.652 130.734
10 14 49.285 180.019
15 -19 35.866 215.885
20 24 37.316 253.201
25 29 36.568 289.769
30 34 30.830 320.599
35 39 25.455 346.054
40 44 22.825 368.906
45 49 18.053 386.959
50 54 17.105 404.064
55 59 9.829 413.893
15

KELOMPOK UMUR JUMLAH PENDUDUK JUMLAH KUMULATIF


60 64 11.236 425.129
65 69 4.850 429.979
70 74 4.414 434.393
75 79 4.206 438.599
TT 176 438.775
Jumlah 438.775
sumber: PSDALUH-DTKTD (1992)

Sex Ratio = jumlah penduduk laki-laki * 100


Jumlah penduduk perempuan
Contoh:
Jika jumlah penduduk laki-laki = 58.338.664 dan jumlah penduduk
perempuan = 60.029.206, maka :
58.336.664
Sex Ratio = * 100
60.029.206
Penilaian:
Sex Ratio Tinggi : > 105
Sex Ratio Sedang : 95 105
Sex Ratio Rendah : < 95
4. Perkiraan Laju Pertambahan Penduduk
Perkiraan laju pertumbuhan penduduk diperlukan dalam
perencanaan pembangun-an wilayah, untuk : (i) memperkirakan jumlah
dan jenis fasilitas pelayanan 15ector ekonomi yang dibutuhkan selama
kurun waktu pelaksanaan rencana, dan (ii) merubah kecenderungan laju
pertumbuhan penduduk dalam rangka menanggulangi dinamika penduduk
yang terlalu pesat.
Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dipengaruhi oleh : (1)
besarnya kelahiran, (2) besarnya kematian, dan (3) besarnya migrasi
masuk dan migrasi keluar.
Keadaan penduduk pada tahun tertentu dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Pt = Po + {B D} + {Mi Mo}
dengan
Pt = Jumlah penduduk pada tahun t
Po = Jumlah penduduk pada tahun dasar
B = Jumlah kelahiran
D = Jumlah kematian
Mi = jumlah migrasi masuk
Mo = jumlah migrasi keluar
(B-D) = pertumbuhan penduduk alamiah
(Mi-Mo) = pertumbuhan penduduk migrasi (neto)
16

Dikenal beberapa metoda perkiraan jumlah penduduk, tiga


diantaranya adalah:
- Metode Antar Sensus (Intercensal)
- Metode Sesudah Sensus (Postcensal)
- Metode Proyeksi (Projection Method)

(i) Metode Antar Sensus


Metode antar sensus (Intercensal) yang disebut pula interpolasi
adalah suatu perkiraan mengenai jumlah penduduk di antara dua waktu
sensus (data) yang diketahui. Pada metoda ini pertambahan penduduk
diasumsikan linier.
Pn = Po + m/n (Pn Po)
atau
Pm = Pn {(n m) / n} * (Pn Po)
dengan:
Pn = jumlah penduduk pada tahun n
Po = jumlah penduduk pada tahun awal (penduduk dasar)
Pm = jumlah penduduk pada tahun yang diestimasikan (tahun m)
m = selisih tahun yang dicari dengan tahun awal
n = selisih tahun dari dua sensus yang diketahui
Contoh:
Jika diketahui jumlah penduduk menurut sensus 1961 = 97 juta dan
menurut sensus 1971 = 118.2 juta. Hitung perkiraan jumlah penduduk
pada tahun 1967.
P1967 = 97 {(1967 1961) / 10} * (118.2 97)
P1967 = 109,72 juta
(ii) Perkiraan Sesudah Sensus
Digunakan rumus
Pm = Po {(n + m) / n} * (Pn Po)
atau
Pm = Pn + (m / n) * (Pn Po)
dengan :
Po = jumlah penduduk dasar (tahun awal)
Pn = jumlah penduduk tahun n
Pm = jumlah penduduk pada tahun yang diestimasikan (tahun n)
m = selisih tahun yang dicari dengan tahun n
n = selisih tahun dari dua sensus yang diketahui
Contoh:
Jumlah penduduk menurut sensus tahun 1961 adalah 97 juta jiwa. Pada
sensus 1971 berjumlah 118,2 juta jiwa Berapakah jumlah penduduk pada
tahun 1975 ?
17

P1975 = 97 {(10 + 4) / 10} * (118.2 97)


P1975 = 126,68 juta
(iii) Metode Proyeksi
Metoda proyeksi dibedakan menurut dua jenis, yaitu :
a. Metoda matematik, yang terdiri atas (1) metoda bunga berganda
(geometric rate of growth), dan (2) metoda eksponensial
(exponential rate of growth).
b. Metoda komponen (cohort)
Ad. A. Metode Matematik
(1) Metoda Bunga Berganda
Metoda bunga berganda berbasis pada rumus :
Pt = Po * (l + r)n
dengan:
Pt = jumlah penduduk pada tahun t
Po = jumlah penduduk pada tahun awal
r = angka pertumbuhan penduduk
n = jangka waktu dalam tahun
Contoh:
Jumlah penduduk pada suatu wilayah pada tahun 1981 sebesar
2.163.000 jiwa, sedang pada tahun 1991 sebesar 2.490.000 jiwa.
Hitung tingkat pertumbuhan rata-rata pertahun antara tahun 1981 sampai
1991 dan perkirakan jumlah penduduk wilayah tersebut pada tahun 1996.
Tingkat Pertumbuhan rata-rata dihitung dengan rumus :
Pt = Po * (l + r)n
2.490.000 = 2.163.000 (1 + r )10
(1 + 10)10 = 2.490.000 / 2.163.000 = 1,151
10 log (l + r) = log 1,151 = 0,0611
1 + r = 1,014178
r = 0,014178
Selanjutnya nilai r yang diperoleh dari perhitungan ini digunakan untuk
memperkirakan jumlah penduduk pada tahun 1996, dengan
menggunakan rumus yang sama:
P1996 = Po (l + 0,0142)5
= 2.671.882,5 dibulatkan menjadi 2.671.883
(2) Metoda Exponensial
Metoda exponensial berbasis pada rumus :
Pn = Po exp r*t
dengan:
18

Pn = jumlah penduduk pada tahun n


Po = jumlah penduduk pada tahun awal
r = angka pertumbuhan penduduk
t = waktu dalam tahun
Contoh :
Dengan menggunakan data hipotetis yang diberikan pada contoh
sebelumnya (metoda bunga berganda), perkirakan kembali jumlah
penduduk pada tahun 2000 dengan menggunakan metoda exponensial.
Pn = Po exp r*t
Exp r.t = Pn / Po = 2.490.000 / 2.163.000 = 1.1511789
10 r = ln (1.1511789) = 0.14079
r = 0.014079
P1996 = P1991 exp 0.014079 x 5
= 2.490.000 x 1.07293 = 2.671.595,8
= 2.671.596 (dibulatkan)
Keunggulan:
Metoda digunakan apabila tidak diketahui data tentang komponen dari
pada penduduk. Yang diketahui hanya penduduk keseluruhan dan tingkat
pertumbuhan penduduk. Cocok untuk proyeksi jangka pendek.
Kelemahan :
Menyajikan informasi yang 18ector18e terbatas karena tidak memberikan
informasi struktur umur dan jenis kelamin.
Tidak cocok untuk proyeksi jangka panjang.

Ad. b. Metoda Komponen (Cohort Survival Model)


Keunggulan:
o Memperhatikan perubahan tiap-tiap komponen perubahan penduduk
(Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi).
o Dimulai dengan asumsi-asumsi: Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi.
Data-data yang diperlukan:
distribusi umur dan jenis kelamin penduduk yang telah dilakukan
protating dan 18ector18e1818
menentukan level of mortality penduduk tersebut
mengestimasikan pola fertilitas (ASFR)
menentukan rasio jenis kelamin saat lahir
menentukan pola migrasi (proporsi migrasi menurut umur)
Langkah-langkah perkiraan jumlah penduduk menurut metoda ini adalah
sebagai berikut :
Kolom 1: adalah kelompok umur dengan interval 5 tahunan
Kolom 2: adalah jumlah penduduk wanita menurut kelompok umur, 1971.
19

Kolom 3 : survival ratio penduduk wanita, yang dikutip dari 19ecto


kematian dengan asumsi level yang digunakan adalah level 13
model West.
Survival Ratio untuk kelompok umur 55-59 tahun dan 60 +
sebesar 0,73665 diperoleh dari:
T60 + / T55 + di dalam life table level 13
Kolom 4: Penduduk masih hidup tahun 1976 = kol.2 x kol.3
Contoh : Penduduk kelompok umur 0-4 tahun, yang masih
hidup 5 tahun lagi adalah :
381956 x 0,94528 = 361.055
Mereka inilah akan berusia 5-9 tahun pada tahun 1976
Untuk kelompok umur 55-59 tahun dan 60 tahun lebih,
diperoleh hasil 82.937 x 0,73665 = 61.096.
Mereka ini dikelompokkan dalam usia 60+ pada tahun 1976.
Kolom 5 : Adalah jumlah 19ector19 netto DKI Jakarta antara tahun 1971-
1976 yang diperoleh dari perkalian antara proporsi 19ector19
perempuan dengan total 19ector19.
Contoh: Migran netto perempuan (lihat 19ecto 3)
jumlah (0-4) = 500.000 (0,0365) = 18.250.
Kolom 6: Adalah hasil penjumlahan kolom- (4) + kolom (5). Untuk kelom-
pok umur 0-4 tahun belum dapat diisi, karena angka jumlah
kelahiran selama 5 tahun belum dihitung. Kolom-kolom
selanjutnya (kolom 7, 8, 9) dibuat untuk menghitung jumlah
kelahiran perempuan selama periode 1971-1976.
Kolom 7: Adalah rata-rata jumlah penduduk perempuan per kelompok
umur :.{Kolom (2) + Kolom (6)} / 2
Kolom 8: Adalah jumlah kelahiran Age Specific Fertility Rate dari DKI
Jakarta.
Kolom 9 : Adalah jumlah kelahiran per tahun per kelompok umur antara
tahun 1971-1976, yang dihitung dari perkalian Kolom (7)
dengan Kolom (8).
Jadi jumlah kelahiran selama 5 tahun = 5 x 227.339 =
1.136.995. Dengan asumsi Sex Ratio at Birth = 105, maka
diperoleh proporsi perempuan yang lahir sebesar 0,488.
Jumlah kelahiran perempuan selama 5 tahun = jumlah kelahiran
selama 5 tahun x rasio kelahiran perempuan atas kelahiran laki-
laki = 1.136.995x0,488 = 554.854.
Jumlah kelahiran perempuan yang masih hidup pada umur 0-4
tahun = Jumlah kelahiran perempuan x rasio masih hidup pada
saat dilahirkan = 554.854 (0,85661) = 475.293.
Jadi penduduk perempuan yang berumur 0-4 tahun 1976
adalah : 475.293 + 18.250 x (migrasi usia 0-4) = 493.543.
20

Tabel 2.2: Proyeksi Jumlah Penduduk Perempuan di DKI Jakarta tahun 1971 -1976

Kelompok Penduduk Migran Penduduk Rata-rata ASFR Kelahiran


Ration Penduduk
Umur Perempuan Perempuan Perempuan Pend.Perp Jakarta pertahun
Masih Hidup Masih Hidup
Penduduk 1971 1971 -1976 1976 1971-1976 1971-1976 1971-1976

1 2 3 4 5 6 7 8 9
0-4 381.956 0.94528 - 18.250 493.543 - - -
5-9 319.450 0.98100 361.055 22.350 383.405 - - -
10-14 267.518 0.98043 313.380 29.500 342.880 - - -
15-19 265.251 0.97430 262.283 57.800 320.083 292.667 0.107 31.315
20-24 227.890 0.96927 258.432 49.900 308.334 268.112 0.242 64.883
25-29 201.771 0.96518 220.887 29.000 249.887 225.829 0.239 53.973
30-34 164.195 0.96077 194.745 15.850 210.959 187.395 0.236 44.225
35-39 135.959 0.95608 157.754 10.800 168.554 152.257 0.159 24.209
40-44 94.009 0.94998 129.988 7.350 137.338 115.674 0.070 8.097
45-49 60.930 0.93753 89.307 4.650 93.957 77.444 0.009 697
50-54 47382 0.91695 57.124 3.450 60.574 - - -
55-59 25.220 0.73655 43.477 1.950 45.397 - - -
21

Tabel 2.3 Distribusi Migran Perempuan ke Jakarta


Menurut Umur, tahun 1971 -1976

UMUR PERSENTASE UMUR PERSENTASE


0-4 0.0365 35-39 0.0216
5-9 0.0447 40-44 0.0147
10-14 0.0590 45-49 0.0093
15-19 0.1156 54-54 0.0069
20-24 0.0998 55-59 0.0039
25-29 0.0580 60 + 0.0096
30-34 0.0317
Sumber: PSDALUH-DTKTD (1992)

Untuk keperluan tertentu, misalnya untuk mengetahui jumlah penduduk


usia sekolah dasar (7-12 tahun), maka kelompok umur 5-9 perlu dipecah
menjadi umur 5, 6, 7, 8, dan 9 tahun, demikian pula kelompok umur 10-14
dipecah menjadi umur 10,11,12,13, dan 14 tahun.
Pemecahan dilakukan dengan bantuan 21ector pengganda Sprague
(Sprages Multipliers). Pengganda ini memiliki 5 panel, sebuah untuk
kelompok umur tengah (midpanels) , dua buah untuk kelompok akhir
(endpanel) , dan dua buah lagi untuk kelompok umur yang berbatasan
dengan kelompok umur akhir PSDALUH-DTKTD (1992):
1. First end-panel : untuk golongan umur 0-4 tahun
2. First next-to-end panel : untuk golongan umur 5-9 tahun
3. Mid-panels : untuk golongan umur 10 -14 tahun
sampai dengan golongan 85 89 tahun
4. Last next-to-end panel: untuk golongan umur 90 94 tahun
5. Last end-panel : untuk golongan umur 95-99 tahun
Catatan:
Apabila data penduduk tidak dikelompokkan sampai golongan umur 95-99
tahun, misalnya hanya sampai pada golongan umur 70-74 tahun, maka
golongan umur di atasnya menyesuaikan. Dalam kasus-kasus tertentu,
adakalanya golongan umur 95+ diasumsikan sama dengan golongan
umur 95-94, demikian pula golongan umur 75 +, dapat diasumsikan sama
dengan golongan umur 75-79 tahun, dan sebagainya.
a. First end-panel
Pemecahan kelompok umur ini dilakukan dengan menggunakan rumus
berikut:
22

n
nj = Ni ji . Ni
i 1
j = 1,5; i = 1,4

dengan :
nj menyatakan-golongan umur tahunan :
n1 = 0 tahun, n2 = 1 tahun, n3 = 2 tahun,
n4 = 3 tahun dan n5 = 4 tahun.
Ni menyatakan jumlah penduduk pada kelompok umur ke-i, yaitu : N1 = 0-
4 tahun, N2 = 5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, N4 = 15-19 tahun.
ji menyatakan koefisien pengganda Sprague yang diperlihatkan pada
faktor 4.
Tabel 2.4. Pengganda Sprague
N1 N2 N3 N4 N5
FIRST END-PANEL
nl +0.3616 -0.2768 + 0.1488 - 0.0336 -
n2 +0.2640 -0.0960 + 0.0400 - 0.0080 -
n3 +0.1840 + 0.0400 - 0.0320 +0.0080 -
n4 + 0.1200 + 0.1360 - 0.0720 + 0.0160 .
n5 +0.0704 + 0.1968 - 0.0848 + 0.0176 -
FIRST NEXT-TO-END PANEL
nl +0.0336 + 0.2272 - 0.0752 + 0.0144 -
n2 +0.0080 + 0.2320 - 0.0480 +0.0080 -
n3 - 0.0080 + 0.2160 - 0.0080 + 0.0000 -
n4 - 0.0160 + 0.1840 + 0.0400 - 0.0080 -
n5 - 00176 + 0.1408 + 0.0912 - 0.9144 -
MID-PANEL
nl - 0.0128 + 0.0848 + 0.1504 - 0.0240 + 0.0016
n2 -0.0015 + 0.0144 + 0.2224 - 0.0416 +0.0064
n3 +0.0084 - 0.0336 +0.2544 - 0.0336 - 0.0064
n4 +O0064 - 0.0416 + 0.2224 - 0.0144 - 0.0016
n5 +0.0016 - 0.0240 + 0.1504 +0.0848 - 0.0128
LAST NEXT-TO-END PANEL
nl - 0.0144 +0.0912 + 0.1408 - 0.0176 -
n2 - 0.0080 +0.0400 + 0.1840 - 0.0160 .
n3 +0.0000 - O.0080 + 0.2160 - 0.0080 -
n4 +0.0080 - a0480 +0.2320 + 0.0080 -.
n5 +0.0144 - 0.0752 +0.2272 +0.0336 -
LAST END PANEL
nl +0.0176 - 0,0848 +0.1968 +0.0764 -
n2 +0.0168 - 0.0720 +0.1360 +0.1200 -
n3 +0.0080 - 0.0320 + 0.0400 +0.1640 -
n4 - 0.0080 + 0.0400 -0.0960 +0.2640
n5 - 0.0336 + 0.1488 - 0.2768 + 03615 -
23

b. First next-to-end Panel


Golongan umur tahunan pada kelompok umur ini (5-9 tahun) diperkirakan
dengan menggunakan rUmus yang sama dengan yang dipakai pada
kelompok umur 0-4 tahun, dengan n1 = 5 tahun, n2 = 6 tahun, n3 = 7
tahun, n4 = 8 tahun, dan n5 = 9 tahun.
Sedang data kelompok umur yang digunakan adalah : N1 = 0-4 tahun, N2
= 5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, dan N4 = 15-19 tahun.

c. Mid Panel
Kelompok umur ini juga menggunakan rumus yang sama dengan yang
digunakan pada kelompok umur sebelumnya, dengan perbedaan terletak
pada jumlah 23ector penggandanya, yaitu sebanyak 5 buah
23ector23e2323 dengan 4 buah pada kelompok umur yang dibahas
sebelumnya.
N3 diletakkan pada kelompok umur yang ingin dipecah, N2 dan Ni untuk
dua kelompok umur sebelumnya, dan N4 dan N5 untuk kelompok umur
sesudahnya.
Misalnya kelompok umur yang ingin dipecah adalah 10-14 tahun, maka n1
= 10 tahun, n2 = 11 tahun, n3 = 12 tahun, n4 = 13 tahun, dan ns = 14
tahun. Data kelompok umur yang digunakan adalah Ni = 0-4 tahun, N2 =
5-9 tahun, N3 = 10-14 tahun, N4 = 15-19 tahun, dan N5 = 20-24 tahun.
Catatan:
Untuk Last next-to-end panel pemecahan umur dihitung dengan cara yang
sama First next-to-end panel, sedang pemecahan umur untuk last end
panel dihitung dengan cara yang serupa dengan first end panel.
Contoh:
Perkirakan jumlah anak usia sekolah (7-12 tahun) berdasarkan data
jumlah penduduk menurut kelompok umur yang diperlihatkan pada
kelompok 1.
Golongan umur 7-12 tabun terdiri atas dua kelompok umur, yaitu 5-9
tahun dan 10-14 tahun. Kelompok umur 5-9 tahun dipecah dengan
menggunakan First next-to-end panel, sedangkan kelompok umur 4 tahun
dipecah dengan menggunakan faktor pengganda pada mid panel.
Golongan umur 5 tahun = 0.0336 x 66.082 + 0.2272 x 64.652 0.0752 x
49.285 + 00144 x 35.866 = 13.720 (dibulatkan)
Golongan umur 6 tahun = 0.0080 x 66.082 + 0.2320 x 64.652 0.0480 x
49.285 + 0.0080 x 35.866 = 13.499 (dibulatkan)
24

Golongan umur 13 tahun = 0.0064 x 66.082 0.0416 x 64.652 + 0.2224 x


49.285 + 0.0144 x 35.866 -0.0016x37.316 =
9.151 (dibulatkan)
Golongan umur 14 tahun = 0.0016 x 66.082 0.0240 x 64.652 + 0.1504
x 49.285 + 0.0848 x 35.866 -0.0128 x 37.316
= 8.530 (dibulatkan)
Dari perhitungan di atas terlihat bahwa untuk golongan umur 5, 6, 13 dan
14 terdapat 44.850 anak, dengan demikian jumlah penduduk yang
berumur 7-12 tahun adalah (64.652 + 49.285) 44.850 = 69.087.

5. Analisis Ketenagakerjaan
Analisis dalam lingkup ini diperlukan untuk memperoleh informasi
yang berkaitan dengan jumlah penduduk yang tidak produktif, tingkat
partisipasi angkatan kerja, tingkat pengangguran, dan proyeksi tingkat
partisipasi angkatan kerja.
(i) Angka Beban Tanggungan
Angka beban tanggungan (Dependency Ratio) merupakan
angka yang menyatakan perbandingan antara jumlah penduduk yang
tidak produktif (umur dibawah 15 tahun dan 65 tahun ke atas) dengan
jumlah penduduk yang termasuk usia produktif (umur 15-64 tahun).
{(Po 14 + P65+) / (P15 64)} * 100
Penilaian:
Angka Beban-Tanggungan Tinggi : > 70
Angka Beban Tanggungan Sedang : 51 69
Angka Beban Tanggungan Rendah : <50
(ii) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
Tingkat partisipasi angkatan kerja (Labor Force Participation) atau
biasa disingkat TPAK menyatakan perbandingan jumlah angkatan kerja
dengan jumlah penduduk usia kerja (di Indonesia umur 10 tahun ke atas).
TPAK = (jumlah angkatan kerja/jumlah penduduk usia kerja ) * 100
Penilaian :
TPAK Tinggi = > 70
TPAK Sedang = 50-69
TPAK Rendah = < 50
Data yang dibutuhkan berupa :
- Jumlah penduduk usia kerja (umur 10 tahun ke atas)
- Jumlah angkatan kerja.
25

Angkatan kerja adalah penduduk yang berumur 10 tahun ke atas yang


secara aktif melakukan kegiatan ekonomis.
Angkatan kerja terdiri dari penduduk yang bekerja, penduduk yang
mempunyai pekerjaan tetap, tetapi sementara tidak bekerja, dan
penduduk yang tidak mempunyai pekerjaan tetapi mencari pekerjaan
secara aktif.
(iii) Tingkat Pengangguran Terbuka
Tingkat pengangguran terbuka (Open Unemployment Rate)
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:
TPT = ( jumlah pencari kerja / jumlah angkatan kerja ) * 100
Data yang dibutuhkan:
- Jumlah angkatan kerja
- Jumlah orang yang mencari pekerjaan
Pengertian penduduk yang mencari pekerjaan (menganggur) adalah
mereka yang tidak bekerja dan sekarang ini sedang aktif mencari
pekerjaan menurut acuan waktu tertentu. Termasuk kelompok ini adalah
mereka yang pernah bekerja, atau sekarang sedang dibebastugaskan,
tetapi sedang menganggur dan mencari pekerjaan.
(iv) Proyeksi TPAK
Proyeksi angkatan kerja dibutuhkan untuk memperoleh informasi
tentang jumlah dan karakteristik kerja yang tersedia pada masa yang akan
25ector, termasuk pertumbuhan angkatan kerja dan jumlah penduduk
yang pertama kali memasuki pasar tenaga kerja.
Proyeksi penyediaan tenaga kerja dilakukan dengan dua tahap,
yaitu :
1) proyeksi penduduk menurut umur dan jenis kelamin dalam suatu
wilayah tertentu.
2) proyek TPAK untuk memperkirakan jumlah penyediaan tenaga kerja.
Tahap pertama diketahui secara khusus pada proyeksi penduduk.
Pada dasarnya perkiraan jumlah angkatan kerja dapat diperoleh sebagai
hasil kali antara TPAK dengan jumlah penduduk pada kelompok umur
yang sama.
LFtx = lftx * Ptx
dengan
LFtx = jumlah angkatan kerja pada kelompok umur x pada tahun t
lftx = TPAK pada kelompok umur x pada tahun t
t
Px = jumlah penduduk pada kelompok umur x pada tahun t
26

Dalam proyeksi ini perlu dibuat asumsi mengenai TPAK pada masa yang
akan datang.
Selain itu, TPAK pada masa yang akan datang dapat diketahui dengan
melakukan extrapolasi sebagai berikut:
lfxt+1 = lfxt * { lfxt / (lfxt-1)}
dengan
lfxt+1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t +1
lfxt = TPAK kelompok umur x pada tahun t
x
lf t-1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t 1
Tata perhitungan TPAK dengan cara extrapolasi dapat dilakukan dengan
menggunakan bantuan tabel berikut:

KELOMPOK TPAK TPAK TPAK 1990


(3): (2)
UMUR 1971 1980 (3)* (4)
1 2 3 4 5

10-19 50% 60% 60/50 = 1.2 72 %

Keunggulan : sangat sederhana


Kelemahan:
Dalam beberapa kasus, khususnya untuk kelompok umur yang memiliki
TPAK tinggi, hasil extrapolasi kadang-kadang lebih besar dari 100, suatu
angka yang tidak mungkin dicapai pada keadaan sebenarnya.
Untuk mengatasi kelemahan ini, digunakan faktor koreksi yang dihitung
dengan rumus sebagai berikut:
lfxt+1 = lfxt * { (100 + xt) / 100}
dengan
lfxt+1 = TPAK kelompok umur x pada tahun t +1
lfxt = TPAK kelompok umur x pada tahun t
xt = Kenaikan TPAK dari tahun t sampai tahun t + 1
Perhitungan xt dilakukan dengan bantuan rumus :
xt = (lfxt/ lfxto) * {(lft + Uxt) / (lfto * Utto)}
dengan
lfxt = TPAK kelompok umur x pada tahun t
lfxto = TPAK kelompok umur x pada tahun to
27

Uxt = Proporsi penduduk usia x yang tidak masuk angkatan


kerja pada tahun t
x
U to = Proporsi penduduk usia x yang tidak masuk angkatan
kerja pada tahun to
Contoh hipotesis proyeksi tingkat partisipasi angkatan kerja suatu
wilayah pada tahun 1990 berdasarkan data tahun 1971 dan 1980,
sebagai berikut:

UMUR lfto 1971 lfto 1980 3:2 Uto Ut lfto * Uto lft * Ut 8:7 t
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10-19 0.4938 0.4217 0.854 0.5062 0.5783 0.250 0.244 0.976 -0.833
20-34 0.6826 0.4141 0.606 0.3172 0.5859 0.217 0.243 1.120 -0.678
35-44 0.3397 0.6306 1.856 0.6603 0.3694 0.224 0.233 1.040 1.930

Dari tabel di atas dapat diperkirakan tingkat partisipasi angkatan kerja


tahun 1990 sebagai berikut:

UMUR lf 1990
10-19 0.4217 * (100 0.833) /100 = 0.4182
20-34 0.4141 * (100- 0.678)/ 100 = 0.4113
35-44 0,6306 * (100-1.930)/ 100 = 0.6428

(i) Perhitungan Indekss Kualitas Hidup (IKH) IKH


atau disebut juga Physical Quality of Life Indeks (PQLI) merupakan
indikator gabungan (Composit Indicator) yang terdiri atas 3 unsur yang
dinilai cukup valid untuk menggambarkan kualitas sumberdaya manusia.
Ketiga indikator yang dimaksud ialah :
i. Angka kematian bayi (Infant Mortality Rate = IMR)
ii. Angka harapan hidup pada usia 0 (Life Expectancy = LE)
iii. Angka melek huruf penduduk usia 10 th keatas (Literacy Rate = LR)
Sebagai suatu mocel gabungan, IKH dinilai mempunyai kepekaan
yang tinggi untuk mengukur hasil dari suatu proses pembangunan
ekonomi dalam suatu masyarakat.
Informasi dasar yang diperlukan dalam pengukuran IKH adalah
data mengenai ketiga indikator tersebut di atas pada tahun yang sama.
Tahapan-tahapan pengukurannya adalah sebagai berikut:
(1) Pengumpulan data ketiga faktor yang tergabung dalam IKH, yaitu:
28

a. Angka Kematian Bayi (IMR)


- Angka ini menunjukkan jumlah rata-rata kematian bayi dalam setiap
1000 kelahiran pada suatu wilayah tertentu.
- Angka IMR ini oleh para ahli dipandang sebagai salah satu indikator
yang mampu mengukur perkembangan pembangunan ekonomi
suatu masyarakat.
- Data yang dibutuhkan untuk menghitung IMR ialah jumlah anak usia
dibawah 1 tahun yang meninggal pada suatu wilayah, serta jumlah
kelahiran di wilayah tersebut pada periode tahun yang sama.
Tetapi karena data yang dimaksud biasanya sulit diperoleh secara
akurat di seluruh wilayah, maka dianjurkan untuk mengutip saja
hasil perhitungan terakhir mengenai IMR dari pihak / instansi yang
berkompeten seperti Dep. Kesehatan, Kantor Statistik, BKKBN,
ataupun dari Lembaga Demografi pada Perguruan Tinggi setempat.
- Diumpamakan angka IMR yang diperoleh itu adalah 85. Itu berarti
dalam setiap 1000 kelahiran ada 85 bayi yang meninggal sebelum
mencapai ulang tahunnya yang pertama.
b. Angka Harapan Hidup (Life Expectancy)
- Angka ini mengukur jumlah rata-rata tahun (umur) yang diharapkan
oleh seseorang yang baru lahir untuk dijalani sampai meninggal
kelak. Indikator inipun jelas dapat menggambarkan tingkat kualitas
hidup penduduk melalui tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
dasarnya. Semakin besar angka harapan hidup (LE) berarti
semakin tinggi pula kualitas hidup penduduk yang bersangkutan.
- Seperti halnya pada perhitungan IMR, angka harapan hidup (LE) ini
juga dianjurkan untuk dikutip dari hasil perhitungan yang sudah
dilakukan oleh pihak/instansi yang berkompeten seperti yang
disebutkan di atas, karena untuk menghitung sendiri angka LE ini
sangat rumit bagi mereka yang bukan ahlinya. Hal ini tidak menjadi
masalah karena data mengenai LE dipublikasikan secara berkala
oleh instansi-instansi tersebut di atas.
- Jika diumpamakan angka harapan hidup (LE) yang diperoleh untuk
suatu wilayah kabupaten adalah 58, ini menunjukkan bahwa setiap
anak yang lahir di wilayah tersebut pada periode tahun yang
bersangkutan, dapat mengharapkan hidup rata-rata selama 58
tahun.
29

c. Angka Melek Huruf (Literacy Rate)


Angka ini mengukur proporsi penduduk yang berusia 10 tahun
ke atas yang mampu membaca dan menulis. Jadi yang diukur ialah
kondisi pendidikan dasar penduduk.
Indikator ini dipandang memiliki kepekaan yang tinggi untuk
mengukur potensi pembangunan dan kesempatan-kesempatan yang
dimiliki oleh lapisan penduduk miskin / bawah untuk ikut berperan aktif
dalam pembangunan wilayah.
Data yang dibutuhkan untuk menghitung angka melek huruf
(LR) ialah data mengenai jumlah penduduk yang berusia 10 tahun ke
atas dan data mengenai jumlah orang yang mampu membaca dan
menulis huruf latin di antara seluruh penduduk usia 10 tahun keatas
tersebut. Data ini tersedia pada publikasi Biro Pusat Statistik (BPS).
Perhitungan LR dilakukan dengan bantuan rumus:
jumlah penduduk 10 thn keatas yang mampu baca tulis
LP=
jumlah penduduk usia 10 tahun keatas

Jika diumpamakan angka LR yang diperoleh adalah 72,5, ini menunjukkan


bahwa di antara 100 penduduk berusia 10 tahun ke atas terdapat 73
(setelah dibulatkan) yang mampu membaca dan menulis huruf latin.
1. Perhitungan IKH
Setelah data / angka ketiga faktor tersebut di atas diperoleh, maka IKH
dapat dihitung dengan rumus berikut:
IKH = 1/3 [{(229-IMR)/2,22} + {(LE-38)/0,39} + LR]
dengan:
IMR = Angka Kematian Bayi
LE = Angka Harapan Hidup
LR = Angka Melek Huruf
Angka-angka yang tercantum dalam rumus di atas yaitu 1/3 ; 2,22;
0,39; 229 dan 38 merupakan konstanta.
Angka IKH yang dihasilkan dari perhitungan dengan rumus di atas
akan bergerak antara 0 sampai dengan 100, semakin dekat angka IKH
ke 100 berarti kualitas hidup penduduk makin tinggi pula. Demikian
pula sebaliknya.
Sebagai patokan umum dalam mengukur kualitas hidup pada masing-
masing wilayah, maka pengelompokannya adalah sebagai berikut:
kualitas hidup rendah : IKH < 50
kualitas hidup sedang : 50 < IKH < 75
kualitas hidup tinggi : IKH > 75
30

Contoh:
Perhitungan IKH dengan menggunakan contoh angka IMR, LE dan LR
yang ditemukan di sebelumnya yaitu masing-masing 85, 58, dan 72,5
akan menghasilkan IKH sebagai berikut:
IKH = 1/3 [{(229-85)/2,22} + {(58-38)/0,39} + 72,5]
IKH = 62,8
Berdasarkan pengelompokan sebelumnya, maka angka IKH yang
dihasilkan dari perhitungan diatas yakni 62,8 adalah termasuk kategori
sedang.
Kelebihan:
- Berlaku umum bagi berbagai model pembangunan.
- Terhindar dari ukuran-ukuran yang menggambarkan nilai khusus
masyarakat tertentu
- Mengukur hasil/output proses pertumbuhan ekonomi (pembangunan).
- Sederhana dan prosesnya mudah dimengerti
- Dapat dibandingkan (comparable) secara internasional.
Kelemahan
- Data indikator mengenai ketiga faktor dalam IKH seringkali kurang
tersedia di setiap kabupaten
- Angka IKH ini kurang tajam dalam mengukur tingkat pendapatan
masyarakat, padahal tingkat pendapatan sering pula dijadikan tolok ukur
kualitas kehidupan ekonomi masyarakat.

7. Indikator Tingkat Pendidikan Masyarakat


Indikator tingkat pendidikan dapat mengukur sejauh mana
perkembangan wawasan, aspirasi, pengetahuan dan keterampilan
penduduk untuk meningkatkan kemampuannya mengolah sumberdaya
alam serta untuk mengembangkan hubungan-hubungan sosialnya. Untuk
maksud ini terdapat 3 metoda pengukuran yang dinilai cukup valid untuk
mengukur perkembangan pendidikan dimaksud, yaitu :
(i) Rasio Pendaftaran Sekolah (Enrolment Ratio)
Metode ini mengukur proporsi anak usia sekolah yang benar-benar
sudah terdaftar di sekolah menurut jenjangnya masing-masing.
Menurut kelompok usianya, maka ukuran Enrolment Ratio (ER) dapat
dibagi atas 3 kategori, yaitu:
- ER untuk SD bagi usia 7-12 tahun
- ER untuk SLTP bagi usia 13-15 tahun
- ER untuk SLTA bagi usia 16-18 tahun
31

Langkah pertama untuk menghitung ER ialah mengumpulkan data


mengenai jumlah anak seluruhnya pada kelompok umur 7-12 tahun; 13-15
tahun; dan 16-18 tahun. Kemudian dikumpulkan pula data mengenai
jumlah anak pada masing-masing kelompok umur yang benar-benar
terdaftar di sekolah.
Kedua macam data tersebut cukup mudah diperoleh dari instansi terkait
seperti DIKBUD atau Kantor Statistik.
Setelah data tersebut diperoleh maka ER untuk masing-masing jenjang
sekolah dapat dihitung dengan rumus :

ERi = jumlah anak usia (i) yang bersekolah


jumlah anak usia (i)
dengan (i) menunjukkan kelompok usia atau jenjang pendidikan masing-
masing.
Contoh:
Pada suatu kabupaten jumlah anak usia 13-15 tahun adalah 81.500
orang. Diantara jumlah itu terdapat 56.200 yang sedang bersekolah
ditingkat SLTP, maka ER-nya (tingkat SLTP) adalah:
(56.200 / 81.500) * 100 = 68,9
Dengan cara yang sama dapat dihitung ER untuk SD dan SLTA.
Sebagai patokan penilaian, ER yang dinilai menunjukkan perkembangan
pendidikan yang tinggi adalah:
- SD = 100 atau mendekati 100
- SLTP = sekitar 80
- SLTA = sekitar 60
Kelebihan:
- Mudah dihitung dan datanya mudah diperoleh.
- Mudah dibandingkan dengan wilayah atau daerah lain karena sangat
umum digunakan untuk memantau perkembangan pendidikan
masyarakat.
Kelemahan :
- Belum menggambarkan kualitas pendidikan itu sendiri. Sehingga suatu
wilayah yang lebih tinggi Enrolment Ratio-nya belum otomatis juga lebih
tinggi perkembangan tingkat pengetahuan dan keterampilan
masyarakatnya dibandingkan dengan wilayah yang lebih rendah ER-
nya.
32

(ii) Status Pendidikan (Educational Attainment)


Metoda ini mengukur jenjang pendidikan formal yang telah
diselesaikan oleh penduduk yang berusia 10 tahun ke atas. Jadi dapat
dipakai untuk mengukur kualitas sumberdaya manusia, terutama yang
berhubungan dengan aspek wawasan, pengetahuan dan keterampilan.
Ukuran yang umum digunakan ialah mengelompokkan penduduk
usia 10 tahun ke atas menurut jenjang pendidikan formil yang telah
diselesaikan ke dalam 7 kelompok sebagai berikut:
- tidak sekolah (TS)
- tidak tammat SD (TTSD)
- SD tammat
- SLTP
- SLTA
- Akademi
- Universitas / Institut / Sekolah Tinggi
Pengelompokan di atas 32ector32e mudah dilakukan karena datanya
banyak tersedia pada instansi-instansi yang berkompoten seperti
BAPPEDA, Kantor Statistik, dan Kantor DIKBUD setempat.
Penyederhanaan 32ector32e32 status pendidikan ini dapat dilakukan
dengan membagi dua penduduk usia 10 tahun ke atas menurut kelompok
pendidikan formil yang telah diselesaikan, yaitu menjadi:
- penduduk berpendidikan kurang dari SLTP
- penduduk berpendidikan SLTP ke atas.
Alasan pengelompokan di atas ialah bahwa dengan melewati SLTP ke
atas seseorang telah mengalami peningkatan wawasan dan pengetahuan
secara cukup substantial, yang memperbesar aksesnya terhadap
berbagai macam informasi dan keterampilan yang diperlukan dalam
pengembangan sumberdayanya.
Makin besar proporsi penduduk yang berpendidikan SLTP ke atas berarti
kualitas sumberdaya manusia semakin tinggi pula.
Sebagai patokan umum, suatu wilayah dapat dinilai tinggi status
pendidikan penduduknya apabila proporsi penduduk usia 10 tahun ke atas
yang berpendidikan SLTP ke atas mencapai minimal 40%.
Kelebihan:
Data yang dibutuhkan mudah diperoleh demikian pula proses
perhitungannya. Ukuran ini juga sudah langsung menggambarkan secara
umum tingkat kualitas sumber daya manusia dengan melihat jenjang
pendidikan formilnya masing-masing.
Kelemahan :
33

Seringkali data yang diperoleh kurang akurat atau kurang 33ector. Sebab
pendataan yang demikian ini biasanya dilakukan paling cepat lima tahun
sekali sejalan dengan pelaksanaan sensus atau survey penduduk antar
sensus.
(iii) Rasio Guru dan Murid
Metode ini mengukur jumlah murid yang dilayani oleh setiap guru
dalam proses belajar mengajar, jadi secara tidak langsung mengukur
kualitas proses pendidikan di suatu wilayah.
Perhitungan Rasio Guru-Murid dilakukan menurut jenjang pendidikan,
yaitu rasio guru-murid pada SD, SLTP dan SLTA.
Data yang diperlukan ialah jumlah guru serta jumlah murid/siswa
keseluruhan-nya di suatu wilayah menurut jenjangnya masing-masing.
Cara perhitungannya ialah dengan rumus sederhana:
jumlah murid
Ratio Guru dan Murid ________________
jumlah guru
Contoh:
Di kabupaten X terdapat 87.500 murid SD, dengan jumlah guru sebanyak
1950 orang, maka rasio guru-murid untuk tingkat SD adalah :
87500 / 1950 = 44,9 dibulatkan menjadi 45.
Artinya setiap guru SD di kabupaten ini melayani rata-rata 45 orang murid.
Dengan prosedur yang sama dapat dihitung rasio guru-murid pada tingkat
SLTP das SLTA.
Makin kecil rasio guru-murid menunjukkan makin tingginya intensitas
proses belajar mengajar, yang berarti pula makin tingginya kualitas proses
pendidikan di wilayah yang bersangkutan.
Sebagai patokan umum dalam penilaian, rasio guru-murid yang dinilai baik
dan mampu meningkatkan kualitas proses belajar mengajar secara nyata
adalah:
- SD = 1: 30 sampai 40
- SLTP = 1: 20 sampai 25
- SLTA = 1:15 sampai 20
Kelebihan :
Mudah dihitung dan datanyapun mudah diperoleh, karena data mengenai
rasio guru-murid ini setiap tahun diremajakan oleh Kantor Depdikbud.
Kelebihan lainnya adalah metoda ini dapat menjelaskan kualitas dari
proses pendidikan yang terjadi pada suatu wilayah.
Kelemahan :
Metoda ini menjelaskan perkembangan proses belajar mengajar
dikalangan penduduk yang hanya sementara terdaftar pada pendidikan
34

formal. Jadi tidak mampu mengukur kegiatan pendidikan di luar


persekolahan (pendidikan formal).
Kelemahan lainnya ialah metoda ini belum menggambarkan penyebaran
guru-guru menurut subjek pendidikan, melainkan hanya penyebaran
menurut jumlah totalnya saja.

6. Metode Partisipasi Kelembagaan


Metoda ini digunakan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan Desa
Departemen Dalam Negeri untuk mengukur sampai sejauh mana lembaga
kemasyarakatan formal yang ada, telah melakukan fungsinya dengan
baik. Dengan mengukur aktifitas lembaga tersebut, maka sebenarnya
berarti pula mengukur partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan
pembangunan, karena lembaga-lembaga formal tersebut merupakan pula
wadah interaksi antara pemerintah dan masyarakat dalam melakukan
kegiatan-kegiatan pembangunan. Di antara keseluruhan lembaga formal
yang ada ditengah-tengah masyarakat desa/kelurahan, ada empat yang
merupakan inti, dalam arti pembentukan dan pembinaannya dilakukan
serentak di seluruh Indonesia, dan berdasarkan pada Undang-Undang
atau Peraturan Pemerintah.
Ke empat lembaga format dimaksud adalah Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD), Koperasi Unit Desa (KUD), Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan Karang Taruna.
LKMD merupakan lembaga kemasyarakatan yang keberadaannya di
tiap desa dan kelurahan didasarkan atas Undang-Undang No.5/1979
tentang penyelenggaraan pemerintahan desa/kelurahan. LKMD
merupakan wadah koordinasi dan pelaksanaan berbagai aspek
kegiatan masyarakat.
KUD merupakan lembaga kemasyarakatan yang berfungsi
menyalurkan atau mengkoordinasikan aktivitas perekonomian
masyarakat
PKK merupakan lembaga yang berfungsi mengkoordinasikan berbagai
kegiatan kaum wanita,
sedangkan Karang Taruna mewadahi berbagai kegiatan kaum remaja
dan pemuda.
Mengingat fungsi dari keempat lembaga tersebut yang mewakili
34ector semua lapisan masyarakat, maka keempatnya dipilih sebagai
34ector34e34 untuk mengukur sampai sejauh mana potensi kelembagaan
dalam masyarakat mampu mendorong produktivitas mereka.
Informasi yang dibutuhkan untuk pengukuran ini adalah data kegiatan
lembaga-lembaga yang dimaksud, baik kegiatan administratifnya maupun
35

kegiatan operasionalnya masing-masing. Data ini dapat diperoleh secara


langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu dengan
mengadakan pengamatan di lapang dengan menghimpun informasi dari
kalangan masyarakat setempat tentang aktifitas lembaga yang dimaksud.
Tetapi karena cara langsung ini memerlukan waktu dan biaya yang besar,
maka disarankan untuk mengumpulkan data tersebut dari Kantor
Pemerintah Wilayah setempat cq. Kantor Pembangunan Desa
(BANGDES). Kantor ini melakukan monitoring setiap tahun mengenai
perkembangan pembangunan desa, dimana aspek kegiatan lembaga-
lembaga kemasyarakatan merupakan salah satu indikator yang diukur.
Langkah-langkah pengukuran potensi kelembagaan dengan
menggunakan metoda partisipasi kelembagaan tersebut di atas adalah
sebagai berikut:
Keempat lembaga yang disebutkan di atas, diukur aktivitasnya (di tingkat
desa) dan hasilnya dikelompokkan kedalam 3 kategori, yaitu:
a. Aktif; dengan kondisi utama :
kegiatan pengurusnya berjalan baik
administrasi perkantoran berjalanteratur
mempunyai kegiatan-kegiatan nyata sesuai yang digariskan oleh
pedoman dasar lembaga atau oleh keputusan-keputusan rapat.
b. Berkembang; dengan kendala utama :
kepengurusannya belum terkonsolidasi dengan baik, misalnya
rapat sangat jarang diadakan.
administrasi kantor belum teratur, misalnya belum ada jadwal
berkantor bagi pengurus.
kegiatan-kegiatan yang dilakukan belum lancar dan belum
terjadwal dengan baik.
c. Passif; dengan kendala utama :
kepengurusan belum berfungsi
perkantoran belum berjalan, atau bahkan belum punya kantor.
kegiatan-kegiatan belum ada yang melembaga.
Hasil pengelompokan lembaga-lembaga seperti disebut di atas
telah tersedia di Kantor BANGDES setempat.
Tahap selanjutnya, pengelompokan tersebut diagregasikan ke tingkat
kabupaten, serta diberikan skor masing-masing sebagai berikut:
a. Tinggi:
Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat 70% atau lebih dari
seluruh lembaga dimaksud masuk dalam kelompok aktif. Diberi skor
dalam skala 8-10.
36

b. Sedang:
Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat 50%-69% dari seluruh
lembaga dimaksud masuk dalam kelompok aktif. Diberi skor dalam
skala 5-7.
c. Rendah:
Apabila diseluruh kabupaten tersebut terdapat kurang dari 50%
diantara lembaga dimaksud masuk dalam kelompok Aktif. Diberi skor
1-4.
Dengan cara agregasi ini maka pada tingkat kabupaten akan diperoleh
36ecto pengelompokan lembaga-lembaga yang diukur menurut tingkat
aktifitas dan skornya masing-masing sebagai berikut:

RENDAH SEDANG TINGGI


LEMBAGA
(SKOR) (SKOR) (SKOR)
LKMD 1-4 5-7 8-10
KUD 1-4 5-7 8-10
PKK 1-4 5-7 8-10
KARANG TARUNA 1-4 5-7 8-10

Terakhir, dengan menghitung skor kumulatif dari keempat lembaga


tersebut di atas maka dapat dinilai tinggi rendahnya potensi kelembagaan
pada kabupaten yang bersangkutan dengan klasifikasi sebagai berikut:
- rendah : memiliki skor < 27
- sedang : memiliki skor antara 27 33
- tinggi : memiliki skor > 33
Contoh:
Suatu kabupaten dengan pengelompokan tingkat aktifitas kelembagaan
sebagai berikut:

LEMBAGA PENILAIAN SKOR


LKMD TINGGI 9
KUD SEDANG 6
PKK TINGGI 8
K. TARUNA RENDAH 4
SKOR KUMULATIF 27

Dengan skor kumulatif 27, maka potensi kelembagaan di kabupaten yang


bersangkutan dapat diklasifikasikan sedang.
Kelebihan :
37

- Sederhana perhitungannya dan datanya sangat mudah diperoleh,


karena pihak Pemda cq. Kantor BANGDES secara rutin mengadakan
pemantauan dan evaluasi. Hasil evaluasi tersebut dapat digunakan
sebagai data dalam pengukuran ini.
Kelemahan:
- Penilaian terhadap tingkat kegiatan lembaga yang dimaksud 37ect
bersifat subjektif dari pihak yang dinilai.
- Ada kemungkinan lembaga yang dinilai tersebut sangat aktif, hanya
karena ditunjang oleh mobilisasi aparat pemerintah setempat, tetapi
kurang melibatkan seluruh lapisan masyarakat.
7. Analisis Dinamika Sosial Masyarakat
Analisis dinamika sosial masyarakat diarahkan untuk mengetahui
sampai sejauh mana norma-norma sosial budaya atau tata nilai yang
dianut mempengaruhi pola sosial dan pola prilaku para warga masyarakat,
baik dalam arti positif maupun negatif. Pengaruh sistem nilai ini akan
mempengaruhi dinamika sosial masyarakat secara keseluruhan dan pada
gilirannya akan mendorong atau menghambat usaha-usaha peningkatan
produktivitas masyarakat.
Walaupun masalah sistem nilai budaya bersifat abstrak, namun
terdapat beberapa pendekatan yang cukup baik untuk dipakai menilai
pengaruh sosial budaya tersebut terhadap dinamika sosial masyarakat,
misalnya pendekatan yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal
Pembangunan Desa, Departemen Dalam Negeri.
Pendekatan dimaksud mengelompokkan masyarakat menurut
keterikatan para individu/keluarga dengan nilai-nilai budaya yang dianut
ke dalam tiga golongan, yaitu:
(i) Masyarakat Terbuka
Yaitu masyarakat yang sebagian besar keluarga dalam masyarakat
tersebut telah terbuka terhadap inovasi atau pengaruh baru dari luar, baik
dalam bentuk teknologi, maupun dalam cara berfikir dan berprilaku.
Ciri masyarakat terbuka yang dapat diobservasi antara lain :
- Rasional dalam interaksi faktor-faktor dominan, dibarengi dengan
menurunnya nilai gotong royong.
- Rasional dalam hubungan manusia dengan lingkungan alam,
dibarengi dengan semakin berkurangnya berbagai macam ritual-
ritual tradisional.
- Kegiatan ekonomi masyarakat didominasi oleh orientasi komersial,
menggantikan oririentasi sub-sistem.
(ii) Masyarakat Transisi
38

Adalah masyarakat yang pola sosial dan prilaku sebagian besar


keluarga dalam masyarakat tersebut disamping masih dipengaruhi oleh
nilai budaya tradisional, juga telah mulai dapat menerima pengaruh-
pengaruh baru dari luar.
Ciri-ciri dari masyarakat transisi antara lain:
- Rasionalisme dalam interaksi sosial umumnya masih terbatas pada
aspek-aspek perekonomian. Sementara pada aspek non-ekonomi
masih dipengaruhi oleh faktor emosional dan solidaritas kelompok.
- Selain menerima ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan
pengolahan sumberdaya alam, Faktor-faktor kepercayaan
tradisional masih juga berpengaruh. Ditandai dengan masih
banyaknya upacara tradisional yang berhubungan dengan aktivitas
dan siklus hidup.
(iii) Masyarakat Tradisional
Adalah masyarakat yang pola sosial dan prilaku sebagian besar
warganya masih didominasi oleh nilai-nilai tradisional yang diwarisi secara
turun temurun.
Ciri utama masyarakat tradisional antara lain:
- Interaksi sosial antara warga masyarakat masih didominasi oleh
semangat solidaritas kelompok yang sifatnya cenderung emosional
dan subyektif.
- Hubungan dengan alam sekelilingnya masih amat didominasi oleh
kepercayaan tradisional. Upacara-upacara tradisional sangat
mewarnai aktivitas warga masyarakat dalam berbagai 38ector
kehidupan.
- Kegiatan ekonomi masyarakat umumnya bersifat sub-sistem untuk
pemenuhan kebutuhan keluarga dalam jangka pendek.
Data yang diperlukan dalam penilaian ini dapat diperoleh melalui
penelitian langsung di lapang, tetapi dapat pula dicari pada kantor
Bangdes setempat, yang merupakan bagian dari evaluasi tahunan untuk
menilai perkembangan desa/kelurahan dari swadaya ke
swakarya/swasembada.
10. Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah
Metoda perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah
digunakan untuk membandingkan tingkat atau derajat perkembangan sub-
wilayah yang terdapat pada suatu wilayah dengan menggunakan
beberapa indikator sosial-ekonomi.
Metoda ini berbasis pada metoda pembobotan (ranking methods)
dan terdiri atas beberapa langkah, yaitu :
39

1. Menentukan indikator sosial ekonomi.


Indikator sosial ekonomi dimaksud disini adalah indikator yang
secara langsung maupun tidak langsung mengukur tingkat pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat, seperti: keadaan perumahan, tingkat
pendidikan, derajat kesehatan, kesempatan kerja, dan aksesibilitas ke
fasilitas pelayanan umum dan ke sumber-sumber informasi.
a. Perumahan
Keadaan perumahan dapat diukur dengan menggunakan
beberapa indikator seperti persentasi jumlah rumah tangga yang
memiliki (i) sumber air bersih, (ii) WC, (iii) listrik dan (iv) kondisi rumah,
diukur dengan sekurangnya dua dari tiga elemen utama bangunan
rumah (dinding, atap dan lantai) terbuat dari bahan permanen.
b. Pendidikan
Tingkat pendidikan diukur dengan indikator : (i) persentase /
jumlah penduduk yang melek huruf, (ii) persentasi jumlah anak usia
sekolah yang bersekolah dan (iii) persentasi murid SMP dibandingkan
dengan jumlah penduduk, (iv) persentase jumlah penduduk yang lulus
sekolah (pada tingkatan tertentu) terhadap jumlah penduduk, dan
indikator lainnya.
c. Kesehatan
Derajat kesehatan antara lam dapat diukur dengan tingkat
pelayanan kesehatan dengan indikator berupa (i) jumlah fasilitas
pelayanan kesehatan untuk setiap luasan wilayah tertentu, (ii) jumlah
dokter / paramedis untuk setiap 1000-orang penduduk, (iii) jumlah
tempat tidur di rumah sakit untuk setiap 1000 orang penduduk dan (iv)
jumlah kematian balita atau tingkat mortalitas penduduk.
d. Kesempatan kerja
Persentasi jumlah penduduk usia kerja yang bekerja dapat
digunakan sebagai indikator kesempatan kerja.
e. Tingkat Aksesibilitas
Aksesibilitas ke pusat-pusat pelayanan antara lain dapat diukur
dengan jarak dan kondisi jalan, sedangkan aksesibilitas ke sumber-
sumber informasi dapat diukur dengan (i) persentase jumlah fasilitas
komunikasi (telefon misalnya), (ii) jumlah pesawat radio, dan (iii)
jumlah pesawat TV, masing-masing dihitung per 1000 orang
penduduk.
40

Indikator-indikator pembanding yang disebutkan di atas


merupakan alternatif. Para penyusun rencana tata ruang dianjurkan
untuk memperkayanya, yaitu antara lain dengan menggunakan
serangkaian informasi yang berkaitan dengan tingkat perkembangan
sosial dan ekonomi yang dijabarkan pada bab 6 Buku Pedoman
Teknik Penataan Ruang Wilayah. Makin bervariasi jumlah indikator
yang digunakan akan semakin akurat pula indeks tingkat
perkembangan wilayah yang dihasilkan.
Nama dan atau kode dari setiap indikator yang berhasil
diidentifikasi tadi ditulis berderet dalam satu baris yang sama.
2. Mengumpulkan dan mengisi data ke dalam tabel.
Data-data yang berkaitan dengan indikator-indikator tersebut dari
setiap sub wilayah perencanaan dikumpulkan dan diletakkan tepat
dibawah nama dan atau kode indikatornya masing-masing, dimulai dari
sub wilayah perencanaan yang pertama pada baris kedua, data dari sub
wilayah perencanaan yang kedua pada baris yang ketiga, dan seterusnya.
3. Pemberian nilai.
Nilai nominal yang diperoleh pada langkah kedua diberi nilai
dengan cara sebagai berikut:
- membagi rentang nilai yang ada untuk setiap indikator menjadi 3
kelompok.
- indikator yang memiliki nilai yang termasuk ke dalam kelompok dengan
rentang nilai terbesar diberi nilai 3, yang termasuk dalam kelompok
dengan rentang nilai terbesar kedua diberi nilai 2, dan sisanya diberi
nilai 1.
- langkah pada butir di atas diulangi untuk setiap indikator yang ada.
4. Pemberian bobot untuk setiap indikator
Setiap indikator memiliki kontribusi yang berlainan terhadap
pencapaian derajat kesejahteraan yang diukur dengan tingkat pemenuhan
kebutuhan dasar. Oleh karena itu setiap indikator perlu diberi bobot yang
sebanding dengan kontribusinya masing-masing. Besar bobot untuk
setiap indikator tergantung kepada penilaian si perencana.
5. Menghitung indeks perkembangan pada sub-wilayah.
Nilai yang diperoleh untuk setiap indikator, setelah dikalikan
dengan bobotnya masing-masing, dijumlahkan dan hasilnya merupakan
indeks tingkat perkembangan yang dicari.
41

6. Interpretasi Hasil.
Hasil perhitungan indeks tingkat perkembangan wilayah
dikelompokkan ke dalam tiga kategori. Kelompok dengan indeks
perkembangan tertinggi diinterpretasikan sebagai sub wilayah yang
memiliki tingkat perkembangan terbaik dibandingkan dengan sub wilayah
lainnya yang ada di dalam lingkup wilayah perencanaan. Kelompok
dengan indeks perkembangan menengah merupakan sub wilayah dengan
tingkat perkembangan sedang, sedangkan yang terakhir, yaitu kelompok
yang memiliki nilai terkecil merupakan kelompok sub wilayah yang
memiliki tingkat perkembangan yang terbelakang dibanding dengan sub
wilayah lainnya.
Contoh Perhitungan.
Contoh perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah dengan
menggunakan data Kabupaten Maros, Propinsi Sulawesi Selatan.
Data dari berbagai indikator. sosial ekonomi diperlihatkan pada Tabel 2.5
sampai dengan 2.9
Tabel 2.5. Indikator Perumahan

Persentase Jumlah Rumah Yang Memiliki Kondisi


Kecamatan
Sumber Air WC Listrik Perumahan
1. Mandai 24,65 8,12 47,59 43,55
2. Tanralili 4,83 1,55 2,51 38,09
3. Camba 6,00 1,92 10,73 42,01
4. Mallawa 12,46 3,99 9,88 44,51
5. Bantimurung 3,76 1,20 6,88 34,15
6. Maros Baru 11,81 3,79 2,68 28,17
7. Maros Utara 35,53 11,40 19,57 47,08

Tabel 2.6. Indikator Pendidikan

% Melek % Pend. Terdaftar di % Pend. Lulus Dari


Kecamatan f
Huruf SD SLTP SD SLTP
1. Mandai 76,87 70,35 6,31 21,14 13,43
2. Tanralili 75,53 40,81 1,57 8,30 3,97
3. Camba 72,52 50,43 2,39- 10,37 6,49
4. Mallawa 29,74 31,97 2,48 12,36 7,51
5. Bantimurung 84,16 49,21 2,71 11,55 6,71
6. Maros Baru 94,81 81,23 3,85 21,27 10,91
7. Maros Utara 78,80 65,10 5,24 15,16 8,00
42

Tabel 2.7. Indikator Kesehatan


Fasilitas Para Tingkat
Kecamatan Dokter Dukun
Kesehatan medis Mortalitas
1. Mandai 0,0634 0,11 0,66 0,87 59
2. Tanralili 0,0086 0,07 0,43 0,67 67
3. Camba 0,0108 0,08 0,45 0,72 72
4. Mallawa 0,0146 0,18 1,09 1,90 69
5. Bantimurung 0,0111 0,04 0,21 0,48 70
6. Maros Baru 0,0196 0,12 0,31 0,38 48
7. Maros Utara 0,0226 0,16 0,8ft 1,01 62
Catatan:
Kolom 2,3,4 dan 5 menyatakan angka untuk setiap 1000 orang penduduk

Tabel 2.8. Indikator Kesempatan Kerja


Kecamatan % jumlah penduduk yang bekerja
1. Mandai 15,11
2. Tanralili 5,11
3. Camba 6,00
4. Mallawa 14,81
5. Bantimurung 3,06
6. Maros Baru 23,68
7. Maros Utara 41,75

Tabel 2.9. Indikator Aksesibilitas


Jarak ke Kondisi
Kecamatan Telepon TV Radio
Ibukota Kab. Jalan
1. Mandai 1,95 12 72 10-15 21,85
2. Tanralili 0 8 62 20-25 14,21
3. Camba 0 7 55 30-35 18,76
4. Mallawa 0 6 53 20-25 10,21
5. Bantimurung 1,58 9 63 20-25 16,45
6. Maros Bam 11,20 17 87 0-5 36,65
7. Maros Utara 14,75 15 76 10-15 29,17

Catatan:
Kolom 2,3 dan 4 dinyatakan untuk setiap 1000 orang penduduk.
43

Perhitungan Indekss Tingkat Perkembangan Wilayah diperlihatkan


pada Tabel 10. Pada perhitungan ini setiap indikator diberi bobot yang
sama atas dasar asumsi bahwa indikator-indikator tersebut memberikan
kontribusi yang sama terhadap pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan
pendekatan ini diperoleh nilai total (yang dicantumkan pada kolom
terakhir), yaitu dengan menjumlahkan nilai rata-rata dari setiap indikator.
Hasil pembobotan di atas memperlihatkan bahwa kecamatan Maros Utara
dan kecamatan Mandai tergolong sebagai kecamatan yang paling
berkembang, kecamatan Maros Bam memiliki tingkat perkembangan
menengah, sedangkan kecamatan lainnya termasuk dalam kelompok
kecamatan yang memiliki tingkat perkembangan yang relatif
terkebelakang.
Untuk mendapatkan basil yang lebih akurat, maka komponen-
komponen dari setiap indikator dapat pula diberi bobot. Misalnya untuk
indikator kesehatan, bobot yang diberikan kepada Dokter seyogyanya
berbeda dengan yang diberikan kepada Para Medis atau Dukun. Babkan
untuk lebih akurat lagi, komponen-komponen dari setiap indikator perlu
dikelompokkan terlebih dahulu sesuai dengan karakteristik yang
dimilikinya, kemudian untuk setiap kelompok yang terbentuk dilakukan lagi
pembobotan.
Sebagai contoh, pendekatan pembobotan bertingkat dimaksud
dilakukan untuk indikator kesehatan. Dari data terlihat bahwa komponen
indikator tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu yang menyangkut
sarana kesehatan (jumlah fasilitas pelayanan kesehatan per 1 Km luas
wilayah), tenaga kesehatan (dokter, paramedis dan dukun), dan tingkat
mortalitas. Jika ketiganya diasumsikan memiliki kontribusi yang sama
terhadap derajat kesehatan, maka bobot yang diberikan harus sama, yaitu
masing-masing mendapat 33,33 %. Bobot ini untuk tenaga kesehatan
selanjutnya dibagi lagi untuk dokter, paramedis dan dukun. Misalnya 1
tenaga dokter dianggap setara dengan 6 paramedis dan setara dengan 2
dukun , maka bobot untuk dokter adalah 20 %, paramedis 3,33 %, dan
dukun memperoleh bobot 10 %.
44

Tabel 2.10. Indeks Tingkat Perkembangan Wilayah Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan
PERUMAHAN PENDIDIKAN KESEHATAN KK AKSESIBILITAS TO
KECAMATAN TAL
Al A2 A3 A4 A5 Bl B2 B3 B4 B5 B6 C1 C2 C3 C4 C5 C Dl E1 E2 E3 E4 E5 E

1. Mandai 2 3 3 ii 3 3 3* 3 3 15 3 2 2 1 2 10 1 1 2 2 1 2 8 10,4
2. Tanralili 1 2 5 3 1 1 1 1 7 1 1 1 3 7 1 1 1 1 2 1 6 6,3
3. Camba 1 3 6 2 2 1 1 1 7 1 1 1 3 7 1 1 1 1 3 1 7 6,7
4. Mallawa 1 3 6 1 1 1 1 2 6 3 3 3 3 13 1 1 1 1 2 1 6 7,5
5. Bantimurung 1 1 4 3 2 1 1 1 8 1 1 1 3 7 1 1 1 1 2 1 6 6.2
6. Maros Baru 1 1 4 3 3 2 3 3 14 2 1 1 1 6 2 3 3 3 1 3 13 9,6
$. Marps Utara 3 2 3 11 3 3 3 2 2 13 3 3 2 2 11 3 3 3 3 1 3 13 13,2

Al = % rumah yang memiliki sumber air bersih C1 = Jumlah Fasilitas Kesehatan per 1 km luas wilayah
A2 = % rumah yang memiliki WC C2 = Jumlah Dokter per 1000 orang penduduk
A3 = % rumah yang memiliki aliran listrik C3 = Jumlah Paramedis per 1000 orang penduduk
A4 = % rumah yang 2 dari komponen utamanya (lantai, C4 = Jumlah Dukun per 1000 orang penduduk
dinding dan atap) terbuat dari bahan permanen C5 = Tingkat Mortalitas
A = Nilai total untuk mdikator perumahan C = Nilai total untuk indikator kesehatan
B1 = % penduduk yang mclek huruf E1 = Jumlah pesawat telefon per 1000 orang penduduk
B2 = % penduduk usia sekolah (SD) yang terdaftar pada SD E2 = Jumlah TV per 1000 orang penduduk
B3 = % penduduk usia sekolah (SUIT) yang terdaftar di E3 = Jumlah Radio per 1000 orang penduduk
SLTP E4 = Jarak (dalam km) ke Ibu Kota Kecamatan
B4 = %jumlah penduduk yang lulus SD E5 = Kondisi permukaan jalan penghubung ke Ibu Kota
B5 = %jumlah penduduk yang lulus SLTP Kecamatan
B = Nilai total untuk indikator pendidikan E = Nilai total untuk indikator aksesibilitas
D1 = % penduduk usia kerja yang bekerja
Keunggulan
Metoda ini selain relatif mudah dan membutuhkan data yang umumnya
telah tersedia pada hampir semua kabupaten di Indonesia, juga mampu
memberikan gambaran tentang tingkat perkembangan relatif dari
kecamatan-kecamatan yang ada pada kabupaten yang ditinjau,
khususnya yang berkaitan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan dasar
penduduk. Dengan demikian dapat ditemukenali kecamatan-kecamatan
yang relatif kurang mendapat pelayanan sosial ekonomi yang membutuh-
kan penanganan khusus agar mampu mencapai tingkat pelayanan yang
setara dengan kecamatan lainnya.
Kelemahan
Hasil analisis hanya merupakan potret dari tingkat perkembangan relatif
kecamatan-kecamatan yang terdapat pada kabupaten yang ditinjau, tetapi
tidak memberikan informasi tentang penyebab berkembang atau tidak
berkembangnya suatu kecamatan.
Di samping itu, seperti dengan metoda lain yang berbasis pada skala/
pembobotan, metoda ini cenderung bersifat subyektif. Bobot yang
diberikan pada suatu indikator sangat tergantung kepada penilaian si
perencana yang umumnya dipengaruhi, secara sadar atau tidak sadar,
oleh pertimbangan yang bersifat subyektif.
Pemilihan indikator juga merupakan titik kritis keberhasilan metoda ini
memberikan gambaran nyata tentang tingkat perkembangan kecamatan.
Hasil analisis mungkin kurang tepat disebabkan oleh pemilihan indikator
yang kurang mewakili keadaan yang sebenarnya. Hal ini sulit dihindari,
utamanya bagi perencana pemula, karena suatu indikator mungkin tepat
untuk diterapkan pada suatu wilayah tetapi belum tentu sesuai untuk
wilayah lainnya.
Salah satu upaya untuk mengatasi kelemahan ini adalah menghitung
terlebih dahulu nilai yang diberikan pada suatu kelompok-indikator,
misalnya tingkat aksesibilitas fisik, dengan menggunakan metoda
pengukuran aksesibilitas yang telah baku. Dengan pendekatan ini
"kekeliruan" dalam pemilihan dan pemberian bobot bagi indikator-indikator
aksesibilitas dapat dihindari. Pendekatan ini jelas meminta waktu dan
proses analisis yang lebih rumit, tetapi diimbangi dengan basil analisis
yang relatif lebih akurat.

1
BAB III
ANALISIS EKONOMI WILAYAH

Analisis ekonomi wilayah diarahkan untuk menghimpun informasi


mengenai kinerja ekonomi kabupaten, potensi dan sektor-sektor yang
dapat dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan,
dan masalah-masalah yang dihadapi.

PERTANYAAN / INFORMASI METODA ANALISIS


1. Bagaimana struktur ekonomi dan 1. Perhitungan sumbangan
pergeserannya masing-masing sektor ekonomi
dalam PDRB, dan Analisis
Shift-Share
2. Bagaimana laju pertumbuhan 2. Perhitungan pertumbuhan
ekonomi dalam beberapa tahun ekonomi
terakhir
3. Perhitungan laju pertumbuhan
3. Bagaimana laju pertumbuhan
pendapatan / produktivitas
pendapatan / produktivitas per
kapita
4. Location Quotient, Analisis
4. Sektor-sektor mana saja yang
Input Output dan Analisis Shift-
termasuk sektor basis dan sektor
Share
unggulan
5. Keterkaitan antar sektor dalam 5. Analisis Input Output
kabupaten
6. Bagaimana keterkaitan 6. Analisis Input Output
kesempatan kerja dengan
pertumbuhan ekonomi / sektor
7. Apakah komoditas yang 7. Revealed
dihasilkan memiliki keunggulan ComparativeAdvantage, dan
komparatif atau tidak Biaya Sumberdaya Domestik
8. Bagaimana aspek pemerataan 8. Kurva Lorenz dan Gini Ratio
pendapatan
9. Bagaimana penyebaran aktivitas 9. Indekss Distribusi dan Asosiasi
ekonomi dalam wilayah yang
ditinjau.

2
1. Struktur Ekonomi dan Pergeserannya
Analisis struktur ekonomi digunakan untuk mengetahui sumbangan
atau peranan masing-masing kegiatan ekonomi atau sektor dalam
perekonomian kabupaten secara keseluruhan dalam suatu tahun tertentu.
Dengan kata lain, dengan analisis ini dapat diketahui besarnya persentase
masing-masing kegiatan ekonomi atau sektor dalam Pendapatan
Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupate/kota.
Struktur ekonomi ini bisa mempunyai pengertian yang dinamis
apabila struktur ekonomi tersebut tidak dibatasi pada suatu tahun tertentu
saja, melainkan dalam suatu rangkaian waktu, sehingga dapat dilihat
proses pergeseran struktur ekonomi.
Untuk mengukur struktur ekonomi kabupaten digunakan rumus:
Nilai PDRB setiap sektor
Struktur Ekonomi = * 100%
Nilai PDRB total

Contoh :
Kegiatan ekonomi suatu kabupaten A dikelompokkan dalam tiga sektor
utama, yakni pertanian, industri, dan jasa dengan PDRB sebagai berikut:

SEKTOR PDRB/SEKTOR % DALAM PDRB


Pertanian Rp. 625.000,- 625.000/840.000*100% = 74%
Industri Rp. 125.000,- 125.000/840.000*100% = 15%
Jasa Rp, 90.000,- 90.000/ 840.000 * 100% = 11%
Total Rp. 840.000,-

Dari contoh di atas terlihat jelas bahwa struktur ekonomi kabupaten A


didominasi oleh sektor pertanian karena sumbangan sektor tersebut
paling besar, yakni 74 persen. Berhubung peranan sektor pertanian
dominan pada hampir semua kabupaten di Indonesia, maka yang
dimaksud pergerakan struktur ekonomi adalah menurunnya peranan
sektor pertanian dalam PDRB dari tahun ke tahun dan digantikan oleh
sektor-sektor non-pertanian terutama industri. Jadi untuk mengukur
pergeseran struktur ekonomi, diperlukan perhitungan struktur ekonomi
dalam rangkaian waktu (beberapa tahun) sehingga nampak perubahan
peranan masing-masing sektor dalam PDRB
Data yang diperlukan:
- Untuk perhitungan struktur ekonomi, data yang dibutuhkan adalah PDRB
per sektor menurut harga berlaku atau lebih tepat menurut harga konstan
pada tahun tertentu.

3
- Untuk perhitungan pergeseran struktur ekonomi, data yang dibutuhkan
adalah PDRB menurut harga berlaku atau lebih tepat menurut harga
konstan dalam beberapa tahun.
Keunggulan :
Metoda analisis ini sangat mudah dilakukan karena datanya tersedia pada
hampir semua kabupaten dengan pembagian sektor yang lebih rinci.
Kelemahan :
Salah satu kelemahan dari metoda analisis ini bersumber pada
kelemahan pengukuran PDRB itu sendiri, yakni hanya mengukur kegiatan
produksi yang melalui transaksi pasar. Disamping itu, metoda analisis ini
tidak mampu mendeteksi faktor-faktor penyebab pergeseran struktur
ekonomi dalam suatu kabupaten.
2. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Analisis ini digunakan untuk mengetahui laju pertumbuhan ekonomi
kabupaten dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan ekonomi adalah proses
kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada
proses karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau
perkembangan. Oleh karena itu pemakaian indikator pertumbuhan
ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya
selama Pelita atau periode tertentu, tetapi dapat pula secara tahunan.
Laju pertumbuhan ekonomi diukur melalui indikator perkembangan
PDRB dari tahun ke tahun. Cara menghitung laju pertumbuhan ekonomi
dapat dilakukan dengan tiga metoda, yaitu:
1. Cara Tahunan
PDRBx - PDRBx-1
Laju Pertumbuhan PDRBx = * 100%
PDRBx-1

dengan
PDRBx = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun tertentu
PDRBx-1 = Pendapatan Domestik Regional Bruto 1 tahun
sebelumnya.
Contoh :
Jika PDRB tahun 1983 sebesar Rp.73.697,6 miliar dan tahun 1984
Rp.77.996,8 milliar, maka laju pertumbuhan ekonomi adalah :
Laju Pertumbuhan Ekonomi
= {(77.996,8 73.697,6) / 73.697,6} * 100 % = 5,8 %
2. Cara rata-rata setiap tahun :
PDRBn
r n 1 1*100%
PDRBo

4
Keterangan:
r = laju pertumbuhan ekonomi rata-rata setiap tahun
n = jumlah tahun
PDRBn = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun terakhir periode
PDRBo = Pendapatan Domestik Regional Bruto tahun awal periode

Contoh :
PDRB tahun awal Pelita II (1973) sebesar Rp.9.566,5 miliar dan
PDRB akhir Pelita II (1978) sebesar Rp.6.753,4 miliar.
n=6
9.566,5
r n 1 1
6.753,4
r 5 1,4165 1
log r = {1/5 log 1,4165} 1
= 0,030243 - 1
log r = anti log 0,030243 - 1
= 7,2%

3. Dengan Compounding Factor:


PDRBn = PDRBo * ( 1 + r )n-1
dengan
(1 + r)n-1 = mencerminkan compounding factor
Contoh:
Dengan data yang sama dengan contoh sebelumnya, laju pertumbuhan
ekonomi dihitung kembali dengan menggunakan metoda compounding
factor :
PDRBn = PDRBo * ( 1 + r )n-1
(1 + r) n-1 = PDRBn / PDRBo
(1 + r) 6-1 = 9.566,5 / 6.753,4 = 1,416545

Dengan menggunakan tabel compounding factor diperoleh nilai r yang


mendekati, yakni pada tingkat 7,2%.
Data yang diperlukan :
Sama dengan perhitungan struktur ekonomi dan pergeserannya, metoda
analisis ini membutuhkan data PDRB menurut harga berlaku atau lebih
tepat menurut harga konstan
Keunggulan :
Perhitungannya relatif mudah dan data yang diperlukan tersedia pada
hampir semua kabupaten.
Kelemahan:
Sama pada metoda analisis struktur ekonomi.

5
3. Laju Pendapatan/Produktivitas per Kapita
Dengan metoda analisis ini dapat diketahui pendapatan per kapita
yang menunjukkan kemampuan yang nyata dari suatu kabupaten dalam
menghasilkan barang dan jasa. Pada umumnya pendapatan per kapita
disebut juga produktivitas per kapita. Sesungguhnya ini hanya soal istilah
karena cara perhitungan yang digunakan sama.
Suatu wilayah kabupaten yang memiliki jumlah penduduk yang
tergolong besar dengan laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi,
mempunyai tantangan yang lebih besar daripada kabupaten yang
tergolong kecil dengan laju pertumbuhan rendah. Tingkat kemajuan suatu
kabupaten secara riel: dapat ditunjukkan dengan indikator berikut:
ix = Laju Pertumbuhan PDRBx r
dengan:
r = laju pertumbuhan penduduk (%)
i = laju pendapatan per kapita, jika angkanya negatif berarti kemerosotan
x = tahun tertentu
Sedangkan tingkat produktivitas per kapita suatu kabupaten dapat diukur
dengan indikator:
npx = PDRBx / Px
dengan
np = nilai produktivitas kabupaten per kapita, sering disebut juga
pendapatan per kapita
P = jumlah penduduk
x = tahun tertentu
Contoh :
1. Laju pertumbuhan PDRB tahun 1978 sebesar 7% dan laju
pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun dalam periode 1971-1980
2,1%. Dengan demikian laju produktivitas / pendapatan per kapita
adalah :
ix = 7% -2,1% = 4,9%.
2. PDRB tahun 1980 atas dasar harga konstan 1973 sebesar Rp.11.169
juta, sedangkan penduduk tahun 1980 tercatat 125.000 jiwa. Nilai
produktivitas per kapita per tahun adalah:
npx = Rp. 11.169.000.000 / 125.000 = Rp. 89.352

Data yang diperlukan :


PDRB kabupaten menurut harga konstan pada suatu tahun tertentu dan
pada periode tertentu, jumlah penduduk dan laju pertumbuhan penduduk.

6
Keunggulan:
Di samping perhitungan dan data metoda analisis ini relatif mudah karena
tersedia pada hampir semua kabupaten, hasil perhitungan yang diperoleh
dapat menggambarkan kemampuan riel kabupaten dalam menghasilkan
barang dan jasa karena unsur penduduk digunakan sebagai penimbang
dan pengaruh kenaikan harga sudah dihilangkan.
Kelemahan:
Sama halnya pada perhitungan yang menggunakan rata-rata, metoda
analisis ini tidak menggambarkan tingkat kemakmuran pada berbagai
pelapisan masyarakat.
4. Analisis Location Quotient (LQ)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat
spesialisasi sektor-sektor di suatu kabupaten atau sektor-sektor apa saja
yang merupakan sektor basis atau sektor "leading".
Location Quotient banyak digunakan sebagai alat yang sederhana
untuk mengukur spesialiasi relatif suatu wilayah/kabupaten pada sektor-
sektor tertentu. Location Quotient ini mempunyai penggunaan yang luas
sehingga satuan pengukuran apa saja dapat digunakan untuk
menghitungnya. Untuk ilustrasi yang akan digunakan adalah alat ukur
yang paling umum, yakni kesempatan kerja (employment). Untuk
menghitung Location Quotient kesempatan kerja, maka kesempatan kerja
pada sektor tertentu suatu kabupaten dikaitkan dengan peubah acuan
(reference variable), yakni kesempatan kerja total pada tingkat kabupaten
dan tingkat nasional. Hubungan antara kedua tingkat tersebut
dibandingkan dan dianalisis.
Kesempatan kerja suatu sektor yang disebut peubah spesialisasi,
dikaitkan dengan kesempatan kerja total atau peubah acuan melalui suatu
ratio yang sederhana, kemudian ratio tingkat kabupaten dan tingkat
nasional dibandingkan melalui ratio yang lain. Jadi Location Quotient
merupakan ratio dari ratio.
Rumus yang digunakan adalah:
peubah spesialisasi kabupaten
peubah acuan kabupaten
LQ =
peubah spesialisasi nasional
peubah acuan nasional
Dalam kasus kesempatan kerja, rumus di atas menjadi:
jumlah tenaga kerja suatu sektor kabupaten
jumlah tenaga kerja seluruh sektor kabupaten
LQ =
jumlah tenaga kerja sektor yang sama nasional
jumlah tenaga kerja seluruh sektor nasional

7
Dari perhitungan Location Quotient suatu sektor, aturan umum yang
digunakan adalah :
- Jika LQ > 1, disebut sektor basis, yakni sektor yang tingkat
spesialisasinya lebih tinggi daripada tingkat nasional.
- Jika LQ < 1, disebut sektor non-basis, yakni sektor yang tingkat
spesialisasinya lebih rendah daripada tingkat nasional.
- Jika LQ = 1, tingkat spesialisasi kabupaten sama dengan tingkat
nasional.
Contoh :
Misalkan pada suatu kabupaten, kesempatan kerja di sektor pertanian
adalah 120.000 pada suatu tahun tertentu, kesempatan kerja total
kabupaten tersebut adalah 315.000. Dimisalkan juga pada tahun yang
sama, kesempatan kerja sektor pertanian nasional adalah 10.000.000
dan kesempatan kerja total nasional 36.000.000.
Location Quotient sektor pertanian kabupaten yang bersangkutan
adalah:
120.000
315.000
LQ =
10.000.000
36.000.000

0,38
LQ =
0,28
= 1,4

Metoda analisis ini memerlukan data sektor kabupaten dan propinsi


atau nasional untuk suatu tahun tertentu, atau dalam suatu periode
untuk melihat perubahan LQ setiap sektor.
Apabila digunakan data PDB dan PDRB, maka sebaiknya data
menurut harga konstan yang mencerminkan pendapatan dan produksi
riel.
Keunggulan :
Location Quotient merupakan suatu alat yang dapat digunakan
dengan mudah dan cepat. Location quotient dapat digunakan sebagai
alat analisis awal untuk suatu kabupaten, yang kemudian dapat
dilanjutkan dengan alat analisis lainnya. Berhubung
kesederhanaannya, location quotient dapat dihitung berulang kali
untuk setiap peubah spesialisasi dengan menggunakan berbagai
peubah acuan dan periode waktu.

8
Kelemahan:
Perlu diketahui bahwa nilai perhitungan location quotient dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Nilai hasil perhitungannya bias karena tingkat
disaggregasi peubah spesialisasi, pemilihan peubah acuan, pemilihan
entity yang diperbandingkan, pemilihan tahun dan kualitas data.
5. Analisis Input-Output
Analisis ini menjawab pertanyaan mengenai keterkaitan produksi
(production linkages) di antara berbagai kegiatan ekonomi/sektor dalam
suatu kabupaten pada suatu tahun tertentu. Hal tersebut tercermin dalam
keterkaitan kedepan (forward linkage), keterkaitan kebelakang (backward
linkage), dan pengaruh-ganda (multiplier effects) permintaan akhir (final
demand) dari konsumen, pemerintah, sektor-sektor ekonomi kabupaten,
dan dari luar kabupaten terhadap produksi masing-masing sektor dalam
kabupaten yang bersangkutan.
Analisis input-output didasarkan pada teori keseimbangan umum
(general equilibrium) karena mengintegrasikan permintaan (demand) dan
penawaran (supply), memberikan manfaat antara lain: (a) mampu
memberikan gambaran rinci mengenai perekonomian dengan
mengkuantifikasikan ketergantungan (interdependency) antar sektor, (b)
dapat digunakan untuk memperkirakan dampak permintaan akhir dan
perubahannya terhadap keluaran berbagai sektor produksi, nilai tambah,
penerimaan pajak, kebutuhan tenaga kerja dan sebagainya, (c) dapat
digunakan untuk memproyeksi peubah-peubab ekonomi pada butir b di
atas, dan (d) memberi petunjuk mengenai sektor-sektor yang mempunyai
pengaruh yang terkuat terhadap pertumbuhan ekonomi (sektor leading)
serta sektor-sektor yang peka terhadap pertumbuhan perekonomian
regional dan nasional.
Analisis input-output bertolak dari anggapan bahwa suatu sistem
perekonomian terdiri dari sejumlah kegiatan ekonomi atau sektor- sektor
yang saling berkaitan satu sama lain. Masing-masing sektor
menggunakan keluaran (output) dari sektor lain sebagai masukan (input)
bagi keluaran yang dihasilkannya dan selanjutnya menjadi masukan pula
bagi sektor lain. Transaksi antar sektor ini disebut transaksi-antara atau
permintaan antara (intermediate demand). Di samping menjadi masukan
sektor lain, terdapat pula keluaran dari suatu sektor yang menjadi
masukan bagi sektor itu sendiri, dan sebagai barang konsumsi bagi
pemakai akhir (final demand).
Dalam suatu input-output yang bersifat terbuka dan statis,
transaksi-transaksi yang dikaji dilandasi oleh tiga asumsi dasar sebagai
berikut:

9
- homogenitas atau keseragaman : setiap sektor hanya menghasilkan
satu jenis barang dan jasa dengan masukan tunggal.
- proporsionalitas atau kesebandingan : kenaikan penggunaan masukan
ber-banding lurus dengan kenaikan keluaran.
- additivitas atau penjumlahan : efek total dari kegiatan produksi pada
berbagai sektor merupakan penjumlahan efek masing-masing kegiatan.
Model umum analisis input-output dapat ditulis dalam bentuk notasi
matriks sebagai berikut:
X = AX + F
atau :
X = (I-A)-1 F
dengan :
X = jumlah keluaran yang dihasilkan oleh suatu sektor
A = koefisien masukan, yakni keluaran suatu sektor yang dibeli
oleh sektor lain sebagai masukan untuk menghasilkan satu
unit keluaran
F = permintaan akhir terhadap keluaran suatu sektor
I = matriks identitas, yakni matriks yang elemennya pada
diagonal utama adalah satu dan lainnya nol.
(I - A) = matriks Leontief
(I - A)-1 = matriks kebalikan (inverse) Leontief
Langkah-Langkah Dasar:
Langkah 1: Sebagai langkah awal dalam analisis input-output adalah
menyusun tabel transaksi. Tabel ini berisi keterangan-keterangan
tentang bagaimana, baik dalam satuan kuantitatif fisik atau dalam
satuan mata uang, keluaran suatu sektor terdistribusi ke sektor-
sektor lain sebagai masukan antara dan ke permintaan akhir.
Contoh tabel transaksi yang terdiri atas 3 sektor (pertanian, industri
dan jasa) diperlihatkan pada tabel 3.1.

Tabel 3.1. Matriks Transaksi Perekonomian Kabupaten X Yang Disederhanakan


(dalam Jutaan Rupiah)

Alokasi
Permintaan Antara Permintaan Akhir Jumlah
Keluaran
Keluaran
Susunan Rumah
Pertanian Industri Jasa Lainnya
Masukan Tangga
Masukan Pertanian 3 8 18 100 21 150
Antara Industri 33 10 9 20 8 80
Jasa 15 5 30 7 60
Masukan Upah/Gaji 75 30 12 - - 117
Primer Lainnya 24 27 18 - - 69
Jumlah Masukan 150 80 60 150 36

10
Pembacaan tabel ke samping (baris) menunjukkan bahwa dari jumlah
keluaran sektor pertanian sebanyak 150, senilai 3 digunakan oleh sektor
pertanian sendiri sebagai masukan, senilai 8 digunakan oleh sektor
industri, 18 digunakan oleh sektor jasa, dan sisanya senilai 121 (= 100 +
21) digunakan oleh permintaan akhir sebagai barang konsumsi.
Pembacaan tabel ke bawah (kolom) menunjukkan bahwa dari jumlah
masukan sektor pertanian senilai 150, senilai 3 berupa masukan dari
sektor itu sendiri, senilai 33 masukan dari sektor industri, 15 dari sektor
jasa, dan selebihnya senilai 99 ( = 75 + 24) berupa masukan primer yang
disebut juga nilai tambah bruto (gross valued added). Total nilai tambah
bruto dicantumkan pada kolom terakhir (sel yang diarsir) sebesar 186.
Nilai tambah bruto ini mencerminkan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB) Kabupaten, berupa balas jasa atas pemakaian faktor-faktor
produksi yang terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal dari kewiraswataan.
Dari cara pemasukan angka-angka dengan sistem matriks dapat dilihat
bahwa-tiap angka pada setiap sel muncul dua kali, yakni sebagai elemen
baris dan sebagai elemen kolom. Hal ini menunjukkan keterkaitan
(interdependency) antar-sektor dalam perekonomian.
Tabel transaksi dapat juga ditulis dalam bentuk notasi matriks. Misalkan xij
merupakan keluaran sektor i yang digunakan sebagai masukan oleh
sektor j, Fi merupakan permintaan akhir terhadap keluaran sektor i, Vi
melambangkan nilai tambah sektor i, dan Xj adalah jumlah keluaran sektor
j, maka tabel transaksi dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan berikut:
3
Baris: x
j 1
ij Fi X i ; untuk i = 1,2,3

3
Kolom: x
i 1
ij V j X j ; untuk i = 1,2,3

Langkah 2 : Buat tabel kebutuhan langsung (direct requirement table)


atau matriks teknologi. Tabel ini bersumber dari tabel transaksi,
menunjukkan porsi masukan suatu sektor yang berasal dari sektor
lain (termasuk sektor itu sendiri) untuk setiap unit keluaran yang
dihasilkan. Koefisien tabel ini (dinamakan koefisien teknologi)
dihitung dengan membagi nilai atau elemen setiap kolom sektor-
antara dalam tabel transaksi dengan masukan total:
aij = xij / Xj

dari rumus di atas terlihat bahwa aij merupakan rasio yang


menunjukkan jumlah keluaran sektor i yang digunakan oleh sektor j
sebagai masukan.

11
Cara yang sama dilakukan untuk memperoleh koefisien masukan primer,
yaitu dengan membagi elemen kolom dengan jumlah masukan.
Hasil perhitungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2 menunjukkan bahwa untuk setiap unit yang dihasilkan oleh
sektor pertanian, memerlukan masukan 2 persen dari sektor itu sendiri, 22
persen dari sektor industri, 10 persen dari sektor jasa, dan sisanya, 66
persen masukan primer.
Untuk memudahkan perhitungan selanjutnya, tanpa memasukkan
masukan primer, elemen Tabel 3.2 (aij) dapat disusun dalam bentuk
matriks (matriks koefisien masukan) dengan nama matriks A sebagai
berikut:
0,02 0,100 0,30
A
0,22 0,125 0,15

0,10
0,063 0,05

Tabel 3.2. Tabel Kebutuhan Langsung (Koefisien Masukan/Teknologi)

Keluaran Permintaan Antara


Masukan Pertanian Industri jasa
Masukan Pertanian 0,02 0,100 0,30
Antara Industri 0,22 0,125 0,15
Jasa 0,10 0.063 0,05
Masukan Primer 0,66 0,713 0,50
Masukan Total 1.00 1,000 1,00

Langkah 3 : Tabel selanjutnya yang perlu dibuat adalah tabel jumlah


kebutuhan (total requirement table). Tabel ini bersumber dari
tabel kebutuhan langsung (Tabel 3.2) yang menunjukkan
jumlah masukan langsung dan tidak langsung (masukan untuk
menghasilkan masukan) yang diperlukan oleh sektor-sektor
perekonomian untuk menghasilkan keluaran guna memenuhi
satu unit permintaan akhir. Isi tabel jumlah kebutuhan ini dapat
dihitung dengan memanfaatkan matriks koefisien. Matriks
tersebut perlu dicari kebalikannya (inverse) dengan prosedur
sebagai berikut:
a. Buat matriks Leontief, yakni dengan memperkurangkan matriks
identitas dengan matriks A:

12
1 0 0 0,02 0,100 0,30
( I A)
0 1 0
0,22 0,125 0,15


0 0 1
0,10 0,063 0,05
0,98 0,100 0,30
0,22 0,875 0,15
0,10 0,063 0,95

b. Hitung matriks kebalikan (inverse) Leontief, atau (I - A)-1


Metoda untuk meng inverse matriks tidak dijabarkan disini, hanya
diberikan hasilnya saja:
1,09 0,15 0,37
( I A) 1

0,03 1,20 0,27

0,13 0,09
1,11
Dari perhitungan yang telah dilakukan dapat disusun tabel jumlah
kebutuhan sebagai berikut:

Tabel 3.3. Tabel Jumlah Kebutuhan Input-Output


Memerlukan masukan Keluaran sektor untuk satu unit permintaan akhir
dari sektor Pertanian Industri Jasa
Pertanian 1,09 0,15 0,37
Industri 0,30 1,20 0,28
Jasa 0,13 0,09 1,11

Matriks kebalikan Leontief dalam Tabel 3.3 merupakan peralatan utama


dalam analisis input-output karena dengan peralatan ini dapat segera
dievaluasi pengaruh perubahan permintaan akhir terhadap keluaran bruto
sektor-sektor ekonomi. Selain itu, dengan peralatan ini dapat diketahui
PDRB dan beberapa bilangan pengganda (multiplier) antar sektor yang
saling mempengaruhi secara beruntun dalam proses produksi, dan
sekaligus mencerminkan sifat keterkaitan antar sektor, sesuai dasar
falsafah teori tabel input-output. Bilangan pengganda yang dimaksud
adalah pengganda tenaga kerja (employment multiplier), pengganda
pendapatan (income multiplier), dan pengganda keluaran (output
multiplier).
Contoh Penggunaan:
1. Menghitung keluaran sektor untuk memenuhi permintaan akhir
tertentu.
Misalkan untuk meningkatkan pendapatan di Kabupaten X, berbagai
upaya telah dilakukan sehingga diperkirakan pada tahun berikut

13
permintaan akhir terhadap keluaran sektor pertanian, industri, dan jasa
akan meningkat menjadi:
Pertanian = 150
Industri = 35
Jasa = 40
Hitung output setiap sektor untuk memenuhi kenaikan permintaan
akhir tersebut.
Dengan menggunakan matriks kebalikan Leontief, keluaran masing-
masing sektor dapat dihitung sebagai berikut:
1,09 0,15 0,37 150
X ' ( I A) 1
F'
0,03 1,20 0,27
30

0,13 0,09 1,11
40

184
98
68

Berdasarkan perhitungan di atas, maka untuk memenuhi peningkatan


permintaan akhir, maka keluaran sektor pertanian harus sebesar 184,
sektor industri 98, dan sektor jasa 68.
2. Menghitung Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) pada
tahun yang akan datang.
Untuk menghitung PDRB, maka terlebih dahulu perm diketahui
koefisien nilai tambah (value added coefficient), dengan rumus :
vi = Vi / Xi atau Vi = vi . Xi
dengan:
vi = koefisien nilai tambah
Vi = nilai tambah sektor i
XI = keluaran sektor i setelah kenaikan permintaan akhir
3
PDRB = V
j 1
i vi . X i

Dari Tabel 3.1 diketahui bahwa:


V pertanian = 75 + 24 = 99
V industri = 30 + 27 = 57
V jasa = 12 + 18 = 30
sehingga koefisien nilai tambah setiap sektor
V pertanian = 99/150 = 0,66
V industri = 57/80 = 0,71
V jasa = 30/60 = 0,50
dan PDRB adalah :

14
PDRB = (0,66)(184) + (0,71)(98) + (0,50)(68) = 225,02
Dengan demikian, PDRB Kabupaten X diramalkan meningkat menjadi
225 setelah terjadi kenaikan permintaan akhir.
3. Menghitung kesempatan kerja yang tercipta pada masing- masing
sektor.
Untuk tujuan ini perlu diketahui terlebih dahulu koefisien tenaga kerja
dari masing-masing sektor, dengan rumus:
Ii = Li / Xi atau Li = Ii . Xi
dengan:
li = pengganda tenaga kerja
Li = kesempatan kerja di sektor i
Misalkan kesempatan kerja pada masing-masing sektor di Kabupaten X
adalah :
L pertanian = 35.000 orang
L industri = 11.000 orang
L jasa = 7.500 orang
maka koefisien tenaga kerja:
l pertanian = 35.000/150.000.000 = 0,002333
l industri = 11.000/80.000.000 0,000138
l jasa = 7.500/60.000.000 = 0,000125
Kesempatan kerja masing-masing sektor menjadi:
l pertanian . X pertanian = (0,002333) . (184.000.000) = 42.933
orang
l industri . X industri = (0,000138) . (98.000.000) = 13.475
orang
l jasa . X jasa = (0,000125) . (68.000.000) = 8.500
orang
Dengan demikian, dapat diketahui tambahan kesempatan kerja yang
tercipta akibat peningkatan permintaan akhir terhadap keluaran masing-
masing sektor sebagai berikut:
Sektor pertanian = 42.933 - 35.000 = 7.933 orang
Sektor industri = 13.475 -11.000 = 2.475 orang
Sektor jasa = 8.500 - 7.500 = 1.000 orang
4. Pengganda Pendapatan dan Pengganda Kesempatan Kerja.
Pengganda pendapatan dan Pengganda kesempatan kerja adalah
angka yang menunjukkan berapa kali pendapatan dan kesempatan kerja
meningkat sebagai akibat kenaikan satu unit permintaan akhir terhadap
keluaran suatu sektor.

15
Pengganda pendapatan dapat dibagi dalam Pengganda
Pendapatan Kerja Tipe I dan II, dan Pengganda Kesempatan Kerja.
Pengganda Pendapatan Tipe I dan II dibedakan oleh perlakuan rumah
tangga dan upah dan gaji. Pada Tipe II, rumah tangga yang tadinya
berada pada kolom permintaan akhir, dimasukkan pada permintaan
antara, demikian juga upah dan gaji pada masukan antara. Model ini
disebut model tertutup (closed model) karena memperlakukan rumah
tangga sebagai peubah endogen. Pengganda pendapatan Tipe II tersebut
sangat penting dalam perencanaanj angka panjang untuk peningkatan
pendapatan di masa yang akan datang.
a. Pengganda Pendapatan Tipe I:
Pengganda ini dihitung dengan rumus:
3
PPT - Ij = c
i 1
ij .. Pj

dengan:
PPT Ij = Pengganda Pendapatan Tipe I sektor j
cij = unsur matriks kebalikan Leontief
Pj = koefisien masukan upah / gaji rumah tangga sektor j
Untuk menghitung PPT-I terlebih dahulu perm diketahui koefisien
upah/ gaji dengan rumus:
Pj = (Besarnya Upah & Gaji pada Sektor J / Jumlah Keluaran Sektor j
atau:
P pertanian = 75/150 = 0,50
P industri = 30/80 = 0,38
P jasa = 12/60 = 0,20.
Dengan demikian, PPT-I dari masing-masing sektor dapat dihitung
PPT I pertanian =
0,50 x 1,09 + 0,38 x 0,15 + 0,20 x 0,37
0,50
= 1,35
PPT I industri =
0,50 x 0,30 + 0,38 x 1,20 + 0,20 x 0,28
0,38
= 1,74
PPT I jasa =
0,50 x 0,13 + 0,38 x 0,09 + 0,20 x 1,11
0,20
= 1,61

Ternyata koefisien pengganda pendapatan yang tertinggi adalah pada


sektor industri, yaitu 1,74. Ini berarti bahwa setiap kenaikan satu unit
permintaan akhir terhadap keluaran semua sektor Kabupaten X akan

16
meningkatkan pendapatan di sektor industri sebesar 1,74 kali lipat. Hal
penting untuk perencanaan di masa datang bahwa ditinjau dari
kesempatan kerja, sektor industri yang perlu dikembangkan.
b. Pengganda Pendapatan Tipe II.
Terlebih dahulu perlu dibuat matriks yang diperluas dengan
memasukkan tambahan kolom konsumsi rumah tangga dan baris upah
dan gaji, yakni (I -Ah) dan matriks kebalikannya, (I - Ah)-1.

1 0 0 0 0,02 0,10 0,30 0,67


0 1 0 0 0,13
( I Ah ) 0,22 0,13 0,15
0 0 1 0 0,10 0,06 0,05 0,20

0 0 0 0 0,50 0,38 0,20 0,00
0,98 0,10 0,30 0,67
0,22 0,87 0,15 0,13

0,10 0,06 0,95 0,20

,050 0,38 0,20 1,00
Setelah di invers, diperoleh :
2,62 1,36 1,51 2,23
1,07 1,81 0,86 1,12
( I Ah )
1
0,74 0,57 1,56 0,88

1,86 1,47 1,39 2,71
Selanjutnya Pengganda Pendapatan Tipe II dihitung dengan rumus :
PPT-IIj = Dij / Pj
dengan:
PPT IIj = pengganda pendapatan tipe II sektor j
Dij = baris rumah tangga (baris keempat) pada matriks
kebalikan
(I - Ah)-1
Pj = koefisien pendapatan (upah / gaji) sektor j
dengan menggunakan rumus di atas diperoleh :
PPT II pertanian = 1,86/0,50 = 3,72
PPT II industri = 1,47/0,38 = 3,87
Dari contoh yang diberikan ternyata sektor jasa memiliki koefisien
Pengganda Pendapatan Tipe II yang tertinggi, yakni 6,95 sehingga
pengembangan sektor jasa di masa yang akan datang akan
menguntungkan Kabupaten X ditinjau dari segi pendapatan.
c. Pengganda Kesempatan Kerja:
Pengganda kesempatan kerja dihitung dengan menggunakan koefisien
tenaga kerja yang telah dihitung pada contoh 3, dan dimasukkan
dalam rumus:

17
3

c
j 1
ij .l j
PKK j =
lj
dengan:
PKKj = pengganda tenaga kerja
c ij = elemen matriks kebalikan Leontief
lj = koefisien tenaga kerja sektor j :
Berdasarkan rumus tersebut dapat dihitung pengganda kesempatan
kerja dimaksud :
PKK pertanian =
0,002333 x 1,09 + 0,000138 x 0,15 + 0,000125 x 0,37
0,002333
= 1,12
PKK industri =
0,002333 x 0,30 + 0,000138 x 1,20 + 0,000125 x 0,28
0,000138
= 1,96
PKK jasa =
0,002333 x 0,13 + 0,000138 x 0,09 + 0,000125 x 1,11
0,000125
= 1,45
Dari contoh yang diberikan, ternyata sektor industri memiliki
pengganda pendapatan yang tertinggi, yakni 1,96.
5. Pengganda Keluaran (output multiplier).
Pengganda keluaran, mengukur pengaruh langsung dan tidak
langsung kenaikan satu unit permintaan akhir terhadap keluaran suatu
sektor dan selanjutnya pada keluaran sektor-sektor ekonomi lainnya.
Pengganda keluaran dapat dihitung dengan rumus:
3
PK j = c
j 1
ij ; untuk j 1, 2, 3;

dengan:
PKj = pengganda keluaran sektor j
c ij = kebalikan matriks Leontief
Penerapan rumus inti dalam contoh kasus di atas memberikan:
PK pertanian = 1,09 + 0,30 + 0,13 = 1,52
PK industri = 0,15 + 1,20 + 0,09 = 1,44
PK jasa = 0,37 + 0,28 + 1,11 = 1,76
Pengganda keluaran yang paling besar dimiliki oleh sektor jasa yang
berarti bahwa kenaikan permintaan akhir terhadap keluaran sektor ini
mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung yang paling besar
atas keluaran seluruh sektor perekonomian.

18
6. Keterkaitan langsung ke depan (forward linkage) dan keterkaitan
langsung ke belakang (backward linkage) setiap sektor.
Keterkaitan langsung ke depan menggambarkan dampak sektor
tertentu ter-hadap sektor-sektor lainnya yang menggunakan keluaran
sektor tersebut sebagai masukan antara untuk setiap unit kenaikan
permintaan akhir. Keterkaitan langsung ke depan suatu sektor dihitung
dengan menjumlahkan koefisien teknologi sektor tersebut ke kanan atau
elemen kolom :
dengan:
KLD i = keterkaitan langsung ke depan sektor i
x ij = banyaknya keluaran sektor i yang digunakan oleh sektor j
Xi = jumlah keluaran sektor i (antara dan akhir)
dari rumus tersebut diperoleh :
KLD pertanian = 0,02 + 0,10 + 0,30 = 0,42
KLD industri = 0,22 + 0,125 + 0,15 = 0,50
KLD jasa = 0,10 + 0,063 + 0,05 = 0,21
Kaitan langsung ke depan tertinggi dimiliki oleh sektor industri. Ini berarti
bahwa keluaran sektor industri mempunyai pengaruh yang lebih besar
terhadap sektor-sektor Iain yang menggunakan keluaran tersebut sebagai
masukan dibandingkan keluaran sektor pertanian dan sektor jasa.
Keterkaitan langsung ke belakang menggambarkan dampak sektor
tertentu terhadap sektor-sektor lain yang keluarannya digunakan sebagai
masukan antara untuk setiap unit kenaikan permintaan akhir. Keterkaitan
langsung ke belakang suatu sektor didukung dengan menjumlahkan
koefisien teknologi sektor tersebut ke bawah atau menurut elemen baris :
dengan:
KLBj = keterkaitan langsung ke belakang sektor j
xij = banyaknya masukan sektor j
Xj = jumlah masukan sektor j
Dengan menggunakan rumus tersebut diperoleh :
KLB pertanian = 0,02 + 0,22 + 0,10 = 0,32
KLB industri = 0,10 + 0,125 + 0,063 = 0,29
KLB jasa = 0,30 + 0,15 + 0,05 = 0,50
Keterkaitan langsung ke belakang yang paling besar dimiliki oleh sektor
jasa yang sekaligus berarti bahwa keluaran sektor ini paling besar
pengaruhnya terhadap sektor-sektor lain yang keluarannya digunakan
oleh sektor jasa sebagai masukan dibandingkan sektor pertanian dan
industri.
7. Daya penyebaran (backward power of dispersion) dan daya
kepekaan (forward power of dispersion).
Daya penyebaran menggambarkan pengaruh yang timbul oleh
kenaikan satu unit permintaan akhir keluaran suatu sektor terhadap
peningkatan keluaran semua sektor dalam perekonomian. Bila

19
koefisiennya 1, menunjukkan kebutuhan masukan antara sektor tertentu
dapat menimbulkan dampak peningkatan keluaran di atas rata-rata
terhadap sektor-sektor lainnya. Sektor yang mempunyai koefisien daya
penyebaran yang paling tinggi berarti mempunyai pengaruh yang terbesar
dalam pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan.
Daya penyebaran dapat dihitung dengan rumus :
DPj = Daya penyebaran sektor j
Daya kepekaan menggambarkan pengaruh yang ditimbulkan oleh
kenaikan satu unit permintaan akhir keluaran semua sektor terhadap
keluaran salah satu sektor ekonomi. Sektor yang memiliki daya kepekaan
yang paling tinggi berarti sektor tersebut akan terkena pengaruh yang
paling besar dari pertumbuhan perekonomian secara keseluruhan.
Daya kepekaan dihitung dengan rumus :
DKi = daya kepekaan sektor i
Untuk melihat sektor yang dapat dijadikan prioritas dalam proses
pengembangan kabupaten, maka semua indekss keterkaitan antar sektor
produksi yang dihitung dengan analisis input-output disajikan sekaligus
dalam suatu tabel. Bentuk tabel dimaksud dengan menggunakan hasil
analisis sebelumnya diperlihatkan pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Daftar Indeks Keterkaitan Antar Sektor pada Kabupaten X

Indekss Sektor Sektor


Sektor Jasa
Keterkaitan Pertanian Industri
PPT-I 1,35 1,74 1,61
PPT-II 3,72 3,87 6,95
PKK 1,12 1,96 1,45
PK 1,52 1,44 1,76
DP 0,97 0,92 1,12
DK 1,03 1,13 0,84

Walaupun indekss keterkaitan antar sektor, berdasarkan Tabel 3.4,


bervariasi, tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa sektor jasa dan
industri perlu mendapat prioritas agar terjadi peningkatan pendapatan,
kesempatan kerja, dan pertumbuhan dalam pembangunan jangka panjang
dari Kabupaten X.
Pendekatan lain dalam mengevaluasi Tabel 3.4 adalah dengan
memberikan bobot tertentu kepada setiap indekss, sesuai dengan
keterkaitan indekss tersebut terhadap prioritas pembangunan. Misalnya
peningkatan kesempatan kerja merupakan prioritas pembangunan maka

20
bobot yang diberikan pada indekss PKK relatif lebih besar dibanding
dengan bobot yang diberikan pada indekss lainnya.
Keunggulan :
Analisis input-output merupakan peralatan analisis yang dapat
memberikan begitu banyak informasi yang sangat relevan untuk
perencanaan pembangunan wilayah dan sangat luwes. Peralatan ini
dapat digunakan dengan tingkat aggregasi yang lebih besar atau lebih
kecil -dalam sektor-sektor antara, permintaan akhir ataupun pada
pemasok primer sesuai kebutuhan. Dalam praktek, yang paling umum
dilakukan adalah melakukan agregasi sektor-sektor yang relatif memiliki
volume penjualan yang kecil ke dalam katagori "sektor-sektor lainnya".
Keluwesannya juga terletak pada data yang digunakan. Secara ideal, data
yang digunakan bersumber dari survei kegiatan ekonomi kabupaten
mengenai transaksi penjualan dan pembelian dalam satu tahun. Tetapi
pendekatan yang lebih sederhana dapat dilakukan dengan melakukan
survei skala kecil pada kegiatan usaha mengenai proporsi masukan yang
dibeli dari berbagai sumber dan keluaran yang dijual pada berbagai
kegiatan usaha lainnya atau pasar. Hal ini dapat merupakan subsitusi
survei intensif yang berskala besar. Keluaran total dapat diestimasi dari
Hal yang paling penting dari analisis input-output ini adalah
kemampuannya untuk digunakan sebagai alat perencanaan wilayah yang
terintegrasi karena dapat menunjukkan keterkaitan/ketergantungan antar
sektor dalam perekonomian kabupaten.
Kelemahan :
Kelemahan utama analisis input-output terletak pada kesalahfahaman
yang sering timbul, seolah-olah menggambarkan model perekonomian
suatu wilayah padahal sesungguhnya hanya merupakan suatu potret yang
kasar tentang keterkaitan antar-sektor.
Kelemahan lain adalah angka-angka yang ada pada tabel kebutuhan yang
menggambarkan jumlah keluaran pada suatu waktu. Dengan
menggunakan angka-angka tersebut sebagai dasar prediksi dapat
menyesatkan karena anggapan bahwa keterkaitan antar-sektor pada
setiap tingkat keluaran adalah sama. Anggapan ini tidak realistis sehingga
hasil prediksi yang diperoleh tidak dapat diterima sepenuhnya.
Data yang digunakan untuk analisis input-output adalah data penjualan
dari setiap sektor. Berhubung keterbatasan data, penyusunan tabel input-
output untuk tingkat kabupaten masih dipandang sulit dan memerlukan
penelitian dasar terhadap kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Jika suatu
kabupaten memiliki data yang terbatas, maka analisis input-output dapat

21
memberikan kerangka dasar untuk pengumpulan data untuk perencanaan
pembangunan.
6. Analisis Shift Share
Metoda analisis Shift-Share digunakan untuk mengetahui kinerja
perekonomian kabupaten, pergeseran struktur, posisi relatif sektor-sektor
ekonomi dan identifikasi sektor-sektor "unggul" kabupaten dalam
kaitannya dengan perekonomian acuan (nasional atau propinsi) dalam
dua atau lebih titik waktu.
Metoda analisis ini pada hakekatnya merupakan teknik yang relatif
sederhana untuk menganalisis perubahan struktur perekonomian lokal
dalam kaitan dengan perekonomian acuan yang lebih besar.
Perekonomian lokal dapat berupa kota, kabupaten, atau propinsi,
sedangkan perekonomian acuan dapat berupa propinsi atau negara.
Analisis shift-share yang bertitik tolak pada asumsi pertumbuhan sektor
kabupaten yang sama dengan pada tingkat nasional, membagi perubahan
atau pertumbuhan kinerja ekonomi lokal/kabupaten dalam tiga komponen,
yakni:
1. Komponen pertumbuhan nasional (national growth component) :
mengukur perubahan kinerja ekonomi pada perekonomian acuan.
2. Komponen pertumbuhan proporsional (mix-industry or proportional
shift component) : mengukur perbedaan pertumbuhan sektor-sektor
ekonomi acuan dengan pertumbuhan agregat. Apabila komponen ini
pada salah satu sektor nasional bernilai positif, berarti bahwa sektor
tersebut berkembang dalam perekonomian acuan. Sebaliknya jika
negatif, sektor tersebut menurun kinerjanya.
3. Komponen pergeseran atau pertumbuhan pangsa wilayah (differential
shift atau regional share) : mengukur kinerja sektor-sektor lokal
terhadap sektor-sektor yang sama pada perekonomian acuan. Apabila
komponen ini pada salah satu sektor positif, maka daya saing sektor
lokal meningkat dibandingkan sektor yang sama pada ekonomi acuan,
dan apabila negatif terjadi sebaliknya.
Dengan demikian, apabila perubahan atau pertumbuhan kinerja
ekonomi kabupaten adalah PEK, pertumbuhan nasional adalah KPN,
pertumbuhan proporsional adalah KPP, dan KPK adalah pertumbuhan
daya saing kabupaten, maka hal tersebut dapat ditulis dengan rumus :
PEK = KPN + KPP + KPK

Selanjutnya rumus di atas dapat dijabarkan secara rinci sebagai


berikut:
dengan:

22
Y* = indikator ekonomi nasional akhir tahun kajian
Y = indikator ekonomi nasional awal tahun kajian
Yi = indikator ekonomi nasional sektor i akhir tahun kajian
Yi = indikator ekonomi nasional sektor i awal tahun kajian
yi = indikator ekonomi kabupaten sektor i akhir tahun kajian
yi = indikator ekonomi kabupaten sektor i awal tahun kajian
Sedang Pergeseran Netto (PN) dihitung dengan rumus:
PN = KPP + KPK
Langkah-langkah Dasar
Dengan mengambil contoh data Pendapatan Domestik Regional
Bruto Kabupaten Tual, Maluku Tenggara (PDRBT) dan Pendapatan
Domestik Bruto Indonesia (PDB), pada tahun 1985 dan 1989 menurut
harga konstan 1983, berikut ini adalah langkah-langkah dasar dalam
analisis shift-share :
Langkah 1: Hitung dan bandingkan pertumbuhan pendapatan di
kabupaten dengan nasional. Untuk memudahkan analisis,
perekonomian kabupaten dan nasional dipecah dalam sebelas
sektor, yakni pertanian, pertambangan / penggalian, industri
pengolahan, listrik / gas / air minum, bangunan, perdagangan /
hotel / restoran, pengangkutan / komunikasi, bank / lembaga
keuangan lainnya, pemerintahan / pertahanan, dan jasa-jasa. Tabel
berikut menunjukkan bahwa pendapatan nasional tumbuh 26,14
persen, sedangkan pendapatan Kabupaten Tual hanya tumbuh
21,38 persen. Bagaimana pertumbuhan pendapatan kabupaten
dijelaskan dalam kaitannya dengan pertumbuhan pendapatan
nasional?
Langkah 2 : Hitung perubahan pendapatan kabupaten setiap sektor, yaitu
dengan memperkurangkan pendapatan pada akhir waktu kajian
untuk masing-masing sektor (elemen kolom 4 Tabel 6.5) dengan
pendapatan pada awal tahun kajian (elemen kolom 3 Tabel 6.5).
Hasilnya ditunjukkan pada Tabel 6.6 .
Langkah 3 : Hitung komponen masing-masing pertumbuhan sesuai
rumus yang telah dijabarkan secara rinci sebagai berikut:
a. Komponen Pertumbuhan Nasional (KPN): Bagi jumlah PDB89
(baris 12 kolom 6 Tabel 6.5) dengan PDB85 (baris 12 kolom 5
Tabel 6.5), kemudian hasil pembagian tersebut dikurangi 1.
Hasilnya adalah 0,26 atau 26 persen. Angka-angka inilah yang
menjadi KPN pada semua sektor.
b. Komponen Pertumbuhan Proporsional (KPP) :

23
1. Bagi angka-angka PDB89 menurut sektor (elemen-elemen
kolom 6 Tabel 6.5) dengan angka-angka sektor yang sama
pada PDB89 (elemen-elemen kolom 5 Tabel 6.5).
2. Bagi jumlah PDB89 (baris 12 kolom 6 Tabel 6.5) dengan
PDBS5 (baris 12 kolom 5 Tabel 6.5)
3. Perkurangkan hasil butir 1 dengan hasil butir 2 untuk masing-
masing sektor.
4. Isi kolom KPP dengan hasil butir 3.
c. Komponen Pertumbuhan Daya Saing Kabupaten (KPK):
1. Bagi angka-angka PDRBT89 menurut sektor (elemen-elemen
kolom 4 Tabel 6.5) dengan angka-angka sektor yang sama
pada PDRBT85 (elemen-elemen kolom 3 Tabel 6.5).
2. Perkurangkan hasil butir 1 dengan hasil KPP butir 1
3. Isi kolom KPK dengan hasil butir 2.
Hasil perhitungan yang dilakukan ditunjukkan pada Tabel 3.7 berikut:

Tabel 3.7. Hasil Perhitungan Komponen KPN, KPP, KPK, dan PN


SEKTOR KPN KPP KPK PN
1. Pertanian 0,26 -0,12 0,01 -0,10
2. Pertambangan 0,26 -0,18 -0,06 -0,24
3. Industri 0,26 0,22 -0,05 0,16
4. Listrik 0,26 0,44 0,44 0,89
5. Bangunan 0,26 0,04 - 0,46 -0,42
6. Perdagangan 0,26 0,13 0,05 0,18
7. Angkutan 0,26 0,00 0,21 0,21
8. Bank 0,26 0,16 2,41 2,57
9. Sewa Rumah 0,26 -0,09 -0,03 -0,12
10. Pemerintahan 0,26 0,04 -0,07 -0,03
11. Jasa-Jasa 0,26 -0,09 -0,02 -0,12
PDRB/PDB 0,26 0,00 - 0,05 -0,05

Langkah 4 : Tafsirkan hasil perhitungan pada Tabel 6.7 dengan


menemukenali sektor-sektor KPP yang bertanda positif dan negatif.
Apabila suatu sektor bertanda positif, maka sektor tersebut pesat
pertumbuhannya dan pengaruhnya pada pendapatan kabupaten
juga positif. Sebaliknya yang bertanda negatif disebut sektor yang
lamban pertumbuhannya yang berpengaruh negatif pada
pendapatan kabupaten. Suatu kabupaten yang sebagian besar

24
pendapatannya berasal dari sektor-sektor yang lamban
pertumbuhannya, maka pendapatan di kabupaten tersebut akan
tumbuh di bawah tingkat pertumbuhan nasional. Sebaliknya,
apabila sebagian besar pen-dapatan bersumber dari sektor-sektor
yang pesat pertumbuhannya, maka porsinya akan meningkat
dalam perekonomian nasional, cateris paribus. Dari Tabel 6.7
diketahui bahwa sektor-sektor yang positif adalah industri, listrik,
bangunan, per-dagangan, angkutan, bank, dan pemerintahan,
sedangkan yang negatif adalah pertanian, pertambangan, sewa
rumah dan jasa- jasa.
Langkah 5 : Selanjutnya temukenali sektor-sektor KPK yang bertanda
positif dan negatif. Tabel 6.7 menunjukkan bahwa sektor-sektor
yang bertanda positif atau yang mengalami peningkatan daya
saing/keunggulan komparatif kabupaten dalam kaitan dengan
kabupaten lainnya pada waktu kajian adalah pertanian (1 persen),
listrik (44 persen), perdagangan (5 persen), angkutan (21 persen),
dan bank (241 persen). Sedangkan yang bertanda negatif atau
yang mengalami penurunan adalah pertambangan^ persen),
industri (5 persen), bangunan(46 persen), sewa rumah (3 persen),
pemerintahan (7 persen) dan jasa-jasa (2 persen).
Langkah 6 : Analis dapat dilanjutkan (optional) dengan menghitung
pergeseran bersih (net shift) untuk menemukenali sektor-sektor
maju dan kurangmaju, yaitu dengan menjumlahkan komponen KPP
dan KPK dari masing-masing sektor. Apabila hasil penjumlahan
yang diperoleh untuk suatu sektor adalah positif, maka sektor yang
bersangkutan termasuk maju. Sebaliknya jika negatif, maka sektor
tersebut kurang maju. Tabel 6.7 menunjukkan bahwa sektor-sektor
yang kurang maju adalah pertanian, pertambangan, bangunan,
sewa rumah, pemerintahan, dan jasa-jasa, sedangkan sektor
industri, listrik, perdagangan, angkutan, dan bank termasuk
kategori maju.
Langkah 7 : Sebagai alternatif dari langkah 6 , analisis lain yang dapat
dilakukan adalah dengan menemukenali sektor-sektor yang
termasuk unggul, agak unggul, agak mundur dan mundur dalam
selang waktu kajian. Untuk tujuan ini KPK dan KPP semua sektor
kabupaten diletakkan pada suatu diagram sumbu yang terdiri dari
empat kuadran. Kuadran I merepresentasikan sektor unggul karena
baik KPK maupun KPP memiliki nilai positif, kuadran II
merepresentasikan sektor agak mundur karena KPK negatif tetapi

25
KPP positif, Kuadran III merepresentasikan sektor mundur KPK dan
KPP negatif, dan kuadran IV merupakan tempat kedudukan sektor
agak unggul karena KPK positif walaupun KPP negatif. Yang
menjadi acuan utama dalam analisis ini adalah KPK atau
komponen pertumbuhan daya saing kabupaten. Hal ini dapat
dipahami karena komponen tersebut merupakan komponen
terpenting dalam pertumbuhan suatu kabupaten.
Posisi sektor-sektor ekonomi Kabupaten Tual diperlihatkan pada
Gambar 6.1.
Langkah 8 : Kalikan komponen KPN, KPP, dan KPK masing-masing
sektor pada Tabel 6.7 dengan sektor yang sama pada PDB85
untuk mengetahui nilai absolut pertumbuhan.
Tabel 3.8 menunjukkan bahwa angka-angka PEK menurut sektor sama
dengan angka-angka perubahan PDRB pada Tabel 3.6.
Data yang dibutuhkan :
Data pendapatan kabupaten (PDRB) dan propinsi atau nasional (PDB)
yang diperinci menurut sektor pada dua titik waktu, misalnya awal Pelita
dan akhir Pelita yang berdasarkan harga konstan. Apabila ingin dilihat
pergeseran yang bersifat dinamis, maka dapat digunakan data lebih dari
dua titik waktu. Data lain yang umum
Keunggulan:
Metoda ini banyak digunakan untuk memperoleh gambaran yang lebih
rinci mengenai pergeseran struktur ekonomi. Demikian pula metoda ini
disamping dapat menggambarkan posisi relatif masing-masing sektor
perekonomian kabupaten terhadap perekonomian nasional, juga dapat
digunakan untuk menemukenali sektor-sektor unggulan dapat dipacu
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain itu, metoda ini
dapat pula digunakan untuk menemukenali sektor-sektor yang posisi
relatifnya lemah tetapi dianggap strategis (pertimbangan penyerapan
tenaga kerja) untuk dipacu agar dapat meningkatkan kesempatan kerja.
Perhitungannya relatif mudah, demikian pula data yang diperlukan mudah
diperoleh karena tersedia pada hampir semua kabupaten.
Kelemahan:
Asumsi yang melandasi bahwa sektor-sektor acuan tumbuh dengan
tingkat yang sama. Kelemahan lain adalah pergeseran posisi sektor
dianggap linear.

26
7. Revealed Comparative Advantage (RCA)
Metoda analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui keunggulan
komparatif komoditas yang dihasilkan atau diperdagangkan oleh suatu
kabupaten.
RCA pada hakekatnya membandingkan rasio antara ekspor
komoditas tertentu dari suatu kabupaten dengan pangsanya pada ekspor
total.
Data yang diperlukan:
Untuk analisis RCA diperlukan data mengenai nilai ekspor komoditas yang
dikaji dari suatu kabupaten berdasarkan harga konstan. Apabila hendak
dibandingkan pergeseran koefisien RCA, maka sebaiknya data yang
dikumpulkan dalam beberapa titik waktu, misalnya tahun 1970; 1975;
1980, dan seterusnya.
Keunggulan :
Metoda analisis ini sederhana dan dapat memberikan gambaran singkat
mengenai keunggulan komparatif komoditas yang dihasilkan atau
diperdagangkan dari suatu kabupaten. Data yang diperlukan relatif mudah
diperoleh.
Kelemahan :
Tidak memberikan petunjuk tentang faktor-faktor penyebab terjadinya
keunggulan komparatif dan mengabaikan impor komoditas yang dikaji.

8. Biaya Sumberdaya Domestik (BSD)


Metoda analisis ini digunakan untuk mengetahui apakah komoditas
tertentu yang dihasilkan oleh suatu kabupaten memiliki keunggulan
komparatif atau tidak pada pasar regional, nasional, maupun
internasional.
Biaya sumberdaya domestik (Domestic Resource Cost) dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:

BSDj = Biaya sumber daya domestik komoditas j


Bij = Biaya ekonomi faktor produksi domestik i yang
digunakan untuk menghasilkan komoditas j
Ej = efek externa]itas dari komoditas j (dapat bertanda
positif atau negatif)
Uj = nilai total output komoditas j pada nilai harga pasar
internasional atau maksimal atau propinsi (dalam
US $ kalau harga internasional)

27
mj = nilai total input antara yang diimpor langsung untuk
komoditas j (dalam US $ kalau pasar internasional)
rj = nilai total penerimaan faktor-faktor produksi luar
negeri atau dari wilayah lain (nasional atau
propinsi) yang digunakan dalam komoditas j, baik
langsung maupun tidak langsung (dalam US $
kalau pasar internasional).
n = jumlah jenis faktor produksi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan komoditas j.
Efek eksternalitas pada rumus BSD biasanya dihilangkan karena sampai
saat ini belum ada metoda yang baik untuk memperkirakan besarnya efek
eksternalitas tersebut. Dengan rumus BSD di dapat dihitung produksi
suatu komoditas dikatakan efisien dari segi ekonomi apabila nilai BSD
lebih kecil daripada harga bayangan nilai tukar uang (koefisien BSD < 1).
Hal ini berarti bahwa sumberdaya domestik yang harus dikorbankan untuk
menghemat atau memperoleh devisa dari komoditas tersebut lebih kecil
daripada sumberdaya domestik yang bersedia dikorbankan pada sistem
ekonomi. Hai ini berarti bahwa permintaan dalam lokal suatu komoditas
lebih menguntungkan dengan cara menghasilkan atau memproduksi
komoditas tersebut secara lokal. Sebaliknya kegiatan dikatakan tidak
efisien apabila nilai BSD lebih besar daripada harga bayangan nilai tukar
uang (koefisien BSD > 1) yang berarti bahwa pemenuhan permintaan
lokal lebih menguntungkan dengan mendatangkan komoditas tersebut.
Apabila nilai BSD sama dengan harga bayangan nilai tukar uang, maka
komoditas tersebut bersifat netral (koefisien BSD = 1).
Contoh:
Penerimaan penjualan kopi yang dihasilkan di kabupaten Tana Toraja
(Propinsi Sulawesi Selatan) di tangan petani sebesar Rp. 614.175,-
sedangkan di tangan eksportir sebesar Rp. 1.126.729 / ton. Komponen
biaya produksi dinyatakan dalam Tabel 3.10.
Perhatikan bahwa biaya yang dikeluarkan (biaya finansial) pada tabel di
atas seluruhnya dikonversi ke biaya ekonomi sebelum dipisahkan menjadi
komponen domestik dan komponen asing. Hal ini perlu dilakukan agar
hasil perhitungan tidak dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah
dibidang keuangan, seperti pajak, subsidi, dan sebagainya. Jadi dalam hal
ini biaya ekonomi benar-benar mencerminkan biaya yang sebenarnya
harus dikeluarkan jika tidak ada campur tangan pemerintah.

28
Keunggulan :
Metoda analisis ini mampu memberi petunjuk apakah suatu jenis
komoditas efisien diproduksi secara lokal atau diimpor dari luar
kabupaten. Hasil perhitungan sangat rinci sehingga memberikan
gambaran nyata tentang keunggulan komparatif suatu komoditas karena
adanya perhitungan biaya yang sangat rinci.
Kelemahan :
Perhitungan metoda ini cukup rumit dan membutuhkan informasi yang
lengkap sehingga kurang memungkinkan dilakukan oleh setiap
kabupaten. Walaupun rumit dan rinci, faktor eksternalitas seperti dampak
lingkungan masih diabaikan.
9. Distribusi Pendapatan
Metoda analisis ini dapat memberi gambaran mengenai distribusi
pendapatan atau pemilikan faktor-faktor produksi di antara berbagai
lapisan masyarakat dalam suatu wilayah.
Indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur distribusi
pendapatan, yakni kurva Lorenz.
Kurva Lorenz
Peralatan ini disebut juga kurva frekuensi persentase kumulatif
yang menggambarkan data tentang distribusi persentase
kekayaan/pendapatan dalam hubungannya terhadap distribusi persentasi
jumlah keseluruhan penduduk yang menerima pendapatan dalam suatu
kabupaten.
Penggambaran kurva Lorenz dimulai dengan mengubah data pendapatan
dan jumlah penerima pendapatan ke dalam prosentase kemudian
menyusunnya ke dalam distribusi pendapatan kumulatif.

29
BAB IV.
ANALISIS STRUKTUR TATA RUANG

Analisis Struktur Tata Ruang digunakan untuk mengumpulkan


informasi yang-dibutuhkan untuk mengarahkan / membentuk tata jenjang
pusat-pusat pelayanan wilayah dan jaringan transportasi serta jaringan
sarana dan prasarana lainnya yang mendukung pusat-pusat pelayanan
tersebut, sehingga membentuk suatu sistem terpadu yang mampu
memanfaatkan potensi kabupaten, yang pada gilirannya akan
meningkatkan daya saing kabupaten.
Analisis mengacu pada dua azas penataan ruang, yaitu
demokratisasi ruang dan sinergi wilayah. Implementasi dari azas pertama
berupa usaha-usaha penciptaan tingkat kemudahan yang proporsional
bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan sosial ekonomi yang tersedia
pada pusat-pusat pelayanan, seperti kemudahan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan produktif (penciptaan nilai tambah) dan memasarkan
hasil produksinya, dan kemudahan untuk menikmati pendapatan mereka,
misalnya dalam bentuk kemudahan untuk menikmati fasilitas rekreasi,
kemudahan untuk membelanjakan pendapatan, dan sebagainya.
Kemudahan yang sama juga disediakan bagi sektor untuk melaksanakan
program pembangunan menurut sektornya masing-masing dan sekaligus
untuk menghindari benturan kepentingan antar sektor dalam pemanfaatan
ruang. Selain itu penataan ruang menurut azas ini diarahkan pula untuk
meningkatkan kesempatan ekonomi (economic opportunities) dari lahan
dan sumberdaya alam lainnya.
Azas kedua diwujudkan dalam bentuk menciptakan keterkaitan
fungsional antar satuan-satuan pemukiman/sub wilayah sedemikian rupa,
baik yang antar maupun inter wilayah, sehingga membentuk wilayah yang
terpadu yang mampu berartikulasi terhadap proses pembangunan
wilayah. Keterkaitan fungsional ini dikembangkan berdasarkan
keunggulan yang dimiliki oleh setiap sub wilayah, dalam arti penataan
ruang dibuat sedemikian rupa sehingga keunggulan yang dimiliki oleh satu
sub wilayah dapat dinikmati seoptimal mungkin oleh bagian wilayah
lainnya.
Untuk menciptakan struktur tata ruang menurut pendekatan
tersebut, maka informasi yang perlu dikumpulkan serta peralatan analisis
yang diperlukan diperlihatkan pada Tabel 4.1 Perlu ditambahkan bahwa
dalam proses analisis, ketiga perangkat analisis yang disebutkan pada
Tabel 4.1 tidak berdiri sendiri-sendiri, tetapi saling berkaitan satu dengan
lainnya, sehingga dalam prakteknya ketiganya sering dilakukan secara
keratif/simultan.

30
Tabel 4.1. Informasi yang Dibutuhkan dan Metoda Analisis dalam Analisis
Struktur Tata Ruang

PERTANYAAN/INFORMASI METODA ANALISIS


1. Bagaimana distribusi pelayanan sosial 1. Analisis Pola Pemukiman
ekonomi pada wilayah yang ditinjau /
diamati
2. Bagaimana memilih lokasi strategis 2. Analisis Sistem Hubungan
untuk menempatkan fasilitas
pelayanan agar mampu menjangkau
secara efektif satuan-satuan
pemukiman yang ada pada wilayah
yang ditinjau.
3. Seberapa besar tingkat kemudahan 3. Analisis Aksesibilitas
pada suatu lokasi untuk menikmati
fasilitas pelayanan tertentu yang
terdapat pada pusat-pusat pelayanan.

1. Analisis Pola Permukiman


Analisis pola pemukiman diarahkan untuk mengetahui tata jenjang
dan distribusi pusat-pusat pelayanan dalam wilayah yang ditinjau. Dengan
perangkat analisis ini dapat diketahui tingkat pelayanan sosial ekonomi,
atau dengan kata lain dapat menentukan bagian-bagian wilayah yang
kurang memperoleh pelayanan.
Informasi yang perlu dikumpulkan untuk maksud tersebut serta peralatan
analisis-nya diperlihatkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Informasi dan Peralatan Analisis untuk Analisis Pola
Pemukiman.
INFORMASI METODA ANALISIS
Bagaimana struktur / hirarki pusat-pusat Skalogram
pelayanan di wilayah yang ditinjau Skala Guttman, dan
Indeks Sentralitas Terbobot
Bagaimana pola / distribusi tingkat Skala Guttman
perkembangan pada wilayah yang
ditinjau
Fungsi-fungsi apa saja yang seharusnya Skalogram
ada tetapi tidak terdapat pada suatu
pusat pelayanan
Berapa jumlah penduduk minimal yang Analisis Ambang Batas
dibutuhkan untuk mendukung
keberadaan suatu fungsi pelayanan
Bagaimana tingkat dan distribusi Analisis Distribusi Fungsi
pelayanan pada wilayah yang ditinjau Pelayanan

31
Perlu ditambahkan disini bahwa analisis yang dilakukan
berdasarkan metoda-metoda yang disebutkan di atas dititik beratkan pada
klasifikasi pemukiman berdasarkan fungsi pelayanan sosial ekonomi yang
dimilikinya. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh hasil-hasil
analisis yang diperoleh perlu pula dikombinasikan dengan klasifikasi
pemukiman dari segi morfologi, yang cenderung membedakan
pemukiman menjadi sistem perkotaan dan pedesaan, berdasarkan
karakteristik fisik dan kependudukan, serta klasifikasi yang berdasarkan
ukuran jumlah dan kepadatan penduduk, seperti kota metropolitan, kota
madya, ibukota kabupaten, kecamatan, dan desa.
Kedua pendekatan klasifikasi di atas tidak dijabarkan disini, karena
dianggap telah cukup banyak dibahas pada buku-buku teks yang lain, dan
khusus yang berkaitan dengan masalah kependudukan dibahas pada bab
lain laporan ini.
(i) SKALOGRAM

Metoda Skalogram digunakan untuk menjawab pertanyaan


mendasar tentang bagaimana pola fungsi/fasilitas pelayanan sosial
ekonorni yang terdapat pada berbagai tingkatan perkotaan / pusat
pelayanan dan bagaimana pola tersebut melayani kebutuhan penduduk di
wilayah yang ditinjau. Dengan kata lain metoda ini dapat digunakan untuk
mengelompokkan satuan permukiman berdasarkan tingkat kompleksitas
fungsi pelayanan yang dimilikinya, serta menentukan jenis dan keragaman
pelayanan dan fasilitas yang terdapat pada pusat-pusat pelayanan
dengan berbagai tingkatan.
Di samping itu metoda skalogram dapat pula digunakan untuk :
1. Memperlihatkan asosiasi kasar antara -fasilitas dan sistem pelayanan
pada suatu lokasi dan kemungkinan hubungan antara mereka.
2. Memperlihatkan urutan fungsi pelayanan yang seyogyanya terdapat
pada satuan pemukiman dengan tingkatan tertentu.
3. Dengan mengkombinasikan skalogram dengan peta lokasi fasilitas
pelayanan dan kriteria pelayanan baku, maka dapat diketahui cukup
tidaknya suatu fungsi pelayanan pada wilayah yang ditinjau.
4. Ketidak beradaan suatu fungsi atau fasilitas pelayanan pada suatu
satuan pemukiman dapat segera terlihat, sehingga dengan demikian
dapat dilakukan analisis mengapa hal tersebut terjadi dan pengambilan
keputusan tentang investasi untuk pengadaan fungsi atau fasilitas
pelayanan tersebut dapat segera diambil.
5. Keberadaan suatu fungsi atau fasilitas pelayanan yang seharusnya
tidak ada pada suatu permukiman dapat diketahui, sehingga dengan
demikian dapat dicari alasan keberadaan fungsi tersebut.
Untuk menyusun skalogram dibutuhkan seperangkat data sebagai berikut:

32
- Daftar semua pemukiman yang ada pada wilayah yang ditinjau.
- Jumlah penduduk untuk setiap pemukiman
- Peta yang menunjukkan lokasi dari setiap pemukiman
- Daftar fungsi / fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terdapat pada
setiap pemukiman.
Penyusun skalogram dilakukan dengan mengikuti tahapan sebagai
berikut:
1. Buat sebuah tabel yang jumlah barisnya sama dengan jumlah satuan
pemukiman ditambah satu, dan jumlah kolomnya sama dengan jumlah
fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terdapat pada wilayah yang
ditinjau ditambah satu.
2. Kolom pertama, dimulai pada baris kedua, diisi dengan nama satuan
pemukiman, dimulai dengan satuan pemukiman yang memiliki jumlah
penduduk terbesar.
3. Pada baris pertama dimulai dari kolom kedua berturut-turut k-earah
kanan diisi dengan nama atau kode dari fungsi / fasilitas pelayanan.
Dengan-demikian setiap sel dari tabel tersebut mewakili keberadaan
suatu fungsi pada suatu satuan pemukiman.
4. Isi dengan tanda "X" sel yang mewakili fungsi tertentu yang terdapat
pada suatu satuan permukiman.
Contoh hasil langkah-langkah 1 sampai dengan 4 diperlihatkan pada
Gambar 4..1 untuk 7 satuan pemukiman dan 12 fungsi pelayanan.
Gambar 4.1. Skalogram Fungsi Pemukiman
FASILITAS PELAYANAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kota A X X X X X X X X X X X X
Kota B X X X X X X X
Kota C X X X X X X
Kota D X X X
Kota E X X
Kota F X X X X X
Kota G X X

5. Atur kembali letak setiap fungsi dan satuan pemukiman.


Fungsi yang paling banyak terdapat pada satuan pemukiman diletakkan
pada kolom paling kiri dan satuan pemukiman yang memiliki jumlah fungsi
terbanyak diletakkan pada baris paling atas.
Pengaturan ini diulangi untuk semua satuan pemukiman dan fungsi yang
ada sedemikian rupa sehingga diperoleh pola "X" yang mendekati bentuk
segitiga.
Hasil pengaturan diperlihatkan pada Gambar 4.2

33
Gambar 4.2. Skalogram Fungsi Pemukiman Yang Telah Diolah

FASILITAS PELAYANAN
7 1 9 5 3 6 8 10 2 4 11 12
Kota A X X X X X X X X X X X X
Kota B X X X X X X X .
Kota C X X X X X X
Kota F X X X X X
Kota D X X X
Kota E X X
Kota G X X

Jumlah fungsi yang ikut dianalisis dengan metoda ini bervariasi dari suatu
wilayah ke wilayah lainnya, serta tergantung pada justifikasi perencana
tentang fungsi apa saja yang paling penting untuk menentukan derajat
sentralitas suatu pemukiman.
Sebagai gambaran fungsi pelayanan sosial ekonomi yang dapat dipakai
dalam analisis skalogram diperlihatkan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3. Fungsi Pelayanan Sosial Ekonomi

KATEGORI FUNGSI/FASILITAS
Aktivitas Ekonomi Pusat Perbelanjaan atau super-market
Pasar Umum
Toko (dengan berbagai jenisnya)
Bank dan lembaga keuangan lainnya
Industri manufaktur
Fasilitas Pelayanan Sosial Sekolah (dengan berbagai tingkatan dan
jenisnya)
Rumah sakit swasta
Rumah sakit pemerintah
Klinik swasta, Puskesmas
Apotik dan rumah obat
Perpustakaan Umum
Fasilitas Pelayanan Bandara
Transportasi dan Pelabuhan
Komunikasi Terminal Bus
Stasiun Kereta Api
Stasiun Radio
Penerbit Surat Kabar
Kantor Pos
Kantor Telepon dan Telekomunikasi

34
KATEGORI FUNGSI/FASILITAS
Infra Struktur dan Fasilitas Pusat Pembangkit Listrik
Pemeliharaan Perusahaan Air Minum
Bengkel perbaikan peralatan pertanian
Pemasok bahan konstruksi
Toko Pemasok kebutuhan hardware
Aktivitas Rekreasi Fasilitas Olah Raga (dirinci menurut jenisnya)
Gymnasium atau auditorium
Bioskop (harian)
Bioskop (periodik)
Night Club
Taman dengan fasilitasnya
Fasilitas Pelayanan Pribadi Photo Copy
Studio Foto
Restaurant
Kuburan
Hotel (dirinci menurut kelasnya)
Organisasi Koperasi
Kemasyarakatan Organisasi Kemasyarakatan
Organisasi Profesi
Lembaga / Organisasi Olah Raga
Pelayanan Penyuluhan Lembaga Pengamanan (swasta)
dan Keamanan Kantor Palang Merah
Kantor Penyuluhan Pertanian
Lembaga Penyuluhan untuk kegiatan
sektoral lainnya
Lembaga Swadaya Masyarakat ,

Keunggulan:
Metoda Skalogram membutuhkan data yang relatif mudah untuk
dikumpulkan dan prosedur analisis juga relatif tidak terlalu rumit.
Di samping itu metoda dapat memproses data kuantitatif yang tidak bebas
kesalahan (error-prone) atau tidak andal secara statistik dengan hanya
menggunakan materi kualitatifnya yang batas kesalahannya relatif rendah,
sehingga dengan demikian mampu menggantikan metoda analisis
kuantitatif lainnya yang memerlukan data kuantitatif yang sulit
dikumpulkan secara cepat dan mur ah.
Metoda ini mampu menganalisis data kualitatif yang sebelumnya hanya
dapat dianalisis secara intuitif.

35
Kelemahan:

Metoda ini didasarkan pada pendekatan yang melihat pusat pelayanan


sebagai suatu unit diskrit, padahal keberadaan suatu fungsi pelayanan
pada suatu pusat tidak dapat dilepaskan dari hubungan pusat tersebut
dengan wilayah pelayanannya, yang justru diabaikan pada metoda ini.
Di samping itu metoda tidak memperhitungkan efek aglomerasi, yaitu
keunggulan lokasi atau daya tarik suatu pusat bagi pengembangan fungsi
pelayanan baru banyak ditentukan oleh fungsi-fungsi pelayanan lainnya
yang sebelumnya telah ada pada pusat yang ditinjau.
(ii). Indekss Sentralitas Terbobot
Metoda Indekss Sentralitas Terbobot dapat dipakai untuk
menentukan tingkat sentralitas suatu satuan permukiman.Metoda ini
mengukur sentralitas satuan pemukiman tidak hanya berdasarkan jumlah
fungsi atau fasilitas pelayanan yang ada pada satuan permukiman tetapi
juga berdasarkan frekuensi keberadaan fungsi atau fasilitas tersebut pada
wilayah yang ditinjau.
Suatu fungsi akan diberikan bobot yang berbanding terbalik dengan
frekuensi keberadaannya. Misalnya suatu sekolah teknik yang hanya
terdapat pada beberapa pemukiman akan diberi bobot yang relatif lebih
besar dibanding dengan bobot yang diberikan pada sekolah dasar yang
terletak pada hampir semua pemukiman.
Indekss sentralitas dari suatu pemukiman dihitung berdasarkan jumlah
dad bobot fungsi yang terdapat pada permukiman tersebut. Makin besar
indeks ini menunjukkan tingkat sentralitas yang makin tinggi pula.
Tahapan perhitungan indekss sentralitas terbobot adalah sebagai berikut:
1. Salin skalogram yang sebelumnya telah dibuat, ganti tanda "X"
dengan angka 1.
2. Hitung jumlah total menurut baris dan kolom.
3. Hitung bobot dari setiap fungsi berdasarkan rumus :

C=t/T
dengan :
C = bobot fungsi
t = nilai sentralitas total, diambil sama dengan 100
T = jumlah total fungsi dalam wilayah yang ditinjau.

36
Tabel 4.4. Perhitungan Bobot Fungsi
SATUAN FUNGSI
TOTAL
PEMUKIMAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A 1 1 1 1 1 1 1 1 10
B 1 1 1 1 1 0 1 0 8
C 1 1 1 1 0 0 0 0 6
D 1 1 1 1 0 1 0 0 7
E 1 1 1 0 0 0 0 0 5
F 1 1 1 0 0 0 0 0 0 4
G 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3
H 1 1 0 0 0 0 0 0 0 3
Jumlah Fungsi 8 8 8 6 5 4 2 ? 2 1 46
Centralitas Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100
Bobot 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 50.0 50.0 50.0 100

4. Tambahkan satu baris pada tabel dimaksud dan tuliskan pada baris
tersebut hasil perhitungan bobot fungsi tadi.
Hasil langkah-langkah 1 sampai dengan 4 diperlihatkan pada Tabel 4.4
5. Buat tabel lain yang serupa dengan tabel sebelumnya. Ganti angka "1"
yang ada dengan bobot fungsi yang telah dihitung pada langkah 3.
6. Hitung jumlah total dari setiap bobot fungsi untuk mendapatkan indeks
sentralitas terbobot dari setiap satuan pemukiman.
Hasil akhir diperlihatkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Perhitungan Indeks Sentralitas

SATUAN FUNGSI TOTAL


PEMUKIMAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
A 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 50.0 50.0 50.0 100 349.1
B 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 250 50.0 50.0 199.1
C 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 99.1
D 12.5 12.5 12.5 16.6 20.0 25.0 50.0 149.1
E 12.5 12.5 12.5 16.6 20O 74.1
F 12.5 12.5 12.5 16.6 54.1
G 12.5 12.5 12.5 16.6 54.1
H 12.5 12.5 12.5 37.5
Centralitas Total 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 1000.0

Keunggulan :
Sama dengan metoda skalogram, malah metoda ini menghasilkan urutan
hirarki pusat pelayanan yang lebih tajam, meskipun data yang dibutuhkan

37
tidak terlalu banyak dan umumnya mudah diperoleh, serta proses
analisisnya relatif lebih mudah dilakukan.
Kelemahan :
Sama dengan metoda skalogram.

(iv) Skala Guttman


Pemakaian Skala Guttman di samping dapat digunakan untuk
menentukan hirarki pemukiman sebagai pusat pelayanan, juga dapat
dipakai untuk melihat distribusi tingkatan perkembangan wilayah yang
ditinjau.
Metoda ini berbasis pada asumsi bahwa keberadaan fungsi
pelayanan memiliki hirarki tertentu, dalam arti bahwa jika suatu fungsi
yang memiliki hirarki yang lebih tinggi terdapat pada suatu pusat, maka
fungsi-fungsi lainnya yang memiliki hirarki yang lebih rendah harus ada
pula pada pusat tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pusat pelayanan
dengan hirarki tertentu diharapkan memiliki fungsi dengan jumlah dan
urutan tertentu. Suatu fungsi yang terdapat pada pusat pelayan dengan
hirarki yang lebih rendah tetapi tidak terdapat pada pusat pelayanan yang
memiliki hirarki yang lebih tinggi dianggap sebagai suatu kesalahan. Jika
hal ini terjadi maka perlu dilakukan kajian statistik tertentu, dan mungkin
saja fungsi yang ditinjau perlu dihilangkan dari proses analisis selanjutnya.
Prosedur penyusunan skala Guttman untuk sistem pemukiman
adalah sebagai berikut:
1. Susun skalogram fungsi pemukiman dengan cara yang telah dijabarkan
pada sub-bab di atas
Hasil skalogram dimaksud dengan menggunakan data hipotetis
diperlihatkan pada Gambar 4.3
2. Berdasarkan skalogram diatas dihitung Koefisien Reprodusibilitas (K r)
dan Koefisien Skalabilitas (Ks), dengan menggunakan rumus :
Kr = 1 (e / n)
Kn = 1 {e / (0.5 x (n Tn)}
Berdasarkan data pada Gambar 7.3, diperoleh K r = 0,89 dan Ks =
0,52 . Mengingat bahwa nilai Kr dan Ks yang dapat diterima adalah Kr
> 0,90 dan Ks > 0,6 maka salah satu fungsi pada skalogram di atas
harus dieliminasi.

38
3. Fungsi nomor 2 pada skalogram terlihat memiliki tingkat kesalahan
terbesar, oleh sebab itu dieliminasi. Setelah dihitung ulang diperoleh
nilai e, Tn dan n yang baru, yaitu masing-masing 5, 30 dan 60.
Gambar 4.6. Skalogram Untuk Penyusunan Skala Guttman

SATUAN FUNGSI
PEMUKIMAN 3 1 2 7 4 6 5
D X X X X X X X
A X X X X X
B X X X X X
H X X X X X
C X X X
F X X X
E X X X X
J X
G X X
I X X
e 1 2 3 0 1 I 0 8
Tn 9 7 7 7 3 3 1 37
n = 10 x 7 = 70

4. Dengan nilai yang baru tersebut dihitung kembali Kr dan Ks, dan
diperoleh Kr = 0,916 dan Ks = 0,66.
Keduanya lebih besar dari batas bawah yang diizinkan, dengan
demikian skalogram tersebut dapat diterima.
5. Dengan skalogram yang bam ditentukan skala dari setiap fungsi, yaitu
sama dengan nilai Tn-nya masing-masing.
6. Skala dari setiap satuan pemukiman ditentukan berdasarkan fungsi
dengan skala terbesar yang dimiliki oleh satuan pemukiman.
Skala Guttman yang diperoleh dapat dikombinasikan dengan metoda lain
untuk mengelompokkan pemukiman ke dalam beberapa tingkatan
perkembangan dan menampilkannya pada peta.
Sebagai contoh diberikan hasil analisis yang dilakukan pada Wilayah
Aliran Sungai (DAS) Bicol di Philipina (lihat Tabel 4.6). Hirarki pemukiman
yang diperoleh berdasarkan skala Guttman dikelompokkan ulang menjadi
30 skala jenjang (stepscale) yang selanjutnya dipadatkan menjadi9
jenjang saja. Dengan menggunakan jenjang ini sebagai indikator tingkat
perkembangan, dapat ditarik serangkaian garis isopleth yang melingkupi

39
pemukiman/wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang sama,
seperti diperlihatkan pada Gambar 4.6.

Tabel 4.6. Skala Guttman untuk Sistem Pusat-Pusat Pelayanan pada


Camarines Sur Province, Wilayah Aliran Sungai Bicol, 1975 [36]

SKOR SKALA SKALA JENJANG


RANK PEMUKIMAN JUMLAH PERSEN DIPADAT
N
FUNGSI TASE KAN
33 Gainza 29 19 1 1
32 Del GaHego 48 32 2 2
31 Lupi 53 35 3 2
30 Tinambac 55 36 4 2
29 Balaian 55 36 4 2
28 Minalabac 57 38 5 2
27 Pasacao 59 39 6 2
26 Bula 61 40 7 2
25 Bombon 63 41 8 2
24 Camaligan 63 41 8 2
23 Cabusao 65 43 9 2
22 San Fernando 66 43 10 2
21 MHaor 66 43 10 2
20 Ocampo 67 44 11 2
19 Magarao 68 45 12 2
18 Canaman 70 46 13 2
17 Sangay 71 47 14 2
16 San Jose 73 48 15 2
15 Lagonoy 74 49 16 2
14 Pamplona 81 53 17 3
13 Ragay 88 58 18 4
12 Bato 93 61 19 5
11 Sipocot 96 63 20 5
10 Calabanga 97 64 21 5
9 Baao 99 65 22 5
8 Buhi 104 66 23 6
7 Tigaon 109 72 24 6
6 Nabua 111 73 25 6
5 Libmanan 117 77 26 7
4 Pili 119 78 27 1
3 Goa 122 80 28 1
2 Iriga City 134 88 29 8
1 Naga City 152 100 30 9

Keunggulan:
Walaupun data yang dibutuhkan relatif mudah diperoleh dan proses
analisis-nya juga tidak terlalu rumit tetapi mampu memperlihatkan pola /
distribusi tingkat perkembangan wilayah. Pola ini membantu proses
analisis lainnya (seperti analisis sistem hubungan) untuk memahami
struktur tata ruang wilayah yang ditinjau.

40
Kelemahan:
Dalam prakteknya sulit ditemui pola fungsi pelayanan memenuhi asumsi
yang mendasari metoda ini. Oleh sebab itu sering dalam proses
penyusunan skala Guttman, beberapa fungsi terpaksa dihilangkan agar
asumsi dimaksud dapat dipenuhi. Padahal fungsi tersebut (berdasarkan
pendekatan lain) justru yang menentukan derajat sentralitas dari suatu
pusat pelayanan.
Di samping itu hasil analisis baru memberikan perkiraan kasar tentang
hirarki perkembangan pemukiman sehingga masih perlu di cross-check
dengan hasil analisis metoda lainnya.
(v) Analisis Ambang Batas
Analisis ambang batas (Threshold Analysis) digunakan untuk
menghitung jumlah penduduk minimal yang dibutuhkan untuk mendukung
keberadaan suatu fungsi atau fasilitas pelayanan sosial ekonomi.
Salah satu pendekatan yang dapat dipakai dalam analisis ini adalah
aturan yang direkomendasikan oleh Marshall (dalam PSDALUH-DTKTD,
1992) sebagai berikut :
Ambang batas adalah jumlah penduduk dari pusat pelayanan yang
terdapat pada garis yang membagi dua daftar urutan pusat-pusat
dengan cara sedemikian rupa sehingga jumlah pusat yang tidak
memiliki fungsi di atas garis pembagi tadi sama dengan jumlah
pusat yang memiliki fungsi yang terdapat di bawah garis pembagi.
Jika suatu ambang batas telah ditemukan, maka ambang ini
(bersama dengan fungsinya) secara berurutan dapat dihilangkan
kecuali sekurang-kurangnya setengah dari pusat-pusat yang
berada di atas ambang batas memiliki fungsi yang ditinjau.
Prosedur untuk menentukan ambang batas suatu fungsi peiayanan sosial
ekonomi adalah sebagai berikut:
1. Buat suatu tabel yang diisi dengan pusat pelayanan yang diurut
berdasarkan jumlah penduduknya dikaitkan dengan keberadaan (1)
atau ketidak beradaan (0) dari semua fungsi atau fasilitas pelayanan.
Tabel dimaksud dengan menggunakan data hipotetis diperlihatkan
pada Tabel 4.7
2. Gunakan aturan Marshall pertama untuk mengidentifikasi ambang
batas dari setiap fungsi
3. Gunakan aturan Marshall kedua untuk mengeliminasi beberapa fungsi.

41
Tabel 4.7. Perhitungan Ambang Batas untuk Fungsi-Fungsi Pelayanan
Sosial Ekonomi

PUSAT JUMIAH FUNGSI 1 FUNGSI 2 FUNGSI 3


PELAYANAN PENDUDUK
A 10.000 1 1 1
B 8.000 0 1 1
C 6.000 0 1 1
D 5.500 0 0 1
E 3.000 0 0 1
F 2.700 1 1 0
G 1.900 0 1 1
H 1.700 0 0 1

Berdasarkan prosedur di atas maka diperoleh ambang batas untuk fungsi


pertama adalah 8000, untuk fungsi kedua 3000, dan untuk fungsi ketiga
sama dengan 1900.
Kelemahan :
Terdapat beberapa keterbatasan dalam penggunaan metoda analisis ini,
antara lain cenderung memberikan penaksiran yang kurang cermat
karena hanya menghitung jumlah penduduk yang berada pada pusat
pemukiman, tidak memperhitungkan jumlah penduduk yang berdiam pada
wilayah sekitar pusat pemukiman yang masih termasuk dalam jangkauan
pelayanan.
Di samping itu ambang batas yang dihitung mungkin tidak realistik
menyatakan potensi suatu pemukiman untuk mendukung keberadaan
suatu fungsi khususnya pada wilayah-wilayah yang belum terintegrasi
atau wilayah yang belum berkembang secara wajar.
Metoda ini juga cenderung bias pada kriteria lokasi (yang ditetapkan
berdasarkan pertimbangan tertentu) dibanding pada pertimbangan
efisiensi ekonomi.
Keunggulan :
Metoda analisis ini dapat memberikan informasi kasar tentang ambang
batas untuk setiap fungsi dan fasilitas pelayanan yang ada pada suatu
wilayah secara cepat dan dengan menggunakan data yang relatif mudah
dikumpulkan. Disamping itu sekaligus memberikan informasi tentang
fasilitas pelayanan yang berlebihan atau kurang pada suatu pusat
pelayanan.

42
Informasi ini minimal dapat dipakai pada proses pemeriksaan silang (cross
checking) dengan hasil yang diperoleh dari metoda analisis lainnya.
(vi) Distribusi Fungsi Pelayanan
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui tingkat / hirarki pusat-pusat
pelayanan dan distribusi fungsi-fungsi pelayanan sosial ekonomi
dihubungkan dengan jumlah penduduk atau satuan pemukiman yang
membutuhkan pelayanan tersebut.
Analisis didasarkan pada hasil yang diperoleh dari analisis
skalogram dan indeks sentralitas terbobot yang telah dilakukan terdahulu.
Analisis tingkat pusat-pusat pelayanan dilakukan dengan
mengelompokkan satuan-satuan pemukiman berdasarkan indeks
sentralitas terbobot (1ST) yang dimilikinya. Berdasarkan nilai IST-nya
masing-masing kelompok tersebut dinamakan pusat pelayanan pertama
(PP1), pusat pelayanan kedua (PP2), dan seterusnya.
Dengan membandingkan nilai IST rata-rata dari setiap kelompok dapat
diketahui apakah distribusi pusat-pusat pelayanan tersebut cukup baik
sehingga mampu menjangkau satuan-satuan pemukiman yang ada.
Sebagai acuan dapat digunakan kaidah bahwa jika IST pusat pelayanan
pada suatu tingkatan memiliki nilai sekitar 0.5 dari IST pusat pelayanan
pada tingkatan di atasnya, maka dianggap hirarki pusat-pusat pelayanan
di wilayah yang ditinjau cukup baik. Sebaliknya jika IST pusat pelayanan
pada tingkatan tertinggi sangat besar dibanding dengan IST pada
tingkatan berikutnya, maka terjadi struktur primasi (primacy), artinya
pelayanan pada wilayah tersebut terkonsentrasi hanya pada satu pusat
utama saja.
Untuk memberikan gambaran lebih jauh tentang metoda analisis
dimaksud, diperlihatkan Hasil analisis hirarki pusat-pusat pelayanan di
kabupaten XXX
Tabel 4.8. Hirarki Pusat-Pusat Pelayanan di Kabupaten XXX

NO. FUNGSI JUMLAH INDEKS IST RATA-


LOKASI SENTRALITAS RATA
1 PP1 1 1.493 1.493
2 PP2 3 240 - 276 270
3 PP3 4 109 - 176 135
4 PP4 15 58 - 91 75
5 PEMUKIMAN 109 2 - 47 16
BIASA

43
Tabel 4.8 di atas memperlihatkan bahwa pusat-pusat pemukiman di
Kabupaten Pacitan berdasarkan indekss sentralitasnya dibagi menjadi 5
kategori, yaitu pusat pelayanan utama (PPI), pusat pelayanan kedua
(PP2), pusat pelayanan ketiga (PP3) dan pusat pelayanan keempat (PP4).
Kategori kelima tidak digolongkan sebagai pusat pelayanan (hanya
merupakan pemukiman biasa) karena tidak / kurang memiliki kemampuan
pelayanan kepada wilayah sekitarnya.
Informasi yang dapat diperoleh dari tabel ini antara lain bahwa terdapat
kesenjangan yang cukup besar antara PPI (dengan IST = 1.493) dengan
PP2 yang memiliki IST rata-rata hanya sebesar 270, atau sekitar kurang
dari 20% IST PPI. Dengan kata lain bahwa PP2 di kabupaten XXX hanya
memiliki kurang dari 20 % fasilitas yang terdapat di PPI. Padahal seperti
disebutkan sebelumnya, persentase tersebut seyogyanya berkisar 50%.
Keadaan ini menunjukkan bahwa adanya ketidak seimbangan struktur
pusat-pusat di kabupaten XXX, pola hirarki pusat-pusat pelayanan
membentuk struktur primacy atau terkosentrasi pada satu pusat saja, yaitu
di kota XXX. Hal ini merupakan indikator ketersediaan fungsi pelayanan
yang tidak merata serta penyampaian pelayanan sosial ekonomi yang
tidak efisien pula.
Analisis akan lebih tajam lagi jika tabel hirarki pusat-pusat pelayanan tadi
dilengkapi dengan jumlah dan persentase pemukiman serta jumlah dan
persentase penduduk yang berdiam pada setiap kelompok pusat-pusat
tadi. Dari kaitan ini dapat dilihat distribusi penduduk yang terlayani dengan
intensitas pelayanan tertentu. Berdasarkan informasi tersebut dapat
ditemukenali program-program indikatif untuk memperbaiki atau
meningkatkan kondisi fungsi pelayanan di wilayah yang ditinjau.
Keunggulan :
Keunggulan metoda terletak pada kesederhanaannya, baik yang
menyangkut jumlah dan jenis data yang dibutuhkannya, maupun prosedur
analisisnya, Walaupun demikian metoda ini mampu menggali informasi
yang berkaitan dengan tingkatan dan distribusi pelayanan sosial ekonomi
pada suatu wilayah.
Kelemahan :
Karena metoda ini berbasis pada hasil analisis skalogram, maka semua
kelemahan dari metoda skalogram juga otomatis menjadi kelemahan
metoda ini. Di samping itu, analisis distribusi pelayanan tidak

44
memperhitungkan faktor aksesibilitas lokasi, sehingga tidak memberikan
gambaran distribusi pelayanan yang sebenarnya.
2. Analisis Sistem Hubungan
Analisis Sistem Hubungan digunakan untuk menemukenali lokasi
strategis bagi penempatan / pengembangan fasilitas sosial ekonomi dilihat
dari segi potensinya sebagai wilayah tujuan penduduk dan luas jangkauan
pelayanannya.
Untuk maksud tersebut, perlu dievaluasi berbagai jenis keterkaitan
fungsional antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Khusus untuk
penyusunan RUTR, analisis keterkaitan fungsional dimaksud cukup
dilakukan untuk 3 jenis keterkaitan, yaitu : (i) keterkaitan ekonomi, (ii)
keterkaitan fisik, dan (iii) keterkaitan sosial.
Analisis keterkaitan ekonomi difokuskan pada keterkaitan antara
pusat-pusat pemasaran yang ada, keterkaitan fisik difokuskan pada
analisis sistem jaringan perhubungan / transportasi, sedangkan analisis
sosial difokuskan pada hubungan yang terjadi akibat adanya pelayanan
sosial ekonomi, khususnya sekolah dan rumah sakit.
Pertanyaan analitik yang berkaitan dengan analisis sistem hubungan
diperlihatkan pada Tabel 4.9.
Tabel 4.9 Pertanyaan Analitis dalam Analisis Sistem Hubungan.

PERTANYAAN / INFORMASI METODA ANALISIS


Bagaimana keterkaitan dan hirarki Analisis Pusat Pemasaran
pasar-pasar yang ada pada wilayah
yang ditinjau
Bagaimana pola keterkaitan satuan- Analisis Jaringan Transportasi
satuan pemukiman dan tingkat
efektivitas pelayanan jaring an
transportasi yang ada
Bagaimana keterkaitan sosial Analisis Keterkaitan Sosial
mempengaruhi pola arus pergerakan
penduduk

a. Analisis Pusat Pemasaran


Analisis ini bertujuan untuk mengetahui hirarki pasar-pasar yang
terdapat pada wilayah perencanaan dan jangkauan pelayanannya
masing-masing. Analisis ini digunakan untuk mengetahui arah pergerakan

45
penduduk khususnya yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi
masyarakat.
Prosedur analisis ini adalah sebagai berikut:
1. Kompilasi daftar pasar-pasar yang terdapat pada pusat-pusat
pemukiman. Data yang dibutuhkan antara lain berupa frekuensi dan
besaran pasar, yaitu meliputi jumlah pedagang, jenis dan jumlah
komoditas yang diperdagangkan, luas lantai, dan sebagainya.
Umumnya data tersebut telah tersedia sehingga tidak membutuhkan
survei khusus.
2. Memetakan dan mengklasifikasikan pasar menurut frekuensi dan
besarannya.
3. Mengukur aktivitas pasar; Untuk penyusunan RUTR aktivitas pasar
dapat diukur secara tidak langsung, yaitu dengan menganalisis data
yang berkaitan dengan jumlah penerimaan retribusi pasar yang
berhasil dikumpulkan, jumlah izin yang dikeluarkan, luas lantai yang
digunakan oleh pedagang, ukuran bangunan pasar permanen dan
data-data lainnya.
4. Menentukan wilayah pengaruh pasar. Perkiraan kasar tentang wilayah
pengaruh suatu pasar dilakukan dengan menganalisis data asal tujuan
komoditas pada setiap pasar yang ada pada satuan pemukiman,
hambatan-hambatan alamiah, dan sarana serta prasarana transportasi
yang menghubungkan satuan-satuan pemukiman. Data dimaksud
dikumpulkan pada tingkatan satuan pemukiman {desa-desa) dan
umumnya telah tersedia, antara lain pada buku Kabupaten dalam
Angka, Kecamatan dalam Angka, atau Buku Profil Desa. Data orientasi
pasar juga dapat diperoleh dari buku Common Data Base (CDB)
Kabupaten yang disusun oleh PUSIDO/P2Rsetempat, atau jika tidak
tersedia dapat dicari pada kantor Kanwil/Dinas Perdagangan setempat.
Jika data sekunder tidak tersedia, maka dibutuhkan survei khusus.
Untuk keadaan seperti ini, disarankan untuk melakukan analisis pusat
pemasaran dengan mengambil beberapa pasar dengan berbagai
hirarki, misalnya 2 atau 3 pasar terbesar dan beberapa pasar lokal
lainnya sebagai sample.
Keunggulan :
Analisis ini dapat digunakan untuk mengetahui luas atau jangkauan
wilayah pelayanan suatu pasar dengan hanya mengandalkan data
sekunder saja, sehingga tidak diperlukan survei khusus.
Kelemahan :

46
Metoda analisis ini tidak mampu menjelaskan lingkup orientasi pemasaran
terutama bagi pasar-pasar besar yang melayani perdagangan yang
bersifat lebih luas (antar wilayah).
b. Analisis Jaringan Transportasi
Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antar satuan-satuan
pemukiman berdasarkan jaringan transportasi yang tersedia dan tingkat
efektivitas pelayanan sistem jaringan transportasi dilihat dari jumlah
satuan pemukiman / penduduk yang terlayani.
Data yang dibutuhkan untuk analisis ini antara lain [3] :
1. Kerapatan jalan, yaitu berupa panjang jalan dibagi dengan luas
wilayah.
2. Kebutuhan transportasi bagi penduduk pedesaan
3. Kualitas / kelas jalan, untuk menentukan aksesibilitas terhadap
fasilitas pelayanan yang ada di pusat-pusat pelayanan.
4. Jarak rata-rata satuan pemukiman ke jaringan transportasi utama.
5. Klasifikasi jalan menurut: jalan negara, jalan propinsi dan jalan
kabupaten.
6. Moda transportasi yang tersedia, mulai dari dokar, sepeda, sepeda
motor, mobil, dan sebagainya, dikaitkan dengan kemudahan
transportasi pada masa sekarang dan pada masa akan datang.
7. Kondisi permukaan jalan, misalnya beraspal, jalan krikil, jalan tanah,
dan sebagainya, dikaitkan dengan kriteria-kriteria aksesibilitas.
8. Data asal dan tujuan perjalanan penumpang dan barang, termasuk
volumenya.
Umumnya data di atas telah tersedia, misalnya dapat diperoleh dari buku
Kabupaten dalam Angka, dan khusus untuk data asal tujuan perjalanan
penumpang dan barang dapat diperoleh dari hasil survei asal dan tujuan
yang dilakukan secara periodik oleh Departemen Perhubungan atau dapat
dikumpulkan dari kantor DLLAJ setempat.
Data tersebut dikompilasi menurut moda, jaringan dan kondisi jalan, dan
diarahkan untuk mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kondisi
dan kemampuan jaringan transportasi melayani kebutuhan penduduk.
Contoh hasil analisis dimaksud ditayangkan pada Tabel 7.10 yang
memperlihatkan kemampuan pelayanan yang ditawarkan oleh jaringan
transportasi pada suatu wilayah hipotetis.
Dengan memperhatikan tabel ini terlihat bahwa jaringan transportasi pada
wilayah yang ditinjau belum memadai, karena persentase penduduk yang

47
tidak terlayani oleh jalan raya mencapai angka 30 % yang berdiam pada
321 satuan pemukiman (kurang lebih 41 % dari total satuan pemukiman
yang ada).
Jumlah jalan aspal juga kurang memadai karena hanya mampu melayani
9% dari seluruh jumlah penduduk, atau hanya menghubungkan 3% dari
total satuan pemukiman saja.
Tabel 4.10 Jumlah Penduduk dan Satuan Pemukiman yang Dilayani
oleh Jaringan Jalan di Kabupaten Antah Berantah

PENDUDUK YANG PEMUKIMAN YANG


TERLAYANI TERLAYANI
% JML.TOTAL % JML.TOTAL
Jalan Raya:
Aspal 9 50.783 3 23
Krikil 13 73.354 6 47
Tanah 46 259.560 48 376
Sub Total 383.697 446
Jalan Setapak 30 169.278 41 321
Lainnya:
Sungai -
Kereta Api 2 11.285 2 16
Total 100 564.260 100 784

Keunggulan dan Kelemahan :


Data yang dibutuhkan untuk analisis ini. yaitu mengenai prasarana dan
sarana transportasi relatif tersedia di semua kabupaten di Indonesia,
tetapi data mengenai asal tujuan perjalanan barang tidak dilakukan setiap
tahun (sekali dalam 5 tahun), sedangkan asal tujuan penumpang sangat
jarang dilakukan sehingga diperlukan survei khusus.
Data asal tujuan penumpang dan barang memperlihatkan kepadatan
angkutan menurut ruas jalan, dengan demikian dapat disusun prioritas
pembangunan dan pengembangan jalan secara tepat.
c. Analisis Keterkaitan Pelayanan Wilayah
Salah satu cara untuk melihat derajat keterkaitan antara satuan-
satuan pemukiman dengan pusat-pusat pelayanan, atau untuk mengukur
wilayah pengaruh suatu pusat pelayanan adalah dengan mempelajari asal
dari penduduk yang memanfaatkan suatu fasilitas pelayanan, khususnya
pelayanan sosial, misalnya sekolah dan rumah sakit.
Tahapan untuk analisis ini, dengan mengambil sekolah lanjutan sebagai
contoh fasilitas pelayanan sosial, adalah sebagai berikut:

48
1. Kumpulkan data tentang jumlah sekolah menengah yang ada pada
setiap satuan pemukiman.
2. Pilih beberapa sekolah menengah yang ada pada setiap satuan
pemukiman sebagai cuplikan (sample).
3. Catat asal dari siswa sekolah yang dicuplik tersebut dan buat
distribusinya menurut jarak dari sekolah.
4. Hasil tabulasi data (hipotetis) diperlihatkan pada Tabel 4.11

Tabel 4.11 Jangkauan Pelayanan dari Sekolah Menengah


di Kabupaten Antah Berantah

JUMLAH % DISTRIBUSI PEMUKIMAN ASAL


LOKASI 0-5 Km 5 -10 Km > 10 Km
SEKOLA SISWA
SEKOLAH
H DARI Rata-2 Rata-2 Rata-2
Jumlah Jumlah Jumlah
LUAR per per per
Pemu- Pemu- Pemu-
DAE Pemu Pemu Pemu-
kiman kiman kiman
RAH kiman kiman kiman
A 9 58 205 1.9 30 6.2 7 17.9
B 7 69 82 2.1 12 6.7 6 14.6
C 3 55 13 2.3 3 7.2 1 29.3
D 2 54 16 2.5 7 7.3 3 16.2
E 2 48 40 2.1 3 8.6 2 13.7
F 1 56 16 2.6 3 6.9 2 18.6
H 1 44 24 4.0 3 6.5 2 13.5
I 1 28 2 5.2 - - 2 14.7
J 1 42 - - 3 8.3 1 16.7

Beberapa informasi dapat ditarik dari Tabel 4.11, antara lain bahwa
pelayanan sekolah menengah tidak terdistribusi merata pada seluruh
wilayah kabupaten. Sekitar60%dari seluruh sekolah menengah terdapat
pada dua kota saja, yaitu kota A dan B.
Informasi lainnya yang dapat ditarik, bahwa berdasarkan data tersebut
terlihat bahwa untuk kota A, 58 % siswanya berasal dari 242 satuan
pemukiman di luar kota A, dan dari jumlah itu sekitar 85 % (205 satuan
pemukiman) dalam jangkauan jarak kurang dari 5 km. Ini menunjukkan
kecilnya jangkauan pelayanan fungsi tersebut.
Keunggulan dan Kelemahan :
Informasi yang diperoleh dari analisis ini bersama-sama dengan kedua
jenis analisis yang disebutkan terdahulu dapat dipakai untuk menentukan
sentralitas dari suatu pusat pelayanan sekaligus jangkauan wilayah
pelayanannya.

49
Analisis ini hanya menjelaskan pelayanan yang sifatnya "kedalam"
(sekolah dan rumah sakit) dan bukan untuk fungsi pelayanan yang bersifat
sentral (misalnya fasilitas pelayanan pendidikan tinggi atau rumah sakit
spesialistis) yang cenderung melayani penduduk yang berasal dari luar
kabupaten.
3. Analisis Aksesibilitas
Analisis Aksesibilitas diarahkan untuk mengetahui tingkat
kemudahan hubungan dari penduduk yang berdiam pada suatu
pemukiman yang tersebar dalam wilayah perencanaan untuk menikmati
fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang terletak pada pusat-pusat
pelayanan.
Dengan kata lain analisis dapat digunakan untuk menentukan
satuan-satuan pemukiman yang tidak terjangkau secara memadai oleh
pusat-pusat pelayanan sosial ekonomi (wilayah terisolasi).
Tingkat kemudahan diukur dengan jumlah pengorbanan yang harus
dikeluarkan oleh penduduk untuk menikmati pelayanan sosial ekonomi
yang tersedia pada pusat-pusat pelayanan. Jumlah pengorbanan
Dalam proses analisis aksesibilitas, analisis diarahkan untuk menjawab
sekurangnya dua pertanyaan analitis yang diperlihatkan pada Tabel 4.12

4. Indekss Wilayah Pelayanan


Analisis ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan
(dengan kata lain wilayah pelayanan) dari setiap fungsi pelayanan sosial
ekonomi. Jangkauan pelayanan dimaksud diukur berkisarkan waktu atau
ongkos tertentu yang harus dikeluarkan oleh penduduk untuk menikmati
pelayanan yang tersedia pada pusat-pusat pelayanan, dibandingkan
dengan suatu kriteria atau acuan baku tertentu. Acuan ini bervariasi
menurut jenis pelayanan.

50
Tabel 4.12. Pertanyaan Analitis yang Berkaitan dengan Aksesibilitas
PERTANYAAN / INFORMASI METODA ANALISIS
Seberapa jauh jangkauan pelayanan Indeks Wilayah Pelayanan
yang mampu disediakan oleh suatu
jenis fasilitas pelayanan.
Bagaimana mengukur tingkat Model Aksesibilitas
kemudahan yang dimiliki oleh suatu
lokasi / pusat pelayanan

Prosedur untuk menghitung indeks wilayah pelayanan terdiri atas empat


langkah sederhana, yaitu:
1. Catat semua jarak yang menghubungkan pusat-pusat pelayanan
dengan satuan-satuan pemukiman yang ada pada wilayah
perencanaan.
2. Hitung jarak antara setiap satuan pemukiman ke setiap fasilitas
pelayanan, dan hitung pula jumlah penduduk yang berdiam pada
setiap interval jarak ke fungsi pelayanan.
3. Buat tabel yang memperlihatkan distribusi persentasi penduduk
menurut jarak dari lokasi fungsi pelayanan untuk setiap fungsi
pelayanan yang dianalisis.
4. Bandingkan hasil yang diperoleh pada langkah 3 di atas dengan
acuan / kriteria yang dianut untuk memperoleh kesimpulan apakah
jangkauan pelayanan suatu fasilitas memenuhi kriteria atau tidak.
Contoh :
Aksesibilitas penduduk kota A terhadap beberapa fungsi pelayanan dapat
ditentukan dengan mengukur jarak dari kota A ke lokasi fungsi pelayanan.
Hasil pengukuran dimaksud (dengan data hipotetis) diperlihatkan pada
Tabel 4.13.
Jika berdasarkan pengamatan diperoleh bahwa sulit bagi penduduk kota
A berjalan lebih jauh dari 15 km berhubung kondisi jalan yang buruk atau
kendala geografis lainnya, maka berdasarkan data pada Tabel 7.13 dapat
disimpulkan bahwa penduduk yang berdiam di kota A masih dalam
jangkauan pelayanan dari fungsi balai pertemuan, sekolah dasar dan
puskesmas, tetapi berada-diluar jangkauan pelayanan efektif dari rumah
sakit, dan SLTP.
Tabel 4.13 Jarak Rata-Rata kota A ke Fungsi Pelayanan

51
Fungsi Pelayanan Jarak Rata-Rata
Balai Pertemuan 0 Km (terletak pada kota A)
Sekolah Dasar 5 Km
Puskesmas 10 Km
Rumah Sakit 20 Km
SLTP 20 Km

Wilayah pelayanan dari setiap fasilitas ditentukan dengan menghitung


proporsi jumlah penduduk yang berdiam pada interval jarak tertentu dari
lokasi fasilitas pelayanan. Contoh perhitungan-ini, juga dengan
menggunakan data hipotetis, diperlihatkan pada Tabel 4.14

Tabel 4.14 Distribusi Jumlah Penduduk


Menurut Jarak Dari Fungsi Pelayanan
0 Km 1 -5 Km 6-10 Km 11 -20 Km > 20 Km
Balai Pertemuan 60 30 10
Sekolah Dasar 30 40 30
Puskesmas 20 30 30 20
Rumah Sakit 10 15 20 25 30
SLTP 10 15 20 25 30

Selain menggunakan variabel jarak, metoda analisis ini dapat pula


didasarkan pada variabel waktu atau ongkos yang dibutuhkan untuk
mencapai fasilitas pelayanan. Tergantung pada kondisi wilayah yang
dianalisis, tetapi dalam banyak kasus variabel waktu atau ongkos ini lebih
mencerminkan aksesibilitas yang sebenarnya.
Untuk mengukur apakah jangkauan pelayan memadai atau tidak,
diperlukan kriteria baku yang menyangkut waktu, jarak atau ongkos
maksimal yang dikeluarkan untuk mencapai lokasi fasilitas pelayanan.
Misalnya, jika disepakati bahwa sekurangnya 50% penduduk harus
berdiam pada wilayah yang berjarak kurang dari 5 km dari SLTP sebagai
kriteria jangkauan pelayanan untuk SLTP, maka berdasarkan data pada
Tabel 4.13 di atas, dapat disimpulkan bahwa wilayah pelayanan SLTP

52
kurang atau tidak memadai. Jika kriteria jangkauan pelayanan untuk balai
pertemuan adalah sekurang-kurangnya 50 % penduduk berdiam pada
lokasi yang berjarak kurang dari 10 km dari balai pertemuan, maka
berdasarkan data di atas diperoleh kesimpulan bahwa aksesibilitas fungsi
tersebut jauh di atas rata-rata.
Keunggulan :
Analisis membutuhkan data yang umumnya tersedia atau gampang
dikumpulkan dan proses analisisnya juga relatif mudah. Walaupun
demikian metoda ini mampu dengan cepat memperlihatkan kekurangan
fungsi-fungsi pelayanan tertentu pada wilayah yang ditinjau, dan sekaligus
memberikan informasi alternatif lokasi tempat pengembangan fungsi-
fungsi pelayanan yang dianggap kurang.
Kelemahan :
Hasil analisis tidak mencerminkan tingkat aksesibilitas yang sebenarnya,
karena analisis tidak didasarkan pada pengukuran jumlah penduduk yang
betul-betul membutuhkan fasilitas pelayanan tersebut.
Di samping itu, hasil pengukuran hanya mencerminkan aksesibilitas yang
bersifat fisik saja, variabel-variabel lainnya belum tercermin. Misalnya,
penduduk yang berdiam di dekat rumah sakit swasta yang modern, secara
fisik memiliki tingkat aksesibilitas yang tinggi, tetapi pada kenyataannya
tidak mampu menikmati fasilitas pelayanan rumah sakit tersebut karena
tidak memiliki uang yang cukup.
5. Model Aksesibilitas
berdasarkan pendekatan lain, misalnya DAS atau lainnya.
Untuk memudahkan analisis diasumsikan bahwa semua perjalanan
dilakukan antar pusat-pusat kawasan. Pada contoh ini diambil 3 buah
kawasan. Model ini dapat dipakai untuk mengukur tingkat kemudahan
suatu pusat pelayanan yang memiliki beberapa fungsi pelayanan sosial
ekonomi. Model mengacu pada pendekatan bahwa tingkat aksesibilitas
dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang berpotensi untuk memanfaatkan
fasilitas pelayanan yang tersedia. Makin banyak jumlah penduduk makin
tinggi pula aksesibilitas pusat pelayanan tersebut.
Contoh cara perhitungan indeks aksesibilitas lokasi dengan menggunakan
data hipotetis adalah sebagai berikut :
1. Tentukan kawasan dan pusat kawasan
Kawasan dimaksud dapat ditentukan berdasarkan wilayah administratif
(kecamatan), atau

53
2. Tentukan jaringan perhubungan antara setiap pusat serta jenis sarana
transportasi yang ada.
3. Hitung waktu jelajah, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan
dari satu pusat ke pusat kawasan lainnya, termasuk waktu jelajah
dalam pusat kawasan. Hasil perhitungan dinyatakan dalam bentuk
tabel sebagai berikut:

Dari Kawasan Ke kawasan


1 2 3
1 0.3 6.8 7.3
2 7.0 0.5 4.0
3 7.4 3.9 0.4

4. Kumpulkan data tentang jumlah penduduk serta jumlah dan jenis


fungsi-fungsi pelayanan yang tersedia pada setiap kawasan, dan
tayangkan hasilnya dalam bentuk tabel.

Contoh tabel tersebut adalah sebagai berikut:

Jumlah Fungsi Jumlah Fungsi


Kawasan Jumlah Penduduk
A B
1 10.000 7 3
2 6.000 2 0
3 4.000 0 0

5. Hitung indekss Travel Convenience , yaitu jumlah fungsi yang berada


pada suatu kawasan dibagi dengan waktu jelajah ke kawasan tersebut.
Aij = Nkj / Tik
dengan:
Nkj = Jumlah fungsi j pada kawasan k
Tik = Waktu jelajah dari kawasan i ke kawasan k
Hasil perhitungan ini diperlihatkan pada Tabel berikut:

FUNGSI
KAWASAN
A B
1 23.63 10.00
2 5.00 0.43
3 1.46 0.41

6. Beri bobot setiap fungsi berdasarkan pentingnya fungsi tersebut di


mata penduduk.

54
Pada model ini diasumsikan bahwa bobot setiap fungsi tergantung pada
jumlah kunjungan dan waktu jelajah rata-rata yang dibutuhkan untuk
menikmati pelayanan yang ditawarkan fungsi tersebut.
Bobot dimaksud dihitung dengan rumus berikut:
W j = Nj x T j x P j
dengan:
Nj = Jumlah kunjungan rata-rata ke fungsi j dalam waktu
tertentu.
Tj = Waktu jelajah rata-rata ke lokasi fungsi j
Pj = Proporsi penduduk yang menggunakan fungsi j

7. Hitung Bobot Penduduk


Di sini diasumsikan bahwa lokasi fungsi yang dapat menjangkau lebih
banyak penduduk lebih baik dibanding dengan lokasi yang relatif kurang
dijangkau oleh penduduk. Indeks Aksesibilitas Total (Ai) untuk setiap
kawasan dihitung dengan rumus :
m Ai = 2 AijxWj
Keunggulan :
Mampu memperlihatkan distribusi pusat-pusat pelayanan berdasarkan
indeks aksesibiliitasnya masing-masing, sehingga dengan demikian
kesenjangan an-tara pusat-pusat pelayanan dapat diketahui yang akan
berguna sebagai input dalam usaha pemerataan pelayanan keseluruh
pelosok wilayah perencanaan.
Kelemahan :
Membutuhkan data yang relatif banyak yang kadang-kadang tidak
tersedia, sehingga membutuhkan survei tersendiri.
Selain itu, informasi yang diberikan bersifat agregatif, tidak
menggambarkan fungsi-fungsi pelayanan yang kurang atau berlebih pada
wilayah perencanaan.

55
BAB V.
PENUTUP
1. Proses Pembelajaran
Pembelajaran dalam kelas dilaksanakan dengan mengadopsi
proses pembelajaran berbasis student center learning. Kelas dibagi dalam
kelompok sesuai dengan modul dan sub modul pembelajaran. Mahasiswa
melakukan pendalaman berpedoman kepada modul/bahan ajar serta
mengembangkan materi dengan tugas pengayaan yang dicari melalui
internet.
Kelompok mahasiswa adalah juga kelompok peserta seminar.
Dalam hal ini setiap kelompok menjadi penyaji dari modul/sub modul yang
menjadi tuga kelompoknya.
Pendalaman materi secara individu ilakukan dengan meminta
mahasiswa peserta untuk menjadi penanya atau memberi penjelasan atas
materi diskusi.
2. Evaluasi
Evaluasi adalah proses penilaian kompetensi peserta perkuliahan,
yaitu menguji kemampuan mahasiswa sesuai dengan tujuan
pembelajaran, dalam hal ini tujuan umum pembelajaran dan tujuan khusus
pembelajaran.
Indikator penialain evaluasi, adalah:
a) Menilai keaktifan mahasiswa dengan memperhatikan
kehadira, partisipasi dalam seminar/diskusi.
b) Memeriksa tugas-tugas kelompok dan tugas individu
c) Mengadalan mid semester test. Test ini sifatnya tentatif,
bergantung kepada penilaian sepanjang proses
pembelajaran
d) Penialai akhir semester (final test). Evaluasi ini dilakukan
untuk mengetahui kompetensi individu yang sering kurang
berkembang karena kerja kelompok yang tidak memeberi
kesempatan untuk berkembang.
3. Kisi-kisi Evaluasi
Kisi-kisi evaluasi adalah rangkuman materi belajar yang diharapkan
dapat menjadi indikator penilaian kemampuan atau kompetensi yang
diharapkan sebagai hasil akhir pembelajaran.

56
Mataeri kisi-kisi ini adalah mencakup substansi tujuan khusus
pembelajaran, yaitu:
Setelah mengikuti proses pembelajaran, mahasiswa peserta mata
kuliah menguasai dan mampu menggunakan metode:
(1) Analisis Kependudukan meliputi Proyeksi Jumlah Penduduk; Analisis
Ketenagakerjaan: Analisis Tingkat Kesejahteraan: Indekss Kualitas
Hidup (IKH)/Indekss Pembangunan Manusia (IPM); serta Analisis
Mobilitas/Dinamika Masyarakat:
(2) Analisis ekonomi wilayah meliputi: Analisis Struktur ekonomi wilayah
(Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); Laju pertumbuhan ekonomi
wilayah dan laju pertumbuhan pendapatan/produktivitas per kapita;
Analisis sektor basis dan sektor unggulan wilayah, serta Analisis
komparatif produksi/komoditas unggulan.
(3) Analisis spasial meliputi Analisisi Pola Permukiman, Analisis Sistem
Hubungan antar Wilayah, Analisis Ketergantungan antar Wilayah serta
Analisis Aksesibilitas.

57
DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang


Penataan Ruang;
2. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum, Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah.
3. PSDAL-UH dan DTKTD Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan
Umum (1992) Studi Tipologi Kabupaten, Lembaga Penelitian
Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
4. Amin, Mappadjantji (1991) Pokok-pokok Pikiran dalam Rangka
Identifikasi dan Penyusunan Tipologi Kabupaten, Makalah, Jakarta 16
Agustus.
5. Barlowe, Raleigh (1986). Land Resource Economic, Prantice Hall Ltd.,
New Jersey, USA.
6. Bellasa, Bela (1989), Comparative Advantage, Trade Policy and
Economic Development, New York University Press, New York.
7. Budiharsono, Sugeng (1988), Dasar-dasar Perencanaan Wilayah,
Penerbit Universitas Nusa Bangsa, Bogor.
8. Dajan, Anto (1991), Pengantar Metode Statistik, Jilid 1, LP3ES
Universitas Indonesia, Jakarta.
9. Dykstra, Dennis P. (1984). Mathematical Programming for Natural
Resource Management, McGraw-Hill Book Company, New York, USA.
10. Friedmann, John (1966), Regional Development Policy, a Case Study
of Venezuela, MAT Press, Cambridge, Mass. USA.
11. Kurniati, Nia dan Zavir D. Pontoh (1998). Pengantar Perencanaan
Kota, Penerbit ITB, Bandung.
12. Mantra, Ida Bagus (1985) Pengantar Studi Demografi, Penerbit
Nurcahaya, Yogyakarta.
13. Parenta, Taduddin (1987), Kajian Posisi Relatif Perekonomian
Sulawesi Selatan terhadap Perekonomian Nasional, Lembaga
Penelitian Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.
14. Rondinelli, Dennis A. (1985), Applied Methods of Regional Analysis,
the Spatial Dimensions of Development Policy, Westview Press,
Boulder Colorado, USA.

58
15. _____________(1976). Urban Function for Rural Development, John
Wiley , New York
16. Richardson, H, W. (1972), Input-Output and Regional Economics,
Halsted Press Book, John Wiley , New York.
17. ______________(1972). Regional Economics, Halted Press John
Wiley , New York.
18. Sen, Amartya (1983). Development Economics Which Way New?,
Economic Journal Vol. 93 No. 372.
19. Tarigan, Robinson (2006), Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi,
Penerbit Bina Aksara, Jakarta.
20. _______________(2008), Perencanaan Pembangunan Wilayah, Edisi
Revisi, Penerbit Bina Aksara, Jakarta
21. Warpani, Suwardjoko (1979), Analisa Kota dan Daerah, Penerbit ITB,
Bandung.

59

Anda mungkin juga menyukai