Anda di halaman 1dari 24

NASKAH PUBLIKASI

EVALUASI KESIAPAN RUMAH SAKIT YANG TELAH TERAKREDITASI 5


PELAYANAN TERHADAP PEMENUHAN STANDAR PATIENT SAFETY
AKREDITASI VERSI 2012
(STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
UNIT II)

Disusun oleh:
NIKEN DWI SETYANINGRUM
20111030116

PROGRAM PASCA SARJANA MANAJEMEN RUMAH SAKIT


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
HALAMAN PENGESAHAN

NASKAH PUBLIKASI

EVALUASI KESIAPAN RUMAH SAKIT YANG TELAH TERAKREDITASI 5


PELAYANAN TERHADAP PEMENUHAN STANDAR PATIENT SAFETY
AKREDITASI VERSI 2012
(STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
UNIT II)

Diajukan Oleh :

NIKEN DWI SETYANINGRUM


20111030116

Disetujui Oleh:

Pembimbing I,

Dr. Imamudin Yuliadi, M.Si Tanggal ............................


Pembimbing II,

dr. Arlina Dewi, M.Kes., AAK Tanggal .............................


EVALUASI KESIAPAN RUMAH SAKIT YANG TELAH TERAKREDITASI 5 PELAYANAN
TERHADAP PEMENUHAN STANDAR PATIENT SAFETY AKREDITASI VERSI 2012
(STUDI KASUS DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II)
EVALUATION OF THE READINESS OF HOSPITAL THAT HAVE ACCREDITED 5 STANDARD
ACCREDITATION SERVICE OF FULFILLMENT PATIENT SAFETY STANDAR VERSION OF
ACCREDITATION 2012
(CASE STUDY RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA UNIT II)
Niken Dwi Setyaningrum1, Arlina Dewi2, ImamudinYuliadi3
Program Studi Manajemen Rumah Sakit, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Jalan Lingkar Selatan, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183
Email : ndsetyaningrum@gmail.com

INTISARI
Latar Belakang : Peningkatan mutu pelayanan RS semakin diperlukan sejalan dengan meningkatnya
pengetahuan masyarakat akan haknya sebagai penerima jasa pelayanan. Upaya Mentri Kesehatan
untuk meningkatkan mutu pelayanan adalah dengan program akreditasi RS sesuai dengan Undang-
Undang yang berlaku di Indonesia. Akreditasi RS yang berlaku saat ini mengacu pada International
Principles for Healthcare Standards dan Joint Commission International Accreditation Standards dan
pelaksanaannya dimulai pada tahun 2012. Akreditasi yang baru berfokus pada pasien, kuat pada
proses dan implementasi sehingga merubah paradigma mutu pelayanan menjadi pelayanan yang
bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien. Angka kejadian tidak diharapkan di RS sejumlah 12
kasus tahun 2013 dan 10 kasus tahun 2014 periode Januari-Juni. Pelaksanaan sasaran keselamatan
pasien di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II belum baik.
Metode : Penelitian kualitatif dengan rancangan penelitian studi kasus. Subjek penelitian adalah
manajemen rumah sakit, petugas rumah sakit dan pasien. Jumlah sampel 32 orang. Analisis data
dengan pengumpulan data, koding data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan : Pelaksanaan 6 sasaran keselamatan pasien di RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta Unit II dalam persiapan akreditasi rumah sakit versi 2012 sebesar 50,54%. Kendala yang
dihadapi adalah kurangnya kesadaran dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) akan
pentingnya keselamatan pasien, kurangnya penerapan kebijakan dan SPO, fasilitas (sarana dan
prasarana) belum lengkap, belum ada sosialisasi dari pihak manajemen dan belum ada evaluasi
pelaksanaan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) oleh pihak manajemen.
Kesimpulan : Implementasi pelaksanaan 6 sasaran keselamatan pasien dalam persiapan akreditasi
rumah sakit versi 2012 belum mencapai skor minimal yaitu >80%. Rekomendasi yang perlu
dilakukan adalah segera mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan sasaran keselamatan pasien,
melengkapi fasilitas yang berkaitan dengan sasaran keselamatan pasien, pihak manajemen melakukan
pelatihan secara berkala, melakukan evaluasi secara rutin terhadap pelaksanaan kebijakan dan SPO,
serta pemberian sanksi disiplin yang tegas untuk mencapai pemenuhan sasaran keselamatan pasien
yang menyeluruh.
Kata kunci : akreditasi rumah sakit versi 2012, sasaran keselamatan pasien

ABSTRACT
Background : Improving the quality of hospital services are increasingly needed in line with the
increasing public knowledge of their rights as a customers. Efforts made by the Minister of Health to
improve the quality of service is at the hospital accreditation program in accordance with the law in
force in Indonesia. Hospital accreditation current refers to the International Principles for
Healthcare Standards and the Joint Commission International Accreditation Standards and
implementation began in 2012. The new Accreditation focuses on the patient, strong on the process
and implementation so as to change the paradigm of service quality being of service quality and the
safety of patients. The incidence of adverse event in the hospital a total of 12 cases in 2013 and 10
cases in 2014 the period from January to June. The implementation of patient safety goals in PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II has not been good.
Method : Qualitative research with a case study design. The subjects were hospital management, the
staff of the hospital and the patient. Number of samples 32 people. Data analysis with data collection,
coding, data presentation and conclusion.
Result and Discussion : 6 Implementation of patient safety goals in PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Unit II in preparation for accreditation of hospitals version 2012 is 50,54%. Constraints faced is the
lack of awareness and understanding of Human Resources (HR) of the importance of patient safety,
the lack of implementation of policies and SOP, facilities (infrastructure) is not complete, there is no
socialization of the management and implementation of compliance has been no evaluation of Patient
Safety Goals (SKP) by management.
Conclusion : 6 goals in implementation of patient safety in the hospital accreditation preparation of
the 2012 version has not reached the minimum score in which > 80%. Recommendations need to do is
to immediately validate documents relating to patient safety goals, complementary facilities related to
patient safety goals, management training on a regular basis, regularly evaluate the implementation
of policies and SOPs, and strict disciplinary action to achieve compliance comprehensive patient
safety goals.
Keywords : hospital accreditation 2012 version, patient safety goals
PENDAHULUAN
Peningkatan mutu pelayanan rumah sakit semakin diperlukan sejalan dengan
meningkatnya pengetahuan masyarakat akan haknya sebagai penerima jasa pelayanan
sehingga mampu memilih berbagai alternatif pelayanan yang bermutu yang dapat
memberikan kepuasan bagi dirinya maupun keluarganya. Rumah sakit akan berkompetensi
secara global, sehingga upaya peningkatan mutu rumah sakit sangatlah menjadi prioritas.
Selain itu, dalam rangka mendukung upaya rujukan dan pelayanan Puskesmas maka
pelayanan rumah sakit haruslah yang bermutu dan berkualitas. Oleh karena itu rumah sakit
perlu terus berupaya meningkatkan mutu pelayanannya.1
Upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit, tidaklah mudah karena terkait dengan
banyak hal. Tinggi rendahnya mutu sangat dipengaruhi sumber daya rumah sakit, interaksi
pemanfaatan sumber daya rumah sakit yang digerakkan melalui proses dan prosedur tertentu
menghasilkan jasa atau pelayanan. Mutu pelayanan rumah sakit harus dapat
dipertanggungjawabkan karena menyangkut banyak hal, salah satunya adalah keselamatan
pasien yang menjadi sasaran utama.2
Menindaklanjuti hal tersebut diatas, Departemen Kesehatan sejak tahun 1995 melakukan
akreditasi terhadap rumah sakit yang ada di Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan perlindungan terhadap
pasien. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 8 Tahun 2000 tentang Perlindungan Terhadap
Konsumen dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Melalui akreditasi
diharapkan manajemen rumah sakit mempunyai hospital by laws, medical staf by laws,
pedoman mediko legal dan SOP (Standard Operating Procedure) yang terkait dengan
pelayanan profesi.3
Hampir seluruh rumah sakit di Indonesia telah terakreditasi, baik terakrediatsi 5
pelayanan, 12 pelayanan mau pun 16 pelayanan. Akreditasi yang telah dilakukan rumah sakit
adalah akreditasi rumah sakit versi 2007. Saat ini pemerintah telah memperbaiki dan
menyempurnakan sistem penyelenggaraan akreditasi melalui penyusunan undang-undang,
peraturan dan sistem akreditasi menuju akreditasi internasional. Standar akreditasi RS baru
versi 2012 telah mulai ditetapkan pada tahun 2012 dan akan dilaksanakan oleh KARS
sebagai Badan Akreditasi Nasional Independen yang telah ditetapkan oleh Menkes sesuai
dengan ketentuan UU no 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit. Standar akreditasi KARS versi
2012 ini mengacu pada standar-standar Internasional, yaitu: International Principles for
Healthcare Standards (A Framework of requirement for standards, 3rd Edition December
2007, International Society for Quality in Health Care / ISQua) dan Joint Commission
International Accreditation Standards for Hospitals 4rd Edition, 2011, serta tetap mengacu
pada Instrumen Akreditasi Rumah Sakit, edisi 2007, Komisi Akreditasi Rumah Sakit/KARS.4
Perubahan sistem akreditasi KARS dari versi 2007 menjadi 2012 juga diikuti dengan
perubahan paradigma. Yang utama, terletak pada penekanan bahwa tujuan akreditasi adalah
untuk meningkatkan mutu pelayanan RS, bukan hanya semata-mata untuk lulus. Selain itu
dilakukan perubahan terhadap standar akreditasi, karena standar akreditasi harus memenuhi
kriteria-kriteria internasional dan bersifat dinamis. Standar akreditasi yang digunakan saat ini
menekankan pada pelayanan berfokus pada pasien serta kesinambungan pelayanan dan
menjadikan keselamatan pasien sebagai standar utama. Data yang didapat oleh KARS sampai
pada bulan Desember 2011, terdapat 1.378 rumah sakit di Indonesia, dan baru 818 rumah
sakit yang terakreditasi (59,4%). Pemerintah menargetkan 90% rumah sakit di Indonesia
terakreditasi pada tahun 2014.4
Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees
mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien merupakan sebuah prioritas
strategik. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur untuk
medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine, Amerika
Serikat dalam TO ERR IS HUMAN, Building a Safer Health System melaporkan bahwa
dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD/Adverse Event). Ini menunjukkan bahwa bukan hanya mutu pelayanan saja
yang harus ditingkatkan tetapi yang lebih penting lagi adalah menjaga keselamatan pasien
secara konsisten dan terus menerus. Hal ini juga sesuai dengan penetapan standar utama yang
harus dipenuhi pada penilaian akreditasi versi baru yaitu sasaran keselamatan pasien. Sasaran
keselamatan pasien merupakan syarat pemenuhan standar pertama pada akreditasi versi 2012
yang harus dipenuhi. Pada 1 Januari 2011 keselamatan pasien internasional (IPSG)
dipersyaratkan untuk diimplementasikan pada semua organisasi yang diakreditasi oleh Joint
Commission International (JCI) di bawah standar internasional untuk rumah sakit.5
Insiden keselamatan pasien yang meliputi KTD di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Unit II dilaporkan sejumlah 12 kasus pada tahun 2013 dan 10 kasus pada tahun 2014 untuk
periode Januari-Juni. Mengingat masih tingginya angka KTD akibat tindakan medik di rumah
sakit, maka rumah sakit yang telah terakreditasi versi 2007 perlu meningkatkan standar
akreditasi sesuai dengan akreditasi terbaru versi 2012. Yang mana lebih menekankan pada
keselamatan pasien rumah sakit sebagai prioritas utamanya, diharapkan dapat mengurangi
angka KTD yang ada dan dapat meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. Sehingga perlu
dilakukan penilaian sejauh manakah kesiapan rumah sakit yang telah terakreditasi tersebut
terhadap akreditasi rumah sakit versi tahun 2012.
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II merupakan rumah sakit swasta dengan status
rumah sakit tipe C. Rumah sakit ini telah terakreditasi 5 pelayanan pada tahun 2012.
BAHAN DAN CARA
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan rancangan studi kasus. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui kesiapan rumah sakit yang telah terakreditasi 5 pelayanan
terhadap pemenuhan standar keselamatan pasien akreditasi rumah sakit versi tahun 2012
yang berfokus pada standar keselamatan pasien. Penelitian ini dilakukan dengan observasi
dan wawancara terhadap pasien, tim akreditasi rumah sakit dan petugas rumah sakit (perawat
dan dokter). Observasi juga dilakukan untuk melihat bukti implementasi pada
lingkungan/sistem, dokumen, serta fasilitas dan alat. Berdasarkan hasil wawancara dan
observasi akan didapatkan kendala yang dihadapi dan selanjutnya peneliti dapat memberikan
rekomendasi kepada rumah sakit. Hasil wawancara akan diberi nilai sesuai dengan panduan
dari KARS yaitu diberi skor 0,5,10. Nilai 10 berarti standar dinilai tercapai penuh bila
jawabannya ya atau selalu dan jika 90% dari temuan, nilai 5 berarti standar dinilai
tercapai sebagian bila jawabannya tidak selalu atau kadang-kadang dan jika 50%-89%
dari temuan, nilai 0 berarti standar dinilai tidak tercapai bila jawabannya jarang atau tidak
pernah dan 49% dari temuan. Sampel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 32
informan antara lain 2 orang tim akreditasi, 20 orang petugas kesehatan, dan 10 orang pasien.
Pemilihan pasien dan petugas kesehatan dilakukan dengan non-probability sampling
sedangkan tim akreditasi secara purposive sampling. Penelitian ini dilakukan di PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II pada bulan Mei-Juli 2014. Analisis data pada penelitian
ini dilakukan dengan 5 tahap yaitu tahap pengumpulan data, reduksi data, koding data,
penyajian data menggunakan metode kuotasi sesuai informan dan penarikan kesimpulan.

HASIL
1. Hasil Telaah Dokumen
Tabel 1. Hasil analisis telaah dokumen
No. Dokumen Lengkap Sebagian Tidak ada Skor KARS
1 SKP 1 1 3 2 25
2 SKP 2 4 1 3 45
3 SKP 3 3 2 1 40
4 SKP 4 3 0 1 30
5 SKP 5 2 0 3 20
6 SKP 6 0 2 2 10
Sumber : Data Primer Diolah (2014)
Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat hasil dari telaah dokumen, didapatkan bahwa SKP 1
mencapai skor 25 dimana dokumen yang belum dibuat adalah kebijakan tentang
identifikasi pasien sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah dan
tindakan/prosedur dan kebijakan tentang identifikasi pasien sebelum mengambil darah
dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis, pasien rawat inap, rawat intensif. SKP 2
mencapai skor 45, dokumen yang belum dibuat adalah daftar singkatan yang tidak boleh
dipakai, SPO komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang mempunyai nilai kritis
dan daftar hasil pemeriksaan penunjang yang kritis misal laboratorium, radiologi, dan PA
dan bukti pelaksanaan SPO komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang
mempunyai nilai kritis. SKP 3 mencapai skor 40, dokumen yang belum dibuat adalah
bukti bahwa elektrolit konsentrat bila disimpan di unit pelayanan pasien diberi label yang
jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted). SKP 4 mencapai skor 30,
dokumen yang belum dibuat adalah bukti penandaan yang jelas dan dapat dimengerti
untuk identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan, tanda
diberikan oleh dokter yang mau melakukan operasi, dan tidak mudah luntur. SKP 5
mencapai skor 20, dimana terdapat 3 dokumen yang belum dibuat yaitu bukti
pemahaman dan pelaksanaan secara konsisten kepatuhan cuci tangan (five moment hand
hygine), rencana penerapan hand hygiene selama lima tahun dan data survei kepatuhan
melaksanakan handwash/handsrub setiap 6 bulan sekali. SKP 6 mencapai skor 10,
dimana terdapat 2 dokumen yang belum dibuat yaitu penerapan proses asesmen awal
risiko pasien jatuh dan bukti bahwa langkah-langkah dimonitor hasilnya (data).
2. Hasil Analisis Penelusuran Petugas
Tabel 2. Hasil analisis penelusuran petugas
No. Wawancara Tercapai Tercapai Tidak Skor KARS
Penuh dan % Sebagian Tercapai
1 SKP 1. Ketepatan Identifikasi Pasien
Pertanyaan 1 5 (50%) 0 5 5
Pertanyaan 2 1 (10%) 9 0 0
2 SKP 2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Pertanyaan 1 9 (90%) 1 0 10
Pertanyaan 2 10 (100%) 0 0 10
Pertanyaan 3 2 (20%) 8 0 0
3 SKP 3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai
Pertanyaan 1 4 (40%) 0 6 0
Pertanyaan 2 6 (60%) 0 4 5
4 SKP 4. Kepastian Tepat Lokasi,Tepat Prosedur, Tepat Pasien
Operasi/Tindakan
Pertanyaan 1 5 (100%) 0 0 10
Pertanyaan 2 5 (100%) 0 0 10
Pertanyaan 3 5 (100%) 0 0 10
Pertanyaan 4 5 (100%) 0 0 10
5 SKP 5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Pertanyaan 1 7 (70%) 3 0 5
Pertanyaan 2 10 (100%) 0 0 10
6 SKP 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Pertanyaan 1 0 (0%) 9 1 0
Pertanyaan 2 0 (0%) 10 0 0
Sumber : Data Primer Diolah (2014)
Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat hasil analisis penelusuran dengan petugas
sesuai dengan kelompok sasaran keselamatan pasien. Dapat dilihat bahwa pencapaian
skor untuk SKP 1 adalah 5, SKP 2 adalah 20, SKP 3 adalah 5, SKP 4 adalah 40, SKP 5
adalah 15, dan SKP 6 adalah 0 (nol).
3. Hasil Analisis Penelusuran Pasien
Tabel 3. Hasil analisis penelusuran pasien
No. Wawancara Tercapai Tercapai Tidak Skor KARS
Penuh dan Sebagian Tercapai
%
1 SKP 1. Ketepatan Identifikasi Pasien
Pertanyaan 1 2 (40 %) 0 8 0
Pertanyaan 2 10 (100%) 0 0 10
2 SKP 4. Kepastian Tepat Lokasi,Tepat Prosedur, Tepat Pasien
Operasi/Tindakan
Pertanyaan 1 3 (60%) 0 2 5
Pertanyaan 2 5 (100%) 0 0 10
Pertanyaan 3 2 (40%) 2 1 0
Pertanyaan 4 1 (20%) 0 4 0
3 SKP 5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Pertanyaan 1 0 (0%) 0 10 0
4 SKP 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Pertanyaan 1 2 (20%) 0 8 0
Pertanyaan 2 10 (100%) 0 0 10
Pertanyaan 3 9 (90%) 0 1 10
Sumber : Data Primer Diolah (2014)
Berdasarkan tabel 3 dapat dilihat hasil analisis penelusuran pasien sesuai dengan
kelompok sasaran keselamatan pasien. Dapat dilihat bahwa pencapaian skor untuk SKP 1
adalah 10, SKP 4 adalah 15, SKP 5 adalah 0 (nol), dan SKP 6 adalah 20.
4. Hasil Wawancara Tim Akreditasi
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan tim akreditasi, didapatkan hasil
bahwa rumah sakit sudah mulai melakukan persiapan untuk akreditasi versi 2012 yang
akan dilaksanakan pada tahun 2015. Pembentukan tim patient safety sudah ada namun
saat ini masih dalam tahap pembuatan dokumen dan pelengkapan dokumen akreditasi
2012. Bila dibandingkan dengan akreditasi versi 2012 tim mengatakan akreditasi 2012
jauh lebih susah. Hal ini karena dalam akreditasi baru tidak memandang jumlah bidang
pelayanan yang dimiliki rumah sakit melainkan memandang proses pelayanan yang
dilakukan oleh rumah sakit. Sosialisasi khusus mengenai akreditasi 2012 baru akan
dilakukan pada bulan Agustus tahun 2014, namun untuk sosialisasi beberapa program
yang termasuk dalam akreditasi 2012 khususnya dalam bidang patient safety sudah
dilakukan secara bertahap. Dalam menghadapi akreditasi baru, ada beberapa program
yang dipersiapkan oleh rumah sakit, antara lain penyusunan dokumen, studi banding,
sosialisasi dan pendampingan. Perbedaan persiapan akreditasi 2012 dengan akreditasi
2007 adalah akreditasi 2012 lebih melibatkan banyak hal baik dokumen, sarana
prasarana dan sumber daya manusia itu sendiri. Selain itu perbedaan yang mencolok
terdapat pada sumber daya manusia, dimana semua orang yang berada di rumah sakit
harus dapat melaksanakan hal-hal yang termasuk dalam elemen penilaian akreditasi.
Pencapaian yang sudah didapatkan oleh RS hingga kini, sampai pada persiapan dokumen
dan sosialisasi sebagian program. Adapun untuk kesiapan sumber daya manusianya
dalam mempersiapkan akreditasi, masih diragukan. Karena perbedaan budaya kerja dari
orang-orang yang ada di RS ini. Sosialisasi untuk dilakukannya evaluasi sudah
dilaksanakan tetapi evaluasi secara benar belum dilakukan. Kegiatan yang sudah
dilakukan hanyalah telusur secara internal, namun belum menyeluruh dilakukan di
semua bidang. Ketua keselamatan pasien mengatakan sudah ada beberapa petugas yang
mencoba melakukan pelaporan insiden, namun masih belum merata dilakukan oleh
semua petugas. Pelaksanaan SKP yang sudah berjalan baru 2 SKP yaitu SKP kepastian
tepat-lokasi tepat-prosedur tepat-pasien operasi atau tindakan dan SKP pengurangan
risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan. Namun pelaksanaan di lapangan belum
berjalan secara konstan. Dalam pembuatan dokumen, seperti yang dijelaskan sebelumnya
bahwa tidak semua dokumen lama bisa digunakan untuk akreditasi yang baru. Dokumen
sasaran keselamatan pasien dalam bentuk fisik sudah hampir seluruhnya dimiliki.
Kendala yang terjadi di rumah sakit PKU salah satunya adalah budaya sumber daya
manusianya yang sudah melekat. Rencana yang akan dilakukan RS adalah membuat
borang laporan untuk masing-masing bagian yang kemudian implementasinya dilakukan
secara bertahap.
5. Hasil Temuan Observasi dan Wawancara Sasaran Keselamatan Pasien
Tabel 4. Hasil temuan observasi dan wawancara SKP
No SKP
1. SKP 1. Ketepatan Identifikasi Pasien
- Pemasangan gelang pasien belum merata.
- Pemahaman fungsi gelang pasien belum baik.
- Belum ada evaluasi
2. SKP 2. Peningkatan Komunikasi Efektif
- SPO komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang bernilai kritis
belum ada.
- Buku SBAR sudah ada tetapi belum ada sosialisasi SBAR.
- Timbang terima pasien belum sesuai prosedur.
- Belum ada evaluasi.
3. SKP 3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu diwaspadai
- Penyimpanan obat high alert belum sesuai.
- Penyimpana elektrolit konsentrat belum sesuai.
- Pemberian label elektrolit konsentrat belum merata & pelabelan nama obat
high alert yang belum sesuai.
- Pengetahuan penggunaan elektrolit konsentrat belum merata.
- Distribusi daftar NORUM belum merata
- Belum ada evaluasi.
4. SKP 4. Kepastian Tepat Lokasi-Tepat Pasien-Tepat Prosedur
Operasi/Tindakan
- Belum dilakukan penandaan lokasi operasi dengan baik.
- Belum dilakukan evaluasi.
5. SKP 5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
- Sarana cuci tangan belum merata dan belum memadai.
- Cuci tangan masih belum sesuai urutan yang benar oleh beberapa tenaga
kesehatan.
- Kepatuhan dan pemahaman tenaga kesehatan belum baik.
- Belum ada evaluasi.
6. SKP 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
- Pemahaman petugas belum baik.
- Pelaporan KTD yang belum maksimal.
- Belum ada sosialisasi dan pelatihan asesmen pasien risiko jatuh.
- Belum ada media promosi bagi pasien dan keluarga.
- Belum ada evaluasi.
Sumber : Data Primer Diolah (2014)
Berdasarkan tabel 4 dapat dilihat hasil telaah dokumen, telusur petugas/staf dan
telusur pasien didapatkan resume SKP 1, antara lain pemahaman fungsi gelang pasien
yang belum baik oleh petugas/staf, pemasangan gelang pasien belum merata dan belum
adanya evaluasi terhadap pelaksanaan pemasangan gelang pasien. SKP 2, antara lain
SPO komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang bernilai kritis belum ada, buku
SBAR sudah ada tetapi belum ada sosialisasi SBAR, timbang terima pasien belum sesuai
prosedur dan belum ada evaluasi. SKP 3, antara lain penyimpanan obat high alert dan
elektrolit konsentrat yang belum sesuai, pemberian label elektrolit konsentrat belum
merata, pelabelan nama untuk obat high alert yang belum sesuai, distribusi daftar obat
high alert yang belum merata dan belum adanya evaluasi terhadap hal itu. SKP 4, yaitu
belum dilakukan penandaan lokasi operasi dengan baik dan belum adanya evaluasi dari
pihak manajemen rumah sakit. SKP 5, antara lain sarana cuci tangan yang belum tersedia
secara merata dan memadai, cuci tangan yang dilakukan oleh petugas sudah sesuai
dengan standar WHO tetapi beberapa dari petugas melakukan dengan urutan yang masih
belum benar, kepatuhan dan pemahaman petugas akan cuci tangan 5 waktu belum baik,
dan belum adanya evaluasi. SKP 6, antara lain pemahaman petugas belum baik,
pelaporan KTD yang belum maksimal, belum ada sosialisasi dan pelatihan asesmen
pasien risiko jatuh, belum ada media promosi bagi pasien dan keluarga, dan belum
adanya evaluasi.
6. Rekapitulasi hasil skoring kelompok sasaran keselamatan pasien
Rata- rata skor pencapaian untuk sasaran keselamatan pasien adalah 50,54%, skor
tersebut masih dibawah dari batas minimal standar akreditasi rumah sakit versi 2012
yang mengharuskan pencapaian minimal 80%.
Tabel 5. Hasil rekapitulasi skoring kelompok sasaran keselamatan pasien
Telususr Petugas

Pencapaian Skor
Telusur Pasien (3)
Keselamatan

Skor Maksimal

Persentase (%)
Dkumen (1)

Pertanyaan
Telususr
Sasaran

(1+2+3)

Jumlah
Pasien

(2)

I 25 10 5 40 10 100 40%
II 45 - 20 65 11 110 59,10%
III 40 - 5 45 8 80 56,25%
IV 30 15 40 85 12 120 70,83%
V 20 0 15 35 8 80 43,75%
VI 10 20 0 30 9 90 33,33%
Total 170 45 85 300 58 580 303,26%
Rata - rata 50,54%
Sumber : Data Primer Diolah (2014)
Dari tabel di atas terlihat bahwa pencapaian skor untuk semua SKP belum mencapai
skor minimal yang ditetapkan oleh KARS yaitu 80%. Kelompok sasaran keselamatan
pasien membutuhkan perhatian yang lebih dalam persiapan akreditasi versi 2012. Dapat
dilihat bahwa pencapaian skor untuk SKP 1 sebesar 40%, SKP 2 sebesar 59,10%, SKP
3 sebesar 56,25%, SKP 4 sebesar 70,83%, SKP 5 sebesar 43,75% dan SKP 6 sebesar
33,33%.
7. Kendala Pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien Akreditasi 2012 RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit II
Kendala pemenuhan sasaran keselamatan pasien sesuai akreditasi rumah sakit versi
2012 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II antara lain kurangnya kesadaran
dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) akan pentingnya keselamatan pasien,
kurangnya penerapan kebijakan dan SPO, fasilitas (sarana dan prasarana) yang tersedia
di rumah sakit belum lengkap, belum ada sosialisasi secara reguler dan terjadwal rutin
dari pihak manajemen mengenai akreditasi versi 2012 serta program-program yang
termasuk didalamnya, dan belum ada evaluasi pelaksanaan pemenuhan Sasaran
Keselamatan Pasien (SKP) oleh pihak manajemen yang sebaiknya dilakukan secara
reguler dan kontinyu.

PEMBAHASAN
1. SKP 1. Ketepatan Identifikasi Pasien
Identifikasi pasien menggunakan gelang pasien sudah diterapkan oleh rumah sakit
dengan 4 warna yaitu warna biru untuk identifikasi pasien jenis kelamin laki laki, merah
muda untuk identifikasi pasien jenis kelamin perempuan, kuning untuk identifikasi
pasien yang beresiko jatuh, dan merah untuk identifikasi pasien yang memiliki riwayat
alergi terhadap suatu jenis obat. Masih ada 2 warna gelang pasien yang belum disediakan
yaitu warna putih untuk identifikasi pasien (khususnya bayi baru lahir) yang tidak/belum
jelas jenis kelaminnya dan warna ungu untuk identifikasi pasien dengan kategori do not
resuscitate (DNR).
Dari hasil observasi dan telusur petugas dan pasien didapatkan masih ada pasien yang
tidak menggunakan gelang pasien. Tidak semua pasien rawat inap dipasang gelang
identitas dengan alasan pada saat itu pasien yang datang dari poli lebih dari satu dan
bersamaan sehingga petugas lupa untuk memasang gelang pasien. Pasien yang masuk
dari IGD sudah terpasang gelang pasien sedangkan pasien yang masuk dari poliklinik
tidak diberikan gelang pasien oleh petugas melainkan langsung diantar ke bangsal untuk
dipasang infus dan gelang pasien oleh petugas bangsal.
Penjelasan penggunaan gelang pasien kepada pasien juga belum dilakukan dengan
baik dan menyeluruh oleh semua petugas. Hal ini karena pengetahuan tentang manfaat
gelang pasien belum dipahami dengan baik oleh petugas. Sebagian besar memahami
fungsi gelang pasien hanya untuk identitas pasien bukan sebagai identifikasi pasien.
Petugas melakukan identifikasi pasien dengan cara menanyakan langsung kepada pasien.
Pada pasien yang memakai gelang pasien pun tidak pernah dilihat gelang pasiennya pada
saat pemberian obat ataupun pengambilan sampel darah. Semua dilakukan dengan cara
menanyakan langsung kepada pasien. Seharusnya identifikasi pasien dilakukan secara
visual dan audio yaitu petugas terlebih dahulu melihat atau membaca nama yang tertulis
pada gelang pasien kemudian mengkroscek dengan menyebutkan nama yang tertulis
pada gelang di depan pasien.
2. SKP 2. Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Hasil dari telusur petugas, pasien dan dokumen bahwa pelaksanaan konsul ke dokter
belum menggunakan format SBAR tetapi sudah melakukan CABAK (Catat, Baca,
Konfirmasi). Dari hasil observasi yang dilakukan, hampir semua petugas dalam
pelaporan keadaan pasien hanya melakukan sebatas S (Situation) dan B (Background)
saja, sedangkan A (Assesment) dilakukan beberapa petugas dan R (Recomendation)
belum dilakukan. Hal ini dikarenakan sosialisasi mendalam mengenai pelaporan dengan
sistem SBAR belum ada. Pada beberapa kasus petugas yang melaporkan tidak
melakukan baca ulang dan konfirmasi karena dokter konsulen tidak bersedia meluangkan
waktu untuk mendengar petugas melakukan pembacaan ulang atas hasil pelaporan
keadaan pasien. Seperti kasus yang terjadi pada tahun 2013 dimana terjadi kesalahan
pemberian obat namun belum terlanjur diminum oleh pasien. Terapi yang ditulis oleh
dokter tidak jelas (tidak dapat dibaca oleh perawat), kemudian perawat konfirmasi
kepada dokter dan menuliskan di resep (tidak menulis di rekam medis pasien). Obat yang
dituliskan perawat di resep, berbeda dengan obat yang diberikan oleh farmasi dan
berbeda dengan obat yang benar. Obat belum terlanjur diminum, namun sudah dioplos.
Hal ini terjadi karena petugas tidak menggunakan sistem SBAR dan CABAK serta tidak
mengikuti prosedur yang ada.
Menurut Leonard, Graham dan Bonacum, menanamkan perilaku dan instrumen yang
sesuai standar seperti SBAR dimana menggunakan pernyataan yang tepat dan bahasa
yang jelas dapat meningkatkan keselamatan. SBAR dapat secara efektif menjembatani
perbedaan dalam gaya komunikasi antara perawat, dokter dan petugas lainnya yang
dihasilkan dari proses pendidikan yang berbeda asalnya.6
Pelaksanaan komunikasi penyampaian hasil pemeriksaan yang mempunyai nilai kritis
sudah dijalankan tetapi SPO mengenai hal ini belum ada. Selama ini kewenangan dalam
menyampaikan dan menjelaskan hasil pemeriksaan adalah dokter yang merawat, bila
keluarga atau pasien bertanya kepada perawat mengenai hasil pemeriksaan petugas
hanya memberi tahukan hasil tanpa memberikan penjelasaan mengenai hasil
pemeriksaan. Bila pasien ingin mengetahui perkembangan kondisinya dapat melakukan
tanya jawab langsung kepada dokter yang merawat pada saat dokter melakukan visite.
Sistem timbang terima pasien harus lebih diperbaiki untuk ke depannya. Sesuai
dengan pedoman rumah sakit bahwa serah terima pasien seharusnya dilakukan dengan
cara keliling ke kamar pasien dengan membacakan program yang diberikan pada pasien
terebut sehingga pasien juga mengerti program apa saja yang diberikan. Yang terjadi
selama ini perawat melakukan timbang terima hanya di nurse station saja tanpa
dilakukan di hadapan pasien. Hal ini perlu dievaluasi kembali untuk meningkatkan
kualitas pelayanan rumah sakit.
3. SKP 3. Peningkatan Keamanan Obat yang Harus Diwaspadai (High Alert)
Penyimpanan obat high alert rumah sakit ini masih belum sesuai dengan standar yang
seharusnya. Obat-obat high alert yang disimpan masih bercampur dengan obat-obatan
lain yang tidak termasuk obat high alert dan akses tidak dibatasi dengan ketat.
Penyimpanan obat high alert belum memiliki tempat sendiri, seharusnya obat high alert
yang disimpan di instalasi farmasi di simpan pada almari sendiri dan dikunci serta diberi
label peringatan obat high alert pada bagian luar almari penyimpanan. Almari obat high
alert yang ada harus dipisahkan antara obat-obat high alert yang sering dipakai dan
jarang dipakai, dikunci dengan kunci yang berbeda. Jika obat high alert harus disimpan
di area perawatan pasien maka tempat penyimpanan harus terpisah dengan obat rutin
lainnya dan dikunci serta akses dibatasi dengan ketat. Kebijakan atau prosedur khusus
mengenai obat high alert sudah ada di rumah sakit, namun hal ini belum dilakukan
karena disiplin dari SDM yang berhubungan dengan hal ini belum ada dan tidak adanya
evaluasi dari pihak manajemen rumah sakit mengenai penyimpanan obat yang sudah
berjalan di rumah sakit apakah sudah sesuai standar atau belum.
Penyimpanan elektrolit konsentrat di rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Unit II masih belum sesuai. Penyimpanan elektrolit konsentrat tidak hanya di instalasi
farmasi saja tetapi juga di unit pelayanan seperti di IGD, ICU dan VK. Penyimpanan
elektrolit konsentar di farmasi tidak disimpan pada tempat sendiri tetapi diletakkan di
kardus masing-masing di dalam satu baris pada almari obat yang tidak memiliki tutup.
Diberi label nama pada masing-masing kardus dengan spidol dan tulis tangan.
Sedangkan penyimpanan elektrolit konsentrat di unit pelayanan pasien tidak disimpan
pada tempat yang terkunci, melainkan dicampur dengan obat lainnya dan tidak pada
posisi yang beraturan. Sehingga masih dapat terjadi kemungkinan salah pengambilan
elektrolit oleh petugas.
Obat high alert dan obat dengan nama obat yang mirip belum diberikan label nama
dengan pelabelan yang sesuai. Beberapa elektrolit konsentrat sudah di beri label stiker
dengan warna merah yang bertuliskan high alert dan larutan konsentrat double
check. Kejadian salah pemberian obat kepada pasien rawat jalan oleh mahasiswa
perawat di instalasi farmasi pernah terjadi di rumah sakit. Pasien yang seharusnya
mendapatkan obat clorpropamide diberikan obat chlorpromazine, akibatnya pasien tidur
terus dan keluarga kembali ke rumah sakit untuk menanyakan kondisi pasien. Setelah
dilakukan pengecekan ternyata terjadi kesalahan pengambilan obat karena nama obat
yang mirip antara satu sama lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Filik, Purdy, Gale dan Gerret mengatakan salah satu
penyebab terbanyak kesalahan dalam pemberian obat adalah kegagalan dalam
mengidentifikasi obat, kebanyakan pada obat nama obat mirip rupa (NORUM/LASA).
Cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat pada
NORUM adalah dengan penulisan metode Tall Man. Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa menyoroti bagian dari kata-kata yang menggunakan huruf Tall Man dapat
membuat obat NORUM mudah untuk dibedakan dan penulisan label dengan metode Tall
Man yang memakai warna tidak membuat mudah diingat sehingga pelabelan cukup
menggunakan penulisan huruf yang berbeda (Tall Man) saja. Penulisan nama obat di
rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II masih menggunakan tulisan
tangan menggunakan huruf CAPITAL dengan spidol berwarna hitam pada kertas putih
yang ditempel pada kardus tempat penyimpanan obat.7
Daftar obat NORUM/LASA hanya terdapat di instalasi farmasi dan ruang ICU saja,
sehingga untuk beberapa petugas masih belum familiar dengan istilah tersebut. Hal ini
karena belum adanya evaluasi dan sosialisasi mengenai obat NORUM/LASA kepada
semua orang yang terlibat dalam proses pelayanan terhadap pasien.
Prosedur mengenai penggunaan elektrolit konsentrat sudah ada di rumah sakit, tetapi
pada pelaksanaannya tidak semua petugas mengetahui dengan benar prosedur
penggunaan elektrolit konsentrat. Hal ini karena beberapa SDM yang ada tidak
memahami SPO penggunaan elektrolit konsentrat dan dalam pelaksanaannya dikerjakan
oleh petugas yang sudah tau cara memberikan elektrolit konsentrat sesuai prosedur.
4. SKP 4. Kepastian Tepat Lokasi, Tepat Prosedur, Tepat Pasien Operasi/Tindakan
Dalam peningkatan keselamatan pembedahan melalui Safe Surgery Saves Lives maka
untuk menjadi panduan dalam pelaksanaannya, World Aliance for Patient Safety
mengeluarkan Guidelines for Safe Surgery yang disertai dengan Safety Surgical
Checklist untuk memudahkan dalam pelaksanaannya (WHO, 2008). Untuk membantu
tim bedah dalam mengurangi jumlah kejadian ini, WHO menghasilkan rancangan berupa
checklist keselamatan pasien di kamar bedah sebagai media informasi yang dapat
membina komunikasi yang lebih baik dan kerjasama antara disiplin klinis. Tujuan
penggunaan surgical safety checklist WHO adalah untuk menyamakan persepsi,
komunikasi dan kerjasama antar tim bedah. Surgical safety checklist WHO ini
merupakan alat yang digunakan oleh tim bedah untuk meningkatkan keselamatan,
menurunkan jumlah kematian dan kecacatan akibat pembedahan.
Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Haynes. et,al, menyebutkan bahwa rata-rata
kematian sejumlah 1,5% sebelum checklist dikenal turun menjadi 0,8% setelah mengenal
checklist. Pada pasien yang mengalami komplikasi setelah operasi dari 11% turun
menjadi 7% setelah diperkenalkan penggunaan checklist sebelum operasi. Rumah sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II telah menerapkan safe surgery checklist pada
setiap pasien yang akan dilakukan operasi atau tindakan sejak bulan Maret tahun 2014.
Checklist yang digunakan sesuai dengan standar WHO dan sudah dipahami oleh semua
petugas ruang operasi rumah sakit.8
Penandaan pada lokasi operasi belum dilaksanakan dengan sempurna di rumah sakit
ini. Pada beberapa kasus, penandaan sudah dilakukan namun belum menggunakan tanda
khusus. Selama ini hanya pasien ortopedi yang diberikan penandaan namun tanda yang
dimaksud adalah pasien ditandai dengan menggunakan gips yang terpasang pada bagian
tubuh yang akan dilakukan operasi/tindakan. Untuk kasus bedah umum belum dilakukan,
kecuali kasus tumor mammae yaitu hanya menggunakan spidol atau bolpoin pada bagian
tubuh yang akan dilakukan tindakan untuk membedakan kanan atau kiri. Walaupun
kebijakan atau prosedur penandaan pasien operasi sudah ada tetapi pelaksanaan
penandaan belum berjalan dengan baik. Hal ini karena belum tersedianya tanda itu
sendiri dan belum adanya evaluasi mengenai prosedur tepat lokasi, tepat prosedur dan
tepat pasien oleh manajemen rumah sakit.
Salah satu isu utama terkait penggunaan penanda kulit adalah tanda yang tidak mudah
hilang (contohnya, apakah penanda akan terlihat setelah persiapan kulit untuk
mengidentifikasi lokasi operasi yang tepat). Idealnya, penandanya tidak mudah hilang
saat kulit terkena cairan persiapan sehingga penandanya tidak hilang sebelum time-out
dan irisan pertama. Tetapi penanda seharusnya tidak permanen hingga mingguan atau
bulanan setelah prosedur operasi dan mungkin tidak nyaman atau menyebabkan malu
bagi pasien (contohnya, penanda di wajah pada pasien yang akan menjalani operasi
bedah plastik).9
5. SKP 5. Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang
terkait pelayanan kesehatan. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi
petunjuk hand hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu
di rumah sakit.10 Pasien yang dirawat di rumah sakit sangat rentan terhadap infeksi
rumah sakit atau dikenal dengan Health Care Associated Infections (HCAI) yang dapat
terjadi karena tindakan perawatan selama pasien dirawat di rumah sakit, kondisi
lingkungan disekitar rumah sakit, dan daya tahan tubuh pasien. Penularan dapat terjadi
dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung
atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien. Dampak dari HCAI dapat
memperpanjang lama rawat, meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta menambah
biaya rumah sakit.11
Kegagalan melakukan hand hygiene yang baik dan benar dianggap sebagai penyebab
utama infeksi rumah sakit dan penyebaran mikroorganisme multiresisten di fasilitas
pelayanan kesehatan dan telah diakui sebagai kontributor yang penting terhadap
timbulnya wabah.12 Terdapat 6 langkah dalam teknik cuci tangan dengan air dan sabun
yang dikeluarkan oleh WHO. Durasi untuk melakukan cuci tangan adalah selama 40-60
detik. Sedangkan durasi untuk melakukan hand hygiene dengan alcohol based
formulation adalah selama 20-30 detik.
Hasil observasi yang ditemukan di rumah sakit ini masih terdapat beberapa
kekurangan antara lain sarana cuci tangan yang belum tersedia secara merata dan
memadai, cuci tangan yang dilakukan oleh petugas sudah sesuai dengan standar WHO
tetapi beberapa dari petugas melakukan dengan urutan yang masih belum benar,
kepatuhan dan pemahaman petugas akan cuci tangan 5 waktu belum baik, dan belum
adanya evaluasi. Sarana cuci tangan yang tersedia di rumah sakit masih belum merata
dan belum memadai. Dari hasil observasi di ruangan perawatan, ruangan wardah (ruang
perawatan penyakit dalam perempuan) hanya terdapat 1 alcohol based hand rub saja di
dekat nurse station. Sedangkan dibangsal zaitun (ruang perawatan penyakit dalam laki-
laki) terdapat 3 botol alcohol based hand rub, walaupun belum diletakkan disetiap pintu
kamar pasien. Sarana cuci tangan yang ada di rumah sakit belum terdapat handuk atau
alat pengering pada setiap wastafel. Selain itu poster cara cuci tangan yang baik dan
benar juga belum ada sehingga petugas dan pasien masih belum melakukan cuci tangan
yang baik dan benar sesuai standar WHO.
Ada 5 (lima) momen cuci tangan menurut WHO yaitu sebelum kontak dengan pasien,
sebelum melakukan prosedur aseptik, setelah terpapar dengan cairan tubuh pasien,
setelah kontak dengan pasien, dan setelah kontak dengan lingkungan sekeliling pasien.11
Berdasarkan hasil telusur dan observasi, didapatkan bahwa petugas rumah sakit sudah
melakukan cuci tangan sesuai dengan standar WHO tetapi beberapa orang melakukannya
dengan urutan yang tidak benar. Sebenarnya rumah sakit sudah melakukan sosialisasi
dan evaluasi program cuci tangan yang baik dan benar sesuai WHO ini setiap apel pagi
rumah sakit, namun pada kenyataannya tidak semua petugas menerapkan dengan baik
dan benar. Hal ini karena kepatuhan dan pemahaman petugas akan pentingnya
melakukan cuci tangan 5 (lima) waktu sesuai standar WHO oleh petugas masih rendah.
Petugas menyadari bahwa untuk mengurangi infeksi yang terkait dengan pelayanan
adalah dengan cuci tangan 5 waktu secara tepat. Namun budaya yang lama masih
melekat dan sulit untuk dirubah. Hal ini mempengaruhi ketepatan langkah cuci tangan
petugas karena petugas masih jarang melakukan cuci tangan 5 waktu selama sedang
bertugas di rumah sakit. Pihak manajemen rumah sakit belum melakukan evaluasi dan
penegakan disiplin yang tegas terhadap pelaksanaan cuci tangan yang baik dan benar
sesuai prosedur WHO pada 5 waktu cuci tangan.
Pada sebuah penelitian meta analisis yang dilakukan oleh Aiello et.al, mengenai efek
hand hygiene terhadap resiko penyakit menular dalam komunitas mengatakan bahwa
hand hygiene yang dilakukan secara konsisten dapat mencegah penyakit gastrointestinal
baik di negara maju maupun negara berkembang. Namun hand hygiene yang dilakukan
kurang efektif untuk penyakit pernapasan. Penggunaan alcohol based hand rub dan
sabun antibakteri lebih efektif menurunkan angka kejadian infeksi daripada penggunaan
sabun non antibakterial.13
Pemberdayaan pasien adalah konsep baru di pelayanan kesehatan yang sekarang
sudah diperluas menjadi bidang patient safety. Dalam rangka pengembangan baru
guideline WHO mengenai cuci tangan di pelayanan kesehatan, penulis melakukan
tinjauan literatur dari tahun 1997-2008 untuk mengidentifikasi bukti yang mendukung
program yang bertujuan untuk mendorong pasien mengambil peran aktif dalam
perawatan mereka. Pemberdayaan pasien merupakan bagian yang utuh dari strategi
multimodal hand hygiene WHO. Strategi promosi hand hygiene membuktikan
keberhasilan pemberdayaan pasien termasuk satu atau semua komponen berikut: alat
pendidikan, motivasi dan alat pengingat serta contoh teladan. Yang penting adalah
program dan model yang mendukung pasien harus dikembangkan dengan komponen
evaluasi yang mencakup baik ukuran kualitatif maupun kuantitatif untuk menentukan
selain apakah berhasil tetapi dalam kondisi apa dan dalam konteks organisasi.14
6. SKP 6. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan
melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan, dan lain-lain. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh
bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap berisiko jatuh. Langkah-langkah
dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat jatuh dan dampak dari
kejadian tidak diharapkan. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah
sakit.10 Dalam melakukan penilaian asesmen awal untuk pasien dengan resiko jatuh
terdapat beberapa alat yang digunakan. Alat untuk asesmen awal risiko jatuh yang
memiliki sensitivitas tinggi dan spesifisitas tinggi adalah yang menilai kestabilan dalam
berjalan, kelemahan anggota gerak bawah, agitasi, frekuensi/inkontinensia urin, riwayat
jatuh, dan penggunaan obat yang menyebabkan mengantuk atau hipnosis. Salah satu
yang tinggi sensitivitas dan spesifisitasnya adalah Morse Fall Scale/MFS. MFS ini
memiliki sensitivitas 78% dan spesifisitas 83%.15
Asesmen awal pada pasien dengan risiko jatuh belum dilakukan dengan metode yang
benar. Dari hasil observasi yang peneliti lakukan, petugas mengatakan bahwa pasien
dengan risiko jatuh akan dipasang gelang pasien warna kuning tetapi hampir semua
pasien yang berisiko untuk jatuh tidak dipasang gelang pasien berwarna kuning,
beberapa dari pasien tersebut justru dipasang tali pada tangannya yang diikatkan pada
tempat tidur pasien. Hal ini karena implementasi kebijakan mengenai asesmen pasien
risiko jatuh belum diketahui dan dipahami dengan benar oleh petugas. Pihak manajemen
mengatakan bahwa pedoman atau SPO mengenai asesmen awal pasien dengan risiko
jatuh sebenarnya sudah ada, tetapi penerapan dalam kegiatan sehari-hari di lapangan
belum berjalan. Petugas dirasa belum paham bagaimana cara melakukan asesmen pasien
risiko jatuh dengan benar.
Asesmen pasien dengan risiko jatuh dilakukan pada saat pasien masuk rumah sakit,
pindah dari satu unit ke unit lain, terdapat perubahan kondisi pasien, adanya kejadian
jatuh dan dilakukan dengan jarak yang teratur. Instrument penilaian risiko jatuh yang
dapat digunakan yaitu morse fall scale (MFS) untuk pasien dewasa dan humpty dumpty
untuk pasien anak.16
Instrument penilaian yang digunakan di rumah sakit adalah morse fall scale (MFS),
dimana pasien dinilai berdasarkan dari skor yang diperoleh setelah dilakukan penilaian.
Formulir penilaian dengan MFS sudah ada di rumah sakit, tetapi implementasinya belum
berjalan karena petugas kurang mengetahui dan memahami bagaimana cara melakukan
asesmen pasien risiko jatuh menggunakan MFS. Hal ini dibenarkan oleh pihak
manajemen yang menyatakan bahwa belum adanya sosialisasi menyeluruh kepada semua
petugas rumah sakit.
Pelaporan kasus pasien jatuh yang termasuk dalam Kejadian Tidak Diinginkan/KTD
belum berjalan dengan maksimal, tidak semua petugas melaporkan kasus yang telah
terjadi karena tidak semua kasus dibuat laporan untuk dilaporkan kepada pihak
manajemen. Kurangnya kepatuhan dan kesadaran akan pasien jatuh mengakibatkan
usaha pengurangan pasien cedera akibat jatuh sulit untuk berkembang di rumah sakit ini.
Kejadian pasien jatuh yang terjadi di tahun 2013 sejumlah 2 kasus dan tahun 2014
periode Januari-Juni sejumlah 3 kasus. Hal ini mungkin dikarenakan asesmen awal
pasien risiko jatuh merupakan hal yang baru dan belum didapatkan pada saat pendidikan
sebelumnya. Selain itu rumah sakit belum melakukan sosialisasi mengenai asesmen awal
pasien risiko jatuh dan pelatihan mengenai hal tersebut. Rencana akan diadakan pelatihan
pada bulan Agustus tahun 2014.
Dari hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa rumah sakit
sudah melakukan upaya untuk mencegah kejadian pasien cedera akibat jatuh, upaya yang
dilakukan yaitu tempat tidur dengan pengaman, kamar mandi dengan pengaman, tangga
rumah sakit dengan pengaman, koridor rumah sakit dengan pengaman, dan peringatan
berupa tulisan yang diletakkan di lanati rumah sakit pada saat dibersihkan.
Dalam pedoman pencegahan cedera dan pasien jatuh Universitas Hospitals
Birmingham menyebutkan untuk menurunkan risiko pasien jatuh dilakukan beberapa hal
yaitu skrining risiko cedera dan pasien jatuh, pedoman respon dan tindakan fisioterapi
untuk pasien jatuh, pedoman respon dan tindakan terapi okupasi untuk pasien yang
mengaku telah jatuh/beresiko jatuh, pedoman obat terutama dalam pemberian obat yang
meningkatkan risiko pasien jatuh, penilaian untuk penggunaan pengaman tempat tidur
(pasien jatuh dari ketinggian), penggunaan alas kaki yang aman bagi pasien, duduk
pasien yang aman bagi pasien, penyebaran leaflet tentang pencegahan pasien jatuh,
memberikan bantuan mengantarkan dan menunjukkan ke toilet dan mendekatkan bel
dengan pasien.17

KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Implementasi 6 sasaran keselamatan pasien rumah sakit dalam kesiapan akreditasi
rumah sakit dengan akreditasi versi 2012 mendapatkan rata-rata skor 50,54%.
Pencapaian skor keselamatan pasien didapatkan sebagai berikut: ketepatan identifikasi
pasien 40%, peningkatan komunikasi yang efektif 59,10%, keamanan obat yang perlu
diwaspadai 56,25%, kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien
operasi/tindakan 70,83%, pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
43,75%, pengurangan risiko pasien cidera akibat jatuh 33,33%.
2. Kendala pemenuhan sasaran keselamatan pasien sesuai akreditasi rumah sakit versi
2012 di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II antara lain kurangnya kesadaran
dan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) akan pentingnya keselamatan pasien,
kurangnya penerapan kebijakan dan SPO, fasilitas (sarana dan prasarana) yang
tersedia belum lengkap, belum ada sosialisasi secara reguler dan terjadwal rutin dari
pihak manajemen mengenai akreditasi versi 2012, dan belum ada evaluasi
pelaksanaan pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) oleh pihak manajemen.
3. RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit II belum melakukan persiapan yang
maksimal dalam menghadapi akreditasi versi 2012 untuk sasaran keselamatan pasien.
Rekomendasi yang perlu dilakukan yaitu:
a. Komitmen, dukungan penuh dan keterlibatan langsung dari pimpinan rumah sakit.
b. Dokumen akreditasi versi baru (2012) yang belum dibuat dan yang masih dalam
bentuk draft untuk segera dibuat dan disahkan oleh direktur rumah sakit dan
disosialisasikan keseluruh bagian rumah sakit.
c. Mengadakan pelatihan mengenai sasaran keselamatan pasien.
d. Melakukan evaluasi rutin terhadap pelaksanaan kebijakan dan SPO yang sesuai
dengan sasaran keselamatan pasien.
e. Memberlakukan sanksi disiplin yang tegas untuk petugas yang didapati dan
diketahui tidak melakukan tindakan sesuai SPO dan tidak mematuhi kebijakan
yang berlaku.
f. Melengkapi fasilitas antara lain menyediakan poster SBAR, membuat daftar dan
poster obat-obat high alert, menyediakan tempat penyimpanan khusus obat high
alert, menyediakan alat penanda untuk pasien operasi, menyediakan handuk atau
tissu di setiap wastafel, menyediakan alkohol di setiap ruangan, memasang gambar
6 langkah cuci tangan menurut WHO dan membuat brosur/leaflet mengenai risiko
pasien jatuh.

DAFTAR PUSTAKA
1. Maturbongs, 2000, Hubungan skor akreditasi rumah sakit dan indikator kinerja rumah sakit,
Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Yogyakarta.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001, Petunjuk Pelaksanaan Indikator Mutu
Pelayanan Rumah Sakit, Jakarta.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia .2006. Panduan Nasional Keselamatan Pasien
Rumah Sakit (Patient Safety). Jakarta
4. Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2011, Standar Akreditasi Rumah Sakit, Jakarta.
5. Sitorus S, 2013, Analisis kepatuhan perawat terhadap pelaksanaan identifikasi pasien sebelum
melakukan tindakan keperawatan di ruang rawat inap Siloam Hospital Lippo Village, Skripsi,
Program Sarjana Universitas Esa Unggul, Jakarta.
6. Leonard, M., Graham, S., Bonacum, D. 2004, The human factor : the critical importance of
effective teamwork and communication in providing safe care, Qual Saf Health Care, 13, 85-90.
7. Filik, R., Purdy, K., Gale, K., Gerrett, D., 2006, Labeling of medicines and patient safety:
evaluating methods of reducing drug name confusion. The Journal of the Human Factors and
Ergonomics Society, 48, 39-47.
8. Haynes Alex B, Weiser Thomas G, Berry William R, Lipsitz Stuart R, et al. 2009. A surgical
safety checklist to reduce morbidity and mortality in a global population. NEJM 360:491-499.
9. Pennsylvania Patient Safety Advisory, 2008, Surgical site markers: putting your mark on patient
safety, Patient Safety Authority. Diakses 15 Agustus 2014, dari
http://patientsafetyauthority.org/ADVISORIES/AdvisoryLibrary/2008/Dec5(4)/Pages/130.aspx.
10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2011, Standar Akreditasi Rumah Sakit, Dirjen Bina
Pelayanan Medik, Jakarta.
11. Who guidelines on hand hygiene in health care, first global patient safety challenge, clean care is
safer care. 2009. Geneva: World Health Organization.
12. Boyce, J.M., Pittest, D., 2002, Guideline for hand hygiene in health-care settings.
Recommendations of the healthcare infection control practices advisory committee and the
HIPAC/SHEA/APIC/IDSA hand hygiene task force, PUBMED, 30, 1-46.
13. Aiello Allison E, Coulborn Rebecca M, Larson Elaine L. 2008. Effect of hand hygiene on
infectious disease risk in the community setting: a meta analysis. American journal of public
health 98(8): 1372-1381
14. McGuckin, M., Storr, J., Longtin, Y., Allegranzi, B., Pittet D., 2010, Patient empowerment and
multimodal hand hygiene promotion: A win-win strategy. American Journal of Medical Quality,
26, 10-17.
15. Gardner Lea Anne, Feil Michelle. 2013. Falls: Risk asessment, prevention and measurement.
Pensylvania : National Patient Safety Foundation
16. National Patient Safety Foundation, 2013. www.npsf.org
17. Uhb guideline on patient falls and injuries prevention, inpatient falls and injuries prevention
procedure. 2012. United Kingdom: University Hospital Birminghams.

Anda mungkin juga menyukai