Anda di halaman 1dari 21

Perforasi Ulkus Peptikum : Satu Tinjauan Historis dan Penanganan

Marietta J.O.E. Bertleff, Johan F. Lange

Kata Kunci: Perforasi Ulkus Peptikum, Penyakit Ulkus Peptik, Tinjauan Historis

Abstrak

Latar belakang: Seratus tahun belakangan ini, terdapat banyak literatur yang

mengkaji tentang penyakit ulkus peptikum dan beberapa opsi penanganan untuk salah

satu komplikasi yang paling umum dari penyakit tersebut: yaitu perforasi. Alasan

untuk meninjau literatur ini adalah mengevaluasi bagaimana cara penanganan

perforasi ulkus peptikum (PPU/ perforated peptic ulcers) secara umum, mengkaji

pendapat-pendapat tentang penanganan konservatif dan penanganan melalui tindakan

bedah, serta untuk meringkas pemikiran tentang upaya-upaya pra, peri, dan pasca

operasi. Metode: Semua artikel yang relevan yang didapatkan melalui pencarian di

Medline, Ovid, dan PubMed pun digunakan. Hasil: Seratus artikel yang ditulis antara

tahun 1929 dan 2009 pun ditinjau ulang. Diantaranya, 9 artikel mengkaji tentang

riwayat penanganan, 7 tentang penanganan konservatif, dan 26 tentang prosedur bedah

( 8 diantaranya mengkaji tentang upaya koreksi melalui laparoskopi). Secara

keseluruhan, belumlah ada konsensus yang tercipta, namun terdapat beberapa saran

yang dapat dipakai. Penggunaan patch (tambalan) omentum merupakan upaya yang

direkomendasikan, dan tindakan irigasi dan drainase merupakan upaya yang tidak

direkomendasikan. Tindakan koreksi melalui laparaskopi untuk menangani PPU dan

juga tindakan bedah tukak definitif pun memiliki banyak kelebihan. Kesimpulan:

Pembedahan untuk penanganan PPU (perforated peptic ulcers) merupakan suatu

1
subjek kajian yang sering diperdebatkan, dan penciptaan pedoman/ panduan

penanganan yang objektif pun masih sangat diperlukan.

Sejarah

Selama ribuan tahun, manusia sudah mengalami timbulnya sakit perut bersifat akut,

mual, muntah, dan diare, yang dapat diikuti dengan kematian dalam beberapa jam atau

beberapah hari. Seringkali, gejala-gejala ini dikaitkan dengan kasus keracunan, dan

karena hal ini banyak dari tuduhan-tuduhan yang membuat para tertuduh menjadi

dipenjara. Anak perempuan Raja Charles I, yang bernama Henriette-Anne, mengalami

kematian tiba-tiba pada tahun 1670 (pada usia 26 tahun) setelah mengalami rasa sakit

dan bengkak pada bagian perut seharian. Karena dianggap merupakan sebagai kasus

keracunan, maka otopsi pun dilakukan, dan diketahuilah terdapat peritonitis dan

lubang kecil pada bagian dinding anterior (bag depan) lambung. Namun, saat itu para

dokter pun belum pernah mendengar istilah perforasi ulkus peptikum (PPU), dan

mengganggap bahwa lubang pada perut tersebut disebabkan oleh tusukan pisau.

Tindakan otopsi pertama dilakukan sejak tahun 1500 dan menjadi hal yang rutin

dilakukan antara tahun 1600 sampai 1800 sehingga, perforasi lambung semakin sering

terobservasi. Johan Mikulicz-Radecki (1850-1905), dianggap sebagai dokter ahli

bedah pertama yang melakukan penutupan perforasi ulkus peptikum (PPU) dengan

tambalan sederhana, beliau berkata: Setiap dokter, yang dihadapkan dengan kasus

perforasi ulkus duodenum, ulkus gaster, ataupun ulkus pada usus harus

mempertimbangkan untuk melakukan upaya pembedahan perut, menjahit lubang yang

ada, dan mencegah terjadinya inflamasi dengan secara hati-hati dengan membersihkan

2
rongga perut. Cukup mengejutkan, bahwa penanganan dengan cara ini tidak banyak

mengalami perubahan, dimana yang dilakukan hanyalah berupa penutupan primer

perforasi dengan penjahitan tunggal dan pemberian tag pada omentum di bagian

atasnya. Walaupun terapi ini tampaknya sangat sederhana, namun perforasi ulkus

peptikum (PPU) masih memiliki resiko pembedahan yang berbahaya, berkaitan

dengan tingginya tingkat morbiditas dan kematian yang tidak dapat dianggap remeh.

Tabel 1. Demografi pasien dengan penyakit ulkus peptikum terperforasi

Total (n = 2.784) n
Usia, dalam tahun 48 2.328
Jenis kelamin laki-laki, % 79 2.678
Riwayat tukak/ ulkus, % 29 1.140
Riwayat penggunaan 20 1.109
NSAID (obat anti inflamasi
non steroid), %
Perokok, % 62 472
Penggunaan alkohol, % 29 198
ASA I, % 35 1.120
ASA II, % 37 1.060
ASA III, % 20 1.060
ASA IV, % 9 1.030
Boey 0, % 59 513
Boey 1, % 23 513
Boey 2, % 16 513
Boey 3, % 2 513
Mengalami renjat pada saat 7 1.107
admisi untuk dirawat, %
Kemunculan gejala >24 11 723
jam, %
Durasi gejala, jam 13,6 837
Tidak adanya gas pada 85 510
perut, pada saat
pemeriksaan dengan sinar-
X, %
WBC 12,3 147

3
Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Pada tahun 1843, Edward Crisp merupakan orang pertama yang melaporkan 50 kasus

perforasi ulkus peptikum (PPU) dan secara akurat beliau meringkas aspek-aspek klinis

dari kondisi perforasi, dan beliau menyimpulkan: Gejalanya sangat khas, saya hampir

tidak percaya jika ada orang yang gagal untuk menegakkan mendiagnosa dengan

benar. Para pasien dengan perforasi ulkus peptikum (PPU) biasanya memiliki riwayat

yang sama yaitu kemunculan rasa sakit yang tajam dan akut, biasanya rasa sakit ini

terasa di wilayah epigastrium dan terkadang menjalar sampai ke pundak, hal ini

mengindikasikan adanya udara bebas dibawah diafragma. Berdasarkan pada data yang

terkumpul dari 52 makalah tentang karakteristik-karakteristik klinis perforasi ulkus

peptikum, kami pun meringkasnya pada Tabel 1.

Pasien perforasi ulkus peptikum biasanya berjenis kelamin laki-laki dengan usia rata-

rata 48 tahun. Pasien dengan riwayat penyakit ulkus peptikum (29%), atau pernah

menggunakan obat-obatan anti-inflamasi non steroid (NSAID) (20%). Mual dan

muntah dialami oleh 50% pasien. Pada pemeriksaan fisik, denyut jantung biasanya

lebih cepat, namun tidak sampai melampaui 90 kali per menit. Sekitar 5-10% pasien

akan mengalami syok dengan tekanan arteri rata-rata kurang dari 80 mmHg, pada

kondisi akhir pasien akan mengalami hipotensi dan timbul demam tinggi. Hilang atau

tidak adanya suara redup pada perkusi hepar hanya muncul pada 37% kasus.

Pemeriksaan ini tidak terlalu akurat, sehingga perlu mendapat tambahan pemeriksaan

lain sebagai dasar sebagai diagnosa.

4
Pada analisis darah, dapat diperoleh peningkatan leukosit yang tidak terlalu tinggi.

Alasan utama pengambilan sampel darah untuk mengeksklusi diagnosa-diagnosa yang

lain seperti contohnya pankreatitis. Pencitraan sinar-X pada bagian perut/ thoraks

dengan posisi pasien yang berdiri akan menunjukan tidak adanya udara dibawah

diafragma, hal ini dialami oleh sekitar 80-85% pasien. Beberapa rumah sakit ada yang

melakukan ultrasonografi perut, ataupun pemeriksaan CT scan dengan kontras yang

diminum. Dengan teknik radiologi terbaru, sekitar 80-90% kasus dapat dengan tepat

terdiagnosa. Segera setelah diagnosa tegakkan, maka resusitasi dimulai dengan

kristaloid volume besar, pemasangan Nasogastric Tube untuk mengosongkan

lambung, dan pemberian antibiotik spektrum luas. Ketika perforasi ulkus peptikum

terdiagnosa, terdapat sedikit opsi terapeutik untuk digunakan. Pertama-tama, hal yang

perlu dievaluasi terlebih dahulu adalah mengetahui layak tidaknya pasien untuk

mendapatkan tindakan pembedahan, atau mempertimbangkan dilakukan atau tidaknya

penanganan konservatif. Jika ada indikasi tindakan pembedahan, maka upaya yang

dapat dilakukan cukup dengan penjahitan simpel tanpa omentoplasti atau dilakukan

tindakan omentoplasti. Dokter juga harus mempertimbangkan perlu tidaknya tindakan

bedah ulkus definitif atau tidak, jika iya, maka dokter harus menentukan operasi

spesifik mana yang harus dilakukan? Terakhir, dokter juga harus mengetahui apakah

operasi akan dilakukan secara laparoskopi atau yang lain, selain itu, faktor-faktor

resiko apa saja yang dapat membuat tindakan laparotomi menjadi opsi yang lebih

aman.

5
Patogenesis

Patogenesis peptic ulcer disease (PUD) harus dipertimbangkan. Peptic Ulcer Disease

merupakan suatu skenario kompleks yang melibatkan ketidakseimbangan antara

faktor-faktor defensif (lapisan mukosa-bikarbonat, prostaglandin, perbaikan sel, dan

aliran darah) dengan faktor-faktor agresif (HCl, pepsin, etanol, garam empedu,

beberapa obat-obatan, dan lain-lain). Pada masa kini, infeksi Helicobacter pylori dan

NSAID telah teridentifikasi sebagai dua penyebab utama ulkus peptikum. Penggunaan

kokain (yang biasa digunakan dengan metode hisap) merupakan hal yang dapat

meningkatkan resiko perforasi ulkus peptik, namun dengan mekanisme penyebab yang

berbeda, karena perforasi ulkus peptik sekunder yang dipicu oleh penggunaan kokain

biasanya disebabkan oleh iskemia mukosa lambung, dan penanganan dari perforasi

karena penggunaan kokain tidak membutuhkan pembedahan definitif yang dapat

menurunkan asam. Tiga fase klinis di dalam proses perforasi ulkus peptik dapat

dibedakan:

Fase 1: Kontaminasi asam lambung/ peritonitis kimia. Perforasi dari lambung dapat

menyebabkan peritonitis kimia. Awalnya lambung berisi asam sehingga mensterilkan

isi dari gastrointestinal. Pada saat terjadi perforasi, kandungan asam dalam lambung

akan menurun, sehingga isi dari gastrointestinal tidak dapat disterilkan, nantinya

bakteri atau jamur dari dalam lambung akan keluar menuju peritoneum dan

menimbulkan inflamasi. Pada awalnya akan terjadi peritonitis kimia, namun dalam

perkembangannya dapat menjadi peritonitis bakteri.

6
Fase 2: Intermediate Stage. Setelah 6-12 jam, banyak dari pasien yang merasa adanya

pengurangan rasa sakit. Mungkin disebabkan oleh isi lambung yang mengiritasi

saluran gastroduodenum menjadi lebih encer dan terdapatnya eksudat pada peritoneal

Fase 3: Infeksi intrabdominal. Timbul setelah 12-24 jam.

Epidemiologi

Perforasi terjadi pada 2-10% penderita Ulkus peptikum, dan menyebabkan kematian

pada 70% pasien. Perforasi seringkali merupakan kemungkinan klinis pertama yang

muncul pada pasien ulkus peptikum. Insiden perforasi duodenum adalah 7-10 kasus/

100.000 individu dewasa per tahun. Lokasi perforasi biasanya melibatkan dinding

anterior duodenum (60%), antrum (20%) dan kurvatura minor gaster (20%).

Ulkus duodenum merupakan lesi yang umum di populasi masyarakat barat, sedangkan

ulkus lambung lebih sering muncul di negara-negara di Asia, khususnya Jepang. Ulkus

lambung memiliki tingkat kematian dan tingkat morbiditas yang lebih tinggi akibat

pendarahan, perforasi, dan obstruksi. Perforasi ulkus peptikum dulunya sering diderita

oleh pasien dewasa muda (biasanya laki-laki), namun saat ini, usia penderita semakin

meningkat dan bisa terjadi pada wanita. Usia puncak pengidapan penyakit ini berada

pada kisaran 40-60 tahun.

Kebutuhan operasi bedah untuk perforasi ulkus peptikum cenderung mengalami

peningkatan dengan angka kematian yang cukup tinggi walaupun sudah ditemukan

antagonis reseptor H2. Di Eropa, ulkus peptikum masih menjadi penyebab kematian

7
atas 20.000-30.000 orang per tahun, disebut-sebut bahwa penggunaan peningkatan

aspirin dan/atau NSAID menjadi penyebab kondisi ini.

Peranan Helicobacter pylori

Setelah diketahui peranan H. Pylori pada ulkus peptikum oleh Barry J. Marshall dan

Robin Warren pada tahun 1982, faktor-faktor seperti stres dan gaya hidup diyakini

menjadi faktor paling penting yang berkontribusi terhadap kemunculan penyakit ulkus

peptikum dan perforasi ulkus peptikum. Infeksi H. Pylori dianggap bertanggungjawab

pada lebih dari 90% dari seluruh ulkus duodenum dan 80% pada ulkus lambung.

Infeksi H. Pylori dan inflamasi penyertanya dapat mengurangi somatostatin antrum,

sehingga mengganggu proses hambatan pelepasan gastrin, dan hal ini menjadi lebih

jelas jika organisme penginfeksi adalah yang tipe cagA positif. Infeksi H. Pylori

meningkatkan pelepasan gastrin dan sekresi asam lambung. Hampir dari seluruh

kasus, infeksi H. Pylori didapat pada usia kanak-kanak. Berbeda dengan jenis infeksi

lain, sistem imunitas tidak berkontribusi terhadap penyembuhannya. Masalah lain

pada infeksi H. Pylori adalah infeksi ini tidak hanya berlokasi di permukaan mukosa

lambung saja, namun juga pada lapisan mukosa yang melindunginya. Pada tahun 1994,

The National Institutes of Health Consensus Development Panel merekomendasikan

bahwa para pasien ulkus yang positif terinfeksi H. Pylori harus ditangani dengan obat-

obatan anti mikroba. Tipe dan jumlah obat yang diberikan serta durasi penanganan

akan bervariasi. Walaupun masalah resistensi antibiotik pada bakteri H. pylori

meningkat, namun terapi kombinasi seperti contohnya metronidazole dengan

8
clindamycin atau metronidazole dengan tetrasilin ternyata dapat mencapai tingkat

pembasmian sebanyak 80% atau lebih.

Menurut laporan konsensus Maastricht III, penanganan lini pertama untuk infeksi H.

pylori haruslah berupa tripel terapi, yang terdiri atas PPI/ proton pump inhibitor plus

clarithromycin plus amoksilin atau metronidazole. Terapi-tunggal dengan hanya

memberikan antobiotik terbukti tidak efektif (dengan tingkat eradikasi mencapai

<30%). Ulkus peptikum dapat didiagnosa secara endoskopis, namun cara ini

membutuhkan biaya yang tidak murah dan tidak selalu diterima oleh pasien. Uji nafas

urea-karbon-13 juga cukup mahal, namun pemeriksaan ini merupakan indikator yang

reliabel akan infeksi H. pylori. Metode yang paling sering dipilih untuk mendiagnosis

H. pylori adalah dengan mengambil biopsi pra-operasi. Bahkan pada pasien dengan

perforasi ulkus peptik dan penggunaan NSAID, maka direkomendasikan untuk

mengetahui keberadaan H. pylori, karena bakteri ini dapat dibasmi dengan mudah.

Untuk menghindari kesalahan diagnosa dengan kanker lambung, gastroendoskopi

harus dilakukan pada pasien yang berusia >45 tahun dengan ciri-ciri khusus yang

mengkhawatirkan seperti contohnya penurunan berat badan, anemia, dan disfagia.

Manajemen Terkini pada Perforasi Ulkus Peptikum

Penanganan non-operasi

Penanganan konservatif dikenal dengan metode Taylor dan terdiri dari aspirasi

nasogastrik, antibiotik, cairan intravena, dan yang baru adalah tripel terapi H. pylori.

Pada tahun 1946, Taylor mempublikasikan rangkaian keberhasilan outcome pada

9
pasien perforasi ulkus peptikum yang memperoleh tindakan konservatif, Taylor

berpendapat sesuai dengan teori yang ada bahwa tindakan dekompresi lambung efektif

dengan dilakukannya drainase secara kontinyu dapat memungkinkan terjadinya self

healing. Dasar pemikiran penanganan konservatif berasal dari Crisp, 1843 yang

mencatat bahwa lambung yang mengalami perforasi, menyebabkan visera disekitarnya

untuk menyelimuti daerah yang mengalami perforasi, selanjutnya visera ini akan

mengalami adhesi untuk mencegah kebocoran dari isi lambung kedalam peritoneum.

Saat ini, banyak laporan yang telah diterbitkan mengenai topik ini, dengan tingkat

keberhasilan yang beragam. Namun, terdapat perdebatan apakah perforasi ulkus

peptikum perlu dioperasi atau tidak. Diperkirakan sekitar 40-80% perforasi dapat

menutup secara spontan dan secara keseluruhan tingkat morbiditas dan tingkat

kematian pun dapat dikatakan sama. Namun, penundaan waktu optimal operasi diatas

12 jam setelah terjadinya gejala-gejala klinis akan memperburuk hasil penanganan

perforasi ulkus peptikum. Juga, perlu diperhatikan pada pasien yang berusia >70

tahun, biasanya tindakan konservasi tidak akan memberikan keberhasilan dengan

tingkat kegagalannya mencapai 67%. Kondisi syok pada saat dilakukan awal

penanganan konservatif memiliki resiko kematian yang tinggi.

Para pasien yang tampaknya dapat merespon dengan penanganan konservatif dapat

dipilih dengan melakukan gastroduodenogram seperti yang dijelaskan oleh Donovan

dkk. Penanganan non-bedah pada pasien ini, terbukti dapat menutup lokasi perforasi

dengan amaa. Hanya 3% dari seluruh pasien yang telah diseleksi dengan

10
gastroduodenogram mengalami pembentukan abses intra-abdominal dengan angka

terulangnya kebocoran mencapai <2%.

Penanganan konservatif memiliki sejumlah keuntungan seperti, mencegah pasien dari

tindakan operasi bedah, sebab tindakan pembedahan memiliki kemungkinan terjadi

kecacatan dan perlekatan intra abdominal, mengubah pembedahan cito menjadi

pembedahan elektif, menurunkan resiko komplikasi pasca pembedahan sehingga

waktu pemulihan pasien menjadi lebih cepat. Namun, perlu menjadi pertimbangan

juga bahwa terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa waktu pemulihan

dapat menjadi lebih panjang setelah dilakukannya penanganan konservatif.

Kerugian dari penanganan konservatif adalah tinggi nya tingkat kematian, terutama

ketika penanganan konservatif mengalami kegagalan. Kerugian lainnya adalah cara

diagnostik dengan laparoskopi atau laparotomi kurang memiliki manfaat pada pasien

yang mengalami salah diagnosa. Terakhir, perlu diingat bahwa terjadinya perforasi

ulkus peptikum bisa merupakan gejala dari kanker lambung, sehingga jika penanganan

konservatif dipilih setelah beberapa minggu, maka endoskopi harus dilakukan pada

pasien ini. Kesimpulannya, kita dapat berpendapat bahwa penanganan non-bedah

hanyalah terbatas untuk para pasien yang berusia <70 tahun saja yang tidak akan

mampu untuk menjalani operasi bedah akibat morbiditas. Ketika pasien mengalami

syok atau ketika titik waktu antara perforasi dengan waktu dimulainya penanganan

adalah >12 jam, maka penutupan perforasi haruslah menjadi pilihan yang

diprioritaskan.

11
Gambar 1. Beberapa teknik jahitan untuk penutupan perforasi.

Sutur/ Penjahitan sederhana

Teknik Perbaikan Terbuka.

Semua prosedur bedah dimulai dengan memberikan antibiotik profilaktik sebagai

awal premedikasi pada proses anestesi. Pada operasi bedah konvensional, dilakukan

midline insisi bagian atas. Pencarian lokasi perforasi tidak selalu mudah dilakukan:

terkadang, perforasi muncul pada lokasi dorsal lambung, yang hanya terdeteksi setelah

pembukaan kantung bagian bawah melalui ligamen gastrokolik. Juga terdapat

kemungkinan munculnya perforasi ganda. Pada kasus ulkus lambung, biopsi perlu

dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kanker lambung.

12
Penutupan sederhana pada perforasi dapat dilakukan dengan beberapa cara (gambar

1): Penutupan sederhana pada perforasi dengan jahitan terputus tanpa omentoplasti

atau tambalan omental, (2) Penutupan sederhana pada perforasi dengan melakukan

penjahitan omentum berpedikel pada bagian atas yang merepresentasikan

omentoplasti, (3) Plug omental berpedikel pada perforasi setelah sutur diikatkan, dan

(4) Tambalan omental bebas versi Graham. Perbaikan ini dapat diuji dengan mengisi

abdomen dengan larutan salin hangat dan memasukkan udara kedalam selang

nasogastrik. Jika tidak ada gelembung udara, maka perforasi telah tertutup dengan

baik. Selain itu, dapat dilakukan injeksi pewarna sebagai indikator melalui selang

nasogastrik. Kemudian dilakukan pencucian peritoneum secara menyeluruh.

Pemasangan drain tidak dilakukan secara rutin. Luka pada perut dapat diberi

bupivacaine 0,25% pada akhir prosedur.

Omentoplasti atau Tambalan Omental: Perlu atau Tidak?

Cellan-Jones menerbitkan satu makalah pada tahun 1929 yang berjudul metode cepat

penanganan perforasi ulkus duodenum. Penanganan pilihan pada saat itu adalah, (1)

jika bagian yang perforasi tersebut memiliki tepian yang rapuh maka lakukan insisi

pada tepian rapuh, (2) melakukan penjahitan kantong tembakau dan (3) pada bagian

atas jahitan ditutup dengan tandur omentum. Komplikasi yang dihadapi adalah

terjadinya penyempitan duodeunum. Untuk menghindari ini, beliau menyarankan

tindakan omentoplasti dilakukan tanpa diawali penjahitan primer pada ulkus. Teknik

beliau terdiri dari penempatan 4-6 jahitan, memasukkan bagian omentum yang

panjang melewati jahitan halus disepanjangnya, kemudian ujung benang diikatkan

pada bagian yang mengalami perforasi, dan terakhir lakukan pengikatan jahitan.

13
Setelah tahun 1937, Graham pun menerbitkan hasil nya dengan tambalan omentum

bebas. Beliau menempatkan tiga jahitan dengan letakan omentum bebas pada jahitan

ini, yang kemudian diikatkan. Tidak ada upaya yang dilakukan untuk menutup

perforasi. Tambalan omentum dapat memberikan stimulus untuk pembentukan fibrin.

Cara seperti ini telah menjadi golden standart untuk prosedur operasi saat ini.

Seringkali, para dokter ahli bedah mengatakan bahwa mereka menggunakan tambalan

Graham, namun sebenarnya mereka menggunakan tambalan omentum berpedikel

yang dijelaskan oleh Celan-Jones. Schein tidak menjelaskannya dengan lebih jelas:

Jangan jahit perforasi, namun tutupilah dengan omentum yang layak dan tutuplah

peptik yang terperforasi jika anda mampu, jika anda tidak mampu, maka potonglah.

Pengirigasian/ Pencucian Rongga Peritoneum.

Walaupun beberapa dokter ahli bedah ada yang meragukan kegunaan dari tindakan

irigasi, namun tidak ada satu pun di dalam literatur yang mendukung keraguan mereka.

Secara umum, hal ini menjadi salah satu bagian paling penting dalam pembedahan,

dan proses pengirigasian direkomendasikan dengan 6-10 liter sampai 30 liter larutan

salin. Namun, alasan untuk pencucian peritoneum selama operasi rutin tampaknya

hanya didasarkan pada kebiasaan, dan tentu saja tidak berbasis bukti.

Melakukan Penyaliran/ Drainase atau Tidak. Terdapat beberapa pendapat yang

berbeda-beda dalam hal ini. Di dalam satu kuesioner, 80% dari seluruh responden

menjawab bahwa mereka tidak melakukan pemasangan drain pada pasien ini.

Pemasangan drain tidak menurunkan insiden terkumpulnya cairan intra-abdominal

ataupun abses. Di sisi lain, lokasi pemasangan drainase bisa terinfeksi (10%) dan

menyebabkan obstruksi usus. Seringkali, drainase dibiarkan sebagai pemantau jika

14
terjadi kebocoran. Namun, pada kasus yang diduga terjadi kebocoran, pemeriksaan

dengan CT scan akan memberikan semua informasi yang dibutuhkan, mungkin akan

lebih baik daripada penggunaan drainase non-produktif.

Pembedahan Definitif

Beberapa indikasi untuk pembedahan elektif masih belum diketahui secara pasti.

Jumlah dari prosedur elektif yang dilakukan di dalam penanganan penyakit ulkus

peptikum telah mengalami penurunan lebih dari 70% sejak tahun 1980-an. Hasil dari

kuesioner dengan 607 responden menunjukkan bahwa hanya 0,3% dari seluruh dokter

ahli bedah yang secara rutin melakukan vagotomi untuk komplikasi-komplikasi ulkus

duodenum, dan 54,5% para dokter ahli bedah mengatakan bahwa mereka tidak pernah

menyertakan tindakan tersebut. Alasan dibalik penurunan pembedahan tukak definitif

ini adalah: rendahnya tingkat kekambuhan penyakit ulkus peptikum dan perforasi

ulkus peptikum karena kondisi ini dapat secara efektif ditangani melalui pembasmian

H. pylori dan pengurangan penggunaan NSAID.

Saat ini, pasien yang menjalani operasi pembedahan sebagai terapi perforasi ulkus

peptikum adalah mereka yang berusia relatif tua dengan resiko bedah lebih tinggi, hal

ini menyebabkan mereka menjadi kandidat yang kurang tepat untuk memperoleh

tindakan bedah ulkus definitif. Terakhir, banyak dari para dokter bedah yang

berpraktek saat ini yang tidak memiliki cukup pengalaman di dalam tindakan operasi

bedah untuk menangani ulkus. Para pasien yang dipertimbangkan untuk mendapatkan

tindakan operasi bedah, biasanya adalah yang diketahui bahwa kondisi ulkus mereka

tidak disebabkan oleh H. pylori, atau para pasien yang mengalami kekambuhan ulkus

15
walaupun sudah ditangani dengan tripel terapi. Pada para pasien ini, vagotomi sel

parietal dapat dilakukan jika dibutuhkan, yang dikombinasikan dengan gastrektomi

linear anterior. Prosedur ini dapat secara aman dan secara relatif mudah dilakukan

secara laparoskopis.

Laparoskopi

Sejak tahun 1990an, penutupan perforasi ulkus peptikum secara laparoskopis telah

dilakukan. Tindakan bedah laparoskopi memberikan beberapa keuntungan. Pertama,

prosedur laparoskopi dapat berperan sebagai alat diagnostik yang tidak terlalu invasif.

Keuntungan lainnya adalah berkurangnya rasa sakit yang ditimbulkan pasca tindakan

laparoskopik dan pasien cenderung tidak terlalu membutuhkan analgesik. Selain itu,

tindakan ini juga dapat mengurangi lamanya waktu rawatan di rumah sakit. Juga,

tingkat infeksi luka, robeknya luka pada abdomen, dan hernia insisional akibat bekas

luka yang terlalu pendek juga diketahui menurun. Dengan tidak dipilihnya tindakan

laparotomi dapat menurunkan insiden ileus pasca-operasi dan infeksi pada dada.

Kekurangan dari laparoskopi adalah waktu operasi yang lebih lama, kemungkinan

peningkatan insiden operasi-ulang akibat kebocoran pada lokasi perbaikan, dan juga

meningkatnya insiden terkumpulnya sisa-sisa cairan atau lainnya di dalam perut akibat

bilasan yang tidak cukup. Ada tidaknya hubungan klinis dengan keberadaan cairan ini

masih belum jelas. Insiden kebocoran dapat disebabkan oleh sulitnya prosedur

penjahitan laparoskopik. Yang terpenting pada prosedur laparoskopik adalah

menekankan kebutuhan akan dokter bedah yang benar-benar terlatih. Namun,

beberapa alternatif untuk menyederhanakan proses penjahitan pun telah diteliti.

16
Beberapa dokter ahli bedah laparoskopi menggunakan omentopexy. Teknik tanpa

jahitan pun telah dicoba, dengan penggunaan lem fibrin atau sponge gelatin untuk

menambal ulkus. Kekurangan dari teknik ini hanya dapat digunakan untuk menutup

perforasi yang berukuran kecil saja. Untuk menanggulangi masalah ini, bioderadable

patch dengan ukuran yang dapat disesuaikan telah dicoba pada tikus dengan hasil yang

cukup baik. Terakhir, juga telah diketahui pilihan perbaikan dapat dilakukan dengan

kombinasi laparoskopi-endoskopi.

Tabel 2. Gambaran umum beberapa komplikasi setelah tindakan operasi bedah untuk

menangani perforasi ulkus peptikum

Komplikasi Insiden (%)


Pneumonia 3,6 30
Infeksi luka 10 17
Infeksi saluran kemih 1,4 15
Kebocoran pada jahitan 2 16
Pembentukan abses 09
Masalah-masalah pada jantung (infarksi 5
miokardium, gagal jantung)
Ileus 24
Fistula 0,5 4
Dihisens luka (robeknya jahitan) 2,5 6
Kebocoran empedu 4,9
Pendarahan 0,6
Operasi-ulang 29
Sepsis 2,5
Stroke 4
Kematian 5 11

Tabel 3. Skor Boey yang berkaitan dengan tingkat morbiditas dan kematian

Tingkat morbiditas (%) Tingkat kematian (%)


Boey 0 17,4 1,5
Boey 1 30,1 14,4
Boey 2 42,1 32,1
Boey 3 100

17
Penanganan Pasca-Operasi

Beberapa literatur diketahui, semua pasien pasca-operasi mendapat pemasangan

selang nasogastrik setidaknya selama 48 jam. Meskipun begitu, tidak ada bukti ilmiah

yang benar-benar mendukung penggunaan selang nasogastrik ini, penggunaannya

cenderung sebagai kebiasaan praktek sehari-hari. Satu tinjauan dari Cochrane yang

baru-baru ini diterbitkan, menyimpulkan bahwa dekompresi rutin dengan selang

nasogastrik tidak memberi hasil yang diinginkan, dan sebaiknya penggunaan ini

diaplikasikan pada kasus-kasus tertentu, yang telah didukung oleh percobaan-

percobaan lainnya. Hal ini berarti pemberian makanan melalui mulut dapat segera

dilakukan, seperti halnya pada kasus bedah kolorektum. Berdasarkan protokol yang

ada bahwa penundaan pemberian makanan lewat mulut selama 3 hari, tidak perlu

dilakukan.

Pada Tabel 2, infeksi luka merupakan komplikasi paling umum kedua setelah

dilakukannya pembedahan untuk perforasi ulkus peptikum dan juga tingkat insiden

sepsis mencapai 2,5%. Pemberian antibiotik melalui intravena pra-operasi diketahui

dapat menurunkan tingkat infeksi secara keseluruhan. Walaupun untuk hampir dari

seluruh prosedur pembedahan, pemberian dosis tunggal antibiotik tampaknya sudah

cukup, namun pada kasus infeksi H. pylori, tetap dilakukan tripel terapi, yang terdiri

dari PPI yang dikombinasikan dengan clarithromycin dan amoksilin selama 14 hari.

Endoskopi pada saluran lambung dan usus bagian atas perlu dilakukan setelah 6

minggu untuk mengetahui tingkat kesembuhan pada ulkus dan untuk mengevaluasi

status H. pylori.

18
Komplikasi Pasca-Operasi

Komplikasi pasca-operasi yang paling umum ditemui adalah pneumonia yang diikuti

dengan infeksi luka. Tinjauan umum dari seluruh komplikasi dan insiden-insidennya

didasarkan pada tinjauan-tinjauan beberapa literatur yang disebutkan pada Tabel 2.

Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Hasil Terapi

Tingkat kematian pasca pembedahan untuk penanganan perforasi ulkus peptikum

antara 6 sampai 10%. Terdapat empat faktor utama yang dapat meningkatkan tingkat

kematian hingga 100%. Yaitu; (1) usia >60 tahun, (2) penanganan yang tertunda (>24

jam), telah terjadi syok sebelum mendapatkan penanganan (tekanan darah sistolik

<100 mmHg), dan (4) penyakit-penyakit penyerta. Juga diketahu pada kondisi ulkus

lambung memiliki kemungkinan dua sampai tiga kali lipat peningkatan resiko

kematian. Skor Boey, yang merupakan faktor-faktor penskoran seperti contohnya

kondisi syok pada awal sebelum pasien memperoleh penangan, penyakit-penyakit

medis lainnya, dan perforasi yang berkepanjangan, diketahui dapat menjadi faktor

yang dapat membantu untuk memprediksi hasil (Tabel 3).

Perforasi ulkus peptikum pada Lansia

Tingkat kematian pasca operasi pembedahan untuk penanganan perforasi ulkus

peptikum mencapai 3-5 kali lipat pada pasien lanjut usia (sampai 50%). Kondisi ini

disebabkan keberadaan penyakit-penyakit penyerta, dan juga dapat disebabkan oleh

kesulitan diagnosis yang tepat, sehingga tertundanya pasien untuk mendapatkan

penanganan (>24 jam). Pada kasus ulkus lambung terperforasi ataupun penyakit ulkus

19
peptikum yang sering mengalami kekambuhan, maka diindikasikan dilakukan (hemi)

gastrektomi dengan vagotomi, namun tindakan lain yang dapat menjadi pilihan aman

adalah penutupan/tambalan sederhana, dan tampaknya tidak diperlukan untuk

melakukan pembedahan definitif pada kelompok pasien ini, karena tingkat

kekambuhannya hanya mencapai 14%.

Kesimpulan

Pembedahan untuk penanganan perforasi ulkus peptikum masih menjadi subjek

perdebatan, walaupun hal ini sudah banyak dikaji dan diteliti. Dengan peninjauan

kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda dalam hal contohnya indikasi untuk

penanganan konservatif, perlu tidaknya dilakukan drainase, perlunya atau tidaknya

untuk melakukan omentoplasti, tindakan laparoskopi sebagai satu prosedur, dan perlu

tidaknya melakukan tindakan pembedahan ulkus definitif, merupakan hal-hal yang

perlu menjadi penilaian tertentu untuk melahirkan kesepakatan.

Dengan meninjau hasil upaya operasi perbaikan perforasi ulkus peptikum melalui

laparoskopik, dan operasi melalui laparotomi atas, kita dapat menyimpulkan bahwa

komplikasi-komplikasi yang muncul pasca prosedur laparoskopik (yaitu waktu operasi

yang lebih lama dengan meningkatnya tingkat insiden kebocoran ulang), yang dapat

dikurangi dengan memastikan bahwa dokter ahli bedahnya adalah mereka yang benar-

benar terlatih di dalam laparoskopi, Selain itu, prosedur lain tidak dapat mengalahkan

tingkat manfaat yang didapat dari tindakan laparoskopis (rasa sakit yang dirasa pasien

lebih ringan dengan tingkat morbiditas dan kematian yang lebih rendah), bahkan pada

20
para pasien lanjut usia. Sehingga, prosedur laparoskopik haruslah dijadikan pilihan

pertama.

21

Anda mungkin juga menyukai