DI INDONESIA
1. Latar Belakang
Di Indonesia sendiri, angka gizi buruk bergerak ke arah yang positif. Riset
kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2013 melaporkan bahwa prevalensi berat-
kurang (underweight) secara nasional adalah 19,6%, terdiri dari 5,7% gizi buruk
dan 13,9 persen gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional
tahun 2007 (18,4 %) dan tahun 2010 (17,9 %) pencapaian ini merupakan suatu
peningkatan. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 persen
tahun 2007, 4,9% pada tahun 2010, dan 5,7% tahun 2013. Sedangkan prevalensi
gizi kurang naik sebesar 0,9 persen dari 2007 dan 2013. Untuk mencapai sasaran
MDG tahun 2015 yaitu 15,5 persen maka prevalensi gizi buruk-kurang secara
nasional harus diturunkan sebesar 4.1 persen dalam periode 2013 sampai 2015
(Bappenas, 2012). Akan tetapi, pada provinsi-provinsi tertentu masih terlihat
prevalensi yang tinggi pada kasus gizi buruk, yaitu di NTT dan Papua Barat
dengan prevalensi >30% (Riskesdas, 2013).
Gizi buruk merupakan kurang gizi tingkat berat akibat rendahnya konsumsi energi
dan protein dari makanan sehari-hari yang terjadi dalam waktu yang cukup lama
(Sandjaja et al., 2010). Menurut Depkes RI (2008), gizi buruk adalah suatu
keadaaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 standar deviasi WHO-NCHS dan atau
ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor.
Marasmus sendiri ialah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat
kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput.
Sedangkan Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema
seluruh tubuh terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut
buncit, otot mengecil, pandangan mata sayu dan rambut tipis/kemerahan.
Marasmus-Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan
dari marasmus dan kwashiorkor (Depkes, 2008).
Kejadian gizi buruk merugikan negara dari berbagai sisi, baik dari sisi penurunan
sumber daya manusia dan juga kerugian yang finansial yang diderita negara.
Beberapa dampak dari gizi buruk adalah penurunan tingkat intelektualitas,
peningkatan biaya perawatan dan penurunan produktifitas orangtua (UNICEF,
1990). Selain itu, kerugian nasional akibat kejadian KEP pada balita adalah
sekitar Rp 4,24 triliun sampai dengan Rp 19,08 triliun (