Anda di halaman 1dari 13

BIOPROSES TEMPE

A. Jenis mikroorganisme yang terlibat dalam pembuatan tempe

Tempe adalah produk fermentasi asli Indonesia yang telah lama dikenal secara turun
temurun dan menjadi hidangan sehari-hari oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Seiring
dengan bertambahnya waktu, tempe juga mulai digemari oleh berbagai kelompok masyarakat
di berbagai belahan dunia, utamanya dari berbagai negara barat seperti Eropa dan Amerika
Serikat. Tempe dalam ejaan bahasa Indonesia atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai
“tempeh” adalah nama kolektif untuk produk pangan hasil fermentasi kacang-kacangan atau
biji-bijian oleh kapang fermentatif dari jenis Rhizopus sp. Tempe berbentuk massa yang
kompak dan dapat diiris. Jenis kacang-kacangan yang banyak digunakan sebagai bahan baku
tempe adalah kacang kedelai yang berwarna kuning (Nount dan Kiers 2005). Selanjutnya,
kacang kedelai disebut kedelai. (Rahayu et al 2015)

Proses pembuatan tempe pada dasarnya adalah proses fermentasi dengan didahului oleh
berbagai proses lainnya. Hal yang berperan penting dalam proses fermentasi adalah faktor
inokulum yang berisi kapang dari genus Rhizopus sp. seperti Rhizopus oryzae atau Rhizopus
oligosporus. Selama proses fermentasi, jenis-jenis mikroorganisme lain mungkin dapat hidup
namun tidak menunjukkan aktivitas yang nyata. Fermentasi kapang hanya berlangsung aktif
kurang lebih 1-2 hari, setelah itu terbentuk spora-spora yang berwarna kehitaman. (Rahayu et
al 2015)

Studi yang dilakukan oleh Steinkraus et al. (1960) menyebutkan bahwa R. oryzae
merupakan satu-satunya spesies kapang yang digunakan sebagai laru tempe, tetapi laporan
berikutnya (Steinkraus et al. 1983) menyebutkan bahwa R. oligosporus juga merupakan
spesies kapang lainnya sebagai laru tempe. Shurtleff dan Aoyagi (1979), melaporkan bahwa
R. oligosporus adalah spesies kapang utama yang terdapat pada pengolahan tempe di
Indonesia dan Amerika Utara. Rhizopus oligosporus memiliki aktivitas protease dan lipase
yang baik untuk fermentasi tempe. Selain R. oligosporus, spesies kapang lain yang berperan
dalam pengolahan tempe adalah R. oryzae, R. chinensis, dan R. arrhizus. (Rahayu et al 2015)

Proses fermentasi kedelai menjadi tempe melibatkan berbagai mikroorganisme.


Komposisi mikroorganisme pada tempe yang difermentasi secara tradisional ditentukan oleh
faktor ekologi seperti proses pengasaman oleh bakteri asam laktat (BAL) selama
perendaman, efek letal dari perebusan, kontaminasi selama penanganan dan pendinginan,
komposisi inokulum, panas yang dihasilkan selama proses fermentasi, kondisi inkubasi dan
kondisi dimana tempe disimpan (Nout dan Kiers 2005). Mikroorganisme yang terpenting
dalam fermentasi tempe adalah Rhizopus, namun demikian, banyak penelitian-penelitian
terbaru menunjukkan adanya peranan bakteri dan khamir dalam proses fermentasi tempe.
Spesies kapang Rhizopus yang berada dalam tempe antara lain R. oligosporus, R. oryzae, R.
arrhizus, dan R. stolonifer, namun R. oligosporus diketahui sebagai kapang yang paling
sesuai untuk pembuatan tempe. Keberadaan berbagai jenis mikroorganisme pada tempe yang
sebagian besar merupakan mikroorganisme yang secara alami terdapat pada bahan baku, laru
atau lingkungan, akan mempengaruhi mutu dan cita rasa tempe. Tempe segar mengandung
sejumlah besar mikroorganisme mesofilik seperti Enterobacteriacae, Staphylococcus dan
khamir (Ashenafi 1994). Keberadaan mikroorganisme yang tidak diinginkan pada tempe
dapat menurunkan mutu mikrobiologisnya. Bacillus tumbuh selama fermentasi tempe dan
diduga menyebabkan rasa pahit yang kurang disukai (Barus et al. 2008). Seumahu (2012)
juga melaporkan dominasi Enterobacteriaceae pada tempe yang berpotensi sebagai bakteri
patogen. Di sisi lain, keberadaan Klebsiella pneumoniae sebagai kontaminan menghasilkan
vitamin B12 selama fermentasi tempe. Selain itu Acetobacter juga ditemukan pada tempe
(Barus et al. 2008 dan Seumahu et al. 2013).

B. Enzim yang berperan di dalam proses pembuatan tempe

Kadar protein yang larut dalam air akan meningkat akibat aktivitas enzim proteolitik
(Kasmidjo, 1990). Kapang yang tumbuh pada tempe mampu menghasilkan enzim protease
untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam amino bebas (Astawan, 2008).

Rhizopus oligosporus termasuk dalam Zygomycota yang sering dimanfaatkan dalam


pembuatan tempe dari proses fermentasi kacang kedelai, karena R. oligosporus yang
menghasilkan enzim fitase yang memecah fitat membuat komponen makro pada kedelai
dipecah menjadi komponen mikro sehingga tempe lebih mudah dicerna dan zat gizinya lebih
mudah terserap tubuh. Fungi ini juga dapat memfermentasi substrat lain, memproduksi
enzim, dan mengolah limbah. Salah satu enzim yang diproduksi tersebut adalah dari
golongan protease. (Agus Wahyudi 2018)

Miselium Rhizopus oryzae lebih panjang dari pada Rhizopus oligosporus sehingga
menghasilkan tempe yang lebih padat. Namun apabila dilihat dari segi peningkatan gizi
protein kedelai, maka disinilah letak keunggulan Rhizopus oligosporus. Hal ini karena 19
Rhizopus oligosporus memproduksi enzim protease (pemecah protein) lebih banyak. Adapun
Rhizopus oryzae lebih banyak mensintesis enzim a-amilase (pemecah pati). (Agus Wahyudi
2018)

Selama proses perendaman, BAL akan menghasilkan asam-asam organik seperti asam
malat, laktat dan asam asetat (Mulyowidarso et al. 1991b). Pengasaman ini dapat
menghambat dan menyeleksi mikroorganisme yang berada pada proses perendaman dan
proses fermentasi tempe. Aktivitas mikroorganisme akan menurunkan pH air perendaman
hingga pH 5.0 yang masuk ke dalam kisaran pH kerja enzim invertase dan a-galaktosidase
(Mulyowidarso et al. 1991a). Produksi asam laktat selama proses fermentasi dapat
menurunkan jumlah mikroorganisme pembusuk dan patogen pada tempe (Nout dan Kiers
2005). Proses asidifikasi dan adanya senyawa inhibitor lainnya yang dihasilkan BAL
menghambat pertumbuhan mikroorganisme alami seperti koliform, Klebsiella pneumoniae
dan khamir (Nout dan Kiers 2005)

Selama fermentasi dihasilkan berbagai macam enzim seperti protease, lipase, berbagai
karbohidrase dan fitase. Selama fermentasi terjadi degradasi enzimatik makromolekul
menjadi molekul-molekul dengan berat molekul lebih rendah serta pelarutan sebagian
dinding sel dan bahanbahan intra seluler, yang menyebabkan tekstur dan flavor yang
dikehendaki (Hachmeister dan Fung 1993).

Enzim-enzim karbohidrase dari R. oligosporus pada tempe antara lain


poligalakturonase, endosellulase, xylanase dan arabinase (Sarette et al. 1992). Selama
maserasi, fraksi-fraksi arabinogalaktan dan pektin dari kedelai terlarutkan (De Reu et al.
1997). Enzim-enzim glikohidrolase terikat kuat pada dinding-dinding sel (Hermana, et al.
1990)

Asam fitat merupakan zat anti mineral atau zat anti gizi yang terdapat dalam kedelai
karena dapat mengganggu absorbsi mineral dalam tubuh. Selama fermentasi, asam fitat
mengalami penurunan sebesar 22% karena aktivitas enzim fitase yang dihasilkan oleh R.
oligosporus. Pengurangan asam fitat penting karena senyawa ini dapat menghambat
ketersediaan mineral. Sementara Rhizopus sp. tidak dapat menggunakan asam fitat sebagai
satu-satunya sumber energi (Graffham et al. 1995).

C. Peranan Kapang Rhizopus oligosporus pada Fermentasi Tempe


Tempe adalah salah satu produk fermentasi yang umumnya berbahan baku kedelai yang
difermentasi dan mempunyai nilai gizi yang baik. Fermentasi pada pembuatan tempe terjadi
karena aktivitas kapang Rhizopus oligosporus. Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan
bau langu dari kedelai yang disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Fermentasi
kedelai menjadi tempe akan meningkatkan kandungan fosfor. Hal ini disebabkan oleh hasil
kerja enzim fitase yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus yang mampu menghidrolisis
asam fitat menjadi inositol dan fhosfat yang bebas. Jenis kapang yang terlibat dalam
fermentasi tempe tidak memproduksi toksin, bahkan mampu melindungi tempe dari
aflatoksin. Tempe mengandung senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang tempe
selama proses fermentasi (Cahyadi, 2007).

Fermentasi tempe merupakan fermentasi dua tahap yaitu fermentasi oleh aktivitas bakteri
yang berlangsung selama proses perendaman kedelai, dan fermentasi oleh kapang yang
berlangsung setelah diinokulasi dengan kapang. Komposisi dan pertumbuhan mikroflora
tempe selama fermentasi sangat menarik untuk dicermati karena ternyata tidak hanya
Rhizopus oligosporus yang berperan. Mulyowidarso dkk., (1989) yang telah mempelajari
secara mendalam tentang ekologi mikrobia selama peren daman kedelai untuk pembuatan
tempe menemukan bahwa bakteri merupakan mikroflora yang secara signifikan selalu
tumbuh selama pembuatan tempe dan mempunyai peran yang penting. Walaupun Rhizopus
oligosporus berperan utama dalam pembuatan tempe, yeast kemungkinan juga dapat tumbuh
selama fermentasi tempe. Sehingga analisis mikrobiologis sangat perlu diungkapkan lebih
mendetil agar keterlibatan setiap jenis mikroorganisme dalam pembuatan tempe dapat
diketahui dengan jelas.

Rhizopus oligosporus mampu menghasilkan enzim fitase yang memecah fitat membuat
komponen makro pada kedelai dipecah menjadi komponen mikro sehingga tempe lebih
mudah dicerna dan nutrisinya lebih mudah terserap tubuh. Hal tersebut juga diperkuat oleh
pernyataan North and Bell (1990) bahwa Rhizopus oligosporus juga mensintesa enzim lipase,
poligalakturonase, endoselulase, xilanase, arabinase, fitase, dan rhizopus carboksil proteinase.
Enzim- enzim yang disintesis oleh Rhizopus oligosporus diharapkan mampu meningkatkan
efisiensi pakan sehingga dapat meningkatkan produksi burung puyuh. Pernyataan tersebut
juga diperkuat oleh pernyataan Belewu and Sam (2010) bahwa fermentasi bungkil biji jarak
menggunakan Rhizopus oligosporus dapat menurunkan berbagai racun dan anti nutrisi, yaitu
inhibitor tripsin, curcin, saponin, asam fitat dan phorbolester, sehingga diharapkan mampu
meningkatkan nilai nutrisinya.
Rhizopus oligosporus dapat tumbuh optimum pada suhu 30-35°C, dengan suhu minimum
12°C, dan suhu maksimum 42°C. Pertumbuhan R. oligosporus mempunyai ciri-ciri koloni
abu-abu kecoklatan dengan tinggi 1 mm atau lebih. Sporangiofor tunggal atau dalam
kelompok dengan dinding halus atau agak sedikit kasar, dengan panjang lebih dari 1000 μm
dan diameter 10-18 μm. Sporangia globosa yang pada saat masak berwarna hitam kecoklatan,
dengan diameter 100-180 μm. Klamidospora banyak, tunggal atau rantaian pendek, tidak
berwarna, dengan berisi granula, terbentuk pada hifa, sporangiofor dan sporangia. Bentuk
klamidospora globosa, elip atau silindris dengan ukuran 7-30 μm atau 12-45 μm x 7-35 μm
(Madigan dan Martinko, 2006).

Proses pembuatan tempe kedelai melalui tiga tahap, yaitu

1. Hidrasi dan pengasaman biji kedelai dengan direndam beberapa lama (untuk daerah
tropis kira-kira semalam);

2. Pemanasan biji kedelai, yaitu dengan perebusan atau pengukusan; dan

3. Fermentasi oleh jamur tempe yang banyak digunakan ialah Rhizopus oligosporus
(Kasmidjo, 1990).

Pada akhir fermentasi, kedelai akan terikat kompak. Proses penempean akan menghilangkan
flavour asli kedelai, mensintesis vitamin B12, meningkatkan kualitas protein dan ketersediaan
zat besi dari bahan (Agosin, 1989).

Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan baku yang dipakai
(kedelai), mikroorganisme (kapang tempe), dan keadaan lingkungan tumbuh (suhu, pH, dan
kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe kedelai, substrat yang digunakan adalah biji
kedelai yang telah direbus dan mikroorganisme yang digunakan berupa kapang antara lain
Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat terdiri atas kombinasi dua
spesies atau ketiganya) dan lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30˚C, pH awal 6.8,
kelembaban nisbi 70- 80%. Selain menggunakan kapang murni, laru juga dapat digunakan
sebagai starter dalam pembuatan tempe (Ferlina, 2009).

Ciri tempe yang “berhasil” adalah ada lapisan putih di sekitar kedelai dan pada saat di
potong, tempe tidak hancur. Perlu diperhatikan agar tempe berhasil alat yang dipergunakan
untuk membuat tempe sebaiknya dijaga kebersihannya. Menjaga kebersihan pada saat
membuat tempe ini sangat diperlukan karena fermentasi tempe hanya terjadi pada lingkungan
yang higienis. Menurut Hidayat (2008), gangguan pada pembuatan tempe diantaranya adalah
tempe tetap basah, jamur tumbuh kurang baik, tempe berbau busuk, ada bercak hitam
dipermukaan tempe, dan jamur hanya tumbuh baik di salah satu tempat.

Perlakuan lama fermentasi memberikan pengaruh terhadap kadar air tempe. Semakin lama
fermentasi maka semakin meningkat kadar airnya. Hal ini terjadi karena selama fermentasi
terjadi proses metabolisme dan perombakan senyawa makromolekul menjadi senyawa yang
lebih sederhana. Menurut pendapat Mulato (2003) dalam Wiryadi (2007), waktu fermentasi
merupakan salah satu faktor terpenting penyebab meningkatnya kadar air sehingga dengan
meningkatnya waktu fermentasi maka kadar air akan meningkat pula. Selama fermentasi 30
jam, ragi yang digunakan dalam fermentasi tempe sudah melakukan proses metabolisme dan
merombak protein menjadi asam amino meskipun belum sempurna (Rochmah, 2008).

Setelah fermentasi 30 jam kadar air cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan kadar
air ini akibat penambahan air dari hasil metabolisme mikrobia selama fermentasi. Menurut
Steinkrauss (1995), selama fermentasi tempe air dihasilkan sebagai hasil dari pemecahan
karbohidrat oleh mikrobia. Menurut Rochmah (2008) air merupakan salah satu produk hasil
fermentasi aerob. Selama fermentasi tempe, mikrobia mencerna substrat dan menghasilkan
air, karbondioksida dan sejumlah besar energi (ATP). Selama fermentasi, kapang Rhizopus
akan menghancurkan matriks antara sel bakteri dimana pada hari ke tiga untuk kedelai akan
menjadi empuk, tapi pada fermentasi selanjutnya antara sel pada kedelai hancur ditambah air
hasil pemecahan karbohidrat yang menyebabkan tempe menjadi lembek dan berair (Syarief,
1999).

Perlakuan variasi konsentrasi kedelai/beras berpengaruh terhadap kadar air tempe yang
dihasilkan. Kadar air tempe dengan konsentrasikedelai yang lebih banyak cenderung lebih
tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi kedelai yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena
kadar air tempe dipengaruhi dari jumlah proporsi kedelai yang digunakan. Pada saat
pembuatan tempe, kedelai mengalami hidrasi terutama pada saat perendaman dan perebusan,
sehingga berat kedelai dapat meningkat karena air akan mudah berdifusi ke dalam dinding sel
kedelai dan waktu perendaman kedelai juga cukup lama. Sedangkan waktu perendaman
berasnya tidak begitu lama jika dibandingkan dengan perendaman kedelai.

Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Steinkraus (1983) dalam Kasmidjo (1990), bahwa
perendaman akan memberikan kesempatan kepada kedelai untuk menyerap air (hidrasi)
sehingga beratnya menjadi dua kali lipat dan dengan penyerapan tersebut, kedelai mampu
menyerap air lebih banyak ketika direbus, dengan perebusan selama 1 jam biji yang telah
direndam akan menggelembung sehingga volumenya menjadi dua setengah kalinya.

D. pembuatan tempe
1. Pencucian dan Pembersihan

Tahap pencucian dan pembersihan merupakan tahap pertama dalam pengolahan tempe.
Tahap ini bertujuan untuk menghilangkan kotorankotoran dan kontaminan lainnya seperti
serangga, tanah, dan bahan asing lainnya. Biji kedelai yang digunakan untuk pengolahan
tempe harus bersih, tidak tercampur dengan benda asing seperti kerikil, batu, dan biji lainnya,
serta bentuk biji kedelai sebaiknya seragam. Penggunaan air pencuci yang bersih dengan
jumlah yang cukup diharapkan dapat menghilangkan semua kotoran yang terdapat pada
kedelai. Proses pencucian kedelai dapat dilakukan sekali atau berkali-kali bergantung pada
kondisi awal kedelai sampai diperoleh kedelai bersih.

2. Pengupasan

Pengupasan merupakan salah satu tahap penting dalam proses pengolahan tempe. Kulit
ari yang masih tersisa karena pengulitan yang tidak sempurna akan mengakibatkan inokulum
tidak dapat tumbuh dengan baik. Metode pengupasan dapat dilakukan dengan cara kering
atau cara basah. Metode pengupasan cara kering dilakukan sebelum proses perendaman
kedelai dan dilakukan dengan menggunakan peralatan mekanis. Kedelai dipanaskan
menggunakan oven pada suhu 93oC selama 10 menit, selanjutnya kedelai dikupas kulit arinya
menggunakan aspirator atau gravitasi aspirator (Steinkraus et al. 1983). Metode ini sangat
efisien dan hanya memerlukan tenaga kerja sedikit. Sebaliknya, pengupasan basah dilakukan
setelah pencucian dan perendaman atau setelah pemasakan. Pengupasan dilakukan secara
manual dengan tangan untuk memisahkan kulit ari dari kedelai, sehingga tidak diperlukan
peralatan mekanis. Namun karena banyak menggunakan tenaga kerja, maka cara ini tidak
cocok untuk produksi tempe skala besar.

3. Perendaman

Pada saat proses perendaman, biji kedelai akan mengalami proses hidrasi sehingga terjadi
kenaikan kadar air biji kedelai. Beberapa peneliti menyebutkan kenaikkannya dapat mencapai
dua kali dari kadar air awal. Proses perendaman dapat dilakukan pada suhu kamar (sekitar 30
°C) selama 12-15 jam (Fung dan Cozier-Dodson 2008). Fung dan Cozier- Dodson (2008),
menyebutkan untuk memberikan kondisi asam, beberapa peneliti menambahkan asam laktat
(<0.5%) atau asam asetat (<0.25%). Kondisi asam pada proses ini dapat menghambat
pertumbuhan bakteri pembusuk dan memberikan kondisi awal yang baik untuk pertumbuhan
kapang tempe.

4. Perebusan

Perebusan dilakukan setelah perendaman. Tujuan perebusan ini selain melunakkan


kedelai adalah untuk memusnahkan mikroorganisme kontaminan, menginaktifkan tripsin-
inhibitor, menyebabkan protein terdenaturasi yang akan lebih mudah digunakan oleh kapang,
dan membebaskan beberapa nutrien yang diperlukan untuk fermentasi kapang. Perebusan
harus dilakukan dengan jumlah air yang cukup agar kematangan biji kedelai merata.
Bergantung pada jumlah kedelai yang direbus, perebusan dapat berlangsung 2 hingga 4 jam.

5. Penirisan, Pendinginan, dan Pengeringan

Tahap penirisan, pendinginan, dan pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan


air, menurunkan suhu, dan mengeringkan permukaan biji kedelai. Secara tradisional setelah
proses perebusan biasanya kedelai ditiriskan dan disebarkan pada wadah (nampan) bambu.
Winarno dan Reddy (1986), menyarankan menggunakan wadah berlubang untuk meniriskan
kedelai setelah proses perebusan. Penirisan yang tidak sempurna akan memicu pertumbuhan
bakteri sehingga dapat menyebabkan fermentasi gagal. Selanjutnya Winarno dan Reddy
(1986), juga menyarankan bahwa kedelai sebaiknya didinginkan sampai mencapai suhu 38oC
sebelum dilakukan inokulasi kapang.

6. Inokulasi

Penggunaan inokulum spora kapang (laru tempe) pada saat inokulasi memegang peranan
penting pada keberhasilan produksi tempe. Penggunaan jenis dan jumlah laru berperan
terhadap tempe yang dihasilkan. Penambahan laru tempe yang berlebihan akan
mengakibatkan fermentasi tidak sempurna. Sebaliknya jika penambahan laru tempe kurang
dapat mengakibatkan bakteri perusak tumbuh. Kondisi optimal pemberian laru tempe saat
inokulasi adalah bila laru yang ditambahkan mengandung spora kapang sebanyak 6 log
spora/100 gram kedelai yang telah direbus (Wang et al. 1975). Studi yang dilakukan oleh
Steinkraus et al. (1960) menyebutkan bahwa R. oryzae merupakan satu-satunya spesies
kapang yang digunakan sebagai laru tempe, tetapi laporan berikutnya (Steinkraus et al. 1983)
menyebutkan bahwa R. oligosporus juga merupakan spesies kapang lainnya sebagai laru
tempe. Shurtleff dan Aoyagi (1979), melaporkan bahwa R. oligosporus adalah spesies kapang
utama yang terdapat pada pengolahan tempe di Indonesia dan Amerika Utara. Rhizopus
oligosporus memiliki aktivitas protease dan lipase yang baik untuk fermentasi tempe. Selain
R. oligosporus, spesies kapang lain yang berperan dalam pengolahan tempe adalah R. oryzae,
R. chinensis, dan R. arrhizus. Steinkraus et al. (1983) menyarankan strain Rhizopus yang
digunakan untuk pengolahan tempe harus memiliki karakteristik sebagai berikut ini.

 Tumbuh cepat pada suhu 37oC


 Memiliki aktivitas proteolitik yang tinggi
 Memiliki aktivitas lipolitik
 Dapat menghasilkan antioksidan yang tinggi
 Berkemampuan untuk menghasilkan tempe dengan flavor, aroma, dan tekstur yang
khas

7. Pengemasan

Kedelai yang sudah diinokulasi dan bercampur dengan laru tempe kemudian dikemas.
Jenis pengemas yang digunakan pada pengolahan tempe dapat berupa daun pisang atau
kantung plastik. Beberapa persyaratan bahan kemasan untuk fermentasi tempe adalah sebagai
berikut ini (Fung dan Cozier-Dodson, 2008).

 Permeabilitas terhadap oksigen cukup untuk pertumbuhan dan pembentukan miselium


 Suhu di dalam kemasan dapat dikontrol
 Kadar air kedelai dapat dijaga selama masa inkubasi
 Tidak ada kontak air bebas dengan kedelai
 Menjamin fermentasi tempe berlangsung dalam kondisi bersih dan baik

8. Inkubasi

Suhu, waktu, dan kelembaban relatif (RH) saat inkubasi adalah tiga faktor penting yang
dapat mempengaruhi proses fermentasi tempe. Faktor lainnya yang juga dapat mempengaruhi
proses fermentasi tempe adalah ketersediaan oksigen yang diperlukan oleh laru tempe untuk
tumbuh. Selama proses inkubasi terjadi proses fermentasi yang menyebabkan terjadinya
perubahan komponen kimia pada biji kedelai. Fung dan Cozier-Dodson (2008), menyebutkan
beberapa contoh penggunaan kombinasi suhu dan waktu inkubasi untuk proses fermentasi
tempe yang diberi penambahan laru tempe sebanyak 6 log spora/100 gram substrat. Kondisi
suhu dan waktu tersebut adalah sebagai berikut:

a. 25oC; selama 80 jam

b. 25- 37oC; selama 20-50 jam

c. 32oC; selama 20-22 jam

d. 35- 38oC; selama 15-18 jam

Pada skala pilot plant, proses fermentasi tempe dapat dilakukan dengan pengaturan
kelembaban relatif sebesar 75-78% pada kondisi suhu 35-38oC selama 18 jam (Steinkraus et
al. 1965).

E. Reaksi kimia yang terjadi dalam proses pembuatan tempe

Pada proses pembentukan tempe reaksi yang terjadi adalah fermentasi. Fermentasi
merupakan salah satu bentuk respirasi anaerob yaitu proses produksi energy dalam keadaan
anaerobic (tanpa oksigen ).

Persamaan Reaksi Kimia:


C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP

Hasil dari proses ferementasi ini adalah terjadi perubahan senyawa yang terkandung
dalam kedelai.

1. Protein

Wang dan Hesseltine (1965) melaporkan bahwa R. oligosporus memproduksi dua sistem
enzim proteolitik, Produksi protease asam oleh R. oligosporus yang ditambahkan pada
bekatul gandum tertinggi adalah setelah 4 hari pada suhu 25o C pada substrat dengan kadar
air 50%. Protein utama kedelai, conglycinin terhidrolisis lebih cepat dari pada glycinin,
conglycinin lebih sensitif terhadap serangan protease yang kemungkinan berkaitan dengan
struktur kimianya (De Reu et al. 1995). Protein yang terhidrolisis selama 46 jam sebanyak
25% dari protein awal. Sebesar 65% protein yang terhidrolisis diindikasikan tetap berada
dalam tempe sebagai asam amino dan peptida, 25% terasimilasi ke dalam biomassa kapang,
dan 10% teroksidasi (Higasa et al. 1996; Ruiz-Teran dan Owens 1996). Derajat hidrolisis
bergantung dari strain kapang (Baumann dan Bisping 1995) dan kondisi proses (Ikasari dan
Mitchell 1998). Selama fermentasi terjadi penurunan lisin dan metionin yang diuji secara
mikrobiologi (Tabel 3). Lisin menurun 10 dan lebih dari 25% setelah fermentasi 36 dan 60
jam. Sementara metionin berkurang 3 dan 10% setelah fermentasi 36 dan 60 jam. Triptofan
dan alanin meningkat sekitar 20%, fenilalanin menurun sekitar 20% (Murata et al. 1967).

2. Karbohidrat

Karbohidrat sederhana dan oligosakarida dalam kedelai adalah sukrosa, stakiosa dan
rafinosa. Selama tahap fermentasi terjadi penurunan kadar gula tersebut. Perubahan utama
adalah kehilangan heksosa dan stakiosa yang mengalami hidrolisis secara lambat. Di dalam
kedelai terdapat α-galaktosida sukrosa berupa stakiosa dan rafinosa dengan kadar relatif
tinggi. Senyawa ini mungkin merupakan prebiotik tetapi senyawa ini menyebabkan flatulensi
(produksi gas dalam usus). Oligosakarida ini hilang terutama pada perendaman dan
pemasakan kedelai (Mulyowidarso et al. 1991b; Ruiz-Teran dan Owens 1996). Selama
fermentasi tempe terjadi hidrolisis polisakarida menjadi oligosakarida berberat molekul
rendah yang larut. Enzim-enzim karbohidrase dari R. oligosporus pada tempe antara lain
poligalakturonase, endosellulase, xylanase dan arabinase (Sarette et al. 1992). Selama
maserasi, fraksi-fraksi arabinogalaktan dan pektin dari kedelai terlarutkan (De Reu et al.
1997). Enzim-enzim glikohidrolase terikat kuat pada dinding-dinding sel (Hermana, et al.
1990).
Daftar Pustaka

Ahsanunnisa, Riska. “Perbandingan Mutu Tempe Dari Kacang Kedelai Dengan Kacang
Tanah.” Alkimia : Jurnal Ilmu Kimia Dan Terapan 2, no. 1 (1970): 43–46.
https://doi.org/10.19109/alkimia.v2i1.2262.

Alvina, Adini, and Dany Hamdani. “Proses Pembuatan Tempe Tradisional.” Jurnal Pangan
Halal 1, no. 1 (2019): 1/4.

Astawan, Made, Tutik Wresdiyati, Sri Widowati, siti harnina Bintar, and Nadya Ichsani.
“Karakteristik Fisikokimia Dan Sifat Fungsional Tempe Yang Dihasilkan Dari
Berbagai Varietas Kedelai.” Jurnal Pangan 22, no. 3 (2013): 241–52.

Astuti, Mary, Andreanyta Meliala, Fabien S. Dalais, and Mark L. Wahlqvist. “Tempe, a
Nutritious and Healthy Food from Indonesia.” Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition
9, no. 4 (2000): 322–25. https://doi.org/10.1046/j.1440-6047.2000.00176.x.

Herman, and M Karmini. “The Development of Tempe Technology.” J. Agranoff, Ed. The
Complete Handbook of Tempe, 1999, 80–92.

Maryam, Siti. “( Phaseolus Vulgaris L ) pada Berbagai Lama Fermentasi.” Kompenen


Isoflavon Tempe Kacang Merah (Phaseolus Vulgaris L.) Pada Berbagai Lama
Fermentasi, 2016, 363–68.

Made, Ariyani. “Potensi Tempe Kacang Hijau (Vigna Radiata L) Hasil Fermentasi
Menggunakan Inokulum Tradisional Sebagai Pangan Fungsional.” JST (Jurnal Sains
Dan Teknologi) 4, no. 2 (2015): 635–41. https://doi.org/10.23887/jst-
undiksha.v4i2.6055.

Radiati, Ani Radiati. “Analisis Sifat Fisik, Sifat Organoleptik, Dan Kandungan Gizi Pada
Produk Tempe Dari Kacang Non-Kedelai.” Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 5, no. 1
(2016): 16–22. https://doi.org/10.17728/jatp.v5i1.32.

Rizal Permadi, M, Huda Oktafa, Khafidurahman Agustianto, Jurusan Kesehatan Politeknik


Negeri Jember, Jl PO Mastrip Box, and Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri
Jember. “Perancangan Sistem Uji Sensoris Makanan Dengan Pengujian Peference Test
(Hedonik Dan Mutu Hedonik), Studi Kasus Roti Tawar, Menggunakan Algoritma
Radial Basis Function Network.” Mikrotik: Jurnal Manajemen Informatika 8, no. 1
(2018): 29–42. http://ojs.ummetro.ac.id/index.php/mikrotik/article/view/752.

Tarwendah, Ivani Putri, Jurusan Teknologi, Hasil Pertanian, Ftp Universitas, Brawijaya
Malang, Jl Veteran, and Penulis Korespondensi. “Comparative Study of Sensory
Attributes and Brand Awareness in Food Product : A Review” 5, no. 2 (2017): 66–73.

Rahayu, Winiati P. et al. 2015. Tinjauan Ilmiah Teknologi Pengolahan Tempe. Palembang :
Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia ( PATPI ).

Sayudi, Slamet et al. 2015. Potensi Biji Lamtoro Gung Dan Biji Kedelai Sebagai Bahan Baku
Pembuatan Tempe Komplementasi. Riau : Universitas Riau.

Wahyudi, Agus. 2018. Pengaruh Variasi Suhu Ruang Inkubasi Terhadap Waktu
Pertumbuhan Rhizopus Oligosporus Pada Pembuatan Tempe Kedelai. Palembang :
Universitas PGRI Palembang

Anda mungkin juga menyukai