Anda di halaman 1dari 12

Akar keroncong berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado yang diperkenalkan oleh para

pelaut
dan budak kapal niaga bangsa itu sejak abad ke-16 ke Nusantara. Dari daratan India (Goa) masuklah musik ini
pertama kali di Malaka dan kemudian dimainkan oleh para budak dari Maluku. Melemahnya pengaruh Portugis pada
abad ke-17 di Nusantara tidak dengan serta-merta berarti hilang pula musik ini. Bentuk awal musik ini disebut
moresco (sebuah tarian asal Spanyol, seperti polka agak lamban ritmenya), di mana salah satu lagu oleh Kusbini
disusun kembali kini dikenal dengan nama Kr. Muritsku, yang diiringi oleh alat musik dawai. Musik keroncong yang
berasal dari Tugu disebut keroncong Tugu. Dalam perkembangannya, masuk sejumlah unsur tradisional Nusantara,
seperti penggunaan seruling serta beberapa komponen gamelan. Pada sekitar abad ke-19 bentuk musik campuran ini
sudah populer di banyak tempat di Nusantara, bahkan hingga ke Semenanjung Malaya. Masa keemasan ini berlanjut
hingga sekitar tahun 1960-an, dan kemudian meredup akibat masuknya gelombang musik populer (musik rock yang
berkembang sejak 1950, dan berjayanya grup musik Beatles dan sejenisnya sejak tahun 1961 hingga sekarang).
Meskipun demikian, musik keroncong masih tetap dimainkan dan dinikmati oleh berbagai lapisan masyarakat di
Indonesia dan Malaysia hingga sekarang.

Fado, Gereja Protestan dan Musik Keroncong

Seperti diketahui bahwa Musik Keroncong [1] masuk ke Indonesia sekitar tahun 1512, yaitu pada waktu Ekspedisi
Portugis pimpinan Alfonso de Albuquerque datang ke Malaka dan Maluku tahun 1512. Tentu saja para pelaut Portugis
membawa lagu jenis Fado, yaitu lagu rakyat Portugis bernada Arab (tangga nada minor, karena orang Moor Arab
pernah menjajah Portugis/Spanyol tahun 711 - 1492. Lagu jenis Fado masih ada di Amerika Latin (bekas jajahan
Spanyol), seperti yang dinyanyikan Trio Los Panchos atau Los Paraguayos, atau juga lagu di Sumatera Barat (budaya
Arab) seperti Ayam Den Lapeh.

Pada waktu tawanan Portugis dan budak asal Goa (India) di Kampung Tugu dibebaskan pada tahun 1661 oleh
Pemerintah Hindia Belanda (VOC), mereka diharuskan pindah agama dari Katholik menjadi Protestan, sehingga
kebiasaan menyanyikan lagu Fado menjadi harus bernyanyi seperti dalam Gereja Protestan, yang pada tangga nada
mayor.

Selanjutnya pada tahun 1880 Musik Keroncong lahir, dan awal ini Musik Keroncong juga dipengaruhi lagu Hawai
yang dalam tangga nada mayor, yang juga berkembang pesat di Indonesia bersamaan dengan Musik Keroncong
(lihat Musik Suku Ambon atau The Hawaian Seniors pimpinan Jenderal Polisi Hugeng).

Alat-alat musik

Dalam bentuknya yang paling awal, moresco diiringi oleh musik dawai, seperti biola, ukulele, serta selo. Perkusi juga
kadang-kadang dipakai. Set orkes semacam ini masih dipakai oleh keroncong Tugu, bentuk keroncong yang masih
dimainkan oleh komunitas keturunan budak Portugis dari Ambon yang tinggal di Kampung Tugu, Jakarta Utara,
yang kemudian berkembang ke arah selatan di Kemayoran dan Gambir oleh orang Betawi berbaur dengan musik
Tanjidor (tahun 1880-1920). Tahun 1920-1960 pusat perkembangan pindah ke Solo, dan beradaptasi dengan irama
yang lebih lambat sesuai sifat orang Jawa.

Pem-"pribumi"-an keroncong menjadikannya seni campuran, dengan alat-alat musik seperti

sitar India
rebab
suling bambu
gendang, kenong, dan saron sebagai satu set gamelan
gong.

Saat ini, alat musik yang dipakai dalam orkes keroncong mencakup

ukulele cuk, berdawai 3 (nilon), urutan nadanya adalah G, B dan E; sebagai alat musik utama yang
menyuarakan crong - crong sehingga disebut keroncong (ditemukan tahun 1879 di Hawai, dan merupakan awal
tonggak mulainya musik keroncong)
ukulele cak, berdawai 4 (baja), urutan nadanya A, D, Fis, dan B. Jadi ketika alat musik lainnya memainkan
tangga nada C, cak bermain pada tangga nada F (dikenal dengan sebutan in F);
gitar akustik sebagai gitar melodi, dimainkan dengan gaya kontrapuntis (anti melodi);
biola (menggantikan Rebab); sejak dibuat oleh Amati atau Stradivarius dari Cremona Itali sekitar tahun 1600
tidak pernah berubah modelnya hingga sekarang;
flute (mengantikan Suling Bambu), pada Era Tempo Doeloe memakai Suling Albert (suling kayu hitam dengan
lubang dan klep, suara agak patah-patah, contoh orkes Lief Java), sedangkan pada Era Keroncong Abadi telah
memakai Suling Bohm (suling metal semua dengan klep, suara lebih halus dengan ornamen nada yang indah,
contoh flutis Sunarno dari Solo atau Beny Waluyo dari Jakarta);
selo; betot menggantikan kendang, juga tidak pernah berubah sejak dibuat oleh Amati dan Stradivarius dari
Cremona Itali 1600, hanya saja dalam keroncong dimainkan secara khas dipetik/pizzicato;
kontrabas (menggantikan Gong), juga bas yang dipetik, tidak pernah berubah sejak Amati dan Stradivarius
dari Cremona Itali 1600 membuatnya;

Penjaga irama dipegang oleh ukulele dan bas. Gitar yang kontrapuntis dan selo yang ritmis mengatur peralihan
akord. Biola berfungsi sebagai penuntun melodi, sekaligus hiasan/ornamen bawah. Flut mengisi hiasan atas, yang
melayang-layang mengisi ruang melodi yang kosong.

Bentuk keroncong yang dicampur dengan musik populer sekarang menggunakan organ tunggal serta synthesizer
untuk mengiringi lagu keroncong (di pentas pesta organ tunggal yang serba bisa main keroncong, dangdut, rock,
polka, mars).

Jenis keroncong

Musik keroncong lebih condong pada progresi akord dan jenis alat yang digunakan. Sejak pertengahan abad ke-20
telah dikenal paling tidak tiga macam keroncong, yang dapat dikenali dari pola progresi akordnya. Bagi pemusik
yang sudah memahami alurnya, mengiringi lagu-lagu keroncong sebenarnya tidaklah susah, sebab cukup
menyesuaikan pola yang berlaku. Pengembangan dilakukan dengan menjaga konsistensi pola tersebut. Selain itu,
terdapat pula bentuk-bentuk campuran serta adaptasi.

Perkembangan musik keroncong masa kini

Setelah mengalami evolusi yang panjang sejak kedatangan orang Portugis di Indonesia (1522) dan permukiman para
budak di daerah Kampung Tugu tahun 1661 [2][3], dan ini merupakan masa evolusi awal musik keroncong yang
panjang (1661-1880), hampir dua abad lamanya, namun belum memperlihatkan identitas keroncong yang
sebenarnya dengan suara crong-crong-crong, sehingga boleh dikatakan musik keroncong belum lahir tahun 1661-
1880.

Dan akhirnya musik keroncong mengalami masa evolusi pendek terakhir sejak tahun 1880 hingga kini,
dengan tiga tahap perkembangan terakhir yang sudah berlangsung dan satu perkiraan perkembangan baru
(keroncong millenium). Tonggak awal adalah pada tahun 1879 [4], di saat penemuan ukulele di Hawai [5] yang segera
menjadi alat musik utama dalam keroncong (suara ukulele: crong-crong-crong), sedangkan awal keroncong millenium
sudah ada tanda-tandanya, namun belum berkembang (Bondan Prakoso).

Empat tahap masa perkembangan tersebut adalah[6]

(a) Masa keroncong tempo doeloe (1880-1920),


(b) Masa keroncong abadi (1920-1960), dan
(c) Masa keroncong modern (1960-2000), serta
(d) Masa keroncong millenium (2000-kini)

Masa keroncong tempo doeloe (1880-1920)

Ukulele ditemukan pada tahun 1879 di Hawaii, sehingga diperkirakan pada tahun berikutnya Keroncong baru
menjelma pada tahun 1880, di daerah Tugu kemudian menyebar ke selatan daerah Kemayoran dan Gambir (lihat
ada lagu Kemayoran dan Pasar Gambir, sekitar tahun 1913). Komedie Stamboel 1891-1903 lahir di Kota Pelabuhan
Surabaya tahun 1891, berupa Pentas Gaya Instanbul, yang mengadakan pertunjukan keliling di Hindia Belanda,
Singapura, dan Malaya lewat jalur kereta api maupun kapal api. Pada umumnya pertunjukan meliputi Cerita 1001
Malam (Arab) dan Cerita Eropa (Opera maupun Rakyat), termasuk Hikayat India dan Persia. Sebagai selingan, antar
adegan maupun pembukaan, diperdengarkan musik mars, polka, gambus, dan keroncong. Khusus musik keroncong
dikenal pada waktu itu Stambul I, Stambul II, dan Stambul III.

Pada waktu itu lagu Stambul berirama cepat (sekitar meter 120 untuk satu ketuk seperempat nada), di mana Warga
Kampung Tugu maupun Kusbini menyebut sebagai Keroncong Portugis, sedangkan Gesang menyebut sebagai
Keroncong Cepat, dan berbaur dengan Tanjidor yang asli Betawi. Pada masa ini dikenal para musisi Indo, dan pemain
biola legendaris adalah M. Sagi (perhatikan rekaman Idris Sardi main biola lagu Stambul II Jali-jali berdasarkan
aransemen dari M. Sagi). Seperti diketahui bahwa panjang lagu stambul adalah 16 birama, yang terdiri atas:

musiq Losquin Makassar: Dari periode tempo doeloe ini lahir pula di Makassar bentuk keroncong khas yang
dikenal sebagai musiq losquin'. Irama keroncong ini, tanpa seruling-biola-cello, tetapi dengan melodi guitar yang kental, mirip seperti
gaya Tjoh de Fretes dari Ambon. Kalau kita hubungkan kesemua ini, maka ada garis kesamaan dengan Orkes Keroncong
Cafrino Tugu (Kr. Pasar Gambir) Orkes Keroncong Lief Java (Kr. Kali Brantas) Losquin - Orkes Hawaian Tjoh de Fretes
(Pulau Ambon), yaitu gaya era tempo doeloe dengan irama yang cepat sudah dengan kendangan cello dan dengan guitar melodi
yang kental.

Masa keroncong abadi (1920-1960)

Pada masa ini panjang lagu telah berubah menjadi 32 birama, akibat pengaruh musik pop Amerika yang melanda
lantai dansa Hotel2 di Indonesia pada waktu itu, dengan musisi didominasi dari Filipina (spt Pablo, Sambayon, dll),
dan berakibat juga lagu pada waktu itu telah 32 birama juga, perhatikan lagu Indonesia Raya (diciptakan tahun 1924)
pada waktu itu juga sudah 32 birama. Selanjutnya pusat perkembangan beralih ke timur mengikuti jaringan kereta
api melalui Solo dan iramanya juga lebih lamban (sekitar 80 untuk seperempat nada) dengan kendangan cello mirip
kendangan gamelan, dan permainan gitar melodi mirip alunan siter musik gamelan yang kontrapuntis. Masa ini lahir
para musisi Solo, seperti Gesang dan penyanyi legendaris Annie Landouw. Lagu Keroncong Abadi terdiri atas:
Langgam Keroncong, Stambul Keroncong, dan Keroncong Asli.

Ismail Marzuki (1914-1958) Komponis Ismail Marzuki termasuk hidup dalam Era Keroncong Abadi, namun lagu-
lagunya sangat modern pada zamannya, misalnya Sepasang Mata Bola ditulis dalam kunci minor sehingga dapat
dinyanyikan dengan iringan keroncong seperti keroncong beat (1958).

Gambang Keromong Gambang Keromong adalah salah satu gaya keroncong yang dikembangkan oleh Etnis
Tionghoa (gambang adalah alat musik bilah kayu seperti marimba, sedangkan keromong adalah istilah lain dari
kempul) yang dikembangkan sekitar tahun 1922 di Kemayoran Jakarta (tanjidor), namun kemudian berkembang di
Semarang sekitar tahun 1949 (ingat lagu Gambang Semarang - Oey Yok Siang). Sebenarnya Gambang Keromong
yang lahir pada Masa Keroncong Abadi 1920-1960 adalah cikal bakal Campursari yang lahir pada Masa Keroncong
Modern.

Masa Keemasan (The Golden Age). Pada tahun 1952, Radio Republik Indonesia (RRI) menyelenggarakan
perlombaan Bintang Radio dengan 3 jenis, Keroncong, Hiburan dan Seriosa. Di sanmping itu juga dilombakan
mencipta lagu keroncong, salah satu pememnag adalah Musisi Kusbini dengan lagu Keroncong Pastoral. Pada masa
akhir dari Keroncong Abadi (1920-1960) ini merupakan Masa Keemasan (Golden Age) bagi musik keroncong.

Masa keroncong modern (1960-2000)

Perkembangan keroncong masih di daerah Solo dan sekitarnya, namun muncul berbagai gaya baru yang berbeda
dengan Masa Keroncong Abadi (termasuk musisinya), dan merupakan pembaruan sesuai dengan lingkungannya.

Mulai Masa keroncong modern (1960-2000) semua aturan baku (pakem) Musik Keroncong tidak berlaku,
karena mengikuti aturan baku (pakem) Musik Pop yang berlaku universal, misalnya tangga nada minor, moda
pentatonis Jawa/Cina, rangkaian harmoni diatonik dan kromatik, akord disonan, sifat politonal atau atonal (pada
campursari), tidak megenal lagi pakem bentuk keroncong asli atau stambul, ada irama nuansa dangdut (congdut), mulai
tahun 1998 musik rap mulai masuk (Bondan Prakoso), dlsb.
Langgam Jawa

Bentuk adaptasi keroncong terhadap tradisi musik gamelan dikenal sebagai langgam Jawa, yang berbeda dari
langgam yang dimaksud di sini. Langgam Jawa memiliki ciri khusus pada penambahan instrumen antara lain siter,
kendang (bisa diwakili dengan modifikasi permainan cello ala kendang), saron, dan adanya bawa atau suluk berupa
introduksi vokal tanpa instrumen untuk membuka sebelum irama dimulai secara utuh. Tahun 1968 Langgam Jawa
berkembang menjadi Campursari.

Umumnya mempunyai struktur lagu pop yaitu A - A - B - A atau juga A - B - C - D dangan jumlah 32 birama. Lagu
Langgam Jawa yang terkenal pada tahun 1958 adalah ciptaan Anjar Any (1936-2008): Yen Ing Tawang Ana Lintang
(Tawang dalam Bahasa Jawa berarti: awang-awang, langit, dan makna lain nama suatu desa di Magetan, Kalau di
Langit Ada Bintang). Langgam Jawa menjadi terkenal oleh Waljinah yang pernah sebagai juara tingkat sekolah SMP di
RRI Solo tahun 1958.

Keroncong Beat

Dimulai oleh Yayasan Tetap Segar pimpinan Rudi Pirngadie, di Jakarta pada tahun 1959 dan bisa mengiringi lagu
barat pop (mau melangkah lebih bersifat universal). Pada waktu itu Idris Sardi ikut tur ke New York World's Fair
Amerika Serikat dengan biola tahun 1964 dengan maksud mau memperkenalkan lagu pop barat (I left my heart in San
Fransico, pada waktu itu tahun 1964 lagu ini merupakan salah satu hit di dunia) dengan iringan keroncong beat,
namun dia kena denda melanggar hak cipta akibat tanpa izin.

Dengan Keroncong Beat maka berbagai lagu (bukan dengan rangkaian harmoni keroncong, termsuk kunci Minor)
dapat dinyanyikan seperti La Paloma, Monalisa, Widuri, Mawar Berduri, dll.

Campur Sari

Di Gunung Kidul (DI Yogyakarta) pada tahun 1968 Manthous memperkenalkan gabungan alat gamelan dan musik
keroncong, yang kemudian dikenal sebagai Campursari. Kini daerah Solo, Sragen, Ngawi, dan sekitarnya, terkenal
sebagai pusat para artis musik campursari.

Keroncong Koes-Plus

Koes Plus dikenal sebagai perintis musik rock di Indonesia, pada sekitar tahun 1974 juga berjasa dalam musik
keroncong yang rock. Keroncong Pertemuan adalah Keroncong Koes Plus dengan struktur bentuk campuran
(dalam bahasa Belanda disebut Meng-vorm atau Inggris Combine form) antara Stambul II dan langgam Keroncong.

Keroncong Dangdut (Congdut)

Keroncong dangdut (Congdut) adalah jawaban atas derasnya pengaruh musik dangdut dalam musik populer di
Indonesia sejak 1980-an. Seiring dengan menguatnya campur sari di pentas musik populer etnis Jawa, sejumlah
musisi, konon dimulai dari Surakarta, memasukkan unsur beat dangdut ke dalam lagu-lagu langgam Jawa klasik
maupun baru. Didi Kempot adalah tokoh utama gerakan pembaruan ini. Lagu-lagu yang terkenal antara lain Stasiun
Balapan, Sewu Kuto.

Masa Kejayaan Musik Keroncong. Pada Masa Keroncong Modern adalah Masa Kejayaan Musik Keroncong, di
mana terdengar di mana-mana musik Langgam Jawa, Keroncong Beat, Campursari, koes Plus dan terakhir dengan
Congdut dari Didi Kempot, hingga ke Suriname dan Belanda (2004-2008). Rupa-rupanya ini merupakan puncak
kejayaan Musik Keroncong, sehingga Gesang khawatir bahwa Keroncong Akan Mati (2008, ucapan dia sebelum
wafat).

Masa keroncong millenium (2000-kini)

Walaupun musik keroncong di era millenium (tahun 2000-an) belum menjadi bagian dari industri musik pop
Indonesia, tetapi beberapa pihak masih mengapresiasi musik keroncong. Kelompok musik Keroncong Merah
Putih[7], kelompok keroncong berbasis Bandung masih cukup aktif melakukan pertunjukan. Selain itu, Bondan
Prakoso dan grupnya Bondan Prakoso & Fade 2 Black, menciptakan komposisi berjudul "Keroncong Protol" yang
berhasil memadukan musik gaya rap dengan musik latar belakang irama keroncong. Pada tahun 2008 @ Solo
International Keroncong Festival, Harmony Chinese Music Group membuat suasana lain dengan memasukan unsur
alat musik tradisional Tionghoa dan menamainya sebagai Keroncong Mandarin [8].

Tokoh keroncong

Salah satu tokoh Indonesia yang memiliki kontribusi cukup besar dalam membesarkan musik keroncong adalah
bapak Gesang. Lelaki asal kota Surakarta (Solo) ini bahkan mendapatkan santunan setiap tahun dari pemerintah
Jepang karena berhasil memperkenalkan musik keroncong di sana. Salah satu lagunya yang paling terkenal
adalah(lagu)|Bengawan Solo. Lantaran pengabdiannya itulah, oleh Gesang dijuluki "Buaya Keroncong" oleh insan
keroncong Indonesia, sebutan untuk pakar musik keroncong. Gesang menyebut irama keroncong pada MASA
STAMBUL (1880-1920), yang berkembang di Jakarta (Tugu , Kemayoran, dan Gambir) sebagai Keroncong Cepat;
sedangkan setelah pusat perkembangan pindah ke Solo (MASA KERONCONG ABADI: 1920-1960) iramanya
menjadi lebih lambat.

Asal muasal sebutan "Buaya Keroncong" untuk Gesang berkisar pada lagu ciptaannya, "Bengawan Solo". Bengawan
Solo adalah nama sungai yang berada di wilayah Surakarta. Seperti diketahui, buaya memiliki habitat di rawa dan
sungai. Reptil terbesar itu di habitanya nyaris tak terkalahkan, karena menjadi pemangsa yang ganas. Pengandaian
semacam itulah yang mendasari mengapa Gesang disebut sebagai "Buaya Keroncong".

Di sisi lain nama Andjar Any (Solo, pencipta Langgam Jawa lebih dari 2000 lagu yang meninggal tahun 2008) juga
mempunyai andil dalam keroncong untuk Langgam Jawa beserta [[Waldjinah99 (Solo), sedangkan R. Pirngadie
(Jakarta) untuk Keroncong Beat, Manthous (Gunung Kidul, Yogyakarta) untuk Campursari dan Koes Plus
(Solo/Jakarta) untuk Keroncong Rock, serta Didi Kempot (Solo) untuk Congdut.

JEPANG
Musik Jepang merupakan gaya musik khas Jepang dari beragam artis, baik tradisional maupun modern. Kata musik dalam
bahasa Jepang berarti ongaku (?), menggabungkan on (?, sound, suara) dengan gaku (?, music, musik)

Ada dua jenis musik yang diakui sebagai jenis musik tradisional Jepang tertua, yaitu shmy ( maupun ?),
atau nyanyian Budha, dan gagaku (?) musik istana, di mana keduanya berada pada zaman Nara dan Heian.[butuh
rujukan]
Gagaku adalah jenis musik klasik yang telah ada pada istana Kekaisaran sejak zaman Heian[butuh rujukan]. Kagura-
uta (), Azuma-asobi() dan Yamato-uta () merupakan repertoar adat. Tgaku () dan
komagaku diperkenalkan dari Dinasti Tang, Tiongkok melalui Semenanjung Korea]. Gagaku dibagi menjadi kangen
() (musik instrumen) dan bugaku () (tarian disertai dengan gagaku).

Berasal pada awal abad ke-13 honkyoku (), merupakan singel (solo) shakuhachi () imam Zen[butuh rujukan].
Imam ini, disebut komus ("biksu"), yang memainkan honkyoku untuk sedekah dan pencerahan. Sekte Fuke tidak
ada lagi pada abad ke-19, tetapi garis keturunan verbal dan tertulis dari beberapa honkyoku tetap berlanjut,
meskipun musik ini saat ini sering dimainkan pada sebuah konser.[butuh rujukan] Samurai sering mendengarkan dan
memainkan dalam kegiatan musik, dalam praktik memperkaya hidup dan pemahaman

Musik tradisional

Biwa hshi, Heike biwa, ms, dan goze

Biwa (bahasa Tionghoa: - pipa), lute, dimainkan oleh sekelompok pemain keliling (biwa hshi) ()
yang digunakan untuk mengiringi sebuah cerita.[butuh rujukan] Yang paling terkenal dari cerita ini adalah sejarah The Tale of
the Heike, abad ke-12 dari kemenangan klan Minamoto atas Taira[butuh rujukan]. Serikat ini akhirnya menguasai sebagian
besar budaya musik Jepang.[butuh rujukan]
Selain itu, banyak kelompok musisi buta yang terbentuk khususnya di daerah Kyushu[butuh rujukan]. Musisi tersebut, yang
dikenal sebagai ms ( biksu buta) berkeliling di daerah mereka dan melakukan berbagai ritual agama untuk
menyucikan rumah agar dapat membawa kesehatan dan keberuntungan. Biwa yang mereka mainkan jauh lebih kecil
dari Heike biwa () yang dimainkan oleh biwa hshi.[butuh rujukan]

Terkait Lafcadio Hearn dalam bukunya yang berjudul Kwaidan: Stories and Studies of Strange Things "Mimi-nashi
Hoichi" (Hoichi the Earless), cerita hantu Jepang tentang seorang biwa hshi buta yang memainkan "The Tale of
the Heike"

Seorang wanita buta, yang dikenal sebagai goze (), juga berkeliling di negeri tersebut sejak zaman abad
pertengahan. Dia menyanyikan lagu dan bermain musik dengan pukulan drum yang dibawanya.[butuh rujukan] Sejak abad
ketujuh belas mereka sering memainkan koto atau shamisen. Organisasi Goze bermunculan di seluruh negeri, dan
ada hingga saat ini di prefektur Niigata.[butuh rujukan]

Taiko

Taiko merupakan drum Jepang dalam berbagai ukuran dan digunakan untuk memainkan berbagai genre musik.[butuh
rujukan]
Taiko ini telah menjadi sangat populer dalam beberapa tahun terakhir sebagai instrumen utama perkusi yang
didasarkan pada berbagai daerah dan musik festival masa lalu. Musik taiko tersebut dimainkan dengan gendang
besar yang disebut kumi-daiko. Asal usulnya tidak pasti, tetapi dapat diperkirakan sejak abad ke-7. Negara Tiongkok
telah mengikuti budaya ini, tetapi instrumen dan musiknya tetap khas Jepang.[5] Drum Taiko pada zaman ini
digunakan saat pertempuran untuk menakuti musuh dan untuk mengkomunikasikan perintah. Taiko selalu
digunakan dalam musik religius Buddha dan Shinto. Taiko ini hanya dimainkan pada saat acara-acara khusus dalam
kelompok kecil. Tidak hanya laki-laki, kaum wanita juga memainkan taiko dalam festival semi-agama seperti tarian
bon.

Taiko modern konon ditemukan oleh Daihachi Oguchi pada tahun 1951[butuh rujukan]. Pemain genderang jazz, Oguchi
menggabungkan latar musik ini ke dalam ansembel. Gaya energik ini membuat kelompoknya populer di seluruh
Jepang, dan membuat Wilayah Hokuriku sebagai pusat musik taiko. Popularitas beberapa musisi muncul dari musik
ini termasuk Sukeroku Daiko dan rekan band nya Seido Kobayashi. Pada tahun 1969 ada sebuah kelompok yang
disebut Za Ondekoza yang didirikan oleh Tagayasu Den; Za Ondekoza dikumpulkan bersama-sama pemain muda
yang berinovasi membangun kembali versi baru dari taiko, yang dipakai sebagai cara hidup dalam gaya hidup
komunal. Selama tahun 1970-an, pemerintah Jepang mengalokasikan dana untuk melestarikan budaya Jepang, dan
banyak kelompok komunitas taiko dibentuk. Pada abad ini, kelompok taiko sudah tersebar di seluruh dunia,
terutama di Amerika Serikat.Permainan video Taiko Drum Master juga didasarkan pada budaya ini. Salah satu
contoh Band Taiko modern adalah Gocoo.

Taiko

Penampilan Taiko

Taiko merupakan drum Jepang dalam berbagai ukuran dan digunakan untuk memainkan berbagai genre musik.[butuh
rujukan]
Taiko ini telah menjadi sangat populer dalam beberapa tahun terakhir sebagai instrumen utama perkusi yang
didasarkan pada berbagai daerah dan musik festival masa lalu. Musik taiko tersebut dimainkan dengan gendang
besar yang disebut kumi-daiko. Asal usulnya tidak pasti, tetapi dapat diperkirakan sejak abad ke-7. Negara Tiongkok
telah mengikuti budaya ini, tetapi instrumen dan musiknya tetap khas Jepang.[5] Drum Taiko pada zaman ini
digunakan saat pertempuran untuk menakuti musuh dan untuk mengkomunikasikan perintah. Taiko selalu
digunakan dalam musik religius Buddha dan Shinto. Taiko ini hanya dimainkan pada saat acara-acara khusus dalam
kelompok kecil. Tidak hanya laki-laki, kaum wanita juga memainkan taiko dalam festival semi-agama seperti tarian
bon.

Taiko modern konon ditemukan oleh Daihachi Oguchi pada tahun 1951[butuh rujukan]. Pemain genderang jazz, Oguchi
menggabungkan latar musik ini ke dalam ansembel. Gaya energik ini membuat kelompoknya populer di seluruh
Jepang, dan membuat Wilayah Hokuriku sebagai pusat musik taiko. Popularitas beberapa musisi muncul dari musik
ini termasuk Sukeroku Daiko dan rekan band nya Seido Kobayashi. Pada tahun 1969 ada sebuah kelompok yang
disebut Za Ondekoza yang didirikan oleh Tagayasu Den; Za Ondekoza dikumpulkan bersama-sama pemain muda
yang berinovasi membangun kembali versi baru dari taiko, yang dipakai sebagai cara hidup dalam gaya hidup
komunal. Selama tahun 1970-an, pemerintah Jepang mengalokasikan dana untuk melestarikan budaya Jepang, dan
banyak kelompok komunitas taiko dibentuk. Pada abad ini, kelompok taiko sudah tersebar di seluruh dunia,
terutama di Amerika Serikat.Permainan video Taiko Drum Master juga didasarkan pada budaya ini. Salah satu
contoh Band Taiko modern adalah Gocoo.

Min'y

Lagu daerah Jepang (min'y) dapat dikelompokkan dan diklasifikasikan dalam banyak jenis, tetapi sering kali
dikelompokkan dari empat kategori utama seperti: nyanyian kerja, lagu religius (seperti sato kagura, sejenis musik
Shinto), lagu yang digunakan untuk acara pernikahan, pemakaman, dan festival (matsuri, terutama Obon), dan lagu
anak-anak (warabe uta).

Pada musik min'y, penyanyi biasanya disertai dengan alat musik petik shamisen bersama taiko dan seruling bambu
yang disebut shakuhachi. Instrumen lainnya adalah seruling melintang yang dikenal sebagai shinobue, sebuah bel
yang dikenal sebagai kane, drum tangan yang disebut tsuzumi atau kecapi 13 senar yang dikenal sebagai koto. Di
Okinawa, instrumen utamanya adalah sanshin. Ini adalah instrumen tradisional Jepang, tapi dengan instrumentasi
yang modern, seperti gitar listrik dan penyintesis.[6]

Banyak sekali peristilahan ketika membicarakan musik min'y seperti ondo, bushi, bon uta, dan komori uta. Ondo
pada umumnya menjelaskan beberapa lagu daerah dengan ayunan khasnya. Lagu khas daerah ini pada umumnya
dapat didengarkan pada festival tarian Obon. Fushi adalah lagu dengan melodi yang khas. Komori uta adalah lagu
pengantar tidur anak. Nama-nama pada lagu min'yo biasanya meliputi peristilahan deskriptif dibagian akhir. Contoh:
Tokyo Ondo, Kushimoto Bushi, Hokkai Bon Uta, dan Itsuki no Komoriuta.

Banyak di antara lagu-lagu ini biasanya memerlukan penekanan yang lebih pada beberapa suku kata tertentu serta
teriakan bernada (kakegoe). Kakegoe pada umumnya merupakan teriakan kegembiraan dalam musik min'y,
Kakegoe sendiri sering dimasukkan sebagai bagian paduan suara. Ada banyak sekali variasi kakegoe dari satu wilayah
ke wilayah lainnya. DI Okinawa sendiri sebagai contoh, teriakan itu berupa "ha iya sasa!" Di daratan Jepang sendiri
teriakan itu berupa "a yoisho!," "sate!," atau "a sore!" serta "a donto koi!," dan "dokoisho!"

Baru-baru ini sistem berbasis serikat dikenal sebagai sistem iemoto telah diterapkan untuk beberapa jenis min'y.
Sistem ini awalnya dikembangkan untuk mentransmisikan genre klasik seperti nagauta, shakuhachi, atau musik koto,
tapi karena terbukti menguntungkan untuk para guru dan didukung oleh siswa yang ingin memperoleh sertifikat
kemahiran serta nama-nama artis terus menyebar ke genre seperti min'y, Tsugaru-jamisen dan jenis-jenis musik
tradisional lainnya ditularkan dengan cara yang lebih resmi. Saat ini, beberapa min'y diwariskan dalam organisasi
keluarga pseudo.

dANGDUT

Penyebutan nama "dangdut" merupakan onomatope dari suara permainan tabla (dalam dunia dangdut disebut
gendang saja) musik India. Putu Wijaya awalnya menyebut dalam majalah Tempo edisi 27 Mei 1972 bahwa lagu
Boneka dari India adalah campuran lagu Melayu, irama padang pasir, dan "dang-ding-dut" India.[2] Sebutan ini
selanjutnya diringkas menjadi "dangdut" saja, dan oleh majalah tersebut digunakan untuk menyebut bentuk lagu
Melayu yang terpengaruh oleh lagu India.[2]

Pengaruh dan perkembangan


Qasidah masuk ke Nusantara tahun 635 - 1600
Qasidah masuk Nusantara sejak Agama Islam dibawa para saudagar Arab tahun 635, kemudian juga saudagar
Gujarat tahun 900 - 1200, saudagar Persia tahun 1300 - 1600 [3]. Nyanyian Qasidah biasanya berlangsung di masjid,
pesantren dakwah agama Islam.

Gambus dan migrasi orang Arab mulai tahun 1870

Gambus adalah salah satu alat musik Arab seperti gitar, namun mempunyai suara rendah. Diperkirakan alat musik
gambus masuk ke nusantara bersama migrasi Marga Arab Hadramaut (sekarang Yaman) dan orang Mesir mulai
tahun 1870 hingga setelah 1888,[4] yaitu setelah Terusan Suez dibuka tahun 1870, pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta
Utara dibangun tahun 1877, dan Koninklijke Paketvaart Maatschappij berdiri tahun 1888. Para musisi Arab sering
mendendangkan Musik Arab dengan iringan gambus.

Pada awal abad XX penduduk Arab-Indonesia senang mendengarkan lagu gambus, dan sekitar tahun 1930, Syech
Albar (ayah dari Ahmad Albar) mendirikan orkes gambus di Surabaya. Ia juga membuat rekaman piringan hitam
dengan Columbia tahun 1930-an, yang laku di pasaran Malaysia dan Singapura.

Musik Melayu Deli tahun 1940

Musik Melayu Deli lahir sekitar tahun 1940 di Sumatera Utara bersama Husein Bawafie dan Muhammad Mashabi,
kemudian menjalar ke Batavia dengan berdirinya Orkes Melayu.

Irama Amerika Latin tahun 1950

Pada tahun 1950, musik Amerika Latin masuk ke Indonesia oleh Xavier Cugat dan Edmundo Ros serta Perez
Prado, termasuk Trio Los Panchos atau Los Paraguayos.[butuh rujukan] Irama latin ini kemudian lekat dengan orang
Indonesia. Kemudian berbagai lagu Minang juga muncul bersama Orkes Gumarang, dan Zainal Combo.

Dangdut kontemporer telah berbeda dari akarnya, musik Melayu, meskipun orang masih dapat merasakan
sentuhannya. Pada tahun 1950-an dan 1960-an banyak berkembang orkes-orkes Melayu di Jakarta yang memainkan
lagu-lagu Melayu Deli dari Sumatera (sekitar Medan).

Dari musik Melayu Deli tahun 1940 ke Dangdut tahun 1968

Orkes Melayu (biasa disingkat OM, sebutan yang masih sering dipakai untuk suatu grup musik dangdut) yang asli
menggunakan alat musik seperti gitar akustik, akordeon, rebana, gambus, dan suling, bahkan gong. Musik Melayu
Deli awalnya tahun 1940-an lahir di daerah Deli Medan, kemudian musik melayu deli ini juga berkembang di daerah
lain, termasuk Jakarta. Pada masa ini mulai masuk eksperimen masuknya unsur India dalam musik Melayu.
Perkembangan dunia sinema pada masa itu dan politik anti-Barat dari Presiden Sukarno menjadi pupuk bagi grup-
grup ini. Dari masa ini dapat dicatat nama-nama seperti P. Ramlee (dari Malaya), Said Effendi (dengan lagu Seroja),
Ellya (dengan gaya panggung seperti penari India, sang pencipta Boneka dari India), Husein Bawafie (salah seorang
penulis lagu Ratapan Anak Tiri), Munif Bahaswan (pencipta Beban Asmara), serta M. Mashabi (pencipta skor film
"Ratapan Anak Tiri" yang sangat populer pada tahun 1970-an). Gaya bermusik masa ini masih terus bertahan
hingga 1970-an, walaupun pada saat itu juga terjadi perubahan besar di kancah musik Melayu yang dimotori oleh
Soneta Group pimpinan Rhoma Irama. Beberapa nama dari masa 1970-an yang dapat disebut adalah Mansyur S.,
Ida Laila, A. Rafiq, serta Muchsin Alatas. Populernya musik Melayu dapat dilihat dari keluarnya beberapa album pop
Melayu oleh kelompok musik pop Koes Plus pada masa jayanya.

Dangdut modern, yang berkembang pada awal tahun 1970-an sejalan dengan politik Indonesia yang ramah terhadap
budaya Barat, memasukkan alat-alat musik modern Barat seperti gitar listrik, organ elektrik, perkusi, trompet,
saksofon, obo, dan lain-lain untuk meningkatkan variasi dan sebagai lahan kreativitas pemusik-pemusiknya.
Mandolin juga masuk sebagai unsur penting. Pengaruh rock (terutama pada permainan gitar) sangat kental terasa
pada musik dangdut. Tahun 1970-an menjadi ajang 'pertempuran' bagi musik dangdut dan musik rock dalam
merebut pasar musik Indonesia, hingga pernah diadakan konser 'duel' antara Soneta Group dan God Bless. Praktis
sejak masa ini musik Melayu telah berubah, termasuk dalam pola bisnis bermusiknya. Pada paruh akhir dekade
1970-an juga berkembang variasi "dangdut humor" yang dimotori oleh OM Pancaran Sinar Petromaks (PSP). Orkes
ini, yang berangkat dari gaya musik melayu deli, membantu diseminasi dangdut di kalangan mahasiswa. Subgenre ini
diteruskan, misalnya, oleh OM Pengantar Minum Racun (PMR) dan, pada awal tahun 2000-an, oleh Orkes Pemuda
Harapan Bangsa (PHB).

Interaksi dengan musik lain

Dangdut sangat elastis dalam menghadapi dan memengaruhi bentuk musik yang lain. Lagu-lagu barat populer pada
tahun 1960-an dan 1970-an banyak yang didangdutkan. Genre musik gambus dan kasidah perlahan-lahan hanyut
dalam arus cara bermusik dangdut. Hal yang sama terjadi pada musik tarling dari Cirebon sehingga yang masih eksis
pada saat ini adalah bentuk campurannya: tarlingdut. Musik rock, pop, disko, house bersenyawa dengan baik dalam
musik dangdut. Aliran campuran antara musik dangdut & rock secara tidak resmi dinamakan Rockdut. Demikian
pula yang terjadi dengan musik-musik daerah seperti jaipongan, degung, tarling, keroncong, langgam Jawa (dikenal
sebagai suatu bentuk musik campur sari yang dinamakan congdut, dengan tokohnya Didi Kempot), atau zapin.
Mudahnya dangdut menerima unsur 'asing' menjadikannya rentan terhadap bentuk-bentuk pembajakan, seperti yang
banyak terjadi terhadap lagu-lagu dari film ala Bollywood dan lagu-lagu latin. Kopi Dangdut, misalnya, adalah
"bajakan" lagu yang populer dari Venezuela.

Dangdut dalam budaya kontemporer


Rhoma Irama menjadikan dangdut sebagai alat berdakwahnya, yang terlihat dari lirik-lirik lagu ciptaannya serta dari
pernyataan yang dikeluarkannya sendiri. Hal ini menjadi salah satu pemicu polemik di Indonesia pada tahun 2003,
akibat protesnya terhadap gaya panggung para penyanyi dangdut, antara lain Inul Daratista, yang goyang ngebor-nya
yang dicap dekaden serta "merusak moral". Jauh sebelumnya, dangdut juga telah mengundang perdebatan dan
berakhir dengan pelarangan panggung dangdut dalam perayaan Sekaten di Yogyakarta. Perdebatan muncul lagi-lagi
akibat gaya panggung penyanyi (wanita)-nya yang dinilai terlalu "terbuka" dan berselera rendah, sehingga tidak
sesuai dengan misi Sekaten sebagai suatu perayaan keagamaan. Dangdut memang disepakati banyak kalangan
sebagai musik yang membawa aspirasi kalangan masyarakat kelas bawah dengan segala kesederhanaan dan
kelugasannya. Ciri khas ini tercermin dari lirik serta bangunan lagunya. Gaya pentas yang sensasional tidak terlepas
dari napas ini.

Panggung kampanye partai politik juga tidak ketinggalan memanfaatkan kepopuleran dangdut untuk menarik massa.
Isu dangdut sebagai alat politik juga menyeruak ketika Basofi Sudirman, pada saat itu sebagai fungsionaris Golkar,
menyanyi lagu dangdut.[butuh rujukan] Walaupun dangdut diasosiasikan dengan masyarakat bawah yang miskin, bukan
berarti dangdut hanya digemari kelas bawah. Di setiap acara hiburan, dangdut dapat dipastikan turut serta
meramaikan situasi. Panggung dangdut dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat. Tempat hiburan dan
diskotek yang khusus memutar lagu-lagu dangdut banyak dijumpai di kota-kota besar. Stasiun radio siaran yang
menyatakan dirinya sebagai "radio dangdut" juga mudah ditemui di berbagai kota.

Dangdut di Era Millenium


Dangdut Koplo lahir di Indonesia lahir sejak tahun 2000 yang dipromotori oleh kelompok-kelompok musik Jawa
Timur. Namun saat itu masih belum menasional seperti sekarang ini. 2 tahun kemudian, variasi atau cabang baru
bagi musik Dangdut ini semakin fenomenal, setelah area 'kekuasaannya' meluas ke beberapa wilayah seperti di Jogja
dan beberapa kota di Jawa Tengah lainnya. Salah satu hal yang membuat genre ini sukses dalam memperlebar
daerah 'kekuasannya' adalah vcd bajakan yang begitu mudah dan murah didapatkan masyarakat sebagai 'alternatif'
hiburan masyarakat dari vcd/dvd original artis-artis/selebriti nasional yang dinilai mahal. Kesuksesan vcd bajakan
tersebut juga dibarengi dengan fenomena "goyang ngebor" Inul Daratista.

Fenomena itulah yang sebenarnya membuat popularitas Dangdut Koplo semakin meningkat di se-antero Indonesia.
Apalagi setelah goyang ngebor inul itu tercium oleh beberapa media-media televisi swasta nasional. Oleh karenanya,
masyarakat Indonesia semakin mengenal Dangdut Koplo dan juga Inul itu sendiri.

Tapi, fenomena itu bukan berarti tak ada masalah. Sang Raja Dangdut Indonesia, Rhoma Irama adalah seniman
Dangdut senior pertama yang nyata-nyata menentang Inul karena goyang ngebornya itu. Munculnya Inul dengan
ciri goyangan tersendiri itu ditentang Rhoma karena berbau pornografi yang mengakibatkan dekadensi moral. Tak
hanya itu, sang Raja juga khawatir jika hal ini dibiarkan saja, akan tumbuh-tumbuh goyangan porno model lain yang
dilakukan penyanyi-penyanyi di daerah untuk ikut-ikutan 'mengekor' si ratu goyang ngebor itu.

Penentangan Rhoma terhadap aksi Inul dan beberapa tokoh dangdut lain ternyata mendapat 'sambutan' dari para
pembela Inul. Baik itu masyarakat umum atau seniman-seniman Indonesia lain (dan bahkan melibatkan pakar
hukum). Sejak itulah pro-kontra terhadap Inul menjadi headline news di media-media di Indonesia dan bahkan
beberapa media-media Internasional seperti BBC News.

Pro-kontra dan kontroversi itu ternyata semakin mempopulerkan Inul itu sendiri, Dangdut Koplo dan artis-artis
Dangdut lain. Benar kata sang Raja, karena munculnya Inul tersebut diikuti oleh munculnya artis-artis pendatang
baru yang juga membawa identitas goyangan, seperti goyang ngecor ala Uut Permatasari dan Goyang patah-patah
ala Anisa Bahar. Hal tersebut membuat sang Raja dan para penentang lain semakin sedih. Munculnya artis atau
penyanyi Dangut baru karena kontroversi itu juga semakin mempopulerkan Dangdut Koplo. Berturut-turut setelah
Uut dan Anisa Bahar, muncul nama lain seperti Dewi Persik, Julia Perez, Shinta Jojo waktu itu.

Di sisi lain, Dangdut sedang berbenah melalui Konggres PAMMI untuk memilih calon ketua baru. Dalam
kesempatan itu, Rhoma kembali terpilih sebagai ketua PAMMI. Salah satu pernyataan yang cukup menghebohkan
juga adalah bahwa Rhoma secara terang-terangan melarang dan menggunakan embel-embel Dangdut karena telah
menyimpang dari pakem Dangdut sehingga seharusnya aliran tersebut berdiri sendiri. Salah satu alasannya yang
populer adalah karena Dangdut Koplo melahirkan penyanyi Dangdut dengan goyangan erotis dan penampilan
vulgar.

Sayang, pernyataan dia seperti tak pernah didengarkan oleh para pelaku Dangdut terutama penyanyi. Justru hal itu
seolah semakin mengeksiskan Dangdut Koplo itu sendiri disamping produktifitas Dangdut non koplo yang sepi dan
kalah bersaing dengan peredaran vcd/dvd bajakan yang semakin meluas. Di sisi lain, penyanyi pendatang baru juga
semakin membludak, baik itu yang bersifat lokal atau nasional, begitu juga dengan grup-grup Dangdut koplo juga
semakin banyak, ata grup yang tadinya beraliran klasik atau rock Dangdut, berganti haluan menjadi Dangdut koplo.

Mungkin masyarakat Indonesia sudah banyak yang tahu artis-artis pendatang seperti Ayu Ting Ting, Siti Badriah,
Zaskia Gotik, Trio Macan, Wika Salim, Melinda dan sebagainya, atau grup Dangdut Koplo Jawa timuran yang
semakin populer di Indonesia. Itu semua justru terjadi karena kontroversi-kontroversi tersebut.

Tokoh-tokoh
Setelah tahun 2000

Zaskia Gotik
Wika Salim
Siti Rahmawati
Shreya Maya
Gitalis Dwi Natarina
Irwan Krisdiyanto
Selfi Nafilah
Wada Syuhada
Reza Zakarya Mahdami
Via Vallen
Siti Badriah
Shreya Maya
Fitri Karlina
Jenita Janet
Ayu Ting Ting
Dewi Persik
Ridho Rhoma
Vicky Irama
Trio Macan
Julia Perez
Denada
Cita Citata
Hesty Aryatura
Sodik
Syanel Imelda
Mahesya KDI

Sebelum tahun 2000

Akhsay
Wika Salim
Zaskia Gotik
Siti Badriah
Fitri Karlina
Ira Swara
Anisa Bahar
Uut Permatasari
Nitha Thalia
Jenita Janet
Cici Paramida
Juwita Bahar
Alam
Ayu Ting Ting
Beniqno Aquino
Dewi Persik
Melinda
Saipul Jamil
Inul Daratista
Ira Swara
Trio Macan
Julia Perez
Kristina
Shamila

Era tahun 1990-an

Amri Palu
Anies Fitria
Asep Irama
Barakatak
Chaca Handika
Deddy Irama
Erie Suzan
Evie Tamala
Fahmi Shahab
Hamdan ATT
Herry Irama
Iis Dahlia
Irvan Mansyur S
Ikke Nurjanah
Imam S Arifin
Ine Sinthya
Itje Trisnawati
Iyeth Bustami
Jhonny Iskandar
Kitty Nurbaiti
Lilis Karlina
Leo Waldy
Manis Manja Group
Mansyur S
Mega Mustika
Meggy Z
Mirnawati
Minawati Dewi
Muchsin Alatas
Dino B. / Dino Baloewel
Nada Soraya
Neneng Anjarwati
Nur Halimah
Ona Sutra
Rama Aiphama
Riza Umami
Solid AG
Vetty Vera
Yulia Citra
Yus Yunus
Yopie Latul
Thomas Djorghi

Penyanyi Tahun 1970 - 1980

A. Rafiq
Camelia Malik
Elvy Sukaesih
Herlina Effendi
Ida Laila
Noer Halimah
Reynold Panggabean
Rita Sugiarto
Soneta Group

Penyanyi era tahun 1970-an

A. Harris
Ellya
Hasnah Tahar
Husein Bawafie
Johana Satar
M. Mashabi
Munif Bahaswan
Said Effendi
Rhoma Irama

Anda mungkin juga menyukai