mulai digemari pula oleh berbagai kelompok masyarakat Barat. Tempe dapat dibuat
dari berbagai bahan. Tetapi yang biasa dikenal sebagai tempe oleh masyarakat
pada umumnya ialah tempe yang dibuat dari kedelai (Kasmidjo, 1990). Tempe
mempunyai ciri-ciri putih, tekstur kompak. Pada dasarnya cara pembuatan tempe
meliputi tahapan sortasi dan pembersihan biji, hidrasi atau fermentasi asam,
penghilangan kulit, perebusan, penirisan, pendinginan, inokulasi dengan ragi
tempe, pengemasan, inkubasi dan pengundukan hasil (Rahayu, 1988). Tahapan
proses yang melibatkan jamur dalam pembuatan tempe adalah saat inokulasi atau
fermentasi.
Kualitas tempe amat dipengaruhi oleh kualitas starter yang digunakan untuk
inokulasinya. Inokulum tempe disebut juga sebagai starter tempe, dan banyak pula
yang menyebutkan dengan nama ragi tempe. Starter tempe adalah bahan yang
mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai agensia pengubah kedelai
rebus menjadi tempe akibat tumbuhnya jamur tempe pada kedelai dan melakukan
kegiatan fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah sifat/karakteristiknya
menjadi tempe (Kasmidjo, 1990).
Inokulum tempe juga dapat diperoleh dengan berbagai cara antara lain (Kasmidjo,
1990) :
2. Berupa tempe segar, yang dikeringkan dibawah sinar matahari atau yang
mengalami liofilisasi.
3. Berupa ragi tempe, yaitu pulungan beras (bentuk bundar pipih atau bulatanbulatan kecil) yang mengandung miselia dan spora jamur tempe.
4. Sebagai biakan murni R. oligosporus yang disiapkan secara aseptis oleh lembaga
riset atau lembaga pendidikan (Kasmidjo, 1990).
Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang
disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Jamur yang berperanan dalam
proses fermentasi tersebut adalah R. oligosporus. R. oligosporus Saito mempunyai
koloni abu-abu kecoklatan dengan tinggi 1 mm atau lebih. Sporangiofor tunggal
atau dalam kelompok dengan dinding halus atau agak sedikit kasar, dengan
panjang lebih dari 1000 mm dan diameter 10-18 mm. Sporangia globosa yang pada
saat masak berwarna hitam kecoklatan, dengan diameter 100-180 mm.
Kolumela globosa sampai sub globosa dengan apofisa apofisa berbentuk corong.
Ukuran sporangiospora tidak teratur dapat globosa atau elip dengan panjang 7-10
mm. Klamidospora banyak, tunggal atau rantaian pendek, tidak berwarna, dengan
berisi granula, terbentuk pada hifa, sporangiofor dan sporangia. Bentuk
klamidospora globosa, elip atau silindris dengan ukuran 7-30 mm atau 12-45 mm x
7-35 mm.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan isolat R. oligosporus hasil isolasi dari
beberapa inokulum tempe.
Praktikum yang kami lakukan kali ini berjudul fungi. Berikut ini akan dibahas
mengenai jamur-jamur yang kami amati dalam praktikum fungi, diantaranya:
Rhizopus oryzae, Rhizopus nigricans, Neurospora crassa, dan Saccharomyces
cerevisiae.
Ciri-ciri R. oryzae secara umum, antara lain ialah hifa tidak bersekat (senositik),
hidup sebagai saprotrof, yaitu dengan menguraikan senyawa organik. Pembuatan
tempe dilakukan secara aerobik. Reproduksi aseksual cendawan R. oryzae dilakukan
dengan cara membentuk sporangium yang di dalamnya terdapat sporangiospora.
Pada R. oryzae terdapat stolon, yaitu hifa yang terletak di antara dua kumpulan
sporangiofor (tangkai sporangium). Reproduksi secara seksual dilakukan dengan
fusi hifa (+) dan hifa (-) membentuk progamentangium. Progamentangium akan
membentuk gametangium. Setelah terbentuk gamentangium, akan terjadi
penyatuan plasma yang disebut plasmogami. Hasil peleburan plasma akan
membentuk cigit yang kemudian tumbuh menjadi zigospora. Zigospora yang telah
tumbuh akan melakukan penyatuan inti yang disebut kariogami dan akhirnya
berkembang menjadi sporangium kecambah. Di dalamsporangium kecambah
setelah meiosis akan terbentuk spora (+) dan spora (-) yang masing-masing akan
tumbuh menjadi hifa (+) dan hifa (-).
Rhizopus nigricans merupakan jamur yang terdapat pada roti. Jika roti lembab
disimpan di tempat yang hangat dan gelap, beberapa hari kemudian akan tampak
jamur tumbuh diatasnya. Spora yang berkecambah pada permukaan roti akan
membentuk massa yang bercabang, berwarna perak dengan hifa tidak bersekat.
Dalam beberapa hari, miselium akan menutupi permukaan roti dari rhizoidnya
menembus kedalam roti.
Pada roti akan tumbuh bulatan hitam yang disebut sporangium yang dapat
menghasilkan sekitar 50.000 spora. Sporangium dibentuk pada ujung sporangiofor.
Jika sporangium matang, dinding pelindung yang tipis pecah dan spora tersebar.
Spora tersebut disebut spora aseksual dan reproduksi yang terjadi adalah secara
aseksual. Reproduksi seksual terjadi juga didalam jamur roti dengan cara konjugasi.
Neurospora crassa merupakan salah satu spesies yang masuk ke dalam Genus
Neurospora, Family Sordariaceae, Ordo Sordariales, Class Ascomycetes, Divisio
Ascomycota, dan Kingdom Fungi. Neurospora crassa dikenal pula sebagai
kontaminan, terutama di dalam laboratorium. Kapang dari Genus Neurospora telah
lama diketahui dan telah dipelajari sejak 1843. Spesies N. crassa telah banyak
digunakan di dalam penelitian laboratorium sejak 1941. Pertumbuhan jamur ini
yang sangat pesat, warna jingganya yang khas, serta bentuk spora (konidia) yang
berbentuk seperti tepung merupakan ciri-ciri khas kapang ini. Di negara subtropis
dan tropis, makanan fermentasi dari kapang telah banyak ditemukan di negaranegara Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Foto mikroskopik Neurospora crassa dengan SEM dari spora yang telah
berkecambah
antara 5 sampai 20 mikron dan berbentuk bola atau telur. Saccharomyces cerevisae
tidak bergerak karena tidak memiliki struktur tambahan di bagian luarnya seperti
flagella (Prescott, 1959).
Saccharomyces cerevisiae mempunyai lapisan dinding luar yang terdiri dari
polisakarida kompleks dan di bawahnya terletak membran sel. Sitoplasma
mengandung suatu inti yang bebas (discrete nucleus) dan bagian yang berisi
sejumlah besar cairan yang disebut vakuola (Buckle, 1987).
Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dalam media cair dan padat. Pembelahan
sel terjadi secara aseksual dengan pembentukan tunas, suatu bahan proses yang
merupakan sifat khas dari khamir. Mula-mula timbul suatu gelembung kecil dari
permukaan sel induk. Gelembung ini secara bertahap membesar, dan setelah
mencapai ukuran yang sama dengan induknya terjadi pengerutan yang melepaskan
tunas dari induknya. Sel yang baru terbentuk selanjutnya akan memasuki tahap
pertunasan kembali. Tunas pada Saccharomyces serevisae dapat berkembang dari
setiap bagian permukaan sel induk (pertunasan multipolar).
Struktur Saccharomyces cerevisiae terdiri dari sel anak, budding dan sel induk. Tepi
berbentuk entire, dan permukaan halus. Koloninya berwarna putih keruh,
permukaaan dan tepinya rata. Saccharomyces cerevisiae mikroorganisme
eukaryotic dengan diameter 5-10 m, reprduksinya melalui proses difusi yang
dikenal sebagai budding. Saccharomyces cerevisiae dapat survive dan tumbuh
dalam bentuk haploid dan diploid. Sel haploid adalah simple siklus hidup dalam fase
mitosis dan pertumbuhan, dan jika berada dalam kondisi lingkungan yang stress
akan mati. Sel diploid adalah simple siklus hidup dalam fase mitosis dan
pertumbuhan, tetapi jika berada dalam kondisi lingkungan yang stress mengalami
sporulasi, memasuki meiosis dan menghasilkan sebuah varietas dari spora haploid
yang dapat melaukan konjugasi, kembali ke bentuk diploid (Narita, 2008).
Saccharomyces cerevisiae atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama jamur ragi,
telah memiliki sejarah yang luar biasa di industri fermentasi. Karena
kemampuannya dalam menghasilkan alkohol inilah, Saccharomyces cerevisiae
disebut sebagai mikroorganisme aman (Generally Regarded as Safe) yang paling
komersial saat ini. Dengan menghasilkan berbagai minuman beralkohol,
mikroorganisme tertua yang dikembangbiakkan oleh manusia ini memungkinkan
terjadinya proses bioteknologi yang pertama di dunia. Seiring dengan
berkembangnya genetika molekuler, S. cerevisiae juga digunakan untuk
menciptakan revolusi terbaru manusia di bidang rekayasa genetika. S. cerevisiae
yang sering mendapat julukan sebagai super jamur telah menjadi mikroorganisme
frontier di berbagai bioteknologi modern.
Tentu saja kegunaan mikroorganisme ini pun menjadi semakin penting di dunia
industri fermentasi. Saat ini S. cerevisiae tidak saja digunakan dalam bidang
fermentasi tradisional, tetapi mikroorganisme-mikroorganisme S. cerevisiae baru
yang didapatkan dari riset dan aplikasi bioteknologi telah merambah sektor-sektor
komersial yang penting, termasuk makanan, minuman, biofuel, kimia, industri
enzim, pharmaceutical, agrikultur, dan lingkungan. Di masa depan, terutama karena
krisis energi yang semakin sering terjadi, etanol yang diproduksi oleh fermentasi
jamur ragi ini sepertinya akan mendapat perhatian khusus karena potensinya
sebagai biofuel.
S. cerevisiae adalah jamur bersel tunggal yang telah memahat milestones dalam
kehidupan dunia. Jamur ini merupakan mikroorganisme pertama yang
dikembangbiakkan oleh manusia untuk membuat makanan (sebagai ragi roti,
sekitar 100 SM, Romawi kuno) dan minuman (sebagai jamur fermentasi bir dan
anggur, sekitar 7000 SM, di Assyria, Caucasia, Mesopotamia, dan Sumeria). Di
Indonesia sendiri, jamur ini telah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Nenek
moyang kita dan hingga saat ini kita sendiri menggunakannya dalam pembuatan
makanan dan minuman, seperti tempe, tape, dan tuak.
Di dunia sains, mikroorganisme ini adalah yang pertama kali diobservasi melalui
mikroskop oleh Bapak Ahli MikrobiologiAntonie van Leewenhoek. Louis Pasteur,
yang terkenal dalam penemuannya mengenai cara pensterilan susu,
menggunakannya sebagai bahan biokimia hidup dalam proses transformasi. Jamur
ini juga digunakan sebagai pabrik tempat pembuatan vaksin hepatitis B rekombinan
yang pertama. Tak hanya itu, S. cerevisiae juga merupakan pabrik enzim makanan
pertama (chymosin, enzim yang digunakan dalam pembuatan keju). Dan tentu saja
penemuan spektakuler dalam memecahkan seluruh sekuens genom S. cerevisiae
merupakan langkah pionir yang menentukan dalam menguak misteri sekuens
genom manusia. Hampir semua teknologi frontier, seperti genomik, proteomik, dan
nanobioteknologi, menggunakan jamur ini sebagai model. Tidak diragukan lagi
bahwa inovasi sains dan teknologi juga akan semakin melaju di bidang bioekonomi.
S. cerevisiae, sebagai model sains dan mikroorganisme komersial yang populer,
akan terus memegang peranan penting di masa depan.
Di masa depan, S. cerevisiae akan menjadi sel inang yang semakin diperhitungkan
dalam pembuatan low volume, high value produk bioteknologi, seperti enzim,
bahan-bahan kimia, protein terapi, dan produk pharmaceutical lainnya yang
berdaya komersial tinggi. Selain menghasilkan 800.000 ton protein dalam setahun,
telah dihasilkan pula 60 juta ton bir, 30 juta ton anggur, dan 600.000 ton jamur ragi.
Tak mengherankan mikroorganisme ini merupakan tulang punggung dalam produksi
empat komoditas fermentasi terbesar di dunia.
Oleh karena itu, biomass jamur (baik untuk industri makanan manusia dan ternak)
dan produksi tradisional etanol (untuk industri bir, anggur, minuman suling, dan
energi) diperkirakan akan terus menyumbangkan produksi fermentasi terbanyak di
dunia.
Dalam bidang energi, jamur ragi sebagai pabrik etanol merupakan suatu strategi
alternatif yang telah dikembangkan di beberapa negara, seperti Brasil, Afrika
Selatan, dan Amerika Serikat. Saat ini biomass tanaman adalah sumber biofuel
yang paling banyak dikembangkan karena harganya yang murah dan
persediaannya yang mudah didapat. Sayangnya, salah satu penghambat justru
adalah langkanya low-cost technology dalam pengolahan tanaman menjadi etanol.
Tentu saja tidak sembarang jamur ragi dipakai, melainkan beberapa strain S.
cerevisiae yang telah direkayasa daur metabolismenya secara genetika sehingga
dapat menghasilkan etanol secara efektif dan efisien. Biofuel dalam bentuk etanol
merupakan salah satu harapan masa depan dari superjamur ini. Alasan utama dari
penggunaan etanol adalah sumber energi yang sustainable dan ramah lingkungan
serta sangat menguntungkan secara ekonomi makro terhadap komunitas pedesaan
(petani).
Seiring dengan itu, krisis energi dalam bentuk minyak bumi diperkirakan akan
terjadi sehubungan dengan prediksi bahwa produksi minyak dunia akan memuncak
dalam waktu 25 tahun mendatang dan selanjutnya menurun secara drastis.
Bagi negara-negara yang relatif miskin sumber daya minyak dan pengekspor
minyak dunia, hal ini sangat mengancam kesejahteraan mereka, bahkan dapat
mengancam pertahanan dan keamanan mereka. Oleh karena itu, mereka berpacu
dengan waktu untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi baru yang
dapat memuluskan transisi energi oil menuju energi biofuel yang dapat diperbarui.
Tentu saja, bagi negara berkembang seperti Indonesia, pekerjaan rumah yang
utama adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya hayati jamur di Indonesia
sehingga dapat mengembangkan ilmu sekaligus memajukan ekonomi berbasiskan
ilmu pengetahuan ini.
jumlah sangat sedikit. Lipid ini disimpan dalam bentuk globula yang dapat dilihat
dengan mikroskop setelah diberi pewarna lemak seperti Hitam Sudan atau Merah
Sudan. Dan sitoplasma.
http://sitos-tempeh.blogspot.com/2008/09/karakteristik-rhizopus-oryzae.html
http://sayapm.blogspot.com/2012/06/proses-pembuatan-tempe.html
air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih sedikit dibandingkan
dengan bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai untuk pertumbuhan
jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh jamur.
Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim-enzim protease. Perombakan senyawa
kompleks protein menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana adalah penting dalam
fermentasi tempe, dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas tempe,
yaitu sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna amat tinggi.
Kandungan protein yang dinyatakan sebagai kadar total nitrogen memang tidak
berubah selama fermentasi. Perubahan terjadi atas kadar protein terlarut dan kadar
asam amino bebas.
Berdasarkan suatu penelitian, pada tahap fermentasi tempe ditemukan adanya
bakteri Micrococcus sp. Bakteri Micrococcus sp. adalah bakteri berbentuk kokus,
gram positif, berpasangan tetrad atau kelompok kecil, aerob dan tidak berspora,
bisa tumbuh baik pada medium nutrien agar pada suhu 30C dibawah kondisi
aerob. Bakteri ini menghasilkan senyawa isoflavon (sebagai antioksidan).
Adanya bakteri Micrococcus sp. pada proses fermentasi tempe tidak terlepas dari
tahapan pembuatan tempe, yang meliputi: penyortiran, pencucian biji kedelai
diruang preparasi, pengupasan kulit, perebusan kedelai, perendaman kedelai,
penirisan, peragian, pembungkusan, dan pemeraman. Selain itu faktor lingkungan
juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain, waktu, suhu, air, pH, suplai
makanan dan ketersediaan oksigen.
Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas enzim amilolitik,
lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus sp. Pada proses
pembuatan tempe, sedikitnya terdapat empat genus rhizopus yang dapat
digunakan. Rhizopus oligosporus merupakan genus utama, kemudian Rhizopus
oryzae merupakan genus lainnya yang digunakan pada pembuatan tempe
Indonesia. Produsen tempe di Indonesia tidak menggunakan inokulum berupa
biakan murni kapang Rhizopus sp., namun menggunakan inokulum dalam bentuk
bubuk yang disebut inokulum biakan kapang pada daun waru yang disebut usar.
Pada penelitian ini dipelajari aktivitas enzim-enzim a-amilase, lipase dan protease
pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe menggunakan biakan murni rhizopus
oligosporus. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa aktivitas enzim dipengaruhi
oleh jenis inokulum dan waktu fermentasi. Juga terdapat interaksi antara waktu
fermentasi dan jenis inokulum terhadap aktivitas enzim-enzim aminolitik, lipolitik,
proteolitik.
fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan tempe. Menurut
hasil penelitian pada tahap fermentasi terjadi penguraian karbohidrat, lemak,
protein dan senyawa-senyawa lain dalam kedelai menjadi molekul-molekul yang
lebih kecil sehingga mudah dimafaatkan tubuh. Untuk membeuat tempe dibutuhkan
inokulum atau laru tempe atau ragi tempe. Laru tempe dapat dijumpai dalam
berbagai bentuk misalnya bentuk tepung atau yang menempel pada daun waru dan
dikenal dengan nama Usar. Laru dalam bentuk tepung dibuat dengan cara
menumbuhkan spora kapang pada bahan, dikeringkan dan kemudian ditumbuk.
Bahan yang akan digunakan untuk sporulasi dapat bermacam-macam seperti
tepung terigu, beras, jagung, atau umbi-umbian.
v Mikroba yang digunakan dalam fermentasi tempe
Mikroba yang sering dijumpai pada larut tempe adalah kapang jenis Rhizopus
oligosporus, atau kapang dari jenis Rhizopus. oryzae. Sedangkan pada laru murni
campuran selain kapang Rhizopus oligosporus, dapat dijumpai pula kultur murni
bakteri Klebsiella.
Selain bakteri Klebsiella, ada beberapa jenis bakteri yang berperan pula dalam
proses fermentasi tempe diantaranya adalah: Bacillus sp., Lactobacillus sp.,
Pediococcus sp., Streptococcus sp., dan beberapa genus bakteri yang memproduksi
vitamin B12. Adanya bakteri Bacillus sp pada tempe merupakan kontaminan,
sehingga hal ini tidak diinginkan.
Pada tempe yang berbeda aslnya sering dijumpai adanya kapang yang berbeda
pula (Dwidjoseputro dan Wolf, 1970). Jenis kapang yang terdapat pada tempe
Malang adalah Rhizopus. oryzae., Rhizopus.oligosporus., Rhizopus.arrhizus dan
Mucor rouxii. Kapang tempe dari daerah Surakarta adalah R. oryzaei dan R.
stolonifer sedangkan pada tempe Jakarta dapat dijumpai adanya kapang Mucor
javanicus., Trichosporon pullulans., A. niger dan Fusarium sp.
Masing-masing varietas dari kapang Rhizopus berbeda reaksi biokimianya, hal ini
terutama disebabkan adanya perbedaan dari enzim yang dihasilkan. Pektinase
hanya disintesa oleh R. arrhizus dan R. stolonifer. Sedangkan enzim amilase
disintesa oleh R. oligosporus dan R. oryzae tetapi tidak disintesa oleh R. arrhizus.
v Karakteristik Rhizopus:
Rhizopus. oligosporus:
Aktivitas protease & lipase paling kuat
Aktivitas amilase paling lemah
Baik unt tempe dari serealia atau campuran kedelai -serealia
Rhizopus. oryzae
Aktivitas amilase paling kuat
Tidak baik untuk tempe serealia
Aktivitas protease di bawah R. oligospporus