Anda di halaman 1dari 4

Kasus Etika Profesi Di Indonesia

Dewan Pers Menganggap RCTI Telah Melanggar Kode Etik Jurnalistik.

Dewan Pers memutuskan, stasiun televisi RCTI melanggar Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik
Jurnalistik soal kejelasan sumber informasi terkait pemberitaan soal Dugaan Pembocoran
Materi Debat Capres yang ditayangkan dalam program Seputar Indonesia Sore pada 11 Juni
2014, Seputar Indonesia Malam pada 11 Juni 2014, dan Seputar Indonesia Pagi pada 12 Juni
2014.

Pada berita tersebut, RCTI mengatakan adanya pembocoran materi debat calon presiden yang
menguntungkan pasangan capres-cawapres Joko Jokowi Widodo dan Jusuf Kalla. Dewan
Pers menilai, sumber pemberitaan tersebut tidak jelas. Stasiun televisi milik Hary
Tanoesoedibjo, yang mendukung pasangan capres-cawapres saat itu, Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa, dinilai tidak memiliki dokumen yang kuat untuk mendukung tudingannya.

Konfirmasi yang sudah dilakukan oleh teradu (RCTI) kepada Komisioner KPU dan tim
sukses Jokowi-JK tidak dapat menutupi lemahnya sumber informasi atau data yang dapat
menjadi landasan teradu dalam memberitakan isu bocornya materi debat capres, demikian
isi putusan Dewan Pers No 27/PPD-DP/XI/2014 yang ditandatangani Ketua Dewan Pers
Bagir Manan, Jumat (21/11/2014).

Dewan Pers mengatakan, seharusnya RCTI melakukan verifikasi terlebih dahulu terhadap
informasi tersebut sebelum menayangkannya demi memenuhi prinsip keberimbangan.

Penayangan berulang-ulang berita yang tidak jelas sumbernya tidak sesuai dengan prinsip
jurnalistik yang mengedepankan akurasi, independensi, dan tidak beriktikad buruk, kata
Bagir dalam putusannya.

Dewan Pers pun merekomendasikan RCTI untuk mewawancarai Komisioner KPU Pusat
selaku prinsipal, dan menyiarkannya sebagai hak jawab. RCTI juga dituntut meminta maaf
kepada publik dan menyiarkan pernyataan penilaian dan rekomendasi Dewan Pers.
Hal ini diputuskan setelah adanya laporan dari Dandhy D Laksono selaku warga, dan Arian
Rondonuwu selaku karyawan RCTI ke Dewan Pers pada 16 Juli 2014. Sebelum memutuskan,
Dewan Pers telah mengundang Dandhy, Raymond, dan pihak RCTI pada 5 September 2014
untuk memberikan penjelasan dan klarifikasi

Solusi dari kasus ini adalah sebaiknya RCTI yang merupakan statsiun televisi swasta yang
cukup besar harus bisa lebih berhati-hati dalam memberikan informasi. Apalagi ini masalah
debat capres dan cawapres, secatra tidak langsung pihak RCTI telah memfitnah dari calon
capres dan capres terkait.

Karena seorang jurnalis tentunya sudah tau etika jurnalis yang telah di buat salah satunya
yaitu harus profesional dalm mengambil situasi. Masyarkat sudah menegetahui bahwa pihak
RCTI yang bernaung dalam MNC group memang memilih pasangan PRABOWO-HATTA,
ini sungguh angat disayangkan kenapa RCTI bisa melakukan hal itu dan melanggar kode etik.

Diharapkan ini jadi pelajaran bagi RCTI dan seluruh stasiun televisi swasta Indonesia harus
bisa lebih professional dalam melakukan pejerjaan nya harus bisa membedakan mana
masalah pribadi dan umum.
Kasus Etika Profesi Luar negeri

Kasus Pada Produk Johnson & Johnson

Johnson & Johnson adalah perusahaan manufacture yang bergerak dalam pembuatan dan
pemasaran obat-obatan dan alat kesehatan lainnya di banyak negara di dunia.

Tylenol adalah obat rasa nyeri yang di produksi oleh McNeil Consumer Product Company
yang kemudian menjadi bagian anak perusahaan Johnson & Johnson. Tingkat penjualan
Tylenol sangat mengagumkan dengan pangsa pasar 35% di pasar obat analgetika peredam
nyeri, atau setara dengan 7% dari total penjualan grup Johnson & Johnson dan kira-kira 15
hingga 20% dari laba perusahaan itu.

Pada hari kamis tgl 30 September 1982, laporan mulai diterima oleh kantor pusat Johnson &
Johnson bahwa adanya korban meninggal dunia di Chicago setelah meminum kapsul obat
Extra Strength Tylenol. Kasus kematian ini menjadi awal penyebab rangkaian crisis
management yang telah dilakukan oleh Johnson & Johnson. Pada kasus itu, tujuh orang
dinyatakan mati secara misterius setelah mengonsumsi Tylenol di Chicago. Setelah diselidiki,
ternyata Tylenol itu mengandung racun sianida. Meski penyelidikan masih dilakukan guna
mengetahui pihak yang bertanggung jawab, J&J segera menarik 31 juta botol Tylenol di
pasaran dan mengumumkan agar konsumen berhenti mengonsumsi produk itu hingga
pengumuman lebih lanjut. J&J bekerja sama dengan polisi, FBI, dan FDA (BPOM-nya
Amerika Serikat) menyelidiki kasus itu. Hasilnya membuktikan, keracunan itu disebabkan
oleh pihak lain yang memasukkan sianida ke botol-botol Tylenol.

Biaya yang dikeluarkan J&J dalam kasus itu lebih dari 100 juta dollar AS. Namun, karena
kesigapan dan tanggung jawab yang mereka tunjukkan, perusahaan itu berhasil membangun
reputasi bagus yang masih dipercaya hingga kini. Begitu kasus itu diselesaikan, Tylenol
dilempar kembali ke pasaran dengan penutup lebih aman dan produk itu segera kembali
menjadi pemimpin pasar.

Kasus ini merupakan contoh kasus dimana perusahaan telah melanggar kode etis dengan
tidak memperhatikan keselamatan dari konsumen. Pada kasus ini dari pihak Johnson &
Johnson dengan cepat menyelesaikan masalah ini. Pihak Johnson melakukan upaya dengan
cara memberitakan semua proses produksi dan quality controlnya ke publik, tidak hanya pada
penyidik. Dan tentunya data QA procedures tersebut menjadi makanan empuk bagi industrial
intelligence para pesaing. Dalam dua tau tiga hari saja, semua inventaris Tylenol ditarik dari
semua rak supermarkets dan drugstores secara nasional, dan semua produksi Tylenol
berhenti. Esensinya, adalah bahwa J&J tidak akan pernah lari dari tanggung-jawab pada
publik, dan secara proaktif memperbaiki perilakunya sendiri, meski indikasinya kemudian
mulai mengarah ke tindakan usil, dan bukan kebocoran kualitas di pabrik-pabrik Tylenol.

Anda mungkin juga menyukai