Anda di halaman 1dari 17

Laporan Praktikum

Isolasi dan Identifikasi jamur Rhizopus Oligosporus Pada Inkolum Tempe


BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang


Tempe adalah produk makanan yang sering dikonsumsi masyarakat. Makanan ini sangat
dikenal di Indonesia. Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan, tetapi masyarakat pada
umumnya mengenal tempe terbuat dari kedelai (Kasmidjo,1990). Mikroba yang berperan
dalam pembuatan tempe merupakan kultur campuran yang kompleks, yaitu kapang,
kamir,bakteri asam laktat dan beberapa jenis bakteri lainya. Rhizophus merupakan kapang
yang paling berperan dallam pembuatan tempe(Nout dan Kiers,2005).
Kualitas tempe dipengaruhi oleh kualitas starter yang digunakan untuk inkolasinya.
Inkolum tempe disebut starter tempe, bisa juga disebut ragi tempe. Starter adalah bahan
yang mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai agen pengubah kedelai rebus
menjadi tempe akibat tumbuhnya jamur tempe pada kedelai dan melakukan kegiatan
fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah sifat menjadi tempe(Kasmidjo,1990).
Rhizophus Oligosporus m erupakan kapang yang banyak digunakan dalam pembuatan
tempe, banyak terdapat di alam karena hidupnya bersifat saprofit(Shurtleff &
Aoyogi,1979). Menurut susilowati (2001) Rhizophus Oligosporus dapat tumbuh di
optimum pada suhu 30-350C, dan memiliki ciri-ciri hifa seperti benang putih sampai kelabu
hitam setra tidak bersekat,memiliki rhizoid dan sporangiospora.
1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan isolat Rhizophus Oligosporus hasil isolasi inkolum
tempe, dan mengidentifikasinya.
BAB II

Dasar Teori

2.1 Tempe

Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku kedelai yang
difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada pembuatan tempe terjadi
karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus. Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan
bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Fermentasi
kedelai menjadi tempe akan meningkatkan kandungan fosfor. Hal ini disebabkan oleh hasil
kerja enzim fitase yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus yang mampu menghidrolisis
asam fitat menjadi inositol dan fhosfat yang bebas. Jenis kapang yang terlibat dalam fermentasi
tempe tidak memproduksi toksin, bahkan mampu melindungi tempe dari aflatoksin. Tempe
mengandung senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang tempe selama proses fermentasi
(Koswara, 1995).
Tempe merupakan sumber protein yang baik. Setiap 100 g tempe mengandung 18-20 g
zat protein dan 4 g zat lemak (Tarwotjo, 1998). Tempe juga memiliki berbagai sifat unggul
seperti mengandung lemak jenuh rendah, kadar vitamin B12 tinggi, mengandung antibiotik, dan
berpengaruh baik pada pertumbuhan badan. Selain itu asam-asam amino pada tempe lebih
mudah dicerna oleh tubuh jika dibandingkan dengan kacang kedelai. Vitamin B12 yang
terdapat pada tempe diproduksi oleh sejenis bakteri Klabsiella peumoniae. Kekurangan
vitamin B12 dapat menghambat pembentukan sel darah merah (Koswara, 1995). Perbandingan
komposisi kimia kedelai dan tempe per 100 g bahan dapat dilihat pada Tabel.

Tempe memiliki manfaat baik dari segi nutrisi maupun manfaat kesehatan. Sebagai sumber
nutrisi, tempe berperan sebagai sumber protein dan mineral besi. Sebagai obat dan penunjang
kesehatan, tempe berperan sebagai anti diare (misalnya dalam pembuatan super oralit dari 40-
50 g tempe) dan anti bakteri. Senyawa anti bakteri pada tempe dapat menghambat sembilan
jenis bakteri gram postitif dan satu jenis bakteri gram negatif, yaitu: Streptococcus lactis,
S.cremoris, Leuconostoc dextranicum, L. mesenteroides, Staphylococcus aureus, Bacillus
subtillis, Clostridium botulinum, C. sporogenes, C. butyricum, dan Klebsiella pneumoniae
(Syarief et al., 1999). Wang dan Hesseltine (1981) menyatakan bahwa Rhizopus oligosporus
bahkan dapat mencegah akumulasi aflatoksin yang ada pada kedelai dengan melakukan
hidrolisis. Dalam tempe, kadar nitrogen totalnya sedikit bertambah, kadar abu meningkat,
tetapi kadar lemak dan kadar nitrogen asal proteinnya berkurang.

2.2 Deskripsi Kapang Rhizopus oligosporus

Kingdom : Fungi
Divisio : Zygomycota
Kelas : Zygomycetes
Ordo : Mucorales
Famili : Mucoraceae
Genus : Rhizopus
Spesies : Rhizopus oligosporus

Rhizopus oligosporus merupakan kapang yang banyak digunakan dalam pembuatan


tempe. Banyak terdapat di alam karean hidupnya bersifat saprofit(shurtleff & Aoyogi, 1979).
Kapang ini dikenal sebagia kapang yang mampu memproduksi enzim lipase untuk merombak
lemak media(Aunstrop,1979). Kapang ini juga mampu memproduksi asam lemak omega-3
rantai panjang khususnya linoleat, selain itu Rhizopus oligosporus juga mampu menghasilkan
asam linoleat pada proses fermentasi cair ampas kelapa sawit (Affandi, 2012).
R. oligosporus Saito mempunyai koloni abu-abu kecoklatan dengan tinggi 1 mm atau
lebih. Sporangiofor tunggal atau dalam kelompok dengan dinding halus atau agak sedikit kasar,
dengan panjang lebih dari 1000 m dan diameter 10-18 m. Sporangia globosa yang pada saat
masak berwarna hitam kecoklatan, dengan diameter 100-180 m.
Kolumela globosa sampai sub globosa dengan apofisa apofisa berbentuk corong.
Ukuran sporangiospora tidak teratur dapat globosa atau elip dengan panjang 7-10
m.Klamidospora banyak, tunggal atau rantaian pendek, tidak berwarna, dengan berisi
granula, terbentuk pada hifa, sporangiofor dan sporangia. Bentuk klamidospora globosa, elip
atau silindris dengan ukuran 7-30 m atau 12-45 m x 7-35 m.
Suhu optimum, minimum, maksimum berturut-turut adalah 30-350C, 120 C dan 42 0C.
Ditemukan di Jepang, China dan Indonesia yang diisolasi dari tempe (Samson, et al., 1995).Pitt
dan Hocking (1985) R.oligosporus memiliki panjang sporangiosfor pada media Malt Extract
Agar (MEA) 150-400m lebih pendek dari R.oryzae yaitu lebih dari 1500m. R.oligosporus
biasanya memiliki rhizoid yang pendek, sporangium dengan diameter 80 120m dan pada
saat 7 hari akan pecah yang menyebabkan spora keluar kolumela dengan diameter 25-75m.
Sedangkan R.oryzae memiliki diameter sporangium lebih dari 150 m, kolumela dengan
diameter lebih dari 100 m. Beberapa sifat penting dari R. oligosporus antara lain meliputi
aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa vitamin-vitamin B,
kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penetrisi
miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji kedelai (Kasmidjo, 1990).
2.3 Media
Media adalah suatu substrat makanan yang diperlukan untuk pertumbuhan dan
perkembangan mikroba. Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan otoklaf dengan tekanan
uap air hingga suhu mencapai 1210C dan tekanan 1 atm selama 15 menit. Hal ini bertujuan
agar dapat meminimalisasi tumbuhnya mikroba pencemar. Untuk menumbuhkan kultur dalam
suatu media, diperlukan beberapa kriteria-kriteria/persyaratan yaitu media yang digunakan
harus mengandung semua unsur hara yang diperlukan oleh mikroorganisme. Hal tersebut
dikarenakan supaya mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan optimum dalam
media. Selain itu, media harus memiliki tekanan osmosis, tegangan permukaan, dan pH yang
sesuai dengan kebutuhan mikroba, media tidak mengandung zat-zat yang dapat menghambat
pertumbuhan mikroba dan media harus dalam keadaan steril (tidak ditumbuhi dengan mikroba
lain yang tidak diharapkan) agar kultur mikroba yang dihasilkan tidak terkontaminasi
(Suriawiria, 2005, 74:172).
Media biasanya digunakan untuk pertumbuhan jamur (fungi). Media akan
mempengaruhi morfologi dan warna dari koloni, terbentuknya struktur tertentu, dan dapat
tumbuh atau tidaknya jamur. Semua jamur memerlukan elemen yang spesifik untuk
melangsungkan pertumbuhan dan reproduksinya. Media umumnya mengandung sumber
nitrogen (N), karbon (C), dan vitamin. Dekstrosa/glukosa merupakan sumber karbon yang
paling banyak digunakan dalam media pertumbuhan mikroorganisme. Fruktosa dan manosa
adalah jenis gula lain yang sering digunakan dan ditemukan di media dari sumber-sumber di
alam. Sukrosa juga dapat digunakan pada beberapa media. Sumber nitrogen meliputi pepton,
ekstrak yeast, ekstrak malt, asam amino dan senyawa amonium nitrat (Hadioetomo, 1993,
45:163).
Berdasarkan fungsinya media dapat dibedakan menjadi 6, yaitu:
1. Media Umum
Merupakan media yang dapat ditumbuhi oleh semua jenis mikroorganisme secara umum.
Contohnya adalah NA (Nutrient agar) untuk bakteri, dan PDA (Potato dextrose agar) untuk
jamur.
2. Media Pengaya
Merupakan media yang mengandung nutrient tertentu sehingga dapat mempercepat
pertumbuhan mikroorganisme tertentu. Contohnya adalah media tetrationat untuk memisahkan
Salmonella typhi dari feses manusia.
3. Media Selektif
Media yang hanya ditumbuhi oleh jenis mikroorganisme tertentu. Biasanya digunakan untuk
mengisolasi jenis mikroorganisme tertentu. Contohnya adalah media SS yang hanya bisa
ditumbuhi oleh Salmonella dan Shigella, atau media WB yang hanya dapat ditumbuhi oleh
Wismuth dan Blair.
4. Media Diferensiasi
Hampir sama dengan media selektif, namun media jenis ini dapat ditumbuhi dengan beberapa
mikroorganisme. Tetapi salah satu dari mikroorganisme tersebut dapat memberikan ciri khas
penentuan sifat-sifatnya yang membedakan dengan yang lain sehingga dapat diidentifikasikan.
Contohnya adalah EMB (eusin methylen blue) yang dapat ditumbuhi semua jenis coli namun
memberi ciri khas pada E. coli yaitu berwarna hijau mengkilap.
5. Media Penguji
Merupakan media yang dipergunakan untuk pengujian senyawa atau benda tertentu dengan
bantuan mikroorganisme. Selain tersusun oleh senyawa dasar untuk kepentingan pertumbuhan
mikroorganisme, ditambahkan juga sejumlah senyawa yang akan diuji. Contohnya adalah
media penguji vitamin, asam amino, antibiotik, residu pestisida atau detergen.
6. Media Enumerasi
Merupakan media yang digunakan untuk menghitung jumlah mikroorganisme yang terdapat
pada suatu bahan. Media enumerasi dapat berbentuk media umum, media selektif, media
penguji ataupun media diferensial (Suriawiria, 2005, 77-79:172).

Media biasanya tersusun atas kandungan air, kandungan nitrogen (baik berasal dari protein,
asam amino, maupun senyawa lain yang mengandung nitrogen), kandungan sumber
energi/karbon (baik berasal dari karbohidrat, lemak, protein, ataupun senyawa-senyawa lain),
ion-ion makro maupun mikro, serta vitamin dan asam amino.
Berdasarkan penyusunnya, media dibedakan menjadi 3 yaitu:
Media alami
Merupakan medium yang komposisi dan takarannya tidak diketahui secara pasti. Bahan
makanan merupakan medium alami karena mikroba dapat tumbuh pada bahan makanan dan
tidak diketahui seberapa kadar C, H, O, N, dan lain-lain. Tersusun atas bahan-bahan alami
seperti kentang, tepung, daging, telur, ikan, umbi (paling banyak dipergunakan, yaitu dalam
bentuk kultur jaringan tanaman ataupun hewan). Contohnya adalah telur untuk pertumbuhan
virus.
Media sintetik
Seluruh komposisi penyusunnya telah diketahui dengan pasti karena dibuat oleh manusia dan
tersusun oleh senyawa kimia. Contohnya adalah media untuk pertumbuhan Clostridium,
Saboroud Agar dan Czapeksdox Agar (Schlegel & Schmidt, 1994).
Media semi sintetik
Merupakan medium yang sebagian komposisi dan takarannya diketahui secara pasti Tersusun
oleh campuran bahan-bahan alami dan bahan-bahan sintetis. Contohnya adalah NA (Nutrient
Agar) yang kandungan utamanya adalah ekstrak daging sapi, dan PDA (Potato Dextrose Agar)
yang kandungan aslinya adalah ekstrak kentang (Suriawiria, 2005. 75-77:172).

Bentuk media padat ditentukan oleh ada tidaknya penambahan zat pemedat seperti agar dan
gelatin. Berdasarkan ada tidaknya penambahan zat pemadat dibedakan menjadi 3, yaitu:
Media padat
Dapat diperoleh dengan menambahkan agar-agar yang berfungsi sebagai bahan pemadat. Alga
digunakan sebagai bahan agar karena tidak dapat diuraikan oleh mikroba dan dapat membeku
pada suhu di atas 450C. Media padat terdiri dari media agar miring. Selain itu, media padat
mengandung 10-15 g tepung agar-agar per 1.000 ml media. Jumlah agar yang ditambahkan
tergantung terhadap jenis atau kelompok mikroba yang ditumbuhkan. Mikroba yang
memerlukan kadar air yang tinggi harus ditambahkan dengan agar dalam jumlah yang sedikit
sedangkan mikroba yang memerlukan kadar air yang rendah harus ditambahkan dengan agar
dalam jumlah yang lebih banyak. Media padat umumnya digunakan untuk mengamati
morfologi koloni atau untuk isolasi biakan murni, menumbuhkan bakteri, yeast, jamur, dan
terkadang digunakan untuk menumbuhkan mikroalga terutama dalam peremajaan dan
pemeliharaan kultur murni dalam bentuk agar miring.
Media cair
Merupakan media yang berbentuk cair dan biasanya digunakan untuk pembiakan mikroba
dalam jumlah yang besar, penelaahan fermentasi, dan berbagai macam uji. Selain itu, media
cair digunakan untuk menumbuhkan mikroalga, bakteri, dan yeast. Pada media cair, tidak
ditambahkan dengan zat pemadat. (Waluyo, 2010, 129-131 : 305).
Media semi padat
Media semi padat memiliki bahan yang sama dengan media padat, namun komposisi agarnya
berbeda. Penambahan zat pemadat 50%. Jumlah agar yang digunakan dalam media semi
padat yaitu hanya setengah dari medium padat. Dalam keadaan panas akan berbentuk cair dan
akan berbentuk padat apabila dalam keadaan dingin, contohnya adalah medium agar.
Umumnya digunakan untuk pertumbuhan mikroba yang memerlukan kandungan air yang
tinggi dan hidup anaerobik atau fakultatif (Suriawiria, 2005, 75:172).
Agar-agar dapat menjadi larut/cair apabila dipanaskan pada suhu hampir 100C dan
tetap berbentuk cair bila didinginkan sampai 43C. Namun tidak dianjurkan untuk
membiarkan medium agar menjadi padat lalu mencairkannya kembali lebih dari dua kali
karena hal tersebut dapat memberikan hasil yang kurang baik. Bahan utama yang digunakan
untuk pembuatan media agar adalah galaktan. Galaktan merupakan suatu kompleks
karbohidrat yang diekstraksi dari alga marin dengan genus Gelidium. Namun sebagian besar
mikroorganisme tidak dapat menggunakan media agar ini sebagai bahan makanan sehingga
fungsi dari agar adalah hanya sebagai bahan pemadat (Hadioetomo, 1993, 46:163). Agar
banyak digunakan sebagai media pertumbuhan mikroba dalam mikrobiologi atau sebagai pem
antap, pengemulsi, dan pembentuk gel dalam makanan seperti sup, jeli, atau es krim
(Pudyaatmaka & Qodratillah, 2002, 10:935).

2.3.1 Nutrien Agar (NA)


Nutrien Agar (NA) adalah suatu medium pertumbuhan yang baik untuk berbagai jenis mikroba
(jamur dan bakteri), namun tidak semua bakteri dapat tumbuh di medium ini karena nutrisi
yang terlalu kaya untuk beberapa bakteri. Nutrisi yang terdapat dalam Nutrien Agar yang
digunakan untuk pertumbuhan mikroba adalah kaldu sapi dan beberapa ekstrak ragi (Usinger,
L & Liu, S, 2011). Nutrien Agar (NA) biasanya digunakan untuk pertumbuhan individual
koloni mikroba dari spesies Proteus. Pembuatannya dengan mencampurkan 34 gr dalam 1 L
air distilasi, kemudian dibiarkan selama 15 menit dan disterilisasi dengan menggunakan
otoklaf. Bahan untuk membuat media NA antara lain dari kaldu daging sapi dan beberapa
ekstrak yeast. Komposisi media NA dalam 1 L mengandung 3,0 g ekstrak daging sapi, 10,0 g
pepton dari daging, 15 g agar, 5 g sodium chloride, dan 1 g pril dengan pH 6,8 0,2 pada suhu
25C. (Liu, 2008)

Pada pembuatan media padat di cawan petri, medium NA yang akan dituangkan tidak boleh
memiliki suhu yang terlalu tinggi. Hal tersebut akan menyebabkan kondensasi air yang
berlebihan pada tutup cawan petri sehingga air tersebut akan kembali menitik atau menetes
pada permukaan agar yang telah memadat. Selain itu, pemindahan medium dari tabung reaksi
ke cawan petri harus dilakukan secara aseptis, untuk mencegah tercemarnya biakan murni,
yaitu biakan yang hanya terdiri dari satu spesies tunggal (Hadioetomo, 1993, 52:163).

Pembuatan media NA
Sebanyak 6 gram NA ditimbang dengan menggunakan neraca analitik dan dimasukkan ke
dalam beaker glass kemudian ditambah 300 ml aquades kemudian diaduk rata. Setelah larutan
homogen, pengaduk magnet (stirrer) dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian larutan
dipanaskan dengan menggunakan hot plate. Pemanasan dilakukan hingga seluruh agar larut
yaitu ketika larutan berwarna bening. Kemudian, saat agar masih dalam keadaan cair,
dimasukkan ke dalam 24 tabung reaksi masing-masing sebanyak 10 ml, dan 6 tabung reaksi
masing-masing sebanyak 5 ml. Selanjutnya, mulut tabung reaksi ditutup dengan menggunakan
kapas agar tetap steril, dan tabung reaksi diberi label media yang digunakan (NA). Setelah itu,
tabung reaksi dibungkus dengan menggunakan plastik bening dan diikat dengan karet gelang.
Selanjutnya, seluruh tabung reaksi disterilisasi dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121C
dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Setelah proses sterilisasi selesai. 18 tabung reaksi yang
masing-masing diisi sebanyak 10 ml dibuat dalam keadaan tegak, 6 tabung reaksi yang masing-
masing diisi sebanyak 5 ml dibuat dalam keadaan miring dan 6 tabung reaksi masing-masing
diisi sebanyak 10 ml dipindahkan ke dalam cawan petri secara aseptis kemudian dibungkus
kembali dengan menggunakan kertas buram untuk disimpan. Setelah agar memadat, hasilnya
diamati dan digambar kemudian diberi keterangan warna dan wujud agar.
2.3.2 Potato Dextrose Agar (PDA)
Potato Dextrose Agar (PDA) adalah suatu medium yang kaya akan nutrisi yang digunakan
untuk pertumbuhan berbagai jamur (Stamets, 2007). Kebanyakan jamur berkembang pada
Potato Dextrose Agar (PDA), tetapi terkadang jamur yang tumbuh pada PDA menghasilkan
miselia berlebih dengan mengorbankan sporulasi karena kandungan nutrisi pada PDA yang
terlalu kaya untuk beberapa jamur. PDA dapat digunakan oleh Ascomycota sebagai media
pertumbuhan. Media PDA mengandung 4,0 g/l potato dextrose agar, 20,0 g/l glukosa, dan
15,09 g/l agar (Stamets, 2007).
Pembuatan media PDA
Mula-mula 1,17 gram PDA ditimbang dengan menggunakan neraca analitik dan dimasukkan
kedalam beaker glasskemudian diisi 30 ml aquades kemudian diaduk rata. Setelah larutan
homogen, pengaduk magnet (stirrer) dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian larutan
dipanaskan dengan menggunakan hot plate. Pemanasan dilakukan hingga seluruh agar larut
yaitu ketika larutan berwarna bening. Kemudian, saat agar masih dalam keadaan cair, larutan
agar dimasukkan ke dalam 6 tabung reaksi masing-masing sebanyak 5 ml. Selanjutnya, mulut
tabung reaksi ditutup dengan menggunakan kapas agar tetap steril, dan tabung reaksi diberi
label yang bertuliskan media yang digunakan (PDA). Setelah itu, tabung reaksi dibungkus
dengan menggunakan plastik bening dan diikat dengan menggunakan karet gelang. Lalu
disterilisasi dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121C dengan tekanan 1 atm selama 15
menit. Setelah proses sterilisasi selesai, masing-masing tabung reaksi diambil dan diletakkan
pada alas miring untuk membuat agar-agar miring hingga memadat. Setelah agar memadat,
medium diamati lalu digambar dan diberi keterangan wujud dan warnanya.
2.3.3 Malt Extract Agar (MEA)
Malt Extract Agar (MEA) biasanya digunakan untuk mengisolasi, menumbuhkan, dan
enumerasi yeast dan mold. MEA mengandung maltosa yang digunakan sebagai sumber energi.
Dekstrin, polisakarida turunan pati, dan gliserol berperan sebagai sumber karbon. Pepton
tersedia sebagai sumber nitrogen, sedangkan agar sendiri merupakan agen pemadat. Contoh
mikroorganisme yang tumbuh dengan baik pada media ini adalah Aspergillus niger, Candida
albicans, dan Saccharomyces cerevisiae. MEA dapat menyokong pertumbuhan mold dan yeast,
tetapi tidak untuk bakteri. Media ini sering digunakan untuk kultur jamur terisolasi dari tanah
dan kayu. MEA biasanya ditumbuhi oleh Basidiomycota (Stamets, 2007). Komposisi media
MEA per 1000 ml adalah 20 g malt extract powder, 1,0 g pepton, 20 g glukosa, 20 g agar
(Wipradnyadewi, 2004).
Pembuatan media MEA
Pertama-tama, sebanyak 0,96 gram MEA ditimbang dengan menggunakan neraca analitik dan
dimasukkan kedalambeaker glass kemudian dimasukan 20 ml aquades kemudian diaduk rata.
Setelah larutan homogen, pengaduk magnet (stirrer) dimasukkan ke dalam beaker glass,
kemudian larutan dipanaskan dengan menggunakan hot plate. Pemanasan dilakukan hingga
seluruh agar larut yaitu ketika larutan berwarna bening. Kemudian, saat agar masih dalam
keadaan cair, larutan agar dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi masing-masing sebanyak 5
ml. Selanjutnya, mulut tabung reaksi ditutup dengan menggunakan kapas agar tetap steril, dan
tabung reaksi diberi label yang bertuliskan media yang digunakan (MEA). Setelah itu, tabung
reaksi dibungkus dengan menggunakan plastik bening dan diikat dengan karet gelang. Lalu
disterilisasi dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121C dengan tekanan 1 atm selama 15
menit. Setelah proses sterilisasi selesai, masing-masing tabung reaksi diambil dan diletakkan
pada alas miring untuk membuat agar-agar miring hingga memadat. Setelah agar memadat,
medium diamati lalu digambar dan diberi keterangan wujud dan warnanya.
2.3.4 Peptone Glucose Yeast (PGY)
Peptone Glucose Yeast (PGY) dapat digunakan untuk menumbuhkan bakteri yang sifatnya
anaerob sepertiBacteroides fragilis. Media ini harus disimpan pada suhu ruang dengan posisi
tegak lurus dan terlindungi dari cahaya sehingga memiliki umur simpan yang mencapai 26
minggu. PGY merupakan media sintetis karena terbuat dari bahan kimia. Dalam 1000 ml media
PGY terkandung 5 g enzim pemecah kasein, 5 g enzim pemecah gelatin, 10 g ekstrak yeast, 10
g glukosa, 0,5 g L-Sistein, 1 mg resazurin, 40 ml larutan garam VPI, dan 5 ml larutan vitamin
K-Hemin, dengan pH 7.0 0.2 (Anonym_____c, 2001).
Media pembuatan PGY
Mula-mula 0,06 gram glukosa, 0,03 gram pepton, 0,03 gram ekstrak yeast, 0,012 gram MgSO4,
0,03 gram kalium dihidrogen fosfat (KH2PO4) ditimbang dengan menggunakan neraca analitik
dan dimasukkan ke dalam beaker glassyang berisi 15 ml aquades kemudian diaduk rata.
Campuran tersebut diaduk hingga larutan menjadi homogen dan kemudian dimasukkan ke
dalam 3 tabung reaksi masing-masing sebanyak 5 ml. Selanjutnya, mulut tabung reaksi ditutup
dengan menggunakan kapas agar tetap steril, masing-masing tabung reaksi diberi label yang
bertuliskan nama media yang digunakan (PGY). Setelah itu, tabung reaksi dibungkus dengan
menggunakan plastik bening dan diikat dengan karet gelang. Lalu disterilisasi dengan
menggunakan otoklaf pada suhu 121C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Setelah proses
sterilisasi selesai, masing-masing tabung reaksi diambil dan diletakkan pada rak tabung reaksi
untuk membuat agar tegak. Setelah itu, medium diamati lalu digambar dan diberi keterangan
wujud dan warnanya.
2.3.5 Medium MRS
Medium MRS adalah suatu medium pertumbuhan yang digunakan untuk menumbuhkan
bakteri Lactobacillus (De Man et al, 1960). Media MRS dikembangkan oleh J. C. de Man, M.
Rogosa, dan M. Elisabeth Sharpe untuk menggantikan medium yang menggunakan sari tomat
dan sari buah tomat ekstrak daging. Pada umumnya, medium ini sangat baik untuk
pertumbuhan Lactobacililus, bahkan beberapa bakteri yang tidak dapat hidup dengan baik pada
beberapa media lainnya seperti, L. brevis dan L. fermenti. Media MRS mengandung polisorbat,
asetat, magnesium, dan mangan yang diketahui sebagai faktor
penumbuh Lactobacililus seperti substrat yang kaya akan nutrisi dasar. Bakteri lain yang dapat
tumbuh pada media ini anatara lain Pediococcus dan Leuconostoc. Komposisi media MRS
agar terdiri dari 10 g pepton, 5 g ekstrak daging sapi, 5 g ekstrak yeast, 2 g K 2HPO4, 2 g
diamonium, 2 g hidrogen sitrat, 20 g glukosa, 5 g sodium asetat.3H2O, 0,1 g MgSO4.7H2O,
0,05 g MnSO4.4H2O, 12 g agar, 1000 ml aquades dengan pH 6,50,2 pada suhu 37C
(Anonym_____e,2009).
Pembuatan media MRS
Pertama-tama, sebanyak 4,96 gram MRS ditimbang menggunakan neraca analitik dan
dimasukkan ke dalam beaker glass yang berisi 80 ml aquades kemudian diaduk rata. Setelah
larutan homogen, pengaduk magnet (stirrer) dimasukkan ke dalam beaker glass, kemudian
larutan dipanaskan dengan menggunakan hot plate. Pemanasan dilakukan hingga seluruh agar
larut yaitu ketika larutan berwarna bening. Kemudian, saat agar masih dalam keadaan cair,
larutan agar dimasukkan ke dalam 8 tabung reaksi masing-masing sebanyak 10 ml.
Selanjutnya, mulut tabung reaksi ditutup dengan menggunakan kapas agar tetap steril, dan
tabung reaksi diberi label yang bertuliskan nama media yang digunakan (MRS). Setelah itu,
tabung reaksi dibungkus dengan menggunakan plastik bening dan diikat dengan karet gelang.
Lalu disterilisasi dengan menggunakan otoklaf pada suhu 121C dengan tekanan 1 atm selama
15 menit. Setelah proses sterilisasi selesai, masing-masing tabung reaksi diambil dan
diletakkan pada rak tabung reaksi untuk membuat agar-agar tegak hingga memadat. Setelah
agar memadat, medium diamati lalu digambar dan diberi keterangan wujud dan warnanya.
2.3.6 Lactose Broth (LB)
Lactose Broth (LB) adalah suatu medium pertumbuhan yang digunakan untuk bakteri coliform
thermotolerant (Bartram, J, 1996). Lactose broth (LB) biasanya digunakan untuk mendeteksi
fermentasi laktosa, koliform gram negatif, dan sebagai media pengaya bagi spesies Salmonella,
dan juga digunakan dalam penelitian bakteri pemfermentasi laktosa. LB adalah media
nonselektif yang memberikan lingkungan yang menyuplai nutrisi yang menguntungkan bagi
Salmonella dibandingkan dengan bakteri lain. Laktosa difermentasi oleh bakteri non-
Salmonella, namun Salmonella sendiri tidak dapat memfermentasi laktosa. Aktivitas
fermentasi laktosa oleh bakteri non-Salmonella akan menurunkan pH lingkungan. Selama
masa inkubasi 24 jam pertama pertumbuhan Salmonella hanya sedikit, sementara bakteri non-
Salmonella akan menggunakan laktosa. Namun ketika hasil fermentasi terbentuk, bakteri non-
Salmonella akan terhambat pertumbuhannya sedangkan Salmonella sendiri akan mulai tumbuh
baik pada kondisi tertentu. Pada LB, ekstrak daging sapi dan pepton berperan sebagai sumber
karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan, sedangkan laktosa menyediakan karbohidrat. LB
mengandung enzim pemecah gelatin. Pembuatan LB dapat dilakukan dengan melarutkan 28 gr
dalam 1 L air yang telah didistilasi dengan pemanasan, kemudian dimasukkan ke dalam tabung
reaksi sebanyak 5 ml dengan tabung durham dan disterilisasi selama 20 menit pada suhu 1150C
(Anonym_____d, 2007).
Pembuatan LB
Lactose Broth sebanyak 7,8 gram ditimbang dengan menggunakan neraca analitik dan
dimasukkan ke dalam beaker glass kemudian diisi 600 ml aquades kemudian diaduk rata.
Setelah larutan homogen, larutan tersebut dimasukkan ke dalam 54 tabung reaksi. Pada
masing-masing tabung reaksi, dimasukkan tabung durham yang telah diisi dengan larutan LB
dengan kondisi terbalik. Tabung durham yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi tidak boleh
membentuk gelembung udara. Larutan LB yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
tabung durham diisi sebanyak 10 ml. Selanjutnya, mulut tabung reaksi ditutup dengan
menggunakan kapas agar tetap steril. Setelah itu, tabung reaksi dibungkus dengan
menggunakan plastik bening dan diikat dengan karet gelang. Lalu disterilisasi dengan
menggunakan otoklaf pada suhu 121C dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Setelah proses
sterilisasi selesai, tabung reaksi diambil kemudian medium diamati lalu digambar dan diberi
keterangan wujud dan warnanya.

Pada pembuatan media padat, media cair yang dipanaskan harus diaduk secara terus
menerus dengan menggunakanmagnetic stirrer atau pengaduk magnetik dengan
tujuan mencegah hangusnya atau meluapnya medium. Magnetic stirrer merupakan salah satu
macam pengaduk dari berbagai macam jenis pengaduk. Pengaduk magnet adalah alat untuk
mengaduk larutan yang dijalankan oleh arus elektrik dan dapat berupa magnet yang dibungkus
plastik dengan kecepatan mengaduk 250-1000 rpm (Pudyaatmaka & Qodratillah, 2002, 8:935).
Larutan agar harus diaduk secara terus menerus dengan menggunakan magnetic stirrer dengan
tujuan mencegah hangusnya atau meluapnya medium.Hal ini sesuai dengan pernyataan dari
Hadioetomo (1993).

Tabung durham memiliki bentuk yang mirip dengan tabung reaksi namun ukuran tabung
durham lebih kecil dibandingkan dengan tabung reaksi. Tabung durham berfungsi untuk
menampung/menjebak gas yang terbentuk akibat metabolisme pada bakteri yang diujikan.
Dalam tabung reaksi, tabung durham ditempatkan terbalik dan harus terendam sempurna dalam
media yaitu jangan sampai terdapat gelembung udara di dalamnya (Anonym_____f, 2011).
Tabung durham biasanya digunakan sebagai indikator terjadinya fermentasi yang ditandai
dengan adanya gelembung-gelembung udara di dalam tabung durham (Setiani & Sufiawati,
2005).

Media cair biasanya diletakkan di dalam tabung reaksi dengan keadaan tegak dan ditutup
dengan kapas agar tidak tumpah. Terdapat tiga macam media dalam bentuk padat, yaitu:
Media agar tegak
Media agar terletak di dalam tabung reaksi dalam posisi tegak hingga memadat.
Media agar miring
Media agar padat yang disiapkan langsung dalam tabung reaksi. Namun berbeda dengan agar
tegak, setelah disterilisasi, tabung reaksi diletakkan di atas alas sehingga membentuk sudut
15 hingga memadat. Dengan permukaan yang miring tentunya luas permukaan media agar
miring akan lebih luas dari media agar tegak. Hal tersebut bertujuan agar mikroorganisme yang
tumbuh pada media semakin banyak dan jumlahnya tersebar sesuai dengan luas permukaan
media agar miring.
Media agar cawan
Media agar padat yang menggunakan cawan petri sebagai wadahnya. Mula-mula cawan petri
steril diletakkan di meja dekat dengan bunsen yang telah dinyalakan. Saat menuang media
(agar dalam keadaan cair) ke dalam cawan harus dilakukan secara aseptik dengan suhu media
tidak boleh terlalu panas ( 45C). Media agar cawan akan menghasilkan media dengan
permukaan yang lebih luas dibandingkan dengan media agar miring (Gunawan, 2008, 54-
55:112).
(Hadioetomo, 1993, 52:163)
2.4 Streilisasi
Steril adalah suatu kondisi dimana tidak terdapat mikroba yang tidak diharapkan (baik yang
mengganggu ataupun merusak media dan mengganggu proses yang sedang berlangsung) pada
bahan atau peralatan yang dipergunakan dalam bidang mikrobiologi. Untuk memperoleh
keadaan yang steril, perlu dilakukan sterilisasi alkohol adalah salah satu larutan yang dapat
digunakan untuk proses sterilisasi secara kimiawi. Serta sterilisasi fisik dapat dilakukan dengan
menggunakan panas (Suriawiria, 2005, 79:172).

Sterilisasi dilakukan dengan menggunakan otoklaf dengan tekanan uap air hingga suhu
mencapai 1210C dan tekanan 1 atm selama 15 menit. Hal ini bertujuan agar dapat
meminimalisasi tumbuhnya mikroba pencemar. Untuk menumbuhkan kultur dalam suatu
media. Pembakaran merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk sterilisasi peralatan
dan media namun pembakaran yang terlalu lama dapat merusak media maupun peralatan yang
digunakan. Keadaan yang tidak steril dapat menyebabkan terjadinya kontaminan karena
tumbuhnya mikroorganisme pencemar. Waktu yang diperlukan untuk sterilisasi tergantung
dari besarnya wadah dan kecepatan perambatan panas dari makanan tersebut. Setelah sterilisasi
selesai, harus segera didinginkan untuk mencegah pertumbuhan kembali mikroorganisme.
Sterilisasi harus dapat membunuh mikroba yang paling tahan panas yaitu spora bakteri. (Frazier
& Westhoff, 1994, 113:539).

Pembunuhan jasad renik/mikroorganisme dapat dilakukan dengan beberapa perlakuan fisik


seperti:
1. Pemanasan basah
Pemanasan basah terdiri dari perebusan, pemanasan dengan tekanan, tindalisasi, dan
pasteurisasi. Pemanasan dengan tekanan dapat dilakukan dengan menggunakan autoklaf yaitu
untuk membunuh spora bakteri yang paling tahan panas, yang akan mati pada suhu 1210C
selama 15 menit.
2. Pemanasan kering
Pemanasan kering kurang efektif untuk membunuh mikroba dibandingkan dengan pemanasan
basah. Hal tersebut dikarenakan dapat menyebabkan dehidrasi sel, sedangkan pemanasan basah
dapat menyebabkan denaturasi protein.
3. Radiasi
Sinar ultraviolet yang dipancarkan secara langsung pada sel vegetatif mikroba dapat
menyebabkan kematian pada sel tersebut, akan tetapi sporanya lebih tahan. Radiasi ultraviolet
menyebabkan kesalahan dalam replikasi DNA dan mempunyai aktivitas mutagenik pada sel
yang masih hidup.
4. Penyaringan
Penyaringan yang biasa dilakukan untuk bakteri tidak dapat menahan atau menyaring
virus/mikoplasma.
(Fardiaz, 1992, 130 : 320).

Untuk proses sterilisasi dengan menggunakan media panas, alat yang biasa digunakan adalah
retort/sterilizer/autoclave yang berbentuk bejana tertutup dan memiliki sifat tahan terhadap
tekanan tinggi akibat uap yang berasal dari sumber di luar alat tersebut.
(Winarno, 2000, 46-47:165)
Otoklaf merupakan alat yang serupa dengan tangki minyak yang dapat diisi dengan uap air dan
memiliki suatu ruangan yang mampu menahan tekanan di atas 1 atm. Otoklaf biasanya
digunakan untuk sterilisasi panas basah. Cara menggunakannya adalah dengan menempatkan
alat dan bahan yang akan disterilkan dalam suatu wadah, kemudian dimasukkan ke dalam
otoklaf. Setelah itu, otoklaf ditutup rapat dan kran pada pipa uap dibuka sehingga temperatur
akan terus naik hingga 1210C. Otoklaf tidak boleh langsung dibuka, dan harus menunggu
hingga manometer menunjukkan angka 0 (Waluyo, 2010, 26 : 305).
Terdapat 4 hal utama yang harus diperhatikan apabila melakukan sterilisasi panas lembab,
yaitu:
1. Sterilisasi bergantung pada uap, karena itu udara harus dikosongkan betul-betul dari
ruang sterilisator.
2. Semua bagian bahan yang disterilkan harus terkena uap. Oleh karena itu, tabung dan labu
kosong harus diletakkan dalam posisi tidur agar udara tidak terperangkap di dasarnya.
3. Bahan-bahan yang berpori atau yang berbentuk cair harus permeable terhadap uap.
4. Suhu sebagaimana yang terukur oleh termometer harus mencapai 121C dan
di pertahankan suhunya selama 15 menit.
(Hadioetomo, 1993, 56 : 163).

Dalam laboratorium mikrobiologi, diperlukan media nutrien dan peralatan yang steril. Keadaan
yang tidak steril dapat menyebabkan tumbuhnya mikroba pencemar (kontaminan) yang akan
mengganggu pengamatan terhadap mikroba yang ditumbuhkan. Salah satu cara yang
digunakan untuk mencegah terjadinya kontaminasi oleh mikroba dalam atmosfer adalah
dengan cara tabung reaksi disumbat dengan menggunakan kapas. Sepertiga bagian tutup kapas
harus berada di luar mulut tabung sedangkan dua pertiga bagian harus berada di dalam mulut
tabung. Tutup kapas yang baik dapat dikeluarkan dengan mudah namun tidak mudah terlepas
dari gulungan. Jika media biakan yang disiapkan tidak disterilkan dan didiamkan selama
beberapa hari, maka mikroba akan tumbuh dan dapat menyebabkan kekeruhan pada media
sehingga menunjukan bahwa media tersebut tercemar oleh mikroba kontaminan (Lay, 1994).

Sterilisasi biasanya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam bidang pangan.
Hal tersebut terkait dengan penjagaan kualitas pangan agar pangan yang dikonsumsi tidak
menimbulkan penyakit atau kerugian lainnya. Selain dengan menggunakan panas, sterilisasi
dapat dilakukan dengan menambahkan bahan kimia, menggunakan radiasi, secara mekanik,
ataupun dengan kombinasi dari dua metode atau lebih (Frazier & Westhoff, 1994, 84:539).
Sterilisasi yang paling banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari yaitu sterilisasi
komersial. Sterilisasi komersial bertujuan untuk meminimalisasikan kerusakan dan penurunan
mutu produk yang diakibatkan oleh pemberian panas (Winarno, 2000, 59;165).

2.5 Alat
2.5.1 Jarum ose/ loop/sengkelit digunakan untuk menanam mikroba dengan cara goresan/streak
2.5.2 Batang bengkok/spreader/batang Drigalsky digunakan untuk menanam mikroba dengan
cara sebar/pulasan/spread
2.5.3 Jarum enten digunakan untuk mengambil mikroba berupa biakan jamur/fungi
2.5.4 Jarum inokulasi/needle digunakan untuk menanam mikroba dengan cara tusukan
2.5.5 Microbiological Safety Cabinet (MSC) adalah ruang/lemari tempat menanam mikroba
2.5.6 Autoklaf digunakan untuk sterilisasi alat/bahan/media tertentu dengan menggunakan uap
panas bertekanan (moist heat).
2.5.7 Colony counter untuk menghitung jumlah koloni mikroba dan mungkin ukurannya.
2.5.8 Mikroskop digunakan untuk pemeriksaan suatu sediaan secara mikroskopis.
22
2.5.9 Inkubator digunakan untuk inkubasi media yang telah ditanami mikrobaa dan untuk
menyimpan bahan pemeriksaan di mana mikroba yang terkandung akan mati bila disimpan
dalam lemari es.
2.5.10 Lemari pendingin/refrigerator digunakan untuk menyimpan media steril yang siap pakai
agar isi dan mutu media tersebut tidak berubah, menyimpan untuk sementara waktu
bahan/spesimen yang belum sempat diperiksa agar tidak mengalami perubahan dan
menyimpan cakram antibiotik/antibiotic disk yang belum dipakai agar tidak mengalami
perubahan.
2.5.11 Alat-alat lain yang perlu diketahui di laboratorium mikrobiologi : mikropipet, pelobang
sumuran, haemositometer, cawan petri, lampu bunsen, kaca obyek, kaca obyek cekung, oven,
shaker incubator, shakerresiprok, vortex, glass pin, kaca penutup, pinset, gelas arloji, disk
blank, disk antibiotik, filter bakteri, tabung Durham

Anda mungkin juga menyukai