Anda di halaman 1dari 24

TEKNOLOGI PROSES COKEMAKING

Oleh:
Arif Tri Kurniawan 0211540000015
Ghazi Labib Naufal 0211540000029
Erwin Yolanda S 0211540000129
Departemen Teknik Material
Fakultas Teknologi Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
2017
1. Defenisi Kokas
Kokas merupakan hasil pirolisis dari bahan organik dengan kandungan karbon yang
sangat tinggi yang mana setidaknya bagian di dalam kokas tersebut telah melewati fase cair
atau kristal-cair selama proses karbonisasi dan terdiri dari karbon non-grafit.
Kebanyakan bahan-bahan pembentuk kokas adalah karbon yang dapat berbentuk

grafit. Struktur mereka adalah campuran dari tekstur optik dengan berbagai ukuran, dari

isotropik optik hingga anisotropi (-200um diameter). (Bahan Bacaan OJT CE Meter)

Kokas merupakan produk yang terbesar tonasenya hasil destilasi batubara.

Kebutuhan akan kokas bergantung pada kebutuhan akan baja. Kira-kira 98 persen produksi

ter batubara didapat dari tanur hasil sampingan. Dewasa ini, dengan banyaknya aromatik

yang dihasilkan industri migas, hasil utama distilasi batubara beralih menjadi penyediaan

kokas untuk industri baja. Walaupun kokas dapat juga dibuat dari migas, ada dua macam

prosedur pengkokasan batubara, yaitu proses sarang tawon (bee hive) dan proses hasil

samping (by product). Proses sarang tawon merupakan proses yang sangat kuno. Pada

tabor hasil sampingan, muatan berupa batubara, yang campurannya diatur dengan teliti,

dipanaskan dari dua sisi sehingga kalor mengalir ke tengah, dengan demikian menghasilkan

kokas yang lebih kecil dan lebih padat dari yang dihasilkan pada tanur sarang tawon.

(George T. Austin, 1985)


Gambar 1.1 Batubara

Gambar 1.2 Kokas


Bila batubara dipirolisis atau di destilasi dengan memanaskannya tanpa kontak

dengan udara, ia akan terkonversi menjadi zat padat, cair, dan gas. Dalam prakteknya, suhu

tanur dijaga diatas 900 C, tetapi bisa juga berkisar antara 500 C sampai 1000 C. Produk

utamanya (menurut beratnya) adalah kokas. Jika unit itu menggunakan suhu 450 C sampai

700 C, proses tersebut disebut karbonisasi suhu rendah (low- temperature carbonization),

sedangkan pada suhu diatas 900 C, disebut karbonisasi suhu tinggi ( high- temperature

carbonization). Kokas merupakan bahan baku dalam pembuatan anoda

karbon yang akan digunakan dalam proses elektrolisis sebagai kutub positif.

(Bahan bacaan OJT CE Meter)

2. Jenis-jenis kokas

Jenis-jenis kokas dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Green Coke adalah hasil karbonisasi padatan yang utama yang dihasilkan dari

0
pemanasan fraksi karbon pada temperatur dibawah 900 K (juga disebut kokas baku)

b. Calcined Coke adalah kokas yang berasal dari minyak bumi atau kokas dari hasil

pengolahan batubara dengan sebuah fraksi massa dari hidrogen kurang dari 0,1%

berat. Kokas jenis ini dihasilkan melalui pemanasan dari Green Coke hingga suhu

kira-kira 1600 K.

c. Petroleum Coke adalah hasil karbonisasi dari fraksi didih karbon yang terbentuk

dalam proses pengolahan minyak bumi

d. Coal Derived Pitch Coke adalah hasil karbonisasi padatan yang paling utama dalam

industri yang dihasilkan dari coal-tar-pitch atau ter (aspal).


e. Metallurgical Coke yang dihasilkan melalui karbonisasi batubara atau campuran

batubara pada temperatur hingga diatas 1400 K untuk menghasilkan bahan karbon

makroporos yang kuat.

f. Delayed Coke adalah bentuk yang paling umum digunakan untuk hasil karbonisasi

utama pada fraksi didih hidrokarbon melalui proses pemasakan kokas. Delayed Coke

memiliki tingkat grafit yang lebih baik dibandingkan dengan kokas yang dihasilkan

dengan proses lain bahkan dengan bahan dasar yang sama. Hasil utama dari delayed

coke ini adalah sponge coke dan needle coke. Shot coke juga dihasilkan seperti

timbunan bola dengan diameter 1-2 mm, tapi tidak memiliki nilai jual.

g. Sponge Coke memiliki tekstur optik yang tak-terorientasi (tak-terarah) dan digunakan

sebagai pengisi untuk elektroda pada industri aluminium.

h. Needle Coke adalah bentuk umum yang digunakan untuk kokas jenis khusus dengan

tingkat grafit yang tinggi yang dihasilkan dari struktur mikrokristal yang dimilikinya.

(Harry Marsh, 1989)

3. Pengotor Kokas dan Pengaruhnya

Kualitas dan bahan-bahan dari green coke sangat erat hubungannya dengan sumber

bahan mentah dan proses pemasakan kokas. Umumnya minyak mentah yang berasal dari

Cina mengandung sulfur dan vanadium yang rendah tapi tinggi kandungan kalsium,

silikon, dan nikel. 70% sulfur dan 90% dari pengotor logam terkonsentrasi dalam green

coke.

Yang menarik perhatian bagi para pengguna petroleum coke adalah kadar pengotor di

dalamnya dan struktur fisika dari kokas tersebut. Pengotor tersebut dapat terbentuk dari
elemen-elemen yang terikat secara kimia dalam membentuk kokas. Molekul-molekul

seperti sulfur, vanadium, dan nikel.

Kotoran (impurities) tersebut juga dapat terbentuk dari elemen-elemen yang

memang ada di dalam kokas tersebut seperti silikon, besi, natrium, dan kalsium.

1. Sulfur : adalah elemen yang paling umum dijumpai di dalam minyak mentah. Jumlah

sulfur dalam petroleum coke sangat diperhatikan bagi para pengguna. Konsentrasi

yang tinggi di dalam kokas yang membentuk anoda dapat menyebabkan masalah

lingkungan pada produksi anoda karena semua sulfur tersebut dilepaskan dalam

bentuk SO2/SO3 ke atmosfer.

2. Vanadium : terkandung di dalam minyak mentah dan residunya hampir secara

kuantitatif ditemukan sebagai senyawa kompleks purin di dalam kokas. Jumlah

vanadium yang ada sangat diperhatikan dalam pembuatan anoda karena konsentrasi

yang tinggi meningkatkan reaktifitas udara pada anoda. Dalam produksi aluminium

(proses peleburan) vanadium dikurangi dan ditemukan, sebagai pengotor dalam

logam tersebut.

3. Nikel : terkandung di dalam minyak mentah dan seperti vanadium hampir secara

kuantitatif dapat ditemukan di dalam kokas. Layaknya vanadium, nikel akan berakhir

di dalam aluminium.

4. Natrium : terjadi sebagai kontaminan dalam produksi minyak mentah. Jika ini tidak

dihilangkan maka natrium akan berakhir di dalam kokas. Sodium (natrium) memiliki

dampak terhadap reaktifitas karboksi dari anoda.

5. Besi : terjadi sebagai kontaminan yang masuk kedalamnya dan seperti vanadium dan

nikel yang akan berakhir sebagai pengotor dalam aluminium.


6. Kalsium : muncul sebagai senyawa organik maupun anorganik. Senyawa anorganik

ada dalam bentuk CaCl2, CaCO3 dan CaSO4, sementara senyawa organik Ca terikat

kepada asam naftenik dan asam fenolik. Ca memiliki dampak negatif terhadap

reaktifitas CO2 dari kokas. (Liu Fengqin, 2004)

Unsur-unsur di dalam petroleum coke yang dapat mempengaruhi kinerja anoda

dalam proses elektrolisis dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :

Typ. Anodes

Elements Values Metal Consumption/ Current Pollution

Energy

Quality Consumption Efficiency

S % 0.5 - 3.5 O

H % 0.05 - 0.10 O

Si ppm 50 250 o

Fe ppm 50 400 o

Ti ppm 5 10 o

Pb ppm 1 10 o O

Ni ppm 50 220 o o

V ppm 30 350 o o o

Na ppm 30 120 o

K ppm 5 10 o

Ca ppm 20 100 o

P ppm 1 10 o

(Werner K. Fischer, 1995)


Memproduksi kokas dari bahan baku dengan konsentrasi aspal dan resin yang tinggi

akan menghasilkan kokas dengan konsentrasi pengotor yang tinggi pula seperti sulfur dan

vanadium, menjadikan kokas tersebut tidak sesuai lagi peruntukkannya dalam produksi

batangan anoda. Sebuah bahan baku dengan kandungan molekul aromatik yang tinggi,

seperti residu vakum dengan kira-kira 50% berat karbon aromatik, menghasilkan kokas

yang sesuai untuk elektroda pada proses aluminium. Membuat kokas dari bahan baku

dengan kandungan karbon aromatik yang tinggi akan menghasilkan sebuah kokas dengan

kualitas yang baik, yang dikenal sebagai needle coke.

Beberapa jenis bahan-bahan dari kokas hasil kalsinasi minyak bumi yang digunakan

dalam produksi elektroda dapat dilihat pada tabel 2 berikut :

(Markus W. Meier, 1996)

Property Unit Typical Value

Water content wt. % 0.0 0.2

Oil content wt. % 0.10 0.30

Grain size > 8 mm wt. % 10 20

8 - 4 mm wt. % 15 25

4 - 2 mm wt. % 15 25

2 - 1 mm wt. % 10 20

1 - 0.5 mm wt. % 5 15

0.5 - 0.25 mm wt. % 5 15

< 0.25 mm wt. % 2 8

Tapped bulk dens. 2 - 1 mm kg/dm3 0.80 0.86

Grain stability 8 - 4 mm wt. % 75 - 90

Density in xylene kg/dm3 2.05 2.10

Specific electrical resistance m 460 - 540


CO2 reactivity loss 1000 C wt. % 3 - 15
Air reactivity at 525 C %/min 0.05 - 0.3

Crystallite size Lc 25 - 32

Ash content wt. % 0.10 0.20

Unsur S wt. % 0.5 3.5


3
V ppm 0 - 350
5
Ni ppm 0 - 220
5
Si ppm 0 - 250
5
Fe ppm 0 - 400
5
Al ppm 0 - 250
3
Na ppm 0 - 120
2
Ca ppm 0 - 100

Mg ppm 10 30

(Markus W. Meier, 1996)

3. Pembuatan Kokas

Pengkokasan pada dasarnya adalah proses karbonisasi batubara, yaitu proses

destruktif batubara melalui pemanasan tanpa udara yang menghasilkan kokas. Dalam

skala molekul, urutan perubahan dari batubara menjadi kokas tidak diketahui dengan pasti

sebab struktur molekul batubara begitu kompleks dan heterogen. Jika sejumlah batubara

bituminous dipanaskan, batubara tersebut akan melunak. Untuk batubara kualitas prima,

pelunakan terjadi sebelum panas mulai memutuskan struktur batubara menjadi gas-gas

produk dekomposisi. Saat memuai, gas-gas menerobos melalui massa plastik batubara

dan meninggalkan rongga-rongga. Selama tahap pemlastisan ini ikatan karbon alifatik

atau ikatan karbon-oksigen antara sistem cincin aromatik, menjadi putus. Produk yang

memiliki berat molekul rendah terlepas sebagai gas-gas seperti metana atau membentuk

campuran senyawa kompleks yang kemudian terkonden-sasi sebagai tar. Sistem cincin
aromatik yang besar dan memiliki berat molekul besar, yang tertinggal, menyatu kembali

dan memadat membentuk kokas.

Kondisi Proses :

1. Karbonisasi batubara temperatur > 9000C, waktu tinggal =4 jam.

2. Penggerusan output -8 mesh.

3. Pencampuran komposisi : kokas 85%. aspal :15% dari kokas.

4. Pembriketan tekanan pembriketan 200kg/cm2 diameter briket 10 cm, tinggi 10

cm.

5. Rekarbonisasi temperatur >8000C, waktu tinggal = 4 jam.

Gambar 3.1 Skema Pembuatan Kokas


Gambar 3.2 Coke Oven

4. Kegunaan Lain dari Kokas


Berdasarkan pada jenis yang akan diproduksi dan kadar pengotor yang spesifik

yang ada dalam hasil akhir, petroleum coke pada dasarnya digunakan untuk tiga jenis

pekerjaan.

Jenis pekerjaan ini dapat diklasifikasikan sebagai bahan bakar, elektroda, dan

metalurgi. Klasifikasi yang keempat masih relatif baru digunakan, yaitu gasifikasi, yang

masih dalam tahap evaluasi bagi perusahaan-perusahaan tapi tidak memberikan hasil

yang cukup signifikan pada saat ini.

Penggunaan sebagai bahan bakar

Penggunaan petroleum coke sebagai bahan bakar umumnya masuk kepada dua kategori,

bahan bakar untuk pembangkit tenaga uap dan bahan bakar untuk pabrik semen. Untuk
penggunaan ini, kokas biasanya dicampur dengan batubara bitumen atau digunakan

dalam kombinasi dengan minyak atau gas. Pada umumnya, kokas sebagai bahan bakar

digunakan dalam kombinasi dengan batubara bitumen memiliki keuntungan sebagai

berikut disamping batubara bitumen itu sendiri :

1. Grinding (penggilingan). Kokas lebih mudah untuk digiling daripada batubara

bitumen, dihasilkan dengan biaya penggilingan yang lebih murah dan tidak perlu

perawatan yang lebih.

2. Nilai Pemanasan (Heating Value). Nilai pemanasan dari petroleum coke adalah

lebih dari 14.000 Btu/lb, dibandingkan dengan 9000 sampai 12.500 Btu/lb untuk

batubara.

3. Kandungan abu. Kandungan abu yang sangat rendah (kurang dari 0,5 persen

berat) dari kokas menghasilkan biaya pengolahan yang lebih murah.

Penggunaan Untuk Elektroda

Kadar sulfur yang rendah, sponge coke dengan kadar logam yang rendah, setelah proses

kalsinasi, dapat digunakan untuk membuat anoda pada industri aluminium. Industri

aluminium merupakan industri satu-satunya yang mengkonsumsi kokas paling banyak.

Untuk setiap pon dari aluminium yang dihasilkan melalui proses peleburan hampir lb

dari kokas hasil kalsinasi yang digunakan.

Needle coke merupakan petroleum coke yang paling banyak dipesan yang dihasilkan dari

bahan aromatik dengan kandungan sulfur yang rendah. Penggunaan utama dari needle

coke yang dkalsinasi adalah pada pembuatan elektroda grafit untuk dapur elektrik pada

industri baja. (Robert A. Meyers, 1986)


Pada dasarnya, anoda prapanggang untuk produksi aluminium terdiri dari sekurang-

kurangnya 65% petroleum coke, 20% batang anoda yang didaur ulang, dan 15% coal tar

pitch sebagai perekat. Bahan dasar lainnya juga digunakan, atau masih digunakan,

sebagai contoh cairan kokas, kokas dari batubara, dan pitch minyak bumi. Dikarenakan

jumlahnya yang relatif kecil, tidak ada satu pun dari bahan ini yang sangat mempengaruhi

dalam produksi anoda. Petroleum coke yang digunakan untuk pembuatan anoda yang

berkualitas dihasilkan dari fraksi minyak berat (heavy residual) dari minyak mentah,

melalui sebuah proses yang dikenal dengan istilah delayed coking. Viskositas dari cairan

hidrokarbon yang terbentuk pada proses melalui fase transisi dari cairan ke bentuk padat

diperoleh dengan cara cracking, dehidrogenasi, dan polimerisasi.

Kokas yang baru atau green coke yang dihasilkan belum sesuai sebagai kokas pengisi

di dalam elektroda. Kokas ini merupakan sebuah amorf, struktur yang sangat lemah,

termasuk di dalam jenisnya 8 15 % berat merupakan hidrokarbon yang mudah

menguap. Kokas ini juga memiliki reaktifitas yang tinggi dan konduktivitas listrik yang

lemah. Sebagai proses lanjutan green coke tadi dilakukan pemanasan yang ditujukan

menjadi kokas pengisi dalam elektroda, proses tersebut dikenal sebagai kalsinasi. Selama

0
proses kalsinasi hingga mencapai suhu 1350 C, kokas mengecil hingga kira-kira 10 14

% berat dan kandungan senyawa volatil berkurang sampai 0,5% berat. Senyawa-senyawa

yang mudah menguap ini dilepaskan sebagai gas, seperti CH 4, C2H6, H2, H2S, dan

CH3SH. Kualitas kokas yang dihasilkan dari kalsinasi dikendalikan oleh komposisi kimia

dari bahan baku sebagaimana parameter operasional selama proses coking dan kalsinasi.

(Markus W. Meyer, 1996)


Penggunaan metalurgi

Petroleum coke dengan kandungan sulfur yang rendah (2.5% berat atau kurang) dapat

digunakan dalam metalurgi besi ketika dicampurkan dengan batubara yang rendah

kemampuan menguapnya. Petroleum coke yang digunakan dalam penuangan besi atau

untuk pembuatan baja meningkatkan bahan-bahan dari batubara melalui penurunan

jumlah zat yang mudah menguap dan meningkatkan nilai rata-rata pemanasan.

Kandungan logam dalam kokas tidak menjadi masalah dalam industri metalurgi.

(Robert A. Meyers, 1986)

Anda mungkin juga menyukai