Anda di halaman 1dari 7

Sulawesi Utara di awal Pasca Perang Pasifik Hingga Aksi Kudeta Militer 14 Februari 1946

Oleh: Harry Kawilarang


Cuplikan dari buku Mengindonesiakan Indonesia: Partisipasi Orang Minahasa Memperjuangkan
Kemerdekaan Indonesia 1900-1958)
Latar Belakang Kebangkitan Nasionalisme di Kalangan Minahasa
David Henley, peneliti Sejarah Minahasa dari Australia pernah mengatakan: "Kekalahan tanpa
perlawanan gigih dan meninggalkan penduduk Hindia Belanda kepada Jepang menjadi penyebab
hingga kredibilitas Belanda melorot tajam dikalangan masyarakat Minahasa" Menurut David
Henley dalam kertas kerjanya: "Japan and the Question of Minahasan Identity. "Masyarakat
Minahasa memang unik dalam identitas Nasionalisme, yang justru timbul waktu perang dunia
kedua yang menyadarkan mereka untuk mandiri. Kebangkitan nasionalisme muncul pada masa
pendudukan Jepang. Walau militer Jepang sekuat apapun, tetapi umumnya orang Jepang masih
rendah tingkat intelektualisnya di banding orang Minahasa tulis David Henley dari hasil
penelitian lapangan di Minahasa pada 1986-1987.
Dari penelitian sejarah, Henley berpendapat masalah kesadaran nasionalisme di Minahasa
kurang menonjol pada penjajahan Belanda walau memiliki tingkat kemampuan intelektual yang
rata-rata cukup tinggi dibanding masyarakat ethnis lainnya di gugusan nusantara. Hal ini terjadi
karena masyarakat Minahasa memperoleh peluang berada dipemerintahan setempat, walaupun
kunci kepemimpinan formal berada ditangan Belanda. Dalam pergaulan sosial masa pendudukan
militer Jepang, mereka bergaul biasa-biasa saja dan cukup realistis menghadapi kondisi yang
terjadi melalui jalinan komunikasi. Sehingga terkadang bagi si Jepang sendiri tidak terasa ada
jarak bila bergaul dengan penduduk yang menerima mereka dengan segala keberadaannya. Lagi
pula kalangan masyarakat Minahasa sudah mengenal masyarakat Jepang. Bahkan sebelumnya
ada pula yang telah berlayar mengunjungi Jepang. Misalnya seorang pemuda, Marcus putera
seorang Hukum Tua pernah mengunjungi Jepang pada 1919. Sekembalinya di Manado menjadi
penterjemah melayani pengusaha-pengusaha Jepang yang berusaha di Sulawesi Utara.
Pada 1930'an, Dr A B Andu seorang Hukum Besar dan juga pernah menjabat Wali-kota Manado
pernah tinggal beberapa lama di Jepang. ia juga mengirim putranya belajar di Jepang. Wawasan
intelektual orang Minahasa hingga di segani oleh masyarakat Jepang. Buku "Indonesia di
Pasifik" tulisan pemuka organisasi Persatuan Minahasa, DR GSSJ Ratulangie pada 1937
mendapat perhatian seksama dari ilmuwan-ilmuwan Jepang. Dari pandangan itu hingga
masyarakat Minahasa dinilai memiliki wawasan luas dan menghendaki terwujudnya Bangsa
Indonesia menyatukan masyarakat di seluruh gugusan nusantara.
Latar-belakang Hubungan Jepang-Minahasa
Hubungan Jepang dengan masyarakat Minahasa sudah bermula sejak 1917 melalui perdagangan,
dan kapal-kapal Jepang secara reguler bersandar di pelabuhan Manado. Adanya lintasan ini
hingga pihak pemerintah Hindia-Belanda mengembangkan jalur niaga Jawa-Cina-Jepang melalui
pelabuhan Manado. Bahkan juga mempersiapkan Manado sebagai pelabuhan persinggahan
menuju San Fransisco, pantai Barat Amerika Utara. Sejak itupun Manado dan Bitung menjadi
pelabuhan internasional hingga 1950'an dan memiliki hubungan langsung dengan berbagai
pelabuhan di Jepang. Dengan dijadikannya Manado sebagai pelabuhan internasional
memungkinkan bagi pemuda-pemuda Minahasa memperoleh lahan kerja, dan bekerja sebagai
awak kapal berbagai perusahaan perkapalan Jepang.
Komoditi kopra menjadi daya tarik utama bagi kalangan pengusaha Jepang hingga Manado
dikenal sebagai produsen ekonomi potensial. Sikap keterbukan masyarakat setempat yang pada
1920 mulai menjual tanah-tanah mereka kepada kalangan masyarakat pengusaha Jepang.
Sebagai hasilnya dua tahun kemudian, perkebunan kelapa, kofi dan Karet berkembang luas
ditanah Minahasa dengan sebagian besar dari penanaman modal berasal dari pengusaha-
pengusaha Jepang. Adanya keleluasan berusaha dan memperoleh peluang mengimpor produksi
asal Jepang mulai membanjiri Sulawesi Utara dengan harga bersaing dan para interpreneur
Jepang dan mulai menggusur kalangan saudagar-saudagar Arab, Cina dan Eropa diberbagai
sektor. Juga memberi lapangan kerja bagi penduduk setempat bekerja pada perusahaan-
perusahaan Jepang yang giat berusaha di Sulawesi Utara.
Manado menjadi penting bagi Tokyo hingga pada 1940 menempatkan perwakilan Konsulat -
ternyata menjadi sasaran strategi militer Jepang melakukan penyerbuan "Operasi Selatan-"
menjadi "pressure point" terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sejak itupun migrasi masyarakat
Jepang di Sulawesi Utara dan membentuk koloni-koloni berkisar 500 jiwa di Bitung dan ratusan
lainnya bermukim di Manado.
Pembauran dengan masyarakat setempat diperluas dalam pergaulan sosial dan diwarnai dengan
berbagai kata bahasa Jepang yang mirip dan digunakan dalam percakapan "orang-orang
Gunung."
Hubungan Jepang-Minahasa kemudian dikembangkan dengan pengadaan sejarah persamaan
silsilah turunan yang dilakukan oleh seorang Tanaka (sebutan orang Jepang di Minahasa oleh
penduduk setempat).
Sekelompok ilmuwan anthropolog dari Universitas Kyoto mengembangkan thesis mengenai
migrasi turunan Jepang pada zaman purba dan berbaur dengan masyarakat Malayo-Polinesia.
Perpindahan ini terjadi karena arus laut yang masa itu dikenal sebagai gelombang hitam yang
menyeret mereka hingga ke selatan. Ternyata thesis ini sengaja dikembangkan para ilmuwan
ketika "berkolusi" dengan pemerintahan militer di Jepang dalam usaha melakukan "Operasi
Selatan." Teori inipun dikembangkan sebagai alat propaganda dan menjadi isseu nasional di
Jepang. Untuk itu memantapkan teori ini sebagai "Kekeluargaan Asia Timur," dan melakukan
proses men "Jepang"kan masyarakat Malayo-Polinesia digugusan kepulauan Indonesia, Filipina
dan Taiwan. Tetapi pembentukan koloni masyarakat Jepang tidak disenangi oleh penduduk
Minahasa. Karena pembentukan kolonia sejak 1940 hingga terjadi sikap arogan dan sering
membatasi diri dalam sosialisasi. Sejak itu pula masyarakat Minahasa bersikap anti-pati terhadap
masyarakat Jepang. Sebaliknya, pemerintah Batavia baru menyadari "dominasi" Jepang di
Minahasa, tetapi sudah terlambat. Karena menjelang penerbuan "Operasi Selatan" oleh Jepang,
Hindia Belanda berkonsentrasi pada "Pertahanan Selatan" dan hanya mengirimkan sekitar 400
pasukan KNIL yang umumnya turunan Minahasa dan sebagian besar berstatus pensiunan.
Dengan tergesa-gesa merekrut sekitar 800 sukarelawan di Minahasa untuk mempertahankan
Sulawesi Utara. Tetapi pertarungan tidak seimbang ketika Manado diserbu 15.000 pasukan
Jepang pada 10 Januari 1941. Karena pasukan pertahanan hanya di lengkapi senjata-senjata tua
menghadapi peralatan militer modern Jepang. Minahasa dikuasai pada 11 Januari dan pada hari
itupun pemerintahan militer Jendral Hideki Tojo di Tokyo memaklumkan perang terhadap
Hindia-Belanda.
Pada masa pendudukan pemerintahan Minseifu, perlakuan perwira-perwira Angkatan Laut di
Indonesia Timur rata-rata tidak sekejam terhadap penduduk setempat dibanding di wilayah
Angkatan Darat.
Jabatan pemerintahan yang ditempati masyarakat setempat dan agama Kristen yang merupakan
mayoritas tidak diubah dan tetap dipertahankan oleh penguasa Jepang. Jepang juga memberi
peluang pemuda-pemuda Minahasa memasuki pendidikan Angkatan Laut di Makassar yang
mulanya dibangun oleh Hindia Belanda. Namun dari komunikasi itu bangkit keyakinan
masyarakat Minahasa untuk meraih identitas nasionalsme dan mudah menyesuaikan dengan
suasana revolusi kemerdekaan, pendapat David Henley.
Pandangan ini dikemukakan Hanley pada bukunya, Nationalism and Regionalism in a Colonial
Context: Minahasa in the Dutch East Indies, yang meneliti Kebangkitan nasionalisme
masyarakat Minahasa yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh
kalangan masyarakat Indonesia Timur di Australia.
Perjuangan Orang Minahasa Meraih Simpati Kemerdekaan Indonesia di Australia
Di awal pasca perang, kalangan nasionalis asal Minahasa yang umumnya bekas tahanan politik
Hindia Belanda di Tanah Merah seperti, Mewengkang dan kawan-kawan giat dalam organisasi
Central Komite Indonesia Merdeka (Cenkim) didirikan pada 1 September 1945 di Brisbane.
Motivasi Cenkim cepat menyebar terutama dikalangan para awak kapal asal Minahasa di Sydney
dan Brisbane. Bahkan Jan Walandouw, seorang bekas karyawan KPM yang merantau sejak pra
perang, giat memperluas kampanye Kemerdekaan Indonesia dikalangan awak kapal
diperantauan. Di awal usai peperangan, Walandouw dan kawan-kawan tergabung dalam
Persatuan Pelaut Indonesia berhasil meraih simpati pelabuhan Australia.
Pada 22-23 September 1945, secara beramai-ramai pekerja-pekerja kapal Indonesia melakukan
aksi mogok dan meninggalkan kapal-kapal niaga Belanda yang berlabuh di Brisbane, Sydney
dan Melbourne. Aksi ini dilakukan sebagai protes terhadap Belanda yang ingin menguasai
Indonesia kembali. Aksi mogok kemudian berkembang menjadi aksi solidaritas yang didukung
oleh buruh-buruh Australia dimotori oleh Federasi Buruh Pelabuhan, WWF (Waterside Workers
Federation) hingga Australia dilanda demam aksi boikot selain terhadap kapal-kapal Belanda,
juga kapal-kapal Australia yang kedapatan mengangkut senjata-senjata untuk pasukan NICA
memadamkan api kemerdekaan Indonesia.
Dari perjuangan ini pula hingga simpati terhadap kemerdekaan Indonesia sebagai negeri tetangga
terdekat meluas dikalangan masyarakat Australia.
Hubungan kalangan politisi Australia terutama dari Partai Buruh juga terjalin akrab dengan
pemuka-pemuka Republik. Karena bagi partai Buruh, Kemderdekaan Indonesia itu terbentuk
dari suatu proses dari ciptaannya sendiri dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh dukungan
faktor-faktor luar. Lagi pula dukungan Australia terhadap Republik Indonesia digambarkan
sebagai hasil proses yang realistik, idealistik, berhasil dan independen. Sejak itupun Australia
turut berperan dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pengaruh ini sedikit banyak
terjadi dari proses pendekatan dari kalangan para perantau Indonesia di Australia yangberhasil
menembus "politik kulit kuning" Australia yang alergis terhadap migrasi masyarakat Asia Timur.
Tetapi cukup realistis hingga mendukung kedaulatan Indonesia dari kungkungan kolonialisme
Belanda di Asia Tenggara.
Situasi Manado di Awal Pasca Perang Pasifik
Sebelum menyerahkan wilayah Indonesia Timur dan Kalimantan kepada SEAC, pihak militer
Australia bermarkas di Morotai mengirimkan satuan-satuannya melaksanakan program
perlucutan dan evakuasi tentara Jepang diberbagai wilayah teritorialnya.
Pada 10 September 1945, setelah menerima penyerahan Jepang di Morotai, komandan Sekutu,
Letnan Jendral Berriman mengirim satu brigade dari Divisi ke-7 di Balikpapan menuju Makassar
dan Manado, dan satu batalyon di Banjarmasin. Satu brigade dari Morotai dikirim ke Ambon dan
satu lagi ke Halmahera; kemudian sebuah pasukan dirikim dari Darwin untuk menduduki Timor.
Misi militer Australia untuk Sulawesi Utara, berkedudukan di Manado dipimpin Letkol Muir
berangkat dari Morotai dengan ima buah korvet. Selama satu minggu di Minahasa, mereka
menemui Laksamana Hamanaka di Tondano dan Mayor Jendral Endo di Tomohon untuk
menerima pengakuan kekalahan dan memerintahkan agar Jepang tentara Jepang agar tidak
meninggalkan tempat (standfast).
Untuk itu di instruksikan, menunggu kedatangan utusan pasukan South East Asia Command
yang menangani urusan kapitulasi dan evakuasi tahanan perang/ Misi dibawah komando Muir
juga bertugas membebaskan para interniran di Airmadidi (dua kamp), Manado (satu kamp), dan
di Tomohon (dua kamp untuk para broeder dan zuster). Seluruhnya tercatat 446 orang dari
berbagai bangsa: Belanda (42), Inggris (1), Denmark (5), Swiss (3), Swedia (2), Amerika (1),
Irak (2), Iran (8), dan Jerman (3). Sebagian dari para interniran yang kondisi fisiknya lemah
dikirim ke Morotai untuk dirawat. Setelah misi militer menyelesaikan tugasnya, pada 1 Oktober
1945 Australian Military Force (AMF) menyerahkan kekuasaan wilayah Indonesia-Timur dan
Kalimantan kepada pasukan SEAC. Tetapi sesuai kesepakatan, Laksamana Mountbatteb
menyerahkan kembali tugas ini kepada militer Australia. Untuk itu, di Morotai dibentuk satuan-
satuan tugas (task force) masing-masing: Manado Force, Ambon Force dan Makassar Force,
sedangkan Timor Force di kirim dari Darwin.
Manado Force di pimpin oleh Letnan-Kolonel Muir, berkekuatan 72 personal yang masing-
masing terdiri dari 12 perwira dan 33 bintara dan prajurit yang tiba di Manado pada 2 Oktober.
Mereka bertugas: (1) melucuti tentara Jepang dan mengevakuasi di suatu tempat yang sudah
ditentukan untuk menunggu pengangkutan kembali ke Jepang; (2) membebaskan tawanan perang
oleh Jepang; (3) menegakkan kembali pemerintahan Hindia-Belanda.
Sebelum pendaratan, pihak Australia menyebarkan pamflet yang memberitakan kepada
penduduk tentang kedatangan pasukan Australia dan tugas mereka. Pengumuman ini disebarkan
di semua wilayah Indonesia Timur, antara lain, Timor, Sulaweai, Manado, Kalimantan, Ternate,
Ambon, Kei, Aru, Tamimbar, Sunda Kecil dll, yang menjelaskan bahwa pasukan Sekutu telah
mengalahkan Jepang, dan pasukan Australia akan datang untuk melindungi masyarakat,
menciptakan keamanan dan ketertiban hingga terwujud kembali pemerintahan Hindia-Belanda.
Pasukan Manado Force pimpinan Let-Kol Muir mendirikan markas di Tomohon, di kompleks
sekolah Katholik yang di masa pendudukan Jepang menjadi sekolah Kyoin Kanri Yoseisya.
Beberapa hari kemudian mereka mangadakan perundingan dengan Laksamana Muda Hamanaka
dan May-Jen Endo untuk melaksanakan tugas pokok mereka. Kemudian mereka meninjau
markas-markas tentara Jepang.
Setelah peninjauan itu, diputuskan untuk mengkonsentrasikan pasukan Jepang di Bitung/Girian
dan di pulau Lembe (khusus berkebangsaan Taiwan. Peralatan perang Jepang (senjata,
kendaraan, makanan dan obat-obatan) dikumpulkan dan diinventarisasi. Kemudian senjata-
senjata dihancurkan dan obat-obatan dimusnahkan. Sebagian dari senjata-senjata yang tersisa
diserahkan kepada LOC Manado. Satuan Manado Force juga menempatkan satuan NICA di
Manado, Tahuna, Gorontalo, Parigi, Poso dan Luwuk.
Pihak Manado Force kemudian mengadakan penyidikan mengenai tindakan-tindakan pasukan
Jepang selama masa pendudukan, terutama sepak terjang para perwira Jepang yang dinilai
menyalahi Konvensi Jenewa masalah Hak Azasi Manusia. Mereka yang terbukti melakukan
pelanggaran tidak dikategorikan sebagai Prisoners of War (tawanan perang) tetapi War
Criminals (penjahat perang) dan dikirim ke Morotai untuk diajukan ke Mahkamah Militer
Austrailia. Diantaranya Laksamana Muda Hamanaka di jatuhi hukuman mati, sedangkan May-
Jen Endo bebas dari tuntutan. Sebelumnya, komandan Kenpeitai, Kapten Saito, ditembak mati di
Tomohon ketika berusaha melarikan diri.
Peranan Kompi Tujuh di Minahasa
Komando Manado Force tidak dilengkapi dengan pasukan tempur keculai satuan Security
Detachment berkekuatan 29 prajurit. Jumlah ini sangat minim dan tidak mencukupi untuk
melaksanakan tugas-tugas melucuti senjata pasukan Jepang dan mengawalnya hingga saat
pemberangkatan. Untuk itu, sesudah pembentukan Manado Force di Morotai, diputuskan satuan
ini diperkuat dengan satu kompi KNIL. Kompi ini (Kompi 7) ini diambil dari salah satu dari dua
kompi KNIL yang memperkuat Divisi 9 Australian Military Force yang menyerang Tarakan
pada bulan Mei 1945. Kedua kompi itu berkekuatan 250 personal, dan merupakan bagian
integral dari pasukan pendaratan Sekutu yang berkekuatan 11.804 personal yang juga diperkuat
dengan berbagai jenis kendaraan lapis baja yang berjumlah 1866 unit, termasuk 20 unit yang
digunakan kedua kompi tersebut. Sekalipun kedua kompi KNIL dilengkapi dengan perwira-
perwira Belanda, tetapi secara organisasi militer mereka ini berada dibawah langsung komando
Panglima (Force Command) Divisi ke-9. Untuk itu, Detasemen NICA menyertai pasukan
pendaratan itu, dilengkapi dengan pasukan pengawal KNIL sendiri, dan tidak memiliki
wewenang apapun atas pasukan itu. Kedua kompi KNIL yang tergabung dalam Detasemen
KNIL ini, selain terdiri dari prajurit-prajurit turunan Minahasa dan Ambon, juga terdapat turunan
Jawa, Sunda, Bali dan Sumatra.
Kompi 7 KNIL yang berkekuatan 50 prajurit dengan dua perwira Belanda, diangkut dengan dua
kapal penumpang milik perusahaan pelayaran Belanda, El Libertador, dari Tarakan dan tiba di
Manado pada 10 Oktober 1945. Status kompi ini sekalipun berada dibawah komando Sonica,
Kolonel Coomans de Ruyter maupun komandan pengawal Detasemen NICA, Mayor Emeis, di
bawah komando Manado Force pimpinan Let-kol Muir dari Australian Force.
Awal pembentukan Kompi 7 terjadi pada bulan Maret 1945. Ketika itu, sesuai dengan instruksi
Jendral Douglas MacArthur sebagai Panglima Sekutu Pasukan Komando Pasifik Barat-Daya
untuk merencanakan penyerangan Sekutu ke Jawa melalui Kalimantan dengan jalur Tarakan-
Balikpapan-Surabaya. Operasi militer ini dikenal dengan sebutan Operasi Oboe. Yang
menyusun penyerangan itu adalah Kolonel (KNIL) Giebels, yang pada waktu itu menjadi staf
MacArthur dalam aksi penyerbuan ke Papua hingga Morotai. Untuk itu Giebel menempatkan
sebagian besar dari pasukan penyerbu terdiri dari prajurit KNIL. Pada bulan April 1945, setelah
pimpinan Angkatan Bersenjata tertinggi AS di Washington menginstruksikan MacArthur
berkonsentrasi di Filipina hingga Asia-Timur, sedangkan Jawa diserahkan kepada pasukan
komando Asia-Tenggara dibawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten. Untuk itu, oleh
MacArthur, Operasi Oboe tidak dibubarkan dan diserahkan sepenuhnya kepada Kolonel Giebels
yang juga membentuk Kompi 7 dan Kompi 9 dan berada dilingkungan Detasemen KNIL.
Sebagian besar dari personal KNIL ini adalah sisa pasukan dari Indonesia yang berhasil
mengungsi ke Australia sejak awal 1942 ketika Jepang melakukan agresi militer.
Banyak diantara prajurit KNIL di Australia dilatih oleh militer Australia di Camp Casino.
Mereka yang memiliki kemampuan sebagai pengamat, di didik di bidang intellijen dan bertugas
di berbagai kepulauan di Pasifik dan Indonesia.
Satuan intelijen Netherlands Forces Intelligence Service (NEFIS) pimpinan Kapten S H Spoor
pada 1942, tak lama setelah MacArthur tiba di Brisbane, untuk menyusun serangan balik
terhadap Jepang. Mereka mendapat latihan intelijen dan tehnik-tehnik pendaratan dari tentara
Australia di Camp Casino. Dengan kapal-kapal selam mereka dikirim keberbagai tempat
penting dan strategis. Diantara mereka ada yang berhasil dan ada pula yang tertangkap dan
dibunuh sebagai mata-mata musuh oleh tentara Jepang. Sementara prajurit-prajurit KNIL lainnya
mendapat tambahan latihan pendidikan militer sebagai pasukan tempur. Dibawah komando
militer Australia, mereka ini dilibatkan dalam berbagai pertempuran sengit di Guadalcanal di
Pasifik Barat-Daya, Papua, Biak hingga Morotai. Ketika berada di Tarakan yang kemudian
menjadi salah satu markas penting Sekutu untuk persiapan operasi Indonesia bagian Barat,
hingga disusun rencana Operasi Oboe.
Walau begitu, Giebels tidak memberi tahu kepada pimpinan militer Belanda di Kandy mengenai
pengadaan kekuatan ini. Karena kekuatan ini tetap berada dibawah komando Sekutu untuk
wilayah Pasifik Barat-Daya yang oleh MacArthur diserahkan kepada Australian Military Force
dan berkedudukan di Morotai. Begitu mendarat di Manado pada 10 Oktober 1945, Kompi 7
segera mendapat berbagai tugas. Salah satu peleton dan Kompi 7 bertugas mengawal tentara
Jepang ketempat penampungan. Peleton ini mendapat tugas khusus untuk: (a) mengamankan
wilayah Bitung dan Lembe sebagai tempat penampungan tentara Jepang, dan (b) mengawasi
setiap gerak-gerik tentara Jepang di Checkpoint Girian setelah tentara Jepang dikonsentrasikan
di Bitung dan Lembe. Pada 22 Oktober 1945 peleton ini melakukan tugas pertama, dan
berangkat dari Manado menuju Bitung melalui Tomohon. Mereka juga bertugas mengamankan
wilayah sekitar Bitung dimulai dari kaki Gunung Dua Saudara hingga pantai antara Girian dan
Airmadidi serta jalan masuk Lembe dari arah Selatan, kemudian dari Gunung Tangkoko hingga
pantai Selat Lembe.
Tugas pengamanan itu rampung pada 27 Oktober. Tugas pelaksanaan menampung semua tentara
Jepang di Sulawesi Utara selesai pada 30 Oktober dengan mulus. Setelah iru peleton tersebut
bermarkas di Checkpoint Girian. Sesuai instruksi, peleton ini sering mengadakan show of
force untuk melemahkan mental pasukan Jepang agar tidak melarikan diri. Sementara
Checkpoint Airmadidi menjadi tanggung-jawab sebuah peleton dari Security Detachment
Manado Force.
Pada 23 Oktober 1945, salah satu peleton dan Kompi 7 bertugas mengamankan depot-depot
penampungan alat-alat perang Jepang yang disita oleh Manado Force yang terletak di Sario.
Sedangkan salah satu peleton lainnya bertugas mengawasi batu bara yang ditampung di Gudang
Arang. Di masa kemudian satuan Kompi 7 mulai menonjol, karena ikut pula terlibat dan turut
mewarnai Gerakan Kudeta Militer di Minahasa melalui Peristiwa Merah Putih yangc akan
diungkapkan pada lembaran berikutnya.
Peran Serta Prajurit Minahasa pada Perang Dunia Kedua
Ketika Minahasa diduduki pada 11 Januari setelah Tondano dikuasai, dan pada hari itu juga
secara resmi Tokyo memaklumkan perang terhadap pemerintahan Hindia-Belanda. Setelah
menguasai Sulawesi Utara, penyerbuan Jepang merembet keselatan setelah Laut Sulawesi,
perairan Maluku-Utara dan Tarakan dikuasai oleh Jepang.
Ketidak mampuan Belanda mempertahankan Indonesia menyebabkan sisa-sisa kekuatan KNIL
bertebaran. Banyak diantara prajurit bekas KNIL turunan Minahasa bergabung dalam sekutu
menghadapi Axis di berbagai front peperangan dari Pantai Utara Afrika hingga gugusan
kepulauan Guadalcanal. Seperti yang dialami oleh Adolf G Lembong yang sebelumnya pernah
bergabung dalam pasukan Heiho Jepang dan di kirim ke Filipina. Tetapi setiba disana, Lembong
tidak segaris dengan Jepang dan menyeberang pada sekutu dan turut bergerilya dengan
gerilyawan Filipina yang di dukung sekutu. Sesudah itu iapun bergabung dan masuk dalam
tentara sekutu dan turut bertempur di Bataan. Sesudah perang berakhir Lembong kembali ke
Indonesia dan ikut terlibat bersama laskar pejuang KRIS dalam perjuangan kemerdekaan. Lolong
pernah pula giat dalam pembentukan organisasi TKR dan menjadi perwira TRI yang disegani.
Begitu pula pengalaman Alfons Lolong, pernah berada di kesatuan pasukan India dan terlibat
dalam front peperangan di Afrika Utara menghadapi kekuatan Jerman. Waktu itu Lolong bekerja
sebagai awak kapal perusahaan Belanda. Tetapi ketika pecah Perang Dunia Kedua, ia berada di
India. Iapun di rekrut dan masuk dalam kesatuan pasukan India dan dikirim dalam perang gurun
pasir di Afrika-Utara. Pengalaman bergabung dengan sekutu memerangi pasukan Jepang pernah
pula dilakukan Fred Bolang. Ia bergabung dengan pasukan Inggris dibawah komando Mayor
Tom Harris melakukan aksi gerilya menghadapi pasukan Jepang di pedalaman Kalimantan.
Karier Bolang berawal ketika meraih pendidikan militer pada 1939 di Gombong bersama
Soeharto (sekarang Presiden RI). Pengalaman perang Fred Bolang (Letk-Kol (P) TNI)
dipedalaman Kalimantan turut menghiasi buku The Story of Borneo tulisan Tom Harris yang
juga penulis The Jungle is Neutral berkisar mengenai perang gerilya masa peperangan. Nama
Tom Harris dikenal sebagai ahli perang gerilya dan senjata mesin "Tommy Gun" buatan Inggris
juga berasal dari namanya. Bolang memperoleh penghargaan langsung dari Tom Harris ketika
pasukan gerilya Inggris dibubarkan. Ia kembali ke Manado dan memperoleh kedudukan
komandan regu dengan tugas di Danau Wudu. Tetapi tidak semua bekas prajurit yang pernah
bergabung dengan sekutu dari SEAC (South East Asia Command) dari Inggris, SOWESPAC
(South West Pacific Area Command) dari AS dan Australia mengalami nasib seperti Bolang.
Mereka harus kembali berdinas pada KNIL bekas "tuan"nya yang kalah perang tanpa melawan,
tetapi menggunakan legitimasi pasukan Australia untuk kembali berkuasa.
Pasukan asal Minahasa yang tergabung dalam Batalyon X KNIL ikut terlibat dalam pertempuran
seru di Palembang pada Perang Dunia II. Pasukan asal Minahasa KNIL ikut bergabung dengan
pasukan Sekutu lainnya mengikuti latihan militer di Australia sebelum dilibatkan dalam
peperangan di Guadalcanal dan pulau-pulau lainnya di Pasifik Barat-Daya. Pasukan marinir asal
Minahasa di Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai