Anda di halaman 1dari 162

STRATEGI PENINGKATAN MUTU KEAMANAN

PRODUK ROTI INDUSTRI KECIL MENENGAH MELALUI


PENERAPAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)


TRININGSIH HERLINAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini, saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Strategi


Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti Industri Kecil Menengah Melalui
Penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) adalah karya saya sendiri
dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis
ini.

Bogor, Agustus 2012

Triningsih Herlinawati
NRP. F351100221

i

ABSTRACT

Triningsih Herlinawati. Strategy of improving food safety for bakery at small


medium enterprise based on implementation good manufacturing practices
(GMPs). Supervised by Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng as the advisory
committee chairman, Prof. Ir. Himawan Adinegoro, MSc. DFT as the members.

The role of processing industry sector is great enough, its contribution is


reached 26.8% of national GDP. Among processing industry sectors, the food
industry gives the second largest contribution at least 27%. The same situation
occurred in Bogor. Processing industry contributed the second largest, reached
19.72% of the Gross Regional Domestic Product in 2010, where the sub sectors of
the food industry play a part. The structure of the food industry in Bogor is
dominated by small enterprise (96%). One of the problems on small medium
enterprise is the emergency of food safety issues due to low sanitation and
hygiene practices. Based on the data from outbreaks (epidemics) of Indonesia in
2001-2006 is known that the major cause of poisoning is due to microbes and are
common in food products produced by small-medium enterprise and catering.
The objective of this research is to formulate strategy of improving food
safety base on implementation Good Manufacturing Practices (GMPs). This
research presents ISWOT analysis regarding the implementation GMPs on
bakery at small-medium enterprises in Bogor. ISWOT is an expert choice
justification model which is used for structural analysis model by taking several
elements for the strategic environmental factors. SWOT analysis for the strategic
environmental factors has identified the significant aspect of the supporting
elements, constraints and, the groups of the alternative strategy. Interpretive
Structural Modelling (ISM) is used to find out the principal sub-elements of each
strategy and stakeholders elements have been analysed to enrich the formulate
strategy. Complete analysis of this research has built five alternative formulation
strategy for improving food safety base on implementation GMPs, with
considering respective limitation.

Keywords : GMP, SWOT Analysis, ISM, Smes, bakery

iii

RINGKASAN
Triningsih Herlinawati. Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti
Industri Kecil Menengah Melalui Penerapan Good Manufacturing Practices.
Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng sebagai ketua komisi
pembimbing, Prof. Ir. Himawan Adinegoro, M.Sc DFT. sebagai anggota komisi
pembimbing.

Peranan sektor industri pengolahan cukup besar, kontribusinya mencapai


26,8% dari PDB Nasional. Dari sub sektor industri pengolahan, industri makanan
memberikan kontribusi terbesar kedua mencapai 27%. Situasi yang sama terjadi
di Kota Bogor, industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar kedua
mencapai 19,72% terhadap PDRB Bogor tahun 2010 , dimana industri makanan
menjadi sub sektor yang ikut berperan penting. Struktur industri makanan di Kota
Bogor didominasi oleh industri skala kecil (96%). Permasalahan pada industri
kecil antara lain munculnya isu keamanan pangan karena rendahnya praktek
sanitasi dan hygiene. Untuk memperoleh jaminan keamanan pangan perlu
diterapkan sistem keamanan pangan dalam setiap proses produksi melalui
penerapan cara-cara produksi makanan yang baik atau Good Manufacturing
Practices (GMP). GMP menyediakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi untuk
menjamin baik praktek-praktek yang berkaitan pekerja, fasilitas dan lingkungan,
peralatan dan pengendalian proses.
Penelitian ini bertujuan untuk membuat perancangan strategi peningkatan
mutu keamanan pangan produk roti industri kecil menengah di wilayah Kota
Bogor berdasarkan praktek cara produksi makanan yang baik (Good
Manufacturing Practices/ GMP.
Penelitian dilakukan di Kota Bogor. Data diperoleh melalui kajian literatur,
observasi, wawancara mendalam dan pengisian kuisioner. Perumusan strategi
menggunakan analisis I-SWOT (ISM-SWOT). I-SWOT adalah sebuah model
pemilihan pakar yang digunakan untuk model analisis struktural dengan
mengambil beberapa elemen dari faktor lingkungan strategis.
Analisis SWOT dilakukan menggunakan matriks IEF (Internal Evaluation
Factor) dan matriks EEF (Eksternal Evaluation Factor), berdasarkan agregasi
pendapat pakar dengan teknik perbandingan berpasangan. Hasil penelitian
menunjukan terdapat 7 faktor kekuatan (strengths) meliputi letak geografis
strategis, sektor basis perekonomian, infrastruktur laboratorium pendukung,
sarana-prasarana, kebijakan, keuangan dan koordinasi. Selain itu diidentifikasi 7
faktor kelemahan (weakness) meliputi ketiadaan rencana strategis, kurangnya
jumlah dan keahlian SDM, kurang modal, media informasi kurang memadai dan
kurangnya mekanisme pengawasan.Nilai/skor IFE adalah 2,33 menunjukkan
pemerintah kota Bogor cukup baik dalam mengelola kondisi internalnya, dengan
faktor kekuatan yang memiliki skor bobot tertinggi adalah kebijakan pemerintah
dalam pembebasan biaya SP-PIRT ( skor 2,78). Hasil analisis lingkungan
eksternal menunjukan 5 faktor peluang (opportunities) meliputi peluang pasar,
bantuan eksternal, perubahan pola konsumsi, perkembangan tehnologi informasi
dan lembaga pendidikan/penelitian. Terdapat 4 faktor ancaman (treaths) meliputi
persaingan bakery sejenis, kenaikan listrik/BBM , perkembangan produk
substitusi dan kekuatan pembeli. Nilai/skor EFE yang diperoleh adalah 2,48,
menunjukkan pemerintah Kota Bogor belum cukup mampu memanfaatkan

v
peluang dan meminimalkan ancamam lingkungan eksternal. Peluang yang dinilai
utama adalah potensial peluang pasar dalam negeri (skor 0,457), sedang ancaman
yang dianggap utama adalah persaingan dari produk roti sejenis (franchaise) /
produk dari luar kota (skor 0,156).
Penentuan posisi pemerintah kota Bogor dalam peningkatan GMP
menggunakan matriks IE (Internal Eksternal), dan diperoleh posisi pemerintah
Kota Bogor berada pada posisi kuadran V dengan koordinat (2,33; 2,476). Posisi
sel ini menunjukkan peningkatan penerapan GMP industri IKM roti dapat
ditangani dengan baik melalui strategi menjaga dan mempertahankan IKM yang
telah memenuhi GMP melalui pengawasan. Adapun strategi penetrasi dilakukan
terhadap IKM roti yang belum memenuhi penerapan GMP melalui kegiatan
penyuluhan, publikasi, promosi. Adapun pengembangan yang dapat
dikembangkan pada posisi ini adalah mengembangkan alternatif metode, panduan,
publikasi agar mendorong persyaratan GMP dapat lebih dipahami oleh IKM roti.
Interpretive Structural Modelling (ISM) digunakan untuk mengetahui
hirarki dan elemen kunci sub-elemen dari setiap strategi dan aktor pelaku yang
dianalisis untuk memperkaya perumusan strategi . Elemen yang dianalisis
menggunakan Interpretive Structural Modelling (ISM) yaitu elemen kendala,
pendukung dan aktor pelaku. Elemen kunci faktor kendala yang mempengaruhi
peningkatan penerapan GMP IKM roti yaitu belum adanya Rencana Strategis
Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kota Bogor. Elemen kunci faktor
pendukung yaitu letak Kota Bogor yang strategis; dukungan sarana prasarana
yang memadai; peluang potensial pasar; perubahan pola konsumsi dan kesadaran
hidup sehat konsumen; serta penggunaan tehnologi dan informasi. Elemen kunci
aktor pelaku yang mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices IKM
Bakeri yaitu Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kota Bogor serta Perguruan tinggi.
Analisis lengkap penelitian ini telah membangun perumusan 5 strategi
alternatif untuk meningkatkan keamanan pangan dasar produk IKM roti di kota
Bogor melalui penerapan GMP, dengan mempertimbangkan keterbatasan masing-
masing.

Kata kunci: GMP, Analisis SWOT, ISM, IKM, Roti

vi
Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya penulis ini tanpa


mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Penggunaan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

vii
viii
STRATEGI PENINGKATAN MUTU KEAMANAN
PRODUK ROTI INDUSTRI KECIL MENENGAH MELALUI
PENERAPAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)

TRININGSIH HERLINAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Machfud, MS

x
Judul Tesis : Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti
Industri Kecil Menengah Melalui Penerapan
Good Manufacturing Practices (GMP)
Nama : Triningsih Herlinawati
NRP : F351100221
Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng Prof.Ir. Himawan Adinegoro, MSc. DFT
Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

Tanggal Ujian: 16 Agustus 2012 Tanggal Lulus :

xi
xii
PRAKATA

Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Tuhan alam semesta, pemilik
segala ilmu dan kekuasaan, yang atas kehendak dan izin-Nya penulis dapat
menyelesaikan pendidikan S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB
Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tak
terhingga khususnya kepada:
1. Bapak Dr. Yandra Arkeman, MEng dan Bapak Prof. Ir. Himawan Adinegoro,
MSc. DFT selaku pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan,
arahan, masukan dengan sabar dan penuh perhatian selama melaksanakan
penelitian dan penulisan.
2. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS dan Ibu Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti, MS selaku
penguji
3. Keluarga besar Darmanto Hadiwidjaya dan Fauzan, suamiku tercinta Imam
Wahyudi serta ananda Dimas AW, Raihan AW, Ranaa A. Salsabilla yang
senantiasa menanti dengan sabar dan mendoakan agar tugas belajar ini dapat
selesai.
4. Bapak Ir.M. Maman Rohaman, MSc., Gupuh Samirono, BBA., H. Maman
Surahman, Ibu Dr. Ratih Dewanti Harijadi, MSc. dan Dra. Nurhaedah, Apt.,
atas kesediaannya menjadi nara sumber pada penelitian ini.
5. Kementrian Riset dan Teknologi serta Badan Standardisasi Nasional yang
memberi kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan lanjut.
6. Rekan-rekan S2/S3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor
khususnya angkatan 2010 yang menyertai penulis dalam menjalani pendidikan
dan group CIGARIS bimbingan Pak Yandra yang selalu kompak, saling
dukung dan saling berbagi dalam proses penyelesaian studi.
7. Semua pihak yang memberikan kontribusi dalam penyusunan karya tulis ini
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa karya tulis ini masih memiliki


banyak kekurangan dan dengan lapang dada penulis akan menerima segala bentuk
masukan, saran dan kritik dari semua pihak.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

xiii
xiv
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Salatiga, pada tanggal 17 September 1973 dari ayah


Darmanto Hadiwidjaya dan Ibu Tjijih Suwarsih. Penulis adalah anak ketiga dari
lima bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1986 di SD Negeri 1
Salatiga. Pada tahun 1989 menamatkan pendidikan menengah di SMP Negeri 1
Salatiga dan pada tahun 1991 lulus dari SMA Negeri 1 Salatiga. Penulis diterima
untuk melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1991
dan belajar di Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian hingga lulus pada
tahun 1995. Selanjutnya penulis melanjutkan program master pada tahun 2010 di
program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor. Saat ini penulis bertugas di Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi
Badan Standardisasi Nasional dari tahun 2000 sampai tahun 2010. Jabatan
terakhir sebagai Kepala Sub Bidang Proses Akreditasi LSSM, LSSHACCP, selain
itu penulis aktif sebagai Lead Auditor Sistem Manajemen Mutu, Sistem HACCP
dan Produk.
Penulis menikah dengan Imam Wahyudi, SP dan telah dikarunia dua putra
bernama Dimas Amanullah Wahyudi dan Raihan Athaillah Wahyudi serta seorang
putri bernama Ranaa Aulia Salsabila.

xv
xvi
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xix


DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxiii
1. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar belakang ............................................................................ 1
1.2 Tujuan dan manfaat penelitian ................................................... 4
1.3 Ruang lingkup penelitian ........................................................... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 5
2.1 Industri Kecil dan Menengah ................................................... 5
2.2 Keamanan Pangan ................................................................... 8
2.3 Cara Produksi Yang Baik/ Good Manufacturing Practices..... 15
2.4 Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga
(SP-PIRT) ................................................................................. 20
2.5 Industri Roti ............................................................................ 22
2.6 Manajemen Strategis ............................................................... 24
2.7 Metode Analisis SWOT .......................................................... 28
2.8 Metode ISM (Interpretive Structural Modelling) ................... 30
2.9 Penelitian Terdahulu ............................................................... 32
3. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 37
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................... 37
3.2 Kerangka Pemikiran ............................................................... 37
3.3 Metode Pengumpulan Data dan Instrumentasi ........................ 38
3.4 Metode Penentuan Responden ................................................. 38
3.5 Tahapan Penelitian .................................................................... 38
4. GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR ......................................... 51
4.1 Potensi IKM Makanan Kota Bogor .......................................... 51
4.2 Potensi IKM Roti Kota Bogor ................................................. 53
4.3 Kondisi Umum Pemenuhan GMP/ CPPB pada IKM Roti ....... 54
4.4 Instansi Pembina dan Pengawas IKM terkait GMP ................. 67

xvii
5. HASIL DAN PEMBAHASAN. ................................................ 73
5.1 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Internal ......................... 73
5.2 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Eksternal....................... 82
5.3 Matrik IFE dan EFE ................................................................ 88
5.4 Matrik Internal- Eksternal (IE) ................................................ 91
5.5 Strukturisasi ISM ( Interpretive Structural Modeling) ........... 92
5.6 Perumusan Strategi (Matriks ISWOT) ................................... 100
5.7 Pembuatan Keputusan Strategi ............................................... 107
6. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 109
6.1 Kesimpulan ................................................................................ 109
6.2 Saran .......................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 111
LAMPIRAN .................................................................................................. 117

xviii
DAFTAR TABEL
1 Struktur industri Indonesia tahun 2005 2009 ...................................... 6
2 Ambang batas cemaran mikroba pada produk roti ............................... 23
3 Persentase penerapan hiegiene pada industri kecil pangan .................. 34
4 Simbol hubungan dan definisi kontekstual antar elemen
ISM-VAXO .......................................................................................... 46
5 Elemen dan hubungan kontekstual ....................................................... 46
6 Matriks ISWOT .................................................................................... 49
7 Jumlah industri makanan di kota Bogor tahun 2009 2011.................. 52
8 Perkembangan penyerapan tenaga kerja industri pangan
di kota Bogor tahun 2009 2011 .......................................................... 52
9 Perkembangan nilai investasi industri pangan di kota Bogor
tahun 2009 2011 ................................................................................. 53
10 Distribusi jumlah industri roti di kota Bogor tahun 2011
berdasarkan pengelompokan nilai investasi ........................................... 54
11 Distribusi jumlah industri roti di kota Bogor tahun 2011
berdasarkan pengelompokan jumlah tenaga kerja ................................. 54
12 Jumlah industri pangan kota Bogor yang memperoleh
SP-PIRT dan sertifikat produk yang terbit tahun 2006-2011 ................ 55
13 Faktor-faktor lingkungan internal ......................................................... 73
14 Jumlah pelanggan listrik dan daya tersambung menurut kecamatan
di kota Bogor tahun 2008 ...................................................................... 76
15 Realisasi penerimaan daerah Kota Bogor tahun 2011 .......................... 77
16 Program dan indikator pelaksanaan strategi peningkatan pengawasan
mutu dan keamanan pangan RAN PG Tahun 2011-2015 ..................... 79
17 Faktor-faktor lingkungan eksternal ....................................................... 83
18 Daftar nama balai penelitian di Kota bogor .................................. ........ 85
19 Perkembangan Harga Gas Elpiji per Kemasan (Rp/Kg) .......................... 86
20 Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) ............................................ 89
21 Matriks EFE (External Factor Evaluation) .......................................... 90
22 Elemen kunci peningkatan penerapan GMP di IKM roti ..................... 99
23 Perumusan Strategi (Matriks SWOT ) ................................................. 101

xix
xx
DAFTAR GAMBAR

1 Persentase pelanggaran produk pangan ................................................ 11


2 Model komprehensif manajemen strategis .......................................... 25
3 Diagram alir penelitian .......................................................................... 39
4 Matriks internal-eksternal (IE) .............................................................. 44
5 Matriks klasifikasi sub elemen berdasarkan tingkat pengaruh dan
ketergantungan ...................................................................................... 48
6 Perkembangan jumlah industri kecil formal dan non formal
di kota Bogor (2007-2009)..................................................................... 51
7 Prosentase kategori hasil penilaian SP-PIRT tahun 2006- 2010 ........... 58
8 Pola kecenderungan hasil pemeriksaan 13 parameter/ grup CPPB-IRT
di 21 propinsi tahun 2003-2005 ............................................................ 58
9 Dinding tidak seluruhnya dari bahan kedap ........................................... 60
10 Jendela tidak dilengkapi pintu kasa yang mudah dibersihkan ............... 60
11 Peralatan proses produksi yang tidak terpelihara kebersihannya ......... 61
12 Letak peralatan proses produksi di sebelah jendela berpotensi kontaminasi 61
13 Belum tersedia sarana cuci tangan di dekat ruang produksi ................. 63
14 Pembersihan peralatan proses produksi yang tidak rutin dilakukan .... 63
15 Pekerja pengolah pangan yang tidak menggunakan tutup kepala dan sarung
tangan ................................................................................................... 64
16 Penyimpanan bahan baku ..................................................................... 65
17 Penyimpanan kemasan .......................................................................... 65
18 Matriks IE posisi pemerintah Kota Bogor ............................................. 91
19 Matriks driver power-dependence untuk elemen pendukung. ............... 93
20 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen pendukung. ........................... 94
21 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen kendala. ................................. 96
22 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen aktor pelaku. ......................... 98

xxi
xxii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Kualifikasi pakar yang digunakan dalam penelitian............................ 119


2. Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Bogor ....................................... 120
3. Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bogor ..... 121
4. Jumlah unit usaha industri di Kota Bogor tahun 2006 2011 ............ 122
5. Industri roti yang terdaftar di Dinasperindag Kota Bogor ................. 123
6. Industri roti yang mendapat SP-PIRT dari Dinas Kesehatan Bogor . 124
7. Formulir penilaian CPPB-IRT........................................................ ..... 155
8. Hasil pengolahan ISM ......................................................................... 132
9. Hasil penentuan rating pada Matrik IEF dan Matrik EFE .................. 135
10. Hasil penentuan bobot pada Matrik IEF dan Matrik EFE .................. 136

xxiii

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu kelompok utama industri pengolahan non-migas yang
memberikan sumbangan tertinggi pada PDB Nasional adalah cabang industri
makanan, minuman dan tembakau. Pertumbuhan PDB industri makanan,
minuman dan tembakau pada tahun 2004-2009 diperkirakan rata-rata 3,26% per
tahun dan tahun 2009-2014 diproyeksikan menempati urutan kedua
(KADIN, 2010). Hal ini membuktikan bahwa peranan industri makanan minuman
di Indonesia cukup penting, karena pangan merupakan kebutuhan yang paling
mendasar bagi manusia.
Saat ini, dunia telah memasuki era globalisasi yang berdampak terhadap
sistem perdagangan international yang bebas dan lebih terbuka. Perdagangan
global juga memberikan dampak terhadap industri makanan minuman dengan
munculnya isu keamanan pangan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun
2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, keamanan pangan adalah kondisi
dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran
biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan
kesehatan manusia.
Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena
mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba pathogen (Riemann dan Bryan,
1979). Sebagian besar penyakit pada manusia disebabkan oleh makanan yang
tercemar bakteri patogen, seperti penyakit tipus, disentri, botulisme, dan
hepatitis A (Winarno, 1997). Data kejadian luar biasa (KLB) tahun 2001-2006
adalah 610 KLB, diketahui bahwa penyebab keracunan utama adalah karena
mikroba dan umumnya terjadi pada produk pangan yang dihasilkan oleh IRT
(Industri Rumah Tangga) dan jasa boga (BPOM, 2008).
Menurut Fardiaz (2006) selama ini ada empat masalah utama keamanan
pangan di Indonesia yaitu: 1) pencemaraan pangan oleh mikroba karena
rendahnya praktek-praktek sanitasi dan hygiene, 2) pencemaran pangan oleh
bahan kimia berbahaya, 3) pengunaan yang salah (misuse) bahan berbahaya yang
dilarang digunakan untuk pangan dan 4) penggunaan melebihi batas maksimum

yang diijinkan (abuse) dari tambahan pangan yang sudah diatur penggunaannya
oleh BPOM. Hariyadi (2008) menyimpulkan bahwa Indonesia menghadapi
permasalahan pangan pada dua tingkat yang berbeda yaitu: 1) tingkat mendasar.
karena buruknya praktek-praktek pengolahan pangan; dan 2) tingkat "emerging"
yang selalu berubah.
Menurut data BPS, sebagian besar industri makanan adalah dari skala kecil
yang menggunakan teknologi sederhana dengan pengetahuan dalam keamanan
makanan yang kurang memadai. Di Indonesia, dari 6 juta unit industri makanan
kebanyakan adalah skala mikro dengan aset kurang dari Rp 200.000.000 dan
mempekerjakan 1-4 orang; atau merupakan skala kecil dengan asset
Rp 200.000.000- Rp 1.000.000.000 dan memperkerjakan 5-19 karyawan).
Sebagian besar industri makanan di negara-negara berkembang adalah industri
berskala kecil yang belum memenuhi standar GMP ( Dewanti, 2009). Hal ini
sesuai dengan hasil inspeksi BPOM yang mengatakan bahwa dari 4.007 sarana
produksi yang diperiksa tahun 2007, sebanyak 2.271 (57 %) sarana yang tidak
memenuhi ketentuan; sehingga tidak rnampu menerapkan GMP secara konsisten.
Bahkan pada industri rumah tangga pangan (IRTP) sebesar 76% dari total sarana
tidak memenuhi ketentuan (BPOM, 2008). Hasil pemeriksaan terhadap sarana
produksi makanan/minuman skala rumah tangga, menengah dan besar
menemukan sekitar 33,15% 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene
dan sanitasi (Fardiaz, 1996). Secara kualitatif, data yang ada menunjukkan
rendahnya kondisi sanitasi dan higienitas sarana produksi pangan di Indonesia.
Cara-cara produksi makanan yang baik atau Good Manufacturing Practices
(GMP) adalah dasar operasi pengolahan makanan untuk mencapai kualitas yang
konsisten dan keamanan. GMP menyediakan kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi untuk menjamin baik praktek-praktek yang berkaitan pekerja, fasilitas
dan lingkungan, peralatan dan pengendalian proses. Salah satu cara pemerintah
menjamin agar industri pangan kecil dan menengah memenuhi cara produksi
pangan yang baik adalah melalui penerbitan sertifikat produksi pangan industri
rumah tangga. Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, yang
selanjutnya disingkat SP-PIRT.

Produk roti merupakan salah satu jenis produk pangan yang cukup digemari
di Indonesia. Saat ini roti bahkan sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
sebagai pengganti nasi saat sarapan, terutama dikarenakan kepraktisan dan
sebagai variasi dalam mengkonsumsi pangan. Produk roti sebagai alternatif
sumber karbohidrat pengganti nasi, perannya tidak lagi sebatas sebagai menu
untuk sarapan, tetapi juga untuk menu makan siang dan makan malam. Oleh
karena itu, mutu dan gizi produk roti sangat perlu untuk diperhatikan agar dapat
memberikan sumbangan gizi yang berarti bagi manusia. Industri yang
memproduksi roti juga beragam jenisnya mulai dari industri skala kecil hingga
besar, dikarenakan pembuatan dapat dilakukan secara manual maupun otomatis
(menggunakan mesin).
Berdasarkan data Disperindag Kota Bogor tahun 2012, terdapat 46 industri
kecil formal yang terdaftar di Disperindag Kota Bogor yang bergerak pada
pembuatan roti di Kota Bogor, dimana potensi volume produksi per tahun untuk
golongan IKM relatif cukup besar dengan kontinuitas produksi cenderung tidak
berfluktuasi tajam. Berdasarkan data hasil pemeriksaaan sarana produksi industri
rumah tangga pangan (IRTP) roti pada tahun 2006-2011 oleh petugas inspektor
pengawas pangan Kota Bogor dalam rangka proses SP-PIRT, menunjukan
75,51% IRTP yang dinilai memperoleh skala nilai kategori C (cukup). Hal ini
berarti 4 grup utama aspek penilaian suplai air, pengendalian hama, kesehatan dan
hygiene karyawan, pengendalian proses bernilai cukup dan grup lainnya bernilai
kurang maksimal 4. Hal ini menandakan bahwa belum semua aspek GMP
diterapkan dengan baik oleh IKM/ IRTP roti di Kota Bogor.
Berdasarkan hal tersebut, adanya potensi industri IKM roti di Kota Bogor,
perlu diimbangi dengan peningkatan mutu keamanan pangan melalui pembinaan
industri untuk dapat menerapkan GMP. Secara khusus, pemerintah daerah perlu
memberikan prioritas yang cukup pada pembinaan dan fasilitasi prasarana
keamanan pangan untuk industri kecil dan menengah. Peningkatan kondisi
keamanan pangan industri kecil menengah ini akan memberikan dampak pada
peningkatan status kesehatan masyarakat, peningkatan daya saing produk, dan
pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas dan akan berkontribusi pada
peningkatan daya saing bangsa.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk membuat perancangan strategi peningkatan
mutu keamanan pangan produk roti industri kecil menengah di wilayah Kota
Bogor berdasarkan praktek cara produksi makanan yang baik (Good
Manufacturing Practices/ GMP), sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan
dan menjamin mutu produk industri IKM yang aman dan sesuai dengan keinginan
dan harapan konsumen.
Manfaat penelitian diharapkan sebagai sebagai alat bantu dalam perumusan
strategi bagi pemerintah daerah dan instansi terkait untuk meningkatan mutu
keamanan produk roti industri IKM melalui penerapan GMP.
1.3 Ruang Lingkup
Lingkup penelitian ini dilakukan pada IKM roti di wilayah Kota Bogor.
Penelitian ini dibatasi pada lingkup industri kecil menengah roti yang terdaftar di
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor dan/atau Dinas Kesehatan Kota
Bogor. Kategori industri kecil menengah (IKM) yang digunakan berdasarkan
kategori yang ditetapkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan/atau kategori
Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) yang ditetapkan Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM). Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Pengkajian faktor lingkungan eksternal dan internal yang mempengaruhi
penerapan GMP di IKM roti Kota Bogor.
2. Strukturisasi elemen kunci yang mempengaruhi peningkatan mutu
keamanan melalui penerapan GMP pada industri IKM roti Kota Bogor
3. Penyusunan formulasi strategi peningkatan mutu keamanan produk IKM
roti melalui penerapan GMP berdasarkan hasil analisa SWOT dan ISM
(Interpretive Structural Modelling)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Kecil dan Menengah


Industri Kecil Menengah di Indonesia merupakan bagian penting dari sistem
perekonomian nasional karena peranannya dapat mempercepat pemerataan
pertumbuhan ekonomi melalui misi penyediaan lapangan usaha dan lapangan
kerja, peningkatan pendapatan masyarakat dan ikut berperan dalam memperoleh
devisa serta memperkokoh struktur industri nasional (Hubies, 1997).
Definisi Usaha Kecil menurut Undang- undang No. 20 tahun 2008 adalah
usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha, dan memiliki kriteria usaha Kecil yaitu: a) memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan
paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari
Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Definisi Usaha Menengah
adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang
perorangan atau badan usaha dan miliki jumlah kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan sebagai berikut: a) memiliki kekayaan bersih lebih dari
Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari
Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling
banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh milyar rupiah).
Menurut Biro Pusat Statistik (1998), definisi industri rumah tangga adalah
unit usaha dengan pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha, sedangkan
industri kecil adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan
paling banyak 19 orang. Industri menengah adalah unit usaha dengan jumlah
pekerja paling sedikit 20 dan paling banyak 99 orang.
Menurut Keppres RI No. 99 Tahun 1998 pengertian usaha kecil adalah
kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara

mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah
dari persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut Departemen Perindustrian dan Perdagangan, IKM adalah
kelompok industri kecil modern, industri tradisional, dan industri kerajinan yang
mempunyai investasi modal untuk mesin-mesin dan peralatan sebesar Rp 70 juta
ke bawah dan usahanya dimiliki oleh warga Negara Indonesia (Hubeis, 1977).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 yang termasuk industri
rumah tangga pangan (IRTP) adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat
usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi
otomatis.
Berdasarkan data BPS tahun 2009, jumlah industri kecil / menengah di
Indonesia sebesar 3.755.238 juta unit usaha, sedangkan industri besar berkisar
2.867 unit usaha . Laju pertumbuhan industri mikro dan kecil pada akhir tahun
2011 telah mencapai 1,48% (BPS, 2011). Perkembangan struktur industri di
Indonesia seperti terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1 Struktur industri Indonesia tahun 2005 2009


N Uraian Satu 2005 2006 2007 2008* 2009**
O an
1 Unit Usaha/Unit Unit 2.811.468,0 3.220.061,0 3.442.306,0 3.545.100 3.758.105
1.1 Industri Kecil Unit 2.795.237,0 3.200.620,0 3.422.672,0 3.526.420 3.739.507
1.2 Industri Menengah Unit 13.712,0 16.886,0 15.782,0 15.709 15.731
1.3 Industri Besar Unit 2.519,0 2.555,0 3.852,0 2.971 2.867
2 Tenaga Kerja Orang 10.971.630,0 12.597.214,0 13.223.776,0 13.424.341 13.987.659
2.1 Industri Kecil Orang 6.745.086,0 7.195.356,0 7.441.995,0 7.800.576 7.871.888
2.2 Industri Menengah Orang 140.992,0 175.901,0 190.936,0 190.696 201.966
2.3 Industri Besar Orang 4.085.552,0 5.011.535,0 5.590.844,0 5.433.069 5.913.805
3 PDB (adhk2000) Mil Rp 491.422,0 514.192,0 538.078,0 557.766 570.629
3.1 Industri Kecil Mil Rp 64.073,1 66.271,5 69.350,0 71.887 73.545
3.2 Industri Menengah Mil Rp 59.726,0 62.034,7 64.916,4 67.292 68.843
3.3 Industri Besar Mil Rp 367.622,8 385.886,0 403.811,5 418.587 428.241

Sumber: BPS diolah Kemenperin (2009) * ) Angka Sementara, ** ) Perkiraan

Kontribusi industri selama ini masih disumbang sebesar 75% dari industri-
industri yang berada di Pulau Jawa dan sisanya di luar Pulau Jawa dan Bali. Hal
ini dapat dimengerti karena penyebaran masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Lokasi industri untuk Pulau Jawa, berada di Jawa Tengah sebesar 38.71%, diikuti
Jawa Timur 31,05% dan Jawa Barat sebesar 21,29%.

Sesuai Rencana Kerja Jangka Panjang pada tahun 2011-2014, Kementerian


Perindustrian memfokuskan 6 kelompok industri yang berpeluang dikembangkan
salah satunya adalah industri kecil dan menengah makanan karena mempunyai
kedudukan strategis dalam perekonomian nasional. Industri kecil dan menengah
berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja yang banyak, membuka peluang
usaha secara luas dengan produk bervariasi dan beragam, mampu mengolah
sumberdaya lokal baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor. Data
pertumbuhan industri makanan minuman cenderung naik dari tahun 2004 sampai
tahun 2009, dimana pada tahun 2009 mencapai 11,29%.
Sukarman (2007) mencirikan bahwa karakteristik usaha mikro kecil dan
menengah di Indonesia secara umum yaitu: a) tradisional, b) perorangan, c) sarat
penggunaan sumber daya lokal, d) menghasilkan produk sederhana, e) teknologi
yang digunakan tepat guna, f) usaha lebih fleksibel dan padat karya, g) khusus
usaha mikro terutama berada pada golongan masyarakat miskin dan
berpenghasilan rendah. Kendala umum yang dihadapi oleh usaha mikro kecil dan
menengah di Indonesia sebagai berikut a) kualitas SDM rendah (94,7% SLTP ke
bawah ), b) akses pasar terbatas, c) manajemen sederhana atau tradisional,
d) sistem pembukuan / administrasi keuangan belum baik, e) belum terdaftar
secara formal, f) tidak memenuhi persyaratan bank teknis, g) kurang akses
informasi dan pemanfaatan teknologi, h) kurang menjaga kualitas produk, i)
permodalan untuk mengembangkan usahanya.
Sedangkan menurut Hubeis (1997), kendala pengembangan industri kecil
dapat disebabkan oleh faktor kemampuan yang bersifat alamiah (mental dan
budaya kerja), tingkat pendidikan SDM, terbatasnya keterampilan dan keahlian,
keterbatasan modal dan informasi pasar, volume produksi yang terbatas, mutu
yang beragam, penampilan yang sederhana, infrastruktur dan peralatan yang
usang, beberapa kebijaksanaan dan tingkah laku dari pelaku bisnis yang
bersangkutan. Hal ini menyebabkan produk yang dihasilkannya sangat beragam,
baik dalam mutu, ukuran, warna maupun bentuk/desain, yang pada akhimya
berdampak terhadap harga jual yang kurang kompetitif.
Menurut Departemen Perindustrian (2008), keadaan spesifik industri
makanan di Indonesia antara lain kurang memperhatikan aspek higienis; masih

ada penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) tidak benar/bahan tambahan yang
dilarang; pengelolaan/manajemen usaha masih sederhana; mutu sangat beragam
dan masih banyak yang belum memenuhi standar; kemasan sangat sederhana,
tidak menarik, dan label tidak sesuai dengan isi; masuknya produk-produk
makanan dari negara lain yang mempunyai daya saing cukup tinggi.
Selain itu industri kecil belum memiliki bentuk organisasi yang mampu
untuk menghadapi perubahan dengan cepat, karena struktur organisasi internalnya
masih sederhana (mendekati organisasi lini), yaitu manajer umum (pemilik)
merangkap jabatan pengawas, dan bagian lain (produksi, penjualan dan
pemasaran, serta pembelian) diserahkan kepada orang tertentu di lingkungan
keluarga atau pegawai yang telah dipercayai. Struktur tersebut pada dasarnya telah
mencerminkan adanya lalu lintas wewenang dan tanggung jawab secara vertikal,
serta hubungan antar bagian secara horisontal, tetapi yang menjadi persoalan
masil dominannya keterlibatan pemilik dalam segala kegiatan usaha (one man
show). Untuk memperbaiki situasi tersebut diperlukan peningkatan. kemampuan
personil (komunikasi, kerja kelompok, inovasi dan leadership) dan kemampuan
manajerial (kepemimpinan dan penerapan manajemen fungsional), serta gaya
kerja, baik secara mutlak (necessary condition) maupun tambahan (sufficient
condition) dalam mencapai kompetivitas secara spesifik maupun global (Hubeis,
1997).
2.2 Keamanan Pangan

2.2.1 Definisi Keamanan Pangan


Menurut Undang-undang RI No.7 tahun 1996 tentang Pangan, mutu pangan
adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi
dan standar perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman.
Berdasarkan pengertian tersebut, mutu pangan tidak hanya mengenai kandungan
gizi tetapi mencakup keamanan pangan dan kesesuaiannya dengan standar
perdagangan yang berlaku.
Definisi keamanan pangan menurut Codex adalah jaminan bahwa makanan
tidak akan mengakibatkan bahaya bagi konsumen ketika itu dipersiapkan dan atau
dimakan menurut pemakaian yang dimaksudkan atau dikehendaki (Hariyadi,
2007). Joint Expert Committee of Food Safety (JECFA) menyatakan keamanan
8

pangan sebagai semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama produksi,
pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan makanan untuk memastikan
bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik dikonsumsi
manusia.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004, keamanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Aman untuk
dikonsumsi dapat diartikan, bahwa produk pangan tidak mengandung bahan yang
dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia, yaitu menimbulkan
penyakit atau keracunan. Disamping itu produk pangan juga harus layak untuk
dikonsumsi, yaitu harus dalam keadaan normal, tidak menyimpang misalnya
busuk, kotor dan menjijikkan. Pangan yang aman adalah pangan yang tidak
mengandung bahaya biologi atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik.
Menurut Lawley (2008), secara sederhana aplikasi keamanan pangan
diartikan sebagai praktik-praktik untuk memastikan bahwa produk pangan tidak
menyebabkan kerugian bagi konsumen. Definisi tersebut mencakup topik-topik
keamanan pangan secara luas mulai dari pengetahuan dasar dan higiene personal
sampai prosedur teknis yang kompleks untuk menghilangkan kontaminan dari
produk pangan dan bahan-bahan yang diolah dengan teknologi canggih. Pada
dasarnya, praktik keamanan pangan dapat dikelompokan atas tiga dasar operasi:
1. Perlindungan rantai suplai pangan dari bahaya kontaminasi;
2. Pencegahan dari perkembangan dan penyebaran bahaya kontaminasi; dan
3. Penghilangan dampak kontaminasi dan zat-zat kontaminan secara efektif.

2.2.2 Sumber Bahaya Keamanan Pangan


Bahaya keamanan pangan tertuju pada faktor-faktor dalam bahan pangan
yang berpotensi membahayakan kesehatan konsumen. Sumber-sumber bahaya
keamanan pangan digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu fisik, kimia, dan
mikrobiologi. Bahaya yang bersifat fisik, contohnya serpihan batu dan logam;
bersifat kimia, contohnya toksin yang diproduksi selama proses pengolahan
pangan dan zat-zat alergenik; dan bersifat mikrobiologi, contohnya bakteri

patogen, virus, parasit, prion, protozoa, dan gejala infeksi serta intoksikasi
(Lawley 2008).
Menurut Rahayu (2008), kasus sumber kontaminan bahan pangan terdiri
dari kontaminan biologi / mikrobiologi, kimia, dan kontaminan fisik. Kontaminan
tersebut dapat mencemari pangan sejak masih berupa bahan mentah sampai siap
dikonsumsi. Menurut FAO (1979) sebagian besar terjadinya keracunan makanan
dan penyakit yang ada kaitannya dengan konsumsi pangan disebabkan oleh
mikroorganisme dan toksin yang diproduksinya.
Lebih dari 90% kasus keracunan pangan disebabkan oleh kontaminasi
mikroorganisme yang berasal dari air, tanah, udara, peralatan, bahan, dan tubuh
manusia. Sisanya sekitar kurang dari 10% disebabkan oleh bahan kimia, baik yang
berasal dari alam seperti aflatoksin, zat warna, monomer plastik, obat dan hormon
pada tanaman dan ternak, maupun dalam bentuk kontaminan lingkungan seperti
pestisida, logam berat seperti Pb, Arsen, Kadmium (Winarno, 1993).
Adanya bahaya atau cemaran pada pangan seringkali ditemukan karena
rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya
praktek sanitasi dan higinitas yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja
maupun produsen yang menangani pangan tradisional (Dewanti & Nuraida,
2001). Hasil penelitian Sapers et al. (2006) menyimpulkan ada empat faktor yang
menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan antara lain, praktik yang
meragukan terhadap penggunaan air yang diklaim aman, lemahnya tindakan
dalam manajemen hama atau hewan pengganggu, fasilitas dan peralatan yang
tidak saniter, serta kurangnya penerapan praktik-praktik yang sehat dan higiene.

2.2.3 Permasalahan Keamanan Pangan


Data kinerja produk Indonesia untuk menembus pasar AS (tahun 2001-
2005), dilihat dari aspek keamanan pangan masih sangat memprihatinkan. Sekitar
33-80% (rata-rata 62%) produk pangan ditolak karena alasan "filthy". Secara
umum, filthy dapat diartikan bahwa pada produk tersebut mengandung "sesuatu
yang tidak selayaknya ada dalam bahan pangan tersebut". Penyebab adanya filthy
adalah karena masih kurang diterapkannya prinsip-prinsip penanganan dan
pengolahan yang baik. Dengan kata lain, kepada produsen produk pangan dan

10

hasil pertanian Indonesia masih perlu diperkenalkan, disosialisasikan. dan diawasi


untuk menerapkan good practices (Hariyadi & Dewanti, 2003).
Peredaran produk pangan yang tercemar mikroba, tercemar logam, yang
menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) yang dilarang atau melebihi batas
yang diperbolehkan (terutama zat pewarna, pengawet dan pemanis), adanya residu
pestisida yang masih tinggi pada produk-produk hortikultura masih banyak
ditemukan. Disamping itu banyak pula ditemukan peredaran produk pangan yang
komposisinya tidak sesuai dengan label dan iklan pangan dipromosikan, produk
pangan yang tidak mencantumkan masa kadaluwarsa dan produk pangan yang
tidak memenuhi standar mutu (Anggrahini, 1997).
Berdasarkan data inspeksi 2001-2006 menunjukan bahwa beberapa jenis
pelanggaran produk pangan yang sering terjadi adalah penggunaan pemanis
buatan TMS, pengawet TMS, formalin, boraks, pewarna bukan untuk makanan,
cemaran mikroba TMS, dan lain-lain. Persentase berbagai jenis pelanggaran
produk pangan tahun 2001-2006 ditunjukkan pada Gambar 1. Penggunaaan
pemanis buatan TMS merupakan pelanggaran dengan persentase relatif terbesar.
Pada tahun 2001, pelanggaran jenis ini merupakan 15,65% dari keseluruhan jenis
pelanggaran produk. Persentase tersebut meningkat menjadi 26,50% atau
meningkat rata-rata 11,1% per tahun selama 2001-2006 (Hanani, 2009).

Sumber : Hanani (2009)


Gambar 1 Persentase pelanggaran produk pangan (%).

11

Pada kenyataannya Indonesia harus menanggung beban ganda keamanan


pangan yaitu masih belum diaplikasikannya prinsip GMP dengan baik dan
khusus berkaitan dengan industri pangan berorientasi ekspor harus menghadapi
berbagai isu keamanan pangan baru yang selalu bermunculan dari waktu ke
waktu, berubah-ubah dan berbeda dari satu negara ke negara lainnya. Penyebab
permasalahan beban ganda keamanan pangan di Indonesia ini adalah beium
dipahami dan disadarinya arti strategis keamanan pangan. Oleh karena itu,
pemerintah perlu memberikan perhatian yang layak pada (i) pembenahan
infrastruktur keamanan pangan, (ii) program pendidikan pada produsen dan
konsumen, (iii) prioritas alokasi dana untuk pembangunan keamanan pangan dan
(iv) pembinaan dan fasilitasi prasarana untuk industri kecil dan menengah
(Hariyadi, 2008).
Penanggulangan terhadap keamanan pangan sangat dibutuhkan, salah
satunya yaitu dengan melakukan GAP (good agricultural practices) pada usaha
produksi di farm, terutama untuk penggunaan pestisida, pupuk buatan, hormone
pertumbuhan, pencemaran lingkungan, sedangkan dipabrik perlu diperhatikan
penerapan GMP (good manufacturing practices) dan HACCP (hazard analysis
critical control point) untuk mencapai mutu dan standar yang diperlukan, baik
untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor (Bintoro, 2009).
Hasil inspeksi BPOM tahun 2007 menunjukan bahwa dari 4.007 sarana
produksi yang diperiksa terdapat 2.271 (57%) sarana yang tidak memenuhi
ketentuan, sehingga tidak mampu menerapkan GMP (good manufacturing
practices) secara konsisten. Bahkan pada industri rumah tangga pangan (IRTP),
sebesar 76% dari total sarana tidak memenuhi ketentuan. Masalah utama yang
perlu segera dipecahkan pemerintah adalah memfasilitasi IRTP mampu
melengkapi dirinya dengan sarana dan prasarana sanitasi dan higienitas sehingga
melaksanakan proses produksi pangan sesuai dengan kaidah GMP (Hariyadi,
2008). Penelitian Sudibyo et al. (2001) menunjukkan bahwa dari sebanyak 80
sampel industri pangan yang digunakan dalam penelitian hanya sekitar 35-40%
industri pangan berskala menengah yang mempunyai kesadaran, tanggung
jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang aman ditinjau
dari aspek penerapan GMP, sanitasi dan higiene serta SOP.
12

Penyebab masalah keamanan pangan di Indonesia antara lain karena masih


kurangnya pengawas makanan (food inspector), adanya technical barrier terhadap
berbagai kemampuan deteksi kimiawi atau mikrobiologis di daerah (masalah
sumber daya manusia, equipment dan dana), standar mutu, isu lingkungan, dan
data-base tentang pangan (Bintoro, 2009).

2.2.4 Kelembagaan dan Regulasi Keamanan Pangan


Keamanan pangan merupakan prasyarat bagi suatu produk pangan, yang
harus ditangani secara terpadu, melibatkan berbagai stake holder baik dari
pemerintah, industri, dan konsumen. Pengembangan sistem mutu dan keamanan
pangan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, industri yang
meliputi produsen bahan baku, industri pangan dan distributor, serta konsumen
(WHO, 1999). Pengawasan pangan merupakan kegiatan pengaturan wajib baik
oleh pemerintah pusat maupun daerah untuk memberi perlindungan kepada
konsumen dan menjamin bahwa semua produk pangan sejak produksi,
penanganan, penyimpanan, pengolahan, dan distribusi adalah aman, layak dan
sesuai untuk konsumsi manusia, memenuhi persyaratan keamanan dan mutu
pangan, dan telah diberi label dengan jujur dan tepat sesuai hukum yang berlaku
(FAO, 2003). Menurut Bintoro (2009) stakeholder bidang pangan antara lain
pemerintah, produsen (on-farm mapun off-farm), konsumen, peneliti, distributor,
dan fihak lain. Keterlibatan stake holder tersebut sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan.
Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 pasal 3 menegaskan pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan pangan bertujuan untuk: 1) tersedianya pangan yang
memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi bagi kepentingan kesehatan
manusia, 2) terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggungjawab,
dan 3) terwujudnya tingkat kecukupan pangan dengan harga yang wajar dan
terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Indonesia menganut multiple agency system (sistem berbagai lembaga)
dalam pengorganisasian pengawasan mutu pangan. Peraturan Pemerintah No 28
tahun 2004 mengatur tanggung jawab badan usaha yang memproduksi pangan
olahan untuk diedarkan dan atau orang perseorangan dalam badan usaha yang
diberi tanggung jawab terhadap jalannya usaha tersebut atas keamanan pangan
13

yang diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan


tersebut dalam Pasal 41 ayat (1). Tanggung jawab industri pangan diatur dalam
pasal 41, 42 dan 43. BPOM merupakan lembaga yang bertanggung jawab
terhadap pengawasan pangan bersama-sama dengan tiga kementrian, yakni
Kementrian Kesehatan, Kementrian Pertanian, dan Kementrian Perikanan dan
Kelautan. Kementerian Perindustrian juga menangani pengawasan keamanan
pangan khusus dalam hubungannya dengan industri dan perdagangan pangan.
Tanggung jawab masing-masing instansi telah ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah RI Nomor 28 Tahun 2004 pasal 22.
Penanggulangan masalah keamanan pangan harus didukung adanya regulasi
yang komprehensif, tegas dan mencakup berbagai pihak yang terlibat. Pemerintah
Indonesia telah mengeluarkan berbagai macam aturan agar setiap industri
pangan mampu dan sanggup menghasilkan pangan yang memenuhi persyaratan
keamanan, mutu dan gizi pangan bagi kepentingan kesehatan manusia serta
tercipta perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab. Beberapa
peraturan itu antara lain : Undang-undang No.7 tahun 1996 tentang Pangan;
Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; Peraturan
Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan; Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan;
PerMenKes No. 23/MenKes/SK/I/1978 tentang pedoman cara produksi
pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP); PerMenKes
No. 722/MenKes/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan (BTP) dan
penggunaannya; Permenkes RI No. 329/Menkes/Per/VII/76 tentang Produksi dan
Peredaran Makanan; Permenkes RI No.382/Menkes/Per/VI/1989 tentang
pendaftaran makanan; Kepmenkes RI No.02912/B/SK/IX/1986 tentang
penyuluhan bagi perusahaan makanan industri rumah tangga; Keputusan Kepala
Badan POM Nomor : HK. 00.05.5.1640 Tata cara penyelenggaraan SP-PIRT;
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. Nomor
HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 tentang Cara Produksi Pangan yang Baik
untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT).
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Republik
Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang label dan iklan pangan dengan tujuan

14

dan pertimbangan supaya : (1) Setiap industri pangan memberi informasi


mengenai pangan yang disampaikan kepada masyarakat adalah benar tidak
menyesatkan, (2) Konsumen/masyarakat berhak menuntut dan mengetahui
bagaimana produk pangan dihasilkan mulai dari hulu sampai di hilirnya
baik menyangkut aspek gizi, mutu dan keamanan pangan maupun
lingkungannya. Sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen pada pasal 4 ayat a dan b disebutkan bahwa konsumen mempunyai
hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
serta jaminan yang dijanjikan. Hal tersebut berimplikasi konsumen pangan di
Indonesia berhak mendapat jaminan mutu dan keamanan pangan dari setiap
produsen/industry pangan yang memperdagangkan produk pangannya di
Indonesia, tidak terkecuali bagi industri pangan skala menengah maupun skala
kecil tanpa kecuali diharuskan memenuhi kaidah/aturan dan persyaratan yang
ditetapkan oleh pemerintah dari aspek penyediaan fasilitas produksi, proses
produksi/pengolahan, pengemasan produk, distribusi dan perdagangannya guna
menjamin mutu dan keamanan produk pangannya. Makanan berlabel diawasi dan
dikendalikan BPOM, sedang makanan tidak berlabel oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Ijin produksi, pengawasan proses produksi, dan hasil produksi
yang sepenuhnya wewenang BPOM adalah untuk industri obat, kosmetika, obat
tradisional, narkotika, alat kesehatan, minuman keras.
Melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 23/Menkes/SK/I/1978 telah
diatur Cara Produksi Makanan yang Baik (CPMB) atau yang dikenal GMP,
sedang Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-
IRT) diatur melalui Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No.
Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012.

2.3 Cara Produksi Pangan Yang Baik/ Good Manufacturing Practices


Menurut Fardiaz (1992) Good Manufacturing Practices (GMP) atau Cara
Pengolahan Makanan yang Baik (CPMB) merupakan suatu pedoman cara
produksi makanan yang memiliki tujuan untuk menghasilkan produk makanan
yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen. GMP
sebagai persyaratan sanitasi dan proses minimum yang harus diaplikasikan oleh
industri pangan.
15

Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik menurut Peraturan


Pemerintah No. 28 tahun 2004 dalam Pasal 3 huruf c adalah cara produksi yang
memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara :
a. mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran biologis, kimia dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan;
b. mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen,serta mengurangi
jumlah jasad renik lainnya; dan
c. mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan
tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan.
GMP untuk pengolahan pangan di AS tercantum di dalam Seksi 21 dari
Kode Peraturan Federal, bagian 110 (21 CFR 110) yang secara umum
menggambarkan kebutuhan pengaturan untuk personel dan manajemen (personel
dan manajemen yang terlatih baik), bangunan dan fasilitas yang dirancang dengan
baik, terpelihara dan bersih, Standard operating procedures (SOPs) tertulis, serta
adanya unit mutu yang independent (seperti unit kendali dan/atau jaminan mutu).
Codex Allimentarius Commission telah menerbitkan persyaratan acuan
The Codex General Principles of Food Hygiene yang mengidentifikasi prinsip-
prinsp food higien yang dapat diterapkan di seluruh rantai pangan (termasuk
produksi primer hingga konsumsen akhir), untuk mencapai tujuan dalam
menjamin pangan yang aman dan layak untuk dikonsumsi (CAC, 2003) .
Pengendalian dalam The Codex General Priciples of Food Hygiene ini diakui oleh
internasional sebagai cara penting untuk menjamin keamanan dan kelayakan
pangan yang dikonsumsi manusia.
Acuan yang digunakan oleh industri dibidang pangan di Indonesia adalah
Pedoman Penerapan Cara Produksi Makanan Yang Baik (CPMB) yang dibuat
oleh Direktorat Pengawasan Makanan dan Minuman, Direktorat Jendral
Pengawasan Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan (1996) yang sekarang
berubah menjadi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pada dasarnya,
program persyaratan kelayakan dasar terdiri dari dua bagian, yaitu cara
produksi pangan yang baik (CPPB) atau good manufacturing practice (GMP)
dan standard prosedur oprasional sanitasi atau sanitation standard
operating procedure (SSOP). GMP ini disusun berdasarkan pedoman umum

16

higiene pangan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai


produksi pangan. SSOP juga merupakan salah satu unsur / komponen program
persyaratan kelayakan dasar yang penting untuk mengimplementasikan dan
menjaga sistem HACCP berjalan dengan baik dan sukses; bahkan SSOP yang
sudah tertulis dan terdokumentasi dengan baik telah direkomendasikan untuk
diimplementasikan secara wajib dalam industri pangan.
Tujuan penerapan GMP adalah menghasilkan produk akhir pangan yang
bermutu, aman dikonsumsi, dan sesuai dengan selera atau tuntutan konsumen,
baik konsumen domestik maupun internasional. Sedang tujuan khusus penerapan
GMP adalah: (1) Memberikan prinsip-prinsip dasar yang penting dalam produksi
pangan yang dapat diterapkan sepanjang rantai pangan mulai dari produksi primer
sampai konsumen akhir, untuk menjamin bahwa pangan yang diproduksi aman
dan layak untuk dikonsumsi; (2) Mengarahkan industri agar dapat memenuhi
berbagai persyaratan produksi, seperti persyaratan lokasi, bangunan dan fasilitas,
peralatan produksi, bahan, proses, mutu produk akhir, serta persyaratan
penyimpanan dan distribusi; dan (3) Mengarahkan pendekatan dan penerapan
sistem HACCP sebagai suatu cara untuk meningkatkan keamanan pangan (Ditjen
POM, 1996).
Pedoman penerapan GMP ini berguna bagi pemerintah sebagai dasar
untuk mendorong dan menganjurkan industri pangan untuk menerapkan cara
produksi pangan yang baik dalam rangka : (1) Melindungi konsumen dari
penyakit atau kerugian yang diakibatkan oleh pangan yang tidak memenuhi
persyaratan, (2) Memberikan jaminan kepada konsumen bahwa pangan yang
dikonsumsi merupakan pangan yang layak, (3) Mempertahankan atau
meningkatkan kepercayaan terhadap pangan yang diperdagangkan secara
internasional, dan (4) Memberikan bahan acuan dalam program pendidikan
kesehatan di bidang pangan kepada industri dan konsumen. Sedang bagi industri
pangan sebagai acuan dalam menerapkan praktek cara produksi pangan yang baik
dalam rangka : (1) Memproduksi dan menyediakan pangan yang aman dan layak
bagi konsumen; (2) Memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti
kepada masyarakat, misalnya dengan pelabelan dan pemberian petunjuk
mengenai cara penyimpanan dan penyediaannya, sehingga masyarakat dapat
17

melindungi pangan terhadap kemungkinan terjadinya kontaminasi dan kerusakan


pangan, yaitu dengan cara penyimpanan, penanganan dan penyiapan yang baik;
dan (3) Mempertahankan atau meningkatkan kepercayaan dunia internasional
terhadap pangan yang diproduksinya (Ditjen POM, 1996).
Menurut Codex Alimentarius Commission atau CAC (2003) General
Principles of Food Hygiene mencakup : desain bangunan, fasilitas dan peralatan
produksi; pengendalian proses produksi (pengendalian bahaya, sistem
pengendalian higiene, persyaratan bahan mentah, pengemasan, pengolahan
air, manajemen dan supervisi, dokumentasi dan rekaman, prosedur penarikan
produk); pemeliharaan dan sanitasi (pemeliharaan dan pembersihan, program
pembersihan, sistem pengendalian hama dan penyakit menular, pengelolaan dan
pengolahan limbah dan keefektifan pemantauan); higiene/kebersihan personil/
karyawan (status kesehatan karyawan, kebersihan personil, tingkah laku personil,
prosedur penerimaan tamu/pengunjung); transportasi (persyaratan, penggunaan
dan pemeliharaannya); informasi produk dan kesadaran (identifikasi lot,
informasi produk, labelling); pendidikan konsumen; serta pelatihan.
Cakupan secara umum dari penerapan pedoman cara produksi pangan yang
baik untuk industri rumah tangga (CPPB-IRT) berdasarkan Surat Keputusan
Kepala Badan POM RI Nomor : HK. 00.05.5.1639 tahun 2003 yang diperbaharui
dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.03.1.23.04.12.2206 Tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1. Lokasi dan lingkungan produksi. Untuk menetapkan lokasi industri perlu
dipertimbangkan keadaan dan kondisi lingkungan yang mungkin dapat
merupakan sumber pencemaran potensial dan telah mempertimbangkan
berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan untuk
melindungi pangan yang diproduksinya.
2. Bangunan dan fasilitas. Bangunan dan fasilitas industri dapat menjamin
bahwa pangan selama dalam proses produksi tidak tercemar oleh bahaya
fisik, biologis dan kimia serta mudah dibersihkan dan disanitasi.
3. Peralatan produksi. Tata letak kelengkapan ruang produksi diatur agar tidak
terjadi kontaminasi silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan
pangan seharusnya didesain, dikonstruksi dan diletakkan sedemikian untuk
18

menjamin mutu dan keamanan pangan yang dihasilkan.


4. Suplai air atau sarana penyediaan air. Air yang digunakan selama proses
produksi harus cukup dan memenuhi persyaratan kualitas air bersih dan atau
air minum.
5. Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi. Fasilitas dan kegiatan higiene dan
sanitasi diperlukan untuk menjamin agar bangunan dan peralatan selalu dalam
keadaan bersih dan mencegah terjadinya kontaminasi silang dari karyawan.
6. Kesehatan dan higiene karyawan. Kesehatan dan higiene karyawan yang baik
dapat menjamin bahwa pekerja yang kontak langsung maupun tidak langsung
dengan pangan tidak menjadi sumber pencemaran.
7. Pemeliharaan dan program hygiene sanitasi karyawan. Pemeliharaan dan
program sanitasi terhadap fasilitas produksi (bangunan, mesin/ peralatan,
pengendalian hama, penanganan limbah dan lainnya) dilakukan secara
berkala untuk menjamin terhindarnya kontaminasi silang terhadap pangan
yang diolah.
8. Penyimpanan. Penyimpanan bahan yang digunakan dalam proses produksi
(bahan baku, bahan penolong, BTP) dan produk akhir dilakukan dengan baik
sehingga tidak mengakibatkan penurunan mutu dan keamanan pangan.
9. Pengendalian proses. Untuk menghasilkan produk yang bermutu dan aman,
proses produksi harus dikendalikan dengan benar. Pengendalian proses
produksi pangan industri rumah tangga dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut : (1) Penetapan spesifikasi bahan baku; (2) Penetapan komposisi dan
formulasi bahan; (3) Penetapan cara produksi yang baku; (4) Penetapan jenis,
ukuran, dan spesifikasi kemasan; (5) Penetapan keterangan lengkap tentang
produk yang akan dihasilkan termasuk nama produk, tanggal produksi,
tanggal kadaluarsa.
10. Pelabelan pangan. Label pangan harus jelas dan informatif agar memudahkan
konsumen memilih, menyimpan, mengolah dan mengkonsumsi pangan. Kode
produksi pangan diperlukan untuk penarikan produk, jika diperlukan.
11. Pengawasan oleh penangungjawab pangan. Seorang penanggung jawab
diperlukan untuk mengawasi seluruh tahap proses produksi serta

19

pengendaliannya untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang


bermutu dan aman.
12. Penarikan produk. Penarikan produk pangan adalah tindakan menghentikan
peredaran pangan karena diduga sebagai penyebab timbulnya penyakit atau
keracunan pangan. Tujuannya adalah mencegah timbulnya korban yang lebih
banyak karena mengkonsumsi pangan yang membahayakan kesehatan.
13. Pencatatan dan dokumentasi. Pencatatan dan dokumentasiyang baik
diperlukan untuk memudahkan penelusuran masalah yang berkaitan dengan
proses produksi.
14. Pelatihan karyawan. Pimpinan dan karyawan harus mempunyai pengetahuan
dasar mengenai prinsipprinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta
proses pengolahan pangan yang ditanganinya agar dapat memproduksi
pangan yang bermutu dan aman.
Salah satu cara pemerintah menjamin agar industri pangan kecil dan
menengah memenuhi cara produksi pangan yang baik adalah melalui penerbitan
sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Sertifikat Produksi Pangan
Industri Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat SP-PIRT.
Pangan olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib memiliki
sertifikat produksi pangan industri rumah tangga diterbitkan oleh Bupati/Walikota
didasarkan atas dipenuhinya persyaratan cara produksi yang baik (good
manufacturing practices) untuk industri rumah tangga yang meliputi antara lain
persyaratan sanitasi, penggunaan bahan tambahan pangan dan label.

2.4 Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SP-PIRT)


Dalam rangka produksi dan peredaran pangan oleh IRTP, Pasal 43
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi
Pangan mengamanatkan bahwa pangan olahan yang diproduksi oleh industri
rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga
(SP-PIRT) yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota dan Kepala Badan POM
menetapkan pedoman pemberian SP-PIRT.
Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengamanatkan bahwa
20

pengawasan dan registrasi makanan minuman produksi rumah tangga merupakan


urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. SP-PIRT adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh
Bupati/Walikota terhadap pangan produksi IRTP di wilayah kerjanya yang telah
memenuhi persyaratan pemberian SP-PIRT dalam rangka peredaran Pangan
Produksi IRTP. Nomor P-IRT adalah nomor pangan IRT yang menjadi bagian
tidak terpisahkan dari SP-PIRT dan wajib dicantumkan pada label pangan IRT
yang telah memenuhi persyaratan pemberian SP-PIRT. SP-PIRT berlaku 5 (lima)
tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
Tata cara pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga (SP-
PIRT) diatur melalui Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205
tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah
tangga. Tata cara memperoleh SP-PIRT yaitu dengan mengajukan berkas
permohonan secara tertulis kepada Bupati/Walikota c.q. Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota disertai kelengkapannya. Pemilik atau penanggung jawab IRTP
diharuskan mengikuti penyuluhan keamanan pangan yang diselenggarakan oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sertifikat diberikan kepada pemilik/
penanggung jawab yang telah lulus mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan
dengan hasil evaluasi minimal nilai cukup (60).
Pemeriksaan sarana dilakukan setelah pemilik atau penangungjawab telah
memiliki sertifikat penyuluhan keamanan pangan. Pemeriksaan sarana produksi
pangan IRT dilakukan oleh tenaga pengawas Pangan (District Food Inspector)
Kabupaten/Kota. Pemeriksaan sarana produksi IRTP sesuai dengan Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia tentang Tata
Cara Pemeriksaan Sarana Produksi Pangan Industri Rumah Tangga. Jika hasil
pemeriksaan sarana produksi berdasarkan tatacara penyelenggaraan SP-PIRT
menunjukkan hasil IRTP masuk level I II maka diberikan SP-PIRT . SPP-IRT
dicabut apabila terjadi salah satu dari hal-hal berikut: 1) Pemilik dan atau
penanggung jawab perusahaan melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang
berlaku; 2) Pangan terbukti sebagai penyebab KLB keracunan pangan; 3) Pangan
mengandung Bahan Berbahaya; 4) Sarana terbukti tidak sesuai dengan kriteria
IRTP.

21

2.5 Industri Roti


Berdasarkan Surat Keputusan BPOM Nomor HK.00.05.52.4040 tahun
2006 tentang kategori pangan, produk bakeri termasuk dan produk roti tawar dan
produk roti istimewa yang manis, asin maupun gurih. Produk bakeri antara lain
roti, cake, donat, biskuit, roll, kraker, dan pie. Secara garis besar produk bakeri
bisa dikelompokkan menjadi kelompok roti dan kelompok biskuit.
Roti adalah produk makanan yang terbuat dari tepung terigu yang
difermentasikan dengan ragi roti ( Saccharomyces cerevisiae ), air dan atau tanpa
penambahan bahan makanan lain dan dipanggang. Kedalam adonan dapat
ditambahkan gula, garam, susu atau susu bubuk, lemak, pengemulsi dan bahan-
bahan pelezat seperti cokelat, keju, kismis dan lain-lain. Produk roti mempunyai
struktur berongga-ronga dan produk akhirnya bersifat plastis, elastis karena kadar
air tinggi. Produk biskuit terdiri dari berbagai bentuk dan mempunyai struktur
lebih padat dengan tektur mulai dari rapuh atau renyah sampai relatif keras, serta
kadar airnya rendah sehingga lebih awet. Selain kedua kelompok bakeri tersebut
ada jenis lain yaitu cake, yang merupakan produk hasil pemanggangan yang
dikembangkan dengan pengembang kimia. Sel-sel udara yang terbentuk
dihasilkan dengan cara pengocokan (terutama putih telur) yang menyebabkan
udara terperangkap dalam adonan, serta adanya pembentukan gas dari bahan
pengembang dan terbentuk uap air pada waktu pemanggangan (Wibowo, 2009).
Prinsip pembuatan roti adalah mencampurkan tepung terigu dan bahan
penyusun lainnya mejadi adonan, kemudian difermentasikan lalu dipanggang.
Proses produksi meliputi tahap penimbangan, pencampuran dan pengadukan,
fermentasi awal, penimbangan bahan, pembulatan (rounding), fermentasi kedua
(intermediate proofing), penipisan (sheeting), pembentukan (moulding),
peloyangan (panning), pemolesan, fermentasi akhir (final proofing),
pemanggangan (baking), pembongkaran dari loyang ( depanning), pendinginan
(cooling) dan pengemasan (Tarigan, 2010).
Berdasarkan formulasi adonan roti dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu
adonan roti manis, roti tawar dan adonan soft rolls. Adonan roti manis adalah
adonan yang dibuat dari formulasi yang banyak menggunakan gula, lemak dan
telur. Adonan roti tawar adalah adonan roti yang mengunakan sedikit/tanpa gula,

22

susu skim dan lemak. Adonan soft roll adalah adonan roti yang dibuat dari
formula yang menggunakan gula dan lemak relatif lebih banyak dari adonan roti
tawar. Kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan
bahan baku dan proses pembuatannya.
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan roti dapat digolongkan bahan
utama dan bahan pembantu. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan roti
adalah tepung terigu, air, ragi roti dan garam. Bahan pembantu adalah bahan-
bahan yang menyertai bagian utama dalam pembuatan roti untuk mendapatkan
aroma, rasa dan tekstur yang diinginkan. Bahan pembantu ini terdiri
darishortening, bread improver, susu skim, telur, gula, bahan pengisi serta
flavoring. Pemberian antioksidan (asam askorbat, bromat ), dan anti kapang
seperti kalium propionat dan kalsium pospat ditambahkan untuk memperpanjang
keawetan roti (Wibowo, 2009).
Syarat mutu produk roti juga mengacu ke Peraturan Kepala Badan POM RI
No. Hk.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba
dan kimia dalam makanan seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Ambang batas cemaran mikroba pada produk roti

Karakteristik Syarat Mutu


1 Roti dan produk roti ALT (30oC, 72 jam) 1 x 104 koloni/g
tawar APM Escherichia coli 10/g
dan premiks Salmonella sp. negatif/25 g
(termasuk tepung Bacillus cereus 1x102 koloni/g
panir) Kapang dan khamir 1 x 104 koloni/g

2 Produk roti istimewa ALT (30oC, 72 jam) 1 x 104 koloni/g


(manis, APM Koliform 20/g
asin, gurih) APM Escherichia coli <3 /g
Salmonella sp. negatif/25 g
Staphylococcus aureus 1 x102 koloni/g
Bacillus cereus 1x102 koloni/g
Kapang dan khamir 2 x 104 koloni/g

Ambang batas maksimum cemaran logam berat pada produki roti untuk
cemaran arsen adalah 0,5 ppm atau mg/kg; cadmium yaitu 0,2 ppm atau mg/kg ;
merkuri (Hg) yaitu 0,05 ppm atau mg/kg ; timah (Sn) adalah 40 ppm atau mg/kg ;
timbal (Pb) adalah 0,5 ppm atau mg/kg .

23

2.6 Manajemen Strategis


Menurut David (2006), manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai
seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi
keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai
tujuannya. Proses manajemen strategis terdiri dari tiga tahap, yaitu formulasi
strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi.
1) Formulasi Strategi. Hal-hal yang termasuk dalam formulasi strategi antara lain
mengembangkan visi dan misi, mengidentifikasi peluang dan ancaman
eksternal perusahaan, menentukan kekuatan dan kelemahan internal,
menetapkan tujuan jangka panjang, merumuskan alternatif strategi dan
memilih strategi tertentu yang akan dilaksanakan
2) Implementasi Strategi. Implementasi strategi sering disebut sebagai tahap
pelaksanaan dalam manajemen strategis. Implementasi strategi membutuhkan
disiplin pribadi, komitmen, dan pengorbanan. Implementasi strategi
mensyaratkan perusahaan untuk menetapkan tujuan tahunan, membuat
kebijakan, memotivasi karyawan, dan mengalokasikan sumber daya sehingga
strategi yang telah diformulasikan dapat dijalankan. Implementasi strategi
termasuk mengembangkan budaya yang mendukung strategi, menciptakan
struktur organisasi yang efektif dan memberdayakan sistem informasi, serta
menghubungkan kinerja karyawan dengan kinerja organisasi.
3) Evaluasi Strategi. Evaluasi strategi merupakan tahap final dalam manajemen
strategis. Tiga aktivitas dasar evaluasi strategi adalah meninjau ulang faktor
eksternal dan internal yang menjadi dasar strategi saat ini, mengukur kinerja,
dan mengambil tindakan korektif. Salah satu cara yang digunakan untuk
mempelajari dan mengaplikasikan proses manajemen strategis adalah dengan
sebuah model, dimana setiap model mempresentasikan semacam proses. Model
manajemen strategis menurut David (2006) seperti pada Gambar 2.
Menurut Rangkuti (1999) proses analisis, perumusan dan evaluasi
strategi disebut sebagai perencanaan strategis. Tujuan utama perencanaan
strategis adalah agar organisasi atau perusahaan dapat mengantisipasi perubahan
lingkungan eksternal.

24

Wahyudi (1996) menyatakan bahwa strategi adalah suatu alat untuk


mencapai tujuan perusahaan. Strategi memiliki sifat antara lain : menyatu
(unified), yaitu menyatukan seluruh bagian-bagian dalam perusahaan; menyeluruh
(comprehensive), yaitu mencakup seluruh aspek dalam perusahaan; integral
(integrated), yaitu seluruh strategi akan cocok/sesuai dari seluruh tingkatan
(corporate, business dan functional).

Melakukan
audit Implementasi
eksternal Strategi Isu-
isu Pemasaran,
Keuangan, Mengukur
Membuat Menetapkan Merumuskan Implementasi Akuntasi, dan
Pernyataan Tujuan Mengevaluasi Strategi Penelitian & Mengevalu
Visi & Misi Jangka dan Memilih Isu-isu Pengembangan asi Kinerja
Panjang Strategi Manajemen Sistem
Informasi
Melakukan Manajemen
audit
internal

Formulasi Strategi Implementasi Strategi Evaluasi


S

Gambar 2 Model komprehensif manajemen strategis (David, 2006).

Pokok perumusan strategi bersaing adalah menghubungkan perusahaan


dengan lingkungannya. Walaupun lingkungan yang relevan sangat luas, meliputi
kekuatan-kekuatan sosial sebagaimana juga kekuatan-kekuatan ekonomi, aspek
utama dari lingkungan perusahaan adalah industri dimana perusahaan tersebut
bersaing (Porter, 1995). Perumusan strategi sangat diperlukan oleh perusahaan
untuk mencapai tujuan sehingga membentuk industri yang berdaya saing. Agar
strategi yang dijalankan tepat, maka perusahaan harus mengetahui faktor internal
dan eksternalnya sehingga kombinasi strategi yang digunakan tepat dengan posisi
perusahaan saat ini (Marimin, 2004). Hal terpenting dalam perumusan strategi
yang baik adalah bahwa strategi yang dibuat harus berpijak pada situasi riil di

25

lingkungan eksternal dan internal perusahaaan Untuk melakukan hal ini dapat
digunakan alat bantu berupa matriks SWOT.
Analisis lingkungan merupakan suatu proses yang digunakan perencana
strategis untuk memonitor sektor lingkungan dalam menentukan peluang-peluang
ataupun ancaman-ancaman terhadap perusahaan (Jauch dan Glueck, 1995).
Lingkungan perusahaan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan eksternal dan
lingkungan internal.
2.6.1 Analisis Lingkungan Internal
Analisis lingkungan internal merupakan tahap pengkajian faktor-faktor yang
menjadi kekuatan dan kelemahan dalam suatu perusahaan. Kekuatan merupakan
suatu kelebihan khusus yang memberikan keunggulan komparatif di dalam suatu
industri yang berasal dari organisasi. Sedangkan kelemahan merupakan
keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumber daya, keahlian dan kemampuan
yang secara nyata menghambat aktivitas keragaan organisasi.
Menurut David (2006), terdapat beberapa faktor yang diidentifikasi dalam
lingkungan internal perusahaan, yaitu :
1) Manajemen. Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan proses
penggunaan semua sumberdaya organisasi untuk tercapainya tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Ada lima fungsi manajemen, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pemberian motivasi, pengelolaan staf, dan pengendalian.
2) Pemasaran. Pemasaran dapat dideskripsikan sebagai proses mendefinisikan,
mengantisipasi, menciptakan, serta memenuhi kebutuhan dan keinginan
pelanggan atas barang dan jasa. Menurut Kotler (1999), terdapat empat macam
bauran pemasaran, yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi.
3) Keuangan / Akuntansi. Dana dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Oleh
karena itu, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam aspek
keuangan/akuntansi, adalah kemampuan perusahaan memupuk modal jangka
pendek dan jangka panjang, beban yang harus ditanggung perusahaan sebagai
upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik dengan penanam modal
dan pemegang saham, pengelolaan keuangan, struktur modal kerja, harga jual

26

produk, pemantauan penyebab inefisiensi, dan sistem akunting yang andal


(Umar, 2008).
4) Produksi/Operasi. Fungsi produksi/operasi dari suatu bisnis terdiri atas semua
aktivitas yang mengubah input menjadi barang dan jasa. Menurut
David (2006), manajemen produksi/operasi terdiri atas lima area keputusan
atau fungsi yaitu proses, kapasitas, persediaan, tenaga kerja, dan kualitas.
5) Sumber Daya Manusia. Manusia merupakan sumber daya terpenting bagi
perusahaan. Oleh karenaitu, manajer perlu berupaya agar terwujud perilaku
positif di kalangan karyawan perusahaan. Beberapa faktor yang perlu
diperhatikan pada aspek sumber daya manusia, antara lain langkah yang jelas
mengenai manajemen SDM, keterampilan dan motivasi kerja, produktivitas,
dan sistem imbalan (Umar, 2008).
6) Penelitian dan Pengembangan. Perusahaan yang menjalankan strategi
pengembangan produk khususnya harus memiliki orientasi litbang yang kuat.
Pengeluaran litbang ditujukan pada pengembangan produk baru sebelum
pesaing melakukannnya untuk memperbaiki kualitas produk atau untuk
memperbaiki proses produksi untuk menurunkan biaya.
2.6.2 Analisis Lingkungan Eksternal
Analisis lingkungan eksternal diperlukan untuk mengetahui faktor-faktor
yang dapat memberikan peluang dan ancaman bagi perusahaan. Pada umumnya
lingkungan eksternal berada di luar kontrol perusahaan. Menurut Pearce dan
Robinson (1997), lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan jauh dan
lingkungan industri. Lingkungan jauh terdiri dari faktor-faktor yang bersumber
dari luar dan biasanya tidak berhubungan dengan situasi operasional suatu
perusahaan tertentu, yaitu :
a) Faktor Ekonomi. Dalam perencanaan strategiknya, setiap perusahaan harus
mempertimbangkan kecenderungan ekonomi di segmen-segmen yang
mempengaruhi industri yang bersangkutan tersebut, misalnya pola konsumsi,
ketersediaan kredit secara umum, tingkat penghasilan yang siap dibelanjakan
(disposable income), kecenderungan belanja masyarakat (propensity to spend),
suku bunga primer, laju inflasi, dan kecenderungan pertumbuhan PNB (Pearce
dan Robinson, 1997).

27

b) Faktor Sosial. Faktor sosial yang mempengaruhi suatu perusahaan meliputi


kepercayaan, nilai, sikap, opini, dan gaya hidup dari orang-orang di lingkungan
ekstern perusahaan. Faktor sosial ini biasanya dikembangkan dari kondisi
kultural, ekologi, demografi, agama, pendidikan, dan kondisi etnik.
c) Faktor Politik. Arah dan stabilitas faktor-faktor politik merupakan
pertimbangan penting bagi para manajer dalam merumuskan strategi
perusahaan. Faktor-faktor politik menentukan parameter legal dan regulasi
yang membatasi operasi perusahaan.
d) Faktor Teknologi. Untuk menghindari keusangan dan mendorong inovasi,
perusahaan harus mewaspadai perubahan teknologi yang mungkin
mempengaruhi industrinya. Adaptasi teknologi yang kreatif dapat membuka
kemungkinan terciptanya produk baru, penyempurnaan produk yang sudah ada,
atau penyempurnaan dalam teknik produksi dan pemasaran (Pearce dan
Robinson, 1997).
Lingkungan industri dapat berupa persaingan antar perusahaan sejenis,
kemungkinan masuknya pesaing baru, potensi pengembangan produk substitusi,
kekuatan tawar-menawar penjual/pemasok, dan kekuatan tawar-menawar
pembeli/konsumen (Porter, 1997).

2.7 Metode Analisis SWOT


Analisa SWOT merupakan salah satu alat analisis kualitatif yang digunakan
untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman dalam melakukan suatu kegiatan
dengan mengacu pada kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh
perusahaan (Pearce dan Robinson, 1997). Analisis SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis
ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan
peluang (Oportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(Weakness) dan ancaman (Threats).
Analisis SWOT adalah alat perencanaan strategis terdiri dari dua
bagian (FAO, 2006) :
1. Analisis kekuatan dan kelemahan internal: setiap asset atau kekurangan
internal (seperti ketrampilan staf, peralatan, keuangan, prosedur,

28

koordinasi, dan lainnya) yang memungkinkan atau mencegah pemerintah


untuk melaksanakan tugasnya atau tujuan.
2. Analisis lingkungan eksternal (peluang dan ancaman): setiap keadaan
eksternal atau kecenderungan (seperti kerjasama internasional, peningkatan
kesadaran konsumen terhadap keamanan pangan, perdagangan global) yang
bisa positif atau negatif mempengaruhi peran dan tugas pemerintah.
Menurut Marimin (2004), tahapan analisa SWOT adalah :
1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal. Tahapan
ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman bagi perusahaan yang dilakukan dengan
wawancara terhadap ahli dari perusahaan yang bersangkutan ataupun analisis
secara kuantitatif misalkan neraca, laba rugi dan lain-lain.
2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal (matriks IE) dan
matriks SWOT. Matriks IE merupakan hasil dari penggabungan matriks IFE
dan matriks EFE. Matriks IFE dan EFE akan memberikan gambaran tentang
posisi perusahaan. Matriks SWOT dipakai untuk menyusun faktor-faktor
strategis perusahaan. Matriks ini dapat memberikan gambaran secara
jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan
dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki perusahaan.
3. Tahap pengambilan keputusan. Tahap pengambilan keputusan dalam matriks
SWOT merujuk pada matriks internal eksternal yang menghasilkan posisi
perusahaaan. Strategi yang dirumuskan merujuk pada kuadran dari
perusahaan yang bersangkutan sehingga dapat diketahui kombinasi strategi
yang paling tepat.
Matriks evaluasi faktor internal (Internal Factor Evaluation/IFE)
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting. Sedangkan matriks evaluasi
faktor eksternal (EFE) digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal
perusahaan. Matriks IFE dan EFE merupakan salah satu teknik perumusan
strategi yang penting dan merupakan langkah pertama dari kerangka kerja
perumusan yang disebut tahap input, yaitu tahap meringkas informasi dasar yang
diperlukan untuk merumuskan strategi. Matriks ini beserta pernyataan misi

29

yang jelas menyediakan informasi dasar yang diperlukan untuk


merumuskan strategi bersaing secara sukses dengan syarat alat ini harus disertai
dengan penilaian intuitif yang baik (David, 2006).

2.8 Metode ISM (Interpretive Structural Modeling )


Kelembagaan adalah suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap
sumberdaya dan sekaligus mengatur hubungannya (Nasution, 2002). Menurut
Hennxsy (2003), kelembagaan berperan pada penggelolaan mutu industri pangan
misalnya aplikasi teknologi alat pengeringan, pemanenan, pengangkutan dan
pengemasan. Menurut Bintoro (2009) stake holder bidang pangan antara lain
pemerintah, produsen (on-farm mapun off-farm), konsumen, peneliti, distributor,
dan fihak lain.
Analisa kelembagaan dilakukan dengan teknik Interpretive Structural
Modeling (ISM). Analisis kelembagaan/pelaku ini bertujuan untuk memetakan
peran dan fungsi masing-masing lembaga dan aktor pelaku dalam kegiatan ini,
yaitu pemerintah, produsen, konsumen, peneliti.
Metodologi dan teknik ISM menghasilkan : 1) struktur hirarki elemen
sistem dan 2) klasifikasi sub-elemen kunci. Informasi dari suatu sistem yang
dikaji distrukturisasi dalam bentuk matriks yang disebut structured self
interaction matrix (SSIM) yang menggambarkan hubungan kontekstual antar sub-
elemen dan elemen-elemen sistem. Selanjutnya SSIM ditransformasi menjadi
reachability matriks (RM), yaitu matriks bilangan biner yang menyatakan
hubungan secara matematis antar elemen di dalam sistem yang dikaji memiliki
sifat transivitas dan reflektivitas. Struktur sistem dalam bentuk hirarki dan
hubungan antar elemen selanjutnya dibangun berdasarkan RM.
Teknik ISM yang dikembangkan oleh Warfield (1973) diarahkan untuk
memperoleh struktur hirarki sub-elemen di dalam elemen-elemen sistem
berdasarkan hubungan kontekstual dalam bentuk simbol V, A, X, O (ISM
VAXO). Hubungan kontekstual antar sub-elemen di dalam ISM VAXO
menunjukan hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Simbol VAXO
antar sub-elemen pada matriks SSIM akan tergantung dari sifat hubungan antar
elemen tersebut sebagai berikut :

30

V: eij = 1 dan e ji = 0
A: eij = 0 dan e ji = 1
X: eij = 1 dan e ji = 1
O: eij = 0 dan e ji = 0
Simbol angka 1 menunjukan adanya hubungan kontekstual dan simbol 0
menunjukan tidak terdapat hubungan kontekstual antar sub elemen. SSIM
selanjutnya ditransformasi menjadi RM yang merupakan matriks bilangan biner.
Saxena (1992) mengembangkan metode klasifikasi sub elemen yang
distrukturisasi berdasarkan tingkat driver power dan dependence, serta
menentukan elemen kunci dari sistem yang dikaji.
Klasifikasi sub-elemen dikasi sub-elemen dibagi dalam empat sektor :
Sektor 1 : Weak driver weak dependent variables (autonomous). Peubah di
sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai
hubungan kecil, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver strongly dependence variables (dependent). Umumnya
peubah di sektor ini adalah peubah tak bebas
Sektor 3 : Strong driver strong dependence variables (linkages). Peubah di
sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil.
Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah
lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver weak dependent variables (independent). Peubah pada
sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
n
DP = e ij
Nilai driver power untuk sub elemen ke-i, untuk setiap i = 1,
i
j=1

2, n, dimana eij adalah entri pada matriks RM. Sedangkan nilai dependence
n
D j = e ij
untuk sub elemen ke-i, j =1
untuk setiap i = 1, 2, n, dimana eij adalah
entri pada matriks RM. Elemen kunci adalah sub elemen yang memiliki driver
power paling tinggi atau maksimum DPi.
Klasifikasi sub elemen ke dalam empat sektor dilakukan atas dasar posisi
sub elemen pada sumbu absis nilai dependence dan sumbu ordinat driver power
dengan aturan sebagai berikut :

31

Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok autonomous jika:


n n

DP
j =1
i D
j =1
j

DP i DP j
2 dan 2 untuk i, j = 1, 2,, n (1)

Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok dependent jika:


n n

DP
j =1
i D
j =1
j

DPi DPj
2 dan 2 untuk i, j = 1, 2,, n (2)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok linkage jika:
n n

DP
j =1
i D
j =1
j

DPi DPj
2 dan 2 untuk i, j = 1, 2,, n (3)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok independent jika:
n n

DP
j =1
i D
j =1
j

DPi DPj
2 dan 2 untuk i, j = 1, 2,, n (4)

2.9 Penelitian Terdahulu


Sarter et al. (2010) melakukan penelitian implementasi HACCP dan Good
Handling Practices di Madagaskar menggunakan analisa SWOT. Hasil analisa
SWOT menunjukkan kekuatan yang teridentifikasi meliputi penerapan kebijakan
pemerintah, pengetahuan ilmiah resiko pangan, legislasi dan enforcement regulasi
pemerintah, kekuatan dari lembaga masyarakat. Kelemahan yang teridentifikasi
meliputi tidak ada strategi untuk penerapan HACCP dan GHPs, tidak ada fasilitas
bagi industri untuk melaksanakan HACCP dan GHPs, sistem manajemen yang
dibangun tidak berdasarkan analisa resiko, tidak didukung penelitian analisis
resiko, kurangnya kapabilitas laboratorium uji pangan, kurangnya standar dan
pedoman bagi operator pangan, lemahnya penegakan regulasi, kurang jelasnya
dan duplikasi wewenang dan tanggung jawab lembaga pemerintah terkait.
Peluang yang teridentifikasi meliput bantuan keuangan dan teknis dari lembaga
internasional, ketersediaan laboratorium dan lembaga sertifikasi terakreditasi,
pengalaman komunikasi yang sukses untuk masalah kesehatan masyarakat
32

(vaksin). Ancaman meliputi permintaan pemerintah asing dalam kualitas dan


keamanan makanan yang diproduksi dalam negeri , terbatas tingkat pendidikan
stakeholder dan konsumen , sangat terbatas pengetahuan tentang kebersihan
makanan di antara operator dan konsumen makanan , daya beli konsumen tidak
mendorong operator untuk berinvestasi ke dalam kualitas yang lebih mahal
(kebersihan, HACCP rencana, jaminan kualitas).
Ada empat faktor utama yang disimpulkan menjadi penghalang dalam
penerapan HACCP pada UKM yaitu 1) adanya persepsi bahwa HACCP tidak
cocok untuk perusahaan, 2) skala dan ruang lingkup perubahan yang diperlukan
untuk menerapkan pengendalian keamanan pangan, 3) HACCP bukan menjadi
program prioritas perusahaan, 4) kendala keuangan (Herath et al., 2005).
Hasil penelitian Yapp et al. (2006) menggambarkan hambatan UKM di
United Kingdom dalam mematuhi regulasi keamanan pangan HACCP yaitu: 1)
kurangnya pengetahuan; 2) kurangnya kepercayaan; 3) faktor eksternal seperti
ketidakmampuan menemukan tenaga kerja yang cakap; 4) keuangan dalam hal
investasi dalam struktur bangunan, peralatan dan staf pelatihan; 5) kurangnya
waktu untuk menerapkan sistem yang sesuai; 6) kurangnya kesadaran terhadap
masalah keamanan pangan; 7) kurangnya motivasi dan 8) kurangnya manajemen
yang efektif. Hal serupa juga ditemukan Bass et al. (2007) pada penelitiannya di
Turki, bahwa hambatan utama industri pangan dalam menerapkan HACCP yaitu
kurangnya pengetahuan tentang HACCP dan kurang terpenuhinya program
prasyarat serta kondisi fisik fasilitas yang tidak memadai. Wilcock, et al. (2011)
juga meneliti faktor yang mempengaruhi penerapan HACCP pada SMEs di
Southwestern Ontario yaitu 1) komitmen manajemen puncak sebagai prioritas
pertama, 2) dukungan dari eksternal seperti tingkat kepedulian aparat pemerintah ,
3) keterlibatan karyawan, 4) komunikasi yang efektif, 5) memiliki karyawan
yang tepat. Kepedulian aparat pemerintah dapat dalam bentuk program keamanan
pangan maupun keuangan kepada industri, program pelatihan bagi
manajer/coordinator keamanan pangan, pelatihan bagi pekerja produksi, pedoman
dan manual dari pemerintah / lembaga tehnologi pangan lokal, bantuan konsultasi,
bantuan insentif keuangan.

33

Di Indonesia, hasil penelitian Sudibyo dan Sumarsi (2004) menggambarkan


tingkat kesadaran IKM yang masih rendah terhadap aspek keamanan pangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa presentase industri pangan yang tidak
mengimplementasikan higiene pangan pada perusahaannya mencapai 2-5 kalinya
dibandingkan dengan industri kecil pangan yang mengimplementasikan higiene
pangan (Tabel 3).Industri pangan berskala menengah yang memiliki kesadaran,
tanggung jawab dan komitmen untuk menghasilkan produk pangan yang
aman ditinjau dari aspek penerapan sistem manajemen HACCP secara
komulatif baru mencapai 40%. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan sistem
manajemen HACCP dalam industri pangan berskala menengah-kecil relatif masih
rendah dan terdapat hambatan dalam pengembangan dan penerapannya.

Tabel 3 Persentase penerapan h y g i e n e p a d a i ndustri kecil pangan

Persentase (%) implementasi


No. Aspek Kegiatan higine pada Industri Kecil Pangan
Ya Tidak
1. Pelatihan terhadap karyawan yang 15,5 84,5
menangani pangan
2. Pengendalian bahan baku dan bahan 25,5 74,5
pembantu lain yang dipakai
3. Pengendalian penggunaan bahan tambahan 30,0 70,0
pangan (BTP)
4. Pengendalian kebersihan pribadi karyawan 30,0 70,0
(higiene personil)
5. Pengendalian proses produksi dan 40,0 60,0
peralatan produksi yang digunakan
6. Pengendalian dalam penanganan dan 45,5 55,5
penyimpanan pangan untuk mencegah
kontaminasi
7. Pengendalian alat-alat pembersih (sapu, 40,0 60,0
alat pengepel, cairan deterjen, dan lain-
lain)
8. Pengendalian hama 35,0 65,0
9. Pengendalian catatan/dokumen 20,0 80,0
Sumber : Sudibyo dan Sumarsi (2004)

Untuk merancang strategi beberapa penelitian telah menggunakan metode


analisis SWOT, ISM, AHP. Erlina (2011) menyusun formulasi stategi
pengembangan agroindustri bioetanol di Provinsi Lampung dengan menggunakan
pendekatan analisis MPE, ISM, IFE/EFE SWOT, AHP dan analisis finansial.
Jaya et al. (2011) mengaplikasikan metode Interpretive Stuctural Modeling (ISM)

34

dan pengambilan keputusan kriteria dan pakar majemuk fuzzy (Fuzzy-


MEMCDM) dalam perbaikan sistem kelembagaan dan mutu kopi di Dataran
Tinggi Gayo.
Machfud (2001) antara lain menggunakan metode ISM-VAXO dalam
rekayasa model penunjang keputusan kelompok untuk pengembangan
agroindustri minyak atsiri. Elemen dan sub elemen struktur sistem pengembangan
dikaji melalui identifikasi lingkungan sistem yaitu elemen pendukung sistem,
penghambat sistem, elemen strategi, elemen pelaku dan elemen kebutuhan sistem.
Mirah (2007) menggunakan metode ISWOT dalam penelitian manajemen
stratejik pengembangan agroindustri berbasis unggulan wilayah antara lain
menggunakan elemen pendukung sistem dengan sub elemen yang dikaji dari hasil
identifikasi SWOT yang merupakan paduan dari kekuatan dan peluang; serta
elemen penghambat pengembangan dengan sub elemen yang dirumuskan dari
identifikasi SWOT yang merupakan paduan dari kelemahan dan ancaman.
Sagheer et al. (2009) menggunakan analisis ISM dalam mengidentifikasi
dan menganalisis faktor-faktor kritis / elemen yang mempengaruhi pemenuhan
standar dan tingkat pengaruhnya dalam industri pangan negara berkembang
dengan studi kasus di India. Faktor mekanisme pengawasan yang kuat untuk
pemenuhan standar harus didahului dengan dukungan langkah-langkah seperti
menghubungkan pasar domestik dan internasional, konsolidasi struktur
kelembagaan, penguatan sistem hukum / peraturan, dan lainnya. Jharkharia (2011)
menggunakan ISM untuk menganalisis faktor kristris penyebab kegagalan dalam
menerapkan Enterprise Resource Planning (ERP).
Hasil penelitian dari Siregar (2009) menunjukan bahwa salah satu strategi
untuk peningkatan mutu dan keamanan pangan pada produk olahan markisa di PT
Pintu Besar Selatan dengan cara perbaikan penyimpangan GMP serta penerapan
HACCP. Metode yang digunakan adalah QFD, Matriks IFE, Matriks
EFE,Analisis SWOT, Matriks TOWS.
Penelitian Girsang (2007) bertujuan untuk membuat suatu formulasi strategi
pengendalian mutu berdasarkan Sistem Manajemen Mutu dan Sistem Manajemen
Keamanan Pangan.Metode penelitian dengan QFD , Self Assessment dan SWOT.

35

Nababan (2007) meneliti tentang analisis strategi pemasaran produk home


industry roti Marinda, Kelurahan Gunung Batu, Bogor. Alat analisis yang
digunakan untuk merumuskan strategi adalah matriks IFE, matriks EFE, matriks
CPM, matriks IE, dan matriks SWOT. Posisi home industry Marinda berada pada
sel V. Strategi yang dapat diambil adalah hold and maintain berupa strategi
penetrasi pasar dan pengembangan produk. Berdasarkan analisis SWOT,
diperoleh tujuh alternative strategi yaitu (1) meningkatkan kualitas dan jaringan
distribusi, (2) melakukan promosi produk home industry Marinda, (3) kerjasama
distributor yang potensial, (4) menekan biaya operasional tanpa mengurangi nilai
produk, (5) melakukan kerjasama dengan investor untuk mengatasi permodalan,
(6) diversifikasi dengan produk baru, dan (7) koordinasi internal dalam
menghadapi persaingan.
Purnawan (2010) melakukan penelitian mengenai kajian pengembangan
usaha IKM pangan komoditi roti dan kue di Kota Bogor (studi kasus di industri
Elsari). Alat analisis yang digunakan yaitu analisa sensitivitas empat kriteria
investasi yaitu NPV (Net Present Value), IRR (Internal Rate of Return), B/C ratio
(Benefit/Cost Ratio) dan Payback Period. Penentuan strategi menggunakan
matriks IFE, matriks EFE, matriks IE, matriks SWOT, dan matriks QSPM. Posisi
perusahaan berada pada posisi V, yaitu tahap hold and maintain. Strategi yang
disarankan adalah melakukan strategi penetrasi pasar berupa memperluas wilayah
jaringan pemasaran dengan sasaran utama pada tempat-tempat yang sudah dikenal
sebagai tempat wisata kuliner terpilih dan di daerah wisata di luar Bogor, dengan
cara menjalin kerjasama dengan counter yang telah ada di tempat tersebut atau
membuka cabang baru. Strategi pengembangan produk yang disarankan adalah
memperbanyak produk kue kering/brownies kering('broker').

36

3. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Pemerintah Daerah Kota Bogor
dan lingkungan industri Kota Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada
bulan Maret sampai Juni 2012. Instansi pemerintah Daerah Kota Bogor yang
dikunjungi dalam penelitian ini Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor , Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor, Dinas Kesehatan Kota Bogor, BPS
Kota Bogor, Kantor Koperasi dan UKM Kota Bogor. Industri Kecil Menengah
yang roti dikunjungi antara lain Elsari, Bie-bie, Kanung, Azkia, CV Bando
bakery.
3.2. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mempunyai tujuan melakukan analisa faktor internal dan
faktor eksternal di lingkungan Kota Bogor yang mempengaruhi penerapan CPPB
atau GMP pada industri roti di Kota Bogor. Analisa faktor internal mencakup
kekuatan, kelemahan yang dimiliki, sedang analisa faktor eksternal mencakup
peluang dan ancaman yang ada yang mempengaruhi penerapan CPPB atau GMP
pada industri roti di Kota Bogor. Analisis kekuatan dan kelemahan internal
meliputi setiap aset atau kekurangan internal (seperti ketrampilan staf, peralatan,
keuangan, prosedur, koordinasi, manajemen) yang memungkinkan atau mencegah
pemerintah untuk melaksanakan tugasnya atau tujuan. Analisis lingkungan
eksternal (berupa peluang dan ancaman) meliputi setiap keadaan eksternal atau
kecenderungan seperti peningkatan kesadaran konsumen terhadap keamanan
pangan, perdagangan global, ekonomi yang positif atau negatif mempengaruhi
peran dan tugas pemerintah.
Hirarki dan elemen kunci dari pendukung, kendala maupun pelaku dicari
melalui kajian hubungan kontekstual antar elemen menggunakan pendekatan
Interpretative Structural Modelling. Berdasarkan data-data yang terkumpul
tersebut disusun suatu strategi berdasarkan SWOT bagi pemerintah Kota Bogor
dalam memfasilitasi peningkatan penerapan GMP pada IKM roti Kota Bogor.

37

3.3 Metode Pengumpulan Data


Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
primer dan data sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif. Data primer
diperoleh melalui pengamatan (observasi) di lapangan, wawancara, dan pengisian
kuesioner oleh responden terpilih. Data sekunder diperoleh dari Badan
Perencanaan Nasional, Badan Pengkajian Obat dan Makanan (BPOM), Badan
Perencanaan Daerah Kota Bogor, Dinas Kesehatan Kota Bogor, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota bogor serta data penelitian/praktek lapang di
industri Kota Bogor. Selain itu juga data dari artikel atau literatur yang terkait
dengan topik penelitian ini seperti data Badan Pusat Statistik, Badan Pusat
Statistik Kota Bogor, Kantor Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Bogor.

3.4 Metode Penentuan Responden


Metode yang digunakan dalam penentuan responden adalah metode
purposive sampling, yaitu dengan sengaja memilih pakar yang kompeten dan
terlibat langsung dalam pengawasan/penerapan/pembinaan/penelitian GMP pada
IKM. Penetapan responden sebagai seorang pakar berdasarkan atas (1) reputasi,
kedudukan dan kredibilitasnya yang sesuai pada topik kajian; (2) bersedia untuk
diwawancara secara mendalam dan/atau (3) memiliki pengalaman minimal 10
tahun dibidang yang tekuni.
3.5 Tahapan Penelitian
Perumusan strategi yang digunakan menggunakan gabungan metode
SWOT dengan ISM (Interpretive Structural Modeling ). Penelitian ini terdiri dari
tahap identifikasi pakar, analisis SWOT, analisis ISM dan perumusan strategi.
Diagram alir penelitian ini seperti tercantum dalam Gambar 3.
3.5.1 Identifikasi Pakar
Tahap awal dilakukan identifikasi pakar. Responden pakar yang terpilih
dalam analisa SWOT adalah 5 (lima) orang yaitu Kepala Seksi Dinas Kesehatan
Kota Bogor, Kepala Bidang Dinas Perindustrian Kota Bogor, Kepala Bidang
Penguji dan Sertifikasi Balai Besar Industri Agro (ekspertis), Ekspertis dari
Departemen Ilmu Pangan IPB serta pelaku usaha IKM roti di Kota Bogor
(Lampiran 1). Adanya keterlibatan pihak pakar dalam penelitian ini diharapkan
mampu menghasilkan alternatif strategi yang lebih komprehensif dan objektif.
38

Selain menggunakan lima pakar diatas, sebagai sumber informasi pelengkap


digunakan responden Kepala Bidang Ekonomi Badan Perencanaan Daerah Kota
Bogor.

Mulai

Identifikasi lingkungan Identifikasi pakar

Evaluasi Faktor Internal (IEF) Strukturisasi ISM- (SO, WT)

Evaluasi Faktor Eksternal(EEF) Strukturisasi ISM-Aktor pelaku

Perumusan strategi (Matriks SWOT)


Analisa Posisi (Matriks IE)

Selesai

Gambar 3 Diagram alir penelitian.

3.5.2 Analisis SWOT


Untuk keperluan strategi maka diperlukan suatu analisa SWOT, yaitu
analisa yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
(Strengths) dan eluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats).
Menurut David (2006), untuk menganalisis lingkungan perusahaan baik
lingkungan internal maupun lingkungan eksternal dapat dilakukan melalui tiga
tahap, yaitu tahap input (input stage), tahap pencocokan (matching stage), dan
tahap keputusan (decision stage). Model yang dipakai terdiri dari :
a. Matrix Evaluasi Faktor Eksternal (EFE)
b. Matrix Evaluasi Faktor Internal (IFE)
c. Matrix Internal Eksternal (IE)
d. Matriks SWOT

39

Identifikasi Lingkungan Internal-Eksternal


Identifikasi lingkungan internal dan lingkungan eksternal yang
mempengaruhi penerapan GMP di IKM roti dilakukan kajian literatur dan hasil
depth interview lima pakar. Pada tahap awal dilakukan kajian terhadap data
terkait kondisi internal-eksternal pemerintah daerah Kota Bogor serta kondisi
implementasi GMP di IKM roti Kota Bogor yang diperoleh dari Bapeda, Dinas
Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, BPS, Kantor Koperasi dan
UKM . Selain itu sebagai bahan pembanding dilakukan analisa terhadap literatur
hasil-hasil penelitian sebelumnya terkait penerapan GMP pada IKM. Berdasarkan
data kajian tersebut diperoleh daftar awal faktor internal dan eksternal yang dapat
mempengaruhi pemerintah Kota Bogor dalam mendorong peningkatan penerapan
GMP pada IKM roti. Daftar awal faktor internal dan eksternal dikonfirmasikan
kesesuaiannya melalui depth interview dengan para pakar yang dipilih serta
diklasifikasikan faktor internal yang menjadi kekuatan atau kelemahan serta faktor
eksternal yang menjadi peluang atau ancaman. Selanjutnya dibuat alat bantu
kuisioner berdasarkan daftar hasil depth interview dengan para pakar untuk
melakukan analisis menggunakan metode Internal Factor Evaluation (IFE) dan
External Factor Evaluation (EFE).
Matriks IFE (Internal Factor Evaluation)
Matriks IFE digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor internal
perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting.
Adapun tahapan kerja dalam membuat matriks IFE adalah sebagai berikut :
i) Identifikasi faktor internal pemerintah Kota Bogor yang mempengaruhi
penerapan GMP di IKM kemudian, dilakukan wawancara atau diskusi
dengan responden terpilih untuk menentukan apakah faktor-faktor tersebut
telah sesuai dengan kondisi internal saat ini.
ii) Penentuan bobot. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini dalam
menentukan bobot dari faktor internal dan eksternal adalah teknik Pairwise
Comparison. Teknik ini membandingkan setiap variabel pada baris
(horizontal) dengan variabel pada kolom (vertikal). Selanjutnya bobot setiap
faktor strategis diperoleh dengan menentukan total nilai setiap faktor strategis
terhadap jumlah keseluruhan faktor strategis (Kinnear dan Taylor, 1991).

40

Penentuan bobot setiap peubah dilakukan dengan cara mengajukan identifikasi


faktor strategis internal kepada responden pakar dengan menggunakan metode
pembandingan berpasangan.
Penilaian dilakukan dengan memberikan bobot numerik dan membandingkan
antara elemen dengan elemen lainnya. Untuk menentukan bobot setiap peubah
digunakan skala 1, 2 dan 3. Skala yang digunakan untuk pengisian kolom
adalah :
1 = Jika indikator horisontal kurang penting daripada indikator vertikal
2 = Jika indikator horisontal sama penting daripada indikator vertikal
3 = Jika indikator horisontal lebih penting daripada indikator vertikal
Indikator horisontal dan indikator vertikal adalah peubah-peubah kekuatan dan
kelemahan pada faktor strategis internal. Metode ini membandingkan secara
berpasangan antara dua faktor secara relatif berdasarkan kepentingan atau
pengaruhnya terhadap peningkatan penerapan GMP pada IKM roti. Tahap
selanjutnya adalah melakukan sintesa terhadap hasil penilaian tadi untuk
menentukan elemen mana yang memiliki prioritas tertinggi dan mana yang
terendah (Satay, 1998).
Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai setiap peubah
terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah dengan menggunakan rumus
(Kinnear dan Taylor, 1991):

=
Keterangan :
i = Bobot peubah ke i; i = 1,2,3,...,n
Xi = Nilai peubah ke i; n = Jumlah peubah
iii) Menentukan peringkat 1 sampai 4 untuk masing-masing faktor untuk
mengindikasikan apakah faktor tersebut menunjukkan kelemahan utama
(peringkat=1), atau kelemahan minor (peringkat=2), kekuatan minor
(peringkat=3), atau kekuatan utama (peringkat=4). Kekuatan harus
mendapatkan peringkat 3 atau 4 dan kelemahan harus mendapatkan peringkat 1
atau 2.
iv) Kemudian masing-masing bobot faktor dikalikan dengan peringkatnya untuk
menentukan nilai tertimbang. Selanjutnya dijumlahkan nilai tertimbang dari
41

masing-masing variabel untuk menentukan total nilai tertimbang bagi


organisasi. Total skor pembobotan akan berkisar antara 1 sampai 4 dengan
rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan IFE 3,0 - 4,0 berarti kondisi internal
pemerintah Kota Bogor tinggi atau kuat, kemudian jika 2,0 - 2,99 berarti
kondisi internal pemerintah Kota Bogor rata-rata atau sedang dan 1,0 - 1,99
berarti kondisi internal pemerintah Kota Bogor rendah atau lemah.
Matriks EFE (External Factor Evaluation)
Matriks EFE digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal
pemerintah Kota Bogor. Seperti halnya Matriks IFE, maka Matriks EFE dapat
dilakukan dengan tahapan kerja sebagai berikut:
i) Identifikasi faktor eksternal perusahaan kemudian, dilakukan wawancara atau
diskusi dengan responden terpilih untuk menentukan apakah faktor-faktor
tersebut telah sesuai dengan kondisi eksternal pemerintah Kota Bogor saat ini.
ii) Penentuan bobot pada analisis eksternal perusahaan dilakukan dengan cara
mengajukan pertanyaan kepada responden terpilih dengan menggunakan
metode paired comparison. Untuk menentukan bobot setiap variabel
menggunakan skala 1, 2, dan 3.
1= Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal
2= Jika indikator horizontal sama penting daripada indikator vertikal
3= Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal
Indikator horisontal dan indikator vertikal adalah peubah-peubah peluang dan
ancaman pada faktor strategis eksternal. Tahap selanjutnya adalah melakukan
sintesa terhadap hasil penilaian tadi untuk menentukan elemen mana yang
memiliki prioritas tertinggi dan mana yang terendah (Satay, 1998).
Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai setiap peubah
terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah dengan menggunakan rumus
(Kinnear dan Taylor, 1991):

=
Keterangan :
i = Bobot peubah ke i; i = 1,2,3,...,n
Xi = Nilai peubah ke i; n = Jumlah peubah

42

iii) Menentukan peringkat 1 hingga 4 untuk masing-masing faktor eksternal


kunci tentang seberapa efektif strategi pemerintah Kota Bogor saat ini dalam
merespons faktor tersebut, di mana 4 = respons superior, 3 = respons di atas
rata-rata, 2 = respons rata-rata, dan 1 = respons jelek. Peringkat didasari pada
efektivitas strategi perusahaan. Penting untuk diperhatikan bahwa ancaman
dan peluang dapat diberi peringkat 1, 2, 3, atau 4.
iv) Nilai dari pembobotan kemudian dikalikan dengan peringkat pada tiap faktor
dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertical untuk memperoleh
total skor pembobotan. Total skor pembobotan akan berkisar antara 1 sampai
4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan EFE 3,0 - 4,0 berarti
perusahaan merespon kuat terhadap peluang dan ancaman yang
mempengaruhi perusahaan, kemudian jika 2,0 - 2,99 berarti perusahaan
merespon sedang terhadap peluang dan ancaman yang ada dan 1,0 - 1,99
berarti perusahaan tidak dapat merespon peluang dan ancaman yang ada.
Matriks IE (Internal-External)
Tahap pencocokan berlandaskan pada informasi yang diturunkan dari tahap
input untuk mencocokkan peluang dan ancaman ekternal dengan kekuatan dan
kelemahan internal. Dalam penelitian ini, tahap pencocokan menggunakan
matriks IE berdasarkan hasil matriks EFE dan IFE. Matriks Internal-Eksternal (IE)
digunakan untuk mengetahui posisi pemerintah Kota Bogor yang terkait dalam
peningkatan penerapan GMP di IKM roti Kota Bogor. Matriks IFE dan EFE
digunakan untuk mengumpulkan informasi yang akan digunakan pada tahap
pemaduan. Matriks IE didasari pada dua dimensi kunci, yaitu total rata-rata
tertimbang IFE pada sumbu x dan total rata-rata tertimbang EFE pada sumbu y.
Pada sumbu x dari matriks IE menggambarkan posisi internal dimana total rata-
rata tertimbang dari 1,0 hingga 1,99 dianggap rendah; nilai dari 2,0 hingga 2,99
adalah menengah; dan nilai dari 3,0 hingga 4,0 adalah tinggi. Sedangkan pada
sumbu y dari matriks IE menggambrkan posisi eksternal dimana dimana total rata-
rata tertimbang dari 1,0 hingga 1,99 dianggap rendah; nilai dari 2,0 hingga 2,99
adalah menengah; dan nilai dari 3,0 hingga 4,0 adalah tinggi.Matriks IE dapat
dilihat pada Gambar 4.

43

Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga daerah utama yang memiliki implikasi
strategi berbeda (David, 2005). Pertama, rekomendasi untuk divisi yang masuk
dalam sel I, II atau IV dapat digambarkan sebagai grow and build (tumbuh dan
kembangkan). Strategi intensif atau integratif dapat menjadi paling sesuai
untuk divisi-divisi ini. Kedua, divisi yang masuk dalam sel III, V, atau VII
dapat dikelola dengan cara terbaik dengan strategi hold and maintain (menjaga
dan mempertahankan) strategi yang sudah dijalankan dalam mencapai tujuan ,
penetrasi pasar dan pengembangan produk adalah dua strategi yang umum
digunakan untuk divisi tipe ini. Ketiga, rekomendasi yang umum diberikan
untuk divisi yang masuk dalam sel VI, VIII, dan IX adalah harvest dan divest
(tuai atau divestasi).

Skor bobot total IFE


Kuat 3,0-4,0 Sedang 2,0-2,99 Lemah 1,0-1,99
Tinggi (I) (II) (II)
3,0-4,0 Tumbuh dan Bina Tumbuh dan Bina Pertahankan dan Pelihara
Skor bobot total EFE

(Grow and Build) (Grow and Build) (Hold and maintain)


Sedang (IV) (V) (VI)
2,0-2,99 Tumbuh dan Bina Pertahankan dan Pelihara Panen dan Lepas
(Grow and Build) (Hold and maintain) (Harvest and divest)
Rendah (VII) (VIII) (IX)
1,0-1,99 Pertahankan & Pelihara Panen dan Lepas Panen dan Lepas
(Hold and maintain) (Harvest and divest) (Harvest and divest)

Gambar 4 Matriks internal-eksternal (IE).

3.5.3 Strukturisasi ISM


Tahap selanjutnya untuk memperkaya perumusan strategi dilakukan
strukturisasi elemen-elemen pendukung, penghambat dan aktor pelaku yang
terkait IKM di Kota Bogor menggunakan teknik ISM.
Metodologi ISM pertama kali dikembangkan oleh J. Warfield (1973) dan
telah luas digunakan untuk menganalisis struktural elemen berdasarkan hubungan
kontekstual-nya dengan bantuan program computer (Saxena et al., 1992; Sagheer
et al.,2009; Jharkharia, 2011; Mirah, 2007). Metodologi ISM menghasilkan: 1)
struktur hirarki elemen sistem dan 2) klasifikasi sub-elemen kunci.

44


Langkah dari teknik ISM adalah:
1) Pemilihan pakar, dalam penelitian ini responden pakar yang terpilih dalam
analisa ISM adalah 3 (tiga) orang yaitu Kepala Bidang Dinas Perindustrian
Kota Bogor, Kepala Bidang Penguji dan Sertifikasi Balai Besar Industri Agro
(ekspertis), Ekspertis dari Departemen Ilmu Pangan IPB.
2) Identifikasi Elemen dan Sub elemen yang terkait dalam program.
Menurut Saxena (1992) program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu
1) Sektor masyarakat yang berpengaruh; 2) Kebutuhan dari program;
3) Kendala utama; 4) Perubahan yang dimungkinkan; 5) Tujuan dari
program; 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan; 7) Aktivitas yang
dibutuhkan guna perencanaan tindakan; 8) Ukuran aktivitas guna
mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas dan 9) Lembaga atau aktor
yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Mengacu ke penelitian sebelumnya yang menggunakan ISWOT maka dalam
penelitian ini dipilih 3 elemen yaitu 1) Kendala utama 2) Pendukung program
dan 3) Lembaga/Aktor yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Sub elemen kendala utama diambil dari hasil identifikasi SWOT merupakan
paduan dari faktor kelemahan dan ancaman, sedangkan sub elemen
pendukung program diambil dari hasil identifikasi SWOT paduan dari faktor
kekuatan dan peluang. Sub elemen lembaga aktor yang terlibat diidentifikasi
dari hasil depth interview responden pakar.
3) Menetapkan hubungan kontekstual antara sub elemen yang terkandung
adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi sub ordinat yang
menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jumlah pakar lebih dari
satu maka dilakukan perataan (agregat).
Penentuan hubungan kontekstual antar sub elemen dinyatakan dalam bentuk
huruf V, A, X, O sesuai aturan berikut Tabel 4. Dalam penelitian ini,
hubungan kontekstual yang digunakan untuk tiap elemen tercantum dalam
Tabel 5.
Kemudian disusun alat bantu kuisioner yang digunakan untuk mengumpulkan
masing- masing pendapat pakar terkait penentuan hubungan kontekstual antar
sub elemen.

45

Tabel 4 Simbol hubungan dan definisi kontekstual antar elemen XAVO


Simbol Hubungan Kontekstual Bentuk Hubungan
Matematik Antar
Elemen i dan j (eij)
V sub-elemen ke-i mempunyai hubungan dengan sub- Jika eij=1 dan eji=0
elemen ke-j dan sub-elemen ke-j tidak mempunyai
hubungan dengan sub elemen ke-i.
A sub-elemen ke-j mempunyai hubungan dengan sub- Jika eij=0 dan eji=1
elemen ke-i dan sub-elemen ke-i tidakmempunyai
hubungan dengan sub elemen ke-j.
X sub-elemen ke-i mempunyai hubungan timbale balik Jika eij=1 dan eji=1
dengan sub-elemen ke-j.
O sub-elemen ke-i tidak mempunyai hubungan timbal Jika eij=0 dan eji=0
balik dengan sub-elemen ke-j.

Tabel 5 Elemen dan hubungan kontekstualnya yang digunakan


Elemen Hubungan Kontekstual

Pendukung Sub elemen pendukung yang satu mempengaruhi


manfaat sub elemen pendukung yang lain
Kendala Sub elemen penghambat yang satu menyebabkan
sub elemen penghambat yang lain
Aktor/pelaku Sub elemen pelaku yang satu mempengaruhi bagi
sub elemen pelaku yang lain

4) Hasil pendapat pakar terhadap masing-masing hubungan kontekstual dalam


sub elemen yang tertuang dalam kuisioner, kemudian informasi tersebut
distrukturisasi dalam bentuk matriks yang disebut stuctural self interaction
matrix (SSIM) yang menggambarkan hubungan kontekstual antar sub-elemen
dan elemen-elemen sistem menggunakan bantuan program ISM.
5) Hubungan konstekstual disajikan dalam bentuk structural self interaction
matrix (SSIM) kemudian ditransformasi kedalam bentuk matriks bilangan
biner (bilangan 0 dan 1). Gambaran kondisi hubungan ISM-VAXO
diuraikan seperti pada Tabel 4.
Pengertian nilai eij = 1 adalah ada hubungan kontekstual antara sub elemen
ke-i dan ke-j, sedangkan nilai eji = 0 adalah tidak ada hubungan kontekstual
antara sub elemen ke-j dan ke-i.
6) Selanjutnya dilakukan perhitungan aturan transivity dengan membuat koleksi
terhadap SSIM hingga terbentuk matrik yang tertutup yang kemudian
diproses lebih lanjut. Revisi transformasi matrik dapat dilakukan dengan

46

menggunakan program komputer. Pengolahan lebih lanjut dari Table


Reachability Matrix yang telah memenuhi aturan transivity adalah penetapan
pilihan jenjang (level partition).
7) Berdasarkan Table Reachability Matrix final dapat diketahui nilai driver
power, dengan menjumlahkan nilai sub elemen secara horizontal, dimana
nilai rangking ditentukan berdasarkan nilai dari driver power yang diurutkan
mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil, sedangkan nilai dependence
diperoleh dari penjumlahan nilai sub elemen secara vertical dan nilai level
ditentukan berdasarkan nilai dari dependence yang diurutkan mulai dari yang
terbesar sampai yang terkecil.
8) Melakukan klasifikasi sub elemen digolongkan dalam empat sektor yaitu:
a.Sektor I (Weak driver-weak dependent variabels (Autonomous). Sub elemen
yang masuk dalam sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan system. Sub
elemen yang masuk pada sektor 1 jika: Nilai DP 0.5 X dan nilai D 0.5 X,
X adalah jumlah sub elemen.
b.Sektor 2 (weak driver-strongly dependent variables). Pada umumnya sub
elemen yang masuk dalam sektor ini adalah sub elemen yang tidak bebas. Sub
elemen yang masuk pada sektor 2 jika: Nilai DP Nilai DP 0.5 X dan nilai
D< 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen.
c.Sektor 3 (strong driver- strongly dependent variabels (Linkage). Sub elemen
yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan
antara elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberikan
dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat
memperbesar dampak. Sub elemen yang masuk pada sektor 3 jika: Nilai
DP > 0.5 X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen.
d.Sektor 4 (strong driver-weak dependent variabels (Independent). Sub elemen
yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut
peubah bebas. Sub elemen yang masuk pada sektor 4 jika: Nilai DP > 0.5 X
dan nilai D 0.5 X , X adalah jumlah sub elemen. Analisis matriks dari
klasifikasi sub elemen disajikan pada Gambar 5.

47


9) Struktur sistem berbentuk hirarki dan hubungan antar elemen selanjutnya
dibangun berdasarkan RM.

Dependent Variable Linkage Variable


SEKTOR II SEKTOR III
Daya Dorong
(Drive Power)

Autonomous Variable Independent Variable


SEKTOR I SEKTOR IV

Ketergantungan (Dependence)

Gambar 5 Matriks klasifikasi sub elemen berdasarkan tingkat


pengaruh dan ketergantungan (Marimin, 2004)

3.5.4 Perumusan Strategi (Matriks ISWOT)


Tahap selanjutnya adalah perumusan strategi peningkatan penerapan GMP
produk IKM roti menggunakan matriks ISM-SWOT (ISWOT) dengan
mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang
dihadapi dalam serta hasil analisis ISM strukturisasi elemen kunci pendukung,
penghambat serta aktor pelaku. Dari analisis IFE dan EFE dan strukturisasi
elemen kunci maka hasilnya dimasukkan ke matriks ISWOT. Strategi
dikembangkan berdasarkan pertimbangan elemen kunci strukturisasi elemen kunci
pendukung, penghambat serta aktor pelaku , hasil nilai EFE dan IFE tertinggi dan
berpotensi dikembangkan di masyarakat. Keempat tipe strategi di kembangkan
yang adalah :
1. Strategi S-O, strategi ini menggunakan kekuatan internal untuk meraih
peluang-peluang yang ada.
2. Strategi W-O, strategi ini bertujuan untuk memperkecil kelemahan-kelemahan
internal dengan memanfaatkan peluang-peluang eksternal.
3. Strategi S-T, strategi ini berusaha untuk menghindari atau mengurangi
dampak dari ancaman-ancaman eksternal dengan menggunakan kekuatan
yang dimilikinya.
4. Strategi W-T, strategi ini merupakan suatu cara untuk bertahan dengan
mengurangi kelemahan internal serta menghindari ancaman.
48

Formulasi penyusunan strategi menggunakan matriks ISWOT dengan empat


tipe strategi seperti pada Tabel 6.

Tabel 6 Matriks ISWOT


Internal Strengths (S) Weaknesses (W)
Kekuatan internal yang Kelemahan internal
Eksternal merupakan elemen yang merupakan elemen
kunci kunci

Opportunities (O) Strategi (S-O) Strategi (W-O)


Peluang eksternal yang Ciptakan strategi Ciptakan strategi
merupakanelemen menggunakan kekuatan meminimalkan
kunci Untuk memanfaatkan kelemahan
peluang untukmemanfaatkan
peluang
Threats (T) Strategi (S-T) Strategi (W-T) Ciptakan
Ancaman eksternal Ciptakan strategi strategi meminimalkan
yang merupakan menggunakan kekuatan kelemahan dan
elemen kunci untuk mengatasi menghindari ancaman
ancaman

49


4. GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

4.1 Potensi IKM Makanan Kota Bogor


Berdasarkan besarnya kontribusi sektor-sektor perekonomian dalam
pembentukan PDRB Kota Bogor, sektor industri merupakan sektor kedua dimana
tahun 2005 peran sektor industri sekitar 28, 10% atas dasar harga konstan tahun
2000, dimana pada tahun 2009 peran tersebut meningkat menjadi 28,25%. Struktur
perekonomian Kota Bogor didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran
sebesar 37,16% dan sektor industri pengolahan (sub sektor non migas) sebesar
25,90% dimana kedua sektor ini sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan
daya beli masyarakat.
Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor, industri
dibagi ke dalam dua kelompok utama yaitu Kelompok Industri Kimia, Agro dan
Hasil Hutan serta yang kedua adalah Kelompok Industri Logam, Mesin,
Elektronika dan Aneka. Kelompok Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan
kemudian dibagi lagi menjadi sub bagian yaitu makanan, minuman, kayu olahan
dan rotan, pulp dan kertas, bahan kimia dan karet, bahan galian non Logam, dan
kimia seperti diperlihatkan pada Lampiran 4. Perkembangan jumlah industri di
Kota Bogor cenderung meningkat dari tahun 2007-2009 baik untuk jumlah industri
kecil formal maupun non formal (Gambar 6). Industri formal adalah industri yang
telah memenuhi persyaratan legalitas/ijin terdaftar di Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kota Bogor.


Gambar 6 Perkembangan jumlah industri kecil formal dan non formal
di Kota Bogor (2007-2009)
51

Jumlah industri kecil non formal lebih banyak daripada industri kecil formal.
Hal yang sama terlihat pada struktur industri Kota Bogor tahun 2011 masih
didominasi oleh industri kecil yaitu industri kecil non formal berjumlah 2.295 unit
usaha (66%), industri kecil formal berjumlah 1.046 unit usaha (30%) dan industri
besar-menengah berjumlah 143 unit usaha (4%).
Pada tahun 2011, jumlah industri kecil di Kota Bogor yang terlibat dalam
pengolahan makanan total sebanyak 1.366 unit usaha. Terdapat peningkatan jumlah
sebesar 16,89% untuk industri kecil formal dan 3,95% untuk industri kecil non
formal pada tahun 2009-2011 (Tabel 7).
Tabel 7 Jumlah industri makanan di Kota Bogor tahun 2009 2011
Jumlah Unit Usaha Prosentase
Kategori Industri Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Peningkatan
Makanan (2009-2011)
(%)
I. Industri Besar dan 25 25 25 0,00
Menengah
II. Industri Kecil 225 240 263 16,89
Formal
II.Industri Kecil 1.037 1.057 1.078 3,95
Non Formal
Jumlah 1.287 1.322 1.366 6,14
Sumber : Disperindag Kota Bogor (2011)

Dua indikator pertumbuhan industri utama yaitu jumlah tenaga kerja dan
nilai investasi pada tahun 2009- 2011 mengalami pergerakan positif. Jumlah total
tenaga kerja pada sektor industri makanan meningkat sebesar 3,91 % yang terdiri
dari 5,63% pada industri kecil formal dan 4,65% pada industri kecil non formal.
Sedang industri besar dan menengah mengalami penurunan 1,2% (Tabel 8).
Tabel 8 Perkembangan penyerapan tenaga kerja industri makanan
di Kota Bogor tahun 2009 2011

Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja Prosentase


Peningkatan
Kategori Industri Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011
(2009-2011)
Makanan
(%)
I. Industri Besar dan 1.422 1.422 1.405 -1,20
Menengah
II. Industri Kecil 2.167 2.213 2.289 5,63
Formal
II.Industri Kecil 4.793 4.895 5.016 4,65
Non Formal
Jumlah 8.382 8.530 8.710 3,91
Sumber : Disperindag Kota Bogor (2011)
52

Realisasi investasi industri makanan pada tahun 2009-2011 meningkat


sebesar Rp 1.727.031.000 (17,4%) pada industri kecil formal dan sebesar Rp.
128.682.250,- ( 12,62 %) pada industri kecil non formal, sedang pada industri besar
dan menengah mengalami penurunan investasi sebesar 5, 43 % (Tabel 9).

Tabel 9 Perkembangan nilai investasi industri makanan di Kota Bogor


tahun 2009 2011

Nilai Investasi (Rp) Prosentase


Kategori Peningkatan
Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011
Industri (2009-2011)
Makanan (%)
I. Industri Besar 29.763.047.278 30.171.184.400 28.146.024.400 -5,43
dan Menengah
II. Industri Kecil 9.926.348.800 10,620.830.800 11.653.379.800 17,4
Formal
II.Industri Kecil 1.019.265.388 1.082.969.470 1.147.947.638 12,62
Non Formal
Jumlah 40.708.661.466 31.254.153.870 40.947.351.838 0,59
Sumber : Disperindag Kota Bogor (2011)

4.2 Pontensi IKM Roti Kota Bogor


Berdasarkan data Disperindag Kota Bogor (Lampiran 5) terdapat 46
industri kecil formal yang bergerak pada pembuatan roti di Kota Bogor, dimana
kapasitas produksi per tahun dan nilai investasi dari industri kecil tersebut
bervariasi. Nilai Investasi ini terdiri dari nilai : mesin / peralatan, modal kerja
selama 4 bulan meliputi: bahan baku, upah/gaji dan lain-lain (biaya air, listrik,
telepon). Industri pangan roti di Kota Bogor bila dikelompokkan berdasarkan
interval / range investasi Rp. 50 juta, mayoritas berada pada nilai investasi di bawah
Rp. 50 juta berjumlah 36 industri (78,3%) (Tabel 10). Sisanya adalah industri
dengan nilai investasi lebih dari Rp. 50 juta sampai dengan Rp. 500 juta sebanyak
10 industri. Pengelompokan ini mengacu kepada pengelompokan usaha mikro dan
usaha kecil berdasarkan Undang- undang No. 20 tahun 2008.
Jika dilihat pengelompokan industri berdasarkan jumlah tenaga kerja
menurut definisi Biro Pusat Statistik, industri rumah tangga adalah unit usaha
dengan pekerja paling banyak 4 orang termasuk pengusaha, sedangkan industri
kecil adalah unit usaha dengan jumlah pekerja paling sedikit 5 orang dan paling
banyak 19 orang. Mayoritas industri roti di Kota Bogor adalah industri kecil dengan

53

Tabel 10 Distribusi jumlah industri roti di Kota Bogor tahun 2011


berdasarkan pengelompokan nilai investasi

Pengelompokan Nilai Investasi Jumlah Prosentase


No (RP) Unit Usaha (%)
1 Nilai Investasi s.d Rp.50.000.000 36 78,3
2 Rp. 50.000.001 - Rp.100.000.000 3 6,5
3 Rp. 100.000.001 - Rp.150.000.000 2 4,3
4 Rp. 150.000.000 - Rp.200.000.000 1 2,2
5 Rp.200.000.001 atau lebih 4 8,7
Total 46
Sumber : Disperindag Kota Bogo (2011) diolah

Tabel 11 Distribusi jumlah industri roti di Kota Bogor tahun 2011


berdasarkan pengelompokan jumlah tenaga kerja

Jumlah Tenaga Kerja Jumlah Unit Prosentase


No (orang) Usaha (%)
1 1 s/d 4 8 17,4
2 5 s/d 19 31 67,4
3 20 keatas 7 15,2
Total 46
Sumber : Disperindag Kota Bogor (2011) diolah

jumlah tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang sebanyak 31 industri (67%) dan
sisanya industri rumah tangga dengan jumlah pekerja kurang dari 5 orang sebanyak
8 industri (17,4%) dan industri menengah 7 industri (15,2%) (Tabel 11).

4.3 Kondisi Umum Pemenuhan Aspek GMP /CPPB pada IKM Roti
Berdasarkan definisi Peraturan BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205
Tahun 2012, yang termasuk Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) adalah
perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan
pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Pasal 43 Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa pangan olahan yang diproduksi oleh
industri rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah
Tangga (SP-PIRT) yang diterbitkan oleh Bupati/WaliKota dan Kepala Daerah.
SP-PIRT adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh Bupati/WaliKota terhadap
pangan produksi IRTP di wilayah kerjanya yang telah memenuhi persyaratan
pemberian SP-PIRT dalam rangka peredaran Pangan Produksi IRTP.

54

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, jumlah IRTP untuk
keseluruhan komoditi pangan yang telah mendapatkan SP-PIRT per tahunnya
seperti pada Tabel 12. Rata-rata jumlah industri yang memperoleh SP-PIRT per
tahunnya adalah 82 industri dan rata-rata sertifikat produk yang terbit sebanyak
144 buah. Masa berlaku SP-PIRT adalah 5 tahun. Jika industri yang memperoleh
SP-PIRT tersebut dijumlahkan seluruhnya yaitu sebanyak 497 maka sangat sedikit
bila dibandingkan dengan jumlah industri kecil pangan keseluruhan tahun 2011 di
Kota Bogor sebanyak 1.366 industri. Hal tersebut menandakan masih banyak
industri yang belum memperoleh SP-PIRT.

Tabel 12 Jumlah industri pangan Kota Bogor yang memperoleh SP-PIRT


dan sertifikat produk yang terbit tahun 2006-2011

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bogor ( 2011) diolah

Untuk memperoleh SP-PIRT maka Industri Rumah Tangga Pangan dalam


seluruh aspek dan rangkaian kegiatannya wajib menerapkan CPPB-IRT (Cara
Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga). CPPB-IRT ini
menjelaskan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi tentang penanganan
pangan di seluruh mata rantai produksi mulai dari bahan baku sampai produk akhir
yang mencakup : a) Lokasi dan lingkungan produksi; b) Bangunan dan fasilitas; c)
Peralatan produksi; d) Suplai air atau sarana penyediaan air; e) Fasilitas dan
kegiatan higiene dan sanitasi; f) Kesehatan dan higiene karyawan; g) Pemeliharaan
dan program higiene sanitasi karyawan; h) Penyimpanan; i) Pengendalian proses;

55

j) Pelabelan pangan; k) Pengawasan oleh penanggungjawab; l) Penarikan produk;


m) Pencatatan dan dokumentasi; n) Pelatihan karyawan.
Persyaratan CPPB-IRT terdiri atas 4 (empat) tingkatan, yaitu: "harus"
(shall), seharusnya(should), sebaiknya (may) dan "dapat" (can), yang
diberlakukan terhadap semua lingkup yang terkait dengan proses produksi,
pengemasan, penyimpanan dan atau pengangkutan pangan IRT dengan rincian
sebagai berikut:
a) Persyaratan "harus" adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak
dipenuhi akan mempengaruhi keamanan produk secara langsung dan / atau
merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi, dan dalam inspeksi dinyatakan
sebagai ketidaksesuaian kritis;
b) Persyaratan "seharusnya" adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila
tidak dipenuhi mempunyai potensi mempengaruhi keamanan produk, dan
dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian serius;
c) Persyaratan "sebaiknya" adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila
tidak dipenuhi mempunyai potensi mempengaruhi efisiensi pengendalian
keamanan produk, dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian
mayor;
d) Persyaratan "dapat" adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak
dipenuhi mempunyai potensi mempengaruhi mutu (wholesomeness) produk,
dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian minor.

Pemeriksaan sarana produksi pangan SP-PIRT didahului dengan pemeriksaan


awal dan diikuti dengan pemeriksaan lanjutan. Selama pemeriksaan, petugas
didampingi oleh penanggungjawab perusahaan yang diperiksa. Pemeriksaan awal
petugas melakukan pemeriksaan singkat yang sifatnya umum tetapi menyeluruh.
Pada pemeriksaan lanjutan terdapat 13 (tiga belas) grup yang perlu dinilai selama
pemeriksaan yaitu : (A) Lingkungan Produksi, (B) Bangunan dan Fasilitas, (C)
Peralatan Produksi, (D) Suplai Air, (E) Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan Sanitasi,
(F) Pengendalian Hama, (G) Kesehatan dan Higiene Karyawan, (H) Pengendalian
Proses, (I) Label Pangan, (J) Penyimpanan, (K) Manajemen Pengawasan, (L)
Pencatatan dan Dokumentasi, dan (M) Pelatihan Karyawan. Formulir yang
digunakan seperti tercantum dalam Lampiran 7. Nilai diberikan dalam bentuk
56

kode, yaitu B (Baik), C (Cukup), dan K (Kurang). Masing-masing kelompok


diberikan penilaian sendiri-sendiri. Penilaian masing-masing grup pada prinsipnya
merupakan rata-rata dari nilai masing-masing unsur dengan memberikan skor 3, 2
dan 1 masingmasing untuk B, C dan K. Kemudian dilakukan pembulatkan hasil
rata-ratanya ke atas atau kebawah untuk mendapatkan hasil penilaian. Diantara 12
grup terdapat 4 (empat) grup yang dianggap lebih penting dibandingkan dengan 8
(delapan) grup lainnya. Keempat grup ini dikategorikan sebagai kelompok utama
dalam pemeriksaan yang terdiri dari :
a. Grup D Suplai air
b. Grup F Pengendalian Hama
c. Grup G Kesehatan dan higiene karyawan
d. Grup H Pengendalian proses
Penilaian mutu didasarkan atas hasil penilaian ke 12 grup yang tercantum pada
formulir pemeriksan. Cara perhitungan dalam penilaian mutu adalah sebagai
berikut :
Baik : Jika 4 (empat) grup utama, yaitu : Grup D (Suplai air), Grup F
(Pengendalian Hama ), Grup G ( Kesehatan dan higiene karyawan ), dan Grup
H(Pengendalian proses), semuanya mendapat nilai Baik dan grup lainnya
maksimum 2 (dua) yang mendapat nilai Kurang
Cukup : Jika 4 (empat) grup utama, mendapat nilai Baik atau Cukup dan
grup lainnya minimal 5 (lima) yang mendapat nilai Cukup
Kurang : Jika tidak memenuhi kriteria Cukup

Data hasil pemeriksaan SP-PIRT tahun 2006-2010 (Gambar 7)


memperlihatkan bahwa prosentase hasil penilaian SP-PIRT sebagian besar
termasuk skala cukup dan terdapat peningkatan prosentase skala kurang pada
periode 2008-2010. Hal ini menunjukan bahwa masih banyak IRTP yang belum
memenuhi keseluruhan aspek CPPB-IRT dengan baik.
Berdasarkan data BPOM terhadap penilaian 13 parameter/ Grup CPPB-IRT di
21 Propinsi (tahun 2003-2005) dengan variasi produk yang dihasilkan IRTP
terdapat pola kecendenderungan seperti Gambar 8. Berdasarkan data tersebut,
aspek yang cenderung rendah pemenuhannya oleh IKM yaitu grup a) Lokasi dan

57

lingkungan produksi; b) Bangunan dan fasilitas; e) Fasilitas dan kegiatan higiene


dan sanitasi; f) Kesehatan dan higiene karyawan, g) Pemeliharaan dan program
higiene sanitasi karyawan; j) Pelabelan pangan; dan m) Pencatatan dan
dokumentasi.

Sumber : BPOM (2010)


Gambar 7 Prosentase kategori hasil penilaian SP-PIRT tahun 2006- 2010

Sumber : BPOM (2008)

Gambar 8 Pola kecenderungan hasil pemeriksaan 13 parameter/ grup


CPPB-IRT di 21 propinsi tahun 2003-2005

58

Berdasarkan data hasil pemeriksaaan sarana produksi IRTP roti (tahun 2006-2011)
di Kota Bogor oleh petugas inspektor pengawas pangan, menunjukkan 75,51%
IRTP yang dinilai memperoleh skala nilai kategori C (Lampiran 6). Artinya 4 grup
utama yaitu aspek penilaian suplai air, pengendalian hama, kesehatan dan hygiene
karyawan, pengendalian proses bernilai baik atau cukup dan grup lainnya bernilai
kurang maksimal 4. Hal ini menandakan bahwa belum semua aspek GMP
diterapkan dengan baik oleh IRTP roti di kota Bogor.
Gambaran aspek pemenuhan persyaratan CPPB-IRT pada IKM roti di
Kota Bogor sebagai berikut:
1. Lokasi dan lingkungan produksi
Penetapan lokasi produksi perlu mempertimbangkan keadaan dan kondisi
lingkungan yang mungkin dapat merupakan sumber pencemaran potensial dan telah
mempertimbangkan berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan
untuk melindungi pangan yang diproduksinya. Lokasi IKM seharusnya dijaga tetap
bersih, bebas dari sampah, bau,asap, kotoran, dan debu. Lingkungan seharusnya
selalu dipertahankan dalam keadaan bersih dengan cara-cara sebagai berikut :1)
Sampah dibuang dan tidak menumpuk, 2) Tempat sampah selalu tertutup, 3) Jalan
dipelihara supaya tidak berdebu dan selokannya berfungsi dengan baik.
Sebagian besar IKM roti di Kota Bogor memulai usaha dengan lokasi
produksi yang digunakan sama atau berdekatan dengan lokasi tempat tinggal tanpa
ada pertimbangan khusus. Di Kota Bogor belum ada kawasan yang ditetapkan
sebagai lokasi khusus industri pangan, sehingga IKM roti menyebar di berbagai
kecamatan Kota Bogor. Kondisi lokasi produksi IKM roti cenderung sulit untuk
diubah. Kondisi lingkungan produksi IKM roti juga dipengaruhi dari kondisi
fasilitas dan sarana yang dikelola oleh pemerintah daerah/desa seperti fasilitas jalan
yang tidak berdebu, selokan pembuangan yang berfungsi baik, pengelolaan sampah
yang baik. Umumnya fasilitas jalan dan selokan maupun pengelolaan sampah di
Kota Bogor cukup baik.
2. Bangunan dan fasilitas
Bangunan dan fasilitas IKM seharusnya menjamin bahwa pangan tidak
tercemar oleh bahaya fisik, biologis, dan kimia selama dalam proses produksi serta
mudah dibersihkan dan disanitasi. Disain dan tata letak ruang produksi sebaiknya

59

cukup luas, mudah dibersihkan dan tidak digunakan untuk memproduksi produk
lain selain pangan.
Sebagian besar IKM roti di Kota Bogor kesulitan memenuhi persyaratan
terkait bangunan dan fasilitas, mengingat bangunan produksi tidak didesain dari
awal untuk produksi pangan yang memenuhi persyaratan GMP namun
memanfaatkan bangunan yang sudah ada. Umumnya desain konstruksi sudut
pertemuan dinding dengan lantai tidak dibuat landai/ cekung , dinding atau lantai
tidak seluruhnya dibuat dari bahan kedap air, rata , halus tetapi tidak licin
(Gambar 9). Tata letak di ruang produksi tidak didesain sesuai aliran proses
produksi dan mencegah proses kontaminasi. Pintu masuk bahan baku/ karyawan
dan pintu keluar produk yang sudah jadi tidak dibuat terpisah. Kondisi lantai masih
terdapat yang pecah-pecah sehingga ada celah sebagai sumber kontaminan.
Dinding atau pemisah ruangan jarang dibuat dari bahan kedap air, rata, halus,
berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas, dan kuat. Tidak semua
pintu dan jendela dilengkapi dengan pintu kasa yang dapat dilepas untuk
memudahkan pembersihan dan perawatan (Gambar 10). Di ruang produksi tidak
semua IKM selalu menyediakan tempat untuk mencuci tangan yang selalu dalam
keadaan bersih serta dilengkapi dengan sabun dan pengeringnya.

Gambar 9 Dinding tidak seluruhnya Gambar 10 Jendela tidak dilengkapi


dari bahan kedap pintu kasa yang mudah dibersihkan

60

3. Peralatan produksi
Tata letak peralatan produksi seharusnya diatur agar tidak terjadi kontaminasi
silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan sebaiknya
didesain, dikonstruksi, dan diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan
keamanan pangan yang dihasilkan. Peralatan produksi sebaiknya terbuat dari bahan
yang kuat, tahan lama, tidak beracun, mudah dipindahkan atau dibongkar pasang
sehingga mudah dibersihkan dan dipelihara serta memudahkan pemantauan dan
pengendalian hama. Permukaan yang kontak langsung dengan pangan harus halus,
tidak bercelah atau berlubang, tidak mengelupas, tidak berkarat dan tidak menyerap
air. Alat ukur/timbang seharusnya dipastikan keakuratannya, terutama alat
ukur/timbang bahan tambahan pangan (BTP).
Sering kali IKM roti tidak cermat meletakkan peralatan proses produksinya
sesuai dengan urutan prosesnya sehingga memudahkan bekerja secara higiene,
memudahkan pembersihan dan perawatan serta mencegah kontaminasi silang.
Misal penempatan peralatan proses produksi yang di dekat jendela yang terbuka
tanpa kasa cenderung dapat menyebabkan kontaminsi silang (Gambar 12). Tidak
semua peralatan dipelihara, diperiksa dan dipantau agar berfungsi dengan baik dan
selalu dalam keadaan bersih (Gambar 11).

Gambar 11 Peralatan proses produksi Gambar 12 Letak peralatan proses produksi


yang tidak terpelihara kebersihannya di sebelah jendela berpotensi kontaminasi

61

4.Suplai air atau sarana penyediaan air


Sumber air bersih untuk proses produksi sebaiknya cukup dan memenuhi
persyaratan kualitas air bersih dan / atau air minum. Air yang digunakan untuk
proses produksi harus air bersih dan sebaiknya dalam jumlah yang cukup
memenuhi seluruh kebutuhan proses produksi. Umumnya IKM roti Kota Bogor
menggunakan suplai air dari PDAM atau dari mata air tanah. Kualitas air yang ada
di Bogor relatif tidak bermasalah. PDAM secara rutin melakukan pengujian
laboratorium terhadap kualitas air yang disalurkan ke pelanggannya. Pengujian di
laboratorium dibutuhkan untuk membuktikan pemenuhan persyaratan kualitas air
yang digunakan sesuai standar kualitas air menurut PerMenKes No.
907/MenKes/SK/Per./VII/2002.
5. Fasilitas serta kegiatan higiene dan sanitasi
Fasilitas dan kegiatan higiene dan sanitasi diperlukan untuk menjamin agar
bangunan dan peralatan selalu dalam keadaan bersih dan mencegah terjadinya
kontaminasi silang dari karyawan. Sarana pembersihan / pencucian bahan pangan,
peralatan, perlengkapan dan bangunan (lantai, dinding dan lain-lain sebaiknya
tersedia dan terawat dengan baik. Sarana higiene karyawan seperti fasilitas untuk
cuci tangan dan toilet / jamban seharusnya tersedia dalam jumlah cukup dan dalam
keadaan bersih untuk menjamin kebersihan karyawan guna mencegah kontaminasi
terhadap bahan pangan. Sistem pembuangan limbah seharusnya didesain dan
dikonstruksi sehingga dapat mencegah resiko pencemaran pangan dan air bersih.
Sarana toilet / jamban seharusnya: a) didesain dan dikonstruksi dengan
memperhatikan persyaratan higiene, sumber air yang mengalir dan saluran
pembuangan; b) diberi tanda peringatan bahwa setiap karyawan harus mencuci
tangan dengan sabun sesudah menggunakan toilet; c) terjaga dalam keadaan bersih
dan tertutup; d) mempunyai pintu yang membuka ke arah luar ruang produksi.
Pada IKM roti di Kota Bogor masih ada yang belum mempunyai sarana cuci
tangan di dekat ruang produksi yang selalu dilengkapi air bersih dan sabun cuci
tangan , alat pengering tangan seperti handuk, lap atau kertas serap yang bersih
(Gambar 13). Pada Gambar 14, terlihat masih ada IKM yang belum tertib
melakukan pembersihan/pencucian dan penyucihamaan peralatan produksi
seharusnya dilakukan secara rutin setiap habis digunakan.

62

Gambar 13 Belum tersedia sarana Gambar 14 Pembersihan peralatan proses


cuci tangan di dekat ruang produksi produksi yang tidak rutin dilakukan

6. Kesehatan dan higiene karyawan


Kesehatan dan higiene karyawan yang baik dapat menjamin bahwa
karyawan yang kontak langsung maupun tidak langsung dengan pangan tidak
menjadi sumber pencemaran. Karyawan yang bekerja di bagian pangan harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1) Dalam keadaan sehat, jika sakit atau
baru sembuh dari sakit dan diduga masih membawa penyakit tidak diperkenankan
masuk ke ruang produksi; 2) Jika menunjukkan gejala atau menderita penyakit
menular, misalnya sakit kuning (virus hepatitis A), diare, sakit perut, muntah,
demam, sakit tenggorokan, sakit kulit (gatal, kudis, luka, dan lain-lain), keluarnya
cairan dari telinga (congek), sakit mata (belekan), dan atau pilek tidak
diperkenankan masuk ke ruang produksi. Karyawan yang menangani pangan
harus menutup luka di anggota tubuh dengan perban khusus luka
Karyawan yang menangani pangan seharusnya mengenakan pakaian kerja
yang bersih. Pakaian kerja dapat berupa celemek, penutup kepala, sarung tangan,
masker dan / atau sepatu kerja. Namun tidak semua pekerja IKM roti di Kota
Bogor roti selalu patuh menggunakan penutup kepalam sarung tangan seperti
terlihat pada Gambar 15. Karyawan tidak selalu mencuci tangan dengan sabun
sesudah menangani bahan mentah, atau bahan / alat yang kotor, dan sesudah ke
luar dari toilet / jamban. Masih terlihat karyawan yang bekerja makan dan minum,
merokok di ruang produksi. Karyawan di bagian pangan ada yang mengenakan
perhiasan seperti anting, cincin, gelang, kalung, jam tangan, bros dan peniti atau
63

benda lainnya yang dapat membahayakan keamanan pangan yang diolah. Hal ini
sering dilanggar karena kurangnya kesadaran dan pemahaman pekerja.

Gambar 15 Pekerja pengolah pangan yang tidak menggunakan tutup kepala


dan sarung tangan

7. Pemeliharaan dan program higiene dan sanitasi


Pemeliharaan dan program sanitasi terhadap fasilitas produksi (bangunan,
mesin / peralatan, pengendalian hama, penanganan limbah dan lainnya) dilakukan
secara berkala untuk menjamin terhindarnya kontaminasi silang terhadap pangan
yang diolah. Program higiene dan sanitasi seharusnya menjamin semua bagian dari
tempat produksi telah bersih, termasuk pencucian alat-alat pembersih. Program
higiene dan sanitasi seharusnya dilakukan secara berkala serta dipantau ketepatan
dan keefektifannya dan jika perlu dilakukan pencatatan. Pengendalian hama
dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang
akan mencemari pangan. Belum seluruhnya IKM mempunyai jendela, pintu dan
lubang ventilasi yang telah dilapisi dengan kawat kasa untuk menghindari
masuknya hama serta menutup lubang dan selokan yang memungkinkan masuknya
hama. Mengingat lokasi produksi IKM roti umumnya menjadi satu dengan lokasi
tempat tinggal, maka masih memungkinkan ditemui adanya hewan peliharaan
seperti anjing, kucing, ayam dan burung berkeliaran di sekitar/ di dalam ruang
produksi.
8. Penyimpanan
Penyimpanan bahan yang digunakan dalam proses produksi (bahan baku,
bahan penolong, BTP) dan produk akhir dilakukan dengan baik sehingga tidak
mengakibatkan penurunan mutu dan keamanan pangan.

64

Penyimpanan bahan dan produk akhir harus disimpan terpisah dalam ruangan
yang bersih, sesuai dengan suhu penyimpanan, bebas hama, penerangannya cukup.
Penyimpanan bahan baku (Gambar 16) tidak boleh menyentuh lantai, menempel ke
dinding maupun langit-langit (Gambar ). Penyimpanan bahan dan produk akhir
harus diberi tanda dan menggunakan sistem First In First Out (FIFO) dan sistem
First Expired First Out (FEFO), yaitu bahan yang lebih dahulu masuk dan / atau
memilki tanggal kedaluwarsa lebih awal harus digunakan terlebih dahulu dan
produk akhir yang lebih dahulu diproduksi harus digunakan / diedarkan terlebih
dahulu. Bahan-bahan yang mudah menyerap air harus disimpan ditempat kering,
misalnya garam, gula, dan rempah-rempah bubuk. Bahan berbahaya seperti sabun
pembersih, bahan sanitasi, racun serangga, umpan tikus, dan lain-lain harus
disimpan dalam ruang tersendiri dan diawasi agar tidak mencemari pangan. Bahan
pengemas (Gambar 17) harus disimpan terpisah dari bahan baku dan produk akhir.
Label pangan harus disimpan di tempat yang bersih dan jauh dari pencemaran.
Penyimpanan mesin / peralatan produksi yang telah dibersihkan tetapi belum
digunakan harus di tempat bersih dan dalam kondisi baik, sebaiknya permukaan
peralatan menghadap ke bawah, supaya terlindung dari debu, kotoran atau
pencemaran lainnya.

Gambar 16 Penyimpanan bahan baku Gambar 17 Penyimpanan kemasan


9. Pengendalian proses
Pengendalian proses produksi pangan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a) Penetapan spesifikasi bahan; b) Penetapan komposisi dan formulasi bahan; c)
Penetapan cara produksi yang baku ; d) Penetapan jenis, ukuran, dan spesifikasi
kemasan; e) Penetapan keterangan lengkap tentang produk yang akan dihasilkan
termasuk nama produk, tanggal produksi, tanggal kadaluwarsa.
65

Bahan yang digunakan seharusnya dituangkan dalam bentuk formula dasar yang
menyebutkan jenis dan persyaratan mutu bahan. Jika menggunakan bahan
tambahan pangan (BTP), harus menggunakan BTP yang diizinkan sesuai batas
maksimum penggunaannya. Air yang merupakan bagian dari pangan maupun yang
kontak dengan bahan pangan seharusnya memenuhi persyaratan air minum atau air
bersih sesuai peraturan perundangundangan. IKM harus membuat bagan alir atau
urut-urutan proses secara jelas kondisi baku dari setiap tahap proses produksi,
seperti misalnya berapa menit lama pengadukan, berapa suhu pemanasan dan
berapa lama bahan dipanaskan.
10. Pelabelan pangan
Kemasan pangan diberi label yang jelas dan informatif untuk memudahkan
konsumen dalam memilih, menangani, menyimpan, mengolah dan mengonsumsi
pangan IRT. Label pangan IRT tidak boleh mencantumkan klaim kesehatan atau
klaim gizi. Label pangan IKM belum seluruhnya telah memuat sekurang-kurangnya
hal berikut yang dipersyaratkan:
a) Nama produk sesuai dengan jenis pangan IRT yang ada di Peraturan Kepala
Badan POM HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pemberian Sertifikat
Produksi Pangan Industri Rumah Tangga.
b) Daftar bahan atau komposisi yang digunakan
c) Berat bersih atau isi bersih
d) Nama dan alamat IRTP
e) Tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa
f) Kode produksi
g) Nomor P-IRT.
11. Pengawasan oleh penanggungjawab
Penanggung jawab minimal harus mempunyai pengetahuan tentang prinsip-
prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses produksi pangan yang
ditanganinya dengan pembuktian kepemilikan Sertifikat Penyuluhan Keamanan
Pangan (Sertifikat PKP).
12. Penarikan produk
Pemilik IRTP harus menarik produk pangan dari peredaran jika diduga
menimbulkan penyakit / keracunan pangan dan / atau tidak memenuhi persyaratan

66

peraturan perundang-undangan di bidang pangan. Penanggung jawab IRTP


mempersiapkan prosedur penarikan produk pangan.
13. Pencatatan dan dokumentasi
Pemilik seharusnya mencatat dan mendokumentasikan : 1) Penerimaan bahan
baku, bahan tambahan pangan (BTP), dan bahan penolong sekurang-kurangnya
memuat nama bahan, jumlah, tanggal pembelian, nama dan alamat pemasok;
2) Produk akhir sekurang-kurangnya memuat nama jenis produk, tanggal produksi,
kode produksi, jumlah produksi dan tempat distribusi / penjualan; 3) Penyimpanan,
pembersihan dan sanitasi, pengendalian hama, kesehatan karyawan, pelatihan,
distribusi dan penarikan produk dan lainnya yang dianggap penting. Catatan dan
dokumen dapat disimpan selama 2 (dua) kali umur simpan produk pangan yang
dihasilkan. Catatan dan dokumen yang ada sebaiknya dijaga agar tetap akurat dan
mutakhir. Pada umumnya IKM mempunyai kelemahan dalam dokumentasi karena
terbatasnya tenaga kerja serta waktu yang tersedia, kurangnya disiplin dalam
pencatatan.
14. Pelatihan karyawan
Pemilik / penanggung jawab harus sudah pernah mengikuti penyuluhan
tentang Cara Produksi Pangan Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-
IRT)/. Pemilik / penanggung jawab tersebut harus menerapkannya serta
mengajarkan pengetahuan dan ketrampilannya kepada karyawan yang lain. Pada
umumnya IKM mempunyai kelemahan dalam kegiatan pelatihan tenaga kerja
karena terbatasnya dana, kemampuan serta waktu yang tersedia. IKM cenderung
menggunakan fasilitas pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah secara
cuma-cuma.
4.4 Instansi Pembina dan Pengawas IKM terkait GMP
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota pada Bidang Kesehatan - sub bidang Obat dan Perbekalan
Kesehatan, mengamanatkan bahwa pengawasan dan registrasi makanan minuman
produksi rumah tangga merupakan urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Program pembinaan
IRTP terkait hal keamanan pangan banyak dilakukan oleh Badan POM yang

67

bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Daerah. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun


2004 pasal 43 mengamanatkan pengawasan dan pembinaan IRTP kepada
Bupati/Walikota, dalam hal ini dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Daerah.
Pembinaan teknologi, manajemen dan permesinan IKM banyak dilakukan oleh
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Daerah.
Dinas kesehatan daerah Kota Bogor
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor mempunyai tugas pokok
melaksanakan kewenangan otonomi pemerintah di bidang kesehatan yang menjadi
Urusan Rumah Tangga Daerah. Dinkes mempunyai fungsi antara lain mencakup
pengembangan dan pembinaan pelayanan kesehatan, pencegahan dan
pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan, kesehatan keluarga dan
penyuluhan kesehatan serta pemberian perijinan dan pelaksanaan pelayanan umum.
Struktur organisasi Dinkes Kota Bogor ,berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor

No. 13 tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lampiran 2, mencakup :


a. Kepala Dinas ;
b. Sekretariat, membawahi :
1. Sub Bagian Umum dan Kepegawaian ;
2. Sub Bagian Keuangan ;
3. Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan .
c. Bidang Pemberdayaan Kesehatan Masyarakat, membawahi :
1. Seksi Promosi Kesehatan ;
2. Seksi Peran Serta Masyarakat ;
3. Seksi Pembiayaan Kesehatan Masyarakat .
d. Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
membawahi :
1. Seksi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular ;
2. Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular ;
3. Seksi Penyehatan Lingkungan .
e. Bidang Pembinaan Kesehatan Keluarga, membawahi :
1. Seksi Kesehatan Ibu dan Anak ;
2. Seksi Kesehatan Remaja dan Lansia ;
3. Seksi Gizi .
68

f. Bidang Pelayanan Kesehatan, membawahi :


1. Seksi Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan ;
2. Seksi Pembinaan dan Pengendalian Sarana Kesehatan Swasta ;
3. Seksi Perbekalan Kesehatan, Pengawasan Obat dan Makanan .
g. UPTD Puskesmas (jumlah 24) ;
h. UPTD Laboratorium Kesehatan Daerah (LABKESDA) .

Pada Seksi Perbekalan Kesehatan Pengawasan Obat dan Makanan POM


(Perbekas) salah satu tugasnya adalah menjalankan pembinaan dan pengawasan SP-
PIRT melalui kegiatan Penyuluh Keamanan Pangan (PKP) dan kegiatan Pengawas
Keamanan Pangan Kota / Food District Inspector (FDI). Penyuluh Keamanan
Pangan (PKP) adalah pegawai negeri sipil yang mempunyai kualifikasi PKP yang
mempunyai kompetensi sesuai dengan bidangnya dalam produksi pangan dan
diberi tugas untuk melakukan penyuluhan keamanan pangan dari organisasi yang
kompeten. Pengawas Pangan Kabupaten/Kota (District Food Inspector/DFI) adalah
pegawai negeri sipil yang mempunyai kualifikasi DFI, yang mempunyai
kompetensi sesuai dengan bidangnya dalam produksi pangan dan diberi tugas untuk
melakukan pengawasan keamanan pangan IRTP dalam rantai pangan dari
organisasi yang kompeten. Sumberdaya pada Seksi Perbekas ini saat ini memiliki 4
tenaga PKP yang aktif bertugas , dimana 3 orang tersebut juga merangkap sebagai
tenaga Pengawas Pangan Kota (DFI) . Latar belakang pendidikan sumberdaya
yang ada adalah semua Sarjana S1 bidang Farmasi. Selain itu sumberdaya yang
sama dihunakan untuk melaksanakan tugas dalam pembinaan dan pengawasan
obat-obatan.
Sumber dana untuk kegiatan penyuluhan diperoleh dari APBD Kota Bogor
dan penarikan biaya pendaftaran SP-PIRT sebesar Rp. 300.000,-/pendaftar. Namun
sejak tahun 2011, kebijakan biaya pendaftaran SP-PIRT telah dihapus. Alokasi
dana yang ada pada Seksi Perbekas tahun 2012 kurang lebih 150 juta dengan
proporsi pendanaan untuk kegiatan penyuluhan dan pengawasan pangan hanya
sebesar kurang-lebih 75 juta. Target output sarana produksi pangan yang terbina
sebanyak 100 buah. Hal ini antara lain menyebakan kegiatan penyuluhan terbatas

69

dan pengawasan (survailen) yang seharusnya dilakukan setahun sekali tidak dapat
dilaksanakan.
Kegiatan penyuluhan keamanan pangan umumnya dilakukan Dinkes Kota
Bogor 3-4 kali dalam jangka waktu setahun, dengan batasan peserta 20-30 orang
setiap kegiatan penyuluhan. Penyuluhan dilakukan kepada pemilik atau
penanggung jawab IRTP. Penyuluhan dilakukan selama 2 (dua ) hari dengan materi
yang umum digunakan dalam kegiatan penyuluhan keamanan pangan terdiri dari :
(1) Materi Utama mencakup : a) Peraturan perundang-undangan di bidang pangan;
b) Keamanan dan Mutu pangan; c) Teknologi Proses Pengolahan Pangan; d)
Prosedur Operasi Sanitasi yang Standar /SSOP); e) Cara Produksi Pangan
Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT); f) Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan (BTP); g) Persyaratan Label dan Iklan Pangan.
(2) Materi Pendukung mencakup : a) Pencantuman label Halal; b) Etika Bisnis dan
Pengembangan Jejaring Bisnis IRTP.
Bahan untuk penyuluhan yang diberikan kepada peserta berupa hand out
presentasi materi, dan belum ada publikasi lain yang diterbitkan dalam kegiatan
penyuluhan.
Kegiatan penilaian pemeriksaan sarana produksi dilakukan setelah pemilik
atau penangungjawab telah memiliki sertifikat penyuluhan keamanan pangan.
Kegiatan pemeriksaan hanya dilakukan oleh tenaga FDI yang ada di Seksi Perbekas
Dinkes Kota Bogor. Lama pemeriksaan sekitar 1 atau 2 hari tergantung luasan atau
kompleksitas sarana produksi yang diperiksa. Laporan hasil pemeriksaan sarana
produksi menjadi dasar untuk dapat diterbitkan SP-PIRT ditembuskan kepada Pusat
Pelayanan Ijin Terpadu Kota Bogor yang akan menerbitkan sertifikat dan ijin
nomor pendaftaran produk.
Dinas perindustrian dan perdagangan Kota Bogor
Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Lampiran 3) terdiri dari:
Kepala Dinas, Sekretaris, dan 3 (tiga) Kepala Bidang dengan rincian sebagai
berikut :
1. Sekretaris membawahi : Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; Sub Bagian
Keuangan; dan Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan.

70

2. Bidang Perindustrian membawahi: Seksi Industri Agro dan Hasil Hutan;


Seksi Industri Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka; Seksi Industri kima.
3. Bidang Perdagangan membawahi : Seksi Perdagangan Dalam Negeri; Seksi
Perdagangan Luar Negeri; dan Seksi Perlindungan Konsumen.
4. Bidang Metrologi membawahi : Seksi Ukur Arus, Panjang, Volume dan
Barang Dalam Keadaan Terbungkus (BDKT); Seksi Masa dan Timbangan;
Seksi Penyuluhan dan Pengawasan Kemetrologian.

Bidang yang membidangi kegiatan pembinaan IKM makanan adalah bidang


perindustrian khususnya Seksi Industri Agro dan Hasil Hutan . Pada bidang
perindustrian, jumlah SDM aparatur di tahun 2012, adalah sebanyak 13 orang PNS.
Jumlah SDM aparatur yang merupakan pasca sarjana adalah sebanyak 3 orang ,
lulusan sarjana S1 sebanyak 4 orang , lulusan Diploma III sebanyak 1 orang, lulsan
setingkat SLTA sebanyak 4 orang dan lulusan setingkat SLTP sebanyak 1 orang.
Khusus SDM pada Seksi Industri Agro dan Hasil Hutan hanya ada 2 (dua ) orang.
Anggaran belanja untuk urusan perindustrian di tahun 2011 adalah sebesar Rp
725 juta, namun alokasi anggaran belanja untuk bidang Sekretariat lebih besar
dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk bidang substantif, yaitu porsinya di
atas sebesar 70 persen dari total anggaran belanja di instansi tersebut.
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor proaktif dalam
melakukan pembinaan kepada IKM, terlihat dari capaian indikator kinerja.Terdapat
dua indikator kinerja yang telah ditentukan dalam RPJMD, yaitu jumlah industri
kecil dan menengah (IKM), dengan target sebanyak 3510 unit IKM, dan jumlah
industri yang memanfaatkan teknologi tepat guna, dengan target sebanyak 750 unit
IKM. Jenis kegiatan yang telah dilakukan antara lain memfasilitasi IKM mendapat
sertifikasi halal, memfasilitasi IKM mendapatkan sertifikasi SP-PIRT, pelatihan
dan bimbingan teknis untuk penerapan GMP/ HACCP/SNI, pameran produk IKM,
memfasilitasi promosi produk IKM serta memfasilitasi terbentuknya
wadah/asosiasi IKM. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor dalam
kegiatannya terlait keamanan pangan telahi berkoordinasi/ melibatkan Dinas
Kesehatan Kota Bogor khususnya Seksi Perbekalan Kesehatan, Pengawasan Obat
dan Makanan.

71

72

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Internal


Analisis terhadap lingkungan internal pemerintah dan industri roti di Kota
Bogor teridentifikasi beberapa faktor internal yang menjadi kekuatan dan
kelemahan yang dapat mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Pratices di
industri roti-kue di Kota Bogor. Analisis ini berdasarkan hasil depth interview
dengan para pakar/pelaku dan kajian literatur. Faktor-faktor internal yang
teridentifikasi menjadi kekuatan dan kelemahan tercantum dalam Tabel 13.
Tabel 13 Faktor-faktor lingkungan internal
No Faktor Lingkungan Internal
Kekuatan (Strenghts)
1 Lokasi Kota Bogor yang strategis menarik
2 Sektor industri makanan-minuman menjadi sektor basis perekonomian Bogor
3 Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi
4 Dukungan sarana dan prasarana kota memadai
5 Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT
6 Sumber keuangan daerah cukup baik
7 Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD
Kelemahan (Weakness)
1 Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana
Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan
2 Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan DFI masih terbatas
3 Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang
4 Keterbatasan modal IKM
5 Media informasi/ publikasi masih terbatas
6 Keterbatasan pemahaman keamanan pangan tenaga kerja di IKM
7 Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan regular

5.1.1 Kekuatan
Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan yaitu :
1. Lokasi Kota Bogor yang strategis
Kedudukan topografis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
dengan kondisi geografis yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah
lainnya di Jabodetabek, serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara,

73

merupakan potensi yang strategis untuk perkembangan dan pertumbuhan kegiatan


ekonomi. Lokasi yang berdekatan dengan ibu kota Jakarta juga memudahkan akses
sumber informasi di pemerintahan pusat ibu kota seperti BPOM, Kementerian
Perindustrian, Kementrian UKM, dan lainnya. Adanya Kebun Raya yang
didalamnya terdapat Istana Bogor di pusat kota serta kedudukan Kota Bogor
diantara jalur tujuan wisata Puncak - Cianjur menjadikan Kota Bogor sebagai salah
satu alternatif pusat perbelanjaan, perdagangan dan wisata kuliner bagi masyarakat
Kota Bogor dan sekitarnya.
Kota Bogor masih memberikan daya tarik yang besar bagi para wisatawan.
Hal itu terlihat dari tingkat kunjungan wisatawan ke Kota Bogor di tahun 2011
yang mencapai 3.264.169 orang yang terdiri dari 3.112.414 wisatawan lokal dan
151.755 wisatawan mancanegara. Dengan demikian, kunjungan wisatawan tahun
2011 tumbuh sebesar 10,02% dibandingkan kunjungan wisatawan di tahun 2010
yang mencapai 2.967.426 orang (Bapeda, 2010). Tempat wisata di Kota Bogor
yang menjadi tujuan para wisatawan diantaranya: Kebun Raya Bogor, Istana Bogor,
Museum Zoologi, Museum Etnobotani, Prasasti Batu tulis, Danau Situgede, Taman
Topi (Plaza Kapten Muslihat), Museum Tanah, Museum PETA, Museum
Perjuangan, dan Wisata Air The Jungle.
Lokasi strategis menciptakan peluang pasar bagi produk industri IKM roti di
Kota Bogor. Hal ini juga berdampak baik bagi perkembangan ekonomi industri roti
di Kota Bogor.
2. Sektor industri makanan menjadi sektor basis perekonomian Bogor
Berdasarkan data BPS Kota Bogor, sektor kedua yang dominan dalam
pembentukan PDRB Kota Bogor periode 2005-2009 adalah sektor industri
pengolahan dengan laju 27,97 %. Pada sektor industri pengolahan, sub sektor
dominan adalah sektor makanan, minuman dan tembakau dengan jumlah industri
terbanyak. Berdasarkan data sensus industri tahun 2011, selama jangka waktu
tahun 2005-2009 sektor makanan dan minuman menunjukan: 1) Peningkatan
jumlah output terbesar dibanding sektor lain mencapai 595 juta rupiah; 2)
Peningkatan nilai tambah dari 55,82 juta rupiah menjadi 435,07 juta rupiah (7,79
kali lipat).

74

Industri makanan dan minuman termasuk dalam kategori industri penggerak


perekonomian Kota Bogor. Adapun ciri-ciri kelompok industri penggerak
perekonomian antara lain: 1) Menggunakan bahan baku lokal (atau bahan baku
yang mudah diperoleh; 2) Cara memproduksinya tidak sulit dikuasai oleh
masyarakat setempat , karena berbasis talenta dan ketrampilan daerah ataupun
kalau membutuhkan alih tehnologi akan mudah dilakukan atau tidak menuntut
ketrampilan tinggi; 3) Sebagian besar produknya dapat diserap oleh pasar
lokal/domestik, atau tidak memerlukan pemasaran yang sulit; 4) Mempunyai
potensi untuk dikembangkan, apabila memungkinkan dikembangkan sebagai
produk unggulan daerah (Bapeda, 2010).
3. Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi
Pemerintah Kota Bogor telah memiliki laboratorium uji terakreditasi KAN
(No akreditasi LP-443-IDN ) yaitu Laboratorium Dinas Kesehatan yang beralamat
di Jl. Kesehatan No. 3 Tanah Sareal Kota Bogor . Ruang lingkup yang dimiliki
antara lain untuk pengujian kimia/fisika air dan air limbah, mikrobiologi makanan
dan minuman, bahan tambahan/pengawet/pewarna makanan, hygiene dan sanitasi.
Biaya pengujian berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bogor No. 4 Tahun 2006.
Pengujian di laboratorium dibutuhkan dalam membuktikan pemenuhan
persyaratan pada penerapan GMP seperti pengujian kualitas air yang digunakan
sesuai standar kualitas air menurut PerMenKes No. 907/MenKes/SK/Per./VII/2002;
pengujian cemaran mikroba dan kimia sesuai Peraturan Kepala Badan POM RI No.
Hk.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan
kimia dalam makanan; pengujian laboratorium untuk memeriksa status kesehatan
pekerja.
4. Memiliki dukungan sarana dan prasarana kota memadai
Kota Bogor telah memiliki kualitas dan jaringan air bersih (PDAM) yang
cukup baik untuk mendukung operasional industri roti dalam pemenuhan sumber
air untuk proses produksi . Baku mutu air minum yang dipersyaratkan dalam
penerapan GMP harus memenuhi standar kualitas air menurut PerMenKes No.
907/MenKes/SK/Per./VII/2002. Tingkat pelayanan Air minum oleh PDAM Tirta
Pakuan melalui sambungan langsung (SR) pada tahun 2008 sebesar 98,72%
(RPJMD Kota Bogor, 2010-2014).

75

Data Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (tahun 2008)


menunjukan jaringan jalan Kota Bogor sepanjang 783,412 km yang dalam kondisi
baik sekali sepanjang 255,046 km dan kondisi baik sepanjang 428,222 km. Di
Kota Bogor terdapat satu stasiun, empat terminal kendaraan umum yaitu terminal
Baranangsiang, terminal Merdeka, terminal Bubulak dan terminal Laladon.
Aksesbilitas jalan dan kereta api di Kota Bogor yang cukup baik menghubungkan
dengan wilayah eksternal mendukung potensi pemasaran industri roti.
Jaringan listrik di Kota Bogor tersedia cukup baik dimana jumlah pelanggan
dan daya tersambung setiap kecamatan hampir merata, yang paling rendah di Bogor
Timur (Tabel 14). Jaringan listrik yang baik mendukung bagi kegiatan produksi
IKM roti.
Tabel 14 Jumlah pelanggan listrik dan daya tersambung menurut kecamatan
di Kota Bogor tahun 2008

No Kecamatan Jumlah Daya Tersambung


Langganan
1 Bogor Selatan 34.580 32.387.551
2 Bogor Timur 16.932 23.743.271
3 Bogor Utara 29.403 25.612.646
4 Bogor Tengah 23.004 50.527.466
5 Bogor Barat 35.833 28.448.908
6 Tanah Sareal 30.728 22.811.799
170.480 183.531.641
Sumber : Kota Bogor dalam Angka BPS ( 2008)

5. Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT oleh pemerintah daerah Kota


Bogor
Sejak tahun 2010 pemerintah daerah Kota Bogor melalui Dinas Kesehatan
Bogor telah menetapkan kebijakan untuk melakukan pembebasan biaya pendaftaran
SP-PIRT sebesar Rp.300.000,-. Hal ini meringankan bagi IKM roti untuk
memperoleh SP-PIRT, dimana SP-PIRT merupakan jaminan tertulis yang diberikan
oleh Walikota terhadap pangan produksi IRTP yang telah memenuhi persyaratan
antara lain GMP. Tata Cara untuk memperoleh SP-PIRT diatur dalam Peraturan
Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman
pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga.

76

6. Sumber keuangan daerah cukup baik


Sumber penerimaan pemerintah daerah Kota Bogor berasal dari bagian
pendapatan asli daerah , bagian dana perimbangan dan pendapatan lain yang syah.
Pendapatan asli daerah Kota Bogor tahun 2011 mencapai Rp. 127.4888.089.831, - ;
dana perimbangan mencapai Rp. 659.141.536.834,- dan dana pendapatan lain yang
yang syah mencapai Rp. 56.121.435.000,-. Total sumber penerimaan pemerintah
daerah Kota Bogor mencapai Rp. 842.751.061.665 (Tabel 15). Sumber
penerimaan daerah menjadi modal bagi penyelenggaraan urusan pemerintah daerah
termasuk dalam pembiayaan kegiatan Dinas Kesehatan maupun Dinas
Perindustrian dan Perdagangan terkait penyuluhan dan pengawasan IKM . Hal ini
menjadikan iklim yang kondusif mendukung pemerintah daerah dalam
melaksanakan program kerjanya.
Tabel 15 Realisasi penerimaan daerah Kota Bogor tahun 2011
No Jenis Penerimaan Nilai
1 Bagian Pendapatan Asli daerah 127.488.089.831
1.1 Pajak Daerah 66.504.761.353
1.2 Restribusi Daerah 34.681.146.445
1.3 Bagian Laba Usaha Daerah 15.137.968.088
1.4 Penerimaan lain-lain 11.164.213.945
2. Bagian dana Perimbangan 659.141.536.834
2.1Bagi Hasil Pajak 129.983.594.372
2.2Bagi Hasil Bukan Pajak 18.704.027.015
2.3Dana Alokasi Umum 426.093.607.000
2.4Dana Alokasi Khusus (DAK) 9.756.700.000
2.5 Bagi Hasil Pajak & Bantuan Keuangan dari Propinsi 74.603.608.447
2.5.1 Bagi hasil Pajak Propinsi 74.603.608.447
2.5.2 bantuan Keuangan dari Propinsi -
3 Lain lain Pendapatan yang syah 56.121.435.000
3.1 Hibah 2.999.965.000
3.2 Pendapatan lainnya 53.121.470.000
Jumlah Penerimaan 842.751.061.665
Sumber : Kota Bogor dalam Angka, BPS (2011)

7. Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD


Pemerintah Kota Bogor telah menyelenggarakan pertemuan rutin lintas
satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) untuk mengkoordinasikan pelaksanaan
program kerja rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), misalnya
dalam urusan ketahanan pangan dengan indikasi kegiatan peningkatan distribusi,

77

mutu dan ketersediaan masyarakat maka terdapat jaringan koordinasi antara Dinas
Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UKM .

5.1.2 Kelemahan
Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan yaitu :
1. Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana
Strategis Pengembangan Industri
Pemerintah Kota Bogor belum memiliki Rencana Aksi Pangan-Gizi Daerah
yang mengacu ke Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) yang telah
ditetapkan pemerintah melalui Badan Perencanaan Nasional (Bapenas). Bapenas
telah menghimbau RAN-PG agar diacu oleh seluruh pemerintah daerah dalam
penanganan masalah pangan-gizi untuk dijabarkan dalam Rencana Aksi Pangan-
Gizi Daerah. RAN-PG yang berlaku saat ini RAN-PG tahun 2011-2015. RAN-PG
disusun melalui pendekatan lima pilar pembangunan pangan dan gizi yang meliputi
(1) perbaikan gizi masyarakat; (2) aksesibilitas pangan; (3) mutu dan keamanan
pangan; (4)perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan (5) kelembagaan pangan
dan gizi. Salah satu strategi kebijakan peningkatan pengawasan mutu dan
keamanan pangan dilakukan melalui peningkatkan pengawasan keamanan pangan
yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri
rumah tangga (PIRT) tersertifikasi. Strategi peningkatan pengawasan mutu dan
keamanan pangan dalam RAN-PG dijabarkan dalam program kegiatan dengan
indikator capaian seperti tercantum dalam Tabel 16.
Adapun misi dalam RPJMD Kota Bogor tahun 2010-2014 yang terkait dalam
peningkatan mutu keamanan pangan pada IKM tercantum pada misi 1 yaitu
Mengembangkan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada kegiatan jasa
perdagangan dengan strategi meningkatkan nilai tambah produk industri kecil
menengah dan strategi meningkatkan distribusi, mutu dan ketersediaan bahan
pangan . Namun belum ada stategi yang mengacu secara spesifik ke program /
indikator RAN-PG.
Pemerintah Kota Bogor belum memiliki Rencana Strategis Pengembangan
Industri yang ditetapkan, baru tahap pengkajian penyusunan rencana induk
perdagangan dan perindustrian Kota Bogor yang dilakukan pada tahun 2011.

78

Tabel 16 Program dan indikator pelaksanaan strategi peningkatan pengawasan


mutu dan keamanan pangan RAN PG Tahun 2011-2015

No Program Indikator
1 Pengawas Obat dan Makanan Proporsi makanan yang memenuhi syarat

2 Pengawasam Produk dan Bahan Prosentase makanan yang mengandung cemaran bahan
Berbahaya berbahaya yang dilarang
3 Inspeksi dan Sertifikasi Makanan Prosentase sarana produksi makanan MD yg
memenuhi GMP terkini
Prosentase sarana produksi makanan bayi dan anak
yg memenuhi GMP terkiniuhi standar GRP/GDP
Prosentase penjualan makanan yang meme
4 Peningkatan jumlah dan - Jumlah tenaga penyuluh keamanan (PKP)
kompetensi tenaga penyuluh dan - Jumlah tenaga pengawas Kab/Kota (FDI)
pengawas
5 Bimbingan teknis pada industri - Jumlah penyusunan Modul Penerapan Prinsip
rumah tangga pangan (IRTP) Keamanan Pangan pada proses produksi di IRTP
berdasarkan jenis produk
- Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi Penerapan
Prinsip Keamanan Pangan pada proses produksi di
IRTP
- Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi disain dan
implementasi CPPB pada IRTP
- Monitoring dan verifikasi CPPB pada IRTP
- Monitoring dan verifikasi BinTek pada kantin
sekolah
Sumber : Bappenas (2011)

Sedangkan secara nasional telah ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka


Panjang Nasional (RPJPN) 2005 - 2025 sebagaimana dinyatakan dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2007; Kebijakan Pembangunan Industri Nasional melalui
Peraturan Presiden 28 Tahun 2008; penjabaran Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN); dan Rencana Strategis Kementrian Perindustrian
tahun 2010-2014. Rencana strategis tersebut perlu diacu dalam Rencana Strategis
Dinas Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Arah kebijakan industri 2005-2025 seperti dinyatakan dalam Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 antara lain : 1) Pembangunan industri diarahkan
mewujudkan industri berdaya saing baik di pasar lokal maupun internasional, dan
terkait dengan pengembangan Industri Kecil dan Menengah; 2) Menciptakan
lingkungan usaha mikro (lokal) yang dapat merangsang tumbuhnya rumpun
industri yang sehat dan kuat melalui penyediaan berbagai infrastruktur bagi
peningkatan kapasitas kolektif, yang, antara lain, sarana dan prasarana fisik
(transportasi, komunikasi, energi), sarana dan prasarana teknologi, prasarana

79

pengukuran, standardisasi, pengujian, dan pengendalian kualitas, serta sarana dan


prasarana pendidikan dan pelatihan tenaga kerja industri. Indikator kinerja urusan
perindustrian yang telah ditetapkan dalam RPJMD Kota Bogor 2010-2014 dan
Renstra Dinas Perindustrian dan Perdagangan hanya mencakup jumlah industri
kecil dan menengah (IKM) dengan target sebanyak 3510 unit IKM, dan jumlah
IKM yang memanfaatkan teknologi tepat guna .
2. Jumlah dan keahlian tenaga penyuluh keamanan pangan dan tenaga
pengawas pangan masih terbatas
Penyelenggara penyuluhan keamanan pangan dikoordinasikan oleh
WaliKotac.q. Dinas Kesehatan Kota melalui tenaga Penyuluh Keamanan Pangan
(PKP) yang diberi tugas untuk melakukan penyuluhan keamanan pangan kepada
industri. Tenaga Pengawas Pangan Kota(District Food Inspector/DFI) diberi tugas
untuk melakukan pengawasan keamanan pangan IRTP dalam rantai pangan.
Kriteria tenaga PKP dan DFI dalah pegawai negeri sipil (PNS) yang memiliki
Sertifikat kompetensi dari Badan POM dan ditugaskan oleh WaliKota c.q. Dinas
Kesehatan Kota.
Saat ini Dinas Kesehatan Kota Bogor hanya memiliki 4 tenaga PKP yang
aktif bertugas, dimana 3 orang tersebut juga merangkap sebagai tenaga Pengawas
Pangan Kota (DFI). Jika dibandingkan dengan jumlah industri kecil-menengah
pangan keseluruhan tahun 2011 di Kota Bogor sebanyak 1.366 industri maka
tenaga tersebut belum memadai. Mengingati tugas sebagai PKP dan DFI tersebut
masih merangkap tugas-tugas lain terkait pengawasan obat, farmasi dan kesehatan.
Latar belakang pendidikan yang dimiliki 4 tenaga PKP/ DFI semuanya adalah
sarjana Farmasi. Hal ini menjadikan dukungan kompetensi PKP/DFI terutama
dalam hal keamanan pangan, tehnologi dan proses industri pangan terbatas.
Jumlah dan dukungan kompetensi tenaga PKP/DFI juga akan mempengaruhi
penerapan Good Manufacturing Practices di industri IKM roti di Kota Bogor.
3. Tingkat komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang
Berdasarkan hasil depth interview dengan petugas PKP/DFI serta petugas
pembina indusrti pangan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor,
salah satu faktor yang menyebabkan industri IKM roti-kue di Kota Bogor belum
menerapkan Good Manufacturing Practices adalah kurangnya komitmen dan

80

dukungan dari pimpinan/pemilik IKM . Walaupun IKM telah mendapat penyuluhan


dan pembinaan intensif dari pemerintah bila tanpa diikuti komitmen dan dukungan
dari pimpinan/pemilik IKM menyebabkan penerapannya berhenti. Hal serupa
ditemukan pada penelitian Wilcock et al. (2011) bahwa prioritas pertama yang
mempengaruhi penerapan HACCP pada SMEs yaitu komitmen manajemen
puncak.
Selain itu kendala lain yang timbul selama pembinaan adalah sulitnya
mengubah budaya kerja/perilaku dari tenaga kerja IKM kearah yang sesuai dengan
aturan dalam Good Manufacturing Practices seperti budaya mencuci tangan,
penggunaan masker, sarung tangan dan tutup kepala. Faktor penting yang
mempengaruhi kepatuhan pekerja adalah sikap kepimpinan dan komitmen
manajemen terhadap program dan juga pelatihan yang tepat ( Wilcock et al., 2011).
4. Keterbatasan modal IKM
Industri pangan roti di Kota Bogor bila dikelompokkan berdasarkan interval /
range investasi Rp. 50 juta, mayoritas berada pada nilai investasi di bawah Rp. 50
juta berjumlah 36 industri (78,3%) lihat Tabel 12 sebelumnya. Secara umum modal
dari IKM adalah terbatas, sedangkan untuk menerapkan Good Manufacturing
Practices membutuhkan dukungan dana seperti perbaikan fasilitas bangunan,
penyediaan alat kerja, training dan lain-lain. Penelitian Karaman et al. (2012)
menemukan bahwa biaya (46,4%) dan ketidakkecukupan kondisi fisik pabrik
(35,7%) merupakan penghalang utama untuk mengadopsi program prasyarat
(PRPs) pada pabrik susu Aydn.
5. Media dan tehnologi informasi/penerbitan publikasi masih terbatas
Saat ini Dinas Kesehatan Kota Bogor belum mempunyai media informasi/
publikasi/panduan yang diterbitkan dalam mendukung program penerapan Good
Manufacturing Practices. Bahan materi diberikan kepada pemilik IKM pada saat
mengikuti penyuluhan dan masih terbatas dalam bentuk slides, belum dalam bentuk
audio visual. Belum ada modul atau panduan penerapan prinsip-prinsip keamanan
pangan pada proses produksi di IRTP berdasarkan jenis produknya yang telah
dibuat oleh pemerintah Kota Bogor. Tata cara dan informasi, data base industri
yang memperoleh SP-PIRT belum secara aktif dipublikasikan termasuk dalam
website Dinas Kesehatan.

81

6. Keterbatasan pemahaman aspek keamanan pangan tenaga kerja di IKM


Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, jumlah IRTP untuk
keseluruhan komoditi pangan yang telah mendapatkan SP-PIRT yaitu sebanyak 497
maka sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah industri kecil pangan
keseluruhan di Kota Bogor tahun 2011 sebanyak 1.335 industri. Hal tersebut
menandakan masih banyak industri kecil yang belum paham terhadap aspek
keamanan pangan. Hal serupa juga ditemukan Bass et al. (2007) pada
penelitiannya di Turki, bahwa hambatan utama industri pangan dalam menerapkan
HACCP yaitu kurangnya pengetahuan tentang HACCP.
7.Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler
Sesuai Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
Hk.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat produksi
pangan industri rumah tangga Lampiran 1 butir g bahwa Bupati/ WaliKota cq.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melakukan monitoring (pengawasan)
terhadap pemenuhan persyaratan SP-PIRT yang telah diterbitkan minimal 1 (satu)
kali dalam setahun. Sampai saat ini industri yang telah mendapatkan SP-PIRT dari
Dinas Kesehatan Kota Bogor belum seluruhnya dilakukan monitoring
(pengawasan) terhadap pemenuhan persyaratan SP-PIRT 1 (satu) kali dalam
setahun. Hal ini sangat terkendala dengan jumlah tenaga pengawas /DFI yang
terbatas.

5.2 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Eksternal

Faktor-faktor eksternal yang teridentifikasi menjadi peluang dan ancaman


yang dapat mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices pada IKM
roti-kue di Kota Bogor tercantum dalam Tabel 17.
5.2.1 Peluang
Terdapat 7 (tujuh) faktor internal teridentifikasi merupakan peluang yaitu :
1 Pontensial peluang pasar dalam negeri
Salah satu faktor sosial yang berpotensi terhadap penciptaan pangsa pasar bagi
setiap bidang usaha di suatu wilayah adalah peningkatan jumlah penduduk

82

Tabel 17 Faktor-faktor lingkungan eksternal


No Faktor Lingkungan Eksternal

Peluang (opportunity)
1 Pontensial peluang pasar dalam negeri
2 Adanya bantuan programn dari pemerintah pusat
3 Perubahan pola konsumsi dan hidup sehat masyarakat
4 Perkembangan teknologi dan informasi
5 Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor
Ancaman (threat)
1 Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan produk luar Kota
2 Kenaikan biaya produksi yang mempengaruhi harga produk
3 Perkembangan jenis makanan jadi lain produk substitusi roti
4 Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan diantara perusahaan
roti yang ada

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak
di dunia. Penduduk Indonesia yang semakin meningkat dapat berimplikasi terhadap
peningkatan kebutuhan pangan. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia selama
periode 2005-2008 rata-rata 1, 28 % ( BPS, 2008). Jumlah penduduk Kota Bogor
terus mengalami pertumbuhan dengan rata-rata selama kurun waktu 11 tahun
terakhir adalah 2, 83 %. Kondisi ini dapat menjadi peluang bagi industri roti-kue di
Kota Bogor untuk mengembangkan usahanya. Hal ini karena jumlah penduduk
yang semakin meningkat merupakan pangsa pasar yang potensial untuk
memasarkan produknya.
Nilai konsumsi roti per kapita oleh masyarakat Indonesia pada 2010 tumbuh
tertinggi dibandingkan 11 negara Asia Pasifik lainnya. Nilai konsumsi roti di
Indonesia naik 25% pada 2010 menjadi US$ 1,5 per orang per tahun, dari konsumsi
US$ 1,2 per orang per tahun pada 2009. Pertumbuhan itu menjadi yang tertinggi
dibanding kenaikan nilai konsumsi roti di negara-negara seperti Korea Selatan,
Singapura, China, Taiwan, dan India pada periode yang sama. Asosiasi roti dan
biskuit Indonesia memprediksi konsumsi roti dan biskuit pada kuartal II 2011
meningkat 10%-15% dibanding kuartal I tahun ini (http://id.indonesia
financetoday.com/).
2. Adanya bantuan program dari pemerintah pusat
Pemerintah Kota Bogor juga menerima bantuan dari instansi pemerintahan
pusat seperti BPOM, Kementrian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal IKM,

83

Kementrian Kesehatan, Kementrian UKM ,Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat,


Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat . Bantuan biasanya dapat
berupa bentuk program/dana insentif, training, bimbingan intensif, bantuan
peralatan atau bantuan pemasaran/promosi/pameran bagi IKM. Namun program,
jadwal dan besaran bantuan sangat tergantung dari instansi pusat.
Salah satu program yang dianggarkan oleh BPOM untuk seluruh
kabupaten/kota di Indonesia tertera dalam Rencana Aksi Pangan Nasional 2011-
2015 dengan sumber APBN untuk kegiatan mutu dan keamanan pangan sebesar
599 milyar untuk tahun 2012, 647 milyar tahun 2013, 725 milyar tahun 2014 dan
1.000 milyar untuk tahun 2015 ( Bapenas, 2010).
3. Perubahan pola konsumsi dan hidup sehat masyarakat
Pola konsumsi masyarakat Indonesia dapat dikenali berdasarkan alokasi
penggunaannya. Secara garis besar, alokasi pengeluaran konsumsi masyarakat
digolongkan dalam dua kelompok penggunaan, yaitu pengeluaran untuk makanan
dan pengeluaran untuk bukan makanan. Pengeluaran konsumsi untuk makanan
hampir 56,86 % dari seluruh pendapatan perkapitanya. Kaitan antara pola konsumsi
komoditas pangan utama dengan tingkat pendapatan dapat dipahami atau
dibuktikan pada tingkat makro maupun mikro menurut dua hukum, yaitu Hukum
Engel dan Hukum Bennet. Hukum Engel menyatakan bahwa proporsi anggaran
Rumah Tangga yang dialokasikan untuk konsumsi pangan pokok akan semakin
kecil pada saat tingkat pendapatan meningkat. Hukum Bennet menyatakan bahwa
rasio makanan pokok yang mengandung zat tepung akan menurun pada saat
pendapatan meningkat atau persentase kalori yang diperoleh dari pangan pokok
berkurang saat pendapatan meningkat, karena konsumen melakukan diversifikasi
pangan yang dikonsumsinya dengan memasukkan kalori tinggi (Hanani, 2009).
Kecenderungan perubahan pola konsumsi produk pengganti nasi merupakan
peluang bagi industri pangan termasuk IKM roti di Kota Bogor. Penduduk Kota
Bogor memiliki tingkat konsumsi konsumsi pangan terbesar ke tiga di provinsi
Jawa Barat setelah Kota Sukabumi dan Kota Depok.
Dewasa ini terjadi perubahan pola hidup sehat di dalam masyarakat juga
berdampak pada tingkat kepedulian konsumen dalam pemilihan produk yang aman
dikonsumsi. Hal ini menjadikan peluang bagi IKM roti yang telah mendapatkan SP-

84

PIRT sebagai salah bentuk jaminan dari pemerintah bahwa produknya diproduksi
dengan memenuhi persyaratan Good Manufacturing Practices yang ditentukan
pemerintah.
4. Perkembangan teknologi dan informasi
Perkembangan teknologi dan informasi yang cepat merupakan peluang yang
sangat besar bagi industri termasuk IKM roti di Kota Bogor. Hal ini dikarenakan
perkembangan teknologi ini dapat mendukung kelancaran usaha baik pada aspek
produksi maupun pemasaran.
5. Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor
Di Kota Bogor dan sekitarnya terdapat beberapa perguruan tinggi seperti IPB,
Universitas Pakuan, Universitas Djuanda, Diploma IPB , Universitas Ibnu
Khaldun,Univeritas Nusa Bangsa, Diploma Analis Kimia yang dapat menjadi
sumber informasi dan memiliki tenaga ahli yang dapat dimanfaatkan bagi IKM
maupun pemerintah daerah. Perguruan tinggi tersebut umumnya juga punya
aktivitas pengembangan dan pengabdian masyarakat yang salah satu kegiatannya
ikut membantu membina/memfasilitasi IKM seperti Inkubator Bisnis, LPPM IPB,
dan lain-lain. Hal ini dapat menjadi peluang kerjasama yang baik untuk
meningkatkan penerapan Good Manufacturing Practices di IKM roti-kue di Kota
Bogor. Lembaga penelitian yang berada di Kota Bogor cukup banyak, diantaranya
seperti tercantum pada Tabel 18.
Tabel 18 Daftar balai penelitian di Kota Bogor

NO
Nama Balai Penelitian

1 Balai Besar Industri Agro
2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen
3 Pertanian
4 Balai Penelitian Tanaman Pangan
5 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
6 Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan
7 Balai Penelitian Veteriner
8 Balai Penelitian Perikanan Air Tawar
9 Balai Penelitian Tanah
10 Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia
11 SEAFAST Center IPB
12 Balitbang Botani
13 Puslitbang Gizi dan Makanan, Balitbang Kesehatan
14 Institut Pertanian Bogor
15 Pusat Penelitian Pengembangan Peternakan
85

5.2.2 Ancaman (threat)


Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi ancaman yaitu :
1. Persaingan dari produk roti-kue sejenis (franchaise) dan produk luar
Kota yang punya jaminan kualitas dan keamanannya
Saat ini semakin banyak outlet produk roti-kue sejenis yang merupakan
(franchaise) dari perusahaan besar dan produk luar Kota Bogor didirikan atau
dipasarkan di lokasi strategis Kota Bogor seperti Bread Talk, Roti Boy, PT Yogya
tbk , PT Hero Tbk, Amanda, Kartika Sari, Maxim, Sari Roti yang telah memiliki
brand, jaminan kualitas dan keamanan melalui sertifikasi. Hal ini menjadi ancaman
persaingan pasar bagi IKM roti di Kota Bogor.
2. Adanya kemungkinan kenaikan biaya produksi yang mempengaruhi
harga produk
Harga minyak dunia mengalami fluktuasi yang besar selama tahun 2008-
2010. Harga minyak sempat menembus angka lebih dari US$ 145 per barrel.
Seiring dengan naik turunnya harga BBM dunia, maka harga BBM di dalam negeri
juga mengalami fluktuasi. Saat ini pemerintah menetapkan harga premium subsidi
Rp 4. 500 dan non subsidi Rp 7.500. Semula tahun 2011 akan menaikan harga
premium, namun kondisi ekonomi masyarakat yang belum siap maka pemerintah
menunda rencana kenaikan ini.
Selain menggunakan bahan bakar minyak, saat ini hampir sebagian besar
industri menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakarnya.harga gas elpiji cenderung
mengalami kenaikan (Tabel 19).

Tabel 19 Perkembangan Harga Gas Elpiji per Kemasan (Rp/Kg)


Harga Gas Elpiji (Rp)
Tahun
3 Kg 6 Kg 12 Kg 50 Kg
2005 - 25.500 51.000 212.500
2006 - 25.500 51.000 212.500
2007 12.750 25.500 51.000 312.950
Jan-08 12.750 25.500 51.000 396.600
Apr-08 12.750 25.500 51.000 340.150
Jul-08 12.750 31.500 63.000 343.900
Agust-08 `12.750 - `69.000 362.750
Sumber : PT. Pertamina (2009)

86

Kondisi ini tentunya dapat mengancam IKM yang menggunakan gas elpiji
untuk kelangsungan proses produksinya karena dapat menyebabkan biaya produksi
menjadi meningkat. Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan gas elpiji akan
menyebabkan meningkatnya biaya produksi, biaya distribusi dan mahalnya harga
bahan baku produksi yang berakibat pada naiknya harga produk yang dibuat.
Kondisi kenaikan BBM dan elpijii, membuat IKM berada dalam posisi yang sulit,
margin keuntungan menjadi kecil dan menjadi suatu dilema untuk menaikkan
harga.
Tarif Dasar Listrik (TDL) adalah tarif yang boleh dikenakan oleh pemerintah
untuk para pelanggan PLN. Penurunan TDL penting dilakukan sebagai stimulus
fiskal bagi sektor riil di tengah dampak krisis ekonomi global. Oleh karena itu,
bersamaan dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM pada
tanggal 15 Januari 2009, pemerintah juga menetapkan penurunan Tarif Dasar
Listrik (TDL) sebesar 8%. Akan tetapi penurunan TDL ini hanya berlaku bagi
pelanggan industri I-3 dengan daya tersambung 14-200 kVA dan industri I-4
dengan daya tersambung 201 kVA. Penurunan itu juga hanya pengurangan
disinsentif bagi pelanggan industri yang menggunakan listrik melebihi daya tertentu
saat beban puncak. Dengan kata lain, penurunan TDL pada tahun 2009 belum
berdampak terhadap IKM. Bahkan pada tahun 2012 pemerintah akan menaikan
TDL, kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi IKM roti yang menggunakan listrik
dalam proses produksinya.
3. Perkembangan jenis makanan jadi lain yang tergolong produk substitusi
roti
Produk substitusi atau produk pengganti adalah produk lain yang memiliki
fungsi sama dengan produk perusahaan dan dapat mempengaruhi keberadaan
produk perusahaan selama di pasar. Keberadaan produk substitusi dapat menjadi
ancaman bagi suatu perusahaan jika produk substitusi tersebut mempunyai harga
yang lebih murah namun memiliki kualitas yang sama dengan produk yang
ditawarkan perusahaan. Oleh karena itu, faktor harga jual dan mutu produk sering
digunakan oleh pelaku usaha sebagai alat dalam menghadapi keberadaan produk
substitusi. Pada industri roti (bakery), produk yang dapat digolongkan menjadi
produk substitusi adalah biskuit, kue, sereal, pie, wafer, mi instan dan lain-lain.

87

Produk substitusi roti yang semakin beragam baik dari segi harga maupun mutu
produk, misalnya mi instan, biskuit, sereal, pie atau wafer merupakan salah satu
ancaman bagi usaha bagi IKM di Kota Bogor.
4. Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan diantara
perusahaan roti yang ada
Secara umum, pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan dalam
membeli produk roti sesuai dengan seleranya. Hal ini disebabkan oleh semakin
meningkatnya jumlah perusahaan roti yang terdapat di Kota Bogor, dimana masing-
masing perusahaan roti menawarkan produk yang semakin bervariasi dan semakin
banyak jenisnya termasuk dari segi mutu produk dan harga jual produk. Oleh
karena itu, kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi IKM roti di Kota Bogor.

5.3 Matrik IFE dan EFE

Setelah hasil analisa lingkungan internal dan eksternal di atas melalui depth
interview dengan pakar pihak terkait, maka langkah selanjutnya adalah pembuatan
matriks IFE dan EFE. Matriks IFE terdiri dari faktor-faktor yang merupakan
kekuatan dan kelemahan . Matriks EFE terdiri dari faktor-faktor yang merupakan
peluang dan ancaman.
Untuk memperoleh Matriks IFE dan EFE terlebih dahulu ditentukan Bobot
dan Rating. Rating didapat setelah melakukan depth interview dan pengisian
kuisioner kepada 5 (lima) pakar yang memahami situasi dan kondisi penerapan
GMP di IKM di Kota Bogor (Lampiran 1).
Penentuan bobot dilakukan dengan menggunakan metode pairwaised
comparison sehingga diperoleh nilai bobot. Total skor diperoleh dengan cara
mengalikan nilai perolehan rata-rata rating dan nilai perolehan nilai rata-rata bobot
dari seluruh pakar. Analisis ini ditujukan untuk menilai dan mengevaluasi
pengaruh faktor-faktor strategis terhadap peningkatan penerapan GMP di IKM roti
Kota Bogor. Setelah nilai Rating dan Bobot diperoleh maka selanjutnya ditentukan
nilai Matriks IFE dan EFE .
Dari matriks IFE (Tabel 20) tersebut menunjukan Nilai/Skor IFE adalah
2,333 menunjukkan pemerintah kota Bogor cukup baik dalam mengelola kondisi
internalnya. Jika dikaji dari perbandingan skor masing-masing faktor yang menjadi

88

kekuatan, maka faktor kekuatan utama adalah kebijakan pemerintah kota Bogor
membebaskan biaya SP-PIRT dengan skor tertinggi 0,278. Faktor kekuatan kedua
dan ketiga adalah dukungan sarana dan prasarana kota yang memadai (skor 0,263)
serta memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi (skor 0,259).
Sebaliknya memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD dinilai sebagai faktor
kekuatan yang paling rendah (skor 0,176).
Mekanisme pengawasan yang belum diterapkan secara regular serta
keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga penyuluh (PKP) dan pengawas (DFI)
dinilai menjadi kelemahan utama bagi peningkatan penerapan GMP di IKM roti
Kota Bogor dengan skor terendah yang sama yaitu 0,081. Faktor kelemahan kedua
adalah kurangnya komitmen dan budaya kerja IKM (skor 0,091) . Belum ada
Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis
Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor
dinilai menjadi faktor kelemahan ketiga (skor 0,095).
Tabel 20 Matriks IFE (Internal Factor Evaluation)
Bobot Rating Skor
No Faktor Internal
(a) (b) (axb)
A Kekuatan (Strength)
1 Lokasi Kota Bogor yang strategis 0,052 3,6 0,186
2 Sektor industri makanan-minuman menjadi sector 0,066 3,8 0,251
basis dalam perekonomian Bogor
3 Memiliki pendukung laboratorium uji terakreditasi 0,068 3,8 0,259
4 Dukungan sarana dan prasarana Kota memadai 0,077 3,4 0,263
5 Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT 0,073 3,8 0,278
6 Sumber keuangan daerah cukup baik 0,069 3,2 0,220
7 Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD 0,055 3,2 0,176
Sub Jumlah A 1,632
B Kelemahan (weakness)
1 Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi 0,068 1,4 0,095
Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan
2 Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI terbatas 0,081 1 0,081
3 Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang 0,091 1 0,091
4 Keterbatasan modal IKM 0,077 1,8 0,139
5 Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi 0,054 2 0,109
informasi masih terbatas
6 Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM 0,088 1,2 0,105
7 Mekanisme pengawasan belum berjalan reguler 0,081 1 0,081
Sub Jumlah B 0,701
Jumlah (A + B) 2,333
89

Hasil evaluasi terhadap faktor eksternal diperoleh nilai seperti pada Tabel 21
dibawah ini. Dari matriks IFE tersebut diperoleh Nilai / Skor EFE adalah 2,48
menunjukkan pemerintah Kota Bogor belum cukup mampu memanfaatkan peluang
dan meminimalkan ancamam lingkungan eksternal.

Tabel 21 Matriks EFE (Exsternal Factor Evaluation)


No Faktor-Faktor Eksternal Bobot Rating Skor
(a) (b) (axb)
C Peluang (opportunity)
1 Pontensialnya peluang pasar dalam negeri 0,114 4 0,457
2 Adanya bantuan program dari pemerintah pusat 0,131 3,2 0,420
3 Perubahan pola konsumsi masyarakat 0,100 3,6 0,362
4 Perkembangan teknologi dan informasi 0,088 3,8 0,334
5 Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di 0,067 3,2 0,214
Kota Bogor
Sub jumlah C 1,787
D Ancaman (threats)
1 Persaingan dari produk bakery sejenis 0,130 1,2 0,156
(franchaise) dan produk luar kota
2 Kenaikan biaya produksi 0,134 1,4 0,187
3 Perkembangan jenis makanan jadi lain produk 0,105 1,8 0,188
substitusi roti
4 Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan 0,131 1,2 0,157
pilihan diantara perusahaan roti yang ada
Sub jumlah D 0,689
Jumlah (C +D) 2,476

Berdasarkan perbandingan nilai skor yang diperoleh, maka faktor peluang


paling utama adalah masih potensialnya peluang pasar dalam negeri dengan nilai
skor tertinggi yaitu 0,457. Faktor peluang kedua adalah faktor adanya bantuan
pendanaan dari pemerintah pusat (skor 0,420). Keberadaan dari lembaga
pendidikan/peneliti di Kota Bogor dinilai sebagai peluang terendah (skor 0,214).
Persaingan dari produk roti sejenis (franchaise) dan produk dari luar Kota
yang sudah punya nama, jaminan kualitas dan keamanannya dinilai sebagai
ancaman yang utama bagi IKM roti di Kota Bogor (skor 0,156). Ancaman utama
kedua adalah pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan diantara
perusahaan roti yang ada (skor 0,157). Ancaman yang dinilai paling lemah adalah
perkembangan jenis makanan jadi lain yang tergolong produk substitusi roti dengan
perolehan skor 0,188.
90

Wilcock et al. (2011) mengidentifikasi motivasi dalam menerapkan HACCP


pada industri pangan kecil dan menengah antara lain karena regulasi pemerintah,
keinginan lebih maju dari pesaingnya dan memenuhi persyaratan pelanggan. Oleh
karena itu selain adanya regulasi wajib pemerintah, peluang potensi peluang pasar
serta persaingan bisnis dapat diarahkan untuk meningkatkan motivasi IKM untuk
menerapkan GMP dan memperoleh jaminan SP-PIRT. Bagi kebanyakan industri,
penentuan utama seluruh persaingan serta tingkat profitabilitas secara umum adalah
persaingan antara perusahaan dalam industri (Umar, 2005).

5.4 Matrik Internal- Eksternal (IE)


Matriks IE disusun untuk mengetahui strategi apa yang sebaiknya digunakan.
Sumbu horizontal Matrik IE dibagi menjadi 3 bagian yaitu range antara 1.001.99
(lemah), range antara 2.002.99 (rataan), dan range antara 3.004.00 (kuat)
demikian pula sumbu vertikal dibagi menjadi 3 bagian yaitu range antara 1.00-1.99
rendah), range antara 2.002.99 (sedang), dan range antara 3.004.00 (tinggi).
Dari hasil Matriks IFE dan EFE sebelumnya didapat nilai IFE 2.333 dan
nilai EFE 2.476. Visualisasi posisi pada Matriks IE dapat dilihat pada Gambar 18.
Berdasarkan hasil tersebut, terlihat posisi pemerintah Kota Bogor terkait penerapan
GMP di IKM roti berada pada kotak sel V Matrik IE, yaitu pada kotak jaga dan
pertahankan (hold and maintain), sehingga strategi yang disaranan defensif.

Kuat Rata Lemah


3,04,0 2,0,02,99 1,01,99

I II III
Grow and Build Grow and Build Hold and Maintain
Tinggi
Strategi intensif atau Strategi intensif atau Penetrasi dan
3,04,0
Integrative integratif pengembangan
IV V VI
EFE Sedang Grow and Build Hold and Maintain Harvest or Divest
2,02,99 Strategi intensif atau Penetrasi dan
Integrative pengembangan
VII VIII IX
Rendah Hold and Maintain Harvest or Divest Harvest or Divest
1,01,99 Penetrasi dan
pengembangan

Gambar 18 Matriks IE posisi pemerintah Kota Bogor.

91

Hal ini berarti strategi pemerintah daerah Kota Bogor adalah menjaga agar
IKM roti yang saat ini telah memenuhi GMP tetap memenuhi persyaratan GMP
melalui mekanisme pengawasan dan melakukan penetrasi terhadap IKM roti yang
belum memenuhi persyaratan GMP melalui penyuluhan lebih intensif, publikasi,
promosi maupun bimbingan mendukung IKM roti untuk memenuhi GMP. Selain
itu pemerintah mencari alternatif pengembangan metode, paduan, publikasi dalam
mendorong agar persyaratan GMP dapat dipahami oleh IKM roti.

5.5 Strukturisasi ISM ( Interpretive Structural Modelling)

Dalam rangka memperkaya penyusunan formula strategi digunakan analisis


mengunakan teknik ISM untuk melihat hubungan kontekstual antar elemen dan hirarki
untuk elemen penyusun strategi. Elemen yang dipilih adalah 1) elemen pendukung 2)
elemen penghambat 3) elemen aktor pelaku.
5.5.1 Strukturisasi Elemen Pendukung (SO)
Elemen dan sub elemen pendukung dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi
SWOT yaitu paduan faktor Kekuatan dan Peluang (SO) sehingga dihasilkan 12 sub
elemen pendukung untuk meningkatan penerapan GMP pada IKM roti-kue terdiri dari:
1) Lokasi Kota Bogor yang strategis (s1); 2) Sektor industri makanan-minuman
menjadi sector basis dalam perekonomian Kota Bogor (s2); 3) Memiliki pendukung
laboratorium uji terakreditasi (s3); 4) dukungan sarana dan prasarana kota memadai
(s4); 5) Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (s5); 6) Sumber keuangan daerah Kota
Bogor cukup baik (s6) ; 7) Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD (s7); 8)
Pontensialnya peluang pasar dalam negeri (o1); 9) Adanya bantuan program dari
pemerintah pusat (o2); 10) Perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat
masyarakat (o3); 11) Perkembangan teknologi dan informasi (o4); 12) Keberadaan
dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor (o5).
Hasil strukturisasi ISM (dengan (transitivity = 75%) menunjukkan terdapat
5 level hirarki dan 12 elemen tersebar dalam tiga kategori sub sektor dependent,
linkage dan independent dengan koordinat daya dorong / driver power (DP) dan
ketergantungan/ dependence power (D) seperti disajikan pada Gambar 19. Gambar
di bawah dapat dibaca berdasarkan koordinatnya terbagi menjadi empat kuadran,
yaitu 1) autonomous, 2) dependent, 3) linkage dan 4) independent dengan koordinat
driver power (DP) dan dependence power (D) sebagai berikut:
92

1. Autonomous : DP 6 dan D 6 (weak driver weak dependent variables).


Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem atau mungkin
mempunyai hubungan kecil.
2. Dependent: DP 6 dan D 6 (weak driver strongly dependent variables).
Umumnya peubah di sini adalah peubah tak bebas yang dipengaruhi oleh
elemen-elemen lainnya sesuai hierarki.
3. Likage: DP 6 dan D 6 (strong driver strong dependence variables).
Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah
tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak
terhadap peubah lainnya dan umpan balik bisa memperbesar dampak .
4. Independent: DP 6 dan D 6 (strong driver weak dependent variables).
Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah
bebas dan merupakan elemen-elemen kunci dalam hierarki.

Dependent Linkage
12
s2 11
10
(s5) s(3) 9
s6 (s7,o2)
7
y= 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12
DayaDorong 5
(DriverPower) 4 (s1,s4,o1,03,o4)
3
2
o5 1 Independent
Autonomus 0
x= Ketergantungan
(Dependence)

Gambar 19 Matriks driver power-dependence untuk elemen pendukung.

Dari stukturisasi pendukung (Gambar 20) dapat dilihat bahwa Lokasi Kota
Bogor yang strategis (S1), dukungan sarana prasarana yang memadai (S4), peluang
potensial peluang pasar dalam negeri (O1), perubahan pola konsumsi dan kesadaran
hidup sehat konsumen untuk mendapatkan produk pangan yang terjamin mutu
keamanannya (O3) dan penggunaan tehnologi dan informasi (O4) termasuk faktor
independent (strong driver weak dependent variables). Berarti faktor tersebut

93

sektor ini merupakan peubah bebas dan merupakan elemen-elemen kunci dalam
hierarki.
Bantuan pemerintah pusat (O2) dan memiliki jaringan koordinasi lintas
Satuan Kerja Pemerintah Daerah/SKPD (S7) merupakan faktor linkage. Artinya
peubah ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil.
Bantuan pemerintah dari pusat bila tidak dimanfaatkan dengan terencana dan
terkoordinasi dengan baik lintas SKPD, menyebabkan dampak kurang berarti
dalam meningkatkan penerapan GMP pada IKM roti. Bantuan pemerintah pusat
Dependency
SubelemenPendukung(SO) Hirarki Kategori
Driver Depen
power dence
1 S1 LokasiBogoryangstrategis 11 5 Indepen
12 dent
2 Industrimakananmenjadi Depen
S2 sektorbasisperekonomian
1 10 dent
Memilkilaboratorium 5 Depen
3 S3 2 9
pengujiterakreditasi dent
4 Dukungansaranadan Indepen
S4 prasaranaKotamemadai
2 11 5
dent
5 Kebijakanpembebasan Depen
S5 biayaSPPIRT
1 9
dent
Sumberkeuangandaerah
3 Depen
6 S6 4 8
cukupbaik dent
7 Memilikijaringan 6
S7 koordinasilintasSKPD
6 7 Linkage

8 Potensialpeluangpasar Indepen
O1 dalamnegeri 11 5 dent
7 9
9 O2 Bantuanpemerintahpusat 6 7 Linkage
10 Perubahanpolakonsumsi Indepen
O3 dankesadaranhidupsehat
11 5 dent
11 Perkembangantehnologi
4 8 10 11 Indepen
O4 daninformasi
11 5 dent
12 O5 Keberadaanlembaga 1 1 Autono
1
penelitian/pendidikandi Mous
KotaBogor
SubelemenkunciPendukung:1,4,8,10,11

Gambar 20 Struktur hirarki dan faktor kunci elemen pendukung.

biasanya disalurkan melalui SKPD terkait seperti melalui Dinas Kesehatan, Kantor
Koperasi dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan sesuai asal instasi pusat yang
memberi. Bantuan dapat berupa pelatihan, dana insentif, konsultasi, sertifikasi, dan
lainnya. Jika bantuan tersebut diberikan pada IKM yang tidak tepat sasaran dan/
atau kurang terencana maka dampaknya menjadi kurang berarti. Namun dengan
adanya koordinasi lintas SKPD maka bantuan dapat diarahkan secara strategis
terencana jangka panjang dan tepat sasaran sesuai kebutuhan IKM.

94


Menurut FAO (1999) IKM sering tidak memiliki keahlian teknis yang
diperlukan untuk melaksanakan keamanan pangan dan sistem manajemen, oleh
karena itu memerlukan dukungan eksternal. Kemampuan pemerintah dan asosiasi
industri / perdagangan memberikan dukungan teknis yang memadai merupakan
faktor penting dalam keberhasilan pelaksanaan sistem manajemen kualitas makanan
oleh IKM.
Indeks Pembangunan Manusia dan PDRB cukup baik (S6), memiliki
laboratorium penguji terakreditasi (S3), industri makanan menjadi sektor basis
perekonomian (S2), Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (S5) merupakan faktor
dependent (weak driver strongly dependent variables). Umumnya peubah ini
adalah peubah tak bebas yang dipengaruhi oleh elemen-elemen lainnya sesuai
hierarki. Artinya kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT dan pemeliharaan fasilitas
laboratorium penguji makanan terakreditasi dapat berjalan jika IPM dan PDRB
pemerintah daerah Kota Bogor tetap dipertahankan baik serta industri makanan
tetap menjadi sektor basis perekonomian.
Strategi pembebasan biaya SP-PIRT merupakan strategi yang berkaitan
langsung dalam mendorong IKM roti di Kota Bogor mendapatkan jaminan SP-
PIRT namun sangat dipengaruhi faktor lain sebagai pendorong. Penyediaan
laboratorium penguji pangan milik pemerintah daerah dapat membantu
memfasilitasi IKM dalam mengujikan produk pangannya yang dibutuhkan dalam
pembuktian keamanan pangan dalam rangka permasaran/ pemenuhan standar
regulasi.
Keberadaan lembaga penelitian/pendidikan di Kota Bogor (O5) berada pada
sektor autonomous (weak driver weak dependent variables). Peubah di sektor ini
umumnya dianggap tidak berkaitan dengan sistem atau mungkin mempunyai
hubungan kecil mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan keamanan
mutu pangan produk IKM.

5.5.2 Struktur Elemen Kendala (WT)


Elemen dan sub elemen penghambat dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi
SWOT yaitu paduan faktor Kelemahan dan Ancaman (WT) sehingga dihasilkan 11
sub elemen. Sub elemen terdiri dari: 1) Belum ada rencana strategis aksi pangan-gizi
daerah maupun rencana strategis pengembangan industri yang ditetapkan
95

pemerintah daerah Kota Bogor (w1); 2) Keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga
penyuluh /PKP dan pengawas / DFI (w2); 3) Kurangnya komitmen dan budaya
kerja IKM (w3); 4) Keterbatasan modal IKM (w4); 5) Keterbatasan media
informasi, publikasi (w5); 6) Keterbatasan pemahaman keamanan pangan tenaga
kerja IKM (w6); 7) Mekanisme survailen belum berjalan regular (w7); 8)
Persaingan dari produk bakery sejenis berasal dari industri franchaise dan dari luar
(t1); 9) Kenaikan biaya produksi (t2); 10) Perkembangan produk substitusi (t3);
11) Pembeli memiliki kekuatan menentukan pilihan (t4).
Analisis dengan teknik ISM (transitivity = 70%) seperti disajikan pada
Gambar 21 menunjukkan bahwa elemen kunci dalam upaya peningkatan penerapan
good manufacturing practices di IKM roti Kota Bogor adalah belum adanya
rencana strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun rencana strategis
pengembangan industri yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Bogor (w1).

Dependency

Subelemenkendala(WT) Hirarki Depe Kategori
Driver
ndenc
power
e
BelumadaRencanaStrategis
AksiPanganGiziDaerah 3
Indepen
1 W1 maupunRencanaStrategis 11 1 dent
PengembanganIndustriyang
ditetapkan 11
KeterbatasanJumlahdan 10
Indepen
2 W2 keahliantenagapenyuluh/PKP 10 2
dent
danpengawas/DFI
KurangnyaKomitmendan 6 8 9 depen
3 W3 1 11
budayakerjaIKM dent
4 W4 KeterbatasanModalIKM 7 10 Linkage

5 W5
KeterbatasanMediainformasi, 4 9 3
Indepen
publikasi dent
KeterbatasanPengetahuan
6 W6 7 10 Linkage
TenagakerjaIKM 7
Mekanismesurvailenbelum Indepen
7 W7 8 4
berjalanreguler dent
Persaingandariprodukbakery 5
8 T1 sejenisfranchaisedandariluar 7 10 Linkage
kota
9 T2 KenaikanBiayaProduksi 2 7 10 Linkage
Perkembanganproduk
10 T3 7 10 Linkage
substitusi
Pembelimemilikikekuatan
1
11 T4 7 10 Linkage
menentukanpilihan
Subelemenkuncikendala:BelumadaRencanaStategis(1).

Gambar 21 Struktur hierarki elemen kunci kendala.

Ketiadaan rencana strategis berdampak pada keterbatasan jumlah maupun


keahlian tenaga penyuluh keamanan pangan /PKP (w2) sehingga berpengaruh pada

96

minimnya informasi, publikasi, media (w5) yang disediakan pemerintah untuk


mendukung program penerapan GMP pada IKM. Ketiadaan rencana strategis yang
berdampak pula pada keterbatasan jumlah tenaga pengawas pangan/DFI yang
berpengaruh menyebabkan mekanisme survailen /pengawasan penerapan GMP
pada IKM tidak berjalan regular setahun sekali (w7).
Ketiadaan rencana strategis pemerintah daerah (w1); keterbatasan jumlah
dan keahlian tenaga penyuluh dan pengawas keamanan (w2); keterbatasan media
informasi, publikasi (w5); serta mekanisme survailen tidak berjalan secara regular
(w7) sebagai faktor independent..
Kelemahan tingkat pemahaman keamanan pangan tenaga kerja IKM kurang
(w6) ditambah dengan keterbatasan modal IKM (w4), serta adanya ancaman
kenaikan biaya produksi (t2) akan mempengaruhi daya saing produk IKM roti di
Kota Bogor dibanding dengan produk sejenis industri franchaise atau dari luar kota
(t1). Selain itu daya saing produk IKM juga dipengaruhi oleh faktor kekuatan
pembeli menentukan pilihannya (T4) dan perkembangan dari produk substitusi (t3).
Pada akhirnya komitmen dan budaya kerja IKM dalam menerapkan GMP (w3)
menjadi faktor dependent yang sangat dipengaruhi faktor-faktor diatas.
Hambatan penerapan HACCP di IKM juga telah dipresentasikan oleh
Jirathana (1998) dan Taylor (2000), yaitu adanya hambatan internal dan hambatan
eksternal pada IKM. Hambatan internal antara lain : tidak mencukupinya praktek
kebersihan dasar, kurangnya keahlian dan informasi, kendala sumber daya manusia,
prasarana dan sarana yang tidak memadai, dan persepsi dan kendala finansial yang
nyata. Adapun hambatan eksternal yaitu pemerintah yang memiliki komitmen dan
infrastruktur yang memadai; tidak adanya persyaratan sanksi hukum (untuk GHPs
atau HACCP); kurangnya kesadaran bisnis dan sikap positif dari asosiasi industri
dan perdagangan; kurangnya kesadaran pelanggan atau permintaan untuk GHPs /
HACCP; kurangnya pendidikan yang efektif dan program pelatihan; tidak ada
dukungan keahlian, informasi dan teknis tersedia untuk UKM; dan tidak ada
komunikasi yang mamadai.

5.5.3 Strukturisasi Aktor Pelaku


Untuk melihat interaksi pengaruh semua pelaku, dalam kajian ini
ditambahkan analisis aktor pelaku dengan menggunakan metode ISM. Hasil depth
97

interview dengan para pakar dan pelaku diperoleh identifikasi pelaku yang
berkaitan dengan penerapan GMP di IKM roti yaitu : 1) Badan perencanaan daerah
P1); 2) Dinas kesehatan daerah (p2); 3) Dinas perindustrian dan perdagangan (p3);
4) Asosiasi IKM (p4); 5) Peneliti/ perguruan tinggi (p5); 6) Tenaga penyuluh
keamanan pangan/PKP (p6); 7) Tenaga inspektur pengawas pangan/FDI (p7); 8)
Konsumen / masyarakat (p8); 9) Pemilik IKM (p9); 10) Karyawan IKM (p10).
Hasil analisis dengan metode ISM seperti disajikan pada Gambar 22
menunjukkan bahwa Badan Perencanaan Daerah (1) merupakan elemen yang kunci
paling berpengaruh menggerakkan aktor lain, diikuti oleh Dinas Kesehatan (2),
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (3) serta Perguruan Tinggi (5) sebagai faktor
independent (strong driver weak dependent).

Dependency
SubelemenAktorPelaku Hirarki Driver Depen Kategori
power dence
BadanPerencanaanDaerah
P1 10 4 Independent
(Bapeda) 10
P2 DinasKesehatanDaerah 10 4 Independent
9
DinasPerindustriandan
P3 10 4 Independent
Perdagangan
7 8
P4 Asosiasiindustri 6 5 Linkage
P5 Peneliti/PerguruanTinggi 6 10 4 Independent
TenagaPenyuluh
P6 5 8 Dependent
KeamananPangan 4
P7 TenagaInspectorpengawas 5 8 Dependent
P8 Konsumen/masyarakat 2 3 5 5 8 Dependent
P9 PemilikIKM 1 9 Dependent

P10 KaryawanIKM 1
1 9 Dependent

SubelemenkunciAktorPelaku:P1.P2,P3,P5

Gambar 22 Struktur hierarki dan faktor kunci elemen aktor pelaku

Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) memiliki kekuatan penggerak (driver


power) yang besar dan punya sedikit ketergantungan dengan pelaku lain. Bapeda
dapat menjadi penggerak/pendorong koordinasi pelaku kunci antara Dinas
Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta Perguruan Tinggi yang

98

saling terkait dalam tujuan meningkatan penerapan Good Manufacturing Practices


di IKM roti.
Asosiasi industri (4) merupakan faktor linkage (strong driver strong
dependence variables), yang artinya peranan asosiasi industri dapat dipengaruhi
oleh dorongan pemerintah daerah dalam hal ini Bapeda, Dinas Kesehatan, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan. Sementara petugas penyuluh keamanan
pangan/PKP (6), petugas pengawas pangan/DFI (7), konsumen (8) merupakan
faktor dependent (weak driver strongly dependent variables), dimana posisi
ketiga pelaku tersebut punya cukup kekuatan penggerak namun punya
ketergantungan dengan pelaku lain tinggi. Pemilik IKM (9) dan Karyawan IKM
(10) mempunyai tingkat ketergantungan yang paling tinggi dan kekuatan penggerak
yang paling rendah termasuk faktor dependent (weak driver strongly dependent
variables). Hal ini berarti pemilik IKM dan karyawan IKM untuk menerapkan
Good Manufacturing Practices sangat memerlukan daya dorong dari peranan
pelaku kunci yaitu pemerintah daerah dalam hal ini Bapeda, Dinas Kesehatan dan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan.
Berdasarkan hasil analisis ISM, diperoleh sub-elemen kunci seperti
disajikan pada Tabel 22 yang dijadikan pertimbangan dalam perumusan strategi
peningkatan mutu keamanan produk IKM roti di Kota Bogor melalui penerapan
Good Manufacturing Practices.
Tabel 22 Elemen kunci peningkatan penerapan GMP di IKM roti
No. Elemen Sub elemen kunci
1 Pendukung 1. Lokasi Kota Bogor yang strategis (S1),
2. Dukungan sarana prasarana yang memadai (S4)
3. Peluang potensial peluang pasar dalam negeri (O1)
4. Perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat
konsumen (O3)
5. Penggunaan tehnologi dan informasi (O4)

2 Kendala 1. Belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi


Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan
Industri yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Bogor
(W1)

3 Pelaku 1. Badan Perencanaan Daerah (P1)


2. Dinas Kesehatan Daerah(P2)
3. Dinas Perindustrian dan Perdagangan(P3)
4. Perguruan Tinggi

99

5.6 Perumusan Strategi (Matriks ISWOT)

Dari hasil Matriks IE sebelumnya terlihat posisi pemerintah Kota Bogor


terkait dalam meningkatkan penerapan Good Manufacturing Practices di IKM
Roti dan Kue berada pada kotak sel V, yaitu pada kotak jaga dan pertahankan
(hold and maintain) dimana pada sel ini strategi yang umum digunakan adalah
melakukan penetrasi pasar dan pengembangan produk (David, 2005).
Strategi penetrasi pasar (market penetration) adalah strategi yang
mengusahakan peningkatan pangsa pasar untuk produk/jasa yang ada melalui
upaya pemasaran yang lebih besar. Strategi ini secara luas dapat digunakan secara
sendirian maupun dikombinasikan dengan strategi lain. Penetrasi pasar mencakup
peningkatan pengeluaran untuk iklan, penawaran produk-produk penjualan secara
ekstensif atau meningkatkan publisitas. Strategi pengembangan produk (product
development) adalah strategi peningkatan penjualan dengan memperbaiki atau
memodifikasi produk/jasa saat ini (David, 2005).
Posisi pemerintah daerah Kota Bogor jika diaplikasikan pada matrik SWOT
adalah strategi SO (Strengths Opportunities), yaitu menggunakan kekuatan yang
ada untuk memanfaatkan peluang.
Adapun perumusan strategi dengan menggunakan matriks SWOT untuk
pemerintah daerah Kota Bogor dalam meningkatkan penerapan Good
Manufacturing Practices di IKM roti dapat dilihat pada Tabel 23 di bawah ini.
Kekuatan (Strengths) dan Kelemahan (Weaknesses) dicantumkan pada baris
(Horizontal) sedangkan Peluang (Opportunities) dan Ancaman (Threats) pada
kolom (Vertikal). Analisa SWO terdiri dari empat alternatif strategi yaitu : analisa
SO (Strengths Opportunities), WO ((Weaknesses-Opportunities), S-T ( Strengths-
Threats) dan WT (Weaknesses-Threats).
5.6.1 Srategi S-O (Strengths Opportunities)
Dari hasil stukturisasi strategi SO diperoleh bahwa letak Kota Bogor yang
strategis (S1), dukungan sarana prasarana yang memadai (S4), peluang potensial
peluang pasar dalam negeri (O1) , perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup
sehat konsumen (O3) dan penggunaan tehnologi dan informasi (O4) merupakan
faktor independent (strong driver weak dependent variables). Peubah pada sektor
ini merupakan peubah bebas dan merupakan elemen-elemen kunci dalam hirarki.
100


Tabel 23 Perumusan Strategi (Matriks ISWOT )

S Kekuatan (strenghs ) W Kelemahan (weakness )


Faktor Internal s1 Lokasi Kota Bogor yang strategis w1 Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah
maupun Pengembangan Industri
s4 Dukungan sarana dan prasarana kota memadai w2 Keterbatasan Jumlah/keahlian tenaga PKP dan FDI

Faktor Eksternal s5 Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT w3 Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang
w7 Mekanisme pengawasan belum berjalan reguler
O Peluang (opportunities ) Strategi S-O Strategi W-O
o1
Pontensial peluang pasar 1 Penyediaan Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli 1 Program pelatihan terencana petugas PKP dan petugas
Bogor di kawasan strategis bagi produk IKM roti mendapat pengawas pangan (w2,02)
o2 Adanya bantuan pemerintah pusat SP-PIRT(s1,o1)
2 Mempertahankan kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (s5) 2 Melakukan pengawasan berkala setahun sekali
(w7,02,01)
3 Mengarahkan program bantuan pemerintah secara terencana, 3 Bimbingan intensif produsen IKM bakeri (w3,02)
berkesinambungan dan berjenjang (s4,o2)

T Ancaman (threats ) Strategi S-T Strategi W-T


t1 Persaingan produk bakery sejenis 1 Memfasilitasi asosiasi/perkumpulan IKM menggalang 1 Menetapkan Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi
(franchaise)/ luar kota kekuatan dan kerjasama(t1) Daerah dan Pengembangan Industri (w1, t1)
t4 Pembeli memiliki kekuatan untuk 2 Memfasilitasi peningkatan desain dan inovasi pada label dan 2 Pengembangan kemitraan dgn BUMN/ Bank
menentukan pilihan kemasan produk IKM roti ( t1,t4) memfasilitasi pinjaman kredit lunak/modal bagi IKM roti
(w3, t1)
101

101


Sedangkan hasil matrik IFE diperoleh bahwa kebijakan pemerintah kota Bogor
membebaskan biaya SP-PIRT merupakan kekuatan utama.
Alternatif strategi yang dihasilkan dari upaya menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang adalah :
1. Penyediaan Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor di
tempat strategis sebagai media promosi dan pemasaran produk IKM
Kota Bogor dan telah terjamin mutu keamanannya melalui sertifikasi
SP-PIRT oleh pemerintah daerah (s1,o1)
Adanya lokasi Kota Bogor yang strategis antara lain menjadi tujuan belanja
dan wisata kuliner, serta didukung dengan pemanfaatan sarana prasarana yang
memadai digunakan untuk menangkap peluang potensial peluang pasar dalam
negeri. Peluang pasar dalam negeri yang dipengaruhi perubahan pola konsumsi
dan kesadaran hidup sehat konsumen yang ingin mendapatkan produk pangan
yang terjamin mutu keamanannya. Strategi yang dapat digunakan untuk hal ini
adalah penyediaan tempat strategis yang sering dikunjungi belanja dan wisata
untuk melakukan promosi sebagai kawasan penyediaan produk IKM yang
terjamin mutu keamanannya melalui sertifikasi SP-PIRT oleh pemerintah daerah
misal berslogan Kawasan Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor. Selain promosi dan
menciptakan peluang pasar bagi produk IKM, sekaligus memberikan pendidikan
kepada konsumen agar memilih produk pangan yang memenuhi mutu keamanan.
Kawasan Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor ini dapat dimasukan dalam
agenda paket kunjungan wisata Bogor Visit Year. Kawasan yang potensial
dikunjungi wisatawan ataupun sebagai wisata kuliner antara lain di sekitar Kebun
Raya Bogor, Surya Kencana, Tajur, sepanjang Jalan Raya Pajajaran, Taman
Kencana.
2. Mempertahankan kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (s5)
Sumber keuangan daerah Kota Bogor yang cukup baik dapat dimanfaatkan
untuk menunjang kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT tetap dipertahankan
untuk mendukung sektor industri makananminuman yang menjadi basis
perekonomian Kota Bogor. Pembebasan biaya SP-PIRT ditujukan untuk
mendorong minat IKM memperoleh SP-PIRT tanpa ada pembebanan biaya
pendaftaran. Semakin banyak IKM yang mendapatkan SP-PIRT, diharapkan

102

semakin banyak IKM yang telah menerapkan good manufacturing practices.


Dengan adanya nomor registrasi dan sertifikasi produk IKM Kota Bogor, maka
akan mempermudah pemerintah dalam pengawasan, pembinaan maupun
mempromosikan produk-produk IKM.
3.Mengarahkan program bantuan pemerintah secara terencana,
berkesinambungan dan berjenjang (s4,o2)
Adannya jaringan koordinasi lintas SKPD dimanfaatkan untuk
merencanakan dan mengarahkan bantuan pemerintah sesuai identifikasi dan level
kebutuhan IKM. Program yang berkesinambungan dan berjenjang bagi IKM roti
penting dibutuhkan dalam mendorong keberhasilan implementasi pemenuhan
persyaratan keamanan pangan.
Program bantuan diarahkan dalam paket yang berisikan berbagai segi aspek
(baik aspek keamanan pangan, aspek keuangan, aspek pemasaran) karena IKM
membutuhkan dukungan pengetahuan dalam berbagai segi aspek yang saling
mempengaruhi dalam keberhasilan menjalankan usahanya. Program bantuan
dibuat dalam paket yang berjenjang supaya disesuaikan tingkat kemampuan dan
kebutuhan IKM, sehingga program bantuan tepat guna dan tepat sasaran. Misal
paket bantuan dasar bagi IKM yang baru memulai usaha/tumbuh misal pelatihan
pengetahuan prinsip dasar keamanan pangan, tata kelola keuangan dasar, teknik
produksi dasar, teknik marketing dasar. Paket bantuan kedua misal bagi IKM
yang telah menjalankan bisnisnya 3 tahun dengan materi penyusunan manual
penerapan Good Manufacturing Practices, manajemen keuangan dan sumberdaya,
penciptaan brand image, dan lain-lain. Paket bantuan ketiga misal diperuntukan
bagi IKM yang siap memperluas jaringan pemasarannya dengan progam bantuan
insentif sertifikasi GMP/HACCP. Untuk dapat mengarahkan rencana dan program
bantuan pemerintah , maka perlu didukung data base pemetaan dan kondisi,
pelatihan yang telah disalurkan bagi IKM di Kota Bogor yang dibahas secara
lintas sektoral.
5.6.2 Strategi WO ((Weakness-Opportunities)
Alternatif strategi yang dihasilkan dari upaya meminimalkan kelemahan untuk
memanfaatkan peluang adalah :

103

1) Program pelatihan terencana petugas penyuluh keamanan pangan dan


petugas pengawas pangan (w2, 02)
Jumlah dan keahlian petugas penyuluh dan pengawasa pangan dapat
diperbaiki dengan dua alternatif yaitu merekrut baru sumber daya manusia yang
kompeten atau memanfaatkan sumberdaya yang ada dengan memberikan program
pelatihan yang terencana. Program pelatihan tersebut harus dimasukan dalam
agenda Rencana Strategis Aksi Pangan Daerah sesuai acuan RAN-PG. Indikator
capaian hasil yaitu jumlah tenaga PKP dan jumlah tenaga pengawas pangan.
Menurut Peraturan Kepala BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun
2012, kriteria tenaga penyuluh keamanan pangan (PKP) adalah Pegawai Negeri
Sipil (PNS) yang memiliki sertifikat kompetensi di bidang penyuluhan keamanan
pangan dari Badan POM dan ditugaskan oleh Bupati / Walikota. Kriteria Tenaga
Pengawas Pangan Kabupaten/Kota (District Food Inspector/DFI) adalah Pegawai
Negeri Sipil (PNS) yang memiliki sertifikat kompetensi pengawas pangan dari
Badan POM.
Selain ketersediaan jumlah, tingkat keahlian petugas penyuluh maupun
pengawas keamanan pangan juga menentukan keberhasilan penyampaian
informasi kepada IKM maupun masyarakat. Perkembangan masalah keamanan
pangan maupun perkembangan tehnologi proses produksi yang sangat cepat,
haruslah diikuti oleh kemampuan petugas penyuluh maupun pengawas dalam
menjalankan tugasnya. Untuk itu perlu diprogramkan peningkatan keahlian
petugas penyuluh maupun pengawas yang ada melalui pelatihan yang sesuai
seperti pelatihan SHACCP, ISO 22000, Penyusunan Dokumentasi Mutu, Teknik
Komunikasi, Tehnologi Produksi, dan lainya.
2) Melakukan pengawasan berkala setahun sekali (w7,02,01)
Sesuai Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
Hk.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang pedoman pemberian sertifikat
produksi pangan industri rumah tangga lampiran 1 butir g bahwa Bupati/
WaliKota cq. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melakukan monitoring
(pengawasan) terhadap pemenuhan persyaratan SP-PIRT yang telah diterbitkan
minimal 1 (satu) kali dalam setahun.

104

Hasil penelitian Wilcock et al. ( 2011) mengidentifikasi salah satu motivasi


utama dalam menerapkan HACCP (termasuk didalamnya Good Manufacturing
Practices) pada industri pangan kecil dan menengah adalah karena adanya
regulasi pemerintah. Kepatuhan terhadap standar terkait keamanan pangan
terutama di negara berkembang dapat diimplementasikan hanya dengan bantuan
sistem surveilan yang kuat (Aloui and Kenny, 2005). Mekanisme ini harus
didukung dengan mekanisme umpan balik tepat terstruktur, strategi pengelolaan
sistem informasi terkoordinasi antara lembaga terkait, dukungan infrastruktur
teknis dan sumber daya finansial serta pemberdayaan tenaga kerja terlatih sebagai
bagian integral dari kerangka keamanan pangan (Sagheer and Syadav, 2008).
Untuk itu program pengawasan harus ditegakkan secara regular untuk
mendorong IKM benar-benar menerapkan Good Manufacturing Practices.
3) Bimbingan intensif produsen IKM roti (w3,02)
Salah satu strategi yang disarankan oleh WHO (1999) kepada pemerintah
negara berkembang dalam upaya mendorong peningkatan penerapan sistem
keamanan pangan pada industri kecil dan menengah, yaitu memberikan
bimbingan dan informasi jelas (misalnya manual, booklet, leaflet dan video) serta
membuat proyek percontohan pada IKM yang dibimbing intensif sebagai unjuk
demonstrasi kepada IKM lain. Bimbingan intensif pada IKM dibutuhkan
mengingat keterbatasan pengetahuan dan sumberdaya yang ada pada IKM.

5.6.3 Strategi S-T ( Strengths- Threats)


Alternatif strategi yang dihasilkan dari upaya menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman adalah :
1) Memfasilitasi asosiasi/perkumpulan IKM menggalang kekuatan dan
kerjasama (t1)
Pada saat penelitian ini dilakukan baru dibentuk kepengurusan asosiasi IKM
di Kota Bogor atas fasilitasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor
pada bulan Mei 2012. Mengingat asosiasi ini relatif baru terbentuk, maka
dorongan dan fasilitasi dari pemerintah daerah sangat diperlukan agar IKM
bergabung sehingga mempunyai kekuatan untuk mengatasi ancaman bersama-
sama dengan pemerintah daerah Kota Bogor. Adanya perkumpulan/asosiasi akan
memudahkan IKM membentuk kerjasama yang saling menguntungkan dan
105

memudahkan penyaluran aspirasi kepada pemerintah daerah Kota Bogor. Menurut


WHO (1999) selain pemerintah, peran perkumpulan/ asosiasi industri dan
perkumpulan konsumen/masyarakat diperlukan untuk mendorong keberhasilan
penerapan sistem manajemen keamanan pangan di industri.
2) Memfasilitasi peningkatan desain dan inovasi pada label dan kemasan
produk IKM roti (t1,t4)
Salah satu mengatasi ancaman persaingan dengan industri sejenis adalah
dengan terus mendorong IKM meningkatkan mutu dan kemasan produknya
melalui berbagai penyuluhan atau bimbingan. Umumnya produk IKM juga
memiliki kekurangan pada label dan kemasan yang sederhana dan kurang
menarik, untuk itu perlu ada bimbingan pelatihan untuk mendesain kemasan
sesuai persyaratan dan menarik konsumen.

5.6.4 Strategi W-T ( Weakness- Threats)


Hasil stukturisasi penyusun strategi WT diperoleh elemen kunci dalam
tipe strategi ini adalah faktor belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi
Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh
pemerintah Kota Bogor (w1).
Alternatif strategi yang dihasilkan dari upaya menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman adalah :
1) Menetapkan Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah dan
Pengembangan Industri (w1, t1)
Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah perlu dibuat selaras dengan
acuan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) yang telah ditetapkan
Bapenas. Acuan Strategi Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan
dalam RAN-PG dijabarkan dalam program kegiatan antara lain:
a. Peningkatan jumlah dan kompetensi tenaga penyuluh keamanan pangan (PKP)
dan Pengawas Pangan Kabupaten / Kota (District Food Inspector). Indikator
capaian hasil yaitu: 1) Jumlah tenaga PKP dan 2) Jumlah pengawas pangan.
b. Bimbingan teknis pada Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP). dengan
indicator capaian hasil yaitu: 1) Jumlah penyusunan modul penerapan prinsip-
prinsip keamanan pangan pada proses produksi di IRTP berdasarkan jenis
produknya; 2) Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi penerapan prinsip-
106

prinsip kpamanan Pangan; 3) Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi disain dan
implementasi cara produksi produk pangan yang baik (CPPB); 4) Monitoring dan
verifikasi penerapan CPPB pada IRT.
Oleh karena Rencana Aksi Pangan-Gizi Daerah yang mengacu ke Rencana
Aksi Pangan Nasional mencakup perencanaan SDM (jumlah dan keahlian tenaga
PKP dan pengawas/DFI) dan alokasi pendanaan, sehingga mekanisme survailen
dan penyuluhan dapat berjalan regular dan akan berdampak pada peningkatan
pemahaman keamanan pada tenaga kerja IKM. Sehingga pada akhirnya akan
mengurangi ancaman persaingan produk roti sejenis franchaise .
2) Pengembangan kemitraan dgn BUMN/ Bank untuk memfasilitasi
pinjaman kredit lunak/pinjaman modal bagi IKM (w3, t1)
Secara umum modal dari IKM adalah terbatas, sedangkan untuk
menerapkan Good Manufacturing Practices membutuhkan dukungan dana seperti
perbaikan fasilitas bangunan, penyediaan alat kerja, training dan lain-lain.
Sehingga keterbatasan modal menjadi penghalang bagi IKM dalam menerapkan
GMP maupun menggerakan bisnisnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Karaman et al. (2012) yang menemukan bahwa biaya (46,4%) dan
ketidakkecukupan kondisi fisik pabrik (35,7%) merupakan penghalang utama
untuk mengadopsi program prasyarat (PRPs) pada pabrik susu Aydn. Oleh
karena itu pemerintah bersama dengan asosiasi IKM perlu melakukan upaya
pengembangan kemitraan dgn BUMN/ Bank untuk memfasilitasi pinjaman kredit
lunak/pinjaman modal bagi IKM .

5.7 Pembuatan Keputusan Strategi


Dari analisa Matriks SWOT maka diperoleh beberapa strategi yang
disarankan. Mempertimbangkan hasil Matriks SWOT dan strukturisasi ISM
maka dipilih 2 kelompok usulan strategi yaitu :
a. Strategi yang dipilih mempertimbangkan kekuatan
Hasil analisa SWOT menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kota
Bogor membebaskan biaya SP-PIRT merupakan kekuatan utama. Hasil
strukturisasi ISM menunjukan bahwa elemen kunci faktor pendukung yang
dimiliki pemerintah daerah Kota Bogor yaitu letak Kota Bogor yang strategis,

107

dukungan sarana prasarana yang memadai, peluang potensial peluang pasar dalam
negeri, perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen,
penggunaan tehnologi dan informasi . Oleh karena itu strategi yang dipilih dengan
mempertimbangkan faktor kekuatan yang dimiliki oleh pemerintah daerah Kota
Bogor yaitu :
1. Penyediaan Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor di kawasan
strategis bagi produk IKM roti yang telah mendapat SP-PIRT
2. Mempertahankan kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT

b. Strategi yang dipilih mempertimbangkan kelemahan yang ada


Faktor kelemahan utama hasil analisa SWOT adalah mekanisme
pengawasan yang belum diterapkan secara regular serta keterbatasan jumlah dan
keahlian tenaga penyuluh (PKP) dan pengawas (DFI). Hasil strukturisasi ISM
menunjukan bahwa elemen kunci faktor kendala bagi peningkatan penerapan
GMP pada IKM roti adalah belum adanya rencana strategis Aksi Pangan-Gizi
Daerah maupun rencana strategis pengembangan industri yang ditetapkan. Oleh
karena itu strategi yang dipilih dengan mempertimbangkan faktor kelemahan yang
dimiliki oleh pemerintah daerah Kota Bogor yaitu :
1. Menetapkan Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah dan Rencana
Strategis Pengembangan Industri
2. Program pelatihan terencana petugas penyuluh keamanan pangan (PKP) dan
petugas pengawas pangan (DFI)
3. Melaksanakan pengawasan berkala setahun sekali.

108

6. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Hasil analisis yang telah dilakukan pada lingkungan pemerintah Kota Bogor
dan Industri IKM roti Kota Bogor diperoleh beberapa kesimpulan yaitu :

1) Posisi pemerintah Kota Bogor berada pada koordinat matriks IE (2,333; 2,476),
yaitu pada posisi kuadran V dengan kotak jaga dan pertahankan (hold and
maintain), sehingga strategi diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan IKM
yang telah memenuhi GMP melalui pengawasan. Adapun strategi penetrasi
dilakukan terhadap IKM roti yang belum memenuhi penerapan GMP melalui
kegiatan penyuluhan, publikasi, promosi. Adapun pengembangan yang dapat
dikembangkan pada posisi ini adalah mengembangkan alternatif metode, panduan,
publikasi agar mendorong persyaratan GMP dapat lebih dipahami oleh IKM roti.
2) Elemen kunci aktor pelaku yang mempengaruhi penerapan Good Manufacturing
Practices IKM Roti yaitu Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor serta Perguruan Tinggi.
3) Elemen kunci faktor kendala yang mempengaruhi peningkatan penerapan GMP
IKM roti yaitu belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun
Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
Kota Bogor .
4) Elemen kunci faktor pendukung yang mempengaruhi peningkatan penerapan GMP
IKM roti yaitu letak Kota Bogor yang strategis, dukungan sarana prasarana yang
memadai, peluang potensial pasar, perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup
sehat konsumen dan penggunaan tehnologi dan informasi.
5) Berdasarkan hasil ISWOT terdapat 5 strategi pilihan yang disarankan bagi
pemerintah daerah Kota Bogor untuk meningkatkan mutu keamanan produk IKM
roti melalui penerapan Good Manufacturing Practices.

6.2. Saran
Penelitian penerapan Good Manufacturing Practices terkait produk IKM
dapat diarahkan kepada produk IKM berkategori resiko tinggi terhadap keamanan
pangan atau banyak yang menggunakan atau sering menggunakan zat tambahan
yang dilarang oleh BPOM seperti minuman sirop, tahu, gula/permen.

109

110

DAFTAR PUSTAKA
Anggrahini, S. 1997. Aspek Keamanan Penggunaan Bahan Kimia Pada Produk
Pangan. Agritech. Vol. 17 No. 4 : 1-8
[Anonim], 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Jakarta.
[BAPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta : BAPPENAS.
Bas, M., Mariye Yksel dan Tugba, C. ( 2007). Diffculties and barriers for the
implementing of HACCP and food safety systems in food businesses in
Turkey. Food Control 18 (2007) 124130.
Ben Embarek, PK. 2004. Safe Food Supply and Global Health WHOs
Perspective. Proceeding 4th Asian Conference on Food Safety
and Nutrition Safety, March 2-5, 2004; Nusa Dua Bali, Indonesia
Bintoro VP , 2009. Peranan Ilmu dan Teknologi dalam Peningkatan Keamanan
Pangan Asal Ternak. Makalah pada Forum Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Perternakan Universitas Diponegoro 22 Januari 2009, Semarang
[terhubung berkala]. http://eprints.undip.ac.id/7028/1/V_Priyo.pdf [ 20
Febuari 2012].
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Peraturan Pemerintah (PP)
No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Jakarta : BPOM.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peranan Surveilan dalam
Sistem Keamanan Pangan Terpadu. Laporan Lokakarya Jejaring Intelijen
Pangan. 20 Juni 2005. Jakarta : BPOM.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2008. KLB Keracunan Pangan
Tahun 2001-2006. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan
Pangan. Jakarta : BPOM.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Data Strategis BPS. Jakarta : BPS.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01- 4852-1998 : Sistem analisa
bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP) serta pedoman
penerapannya. Jakarta : BSN.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003.Recommended International
Code of Practice : General Principles of Food Hygiene. CAC/RCP 1-
1969, Rev.4-2003. Rome : CAC.
Darminto dan S. Bahri. 1996. Mad Cow dan penyakit sejenis lainnya pada
hewan dan manusia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian
15(4): 8488.Departemen Pertanian.[terhubung berkala]
http://pustaka.litbang. deptan.go.id/ publikasi/p3283093.pdf.[ 20 Febuari
2012]
111

David FR. 2006. Strategic Management : Concepts and Cases. Ed ke-10. New
Jersey.
[Deperin] Departemen Perindustrian. 2008. Potret Tiga Setengah Tahun
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Industri
Manufaktur Tahun 2005-2009. Laporan Departemen Perindustrian Tahun
2008. Jakarta : Departemen Perindustrian.
Dewanti, R danNuraida, L. 2001. Keamanan Pangan Fungsional dan Suplemen
Berbasis Pangan Tradisional. Prosiding Seminar Nasional Pangan
Tradisional: Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen, 54-63.
Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB Bogor.
Dewanti, R. 2009. Implementation of food safety management at industri level in
developing countries: is gmp/haccp confusing? Proceeding of
International Seminar Current Issues and Challenges in Food safety.
[Ditjen POM] Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman
Penerapan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB). Jakarta : Ditjen
POM, Departemen Kesehatan.
[Ditjen POM] Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman Umum
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jakarta : Ditjen POM,
Departemen Kesehatan.
[Ditjen PDN] Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. 1999. Undang-Undang RI No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Ditjen, PDN,
Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Erlina, Rr. 2011. Strategi Pengembangan Agroindustri Bioetanol di Provinsi
Lampung. [Disertasi]. Bogor: Fakultas Tehnologi Pertanian , Institut
Pertanian Bogor.
Fardiaz, S. 1996. Pengenalan HACCP Pada Industri Pangan. Pelatihan Singkat
Penerapan Cara Berproduksi Yang Baik dan HACCP, di
Palembang, tanggal 10-11 Oktober 1996. Jakarta : Direktorat Jendral
Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan
FAO (2006). Strenghtsening national food control systems. Guidelines to assess
capacity building needs, Rome, Italy.
Girsang, CI. 2007. Formulasi Strategi Pengendalian Mutu Dan Keamanan Pangan
Produk Crude Palm Oil Di PT. Perkenunan Nusantara III Dan Minyak
Goreng Di PT. Astra Agro Lestari, Tbk. [Thesis]. Bogor. Fakultas
Tehnologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hanani, N. 2009. Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II
Ketahanan Pangan di Jawa Timur.

112

Hariyadi P. 2007. Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan melalui
Ilmu dan Teknologi Pangan. Southeast Asian Food Science and
Technology (SEAFAST) Center IPB. Bogor.
Hariyadi,P. 2008. Beban Ganda: Permasalahan Keamanan Pangan di Indonesia
Artikel Pangan Edisi No. 51/XVIII/Juli-September/2008.
Herath, D. dan Henson, S. 2005. Identification and quantification of barriers to
HACCP implementation: Evidence from Ontario Food Processing sector.
Selected paper prepared for presentation at the American Agricultural
Economics Association Annual Meeting, Providence, Rhode Island, July 24-
27, 2005
Hubeis, M. 1997. Menuju industri kecil profesional di era globalisasi melalui
pemberdayaan manajemen industri. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Manajemen Industri, Fakultas Tehnologi Pertanian.Bogor : IPB.
Janes, FR. 1988. Interpretive Structural Modelling(ISM): a methodology for
structuring complex issues. Transactions Institute of Measurement and
Control, Vol. 10 No. 3, pp. 145-54.
Jaya, R., Machfud dan Ismail, M. 2011. Aplikasi teknik ISM dan ME-MCDM
untuk identifikasi posisi pemangku kepentingan dan alternatif kegiatan
untuk perbaikan mutu kopi gayo. Jurnal Teknologi Industi. Pertanian
Vol. 21 (1), 1-8.
Jharkharia,S. 2011. Interrelations of critical failure factors in ERP
implementation: an ISM-based analysis. International Conference on
Advanced Management Science. IPEDR vol.19 (2011). Singapore.
[KADIN] Kamar Dagang dan Industri Indonesia. 2010. Kebutuhan Teknologi
dan Potensi Kerjasama Riset dengan Industri.[terhubung berkala] http://
www.ristek.go.id/file/upload/Pengumuman/2010/KADIN.pdf. [20 Januari
2012]
Karaman, A. D., Ferit Cobanoglu , Renan Tunalioglu and Gulden Ova , 2012.
Barriers and benefits of the implementation of food safety management
systems among the Turkish dairy industri: A case study. Food Control 25
(2012) 732- 739
Lawley R, Curtis L, and Davis J. 2008. The Food Safety Hazard Guidebook. RSC
Publishing. Cambridge.
Machfud. 2001. Rekayasa model penunjang keputusan kelompok dengan fuzzy
logic untuk system pengembangan agroindustri minyak atsiri.[Disertasi].
IPB. Bogor.
[Menpangan] Menteri Negara Urusan Pangan. 1996. Undang- Undang RI No. 7
Tahun 1996 tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan.
Jakarta.

113

[Menpangan] Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura. 1999.


Peraturan Pemerintah (PP) No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan. Kantor Menteri Negara Pangan dan Hortikultura. Jakarta.
Mirah, AD. 2007. Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis
Unggulan Daerah. Disertasi. Pasca Sarjana Tehnologi Industri Pertanian.
Bogor.
Nababan TR. 2007. Analisis Strategi Pemasaran Produk Home Industri Roti
(Studi Kasus di Home Industri Marinda, Kelurahan Gunung Batu, Bogor).
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Pearce JA, Robinson RB. 1997. Manajemen Strategik :Formulasi, Implementasi,
dan Pengendalian. Maulana A, penerjemah; Jilid Satu. Jakarta: Bina Rupa
Aksara. Terjemahan dari: Strategic Managemen :Formulation,
Implementation, and Controlling.
Purnawan, AH. 2010. Kajian pengembangan usaha IKM pangan komoditi roti dan
kue di Kota Bogor (Studi kasus di industri kecil Elsari Bogor). [Thesis].
Program Studi Industri Kecil Menengah. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rangkuti F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Rahayu, 2009. Disain Peningkatan Daya Saing Industri Pengolahan Ikan Berbasis
Perbaikan Kinerja Mutu Dalam Rantai Pasokan Ikan Laut Tangkapan Di
Wilayah Utara Jawa Barat.[Thesis]. Bogor : Fakultas Tehnologi Perikanan,
Institut Pertanian Bogor.
Randell AW. 2000. International food standards : The Work of Codex. Di dalam :
Rees N, Watson D, editor. International Standard for Food Safety.
Maryland : An Aspen Publication.
Rahayu, W. P. 2008. KLB Keracunan Pangan Tahun 2008: Laporan Tahunan
Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan POM RI,
Jakarta.
Riemann, H. and F.L. Bryan. 1979. Foodborne Infection and Intoxication. 2nd
edition, Academic Press, Inc., San Diego.
Sarter S, Gilles dan Patrick Gilabert . 2010. A Swot analysis of HACCP
implementation in Madagascar. Food Control 21 (2010) 253259
Sarter, Gilles dan Samira Sarter. 2012. Promoting a culture of food safety to
improve hygiene in small restaurants in Madagascar. Food Control 25
(2012) 165-1.
Sagheer, S., Yadav, S.S. and Deshmukh, S.G. 2008. An application of
interpretative structural modeling of the compliance to food standards.
International Journal of Productivity and Performance Management Vol.
58 No. 2, 2009 p. 136-159.

114

Sapers GM, Gorny JR, and Yousef AE. 2006. Microbiology of Fruits and
Vegetables. CRC Press.Boca Raton, London, New York.
Saxena, Sushil JP, Vrat P. 1992. Scenario Building: A Critical Study of Energy
Conservation in The Indian Cement Industri. Technological Forecasting
and Social Change 41: 121-146.
Siregar, D. 2009. Strategi Peningkatan Mutu Dan Keamanan Produk Olahan
Markisa Di PT. Pintu Besar Selatan, Sumatera Utara. [Thesis]. Bogor.
Fakultas Tehnologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sekretaris Jenderal Menteri Perindustrian. 2010. Rencana Strategis Kementerian
Perindustrian tahun 2010-2014 dan Peran Daerah Dalam Menghadapi
FTA. Yogyakarta: Menperin.
S.M. Oss , P.A. Luning , L. Jacxsens , S. Santillana , I. Jaime and J. Rovira .
2012. Food safety management system performance in the lamb chain.
Food Control 25 (2012) 493-500.
Sudibyo, A, Rahayu, SE, Rohaman, MM, Ridwan, IN, Sirait, SD, Aprianita, N
dan Sutrisniati, D. 2001. Pengembangan dan Penerapan Sistem HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) Pada Industri Pangan di
Indonesia. Warta IHP vol. 18 No. 1-2 : 7 18.
Sudibyo, A dan Sumarsi. 2004. Penelitian Terhadap Kesadaran dan Tanggung
Jawab Industri Pangan Skala Kecil Dalam Memproduksi Pangan
Yang Aman dan Bermutu. Warta IHP Vol. 21 No. 1 2 : 41-54.
Sukarman W. 2007. Modul Kuliah (MAN 542) Pengelolaan Industri : Peran
Industri Perbankan dalam Mendukung Sektor UMKM di Indonesia.
Bogor: Program Magister Profesional Industri Kecil Menengah Sekolah
Pascasarjana IPB.
Supar. 2005. Keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek prapanen:
Permasalahan dan solusi. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan
Pangan Produk Peternakan Bogor, 14 September 2005. hlm. 5660. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Stanton G. 2000. Food Safety and International Trade : The Role of The WTO
and The SPS Agreement. Di dalam : Rees N, Watson D, editor.
International Standard for Food Safety. Maryland : An Aspen Publication.
Tarigan, A.B. 2010. Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Roti di Perusahaan
Bogor Permai. Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan,
Diploma, IPB.
Umar H. 2008. Strategic Management in Action. Cetakan Kelima. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Warfield, J. N. 1974a. Structuring complex systems, Battelle Monograph No 4,
Battelle Memorial Institute, Columbus. Ohio, USA.

115

[WHO] World Health Organization. 1999. Report of WHO Food Safety


Programme: Strategies for Strategies for Implementing HACCP in Small
and/or Less Developed Businesses. The Netherlands The Hague.
Winarno FG. 1993. Makanan tradisional: keamanan, gizi, dan khasiat. Di dalam:
Naskah Akademis Keamanan Pangan. IPB Press. Bogor.
Winarno FG. 1994. Mikrobiologi dan keamanan pangan. Di dalam: Naskah
Akademis Keamanan Pangan. IPB Press. Bogor.
Winarno, F.G. 1997. Naskah Akademis. Keamanan Pangan. FTDC (Food
Technology Development Center) Institut Pertanian Bogor.
Winarno, F.G. 2004. Keamanan Pangan, Cetakan 1 Jilid 2. M-Brio Press, Bogor.
Wilcock, A., Ball, B., & Aung, M. 2011. Effective implementation of food safety
initiatives: Managers, food safety coordinators and production workers
perspectives. Food Control 22 (2011) 27-33.
Yapp, C. dan Fairman, R. (2006). Factors affecting food safety compliance
within small and medium-sized enterprises: implications for regulatory and
enforcement strategies.Food Control 17 (2006) 4251.

116

LAMPIRAN

117
118
Lampiran 1 Kualifikasi pakar yang digunakan dalam penelitian

No Nama Pakar Jabatan Keahlian Terkait Aplikasi


1 Dra Nurhaedah, Kepala Seksi - Petugas Penyuluh SWOT
Apt Perbekas POM Keamanan Pangan
Dinas Kesehatan - Food District Inspector
Kota Bogor - Pengalaman kerja lebih
dari 10 tahun terkait
SP-PIRT

2 Gupuh Kepala Seksi - Petugas Pembina IKM SWOT, ISM


Samirono, BBA Industri Agro dan - Pengalaman kerja lebih
Hasil Hutan Dinas dari 10 tahun terkait
Perindustrian dan IKM bidang makanan
Perdagangan Kota
Bogor
3. Dr. Ratih Ketua Program - Dosen ilmu pangan SWOT, ISM
Dewanti Pasca Sarjana Ilmu - Asesor KAN bidang
Pangan FATETA HACCP dan SMKP
Hariyadi, MSc IPB - Anggota Sub Panitia
Teknis Sistem
Manajemen Mutu
bidang Pangan
- Menjadi konsultan
GMP/ HACCP/ SMKP
di berbagai industri
4. Ir. Maman Kepala Bidang - Pengalaman kerja lebih SWOT, ISM
Rohaman, MSc Pengujian dan dari 10 tahun terkait
Sertifikasi Balai aspek GMP/HACCP
Besar Industri - Peneliti bidang
Agro keamanan pangan
- Auditor HACCP/
SMKP
- Pengalaman konsultan
GMP/ HACCP/ SMKP
di berbagai industri
5 H Maman Pemilik ELsari - Pengusaha bakery SWOT
Surachman Ketua Asosiasi lebih dari 5 tahun
IKM - Pengalaman
menerapkan GMP pada
perusahaannya

119
Lampiran 2 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Bogor

120
Lampiran 3 Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor

121
Lampiran 4 Jumlah unit usaha industri di Kota Bogor tahun 2006 2011
Tahun (jumlah unit usaha) Presentase
N CABANG INDUSTRI ) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 peningkatan
(thn 2010-
O
2011)
I. INDUSTRI KIMIA, AGRO
DAN HASIL HUTAN
(IKAH)
INDUSTRI MENENGAH /
A
BESAR
. 9 15 22 25 25 25
1. Makanan
8 9 9 12 13 14
2. Minuman
10 10 11 12 13 13
3. Kayu Olahan dan rotan
8 10 11 11 12 13
4. Pulp dan Kertas
6 7 7 8 9 11
5. Bahan Kimia dan karet
2 2 2 2 2 2
6.Bahan Galiannon logam
5 8 6 8 9 9
7. Kimia
48 59 68 78 83 87 4.82
B INDUSTRI KECIL
FORMAL
1.Makanan 180 193 213 225 240 263
2. Minuman 40 49 58 61 69 78
3. Kayu Olahan dan rotan 111 114 118 120 120 121
4. Pulp dan Kertas 79 79 83 92 93 100
5. Bahan Kimia dan karet 13 13 23 23 23 24
6.Bahan Galiannon logam 37 37 37 37 37 37
7. Kimia 43 58 61 65 71 78
503 543 593 623 653 701 7.35
C INDUSTRI KECIL
NON FORMAL
1. Makanan 979 998 1.017 1.037 1.057 1.078
2. Minuman 203 207 211 216 221 226
3. Kayu Olahan dan rotan 80 82 84 84 84 84
4. Pulp dan Kertas 28 33 34 37 41 47
5. Bahan Kimia dan karet - - - - - -
6.Bahan Galiannon logam 35 35 36 36 36 36
7. Kimia 23 23 25 28 31 35
1,348 1.378 1.407 1.438 1.470 1.506 2.45
Sub Total I 1.899 1.980 2.068 2.139 2.206 2.294 3.99
II INDUSTRI LOGAM,
MESIN, ELEKTRONIKA
DAN ANEKA

A INDUSTRI MENENGAH 44 44 46 48 49 56 14.29


/ BESAR
B INDUSTRI KECIL 340 347 363 331 336 338 0.60
FORMAL
C INDUSTRI KECIL 703 715 731 748 765 789 3.14
NON FORMAL
Sub Total II 1.087 1.106 1.140 1.127 1.150 1.183 2.87
Total 2.986 3.086 3.208 3.266 3.356 3.477 3.61

Sumber : Dinas Perindagkop Kota Bogor diolah

122
Lampiran 5 Industri roti yang terdaftar di Dinasperindag Kota Bogor
KapasitasProduksi
NO NamaIndustri JenisKomoditi Unit Pertahun NilaiInvestasi(RP) TenagaKerja
1 ParkindoLestari Roti Buah 150.000 17,500,000 30
2 PTDunkindoLestari Roti Kg 100.000 17,500,000 30
3 PTTalkindoSelaksaA. Roti Buah 1.400.000 231,180,000 29
4 PTHeroSupermarket,tbk Roti buah 120.000 1,100,000 28
5 BogorPermai Roti Buah 1.080.000 359,300,000 25
6 DwiKandi Roti Buah 195.000 22,700,000 24
7 TistaRoti Kue Buah 360.000 25,000,000 20
8 PTMatahariPutraPrima Roti Buah 57.600 248,000,000 15
9 LautanBakery Roti Kg 39.000 34,500,000 15
10 Merdeka Roti Buah 270.000 175,000,000 14
11 MahkotaBakery Roti Buah 600.000 16,000,000 12
12 PT.Ramayana Kg 7.200 41,000,000 12
13 ShanyBakery Roti Buah 200.000 11,000,000 11
14 TanTjoan Roti Buah 150.000 13,000,000 11
15 Venus Roti Buah 1.800.000 364,700,000 11
16 Berkah Roti Buah 750.000 2,680,000 10
17 EvyBoy Roti,Kue Buah 500.000 20,000,000 10
18 Elsari Roti/Brwonies Buah 16.800 85,000,000 10
19 DeParisRoti Roti Buah 270.000 120,000,000 9
20 PTMustikaCitraRasaHolla Roti Buah 46.000 140,400,000 9
21 Meridien Roti Buah 150.000 15,000,000 8
22 NooraCake Roti Buah 30.000 30,000,000 8
23 SuksesBakeri Roti Buah 780.000 14,600,000 7
24 YunYen Roti Buah 500.000 1,350,000 6
25 NilaRosaBakery Roti Dus 50.000 10,000,000 6
26 FamilyBakery Roti Buah 180.000 15,000,000 6
27 Delicius Roti Kg 4000 16,000,000 6
28 Bogasari Roti Buah 150.000 3,000,000 6
29 HeroySari Roti Buah 100.000 3,500,000 6
30 SAERoti Roti Buah 750.000 30,000,000 6
31 DahlanZein Roti Buah 180.000 8,500,000 6
32 PIAApple PieApple Loyang 7.500 81,500,000 6
33 ManisBakery Roti Buah 260.000 1,250,000 5
34 Bambi Rotidankue Buah 2.600.000 28,000,000 5
35 PTEkaDasaPerkasa Roti Buah 180.000 3,500,000 5
36 Rifia Roti Buah 50.000 40,000,000 5
37 3Roses Roti,Kue Kg 1.200 49,470,000 5
38 JumboBakery Roti Buah 108.000 80,000,000 5
39 Suryabakery Roti Buah 180.000 1,200,000 4
40 DwiRaboBakery Roti Buah 180.000 2,000,000 4
41 AzakiaCake&Bakery Roti,kue Kg 1.500 40,060,000 4
42 Keisha Kue Loyang 9.216 45,800,000 4
43 SingaporeBakery Roti,kue Kg 12.000 49,770,000 4
44 MekarJaya Roti Buah 75.000 9,800,000 4
45 Edi'sBakery Roti Buah 35.000 19,300,000 3
46 Pelangi Kue Kg 50.000 3,000,000 3

Sumber : Dinas Perindagkop Kota Bogor diolah

123
Lampiran 6 Industri roti yang mendapatkan SP-PIRT dari Dinas Kesehatan Bogor

No NamaIndustri/pemilik JenisKomoditi Nilaihasil TahunTerbit


PemeriksaanSarana Sertifikat
Produksi

1 Biebie brownies KategoriB 2006


2 LasalieCake Cake KategoriB 2006
3 Andrea Roti KategoriB 2006
4 BogorPermai Roti KategoriB 2006
5 LitaDewi Rotikue KategoriB 2006
6 IisRositaSari Roti,cake KategoriB 2006
7 MitraResa brownies KategoriB 2007
8 NovinBakery Rotikue KategoriB 2007
9 Jumbobakery Roti KategoriB 2007
10 IkaSukaesih Rotikue KategoriB 2007
11 BreadCoYogya Roti KategoriB 2007
12 BreadCodYogyasurken Roti KategoriB 2010
13 ShofieIndriNotari brownies KategoriC 2006
14 Mayabakery rotikue KategoriC 2006
15 NoraBakery rotikue KategoriC 2006
16 Teratai rotikue KategoriC 2006
17 Sitisolekhah Kue KategoriC 2006
18 Wagito Kue KategoriC 2006
19 Simonbakery Roti KategoriC 2006
20 Mom'sbakery Rotikue KategoriC 2006
21 IneAgustiany Roti KategoriC 2006
22 DeParis Roti,cake KategoriC 2007
23 Rotilestari rotikue KategoriC 2007
24 Rotisingapore roti KategoriC 2007
25 Monabakery Rotikue KategoriC 2007
26 Vinalesmana Rotikue KategoriC 2007
27 MyBreadrotiku Roti KategoriC 2007
28 LaSandy Roti KategoriC 2007
29 Natasha Rotikue KategoriC 2008
30 LillyKusumawati Rotikue KategoriC 2008
31 Jawarabakery Roti KategoriC 2008
32 GaluhSari Rotikue KategoriC 2008
33 Rotigantang Roti KategoriC 2008
34 Foodmartekalos Rotikue KategoriC 2008
35 Mimiroti Roti KategoriC 2008
36 Sarahbakery&cake Roti,cake KategoriC 2010
37 AlexCornus Roti KategoriC 2010
38 Rivara Roti KategoriC 2010
39 Firdasari Roti,kue KategoriC 2010
40 RotiVenusBakery Roti,kue KategoriC 2010
41 AbdulHamid Roti KategoriC 2010
42 AkaziaCake Roti,cake KategoriC 2011
43 Heroysari Roti,kue KategoriC 2011
44 Proboningsih Roti,kue KategoriC 2011
45 TheCakeHouse Roti,cake KategoriC 2011
46 CecepSolihin Roti KategoriC 2011
47 Sunandarbakery Roti KategoriC 2011
48 Hoip Roti KategoriK (aplikasi2009)
49 AndrySyarifudin Roti KategoriK (aplikasi2012)
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor diolah

124
Lampiran 7 Contoh formulir penilaian CPPB-IRT

125
Dengan kriteria penilaian masing-masing unsur sebagai berikut :

GRUP A : LINGKUNGAN PRODUKSI


1. Semak
B : bebas dari semak belukar/rumput liar di dalam maupun di luar halaman.
C : bebas dari semak belukar/rumput liar di dalam halaman
K : terlihat semak belukar/rumput liar di dalam maupun di luar halaman.
2. Tempat sampah
B : jumlahnya cukup dan selalu tertutup
C : jumlahnya cukup tetapi sebagian terbuka.
K : jumlah kurang dan selalu terbuka.
3. Sampah
B : bebas dari sampah di dalam maupun di luar sarana produksi
C : bebas dari sampah di dalam sarana produksi
K : terlihat sampah di dalam maupun di luar sarana produksi
4. Selokan
B : ada selokan dan berfungsi dengan baik.
C : ada selokan dan tidak berfungsi dengan baik.
K : tidak ada selokan

GRUP B : BANGUNAN DAN FASILITAS


B.1. Ruang Produksi
1. Konstruksi lantai
B : kedap air, rata, halus tetapi tidak licin, kuat, dibuat miring mudah dibersihkan
C : tidak seluruhnya seperti (B) tetapi mudah dibersihkan
K : tidak sesuai persyaratan dan sulit dibersihkan.
2. Kebersihaan lantai
B : lantai selalu dalam keadaan bersih
C : lantai dalam keadaan kurang bersih
K : lantai dalam keadaan kotor
3. Konstruksi dinding
B : kedap air, rata, halus, berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas, dan kuat
sehingga mudah dibersihkan
C : tidak seluruhnya seperti (B) tetapi mudah dibersihkan
K : tidak sesuai persyaratan dan sulit dibersihkan
4. Kebersihan dinding
B : dinding selalu dalam keadaan bersih.
C : dinding dalam keadaan kurang bersih
K : dinding dalam keadaan kotor
5. Konstruksi langit langit
B : terbuat dari bahan tahan lama, tidak bocor, tidak berlubanglubang dan tidak mudah
mengelupas sehingga mudah dibersihkan
C : tidak seluruhnya seperti (B) tetapi mudah dibersihkan
K : tidak sesuai persyaratan dan sulit dibersihkan
6. Kebersihan langit-langit
B : langit-langit selalu dalam keadaan bersih
C : langit-langit dalam keadaan kurang bersih
K : langit-langit dalam keadaan kotor
7. Konstruksi pintu jendela dan lubang angin
B : dibuat dari bahan tahan lama, tidak mudah pecah, rata halus berwarna terang, dapat

126
dibuka tutup dengan baik, dilengkapi kasa yang dapat dilepas sehingga mudah
dibersihkan
C : tidak seluruhnya seperti (B) tetapi mudah dibersihkan
K : tidak sesuai persyaratan dan sulit dibersihkan
8. Kebersihan pintu, jendela, dan lubang angin
B : pintu, jendela, dan lubang angin selalu dalam keadaan bersih
C : pintu, jendela, dan lubang angin selalu dalam keadaan kurang bersih
K : pintu, jendela, dan lubang angin dalam keadaan kotor
B.2. Kelengkapan Ruang Produksi
1. Penerangan
B : ruang produksi cukup terang
K : ruang produksi kurang terang
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K
2. Perlengkapan pertolonggan pertama pada kecelakaan (P3K)
B : ada perlengkapan P3K yang memadai
C : ada perlengkapan P3K yang tidak memadai
K : tidak ada perlengkapan P3K
B.3. Tempat Penyimpanan
1. Tempat Penyimpanan Bahan dan Produk:
B : tempat penyimpanan bahan pangan dengan produk akhir terpisah dan selalu dalam
keadaan bersih
C : tersedia tempat penyimpanan seperti (B) tetapi tidak teratur dan kurang bersih
K : tempat penyimpanan tidak terpisah
2. Tempat Penyimpanan Bahan Bukan Pangan
B : tempat penyimpanan bahan bukan pangan terpisah dengan bahan pangan dan produk
akhir serta selalu dalam keadaan.bersih
K : tidak ada tempat penyimpanan terpisah unnk bahan bukan pangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K

GRUP C : PERALATAN PRODUKS1


1. Konstruksi
B : Terbuat dari bahan yang kuat, tidak berkarat, mudah dibongkar pasang sehingga
mudah dibersihkan
K : Peralatan kotor, bocor, serta permukan yang kontak langsung dengan pangan
bercelah, mengelupas, dan menyerap air.
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. TataLetak
B : diletakkan sesuai urutan proses produksi
C : diletakkan kurang sesuai urutan proses produksi
K : diletakkan tidak sesuai urutan proses produksi
3. Kebersihan
B : semua peralatan produksi berfungsi dengan balk dan selalu dalam keadaan bersih
C : sebagian peralatan produksi dalam keadaan kurang bersih
K : peralatan produksi dalam keadaan kotor

GRUP D : SUPLAI AIR


1. Sumber Air
B : air berasal dari sumber yang bersih dan dalam jumlah yang cukup
K : air berasal dari sumber yang kotor
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. Penggunaan air
B : air untuk pengolahan pangan dan untuk keperluan lain memenuhi persyaratan air bersih
K : air untuk pengolahan pangan dan untuk keperluan lain tidak

127
memenuhi persyaratan air bersih
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
3. Air yang Konlak Langsung Dengan Pangan :
B : memenuhi persyaratan air minum
K : tidak memenuhi persyaratan air minum
unsur hanya ada "B" dan "K".

GRUP E : FASILITAS DAN KEGIATAN HIGIENE DAN SANITASI


E.1. Alat Cuci/Pembersih
1. Ketersediaan Alat
B : tersedia alat cuci/pembersih dan selalu dalam keadaan bersih
K : tersedia alat cuci/pembersih dalam keadaan kotor
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
E.2. Fasilitas Higiene Karyawan
1. Tempat Cuci Tangan
B : ada tempat cuci tangan lengkap dengan sabun dan lap bersih
C : ada tempat cuci tangan tetapi tidak dilengkapi sabun dan lap bersih
K : tempat cuci tangan kotor dan atau tidak ada tempat cuci tangan
2. Jamban/Toilet
B : jumlahnya cukup, pintu selalu tertutup dan dalam keadaan bersih
C : jumlahnya cukup, pintu terbuka langsung ke ruang produksi
K : jumlahnya kurang dan kotor
E.3. Kegiatan Higiene dan Sanitasi
1. Penanggungjawab
B : ada penanggung jawab kegiatan dan pengawasan dilakukan secara rutin
C : ada penanggung jawab kegiatan tetapi pengawasan tidak dilakukan secara rutin
K : tidak ditunjuk penanggung jawab kegiatan
2. Penggunaan deterjen dan disinfektan
B : sesuai dengan petunjuk yang dianjurkan
K : tidak sesuai dengan petunjuk yang dianjurkan
penilaian unsur hanya ada "B" dan " K"

GRUP F : PENGENDALIAN HAMA


1. Hewan Peliharaan
B : hewan peliharaan tidak berkeliaran di sarana produksi
K : hewan peliharaan berkeliaran di sarana produksi
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. Pencegahan masuknya hama
B : Ada upaya mencegah masuknya hama dan tidak terlihat indikasi adanya hama
C : Ada upaya mencegah masuknya hama tetapi masih terlihat indikasi adanya hama
K : tidak ada upaya mencegah masuknya hama
3. Pemberantasan Hama
B : upaya memberantas hama tidak mencemari pangan
K : tidak ada upaya memberantas hama
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K

GROUP G : KESEHATAN DAN HIGIENE KARYAWAN


G.1. Kesehatan Karyawan
1. Pemeriksaan kesehatan
B : pemeriksaan kesehatan karyawan dilakukan secara berkala
K : pemeriksaan kesehatan karyawan tidak dilakukan secara berkala
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".

128
2. Kesehatan karyawan
B : karyawan yang bekerja di pengolahan pangan dalam keadaan sehat
K : ada karyawan yang bekerja di pengolahan pangan dalam keadaan sakit atau menunjukkan
gejala sakit
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
G.2. Kebersihan Karyawan
1. Kebersihan Badan
B : semua karyawan selalu menjaga kebersihan badan
K : ada karyawan yang kurang menjaga kebersihan badan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. Kebersihan Pakaian/perlengkapan Kerja:
B : pakaian/perlengkapan kerja selalu dalam keadaan bersih
K : pakaian/perlengkapan kerja kurang bersih atau kotor
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
3. Kebersihan Tangan
B : semua karyawan mencuci tangan dengan benar dan tepat
K : hanya sebagian karyawan mencuci tangan dengan benar dan tepat
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
4. Perawatan Luka
B : luka di balut dengan perban atau plester berwama terang.
K : luka dibiarkan terbuka
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
G.3. Kebiasaan Karyawan
1. Perilaku Karyawan
B : semua karyawan tidak ada yang mengunyah, makan, nunum dan sebagainya sambil
mengolah pangan
K : sebagian karyawan mengunyah, makan, minum, dan sebagainya sambil mengolah pangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. Perhiasan dan asesoris lainnya
B : semua karyawan yang bekerja di pengolahan pangan tidak memakai perhiasan dan asesoris
lainnya
K : ada karyawan yang bekerja di pengolahan pangan memakai perhiasan dan asesoris lainnya
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".

GROUP H : PENGENDALIAN PROSES


1. Penetapan spesifikasi bahan baku
B : menggunakan bahan pangan yang baik dan menggunakan BTP yang diizinkan sesuai
persyaratan
K : menggunakan BTP tidak sesuai persyaratan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. Penetapan komposisi dan formulasi bahan
B : menggunakan komposisi bahan dan komposisi formula baku
K : komposisi bahan dan komposisi formula tidak konsisten
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
3. Penetapan cara produksi yang baku
B : proses produksi sesuai bagan alir produksi yang baku
K : tidak ditetapkan bagan alir produksi
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
4. Penetapan spesiflkasi kemasan
B : bahan kemasan sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi
K : bahan kemasan tidak dengan jenis pangan yang diproduksi
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".

129
5. Penetapan tanggal kadaluarsa dan kode produksi
B : tanggal kadaluarsa dan kode produksi dicantumkan pada label
C : tanggal kadaluarsa atau kode produksi dicantumkan pada label
K : tidak ditetapkan tanggal kadaluarsa dan kode produksi

GROUP I : LABEL PANGAN


1. Persyaratan label
B : Sesuai PP No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
K : tidak sesuai PP No.69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".

GROUP J : PENYIMPANAN
1. Penyimpanan Bahan baku
B : bahan baku disimpan terpisah dengan produk akhir
K : tidak ada pemisahan dalam penyimpanan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. Tata cara penyimpanan
B : bahan pangan/produk yang lebih dahulu masuk/diproduksi digunakan/diedarkan lebih
dahulu
K : penggunaan/peredaran bahan pangan/produk tidak seperti (B)
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
3. Penyimpanan bahan berbahaya
B : bahan berbahaya disimpan di ruang khusus dan diawasi penggunaannya
K : bahan berbahaya disimpan sembarangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
4. Penyimpanan label dan kemasan
B : kemasan dan label disimpan secara rapih dan teratur
K : kemasan dan label disimpan sembarangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K'.
5. Penyimpanan Peralalan
B : peralatan disimpan dengan baik di tempat bersih
K : peralatan disimpan sembarangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".

GRUP K : MANAJEMEN PENGAWASAN


1. Penanggungjawab
B : ada penanggungjawab yang memahami proses produksi
C : penanggung jawab kurang memahami proses produksi
K : tidak ada penanggungjawab
2. Pengawasan
B : pengawasan dilakukan secara rutin dan konsisten
C : pengawasan dilakukan tidak secara rutin
K : tidak dilakukan pengawasan

GRUP L: PENCATATAN DAN DOKUMENTASI


1. Pencatatan dan dokumentasi
B : penerimaan bahan pangan dan produk akhir dicatat dan didokumentasi
C : ada catatan atau dokumen seperti (B) tetapi tidak lengkap
K : tidak ada catatan atau dokumen
2. Penyimpanan catatan dan dokumentasi
B : catatan atau dokumen disimpan selama 2 (dua) kali umur simpan produk pangan yang
dihasilkan
K : catatan atau dokumen disimpan kurang dari (B) dan sulit dicari

130
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".

GRUP M: PELATIHAN KARYAWAN


1. Pengetahuan karyawan
B : pemilik/penanggungjawab telah mengikuti penyuluhan CPPBIRT dan mengajarkannya
kepada karyawan
C : pemilik/penanggungjawab belum mengajarkan pengetahuan dan keterampilannya kepada
karyawan yang lain meskipun telah mengikuti penyuluhan CPPB-IRT
K : tidak ada karyawan yang mengikuti penyuluhan CPPB-IRT

131
Lampiran 8 Hasil pengolahan ISM

A. Untuk Elemen Pendukung (Strengths Opportunities)

1. Hasil Pendapat Agregat Pakar

2. Transformasi Matrik SSIM menjadi Matrik Reachability

3. Hasil Penentuan Nilai Driven Power dan Dependence

132
B. Untuk Elemen Kendala (Weakness Threats)
1. Hasil Pendapat Agregat Pakar

2. Transformasi Matrik SSIM menjadi Matrik Reachability

3. Hasil Penentuan Nilai Driven Power dan Dependence

133
C. Untuk Elemen Aktor Pelaku
1. Hasil Pendapat Agregat Pakar

2. Transformasi Matrik SSIM menjadi Matrik Reachability

3. Hasil Penentuan Nilai Driven Power dan Dependence

134
Lampiran 9 Hasil penentuan rating pada Matrik IEF dan Matrik EFE
A. Rating pada Matrik IEF
NilaiRatingMasingmasingPakar
No Faktor Internal A B C D E Ratarata
Kekuatan (STRENGH)
A Lokasi Bogor yang strategis 3 4 4 3 4 3.6
B Sektor industri makanan-minuman menjadi sector basis dalam
perekonomian Bogor 4 4 3 4 4 3.8
C Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi
4 4 4 3 4 3.8
D Dukungan Sarana dan Prasarana kota memadai 4 3 4 3 3 3.4
E Kebijakan Pembebasan biaya SPP-IRT 3 4 4 4 4 3.8
F Sumber keuangan daerah cukup baik 4 3 3 3 3 3.2
G Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD 4 3 3 3 3 3.2
Kelemahan (WEAKNESS )
H Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah
maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri 1 2 1 2 1 1.4
I Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI masih terbatas 1 1 1 1 1 1.0
J Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang 1 1 1 1 1 1.0
K Keterbatasan modal IKM 2 2 2 2 1 1.8
L Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi informasi
masih terbatas 2 2 2 2 2 2.0
M Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM 1 1 1 2 1 1.2
N Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler 1 1 1 1 1 1.0

B. Rating pada Matriks EEF


Faktor Eksternal NilaiRatingMasingmasingPakar Rating
PELUANG A B C D E RataRata
A Pontensialnya peluang pasar dalam negeri 4 4 4 4 4 4,0
B Adanya bantuan program dari pemerintah pusat 4 3 3 3 3 3,2
C Perubahan pola konsumsi masyarakat 4 4 3 4 3 3,6
D Perkembangan teknologi dan informasi 3 4 4 4 4 3,8
E Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota
Jakarta/Bogor 3 4 3 3 3 3,2
ANCAMAN
F Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan
produk luar kota 2 1 1 1 1 1,2
G Kenaikan Biaya Produksi yang mempengaruhi harga produk
1 2 1 2 1 1,4
H Perkembangan jenis makanan jadi lain produk substitusi
2 2 2 2 1 1,8
roti
i Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan
diantara perusahaan roti yang ada 1 1 2 1 1 1,2

135
Lampiran 10 Hasil penentuan bobot pada Matrik IEF dan Matrik EFE
A. Bobot pada Matrik IEF
NilaiRatingMasingmasingPakar
No Faktor Internal A B C D E Ratarata
Kekuatan
A Lokasi Bogor yang strategis 3 4 4 3 4 3.6
B Sektor industri makanan-minuman menjadi sector basis dalam
perekonomian Bogor 4 4 3 4 4 3.8
C Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi
4 4 4 3 4 3.8
D Dukungan Sarana dan Prasarana kota memadai 4 3 4 3 3 3.4
E Kebijakan Pembebasan biaya SPP-IRT 3 4 4 4 4 3.8
F Sumber keuangan daerah cukup baik 4 3 3 3 3 3.2
G Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD 4 3 3 3 3 3.2
Kelemahan
H Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah
maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri 1 2 1 2 1 1.4
I Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI masih terbatas 1 1 1 1 1 1.0
J Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang 1 1 1 1 1 1.0
K Keterbatasan modal IKM 2 2 2 2 1 1.8
L Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi informasi
masih terbatas 2 2 2 2 2 2.0
M Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM 1 1 1 2 1 1.2
N Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler 1 1 1 1 1 1.0

B. Bobot pada Matrik EEF


Faktor Eksternal NilaiBobotMasingmasingPakar Bobot
PELUANG A B C D E Ratarata
A Pontensialnya peluang pasar dalam negeri 0,104 0,106 0,104 0,1389 0,119 0,114
B Adanya bantuan program dari pemerintah pusat 0,125 0,141 0,132 0,1111 0,147 0,131
C Perubahan pola konsumsi masyarakat 0,104 0,134 0,083 0,0972 0,084 0,100
D Perkembangan teknologi dan informasi 0,083 0,070 0,132 0,0903 0,063 0,088
E Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota
Jakarta/Bogor 0,063 0,056 0,076 0,0694 0,070 0,067
ANCAMAN
F Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan
produk luar kota 0,132 0,134 0,111 0,1389 0,133 0,130
G Kenaikan Biaya Produksi yang mempengaruhi harga produk
0,167 0,120 0,097 0,1389 0,147 0,134
H Perkembangan jenis makanan jadi lain produk substitusi
0,104 0,092 0,125 0,0833 0,119 0,105
roti
i Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan
diantara perusahaan roti yang ada 0,118 0,148 0,139 0,1319 0,119 0,131
1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000

136

Anda mungkin juga menyukai