Kekerasan adalah kata yang biasa diterjemahkan dari violence, yang dalam
bahasa latin disebut violentia. Violence erat berkaitan dengan gabungan kata latin vis
(daya, kekuatan) dan latus yang berasal dari ferre ( membawa ) yang kemudian berarti
membawa kekuatan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kekerasan adalah perihal atau sifat keras,
paksaan, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain.
B. Bentuk-Bentuk Kekerasan
b. Agresi jahat melawan kekejaman, kekerasan, dan kedestruktifan ini merupakan ciri
manusia, di mana agresi tidak terprogram secara filogenetik dan tidak bersifat adaptif
biologis, tidak memiliki tujuan, serta muncul begitu saja karena dorongan nafsu
belaka. Misalnya aksi kerusuhan yang dilakukan oleh para suporter sepak bola. Kamu
telah belajar mengenai konflik dan kekerasan yang terjadi di masyarakat.
D. Dampak-Dampak Kekerasan
Moore (dalam Nataliani, 2004) menyebutkan bahwa efek tindakan dari korban
penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi
negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang
tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan
ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore
juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal juga
rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan
perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA (dalam Nataliani, 2004)
mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun yang menjadi korban kekerasan, memiliki
keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan kekerasan terhadap anak (child abuse),
antara lain:
Anak yang mendapat perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif,
dan setelah menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif
melahirkan anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis
gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia ketika dia
masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam jangka waktu lama akan
menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan bekas luka secara fisik hingga
menyebabkan korban meninggal dunia.
Unicef (1986) mengemukakan, anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi
diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti
bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia
(takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri.
Menurut Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena tidak
meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik. Jenis kekerasan ini meninggalkan
bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya
rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik diri dari
lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
Menurut Mulyadi (Sinar Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam
terhadap pelaku, takut menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual,
meski kini mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual
yang dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan
dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil pengaruh buruk
yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol jadi mengompol, mudah
merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak beralasan, atau bahkan simtom fisik
seperti sakit perut atau adanya masalah kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang, 2004) adalah kelalaian
dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam merawat anak dengan baik.
Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi
dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk
keluarga sehingga anak terpaksa putus sekolah.
b. Dampak KDRT
Kekerasan dalam rumah tangga terjadi karena banyak faktor. Ada yang karena 'perebutan
kekuasan', masalah keuangan, atau memang ada kecenderungan sadisme pada salah satu
pasangan. Apa pun penyebabnya, KDRT memiliki pengaruh besar bagi kehidupan di masa
depan.
Tidak jarang, korban KDRT tidak bisa melanjutkan hidupnya seperti biasa. Dan beban serta
luka akibat penganiayan yang pernah dialaminya akan terbawa seumur hidup. Kadang dalam
beberapa kasus, anak yang dianiaya oleh orangtuanya, memiliki kecenderungan untuk
melakukan hal yang sama ketika sudah menjadi orangtua. Walau, tentu saja tak selalu seperti
itu kejadiannya.
Seseorang yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga bakal sulit melupakan bekas
luka yang dialaminya. Hidup pun jadi tidak tenang.
Seandainya korban berhasil meninggalkan penganiayanya, misalnya istri yang menggugat
cerai, anak yang bertumbuh dewasa, hal ini akan terus mempengaruhi hubungan-hubungan
mereka selanjutnya.
2. Trauma
Ada banyak kasus di mana korban kekerasan dalam rumah tangga menjadi tertekan dan
trauma setelah menghadapi pelecehan dalam hubungan mereka.
Hal ini membuat mereka tidak bisa 'berfungsi' normal, yang kadang mempengaruhi berbagai
aspek lain dalam kehidupan mereka, misalnya dalam bidang pekerjaan atau pendidikan.
3. Rasa sakit
Dalam kasus di mana salah satu di antara pasangan menerima kekerasan fisik, korban
mungkin mengalami rasa sakit dan penderitaan. Dan ada kasus di mana cedera fisik sulit
untuk dihilangkan.
Dalam beberapa kasus ekstrem, korban KDRT mengalami cacat fisik permanen akibat
penganiayaan yang diterimanya.
4. Ketakutan
Sebuah studi baru-baru ini mengatakan, korban kekerasan dalam rumah tangga cenderung
menjadi paranoid. Mereka mungkin tidak bisa mempercayai adanya sebuah hubungan baru di
mana mereka tidak akan dianiaya.
Sangat disarankan bagi korban KDRT untuk mengikuti sesi terapi, dimana mereka bisa
menyembuhkan dan mengobati jiwa mereka atas pengalaman buruk yang sudah dialami.
Terapi yang benar dan cukup akan membuat mereka lebih siap dan kuat untuk menghadapi
hidup kedepannya.
1. Penegakan hukum
Salah satu upaya meredam penggunaan kekerasan oleh masyarakat sipil adalah
dengan penegakan hukum yang adil, sehingga meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah dalam penyelesaian konflik-konflik horisontal. Ketidakpercayaan
terhadap institusi penegak hukum telah lama menjadi keluhan masyarakat dan hal ini tidak
bisa dipungkiri menjadi legitimasi terhadap usaha main hakim sendiri. Sebagai contoh,
masyarakat enggan menyerahkan pencuri atau perampok yang tertangkap tangan karena
mereka tahu tidak akan diproses secara adil oleh penegak hukum.
Ketiga, negara dalam hal ini elite partai politik di pemerintahan dan legislatif perlu
senantiasa menjaga kepercayaan konstituen secara khusus dan masyarakat pada umumnya,
sehingga masyarakat tidak perlu menggunakan kanal-kanal ekstra-parlementer, aksi politik
jalan yang rentan penggunaan kekerasan. Kita harus membaca penggunaan kanal tersebut
bukan sebagai wujud ekspresi kebebasan berpolitik, tetapi kekecewaan terhadap kanal resmi
akibat kanal partai politik melalui elitenya kerap tidak menjadi ventilasi bagi pengapnya
pergumulan masyarakat. Dengan begini, penggunaan kekerasan dapat dieliminasi karena
masyarakat tahu bahwa ada jalur yang tidak buntu sebagai tempat menyalurkan aspirasinya.
Perilaku kekerasan semakin hari semakin nampak, dan sungguh sangat mengganggu
ketenteraman hidup kita. Jika hal ini dibiarkan, tidak ada upaya sistematik untuk
mencegahnya, tidak mustahil kita sebagai bangsa akan menderita rugi oleh karenanya. Kita
akan menuai akibat buruk dari maraknya perilaku kekerasan di masyarakat kita baik dilihat
dari kacamata nasional maupun internasional.
Saat ini kita sebagai bangsa sudah dituding oleh beberapa Negara lain sebagai sarang
teroris, terlepas dari benar tidaknya tudingan itu. Dalam era global seperti saat ini arus
Informasi, orang, produk, jasa, amat sangat bebas, tidak bisa dibendung lagi. Keadaan ini
juga akan mendorong suburnya perilaku kekerasan dalam masyarakat kita. Melalui arus
informasi, produk, jasa, yang bebas itulah pesan-pesan kekerasan ikut masuk ke dalam sistem
kehidupan masyarakat kita secara tidak sadar, bagaikan aliran darah dalam tubuh kita:
mengalir dan beredar tanpa henti, tetapi tak pernah kita sadari.
Akhirnya, mediasi teman sebaya merupakan salah satu bentuk resolusi konflik di
mana dalam proses itu anak-anak muda bertindak sebagai mediator untuk membantu
menyelesaikan pertikaian di antara teman-teman sejawat mereka. Dalam konteks ini para
siswa dapat dilatih dan diawasi oleh guru atau orang dewasa lain dalam melaksanakan
perannya sebagai mediator. Dengan cara ini para siswa dapat mem-pelajari budaya damai dan
budaya anti kekerasan dengan cara melibatkan diri dalam persoalan riil yang dihadapi oleh
para rekan sejawat mereka.
Hal ini berarti kita tidak perlu kurikulum secara khusus. Cukup guru memiliki
kepedulian dan komitmen yang kuat untuk menanamkan sikap dan nilai anti kekerasan
kepada para siswa dengan cara mengajarkan berbagai bentuk resolusi konflik secara
terintegrasi dengan bidang studi yang relevan dengan sifat dan hakikat resolusi konflik yang
dikonseptualisasikan. Dengan cara ini maka dalam jangka panjang para siswa kita memiliki
nilai dan perilaku anti kekerasan. Kalau hal ini dapat dilaksanakan, sungguh kita sebagai
bangsa akan memiliki generasi penerus yang santun dalam berperilaku, cerdas dalam
berpikir, dan toleransi terhadap berbagai pluralitas yang ada di Republik ini.
Untuk meredam kekerasan yang sudah terjadi harus dilakukan peace keeping, peace
making, peace building yakni membuat kekerasan berhenti, menyembuhkan yang luka, dan
membangun benteng yang untuk kedamaian. Setelah tidak ada luka, baru kita menyakinkan
pihak-pihak bahwa damai itu lebih produktif. Kita harus melakukan kooperasi-kooperasi
dengan pihak-pihak yang bertikai. Peace building harus dilakukan setelah ada proses
memaafkan tidak ada luka. Proses pemaafan itu sendiri memerlukan waktu, tidak bisa serta
merta terjadi setelah kejadian kekerasan. Setelah itu harus ada dialog-dialog, permintaan
maaf, dan membangun kesepahaman. Upaya peace building pernah dilakukan oleh Mahatma
Gandhi. Namun upaya Gandhi ini mengalami kegagalan karena dia langsung melakukan
peace building, tidak ada peace keeping dan peach making.
Posisi pemerintah untuk memproses tiga tahapan untuk membangun kedamaian masih
sulit mengingat pemerintah itu sendiri dibangun oleh politik yang di dalamnya ada dua hal
yang berlawanan dengan perdamaian yakni kepentingan dan kompetisi. Kecuali ada
pembongkaran pemerintahan secara struktural. Maksudnya, pemerintah harus dibangun dari
dua sisi yakni politik dan birokrasi. Birokrasi ini tidak boleh ada kepentingan. Di Indonesia
ini masih campur aduk, birokrasi juga politik. Seharusnya tata pemerintahnya non politik dan
diduduki oleh orang-orang profesional. Dengan demikian meskipun pemerintah berganti,
roda pemerintahan tetap berjalan. Sebagai contoh, Jepang, tidak pernah mengganti tata
pemerintahan, walaupun perdana menteri dan kabinetnya ganti.
Meskipun demikian kita masih bisa berharap pada masyarakat. Masyarakat sudah
mulai sadar terhadap kearifan lokal. Saat ini ada orang-orang bijak yang selalu berusaha
mengembangkan non kekerasan, meskipun masih sangat rentan terhadap isu politik. Kita
berharap mesin politik tidak terlalu keras untuk menggilas mereka.
Untuk menyelamatkan generasi muda kita, kita harus membangun gerakan pluralisme
melalui kegiatan-kegiatan yang kreatif. Sekolah-sekolah perlu membuat suasana belajar-
mengajar yang membuat bahagia anak didik. Kekerasan dilakukan oleh orang-orang yang
bodoh atau kapasitas kognisinya terbatas, sehingga mengatasi masalah dengan berkelahi
atau tawuran. Metode atau media mengajar yang variatif perlu diterapkan untuk
menyalurkan energi anak didik sehingga kapasitas kognisi anak menjadi lebih variatif.
Pendidikan yang variatif akan membuat kegiatan belajar mengajar lebih fun, membuat anak
didik lebih hepi. Rasa bahagia inilah yang akan melunturkan kekerasan.
TUGAS SOSIOLOGI INDONESIA
(KEKERASAN)
OLEH
KELOMPOK 10
JURUSAN PPKn
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2016