TRININGSIH HERLINAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Triningsih Herlinawati
NRP. F351100221
i
ABSTRACT
iii
RINGKASAN
Triningsih Herlinawati. Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti
Industri Kecil Menengah Melalui Penerapan Good Manufacturing Practices.
Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Yandra Arkeman, M.Eng sebagai ketua komisi
pembimbing, Prof. Ir. Himawan Adinegoro, M.Sc DFT. sebagai anggota komisi
pembimbing.
v
peluang dan meminimalkan ancamam lingkungan eksternal. Peluang yang dinilai
utama adalah potensial peluang pasar dalam negeri (skor 0,457), sedang ancaman
yang dianggap utama adalah persaingan dari produk roti sejenis (franchaise) /
produk dari luar kota (skor 0,156).
Penentuan posisi pemerintah kota Bogor dalam peningkatan GMP
menggunakan matriks IE (Internal Eksternal), dan diperoleh posisi pemerintah
Kota Bogor berada pada posisi kuadran V dengan koordinat (2,33; 2,476). Posisi
sel ini menunjukkan peningkatan penerapan GMP industri IKM roti dapat
ditangani dengan baik melalui strategi menjaga dan mempertahankan IKM yang
telah memenuhi GMP melalui pengawasan. Adapun strategi penetrasi dilakukan
terhadap IKM roti yang belum memenuhi penerapan GMP melalui kegiatan
penyuluhan, publikasi, promosi. Adapun pengembangan yang dapat
dikembangkan pada posisi ini adalah mengembangkan alternatif metode, panduan,
publikasi agar mendorong persyaratan GMP dapat lebih dipahami oleh IKM roti.
Interpretive Structural Modelling (ISM) digunakan untuk mengetahui
hirarki dan elemen kunci sub-elemen dari setiap strategi dan aktor pelaku yang
dianalisis untuk memperkaya perumusan strategi . Elemen yang dianalisis
menggunakan Interpretive Structural Modelling (ISM) yaitu elemen kendala,
pendukung dan aktor pelaku. Elemen kunci faktor kendala yang mempengaruhi
peningkatan penerapan GMP IKM roti yaitu belum adanya Rencana Strategis
Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kota Bogor. Elemen kunci faktor
pendukung yaitu letak Kota Bogor yang strategis; dukungan sarana prasarana
yang memadai; peluang potensial pasar; perubahan pola konsumsi dan kesadaran
hidup sehat konsumen; serta penggunaan tehnologi dan informasi. Elemen kunci
aktor pelaku yang mempengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices IKM
Bakeri yaitu Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian
dan Perdagangan Kota Bogor serta Perguruan tinggi.
Analisis lengkap penelitian ini telah membangun perumusan 5 strategi
alternatif untuk meningkatkan keamanan pangan dasar produk IKM roti di kota
Bogor melalui penerapan GMP, dengan mempertimbangkan keterbatasan masing-
masing.
vi
Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012
vii
viii
STRATEGI PENINGKATAN MUTU KEAMANAN
PRODUK ROTI INDUSTRI KECIL MENENGAH MELALUI
PENERAPAN GOOD MANUFACTURING PRACTICES (GMP)
TRININGSIH HERLINAWATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
ix
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Machfud, MS
x
Judul Tesis : Strategi Peningkatan Mutu Keamanan Produk Roti
Industri Kecil Menengah Melalui Penerapan
Good Manufacturing Practices (GMP)
Nama : Triningsih Herlinawati
NRP : F351100221
Program Studi : Teknologi Industri Pertanian
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yandra Arkeman, MEng Prof.Ir. Himawan Adinegoro, MSc. DFT
Ketua Anggota
Diketahui
xi
xii
PRAKATA
Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT, Tuhan alam semesta, pemilik
segala ilmu dan kekuasaan, yang atas kehendak dan izin-Nya penulis dapat
menyelesaikan pendidikan S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB
Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih yang tak
terhingga khususnya kepada:
1. Bapak Dr. Yandra Arkeman, MEng dan Bapak Prof. Ir. Himawan Adinegoro,
MSc. DFT selaku pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan,
arahan, masukan dengan sabar dan penuh perhatian selama melaksanakan
penelitian dan penulisan.
2. Bapak Dr. Ir. Machfud, MS dan Ibu Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti, MS selaku
penguji
3. Keluarga besar Darmanto Hadiwidjaya dan Fauzan, suamiku tercinta Imam
Wahyudi serta ananda Dimas AW, Raihan AW, Ranaa A. Salsabilla yang
senantiasa menanti dengan sabar dan mendoakan agar tugas belajar ini dapat
selesai.
4. Bapak Ir.M. Maman Rohaman, MSc., Gupuh Samirono, BBA., H. Maman
Surahman, Ibu Dr. Ratih Dewanti Harijadi, MSc. dan Dra. Nurhaedah, Apt.,
atas kesediaannya menjadi nara sumber pada penelitian ini.
5. Kementrian Riset dan Teknologi serta Badan Standardisasi Nasional yang
memberi kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan lanjut.
6. Rekan-rekan S2/S3 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor
khususnya angkatan 2010 yang menyertai penulis dalam menjalani pendidikan
dan group CIGARIS bimbingan Pak Yandra yang selalu kompak, saling
dukung dan saling berbagi dalam proses penyelesaian studi.
7. Semua pihak yang memberikan kontribusi dalam penyusunan karya tulis ini
yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis
xiii
xiv
RIWAYAT HIDUP
xv
xvi
DAFTAR ISI
xvii
5. HASIL DAN PEMBAHASAN. ................................................ 73
5.1 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Internal ......................... 73
5.2 Identifikasi dan Analisis Lingkungan Eksternal....................... 82
5.3 Matrik IFE dan EFE ................................................................ 88
5.4 Matrik Internal- Eksternal (IE) ................................................ 91
5.5 Strukturisasi ISM ( Interpretive Structural Modeling) ........... 92
5.6 Perumusan Strategi (Matriks ISWOT) ................................... 100
5.7 Pembuatan Keputusan Strategi ............................................... 107
6. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 109
6.1 Kesimpulan ................................................................................ 109
6.2 Saran .......................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 111
LAMPIRAN .................................................................................................. 117
xviii
DAFTAR TABEL
1 Struktur industri Indonesia tahun 2005 2009 ...................................... 6
2 Ambang batas cemaran mikroba pada produk roti ............................... 23
3 Persentase penerapan hiegiene pada industri kecil pangan .................. 34
4 Simbol hubungan dan definisi kontekstual antar elemen
ISM-VAXO .......................................................................................... 46
5 Elemen dan hubungan kontekstual ....................................................... 46
6 Matriks ISWOT .................................................................................... 49
7 Jumlah industri makanan di kota Bogor tahun 2009 2011.................. 52
8 Perkembangan penyerapan tenaga kerja industri pangan
di kota Bogor tahun 2009 2011 .......................................................... 52
9 Perkembangan nilai investasi industri pangan di kota Bogor
tahun 2009 2011 ................................................................................. 53
10 Distribusi jumlah industri roti di kota Bogor tahun 2011
berdasarkan pengelompokan nilai investasi ........................................... 54
11 Distribusi jumlah industri roti di kota Bogor tahun 2011
berdasarkan pengelompokan jumlah tenaga kerja ................................. 54
12 Jumlah industri pangan kota Bogor yang memperoleh
SP-PIRT dan sertifikat produk yang terbit tahun 2006-2011 ................ 55
13 Faktor-faktor lingkungan internal ......................................................... 73
14 Jumlah pelanggan listrik dan daya tersambung menurut kecamatan
di kota Bogor tahun 2008 ...................................................................... 76
15 Realisasi penerimaan daerah Kota Bogor tahun 2011 .......................... 77
16 Program dan indikator pelaksanaan strategi peningkatan pengawasan
mutu dan keamanan pangan RAN PG Tahun 2011-2015 ..................... 79
17 Faktor-faktor lingkungan eksternal ....................................................... 83
18 Daftar nama balai penelitian di Kota bogor .................................. ........ 85
19 Perkembangan Harga Gas Elpiji per Kemasan (Rp/Kg) .......................... 86
20 Matriks IFE (Internal Factor Evaluation) ............................................ 89
21 Matriks EFE (External Factor Evaluation) .......................................... 90
22 Elemen kunci peningkatan penerapan GMP di IKM roti ..................... 99
23 Perumusan Strategi (Matriks SWOT ) ................................................. 101
xix
xx
DAFTAR GAMBAR
xxi
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
xxiii
1. PENDAHULUAN
yang diijinkan (abuse) dari tambahan pangan yang sudah diatur penggunaannya
oleh BPOM. Hariyadi (2008) menyimpulkan bahwa Indonesia menghadapi
permasalahan pangan pada dua tingkat yang berbeda yaitu: 1) tingkat mendasar.
karena buruknya praktek-praktek pengolahan pangan; dan 2) tingkat "emerging"
yang selalu berubah.
Menurut data BPS, sebagian besar industri makanan adalah dari skala kecil
yang menggunakan teknologi sederhana dengan pengetahuan dalam keamanan
makanan yang kurang memadai. Di Indonesia, dari 6 juta unit industri makanan
kebanyakan adalah skala mikro dengan aset kurang dari Rp 200.000.000 dan
mempekerjakan 1-4 orang; atau merupakan skala kecil dengan asset
Rp 200.000.000- Rp 1.000.000.000 dan memperkerjakan 5-19 karyawan).
Sebagian besar industri makanan di negara-negara berkembang adalah industri
berskala kecil yang belum memenuhi standar GMP ( Dewanti, 2009). Hal ini
sesuai dengan hasil inspeksi BPOM yang mengatakan bahwa dari 4.007 sarana
produksi yang diperiksa tahun 2007, sebanyak 2.271 (57 %) sarana yang tidak
memenuhi ketentuan; sehingga tidak rnampu menerapkan GMP secara konsisten.
Bahkan pada industri rumah tangga pangan (IRTP) sebesar 76% dari total sarana
tidak memenuhi ketentuan (BPOM, 2008). Hasil pemeriksaan terhadap sarana
produksi makanan/minuman skala rumah tangga, menengah dan besar
menemukan sekitar 33,15% 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene
dan sanitasi (Fardiaz, 1996). Secara kualitatif, data yang ada menunjukkan
rendahnya kondisi sanitasi dan higienitas sarana produksi pangan di Indonesia.
Cara-cara produksi makanan yang baik atau Good Manufacturing Practices
(GMP) adalah dasar operasi pengolahan makanan untuk mencapai kualitas yang
konsisten dan keamanan. GMP menyediakan kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi untuk menjamin baik praktek-praktek yang berkaitan pekerja, fasilitas
dan lingkungan, peralatan dan pengendalian proses. Salah satu cara pemerintah
menjamin agar industri pangan kecil dan menengah memenuhi cara produksi
pangan yang baik adalah melalui penerbitan sertifikat produksi pangan industri
rumah tangga. Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, yang
selanjutnya disingkat SP-PIRT.
Produk roti merupakan salah satu jenis produk pangan yang cukup digemari
di Indonesia. Saat ini roti bahkan sering dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
sebagai pengganti nasi saat sarapan, terutama dikarenakan kepraktisan dan
sebagai variasi dalam mengkonsumsi pangan. Produk roti sebagai alternatif
sumber karbohidrat pengganti nasi, perannya tidak lagi sebatas sebagai menu
untuk sarapan, tetapi juga untuk menu makan siang dan makan malam. Oleh
karena itu, mutu dan gizi produk roti sangat perlu untuk diperhatikan agar dapat
memberikan sumbangan gizi yang berarti bagi manusia. Industri yang
memproduksi roti juga beragam jenisnya mulai dari industri skala kecil hingga
besar, dikarenakan pembuatan dapat dilakukan secara manual maupun otomatis
(menggunakan mesin).
Berdasarkan data Disperindag Kota Bogor tahun 2012, terdapat 46 industri
kecil formal yang terdaftar di Disperindag Kota Bogor yang bergerak pada
pembuatan roti di Kota Bogor, dimana potensi volume produksi per tahun untuk
golongan IKM relatif cukup besar dengan kontinuitas produksi cenderung tidak
berfluktuasi tajam. Berdasarkan data hasil pemeriksaaan sarana produksi industri
rumah tangga pangan (IRTP) roti pada tahun 2006-2011 oleh petugas inspektor
pengawas pangan Kota Bogor dalam rangka proses SP-PIRT, menunjukan
75,51% IRTP yang dinilai memperoleh skala nilai kategori C (cukup). Hal ini
berarti 4 grup utama aspek penilaian suplai air, pengendalian hama, kesehatan dan
hygiene karyawan, pengendalian proses bernilai cukup dan grup lainnya bernilai
kurang maksimal 4. Hal ini menandakan bahwa belum semua aspek GMP
diterapkan dengan baik oleh IKM/ IRTP roti di Kota Bogor.
Berdasarkan hal tersebut, adanya potensi industri IKM roti di Kota Bogor,
perlu diimbangi dengan peningkatan mutu keamanan pangan melalui pembinaan
industri untuk dapat menerapkan GMP. Secara khusus, pemerintah daerah perlu
memberikan prioritas yang cukup pada pembinaan dan fasilitasi prasarana
keamanan pangan untuk industri kecil dan menengah. Peningkatan kondisi
keamanan pangan industri kecil menengah ini akan memberikan dampak pada
peningkatan status kesehatan masyarakat, peningkatan daya saing produk, dan
pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas dan akan berkontribusi pada
peningkatan daya saing bangsa.
2. TINJAUAN PUSTAKA
mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah
dari persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut Departemen Perindustrian dan Perdagangan, IKM adalah
kelompok industri kecil modern, industri tradisional, dan industri kerajinan yang
mempunyai investasi modal untuk mesin-mesin dan peralatan sebesar Rp 70 juta
ke bawah dan usahanya dimiliki oleh warga Negara Indonesia (Hubeis, 1977).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 yang termasuk industri
rumah tangga pangan (IRTP) adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat
usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi
otomatis.
Berdasarkan data BPS tahun 2009, jumlah industri kecil / menengah di
Indonesia sebesar 3.755.238 juta unit usaha, sedangkan industri besar berkisar
2.867 unit usaha . Laju pertumbuhan industri mikro dan kecil pada akhir tahun
2011 telah mencapai 1,48% (BPS, 2011). Perkembangan struktur industri di
Indonesia seperti terlihat dalam Tabel 1.
Kontribusi industri selama ini masih disumbang sebesar 75% dari industri-
industri yang berada di Pulau Jawa dan sisanya di luar Pulau Jawa dan Bali. Hal
ini dapat dimengerti karena penyebaran masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Lokasi industri untuk Pulau Jawa, berada di Jawa Tengah sebesar 38.71%, diikuti
Jawa Timur 31,05% dan Jawa Barat sebesar 21,29%.
ada penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) tidak benar/bahan tambahan yang
dilarang; pengelolaan/manajemen usaha masih sederhana; mutu sangat beragam
dan masih banyak yang belum memenuhi standar; kemasan sangat sederhana,
tidak menarik, dan label tidak sesuai dengan isi; masuknya produk-produk
makanan dari negara lain yang mempunyai daya saing cukup tinggi.
Selain itu industri kecil belum memiliki bentuk organisasi yang mampu
untuk menghadapi perubahan dengan cepat, karena struktur organisasi internalnya
masih sederhana (mendekati organisasi lini), yaitu manajer umum (pemilik)
merangkap jabatan pengawas, dan bagian lain (produksi, penjualan dan
pemasaran, serta pembelian) diserahkan kepada orang tertentu di lingkungan
keluarga atau pegawai yang telah dipercayai. Struktur tersebut pada dasarnya telah
mencerminkan adanya lalu lintas wewenang dan tanggung jawab secara vertikal,
serta hubungan antar bagian secara horisontal, tetapi yang menjadi persoalan
masil dominannya keterlibatan pemilik dalam segala kegiatan usaha (one man
show). Untuk memperbaiki situasi tersebut diperlukan peningkatan. kemampuan
personil (komunikasi, kerja kelompok, inovasi dan leadership) dan kemampuan
manajerial (kepemimpinan dan penerapan manajemen fungsional), serta gaya
kerja, baik secara mutlak (necessary condition) maupun tambahan (sufficient
condition) dalam mencapai kompetivitas secara spesifik maupun global (Hubeis,
1997).
2.2 Keamanan Pangan
pangan sebagai semua kondisi dan upaya yang diperlukan selama produksi,
pengolahan, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan makanan untuk memastikan
bahwa makanan tersebut aman, bebas dari penyakit, sehat, dan baik dikonsumsi
manusia.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004, keamanan pangan
didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan
dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan bahan lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Aman untuk
dikonsumsi dapat diartikan, bahwa produk pangan tidak mengandung bahan yang
dapat membahayakan kesehatan atau keselamatan manusia, yaitu menimbulkan
penyakit atau keracunan. Disamping itu produk pangan juga harus layak untuk
dikonsumsi, yaitu harus dalam keadaan normal, tidak menyimpang misalnya
busuk, kotor dan menjijikkan. Pangan yang aman adalah pangan yang tidak
mengandung bahaya biologi atau mikrobiologi, bahaya kimia, dan bahaya fisik.
Menurut Lawley (2008), secara sederhana aplikasi keamanan pangan
diartikan sebagai praktik-praktik untuk memastikan bahwa produk pangan tidak
menyebabkan kerugian bagi konsumen. Definisi tersebut mencakup topik-topik
keamanan pangan secara luas mulai dari pengetahuan dasar dan higiene personal
sampai prosedur teknis yang kompleks untuk menghilangkan kontaminan dari
produk pangan dan bahan-bahan yang diolah dengan teknologi canggih. Pada
dasarnya, praktik keamanan pangan dapat dikelompokan atas tiga dasar operasi:
1. Perlindungan rantai suplai pangan dari bahaya kontaminasi;
2. Pencegahan dari perkembangan dan penyebaran bahaya kontaminasi; dan
3. Penghilangan dampak kontaminasi dan zat-zat kontaminan secara efektif.
patogen, virus, parasit, prion, protozoa, dan gejala infeksi serta intoksikasi
(Lawley 2008).
Menurut Rahayu (2008), kasus sumber kontaminan bahan pangan terdiri
dari kontaminan biologi / mikrobiologi, kimia, dan kontaminan fisik. Kontaminan
tersebut dapat mencemari pangan sejak masih berupa bahan mentah sampai siap
dikonsumsi. Menurut FAO (1979) sebagian besar terjadinya keracunan makanan
dan penyakit yang ada kaitannya dengan konsumsi pangan disebabkan oleh
mikroorganisme dan toksin yang diproduksinya.
Lebih dari 90% kasus keracunan pangan disebabkan oleh kontaminasi
mikroorganisme yang berasal dari air, tanah, udara, peralatan, bahan, dan tubuh
manusia. Sisanya sekitar kurang dari 10% disebabkan oleh bahan kimia, baik yang
berasal dari alam seperti aflatoksin, zat warna, monomer plastik, obat dan hormon
pada tanaman dan ternak, maupun dalam bentuk kontaminan lingkungan seperti
pestisida, logam berat seperti Pb, Arsen, Kadmium (Winarno, 1993).
Adanya bahaya atau cemaran pada pangan seringkali ditemukan karena
rendahnya mutu bahan baku, teknologi pengolahan, belum diterapkannnya
praktek sanitasi dan higinitas yang memadai, dan kurangnya kesadaran pekerja
maupun produsen yang menangani pangan tradisional (Dewanti & Nuraida,
2001). Hasil penelitian Sapers et al. (2006) menyimpulkan ada empat faktor yang
menjadi penyebab utama kasus keracunan pangan antara lain, praktik yang
meragukan terhadap penggunaan air yang diklaim aman, lemahnya tindakan
dalam manajemen hama atau hewan pengganggu, fasilitas dan peralatan yang
tidak saniter, serta kurangnya penerapan praktik-praktik yang sehat dan higiene.
10
11
14
16
19
21
22
susu skim dan lemak. Adonan soft roll adalah adonan roti yang dibuat dari
formula yang menggunakan gula dan lemak relatif lebih banyak dari adonan roti
tawar. Kualitas roti secara umum disebabkan karena variasi dalam penggunaan
bahan baku dan proses pembuatannya.
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan roti dapat digolongkan bahan
utama dan bahan pembantu. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan roti
adalah tepung terigu, air, ragi roti dan garam. Bahan pembantu adalah bahan-
bahan yang menyertai bagian utama dalam pembuatan roti untuk mendapatkan
aroma, rasa dan tekstur yang diinginkan. Bahan pembantu ini terdiri
darishortening, bread improver, susu skim, telur, gula, bahan pengisi serta
flavoring. Pemberian antioksidan (asam askorbat, bromat ), dan anti kapang
seperti kalium propionat dan kalsium pospat ditambahkan untuk memperpanjang
keawetan roti (Wibowo, 2009).
Syarat mutu produk roti juga mengacu ke Peraturan Kepala Badan POM RI
No. Hk.00.06.1.52.4011 tentang penetapan batas maksimum cemaran mikroba
dan kimia dalam makanan seperti pada Tabel 2.
Ambang batas maksimum cemaran logam berat pada produki roti untuk
cemaran arsen adalah 0,5 ppm atau mg/kg; cadmium yaitu 0,2 ppm atau mg/kg ;
merkuri (Hg) yaitu 0,05 ppm atau mg/kg ; timah (Sn) adalah 40 ppm atau mg/kg ;
timbal (Pb) adalah 0,5 ppm atau mg/kg .
23
24
Melakukan
audit Implementasi
eksternal Strategi Isu-
isu Pemasaran,
Keuangan, Mengukur
Membuat Menetapkan Merumuskan Implementasi Akuntasi, dan
Pernyataan Tujuan Mengevaluasi Strategi Penelitian & Mengevalu
Visi & Misi Jangka dan Memilih Isu-isu Pengembangan asi Kinerja
Panjang Strategi Manajemen Sistem
Informasi
Melakukan Manajemen
audit
internal
25
lingkungan eksternal dan internal perusahaaan Untuk melakukan hal ini dapat
digunakan alat bantu berupa matriks SWOT.
Analisis lingkungan merupakan suatu proses yang digunakan perencana
strategis untuk memonitor sektor lingkungan dalam menentukan peluang-peluang
ataupun ancaman-ancaman terhadap perusahaan (Jauch dan Glueck, 1995).
Lingkungan perusahaan dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan eksternal dan
lingkungan internal.
2.6.1 Analisis Lingkungan Internal
Analisis lingkungan internal merupakan tahap pengkajian faktor-faktor yang
menjadi kekuatan dan kelemahan dalam suatu perusahaan. Kekuatan merupakan
suatu kelebihan khusus yang memberikan keunggulan komparatif di dalam suatu
industri yang berasal dari organisasi. Sedangkan kelemahan merupakan
keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumber daya, keahlian dan kemampuan
yang secara nyata menghambat aktivitas keragaan organisasi.
Menurut David (2006), terdapat beberapa faktor yang diidentifikasi dalam
lingkungan internal perusahaan, yaitu :
1) Manajemen. Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian,
pemimpinan, dan pengendalian upaya anggota organisasi dan proses
penggunaan semua sumberdaya organisasi untuk tercapainya tujuan organisasi
yang telah ditetapkan. Ada lima fungsi manajemen, yaitu perencanaan,
pengorganisasian, pemberian motivasi, pengelolaan staf, dan pengendalian.
2) Pemasaran. Pemasaran dapat dideskripsikan sebagai proses mendefinisikan,
mengantisipasi, menciptakan, serta memenuhi kebutuhan dan keinginan
pelanggan atas barang dan jasa. Menurut Kotler (1999), terdapat empat macam
bauran pemasaran, yaitu produk, harga, distribusi, dan promosi.
3) Keuangan / Akuntansi. Dana dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Oleh
karena itu, faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam aspek
keuangan/akuntansi, adalah kemampuan perusahaan memupuk modal jangka
pendek dan jangka panjang, beban yang harus ditanggung perusahaan sebagai
upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik dengan penanam modal
dan pemegang saham, pengelolaan keuangan, struktur modal kerja, harga jual
26
27
28
29
30
V: eij = 1 dan e ji = 0
A: eij = 0 dan e ji = 1
X: eij = 1 dan e ji = 1
O: eij = 0 dan e ji = 0
Simbol angka 1 menunjukan adanya hubungan kontekstual dan simbol 0
menunjukan tidak terdapat hubungan kontekstual antar sub elemen. SSIM
selanjutnya ditransformasi menjadi RM yang merupakan matriks bilangan biner.
Saxena (1992) mengembangkan metode klasifikasi sub elemen yang
distrukturisasi berdasarkan tingkat driver power dan dependence, serta
menentukan elemen kunci dari sistem yang dikaji.
Klasifikasi sub-elemen dikasi sub-elemen dibagi dalam empat sektor :
Sektor 1 : Weak driver weak dependent variables (autonomous). Peubah di
sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin mempunyai
hubungan kecil, meskipun hubungan tersebut bisa saja kuat.
Sektor 2 : Weak driver strongly dependence variables (dependent). Umumnya
peubah di sektor ini adalah peubah tak bebas
Sektor 3 : Strong driver strong dependence variables (linkages). Peubah di
sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil.
Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah
lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.
Sektor 4 : Strong driver weak dependent variables (independent). Peubah pada
sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas.
n
DP = e ij
Nilai driver power untuk sub elemen ke-i, untuk setiap i = 1,
i
j=1
2, n, dimana eij adalah entri pada matriks RM. Sedangkan nilai dependence
n
D j = e ij
untuk sub elemen ke-i, j =1
untuk setiap i = 1, 2, n, dimana eij adalah
entri pada matriks RM. Elemen kunci adalah sub elemen yang memiliki driver
power paling tinggi atau maksimum DPi.
Klasifikasi sub elemen ke dalam empat sektor dilakukan atas dasar posisi
sub elemen pada sumbu absis nilai dependence dan sumbu ordinat driver power
dengan aturan sebagai berikut :
31
DP
j =1
i D
j =1
j
DP i DP j
2 dan 2 untuk i, j = 1, 2,, n (1)
DP
j =1
i D
j =1
j
DPi DPj
2 dan 2 untuk i, j = 1, 2,, n (2)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok linkage jika:
n n
DP
j =1
i D
j =1
j
DPi DPj
2 dan 2 untuk i, j = 1, 2,, n (3)
Sub elemen ke-i masuk ke dalam kelompok independent jika:
n n
DP
j =1
i D
j =1
j
DPi DPj
2 dan 2 untuk i, j = 1, 2,, n (4)
33
34
35
36
3. METODE PENELITIAN
37
Mulai
Selesai
39
40
=
Keterangan :
i = Bobot peubah ke i; i = 1,2,3,...,n
Xi = Nilai peubah ke i; n = Jumlah peubah
iii) Menentukan peringkat 1 sampai 4 untuk masing-masing faktor untuk
mengindikasikan apakah faktor tersebut menunjukkan kelemahan utama
(peringkat=1), atau kelemahan minor (peringkat=2), kekuatan minor
(peringkat=3), atau kekuatan utama (peringkat=4). Kekuatan harus
mendapatkan peringkat 3 atau 4 dan kelemahan harus mendapatkan peringkat 1
atau 2.
iv) Kemudian masing-masing bobot faktor dikalikan dengan peringkatnya untuk
menentukan nilai tertimbang. Selanjutnya dijumlahkan nilai tertimbang dari
41
=
Keterangan :
i = Bobot peubah ke i; i = 1,2,3,...,n
Xi = Nilai peubah ke i; n = Jumlah peubah
42
43
Matriks IE dapat dibagi menjadi tiga daerah utama yang memiliki implikasi
strategi berbeda (David, 2005). Pertama, rekomendasi untuk divisi yang masuk
dalam sel I, II atau IV dapat digambarkan sebagai grow and build (tumbuh dan
kembangkan). Strategi intensif atau integratif dapat menjadi paling sesuai
untuk divisi-divisi ini. Kedua, divisi yang masuk dalam sel III, V, atau VII
dapat dikelola dengan cara terbaik dengan strategi hold and maintain (menjaga
dan mempertahankan) strategi yang sudah dijalankan dalam mencapai tujuan ,
penetrasi pasar dan pengembangan produk adalah dua strategi yang umum
digunakan untuk divisi tipe ini. Ketiga, rekomendasi yang umum diberikan
untuk divisi yang masuk dalam sel VI, VIII, dan IX adalah harvest dan divest
(tuai atau divestasi).
44
Langkah dari teknik ISM adalah:
1) Pemilihan pakar, dalam penelitian ini responden pakar yang terpilih dalam
analisa ISM adalah 3 (tiga) orang yaitu Kepala Bidang Dinas Perindustrian
Kota Bogor, Kepala Bidang Penguji dan Sertifikasi Balai Besar Industri Agro
(ekspertis), Ekspertis dari Departemen Ilmu Pangan IPB.
2) Identifikasi Elemen dan Sub elemen yang terkait dalam program.
Menurut Saxena (1992) program dapat dibagi menjadi sembilan elemen yaitu
1) Sektor masyarakat yang berpengaruh; 2) Kebutuhan dari program;
3) Kendala utama; 4) Perubahan yang dimungkinkan; 5) Tujuan dari
program; 6) Tolok ukur untuk menilai setiap tujuan; 7) Aktivitas yang
dibutuhkan guna perencanaan tindakan; 8) Ukuran aktivitas guna
mengevaluasi hasil yang dicapai setiap aktivitas dan 9) Lembaga atau aktor
yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Mengacu ke penelitian sebelumnya yang menggunakan ISWOT maka dalam
penelitian ini dipilih 3 elemen yaitu 1) Kendala utama 2) Pendukung program
dan 3) Lembaga/Aktor yang terlibat dalam pelaksanaan program.
Sub elemen kendala utama diambil dari hasil identifikasi SWOT merupakan
paduan dari faktor kelemahan dan ancaman, sedangkan sub elemen
pendukung program diambil dari hasil identifikasi SWOT paduan dari faktor
kekuatan dan peluang. Sub elemen lembaga aktor yang terlibat diidentifikasi
dari hasil depth interview responden pakar.
3) Menetapkan hubungan kontekstual antara sub elemen yang terkandung
adanya suatu pengarahan (direction) dalam terminologi sub ordinat yang
menuju pada perbandingan berpasangan (oleh pakar). Jumlah pakar lebih dari
satu maka dilakukan perataan (agregat).
Penentuan hubungan kontekstual antar sub elemen dinyatakan dalam bentuk
huruf V, A, X, O sesuai aturan berikut Tabel 4. Dalam penelitian ini,
hubungan kontekstual yang digunakan untuk tiap elemen tercantum dalam
Tabel 5.
Kemudian disusun alat bantu kuisioner yang digunakan untuk mengumpulkan
masing- masing pendapat pakar terkait penentuan hubungan kontekstual antar
sub elemen.
45
46
47
9) Struktur sistem berbentuk hirarki dan hubungan antar elemen selanjutnya
dibangun berdasarkan RM.
Ketergantungan (Dependence)
49
4. GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
Gambar 6 Perkembangan jumlah industri kecil formal dan non formal
di Kota Bogor (2007-2009)
51
Jumlah industri kecil non formal lebih banyak daripada industri kecil formal.
Hal yang sama terlihat pada struktur industri Kota Bogor tahun 2011 masih
didominasi oleh industri kecil yaitu industri kecil non formal berjumlah 2.295 unit
usaha (66%), industri kecil formal berjumlah 1.046 unit usaha (30%) dan industri
besar-menengah berjumlah 143 unit usaha (4%).
Pada tahun 2011, jumlah industri kecil di Kota Bogor yang terlibat dalam
pengolahan makanan total sebanyak 1.366 unit usaha. Terdapat peningkatan jumlah
sebesar 16,89% untuk industri kecil formal dan 3,95% untuk industri kecil non
formal pada tahun 2009-2011 (Tabel 7).
Tabel 7 Jumlah industri makanan di Kota Bogor tahun 2009 2011
Jumlah Unit Usaha Prosentase
Kategori Industri Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Peningkatan
Makanan (2009-2011)
(%)
I. Industri Besar dan 25 25 25 0,00
Menengah
II. Industri Kecil 225 240 263 16,89
Formal
II.Industri Kecil 1.037 1.057 1.078 3,95
Non Formal
Jumlah 1.287 1.322 1.366 6,14
Sumber : Disperindag Kota Bogor (2011)
Dua indikator pertumbuhan industri utama yaitu jumlah tenaga kerja dan
nilai investasi pada tahun 2009- 2011 mengalami pergerakan positif. Jumlah total
tenaga kerja pada sektor industri makanan meningkat sebesar 3,91 % yang terdiri
dari 5,63% pada industri kecil formal dan 4,65% pada industri kecil non formal.
Sedang industri besar dan menengah mengalami penurunan 1,2% (Tabel 8).
Tabel 8 Perkembangan penyerapan tenaga kerja industri makanan
di Kota Bogor tahun 2009 2011
53
jumlah tenaga kerja 5 sampai dengan 19 orang sebanyak 31 industri (67%) dan
sisanya industri rumah tangga dengan jumlah pekerja kurang dari 5 orang sebanyak
8 industri (17,4%) dan industri menengah 7 industri (15,2%) (Tabel 11).
4.3 Kondisi Umum Pemenuhan Aspek GMP /CPPB pada IKM Roti
Berdasarkan definisi Peraturan BPOM Nomor HK.03.1.23.04.12.2205
Tahun 2012, yang termasuk Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) adalah
perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan
pengolahan pangan manual hingga semi otomatis. Pasal 43 Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa pangan olahan yang diproduksi oleh
industri rumah tangga wajib memiliki Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah
Tangga (SP-PIRT) yang diterbitkan oleh Bupati/WaliKota dan Kepala Daerah.
SP-PIRT adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh Bupati/WaliKota terhadap
pangan produksi IRTP di wilayah kerjanya yang telah memenuhi persyaratan
pemberian SP-PIRT dalam rangka peredaran Pangan Produksi IRTP.
54
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bogor, jumlah IRTP untuk
keseluruhan komoditi pangan yang telah mendapatkan SP-PIRT per tahunnya
seperti pada Tabel 12. Rata-rata jumlah industri yang memperoleh SP-PIRT per
tahunnya adalah 82 industri dan rata-rata sertifikat produk yang terbit sebanyak
144 buah. Masa berlaku SP-PIRT adalah 5 tahun. Jika industri yang memperoleh
SP-PIRT tersebut dijumlahkan seluruhnya yaitu sebanyak 497 maka sangat sedikit
bila dibandingkan dengan jumlah industri kecil pangan keseluruhan tahun 2011 di
Kota Bogor sebanyak 1.366 industri. Hal tersebut menandakan masih banyak
industri yang belum memperoleh SP-PIRT.
55
57
58
Berdasarkan data hasil pemeriksaaan sarana produksi IRTP roti (tahun 2006-2011)
di Kota Bogor oleh petugas inspektor pengawas pangan, menunjukkan 75,51%
IRTP yang dinilai memperoleh skala nilai kategori C (Lampiran 6). Artinya 4 grup
utama yaitu aspek penilaian suplai air, pengendalian hama, kesehatan dan hygiene
karyawan, pengendalian proses bernilai baik atau cukup dan grup lainnya bernilai
kurang maksimal 4. Hal ini menandakan bahwa belum semua aspek GMP
diterapkan dengan baik oleh IRTP roti di kota Bogor.
Gambaran aspek pemenuhan persyaratan CPPB-IRT pada IKM roti di
Kota Bogor sebagai berikut:
1. Lokasi dan lingkungan produksi
Penetapan lokasi produksi perlu mempertimbangkan keadaan dan kondisi
lingkungan yang mungkin dapat merupakan sumber pencemaran potensial dan telah
mempertimbangkan berbagai tindakan pencegahan yang mungkin dapat dilakukan
untuk melindungi pangan yang diproduksinya. Lokasi IKM seharusnya dijaga tetap
bersih, bebas dari sampah, bau,asap, kotoran, dan debu. Lingkungan seharusnya
selalu dipertahankan dalam keadaan bersih dengan cara-cara sebagai berikut :1)
Sampah dibuang dan tidak menumpuk, 2) Tempat sampah selalu tertutup, 3) Jalan
dipelihara supaya tidak berdebu dan selokannya berfungsi dengan baik.
Sebagian besar IKM roti di Kota Bogor memulai usaha dengan lokasi
produksi yang digunakan sama atau berdekatan dengan lokasi tempat tinggal tanpa
ada pertimbangan khusus. Di Kota Bogor belum ada kawasan yang ditetapkan
sebagai lokasi khusus industri pangan, sehingga IKM roti menyebar di berbagai
kecamatan Kota Bogor. Kondisi lokasi produksi IKM roti cenderung sulit untuk
diubah. Kondisi lingkungan produksi IKM roti juga dipengaruhi dari kondisi
fasilitas dan sarana yang dikelola oleh pemerintah daerah/desa seperti fasilitas jalan
yang tidak berdebu, selokan pembuangan yang berfungsi baik, pengelolaan sampah
yang baik. Umumnya fasilitas jalan dan selokan maupun pengelolaan sampah di
Kota Bogor cukup baik.
2. Bangunan dan fasilitas
Bangunan dan fasilitas IKM seharusnya menjamin bahwa pangan tidak
tercemar oleh bahaya fisik, biologis, dan kimia selama dalam proses produksi serta
mudah dibersihkan dan disanitasi. Disain dan tata letak ruang produksi sebaiknya
59
cukup luas, mudah dibersihkan dan tidak digunakan untuk memproduksi produk
lain selain pangan.
Sebagian besar IKM roti di Kota Bogor kesulitan memenuhi persyaratan
terkait bangunan dan fasilitas, mengingat bangunan produksi tidak didesain dari
awal untuk produksi pangan yang memenuhi persyaratan GMP namun
memanfaatkan bangunan yang sudah ada. Umumnya desain konstruksi sudut
pertemuan dinding dengan lantai tidak dibuat landai/ cekung , dinding atau lantai
tidak seluruhnya dibuat dari bahan kedap air, rata , halus tetapi tidak licin
(Gambar 9). Tata letak di ruang produksi tidak didesain sesuai aliran proses
produksi dan mencegah proses kontaminasi. Pintu masuk bahan baku/ karyawan
dan pintu keluar produk yang sudah jadi tidak dibuat terpisah. Kondisi lantai masih
terdapat yang pecah-pecah sehingga ada celah sebagai sumber kontaminan.
Dinding atau pemisah ruangan jarang dibuat dari bahan kedap air, rata, halus,
berwarna terang, tahan lama, tidak mudah mengelupas, dan kuat. Tidak semua
pintu dan jendela dilengkapi dengan pintu kasa yang dapat dilepas untuk
memudahkan pembersihan dan perawatan (Gambar 10). Di ruang produksi tidak
semua IKM selalu menyediakan tempat untuk mencuci tangan yang selalu dalam
keadaan bersih serta dilengkapi dengan sabun dan pengeringnya.
60
3. Peralatan produksi
Tata letak peralatan produksi seharusnya diatur agar tidak terjadi kontaminasi
silang. Peralatan produksi yang kontak langsung dengan pangan sebaiknya
didesain, dikonstruksi, dan diletakkan sedemikian untuk menjamin mutu dan
keamanan pangan yang dihasilkan. Peralatan produksi sebaiknya terbuat dari bahan
yang kuat, tahan lama, tidak beracun, mudah dipindahkan atau dibongkar pasang
sehingga mudah dibersihkan dan dipelihara serta memudahkan pemantauan dan
pengendalian hama. Permukaan yang kontak langsung dengan pangan harus halus,
tidak bercelah atau berlubang, tidak mengelupas, tidak berkarat dan tidak menyerap
air. Alat ukur/timbang seharusnya dipastikan keakuratannya, terutama alat
ukur/timbang bahan tambahan pangan (BTP).
Sering kali IKM roti tidak cermat meletakkan peralatan proses produksinya
sesuai dengan urutan prosesnya sehingga memudahkan bekerja secara higiene,
memudahkan pembersihan dan perawatan serta mencegah kontaminasi silang.
Misal penempatan peralatan proses produksi yang di dekat jendela yang terbuka
tanpa kasa cenderung dapat menyebabkan kontaminsi silang (Gambar 12). Tidak
semua peralatan dipelihara, diperiksa dan dipantau agar berfungsi dengan baik dan
selalu dalam keadaan bersih (Gambar 11).
61
62
benda lainnya yang dapat membahayakan keamanan pangan yang diolah. Hal ini
sering dilanggar karena kurangnya kesadaran dan pemahaman pekerja.
64
Penyimpanan bahan dan produk akhir harus disimpan terpisah dalam ruangan
yang bersih, sesuai dengan suhu penyimpanan, bebas hama, penerangannya cukup.
Penyimpanan bahan baku (Gambar 16) tidak boleh menyentuh lantai, menempel ke
dinding maupun langit-langit (Gambar ). Penyimpanan bahan dan produk akhir
harus diberi tanda dan menggunakan sistem First In First Out (FIFO) dan sistem
First Expired First Out (FEFO), yaitu bahan yang lebih dahulu masuk dan / atau
memilki tanggal kedaluwarsa lebih awal harus digunakan terlebih dahulu dan
produk akhir yang lebih dahulu diproduksi harus digunakan / diedarkan terlebih
dahulu. Bahan-bahan yang mudah menyerap air harus disimpan ditempat kering,
misalnya garam, gula, dan rempah-rempah bubuk. Bahan berbahaya seperti sabun
pembersih, bahan sanitasi, racun serangga, umpan tikus, dan lain-lain harus
disimpan dalam ruang tersendiri dan diawasi agar tidak mencemari pangan. Bahan
pengemas (Gambar 17) harus disimpan terpisah dari bahan baku dan produk akhir.
Label pangan harus disimpan di tempat yang bersih dan jauh dari pencemaran.
Penyimpanan mesin / peralatan produksi yang telah dibersihkan tetapi belum
digunakan harus di tempat bersih dan dalam kondisi baik, sebaiknya permukaan
peralatan menghadap ke bawah, supaya terlindung dari debu, kotoran atau
pencemaran lainnya.
Bahan yang digunakan seharusnya dituangkan dalam bentuk formula dasar yang
menyebutkan jenis dan persyaratan mutu bahan. Jika menggunakan bahan
tambahan pangan (BTP), harus menggunakan BTP yang diizinkan sesuai batas
maksimum penggunaannya. Air yang merupakan bagian dari pangan maupun yang
kontak dengan bahan pangan seharusnya memenuhi persyaratan air minum atau air
bersih sesuai peraturan perundangundangan. IKM harus membuat bagan alir atau
urut-urutan proses secara jelas kondisi baku dari setiap tahap proses produksi,
seperti misalnya berapa menit lama pengadukan, berapa suhu pemanasan dan
berapa lama bahan dipanaskan.
10. Pelabelan pangan
Kemasan pangan diberi label yang jelas dan informatif untuk memudahkan
konsumen dalam memilih, menangani, menyimpan, mengolah dan mengonsumsi
pangan IRT. Label pangan IRT tidak boleh mencantumkan klaim kesehatan atau
klaim gizi. Label pangan IKM belum seluruhnya telah memuat sekurang-kurangnya
hal berikut yang dipersyaratkan:
a) Nama produk sesuai dengan jenis pangan IRT yang ada di Peraturan Kepala
Badan POM HK.03.1.23.04.12.2205 Tahun 2012 tentang Pemberian Sertifikat
Produksi Pangan Industri Rumah Tangga.
b) Daftar bahan atau komposisi yang digunakan
c) Berat bersih atau isi bersih
d) Nama dan alamat IRTP
e) Tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa
f) Kode produksi
g) Nomor P-IRT.
11. Pengawasan oleh penanggungjawab
Penanggung jawab minimal harus mempunyai pengetahuan tentang prinsip-
prinsip dan praktek higiene dan sanitasi pangan serta proses produksi pangan yang
ditanganinya dengan pembuktian kepemilikan Sertifikat Penyuluhan Keamanan
Pangan (Sertifikat PKP).
12. Penarikan produk
Pemilik IRTP harus menarik produk pangan dari peredaran jika diduga
menimbulkan penyakit / keracunan pangan dan / atau tidak memenuhi persyaratan
66
67
69
dan pengawasan (survailen) yang seharusnya dilakukan setahun sekali tidak dapat
dilaksanakan.
Kegiatan penyuluhan keamanan pangan umumnya dilakukan Dinkes Kota
Bogor 3-4 kali dalam jangka waktu setahun, dengan batasan peserta 20-30 orang
setiap kegiatan penyuluhan. Penyuluhan dilakukan kepada pemilik atau
penanggung jawab IRTP. Penyuluhan dilakukan selama 2 (dua ) hari dengan materi
yang umum digunakan dalam kegiatan penyuluhan keamanan pangan terdiri dari :
(1) Materi Utama mencakup : a) Peraturan perundang-undangan di bidang pangan;
b) Keamanan dan Mutu pangan; c) Teknologi Proses Pengolahan Pangan; d)
Prosedur Operasi Sanitasi yang Standar /SSOP); e) Cara Produksi Pangan
Yang Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT); f) Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan (BTP); g) Persyaratan Label dan Iklan Pangan.
(2) Materi Pendukung mencakup : a) Pencantuman label Halal; b) Etika Bisnis dan
Pengembangan Jejaring Bisnis IRTP.
Bahan untuk penyuluhan yang diberikan kepada peserta berupa hand out
presentasi materi, dan belum ada publikasi lain yang diterbitkan dalam kegiatan
penyuluhan.
Kegiatan penilaian pemeriksaan sarana produksi dilakukan setelah pemilik
atau penangungjawab telah memiliki sertifikat penyuluhan keamanan pangan.
Kegiatan pemeriksaan hanya dilakukan oleh tenaga FDI yang ada di Seksi Perbekas
Dinkes Kota Bogor. Lama pemeriksaan sekitar 1 atau 2 hari tergantung luasan atau
kompleksitas sarana produksi yang diperiksa. Laporan hasil pemeriksaan sarana
produksi menjadi dasar untuk dapat diterbitkan SP-PIRT ditembuskan kepada Pusat
Pelayanan Ijin Terpadu Kota Bogor yang akan menerbitkan sertifikat dan ijin
nomor pendaftaran produk.
Dinas perindustrian dan perdagangan Kota Bogor
Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Lampiran 3) terdiri dari:
Kepala Dinas, Sekretaris, dan 3 (tiga) Kepala Bidang dengan rincian sebagai
berikut :
1. Sekretaris membawahi : Sub Bagian Umum dan Kepegawaian; Sub Bagian
Keuangan; dan Sub Bagian Perencanaan dan Pelaporan.
70
71
72
5.1.1 Kekuatan
Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan yaitu :
1. Lokasi Kota Bogor yang strategis
Kedudukan topografis Kota Bogor ditengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
dengan kondisi geografis yang relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah
lainnya di Jabodetabek, serta lokasinya yang dekat dengan ibukota negara,
73
74
75
76
77
mutu dan ketersediaan masyarakat maka terdapat jaringan koordinasi antara Dinas
Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UKM .
5.1.2 Kelemahan
Terdapat 7 (tujuh) faktor internal yang teridentifikasi menjadi kekuatan yaitu :
1. Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana
Strategis Pengembangan Industri
Pemerintah Kota Bogor belum memiliki Rencana Aksi Pangan-Gizi Daerah
yang mengacu ke Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) yang telah
ditetapkan pemerintah melalui Badan Perencanaan Nasional (Bapenas). Bapenas
telah menghimbau RAN-PG agar diacu oleh seluruh pemerintah daerah dalam
penanganan masalah pangan-gizi untuk dijabarkan dalam Rencana Aksi Pangan-
Gizi Daerah. RAN-PG yang berlaku saat ini RAN-PG tahun 2011-2015. RAN-PG
disusun melalui pendekatan lima pilar pembangunan pangan dan gizi yang meliputi
(1) perbaikan gizi masyarakat; (2) aksesibilitas pangan; (3) mutu dan keamanan
pangan; (4)perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan (5) kelembagaan pangan
dan gizi. Salah satu strategi kebijakan peningkatan pengawasan mutu dan
keamanan pangan dilakukan melalui peningkatkan pengawasan keamanan pangan
yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri
rumah tangga (PIRT) tersertifikasi. Strategi peningkatan pengawasan mutu dan
keamanan pangan dalam RAN-PG dijabarkan dalam program kegiatan dengan
indikator capaian seperti tercantum dalam Tabel 16.
Adapun misi dalam RPJMD Kota Bogor tahun 2010-2014 yang terkait dalam
peningkatan mutu keamanan pangan pada IKM tercantum pada misi 1 yaitu
Mengembangkan perekonomian masyarakat yang bertumpu pada kegiatan jasa
perdagangan dengan strategi meningkatkan nilai tambah produk industri kecil
menengah dan strategi meningkatkan distribusi, mutu dan ketersediaan bahan
pangan . Namun belum ada stategi yang mengacu secara spesifik ke program /
indikator RAN-PG.
Pemerintah Kota Bogor belum memiliki Rencana Strategis Pengembangan
Industri yang ditetapkan, baru tahap pengkajian penyusunan rencana induk
perdagangan dan perindustrian Kota Bogor yang dilakukan pada tahun 2011.
78
No Program Indikator
1 Pengawas Obat dan Makanan Proporsi makanan yang memenuhi syarat
2 Pengawasam Produk dan Bahan Prosentase makanan yang mengandung cemaran bahan
Berbahaya berbahaya yang dilarang
3 Inspeksi dan Sertifikasi Makanan Prosentase sarana produksi makanan MD yg
memenuhi GMP terkini
Prosentase sarana produksi makanan bayi dan anak
yg memenuhi GMP terkiniuhi standar GRP/GDP
Prosentase penjualan makanan yang meme
4 Peningkatan jumlah dan - Jumlah tenaga penyuluh keamanan (PKP)
kompetensi tenaga penyuluh dan - Jumlah tenaga pengawas Kab/Kota (FDI)
pengawas
5 Bimbingan teknis pada industri - Jumlah penyusunan Modul Penerapan Prinsip
rumah tangga pangan (IRTP) Keamanan Pangan pada proses produksi di IRTP
berdasarkan jenis produk
- Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi Penerapan
Prinsip Keamanan Pangan pada proses produksi di
IRTP
- Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi disain dan
implementasi CPPB pada IRTP
- Monitoring dan verifikasi CPPB pada IRTP
- Monitoring dan verifikasi BinTek pada kantin
sekolah
Sumber : Bappenas (2011)
79
80
81
82
Peluang (opportunity)
1 Pontensial peluang pasar dalam negeri
2 Adanya bantuan programn dari pemerintah pusat
3 Perubahan pola konsumsi dan hidup sehat masyarakat
4 Perkembangan teknologi dan informasi
5 Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor
Ancaman (threat)
1 Persaingan dari produk bakery sejenis (franchaise) dan produk luar Kota
2 Kenaikan biaya produksi yang mempengaruhi harga produk
3 Perkembangan jenis makanan jadi lain produk substitusi roti
4 Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan diantara perusahaan
roti yang ada
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah penduduk terbanyak
di dunia. Penduduk Indonesia yang semakin meningkat dapat berimplikasi terhadap
peningkatan kebutuhan pangan. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia selama
periode 2005-2008 rata-rata 1, 28 % ( BPS, 2008). Jumlah penduduk Kota Bogor
terus mengalami pertumbuhan dengan rata-rata selama kurun waktu 11 tahun
terakhir adalah 2, 83 %. Kondisi ini dapat menjadi peluang bagi industri roti-kue di
Kota Bogor untuk mengembangkan usahanya. Hal ini karena jumlah penduduk
yang semakin meningkat merupakan pangsa pasar yang potensial untuk
memasarkan produknya.
Nilai konsumsi roti per kapita oleh masyarakat Indonesia pada 2010 tumbuh
tertinggi dibandingkan 11 negara Asia Pasifik lainnya. Nilai konsumsi roti di
Indonesia naik 25% pada 2010 menjadi US$ 1,5 per orang per tahun, dari konsumsi
US$ 1,2 per orang per tahun pada 2009. Pertumbuhan itu menjadi yang tertinggi
dibanding kenaikan nilai konsumsi roti di negara-negara seperti Korea Selatan,
Singapura, China, Taiwan, dan India pada periode yang sama. Asosiasi roti dan
biskuit Indonesia memprediksi konsumsi roti dan biskuit pada kuartal II 2011
meningkat 10%-15% dibanding kuartal I tahun ini (http://id.indonesia
financetoday.com/).
2. Adanya bantuan program dari pemerintah pusat
Pemerintah Kota Bogor juga menerima bantuan dari instansi pemerintahan
pusat seperti BPOM, Kementrian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal IKM,
83
84
PIRT sebagai salah bentuk jaminan dari pemerintah bahwa produknya diproduksi
dengan memenuhi persyaratan Good Manufacturing Practices yang ditentukan
pemerintah.
4. Perkembangan teknologi dan informasi
Perkembangan teknologi dan informasi yang cepat merupakan peluang yang
sangat besar bagi industri termasuk IKM roti di Kota Bogor. Hal ini dikarenakan
perkembangan teknologi ini dapat mendukung kelancaran usaha baik pada aspek
produksi maupun pemasaran.
5. Keberadaan dari lembaga pendidikan/peneliti di Kota Bogor
Di Kota Bogor dan sekitarnya terdapat beberapa perguruan tinggi seperti IPB,
Universitas Pakuan, Universitas Djuanda, Diploma IPB , Universitas Ibnu
Khaldun,Univeritas Nusa Bangsa, Diploma Analis Kimia yang dapat menjadi
sumber informasi dan memiliki tenaga ahli yang dapat dimanfaatkan bagi IKM
maupun pemerintah daerah. Perguruan tinggi tersebut umumnya juga punya
aktivitas pengembangan dan pengabdian masyarakat yang salah satu kegiatannya
ikut membantu membina/memfasilitasi IKM seperti Inkubator Bisnis, LPPM IPB,
dan lain-lain. Hal ini dapat menjadi peluang kerjasama yang baik untuk
meningkatkan penerapan Good Manufacturing Practices di IKM roti-kue di Kota
Bogor. Lembaga penelitian yang berada di Kota Bogor cukup banyak, diantaranya
seperti tercantum pada Tabel 18.
Tabel 18 Daftar balai penelitian di Kota Bogor
NO
Nama Balai Penelitian
1 Balai Besar Industri Agro
2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen
3 Pertanian
4 Balai Penelitian Tanaman Pangan
5 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
6 Balai Pengujian Mutu Produk Peternakan
7 Balai Penelitian Veteriner
8 Balai Penelitian Perikanan Air Tawar
9 Balai Penelitian Tanah
10 Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia
11 SEAFAST Center IPB
12 Balitbang Botani
13 Puslitbang Gizi dan Makanan, Balitbang Kesehatan
14 Institut Pertanian Bogor
15 Pusat Penelitian Pengembangan Peternakan
85
86
Kondisi ini tentunya dapat mengancam IKM yang menggunakan gas elpiji
untuk kelangsungan proses produksinya karena dapat menyebabkan biaya produksi
menjadi meningkat. Kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan gas elpiji akan
menyebabkan meningkatnya biaya produksi, biaya distribusi dan mahalnya harga
bahan baku produksi yang berakibat pada naiknya harga produk yang dibuat.
Kondisi kenaikan BBM dan elpijii, membuat IKM berada dalam posisi yang sulit,
margin keuntungan menjadi kecil dan menjadi suatu dilema untuk menaikkan
harga.
Tarif Dasar Listrik (TDL) adalah tarif yang boleh dikenakan oleh pemerintah
untuk para pelanggan PLN. Penurunan TDL penting dilakukan sebagai stimulus
fiskal bagi sektor riil di tengah dampak krisis ekonomi global. Oleh karena itu,
bersamaan dengan kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga BBM pada
tanggal 15 Januari 2009, pemerintah juga menetapkan penurunan Tarif Dasar
Listrik (TDL) sebesar 8%. Akan tetapi penurunan TDL ini hanya berlaku bagi
pelanggan industri I-3 dengan daya tersambung 14-200 kVA dan industri I-4
dengan daya tersambung 201 kVA. Penurunan itu juga hanya pengurangan
disinsentif bagi pelanggan industri yang menggunakan listrik melebihi daya tertentu
saat beban puncak. Dengan kata lain, penurunan TDL pada tahun 2009 belum
berdampak terhadap IKM. Bahkan pada tahun 2012 pemerintah akan menaikan
TDL, kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi IKM roti yang menggunakan listrik
dalam proses produksinya.
3. Perkembangan jenis makanan jadi lain yang tergolong produk substitusi
roti
Produk substitusi atau produk pengganti adalah produk lain yang memiliki
fungsi sama dengan produk perusahaan dan dapat mempengaruhi keberadaan
produk perusahaan selama di pasar. Keberadaan produk substitusi dapat menjadi
ancaman bagi suatu perusahaan jika produk substitusi tersebut mempunyai harga
yang lebih murah namun memiliki kualitas yang sama dengan produk yang
ditawarkan perusahaan. Oleh karena itu, faktor harga jual dan mutu produk sering
digunakan oleh pelaku usaha sebagai alat dalam menghadapi keberadaan produk
substitusi. Pada industri roti (bakery), produk yang dapat digolongkan menjadi
produk substitusi adalah biskuit, kue, sereal, pie, wafer, mi instan dan lain-lain.
87
Produk substitusi roti yang semakin beragam baik dari segi harga maupun mutu
produk, misalnya mi instan, biskuit, sereal, pie atau wafer merupakan salah satu
ancaman bagi usaha bagi IKM di Kota Bogor.
4. Pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan diantara
perusahaan roti yang ada
Secara umum, pembeli memiliki kekuatan untuk menentukan pilihan dalam
membeli produk roti sesuai dengan seleranya. Hal ini disebabkan oleh semakin
meningkatnya jumlah perusahaan roti yang terdapat di Kota Bogor, dimana masing-
masing perusahaan roti menawarkan produk yang semakin bervariasi dan semakin
banyak jenisnya termasuk dari segi mutu produk dan harga jual produk. Oleh
karena itu, kondisi ini dapat menjadi ancaman bagi IKM roti di Kota Bogor.
Setelah hasil analisa lingkungan internal dan eksternal di atas melalui depth
interview dengan pakar pihak terkait, maka langkah selanjutnya adalah pembuatan
matriks IFE dan EFE. Matriks IFE terdiri dari faktor-faktor yang merupakan
kekuatan dan kelemahan . Matriks EFE terdiri dari faktor-faktor yang merupakan
peluang dan ancaman.
Untuk memperoleh Matriks IFE dan EFE terlebih dahulu ditentukan Bobot
dan Rating. Rating didapat setelah melakukan depth interview dan pengisian
kuisioner kepada 5 (lima) pakar yang memahami situasi dan kondisi penerapan
GMP di IKM di Kota Bogor (Lampiran 1).
Penentuan bobot dilakukan dengan menggunakan metode pairwaised
comparison sehingga diperoleh nilai bobot. Total skor diperoleh dengan cara
mengalikan nilai perolehan rata-rata rating dan nilai perolehan nilai rata-rata bobot
dari seluruh pakar. Analisis ini ditujukan untuk menilai dan mengevaluasi
pengaruh faktor-faktor strategis terhadap peningkatan penerapan GMP di IKM roti
Kota Bogor. Setelah nilai Rating dan Bobot diperoleh maka selanjutnya ditentukan
nilai Matriks IFE dan EFE .
Dari matriks IFE (Tabel 20) tersebut menunjukan Nilai/Skor IFE adalah
2,333 menunjukkan pemerintah kota Bogor cukup baik dalam mengelola kondisi
internalnya. Jika dikaji dari perbandingan skor masing-masing faktor yang menjadi
88
kekuatan, maka faktor kekuatan utama adalah kebijakan pemerintah kota Bogor
membebaskan biaya SP-PIRT dengan skor tertinggi 0,278. Faktor kekuatan kedua
dan ketiga adalah dukungan sarana dan prasarana kota yang memadai (skor 0,263)
serta memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi (skor 0,259).
Sebaliknya memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD dinilai sebagai faktor
kekuatan yang paling rendah (skor 0,176).
Mekanisme pengawasan yang belum diterapkan secara regular serta
keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga penyuluh (PKP) dan pengawas (DFI)
dinilai menjadi kelemahan utama bagi peningkatan penerapan GMP di IKM roti
Kota Bogor dengan skor terendah yang sama yaitu 0,081. Faktor kelemahan kedua
adalah kurangnya komitmen dan budaya kerja IKM (skor 0,091) . Belum ada
Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Rencana Strategis
Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bogor
dinilai menjadi faktor kelemahan ketiga (skor 0,095).
Tabel 20 Matriks IFE (Internal Factor Evaluation)
Bobot Rating Skor
No Faktor Internal
(a) (b) (axb)
A Kekuatan (Strength)
1 Lokasi Kota Bogor yang strategis 0,052 3,6 0,186
2 Sektor industri makanan-minuman menjadi sector 0,066 3,8 0,251
basis dalam perekonomian Bogor
3 Memiliki pendukung laboratorium uji terakreditasi 0,068 3,8 0,259
4 Dukungan sarana dan prasarana Kota memadai 0,077 3,4 0,263
5 Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT 0,073 3,8 0,278
6 Sumber keuangan daerah cukup baik 0,069 3,2 0,220
7 Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD 0,055 3,2 0,176
Sub Jumlah A 1,632
B Kelemahan (weakness)
1 Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi 0,068 1,4 0,095
Daerah maupun Rencana Strategis Pengembangan
2 Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI terbatas 0,081 1 0,081
3 Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang 0,091 1 0,091
4 Keterbatasan modal IKM 0,077 1,8 0,139
5 Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi 0,054 2 0,109
informasi masih terbatas
6 Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM 0,088 1,2 0,105
7 Mekanisme pengawasan belum berjalan reguler 0,081 1 0,081
Sub Jumlah B 0,701
Jumlah (A + B) 2,333
89
Hasil evaluasi terhadap faktor eksternal diperoleh nilai seperti pada Tabel 21
dibawah ini. Dari matriks IFE tersebut diperoleh Nilai / Skor EFE adalah 2,48
menunjukkan pemerintah Kota Bogor belum cukup mampu memanfaatkan peluang
dan meminimalkan ancamam lingkungan eksternal.
I II III
Grow and Build Grow and Build Hold and Maintain
Tinggi
Strategi intensif atau Strategi intensif atau Penetrasi dan
3,04,0
Integrative integratif pengembangan
IV V VI
EFE Sedang Grow and Build Hold and Maintain Harvest or Divest
2,02,99 Strategi intensif atau Penetrasi dan
Integrative pengembangan
VII VIII IX
Rendah Hold and Maintain Harvest or Divest Harvest or Divest
1,01,99 Penetrasi dan
pengembangan
91
Hal ini berarti strategi pemerintah daerah Kota Bogor adalah menjaga agar
IKM roti yang saat ini telah memenuhi GMP tetap memenuhi persyaratan GMP
melalui mekanisme pengawasan dan melakukan penetrasi terhadap IKM roti yang
belum memenuhi persyaratan GMP melalui penyuluhan lebih intensif, publikasi,
promosi maupun bimbingan mendukung IKM roti untuk memenuhi GMP. Selain
itu pemerintah mencari alternatif pengembangan metode, paduan, publikasi dalam
mendorong agar persyaratan GMP dapat dipahami oleh IKM roti.
Dependent Linkage
12
s2 11
10
(s5) s(3) 9
s6 (s7,o2)
7
y= 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 12
DayaDorong 5
(DriverPower) 4 (s1,s4,o1,03,o4)
3
2
o5 1 Independent
Autonomus 0
x= Ketergantungan
(Dependence)
Dari stukturisasi pendukung (Gambar 20) dapat dilihat bahwa Lokasi Kota
Bogor yang strategis (S1), dukungan sarana prasarana yang memadai (S4), peluang
potensial peluang pasar dalam negeri (O1), perubahan pola konsumsi dan kesadaran
hidup sehat konsumen untuk mendapatkan produk pangan yang terjamin mutu
keamanannya (O3) dan penggunaan tehnologi dan informasi (O4) termasuk faktor
independent (strong driver weak dependent variables). Berarti faktor tersebut
93
sektor ini merupakan peubah bebas dan merupakan elemen-elemen kunci dalam
hierarki.
Bantuan pemerintah pusat (O2) dan memiliki jaringan koordinasi lintas
Satuan Kerja Pemerintah Daerah/SKPD (S7) merupakan faktor linkage. Artinya
peubah ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil.
Bantuan pemerintah dari pusat bila tidak dimanfaatkan dengan terencana dan
terkoordinasi dengan baik lintas SKPD, menyebabkan dampak kurang berarti
dalam meningkatkan penerapan GMP pada IKM roti. Bantuan pemerintah pusat
Dependency
SubelemenPendukung(SO) Hirarki Kategori
Driver Depen
power dence
1 S1 LokasiBogoryangstrategis 11 5 Indepen
12 dent
2 Industrimakananmenjadi Depen
S2 sektorbasisperekonomian
1 10 dent
Memilkilaboratorium 5 Depen
3 S3 2 9
pengujiterakreditasi dent
4 Dukungansaranadan Indepen
S4 prasaranaKotamemadai
2 11 5
dent
5 Kebijakanpembebasan Depen
S5 biayaSPPIRT
1 9
dent
Sumberkeuangandaerah
3 Depen
6 S6 4 8
cukupbaik dent
7 Memilikijaringan 6
S7 koordinasilintasSKPD
6 7 Linkage
8 Potensialpeluangpasar Indepen
O1 dalamnegeri 11 5 dent
7 9
9 O2 Bantuanpemerintahpusat 6 7 Linkage
10 Perubahanpolakonsumsi Indepen
O3 dankesadaranhidupsehat
11 5 dent
11 Perkembangantehnologi
4 8 10 11 Indepen
O4 daninformasi
11 5 dent
12 O5 Keberadaanlembaga 1 1 Autono
1
penelitian/pendidikandi Mous
KotaBogor
SubelemenkunciPendukung:1,4,8,10,11
biasanya disalurkan melalui SKPD terkait seperti melalui Dinas Kesehatan, Kantor
Koperasi dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan sesuai asal instasi pusat yang
memberi. Bantuan dapat berupa pelatihan, dana insentif, konsultasi, sertifikasi, dan
lainnya. Jika bantuan tersebut diberikan pada IKM yang tidak tepat sasaran dan/
atau kurang terencana maka dampaknya menjadi kurang berarti. Namun dengan
adanya koordinasi lintas SKPD maka bantuan dapat diarahkan secara strategis
terencana jangka panjang dan tepat sasaran sesuai kebutuhan IKM.
94
Menurut FAO (1999) IKM sering tidak memiliki keahlian teknis yang
diperlukan untuk melaksanakan keamanan pangan dan sistem manajemen, oleh
karena itu memerlukan dukungan eksternal. Kemampuan pemerintah dan asosiasi
industri / perdagangan memberikan dukungan teknis yang memadai merupakan
faktor penting dalam keberhasilan pelaksanaan sistem manajemen kualitas makanan
oleh IKM.
Indeks Pembangunan Manusia dan PDRB cukup baik (S6), memiliki
laboratorium penguji terakreditasi (S3), industri makanan menjadi sektor basis
perekonomian (S2), Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (S5) merupakan faktor
dependent (weak driver strongly dependent variables). Umumnya peubah ini
adalah peubah tak bebas yang dipengaruhi oleh elemen-elemen lainnya sesuai
hierarki. Artinya kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT dan pemeliharaan fasilitas
laboratorium penguji makanan terakreditasi dapat berjalan jika IPM dan PDRB
pemerintah daerah Kota Bogor tetap dipertahankan baik serta industri makanan
tetap menjadi sektor basis perekonomian.
Strategi pembebasan biaya SP-PIRT merupakan strategi yang berkaitan
langsung dalam mendorong IKM roti di Kota Bogor mendapatkan jaminan SP-
PIRT namun sangat dipengaruhi faktor lain sebagai pendorong. Penyediaan
laboratorium penguji pangan milik pemerintah daerah dapat membantu
memfasilitasi IKM dalam mengujikan produk pangannya yang dibutuhkan dalam
pembuktian keamanan pangan dalam rangka permasaran/ pemenuhan standar
regulasi.
Keberadaan lembaga penelitian/pendidikan di Kota Bogor (O5) berada pada
sektor autonomous (weak driver weak dependent variables). Peubah di sektor ini
umumnya dianggap tidak berkaitan dengan sistem atau mungkin mempunyai
hubungan kecil mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan keamanan
mutu pangan produk IKM.
pemerintah daerah Kota Bogor (w1); 2) Keterbatasan jumlah dan keahlian tenaga
penyuluh /PKP dan pengawas / DFI (w2); 3) Kurangnya komitmen dan budaya
kerja IKM (w3); 4) Keterbatasan modal IKM (w4); 5) Keterbatasan media
informasi, publikasi (w5); 6) Keterbatasan pemahaman keamanan pangan tenaga
kerja IKM (w6); 7) Mekanisme survailen belum berjalan regular (w7); 8)
Persaingan dari produk bakery sejenis berasal dari industri franchaise dan dari luar
(t1); 9) Kenaikan biaya produksi (t2); 10) Perkembangan produk substitusi (t3);
11) Pembeli memiliki kekuatan menentukan pilihan (t4).
Analisis dengan teknik ISM (transitivity = 70%) seperti disajikan pada
Gambar 21 menunjukkan bahwa elemen kunci dalam upaya peningkatan penerapan
good manufacturing practices di IKM roti Kota Bogor adalah belum adanya
rencana strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun rencana strategis
pengembangan industri yang ditetapkan oleh pemerintah Kota Bogor (w1).
Dependency
Subelemenkendala(WT) Hirarki Depe Kategori
Driver
ndenc
power
e
BelumadaRencanaStrategis
AksiPanganGiziDaerah 3
Indepen
1 W1 maupunRencanaStrategis 11 1 dent
PengembanganIndustriyang
ditetapkan 11
KeterbatasanJumlahdan 10
Indepen
2 W2 keahliantenagapenyuluh/PKP 10 2
dent
danpengawas/DFI
KurangnyaKomitmendan 6 8 9 depen
3 W3 1 11
budayakerjaIKM dent
4 W4 KeterbatasanModalIKM 7 10 Linkage
5 W5
KeterbatasanMediainformasi, 4 9 3
Indepen
publikasi dent
KeterbatasanPengetahuan
6 W6 7 10 Linkage
TenagakerjaIKM 7
Mekanismesurvailenbelum Indepen
7 W7 8 4
berjalanreguler dent
Persaingandariprodukbakery 5
8 T1 sejenisfranchaisedandariluar 7 10 Linkage
kota
9 T2 KenaikanBiayaProduksi 2 7 10 Linkage
Perkembanganproduk
10 T3 7 10 Linkage
substitusi
Pembelimemilikikekuatan
1
11 T4 7 10 Linkage
menentukanpilihan
Subelemenkuncikendala:BelumadaRencanaStategis(1).
96
interview dengan para pakar dan pelaku diperoleh identifikasi pelaku yang
berkaitan dengan penerapan GMP di IKM roti yaitu : 1) Badan perencanaan daerah
P1); 2) Dinas kesehatan daerah (p2); 3) Dinas perindustrian dan perdagangan (p3);
4) Asosiasi IKM (p4); 5) Peneliti/ perguruan tinggi (p5); 6) Tenaga penyuluh
keamanan pangan/PKP (p6); 7) Tenaga inspektur pengawas pangan/FDI (p7); 8)
Konsumen / masyarakat (p8); 9) Pemilik IKM (p9); 10) Karyawan IKM (p10).
Hasil analisis dengan metode ISM seperti disajikan pada Gambar 22
menunjukkan bahwa Badan Perencanaan Daerah (1) merupakan elemen yang kunci
paling berpengaruh menggerakkan aktor lain, diikuti oleh Dinas Kesehatan (2),
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (3) serta Perguruan Tinggi (5) sebagai faktor
independent (strong driver weak dependent).
Dependency
SubelemenAktorPelaku Hirarki Driver Depen Kategori
power dence
BadanPerencanaanDaerah
P1 10 4 Independent
(Bapeda) 10
P2 DinasKesehatanDaerah 10 4 Independent
9
DinasPerindustriandan
P3 10 4 Independent
Perdagangan
7 8
P4 Asosiasiindustri 6 5 Linkage
P5 Peneliti/PerguruanTinggi 6 10 4 Independent
TenagaPenyuluh
P6 5 8 Dependent
KeamananPangan 4
P7 TenagaInspectorpengawas 5 8 Dependent
P8 Konsumen/masyarakat 2 3 5 5 8 Dependent
P9 PemilikIKM 1 9 Dependent
P10 KaryawanIKM 1
1 9 Dependent
SubelemenkunciAktorPelaku:P1.P2,P3,P5
Gambar 22 Struktur hierarki dan faktor kunci elemen aktor pelaku
98
99
Tabel 23 Perumusan Strategi (Matriks ISWOT )
Faktor Eksternal s5 Kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT w3 Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang
w7 Mekanisme pengawasan belum berjalan reguler
O Peluang (opportunities ) Strategi S-O Strategi W-O
o1
Pontensial peluang pasar 1 Penyediaan Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli 1 Program pelatihan terencana petugas PKP dan petugas
Bogor di kawasan strategis bagi produk IKM roti mendapat pengawas pangan (w2,02)
o2 Adanya bantuan pemerintah pusat SP-PIRT(s1,o1)
2 Mempertahankan kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (s5) 2 Melakukan pengawasan berkala setahun sekali
(w7,02,01)
3 Mengarahkan program bantuan pemerintah secara terencana, 3 Bimbingan intensif produsen IKM bakeri (w3,02)
berkesinambungan dan berjenjang (s4,o2)
101
Sedangkan hasil matrik IFE diperoleh bahwa kebijakan pemerintah kota Bogor
membebaskan biaya SP-PIRT merupakan kekuatan utama.
Alternatif strategi yang dihasilkan dari upaya menggunakan kekuatan untuk
memanfaatkan peluang adalah :
1. Penyediaan Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor di
tempat strategis sebagai media promosi dan pemasaran produk IKM
Kota Bogor dan telah terjamin mutu keamanannya melalui sertifikasi
SP-PIRT oleh pemerintah daerah (s1,o1)
Adanya lokasi Kota Bogor yang strategis antara lain menjadi tujuan belanja
dan wisata kuliner, serta didukung dengan pemanfaatan sarana prasarana yang
memadai digunakan untuk menangkap peluang potensial peluang pasar dalam
negeri. Peluang pasar dalam negeri yang dipengaruhi perubahan pola konsumsi
dan kesadaran hidup sehat konsumen yang ingin mendapatkan produk pangan
yang terjamin mutu keamanannya. Strategi yang dapat digunakan untuk hal ini
adalah penyediaan tempat strategis yang sering dikunjungi belanja dan wisata
untuk melakukan promosi sebagai kawasan penyediaan produk IKM yang
terjamin mutu keamanannya melalui sertifikasi SP-PIRT oleh pemerintah daerah
misal berslogan Kawasan Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor. Selain promosi dan
menciptakan peluang pasar bagi produk IKM, sekaligus memberikan pendidikan
kepada konsumen agar memilih produk pangan yang memenuhi mutu keamanan.
Kawasan Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor ini dapat dimasukan dalam
agenda paket kunjungan wisata Bogor Visit Year. Kawasan yang potensial
dikunjungi wisatawan ataupun sebagai wisata kuliner antara lain di sekitar Kebun
Raya Bogor, Surya Kencana, Tajur, sepanjang Jalan Raya Pajajaran, Taman
Kencana.
2. Mempertahankan kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT (s5)
Sumber keuangan daerah Kota Bogor yang cukup baik dapat dimanfaatkan
untuk menunjang kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT tetap dipertahankan
untuk mendukung sektor industri makananminuman yang menjadi basis
perekonomian Kota Bogor. Pembebasan biaya SP-PIRT ditujukan untuk
mendorong minat IKM memperoleh SP-PIRT tanpa ada pembebanan biaya
pendaftaran. Semakin banyak IKM yang mendapatkan SP-PIRT, diharapkan
102
103
104
prinsip kpamanan Pangan; 3) Jumlah IRTP yang dilatih dan difasilitasi disain dan
implementasi cara produksi produk pangan yang baik (CPPB); 4) Monitoring dan
verifikasi penerapan CPPB pada IRT.
Oleh karena Rencana Aksi Pangan-Gizi Daerah yang mengacu ke Rencana
Aksi Pangan Nasional mencakup perencanaan SDM (jumlah dan keahlian tenaga
PKP dan pengawas/DFI) dan alokasi pendanaan, sehingga mekanisme survailen
dan penyuluhan dapat berjalan regular dan akan berdampak pada peningkatan
pemahaman keamanan pada tenaga kerja IKM. Sehingga pada akhirnya akan
mengurangi ancaman persaingan produk roti sejenis franchaise .
2) Pengembangan kemitraan dgn BUMN/ Bank untuk memfasilitasi
pinjaman kredit lunak/pinjaman modal bagi IKM (w3, t1)
Secara umum modal dari IKM adalah terbatas, sedangkan untuk
menerapkan Good Manufacturing Practices membutuhkan dukungan dana seperti
perbaikan fasilitas bangunan, penyediaan alat kerja, training dan lain-lain.
Sehingga keterbatasan modal menjadi penghalang bagi IKM dalam menerapkan
GMP maupun menggerakan bisnisnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Karaman et al. (2012) yang menemukan bahwa biaya (46,4%) dan
ketidakkecukupan kondisi fisik pabrik (35,7%) merupakan penghalang utama
untuk mengadopsi program prasyarat (PRPs) pada pabrik susu Aydn. Oleh
karena itu pemerintah bersama dengan asosiasi IKM perlu melakukan upaya
pengembangan kemitraan dgn BUMN/ Bank untuk memfasilitasi pinjaman kredit
lunak/pinjaman modal bagi IKM .
107
dukungan sarana prasarana yang memadai, peluang potensial peluang pasar dalam
negeri, perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen,
penggunaan tehnologi dan informasi . Oleh karena itu strategi yang dipilih dengan
mempertimbangkan faktor kekuatan yang dimiliki oleh pemerintah daerah Kota
Bogor yaitu :
1. Penyediaan Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor di kawasan
strategis bagi produk IKM roti yang telah mendapat SP-PIRT
2. Mempertahankan kebijakan pembebasan biaya SP-PIRT
108
6.1. Kesimpulan
Hasil analisis yang telah dilakukan pada lingkungan pemerintah Kota Bogor
dan Industri IKM roti Kota Bogor diperoleh beberapa kesimpulan yaitu :
1) Posisi pemerintah Kota Bogor berada pada koordinat matriks IE (2,333; 2,476),
yaitu pada posisi kuadran V dengan kotak jaga dan pertahankan (hold and
maintain), sehingga strategi diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan IKM
yang telah memenuhi GMP melalui pengawasan. Adapun strategi penetrasi
dilakukan terhadap IKM roti yang belum memenuhi penerapan GMP melalui
kegiatan penyuluhan, publikasi, promosi. Adapun pengembangan yang dapat
dikembangkan pada posisi ini adalah mengembangkan alternatif metode, panduan,
publikasi agar mendorong persyaratan GMP dapat lebih dipahami oleh IKM roti.
2) Elemen kunci aktor pelaku yang mempengaruhi penerapan Good Manufacturing
Practices IKM Roti yaitu Badan Perencanaan Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor serta Perguruan Tinggi.
3) Elemen kunci faktor kendala yang mempengaruhi peningkatan penerapan GMP
IKM roti yaitu belum adanya Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun
Rencana Strategis Pengembangan Industri yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
Kota Bogor .
4) Elemen kunci faktor pendukung yang mempengaruhi peningkatan penerapan GMP
IKM roti yaitu letak Kota Bogor yang strategis, dukungan sarana prasarana yang
memadai, peluang potensial pasar, perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup
sehat konsumen dan penggunaan tehnologi dan informasi.
5) Berdasarkan hasil ISWOT terdapat 5 strategi pilihan yang disarankan bagi
pemerintah daerah Kota Bogor untuk meningkatkan mutu keamanan produk IKM
roti melalui penerapan Good Manufacturing Practices.
6.2. Saran
Penelitian penerapan Good Manufacturing Practices terkait produk IKM
dapat diarahkan kepada produk IKM berkategori resiko tinggi terhadap keamanan
pangan atau banyak yang menggunakan atau sering menggunakan zat tambahan
yang dilarang oleh BPOM seperti minuman sirop, tahu, gula/permen.
109
110
DAFTAR PUSTAKA
Anggrahini, S. 1997. Aspek Keamanan Penggunaan Bahan Kimia Pada Produk
Pangan. Agritech. Vol. 17 No. 4 : 1-8
[Anonim], 2008. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008
Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Jakarta.
[BAPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015. Jakarta : BAPPENAS.
Bas, M., Mariye Yksel dan Tugba, C. ( 2007). Diffculties and barriers for the
implementing of HACCP and food safety systems in food businesses in
Turkey. Food Control 18 (2007) 124130.
Ben Embarek, PK. 2004. Safe Food Supply and Global Health WHOs
Perspective. Proceeding 4th Asian Conference on Food Safety
and Nutrition Safety, March 2-5, 2004; Nusa Dua Bali, Indonesia
Bintoro VP , 2009. Peranan Ilmu dan Teknologi dalam Peningkatan Keamanan
Pangan Asal Ternak. Makalah pada Forum Pengukuhan Guru Besar
Fakultas Perternakan Universitas Diponegoro 22 Januari 2009, Semarang
[terhubung berkala]. http://eprints.undip.ac.id/7028/1/V_Priyo.pdf [ 20
Febuari 2012].
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Peraturan Pemerintah (PP)
No. 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan.
Jakarta : BPOM.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peranan Surveilan dalam
Sistem Keamanan Pangan Terpadu. Laporan Lokakarya Jejaring Intelijen
Pangan. 20 Juni 2005. Jakarta : BPOM.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2008. KLB Keracunan Pangan
Tahun 2001-2006. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan
Pangan. Jakarta : BPOM.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Data Strategis BPS. Jakarta : BPS.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. SNI 01- 4852-1998 : Sistem analisa
bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP) serta pedoman
penerapannya. Jakarta : BSN.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003.Recommended International
Code of Practice : General Principles of Food Hygiene. CAC/RCP 1-
1969, Rev.4-2003. Rome : CAC.
Darminto dan S. Bahri. 1996. Mad Cow dan penyakit sejenis lainnya pada
hewan dan manusia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian
15(4): 8488.Departemen Pertanian.[terhubung berkala]
http://pustaka.litbang. deptan.go.id/ publikasi/p3283093.pdf.[ 20 Febuari
2012]
111
David FR. 2006. Strategic Management : Concepts and Cases. Ed ke-10. New
Jersey.
[Deperin] Departemen Perindustrian. 2008. Potret Tiga Setengah Tahun
Pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Industri
Manufaktur Tahun 2005-2009. Laporan Departemen Perindustrian Tahun
2008. Jakarta : Departemen Perindustrian.
Dewanti, R danNuraida, L. 2001. Keamanan Pangan Fungsional dan Suplemen
Berbasis Pangan Tradisional. Prosiding Seminar Nasional Pangan
Tradisional: Basis bagi Industri Pangan Fungsional dan Suplemen, 54-63.
Pusat Kajian Makanan Tradisional IPB Bogor.
Dewanti, R. 2009. Implementation of food safety management at industri level in
developing countries: is gmp/haccp confusing? Proceeding of
International Seminar Current Issues and Challenges in Food safety.
[Ditjen POM] Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman
Penerapan Cara Produksi Pangan Yang Baik (CPPB). Jakarta : Ditjen
POM, Departemen Kesehatan.
[Ditjen POM] Ditjen Pengawasan Obat dan Makanan. 1996. Pedoman Umum
HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Jakarta : Ditjen POM,
Departemen Kesehatan.
[Ditjen PDN] Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. 1999. Undang-Undang RI No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta : Ditjen, PDN,
Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Erlina, Rr. 2011. Strategi Pengembangan Agroindustri Bioetanol di Provinsi
Lampung. [Disertasi]. Bogor: Fakultas Tehnologi Pertanian , Institut
Pertanian Bogor.
Fardiaz, S. 1996. Pengenalan HACCP Pada Industri Pangan. Pelatihan Singkat
Penerapan Cara Berproduksi Yang Baik dan HACCP, di
Palembang, tanggal 10-11 Oktober 1996. Jakarta : Direktorat Jendral
Industri Hasil Pertanian dan Kehutanan, Departemen Perindustrian dan
Perdagangan
FAO (2006). Strenghtsening national food control systems. Guidelines to assess
capacity building needs, Rome, Italy.
Girsang, CI. 2007. Formulasi Strategi Pengendalian Mutu Dan Keamanan Pangan
Produk Crude Palm Oil Di PT. Perkenunan Nusantara III Dan Minyak
Goreng Di PT. Astra Agro Lestari, Tbk. [Thesis]. Bogor. Fakultas
Tehnologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hanani, N. 2009. Indonesia Tahan Pangan dan Gizi 2015, Makalah Workshop II
Ketahanan Pangan di Jawa Timur.
112
Hariyadi P. 2007. Upaya Peningkatan Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan melalui
Ilmu dan Teknologi Pangan. Southeast Asian Food Science and
Technology (SEAFAST) Center IPB. Bogor.
Hariyadi,P. 2008. Beban Ganda: Permasalahan Keamanan Pangan di Indonesia
Artikel Pangan Edisi No. 51/XVIII/Juli-September/2008.
Herath, D. dan Henson, S. 2005. Identification and quantification of barriers to
HACCP implementation: Evidence from Ontario Food Processing sector.
Selected paper prepared for presentation at the American Agricultural
Economics Association Annual Meeting, Providence, Rhode Island, July 24-
27, 2005
Hubeis, M. 1997. Menuju industri kecil profesional di era globalisasi melalui
pemberdayaan manajemen industri. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu
Manajemen Industri, Fakultas Tehnologi Pertanian.Bogor : IPB.
Janes, FR. 1988. Interpretive Structural Modelling(ISM): a methodology for
structuring complex issues. Transactions Institute of Measurement and
Control, Vol. 10 No. 3, pp. 145-54.
Jaya, R., Machfud dan Ismail, M. 2011. Aplikasi teknik ISM dan ME-MCDM
untuk identifikasi posisi pemangku kepentingan dan alternatif kegiatan
untuk perbaikan mutu kopi gayo. Jurnal Teknologi Industi. Pertanian
Vol. 21 (1), 1-8.
Jharkharia,S. 2011. Interrelations of critical failure factors in ERP
implementation: an ISM-based analysis. International Conference on
Advanced Management Science. IPEDR vol.19 (2011). Singapore.
[KADIN] Kamar Dagang dan Industri Indonesia. 2010. Kebutuhan Teknologi
dan Potensi Kerjasama Riset dengan Industri.[terhubung berkala] http://
www.ristek.go.id/file/upload/Pengumuman/2010/KADIN.pdf. [20 Januari
2012]
Karaman, A. D., Ferit Cobanoglu , Renan Tunalioglu and Gulden Ova , 2012.
Barriers and benefits of the implementation of food safety management
systems among the Turkish dairy industri: A case study. Food Control 25
(2012) 732- 739
Lawley R, Curtis L, and Davis J. 2008. The Food Safety Hazard Guidebook. RSC
Publishing. Cambridge.
Machfud. 2001. Rekayasa model penunjang keputusan kelompok dengan fuzzy
logic untuk system pengembangan agroindustri minyak atsiri.[Disertasi].
IPB. Bogor.
[Menpangan] Menteri Negara Urusan Pangan. 1996. Undang- Undang RI No. 7
Tahun 1996 tentang Pangan. Kantor Menteri Negara Urusan Pangan.
Jakarta.
113
114
Sapers GM, Gorny JR, and Yousef AE. 2006. Microbiology of Fruits and
Vegetables. CRC Press.Boca Raton, London, New York.
Saxena, Sushil JP, Vrat P. 1992. Scenario Building: A Critical Study of Energy
Conservation in The Indian Cement Industri. Technological Forecasting
and Social Change 41: 121-146.
Siregar, D. 2009. Strategi Peningkatan Mutu Dan Keamanan Produk Olahan
Markisa Di PT. Pintu Besar Selatan, Sumatera Utara. [Thesis]. Bogor.
Fakultas Tehnologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sekretaris Jenderal Menteri Perindustrian. 2010. Rencana Strategis Kementerian
Perindustrian tahun 2010-2014 dan Peran Daerah Dalam Menghadapi
FTA. Yogyakarta: Menperin.
S.M. Oss , P.A. Luning , L. Jacxsens , S. Santillana , I. Jaime and J. Rovira .
2012. Food safety management system performance in the lamb chain.
Food Control 25 (2012) 493-500.
Sudibyo, A, Rahayu, SE, Rohaman, MM, Ridwan, IN, Sirait, SD, Aprianita, N
dan Sutrisniati, D. 2001. Pengembangan dan Penerapan Sistem HACCP
(Hazard Analysis Critical Control Point) Pada Industri Pangan di
Indonesia. Warta IHP vol. 18 No. 1-2 : 7 18.
Sudibyo, A dan Sumarsi. 2004. Penelitian Terhadap Kesadaran dan Tanggung
Jawab Industri Pangan Skala Kecil Dalam Memproduksi Pangan
Yang Aman dan Bermutu. Warta IHP Vol. 21 No. 1 2 : 41-54.
Sukarman W. 2007. Modul Kuliah (MAN 542) Pengelolaan Industri : Peran
Industri Perbankan dalam Mendukung Sektor UMKM di Indonesia.
Bogor: Program Magister Profesional Industri Kecil Menengah Sekolah
Pascasarjana IPB.
Supar. 2005. Keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek prapanen:
Permasalahan dan solusi. Prosiding Lokakarya Nasional Keamanan
Pangan Produk Peternakan Bogor, 14 September 2005. hlm. 5660. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Stanton G. 2000. Food Safety and International Trade : The Role of The WTO
and The SPS Agreement. Di dalam : Rees N, Watson D, editor.
International Standard for Food Safety. Maryland : An Aspen Publication.
Tarigan, A.B. 2010. Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Roti di Perusahaan
Bogor Permai. Program Keahlian Supervisor Jaminan Mutu Pangan,
Diploma, IPB.
Umar H. 2008. Strategic Management in Action. Cetakan Kelima. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Warfield, J. N. 1974a. Structuring complex systems, Battelle Monograph No 4,
Battelle Memorial Institute, Columbus. Ohio, USA.
115
116
LAMPIRAN
117
118
Lampiran 1 Kualifikasi pakar yang digunakan dalam penelitian
119
Lampiran 2 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Bogor
120
Lampiran 3 Struktur Organisasi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bogor
121
Lampiran 4 Jumlah unit usaha industri di Kota Bogor tahun 2006 2011
Tahun (jumlah unit usaha) Presentase
N CABANG INDUSTRI ) 2006 2007 2008 2009 2010 2011 peningkatan
(thn 2010-
O
2011)
I. INDUSTRI KIMIA, AGRO
DAN HASIL HUTAN
(IKAH)
INDUSTRI MENENGAH /
A
BESAR
. 9 15 22 25 25 25
1. Makanan
8 9 9 12 13 14
2. Minuman
10 10 11 12 13 13
3. Kayu Olahan dan rotan
8 10 11 11 12 13
4. Pulp dan Kertas
6 7 7 8 9 11
5. Bahan Kimia dan karet
2 2 2 2 2 2
6.Bahan Galiannon logam
5 8 6 8 9 9
7. Kimia
48 59 68 78 83 87 4.82
B INDUSTRI KECIL
FORMAL
1.Makanan 180 193 213 225 240 263
2. Minuman 40 49 58 61 69 78
3. Kayu Olahan dan rotan 111 114 118 120 120 121
4. Pulp dan Kertas 79 79 83 92 93 100
5. Bahan Kimia dan karet 13 13 23 23 23 24
6.Bahan Galiannon logam 37 37 37 37 37 37
7. Kimia 43 58 61 65 71 78
503 543 593 623 653 701 7.35
C INDUSTRI KECIL
NON FORMAL
1. Makanan 979 998 1.017 1.037 1.057 1.078
2. Minuman 203 207 211 216 221 226
3. Kayu Olahan dan rotan 80 82 84 84 84 84
4. Pulp dan Kertas 28 33 34 37 41 47
5. Bahan Kimia dan karet - - - - - -
6.Bahan Galiannon logam 35 35 36 36 36 36
7. Kimia 23 23 25 28 31 35
1,348 1.378 1.407 1.438 1.470 1.506 2.45
Sub Total I 1.899 1.980 2.068 2.139 2.206 2.294 3.99
II INDUSTRI LOGAM,
MESIN, ELEKTRONIKA
DAN ANEKA
122
Lampiran 5 Industri roti yang terdaftar di Dinasperindag Kota Bogor
KapasitasProduksi
NO NamaIndustri JenisKomoditi Unit Pertahun NilaiInvestasi(RP) TenagaKerja
1 ParkindoLestari Roti Buah 150.000 17,500,000 30
2 PTDunkindoLestari Roti Kg 100.000 17,500,000 30
3 PTTalkindoSelaksaA. Roti Buah 1.400.000 231,180,000 29
4 PTHeroSupermarket,tbk Roti buah 120.000 1,100,000 28
5 BogorPermai Roti Buah 1.080.000 359,300,000 25
6 DwiKandi Roti Buah 195.000 22,700,000 24
7 TistaRoti Kue Buah 360.000 25,000,000 20
8 PTMatahariPutraPrima Roti Buah 57.600 248,000,000 15
9 LautanBakery Roti Kg 39.000 34,500,000 15
10 Merdeka Roti Buah 270.000 175,000,000 14
11 MahkotaBakery Roti Buah 600.000 16,000,000 12
12 PT.Ramayana Kg 7.200 41,000,000 12
13 ShanyBakery Roti Buah 200.000 11,000,000 11
14 TanTjoan Roti Buah 150.000 13,000,000 11
15 Venus Roti Buah 1.800.000 364,700,000 11
16 Berkah Roti Buah 750.000 2,680,000 10
17 EvyBoy Roti,Kue Buah 500.000 20,000,000 10
18 Elsari Roti/Brwonies Buah 16.800 85,000,000 10
19 DeParisRoti Roti Buah 270.000 120,000,000 9
20 PTMustikaCitraRasaHolla Roti Buah 46.000 140,400,000 9
21 Meridien Roti Buah 150.000 15,000,000 8
22 NooraCake Roti Buah 30.000 30,000,000 8
23 SuksesBakeri Roti Buah 780.000 14,600,000 7
24 YunYen Roti Buah 500.000 1,350,000 6
25 NilaRosaBakery Roti Dus 50.000 10,000,000 6
26 FamilyBakery Roti Buah 180.000 15,000,000 6
27 Delicius Roti Kg 4000 16,000,000 6
28 Bogasari Roti Buah 150.000 3,000,000 6
29 HeroySari Roti Buah 100.000 3,500,000 6
30 SAERoti Roti Buah 750.000 30,000,000 6
31 DahlanZein Roti Buah 180.000 8,500,000 6
32 PIAApple PieApple Loyang 7.500 81,500,000 6
33 ManisBakery Roti Buah 260.000 1,250,000 5
34 Bambi Rotidankue Buah 2.600.000 28,000,000 5
35 PTEkaDasaPerkasa Roti Buah 180.000 3,500,000 5
36 Rifia Roti Buah 50.000 40,000,000 5
37 3Roses Roti,Kue Kg 1.200 49,470,000 5
38 JumboBakery Roti Buah 108.000 80,000,000 5
39 Suryabakery Roti Buah 180.000 1,200,000 4
40 DwiRaboBakery Roti Buah 180.000 2,000,000 4
41 AzakiaCake&Bakery Roti,kue Kg 1.500 40,060,000 4
42 Keisha Kue Loyang 9.216 45,800,000 4
43 SingaporeBakery Roti,kue Kg 12.000 49,770,000 4
44 MekarJaya Roti Buah 75.000 9,800,000 4
45 Edi'sBakery Roti Buah 35.000 19,300,000 3
46 Pelangi Kue Kg 50.000 3,000,000 3
123
Lampiran 6 Industri roti yang mendapatkan SP-PIRT dari Dinas Kesehatan Bogor
124
Lampiran 7 Contoh formulir penilaian CPPB-IRT
125
Dengan kriteria penilaian masing-masing unsur sebagai berikut :
126
dibuka tutup dengan baik, dilengkapi kasa yang dapat dilepas sehingga mudah
dibersihkan
C : tidak seluruhnya seperti (B) tetapi mudah dibersihkan
K : tidak sesuai persyaratan dan sulit dibersihkan
8. Kebersihan pintu, jendela, dan lubang angin
B : pintu, jendela, dan lubang angin selalu dalam keadaan bersih
C : pintu, jendela, dan lubang angin selalu dalam keadaan kurang bersih
K : pintu, jendela, dan lubang angin dalam keadaan kotor
B.2. Kelengkapan Ruang Produksi
1. Penerangan
B : ruang produksi cukup terang
K : ruang produksi kurang terang
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K
2. Perlengkapan pertolonggan pertama pada kecelakaan (P3K)
B : ada perlengkapan P3K yang memadai
C : ada perlengkapan P3K yang tidak memadai
K : tidak ada perlengkapan P3K
B.3. Tempat Penyimpanan
1. Tempat Penyimpanan Bahan dan Produk:
B : tempat penyimpanan bahan pangan dengan produk akhir terpisah dan selalu dalam
keadaan bersih
C : tersedia tempat penyimpanan seperti (B) tetapi tidak teratur dan kurang bersih
K : tempat penyimpanan tidak terpisah
2. Tempat Penyimpanan Bahan Bukan Pangan
B : tempat penyimpanan bahan bukan pangan terpisah dengan bahan pangan dan produk
akhir serta selalu dalam keadaan.bersih
K : tidak ada tempat penyimpanan terpisah unnk bahan bukan pangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K
127
memenuhi persyaratan air bersih
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
3. Air yang Konlak Langsung Dengan Pangan :
B : memenuhi persyaratan air minum
K : tidak memenuhi persyaratan air minum
unsur hanya ada "B" dan "K".
128
2. Kesehatan karyawan
B : karyawan yang bekerja di pengolahan pangan dalam keadaan sehat
K : ada karyawan yang bekerja di pengolahan pangan dalam keadaan sakit atau menunjukkan
gejala sakit
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
G.2. Kebersihan Karyawan
1. Kebersihan Badan
B : semua karyawan selalu menjaga kebersihan badan
K : ada karyawan yang kurang menjaga kebersihan badan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. Kebersihan Pakaian/perlengkapan Kerja:
B : pakaian/perlengkapan kerja selalu dalam keadaan bersih
K : pakaian/perlengkapan kerja kurang bersih atau kotor
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
3. Kebersihan Tangan
B : semua karyawan mencuci tangan dengan benar dan tepat
K : hanya sebagian karyawan mencuci tangan dengan benar dan tepat
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
4. Perawatan Luka
B : luka di balut dengan perban atau plester berwama terang.
K : luka dibiarkan terbuka
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
G.3. Kebiasaan Karyawan
1. Perilaku Karyawan
B : semua karyawan tidak ada yang mengunyah, makan, nunum dan sebagainya sambil
mengolah pangan
K : sebagian karyawan mengunyah, makan, minum, dan sebagainya sambil mengolah pangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. Perhiasan dan asesoris lainnya
B : semua karyawan yang bekerja di pengolahan pangan tidak memakai perhiasan dan asesoris
lainnya
K : ada karyawan yang bekerja di pengolahan pangan memakai perhiasan dan asesoris lainnya
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
129
5. Penetapan tanggal kadaluarsa dan kode produksi
B : tanggal kadaluarsa dan kode produksi dicantumkan pada label
C : tanggal kadaluarsa atau kode produksi dicantumkan pada label
K : tidak ditetapkan tanggal kadaluarsa dan kode produksi
GROUP J : PENYIMPANAN
1. Penyimpanan Bahan baku
B : bahan baku disimpan terpisah dengan produk akhir
K : tidak ada pemisahan dalam penyimpanan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
2. Tata cara penyimpanan
B : bahan pangan/produk yang lebih dahulu masuk/diproduksi digunakan/diedarkan lebih
dahulu
K : penggunaan/peredaran bahan pangan/produk tidak seperti (B)
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
3. Penyimpanan bahan berbahaya
B : bahan berbahaya disimpan di ruang khusus dan diawasi penggunaannya
K : bahan berbahaya disimpan sembarangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
4. Penyimpanan label dan kemasan
B : kemasan dan label disimpan secara rapih dan teratur
K : kemasan dan label disimpan sembarangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K'.
5. Penyimpanan Peralalan
B : peralatan disimpan dengan baik di tempat bersih
K : peralatan disimpan sembarangan
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
130
Penilaian unsur hanya ada "B" dan "K".
131
Lampiran 8 Hasil pengolahan ISM
132
B. Untuk Elemen Kendala (Weakness Threats)
1. Hasil Pendapat Agregat Pakar
133
C. Untuk Elemen Aktor Pelaku
1. Hasil Pendapat Agregat Pakar
134
Lampiran 9 Hasil penentuan rating pada Matrik IEF dan Matrik EFE
A. Rating pada Matrik IEF
NilaiRatingMasingmasingPakar
No Faktor Internal A B C D E Ratarata
Kekuatan (STRENGH)
A Lokasi Bogor yang strategis 3 4 4 3 4 3.6
B Sektor industri makanan-minuman menjadi sector basis dalam
perekonomian Bogor 4 4 3 4 4 3.8
C Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi
4 4 4 3 4 3.8
D Dukungan Sarana dan Prasarana kota memadai 4 3 4 3 3 3.4
E Kebijakan Pembebasan biaya SPP-IRT 3 4 4 4 4 3.8
F Sumber keuangan daerah cukup baik 4 3 3 3 3 3.2
G Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD 4 3 3 3 3 3.2
Kelemahan (WEAKNESS )
H Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah
maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri 1 2 1 2 1 1.4
I Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI masih terbatas 1 1 1 1 1 1.0
J Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang 1 1 1 1 1 1.0
K Keterbatasan modal IKM 2 2 2 2 1 1.8
L Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi informasi
masih terbatas 2 2 2 2 2 2.0
M Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM 1 1 1 2 1 1.2
N Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler 1 1 1 1 1 1.0
135
Lampiran 10 Hasil penentuan bobot pada Matrik IEF dan Matrik EFE
A. Bobot pada Matrik IEF
NilaiRatingMasingmasingPakar
No Faktor Internal A B C D E Ratarata
Kekuatan
A Lokasi Bogor yang strategis 3 4 4 3 4 3.6
B Sektor industri makanan-minuman menjadi sector basis dalam
perekonomian Bogor 4 4 3 4 4 3.8
C Memiliki infrastruktur pendukung laboratorium uji terakreditasi
4 4 4 3 4 3.8
D Dukungan Sarana dan Prasarana kota memadai 4 3 4 3 3 3.4
E Kebijakan Pembebasan biaya SPP-IRT 3 4 4 4 4 3.8
F Sumber keuangan daerah cukup baik 4 3 3 3 3 3.2
G Sudah memiliki jaringan koordinasi lintas SKPD 4 3 3 3 3 3.2
Kelemahan
H Belum ada Rencana Strategis Aksi Pangan-Gizi Daerah
maupun Rencana Strategis Pengembangan Industri 1 2 1 2 1 1.4
I Jumlah dan keahlian tenaga PKP dan FDI masih terbatas 1 1 1 1 1 1.0
J Komitmen dan budaya kerja IKM masih kurang 1 1 1 1 1 1.0
K Keterbatasan modal IKM 2 2 2 2 1 1.8
L Media informasi/penerbitan publikasi/ tehnologi informasi
masih terbatas 2 2 2 2 2 2.0
M Keterbatasan pemahaman tenaga kerja di IKM 1 1 1 2 1 1.2
N Mekanisme pengawasan/survailen belum berjalan reguler 1 1 1 1 1 1.0
136