Anda di halaman 1dari 15

Nama : M Hafiz Ridho

NIM : 03031281722072
Shift/Kelompok : Jumat Siang (13.00-16.00)/IV

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Identifikasi mikroorganisme dilakukan melalui penelitian dengan cara
menumbuhkan mikroorganisme tersebut. Mikroorganisme dapat tumbuh secara
alami ataupun secara buatan. Substrat yang sering digunakan manusia dalam
mengembangbiakan dan menumbuhkan mikroorganisme dikenal dengan media.
Diperlukan pemahaman mengenai jenis–jenis nutrien yang dibutuhkan oleh
bakteri dan lingkungan fisik yang menyediakan kondisi optimum bagi
pertumbuhannya. Alat-alat yang digunakan dalam perkembangbiakan ini harus
disterilkan dulu. Proses ini untuk menekan laju pertumbuhan mikroorganisme lain
yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang diisolasi.
Hal yang perlu diperhatikan dalam teknik pembiakan murni tidak hanya
mengenai bagaimana memperoleh biakan yang murni, tetapi juga bagaimana
memelihara serta mencegah pencemaran dari luar. Inokulasi dimaksudkan untuk
menumbuhkan, meremajakan, dan mendapatkan populasi mikroba yang murni
dengan cara memindahkan bakteri dari medium yang lama dengan ketelitian yang
sangat tinggi. Pemindahan biakan mikroba yang dibiakkan harus sangat hati-hati
dan mematuhi prosedur laboratorium agar tidak terjadi kontaminasi.
Kontaminasi biasanya dapat berasal dari udara yang mengandung
banyak mikroorganisme. Teknik inokulasi bergantung pada jenis dan klasifikasi
mikroorganisme tersebut. Pemindahan mikroorganisme dilakukan dengan teknik
aseptik untuk mempertahankan kemurnian dari biakan bakteri selama pemindahan
berulangkali. Berdasarkan uraian tersebut, perlu diketahui meknisme yang baik
dalam melakukan inokulasi pada suatu mikroba tanpa terjadi pencemaran
Ketelitian dan tingkat sterilisasi rendah dapat berpengaruh pada hasil akhir dari
inokulasi mikroorganisme. Percobaan kali ini akan mempraktekkan teknik-teknik
inokulasi biakan mikroorganisme pada medium yang steril untuk mempelajari
mikrobiologi dengan Mahasiswa diharapkan dapat mengetahui teknik-teknik di
dalam pembiakan mikroorganisme yang disebut dengan teknik inokulasi biakan.

1
2

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana metode yang digunakan untuk mengisolasi biakan?
2. Apa saja jenis bakteri yang berperan dalam proses inokulasi?
3. Bagaimana peran mikroorganisme dalam proses inokulasi?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui metode yang digunakan untuk mengisolasi biakan.
2. Mengetahui jenis bakteri yang berperan dalam proses inokulasi.
3. Mengetahui peran mikroorganisme dalam proses inokulasi.
1.4. Manfaat
1. Dapat mengetahui metode-metode yang digunakan untuk mengisolasi
biakan.
2. Dapat mengetahui jenis bakteri yang berperan dalam proses inokulasi.
3. Dapat mengetahui peran mikroorganisme dalam proses inokulasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jenis-Jenis Inokulum


Inokulum telah banyak dikenal dan digunakan di dalam berbagai bidang.
Inokulum itu sendiri merupakan kultur mikroorganisme yang diinokulasikan kedalam
medium pada saat kultur mikroba ketika fase pertumbuhan. Inokulum mengandug
bahan pengikat mikroba dan mengandung mikroba yang melakukan fermentasi,
salah satunya adalah terdapat pada ragi yang merupakan stater atau inokulum
tradisional. Ragi adalah organisme fakultatif yang mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan energi dari senyawa organik dalam kondisi aerob maupun anaerob
sehingga ragi tumbuh dalam kondisi ekologi yang berbeda. Ragi mengandung
mikoflora seperti kapang, khamir dan bakteri dapat berfungsi sebagai starter
fermentasi. Jenis mikroorganisme yang terdapat biasanya di dalam ragi antara lain
Chlamydomucor oryzae, Rhizopus oryzae, Mucor sp., Candida sp., Saccharomyces
cerevicae, Saccharomyces verdomanii. Proses fermentasi yang tradisional biasanya
dibantu dengan penambahan inokulum dalam pembuatannya (Suriawira, 2005)
2.2.1. Inokulum pada Tempe
Inokulum tempe disebut juga sebagai starter tempe, dan banyak pula
yang menyebutkan dengan nama ragi tempe. Starter tempe adalah bahan yang
mengandung biakan jamur tempe, digunakan sebagai agensia pengubah kedelai
rebus menjadi tempe akibat tumbuhnya jamur tempe pada kedelai dan melakukan
kegiatan fermentasi yang menyebabkan kedelai berubah sifat atau karakteristiknya
menjadi tempe (Kasmidjo, 1990). Fermentasi tempe dibutuhkan inokulum tempe.
Inokulum tempe berfungsi supaya kedelai yang difermentasi akan menjadi busuk.
Inokulum tempe merupakan kumpulan spora kapang dan jamur yang digunakan
untuk bahan pada pembibitan dalam pembuatan tempe (Sukardi dkk, 2008).
Inokulum yang umumnya digunakan pada fermentasi tempe adalah usar
yang biasanya menempel di daun daun waru dan inokulum bubuk. Usar banyak
mengandung bakteri kontaminan karena pada proses pembuatannya yang kurang
memperhatikan kondisi yang aseptis dan jenis kapang pada usar juga bervariasi

3
4

seperti Rhizopus sp dan mikroorganisme lain. Inokulum bubuk dibuat dengan


menggunakan berbagai macam substrat seperti beras, kedelai yang dimasak dan
diinokulasi dengan spora kapang dari biakan murni atau dari tempe yang telah
dikeringkan. Inokulum tempe bubuk dibuat menggunakan Rhizopus oligosporus
yang disiapkan secara aseptis sebagai kapang utamanya (Suriawira, 2005).
Inokulum tempe dapat diperoleh dengan berbagai cara diantarnya bisa
berasal dari tempe yang terdapat di dalam batch yang telah mengalami sporulasi,
tempe segar yang dikeringkan dibawah sinar matahari atau yang mengalami
liofilisasi dan dari ragi tempe yang terbuat dari pulungan beras bentuk bundar
pipih atau bulatan-bulatan kecil yang mengandung miselia dan spora jamur tempe.
Inokulasi tempe juga dapat disiapkan dengan cara menempatkan potongan daun
dalam bungkusan tempe yang sedang mengalami fermentasi (Kasmidjo, 1990).
Inokulum kapang tempe dapat menghasilkan enzin fitase ang akan menguraikan
asam fitat menjadi fosfor dan inositol. Terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu
menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh (Anastasia dan Athiya, 2014).
2.2.2. Inokulum pada Tape
Inokulum tape atau sering disebut ragi tape biasanya digunakan dalam
pembuatan tape yang selanjutnya untuk difermentasi. Ragi tape merupakan kultur
starter kering dibuat dari campuran tepung beras, rempah-rempah dan air atau jus
tebu dan ekstraknya. Ragi tape mengandung bakteri asam laktat antara lain
Pediococcus pentosaceus, Enterococcus faecium, L. curvatus, Weissella confusa,
dan Weissella paramesenteroides yang mampu membentuk asam laktat dari
laktosa, selain itu juga terdapat kapang Amylomyces rouxii, Mucor sp, Rhizopus
sp. dan khamir Saccharomycopsis fibuligera, Saccharomycopsis malanga, Pichia
burtonii, Saccharomyces cerevisiae, dan Candida utilis;. Asam laktat pada ragi
tape mampu bersaing dengan bakteri lain dalam proses fermentasi alami karena
memiliki ketahanan terhadap pH yang tinggi sampai rendah (Sinurat dkk, 2018).
Inokulum tape adalah sumber utama dari mikroorganisme aktif dalam
adonan fermentasi dan bertanggung jawab untuk kualitas organoleptik produk
tape singkong. Mikroorganisme yang biasanya digunakan adalah Saccharomyces
cerevisiae yang berfungsi untuk mengubah karbohidrat yang berbentuk pati
5

menjadi gula dan alkohol. Proses tersebut juga menyebabkan tekstur tape menjadi
lunak dan empuk. Mikroorganisme Saccharomyces cerevisiae merupakan spesies
yang bersifat fermentatif kuat namun dengan adanya oksigen, Saccharomyces
cerevisiae juga dapat melakukan respirasi dengan mengoksidasi gula di dalam
singkong tersebut menjadi karbondioksida dan air. Alkohol oleh enzim alkoholase
pada fermentasi tape lebih lanjut dapat diubah menjadi asam asetat, asam piruvat
dan asam laktat. Terbentuknya asam asetat, asam piruvat dan asam laktat karena
adanya bakteri Acetobacter yang sering terdapat dalam ragi (Dirayati dkk, 2017).
Jenis ragi tape yang digunakan dapat mempengaruhi kadar etanol yang
dihasilkan, tinggi rendahnya alkohol yang dihasilkan setelah proses fermentasi
berhubungan dengan jumlah khamir yang ada. Dosis ragi yang diberikan juga
dapat mempengaruhi hasil fermentasi tape. Dosis ragi yang berbeda menunjukkan
kadar etanol yang berbeda pula. Dosis ragi yang semakin tinggi akan membuat
semakin tinggi pula kadar etanol yang dihasilkan. Pemberian dosis ragi yang
semakin banyak berarti memiliki khamir yang semakin banyak pula. Khamir
inilah yang berperan aktif fermentasi glukosa menjadi etanol (Sinurat dkk, 2018).
2.2.3. Inokulum pada Oncom Merah
Inokulum oncom merah memegang peranan penting dalam proses
fermentasi oncom dan fermentasi lainnya yang memerlukan aktivitas kapang
oncom merah. Inokulum oncom merah dapat dibuat dalam bentuk suspensi
maupaun dalam bentuk bubuk. Inokulum yang baik digunakan untuk keperluan
fermentasi padat adalah inokulum bentuk bubuk. Inokulum dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai substrat antara lain beras. Kedelai yang dimasak dan
diinokulasi dengan spora kapang dari biakan murni atai dari oncom yang telah
dikeringkan. Oncom merah dihasilkan oleh kapang Neurospora sitophila yang
mempunyai strain jingga, merah, merah muda, dan warna peach dan biasanya
menggunakan bahan baku ampas tahu. Warna yang terbentuk pada oncom adalah
warna yang berasal dari spora kapang oncom (Mappiratu dan Bakhri, 2013).
Kapang Neurospora sitophila dapat mengeluarkan enzim yang dapat
menghidrolisa senyawa-senyawa sakarida sehingga semakin banyak kapang yang
tumbuh maka kadar karbohidrat dalam substrat akan semakin berkurang. Kapang
6

oncom merah Neurospora sitophila dapat mengurangi kandungan aflatoksin selama


proses fermentasi sebesar 50%. Aflatoksin adalah zat racun yang dihasilkan dari
kapang saat proses fermentasi akibat penggunaan bahan baku kacang-kacangan
dan biji-bijian yang sudah jelek dari mutunya (Matsuo dan Takeuchi, 2003).
Kapang oncom dapat mengeluarkan enzim lipase dan protease yang aktif
selama proses fermentasi dan berperan penting dalam penguraian pati menjadi
gula, penguraian bahan-bahan dinding sel kacang, penguraian lemak, serta
pembentukan sedikit alkohol dan berbagai ester yang berbau sedap dan harum.
Proses fermentasi oncom dapat mencegah terjadinya perut kembung karena kapang
dalam proses fermentasi akan menghasilkan enzim alpha-galaktosidase yang dapat
menyebabkan penguraian rafinosa dan stakhiosa kedelai sampai pada level yang
rendah sehingga mencegah terbentuknya gas (Anastasia dan Athiya, 2014).
2.2.7. Inokulum pada Yogurt
Inokulum atau starter yogurt adalah sekumpulan mikroorganisme yang
digunakan dalam produksi biakan atau budidaya dalam pengolahan susu seperti
yogurt atau keju. Kualitas hasil akhir yoghurt sangat dipengaruhi oleh komposisi
dan preparasi kultur starter. Yogurt merupakan produk olahan susu dari hasil
fermentasi kedua dari bakteri asam laktat sebagai starter, yakni Streptococcus
thermophilus dan Lactobacillus bulgaricus. (Rasbawati dkk, 2019).
Starter yogurt dapat diperoleh dari konsentrat kultur beku. Konsentrat
kultur beku tersebut biasanya dapat disimpan pada tempat pembekuan dengan
suhu –40oC sebagai persediaan untuk pembuatan starter yogurt. Starter yogurt
merupakan bagian penting untuk memproduksi yogurt yang mempunyai kualitas
tinggi, sehingga perlu disediakan tempat untuk preparasi kultur tersebut yang
menjamin tidak terjadinya kontaminasi. Media substrat yang digunakan harus
terbebas dari antibiotik dan memiliki kandungan 10-12% non fat dry milk yang
dilakukan dalam kondisi cair. Periode untuk inkubasi dalam pembuatan starter
yogurt selama 4-6 jam dengan suhu 43oC dan fermentasi diakhiri ketika kadar
asam laktat tercapai 0,85-0,90%. Rasio perbandingan yang digunakan antara
kultur pada bakteri jenis Streptococcus thermophilus dan bakteri Lactobacillus
bulgaricus adalah 1:1 dari masing-masing keduanya (Susilorini dan Sawitri, 2007)
7

Pembuatan bibit untuk yoghurt dilakukan secara bertahap, diawali


dengan stater Lactobacillus bulgaricus maupun Streptococcus thermophilus
masing-masing dibiakan dalam susu secara terpisah. Biakan tersebut kemudian
dicampur bila telah siap digunakan. Terpisahnya kedua inokulum tersebut
dimaksudkan bila inokulum dicampur langsung, salah satu bibit sering dominan
dan menekan pertumbuhan bibit lainnya. Yoghurt yang terbentuk gas didalamnya
biasanya disebabkan karena kontaminasi oleh Bacillus Coliform atau khamir yang
memproduksi gas hidrogen dan gas karbon dioksida (Rasbawati dkk, 2019).
2.1. Pengelompokan dan Karakteristik Bakteri
Bakteri pada umumnya bisa dibagi menjadi archaebacteria dan
eubacteria tetapi pada klasifikasi enam kingdom bakteri termasuk ke dalam
kingdom eubacteria. Archaebacteria dan eubacteria mempunyai kesamaan yaitu
merupakan organisme prokariot, yang artinya keduanya merupakan organisme
uniseluler. Organisme prokariot tidak mempunyai membran inti, yaitu lapisan
yang membatasi bagian sitoplasma dengan inti sel (Nurhayati dkk, 2014).
2.1.1. Archaebakteria
Archaebakteria atau secara etimologis berarti bakteri kuno merupakan
kelompok bakteri yang dinding selnya tidak mengandung senyawa peptidoglikan.
Peptidoglikan adalah komponen utama dinding sel bakteri yang bersifat kaku dan
bertanggung jawab untuk menjaga integritas sel serta menentukan bentuk sel
dalam bakteri. Bentuk ganti peptidoglikan, membran plasma archaebacteria
mengandung lipid sebagai penopang bentuk selnya (Reid dan Buckley, 2011).
Dinding sel pada archaebacteria menunjukkan perbedaan secara struktural jika
dibandingkan dinding sel eubacteria, meski bakteri gram positif dan negatif.
Ribosom archaebakteria juga menghasilkan jumlah komposisi protein
berbeda dibandingkan eubacteria sehingga akan membedakan fungsi dan media
pertumbuhan bakteri. Archaebakteria dapat ditemukan di hampir semua tempat,
arcahebakteria juga bisa hidup dilokasi ekstrim seperti lingkungan dengan panas
ekstrim dan lingkungan yang mempunyai kandungan garam yang tinggi. Sifat
archaebakteria yang bisa hidup di lingkungan ekstrim membuat jenis bakteri ini
dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu bakteri metanogen bakteri halofil,
8

dan bakteri termosidofil. Bakteri metanogen bersifat anaerob dan heterotrof.


Bakteri metanogen umum ditemukan di rawa, saluran pencernaan serangga, sapi,
manusia, dan lingkungan hidup dengan kadar oksigen yang minim (Hugo, 1972).
Bakteri metanogen mendapatkan namanya dari sifat bakteri yang dapat
menghasilkan metana sebagai hasil aktivitas bakteri. Bakteri metanogen dapat
merubah senyawa organik seperti metanol, asam formiat, asam asetat, dan metal
alami menjadi metana dengan cara mengkonsumsi substrat yang mengandung
senyawa tersebut. Contoh bakteri metanogen yang umum ditemukandalam proses
biologis adalah Lachnospira multipaurus, yaitu bakteri yang berfungsi untuk
menyederhanakan senyawa pektin menjadi metana. Bakteri metanogen dalam
tubuh makhluk hidup umumnya akan mengubah sisa karbohidrat menjadi metana.
Jenis metanogen yang hidup di laut akan mendapatkan makanan dari
bahan organisme yang tenggelam ke dasar laut. Temperatur optimum
pertumbuhan bakteri metanogen adalah pada rentang 98 oC dan bakteri akan mati
di bawah suhu 84 oC (Wassenaar, 2011). Archaebakteria halofil adalah bakteri
yang hidup di lingkungan dengan kadar garam tinggi. Archaebakteria halofil
banyak ditemukan di tempat seperi laut mati, danau Great Salt, dan tempat
berkadar garam tinggi lain, termasuk di dalam makanan. Lingkungan hidup
optimal untuk archaebakteri halofil adalah lingkungan dengan kadar garam 20 –
30 %, walaupun bakteri ini juga dapat hidup di lingkungan dengan kadar garam
lebih dari 80%. Perkembangbiakan bakteri halofil akan menurun jika media
pertumbuhannya memiliki kadar garam terlalu tinggi ataupun terlalu rendah.
Kadar garam yang terlalu rendah bahkan dapat menyebabkan kematian bakteri.
Hal ini dikarenakan sel archaebkateria halofil akan mengalami lisis dan rusak.
Sebagian besar archaebakteria halofil bersifat aerob heterotrof, walaupun
ada archaebakteria halofil yang bersifat anaerob dan mampu memanfaatkan
pigmen bakteriorhodopsin untuk melakukan fotosintesis (Reid dan Buckley,
2011). Proses rekayasa dan pembuatan produk yang menggunakan archaebakteria
halofil harus membuat medium dengan salinitas optimum agar mendapatkan hasil
yang maksimal. Bakteri halofil merupakan jenis dari bakteri archaebakteria yang
memiliki fungsi dan kegunaan yang beragam dalam kehidupan sehari-hari.
9

Archaebakteria halofil merupakan bakteri yang dimanfaatkan untuk


mendegradasi senyawa polimer dan toksin yang tersebar ke laut. Halofil juga
umum digunakan sebagai bakteri untuk mengatasi tumpahan minyak di laut atau
minyak yang ter-bawa ke lepas pantai. Kegunaan archaebakteria halofil yang
beragam adalah satu alasan kenapa halofil banyak dikembangkan dan dipelajari
(Das dan Dash, 2019). Archaebakteria termosidofil umumnya hidup di tempat
dengan temperatur tinggi dan tingkat keasaman tinggi. Archaebakteria
termosidofil bahkan pernah di-temukan di danau vulkanik berisi asam sulfat yang
memiliki pH 0 dan memiliki temperature yanglehbih dari 200 oC.
Kondisi optimal untuk bakteri termosiodofil adalah pada suhu 60-110 oC
dan pH 2–4. Archaebakteria termosidofil bersifat anaerob heterotrof yang
memanfaatkan senyawa gula dan peptin sebagai sumber makanan guna
menghasilkan atau mensekresikan senyawa asam lemak rantai pendek. Hasil dari
sekresi archaebakteria termosidofil akan senagat beragam tergantung lingkungan
dan sumber makanan bakteri. Archaebakteria Sulfolbus adalah contoh bakteri
yang hidup di lingkungan dengan kadar belerang tinggi, sehingga makanan utama
jenis ini adalah sulfur dan hasil sekresinya adalah hidrogen sulfida (Spring, 2006).
2.1.2. Eubakteria
Eubakteria adalah kelompok protista yang masyarakat awam sebut
dengan bakteri atau kuman. Eubakteria memiliki habitat yang lebih beragam
dibandingkan archaebakteria karena eubakteria dapat ditemukan di udara terbuka,
tanah, air, di dalam tubuh hewan, dan bahkan di tanaman. Eubakteria mempunyai
keragaman sistem metabolisme yang tinggi sehingga dapat bertahan hidup di
lingkungan yang tidak dapat menunjang bentuk kehidupan organisme lainnya.
Eubakteria tidak dapat hidup di lingkungan ekstrim, tetapi eubakteria
memiliki ketahanan yang jauh lebih baik sehingga dapat hidup di lingkungan yang
beragam (Hugo, 1972). Eubakteria juga lebih sulit mati dibandingkan
archaebakteria, khususnya archaebakteria halofil. Bukti ketahanan eubakteria
adalah penemuan eubakteria di bongkahan es dari gletser sedalam 0.5 km di benua
antartika. Eubakteria dapat ber-ada dalam fase inaktif selama puluhan ribu tahun
sehingga eubakteria mempunyai kemampuan untuk bertahan hidup lebih lama.
10

Kemampuan bertahan hidup bakteri tidak lepas dari kemampuan bakteri yang
mampu merubah bentuk asli tubuhnya menjadi bentuk lain untuk bertahan hidup.
Contoh peristiwa perubahan bentuk pada bakteri adalah perubahan bentuk yang
terjadi pada Pseudomonas extremaustralis. Pseudomonas extremaustralis
memiliki kemampuan untuk merubah bentuk coccus selnya menjadi bentuk
biofilm sehingga bakteri ini dapat hidup di bawah temperatur 00C. Ciri–ciri umum
eubakteria lainnya adalah sebagai berikut (Wassenaar, 2011):
1. Ukuran tubuh 1 – 5 μm
2. Dinding sel mengandung peptidoglikan
3. Memiliki organel sel
4. Membran plasma mengandung lipid dan ester
5. Sel mampu mensekresikan lendir
6. Memiliki kapsul pelindung
7. Reproduksi dengan membelah diri dan para-seksual
Eubakteri bereproduksi dengan cara membelah diri, yaitu dengan cara
pembelahan biner. Kecepatan pembelahan sel akan sangat tergantung pada
kondisi lingkungan atau media tumbuh bakteri, seperti temperatur, kelembapan,
substrat yang diberikan, dan konsentrasi garam dalam media. Waktu generasi
eubakteria umumnya berlangsung di bawah 20 menit sehingga satu bakteri dapat
berkembang menjadi jutaan asal berada dalam kondisi optimum pembelahan diri.
Pemilihan medium dan substrat sangat penting dalam pembiakan bakteri.
Bakteri dapat membentuk spora sebagai alat reproduksi jika bakteri berada pada
kondisi lingkungan yang ekstrim. Spora bakteri umumnya terbentuk dari hasil
penggumpalan cairan sitoplasma sel bakteri. Spora yang dibentuk bakteri akan
memiliki ketahanan yang jauh lebih baik, sehingga bakteri dapat berkembang jauh
lebih cepat dibandingkan saat membelah diri. Tidak semua eubakteria dapat
berkembang biak dengan menggunakan spora (Reid dan Buckley, 2011).
Eubakteria juga memiliki kemampuan untuk berkembak biak dengan
cara paraseksual, yaitu pertukaran materi genetik antara satu sel dengan sel
pasangan. Reproduksi paraseksual eubakteria bisa dilakukan dengan transformasi,
11

konjugasi, dan transduksi. Transformasi dilakukan dengan pemindahan potongan


DNA atau materi genetik dari luar sel bakteri penerima genetik tersebut.
Pemindahan materi genetik juga dapat berlangsung melalui perantaraan
plasmid, yaitu ketika plasmid eubakteria masuk ke dalam eubakteria lain sehingga
terjadi rekombinasi sel. Syarat bakteri yang mampu melakukan transformasi
adalah kapsul bakteri yang tidak terlalu tebal. Kapsul yang terlalu tebal akan
menghambat perpindahan sel bakteri donor pada sel bakteri penerima (Wassenaar,
2011). Reproduksi secara konjugasi mirip dengan reproduksi secara transformasi,
tetapi reproduksi secara konjugasi terjadi melalui kontak langsung antara bakteri
pemberi donor dan penerima donor. Materi genetik sel pemberi berpindah ke sel
penrima setelah sel donor memasukkan materi genetik secara langsung.
Konjugasi umumnya terjadi pada bakteri dengan kapsul yang tebal
(Spring, 2006). Transduksi mempunyai perbedaan yang mendasar dibandingkan
transformasi dan konjugasi. Transduksi terjadi dengan memanfaatkan perantara
virus. Proses reproduksi memanfaatkan peristiwa sintesis partikel virus yang
membawa materi genetik sel inang. Materi genetik akan dibawa ke bakteri lain
ketika virus pembawa materi genetik menginfeksi bakteri lain. Proses infeksi
bakteri oleh virus akan menyebabkan rekombinasi antara materi genetik sel inang
lama dan sel inang baru. Proses reproduksi transduksi umumnya terjadi pada
bakteri patogen karena lingkungan hidup bakteri patogen dapat mendukung
dilangsungkannya peristiwa reproduksi transduksi (Nurhayati dkk, 2014).
2.1.3. Pengelompokan Eubakteria
Bakteri yang memiliki ciri umum eubakteria dikelompokan menjadi
beberapa kelompok berdasarkan cara mendapat makanan, kebutuhan oksigen,
bentuk, dan flagel yang dimiliki oleh bakteri. Bakteri dikelompokkan menjadi dua
kelompok berdasarkan cara mendapatkan makanan, yaitu heterotrof dan autotrof.
Bakteri heterotrof merupakan bakteri yang tidak mampu membuat makanannya
sendiri sehingga bakteri akan mengambil makanan dari organisme lain. Bakteri
heterotrof dapat dibedakan menjadi dua yaitu bakteri saprofit dan bakteri parasit.
Bakteri saprofit adalah bakteri yang sumber makanannya berasal dari
sisa atau bangkai makhluk hidup. Bakteri saprofit merupakan bakteri heterotrof
12

yang paling umum ditemukan pada lingkungan hidup manusia. Keberadaan


saprofit bisa banyak ditemukan di tanah, pipa air, dan tempat sampah. Bakteri
saprofit juga menjadi dasar dari pengelompokan eubakteria sebagai bakteri
dengan ketahanan yang baik. Bakteri saprofit mendapat sifat ketahanannya dari
struktur tudung sel dengan ukuran yang sangat besar dan tebal, contohnya adalah
E. coli. Eksperimen mengenai bakteri saprofit umumnya lebih mudah untuk
dilakukan karena bakteri saprofit lebih tahan terhadap perubahan lingkungan.
Cara preparasi sampel lebih sulit karena sampel harus dipisahkan dari
banyak pengotor (Graham, 1998). Bakteri parasit dapat dikelompokkan menjadi
tiga tipe bakteri yaitu tipe parasit obligat, parasit fakultatif, dan patogen. Parasit
obligat adalah bakteri unik yang hanyak mutlak hidup sebagai parasit sehingga
dalam hidupnya bakteri obligat tidak dapat dipisahkan dari organisme inang.
Alasan kenapa bakteri obligat rapuh adalah karena sistem metabolisme
parasit obligat sangat sensitif terhadap keberada-an oksigen karena sel obligat
mudah teroksidasi. Sel parasit obligat juga memiliki kekurangan enzim penting
untuk menunjang kehidupan bakteri. Sifat dari bakteri obligat membawa kesulitan
dalam proses pemindahan bakteri. Spesimen yang akan dipelajari hanya bisa
diambil dari kumpulan spesimen mikroorganisme yang tidak terkontaminasi oleh
spora tanaman ataupun jamur (Enna dan Bylund, 2008). Bakteri parasit fakultatif
adalah bakteri yang tidak harus mempunyai inang untuk bertahan hidup.
Bakteri parasit fakultatif dapat hidup seperti bakteri saprofit yang
mendapatkan makanan dari sisa makhluk hidup ataupun dengan menempel pada
inang seperti parasit obligat. Sifat parasit fakultatif membuat bakteri ini lebih
mudah dipindahkan dibandingkan parasit obligat (Schmidt, 2019). Bakteri
patogen adalah bakteri parasit yang bukan hanya akan merusak tubuh inangnya
tetapi juga dapat berperat sebagai penyebar virus. Bakteri patogen juga memiliki
ketahanan yang kuat sehingga bakteri patogen tidak terlalu gampang mati.
Penanganan bakteri patogen bukan hanya sulit tetapi harus dilakukan dengan hati-
hati. Bakteri patogen umumnya dipindahkan menggunakan metode tusukan dan
media tempat hidup bakteri harus sesuai sehingga sifat bakteri tidak terganggu dan
hasil observasi dapat sesuai dengan realita (Nour dan Nour, 2008).
BAB III
METODOLOGI PERCOBAAN

3.1. Alat dan Bahan


3.1.1. Alat
1. Tabung reaksi
2. Jarum ose
3. Nyala bunsen
4. Cawan petri

3.1.2. Bahan
1. Medium yang telah jadi
2. Kultur murni
3. Jarum/kawat
4. Alkohol

3.2. Prosedur Percobaan


1. Tabung yang berisi jamur dan tabung medium disiapkan.
2. Jarum ose dipanaskan sampai berpijar dam didiamkan sebentar.
3. Sumbat tabung jamurdibuka, lewatkan dekat nyala bunsen.
4. Jamur diambil dengan menggunakan jarum ose.
5. Sumbat medium dibuka dan mulut tabung dilewatkan pada nyala api
bunsen.
6. Ujung jarum ose yang telah membawa jamur dimasukkan dengan cara
menggesekkannya pada permukaan medium dari kiri ke kanan dengan
arah dari bawah ke atas medium.
7. Tabung medium disumbat kembali.
8. Tabung yang telah ditanami disimpan.
9. Bentuk jamur diamati.

13
14

DAFTAR PUSTAKA

Anastasia, C. dan Athiya, F. 2014. Makanan Fermentasi di Indonesia. (Online):


https://akg.fkm.ui.ac.id/wp-content/uploads/2015/06/BAGI-1-2015.pdf.
(Diakses pada tanggal 19 Maret 2020).
Das, S., dan Dash, H. R. 2019. Microbial Diversity in the Genomic Era. Oxford:
Elsvier.
Dirayati, Abdul, G., dan Erlidawati. 2017. Pengaruh Jenis Singkong dan Ragi
terhadap Kadar Etanol Tape Singkong. Jurnal IPA dan Pembelajaran IPA
(JIPI). (1)1: 26-33.
Enna, S. J., dan Bylund, D. B. 2008. Pharm: The Comprehensive Pharmacology
Reference. Oxford: Elsvier.
Graham, A. W. 1998. Encyclopedia of Immunology (Second Edition). Oxford:
Elsvier.
Hugo, W. B. 1972. Introduction to Bacteria, 2nd Edition . New York:
Butterworth-Heinemann.
Kasmidjo, R. B. 1990. Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatanya. Yogyakarta : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi
UGM.
Nour, M. A., dan Nour, J. J. 2008. A Simple Technique for Inoculating
Pathogenic Bacteria. Nature. 182(96): 106-114.
Nurhayati, N., dkk. 2014. Biologi untuk SMA/MA Kelas X. Bandung: Yrama
Widya.
Mappiratu, dan Bakhri, S. 2013. Penuntuk Praktikum Bioteknologi. Palu: Jurusan
Kimia Fakultas MIPA Universitas Tadulako.
Matsuo, M. dan Takeuchi, T. 2003. Preparation of Low Salt Miso-Like Fermented
Seasonings Using Soy-Oncom and Okara-Oncom (Fermented Soybeans
and Okara with Neurospora intermedia) and Their Antioxidant Activity
and Antimutagenicity. Food Science and Technology Research. 9(3): 237-
241.
15

Rasbawati, dkk. 2019. Karakteristik Organoleptik dan Nilai pH Yoghurt dengan


Penmabahan Sari Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L). Jurnal Ilmu
Produksi dan Teknologi Hasil Perternakan. 7(1): 41-46.
Reid, A., dan Buckley, M. 2011. Microbial Evolution. Washington D. C.:
American Academy of Microbiology.
Schmidt, T. M. 2019. Encyclopedia of Microbiology: 4th Edition. Michigan:
Academic Press.
Sinurat, R. S., dkk. 2018. Karakteristik Kefir Susu Sapi dengan Inokulum Ragi
Tape. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. 6(2): 111-116.
Spring, S. 2006. Methods in Microbiology. Oxford: Elsvier
Sukardi, Wignyanto dan Isti, P. 2008. Uji Coba Pengaruh Inokulum Tempe dari
Kapang Rhizopus oryzae dengan Substrat Tepung Beras dan Ubi Kayu
pada Unit Produksi Tempe Sanan Kodya Malang. Jurnal Teknologi
Pertanian. 9(3): 201-215.
Suriawira. 2005. Pengantar Mikrobiologi Umum. Bandung: Angkasa.
Susilorini, T. E. dan Sawitri, M. E. 2007. Produk Olahan Susu. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Wassenaar, T. M. 2011. Bacteria: The Benign, the Bad, and the Beautiful.
Canada: Wiley-Blackwell.

Anda mungkin juga menyukai