Sulawesi Utara di awal Pasca Perang Pasifik Hingga Aksi Kudeta Militer 14 Februari 1946
Oleh: Harry Kawilarang
Cuplikan dari buku Mengindonesiakan Indonesia: Partisipasi Orang Minahasa Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia 1900-1958) Latar Belakang Kebangkitan Nasionalisme di Kalangan Minahasa David Henley, peneliti Sejarah Minahasa dari Australia pernah mengatakan: "Kekalahan tanpa perlawanan gigih dan meninggalkan penduduk Hindia Belanda kepada Jepang menjadi penyebab hingga kredibilitas Belanda melorot tajam dikalangan masyarakat Minahasa" Menurut David Henley dalam kertas kerjanya: "Japan and the Question of Minahasan Identity. "Masyarakat Minahasa memang unik dalam identitas Nasionalisme, yang justru timbul waktu perang dunia kedua yang menyadarkan mereka untuk mandiri. Kebangkitan nasionalisme muncul pada masa pendudukan Jepang. Walau militer Jepang sekuat apapun, tetapi umumnya orang Jepang masih rendah tingkat intelektualisnya di banding orang Minahasa tulis David Henley dari hasil penelitian lapangan di Minahasa pada 1986-1987. Dari penelitian sejarah, Henley berpendapat masalah kesadaran nasionalisme di Minahasa kurang menonjol pada penjajahan Belanda walau memiliki tingkat kemampuan intelektual yang rata-rata cukup tinggi dibanding masyarakat ethnis lainnya di gugusan nusantara. Hal ini terjadi karena masyarakat Minahasa memperoleh peluang berada dipemerintahan setempat, walaupun kunci kepemimpinan formal berada ditangan Belanda. Dalam pergaulan sosial masa pendudukan militer Jepang, mereka bergaul biasa-biasa saja dan cukup realistis menghadapi kondisi yang terjadi melalui jalinan komunikasi. Sehingga terkadang bagi si Jepang sendiri tidak terasa ada jarak bila bergaul dengan penduduk yang menerima mereka dengan segala keberadaannya. Lagi pula kalangan masyarakat Minahasa sudah mengenal masyarakat Jepang. Bahkan sebelumnya ada pula yang telah berlayar mengunjungi Jepang. Misalnya seorang pemuda, Marcus putera seorang Hukum Tua pernah mengunjungi Jepang pada 1919. Sekembalinya di Manado menjadi penterjemah melayani pengusaha-pengusaha Jepang yang berusaha di Sulawesi Utara. Pada 1930'an, Dr A B Andu seorang Hukum Besar dan juga pernah menjabat Wali-kota Manado pernah tinggal beberapa lama di Jepang. ia juga mengirim putranya belajar di Jepang. Wawasan intelektual orang Minahasa hingga di segani oleh masyarakat Jepang. Buku "Indonesia di Pasifik" tulisan pemuka organisasi Persatuan Minahasa, DR GSSJ Ratulangie pada 1937 mendapat perhatian seksama dari ilmuwan-ilmuwan Jepang. Dari pandangan itu hingga masyarakat Minahasa dinilai memiliki wawasan luas dan menghendaki terwujudnya Bangsa Indonesia menyatukan masyarakat di seluruh gugusan nusantara. Latar-belakang Hubungan Jepang-Minahasa Hubungan Jepang dengan masyarakat Minahasa sudah bermula sejak 1917 melalui perdagangan, dan kapal-kapal Jepang secara reguler bersandar di pelabuhan Manado. Adanya lintasan ini hingga pihak pemerintah Hindia-Belanda mengembangkan jalur niaga Jawa-Cina-Jepang melalui pelabuhan Manado. Bahkan juga mempersiapkan Manado sebagai pelabuhan persinggahan menuju San Fransisco, pantai Barat Amerika Utara. Sejak itupun Manado dan Bitung menjadi pelabuhan internasional hingga 1950'an dan memiliki hubungan langsung dengan berbagai pelabuhan di Jepang. Dengan dijadikannya Manado sebagai pelabuhan internasional memungkinkan bagi pemuda-pemuda Minahasa memperoleh lahan kerja, dan bekerja sebagai awak kapal berbagai perusahaan perkapalan Jepang. Komoditi kopra menjadi daya tarik utama bagi kalangan pengusaha Jepang hingga Manado dikenal sebagai produsen ekonomi potensial. Sikap keterbukan masyarakat setempat yang pada 1920 mulai menjual tanah-tanah mereka kepada kalangan masyarakat pengusaha Jepang. Sebagai hasilnya dua tahun kemudian, perkebunan kelapa, kofi dan Karet berkembang luas ditanah Minahasa dengan sebagian besar dari penanaman modal berasal dari pengusaha- pengusaha Jepang. Adanya keleluasan berusaha dan memperoleh peluang mengimpor produksi asal Jepang mulai membanjiri Sulawesi Utara dengan harga bersaing dan para interpreneur Jepang dan mulai menggusur kalangan saudagar-saudagar Arab, Cina dan Eropa diberbagai sektor. Juga memberi lapangan kerja bagi penduduk setempat bekerja pada perusahaan- perusahaan Jepang yang giat berusaha di Sulawesi Utara. Manado menjadi penting bagi Tokyo hingga pada 1940 menempatkan perwakilan Konsulat - ternyata menjadi sasaran strategi militer Jepang melakukan penyerbuan "Operasi Selatan-" menjadi "pressure point" terhadap pemerintah Hindia Belanda. Sejak itupun migrasi masyarakat Jepang di Sulawesi Utara dan membentuk koloni-koloni berkisar 500 jiwa di Bitung dan ratusan lainnya bermukim di Manado. Pembauran dengan masyarakat setempat diperluas dalam pergaulan sosial dan diwarnai dengan berbagai kata bahasa Jepang yang mirip dan digunakan dalam percakapan "orang-orang Gunung." Hubungan Jepang-Minahasa kemudian dikembangkan dengan pengadaan sejarah persamaan silsilah turunan yang dilakukan oleh seorang Tanaka (sebutan orang Jepang di Minahasa oleh penduduk setempat). Sekelompok ilmuwan anthropolog dari Universitas Kyoto mengembangkan thesis mengenai migrasi turunan Jepang pada zaman purba dan berbaur dengan masyarakat Malayo-Polinesia. Perpindahan ini terjadi karena arus laut yang masa itu dikenal sebagai gelombang hitam yang menyeret mereka hingga ke selatan. Ternyata thesis ini sengaja dikembangkan para ilmuwan ketika "berkolusi" dengan pemerintahan militer di Jepang dalam usaha melakukan "Operasi Selatan." Teori inipun dikembangkan sebagai alat propaganda dan menjadi isseu nasional di Jepang. Untuk itu memantapkan teori ini sebagai "Kekeluargaan Asia Timur," dan melakukan proses men "Jepang"kan masyarakat Malayo-Polinesia digugusan kepulauan Indonesia, Filipina dan Taiwan. Tetapi pembentukan koloni masyarakat Jepang tidak disenangi oleh penduduk Minahasa. Karena pembentukan kolonia sejak 1940 hingga terjadi sikap arogan dan sering membatasi diri dalam sosialisasi. Sejak itu pula masyarakat Minahasa bersikap anti-pati terhadap masyarakat Jepang. Sebaliknya, pemerintah Batavia baru menyadari "dominasi" Jepang di Minahasa, tetapi sudah terlambat. Karena menjelang penerbuan "Operasi Selatan" oleh Jepang, Hindia Belanda berkonsentrasi pada "Pertahanan Selatan" dan hanya mengirimkan sekitar 400 pasukan KNIL yang umumnya turunan Minahasa dan sebagian besar berstatus pensiunan. Dengan tergesa-gesa merekrut sekitar 800 sukarelawan di Minahasa untuk mempertahankan Sulawesi Utara. Tetapi pertarungan tidak seimbang ketika Manado diserbu 15.000 pasukan Jepang pada 10 Januari 1941. Karena pasukan pertahanan hanya di lengkapi senjata-senjata tua menghadapi peralatan militer modern Jepang. Minahasa dikuasai pada 11 Januari dan pada hari itupun pemerintahan militer Jendral Hideki Tojo di Tokyo memaklumkan perang terhadap Hindia-Belanda. Pada masa pendudukan pemerintahan Minseifu, perlakuan perwira-perwira Angkatan Laut di Indonesia Timur rata-rata tidak sekejam terhadap penduduk setempat dibanding di wilayah Angkatan Darat. Jabatan pemerintahan yang ditempati masyarakat setempat dan agama Kristen yang merupakan mayoritas tidak diubah dan tetap dipertahankan oleh penguasa Jepang. Jepang juga memberi peluang pemuda-pemuda Minahasa memasuki pendidikan Angkatan Laut di Makassar yang mulanya dibangun oleh Hindia Belanda. Namun dari komunikasi itu bangkit keyakinan masyarakat Minahasa untuk meraih identitas nasionalsme dan mudah menyesuaikan dengan suasana revolusi kemerdekaan, pendapat David Henley. Pandangan ini dikemukakan Hanley pada bukunya, Nationalism and Regionalism in a Colonial Context: Minahasa in the Dutch East Indies, yang meneliti Kebangkitan nasionalisme masyarakat Minahasa yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh kalangan masyarakat Indonesia Timur di Australia. Perjuangan Orang Minahasa Meraih Simpati Kemerdekaan Indonesia di Australia Di awal pasca perang, kalangan nasionalis asal Minahasa yang umumnya bekas tahanan politik Hindia Belanda di Tanah Merah seperti, Mewengkang dan kawan-kawan giat dalam organisasi Central Komite Indonesia Merdeka (Cenkim) didirikan pada 1 September 1945 di Brisbane. Motivasi Cenkim cepat menyebar terutama dikalangan para awak kapal asal Minahasa di Sydney dan Brisbane. Bahkan Jan Walandouw, seorang bekas karyawan KPM yang merantau sejak pra perang, giat memperluas kampanye Kemerdekaan Indonesia dikalangan awak kapal diperantauan. Di awal usai peperangan, Walandouw dan kawan-kawan tergabung dalam Persatuan Pelaut Indonesia berhasil meraih simpati pelabuhan Australia. Pada 22-23 September 1945, secara beramai-ramai pekerja-pekerja kapal Indonesia melakukan aksi mogok dan meninggalkan kapal-kapal niaga Belanda yang berlabuh di Brisbane, Sydney dan Melbourne. Aksi ini dilakukan sebagai protes terhadap Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali. Aksi mogok kemudian berkembang menjadi aksi solidaritas yang didukung oleh buruh-buruh Australia dimotori oleh Federasi Buruh Pelabuhan, WWF (Waterside Workers Federation) hingga Australia dilanda demam aksi boikot selain terhadap kapal-kapal Belanda, juga kapal-kapal Australia yang kedapatan mengangkut senjata-senjata untuk pasukan NICA memadamkan api kemerdekaan Indonesia. Dari perjuangan ini pula hingga simpati terhadap kemerdekaan Indonesia sebagai negeri tetangga terdekat meluas dikalangan masyarakat Australia. Hubungan kalangan politisi Australia terutama dari Partai Buruh juga terjalin akrab dengan pemuka-pemuka Republik. Karena bagi partai Buruh, Kemderdekaan Indonesia itu terbentuk dari suatu proses dari ciptaannya sendiri dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh dukungan faktor-faktor luar. Lagi pula dukungan Australia terhadap Republik Indonesia digambarkan sebagai hasil proses yang realistik, idealistik, berhasil dan independen. Sejak itupun Australia turut berperan dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pengaruh ini sedikit banyak terjadi dari proses pendekatan dari kalangan para perantau Indonesia di Australia yangberhasil menembus "politik kulit kuning" Australia yang alergis terhadap migrasi masyarakat Asia Timur. Tetapi cukup realistis hingga mendukung kedaulatan Indonesia dari kungkungan kolonialisme Belanda di Asia Tenggara. Situasi Manado di Awal Pasca Perang Pasifik Sebelum menyerahkan wilayah Indonesia Timur dan Kalimantan kepada SEAC, pihak militer Australia bermarkas di Morotai mengirimkan satuan-satuannya melaksanakan program perlucutan dan evakuasi tentara Jepang diberbagai wilayah teritorialnya. Pada 10 September 1945, setelah menerima penyerahan Jepang di Morotai, komandan Sekutu, Letnan Jendral Berriman mengirim satu brigade dari Divisi ke-7 di Balikpapan menuju Makassar dan Manado, dan satu batalyon di Banjarmasin. Satu brigade dari Morotai dikirim ke Ambon dan satu lagi ke Halmahera; kemudian sebuah pasukan dirikim dari Darwin untuk menduduki Timor. Misi militer Australia untuk Sulawesi Utara, berkedudukan di Manado dipimpin Letkol Muir berangkat dari Morotai dengan ima buah korvet. Selama satu minggu di Minahasa, mereka menemui Laksamana Hamanaka di Tondano dan Mayor Jendral Endo di Tomohon untuk menerima pengakuan kekalahan dan memerintahkan agar Jepang tentara Jepang agar tidak meninggalkan tempat (standfast). Untuk itu di instruksikan, menunggu kedatangan utusan pasukan South East Asia Command yang menangani urusan kapitulasi dan evakuasi tahanan perang/ Misi dibawah komando Muir juga bertugas membebaskan para interniran di Airmadidi (dua kamp), Manado (satu kamp), dan di Tomohon (dua kamp untuk para broeder dan zuster). Seluruhnya tercatat 446 orang dari berbagai bangsa: Belanda (42), Inggris (1), Denmark (5), Swiss (3), Swedia (2), Amerika (1), Irak (2), Iran (8), dan Jerman (3). Sebagian dari para interniran yang kondisi fisiknya lemah dikirim ke Morotai untuk dirawat. Setelah misi militer menyelesaikan tugasnya, pada 1 Oktober 1945 Australian Military Force (AMF) menyerahkan kekuasaan wilayah Indonesia-Timur dan Kalimantan kepada pasukan SEAC. Tetapi sesuai kesepakatan, Laksamana Mountbatteb menyerahkan kembali tugas ini kepada militer Australia. Untuk itu, di Morotai dibentuk satuan- satuan tugas (task force) masing-masing: Manado Force, Ambon Force dan Makassar Force, sedangkan Timor Force di kirim dari Darwin. Manado Force di pimpin oleh Letnan-Kolonel Muir, berkekuatan 72 personal yang masing- masing terdiri dari 12 perwira dan 33 bintara dan prajurit yang tiba di Manado pada 2 Oktober. Mereka bertugas: (1) melucuti tentara Jepang dan mengevakuasi di suatu tempat yang sudah ditentukan untuk menunggu pengangkutan kembali ke Jepang; (2) membebaskan tawanan perang oleh Jepang; (3) menegakkan kembali pemerintahan Hindia-Belanda. Sebelum pendaratan, pihak Australia menyebarkan pamflet yang memberitakan kepada penduduk tentang kedatangan pasukan Australia dan tugas mereka. Pengumuman ini disebarkan di semua wilayah Indonesia Timur, antara lain, Timor, Sulaweai, Manado, Kalimantan, Ternate, Ambon, Kei, Aru, Tamimbar, Sunda Kecil dll, yang menjelaskan bahwa pasukan Sekutu telah mengalahkan Jepang, dan pasukan Australia akan datang untuk melindungi masyarakat, menciptakan keamanan dan ketertiban hingga terwujud kembali pemerintahan Hindia-Belanda. Pasukan Manado Force pimpinan Let-Kol Muir mendirikan markas di Tomohon, di kompleks sekolah Katholik yang di masa pendudukan Jepang menjadi sekolah Kyoin Kanri Yoseisya. Beberapa hari kemudian mereka mangadakan perundingan dengan Laksamana Muda Hamanaka dan May-Jen Endo untuk melaksanakan tugas pokok mereka. Kemudian mereka meninjau markas-markas tentara Jepang. Setelah peninjauan itu, diputuskan untuk mengkonsentrasikan pasukan Jepang di Bitung/Girian dan di pulau Lembe (khusus berkebangsaan Taiwan. Peralatan perang Jepang (senjata, kendaraan, makanan dan obat-obatan) dikumpulkan dan diinventarisasi. Kemudian senjata- senjata dihancurkan dan obat-obatan dimusnahkan. Sebagian dari senjata-senjata yang tersisa diserahkan kepada LOC Manado. Satuan Manado Force juga menempatkan satuan NICA di Manado, Tahuna, Gorontalo, Parigi, Poso dan Luwuk. Pihak Manado Force kemudian mengadakan penyidikan mengenai tindakan-tindakan pasukan Jepang selama masa pendudukan, terutama sepak terjang para perwira Jepang yang dinilai menyalahi Konvensi Jenewa masalah Hak Azasi Manusia. Mereka yang terbukti melakukan pelanggaran tidak dikategorikan sebagai Prisoners of War (tawanan perang) tetapi War Criminals (penjahat perang) dan dikirim ke Morotai untuk diajukan ke Mahkamah Militer Austrailia. Diantaranya Laksamana Muda Hamanaka di jatuhi hukuman mati, sedangkan May- Jen Endo bebas dari tuntutan. Sebelumnya, komandan Kenpeitai, Kapten Saito, ditembak mati di Tomohon ketika berusaha melarikan diri. Peranan Kompi Tujuh di Minahasa Komando Manado Force tidak dilengkapi dengan pasukan tempur keculai satuan Security Detachment berkekuatan 29 prajurit. Jumlah ini sangat minim dan tidak mencukupi untuk melaksanakan tugas-tugas melucuti senjata pasukan Jepang dan mengawalnya hingga saat pemberangkatan. Untuk itu, sesudah pembentukan Manado Force di Morotai, diputuskan satuan ini diperkuat dengan satu kompi KNIL. Kompi ini (Kompi 7) ini diambil dari salah satu dari dua kompi KNIL yang memperkuat Divisi 9 Australian Military Force yang menyerang Tarakan pada bulan Mei 1945. Kedua kompi itu berkekuatan 250 personal, dan merupakan bagian integral dari pasukan pendaratan Sekutu yang berkekuatan 11.804 personal yang juga diperkuat dengan berbagai jenis kendaraan lapis baja yang berjumlah 1866 unit, termasuk 20 unit yang digunakan kedua kompi tersebut. Sekalipun kedua kompi KNIL dilengkapi dengan perwira- perwira Belanda, tetapi secara organisasi militer mereka ini berada dibawah langsung komando Panglima (Force Command) Divisi ke-9. Untuk itu, Detasemen NICA menyertai pasukan pendaratan itu, dilengkapi dengan pasukan pengawal KNIL sendiri, dan tidak memiliki wewenang apapun atas pasukan itu. Kedua kompi KNIL yang tergabung dalam Detasemen KNIL ini, selain terdiri dari prajurit-prajurit turunan Minahasa dan Ambon, juga terdapat turunan Jawa, Sunda, Bali dan Sumatra. Kompi 7 KNIL yang berkekuatan 50 prajurit dengan dua perwira Belanda, diangkut dengan dua kapal penumpang milik perusahaan pelayaran Belanda, El Libertador, dari Tarakan dan tiba di Manado pada 10 Oktober 1945. Status kompi ini sekalipun berada dibawah komando Sonica, Kolonel Coomans de Ruyter maupun komandan pengawal Detasemen NICA, Mayor Emeis, di bawah komando Manado Force pimpinan Let-kol Muir dari Australian Force. Awal pembentukan Kompi 7 terjadi pada bulan Maret 1945. Ketika itu, sesuai dengan instruksi Jendral Douglas MacArthur sebagai Panglima Sekutu Pasukan Komando Pasifik Barat-Daya untuk merencanakan penyerangan Sekutu ke Jawa melalui Kalimantan dengan jalur Tarakan- Balikpapan-Surabaya. Operasi militer ini dikenal dengan sebutan Operasi Oboe. Yang menyusun penyerangan itu adalah Kolonel (KNIL) Giebels, yang pada waktu itu menjadi staf MacArthur dalam aksi penyerbuan ke Papua hingga Morotai. Untuk itu Giebel menempatkan sebagian besar dari pasukan penyerbu terdiri dari prajurit KNIL. Pada bulan April 1945, setelah pimpinan Angkatan Bersenjata tertinggi AS di Washington menginstruksikan MacArthur berkonsentrasi di Filipina hingga Asia-Timur, sedangkan Jawa diserahkan kepada pasukan komando Asia-Tenggara dibawah pimpinan Laksamana Louis Mountbatten. Untuk itu, oleh MacArthur, Operasi Oboe tidak dibubarkan dan diserahkan sepenuhnya kepada Kolonel Giebels yang juga membentuk Kompi 7 dan Kompi 9 dan berada dilingkungan Detasemen KNIL. Sebagian besar dari personal KNIL ini adalah sisa pasukan dari Indonesia yang berhasil mengungsi ke Australia sejak awal 1942 ketika Jepang melakukan agresi militer. Banyak diantara prajurit KNIL di Australia dilatih oleh militer Australia di Camp Casino. Mereka yang memiliki kemampuan sebagai pengamat, di didik di bidang intellijen dan bertugas di berbagai kepulauan di Pasifik dan Indonesia. Satuan intelijen Netherlands Forces Intelligence Service (NEFIS) pimpinan Kapten S H Spoor pada 1942, tak lama setelah MacArthur tiba di Brisbane, untuk menyusun serangan balik terhadap Jepang. Mereka mendapat latihan intelijen dan tehnik-tehnik pendaratan dari tentara Australia di Camp Casino. Dengan kapal-kapal selam mereka dikirim keberbagai tempat penting dan strategis. Diantara mereka ada yang berhasil dan ada pula yang tertangkap dan dibunuh sebagai mata-mata musuh oleh tentara Jepang. Sementara prajurit-prajurit KNIL lainnya mendapat tambahan latihan pendidikan militer sebagai pasukan tempur. Dibawah komando militer Australia, mereka ini dilibatkan dalam berbagai pertempuran sengit di Guadalcanal di Pasifik Barat-Daya, Papua, Biak hingga Morotai. Ketika berada di Tarakan yang kemudian menjadi salah satu markas penting Sekutu untuk persiapan operasi Indonesia bagian Barat, hingga disusun rencana Operasi Oboe. Walau begitu, Giebels tidak memberi tahu kepada pimpinan militer Belanda di Kandy mengenai pengadaan kekuatan ini. Karena kekuatan ini tetap berada dibawah komando Sekutu untuk wilayah Pasifik Barat-Daya yang oleh MacArthur diserahkan kepada Australian Military Force dan berkedudukan di Morotai. Begitu mendarat di Manado pada 10 Oktober 1945, Kompi 7 segera mendapat berbagai tugas. Salah satu peleton dan Kompi 7 bertugas mengawal tentara Jepang ketempat penampungan. Peleton ini mendapat tugas khusus untuk: (a) mengamankan wilayah Bitung dan Lembe sebagai tempat penampungan tentara Jepang, dan (b) mengawasi setiap gerak-gerik tentara Jepang di Checkpoint Girian setelah tentara Jepang dikonsentrasikan di Bitung dan Lembe. Pada 22 Oktober 1945 peleton ini melakukan tugas pertama, dan berangkat dari Manado menuju Bitung melalui Tomohon. Mereka juga bertugas mengamankan wilayah sekitar Bitung dimulai dari kaki Gunung Dua Saudara hingga pantai antara Girian dan Airmadidi serta jalan masuk Lembe dari arah Selatan, kemudian dari Gunung Tangkoko hingga pantai Selat Lembe. Tugas pengamanan itu rampung pada 27 Oktober. Tugas pelaksanaan menampung semua tentara Jepang di Sulawesi Utara selesai pada 30 Oktober dengan mulus. Setelah iru peleton tersebut bermarkas di Checkpoint Girian. Sesuai instruksi, peleton ini sering mengadakan show of force untuk melemahkan mental pasukan Jepang agar tidak melarikan diri. Sementara Checkpoint Airmadidi menjadi tanggung-jawab sebuah peleton dari Security Detachment Manado Force. Pada 23 Oktober 1945, salah satu peleton dan Kompi 7 bertugas mengamankan depot-depot penampungan alat-alat perang Jepang yang disita oleh Manado Force yang terletak di Sario. Sedangkan salah satu peleton lainnya bertugas mengawasi batu bara yang ditampung di Gudang Arang. Di masa kemudian satuan Kompi 7 mulai menonjol, karena ikut pula terlibat dan turut mewarnai Gerakan Kudeta Militer di Minahasa melalui Peristiwa Merah Putih yangc akan diungkapkan pada lembaran berikutnya. Peran Serta Prajurit Minahasa pada Perang Dunia Kedua Ketika Minahasa diduduki pada 11 Januari setelah Tondano dikuasai, dan pada hari itu juga secara resmi Tokyo memaklumkan perang terhadap pemerintahan Hindia-Belanda. Setelah menguasai Sulawesi Utara, penyerbuan Jepang merembet keselatan setelah Laut Sulawesi, perairan Maluku-Utara dan Tarakan dikuasai oleh Jepang. Ketidak mampuan Belanda mempertahankan Indonesia menyebabkan sisa-sisa kekuatan KNIL bertebaran. Banyak diantara prajurit bekas KNIL turunan Minahasa bergabung dalam sekutu menghadapi Axis di berbagai front peperangan dari Pantai Utara Afrika hingga gugusan kepulauan Guadalcanal. Seperti yang dialami oleh Adolf G Lembong yang sebelumnya pernah bergabung dalam pasukan Heiho Jepang dan di kirim ke Filipina. Tetapi setiba disana, Lembong tidak segaris dengan Jepang dan menyeberang pada sekutu dan turut bergerilya dengan gerilyawan Filipina yang di dukung sekutu. Sesudah itu iapun bergabung dan masuk dalam tentara sekutu dan turut bertempur di Bataan. Sesudah perang berakhir Lembong kembali ke Indonesia dan ikut terlibat bersama laskar pejuang KRIS dalam perjuangan kemerdekaan. Lolong pernah pula giat dalam pembentukan organisasi TKR dan menjadi perwira TRI yang disegani. Begitu pula pengalaman Alfons Lolong, pernah berada di kesatuan pasukan India dan terlibat dalam front peperangan di Afrika Utara menghadapi kekuatan Jerman. Waktu itu Lolong bekerja sebagai awak kapal perusahaan Belanda. Tetapi ketika pecah Perang Dunia Kedua, ia berada di India. Iapun di rekrut dan masuk dalam kesatuan pasukan India dan dikirim dalam perang gurun pasir di Afrika-Utara. Pengalaman bergabung dengan sekutu memerangi pasukan Jepang pernah pula dilakukan Fred Bolang. Ia bergabung dengan pasukan Inggris dibawah komando Mayor Tom Harris melakukan aksi gerilya menghadapi pasukan Jepang di pedalaman Kalimantan. Karier Bolang berawal ketika meraih pendidikan militer pada 1939 di Gombong bersama Soeharto (sekarang Presiden RI). Pengalaman perang Fred Bolang (Letk-Kol (P) TNI) dipedalaman Kalimantan turut menghiasi buku The Story of Borneo tulisan Tom Harris yang juga penulis The Jungle is Neutral berkisar mengenai perang gerilya masa peperangan. Nama Tom Harris dikenal sebagai ahli perang gerilya dan senjata mesin "Tommy Gun" buatan Inggris juga berasal dari namanya. Bolang memperoleh penghargaan langsung dari Tom Harris ketika pasukan gerilya Inggris dibubarkan. Ia kembali ke Manado dan memperoleh kedudukan komandan regu dengan tugas di Danau Wudu. Tetapi tidak semua bekas prajurit yang pernah bergabung dengan sekutu dari SEAC (South East Asia Command) dari Inggris, SOWESPAC (South West Pacific Area Command) dari AS dan Australia mengalami nasib seperti Bolang. Mereka harus kembali berdinas pada KNIL bekas "tuan"nya yang kalah perang tanpa melawan, tetapi menggunakan legitimasi pasukan Australia untuk kembali berkuasa. Pasukan asal Minahasa yang tergabung dalam Batalyon X KNIL ikut terlibat dalam pertempuran seru di Palembang pada Perang Dunia II. Pasukan asal Minahasa KNIL ikut bergabung dengan pasukan Sekutu lainnya mengikuti latihan militer di Australia sebelum dilibatkan dalam peperangan di Guadalcanal dan pulau-pulau lainnya di Pasifik Barat-Daya. Pasukan marinir asal Minahasa di Surabaya.