Kata Kunci: Perforasi Ulkus Peptikum, Penyakit Ulkus Peptik, Tinjauan Historis
Abstrak
Latar belakang: Seratus tahun belakangan ini, terdapat banyak literatur yang
mengkaji tentang penyakit ulkus peptikum dan beberapa opsi penanganan untuk salah
satu komplikasi yang paling umum dari penyakit tersebut: yaitu perforasi. Alasan
perforasi ulkus peptikum (PPU/ perforated peptic ulcers) secara umum, mengkaji
bedah, serta untuk meringkas pemikiran tentang upaya-upaya pra, peri, dan pasca
operasi. Metode: Semua artikel yang relevan yang didapatkan melalui pencarian di
Medline, Ovid, dan PubMed pun digunakan. Hasil: Seratus artikel yang ditulis antara
tahun 1929 dan 2009 pun ditinjau ulang. Diantaranya, 9 artikel mengkaji tentang
keseluruhan, belumlah ada konsensus yang tercipta, namun terdapat beberapa saran
yang dapat dipakai. Penggunaan patch (tambalan) omentum merupakan upaya yang
direkomendasikan, dan tindakan irigasi dan drainase merupakan upaya yang tidak
juga tindakan bedah tukak definitif pun memiliki banyak kelebihan. Kesimpulan:
1
subjek kajian yang sering diperdebatkan, dan penciptaan pedoman/ panduan
Sejarah
Selama ribuan tahun, manusia sudah mengalami timbulnya sakit perut bersifat akut,
mual, muntah, dan diare, yang dapat diikuti dengan kematian dalam beberapa jam atau
beberapah hari. Seringkali, gejala-gejala ini dikaitkan dengan kasus keracunan, dan
karena hal ini banyak dari tuduhan-tuduhan yang membuat para tertuduh menjadi
kematian tiba-tiba pada tahun 1670 (pada usia 26 tahun) setelah mengalami rasa sakit
dan bengkak pada bagian perut seharian. Karena dianggap merupakan sebagai kasus
keracunan, maka otopsi pun dilakukan, dan diketahuilah terdapat peritonitis dan
lubang kecil pada bagian dinding anterior (bag depan) lambung. Namun, saat itu para
dokter pun belum pernah mendengar istilah perforasi ulkus peptikum (PPU), dan
mengganggap bahwa lubang pada perut tersebut disebabkan oleh tusukan pisau.
Tindakan otopsi pertama dilakukan sejak tahun 1500 dan menjadi hal yang rutin
dilakukan antara tahun 1600 sampai 1800 sehingga, perforasi lambung semakin sering
bedah pertama yang melakukan penutupan perforasi ulkus peptikum (PPU) dengan
tambalan sederhana, beliau berkata: Setiap dokter, yang dihadapkan dengan kasus
perforasi ulkus duodenum, ulkus gaster, ataupun ulkus pada usus harus
ada, dan mencegah terjadinya inflamasi dengan secara hati-hati dengan membersihkan
2
rongga perut. Cukup mengejutkan, bahwa penanganan dengan cara ini tidak banyak
perforasi dengan penjahitan tunggal dan pemberian tag pada omentum di bagian
atasnya. Walaupun terapi ini tampaknya sangat sederhana, namun perforasi ulkus
dengan tingginya tingkat morbiditas dan kematian yang tidak dapat dianggap remeh.
Total (n = 2.784) n
Usia, dalam tahun 48 2.328
Jenis kelamin laki-laki, % 79 2.678
Riwayat tukak/ ulkus, % 29 1.140
Riwayat penggunaan 20 1.109
NSAID (obat anti inflamasi
non steroid), %
Perokok, % 62 472
Penggunaan alkohol, % 29 198
ASA I, % 35 1.120
ASA II, % 37 1.060
ASA III, % 20 1.060
ASA IV, % 9 1.030
Boey 0, % 59 513
Boey 1, % 23 513
Boey 2, % 16 513
Boey 3, % 2 513
Mengalami renjat pada saat 7 1.107
admisi untuk dirawat, %
Kemunculan gejala >24 11 723
jam, %
Durasi gejala, jam 13,6 837
Tidak adanya gas pada 85 510
perut, pada saat
pemeriksaan dengan sinar-
X, %
WBC 12,3 147
3
Manifestasi Klinis dan Pemeriksaan Fisik
Pada tahun 1843, Edward Crisp merupakan orang pertama yang melaporkan 50 kasus
perforasi ulkus peptikum (PPU) dan secara akurat beliau meringkas aspek-aspek klinis
dari kondisi perforasi, dan beliau menyimpulkan: Gejalanya sangat khas, saya hampir
tidak percaya jika ada orang yang gagal untuk menegakkan mendiagnosa dengan
benar. Para pasien dengan perforasi ulkus peptikum (PPU) biasanya memiliki riwayat
yang sama yaitu kemunculan rasa sakit yang tajam dan akut, biasanya rasa sakit ini
terasa di wilayah epigastrium dan terkadang menjalar sampai ke pundak, hal ini
mengindikasikan adanya udara bebas dibawah diafragma. Berdasarkan pada data yang
Pasien perforasi ulkus peptikum biasanya berjenis kelamin laki-laki dengan usia rata-
rata 48 tahun. Pasien dengan riwayat penyakit ulkus peptikum (29%), atau pernah
muntah dialami oleh 50% pasien. Pada pemeriksaan fisik, denyut jantung biasanya
lebih cepat, namun tidak sampai melampaui 90 kali per menit. Sekitar 5-10% pasien
akan mengalami syok dengan tekanan arteri rata-rata kurang dari 80 mmHg, pada
kondisi akhir pasien akan mengalami hipotensi dan timbul demam tinggi. Hilang atau
tidak adanya suara redup pada perkusi hepar hanya muncul pada 37% kasus.
Pemeriksaan ini tidak terlalu akurat, sehingga perlu mendapat tambahan pemeriksaan
4
Pada analisis darah, dapat diperoleh peningkatan leukosit yang tidak terlalu tinggi.
lain seperti contohnya pankreatitis. Pencitraan sinar-X pada bagian perut/ thoraks
dengan posisi pasien yang berdiri akan menunjukan tidak adanya udara dibawah
diafragma, hal ini dialami oleh sekitar 80-85% pasien. Beberapa rumah sakit ada yang
diminum. Dengan teknik radiologi terbaru, sekitar 80-90% kasus dapat dengan tepat
lambung, dan pemberian antibiotik spektrum luas. Ketika perforasi ulkus peptikum
terdiagnosa, terdapat sedikit opsi terapeutik untuk digunakan. Pertama-tama, hal yang
perlu dievaluasi terlebih dahulu adalah mengetahui layak tidaknya pasien untuk
penanganan konservatif. Jika ada indikasi tindakan pembedahan, maka upaya yang
dapat dilakukan cukup dengan penjahitan simpel tanpa omentoplasti atau dilakukan
bedah ulkus definitif atau tidak, jika iya, maka dokter harus menentukan operasi
spesifik mana yang harus dilakukan? Terakhir, dokter juga harus mengetahui apakah
operasi akan dilakukan secara laparoskopi atau yang lain, selain itu, faktor-faktor
resiko apa saja yang dapat membuat tindakan laparotomi menjadi opsi yang lebih
aman.
5
Patogenesis
Patogenesis peptic ulcer disease (PUD) harus dipertimbangkan. Peptic Ulcer Disease
aliran darah) dengan faktor-faktor agresif (HCl, pepsin, etanol, garam empedu,
beberapa obat-obatan, dan lain-lain). Pada masa kini, infeksi Helicobacter pylori dan
NSAID telah teridentifikasi sebagai dua penyebab utama ulkus peptikum. Penggunaan
kokain (yang biasa digunakan dengan metode hisap) merupakan hal yang dapat
meningkatkan resiko perforasi ulkus peptik, namun dengan mekanisme penyebab yang
berbeda, karena perforasi ulkus peptik sekunder yang dipicu oleh penggunaan kokain
biasanya disebabkan oleh iskemia mukosa lambung, dan penanganan dari perforasi
menurunkan asam. Tiga fase klinis di dalam proses perforasi ulkus peptik dapat
dibedakan:
Fase 1: Kontaminasi asam lambung/ peritonitis kimia. Perforasi dari lambung dapat
isi dari gastrointestinal. Pada saat terjadi perforasi, kandungan asam dalam lambung
akan menurun, sehingga isi dari gastrointestinal tidak dapat disterilkan, nantinya
bakteri atau jamur dari dalam lambung akan keluar menuju peritoneum dan
menimbulkan inflamasi. Pada awalnya akan terjadi peritonitis kimia, namun dalam
6
Fase 2: Intermediate Stage. Setelah 6-12 jam, banyak dari pasien yang merasa adanya
pengurangan rasa sakit. Mungkin disebabkan oleh isi lambung yang mengiritasi
saluran gastroduodenum menjadi lebih encer dan terdapatnya eksudat pada peritoneal
Epidemiologi
Perforasi terjadi pada 2-10% penderita Ulkus peptikum, dan menyebabkan kematian
pada 70% pasien. Perforasi seringkali merupakan kemungkinan klinis pertama yang
muncul pada pasien ulkus peptikum. Insiden perforasi duodenum adalah 7-10 kasus/
100.000 individu dewasa per tahun. Lokasi perforasi biasanya melibatkan dinding
anterior duodenum (60%), antrum (20%) dan kurvatura minor gaster (20%).
Ulkus duodenum merupakan lesi yang umum di populasi masyarakat barat, sedangkan
ulkus lambung lebih sering muncul di negara-negara di Asia, khususnya Jepang. Ulkus
lambung memiliki tingkat kematian dan tingkat morbiditas yang lebih tinggi akibat
pendarahan, perforasi, dan obstruksi. Perforasi ulkus peptikum dulunya sering diderita
oleh pasien dewasa muda (biasanya laki-laki), namun saat ini, usia penderita semakin
meningkat dan bisa terjadi pada wanita. Usia puncak pengidapan penyakit ini berada
peningkatan dengan angka kematian yang cukup tinggi walaupun sudah ditemukan
antagonis reseptor H2. Di Eropa, ulkus peptikum masih menjadi penyebab kematian
7
atas 20.000-30.000 orang per tahun, disebut-sebut bahwa penggunaan peningkatan
Setelah diketahui peranan H. Pylori pada ulkus peptikum oleh Barry J. Marshall dan
Robin Warren pada tahun 1982, faktor-faktor seperti stres dan gaya hidup diyakini
menjadi faktor paling penting yang berkontribusi terhadap kemunculan penyakit ulkus
pada lebih dari 90% dari seluruh ulkus duodenum dan 80% pada ulkus lambung.
sehingga mengganggu proses hambatan pelepasan gastrin, dan hal ini menjadi lebih
jelas jika organisme penginfeksi adalah yang tipe cagA positif. Infeksi H. Pylori
meningkatkan pelepasan gastrin dan sekresi asam lambung. Hampir dari seluruh
kasus, infeksi H. Pylori didapat pada usia kanak-kanak. Berbeda dengan jenis infeksi
pada infeksi H. Pylori adalah infeksi ini tidak hanya berlokasi di permukaan mukosa
lambung saja, namun juga pada lapisan mukosa yang melindunginya. Pada tahun 1994,
bahwa para pasien ulkus yang positif terinfeksi H. Pylori harus ditangani dengan obat-
obatan anti mikroba. Tipe dan jumlah obat yang diberikan serta durasi penanganan
8
clindamycin atau metronidazole dengan tetrasilin ternyata dapat mencapai tingkat
Menurut laporan konsensus Maastricht III, penanganan lini pertama untuk infeksi H.
pylori haruslah berupa tripel terapi, yang terdiri atas PPI/ proton pump inhibitor plus
<30%). Ulkus peptikum dapat didiagnosa secara endoskopis, namun cara ini
membutuhkan biaya yang tidak murah dan tidak selalu diterima oleh pasien. Uji nafas
urea-karbon-13 juga cukup mahal, namun pemeriksaan ini merupakan indikator yang
reliabel akan infeksi H. pylori. Metode yang paling sering dipilih untuk mendiagnosis
H. pylori adalah dengan mengambil biopsi pra-operasi. Bahkan pada pasien dengan
mengetahui keberadaan H. pylori, karena bakteri ini dapat dibasmi dengan mudah.
harus dilakukan pada pasien yang berusia >45 tahun dengan ciri-ciri khusus yang
Penanganan non-operasi
Penanganan konservatif dikenal dengan metode Taylor dan terdiri dari aspirasi
nasogastrik, antibiotik, cairan intravena, dan yang baru adalah tripel terapi H. pylori.
9
pasien perforasi ulkus peptikum yang memperoleh tindakan konservatif, Taylor
berpendapat sesuai dengan teori yang ada bahwa tindakan dekompresi lambung efektif
healing. Dasar pemikiran penanganan konservatif berasal dari Crisp, 1843 yang
untuk menyelimuti daerah yang mengalami perforasi, selanjutnya visera ini akan
mengalami adhesi untuk mencegah kebocoran dari isi lambung kedalam peritoneum.
Saat ini, banyak laporan yang telah diterbitkan mengenai topik ini, dengan tingkat
peptikum perlu dioperasi atau tidak. Diperkirakan sekitar 40-80% perforasi dapat
menutup secara spontan dan secara keseluruhan tingkat morbiditas dan tingkat
kematian pun dapat dikatakan sama. Namun, penundaan waktu optimal operasi diatas
perforasi ulkus peptikum. Juga, perlu diperhatikan pada pasien yang berusia >70
tingkat kegagalannya mencapai 67%. Kondisi syok pada saat dilakukan awal
Para pasien yang tampaknya dapat merespon dengan penanganan konservatif dapat
dkk. Penanganan non-bedah pada pasien ini, terbukti dapat menutup lokasi perforasi
dengan amaa. Hanya 3% dari seluruh pasien yang telah diseleksi dengan
10
gastroduodenogram mengalami pembentukan abses intra-abdominal dengan angka
waktu pemulihan pasien menjadi lebih cepat. Namun, perlu menjadi pertimbangan
juga bahwa terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa waktu pemulihan
Kerugian dari penanganan konservatif adalah tinggi nya tingkat kematian, terutama
diagnostik dengan laparoskopi atau laparotomi kurang memiliki manfaat pada pasien
yang mengalami salah diagnosa. Terakhir, perlu diingat bahwa terjadinya perforasi
ulkus peptikum bisa merupakan gejala dari kanker lambung, sehingga jika penanganan
konservatif dipilih setelah beberapa minggu, maka endoskopi harus dilakukan pada
hanyalah terbatas untuk para pasien yang berusia <70 tahun saja yang tidak akan
mampu untuk menjalani operasi bedah akibat morbiditas. Ketika pasien mengalami
syok atau ketika titik waktu antara perforasi dengan waktu dimulainya penanganan
adalah >12 jam, maka penutupan perforasi haruslah menjadi pilihan yang
diprioritaskan.
11
Gambar 1. Beberapa teknik jahitan untuk penutupan perforasi.
awal premedikasi pada proses anestesi. Pada operasi bedah konvensional, dilakukan
midline insisi bagian atas. Pencarian lokasi perforasi tidak selalu mudah dilakukan:
terkadang, perforasi muncul pada lokasi dorsal lambung, yang hanya terdeteksi setelah
kemungkinan munculnya perforasi ganda. Pada kasus ulkus lambung, biopsi perlu
12
Penutupan sederhana pada perforasi dapat dilakukan dengan beberapa cara (gambar
1): Penutupan sederhana pada perforasi dengan jahitan terputus tanpa omentoplasti
atau tambalan omental, (2) Penutupan sederhana pada perforasi dengan melakukan
omentoplasti, (3) Plug omental berpedikel pada perforasi setelah sutur diikatkan, dan
(4) Tambalan omental bebas versi Graham. Perbaikan ini dapat diuji dengan mengisi
abdomen dengan larutan salin hangat dan memasukkan udara kedalam selang
nasogastrik. Jika tidak ada gelembung udara, maka perforasi telah tertutup dengan
baik. Selain itu, dapat dilakukan injeksi pewarna sebagai indikator melalui selang
Pemasangan drain tidak dilakukan secara rutin. Luka pada perut dapat diberi
Cellan-Jones menerbitkan satu makalah pada tahun 1929 yang berjudul metode cepat
penanganan perforasi ulkus duodenum. Penanganan pilihan pada saat itu adalah, (1)
jika bagian yang perforasi tersebut memiliki tepian yang rapuh maka lakukan insisi
pada tepian rapuh, (2) melakukan penjahitan kantong tembakau dan (3) pada bagian
atas jahitan ditutup dengan tandur omentum. Komplikasi yang dihadapi adalah
tindakan omentoplasti dilakukan tanpa diawali penjahitan primer pada ulkus. Teknik
beliau terdiri dari penempatan 4-6 jahitan, memasukkan bagian omentum yang
pada bagian yang mengalami perforasi, dan terakhir lakukan pengikatan jahitan.
13
Setelah tahun 1937, Graham pun menerbitkan hasil nya dengan tambalan omentum
bebas. Beliau menempatkan tiga jahitan dengan letakan omentum bebas pada jahitan
ini, yang kemudian diikatkan. Tidak ada upaya yang dilakukan untuk menutup
Cara seperti ini telah menjadi golden standart untuk prosedur operasi saat ini.
Seringkali, para dokter ahli bedah mengatakan bahwa mereka menggunakan tambalan
yang dijelaskan oleh Celan-Jones. Schein tidak menjelaskannya dengan lebih jelas:
Jangan jahit perforasi, namun tutupilah dengan omentum yang layak dan tutuplah
peptik yang terperforasi jika anda mampu, jika anda tidak mampu, maka potonglah.
Walaupun beberapa dokter ahli bedah ada yang meragukan kegunaan dari tindakan
irigasi, namun tidak ada satu pun di dalam literatur yang mendukung keraguan mereka.
Secara umum, hal ini menjadi salah satu bagian paling penting dalam pembedahan,
dan proses pengirigasian direkomendasikan dengan 6-10 liter sampai 30 liter larutan
salin. Namun, alasan untuk pencucian peritoneum selama operasi rutin tampaknya
hanya didasarkan pada kebiasaan, dan tentu saja tidak berbasis bukti.
berbeda-beda dalam hal ini. Di dalam satu kuesioner, 80% dari seluruh responden
menjawab bahwa mereka tidak melakukan pemasangan drain pada pasien ini.
ataupun abses. Di sisi lain, lokasi pemasangan drainase bisa terinfeksi (10%) dan
14
terjadi kebocoran. Namun, pada kasus yang diduga terjadi kebocoran, pemeriksaan
dengan CT scan akan memberikan semua informasi yang dibutuhkan, mungkin akan
Pembedahan Definitif
Beberapa indikasi untuk pembedahan elektif masih belum diketahui secara pasti.
Jumlah dari prosedur elektif yang dilakukan di dalam penanganan penyakit ulkus
peptikum telah mengalami penurunan lebih dari 70% sejak tahun 1980-an. Hasil dari
kuesioner dengan 607 responden menunjukkan bahwa hanya 0,3% dari seluruh dokter
ahli bedah yang secara rutin melakukan vagotomi untuk komplikasi-komplikasi ulkus
duodenum, dan 54,5% para dokter ahli bedah mengatakan bahwa mereka tidak pernah
ini adalah: rendahnya tingkat kekambuhan penyakit ulkus peptikum dan perforasi
ulkus peptikum karena kondisi ini dapat secara efektif ditangani melalui pembasmian
Saat ini, pasien yang menjalani operasi pembedahan sebagai terapi perforasi ulkus
peptikum adalah mereka yang berusia relatif tua dengan resiko bedah lebih tinggi, hal
ini menyebabkan mereka menjadi kandidat yang kurang tepat untuk memperoleh
tindakan bedah ulkus definitif. Terakhir, banyak dari para dokter bedah yang
berpraktek saat ini yang tidak memiliki cukup pengalaman di dalam tindakan operasi
bedah untuk menangani ulkus. Para pasien yang dipertimbangkan untuk mendapatkan
tindakan operasi bedah, biasanya adalah yang diketahui bahwa kondisi ulkus mereka
tidak disebabkan oleh H. pylori, atau para pasien yang mengalami kekambuhan ulkus
15
walaupun sudah ditangani dengan tripel terapi. Pada para pasien ini, vagotomi sel
linear anterior. Prosedur ini dapat secara aman dan secara relatif mudah dilakukan
secara laparoskopis.
Laparoskopi
Sejak tahun 1990an, penutupan perforasi ulkus peptikum secara laparoskopis telah
prosedur laparoskopi dapat berperan sebagai alat diagnostik yang tidak terlalu invasif.
Keuntungan lainnya adalah berkurangnya rasa sakit yang ditimbulkan pasca tindakan
laparoskopik dan pasien cenderung tidak terlalu membutuhkan analgesik. Selain itu,
tindakan ini juga dapat mengurangi lamanya waktu rawatan di rumah sakit. Juga,
tingkat infeksi luka, robeknya luka pada abdomen, dan hernia insisional akibat bekas
luka yang terlalu pendek juga diketahui menurun. Dengan tidak dipilihnya tindakan
laparotomi dapat menurunkan insiden ileus pasca-operasi dan infeksi pada dada.
Kekurangan dari laparoskopi adalah waktu operasi yang lebih lama, kemungkinan
peningkatan insiden operasi-ulang akibat kebocoran pada lokasi perbaikan, dan juga
meningkatnya insiden terkumpulnya sisa-sisa cairan atau lainnya di dalam perut akibat
bilasan yang tidak cukup. Ada tidaknya hubungan klinis dengan keberadaan cairan ini
masih belum jelas. Insiden kebocoran dapat disebabkan oleh sulitnya prosedur
16
Beberapa dokter ahli bedah laparoskopi menggunakan omentopexy. Teknik tanpa
jahitan pun telah dicoba, dengan penggunaan lem fibrin atau sponge gelatin untuk
menambal ulkus. Kekurangan dari teknik ini hanya dapat digunakan untuk menutup
perforasi yang berukuran kecil saja. Untuk menanggulangi masalah ini, bioderadable
patch dengan ukuran yang dapat disesuaikan telah dicoba pada tikus dengan hasil yang
cukup baik. Terakhir, juga telah diketahui pilihan perbaikan dapat dilakukan dengan
kombinasi laparoskopi-endoskopi.
Tabel 2. Gambaran umum beberapa komplikasi setelah tindakan operasi bedah untuk
Tabel 3. Skor Boey yang berkaitan dengan tingkat morbiditas dan kematian
17
Penanganan Pasca-Operasi
selang nasogastrik setidaknya selama 48 jam. Meskipun begitu, tidak ada bukti ilmiah
cenderung sebagai kebiasaan praktek sehari-hari. Satu tinjauan dari Cochrane yang
nasogastrik tidak memberi hasil yang diinginkan, dan sebaiknya penggunaan ini
percobaan lainnya. Hal ini berarti pemberian makanan melalui mulut dapat segera
dilakukan, seperti halnya pada kasus bedah kolorektum. Berdasarkan protokol yang
ada bahwa penundaan pemberian makanan lewat mulut selama 3 hari, tidak perlu
dilakukan.
Pada Tabel 2, infeksi luka merupakan komplikasi paling umum kedua setelah
dilakukannya pembedahan untuk perforasi ulkus peptikum dan juga tingkat insiden
dapat menurunkan tingkat infeksi secara keseluruhan. Walaupun untuk hampir dari
cukup, namun pada kasus infeksi H. pylori, tetap dilakukan tripel terapi, yang terdiri
dari PPI yang dikombinasikan dengan clarithromycin dan amoksilin selama 14 hari.
Endoskopi pada saluran lambung dan usus bagian atas perlu dilakukan setelah 6
minggu untuk mengetahui tingkat kesembuhan pada ulkus dan untuk mengevaluasi
status H. pylori.
18
Komplikasi Pasca-Operasi
Komplikasi pasca-operasi yang paling umum ditemui adalah pneumonia yang diikuti
dengan infeksi luka. Tinjauan umum dari seluruh komplikasi dan insiden-insidennya
antara 6 sampai 10%. Terdapat empat faktor utama yang dapat meningkatkan tingkat
kematian hingga 100%. Yaitu; (1) usia >60 tahun, (2) penanganan yang tertunda (>24
jam), telah terjadi syok sebelum mendapatkan penanganan (tekanan darah sistolik
<100 mmHg), dan (4) penyakit-penyakit penyerta. Juga diketahu pada kondisi ulkus
lambung memiliki kemungkinan dua sampai tiga kali lipat peningkatan resiko
medis lainnya, dan perforasi yang berkepanjangan, diketahui dapat menjadi faktor
peptikum mencapai 3-5 kali lipat pada pasien lanjut usia (sampai 50%). Kondisi ini
penanganan (>24 jam). Pada kasus ulkus lambung terperforasi ataupun penyakit ulkus
19
peptikum yang sering mengalami kekambuhan, maka diindikasikan dilakukan (hemi)
gastrektomi dengan vagotomi, namun tindakan lain yang dapat menjadi pilihan aman
Kesimpulan
perdebatan, walaupun hal ini sudah banyak dikaji dan diteliti. Dengan peninjauan
untuk melakukan omentoplasti, tindakan laparoskopi sebagai satu prosedur, dan perlu
Dengan meninjau hasil upaya operasi perbaikan perforasi ulkus peptikum melalui
laparoskopik, dan operasi melalui laparotomi atas, kita dapat menyimpulkan bahwa
yang lebih lama dengan meningkatnya tingkat insiden kebocoran ulang), yang dapat
dikurangi dengan memastikan bahwa dokter ahli bedahnya adalah mereka yang benar-
benar terlatih di dalam laparoskopi, Selain itu, prosedur lain tidak dapat mengalahkan
tingkat manfaat yang didapat dari tindakan laparoskopis (rasa sakit yang dirasa pasien
lebih ringan dengan tingkat morbiditas dan kematian yang lebih rendah), bahkan pada
20
para pasien lanjut usia. Sehingga, prosedur laparoskopik haruslah dijadikan pilihan
pertama.
21