Anda di halaman 1dari 36

KOMPOSISI JENIS LAMUN DI PERAIRAN PANTAI

TALAKE DAN TEKNIK PEMBUATAN HERBARIUM


KERING

LAPORAN
PRAKTEK KERJA LAPANGAN
OLEH :

ALDONAL LETERULU

2013-64-049

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN


JURUSAN MANAGEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2017
LEMBARAN PENGESAHAN

KOMPOSISI JENIS LAMUN DI PERAIRAN PANTAI TALAKE DAN


TEKNIK PEMBUATAN HERBARIUM KERING

LAPORAN
PRAKTEK KETERAMPILAN LAPANGAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan akademik pada Fakultas


Perikanan dan Ilmu kelautan, Universitas Pattimura

OLEH :

ALDONAL LETERULU

2013-64-049

Mengetahui
Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Ir. Simon Tubalawony, M.Si J. Supusepa, S.Pi. M.Si


NIP. 19671018 199303 1 002 NIP. 19780615 2002112 2 002
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur, hormat, kemuliaan penulis panjatkan kepada Tuhan

Yesus Kristus yang karena atas berkat, anugerah dan pimpinan tangan kasihNya

bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Praktek Ketrampilan

Lapangan dengan judul Komposisi Jenis Lamun Di Perairan Pantai Talake

dan Teknik Pembuatan Herbarium Kering, sebagai salah satu persyaratan

akademik pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura,

Ambon.

Penulis sungguh menyadari bahwa dalam menyelesaikan penulisan

laporan Praktek Ketrampilan Lapangan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan berbagai masukan berupa saran dan

kritik yang sifatnya membangun bagi penyempurnaan laporan Praktek

Ketrampilan Lapangan ini.

Ambon, juli 2017

Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH

Segala Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha

Esa karena atas berkat dan anugerah dan pimpinan tangan kasihNya bagi penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Laporan Praktek Ketrampilan

Lapangan dengan judul Komposisi Jenis Lamun Di Perairan Pantai Talake

dan Teknik Pembuatan Herbarium Kering

Dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan banyak terima

kasih kepada :

1. Dr. Ir. S.Tubalaawony, M. Si selaku ketua Program Studi Ilmu

Kelautan yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat

melaksanakan PKL ini.

2. J. Supusepa, S. Pi.Si Selaku pembimbing yang dengan sabar dan tulus

hati meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan arahan,

bimbingan, dan bantuan mulai dari awal sampai terselesaikan

penulisan Laporan Praktek Kerja Lapangan.

3. F. F. Lokollo, S.Pi, M.Si selaku penasehat akedemik yang telah

memberikan arahan dan masukan bagi penulis.

4. Para dosen program studi ilmu keluatan, terutama Ir. S. Haumahu,

M.Si atas segala ilmu, motivasi, dan bimbingan yang telah diberikan

kepada penulis selama mengikuti kuliah.

5. Keluarga tercinta Papa, Mama dan saudara bersaudara kaka Odik

beserta adik- adikku Tasya,Marsye,Veldi, Tei yang senatiasa dan tidak


v

henti-hentinya memberikan motivasi,pandangan dan doa serta telah

banyak berkorban waktu dan materi untuk mendukung penulis dalam

melaksanakan PKL serta penyelesaian penulisan laporan PKL ini.

6. Brian, Dechrisyam, Filia, kaka Michael beserta teman-temannya yang

sudah membantu penulis dalam proses pengambilan data dilapangan.

7. Teman-teman angkatan 2013 Arsito, Erick, Matheos, Salman ,

Milyan, Els, Mirsya, Maria, Wendi, Respati, Ladiman, Ali, Diky,

Darlin , Hapipa, Acha, Aziz dan Stela yang selalu memberi semangat

dan membantu penulis dalam menyelesaikan PKL ini.

8. Angkatan IK12 DAN IK14 yang tidak dapat disebutkan satu demi

satu yang suda membantu dan menyemangati penulis.

9. Juga kepada semua pihak, yang secara langsung maupun tidak

langsung telah membantu menyelesaikan laporan PKL ini.

Penulis tidak dapat membalas semuanya itu, dan berharap kiranya

Tuhan Yesus Kristus selalu menyertai, menjaga, dan memberkati kita

semua.

Ambon, juli 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

KATA PENGANTAR iii

UCAPAN TERIMA KASIH iv

DAFTAR ISI vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

BAB I. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Tujuan PKL 2

1.3. Manfaat PKL 2

BAB II. TINJUAN PUSTAKA 3

2.1. Defenisi Lamun 3

2.2. Morfologi Lamun 3

2.3 Jenis-Jenis Lamun 5

2.4. Habitat 6

2.5. Parameter Lingkungan Yang Mempengaruhi

Pertumbuhan Lamun 7

2.6. Fungsi Lamun 9


vii

2.7. Herbarium 11

BAB III. METODE PKL 12

3.1. Waktu dan Lokasi PKL 12

3.2. Alat dan Bahan 12

3.3. Metode Pengambilan Sampel 13

3.4. Metode Analisa laboratorium 14

3.5. Metode Analisa Data 15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16

4.1. Deskripsi Lokasi PKL 16

4.2. Parameter Fisik-Kimia Air Laut 16

4.3. Komposisi Jenis Lamun 17

4.4. Deskripsi Jenis-Jenis Lamun 18

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 20

5.1. Kesimpulan 20

5.2. Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 23
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1 Bagian-bagian lamun secara morfologi 4

2 Peta Lokasi PKL 12

3 Komposisi Jenis Lamun 17

4 Morfologi Lamun Enhalus acoroides 18

5 Morfologi Lamun Halodule uninervis 19

6 Morfologi Lamun Halophila ovalis 19


DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Komposisi Jenis Lamun Yang Ditemukan Di Perairan 5

Indonesia

2 Alat dan Bahan dalam kegiatan PKL 12

3 Alat Dan Bahan Untuk Teknik Pembuatan Herbarium 13


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Dokumentasi Praktek Ketrampilan Lapangan 24

2 Dokumentasi Indentifikasi Sampel Di Laberatorim 25

3 Dokumentasi Pembuatan Herbarium 25

4 Jurnal PKL 26
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perairan Maluku merupakan salah satu bagian dari perairan Indonesia

timur yang memiliki sifat fisik yang unik dengan topografi dasar laut yang

majemuk, selain itu Maluku juga terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman

sumber daya lautnya, baik sumber daya laut yang dapat diperbahurui maupun

yang tidak dapat diperbaharui. Salah satu sumber daya yang diperbaharui

terdapat pada wilayah pesisir yang merupakan wilayah peralihan antara ekosistem

darat dan laut, memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar, salah

satunya adalah lamun dengan berbagai jenis. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan

berbunga (Angiospermae) yang seluruh proses kehidupan berlangsung di

lingkungan perairan laut dangkal (Susetiono, 2004).

Semua lamun adalah tumbuhan berbiji satu (monokotil) yang mempunyai

akar, rimpang (rhizoma), daun, bunga dan buah (Tomlinson, 1974). Menurut Den

Hartog (1977), tumbuhan ini mempunyai beberapa sifat yang memungkinkan

berhasil hidup di laut, yaitu mampu hidup di media air asin, beradaptasi terhadap

kondisi bergaram dapat bertahan terhadap hempasan arus dan gelombang dan

mampu bereproduksi dalam kondisi terbenam di laut.

Ekosistem padang lamun memiliki peran penting dalam ekologi kawasan

pesisir, karena menjadi habitat berbagai biota laut termasuk menjadi tempat

mencari makan (feeding ground) bagi penyu hijau, dugong, ikan, echinodermata

dan gastropoda (Bortone, 2000). Peran lain dari lamun adalah menjadi barrier
2

(penghalang) bagi ekosistem terumbu karang dari ancaman sedimentasi yang

berasal dari daratan.

Perairan pantai Talake merupakan perairan yang memiliki ekositem lamun

yang hanya tumbuh di sebagian pantai tersebut, tetapi saat ini informasi tentang

komposisi jenis lamun pada perairan ini masih sangat terbatas. Dengan demikian

perlu dilakukan penelitian guna menyediakan informasi mengenai komposisi

jenis lamun di perairan pantai Talake. dan dijadikan bahan untuk Praktek

Ketrampilan Lapangan.

1.2. Tujuan Praktek Ketrampilan Lapangan (PKL)

Tujuan dari PKL ini adalah untuk:

1. Mengetahui komposisi jenis lamun di perairan pantai Talake.


2. Mendeskripsikan secara umum jenis-jenis lamun yang di temukan
berdasarkan teknik pembuatan herbarium kering.

1.3. Manfaat PKL

Manfaat yang diperoleh dari kegiatan PKL ini adalah memberikan

informasi tentang komposisi jenis lamun di perairan Pantai Talake dan

mendeskripsikan secara umum jenis-jenis lamun berdasarkan teknik pembuatan

herbarium kering.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Lamun

Lamun (seagress) adalah satu-satunya kelompok tumbuh-tumbuhan

berbunga yang terdapat di lingkungan laut. Tumbuh-tumbuhan ini hidup di

habitat perairan pantai dangkal. Lamun mempunyai tunas berdaun yang tegak dan

tangkai-tangkai dapat menyerap nutrien secara langsung dari dalam air laut

dengan efektif untuk berkembang biak (Romimohtarto dan Juwana, 1999).

Lamun adalah tumbuhan berbunga yang menyesuaikan diri untuk hidup

terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini terdiri dari rhizoma, daun dan akar.

Rhizoma merupakan batang yang terbenam dan merayap secara mendatar serta

berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke

atas, berdaun dan berbunga serta tumbuh pula akar. Dengan rhizoma dan akar

inilah, tumbuhan lamun dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut.

Sebagian besar lamun berumah dua artinya dalam satu tumbuhan hanya ada

jantan dan betina saja. Sistem pembiakan bersifat khas karena mampu melakukan

penyerbukan di dalam air serta buahnya terendam dalam air (Nontji, 2005).

2.2. Morfologi Lamun

Secara morfologis, tumbuhan lamun mempunyai bentuk yang hampir

sama, terdiri atas ; rhizoma, akar, batang, dan daun (Gambar 1). Daun pada lamun

umumnya memanjang, kecuali jenis Halophila memiliki bentuk daun lonjong

(Tuwo, 2011).
4

Gambar 1. Bagian-bagian lamun secara morfologi (Waycott et al. 2004)

1. Akar

Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antar jenis

lamun yang dapat digunakan dalam kajian taksonomi lamun. Akar pada

beberapa jenis seperti Halophila dan Halodule memiliki karekteristik tipis

(fragile) seperti rambut, sedangkan jenis Thalassodendron memiliki akar

yang kuat dan berkayu dengan sel epidermal. Akar pada lamun memiliki

stele (silinder pusat) merupakan bagian tengah atau akar yang terletak

disebelah dalam endodermis. Stele mengandung phloem atau jaringan

transport nutrient, dan xylem atau jaringan yang menyalurkan air ( Tuwo,

2011).

2. Rhizoma Dan Batang

Struktur rhizoma dan batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi

tergantung dari susunan di dalam stele masing-masing lamunnya.

Rhizoma seringkali terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara


5

ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif

( merupakan hal yang penting untuk penyebaran dan pembibitan lamun).

Volume rhizoma merupakan 60-80% dari biomassa lamun ( Tuwo, 2011).

3. Daun

Daun lamun berkembang dari meristem basal yang terletak pada rhizoma

dan percabangannya. Secara morfologi daun pada lamun memiliki bentuk

yang hampir sama secara umum, dimana jenis lamun memiliki morfologi

khusus dan bentuk anatomi yang memiliki nilai taksonomi yang sangat

tinggi. Daun lamun muda dikenali dan bentuk daun, ujung daun dan ada

tidaknya ligula (lidah daun). Daun lamun memiliki dua bagian yang

berbeda yaitu pelepah dan daun. Sedangkan secara anatomi, daun lamun

memiliki ciri khas dengan tidak memiliki stomata dan memiliki kutikel

yang tipis (Tuwo, 2011).

2.3. Jenis-jenis Lamun

Di Indonesia terdapat 13 jenis spesies lamun (Tabel 1) yang terdiri dari

tujuh marga (Phillips dan Menez, 1988 dalam Kuriandewa, 2004).

Tabel 1. Komposisi jenis lamun yang ditemukan di perairan Indonesia

Devisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies


Anthophyta Angiospermae Helobiae Hydrocharita- Enhalus Enhalus accoroides
ceae Halophilla Halophila decipiens
Halophila ovalis
Halophila minor
Halophila spinulosa
Halophila sulawesii
Thalassia Thalassia
hemprichii
Cymodocea- Cymodocea Cymodocea
ceae rotundata
Cymodocea
serrulata
6

Halodule Halodule pinifolia


Halodule universis
Syringodium Syringodium
isoetifolium
Thalassodendron Thalassodendron
ciliatum

2.4. Habitat

Habitat lamun adalah perairan dangkal agak berpasir dan juga dijumpai di

terumbu karang. Hampir semua tipe substrat dapat ditumbuhi lamun, mulai dari

substrat berlumpur sampai berbatu. Namun, padang lamun yang luas lebih sering

ditemukan di substrat berlumpur-berpasir yang tebal antara hutan rawa mangrove

dan terumbu karang (Bengen, 2002).

Pada substrat berlumpur di daerah mangrove kearah laut, sering dijumpai

padang lamun dari spesies tunggal yang berasosiasi tinggi. Sementara padang

lamun, vegetasi campuran terbentuk di daerah intertidal yang lebih rendah dan

subtidal yang dangkal. Padang lamun tumbuh dengan baik di daerah yang

terlindung dan bersubstrat pasir, stabil dan dekat sedimen yang bergerak secara

horizontal (Dahuri, 2003).

Sebagai tumbuhan yang hidupnya tertancap pada substrat, sedimen

merupakan bagian dari lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap penyebaran

jenis. Lamun hidup dalam berbagai tipe substrat, mulai dari lumpur sampai

sedimen dasar terdiri dari endapan lumpur halus (Dahuri, 2003). Kedalaman

sedimen yang cukup merupakan kebutuhan untuk pertumbuhan dan

perkembangan lamun.
7

2.5 . Parameter Lingkungan yang Mempengaruhi Pertumbuhan Lamun

a. Suhu

Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan

khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme

ataupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi

proses fisiologi yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun

dapat tumbuh pada kisaran 5-35C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran

suhu 25-30C (Marsh et al, 1986) sedangkan pada suhu di atas 45C lamun

akan mengalami stres dan dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008).

b. Salinitas

Hutomo (1999) menjelaskan bahwa lamun memiliki kemampuan toleransi

yang berbeda terhadap salinitas, Nilai salinitas yang optimum untuk lamun

adalah 35. Walaupun spesies lamun memiliki toleransi terhadap salinitas

yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kisaran yang besar

terhadap salinitas yaitu antara 10-30. Penurunan salinitas akan menurunkan

kemampuan fotosintesis.

c. Kedalaman

Kedalaman perairan dapat membatasi distribusi lamun secara vertikal.

Lamun hidup pada daerah perairan dangkal yang masih dapat dijumpai

sampai kedalaman 40 meter dengan penetrasi cahaya yang masih baik

(Hemminga dan Duarte, 2000). Lamun tumbuh di zona intertidal bawah dan

subtidal atas hingga mencapai kedalaman 30 m. Zona intertidal dicirikan oleh

tumbuhan pionir yang didominasi oleh Halophila ovalis, Cymodocea


8

rotundata dan Halodule pinifolia, sedangkan Thalassodendron ciliatum

mendominasi zona intertidal bawah (Hutomo 1997). Semakin dalam suatu

perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan

menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis lamun di

dalam air.

d. Kecerahan

Kecerahan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan lamun karena

berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang

dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan dipengaruhi

oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup

seperti plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik,

sedimen dan sebagainya. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan

dan produksi lamun di perairan pantai yang keruh (Hutomo 1997). Umumnya

lamun membutuhkan kisaran tingkat kecerahan 4-29% untuk dapat tumbuh

dengan rata-rata 11% (Hemminga dan Duarte, 2000).

e. Substrat

Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe substrat, mulai dari

lumpur, lumpur pasiran, pasir, pasir lumpuran, puing karang dan batu karang.

Kesesuaian substrat yang paling utama bagi perkembangan lamun ditandai

dengan kandungan sedimen yang cukup. Semakin tipis substrat perairan akan

menyebabkan kehidupan lamun yang tidak stabil, sebaliknya semakin tebal

substrat, lamun akan tumbuh subur yaitu berdaun panjang dan rimbun serta
9

pengikatan dan penangkapan sedimen semakin tinggi. Peranan kedalaman

substrat dalam stabilitas sedimen mencakup dua hal, yaitu:

a. Perlindungan tanaman dari arus laut.

b. Tempat pengolahan dan pemasok nutrient (Berwick 1983 dalam

Argandi 2003).

2.6. Fungsi Lamun

Menurut Azkab (1988), ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem

di laut dangkal yang paling produktif. Di samping itu, ekosistem lamun

mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan dan perkembangan

jasad hidup di laut dangkal. Berdasarkan fungsinya, padang lamun memiliki

fungsi ekologis dan fungsi ekonomis yang sangat penting bagi manusia. Menurut

Nybakken (2001), fungsi ekologis padang lamun adalah:

a. Sebagai sumber utama produktivitas primer

Lamun memfiksasi sejumlah karbon organik, sebagian besar memasuki

rantai makanan, baik melalui pemangsaan langsung oleh herbivora maupun

melalui dekomposisi sebagai serasah. Thayer et al (1975) dalam Sangadji

(2013) memperkirakan laju produksi Zostera berkisar antara 300-600 gr

berat kering/m2/tahun. Untuk Thalassia, produksinya berkisar antara 15-

1500 gr berat kering/m2/tahun.

b. Sebagai stabilisator dasar perairan

Sebagai akibat dari pertumbuhan daun yang lebat dan sistem perakaran

yang padat, maka vegetasi lamun dapat memperlambat gerakan air yang
10

disebabkan oleh arus dan ombak serta menyebabkan perairan di sekitarnya

tenang. Hal ini berarti bahwa komunitas lamun dapat bertindak sebagai

pencegah erosi dan penangkapan sedimen (Randall, 1965; Kikuchi & Perres

1977 dalam Sangadji, 2013).

c. Sebagai pendaur hara

Lamun memegang fungsi yang utama dalam daur berbagai zat hara dan

oleh elemen-elemen langkah di lingkungan laut. McRoy & Bersdate (1970)

telah menunjukkan bahwa akar Zostera dapat mengambil fosfat yang keluar

dari daun yang membusuk yang terdapat pada cela-cela sedimen. Zat hara

tersebut secara potensial dapat digunakan oleh epifit apabila mereka berada

dalam medium yang miskin fosfat.

d. Sebagai sumber makanan

Lamun dapat dimakan oleh beberapa organisme, dari avertebrata hanya

bulu babi yang memakan langsung tumbuhan lamun, sedangkan dari

vertebrata yaitu beberapa ikan (Scaridae, Acanthuridae), penyu dan duyung,

sedangkan bebek dan angsa memakan lamun jika lamun tersebut muncul

pada surut terendah.

e. Sebagai tempat asuhan

Padang lamun merupakan daerah asuhan untuk beberapa organisme.

Sejumlah jenis fauna tergantung pada padang lamun, walaupun mereka

tidak mempunyai hubungan dengan lamun itu sendiri. Beberapa organisme

hanya menghabiskan sebagian waktu hidupnya di padang lamun dan

beberapa dari mereka adalah ikan dan udang ekonomis penting.


11

2.7 . Herbarium

Herbarium berasal dari kata hortus dan botanicus, artinya kebun botani

yang dikeringkan. Secara sederhana yang dimaksud herbarium adalah koleksi

spesimen yang telah dikeringkan, biasanya disusun berdasarkan sistim klasifikasi

(Onrizal, 2005). Material herbarium sangat penting artinya sebagai kelengkapan

koleksi untuk kepentingan penelitian dan identifikasi, hal ini dimungkinkan

karena pendokumentasian tanaman dengan cara diawetkan dapat bertahan lebih

lama, kegunaan herbarium yaitu sebagai alat peraga pelajaran botani, media

penelitian, alat pembantu identifikasi tanaman, material pertukaran antar

herbarium di seluruh dunia, dan bukti keanekaragaman dan spesimen acuan untuk

publikasi spesies baru.

Herbarium terbagi atas herbarium kering dan herbarium basah. Herbarium

kering adalah awetan yang dibuat dengan cara pengeringan, namun tetap terlihat

ciri-ciri morfologinya sehingga masih bisa diamati dan dijadikan perbandingan

pada saat determinasi selanjutnya (Ardiawan, 1990). Herbarium basah adalah

Spesimen tumbuhan yang telah diawetkan disimpan dalam suatu larutan yang

dibuat dari komponen semacam zat misalnya alkohol dan formalin dengan

komposisi yang berbeda-beda (Tjitoseopomo,2005).


12

BAB III
METODE PKL

3.1. Waktu dan Lokasi PKL

Praktek ketrampilan lapangan ini dilakukan pada bulan Mei 2017.

Pengambilan sampel lamun dilakukan di pantai Talake Kecamantan

Nusaniwe, Kota Madya Ambon.

Gambar 2. Peta lokasi PKL

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam PKL ini dapat dilihat pada table 2.

Tabel 2. Alat dan bahan yang digunakan dalam kegiatan PKL

Alat dan Bahan Kegunaan


GPS Menentukan posisi lokasi PKL
Meter rol Untuk mengukur panjang surut pada lokasi PKL
Tabel pasang surut Menentukan waktu pengambilan sampel
Kantong Plastik Meletakan sampel lamun untuk keperluan identifikasi
Termometer Untuk mengukur suhu perairan
13

Rektometer Untuk mengukur salinitas


Spidol Memberi label pada plastik sampel
Kertas & Alat tulis Mencatat jenis dan jumlah lamun yang ditemukan di
lokasi PKL
Kamera Untuk keperluan dokumentasi
Buku identifikasi mengidentifikasi sampel yang ditemukan
Kuadran 50 x 50 cm Sebagai kotak pengamatan
Karet gelang Pengikat kantong plastic

Alat dan bahan yang digunakan untuk teknik pembuatan herbarium di

sajikan pada Tabel 3.

Alat dan Bahan Kegunaan


Kertas Koran untuk alas bahan dan mempercepat pengeringan
Pemberat untuk mengepres
Kertas kartun atau karton Untuk menempel hasil tanaman yang sudah kering
manila
Gunting Untuk mengunting bahan herbarium yang terlalu
besar
Lem Untuk menempel tanaman yang sudah kering

3.3. Metode Pengambilan Sampel

Dalam pengambalin sampel dilakukan dengan menggunakan metode

pengambilan sampel secara acak (Random sampling). Metode yang digunakan ini

untuk memilih sampel dari populasi dengan cara sedemikian rupa sehingga setiap

anggota populasi mempunyai peluang yang sama besar untuk diambil sebagai

sampel (Fachrul, 2007). Pengambilan lamun menggunakan kuadran berukuran 50

cm x 50 cm dengan jarak antara transek kuadran 7-15 m dengan jumlah total

kuadaran 10. Disetiap kuadran dicatat banyaknya masing-masing jenis lamun.

sampel lamun diambil tiap spesiesnya dan dimasukan kedalalam kantong plastik

untuk keperluan identifikasi. Pengambilan sampel lamun dilakukan saat air laut
14

mengalami surut. Pada setiap stasiun pengamatan diletakan transek kuadran

sesuai dengan keterwakilan lamun secara acak.

3.4. Metode Analisa Laboratorium

Sampel lamun yang diperoleh diidentifikasi di Laboratorium Program Studi

Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan disusun berpedoman pada

sampel yang diperoleh ini dibuat herbarium kering. Teknik pembuatan herbarium

kering meliputi tahapan sebagai berikut :

a. Akar, batang, daun diambil dalam kondisi baik.

b. Akar, batang, dan daun dibersihkan dari kotoran yang masih melekat agar

hasil herbarium maksimal.

c. Setelah selesai di bersihkan Tumbuhan Lamun di semprot mengunakan alkohol

kemudian diletakkan di kertas koran yang akan diherbariumkan agar kandungan

air cepat kering.

d. setelah itu tanaman tadi ditimpa dengan kertas Koran lalu ditambahi dengan

beban agar tekanan yang dihasilkan lebih kuat dan tanaman menjadi lebih cepat

kering.

e. Kemudian keringkan sampel-sampel tersebut dikeringkan dengan dijemur (saat

dikeringkan sampel masih dalam keadaan dipress).

e. Proses selanjutnya adalah penempelan (mounting) Spesimen yang sudah

kering, selanjutnya dilakukan identifikasi (English et al, 1997;Jacobs et al 2006).


15

Kemudian spesimen ditempelkan atau dijahitkan pada kertas mounting (kertas

manila atau sejenisnya) dengan pengaturan sedemikian rupa hingga posisinya

rapi. Semua specimen dikelompokkan menurut famili atau tingkatan taksonnya.

pada kertas herbarium yang berukuran 40 x 30 cm, penempelan menggunakan

lem atau perekat.

e. Selanjutnya herbarium diberi label yang memuat nomor urut, data taksonomi,

nama spesies, tempat pengambilan bahan, habitat, yang ditempel dibagian kiri

bawah kertas.

f. Proses terakhir adalah penutupan herbarium dengan plastik agar tidak rusak

untuk selanjutnya disimpan.

3.5. Metode Analisa Data

3.5.1. Komposisi jenis lamun

Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu

jenis terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Komposisi jenis lamun

dihitung dengan menggunakan rumus (English et al, 1997) yaitu :

Keterangan :

Ki = Komposisi jenis ke-i (%).

ni = Jumlah individu jenis ke-i (ind).

N = Jumlah total individu (ind).


16

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi lokasi PKL

Pantai Talake yang menjadi lokasi PKL terletak pada posisi 1281013,0-

1281016,7BT dan 034207,1-034209,9LS. Secara administratif Desa

Talake berada pada kecamatan Nusaniwe, Kota Madya Ambon. Secara geografis

perairan pantai memiliki batas sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Ambon,

sebelah Barat berbatasan dengan Wainitu, sebelah selatan berbatasan dengan Batu

Gantung, dan sebelah Timur berbatasan dengan Waihaong.

Secara visual lokasi Pantai Talake memiliki tipe substrat berlumpur. Pada

umumnya masyarakat Talake memanfaatkan perairan ini sebagai lokasi

penangkapan ikan dan kegiatan pembuatan kapal.

4.2 Parameter Fisik-Kimia Air Laut

Suhu dan salinitas merupakan parameter yang menunjang pertumbuhan

lamun. Perairan pantai Talake memiliki kisaran suhu pada saat pengambilan

sampel berkisar antara 29-30C. Kisaran suhu seperti ini merupakan Kisaran suhu

yang optimal bagi spesies lamun untuk tumbuh yaitu 28-30C, sedangkan untuk

fotosintesis lamun membutuhkan suhu optimum 25-35C. kemampuan fotisintesis

dari lamun akan menurun secara drastis apabila suhu berada di luar kisaran

optimal tersebut (Dahuri, 2003).

Sedangkan kisaran salinitas berada pada 29-30, rendahnya salinitas di

daerah tersebut adanya pemasukan dari darat dan terjadinya hujan pada saat
17

pengambilan sampel. Hutomo (1999) menjelaskan bahwa lamun memiliki

kemampuan toleransi yang berbeda terhadap salinitas. Nilai salinitas yang

optimum untuk lamun adalah 35. Namun kisaran nilai salinitas yang didapat

masih dalam batas toleransi dari nilai bentang salinitas untuk pertumbuhan lamun

yaitu berkisar 10-40. Menurut Nyabakken (1992) sebaran salinitas di laut

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah

hujan dan aliran sungai. Perairan dengan tingkat curah hujan tinggi dan

dipengaruhi oleh aliran sungai memiliki salinitas yang rendah sedangkan perairan

yang memiliki penguapan yang tinggi, salinitas perairannya tinggi.

4.3. Komposisi Jenis Lamun Yang Ditemukan

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan secara acak didapatkan tiga

spesies lamun di perairan pantai Talake. Diantara tiga spesies yang ditemukan,

dua spesies termasuk dalam famili Hydrocharitaceae, yaitu Enhalus acoroides

dan Halophila ovalis, sedangkan satu jenis lagi berasal dari famili

Cymodoceaceae, yaitu Halodule uninervis. Komposisi jenis lamun yang

ditemukan disajikan pada Gambar 3.

11%
Enhalus acoroides
33% 56%
Halodule uninervis
Halophila ovalis

Gambar 3. Komposisi Jenis Lamun


18

Ditemukannya tiga spesies yaitu Enhalus acoroides, Halodule uninervis dan

Halophila ovalis dengan komposisi terbesar adalah jenis lamun Enhalus

acoroides mencapai 56% dibandingkan Halodule uninervis yang hanya 33% dan

Halophila ovalis 11%. Hal ini disebabkan karena adanya jenis/tipe substrat yang

terdapat pada Perairan Pantai Talake mulai dari substrat berpasir dan berlumpur

dan didukung dengan adanya sifat perakarannya, dimana secara morfologi

spesies E. acoroides memiliki rhizoma tebal dan akar yang kuat sehingga dapat

hidup pada substrat berlumpur dan berpasir. Sebaliknya H. uninervis dan H.

ovalis memiliki morfologi yang kecil sehingga spesies ini kebanyakan tumbuh

pada tipe substrat berpasir.

4.4. Deskripsi jenis-jenis lamun yang ditemukan

1. Enhalus acoroides

Memiliki rambut-rambut kaku berwarna hitam dan mempunyai akar yang kuat.

memiliki bentuk daun seperti pita dengan panjang berkisar 6.5-65 cm, lebar daun

antara 1.2-1.3cm, dan berujung bulat. tumbuh diperairan dangkal dengan substrat

berpasir dan berlumpur atau kadang-kadang di pecahan terumbu karang (gambar

4).

Gambar 4. Morfologi lamun Enhalus acoroides.


19

2. Halodule uninervis

Halodule uninervis memiliki ujung daun yang berbentuk trisula dan runcing,

terdiri dari 1-3 urat halus yang jelas kelihatan, memiliki sarung serat dan rhizoma

biasanya berwarna putih dengan serat-serat berwarna hitam kecil pada nodes-nya.

Panjang daun berkisar antara 6.5-11 cm dan lebar daun 0.1-0.2cm. Halodule

uninervis hidup pada substrat pasir halus-kasar di zona intertidal dan

subtidal(gambar 5).

Gambar 5. Morfologi lamun Halodule uninervis.

3. Halophila ovalis

Helai daun berbentuk bulat dan panjang antara 1.5-2.4 cm dan lebar 0.6-1.1 cm

dan mampu tumbuh sampai kedalaman 25 m. Bagian tepi daun halus, rhizomanya

tipis mudah dan halus, serta mempunyai tangkai ramping (gambar 6).

Gambar 6. Morfologi lamun Halophila ovalis.


20

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Komposisi jenis lamun di perairan Pantai Talake terdiri dari Enhalus

acoroides, Halodule uninervis, dan Halophila ovalis.

2. Dalam pembuatan herbarium kering perlu memperhatikan beberapa faktor

yakni faktor pengumpulan sampel yang mempertimbangkan kondisi tanaman,

faktor pengawetan untuk mencegah tumbuhnya mikroba, dan tahap pembuatan

herbarium yang harus dilengkapi dengan informasi mengenai tanaman.

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui tentang keanekaragaman

jenis lamun.

2. Dalam pembuatan herbarium kering, sebaiknya tidak dikeringkan terkena

langsung di bawah sinar matahari, sebaiknya ditutup atasnya menggunakan kertas

karena struktur yang dihasilkan akan lebih bagus dan warnanya tidak terlalu

gosong.
21

DAFTAR PUSTAKA

Ardiawan, 2010. Diakses dari http://ardiawan-1990.blogspot.com /2010/10/


koleksi-membuat- herbarium.html. Pada tanggal 13 april 2011. Pukul 15.00
WIB.
Bengen , G.D., 2002. Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip
Pengelolaan. Sinopsis. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. IPB.
Bogor.
Bortone, S.A. 2000. Seagrasses: monitoring, ecology, physiology and
management. CRC Press. Boca Raton, Florida. 318p. Dahuri, R. 2001.
Pengelolaan sumber daya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. PT.
Pradnya Paramita. Jakarta. 64hlm.

Dahuri. R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut. Aset Pembangunan


berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Den Hartog, C. 1970. The Seagrass of the World. North-Holland Publishing


Company. Amsterdam. 297p

English, S., Wilkinson, C., dan Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical
Marine Resources, 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine
Science.

Fachrul MF (2007) Metode sampling bioekologi. Edisi ke-2. Bumi Aksara,


Jakarta.

Hemminga, M. A. dan Duarte. C. M. 2000. Seagrass Ecology. Cambridge :


Cambridge University Press. Australia.

Hutomo, H. 1997. Padang Lamun Indonesia : Salah Satu Ekosistem Laut Dangkal
yang belum banyak dikenal. Jurnal Puslitbang Oseanologi LIPI. Jakarta,
Indonesia.

Kuriandewa T.E. 2009. Tinjauan tentang Lamun di Indonesia. Lokakarya


Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun. Sheraton Media; Jakarta PKSPL.

Marsh J. A, Dennison, W. C. dan Alberte, R. C. 1986. Effects of Temperature on


Photosynthesis and Respiration in Eelgrass (Zostera marina L.) Journal
Exp Mar Biol Ecol. 101: 257267.

McKenzie, L. 2008. Seagrass Watch. Prosiding of Workshop for Mapping


Seagrass Habitats in North East Arnhem Land, Northern Territory. 18 - 20
Oktober. Cairns, Australia. Hal : 9 16.

Nontji. A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta


22

Nyabakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.
Jakarta.
Onrizal. 2005. Teknik Pembuatan Herbarium. http://ocw.usu.ac.id. Diakses
Pada tanggal 14 Juni 2012.

Philips CR, EG Menez (1988) Seagrass. Smith Sonian Institutions Press,


Washington DC.

Romimohtarto, K dan Juwana, S. 1999. Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan tentang


Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Sangadji, S. N., 2013. Komunitas lamun di perairan pantai Negeri Suli. Laporan
PKL. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Pattimura, Ambon.

Tjtrosoepomo, G. 1997. Taksonomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press,


Yogyakarta.

Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata pesisir dan Laut. Brilian Internasional.


Sidoarjo.

Waycott, M., McMahon K, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine. 2004. A


Guide to Tropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James Cook
University, Townsville-Queensland-Australia.
23

LAMPIRAN
24

Lampiran 1. Dokumentasi kegiatan PKL


25

Lampiran 2 : Dokumentasi Indentifikasi Sampel Di Laboratorim

Lampiran 3. Dokumentasi Pembuatan Herbarium Kering


26

UNIVERSITAS PATTIMURA
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
JURUSAN MANAGEMEN SUMERDAYA PERAIRAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

Jurnal Kegiatan PKL

Paraf
Nomor Tanggal Jenis Kegiatan
Pembimbing
1 8 Maret 2017 Pembagian Dosen Pembimbing
PKL
2 9 Maret 2017 Konsultasi Topik PKL

3 13 Maret 2017 Memasukan Judul PKL

4 21 Maret 2017 Memasukan Proposal

5 13 Mei 2017 Pengambilan Data Di Lapangan

6 14 Mei 2017 Mengindentifikasi Sampel

4 21 juni 2017 Memasukan Laporan PKL dan hasil


identifikasi sampel
5 11 juli 2017 Memasukan perbaikan

6 20 juli 2017 Konsultasi perbaikan Laporan PKL


sekaligus pesiapan ujian

Mengetahui
Ketua Program Studi Pembimbing
Ilmu Kelautan

Dr. Ir. S. Tubalawony, M.Si J. Supusepa, S.Pi. M.Si


NIP. 196710181993031002 NIP. 19780615 2002112 2 002

Anda mungkin juga menyukai