Anda di halaman 1dari 24

Karawitan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia
Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah
dirapikan, tolong hapus pesan ini.
Artikel ini tidak memiliki referensi sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa
diverifikasi.
Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak.
Artikel yang tidak dapat diverifikasikan dapat dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.
Tag ini diberikan tanggal 2011

Karawitan adalah seni suara daerah baik vokal atau instrumental yang mempunyai klarifikasi
dan perkembangan dari daerahnya itu sendiri. Karawitan di bagi 3, yaitu :

Karawitan Sekar,
Karawitan Gending,
Karawitan Sekar Gending.

Sebelum merambah pada penjelasan pembagian tiga jenis karawitan ini, perlu diketahui bahwa
deskripsi karawitan berikut ini lebih difokuskan pada Karawitan Sunda.

Karawitan Sekar
Karawitan Sekar merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih
mengutamakan terhadap unsur vokal atau suara manusia. Karawitan sekar sangat mementingkan
unsur vokal.

Karawitan Gending
Karawitan Gending merupakan salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya lebih
mengutamakan unsur instrumental atau alat musik. KARAWITAN VOKAL/SEKARAN

Pengertian

Yang dimksud dengan karawitan vokal atau lebih dikenal dalam karawitan Sunda dengan istilah
Sekar ialah seni suara yang dalam substansi dasarnya mempergunakan suara manusia. Tentu saja
dalam penampilannya akan berbeda dengan bicara biasa yang juga mempergunakan suara
manusia. Sekar merupakan pengolahan yang khusus untuk menimbulkan rasa seni yang sangat
erat berhubungan langsung dengan indra pendengaran. Dia sangat erat bersentuhan dengan nada,
bunyi atau alat-alat pendukung lainnya yang selalu akrab bertdampingan
Pada kehidupan orang Sunda pada masa lalau sejak mereka lahir secara tidak langsung telah
didekatkan dengan alunan sekar. Sejak mereka lahir sang ibu menimang, meninabobokan dengan
menggunakan sekar. Dalam mengajak bermain, dalam tahap-tahap mulai belajar bicara, belajar
berjalan, sekar sangat sering didengarkan oleh orang tua atau pengasuhnya. Itulah sebabnya lagu-
lagu dalam meninabobokan atau ngayun ngambing anak selalu populer dari masa ke masa, dalam
arti kelestariannya terlihat karena selalu dilakukan dari generasi ke generasi.

Seperti telah diterangkan di atas, sekar mempunyai kedudukan yang tersendiri dalam kehidupan
karawitan, walaupun pada dasarnya sekar berbeda dengan bicara biasa, sekar sangat dekat
bahkan terkadang sangat dominant dengan lagam bicara atau dialek. Dialek Cianjur, Garut,
Ciamis, Majalengka dalam mengungkapkan percakapan seringkali seolah-olah bermelodi seperti
bernyanyi. Oleh karena kesan dialek yang sangat erat itulah kiranya banyak orang luar daerah
Sunda yang secara tidak langsung menyebutkan bahwa cara bicara orang Sunda seperti
bernyanyi. Memang erat dengan penggunaan kata-kata di dalamnya tetapi kata-kata dalam sekar
telah diolah sedemikian rupa sehingga berbentuklah penampilan secara utuh menjadi sebuah
komposisi lagu. Dengan demikian, jelaslah bahwa kata dalam kedudukan sekar merupakan salah
satu alat pengungkap masalah atau tema yang diketengahkan. Kata yang sama dapat
diungkapkan dalam berbagai lagu/melodi, menurut kehendak rasa seni si pencipta itu sendiri.
Akan tetapi tanpa disadari bahwa terkadang dalam kehidupan sekar tidak selalu dipergunakan
kata secara utuh, sering terdengar suara bunyi dijadikan lagu. Hal ini sering terjadi dalam lagu-
lagu tertentu, misalnya hanya mempergunakan bunyi a saja atau nang neng nong atau hm dan
lain-lain. Penggunaan kata yang tidak jelas sering didapati apabila bersenandung atau
ngahariring/hariring.

Dari kesimpulan itu, dapatlah ditarik beberapa hal yang sangat erat bertalian dengan sekar, yaitu:
Lagam bicara dialek adalah khas daerah tertentu dalam berbicara sehari-hari yang dari
ungkapannya dapat kita tarik satu garis melodi yang sangat erat bertalian dengan nada. Contoh
dapat ditemukan dalam kata Punten, Masya Allah di daerah Cianjur. Khusus untuk lagam bicara
ini dalam gending karesmen, sering ditemukan teknik bernyanyi dan lagu yang dipergunakan
dalam dialog yang secara utuh mempergunakan lagam bicara. Hanya dalam pengungkapannya
dilakukan lagam bicara. Jadi, dia berbicara dalam nada. Sifatnya kebanyakan datar atau
melengking tinggi. Lagu yang demikian dikenal dengan sebutan sekar biantara (nyanyian
bicara). Dalam pergelaran wayang golek sangat terasa sekali dalam memerankan/antawacana
tokoh-tokoh tertentu yang selalu mempergunakan lagu bicara, sangat terasa pula dalam nyandra.

Contoh kata-kata yang sangat lekat dengan lagu dalam lagam bicara antara lain:

a) Punten
b) Sorangan bae yeuh.!

c) Tunjuk-tunjuk hey, sakali deuihey!

Dalam pergelaran wayang golek, hal ini akan terasa pada tokoh Semar, misalnya pada biantara di
bawah ini:

Aduh aduh ngeran

Sumangga ieu abdi lurah Semar Kudapawana nyanggakeun sembah pangbakti

Ageung alit kalepatan mugia ngahapunten, Ngeran..

Beberapa sebutan yang berkaitan dengan sekaran

1.1. Ngahariring (Senandung)

Sifat dari ngahariring biasanya dibawakan secara halus sekali, pemakaian kata dalam lagu lebih
menonjol kata bunyi. Pengertian halus disini lain sekali dengan dinamika lagu. Halus dalam
membawakan hariring adalah makna dari sikap yang cenderung bernyanyi untuk diri sendiri.
Ngahariring dalam kehidupan sehari-hari sangat erat hubungannya dengan pengisi jiwa sambil
bekerja. Ngahariring dapat bersifat improvisasi ataupun lagu yang telah ada. Kata bekerja lain
dari ngaharirirng adalah bersenandung dengan volume suara yang halus, lunak agar
penampilannya itu tidak berisik sehingga mengganggu orang lain. Sering pula hal ini terjadi bila
seseorang sedang mempelajari lagu yang belum dikuasai. Suasana ngahariring timbul lebih
cenderung dalam keadaan gembira sambil bekerja. Dalam penampilannya, ngahariring dapat saja
menjadi lain, hal ini tergantung dari kalimat yang dipergunakan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ngahariring adalah bernyanyi hanya ungkapannya
lebih dalam untuk diri sendiri atau dengan kata lain kesannya lebih subjektif.

1.2. Ngahaleuang

Pada dasarnya ngahaleuang berarti bernyanyi. Haleuang berarti nyanyian/sekar. Kalau dilihat
dari sifat penyajiannya ngahaleuang terasa lebih terbuka, lebih keluar dan lantang. Jadi, pengaruh
terhadap surupan itu sendiri sangat kuat sekali. Lagu-lagu Tembang sangat jarang ditafsirkan
sebagai ngahaleuang. Dilihat dari tempo lagu, biasanya istilah ngahaleuang banyak
mempergunakan tempo sedang.

1.3. Galindeng
Kata Galindeng erat sekali dengan sekar, bahkan sering sekali menunjukan arti suara dari
seorang penyanyi yang biasanya lebih tepat pada suara-suara yang empuk, halus. Ngagalindeng
artinya suara (nyanyian) yang dibawakan secara penuh perasaan, terutama pada suara-suara
(bagian melodi) yang penuh dengan mamanis (kembangan-kembangan)

1.4. Babaung

Penempatan kata babaung adalah tahap kata yang kasar untuk bernyanyi. Biasanya kalau
suaranya tidak enak atau membetulkan agar nyanyiannya dilakukan yang benar. Itu pun terbatas
pada kelakar atau sindiran tertentu saja, dilakukan pada orang yang lebih muda atau sesama yang
sudah akrab.

1.5. Kakawihan dan Tetembangan

Walaupun pada dasarnya Tembang dan Kawih berbeda lagam, pengertian kakawihan dan
tetembangan mempunyai arti yang sama. Kakawihan atau Tetembangan ialah menyanyikan lagu
dengan cara-cara seenaknya, cenderung mengisi suasana untuk diri sendiri. Sebagai contoh
ketika sedang mandi, sedang berdandan, melakukan pekerjaan dan lain-lain. Lagunya yang telah
hapal atau sering pula diberi improvisasi-improvisasi spontan.

Pembagian Sekar Menurut Bentuk

Menurut bentuk ditinjau dari penggunaan irama, karawitan sekar dibagi dua bagian besar yaitu :
Sekar Irama Merdeka (bebas irama) dan Sekar Tandak (ajeg, tetap)

2.1. Sekar Irama Merdeka

Yang dimaksud dengan sekar irama merdeka ialah sekar (vokal, nyanyian) yang dalam
membawakan lagunya tidak terikat oleh irama. Panjang pendeknya dalam membawakan lagu,
terutama pada bagian-bagian frase lagu (kenongan, goongan) bebas menurut keinginan juru sekar
itu sendiri. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa kebebasan itu bisa berlanjut panjang tanpa
ketukan sama sekali, ketukan masih tetap ada, hanya sifatnya semu yang bersatu dalam
ungkapan perasaan pada waktu membawakan lagunya. Para tokoh tembang lebih cenderung
menyebutnya dengan istilah wirahma.

Lagu-lagu yang dibawakan sekar irama merdeka biasanya bersifat lagu anggana (solo) dengan
melodi lagu yang masih bisa dikembangkan oleh pribadi-pribadi penyanyi terutama dalam
menghias mamanis-mamanisnya. Mamanis-mamanis itu akan terasa pada senggol-senggol atau
pedotan kenongan dan goongan lagu. Dikenal beberapa istilah seperti : Leot, Cacag, Galasar,
Reureueus, Gedag dan lain-lain.
Materi-materi sekar yang terdapat pada kelompok sekar irama merdeka antara lain: Tembang,
Beluk, Kakawen.

2.1.1. Tembang

Tembang Sunda sangat populer sekali dalam masyarakat Sunda. Tembang Sunda dikenal sebagai
musik kamar (kamermuziek). Cirri khas dalam iringan tembang Sunda adalah iringan kacapi
sulingnya. Pada awalnya Tembang Sunda hidup dalam lingkungan menak-menak (elite). Isi
ungkapan yang diketengahkan dalam tembang Sunda antara lain tentang:

a. Sanjungan terhadap leluhur, terutama pada kejayaan dan tilemnya kerajaan Pajajaran

b. Keindahan-Keindahan alam Priangan

c. Ungkapan percintaan. Tema percintaan yang diketengahkan banyak gambaran tentang


seseorang yang jatuh cinta atau merasa sakit hati karena dikhianati cintanya.

Tembang sangat erat bersentuhan dengan kesusatraan. Satu hal yang paling menojol adalah
Pupuh. Ada beberapa pendapat bahwa kehadiran dan perkembangan tembang banyak tali-
temalinya dengan pengaruh pupuh yang masuk pada jaman Mataram dahulu. Walaupun
demikian, banyak pula yang tidak mempergunakan pupuh sebagai ugeran (patokan) untuk
rumpakanya (syair lagu), yaitu dengan mempergunakan bentuk papantunan. Bahkan pada
perkembangan sekarang, tidak menutup kemungkinan menggunakan sajak-sajak bebas. Dari
kekebasan penggunaan rumpaka atau iringan, terbetiklah bentuk lain yang lebih bersifat style
(gaya), diantaranya dikenal dengan nama-nama: Papantunan, Jejemplangan, Rarancagan.
Sedangkan lagam-lagam dari Tembang Sunda diketahu ada Lagam Cianjura, Ciawian,
Cigawiran, Garutan, Sumedangan.

Memang demikianlah bahwa nama daerah itu akhirnya yang menjadi nama dari lagam-lagam itu.
Kalau kita lihat dari penyajian karawitan memang terdapat kebedaan-kebedaan yang cukup
menyolok. Misalnya saja antara bentuk Cianjuran dan Ciawian. Perbedaannya banyak pula
dipengaruhi oleh penggunaan laras. Cianjuran kebanyakan berlaras pelog, sedangkan Ciawian
banyak mempergunakan laras salendro. Hal lain banyak terletak pada interpretasi ungkapan lagu.
Sekaligus membedakan dalam menempatkan unsure-unsur mamanis didalamnya.

Kalau masyarakat luas lebih banyak mengenal Tembang Cianjuran tentunya bukan berpijak pada
nilai-nilai yang terkandung dalam kedua lagam itu, tetapi dari histories penyebarannya, lagam
Cianjuran ternyata lebih meluas. Sampai-sampai ada keinginan untuk menyebut tembang Sunda
itu sebagai tembang Cianjuran saja.

Beberapa nama lagu dalam Tembang Sunda: Papatet, Mupu Kembang, Jemplang Titi, Liwung,
Asmarandana Degung, Jemplang Karang dan lain-lain.

Dalam sekar tembang Sunda Cianjuran, yang menjadi ciri utamanya adalah ornamentasi atau
dongkari. Dongkari adalah teknik menghasilkan suara yang diolah dengan cara tertentu guna
memberikan mamanis pada lagu. Dalam praktik vokal tembang Sunda Cianjuran, kedudukan
dongkari sangat penting karena merupakan dasar utama bagi vokal tembang Sunda Cianjuran.
Oleh sebab itu, materi ini perlu diberikan terlebih dahulu sebagai dasar pijakannya. Apabila
semua dongkari ini sudah dapat dikuasai dengan baik, maka untuk mempelajari lagu-lagu
selanjutnya tidak akan sukar. Sekurang-kurangnya, dongkari dalam vokal tembang Sunda
Cianjuran terdiri dari 17 macam yaitu: riak, reureueus, gibeg, kait, inghak, jekluk, rante/beulit,
lapis, gedag, leot, buntut, cacag, baledog, kedet, dorong, galasar, dan golosor. Untuk lebih
jelasnya, ketujuh belas dongkari tersebut adalah sebagai berikut.

2.1.1.1. Riak

Menurut Kamus Umum Basa Sunda, riak artinya nimbulkeun cahaya nu siga ombak-ombakan
(menimbulkan cahaya seperti gelombang). Sedangkan menurut Bakang Abubakar, istilah riak
sama dengan istilah ombak banyu yang artinya gelombang air (Sarinah l994:121). Adapun teknik
penyuaraan dongkari riak yaitu mengeluarkan getaran suara pada nada yang tetap yang
menyerupai gelombang air. Getaran suara dikeluarkan tanpa tekanan, tetapi secara halus tanpa
terputus. Contoh: 5 artinya nada 5 (la) dibunyikan dengan halus tanpa terputus menyerupai
gelombang air. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lagu Papatet baris pertama, yaitu:

5 . 5 . 5 5 . 5
54 5 . 5451 2
Pa- ja - jaran ka-ri
nga- ran

2.1.1.2. Reureueus

Reureueus pada umumnya digunakan oleh para penembang untuk menamakan semua jenis
dongkari dalam tembang Sunda Cianjuran. Namun demikian istilah reureueus yang digunakan
Euis Komariah memiliki pengertian yang berbeda. Reureueus adalah salah satu macam dongkari
yang pada prinsipnya sama dengan riak. Sedikit yang membedakannya yaitu teknik penyuaraan
pada dongkari riak tidak mendapat tekanan, sedangkan teknik penyuaraan reureueus yaitu
getaran suara yang dikeluarkan pada nada yang tetap mendapat tekanan. Contoh: 5, dan untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada lagu Papatet baris kedua, contoh:
2 15 5 . 5554 3451 2 15 5 22 2 . 2
15
Pangra- ngo geus narik ko- lo -
t

2.1.2.3. Gibeg

Gibeg menurut Kamus Umum Basa Sunda artinya yaitu ngobahkeun awak ka gigir make tanaga
sarta rikat (menggerakkan badan ke samping dengan gerak cepat). Teknik penyuaraan dongkari
gibeg yaitu mengeluarkan suara pada nada yang tetap disertai tekanan, dan dilakukan dengan
gerak cepat seolah-olah digibegkeun. Sebagai contoh dapat dilihat pada frase pembuka lagu
wanda papantunan, sebagai berikut:

03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34


3 5
Daweu - eung diajar lu- deu-
ng

2.1.2.4. Kait

Kait artinya sama dengan nyangkol yaitu menempel keras karena lilitan tali. Dalam istilah
dongkari tembang Sunda Cianjuran, istilah kait mengandung pengertian yaitu gabungan dua
buah nada dari nada tinggi ke nada rendah di mana nada pertama dongkari kait menempel/sama
dengan nada sebelumnya, kemudian diikuti oleh satu nada yang lebih rendah. Teknik
penyuaraannya yaitu bunyi terakhir dari suku kata yang akan diikuti oleh dongkari kait,
dibunyikan kembali sebagai jembatan untuk membunyikan suku kata berikutnya. Sebagai contoh
dapat dilihat pada frase pembuka lagu wanda papantunan, yaitu:

03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3 34 3 5


Daweu - eung diajar lu- deu-
ng

2.1.1.5. Inghak

Istilah inghak diambil dari peristiwa menangis yang diterapkan pada dongkari tembang Sunda
Cianjuran. Teknik penyuaraannya yaitu pada waktu membunyikan suku kata yang mengandung
vokal huruf hidup (a, i, u, e, o), udara sedikit dikeluarkan dengan diberi tekanan sehingga
menghasilkan suara yang bunyinya seperti /h/. Diusahakan posisi bibir tidak bergerak saat
mengeluarkan udara. Contoh:

03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3


34 3 5
Daweu - eung diajar lu-
deu- ng

2.1.1.6. Jekluk

Dongkari jekluk yaitu gabungan dua buah nada dari nada rendah ke nada tinggi. Misalnya dari
nada 1 ke 5, 4 ke 3. Sebelum membunyikan dongkari jekluk, senantiasa diawali oleh nada yang
lebih rendah. Misalnya dari nada 1 ke nada 5, senantiasa diawali dengan nada 2. Dari nada 4 ke
nada 3, senantiasa diawali dengan nada 5. Teknik penyuaraan dongkari jekluk harus
menggunakan tenaga perut. Contoh, pada lagu Papatet, baris kedua.

02 15 5 . 5554 3451 2 15 5 22 2 . 2
15 .
Pangra- ngo geus narik ko- lo -
t
2.2.1.7. Rante/beulit

Dongkari rante/beulit yaitu gabungan dua buah nada atau lebih yang disuarakan dengan cara
mengulang nada-nada tersebut sehingga menghasilkan suara yang bila digambarkan menyerupai
bentuk spiral atau rante. Contoh dongkari rante/beulit ini bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang
yang dibawakan oleh A. Tjitjah pada baris kelima, sebagai beriku:

02 15 5 . 4545 4 51 . 2 2 15 5 2 2
2 321
Nya cada - s cada - s ha -re-
ra- ng

2.1.1.8. Lapis

Dongkari lapis yaitu penyuaraan satu buah nada yang mengikuti nada sebelumnya. dongkari
lapis ini seolah-olah mengulang lagi nada yang sudah dibunyikan oleh dongkari lain. Sebagai
contoh bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang baris kedua yang dibawakan oleh Euis Komariah,
sebagai berikut:

03- 2 2 2 . 1 2 2 2 21 2 . 2 15 0
Angkat ba- ri re- rendenga - n

2.1.1.9. Gedag

Dongkari gedag yaitu menyuarakan satu nada yang tetap dengan mendapat tekanan. Nada
tersebut seolah-olah disuarakan dua kali (diulang). Penempatan dongkari gedag senantiasa di
awal kata. Sebagai contoh bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang baris pertama yang dibawakan
oleh Euis Komariah, yaitu
02 2 . 2 2 . 2 2 2 . 12 0
Payung hiji ku dua - an

2.1.1.10. Leot

Dongkari leot yaitu gabungan dua buah nada, dari nada tinggi ke nada rendah misalnya dari nada
5 (la) ke nada 1 (da), nada 2 (mi) ke 3 (na), dan seterusnya. Contoh pada lagu Mupu Kembang
baris pertama yaitu:

02 2 . 2 2 . 2 2 2 . 1 2
.
Payung hiji ku dua - an

2.1.1.11. Buntut

Dongkari buntut pada prinsipnya sama dengan dongkari lapis. Perbedaannya terletak pada
penempatannya. Kalau dongkari lapis diletakkan di tengah kata dan senantiasa diikuti lagi
dengan dongkari lainnya, sedangkan buntut ditempatkan di akhir kata atau kalimat lagu (frase
lagu) dan diikuti oleh satu nada yang lebih tinggi. Contoh bisa dilihat pada lagu Mupu Kembang
baris keempat dan kelima, sebagai berikut:

03- 2 2 . . 2 2 2 1212 2 1 . 5 5
. 54
Nya keusik - keusik ba-re - n-ti -
k

02 15 5 . 5554 3451 2 2 15 5 2 2 2
. 21
Nya ca-da - s cada - s hare -
ra - ng

2.1.1.12. Cacag

Dongkari cacag yaitu penyuaraan satu buah nada dengan teknik memberikan tekanan pada nada
tersebut secara berulang-ulang dan tidak terputus-putus. Contoh dongkari cacag bisa dilihat pada
lagu Jemplang Panganten baris ketujuh.

01 1 222 15 . 3 3 3 3454 23 3454


Kieu ka-ja-di-an- na - na
2.1.1.13. Baledog

Dongkari baledog yaitu gabungan dua buah nada yang disuarakan tanpa tekanan. Dongkari ini
senantiasa ditempatkan mengikuti dongkari lainnya seperti gibeg dan gedag. Sebagai contoh bisa
didengar pada lagu Mupu Kembang baris kedua, dan Randegan baris kedua yang dibawakan oleh
Euis Komariah.

03- 2 2 2 1 2 2 2 212 . 2 15 0
Angkat ba- ri re- rendenga - n

0 3- 2 . 2 1 2 12 . 2 15 0 03-3- 2 3-
2 . 2 1
Me -la-------k bako di ba -
si - sir

2.1.1.14. Kedet

Dongkari kedet senantiasa ditempatkan di akhir kalimat lagu yang berfungsi untuk madakeun
(mengakhiri) lagu. Dongkari ini biasa digunakan dalam lagu wanda jejemplangan. Sebagai
contoh bisa dilihat pada frase lagu pembuka wanda jejemplangan berikut ini:

04 4 .4 4 4 34543454 32 . 2 23 . 5
birit leuwi peu - peunta - san

2.1.1.15. Dorong

Dongkari dorong pada dasarnya merupakan dinamika dari suara yang tidak mendapat tekanan
menuju nada berikutnya dengan mendapat tekanan. Biasanya dongkari dorong selalu diikuti oleh
reureueus. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada lagu Jemplang Panganten baris kedua sebagai
berikut:

2 2 2 . 1 2222 15 0
Linta ----------------- ng salira anjeunna

Atau bisa juga dilihat pada lagu Jemplang Cidadap baris kelima sebagai berikut:

02 2 2 2 . 1 2222 15 0
Dirungsi -----------------ng

2.1.1.16. Galasar
Dongkari galasar yaitu gabungan dua atau tiga buah nada yang disuarakan seperti diayun, tanpa
terputus, dan mendapat tekanan. Sebagai contoh dapat dilihat pada lagu Jemplang Cidadap baris
pertama berikut ini:

4 3 3 3 3333 32 0 3 3454 23 3 3454 4


Alap-ala----------p nyorang tuna

Contoh lain dapat dilihat pada lagu-lagu wanda papantunan, misalnya pada frase pembuka lagu-
lagu wanda papantunan berikut ini:

03- 2 2 2 . 1212 2 222 1212 23 . 3


34 3 5
Daweu --------------------ng diajar lu-
deu- ng

2.1.1.17. Golosor

Dongkari golosor yaitu gabungan beberapa nada dengan teknik penyuaraan tanpa tekanan.
Wilayah nadanya yaitu dari nada tinggi menuju ke nada rendah. Sebagai contoh bisa dilihat pada
lagu Rajamantri baris keenam, yaitu:

3 .2 34545 5
Hanja------kal saumur-umur

Contoh tulisan Lagu Tembang :

2.1.2. Beluk

Karawitan sekar beluk ini sudah langka sekali. Beluk lebih dikenal pada upacara selamatan 40
hari bagi bayi yang baru dilahirkan. Beluk sangat erat dengan pergelaran nembang wawacan.
Memang pada dasarnya kesenian beluk hanya menembangkan cerita dalam wawacan yang
tersusun ceritanya dalam bentuk puisi terutama pupuh. Wawacan adalah cerita yang disusun
menggunakan pupuh dengan maksud untuk dinyanyikan atau didangdingkeun.

Teknik penyajian beluk dibantu oleh juru ilo. Juru ilo dalah orang yang membacakan cerita
dalam bentuk prosa (membaca biasa) yang ditujukan kepada penembang beluk untuk bahan kata-
kata yang akan dinyanyikannya. Secara spontan dan penuh variasi, juru beluk menyanyikan kata-
kata itu. Frekwensi nada yang digunakan adalah nada yang tinggi sehiingga semakin mahir
bermain lagu dalam nada-nada yang tinggii makin tinggilah kemampuan ki juru beluk itu.

Teknik bersuara banyak mempergunakan nasal hidung (sengau). Kata-kata yang dinyanyikan
sebenarnya kurang begitu jelas terucapkan karena yang lebih penting bagi pendengar adalah
teknik-teknik bernyanyinya itu sendiri. Kalau mereka ingin tahu tentang kata-katanya, sebelum
dinyanyikan telah disebutkan secara jelas oleh juru ilo.

Beluk sudah dianggap sebagai kesenian buhun (kolot, tua, lama). Penggunaan sekar irama
merdekanya memberikan cirri yang tersendiri dari bentuk kesenian rakyat sebab kebanyakan
lagu-lagu rakyat Pasundan banyak mempergunakan irama tandak (terikat)

Kalau dilihat dari penyajiannya, dimana ada unsur cerita yang dinyanyikan, maka mungkin
sekali dasar-dasar gending karesmen di dalam karawitan Sunda banyak berpijak dari
perkembangan beluk dengan nembang wawacannya.

2.1.3. Kakawen

kakawen lebih dikenal sebagai nyanyian ki dalang pada waktu pergelaran wayang. Isi kakawen
antara lain banyak mengisahkan tentang pergantian babak cerita, karakter tokoh wayang,
kemarahan-kemarahan, kedatangan tamu dan kekuatan tokoh wayang dalam mengunggulkan
dirinya, misalnya pada ajimat-ajimatnya atau kekuatan lainnya. Pada dasarnya kakawen banyak
mempergunakan irama bebas merdeka. Hanya pada bagian-bagian tertentu sajalah terdapat
bentuk yang tandak. Inipun masih tidak utuh sebab perpaduan panjang pendeknya lagu masih
tergantung kepada ki juru dalang itu sendiri.

Pengaruh kakawen masuk pula secara utuh pada Tembang Sunda lagam Cianjuran. Hanya
namanya sudah bukan kakawen lagi melainkan dengan nama sebrakan. Sebrakan ini dinyanyikan
setelah lagu dalam laras pelog dan sorog/madenda telah selesai atau disajikan secara khusus.

Motif-motif sekar irama merdeka pada pergelaran wayang digunakan pula oleh beberapa tokoh
wayang tertentu yang dalam bicaranya dibawakan dengan lagu, seperti untuk tokoh Semar,
Rahwana, Dursasana (patet yang digunakan patet Nem), Sangkuni, Togog, Narada (patet yang
digunakan patet Manyura). Hal seperti ini disebut antawacana berlagu.
Dalam penyajiannya, kakawen dapat dibeda-bedakan menjadi

a. Murwa

Adalah sekaran permulaan yang dibawakan dalang dengan rumpaka/bahasa Kawi atau pujangga.
(Kakawi-an menjadi Kakawen)

Pada prakteknya Murwa terbagi atas

(1) Murwa Umum

Murwa yang dapat dipergunakan untuk bermacam-macam adegan/jejeran, seperti:

Dene utamaning nata

Berbudi bawa laksana

Lire berbudi mangkana

Lela legawa ing dria

Agung denya paring dana

Anggeganjar saban dina

Lire kang bawa laksana

Anatepi pangandika

(2) Murwa Khusus

Murwa yang hanya digunakan khusus untuk suatu adegan/jejeran. Contohnya:

Lengleng ramya nikang, sasangka kum,enyar mangrenge rumning puri

Mangkin tanpa siring, haleb nikang umah, mas lwir nurub ing langit.

Tekwan sarwa manik, tawingnya sinawung sasat sekar sinuji


Ungwan Banowati ywuna amren lalangen nwang nata Duryudana

b. Nyandra

Prolog dalang yang menggambarkan situasi/keadaan sifat, watak, tata hidup dan kehidupan raja
dan masyarakatnya dengan segala yang digarapnya dan sebagainya, contoh:

Sri Nalendra ajujuluk (.nama raja yang bersangkutan dari suatu Negara)

Mila kinarya bubukaning carita

Jalaran nagri panjang punjung

Pasirwukir loh jinawi

Gemah ripah kerta raharja

c. Renggan

Sekaran dengan rumpaka yang bertemakan gambaran suatu keadaan yang sedang dihadapi agar
lebih jelas dan lebih indah didengar, contoh:

Kayu Agung babar wite

Samia rembel gogonge samia rogol yan pangrange

Sekar mekar ing galihe pandele si pandan arum

d. Sendon

Sekaran yang mempergunakan rumpaka untuk menggambarkan adegan sedih/kesedihan, contoh:

Rebeng rebeng cinanda layan kaherin


Wis pinandak perlambange

Perlambang simungkumi

2.2. Sekar Tandak

Sekar tandak ialah nyanyian yang terikat oleh ketentuan-ketentuan ketukan dan matra (wiletan,
gatra). Dari ikatan ketukan dan matra-matra banyak berdampingan dengan irama lagu yang
dipergunakan. Peraturan-peraturan itu sudah merupakan kaidah tersendiri dari bentuk paduan
tandak di antara sekar dan gending. Adapun lagu-lagu dalam ragam sekar tandak dapat kita
ketahui sebagai berikut.

(1) Sindenan

Kata Sindenan lebih dikenal pada pergelaran wayang dan kiliningan. Disebut sindenan karena
yang membawakannya biasa disebut sinden (waranggana, penyanyi wanita). Lagu-lagu yang
dibawakan banyak berpangkal pada bentuk klasik dan tradisional. Walaupun demikian, kreasi-
kreasi baru banyak pula dibawakan walaupun dalam beberapa hal telah sedikit berubah
warnanya. Perubahan itu sebenarnya banyak dipengaruhi oleh teknik warna suara yang telah
khas pada tiap pesinden. Kebanyakan lagu-lagu sinden adalah lagu anggana. Kalau ada beberapa
yang bersifat rampak biasanya bersifat kreasi saja. Dalam beberapa penampilan tertentu sindenan
mempunyai lagam daerah tersendiri. Lagam itu lebih cenderung disebut pula sebagai gaya
(style). Ada dua bagian besar gaya dalam kepesindenan, yaitu: gaya Priangan dan gaya Kaleran.

Yang dimaksud dengan gaya Priangan adalah yang melingkupi daerah Bandung dan sekitarnya,
termasuk Priangan Timur. Daerah kaleran antara lain daerah-daerah pesisir utara, seperti
Cirebon, Subang dan Karawang.

Salah satu perbedaan yang paling jelas bila kita bandingkan dengan daerah Priangan adalah
dalam senggol, dialek dan laras-larasnya. Mengenai hal laras, sindenan gaya Cirebon lebih
banyak mempergunakan lagu laras pelog surupan sorog dengan patet Manyuro. Perbedaannya
dengan gaya Karawangan banyak terletak pada dialek bahasa dan pada senggol-senggol yang
lebih sederhana. Perbedaan dalam senggol terkenal dengan istilah buntut dan buntet. Priangan
pada akhir lagu selalu panjang (buntut), sedangkan rata-rata pada senggol kaleran (Subang,
Karawang) lebih pendek (buntet). Tetapi karena adanya pembauran, maka sekarang sudah sangat
sukar dibedakannya karena baik Cirebon, Karawang maupun Subang sudah melihat Bandung
sebagai barometernya. Secara langsung mereka kehilangan kekhasannya. Sebaliknya gaya
Prianganpun banyak pula berakibat pada gaya kaleran, terutama Karawang yang lebih banyak
diwarnai dengan iringan tepak jaipongan.

Pada dasarnya lagu-lagu sinden banyak mempergunakan laras salendro. Lagu-lagu ageng yang
pertama mereka pelajari kebanyakan lagu lagu ageng yang berlaras salendro. Mungkin hal ini
disebabkan oleh beberapa pendapat di kalangan para nayaga yang menyebutkan bahwa salendro
merupakan rajana laras

Satu hal yang tidak bisa dikesampingkan ialah lagu-lagu sindenan selalu diiringi dengan gamelan
salendro. Walaupun dalam beberapa hal dibawakan lagu yang tidak berlaras salendro, pirigan
(iringan) tetap menggunakan laras salendro dengan mengambil jalur tumbuk. Tumbuk ialah
nada-nada yang sama dari laras yang berbeda. Nama-nama lagu sindenan antara lain : Macan
Ucul, Senggot, Kulu Kulu Bem, Tablo, Gawil, Kawitan, Badaya, Papalayon Ciamis dan lain
sebagainya

Contoh tulisan lagu sindenan:

(2) Kawih

Salah satu lagam dari khazanah seni suara Sunda. Pengertian kawih pada mulanya sama dengan
sindenan, tetapi perkembangan memecah kedudukan yang berbeda antara kawih dan sindenan.
Perbedaan itu bukan saja terletak pada pergelaran dan teknik-teknik bernyanyi saja, melainkan
juga lingkunganna.

Menurut pengamatan yang bersumber pada buku Siksa Kandanf Karesian tahun 1518,
masyarakat Sunda telah mengenal kawih dahulu sebelum tembang (pupuh) masuk pada zaman
Mataram (abad XVI). Cuplikan dari buku itu mengatakan bahwa telah dikenal bermacam-macam
kawih, anatara lain:

Kawih Tangtung
Kawih Panjang

Kawih Lalangunan

Kawih Bongbongkaso

Kawih Parerane

Kawih Sisindiran

Kawih Bwatuha

Kawih Babatranan

Kawih Porod Eurih

Kawih Sasambatan

Kawih Igel-igelan

Ahli seni suara biasa disebut paraguna. Jelaslah bahwa lagam kawih jauh telah lama hidup dalam
khazanah karawitan Sunda. Masalahnya sekarang bahwa hal yang tertera di atas hanya
merupakan nama saja karena sudah sangat jarang sekali orang-orang yang tahu tentang lagu-lagu
kawih yang disebutkan tadi.

Lagu-lagu kawih lebih banyak berorientasi pada lagu-lagu perkembangan (kreasi baru),
sedangkan pada lagu sindenan adalah lagu-lagu klasik dan tradisional. Memang yang paling
menonjol sekarang pada kawih ialah segi perkembangan lagu-lagu barunya. Lagu-lagu itu lebih
banyak bergerak pada lingkungan pendidikan dan kaum remaja tertentu. Hal-hal yang
berhubungan dengan pendidikan, dimana lagu-lagu kawih banyak diciptakan oleh para juru
sanggi (komponis) secara khusus untuk kebutuhan program pengajaran. Tokoh-tokoh seperti Rd.
Machyar Anggakusumadinata, Mang Koko, OK Jaman, Ujo Ngalagena, Nano. S dan lain-lain
membuat buu-buku pelajaran seni suar dalam bentuk kawih.

Kawih berkembang bukan pada bentuk anggana saja, melainkan mulai berkembang pula pada
bentuk-bentuk lain, yaitu dengan bentuk-bentuk paduan suara.
Kawih mempunyai sejak yang tersendiri. Hal ini bisa kita perhatikan dari pergelarannya,
iringannya dan teknik bernyanyi termasuk didalamnya pemanis-pemanis. Laras-laras kawih
dalam lagu-lagu remaja kebanyakan berlaras pelog dan madenda. Laras salendro terasa sangat
jarang sekali. Hal ini banyak bersumber pada kreativitas para juru sangginya yang memang
sangat jarang menciptakan lagu-lagu dalam laras salendro. Lagam kawih yang terdapat pada
tembang adalah pada lagu panambih (ekstra). Lagu panambih adalah lagu tambahan setelah
sekar irama merdeka, irama yang dipergunakan tandak. Perbedaan yang menyolok hanya soal
surupan saja, dimana kalau tembang surupan rendah (da = G), sedangkan kalau lagam kawih
lebih tinggi surupannya (da = A = 440 Hz).

(3) Ketuk Tilu

Lagu-lagunya kebanyakan berirama tandak. Cirri khas dari lagu ketuk tilu adalah dalam
iringannya serta melodi lagu yang melengking tinggi dengan warna suar penyanyi wanita yang
lincah segar. Keunikan dari penampilan lagu ketuk tilu banyak diwarnai pula dengan kehadiran
senggak. Ketuk tilu tanpa senggak rasanya sepi sekali. Keakraban ini telah menjalin suatu warna
yang khas yang memberikan warna kemeriahan dan suasana pedesaan (lembur). Senggak adalah
suara manusia yang tidak beraturan untuk meramaikan suasana.

Laras-laras yang dipergunakan dalam lagu ketuk tilu kebanyakan laras salendro. Sangat sedikit
sekali yang mempergunakanlaras pelog atau madenda. Laras salendro dipergunakan pada ketuk
tilu, semarak membawa warna pedesaan, dimana lagu-lagu rakyat banyak dihias dengan warna-
warna salendro. Lagu-lagu ketuk tilu buhun sampai kini tetap lestari, tetapi dalam perkembangan
akhir-akhir ini banyak lagu-lagu ketuk tilu yang diubah larasnya ke dalam laras degung dan
sekaligus diiringi gamelan degung. Tentu saja dalam penjiwaannya kurang sesuai karena
lingkungan degung dan ketuk tilu jauh berbeda. Tetapi karena beberapa hal, antara lain rumpaka,
teknik menyanyikan, surupan sudah sedemikian rupa diolah ke dalam bentuk kawih, maka tidak
jarang orang menganggap seolah-olah lagu itu merupakan ciptaan baru. Nama-nama lagu ketuk
tilu yang populer dan terkenal sampai sekarang, antara lain : Polostomo, Geboy, Gaya,
Cikeruhan, Bardin.

Penyanyi ketuk tilu mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu mereka harus bisa bernyanyi
sambil menari (panggilannya disebut; Ronggeng). Isi lagu-lagu ketuk tilu banyak
mengetengahkan sindiran-sindiran cinta atau pikatan supaya seseorang mmberi imbalan
materi. Dahulu penyanyi ketuk tilu biasa disebut Ronggeng/Doger. Istilah ini kini jarang dipakai,
mungkin karena sebutan itu sendiri sedikit berbau/menyerempet tata susila moral tertentu
Contoh tulisan lagu ketuk tilu

(4) Lagu Indria

Biasa pula disebut sekar dolanan atau lagu dolanan untuk anak-anak. Secara tradisi lagu-lagu
anak banyak terungkap dalam lagu-lagu kaulinan urang lembur. Lagunya dinamis dan sangat
akrab dengan gerak. Bahkan dari keakraban itu sendiri berkembang menjadi permainan anak-
anak. Pada kesenggangan sore hari, mereka berkumpul, bernyanyi dan bermain. Lagu-lagu yang
terkenal seperti Cing cangkeling, Perepet Jengkol, Sasalimpetan, Slep Dur dan lainnya,
kebanyakan berlaras Salendro.

Pada perkembangan selanjutnya, lagu anak-anak banyak yang merupakan sanggian-sanggian


baru. Laras-laras yang dipergunakan sudah tidak lagi dominant oleh laras salendro saja, tetapi
pelog, madenda dan degungpun masuk didalamnya. Bahkan dari jumlah buku-buku nyanyian
yang pernah diterbitkan, kebanyakan berupa lagu anak-anak, seperti: Kawih Murangkalih, Sari
Arum sanggian Rd. Machyar Anggakusumadinata, Resep Mamaos, Taman cangkurileung, Seni
suara Sunda, Sekar Mayang, Bincarung sanggian mang Koko, Sekar Ligar kumpulan uUo
Ngalagena. Tercatat khusus untuk kegiatan lagu kawih anak-anak, Mang Koko membuat
Yayasan Cangkurileung yang anggota-anggotanya terdiri dari murid-murid sekolah dasar dan
lanjutan di seluruh Jawa Barat, setelah mang Koko meninggal dunia kegiatan di sekolah-sekolah
dasar dan lanjutan menjadi berkurang.

Beberapa cirri tertentu dari lagu anak-anak, antara lain:

A. Melodi dan Ritme yang sederhana

B. Jangkauan interval suara dan tinggi rendah nada yang terbatas

C. Tema lagu yang banyak berorientasi pada kehidupan anak-anak, seperti permainan,
kebersihan, sopan santun dan lain-lain.

Khusus untuk lagu-lagu permainan Mang Koko dan MO Koesman mengolah secara khusus
dalam buku Taman Bincarung dengan laras yang dipergunakan salendro. Dalam buku ini selain
mereka belajar lagu juga diajarkan teknik permainan yang bersumber dari tema lagu. Istilah yang
dipakai disebut Gerak Indriya Bincarung.
Selain bentuk-bentuk kawih dalam lagu anak-anak, juga lagu pupuh yang berjumlah 17,
diajarkan sebagai dasar-dasar tembang Sunda. Kebanyakan pupuh-pupuh itu dalam bentuk
rancagan, artinya tidak banyak diberi variasi seperti halnya lagu-lagu tembang yang lain.

Contoh tulisan lagu Indriya:

(5) Lagu-Lagu Rakyat

Lagu yang telah merakyat dan populer di masyarakat. Masalahnya sekarang akan batas kurun
waktu. Umpamanya berapa tahun lagu itu bisa digolongkan sebagai lagu rakyat. Memang
diketahui bahwa kebanyakan lagu-lagu rakyat anonim dan telah lama hidupnya. Ada pula yang
diketahui pengarangnya, diketahui populernya lagu itu dan kini telah menjelma menjadi sebutan
lagu rakyat. Dengan demikian, kurun waktu untuk pengertian lagu-lagu rakyat bukan merupakan
suatu jaminan sebab banyak lagu-lagu yang telah lama justru hilang dan tidak diketahui oleh
umum.

Kebanyakan lagu-lagu rakyat hidup di kalangan lagu anak-anak. Lagu ini seiring dengan gerak-
gerak permainan. Lagu-lagu rakyat biasanya lebih sederhana, tidak berliku-liku dalam
melodinya. Sifatnya spontan. Gambaran lagu kalau dilihat dari tema-temany adalah permainan,
kelakuan seseorang, perjuangan dan lain-lain. Dalam beberapa hal sering didapati bahwa kata-
katanya itu tidak diketahui/dimengerti. Lagu-lagu rakyat Sunda banyak yang tidak diketahui
maksudnya. Bahkan generasi sekarang hanya mengenal lagunya saja, tanpa mengetahui isi dari
kata-katanya.

Di kota-kota besar lagu-lagu rakyat itu sudah sangat jarang diketahui oleh anak-anak. Mungkin
dalam beberapa hal mereka merasa asing. Kalaupun ada, mereka mendengar dari hasil rekaman
yang telah banyak diolah ke dalam tangga nada diatonis. Apa yang sering dikumandangkan oleh
remaja-remaja sekarang tentang lagu rakyat pengolahannya sudah diatonis. Dari penampilan
mereka terkadang dirasakan menjadi sangat asing, karena interpretasi mereka terhadap lagu
rakyatnya sudah sangat lain sekali. Kelainan mereka itu mungkin karena dua hal. Pertama karena
tangga nadanya sudah diatonis, kedua karena mereka hanya tahu dari mulut ke mulut tanpa
mempelajari secara khusus dengan pengertiannya sekaligus.
Lagu-lagu rakyat yang masih populer hingga sekarang antara lain: Cing cangkeling, Ayang-
ayang gung, Pacublek-cublek uang, Ambil-ambilan, Sorban Palid, Es Lilin, Warung Pojok dan
lain sebagainya..

Kebanyakan dari lagu-lagu rakyat yang erat hubungannya dengan gerak-gerak dan permainan,
mempergunakan laras salendro, sedangkan beberapa lagu yang sebenarnya tidak erat dengan
permainan mempergunakan laras pelog atau madenda.

Lagu-lagu rakyat akan terus berkembang selama para kreatornya terus berkreasi. Hanya mungkin
dari sekian jumlah ciptaannya paling-paling hanya beberapa buah saja yang akan sangat populer
dan merakyat di masyarakat. Contohnya lagu Es Lilin dan Warung Pojok yang bisa menembus
untuk diakui sebagai lagu rakyat (Lagu-lagu ini diketahui penciptanya).

(6) Lagu Pupujian

Lagu berbentuk syair berisi tentang pengajaran agama Islam, nasihat, puji kepada Allah, salawat
untuk serta doa, Lagu pupujian tanpa menggunakan iringan sering dibawakan di masjid atau
madrasah, biasa sebelum dilaksanakan shalat, ceramah dan kegiatan lainnya. Saat ini lagu-lagu
pupujian berbahasa Sunda (Tagoni, Qasidah) telah berkembang pesat dengan bentuk dan nama
yang baru seperti Nasyid, penyajiaanya tidak hanya di masjid atau madrasah, tetapi telah pula
ditempat-tempat keramaian, termasuk dalam perayaan keagamaan, khitanan, pernikahan dan lain
sebagainya. Mang Koko dengan Rumpaka dari RAF banyak membuat lagu-lagu Pupujian ini,
seperti lagu Hamdan, Ajilu, Shalawat Bani Hasim, dsbnya.

Penyajian Sekar

Berdasarkan kepada penyajiannya, sekar dapat dibagi menjadi: Anggana Sekar, Rampak Sekar,
Layeutan Suara, Sekar Catur, Drama Suara.

3.1. Anggana Sekar


Sekar yang dibawakan oleh satu orang. Penyanyi sekar secara mandiri ini bermacam-macam
namanya; dalam Tembang disebut Juru Mamaos atau Penembang, dalam kawih biasa disebut
juga Juru Sekar/Juru Kawih, dalam kiliningan biasa disebut Sinden, dan pada Ketuk Tilu Buhun
disebut Ronggeng. Nama-nama itu adalah nama-nama yang mandiri dan biasanya ditujukan
kepada penyanyi wanita. Penyanyi pria lebih dikenal dengan sebutan Wira Swara.

Lagu-lagu klasik kebanyakan bersifat anggana, jarang sekali dibawakan secara bersama, kecuali
telah mendapat sentuhan kreatifitas untuk disajikan menjadi bentuk lain. Keistimewaan lagu-lagu
anggana adalah kebebasan dalam berimprovisasi, terutama dalam pengisian
mamanis/ornament/dongkari. Makin tinggi teknik-teknik dalam pengolahan sekar, maka makin
semaraklah lagu itu. Tentu saja dalam beberapa hal harus diperhatikan adu manisnya agar dalam
mengolah lagu itu tidak menjadi berlebihan.

3.2. Rampak Sekar

Nyanyian yang sama dalam satu tahap suara dibawakan bersama-sama. Rampak Sekar sangat
populer pada lagu-lagu Kawih. Lingkungan yang banyak mengetengahkan lagu-lagu rampak
sekar adalah para pelajar. Hal ini sebenarnya berlanjut dari system klasikal dalam pelajaran
bernyanyi di kelas. Sebelum mengenal istilah rampak sekar (Rampak=Bersama,
Sekar=Nyanyian) terlebih dahulu dikenal istilah Panembrama. Pada dasarnya rampak sekar
maupun panembrama sama saja. Lagu yang dibawakan satu tahap suara. Perbedaan hanya
terletak pada pemilihan lagu-lagunya. Dalam Panembrama jiwa lagunya kebanyakan mengambil
lagu-lagu yang mempunyai gerakan anca, isi rumpakanya menggambarkan kegembiraan, ucapan
selamat kepada para tamu dan maksud dari diselenggarakan pergelaran. Lagunya antara lain
Kadewan.

Dalam rampak sekar tema lagu dan sanggiannya lebih berpariasi, bisa bernafaskan
kepahlawanan, cinta tanah air, keindahan alam dan lain sebagainya. Istilah Karatagan (Mars)
sering digunakan mengawali judul lagu untuk menggambarkan tema kepahlawanan.

Rampak Sekar kebanyakan diiringi dengan waditra Kacapi, apabila menggunakan


iringan gamelan maka biasa disebut Gerongan.

Contoh tulisan lagu Rampak Sekar

3.3. Layeutan Swara

Karena pada mulanya rampak sekar itu merupakan lagu yang dibawakan dalam satu tahap suara
saja, maka perkembangan kreasi baru terasa menuntut lain tentang pengertian ini. Apa yang
dikatakan rampak sekar sekarang sudah tidak lagi mengetengahkan satu tahap suara saja, tetapi
sudah berkembang menjadi dua tahap, tiga tahap bahkan empat tahap suara. Untuk bentuk
penyajian lagu yang demikian maka lahirlah istilah Layeutan Suara. Istilah ini banyak
dipopulerkan oleh kreasi-kreasi Mang Koko. Layeutan Suara identik dengan istilah Paduan Suara
dalam musik.

Jumlah peserta layeutan suara dapat berjumlah dari 10 orang sampai 30 orang. Jumlah itu tidak
tetap, bisa dikembangkan menurut kebutuhannya. Pada perkembangan sekarang, lagu-lagu
Sunda sudah bisa diketengahkan dalam suatu aubade, dimana jumlah penyanyinya bisa mencapai
ratusan bahkan ribuan. Untuk istilah layeutan suara, Pak Machyar Anggakusumadinata
menyebutnya dengan istilah Pra Lagam (banyak lagamnya). Contoh:

3.4. Sekar Catur

Lagu yang dibawakan secara berdialog disebut Sekar Catur (Sekar=nyanyian, Catur=ceritera,
obrolan). Bentuk seperti ini sangat banyak sekali. Pada lagam sindenan, lagam kawih, lagu sekar
catur ini sangat dikenal sekali. Begitu pula pada bentuk jenaka Sunda. Para kanca Indihiang
pimpinan Mang Koko pada tahun empat puluhan menjadi pelopor dalam pengembangan bentuk
lagu-lagu sekar catur.

Bentuk lagu Sekar Catur ini biasanya mempunyai tema masalah. Masalahnya dapat diambil dari
kehidupan sehari-hari, problem suami istri, percintaan atau kritikan-kritikan terhadap
kepincangan yang ada di masyarakat. Ungkapan lagu yang dinyanyikan dalam tekniknya
mempergunakan jalur Sekar Biantara, artinya nyanyian yang dinyanyikan dalam lagam bicara,
jadi fungsi pemanis-pemanis lagu tidak terlalu menonjol karena beberapa hal kejelasan kata-kata
dalam lagu sangat penting sekali.

Contoh tulisan lagu Sekar Catur:

3.5. Drama Suara

Ceritera yang dibawakan dengan media suara sebagai penghantarnya. Drama Suara ini lebih
dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Gending Karesmen. Berbeda dengan bentuk lagu sekar
catur, maka dalam bentuk drama swara sekar atau vocal secara langsung mendominasi ungkapan
yang akan diketengahkan kepada penontonnya.
Dalam drama suara, sekar mempergunakan berbagai laras. Transposisi dan modulasi sangat kaya
sekali dalam bentuk ini. Juru Sekar dituntut kemampuan yang lebih sebagai pemain drama suara.
Selain mempunyai suara yang baik, dituntut pula kemampuan pemeranan (gerak, acting,
menari, menghapal naskah, dan sebagainya).

Semua bentuk sekar dapat diketengahkan dalam bentuk drama suara, baik tembang, kawih, ketuk
tilu maupun sindenan. Tetapi ada pula drama suara yang hanya mengetengahkan salah satu
bentuk sekaran saja, misalnya drama suara dalam media tembang. Namun ada beberapa
kekurangan yang harus diperhatikan apabila drama suara hanya mengambil bentuk tembang saja
yaitu:

(1) Lagam dialog yang terlalu mementingkan mamanis, sehingga berakibat kurang terarah pada
tema ceritra atau ungkapan dialog itu sendiri untuk diketahui maksudnya.

(2) Takaran jiwa tembang yang telah mengendap secara khusus. Dalam hal ini sering terjadi
pemerkosaan terhadap jiwa lagu dari tembang itu sendiri karena kebutuhan dialog yang
diungkapkan.

(3) Surupan yang terlalu rendah dan motif lagu yang monoton kurang memberi suasana terhadap
jalur ceritera yang diketengahkan. Hal ini akan terasa pada nafas-nafas kemarahan yang
terkadang kurang terjangkau oleh tembang.

Drama suara yang baik sebenarnya cenderung untuk disanggi secara khusus. Apabila akan
menambahkan beberapa lagu tradisi atau bentuk sekar lainnya, alangkah baiknya apabila jiwa
lagu itu disesuaikan dengan kata-katanya. Drama suara merupakan cirri khas dari karawitan
daerah Sunda (Jawa Barat)

Karawitan Sekar Gending


Karawitan Sekar Gending adalah salah satu bentuk kesenian yang dalam penyajiannya terdapat
unsur gabungan antara karawitan sekar dan gending

Pengertian dari karawitan itu sendiri secara khusus dapat diartikan sebagai Seni Musik
Tradisional yang terdapat di seluruh wilayah etnik Indonesia.

Penyebaran seni karawitan terdapa di Pulau Jawa, Sumatra, Madura dan Bali. Karawitan
memainkan alat musik bernama gamelan, sebagai contoh Gamelan Pelog/Salendro, Gamelan
Cirebon, Gamelan Degung dan Gamelan Cianjuran (untuk bentuk sajian ensemble/kelompok).
Dalam prakteknya, karawitan biasa digunakan untuk mengiringi tarian dan nyanyian, tapi tidak
tertutup kemungkinan untuk mengadakan pementasan musik saja.

Anda mungkin juga menyukai