Anda di halaman 1dari 19

empe adalah produk fermentasi yang amat dikenal oleh masyarakat Indonesia dan

mulai digemari pula oleh berbagai kelompok masyarakat Barat. Tempe dapat dibuat
dari berbagai bahan. Tetapi yang biasa dikenal sebagai tempe oleh masyarakat
pada umumnya ialah tempe yang dibuat dari kedelai (Kasmidjo, 1990). Tempe
mempunyai ciri-ciri putih, tekstur kompak. Pada dasarnya cara pembuatan tempe
meliputi tahapan sortasi dan pembersihan biji, hidrasi atau fermentasi asam,
penghilangan kulit, perebusan, penirisan, pendinginan, inokulasi dengan ragi
tempe, pengemasan, inkubasi dan pengundukan hasil (Rahayu, 1988). Tahapan
proses yang melibatkan jamur dalam pembuatan tempe adalah saat inokulasi atau
fermentasi.

Kualitas tempe amat dipengaruhi oleh kualitas starter yang digunakan untuk
inokulasinya. Inokulum tempe disebut juga sebagai starter tempe, dan banyak pula
yang menyebutkan dengan nama ragi tempe. Starter tempe adalah bahan yang
mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai agensia pengubah kedelai
rebus menjadi tempe akibat tumbuhnya jamur tempe pada kedelai dan melakukan
kegiatan fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah sifat/karakteristiknya
menjadi tempe (Kasmidjo, 1990).

Inokulum tempe juga dapat diperoleh dengan berbagai cara antara lain (Kasmidjo,
1990) :

1. Berupa tempe dari batch sebelumnya, yang telah mengalami sporulasi.

2. Berupa tempe segar, yang dikeringkan dibawah sinar matahari atau yang
mengalami liofilisasi.

3. Berupa ragi tempe, yaitu pulungan beras (bentuk bundar pipih atau bulatanbulatan kecil) yang mengandung miselia dan spora jamur tempe.

4. Sebagai biakan murni R. oligosporus yang disiapkan secara aseptis oleh lembaga
riset atau lembaga pendidikan (Kasmidjo, 1990).

5. Inokulasi tempe yang disiapkan dengan cara menempatkan potongan daun


dalam bungkusan tempe yang sedang mengalami fermentasi. Potongan-potongan
daun tersebut akan terselubungi miselia jamur tempe selama berlangsungnya
fermentasi tempe, yang kemudian diambil, dikeringkan dibawah sinar matahari
kemudian disimpan sampai saat digunakan. Daun yang biasanya digunakan untuk
keperluan tersebut ialah daun dadap (Erythrina spp), daun waru (Hibiscus similis
B1), daun jati (Tectona grandis Linn) atau daun pisang (Musa spp) (Kasmidjo, 1990).

Fermentasi pada tempe dapat menghilangkan bau langu dari kedelai yang
disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Jamur yang berperanan dalam
proses fermentasi tersebut adalah R. oligosporus. R. oligosporus Saito mempunyai
koloni abu-abu kecoklatan dengan tinggi 1 mm atau lebih. Sporangiofor tunggal
atau dalam kelompok dengan dinding halus atau agak sedikit kasar, dengan
panjang lebih dari 1000 mm dan diameter 10-18 mm. Sporangia globosa yang pada
saat masak berwarna hitam kecoklatan, dengan diameter 100-180 mm.

Kolumela globosa sampai sub globosa dengan apofisa apofisa berbentuk corong.
Ukuran sporangiospora tidak teratur dapat globosa atau elip dengan panjang 7-10
mm. Klamidospora banyak, tunggal atau rantaian pendek, tidak berwarna, dengan
berisi granula, terbentuk pada hifa, sporangiofor dan sporangia. Bentuk
klamidospora globosa, elip atau silindris dengan ukuran 7-30 mm atau 12-45 mm x
7-35 mm.

Suhu optimum, minimum, maksimum berturut-turut adalah 30-35o C, 12 oC dan 42


oC. Ditemukan di Jepang, China dan Indonesia yang diisolasi dari tempe (Samson, et
al., 1995). Pitt dan Hocking (1985) R.oligosporus memiliki panjang sporangiosfor
pada media Malt Extract Agar (MEA) 150-400 mm lebih pendek dari R.oryzae yaitu
lebih dari 1500 mm. R.oligosporus biasanya memiliki rhizoid yang pendek,
sporangium dengan diameter 80 120 mm dan pada saat 7 hari akan pecah yang
menyebabkan spora keluar kolumela dengan diameter 25-75 mm. Sedangkan
R.oryzae memiliki diameter sporangium lebih dari 150 mm, kolumela dengan
diameter lebih dari 100 mm. Beberapa sifat penting dari R. oligosporus antara lain
meliputi aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan antibiotika, biosintesa
vitamin-vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber karbon dan nitrogen,
perkecambahan spora, dan penetrisi miselia jamur tempe ke dalam jaringan biji
kedelai (Kasmidjo, 1990).

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan isolat R. oligosporus hasil isolasi dari
beberapa inokulum tempe.
Praktikum yang kami lakukan kali ini berjudul fungi. Berikut ini akan dibahas
mengenai jamur-jamur yang kami amati dalam praktikum fungi, diantaranya:
Rhizopus oryzae, Rhizopus nigricans, Neurospora crassa, dan Saccharomyces
cerevisiae.

Pembaasan yang pertama adalah Rhizopus oryzae. Rhizopus oryzae merupakan


spesies yang termasuk dalam Kingdom Fungi , Divisio Zygomycota, Class
Zygomycetes, Ordo Mucorales, Family Mucoraceae, dan Genus Rhizopus.

Rhizopus oryzae merupakan jamur yang sering digunakan dalam pembuatan


tempe. Jamur ini aman dikonsumsi karena tidak menghasilkan toksin dan mampu
menghasilkan asam laktat. Rhizopus oryzae mempunyai kemampuan mengurai
lemak kompleks menjadi trigliserida dan asam amino. Selain itu jamur ini juga
mampu menghasilkan protease. Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus
oryzae tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Pada penelitian, semakin lama waktu
fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga jamur semakin
menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum
jamur juga membutuhkan air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air untuk
jamur lebih sedikit dibandingkan dengan bakteri. Selain pH dan kadar air, jumlah
nutrien dalam bahan juga dibutuhkan oleh jamur.

Ciri-ciri R. oryzae secara umum, antara lain ialah hifa tidak bersekat (senositik),
hidup sebagai saprotrof, yaitu dengan menguraikan senyawa organik. Pembuatan
tempe dilakukan secara aerobik. Reproduksi aseksual cendawan R. oryzae dilakukan
dengan cara membentuk sporangium yang di dalamnya terdapat sporangiospora.
Pada R. oryzae terdapat stolon, yaitu hifa yang terletak di antara dua kumpulan
sporangiofor (tangkai sporangium). Reproduksi secara seksual dilakukan dengan
fusi hifa (+) dan hifa (-) membentuk progamentangium. Progamentangium akan
membentuk gametangium. Setelah terbentuk gamentangium, akan terjadi
penyatuan plasma yang disebut plasmogami. Hasil peleburan plasma akan
membentuk cigit yang kemudian tumbuh menjadi zigospora. Zigospora yang telah
tumbuh akan melakukan penyatuan inti yang disebut kariogami dan akhirnya
berkembang menjadi sporangium kecambah. Di dalamsporangium kecambah
setelah meiosis akan terbentuk spora (+) dan spora (-) yang masing-masing akan
tumbuh menjadi hifa (+) dan hifa (-).

Siklus hidup Rhizopus oryzae

Sifat-sifat Rhizopus oryzae, yaitu koloni berwarna putih berangsur-angsur menjadi


abu-abu, stolon halus atau sedikit kasar dan tidak berwarna hingga kuning
kecoklatan. Sporangiofora tumbuh dari stolon dan mengarah ke udara, baik tunggal
atau dalam kelompok (hingga 5 sporangiofora), rhizoid tumbuh berlawanan dan
terletak pada posisi yang sama dengan sporangiofora. Terdapat sporangia globus
atau sub globus dengan dinding berspinulosa (duri-duri pendek), yang berwarna
coklat gelap sampai hitam bila telah masak. Kolumela oval hingga bulat dengan
dinding halus atau sedikit kasar. Rhizopus oryzae memiliki spora bulat, oval atau
berbentuk elips atau silinder. Suhu optimal untuk pertumbuhan jamur ini adalah
350C, minimal 5-70C dan maksimal 440C. Berdasarkan asam laktat yang dihasilkan
Rhizopus oryzae termasuk mikroba heterofermentatif.

Pembahasan selanjutnya yaitu Rhizopus nigricans. Rhizopus nigricans merupakan


spesies yang termasuk dalam Kingdom Fungi, Divisio Zygomycota, Class
Zygomycetes, Ordo Mucorales, Family Mucoraceae, dan Genus Rhizopus.

Rhizopus nigricans merupakan jamur yang terdapat pada roti. Jika roti lembab
disimpan di tempat yang hangat dan gelap, beberapa hari kemudian akan tampak
jamur tumbuh diatasnya. Spora yang berkecambah pada permukaan roti akan
membentuk massa yang bercabang, berwarna perak dengan hifa tidak bersekat.
Dalam beberapa hari, miselium akan menutupi permukaan roti dari rhizoidnya
menembus kedalam roti.

Gambar Perkembangan Jamur dalam Roti

Rhizoid menyekresikan enzim pencernaan yang bekerja menguraikan gula dan


tepung yang berada dalam roti. Gula dan tepung tersebut kemudian diserap oleh
rhizoid kedalam hifa. Pada roti akan terjadi perubahan warna, bau, dan rasa yang
ditimbulkan oleh jamur yang disebabkan terjadinya perubahan senyawa kimia hasil
aktivitas enzim.

Pada roti akan tumbuh bulatan hitam yang disebut sporangium yang dapat
menghasilkan sekitar 50.000 spora. Sporangium dibentuk pada ujung sporangiofor.
Jika sporangium matang, dinding pelindung yang tipis pecah dan spora tersebar.
Spora tersebut disebut spora aseksual dan reproduksi yang terjadi adalah secara
aseksual. Reproduksi seksual terjadi juga didalam jamur roti dengan cara konjugasi.

Secara garis besar tahap tahap konjugasi adalah sebagai berikut:


a.Hifa yang kelihatannya serupa memiliki sifat fisiologis yang berbeda dan biasanya
diberi tanda positi (+) dan negatif (-). Hifa tidak dapat dibedakan menjadi hifa
jantan dan hifa betina. Hifa yang bermuatan positif dan negatif tersebut bercabang
pendek dan dinamakan gametangium.
b.Gametangium positif (+) bersinggungan dengan gametangium negatif (-).
c.Terjadi peleburan antara kedua gametangia sehingga terbentuk zigosporangium
yang diploid(2n).
d.Ukuran zigosporangium bertambah besar dan kemudian memasuki masa
dormansi.
e.Setelah beberapa bulan, jika kondisi lingkungan cukup baik, zigosporangium
berkecambah. Kemudian, membentuk sporangium untuk menghasilkan spora
seksual. Pembentukan spora tersebut terjadi secara meiosis.
f.Spora tersebar, jika jatuh di tempat yang sesuai akan tumbuh dan berkembang
menjadi hifa (individu baru).

Pembahasan berikutnya adalah Neurospora crassa. Neurospora crassa dikenal pula


dengan nama ilmiahnya Neurospora sitophila (dahulu Monilia sitophila). Nama
Neurospora berasal dari kata neuron (=sel saraf), karena guratan-guratan pada
sporanya menyerupai bentuk akson. Jamur oncom termasuk dalam kelompok
kapang (jamur berbentuk filamen).

Sebelum diketahui perkembangbiakan secara seksualnya, jamur oncom masuk ke


dalam kelompok Deuteromycota, tetapi setelah diketahui fase seksualnya

(teleomorph), yaitu dengan pembentukan askus, maka jamur oncom masuk ke


dalam golongan Ascomycota.

Neurospora crassa merupakan salah satu spesies yang masuk ke dalam Genus
Neurospora, Family Sordariaceae, Ordo Sordariales, Class Ascomycetes, Divisio
Ascomycota, dan Kingdom Fungi. Neurospora crassa dikenal pula sebagai
kontaminan, terutama di dalam laboratorium. Kapang dari Genus Neurospora telah
lama diketahui dan telah dipelajari sejak 1843. Spesies N. crassa telah banyak
digunakan di dalam penelitian laboratorium sejak 1941. Pertumbuhan jamur ini
yang sangat pesat, warna jingganya yang khas, serta bentuk spora (konidia) yang
berbentuk seperti tepung merupakan ciri-ciri khas kapang ini. Di negara subtropis
dan tropis, makanan fermentasi dari kapang telah banyak ditemukan di negaranegara Asia Timur dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Rhizopus, Amylomyces, Mucor, Monascus dan Neurospora telah berperan sebagai


mikoflora. Dalam kehidupan sehari-hari kapang Neurospora telah memegang
peranan penting terutama dalam pengolahan makanan fermentasi. Kapang
Neurospora telah dimanfaatkan untuk membuat oncom yang sangat populer bagi
masyarakat Jawa Barat. Di Brazil, Neurospora telah digunakan dalam proses
pengolahan singkong menjadi minuman fermentasi. Menurut Pandey, A. 2004,
dalam Concise encyclopedia of bioresource technology, penerbit The Haworth Press:
Beberapa strain dari Neurospora crassa, dapat mengkonversi selulosa dan
hemiselulosa menjadi ethanol.

Biakan (culture) Neurospora crassa dalam cawan petri

Bentuk dari spora Neurospora (terdapat guratan-guratan di permukaan spora)

Bentuk askospora dari N. crassa

Foto mikroskopik Neurospora crassa dengan SEM dari spora yang telah
berkecambah

Neurospora crassa memiliki spora berbentuk seperti urat saraf berloreng-loreng,


sering terdapat pada produk-produk bakeri dan menyebabkan kerusakan sehingga
biasanya disebut bakery mold atau red bread-mold. Neurospora crassa juga dikenal
sebagai jamur oncom. Dalam proses fermentasi jamur ini berkembang biak dan
menjadikan makanan berwarna kuning-kemerahan. Jika jamur ini menyerang
laboratorium mycology atau bakteriologi sebagai kontaminan, maka dapat
menimbulkan bahaya pada kultur dan sangat sulit untuk dihilangkan karena
banyaknya jumlah konidia yang mudah menyebar yang diproduksi dan karena
pertumbuhannya yang sangat cepat.

Neurospora, seperti kebanyakan anggota Sordariaceae lainnya, adalah organisme


yang pertumbuhannya sangat cepat tetapi askosporanya membutuhkan perlakuan
khusus untuk tumbuh sebagaimana dilakukan pada Sordariaceae lainnya. Sel
hifanya memiliki inti banyak (multinucleate). Miseliumnya berpigmen dengan
jumlah pigmen bervariasi tergantung substratumnya.

Neurospora crassa bersifat octosporous, hermaphrodit dan heterothallic. Unsur


betinanya diwakili oleh protoperithecia, dimana setiap multinucleate askogonium
ditempelkan. Askogonia menghasilkan cabang hifa panjang yang berfungsi sebagai
trichogynes. Antheridia tidak dihasilkan. Unsur jantan diwakili oleh mikrokonidia
yang diproduksi dalam rantai di microconidiophores; sejenis konidia, yang juga
dapat menyalurkan nuclei ke receptive trichogynes. Dalam spesies ini, ditemukan
bahwa peran organ seks jantan tidak terlalu besar dan fungsi seksual dikerjakan
oleh bagian khusus dari thallus.

Pembahasan terakhir adalah Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae


merupakan spesies yang termasuk dalam Kingdom Fungi, Divisio Ascomycota, Class
Ascomycetes, Ordo Saccharomycetales, Familia Saccharomycetaceae ,dan Genus
Saccharomyces.

Saccharomyces merupakan mikroorganisme yang sangat dikenal masyarakat luas


sebagai ragi roti (bakers yeast). Ragi roti ini selain digunakan dalam pembuatan
makanan dan minuman, juga digunakan dalam industri etanol (Umbreit, 1959).
Saccharomyces cerevisiae adalah mikroorganisme bersel tunggal dengan ukuran

antara 5 sampai 20 mikron dan berbentuk bola atau telur. Saccharomyces cerevisae
tidak bergerak karena tidak memiliki struktur tambahan di bagian luarnya seperti
flagella (Prescott, 1959).
Saccharomyces cerevisiae mempunyai lapisan dinding luar yang terdiri dari
polisakarida kompleks dan di bawahnya terletak membran sel. Sitoplasma
mengandung suatu inti yang bebas (discrete nucleus) dan bagian yang berisi
sejumlah besar cairan yang disebut vakuola (Buckle, 1987).

Saccharomyces cerevisiae dapat tumbuh dalam media cair dan padat. Pembelahan
sel terjadi secara aseksual dengan pembentukan tunas, suatu bahan proses yang
merupakan sifat khas dari khamir. Mula-mula timbul suatu gelembung kecil dari
permukaan sel induk. Gelembung ini secara bertahap membesar, dan setelah
mencapai ukuran yang sama dengan induknya terjadi pengerutan yang melepaskan
tunas dari induknya. Sel yang baru terbentuk selanjutnya akan memasuki tahap
pertunasan kembali. Tunas pada Saccharomyces serevisae dapat berkembang dari
setiap bagian permukaan sel induk (pertunasan multipolar).

Siklus hidup Saccharomyces cerevisiae (Kavanagh, 2005)

Saccharomyces cerevisiae dapat berkembangbiak secara seksual dan umumnya


melibatkan proses perkawinan yang diikuti dengan produksi spora seksual yang
disebut akrospora dan spora-spora tersebut berada dalam bentuk kantung yang
disebut askus. Biasanya khamir berkembang secara aseksual dan hanya pada
kondisi lingkungan tertentu saja akan terjadi perkembangbiakan secara seksual
(Buckle,1987).

Struktur Saccharomyces cerevisiae terdiri dari sel anak, budding dan sel induk. Tepi
berbentuk entire, dan permukaan halus. Koloninya berwarna putih keruh,
permukaaan dan tepinya rata. Saccharomyces cerevisiae mikroorganisme
eukaryotic dengan diameter 5-10 m, reprduksinya melalui proses difusi yang
dikenal sebagai budding. Saccharomyces cerevisiae dapat survive dan tumbuh
dalam bentuk haploid dan diploid. Sel haploid adalah simple siklus hidup dalam fase
mitosis dan pertumbuhan, dan jika berada dalam kondisi lingkungan yang stress
akan mati. Sel diploid adalah simple siklus hidup dalam fase mitosis dan
pertumbuhan, tetapi jika berada dalam kondisi lingkungan yang stress mengalami

sporulasi, memasuki meiosis dan menghasilkan sebuah varietas dari spora haploid
yang dapat melaukan konjugasi, kembali ke bentuk diploid (Narita, 2008).

Saccharomyces cerevisiae berperan dalam proses fermentasi. Seiring


berkembangnya bioteknologi, S. cerevisiae juga digunakan untuk menciptakan
revolusi terbaru manusia di bidang rekayasa genetika sehingga dijuluki sebagai
superjamur. Selain itu, spesies ini digunakan dalam memproduksi berbagai
makanan, minuman, biofuel, kimia, industri enzim, pharmaceutical, agrikultur, dan
lingkungan (Narita, 2008).

Saccharomyces cerevisiae atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama jamur ragi,
telah memiliki sejarah yang luar biasa di industri fermentasi. Karena
kemampuannya dalam menghasilkan alkohol inilah, Saccharomyces cerevisiae
disebut sebagai mikroorganisme aman (Generally Regarded as Safe) yang paling
komersial saat ini. Dengan menghasilkan berbagai minuman beralkohol,
mikroorganisme tertua yang dikembangbiakkan oleh manusia ini memungkinkan
terjadinya proses bioteknologi yang pertama di dunia. Seiring dengan
berkembangnya genetika molekuler, S. cerevisiae juga digunakan untuk
menciptakan revolusi terbaru manusia di bidang rekayasa genetika. S. cerevisiae
yang sering mendapat julukan sebagai super jamur telah menjadi mikroorganisme
frontier di berbagai bioteknologi modern.

Tentu saja kegunaan mikroorganisme ini pun menjadi semakin penting di dunia
industri fermentasi. Saat ini S. cerevisiae tidak saja digunakan dalam bidang
fermentasi tradisional, tetapi mikroorganisme-mikroorganisme S. cerevisiae baru
yang didapatkan dari riset dan aplikasi bioteknologi telah merambah sektor-sektor
komersial yang penting, termasuk makanan, minuman, biofuel, kimia, industri
enzim, pharmaceutical, agrikultur, dan lingkungan. Di masa depan, terutama karena
krisis energi yang semakin sering terjadi, etanol yang diproduksi oleh fermentasi
jamur ragi ini sepertinya akan mendapat perhatian khusus karena potensinya
sebagai biofuel.

S. cerevisiae adalah jamur bersel tunggal yang telah memahat milestones dalam
kehidupan dunia. Jamur ini merupakan mikroorganisme pertama yang
dikembangbiakkan oleh manusia untuk membuat makanan (sebagai ragi roti,
sekitar 100 SM, Romawi kuno) dan minuman (sebagai jamur fermentasi bir dan
anggur, sekitar 7000 SM, di Assyria, Caucasia, Mesopotamia, dan Sumeria). Di

Indonesia sendiri, jamur ini telah melekat dalam kehidupan sehari-hari. Nenek
moyang kita dan hingga saat ini kita sendiri menggunakannya dalam pembuatan
makanan dan minuman, seperti tempe, tape, dan tuak.

Di dunia sains, mikroorganisme ini adalah yang pertama kali diobservasi melalui
mikroskop oleh Bapak Ahli MikrobiologiAntonie van Leewenhoek. Louis Pasteur,
yang terkenal dalam penemuannya mengenai cara pensterilan susu,
menggunakannya sebagai bahan biokimia hidup dalam proses transformasi. Jamur
ini juga digunakan sebagai pabrik tempat pembuatan vaksin hepatitis B rekombinan
yang pertama. Tak hanya itu, S. cerevisiae juga merupakan pabrik enzim makanan
pertama (chymosin, enzim yang digunakan dalam pembuatan keju). Dan tentu saja
penemuan spektakuler dalam memecahkan seluruh sekuens genom S. cerevisiae
merupakan langkah pionir yang menentukan dalam menguak misteri sekuens
genom manusia. Hampir semua teknologi frontier, seperti genomik, proteomik, dan
nanobioteknologi, menggunakan jamur ini sebagai model. Tidak diragukan lagi
bahwa inovasi sains dan teknologi juga akan semakin melaju di bidang bioekonomi.
S. cerevisiae, sebagai model sains dan mikroorganisme komersial yang populer,
akan terus memegang peranan penting di masa depan.

Di masa depan, S. cerevisiae akan menjadi sel inang yang semakin diperhitungkan
dalam pembuatan low volume, high value produk bioteknologi, seperti enzim,
bahan-bahan kimia, protein terapi, dan produk pharmaceutical lainnya yang
berdaya komersial tinggi. Selain menghasilkan 800.000 ton protein dalam setahun,
telah dihasilkan pula 60 juta ton bir, 30 juta ton anggur, dan 600.000 ton jamur ragi.
Tak mengherankan mikroorganisme ini merupakan tulang punggung dalam produksi
empat komoditas fermentasi terbesar di dunia.
Oleh karena itu, biomass jamur (baik untuk industri makanan manusia dan ternak)
dan produksi tradisional etanol (untuk industri bir, anggur, minuman suling, dan
energi) diperkirakan akan terus menyumbangkan produksi fermentasi terbanyak di
dunia.

Dalam bidang energi, jamur ragi sebagai pabrik etanol merupakan suatu strategi
alternatif yang telah dikembangkan di beberapa negara, seperti Brasil, Afrika
Selatan, dan Amerika Serikat. Saat ini biomass tanaman adalah sumber biofuel
yang paling banyak dikembangkan karena harganya yang murah dan
persediaannya yang mudah didapat. Sayangnya, salah satu penghambat justru
adalah langkanya low-cost technology dalam pengolahan tanaman menjadi etanol.
Tentu saja tidak sembarang jamur ragi dipakai, melainkan beberapa strain S.
cerevisiae yang telah direkayasa daur metabolismenya secara genetika sehingga

dapat menghasilkan etanol secara efektif dan efisien. Biofuel dalam bentuk etanol
merupakan salah satu harapan masa depan dari superjamur ini. Alasan utama dari
penggunaan etanol adalah sumber energi yang sustainable dan ramah lingkungan
serta sangat menguntungkan secara ekonomi makro terhadap komunitas pedesaan
(petani).

Seiring dengan itu, krisis energi dalam bentuk minyak bumi diperkirakan akan
terjadi sehubungan dengan prediksi bahwa produksi minyak dunia akan memuncak
dalam waktu 25 tahun mendatang dan selanjutnya menurun secara drastis.

Bagi negara-negara yang relatif miskin sumber daya minyak dan pengekspor
minyak dunia, hal ini sangat mengancam kesejahteraan mereka, bahkan dapat
mengancam pertahanan dan keamanan mereka. Oleh karena itu, mereka berpacu
dengan waktu untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi baru yang
dapat memuluskan transisi energi oil menuju energi biofuel yang dapat diperbarui.
Tentu saja, bagi negara berkembang seperti Indonesia, pekerjaan rumah yang
utama adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya hayati jamur di Indonesia
sehingga dapat mengembangkan ilmu sekaligus memajukan ekonomi berbasiskan
ilmu pengetahuan ini.

Beberapa peneliti Indonesia dengan kredibilitas tinggi di beberapa perguruan tinggi


dan lembaga penelitian telah menemukan ratusan jenis jamur, bahkan lebih.
Langkah selanjutnya adalah bagaimana kekayaan ini dimanfaatkan seoptimal
mungkin, baik di bidang sains dasar maupun di bidang bioekonomi.

Saccharomyces cerevisiae mempunyai mikrostruktur yang terdiri dari kapsul dan


dinding sel .Dinding sel khamir pada sel-sel yang muda sangat tipis, namun
semakin lama semakin menebal seiring dengan waktu. Pada dinding sel terdapat
struktur yang disebut bekas lahir (bekas yang timbul dari pembentukan oleh sel
induk) dan bekas tunas (bekas yang timbul akibat pembentukan anak sel). Setiap
sel hanya dapat memiliki satu bekas lahir, namun bisa membentuk banyak bekas
tunas. Saccharomyces cerevisiae dapat membentuk 9 sampai 43 tunas dengan
rata-rata 24 tunas per sel, dan paling banyak lahir pada kedua ujung sel yang
memanjang. Dinding sel khamir terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut:
Glukan Khamir (30-35% berat kering dinding sel), Mannan (30% dari berat kering
dinding khamir), Protein (6% berat kering dinding sel), Kitin (1-2 %), Lipid (8.5-13.5
%). Mikrostruktur selanjutnya adalah membran sitoplasma, nucleus, vakuola,
mitokondria, globula lipid Saccharomyces cerevisiae yang mengandung lipid dalam

jumlah sangat sedikit. Lipid ini disimpan dalam bentuk globula yang dapat dilihat
dengan mikroskop setelah diberi pewarna lemak seperti Hitam Sudan atau Merah
Sudan. Dan sitoplasma.

Saccharomyces cerevisiae berkembang biak dengan cara berikut: 1. Pertunasan


multipolar, dimana tunas muncul dari sekitar ujung sel . 2. Pembelahan tunas, yaitu
gabungan antara pertunasan dan pembelahan. Pada proses ini mula-mula terbentuk
tunas, tetapi tempat melekatnya tunas pada sel induk relatif besar, kemudian
terbentuk septa yang memisahkan tunas dari induk selnya. Pada Saccharomyces,
areal tempat melekatnya tunas pada induk sedemikian kecilnya sehingga seolah
tidak pernah terbentuk septa (tidak dapat dilihat oleh mikroskop biasa).
3.Pembentukan askospora. Pada khamir diploid seperti Saccharomyces cerevisiae,
meiosis dapat terjadi langsung dari sel vegetatif. Spora berbentuk bulat atau oval
dengan permukaan halus.

Saccharomyces cerevisiae berfungsi dalam pembuatan roti dan bir, karena


Saccharomyces bersifat fermentatif (melakukan fermentasi, yaitu memcah glukosa
menjadi karbon dioksida dan alkohol) kuat. Namun, dengan adanya oksigen,
Saccharomyces juga dapat melakukan respirasi yaitu mengoksidasi gula menjadi
karbon dioksida dan air. Saccharomyces dimanfaatkan untuk membuat tapai, bir,
dan roti. Dalam proses pembuatan bir, khamir akan mengubah karbohidrat menjadi
glukosa. Kemudian mengubah glukosa tersebut menjadi alkohol. Apabila ditulis
dengan rumus kimia, reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut.
C6H12O6 --> 2C2H5OH + 2CO2
Saccharomyces juga dimanfaatkan untuk mengembangkan adonan roti, misalnya
kue apem atau roti tawar. Adonan yang sudah jadi tidak langsung diolah, tetapi
dibiarkan beberapa saat. Hal ini berfungsi untuk memberikan kesempatan pada
khamir untuk melakukan proses fermentasi yang menghasilkan gas CO2. Gas CO2
yang terperangkap dalam adonan membuat teksturnya menjadi berongga dan
mengembang. Khamir juga digunakan dalam industri alkohol. Proses akhir untuk
mendapatkan alkohol ialah dengan cara penyulingan.

http://sitos-tempeh.blogspot.com/2008/09/karakteristik-rhizopus-oryzae.html

http://sayapm.blogspot.com/2012/06/proses-pembuatan-tempe.html

roses pembuatan tempe

2.1 fermentasi tempe


Makanan fermentasi merupakan makanan yang digunakan sebagai menu makanan
sehari-hari, karena cara membuatnya mudah, praktis, murah dan aman. Banyak
keuntungan yang bisa diambil dari produk makanan yang difermentasi baik dari
sifat-sifat organoleptik (indrawi), peningkatan nilai gizi ataupun sanitasi. Keunggulan
dari makanan fermentasi antara lain memberikan penampakan, dan cita rasa yang
khas, misalnya pada tempe, oncom, tauco, berbeda dari penampakan atau rasanya
dengan bahan aslinya kedelai. Lantas memunyai aroma ng lebih menyenangkan
dengan terbentuknya asam, alkohol, ester dan senyawa pembentuk aroma lainnya
pada produk bir, yoghurt, keju, kecap, anggur, acar, tape, tauco, brem.
Fermentasi juga menurunkan senyawa beracun seperti anti tirosin pada kedelai,
yang kadarnya menurun bila dijadikan tempe. Fermentasi turut mempertinggi nilai
gizi, karena mikroba bersifat memecah senyawa kompleks memjadi senyawa
sederhana. Misalnya Rhizopus oligosporus dapat meningkatkan vitamin B12 pada
tempe. Begitu pula dengan kandungan niacin dan riboflavin.
Tempe adalah makanan yang dibuat dari fermentasi terhadap biji kedelai atau
beberapa bahan lain yang menggunakan beberapa jenis kapang rhizopus, seperti
Rhizopus oligosporus, Rh. oryzae, Rh. stolonifer (kapang roti), atau Rh. arrhizus,
sehingga membentuk padatan kompak berwarna putih. Sediaan fermentasi ini
secara umum dikenal sebagai ragi tempe.
Warna putih pada tempe disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada
permukaan biji kedelai. Tekstur kompak juga disebabkan oleh mise1ia jamur yang
menghubungkan biji-biji kedelai tersebut. Banyak sekali jamur yang aktif selama
fermentasi, tetapi umumnya para peneliti menganggap bahwa Rhizopus sp
merupakanjamur yang paling dominan. Jamur yang tumbuh pada kedelai tersebut
menghasilkan enzim-enzim yang mampu merombak senyawa organik kompleks
menjadi senyawa yang lebih sederhana sehingga senyawa tersebut dengan cepat
dapat dipergunakan oleh tubuh.
Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986), Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH
3,4-6. Pada penelitian semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin
meningkat sampai pH 8,4, sehinggajamur semakin menurun karena pH tinggi
kurang sesuai untuk pertumbuhan jamur. Secara umum jamur juga membutuhkan

air untuk pertumbuhannya, tetapi kebutuhan air jamur lebih sedikit dibandingkan
dengan bakteri. Selain pH dan kadar air yang kurang sesuai untuk pertumbuhan
jamur, jumlah nutrien dalam bahan, juga dibutuhkan oleh jamur.
Rhizopus oligosporus menghasilkan enzim-enzim protease. Perombakan senyawa
kompleks protein menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana adalah penting dalam
fermentasi tempe, dan merupakan salah satu faktor utama penentu kualitas tempe,
yaitu sebagai sumber protein nabati yang memiliki nilai cerna amat tinggi.
Kandungan protein yang dinyatakan sebagai kadar total nitrogen memang tidak
berubah selama fermentasi. Perubahan terjadi atas kadar protein terlarut dan kadar
asam amino bebas.
Berdasarkan suatu penelitian, pada tahap fermentasi tempe ditemukan adanya
bakteri Micrococcus sp. Bakteri Micrococcus sp. adalah bakteri berbentuk kokus,
gram positif, berpasangan tetrad atau kelompok kecil, aerob dan tidak berspora,
bisa tumbuh baik pada medium nutrien agar pada suhu 30C dibawah kondisi
aerob. Bakteri ini menghasilkan senyawa isoflavon (sebagai antioksidan).
Adanya bakteri Micrococcus sp. pada proses fermentasi tempe tidak terlepas dari
tahapan pembuatan tempe, yang meliputi: penyortiran, pencucian biji kedelai
diruang preparasi, pengupasan kulit, perebusan kedelai, perendaman kedelai,
penirisan, peragian, pembungkusan, dan pemeraman. Selain itu faktor lingkungan
juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain, waktu, suhu, air, pH, suplai
makanan dan ketersediaan oksigen.
Pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi aktivitas enzim amilolitik,
lipolitik dan proteolitik, yang diproduksi oleh kapang Rhizopus sp. Pada proses
pembuatan tempe, sedikitnya terdapat empat genus rhizopus yang dapat
digunakan. Rhizopus oligosporus merupakan genus utama, kemudian Rhizopus
oryzae merupakan genus lainnya yang digunakan pada pembuatan tempe
Indonesia. Produsen tempe di Indonesia tidak menggunakan inokulum berupa
biakan murni kapang Rhizopus sp., namun menggunakan inokulum dalam bentuk
bubuk yang disebut inokulum biakan kapang pada daun waru yang disebut usar.
Pada penelitian ini dipelajari aktivitas enzim-enzim a-amilase, lipase dan protease
pada proses fermentasi kedelai menjadi tempe menggunakan biakan murni rhizopus
oligosporus. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa aktivitas enzim dipengaruhi
oleh jenis inokulum dan waktu fermentasi. Juga terdapat interaksi antara waktu
fermentasi dan jenis inokulum terhadap aktivitas enzim-enzim aminolitik, lipolitik,
proteolitik.
fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan tempe. Menurut
hasil penelitian pada tahap fermentasi terjadi penguraian karbohidrat, lemak,
protein dan senyawa-senyawa lain dalam kedelai menjadi molekul-molekul yang
lebih kecil sehingga mudah dimafaatkan tubuh. Untuk membeuat tempe dibutuhkan
inokulum atau laru tempe atau ragi tempe. Laru tempe dapat dijumpai dalam

berbagai bentuk misalnya bentuk tepung atau yang menempel pada daun waru dan
dikenal dengan nama Usar. Laru dalam bentuk tepung dibuat dengan cara
menumbuhkan spora kapang pada bahan, dikeringkan dan kemudian ditumbuk.
Bahan yang akan digunakan untuk sporulasi dapat bermacam-macam seperti
tepung terigu, beras, jagung, atau umbi-umbian.
v Mikroba yang digunakan dalam fermentasi tempe
Mikroba yang sering dijumpai pada larut tempe adalah kapang jenis Rhizopus
oligosporus, atau kapang dari jenis Rhizopus. oryzae. Sedangkan pada laru murni
campuran selain kapang Rhizopus oligosporus, dapat dijumpai pula kultur murni
bakteri Klebsiella.
Selain bakteri Klebsiella, ada beberapa jenis bakteri yang berperan pula dalam
proses fermentasi tempe diantaranya adalah: Bacillus sp., Lactobacillus sp.,
Pediococcus sp., Streptococcus sp., dan beberapa genus bakteri yang memproduksi
vitamin B12. Adanya bakteri Bacillus sp pada tempe merupakan kontaminan,
sehingga hal ini tidak diinginkan.
Pada tempe yang berbeda aslnya sering dijumpai adanya kapang yang berbeda
pula (Dwidjoseputro dan Wolf, 1970). Jenis kapang yang terdapat pada tempe
Malang adalah Rhizopus. oryzae., Rhizopus.oligosporus., Rhizopus.arrhizus dan
Mucor rouxii. Kapang tempe dari daerah Surakarta adalah R. oryzaei dan R.
stolonifer sedangkan pada tempe Jakarta dapat dijumpai adanya kapang Mucor
javanicus., Trichosporon pullulans., A. niger dan Fusarium sp.
Masing-masing varietas dari kapang Rhizopus berbeda reaksi biokimianya, hal ini
terutama disebabkan adanya perbedaan dari enzim yang dihasilkan. Pektinase
hanya disintesa oleh R. arrhizus dan R. stolonifer. Sedangkan enzim amilase
disintesa oleh R. oligosporus dan R. oryzae tetapi tidak disintesa oleh R. arrhizus.
v Karakteristik Rhizopus:
Rhizopus. oligosporus:
Aktivitas protease & lipase paling kuat
Aktivitas amilase paling lemah
Baik unt tempe dari serealia atau campuran kedelai -serealia
Rhizopus. oryzae
Aktivitas amilase paling kuat
Tidak baik untuk tempe serealia
Aktivitas protease di bawah R. oligospporus

Digunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur


Rhizopus. achlamydosporus
Aktivitas protease tertinggi no.3
Memiliki aktivitas amilase cukup baik
Bagus unt tempe tetapi belum umum
Rhizopus. cohnii
Bagus untuk tempe koro benguk/kedelai.
2.3 Tahap - Tahap pembuatan tempe
Tempe merupakan salah satu makanan hasil fermentasi yang dilakukan oleh spesies
jamur tertentu. Selama proses fermentasi ini terjadi perubahan fisik dan kimiawi
pada kedelai sehingga menjadi tempe. Banyak faktor yang mempengaruhi
keberhasilan proses pembuatan tempe, salah satunya adalah aerasi (Hastuti 2008).
Proses pembuatan tempe melibatkan tiga faktor pendukung, yaitu bahan yang
dipakai (kedelai), mikroorganisme (kapang ), dan keadaan lingkungan tumbuh
(suhu, pH, dan kelembaban). Dalam proses fermentasi tempe kedelai, substrat yang
digunakan adalah keping-keping biji kedelai yang telah direbus. mikroorganismenya
berupa kapang antara lain Rhizopus olygosporus, Rhizopus oryzae, Rhizopus
stolonifer (dapat terdiri atas kombinasi dua spesies atau ketiganya) dan lingkungan
pendukung yang terdiri dari suhu 30C, pH awal 6,8% kelembaban nisbi 70-80%
(Sarwono, 2001 dalam Wijayanti, 2002).

Cara pembuatan tempe


Pembuatan tempe dilakukan dengan dua cara yaitu secara modern dan tradisional.
Adapun tahap-tahap pembuatan tempe menurut Wijayanti (2002) adalah sebagai
berikut.
1. Penyortiran, bertujuan untuk memperoleh produk tempe yang berkualitas, yaitu
memilih biji kedelai yang bagus dan padat berisi. Biasanya di dalam biji kedelai
tercampur kotoran seperti pasir atau biji yang keriput dan keropos. Cara
membersihkannya adalah biji-biji kedelai diletakkan pada tampah kemudian
ditampi, maka akan diperoleh biji kedelai yang berkualitas.
2. Pencucian, bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat
maupun tercampur di antara biji kedelai. Kedelai dimasukkan wadah kemudian
dicuci dengan air. Pada saat pencucian dilakukan pembuangan biji yang
mengambang di air.

3. Perebusan 1, bertujuan untuk melunakkan biji kedelai dan memudahkan dalam


pengupasan kulit serta bertujuan untuk menonaktifkan tripsin inhibitor yang ada
dalam biji kedelai. Selain itu pencucian 1 ini bertujuan untuk mengurangi bau langu
dari kedelai. Perebusan dilakukan selama 30 menit atau ditandai dengan mudah
terkelupasnya kulit kedelai jika ditekan dengan jari tangan.
4. Pengupasan kulit, bertujuan untuk membuang kulit kedelai, sebab bila kulit
kedelai tidak dibuang maka kapang tempe tidak dapat tumbuh pada biji kedelai.
Pada pengupasan kulit diusahakan agar keping lembaga kedelai (kotiledon)
terpisah, karena penetrasi miselium kapang lebih banyak terjadi pada permukaan
datar daripada permukaan yang lengkung. Pengupasan kulit dapat dilakukan
dengan menggunakan mesin maupun tangan. Kedelai dapat dikupas kulitnya
dengan cara diremas-remas, dikuliti dan terjadilah keping-keping kedelai. Kemudian
biji kedelai tersebut dicuci sehingga kulit kedelai yang sudah terkelupas dapat
dipisahkan atau dibuang.
5. Perendaman, bertujuan untuk melunakkan biji dan mencegah pertumbuhan
bakteri pembusuk selama fermentasi. Ketika perendaman, pada kulit biji kedelai
telah berlangsung proses fermentasi oleh bakteri yang terdapat di air terutama oleh
bakteri asam laktat. Perendaman juga betujuan untuk memberikan kesempatan
kepada keping-keping kedelai menyerap air sehingga menjamin pertumbuhan
kapang menjadi optimum. Selama perendaman, pH turun dari 6,5 sampai 4,5-5,3
(Steinkraus, 1983 dalam Wijayanti, 2002). Keadaan ini tidak mempengaruhi
pertumbuhan kapang tetapi mencegah berkembangnya bakteri yang tidak
diinginkan. Perendaman ini dapat menggunakan air biasa atau air yang ditambah
asam asetat sehingga pH larutan mencapai 4-5. perendaman dilakukan selama 1216 jam pada sushu kamar (25-30C).
6. Perebusan 2, bertujuan untuk lebih melunakkan biji kedelai sehingga
memudahkan kapang menembus keping-keping biji kedelai. Selain itu, dengan
perebusan akan membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh selama
perendaman, menonaktifkan tripsin inhibitor dan beberapa zat gizi yang diperlukan
untuk pertumbuhan kapang.
7. Penirisan dan pendinginan. Biji kedelai harus didinginkan sampai suhu 30C
sebelum peragian. Biji kedelai harus benar-benar kering angin pada saat inokulasi
sehingga pada permukaan tidak terjadi gangguan karena adanya uap air yang
dapat mendorong pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan.
8. Penginokulasian/peragian. Pada tahap ini terjadi fermentasi oleh Rhizopus sp.
yang diperoleh dari laru daun, laru tempe maupun tepung ragi. Laru tempe paling
sedikit mengandung tiga spesies kapang dari genus Rhizopus, yaitu R. olygosporus,
R. oryzae, dan R. stolonifer atau R. chlamydosporus.

Pada proses pembuatan tempe R. olygosporus mensintesis enzim pemecah protein


(protease) lebih banyak sedangkan R. oryzae lebih banyak mensintesis enzim
pemecah pati (-amilase).
Kapang memerlukan oksigen yang cukup untuk memacu pertumbuhannya, apabila
kadar oksigen kurang pertumbuhan kapang pada substrat lambat. Uap air yang
berlebihan akan menghambat difusi oksigen ke dalam kedelai sehingga dapat
menghambat pertumbuhan kapang. Untuk itu pada saat pembungkusan sebaiknya
aliran udara diatur agar tidak terlalu kedap, yaitu dengan memberi lubang apabila
dibungkus dengan plastik.
Selain oksigen kapang juga memerlukan suhu dan kelembaban yang sesuai untuk
pertumbuhannya. Kedelai calon tempe harus mengandung cukup air. Apabila terlalu
kering dan kelembaban kurang maka substrat kedelai sukar ditembus dan
dilapukkan oleh miselium kapang. Sebaliknya apabila terlalu basah, maka akan
menghambat penyebaran oksigen sehingga pertumbuhan miselium kapang
terhambat.
9. Pembungkusan, dapat menggunakan daun pisang atau plastik polietilen.
Penggunaan plastik polietilen berupa lembaran atau kantung sebagai pembungkus
pada saat kedelai diperam dapat dilakukan dengan memberikan lubang-lubang kecil
yang berjarak 0,25- 1,3 cm. Pemberian lubang pada plastik bertujuan agar oksigen
dapat masuk dengan lancar.
10. Pemeraman. Selama pembuatan tempe terjadi kenaikan suhu sampai 40C
karena adanya pertumbuhan kapang, dan hifa kapang yang akan melakukan
penetrasi ke dalam keping biji kedelai. Menurut Steinkraus (1983) dalam Wijayanti
(2002) kondisi pemeraman dalam pembuatan tempe tidak mutlak, asalkan seluruh
kebutuhan yang pokok untuk pertumbuhan kapang terpenuhi. Kondisi uap air,
oksigen, dan panas harus cukup dan tidak boleh berlebihan. Begitu juga zat gizi
yang tersedia untuk
menjamin pertumbuhan kapang. Apabila kondisi pemeraman sesuai maka miselium
kapang akan tumbuh dan mengeluarkan enzim protease, lipase, dan amilase ke
lingkungan sekitarnya. Enzim-enzim tersebut akan menguaraikan protein, lemak,
dan karbohidrat yang terdapat pada kepingan biji kedelai menjadi senyawa yang
lebih sederhana seperti asam amino, asam lemak, dan glukosa.
Menurut Sarwono (2001) dalam Wijayanti (2002) selama proses fermentasi kedelai
menjadi tempe akan terjadi peningkatan kandungan fosfor karena hasil kerja enzim
fitase yang dihasilkan oleh kapang R. olygosporus. Selain itu kapang tersebut juga
dapat menghidrolisis asam fitat menjadi inositol dan fosfat yang bebas. Spesiesspesies kapang yang terlibat dalam fermentasi tempe tidak memproduksi racun,
bahkan kapang itu mampu melindungi tempe terhadap kapang penghasil aflatoksin.
Selain itu tempe juga mengandung senyawa anti bakteri yang diproduksi kapang
selama fermentasi berlangsung. Konsumen tidak perlu khawatir terhadap aflatoksin,

yang dihasilkan oleh kapang kontaminan, karena kapang-kapang yang dipakai


untuk membuat tempe dapat menurunkan kadar aflatoksin hingga 70%. Selain
adanya daya hambat kapang pada tempe terhadap aflatoksin, kedelai juga
mengandung seng yang menghambat sintesis aflatoksi.

Anda mungkin juga menyukai