Anda di halaman 1dari 7

2.

1 Kasus PT Kaltim Prima Coal


2.8.1 Profil Perusahaan
PT Kaltim Prima Coal (KPC) adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang
pertambangan dan pemasaran batubara untuk pelanggan industri baik pasar ekspor maupun
domestik. Tahun 1982 PT Kaltim Prima Coal (KPC) didirikan di Indonesia dengan masing-
masing BP dan CRA 50% memegang saham. KPC lisensi untuk melakukan eksplorasi dan
pertambangan batubara berdasarkan Kontrak Karya Batubara (Kontrak Karya) dengan HPH
seluas 90.706 ha. Negara Indonesia Perusahaan Batubara (PTBA) untuk menerima hak 13,5%
dari produksi semua. Lokasi dari PT Kaltim Prima Coal terletak di sekitar Sangatta, Kabupaten
Kutai Timur (Kutim), Provinsi Kalimantan Timur Indonesia.

2.8.2 Latar Belakang Kasus


Dalam kurun waktu enam tahun (sampai 2009) di keseluruhan kabupaten di Kalimantan
telah terbit 2.047 kuasa pertambangan dan diperkirakan mengokupasi lahan seluas 4,09 juta
hektar. Tentunya angka itu akan semakin besar jika ditambah dengan pertambangan ilegal.
Begitu pula dengan perusahaan Kaltim Prima Coal (KPC) yang bergerak di bidang
pertambangan batubara di beberapa daerah seperti Pinang, Melawan, dan Prima di Kalimantan
Timur. Dengan operasi yang bisa menjual 35.772.323 ton batubara hanya pada tahun 2008 saja,
perusahaan ini merasa memiliki tanggung jawab pada stakeholders lainnya. Permasalahan
timbul saat masyarakat dan pemerintah kabupaten merasa belum merasakan hasil dari program
CSR yang dilakukan oleh KPC. Selama sekian puluh tahun beroperasi di bawah pemerintahan
kabupaten terkait, PT Bumi Resources membeli KPC pada tahun 2003.
Untuk mendapatkan kepercayaan pemerintah daerah yang menjadi investor pada saat itu,
PT Bumi Resources memberikan beberapa janji untuk tetap ikut membangun daerah Kutai
Timur. Janji yang dilontarkan pada tahun 2003 tersebut ada beberapa, yaitu pembangunan
rumah sakit, membangun kampus Stiper, dan jalan Soekarno-Hatta dua jalur yang semuanya
sampai sekarang belum terealisasi. BR juga berjanji mengucurkan CSR sekira Rp 50 miliar per
tahun. Namun, menurut pihak masyarakat dan pemerintah daerah setempat pengelolaannya
dinilai tidak transparan dan ditangani sendiri oleh KPC. Forum Multi Stakeholder Coorporate
Social Responsibility (Forum MSH- CSR) mengatakan bahwa dana yang mereka kelola belum
maksimal dan masih di bawah dana yang dijanjikan. Misalnya saja CSR tahun 2009 untuk
Kecamatan Bengalon. Data itu adalah data yang dirilis oleh Forum Multi Stakeholder (MSH)
CSR. Dari dana CSR sekira Rp 1,1 miliar yang sampai ke rakyat hanya sekira Rp 400 juta.
Dana sekira Rp 690 juta diberikan ke instansi vertikal.
1
Namun, di sisi lain pihak KPC menyanggah hal tersebut dengan berdalih bahwa dana
yang dikucurkan harus melalui prosedur yang sesuai dengan kelengkapan dokumen dan
progress report pada tiap-tiap proyek. Akhirnya, masyarakat menuntut adanya transparansi dan
pertemuan rutin antara pihak KPC dengan Forum MSH-CSR agar permasalahannya bisa
didiskusikan bersama untuk dicari solusinya. Selain itu, masyarakat meminta agar dana CSR
tersebut tidak semuanya dikelola oleh KPC tetapi juga bekerja sama dengan Forum MSH-CSR
dalam pengalokasiaannya. Tuntutan masyarakat ini bahkan disertai dengan ancaman bahwa
operasi KPC mungkin akan terhambat keamanan dan ketertibannya jika tuntutan tersebut tidak
dipenuhi. Pihak pemerintah daerah pun juga setuju dengan tuntutan akan transparansi dan
pendelegasian pengelolaan dana CSR tersebut. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, pihak
pemerintah daerah akan meninjau ulang izin pertambangan di daerah tersebut.

2.8.3 Analisis Masalah


Jika dianalisis satu per satu, pada aspek ekonomi maka KPC sudah memenuhi hal
tersebut dengan memperoleh pendapatan sebesar USD 1.741,93 juta. Hal ini merupakan
pendapatan yang cukup besar dengan pangsa pasar ekspor yang berada di beberapa negara di
belahan dunia. Walaupun begitu, aspek legal yang berada pada dimensi di atas ekonomi sudah
dibuat kontraknya. Namun, hal ini pun masih dipertanyakan implementasinya sejak pembuatan
kontrak ataupun pengucapan janji pembangunan pada tahun 2003 sampai pada 2010 ini,
walaupun pada laporan terkait pada tahun 2008 sudah disebutkan community expenditure
commitment sebesar USD 5.000.000 dan biaya lingkungan sebesar USD 18.771,896. Pada
dimensi ethical sebenarnya KPC sudah mulai memberikan berbagai bantuan dengan kegiatan
yang berfokus pada tujuh pembangunan berkelanjutan, yakni pengembangan agribisnis,
peningkatan kesehatan dan sanitasi, pendidikan dan pelatihan, peningkatan infrastruktur
masyarakat, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah (KUKM), pelestarian alam
dan budaya, penguatan kapasitas lembaga masyarakat dan pemerintah, dan pemberdayaan
masyarakat. Namun, pelaksanaan yang kurang terkoordinasi dari tahun ke tahun membuat
pelaksanaannya cukup baik pada tahun-tahun awal sampai ke 2008 akan tetapi agak terganggu
pelaksanaannya pada tahun 2009 dan 2010 sehingga muncul masalah dengan Forum MSH-
CSR. Aspek terakhir yang perlu diperhatikan adalah philanthropic yang sebenarnya baik untuk
dilakukan meskipun bukanlah sesuatu yang wajib untuk dilakukan. Menjadi sebuah corporate
citizen yang menguntungkan masyarakat sekitar dan memenuhi berbagai aspek lainnya untuk
dapat hidup berdampingan antara produsen ataupun pengusaha dan masyarakat sekitar serta
stakeholders lainnya.
2
KPC sudah memenuhi beberapa aspek yang disebutkan, misalnya untuk aspek ecological
environment dengan menutup tambang yang sudah tidak dipergunakan dan melakukan
kegiatan dengan pemberdayaan pertanian dan perikanan. Namun, masih timbul permasalahan
dengan public interest group di mana di dalamnya juga termasuk masyarakat sekitar dan
pemerintah daerah. Dalam hal ini, beberapa hal yang menyebabkan transfer informasi kurang
maksimal adalah penerapan dari prinsip good corporate governance seperti fairness,
transparency, accountability, dan responsibility yang pada saat ini telah mendorong CSR
semakin menjadi sesuatu hal yang krusial. Berdasarkan permasalahan tersebut, komunikasi
menjadi sesuatu yang penting antara perusahaan dengan pihak terkait.

Analisis berdasarkan prinsip Good Corporate Governance yang dilanggar PT Kaltim


Prima Coal
1. Transparency
Dalam kasus PT Kaltim Prima Coal dari dana CSR yang sudah ditentukan oleh
perusahaan batu bara ini yaitu Rp 1,1 miliar, sedangkan yang sampai ke rakyat hanya
Rp 400 juta. Dana sejumlah Rp 690 juta diberikan ke instansi vertikal. Adapun
informasi pembagian dana untuk ke masyarakat, hanya diketahui oleh satu pihak yaitu
PT Kaltim Prima Coal, yang bebas menentukan besaran dana yang akan diturunkan ke
masyarakat tanpa memberitahu detail persentase dana untuk masyarakat disekitar
lingkungan bisnis dan perhitungan-perhitungan lainnya yang mendukung dana CSR
untuk masyarakat.
2. Responsibility
PT Kaltim Prima Coal sejak tahun 2010 mulai melepas tanggung jawabnya kepada
lingkungan sekitar perusahaan, dimana seharusnya PT Kaltim Prima Coal membayar
biaya perawatan lingkungan perusahaan kepada kepala daerah setempat sesuai dengan
kontrak yang sudah dijanjikan, namun realisasinya justru dana yang seharusnya
diberikan sepenuhnya kepada masyarakat, hanya 40% saja yang sampai ke tangan
masyarakat, tidak sesuai dengan data yang disebarkan oleh Forum MSH-CSR.
3. Fairness
PT Kaltim Prima Coal harus memperlakukan secara adil seluruh golongan yang
memiliki andil dalam kesuksesan perusahaan, baik yang internal maupun eksternal,
tanpa mementingkan golongan tertentu. Walaupun masyarakat sekitar tidak berperan
langsung untuk kemajuan Kaltim Prima Coal, namun perusahaan memiliki tanggung
jawab untuk merawat lingkungan sekitar bisnis, karena tanpa persetujuan masyarakat
3
daerah lokasi perusahaan, perusahaan bisa saja ditutup karena dianggap merugikan
masyarakat dan tidak memelihara lingkungan perusahaan.

4
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
Dunia usaha berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan
mempertimbangan faktor lingkungan hidup. Saat ini dunia usaha tidak lagi hanya
memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata, melainkan sudah meliputi aspek
keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan yang biasa disebut sebagai triple bottom line.
Dunia usaha perlu mencari pola-pola kemitraan dengan seluruh stakeholder agar dapat
berperan dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan kinerjanya agar tetap dapat bertahan
dan bahkan berkembang menjadi perusahaan yang mampu bersaing. Upaya tersebut secara
umum dapat disebut sebagai Corporate Social Responsibility (CSR) dan dimaksudkan untuk
mendorong dunia usaha lebih etis dalam menjalankan aktivitasnya agar tidak berpengaruh atau
berdampak buruk pada masyarakat dan lingkungan hidupnya, sehingga pada akhirnya dunia
usaha akan dapat bertahan secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang
menjadi tujuan dibentuknya dunia usaha. CSR dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan
dimana perusahaan mengintregasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka. Banyak
manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan tanggunggjawab sosial perusahaan, baik bagi
perusahaan sendiri, bagi masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. CSR
dapat dilaksanakan melalui 3 tahapan, yaitu: assessment, plan of treatment, dan treatment
action.
Cara investor institusional untuk berperan serta dalam mendorong penerapan GCG
adalah dengan investasi yang bertanggung jawab dengan membuat kebijakan hanya akan
melakukan penempatan investasi pada perusahaan-perusahaan yang menerapkan GCG, dan
tentu secara konsisten menerapkan kebijakan tersebut dalam melakukan investasi. Perusahaan
yang berbasis asing kemungkinan memiliki stakeholder yang lebih banyak dibanding
perusahaan berbasis nasional sehingga permintaan informasi juga lebih besar dan dituntut
untuk melakukan pengungkapan yang lebih besar juga. Perusahaan yang memiliki leverage
tinggi, akan menambah beban untuk program corporate social responsibility menjadi terbatas
atau dapat dikatakan semakin tinggi leverage, maka semakin rendah program CSR.
PT Kaltim Prima Coal (KPC) memiliki proporsi untuk pemberian dana CSR pada
masyarakat dan pemerintah daerah di sekitar tempat produksinya. Strategi penyaluran CSR
yang dilakukan KPC masih disusun dari satu pihak, yakni dari pihak KPC sendiri sehingga ada
beberapa ketidaksesuaian antara apa yang dibutuhkan pemerintah daerah dan masyarakat
5
dengan kegiatan yang dilakukan dari realisasi anggaran. Masyarakat dan pemerintah daerah
merasa tidak puas dengan tidak terpenuhinya janji-janji yang dilontarkan stockholders, KPC
juga seringkali menggembar-gemborkan komunikasi publikasi di media luar sehingga akhirnya
mendapatkan banyak penghargaan, akan tetapi kurang meningkatkan keeratan hubungan dan
frekuensi komunikasi dengan pihak yang bersentuhan langsung dengan mereka, yaitu
masyarakat sekitar dan pemerintah daerah yang bersangkutan.

1.2 Saran
Dari analisis dan kesimpulan yang bisa didapatkan, ada beberapa saran yang dapat
disampaikan yaitu:
a. Perumusan strategi pengalokasian dana CSR yang harus mengikutsertakan masyarakat
dan pemerintah daerah setempat.
b. Proses penjelasan bagaimana sistem penyaluran dana CSR dilakukan pada forum
bersama dan forum yang akhirnya dilaksanakan secara berkala untuk monitoring
pelaksanaan kegiatan yang dicanangkan pada perumusan jangka pendek maupun
jangka panjang alokasi dana CSR.
c. Proses evaluasi dan pertanggungjawaban yang tidak hanya dilakukan melalui media
luar dan berbentuk laporan semata, tetapi juga berbentuk forum yang mengundang
masyarakat dan pemerintah daerah untuk ikut mengevaluasi dan memberikan masukan
terhadap kinerja penggunaan dana CSR selama tahun berjalan.

6
DAFTAR PUSTAKA

Sutojo, Siswanto dan Alridge, E. John. 2008. Good Corporate Governance. Jakarta: Damar
Mulia Pustaka

http://fekool.blogspot.co.id/2016/05/corporate-governance-corporate-social.html. diakses
pada 6 April 2017

https://fotodeka.wordpress.com/2009/01/07/analisa-csr-pada-pt-kaltim-prima-coal/. diakses
pada 6 April 2017

http://dokumen.tips/documents/kpc-kasus.html. diakses pada 6 April 2017

Anda mungkin juga menyukai