Anda di halaman 1dari 32

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Daerah pedesaan dan perkotaan di Indonesia pada umumnya menggunakan
bahan bakar minyak tanah untuk keperluan rumah tangga. Namun, melonjaknya
harga bahan bakar minyak termasuk minyak tanah menyebabkan timbulnya
kebutuhan untuk mencari bahan bakar alternatif yang lebih murah dan dapat
tersedia dengan mudah. Bahan bakar alternatif yang banyak dikembangkan dan
diteliti saat ini adalah bahan bakar yang berasal dari biomassa hasil pertanian.
Biomassa hasil pertanian, khususnya limbah pertanian, merupakan bahan
baku yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Biomassa adalah bahan organik yang
dihasilkan melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun limbah. Selain
digunakan untuk tujuan primer serat, pakan ternak, minyak nabati dan bahan
bangunan, biomassa juga digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar). Pada
umumnya, biomassa yang digunakan sebagai bahan bakar adalah biomassa yang
memiliki nilai ekonomis rendah atau merupakan limbah hasil ekstraksi produk
primernya (El Bassam dan Maegaard 2004). Teknologi pemanfaatan biomassa
untuk keperluan energi yang lebih modern antara lain sudah dilakukan untuk
keperluan pembangkit energi listrik, antara lain di negara negara seperti Denmark,
Finlandia, dan dan Swedia. Penggunaannya dititikberatkan pada industri berskala
menengah untuk cogeneration yang menghasilkan listrik dan uap untuk proses,
tetapi ada kecenderungan untuk mengembangkan di industri berskala besar.
Biomassa merupakan sumber energi yang bersih dan dapat diperbarui. Namun
biomassa memiliki kelemahan jika dibakar secara langsung karena sifat fisiknya
yang buruk seperti kerapatan energi yang rendah dan permasalahan penanganan,
penyimpanan dan transportasi (Saptoadi 2006). Penggunaan bahan bakar biomassa
secara langsung dan tanpa pengolahan akan menyebabkan timbulnya penyakit
pernafasan yang disebabkan oleh karbon monooksida, sulfur dioksida (SO2) dan
bahan partikulat (Yamada et al. 2005).
Tanaman jarak pagar berasal dari jenis tanaman jarak yang dalam bahasa
Inggris bernama Physic Nut atau dengan nama species Jatropha curcas.
Tanaman ini seringkali salah diidentifikasi dengan tanaman jarak yang dalam
bahasa Inggris disebut Castor Bean dengan nama species Ricinus communis.
Tanaman jarak pagar ini menghasilkan biji jarak. Pengolahan (pengepresan)
biji jarak dapat menghasilkan minyak nabati yang dapat digunakan sebagai bahan
bakar. Rendemen minyak jarak pagar yang dihasilkan sebesar 30%. Dengan
rendemen minyak jarak pagar sebesar itu dari total biji jarak pagar yang diekstraksi,
maka akan diperoleh 70% limbah atau bungkil sisa ekstraksi yang masih
mengandung sisa minyak yang cukup tinggi (Hambali et al. 2006). Jumlah limbah
bungkil jarak yang demikian besar jika tidak bisa dimanfaatkan dapat merugikan
lingkungan, sehingga diperlukan suatu teknologi dan penelitian yang dapat
meningkatkan pemanfaatan bungkil jarak hasil limbah pengepresan biji jarak
menjadi suatu produk olahan turunannya.
Salah satu pemanfaatan bungkil jarak sebagai bahan bakar industri atau rumah
tangga adalah biomass pelets (Biopelet). Biopelet adalah jenis bahan bakar padat
berbasis limbah biomassa dengan ukuran lebih kecil dari ukuran briket. Proses yang
digunakan adalah pengempaan dengan suhu dan tekanan tinggi sehingga
membentuk produk yang seragam dengan kapasitas produksi yang tinggi.
Bungkil jarak sebagai sumber bahan bakar mempunyai beberapa kelemahan
yaitu kandungan panas pembakarannya yang tidak terlalu tinggi serta sifat fisik
bungkil yang hanya mengandung sedikit lignin. Kandungan lignin pada suatu bahan
dengan perlakuan panas dan tekanan dapat menjadi bahan perekat alami. Untuk
mengatasi masalah daya rekat dapat diatasi dengan penambahan bahan perekat
dalam jumlah tertentu. Tapioka merupakan produk olahan ubi kayu yang dapat
diubah menjadi bahan perekat. Tapioka dipilih sebagai bahan perekat karena mudah
diperoleh, harganya terjangkau dan memiliki daya rekat yang tinggi. Bahan lain
yang juga dapat digunakan sebagai perekat adalah tanah liat, molases, gum dan lain-
lain.
Panas pembakaran merupakan salah satu parameter kualitas bahan bakar.
Peningkatan nilai panas pembakaran bahan bakar biomassa dapat dilakukan dengan
menambahkan bahan lain dalam jumlah tertentu yang memiliki nilai panas
pembakaran lebih tinggi. Pada umumnya bahan yang ditambahkan adalah limbah

2
biomassa lain yang telah diarangkan seperti arang sekam padi dan arang tempurung
kelapa.
Dalam penelitian ini, selain bungkil jarak diberi perlakuan pati untuk
mengatasi daya rekat, bungkil juga diberi perlakuan penambahan sludge untuk
meningkatkan panas pembakaran.

B. Perumusan Masalah
Secara umum, penelitian ini memiliki perumusan masalah sebagai berikut:
Ketersediaan bungkil jarak yang cukup banyak sebagai limbah dari pengepresan
minyak jarak, mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan sebagai
bahan bakar industri berbasis biomassa.

Pengaruh penambahan sludge, hasil samping penyaringan minyak jarak pagar,


sebagai peningkat nilai kalor pembakaran dan tapioka sebagai bahan perekat.

Memperoleh komposisi bungkil jarak pagar, sludge dan tapioka dalam biopelet,
yang menghasilkan nilai kalor pembakaran terbaik dan membandingkan nilai
kalor pembakaran tersebut dengan nilai standar.

C. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan limbah
biomassa bungkil jarak pagar sebagai sumber bahan bakar alternatif, sehingga dapat
lebih memperkaya pohon industri dari tanaman jarak pagar. Secara khusus,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui pengaruh penambahan sludge dan tapioka pada nilai panas
pembakaran biopelet;
2. Memperoleh komposisi bungkil jarak pagar, sludge dan tapioka yang terbaik
untuk menghasilkan nilai panas pembakaran terbaik pada biopelet;
3. Mengetahui kelayakan finansial usaha pengolahan bungkil jarak pagar
menjadi biopelet.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas)


Di berbagai belahan dunia, tanaman jarak pagar telah banyak tumbuh di
daerah tropis sebagai pagar hidup di kawasan perkebunan dan permukiman. Di
India, jarak pagar ini tumbuh di hampir seluruh negara bagiannya, terutama sebagai
pagar tanaman atau perkebunan. Selain karena tanaman ini dapat dengan mudah
diatur pertumbuhannya dengan pemotongan secara teratur, juga karena tanaman ini
tidak disukai oleh ternak karena mengandung zat beracun, sehingga menghindarkan
kerusakan hasil perkebunan dari hewan ternak.
Jarak pagar memiliki lebih dari 200 nama di seluruh dunia. Walaupun secara
umum dikenal sebagai jarak pagar, namun jarak pagar juga memiliki nama lain di
beberapa daerah di Indonesia, seperti jarak kosta, jarak budeg (Sunda); jarak
gundul, jarak pager (Jawa); kalekhe paghar (Madura); jarak pager (Bali); lulu mau,
paku kase, jarak pageh (Nusatenggara); kuman nema (Alor); jarak kosta, jarak
wolanda, bindalo, bintalo, tondo utomene (Sulawesi); ai huwa kamala, balacai,
kadoto (Maluku); nawaih nawas (Aceh); jarak gundul, jarak china, paku kare
(Timor); peleng kaliki ( Bugis) dan lain-lain.
Jarak pagar sendiri sebenarnya telah lama dikenal oleh masyarakat
Indonesia, yaitu sejak diperkenalkan oleh bangsa Jepang pada tahun 1942-an. Saat
itu masyarakat diperintahkan untuk melakukan penanaman jarak sebagai pagar
pekarangan, sehingga tidak heran jika di daerah pedesaan banyak dijumpai tanaman
jarak pagar sebagai pagar rumah, pagar kebun atau pagar makam. Rakyat Indonesia
dipaksa oleh bangsa Jepang untuk menanam pohon jarak pagar untuk dibuat
menjadi minyak kapal dan senjata.

1. Klasifikasi
Jarak pagar berasal dari famili Euphorbiaceae. Banyak dari famili
Euphorbiaceae ini dikenal dengan nama lokal Indonesia sebagai tanaman jarak.
Tanaman jarak sebagai sebuah genus dalam klasifikasi tanaman memiliki 12
spesies, semuanya dikenal dalam nama lokal sebagai tanaman jarak.

4
Klasifikasi tanaman jarak :
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Euphorbiales
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Jatropha
Spesies : Jatropha curcas
Berdasarkan pengamatan terhadap keragaman di alam, jarak pagar
(Jatropha curcas) diyakini berasal dari Amerika Tengah, tepatnya di bagian selatan
Meksiko, meskipun juga ditemukan keragaman yang cukup tinggi di daerah
Amazon. Saat ini, jarak pagar telah menyebar di berbagai tempat di Afrika dan Asia.
Penyebaran ke Afrika dan Asia diduga dilakukan oleh para penjelajah yaitu bangsa
Portugis dan Spanyol berdasarkan bukti-bukti berupa nama setempat. Kini, jarak
pagar menyebar luas di berbagai daerah kering, semi kering dan sub-tropik di
seluruh dunia.

2. Morfologi
Jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan tumbuhan semak berkayu yang
dapat tumbuh sangat cepat. Dalam waktu 4 tahun, ketinggiannya dapat mencapai 3-
5 meter. Tanaman ini memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Panen pertama 6
8 bulan setelah penanaman dengan produktivitas 0,5 1,0 ton biji kering per hektar
per tahun kemudian meningkat secara bertahap (gradual) dan stabil sekitar 5,0 ton
pada tahun ke 5 setelah tanam. Tanaman ini terus berproduksi sampai berusia 50
tahun. Pada kondisi yang normal, tanaman jarak dapat menghasilkan sekitar 8 ton
per hektar per tahun. Tanaman jarak ditampilkan pada Gambar 1.

5
Gambar 1. Tanaman Jarak Pagar
Sumber : www.jatrophacurcasplantations.com/
images/jatropha-curcas-6.jpg
Bagian-bagian tanaman jarak adalah sebagai berikut:
1. Daun
Daun tanaman jarak pagar adalah daun tunggal berlekuk dan bersudut 3 atau
5. Daun tersebar di sepanjang batang. Daunnya lebar berbentuk jantung atau
bulat telur melebar dengan dengan ukuran 12 x 8 cm. Tulang daun menjari
dengan jumlah 5-7 tulang daun utama. Panjang tangkai daun antara 4-15
cm.
2. Bunga
Bunga tanaman jarak pagar adalah bunga majemuk berbentuk malai,
berwarna kuning kehijauan. Bunganya tumbuh di ujung tangkai dalam
bentuk seperti kapsul, memiliki 5 kelopak berbentuk bulat telur dengan
panjang jurang-jurang lebih 4 mm. Bunganya memiliki 5 mahkota berwana
keunguan. Untuk setiap tandan bisa terdapat lebih dari 15 bunga.
3. Buah
Buah tanaman jarak pagar berupa buah kotak berbentuk bulat telur dengan
diameter 2-4 cm. Panjang buah sekitar 2 cm dengan ketebalan 1 cm. Pada
awalnya, buah berwarna hijau, kemudian setelah matang berubah menjadi
kuning dan pada akhirnya berwarna hijau. Buah jarak terbagi menjadi 3
ruang, masing-masing ruang dapat berisi satu biji sehingga dalam setiap
buah terdapat 3 biji.

6
4. Biji
Bji tanaman jarak pagar berbentuk bulat lonjong dan berwarna coklat
kehitaman. Biji inilah yang mengandung minyak yang dapat dimanfaatkan
sebagai sumber energi alternatif. Biji rata-rata berukuran 18 x 11 x 9 mm,
berat 0,62 gram, dan terdiri atas 58,1% biji inti berupa daging (kernel) dan
41,9% kulit. Kulit hanya mengandung 0,8% ekstrak eter. Kadar minyak
(trigliserida) dalam inti biji ekuivalen dengan 55% atau 33% dari berat total
biji. Asam lemak penyusun minyak jarak pagar terdiri atas 22,7% asam
jenuh dan 77,3% asam tak jenuh. Kadar asam lemak minyak terdiri dari
17,0% asam palmitat, 5,6 % asam stearat, 37,1 % asam oleat, dan 40,2 %
asam linoleat (Stegar dan van Loon, 1941). Minyak jarak pagar berwujud
cairan bening berwarna kuning dan tidak menjadi keruh meski disimpan
dalam waktu yang lama. Komposisi proksimat bungkil bebas minyak terdiri
dari 12,9% air, 10,1 % abu, 45,1 % protein kasar, 31,9 % serat kasar dan
bahan organik tak bernitrogen. Meski kadar proteinnya tinggi, bungkil jarak
pagar beracun, karena antara lain mengandung zat kursin (curcin) dan ester
forbol.

3. Syarat Tumbuh
Tanaman Jatropha dapat tumbuh di dataran rendah (sekitar 400 m di atas
permukaan laut), pada berbagai ragam tekstur dan jenis tanah, baik tanah berbatu,
tanah berpasir, tanah-tanah tandus dan tidak subur maupun tanah berlempung atau
tanah liat. Tanaman jarak pagar mempunyai sistem perakaran yang mampu
menahan air dan tanah sehingga tahan terhadap kekeringan serta berfungsi sebagai
tanaman penahan erosi. Ia juga bisa tahan tumbuh dalam musim kemarau panjang
antara 7 8 bulan. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah yang memiliki curah hujan
480 sampai 2380 mm per tahun. Curah hujan yang paling sesuai untuk pertumbuhan
tanaman jarak pagar adalah 625 mm per tahun, namun tanaman ini juga tumbuh
baik jika curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun. Kisaran suhu yang sesuai untuk
tanaman ini adalah 20-26 C. Tanaman ini berbunga antara September dan
November dan buahnya muncul dari Oktober sampai Desember.

7
4. Manfaat jarak pagar
Jarak pagar dikenal oleh masyarakat sebagai bahan pengobatan tradisional.
Semua bagian tanaman ini berguna. Daunnya dapat dimanfaatkan untuk makanan
ulat sutra, sebagai bahan antiseptik setelah proses kelahiran, serta menyembuhkan
batuk atau bersifat antiradang, Sedangkan minyak atau getahnya memiliki khasiat
menyembuhkan luka dan penyakin-penyakit kulit seperti infeksi jamur dan juga
meringankan penyakit akibat rematik. Yang paling tinggi manfaatnya adalah
buahnya. Daging buahnya bisa dimanfaatkan untuk pupuk hijau dan produksi
biogas, sementara bijinya untuk pakan ternak (dari varietas tak beracun). Selain itu
bagian-bagian tubuh jarak juga bisa digunakan untuk bahan insektisida.
Tanaman ini juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan minyak lampu.
Biji, daging buah, dan cangkang bisa digunakan sebagai bahan bakar. Bahkan
sewaktu zaman penjajahan Jepang minyaknya sudah diolah untuk bahan bakar
pesawat terbang.

B. Bungkil Biji Jarak Pagar


Jarak pagar menghasilkan biji yang terdiri dari 60% berat kernel (daging biji)
dan 40% berat kulit. Inti biji (kernel) jarak pagar mengandung 4045% minyak
sehingga dapat dipisahkan menjadi minyak jarak pagar dengan cara mekanis
ataupun ekstraksi (Hambali et al. 2006). Proses pengepresan minyak biji jarak
pagar, produk dan penggunaannya dapat dilihat pada gambar 2.
BIJI MINYAK

Pemanfaatan Pemanfaatan
Regional PENGEPRESAN Regional

MINYAK MENTAH Ampas


Pakan Ternak
Pupuk
BAHAN BAKAR HASIL SAMPING
Bahan Bakar Padat

Gambar 2. Pengepresan minyak, produk, hasil samping dan penggunaannya.


Sumber: Krause (1995) diacu dalam El Bassam dan Maegaard (2004)
Jika produksi biji jarak adalah 510 ton/ha/tahun, maka diperoleh kulit buah
sekitar 2,14,3 ton, kulit biji 24 ton dan bungkil biji jarak 3 ton, sehingga total
dihasilkan 5,611,3 ton limbah untuk menghasilkan 1,53 ton minyak jarak.

8
Persentase limbah yang sangat besar ini membutuhkan pengolahan yang tepat
(Hambali dan Mujdalipah 2006).
Ada beberapa metode untuk pengepressan biji jarak pagar, yaitu rendering
(teknik pengepresan mekanis), dan separasi dengan menggunakan pelarut. Menurut
Hambali et.al (2006) ada dua cara umum yang digunakan pada pengepresan
mekanis biji jarak yaitu pengepresan hidrolik (hydraulic pressing) dan pengepresan
berulir. Hasil dari pengepresan adalah minyak jarak pagar dan bungkil jarak pagar.
Gambar 3 memperlihatkan gambar bungkil jarak sisa pengepresan.

Gambar 3. Bungkil jarak sisa pengepresan.


Sumber: Hambali dan Mujdalipah (2006)

Menurut Hambali dan Mujdalipah (2006), banyaknya jumlah minyak yang


berhasil diekstrak tergantung dari lamanya pengepresan, besarnya tekanan yang
digunakan serta kandungan minyak dalam bahan asal. Dengan pengepresan
hidrolik, umumnya dihasilkan rendemen minyak sampai dengan 20% dari biji
berkulit dan rendemen minyal 3035% dari biji yang telah dilepas kulitnya.
Bungkil biji jarak pagar bebas minyak mengandung beberapa komponen
yaitu air, abu, protein kasar, serat kasar dan bahan organik tak bernitrogen.
Sekalipun kadar proteinnya tinggi, bungkil juga mengandung toksin diantaranya zat
racun kursin (curcin) dan ester forbol. Bungkil jarak dapat dijadikan pakan ternak
dengan terlebih dahulu dilakukan proses penghilangan racun yang terkandung
didalamnya. Selain itu, bungkil jarak juga dapat dijadikan bahan baku
pembangkitan biogas dan pupuk karena mengandung kalium serta fosfat
(Soerawidjaja 2005).

9
Tabel 1. Analisis Proksimat bagian-bagian biji jarak
Komposisi Daging Kulit Tepung Bungkil(a) Bungkil
(% basis biji (a) biji(a) biji(b) bebas
kering) minyak(c)
Protein kasar 22,2 27,2 4,3 4,5 24,60 1,40 56,4 63,8 45,1
Lemak 56,8 58,4 0,5 1,4 47,25 1,34 1,0 1,5
Air 5,54 0,20 12,9
Abu 3,6 4,3 2,8 6,1 4,50 0,14 9,6 10,4 10,1
Serat deterjen
netral (NDF) 3,5 3,8 83,9 89,4 8,1 9,1
Serat deterjen 10,12 0,52 31,9
asam (ADF) 2,4 3,0 74,6 78,3 5,7 7,0
Lignin
deterjen asam 0,0 0,2 45,1 47,5 - 0,1 0,4 -
Energi bruto
30,5 31,1 19,3 19,5 - 18,0 18,3 -
(MJ/kg)
(a) Makkar et al. (1997) diacu dalam Hambali dan Mujdalipah (2006)
(b) Akintayo (2003) diacu dalam Manurung (2006)
(c) Soerawidjaja (2005)

C. Biomassa dan Biomass Pellets (Biopelet)


Biomassa meliputi semua bahan yang bersifat organik (semua makhluk yang
hidup atau mengalami pertumbuhan dan juga residunya) (El Bassam dan Maegaard
2004). Biomassa merupakan sumber energi terbarukan yang paling serbaguna
dibandingkan sumber energi terbarukan lainnya. Biomassa dapat menghasilkan
bahan bakar untuk panas, listrik dan transportasi (Siemers 2006). Bahan yang
termasuk biomassa antara lain sisa hasil hutan dan perkebunan, biji dan limbah
pertanian, kayu dan limbah kayu, limbah hewan, tanaman air, tanaman kecil, dan
limbah industri serta limbah pemukiman (Bergman dan Zerbe 2004).
Biomassa merupakan sumber energi yang bersih dan dapat diperbarui namun
biomassa mempunyai kekurangan yaitu tidak dapat langsung dibakar karena sifat
fisiknya yang buruk, seperti kerapatan energi yang rendah dan permasalahan
penanganan, penyimpanan dan transportasi (Saptoadi 2006). Menurut Yamada et
al. (2005), penggunaan bahan bakar biomassa secara langsung dan tanpa
pengolahan akan menyebabkan timbulnya penyakit pernafasan yang disebabkan
oleh karbon monooksida, sulfur dioksida (SO2) dan bahan partikulat. Matriks rantai
penggunaan biomassa dapat dilihat pada gambar 4.

10
Perkebunan Bahan sisa Hasil samping Limbah (organik)

Pemanenan, Pengolahan, Transportasi, Penyimpanan

Pengolahan Liquifikasi Esterifikasi Penguraian anaerob


Biopelets Minyak pirolisis Minyak nabati Biogas
Chip kayu Metanol Biodiesel
Pengarangan Gasifikasi Fermentasi
Arang Gas sintetik Bioetanol
Tar Gas generator

Pengolahan

Bahan bakar padat Bahan bakar cair Bahan bakar gas

Penggunaan energi sekunder untuk energi

Energi listrik Energi mekanis Energi panas

Gambar 4. Matriks rantai penggunaan biomassa.


Sumber: Siemers (2006)

Bergman dan Zerbe (2004) menambahkan bahwa konversi biomassa menjadi


bentuk yang lebih baik dapat meningkatkan kualitasnya sebagai bahan bakar.
Konversi yang dilakukan dapat memudahkan dalam penanganan, transportasi,
penyimpanan, peningkatan daya bakar, peningkatan efisiensi bakar, bentuk yang
lebih seragam serta kerapatan energi yang lebih besar. Namun demikian, menurut
Hill et al. (2006) konversi yang dilakukan terhadap bahan bakar biomassa harus
memiliki keseimbangan energi yaitu energi yang dapat digunakan harus lebih besar
daripada energi proses produksi.
Data dari Palz (1985) menunjukkan bahwa komposisi komponen organik
bukan abu pada biomassa cenderung seragam. Komponen utama adalah karbon,
oksigen dan hidrogen. Beberapa biomassa juga mengandung sebagian kecil
nitrogen.

11
Tabel 2. Komposisi unsur biomassa
Unsur Simbol Persen bobot (basis kering dan basis bebas abu)
Karbon C 44 51
Hidrogen H 5,5 6,7
Oksigen O 41 50
Nitrogen N 0,12 0,60
Sulfur S 0,0 0,2
Sumber : Palz (1985)

Menurut White dan Paskett (1981) penggunaan biomassa sebagai bahan


bakar memiliki kekurangan dibandingkan dengan bahan bakar fosil, karena :
pada umumnya, biomassa memiliki kandungan panas yang lebih rendah jika
dibandingkan kandungan panas bahan bakar fosil,

biomassa mengandung kadar air yang tinggi yang dapat menghambat proses
pembakaran, menyebabkan kehilangan energi selama pembakaran karena
menjadi kalor laten uap dan biomassa mudah menyerap air selama penyimpanan
jika penyimpanan tidak menggunakan wadah yang kedap air,

biomassa memiliki densitas yang rendah dan berakibat pada peningkatan


ukuran peralatan penanganan, penyimpanan dan pembakaran,

biomassa memiliki bentuk yang tidak homogen sehingga menyulitkan untuk


pemasukan otomatis ke dalam ruang pembakaran.
Densifikasi limbah pertanian dan kehutanan menjadi briket atau pelet adalah
suatu metode pengembangan fungsi suatu sumberdaya. Densifikasi dapat
meningkatkan kandungan energi tiap satuan volume dan juga dapat mengurangi
biaya transportasi dan penanganan. Densitas briket biomassa berada di atas rentang
densitas kayu yaitu antara 8001.100 kg/m3 dan densitas kamba (untuk

pengemasan dan pemuatan ke dalam alat transportasi) sekitar 600800 kg/m3


(Leach dan Gowen 1987).
Menurut Saptoadi (2006), proses pemampatan biomassa menjadi briket atau
pelet dilakukan untuk :
meningkatkan kerapatan energi bahan,

meningkatkan kapasitas panas (kemampuan untuk menghasilkan panas dalam


waktu lebih lama dan mencapai suhu yang lebih tinggi),

mengurangi jumlah abu pada bahan bakar.

12
Densifikasi, menurut Ramsay (1982), juga menghasilkan keuntungan pada
bahan bakar diantaranya ukuran yang menjadi lebih seragam, produk yang kering,
serta kemudahan transportasi dan penyimpanannya.
Menurut Leach dan Gowen (1987), metode densifikasi untuk pembuatan
pelet atau briket dapat dibedakan menjadi 2 kategori, yaitu sistem tekanan rendah
seperti mesin pengempa manual dan mekanis serta sistem tekanan tinggi seperti
roller, piston atau screw extrusion.
Pelet merupakan salah satu bentuk energi biomassa, yang diproduksi pertama
kali di Swedia pada tahun 1980-an. Pelet digunakan sebagai pemanas ruang untuk
ruang skala kecil dan menengah. Pelet dibuat dari hasil samping terutama serbuk
kayu. Pelet kayu digunakan sebagai penghasil panas bagi pemukiman atau industri
skala kecil. Di Swedia, pelet memiliki ukuran diameter 612 mm serta panjang 10
20 mm (NUTEK 1996, dalam Jonsson 2006).
Pelet merupakan hasil pengempaan biomassa yang memiliki tekanan yang
lebih besar jika dibandingkan dengan briket (60 kg/m3, kadar abu 1% dan kadar air
kurang dari 10%) (El Bassam dan Maegaard 2004). Pelet memiliki kadar air yang
rendah sehingga dapat lebih meningkatkan efektivitas pembakaran (VE 2006).
Bahan bakar pelet memiliki diameter antara 3-12 mm dan panjang bervariasi antara
625 mm. Pelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme pemasukan bahan
secara terus-menerus serta mendorong bahan yang telah dikeringkan dan
termampatkan melewati lingkaran baja dengan beberapa lubang yang memiliki
ukuran tertentu. Proses pemampatan ini menghasilkan bahan yang padat dan akan
patah ketika mencapai panjang yang diinginkan (Ramsay 1982).
Menurut Ramsay (1982), proses pembuatan pelet menghasilkan panas akibat
gesekan alat yang memudahkan proses pengikatan bahan dan penurunan kadar air
bahan hingga mencapai 510%. Panas juga menyebabkan suhu pelet ketika keluar
mencapai 6065C sehingga dibutuhkan pendinginan.
Metode pembuatan pelet yang lain dilakukan oleh Livington pada tahun 1977
(Livington dalam Ramsay 1982) dan telah dipatenkan di US Patent. Proses
pembuatan pelet dilakukan dari bahan organik dengan kadar air antara 1628%.
Proses berlangsung pada suhu 163C dan tekanan pada lempeng baja sebesar 178
kN. Pelet yang dihasilkan memiliki ukuran diameter 3 mm serta panjang 13 mm.

13
Pelet kemudian dikeringkan dengan udara panas dan menghasilkan kadar air 78
% serta bobot jenis lebih dari 1,0.
Tabel 3 memperlihatkan perbandingan standar biopelet di beberapa negara.
Tabel 3. Perbandingan standar biopelet
DIN plus
Kualitas Norm M DIN 51731 (Pelet Pelet Fuel ITEBE (c)
Biopelet unit 7135 (a) (Jerman) (a) Association Institute (b)
(2001 2007)
(Austria) Germany) (a)
Diameter mm 4 10 4 10 - 6,35 7,94 6 16
Panjang mm 5xD (1) < 50 5xD (1) < 38,1 10 50
Densitas kg/dm > 1,12 1,0 1,4 > 1,12 > 0,64 > 1,15
Kadar Air % < 10 < 12 < 10 - 15
< 3 (standar)
Kadar Abu % < 0,50 < 1,50 < 0,50 < 1 (premium) 6
Nilai Kalor MJ/kg > 18 17,5 19,5 > 18 > 19,08 > 16,9
Sulfur % < 0,04 < 0,08 < 0,04 - < 0,10
Nitrogen % < 0,3 < 0,3 < 0,3 - 0,5
Klorin % < 0,02 < 0,03 < 0,02 < 0,03 < 0,07
Abrasi % < 2,3 - < 2,3 - -
Bahan tambahan % <2 - (2) <2 - 2
(1)
tidak lebih dari 20% Bio-Pelets berukuran 7,5 x Diameter
(2)
DIN melarang penggunaan bahan tambahan
(b)
Sumber: (a)
HEZO (2006); PFI (2007a); (c) Douard (2007)

Keunggulan utama pemakaian bahan bakar pelet biomassa adalah


penggunaan kembali bahan limbah seperti serbuk kayu yang biasanya dibuang
begitu saja. Serbuk kayu yang terbuang begitu saja dapat teroksidasi dibawah
kondisi yang tak terkendali akan membentuk gas metana atau gas rumah kaca (Cook
2007).
Menurut PFI (2007b), pelet memiliki konsistensi dan efisiensi bakar yang
dapat menghasilkan emisi yang lebih rendah dari kayu. Bahan bakar pelet
menghasilkan emisi bahan partikulat yang paling rendah dibandingkan jenis
lainnya. Arsenik, karbon monoksida, sulfur, dan gas karbondioksida merupakan
sedikit polutan air dan udara yang dihasilkan oleh penggunaan minyak sebagai
bahan bakar.
Sistem pemanasan dengan pelet menghasilkan emisi CO2 yang rendah karena

jumlah CO2 yang dikeluarkan selama pembakaran setara dengan CO2 yang diserap
tanaman ketika tumbuh, sehingga tidak membahayakan lingkungan. Dengan efisiensi
bakar yang tinggi, jenis emisi lain seperti NOx dan bahan organik yang mudah menguap
juga dapat diturunkan. Masalah yang masih tersisa adalah emisi debu akibat
peningkatan penggunaan sistem pemanasan dengan pelets

14
(Anonim 2007b). Gambar 5 menunjukkan alat boiler yang menggunakan bahan
bakar biopelet.

Gambar 5. Boiler berbahan bakar biopelet.


Sumber: CCRE (2000)

Berdasarkan PFI (2007a), terdapat 2 jenis kualitas bahan bakar pelet yang
diproduksi yaitu premium dan standar. Perbedaan keduanya adalah pada kadar abu.
Jenis standar memiliki kadar abu maksimal 3%, sedangkan jenis premium memiliki
kadar abu tidak lebih dari 1%. Perbedaan ini merupakan hasil dari perbedaan
kandungan pelet. Pelet jenis standar dibuat dari bahan yang menghasilkan residu
abu, seperti kulit kayu dan limbah pertanian. Sedangkan pelet jenis premium dibuat
dari serbuk kayu keras dan kayu lunak yang tidak mengandung kulit kayu. Pelet
jenis standar hanya dapat dibakar di instalasi pembakaran yang dirancang untuk
pelet yang mengandung kadar abu tinggi.
White dan Paskett (1981) menambahkan bahwa pengendalian ukuran partikel
bahan baku juga sangat penting karena berpengaruh terhadap tingkat reaksi. Ukuran
partikel yang homogen (baik diatas ataupun dibawah standar) lebih efisien daripada
ukuran partikel yang heterogen. Menurut Saptoadi (2006), dimensi pelet harus
semakin kecil namun dengan ukuran partikel semakin kasar. Kombinasi ini akan
memberikan sifat yang lebih sempurna pada pelet sebagai bahan bakar. Gambar 6
memperlihatkan bentuk dan ukuran biopelet dari bungkil jarak.

15
Gambar 6. Biopelet bungkil jarak pagar

Pembakaran biomassa secara langsung atau pengubahan bentuk menjadi


pelet maupun briket dipilih berdasarkan beberapa parameter bahan bakar tersebut
yaitu kadar air, densitas, nilai kalor serta bentuk fisik yang berhubungan dengan
penanganan mekanis. Kadar abu juga merupakan parameter yang penting karena
bahan bakar tanpa abu (seperti minyak dan gas) memiliki sifat pembakaran yang
lebih baik (White dan Paskett 1981). Analisis proksimat bahan bakar padat
digunakan untuk menentukan kandungan bahan volatil, karbon terikat dan abu
(Ramsay 1982).
Abu merupakan komponen yang tidak diinginkan pada bahan bakar. Abu
tidak dapat bereaksi dan terbakar dan akan menumpuk di dasar boiler atau terbang
bersamaan dengan gas. Abu cenderung bertentangan dengan proses pembakaran
karena keberadaannya dapat menyebabkan karat (Ramsay 1982).
Pembatasan kadar air selama pengeringan awal dan proses densifikasi akan
menguntungkan selama proses pembakaran, selain menghasilkan nilai kalor yang
lebih besar juga memudahkan pengendalian pembakaran, penurunan loss produk,
dan berdampak pada peningkatan efisiensi pembakaran. Kadar air suatu bahan
bakar yang tinggi akan menyebabkan proses pembakaran yang lambat dan
temperatur api yang rendah. Hal ini berdampak pada pengurangan produksi steam
pada boiler. Kadar air yang tinggi juga akan meningkatkan kecepatan gas pada zona
bakar, mengurangi waktu tinggalnya, dan meningkatkan kadar partikulat yang
berakibat pada peningkatan polusi udara (Ramsay 1982).

16
Keteguhan tekan menunjukkan daya tahan atau kekompakan briket terhadap
tekanan luar sehingga mengakibatkan hancurnya briket. Semakin besar keteguhan
tekan akan meningkatkan daya tahan atau kekompakan briket. Hal ini diperlukan
untuk proses penanganan dan distribusi (Hendra dan Darmawan 2000).

D. Sludge
Sludge adalah residu semi-solid yang berasal dari proses filtrasi minyak
jarak. Sludge akan mengalami proses pressing kembali yang nantinya akan
menghasilkan minyak dan padatan. Bentuk padat dari sludge ini akan dijadikan
bahan tambahan untuk membuat biopelet. Penambahan sludge ini bertujuan untuk
meningkatkan nilai kalor pembakaran dari biopelet.

Bungkil Biji Jarak Loss (1,57 Kg)


(33,43 Kg) (50 Kg)

Minyak jarak+Sludge
Minyak (11,82 Kg) (15 Kg) Air (0,038 Kg)

Sludge+Minyak
(3,78 Kg)

Gambar 7. Neraca massa pengolahan biji jarak

E. Perekat Tapioka
Terdapat dua macam perekat yang biasa digunakan dalam pembuatan briket,
yaitu perekat yang berasap (tar, molase, dan pitch), dan perekat yang tidak berasap
(pati dan dekstrin tepung beras). Untuk briket yang digunakan di rumah tangga
sebaiknya memakai bahan perekat yang tidak berasap (Abdullah, 1991).
Menurut White dan Paskett (1981) bahan perekat ditambahkan kedalam
biopelet untuk meningkatkan keteguhan tekan, diantaranya bitumen, resin dan gum.
Ramsay (1982) menambahkan bahwa penambahan perekat juga bertujuan untuk
meningkatkan ikatan antar partikel, memberikan warna yang seragam dan juga
memberikan bau yang harum.

17
Tapioka merupakan bahan yang sering digunakan sebagai perekat dalam
pembuatan briket karena mudah didapat dan harganya yang relatif murah.
Kelemahan penggunaan tapioka sebagai perekat yaitu akan sedikit berpengaruh
pada penurunan nilai kalor produk dibandingkan bahan bakunya, selain itu produk
yang dihasilkan kurang tahan terhadap kelembaban. Hal ini disebabkan tapioka
memiliki sifat dapat menyerap air dari udara. Kadar perekat yang tinggi juga dapat
menurunkan mutu briket akibat timbulnya asap. Penambahan optimal perekat
sebaiknya tidak lebih dari 5% (Sudrajat dan Soleh 1994). Huege dan Ingram (2006)
menambahkan bahwa jumlah perekat yang dianjurkan adalah 0,55% b/b total
campuran.
Tepung tapioka merupakan hasil ekstraksi pati ubi kayu yang telah
mengalami proses pencucian secara sempurna serta dilanjutkan dengan
pengeringan. Tepung tapioka hampir seluruhnya terdiri dari pati. Ukuran granula
pati tapioka berkisar antara 5-35 mikron. Pati ubi kayu terdiri dari molekul amilosa
dan amilopektin yang jumlahnya berbeda-beda tergantung jenis patinya (Maarif et
al., 1984).
Tabel 4. Komposisi kimia tapioka
Komposisi Tapioka
Kalori (per 100 gram) 146
Karbohidrat (%) 88,2
Protein (%) 1,1
Lemak (%) 0,5
Air (%) 9,1
Calcium (mg/100 gr) 84,0
Phosphor (mg/100 gr) 125,0
Ferrum (mg/100 gr) 1,0
Vitamin B1 (mg/100 gr) 0,4
Vitamin C (mg/100 gr) 0
Sumber : Suryani (1987)

F. Nilai Kalor Pembakaran


Pembakaran adalah proses oksidasi eksotermal yang berlangsung cepat dan
terjadi terutama pada fase gas, kecuali pembakaran karbon terikat pada fase

18
padatan. Untuk bahan bakar padat, komposisi utama bahan bakar harus diubah
menjadi fase gas dengan kontak tertutup dalam udara yang mengandung molekul
oksigen. Agar berlangsung cepat dan sempurna, temperatur harus cukup tinggi
untuk memudahkan penyalaan dan menghasilkan putaran. Kelebihan udara
dibutuhkan untuk memperbanyak oksigen yang kontak dengan molekul bahan
bakar (Ramsay 1982).
White dan Paskett (1981) menyatakan bahwa bahan bakar memiliki senyawa
kimia yang bereaksi dengan sumber panas. Pada umumnya, bahan bakar
mengandung karbon dan hidrogen yang bereaksi dengan oksigen menghasilkan
oksigen dan uap air. Karbon dan hidrogen memiliki kandungan panas yang berbeda,
kalor bakar karbon adalah 34,4 GJ/ton sedangkan kalor bakar hidrogen adalah 141,9
GJ/ton.
Menurut Grover et al. (2002), parameter utama pengukuran kualitas bahan
bakar biomassa dihitung dari nilai kalor yang dimilikinya. Palz (1985).
menambahkan bahwa nilai kalor suatu bahan bakar menandakan energi yang secara
kimia terikat di bahan bakar dengan lingkungan standar. Standar tersebut berupa
temperatur, keadaan air (uap atau cair) dan hasil pembakaran (CO2, H2O dan lain-
lain).
Nilai kalor komponen tanaman sangat bervariasi dan akan meningkat dengan
meningkatnya kandungan karbon di dalamnya. Energi yang tersimpan ini dapat
tersedia dengan proses densifikasi bahan bakar, hal ini selain memudahkan
transportasi juga dapat menghasilkan panas yang baik (Ramsay 1982).
Menurut Leach dan Gowen (1987), nilai kalor bahan bakar dihitung dengan
dua basis yang berbeda yaitu
1. Nilai kalor bruto (Gross Heating Value = GHV) adalah energi total yang
dilepaskan selama pembakaran didasarkan pada bobot bahan bakar. Nilai ini
digunakan di UK, USA dan banyak negara berkembang.

2. Nilai kalor bersih (Net Heating Value = NHV) adalah energi yang tersedia
secara nyata selama pembakaran setelah dikurangi energi yang hilang akibat
penguapan air. Nilai ini digunakan oleh penghitungan energi internasional.

Biomasa mengandung air dalam jumlah yang signifikan sehingga dapat


menurunkan kandungan panas di dalamnya. Hal ini disebabkan adanya senyawa

19
oksigen. Biomassa mengandung oksigen yang dapat berikatan dengan karbon dan
hidrogen. Bahan yang sudah sebagian teroksidasi atau terbakar mengakibatkan
berkurangnya sumber bahan bakar dalam bentuk karbon dan hidrogen (White dan
Paskett 1981). Skema proses pembakaran biomassa dapat dilihat pada gambar 8.

1. Panas = NHV

2. Pembentukan uap air dari hidrogen,


termasuk panas laten penguapan
Bahan bakar
pembakaran = GHV
+ udara:
3. Penguapan air yang terkandung
dalam bahan bakar, termasuk panas

4. CO2, CO, NOX, dll.

Gambar 8. Proses pembakaran biomassa.


Sumber: Leach dan Gowen (1987)

Nilai kalor bruto berbanding terbalik dengan kadar abu suatu bahan, karena
abu merupakan bahan yang tidak menghasilkan energi (El Bassam dan Maegaard
2004). Sedangkan menurut Ramsay (1982), nilai kalor bersih (NHV) adalah energi
potensial yang terkandung dalam suatu bahan bakar. NHV diperoleh dari
pengurangan energi bruto dengan energi yang hilang akibat penguapan air dan
pemanasan lanjutan uap yang dihasilkan. Rumus umum perhitungan NHV adalah
NHV = GHV (1-MCT/100) (Qv x MCT/100)
QV adalah panas yang dibutuhkan untuk penguapan dan pemanasan lanjut

sejumlah air dan MCT adalah kadar air bahan tersebut pada suhu T. Ketika bahan
bakar digunakan, energi bahan bakar tersebut dipindahkan ke tujuan akhir
penggunaan dalam beberapa tahap. Kehilangan energi terjadi pada saat penggunaan
dalam beberapa bentuk. Pengukuran efisiensi dan energi yang dipergunakan sangat
tergantung pada tahap aliran panas tersebut diukur (Leach dan Gowen 1987).
Efisiensi pembakaran adalah efisiensi yang diperoleh dari pengubahan energi kimia
dari bahan bakar menjadi panas. Efisiensi ini dihitung hanya dari pembakaran yang
sempurna pada ruang pembakaran (Bergman dan Zerbe 2004).
III. METODOLOGI

A. Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bungkil biji jarak
pagar, sludge jarak pagar dan tepung tapioka. Bahan yang digunakan untuk analisa
contoh adalah heksana.
Alat-alat yang digunakan adalah pelet mill, calorimeter combustion bomb,
hammer mill, tanur, oven, cawan porselin, wadah dan pengaduk, eksikator dan
neraca.

B. Tahapan Penelitian
Penelitian diawali dengan karakterisasi sifat fisik dan sifat pembakaran
bungkil biji jarak pagar yang dilakukan di laboratorium Kimia dan Energi Biomassa
Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Pengukuran nilai kalor
pembakaran sludge dilakukan di Balai Penelitian Peternakan.
Proses pembuatan biopelet dilakukan dengan menggunakan pelet mill skala
menengah yaitu dengan kapasitas 300 kg/jam di PT. Indofeed Bogor. Proses
pembuatan biopelet dimulai dengan pencampuran bahan baku dan bahan tambahan.
Kemudian dilakukan pengeringan dengan menggunakan aliran udara dari blower di
bak pengering selama 30 menit. Sedangkan pengemasan biopelet dilakukan
dalam wadah yang kedap udara untuk menjaga biopelet dari kontaminasi udara
yang dapat meningkatkan kadar air dari biopelet.
Pengujian nilai kalor pembakaran menggunakan alat calorimeter combustion
bomb di laboratorium Kimia dan Energi Biomassa Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan. Hasil nilai kalor pembakaran biopelet bungkil jarak
pagar diperoleh komposisi penambahan sludge dan perekat tapioka yang terbaik.
Tahap karakterisasi biopelet bungkil jarak pagar dilakukan untuk mengetahui
kualitas biopelet jarak pagar.
Tahap selanjutnya adalah uji perbandingan kualitas biopelet bungkil jarak
pagar optimal dengan biopelet bungkil jarak tanpa penambahan sludge dan perekat
tapioka. Diagram alir pembuatan biopelet dapat dilihat pada gambar 9.

24
Bungkil jarak
pagar

Penggilingan dengan hammer mill

Penyeragaman ukuran partikel


(ayakan 40 mesh)

Karakterisasi bahan baku

Sludge Tepung Bungkil Tapioka


(2%, 4%, 6%) jarak pagar (4Kg) (1%, 3%, 5%)

Adonan Pelet

Pembuatan biopelet dengan Pelet mill

Pengeringan biopelet pada blower ( 30 menit)

Analisa perbandingan kualitas biopelet dengan biopelet bungkil


jarak pagar tanpa penambahan sludge dan perekat tapioka

Gambar 9. Diagram alir pembuatan biopelet.

C. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan penelitian yang digunakan adalah rancangan faktorial
acak lengkap dua faktor dengan disertai dua ulangan. Faktor-faktor yang dianalisis
ada dua yaitu:
1. Faktor persentase penambahan sludge, ada tiga taraf perlakuan sludge yang
dicobakan yaitu 2%, 4% dan 6%

25
2. Faktor persentase penambahan perekat tapioka, ada tiga taraf perlakuan pati
yang dicobakan yaitu 1%, 3% dan 5%.
Dengan basis percobaan 4 kg bungkil jarak pagar, maka diperoleh rentang
faktor pertama antara 80240 g sludge sedangkan rentang faktor kedua adalah 40
200 g perekat tapioka.

Model linear
Model linear dari rancangan faktorial penelitian ini adalah :
Yijk = + i + j + ()ij + ijk ; i = 1, 2, 3
j = 1, 2, 3
k = 1, 2
di mana :
Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh

kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor sludge dan tarak ke-j
dari faktor tapioka)

= Nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya)


i = pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor sludge
j = pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor tapioka
()ij = pengaruh interaksi taraf ke-i faktor sludge dan taraf ke-j faktor
tapioka
ijk = pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij.
Sidik Ragam (Analysis of Variance)
Tabel 5. Sidik ragam dari rancangan percobaan faktorial penelitian
Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Tengah Fhitung
Keragaman Bebas Kuadrat

Perlakuan ab-1 JKP KTP= JK(Perlakuan)/db (Perlakuan) Fhit Perlakuan= KT(P)/KTG


Sludge a-1 JK(s) KT(s) = JK (s)/db (s) Fhit S = KT(s) / KTG
Pati b-1 JK(p) KT(p) =JK (p)/db (p) Fhit P = KT(p) / KTG
Interaksi (a-1)(b-1) JK (s*p) KT (s*p) =JK (s*p)/db (s*p) Fhit Inter = KT(inter) / KTG
Galat ab(r-1) JKG KTG = JK (galat)/db (galat)
Total rab-1 JKT
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakterisasi Bahan Baku dan Produk


Untuk mengetahui karakteristik bungkil biji jarak, seperti sifat fisik dan
pembakaran, maka dilakukan pengujian terlebih dahulu terhadap bungkil biji jarak
dengan cara menghaluskan bungkil biji jarak tersebut hingga menjadi serbuk yang
homogen, kemudian baru dilakukan pengujian karakteristiknya. Hasil dari
pengujian karakteristik bungkil jarak pagar dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Karakteristik bungkil biji jarak
Parameter Nilai
Nilai kalor pembakaran (Kkal/kg) (bb) 4.473,00
Kadar air (%) (bb) 12,11
Kadar zat volatil (%) (bb) 77,78
Kadar abu (%) (bb) 5,80
Kadar karbon terikat (%) (bb) 4,31
Ukuran partikel (%)
> 0,71 mm 41,70
0,71 0,40 mm 27,60
0,40 0,10 mm 30,23
< 0,10 mm 0,47

Ukuran partikel bungkil biji jarak kebanyakan bervariasi pada tiga kisaran
nilai yaitu lebih dari 0,71 mm, antara 0,710,40 mm dan 0,400,10 mm. Ukuran
partikel bungkil biji jarak menurut Saptoadi (2006) berpengaruh terhadap tingkat
reaksi selama pembakaran. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut, bahwa semakin
kecil ukuran partikel bahan, maka densitas pelet akan meningkat sehingga
menurunkan daya serapnya terhadap air. Dengan rendahnya daya serap air, karena
semakin kecilnya ruang untuk difusi massa, maka akan berdampak terhadap daya
bakar pelet yang lebih lama.
Nilai kadar air bungkil biji jarak pagar adalah 12,11 % (bb), nilai ini lebih
kecil dibandingkan dengan nilai kadar air bahan baku yang disyaratkan untuk
pembuatan biopelet, yaitu 13,00 % (bb). Adanya pembatasan kadar air selain
bertujuan untuk mempermudah pengadukan adonan bahan baku, juga untuk
meningkatkan kualitas dan kecepatan pemampatan di peletting press serta
mempercepat proses pengeringan.

27
Karakteristik atau kualitas bahan bakar padat ditentukan oleh kandungan
karbon dalam bahan. Bungkil biji jarak pagar mempunyai kadar karbon terikat
sebesar 4,31%. Proses pengarangan biomassa merupakan salah satu cara
meningkatkan kadar karbon. Namun pengarangan memiliki beberapa kelemahan,
yaitu :
1. akan mengakibatkan penurunan rendemen akibat hilangnya kandungan
biomassa lain selama proses pengarangan termasuk minyak,
2. akan membutuhkan perekat yang lebih banyak, karena karena kandungan bahan
alami yang berperan sebagai perekat (lignin dan resin) hilang selama
pengarangan,
3. dapat merusak alat yang digunakan untuk proses peletting press, karena sifat
partikel arang yang keras.
Proses densifikasi menjadi bentuk briket atau pelet juga dapat
meningkatkan kadar karbon secara langsung. Proses konversi ini, selain untuk
meningkatkan kerapatan energi juga untuk memanfaatkan kandungan minyak yang
masih tersisa dalam bungkil.
Setelah bungkil jarak diproses menjadi bentuk biopelet, maka dilakukan uji
lebih lanjut, menggunakan analisis proksimat, untuk mengetahui nilai-nilai
karakteristik biopelet bungkil jarak murni, seperti nilai kalor pembakaran, kadar
air, kadar zat volatil, kadar abu dan kadar terikat. Hasil analisis proksimat biopelet
bungkil jarak murni dapat dilihat dari tabel 7.
Tabel 7. Hasil analisis proksimat biopelet bungkil jarak murni
Karakteristik Nilai
Nilai kalor pembakaran (kkal / kg) 4652,67
Kadar air (%) (bb) 8,97
Kadar zat volatil (%) (bb) 78,09
Kadar abu (%) (bb) 5,36
Kadar karbon terikat (%) (bb) 16,55
B. Kadar Air
Penetapan kadar air biopelet bertujuan untuk mengetahui sifat higroskopis
biopelet. Hubungan kadar air dengan faktor penambahan sludge dan faktor perekat
tapioka.

10.400 10.260
10.120 10.125
10.200
10.000
9.955 9.950
10.000
9.820
9.800
9.580
Kadar Air (%)

9.600

9.265
9.400

9.200

9.000

8.800

8.600
S_2% S_4% S_6%

Tapioka 1% Tapioka 3% Tapioka 5%

Gambar 11. Histogram Kadar Air Biopelet

Kadar air merupakan salah satu sifat yang penting pada suatu bahan bakar.
Menurut Ramsay (1982), penurunan yang sangat besar pada efisiensi boiler
berbahan bakar biomassa diakibatkan oleh kebutuhan panas yang digunakan untuk
menguapkan air yang dikandungnya. Salah satu pengaruh kadar air adalah
menurunkan nilai kalor pembakaran pada bahan bakar biomassa. Kadar air suatu
bahan bakar yang tinggi akan menyebabkan proses pembakaran yang lambat dan
temperatur api yang rendah. Hal ini akan berdampak pada pengurangan produksi
steam pada boiler. Kadar air yang tinggi juga akan meningkatkan kecepatan gas
pada zona bakar, mengurangi waktu tinggalnya, dan meningkatkan kadar partikulat
yang berakibat pada peningkatan polusi udara (Ramsay 1982). Kadar air biopelet
lebih tinggi daripada kadar air bungkil jarak murni, karena dalam proses
pencampuran bungkil jarak dengan bahan tambahan dibutuhkan tambahan air,
namun peningkatan kadar air tidak terlalu tinggi.

29
Hasil dari uji Analysis of Variance (ANOVA) untuk kadar air dengan
rancangan percobaan acak lengkap faktorial (RAL faktorial), menunjukkan
pengaruh interaksi sludge dan tapioka terhadap kadar air tidak berbeda nyata.
Walaupun pengaruh interaksi tidak nyata, dengan adanya kombinasi
perlakuan dapat memberikan hasil kadar air yang tidak terlalu tinggi jika
dibandingkan dengan nilai kadar air bungkil jarak murni yang besarnya 8,97%.
Kombinasi perlakuan yang mempunyai nilai kadar air terendah terdapat pada
biopelet yang diberi perlakuan sludge 6% dan tapioka 1%, yaitu sebesar 9,27%,
hanya selisih 0,3% dengan nilai kadar air bungkil jarak murni. Kadar air tertinggi,
yaitu 10,26% terdapat pada biopelet dengan kombinasi perlakuan sludge 2% dan
tapioka 5%. Jika diinginkan biopelet yang mempunyai nilai kadar air yang paling
rendah, maka biopelet dengan perlakuan sludge 6% dan tapioka 1% adalah biopelet
yang dikehendaki. Penambahan tapioka cenderung meningkatkan kadar air
biopelet.

C. Kadar Zat Terbang (volatile matter)


Kadar zat terbang merupakan kandungan hidrokarbon dalam suatu bahan
bakar. Kadar zat terbang biopelet bungkil jarak murni yaitu sebesar 78,09%.
Dengan adanya bahan tambahan sludge dan perekat tapioka diharapkan dapat
menurunkan nilai zat terbang.
Hasil dari uji Analysis of Variance (ANOVA) untuk kadar zat terbang dengan
rancangan percobaan acak lengkap faktorial (RAL faktorial), secara keseluruhan
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Begitu juga jika dilihat dari pengaruh
interaksi kedua faktor perlakuan, ternyata menunjukkan kadar zat terbang yang
tidak berbeda nyata.

30
76.000 75.740

75.500
74.995
75.000 74.725

74.280 74.400 74.235 74.395


74.500
Zat Terbang (%)

74.000
73.420
73.500
72.915
73.000

72.500

72.000

71.500
S_2% S_4% S_6%

Tapioka 1% Tapioka 3% Tapioka 5%

Gambar 12. Histogram Kadar Zat Terbang Biopelet

Adanya interaksi kedua faktor memberikan hasil nilai kadar zat terbang yang
lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai kadar zat terbang pada bungkil biji
jarak tanpa diberi perlakuan yang besarnya 78,09%. Kadar zat terbang terendah
didapatkan pada biopelet dengan kombinasi sludge 6% dan tapioka 1%, yaitu
sebesar 72,96%, sedangkan kadar zat terbang tertinggi didapatkan pada kombinasi
perlakuan sludge 6% dan tapioka 3%, yaitu sebesar 75,74%. Nilai zat terbang yang
cenderung rendah disebabkan dengan adanya penambahan perekat maka akan
meningkatkan ikatan antar partikel.

D. Kadar Abu
Abu merupakan komponen yang tidak diinginkan pada bahan bakar, karena
abu tidak dapat bereaksi dan terbakar dan hanya akan menumpuk di dasar boiler
atau terbang bersamaan dengan gas. Abu cenderung bertentangan dengan proses
pembakaran karena keberadaannya dapat menyebabkan karat (Ramsay 1982).

31
6.975
6.580 6.500
7.000

5.585 6.020
5.535
6.000 5.515 5.445 5.475

5.000
Kadar Abu (%)

4.000

3.000

2.000

1.000

0.000
S_2% S_4% S_6%

Tapioka 1% Tapioka 3% Tapioka 5%

Gambar 13. Histogram Kadar Abu Biopelet

Hasil dari uji Analysis of Variance (ANOVA) untuk kadar abu dengan
rancangan percobaan acak lengkap faktorial (RAL faktorial), menunjukkan
interaksi sludge dan tapioka memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk
nilai kadar abu.
Walaupun tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai
kadar abu, adanya interaksi kedua faktor dapat memberikan hasil yang cukup baik.
Kombinasi terbaik, yang menghasilkan kadar abu terendah yaitu 5,45% hanya
sedikit di atas kadar abu bungkil jarak murni yang besarnya 5,36 %. Kadar abu yang
paling rendah dihasilkan oleh biopelet yang mempunyai kombinasi perlakuan
sludge 2% dan tapioka 5%, sedangkan kadar abu tertinggi didapatkan pada biopelet
dengan kombinasi perlakuan sludge 2% dan tapioka 1%, yaitu sebesar 6,98%. Jika
diinginkan biopelet yang mempunyai kadar abu terendah, maka biopelet dengan
perlakuan sludge 2% dan tapioka 5% adalah biopelet yang dikehendaki. Kadar abu
yang lebih tinggi disebabkan oleh kandungan bahan tak terbakar pada biopelet.
Garam dan bahan anorganik merupakan salah satu komponen penyusun kadar abu.

32
E. Kadar Karbon Terikat (Fixed Carbon)

21.000
20.585

20.230
20.500 20.205

20.000 19.830
Kadar Karbon Terikat (%)

19.605 19.530 19.585

19.500
19.020
18.675
19.000

18.500

18.000

17.500
S_2% S_4% S_6%

Tapioka 1% Tapioka 3% Tapioka 5%

Gambar 14. Histogram Kadar Karbon Terikat Biopelet

Hasil dari uji Analysis of Variance (ANOVA) untuk kadar karbon terikat
(fixed carbon) dengan rancangan percobaan acak lengkap faktorial (RAL faktorial),
secara keseluruhan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Begitu juga jika
dilihat dari pengaruh interaksi kedua faktor perlakuan, ternyata menunjukkan kadar
karbon terikat yang tidak berbeda nyata.
Dengan adanya kombinasi perlakuan dapat memberikan hasil kadar karbon
terikat yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai kadar karbon terikat
pada bungkil biji jarak yang tidak diberi perlakuan apapun (bungkil jarak murni),
yang besarnya hanya sekitar 16,55%. Kadar karbon terikat tertinggi terdapat pada
biopelet dengan kombinasi sludge 6% dan tapioka 1%, yaitu sebesar 20,59%,
sedangkan kadar karbon terendahnya pada kombinasi perlakuan sludge 6% dan
tapioka 3%, sebesar 18,68%, yang masih lebih besar jika dibandingkan dengan nilai
kadar karbon terikat pada biopelet bungkil jarak tanpa penambahan sludge dan
tapioka. Sehingga jika diinginkan biopelet dengan kadar karbon terikat yang tinggi,
maka biopelet dengan kombinasi sludge 6% dan tapioka 1% adalah biopelet yang
dikehendaki.

33
F. Nilai Kalor Pembakaran

5000.0 4914.0

4900.0

4800.0
Nilai Kalor Pembakaran (Kcal/kg)

4673.5
4700.0
4564.0 4617.0
4542.0
4600.0
4508.5

4500.0
4410.5
4348.0 4346.0
4400.0

4300.0

4200.0

4100.0

4000.0
S_2% S_4% S_6%

Tapioka 1% Tapioka 3% Tapioka 5%

Gambar 15. Histogram Kalor Pembakaran Biopelet

Hasil dari uji Analysis of Variance (ANOVA) untuk nilai kalori pembakaran
dengan rancangan percobaan acak lengkap faktorial (RAL faktorial), secara
keseluruhan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Begitu juga jika dilihat
dari pengaruh interaksi kedua faktor perlakuan, ternyata menunjukkan nilai kalori
pembakaran yang tidak berbeda nyata. Tetapi dengan adanya kombinasi kedua
perlakuan dapat memberikan hasil nilai kalori pembakaran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan nilai kalori pembakaran pada bungkil biji jarak yang tidak
diberi perlakuan apapun, yang besarnya hanya sekitar 4652,67 Kkal/kg. Nilai kalori
terbesar dimiliki oleh biopelet dengan kombinasi sludge 6% dan tapioka 3%, yaitu
sebesar 4914 Kkal/kg, sedangkan kadar karbon terendahnya pada kombinasi
perlakuan sludge 6% dan tapioka 5%, sebesar 4346 Kkal/kg. Sehingga jika
diinginkan biopelet dengan nilai kalor pembakaran yang tinggi, maka biopelet
dengan kombinasi sludge 6% dan tapioka 3% adalah biopelet yang dikehendaki.

Anda mungkin juga menyukai