Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
Carpal tunnel syndrome (CTS) atau sindroma terowongan karpal adalah
salah satu gangguan pada lengan tangan karena terjadi penyempitan pada
terowongan karpal, baik akibat edema fasia pada terowongan tersebut maupun
akibat kelainan pada tulang-tulang kecil tangan sehingga terjadi penekanan
terhadap nervus medianus dipergelangan tangan. Carpal tunnel syndrome
diartikan sebagai kelemahan pada tangan yang disertai nyeri pada daerah ditribusi
nervus medianus.1
Carpal tunnel syndrome merupakan neuropati tekanan terhadap nervus
medianus terowongan karpal di pergelangan tangan dengan kejadian yang paling
sering, bersifat kronik dan ditandai dengan nyeri tangan pada malam hari,
parestesi jari-jari yang mendapat innervasi dari saraf medianus, kelemahan dan
atrofi otot thenar.2
Terowongan karpal terdapat dibagian depan dari pergelangan tangan
dimana tulang dan ligamentum membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui
oleh beberapa tendon dan nervus medianus. Tulang-tulang karpalia membentuk
dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk
oleh fleksor retinakulum yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia
tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini, akan
menyebabkan penekanan terhadap struktur yang paling rentan didalamnya yaitu
nervus medianus.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

1
Carpal tunnel syndrome (CTS) atau sindroma terowongan Carpal adalah
suatu kelainan yang sering dijumpai dalam praktik kedokteran. Sindroma ini
muncul karena adanya penekanan pada nervus medianus yang terletak di antara
ligamentum transversus carpalis, yang disebut juga fleksor retinakulum pada
bagian atas, dan tendo muskulus digitorum superficialis, muskulus digitorum
profundus, muskulus fleksor policis longus, dan tulang-tulang carpal (scaphoid
dan trapesium) di bagian bawahnya.
Secara anatomi, serabut saraf nervus medianus berasal dari ramus
cervicalis ke lima, enam, tujuh, dan delapan, serta ramus thoracalis pertama dan
melewati sebeah lateral dan medial dari pleksus brachialis. Cabang saraf motorik
menginervasi muskulus abductor policis brevis, opponenspollicis, serta dua
lumbrikalis lateral tangan. Serabut saraf sensorik menginervasi sisi volar dari tiga
jari lateral dan separuh lateral dari jari ke ke empat, termasuk palmar dan sis distal
dorsal dari jari-jari tersebut melampaui ujung dari sendi interfalanx 1. (Gambar 1)

2
Gambar 1. Innervasi serabut saraf sensorik dari nervus medianus pada tangan

CTS adalah kumpulan dari tanda dan gejala yang timbul setelah terjadinya
penekanan pada nervus medianus yang terletak pada terowongan carpal.
Gejalanya berupa mati rasa, kesemutan, dan nyeri pada daerah distribusi

3
persarafan n.medianus. Gejala tersebut bisa disertai dengan perubahan pada
sensasi dan kekuatan struktur yang disarafi oleh n.medianus.

2.2 Etiologi
Pada CTS isi dari terowongan carpal meningkat. Gelbermen dkk
menunjukkan bahwa besar tekanan pada terowongan carpal sekitar 3mmHg
dibandingkan dengan pasien dengan CTS yang memiliki besar tekanan 32mmHg,
dengan pergelangan tangan pada posisi yang netral.8 patofisiologi dari lesi saraf
ini adalah iskemik, serta penekanan dari vasa dan nervus sehingga meningkatkan
tekanan.
Faktor predisposisi dari terjepitnya n.medianus mungkin disebabkan
karena gerakan berulang pada pergelangan tangan, seperti merajut, mengetik,
mencuci, berkendara, melukis, dan berkebun. Hal ini disimpulkan dari
pengalaman klinik dokter yang menangani sindroma seperti ini.
Beberapa kondisi medis turut dihubungkan dengan CTS, seperti
kehamilan, menyusui, siklus menstruasi, penggunaan kontrasepsi oral,
menopause, diabetes mellitus, kekurangan vitamin B, toxic shock syndrome,
hemodialisis dalam waktu lama, osteoartritis pada pergelangan tangan, artritis
reumatoid, obesitas, amiloidosis, mukolipidosis, kondromalasia, myxedema,
akromegali, kelainan ukuran carpal tunnel bawaan, dan athetoid dystonic cerebral
palsy. Kondisi-kondisi ini biasanya didiagnosis lebih awal dibandingkan CTS
sehingga etiologi dari CTS akan telah ditetapkan.
Kondisi-kondisi yang mungkin dapat meningkatkan volume dari carpal
tunnel adalah arteri madiana persisten, aneurisma atau malformasi arteri-vena,
anomali otot dan tendo, infeksi, perdarahan, kecil ukuran carpal tunnel bawaan,
neurofibroma, hemangioma, lipoma, ganglion, xanthoma, dan topus gout.
Kondisi-kondisi medis tersebut sangat langka. Kondisi tersebut mungkin
dicurigai ketika kondisi di atas merupakan faktor predisposisi dan ketika penyakit
tidak muncul, dan ketika pasien telah gagal untuk dilakukan terapi CTS secara
konservatif. Sejak CTS diterapi dengan pembedahan, data-data sebelumnya

4
tentang penyebab dari CTS mungkin tidak dibutuhkan lagi, dan etiologinya akan
ditemukan intraoperatif.

2.3 Patofisiologi
Sampai munculnya uji elektrofisiologi pada tahun 1940, CTS umunya
dicurigai sebagai hasil dari penekanan pada pleksus brachialis oleh tulang-tulang
iga dan struktur lain pada regio depan leher. Sekarang diketahui bahwa
n.medianus mengalami kerusakan karena tertekan batas-batas carpal tunnel yang
keras, yang menyebabkan demielinisasi yang diikuti dengan degenerasi axonal.
Serabut saraf sensorik mungkin akan terkena lebih dahulu, diikuti dengan serabut
saraf motorik. Serabut saraf otonom mungkin juga dapat terpengaruh.
Penyebab dari kerusakan n.medianus masih diperdebatkan, bagaimanapun
peningkatan tekanan yang abnormal pada carpal tunnel terjadi pada pasien CTS.
Tekanan ini menyebabkan obstruksi aliran darah vena, edema, hingga iskemik
dari saraf.
Resiko berkembangnya CTS mungkin dihubungkan, paling tidak satu dari
beberapa faktor-faktor epidemiologi yang lain, seperti genetik, kesehatan, sosial,
vokasi, avokasi,dan demografis.1 Mungkin terdapat hubungan yang kompleks
antara beberapa atau bahkan keseluruhan dari faktor tersebut, yang akhirnya
mengarah pada berkembangnya CTS, sehingga faktor kausatif masih sulit untuk
dijelaskan.

2.4 Epidemiologi
Amerika Serikat
Insidensi dari CTS 1 3 kasus tiap 1000 orang setiap tahunnya,
prevalensinya mencapai sekitar 50 kasus tiap 1000 orang pada populasi umum.
Insidensi dapat meningkat hingga 150 kasus tiap 1000 orang per tahun, dengan
angka prevalensi hingga 500 kasus tiap 1000 orang pada kelompok dengan resiko
tinggi.

Internasional

5
Penelitian berbasis populasi tentang CTS masih kurang, bagaimana pun,
insidensi dan prevalensi pada negara berkembang tampaknya sama dengan
Amerika Serikat ( contoh : angka insidensi di negara Belanda mencapai 2,5 kasus
tiap 1000 orang per tahun, prevalensi di negara Inggris 70 160 kasus tiap 1000
orang).2,3,4 CTS hampir tidak pernah terdengan dari beberapa negara berkembang
( misalnya, di antara orang-orang kulit hitam di negara Afrika Selatan)

Mortalitas/Morbiditas
CTS bukanlah penyakit yang berakibat fatal, namun dapat menyebabkan
kerusakan yang irreversibel dari n.medianus, dengan konsekuensi berat berupa
kehilangan fungsi tangan, apabila tidak dilakukan terapi.

Ras
Orang-orang kulit putih kemungkinan memiliki resiko yang lebih tinggi
untuk terkena CTS.sindroma ini sangat jarang terkena pada beberapa ras ( misal :
pada orang Afrika Selatan yang berkulit hitam).4 Di Amerika Utara, anggota
tentara US yang berkulit putih terkena CTS 2-3 kali lebih banyak dibandingkan
anggota tentara yang berkulit hitam.5

Jenis Kelamin
Rasio insidensi CTS pada wanita dan pria adalah 3-10 : 1.
Umur
Puncak rentang usia untuk berkembangnya CTS adalah pada umur 45 60
tahun. Hanya 10% pasien dengan CTS yang berumur kurang dari 31 tahun.

2.5 Tanda Klinis


CTS lebih umum terjadi pada wanita daripada pria, dengan rasio
perbandingan 7 : 3. Walaupun prevalensinya lebih tinggi pada usia dekade ke
enam dan delapan, namun semua kelompok usia dapat terkena.
Manifestasi klinik dari CTS bermacam-macam. Kebanyakan pasien
mengeluh sakit, panas, kesemutan, dan baal pada bagian tangan yang bersifat

6
lokal pada tiga jari pertama dan sisi lateral dari jari ke empat, dengan sesekali
melibatkan sisi telapak tangan. Gejala biasanya memburuk pada malam hari,
diperberat dengan gerakan pada pergelangan tangan yang berlebihan, dan menjadi
menetap ketika semakin terjepit.2,3
Semakin parah CTS maka gejala yang timbul mungkin dapat menjalar ke
bagian tubuh yang lebih proksimal, hinggal mencapai lengan bawah, siku, lengan
atas, dan bahu. Kelemahan dalam menggenggam dan kebalikannya mungkin juga
dapat muncul dan penyakit ini mungkin dapat salah didiagnosis sebagai cervical
radiculopathy, shoulder bursitis, thoracic outlet syndrome, transient
ischaemic attack, coronary artery ischaemia, tendinitis, fibrositis atau lateral
epicondylitis.1,4,5
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi pemeriksaan fungsi motorik
dan sensorik dari saraf yang terkena dibandingkan dengan saraf sisi ulna
ipsilateral. Tinels sign ( ketukan pada n.medianus setinggi lipatan karpal untuk
memicu timbulnya paraesthesiae pada dermatom n.medianus) dan Phalens sign
(menahan pergelangan tangan pada kondisi fleksi maksimal selama 30 60 detik
untuk menimbulkan paraesthesiae pada n.medianus) adalah dua test provokatif
untuk mengetahui terjepitnya n.medianus. 2,3
Tingkat keparahan dan spesifisitas dari gambaran klinik dan tes provokatif
berbeda antara satu studi dengan studi yang lainnya. Satu studi menyarankan
untuk melakukan uji Tinels sign, dan bukan Phalens sign, berhubungan secara
signifikan dengan parameter elektrofisiologi yang abnormal.
Studi lain menyatakan bahwa gambaran klinis dari CTS lebih spesifik (66
87%) dan kurang sensitif (23 69%) untuk CTS.7 Lebih lanjut lagi, kelemahan
pada m.abductor pollicisbrevis lebih sensitif daripada hyparaesthesiae dari
n.medianus dan dermatomnya (masing-masing 66% dan 50%). Di sisi lain,
Phalens sign, ketika positif untuk CTS, memiliki spesifisitas 75% dan sensitivitas
50%, sedangkan Thinels sign hanya memiliki sensitivitas 23%.7 Kami
berpendapat bahwa tanda dan gejala motorik, sensorik, serta perjalanan penyakit
lebih penting dan lebih dapat dipercaya daripada Phalens sign dan Thinels sign
sebagai ujia untuk diagnosis CTS.

7
2.6 Diagnosis
Anamnesis
Riwayat perjalanan penyakit pasien kadang lebih penting dibandingkan
dengan pemeriksaan fisik untuk menentukan diagnosis dari CTS.
Mati rasa dan kesemutan
- Diantara keluhan-keluhan yang umum, pasien mengungkapkan bahwa
tangan mereka seperti terjatuh atau sering menjatuhkan sesuatu tanpa
mereka sadari ( kehilangan kekuatan menggenggam, menjatuhkan
sesuatu), mati rasa dan kesemutan juga sering dideskripsikan oleh pasien.
- Gejala biasanya bersifat hilang timbul dan berhubungan dengan aktivitas (
seperti : mengemudi, membaca koran, merajut, dan melukis). Gejala yang
timbul pada malam hari lebih spesifik untuk CTS, terutama bila pasien
berusaha mengurangi gejala tersebut dengan menggetarkan tangan /
pergelangan tangan. CTS bilateral sering terjadi, walaupun tangan yang
dominan biasanya terkena terlebih dahulu dan lebih parah dibandingkan
dengan tangan sisi lainnya.
- Keluhan biasanya bersifat lokal pada sisi palmar dari jadi pertama sampai
ke kempat dan palmar distal (distribusi sensorik dari n.medianus). Mati
rasa yang terjadi pada jari ke lima atau regio tenar serta punggung tangan
sebaiknya menjadi pertimbangan untuk memikirkan diagnosis banding
yang lain. Hal yang mengejutkan, di mana pada beberapa pasien CTS
tidak dapat melokalisasi keluhan (misalnya : seluruh tangan / lengan
terasa mati rasa). Mati rasa yang bersifat general (seluruh tangan)
mungkin mengindikasikan keterlibatan serabut saraf otonom, dan tidak
mengeluarkan CTS dari diagnosis.

Nyeri
- Gejala-gejala sensorik di atas sering disertai dengan rasa nyeri pada
daerah ventral dari pergelangan tangan. Rasa nyeri ini dapat menjalar ke

8
distal mencapai telapak tanga dan jari atau, lebih sering, menjalar ke arah
proksimal sepanjang sisi ventral dari lengan bawah.
- Rasa nyeri pada regio epicondylus dari siku, lengan atas, bahu, atau leher
lebih mengarah pada diagnosis penyakit muskuloskeletal yang lain (
misal, epikondilitis) dimana sering berhubungan dengan CTS. Nyeri yang
lebih proksimal tersebut sebaiknya dilakukan pemeriksaan yang lebih
teliti untuk diagnosis penyakit neurologik yang lain ( misal, cervical
radikulopathy)

Gejala otonom
- Tidak sedikit pasien yang mengeluhkan gejala terjadi di seluruh
tangannya. Banyak pasien dengan CTS juga mengeluhkan perasaan
keras/kaku atau bengkak pada tangannya dan/atau perubahan suhu (misal,
tangan menjadi dingin atau panas)
- Banyak juga pasien yang melaporkan perubahan sensitivitas tangan
terhadap suhu (biasanya dingin) dan perbedaan warna kulit. Kasus yang
jarang, dimana beberapa pasien mengeluhkan terjadinya perubahan dalam
hal keluarnya keringat. Kemungkinan besar, gejala-gejala tersebut
berhubungan dengan keterlibatan serabut saraf otonom dari n.medianus.

Kelemahan / kekakuan Kehilangan kekuatan tangan (khususnya ketepatan


menggenggam yang melibatkan jempol) sering terjai; pada prakteknya,
kehilangan sensasi dan rasa nyeri sering menjadi penyebab yang lebih penting
dari kelemahan dan kekakuan, daripada kehilangan kekuatan tangan.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik penting dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
neurologis dan muskuloskeletal yang lainnya, namun pemeriksaan fisik kadang
hanya berkontribusi sedikit dalam mengkonfirmasi diagnosis CTS.
Pemeriksaan sensorik

9
- Abnormalitas dari modalitas sensorik mungkin dapat terlihat pada regio
palmar (telapak) dari tiga jari pertama dan setengah sisi radial dari jari ke
kempat. Uji monofilamen Semmes-Weinstein atau diskriminasi 2 titik
mungkin lebih sensitif, namun berdasarkan pengalaman penulis, uji
pinprick sama baiknya dengan uji yang lain.
- Uji sensorik paling berguna untuk menentukan bahwa area distal dari
persarafan n.medianus masih dalam kondisi normal (misal, tenar,
hypotenar, dorsum, dll)

Pemeriksaan motorik Kelelahan dan kelemahan otot tangan yang diinervasi


oleh n.medianus dapat diketahui (otot LOAF)
- L - First and second lumbricals
- O - Opponens pollicis
- A - Abductor pollicis brevis
- F - Flexor pollicis brevis

Tes Khusus Tidak ada uji klinis yang baik untuk mendukung diagnosis CTS
- Hoffmann Tinel sign
Menekan secara gentle pada n.medianus di regio carpal tunnel akan
menimbulkan kesemutan pada daerah distribusi saraf
Ui ini masih sering dilakukan, meskipun memiliki sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah

- Phalen sign
Rasa kesemutan pada area distribusi n.medianus yang dirangsang
dengan fleksi maksimal (atau ekstensi maksimal untuk reverse
Phalen) dari pergelangan tangan lebih dari 60 detik.
Uji ini memiliki spesifisitas 80% namun sensitivitas yang lebih
rendah

10
- The carpal compression test
Tes ini dlakukan dengan melakukan tekanan kuat langsung di atas
carpal tunnel, biasanya dengan ibu jari, selama 30 detik untuk
menimbulkan gejala
Laporan menunjukkan bahwa tes ini memiliki sensitivitas hingga
89% dan spesifisitas 96%.

- Palpatory diagnosis
Tes ini dilakukan dengan memeriksa secara langsung jaringan lunak
yang melapisi n.medianus pada pergelangan tangan, untuk restriksi
mekanik.
Tes ini trercatat memiliki sensitivitas lebih dari 90% dan spesifisitas
75% atau lebih besar.

- The Square wrist sign


Uji ini dilakukan dengan mengukur rasio ketebalan pergelangan
tangan dengan lebar pergelangan tangan, dimana hasilnya lebih besar
dari 0,7
Tes ini memiliki sensitivitas/spesifisitas 70%

Beberapa tes khusus telah dianjurkan, tetapi jarang memberikan informasi


tambahan

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada tes darah untuk diagnosis CTS, namun uji laboratorium
untuk kondisi-kondisi yang berhubungan (misal, diabetes) mungkin dapat
dilakukan ketika ada indikasi.

11
Studi Pencitraan
Tidak ada studi pencitraan yang rutin dilakukan dalam diagnosis CTS
Magnetic Resonance Imagin (MRI) dari carpal tunnel sangat berguna
sebelung dilakukan operasi jika dicurigai terdapat space-occupying lesion.
pada beberapa kasus CTS, ketidaknormalan dari n.medianus dapat dideteksi,
maun bagaimana hubungan kondisi tersebut dengan tingkat keparahan
diagnosis dan fisiologis belum jelas. MRI tidak dapat menyingkirkan
diagnosis banding dan membutuhkan waktu serta sumber daya yang
banyak.10
Banyak laboratorium klinik neurofisiologi menggunakan USG sebagai
studi elektrodiagnostik. USG memiliki potensi untuk mengidentifikasi space-
occupying lesion yang terletak pada dan di sekitar n.medianus,
mengkonfirmasi kelainan dari n.medianus (misal, peningkatan area cross
sectional) yang dapat berupa diagnosis dari CTS, dan sebagai pemandu dalam
injeksi steroid pada carpal tunnel.11,12,13

Uji lainnya
- Elektroneurografi
Studi konduksi saraf didasarkan pada prinsip stimulasi saraf di
daerah tertentu. Dalam mempelajari status dari n.medianus pada carpal
tunnel, saraf distimulasi ke arah proksimal menuju ke CL dan senyawa
potensial aksi otot (CMAP) diangkut oleh skinelektroda yang terletak
pada eminensia tenar. CMAP merefleksikan status dari serabut saraf
motorik n.medianus. Amplitudo dari CMAP menggambarkan jumlah
serabut saraf motorik yang distimulasi. Durasi menggambarkan konduksi
kecepatan konduksi antar serat-serat yang berbeda. Latensi antara titik
rangsangan saraf dengan timbulnya CMAP tersebut, menggambarkan
kecepatan tercepat dari serabut saraf motorik pada carpal tunnel (Gambar
2).
Serabut saraf sensorik dari n.medianus dapat pula dipelajari.
Stimulasi dilakukan pada lokasi yang sama dengan stimulasi serabut saraf

12
motorik dan potensial aksi serabut saraf sensorik (SNAP) direkam dari
ujung distal jari ke dua atau ke tiga. Studi mengenai saraf sensorik
n.medianus ini dapat dilakukan secara orthodromical atau anti-
orthodromical (Gambar 2)10

Abnormalitas karakteristik dari CMAP dan SNAP dibandingkan


dengan data normatif yang didapatkan sebelumnya, sama baiknya dengan
n.ulnaris sisi yang sama dan n.medianus pada sisi kontralateral,
menggambarkan status fungsional dari n.medianus (Tabel 1)

14, 15, 16
Studi elektrofisiologi, termasuk elektromiografi (EMG)
dan studi konduksi saraf (NCS), adalah pemeriksaan utama yang
dilakukan pada kasus-kasus yang dicurigai sebagai CTS.17 Abnormalitas
hasil dari uji elektrofisiologi, berkaitan dengan tanda dan gejala yang

13
spesifik, dianggap sebagai kriteria standar untuk diagnosis CTS. Selain
itu, diagnosis neurologis lainya dapat disingkirkan dengan hasil tes
tersebut. NCS pada pasien dengan CTS dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Studi konduksi sensorik dari tangan kiri pasien dengan riwayat
mati rasa dan kelemahan dalam jangka waktu beberapa tahun (respons dari
n.medianus tangan kanan benar-benar tidak ada). Perhatikan melambatnya
kecepatan konduksi (CV) menjadi 29,8 dan 25,5 m/s untuk jari 3 dan 1,
masing-masing (normal >50 m/s). Amplitudo untuk keduanya juga
berkurang secara tajam (normal >10). Temuan-temuan ini sesuai dengan
CTS.

Studi konduksi saraf motorik dari tangan kiri pasien dengan


riwayat baal dan lemah dalam waktu beberapa tahun (respons dari
n.medianus tangan kanan benar-benar tidak ada). Perhatikan bahwa
kecepatan konduksi (CV) pada segmen carpal tunnel menurun tajam
menjadi 18,3 m/s (normal >50 m/s) dan latensi neuron motorik pada
daerah distal dperpanjang menjadi 6,3 ms (normal <4,2 ms). Amplitudo
rendah pada titik rangsangan pergelangan tangan dan siku dengan nilai 4,7

14
mV (normal >5 mV), tetapi amplitudo meningkat 31% lebih tinggi pada
distal dari carpal tunnel (pada telapak tangan). Perbedaan ini dapat
mungkin menunjukkan blok konduksi (neuropraxia) setinggi carpal tunnel
atau koaktivasi dari cabang n.ulnaris pada m.aductor pollicis.
Elektromiografi jarum dibutuhkan untuk menentukan apakah terdapat
kerusakan axonal.
Pemeriksaan elektrofisiologi juga dapat memberikan penaksiran
yang akirat mengenai derajat kerusakan pada saraf, sehingga dapat
mengarahkan ke pengelolaan dan memberikan kriteria yang objektif untuk
menentukan prognosis. CTS biasanya dibagi menjadi ringan, sedang, dan
berat, namun, kriteria untuk pengelolaan biasanya bermacam-macam
untuk setiap laboratorium. Secara umum, pasien dengan CTS ringan hanya
memiliki kelainan sensorik saja pada pemeriksaan elektrofisiologi, dan
pasien dengan kelainan sensorik dan motorik biasanya memiliki CTS
sedang. Namun, adanya kerusakan axonal ( misalnya penurunan atau
hilangnya respons sensorik atau motorik distal dari carpal tunnel atau
kelainan neuropathic pada EMG) diklasifikasikan ke dalam CTS derajat
berat.
Perubahan pada hasil elektrofisiologi dari waktu ke waktu dapat
digunakan untuk menilai keberhasilan berbagai modalitas pengobatan.
The American Association of Electrodiagnostic Medicine telah
mengeluarkan standar dan pedoman yang mengatur jumlah minimum studi
yang harus dilakukan untuk mendiagnosis CTS.15
Tes kuantitatif lainnya, seperti termografi dan Vibrometri, telah
terbukti akan lebih inferior dibandingkan dengan pemeriksaan
elektropsikologi dan, karena tes tersebut belum didukung oleh studi
terkontrol, maka tidak dianjurkan.

- Elektromiografi
Elektromiografi merupakan tes pelengkap dan bukan tes yang
diwajibkan selain elektroneurografi. Tes ini biasanya dilakukan pada otot

15
yang diinervasi oleh n.medianus pada tangan dan lengan bawah. Tes ini
menunjukkan status dari serat otot yang bergantung pada persarafan oleh
akson motorik. Aktivitas denervasi pada elektromiogram menggambarkan
kerusakan akut dari saraf. Perubahan neurogenik dan potensi reinervasi
menggambarkan patologi kerusakan saraf kronik. 11
Elektromiografi juga digunakan untuk menunjukkan lesi saraf
lainnya pada tangan yang terlibat ketika temuan dari pemeriksaan
neurografi tidak konsisten dengan CTS. Termasuk di dalamnya adalah
terjepitnya saraf pada lengan bawah, lesi pada pleksus atau penyakit pada
cervical root.11
Pemeriksaan elektrofisiologi sensitif untuk CTS, mudah untuk
dilakukan, dan murah, serta tidak menyakitkan. Pada kasus-kasus lanjut
hasil yang didapat mungkin jelas tapi pada kasus-kasus baru kemungkinan
terdapat hasil negatif palsu. Buch dkk, melaporkan bahwa pemeriksaan
elektrofisiologis hanya mengkonfirmasi diagnosis CTS sebesar 61% dari
kasus klinis yang diduga merupakan sindroma ini (CTS).12
Penulis berpendapat bahwa pemeriksaan elektrofisiologi
sebaiknya dilakukan pada kondisi-kondisi: suspek CTS, sebelum
intervensi bedah yang melibatkan pergelangan tangan, dan pasca operasi
jika gejala menetap atau kambuh. Manfaat dari pemeriksaan
elektrofisiologi banyak, meliputi: pemeriksaan ini mampu mengkonfirmasi
atau menyingkirkan diagnosis CTS, menentukan tingkat keparahan dari
terjepitnya saraf sehingga mampu memberikan petunjuk pemilihan terapi,
mampu menggambarkan status dasar dari fungsi motorik dan sensorik dari
n.medianus sebelum intervensi bedah, mampu menunjukkan kemungkinan
trauma intraoperatif, atau dekompresi yang tidak adekuat dari n.medianus
pada kegagalan terapi bedah, dan memungkinkan diagnosis rekompresi
atau kegagalan dekompresi pada sekambuhan.
Ketika pemeriksaan elektrofisiologi gagal untuk mengkonfirmasi
CTS atau bahkan memunculkan etiologi lain dari keluhan pasien, maka
diagnosis sebaiknya diambil berdasarkan temuan klinis. Terapi konservatif

16
sebaiknya diterapkan pada pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi
akan CTS walaupun pemeriksaan elektrofisiologi menunjukkan hasil yang
negatif. Disisi lain, dokter dapat mempertimbangkan untuk memulai terapi
konservatif pada pasien, atau memberikan injeksi steroid pertama tanpa
melakukan pemeriksaan elektrik atau radiografi, jika terdapat tanda klinis
klasik dari CTS. Apabila hal tersebut gagal, dan akan dilakukan operasi,
kami (penulis) merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan
elektrofisiologi.

2.7 Diagnosis Banding


Carpal Tunnel Syndrome adalah kondisi klinis yang umum, terjadi pada 5
1,2
orang dalam tiap penduduk. Meskipun kondisi yang umum ditemukan,
diagnosis bandingnya dapat menjadi sangat kompleks. Hal ini disebabkan karena
kriteria diagnosis dari CTS masih subjektif.
CTS didiagnosis berdasarkan pola khas gejala, termasuk parestesi pada
malam hari di daerah distribusi n.medianus, dan parestesia yang diperparah
dengan aktivitas tertentu, seperti menggenggam terlalu lama yang dapat terjadi
ketika membaca buku atau koran atau mengendarai mobil 3. Pasien kadang-
kadang mengibaskan tangannya untuk menghilangkan gejala. Beberapa pasien
mendeskripsikan nyeri yang menjalar ke lengan atas, bahkan sampai ke bahu.
Kadang pasien tidak jelas, baik pemikirannya maupun komunikasi,
sehubungan dengan lokasi gejala secara spesifik pada distribusi n.medianus.
Selain itu pasien mungkin tidak jelas mengenai sifat dari gejala, kesulitan untuk
menjelaskan rasa nyeri, mati rasa, kesemutan atau lainnya, dan bahkan mungkin
pasien tidak mengerti bahwa dokter memiliki perbedaan penjelasan yang
signifikan antara ketiga istilah, sedangkan pasien menganggapnya identik.
Kelemahan, kekakuan, dan kurangnya ketangkasan adalah gejala umum yang
dapat dihubungkan dengan CTS, tapi tentu saja, dapat juga berhubungan dengan
kondisi lainnya.3,4
Seperti yang telah dibahas, pada banyak kasus diagnosis dari CTS
sangatlah jelas. Pasien dengan pasrestesia pada malam hari yang terbatas pada

17
daerah distribusi n.medianus, diperberat dengan gejala yang spesifik, dan dengan
temuan klinis yang terbatas pada n.medianus setinggi pergelangan tangan, umum
ditemukan. Pada pasien dengan kondisi demikian, dokter cukup yakin untuk
memberikan diagnosis.
Pada kebanyakan pasien lainnya, diagnosis tidak terlalu jelas, karena
muncul variasi dari gejala. Rasa nyeri adalah gejala yang paling membingungkan.
Banyak kondisi spesifik dan non-spesifik muncul bersamaan dengan nyeri, CTS
salah satu di antaranya. Apabila nyeri adalah gejala satu-satunya dan tidak
terdapat temuan klinis lainnya, maka diagnosis CTS sangat tidak mungkin.
Namun, pasien atau dokter mungkin percaya bahwa ada kemungkinan diagnosis
CTS karena beberapa kondisi yang berhubungan, seperti pekerjaan. Pada beberapa
kasus, penting untuk menentukan diagnosis dengan cara lain, sepeti pemeriksaan
elektrodiagnostik5-til.
Mati rasa dan parestesia adalah gejala yang umum dari CTS, tetapi
mungkin juga disebabkan oleh kelainan neurologik dan non-neurologik lainnya,
terutama ketika gejalanya menetap dan tidak diikuti dengan pola khas berupa
memberat di malam hari atau memberat dengan aktivitas seperti yang terjadi pada
CTS.5 Pemeriksaan elektrodiagnostik kadang membantu untuk membedakan
kondisi-kondisi tersebut dari CTS.
Kelemahan, atrofi, dan kehilangan ketangkasan juga merupakan gejala
yang dapat dihubungkan dengan CTS, tetapi mungkin juga dapat muncul pada
kondisi lain, baik kelainan neurologik maupun non-neurologik lainnya. Cedera
atau bahkan kelainan kongenital dapat mengacaukan diagnosis CTS, terutama
ketika diagnosis diambil berdasarkan keluhan kelemahan dan kehilangan
ketangkasan.
Ada beberapa pemeriksaan untuk mengakkan diagnosis CTS. Yang paling
baik adalah elektrodiagnostik5. Pemeriksaan elektromiografi dan studi konduksi
saraf telah dijelaskan dengan baik dan bagi beberapa klinis merupakan gold
standard untuk diagnosis. Namun, banyak nilai negatif palsu11, di mana diagnosis
sangat jelas namun hasil pengujian elektrodiagnostik normal. Hal ini diharapkan,
pemeriksaan elektrodiagnostik menggambarkan kelainan neorofisiologis yang

18
signifikan. Ketika temuan lebih ringa atau kurang kronis, perubahan
elektrodiagnostik mungkin tidak tampak.
Ada tes-tes lain yang sangat berguna untuk membantu menyingkirkan
diagnosis CTS12. Sinar Ji pada pergelangan tangan dapat menggambarkan
fraktur atau kelainan lainnya untuk menjelaskan gejala nyeri dan kelemahan, atau
bahkan parestesia karena pekerjaan. Sinar K pada cervical spine dapat
menunjukkan gambaran spondilosis cervikalis. Pemeriksaan laboratorium mampu
menunjukkan adanya ketidaknormalan gula darah, penanda inflamasi seperti
faktor rheumatoid atau tingkat sedimentasi, ata marker endokrin seperti tingkat
hormon tiroid, dimana mamou menjelaskan gejala tanpa perlu menerapkan
pendekatan diagnosis CTS13. Pada beberapa kasus, magnetic resonance imaging
(MRI) atau pemeriksaan lainnya mungkin berguna untuk mengingkirkan
diagnosis seperti tumor, terutama pada daerah pleksus brachialis14.
Mungkin diagnosis banding yang paling umum dan membingungkan akan
terjadi ketika memilah CTS dari gangguan neurologis. Ada banyak gangguan
neurologis yang menimbulkan gejala nyeri, mati rasa, atau kelemahan pada
tangan.
Keganasan intrakranial kadang hadir pada riwayat mati rasa atau
kesemutan pada tangan, kelemahan pada tangan, atau kehilangan koordinasi dari
45,15-Ii
tangan. . Temuan ini akan dihubungkan dengan hiperrefleksia, sehingga
mengindikasikan bahwa diagnosis lebih ke arah central. Selain itu, pola dari
kelemahan atau hipoestesia biasanya tidak terbatas pada distribusi persarafan
n.medianus. dengan demikian, pemeriksaan neurologis secara teliti,
dikombinasikan dengan pemeriksaan pencitraan, merupakan faktor kunci untuk
memilah keganasan CNS dari CTS.
Multiple sklerosis dapat mengacaukan diagnosis CTS, tetapi dapat dengan
mudah dibedakan dengan pemeriksaan neurologis yang seksama, karena diagnosis
dari multiple sklerosis membutuhkan, seperti namanya, beberapa kelainan dan
gambaran patologis, tidak ada satupun yang khas untuk CTS. Kelainan CNS yang
lainnya, seperti amyotrophicolateral sklerosis atau penyakit Charcot-Marie-
Tooth, adalah murni neuropati motorik, dan mempengaruhi otot-otot di daerah

19
distal secara acak (diffuse), sehingga semua otot intrinsik menunjukkan
kelemahan, tidak hanya tempat-tempat tertentu saja.
Cervical radikulopathy mungkin adalah kondisi neurologis yang paling
umum yang dapat mengacaukan diagnosis CTS, atau malah dapat berdampingan
dengan CTS. Pemeriksaan neurologis yang teliti akan menunjukkan kelemahan
atau kebaalan pada dermatom atau miotom proksimal, tidak konsisten dengan
diagnosis dari neuropati median fokal. Rasa nyeri atau gejala yang terjadi di leher,
terutama yang diperberat dengan gerakan atau penekanan pada leher juga
merukapakan petunjuk yang berguna. Gejala yang bertambah berat dengan batuk
atau bersin lebih mengarah pada cervical radikulopathy dibandingkan dengan
CTS.
Cervical syringomyelia juga dapat mengacaukan diagnosis CTS.
Karakteristik dari rasa baal atau kelemahan, sangat berbeda, menggambarakan
bahwa gejala berasal dari cervical spine.
Kelainan pleksus brachialis jga dapat membuat bingung diagnosis CTS.
pada thoracic outlet syndrome, gejala terutama dirasakan pada distribusi n.ulnaris,
namun demikian dapat ditentukan dengan pemeriksaan neurologis yang seksama
IS
. Tumor Pancoast juga demikian, gejala mungkin dapat muncul pada tangan,
tetapi distribusi neurologisnya berbeda, tergantung pada lokasi yang spesifik dari
tumor19. Ini akan menjadi sangat tidak mungkin untuk tumor pada puncak paru-
paru untuk secara khusus hanya mempengaruhi serabut saraf median, terutama
karena beberapa berasal dari n.medianus dan beberapa dari ramus lateral pleksus
brakialis. Demikian pula, neuritis pleksus brakialis pasca radiasi bisa
menyebabkan nyeri pada ekstremitas, kesemutan, dan kelemahan pada tangan,
tapi polanya tidak terbatas pada distribusi saraf median, dan pemeriksaan
elektrodiagnostik akan melokalisasi ke pleksus dan tidak pergelangan tangan 1-It .
Plexitis brachialis idiopatik, atau yang dikenal dengan Parsonage-Turner
syndrome atau neuralgic amyotrophy adalah kondisi lain yang hampir sama
dengan CTS, tetapi tanda klinisnya sedikit berbeda. Sindroma ini biasanya diawali
dengan nyeri prodromal pada tungkai proksimal yang berat, diikuti dengan
kelemahan pada distribusi saraf yang lebih perifer, dengan sedikit rasa kesemutan.

20
Distribusi secara khas tidak spesifik pada distribusi n.medianus, walaupun cabang
proksimal dari n.medianus, seperti n.intraosseus anterior bisa terlibat. Temuan
tersebut, dari distribusi n.medianus pada carpal tunnel, menentang keras diagnosis
CTS. dalam kasus yang meragukan, pemeriksaan elektrodiagnostik dapat
membantu memilah kelainan.
[4]
Tumor pada saraf perifer juga dapat mensimulasikan CTS . Ini akan
sangat sulit jika tumor berada dalam carpal tunnel, seperti pada sepuluh kasus
[21]
dengan hamartoma lipofibromatous saraf . Kunci perbedaan di sini adalah
perjalanan penyakit dari massa tersebut. Berbeda dengan pembengkakan
fiexorsynovium yang dapat dilihat pada CTS, pembesaran tumor saraf tidak akan
bergerak dengan gerakan jari aktif. Ml-ti sering kali berguna dalam memilah
diagnosis lebih spesifik.

2.8 Penatalaksanaan
Pengobatan pada CTS fokus pada dekompresi dari n.medianus pada kanal.
Pada kasus-kasus ringan sampai sedang dekompresi dapat dilakukan dengan
modifikasi ergonomis sederhana, bidai pergelangan tangan, pengobatan dengan
obat anti-inflamasi atau injeksi steroid lokal. Pada kasus yang berat, pembedahan
adalah terapi satu-satunya18,19.
Dilaporkan bahwa dari 82% tangan dengan CTS memiliki respons
terhadap pengobatan konservatif. Namun, 80% darinya akan kambuh setelah satu
tahun, dan akan membutuhkan pembedahan.20

Program Rehabilitasi
Modifikasi Ergonomis dan Bidai
Tujuan dari terapi jenis ini adalah untuk menghindari fleksi yang berulang
atau rotasi dari pergelangan tangan. Elevasi dari tangan dan obat NSAID mungkin
dapat membantu pada kasus dengan pembengkakan jaringan lunak atau
tenosynovitis. Pembidaian pada malam hari pada pergelangan tangan kadang-
kadang membantu untuk kasus-kasus ringan.

21
Posisi netral dari pembidaian menurunkan potensi dari saraf untuk
teregang sehingga mengurangi gejala. Efek dari pembidaian akan tampak dalam
delapan minggu setelah penggunaan. Keuntungan dari pembidaian tergantung dari
beratnya jepitan bukan dari lamanya penyakit. Jepitan yang berat tidak respons
dengan pembidaian pergelangan tangan.

Terapi Fisik
Mengingat bahwa CTS berhubungan dengan kebugaran fisik yang rendah
dan peningkatan BMI, masuk akal jika menyarankan pasien untuk olah raga dan
mengurangi berat badan. Sepeda statis, bersepeda, atau olahraga lain yang
menimbulkan reganyan pada pergelangan tangan sebaiknya dihindari.
Penggunaan modalitas (terutama terapi ultrasound) mungkin dapat
memberikan bantuan jangka pendek pada pasien.18,19,20 Selain itu, yoga dan
mobilisasi tulang karpal memiliki beberapa bukti yang lemah untuk mengurangi
gejala untuk jangka pendek.20,21

Terapi Occupational
Pembidaian pergelangan tangan dengan sendi berada pada posisi netral
atau ekstensi ( disarankan pada malam hari dengan minimal selama 3-4 minggu )
memiliki bukti keberhasilan. Tentunya, hanya memakan biaya yang rendah dan
resiko efek samping yang minimal sehingga dapat dijadikan untuk terapi awal.22
Tidak ada bukti yang menyarankan bahwa program peregangan secara spesifik
pada tangan dan pergelangan tangan bermanfaat untuk pengobatan CTS.21
Pemijatan saraf juga tidak menunjukkan manfaat20,21 Pekerjaan yang ergonomis,
peralatan dan/atau posisi yang ergonomis tampaknya tidak memberikan manfaat
apapun.19,23

22
Komplikasi
Kebanyakan individu dengan CTS ringan sampai sedang (CTS,
berdasarkan data elektrofisiologi) memberikan respons dengan manajemen
konservatif, biasanya terdiri dari pembidaian pada pergelangan tangan minimal
selama 3 minggu. Pembidaian secara mandiri tampaknya juga berhasil dengan
baik, walaupun secara teori, pembidaian dengan posisi netral mungkin merupakan
pilihan yang terbaik.
Injeksi steroid ke dalam carpal tunnel telah menunjukkan manfaat jangka
panjang dan dapat dilakukan jika terapi konservatif telah gagal.25 Injeksi juga
bermanfaat ketika terapi pembedahan memiliki kontraindikasi relatif (misal,
karena kehamilan).25,26 Pemeriksaan ultrasound pada n.medianus dapat membantu
untuk memprediksikan respons dari injeksi steroid.27
Non Steroid Anti-Inflamatory Drugs (NSAID) dan/atau diuretik
memberikan manfaat pada beberapa populasu (misal, pasien dengan retensi cairan
atau dengan tendinitis pergelangan tangan). Vitamin B-6 atau B-12 tidak terbukti
memberikan manfaat.20
Kurangnya olah raga (bersamaan dengan peningkatan BMI) tampaknya
menjadi faktor resiko untuk berkembangnya CTS dan sebaiknya ditangani.

Intervensi Pembedahan
Pasien dengan kondisi yang tidak membaik setelah terapi konservatif dan
pasien dengan CTS berat (sesuai dengan pemeriksaan elektrofisiologi) sebaiknya
dipertimbangkan untuk dilakukan pembendahan. Pembedahan dengan melepaskan
ligamentum transversum terbukti memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi (lebih
dari 90%), dengan komplikasi yang rendah, namun, kemungkinan keberhasilan
untuk jangka panjang mungkin lebih rendah dari dugaan (kira-kira 60% untuk 5
tahun). Keberhasilan juga sangat rendag pada pasien dengan hasil pemeriksaan
elektrofisiologi yang normal.28,29,30
Dekompresi n.medianus secara pembedahan, dengan transeksi CL,
diperuntukkan bagi pasien yang tidak membaik dengan terapi konservatif dan
untuk pasien dengan klinis atau hasil pemeriksaan elektrofisiologi yang

23
menunjukkan jepitan yang berat dengan motorik fokal, atau kerusakan serabut
sensorik. Dekompresi bedah dilakukan dengan anestesi regional dengan teknik
pembukaan atau dengan teknik endoskopi.

Pembebasan Carpal Tunnel dengan Bedah Terbuka


Insisi dilakukan sepanjang 3 cm, secara linier atau longitudinal, dari
palmar distal di antara thenar dan hypothenar ke arah retinakulum proksimal.
Seluruh retinakulum fleksorum dilakukan transaksi. Beberapa komplikasi dari
pembedahan ini termasuk bekas luka dan nyeri neuralgia kutaneus. Kekambuhan
setelah pembedahan jarang terjadi dan biasanya merupakan hasil dari
ketidaksempurnaan transaksi dari retinakulum fleksorum atau trauma iatrogenik
dari n.medianus.

Pembebasan Carpal Tunnel secara Endoskopi


Teknik ini diperkenalkan pada tahun 1989 oleh Okutsu dkk untuk
mengurangi morbiditas dari pembedahan dan mempercepat pemulihan. Ada dua
teknik endoskopi: sistem pelepasan satu portal dan sistem pelepasan dua portal.
Studi kasus membandingkan pembebasan carpal tunnel dengan teknik
pembedahan terbuka dan endoskopi menunjukkan tingkat keberhasilan yang sama
dalam hal pengurangan gejala dan kepuasan dari pasien. Teknik terbuka
menimbulkan bekas luka yang lebih besar, sedangkan endoskopi menimbulkan
resiko cedera saraf yang lebih besar.

Konsultasi
Merujuk pasien dengan suspek CTS ke spesialis yang telah terlatih dalam
neurofisiologi klinis (biasanya neurolog, fisiatris, atau spesialis kedoktgeran fisik
dan rehabilitasi) untuk dilakukan pemeriksaan elektrofisiologik.hasil pemeriksaan
ini penting untuk diagnosis, pemilihan perawatan yang tepat, penentuan prognosis
dan tindak lanjut jangka panjang.

Terapi lainnya

24
Teknik dan alat untuk meregangkan atau memanipulasi carpal tunnel
tampaknya menjanjikan tetapi belum dapat diterima secara luas.21

Injeksi Steroid
Injeksi steroid di bawah CL mampu menimbulkan dekompresi pada
n.medianus dengan mengurangi edema pada jaringan sekitar. Hal ini kadang-
kadang membantu pada kasus dengan klasifikasi sedang. Jarum dimasukkan pada
distal pergelangan tangan, baik bagian medial atau lateral dari tendo palmaris
longus dengan sudut 45 derajat diarahkan ke distal. Penyuntikan secara tegak
lurus melalui retinakulum fleksorum kadang-kadang digunakan tapi membawa
resiko tinggi cedera n.medianus. Pengalaman klinis menyatakan bahwa respons
terapi biasanya tergantung dari tingkat kompresi. Pada kasus yang parah infiltrasi
steroid tidak cukup untuk meringankan tekanan pada saraf. Pada kompresi dengan
tingkat sedang, respons positif dapat dirasakan beberapa hari setelah injeksi, tetapi
biasanya menghilang dalam waktu enam bulan. Suntikan steroid kedua dianjurkan
setidaknya enam bulan setelah injeksi yang pertama dan hanya jika respons pada
injeksi memuaskan secara klinis. Ketika terdapat kebutuhan untuk suntikan
ketiga, dekompresi secara bedah harus dipertimbangkan dengan serius.
Nonsteroid anti-inflamatory drugs
Program jangka pendek pemberian NSAID (1 2 minggu) secara teratur
dapat bermanfaat jika curiga terdapat peradangan pada daerah pergelangan tangan
(misalnya, fleksor tenosinovitis, rheumatoid arthritis). Demikian juga jika terdapat
edema, maka program pemberian diuretik jangka pendek mungin bermanfaat.
NSAID mengurangi rasa sakit dan mengurangi peradangan. Mengurangi
peradangan pada struktur carpal tunnel menurunkan dan mengurangi kompresi
dari saraf.
Ibuprofen (Ibuprin, Motrin)
DOC unruk pasien dengan nyeri tingkat ringan sampai sedang.
Menghambat reaksi inflamasi dan rasa nyeri dengan menurunkan sintesis
prostaglandin.
Cyclooxygenase -2 inhibitors

25
Walaupun peningkatan biaya dapat menjadi faktor negatif, insidensi
potensial terjadinya perdarahan GI yang fatal jelas berkurang dengan pemberian
COX-2 inhibitors daripada NSAID tradisional. Analisis yang sedang berjalan
mengenai pencegahan perdarahan GI akan ditentukan lebih jauh pada populasi
subjek sehingga dapat diketahui COX-2 inhibitor yang paling menguntungkan.
Celecoxib (Celebrex)
Inhibitor primer COX-2. Tersusun atas isoenzyme terinduksi, COX-2
terinduksi selama nyeri dan stimulus inflamasi. Inhibisi dari COX-1 mungkin
berkontribusi pada toksisitas NSAID pada GI. Pada sosis terapeutik, isoenzyme
COX-1 tidak terinhibisi, sehingga toksisitas pada GI dapat dikurangi. Carilah
dosis terendah dari clecoxib untuk tiap pasien.

Agen Diuretik
Kondisi yang menyebabkan edema mampu meningkatkan tekanan pada
carpal tunnel. Diuretik memungkinkan untuk mengurangi edema.
Hydrochlorotiazide (Esidrix, HydroDIURIL, Microzide)
Menginhibisi resorpsi sodium pada tubulus distal, menyebabkan
peningkatan ekskresi dari sodium dan air, demikian pula potasium dan ion
hidrogen.

Perawatan Pasien lebih lanjut


Pasien dengan pengobatan konservatif untuk CTS sebaiknya dilakukan
pemantauan 4-6 minggu sehingga keberhasilan terapi dapat dinilai. Pasien
yang tidak mencapai hasil yang diharapkan dari terapi konservatif
sebaiknya dipertimbangkan untuk pilihan terapi bedah.
Gejala lanjutan setelah dilakukan pembebasan carpal tunnel sebaiknya
dirujuk untuk mengulang studi elektrofisiologik.

2.9 Pencegahan
Salah satu cara menhindari Carpal tunnel syndrome adalah dengan cara
jika melakukan sesuatu yang banyak menimbulkan pergerakan pada

26
pergelangan tangan dianjurkan untuk berhenti sejenak setiap 15-20 menit
dengan melakukan stretching agar pergelangan tangan tidak terekspos terus-
menerus. Menjaga tangan tetap hangat karena tangan lebih mudah terasa sakit
bila dalam suhu dingin. Perbaiki postur tubuh karena potur tubuh yang salah
dapat menyebabkan posisi bahu sedikit kedepan sehingga pada posisi ini otot
leher dan bahu akan memendek dan menekan saraf-saraf leher yang dapat
mempengaruhipergelangan tangan, jari da tangan.11

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat dijumpai adalah kelemahan dan hilangnya
sensibilitas yang persisten di daerah distribusi nervus medianus. Komplikasi
yang paling berat adalah reflek sympathetic dystrophyyang ditandai dengan
nyeri hebat, hiperalgesia, disestesia, dan gangguan trofik. Sekalipun prognosa
carpal tunnel syndrome dengan terapi konservatif maupun operatif cukup baik,
tetapi resiko untuk kambuh kembali masih tetap ada. Bila terjadi kekambuhan,
prosedur terapi baik konservatif atau operatif dapat diulangi kembali.

2.11 Prognosis
CTS tampaknya menjadi progresif dari waktu ke waktu ( walaupun dengan
fluktuasi dari minggu ke minggu ) dan dapat mengarah pada kerusakan
n.medianus yang permanen. Apakah manajemen konservatif dapat
mencegah progresivitas belum jelas. Walaupun dengan operasi bedah,
tampaknya terjadi rekurensi sindroma ini pada beberapa derajat dalam
sejumlah besar kasus ( mungkin satu per tiga setelah 5 tahun).29
Awalnya, sekitar 90% kasus CTS ringan sampai sedang respons dengan
manajemen konservatif. Seiring waktu, bagaimanapun, sejumlah pasien
memerlukan terapi bedah.
Pasien dengan CTS dengan kelainan yang mendasari (misal, diabetes,
patah tulang pergelangan) cenderung memiliki prognosis yang kurang
menguntungkan dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit lain.

27
Pasien dengan pemeriksaan elektrofisiologi yang normal secara konsisten
memiliki hasil operasi yang kurang menguntungkan (dan lebih banyak
komplikasi) dibandingkan pasien dengan hasil pemeriksaan
elektrofisiologi yang tidak normal. Axonal loss pada pemeriksaan
elektrofisiologi juga mengindikasikan prognosis yang kurang
menguntungkan.

2.12 Edukasi Pasien


Asosiasi dibandingkan penyebab - Asosiasi 2 fenomena tidak menyiratkan
hubungan sebab akibat. Menggunakan tangan terlalu sering membawa
pada gejala carpal tunnel syndrome (CTS), dengan cara yang sama bahwa
olahraga membawa pada angina pada pasien dengan penyakit arteri
koroner. Asosiasi ini, bagaimanapun, tidak berarti bahwa kerusakan
n.medianus disebabkan oleh penggunaan atau akan bertambah buruk.
(olahraga, pada kenyataannya, baik untuk penyakit arteri koroner.)
Menghindari penggunaan ekstrem - Jika pekerjaan pasien / kegemaran
yang melibatkan kekuatan ekstrem / pengulangan / postur / getaran melalui
pergelangan tangan, maka tampaknya bijaksana untuk mencari cara
menghindari faktor-faktor yang menyebabkan atau memperburuk CTS.
Olahraga - BMI dan tingkat kebugaran yang rendah tampaknya terkait
dengan perkembangan CTS.

28
DAFTAR PUSTAKA
Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology. 6th ed. New
york: Mc Graw-Hill; 2007.p 1358-9.
De krom NC, Krips child PG, Kesler AD, et al. Carpal Tunnel Syndrome:
prevalence in the general population. J.clin. 2002: 373-6.
Dejong RN. The Neurological Examination Revised by AF. Haerer, 5th ed, JB
Lippincott, Philadelphia, 1992; 557-9.
Dejong RN. The Neurological Examination Revised by AF. Haerer, 5th ed, JB
Lippincott, Philadelphia, 1992; 557-9.
Krames Communication. Carpal Tunnel Syndrome. San Bruno: Krames
Comm;1994:1-7.
Maurice Victor, Allan H. Ropper Disease of Spinal Cord, Peripheral Nerve
and Muscle. Adams and Victors Principles of neurology. 7th ed. USA: Mc
Graw-Hill, 2011: 1433-4.
Nigel L Ashworth. Carpal Tunnel Syndrome. Benjamin M Socher. Access
on Medscape. 2013.
Salter RB. Textbook of Disorder and Injuries of the Musculoskeletal system.
2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins Co; 1993.p 274-5
Walshe III. Manual of neurology therapeutics. 5th ed. Boston: little Brown
and co; 1995.p 381-2.
Weimer LH. Nerve and Muscle disease. In: Marshall RS, Mayer SA, ed. On
call neurology. Philadelphia.

29

Anda mungkin juga menyukai