Anda di halaman 1dari 157

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN

AGROINDUSTRI KOPI GAYO

RAHMAT FADHIL

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Strategi


Pengembangan Kelembagaan Agroindustri Kopi Gayo adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 14 Februari 2018

Rahmat Fadhil
NIM F361150061
iv

RINGKASAN

RAHMAT FADHIL. Strategi Pengembangan Kelembagaan Agroindustri Kopi


Gayo. Dibimbing oleh M. SYAMSUL MAARIF, TAJUDDIN BANTACUT, dan
AJI HERMAWAN.

Kelembagaan agroindustri merupakan salah satu aspek yang paling strategis


dalam pembangunan agroindustri. Kepentingan pembangunan agroindustri sangat
berkaitan dengan keperluan pengembangan kegiatan ekonomi berbasis pertanian.
Suatu alternatif model dan pola kelembagaan yang dipilih harus
mempertimbangkan inovasi yang akan digunakan, kelayakan, biaya paling rendah,
dan konsekuensi atau resiko sekecil mungkin.
Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh, sehingga dapat diketahui
kelemahan dan kekurangan berdasarkan penilaian kematangan kelembagaan yang
dilakukan serta bagaimana memformulasikan pola pengembangannya ke depan.
Adapun tahapan penelitian ini meliputi: 1) analisis situasional dan strategi
intervensi kelembagaan agroindustri kopi Gayo dengan metode soft systems
methodology (SSM) dan intervensi kelembagaan, 2) desain dan analisis sistem
penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo
menggunakan Daur Hidup Pengembangan Sistem (System Development Life Cycle
(SDLC)), use case diagram, Business Proces Model and Notation (BPMN) serta
survei pakar dan para pihak (stakeholder), 3) analisis strategi pengembangan
sumberdaya manusia sebagai aspek pendukung kelembagaan agroindustri kopi
Gayo dengan metode SSM, 4) analisis strategi prospektif pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo dengan pendekatan parcipatory prospective
analysis (analisis prospektif) dan analitical hierarchy process (AHP), dan 5)
formulasi strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo secara
komprehensif menggunakan pendekatan interpretive structural modeling (ISM).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kelembagaan agroindustri
kopi Gayo saat ini telah berkembang dalam 4 bentuk kelembagaan, yaitu
kelembagaan sertifikasi, kelembagaan koperasi, kelembagaan kemitraan dagang
umum dan kelembagaan usaha mandiri. Adapun strategi intervensi kelembagaan
sertifikasi dan kelembagaan koperasi adalah melalui asistensi, sedangkan
kelembagaan kemitraan dagang umum adalah melalui fasilitasi, dan kelembagaan
usaha mandiri adalah melalui promosi. Untuk menilai tingkat kematangan
kelembagaan suatu agroindustri telah berhasil dikembangkan suatu sistem penilaian
kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri (Quantitative Assessment
Systems for Institutional Maturity of Agroindustry) yang disingkat dengan
QASIMA. Pada aplikasi penilaian kematangan kelembagaan terhadap agroindustri
kopi Gayo menujukkan pada level 3 yaitu tahap pertumbuhan (growing). Salah satu
aspek yang juga penting untuk dipertimbangkan dalam pengembangan
kelembagaan agroindustri adalah aspek sumberdaya manusia (SDM) agroindustri
itu sendiri. Pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo merupakan tindakan
strategis untuk melahirkan kompetensi dan kualitas pelaku agroindustri dengan
daya saing yang tinggi terutama dalam menghadapi persaingan global melalui
berbagai program pengembangan kapasitas SDM. Untuk terus bertahan dan
menghadapi perubahan, suatu analisis prospektif pengembangan kelembagaan
v

agroindustri kopi Gayo telah berhasil dilakukan, sehingga menghasilkan 3 skenario


pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo ke depan, yaitu skenario
optimis, skenario moderat dan skenario pesimis. Terakhir, sebagai akumulasi
keseluruhan riset ini adalah formulasi strategi pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo secara komprehensif meliputi elemen tujuan program,
elemen kendala, elemen aktivitas, elemen indikator keberhasilan program dan
elemen pelaku. Riset disertasi doktoral ini telah memberikan suatu jalan tentang
arah, pola, skenario dan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi
Gayo ke depan, sehingga harapannya dapat menjadi modal dan model
pengembangan agroindustri lainnya.

Kata Kunci: agroindustri, kelembagaan, kopi Gayo, strategi.


vi

SUMMARY

RAHMAT FADHIL. Development Strategies of Gayo Coffee Agroindustrial


Institutions. Supervised by M. SYAMSUL MAARIF, TAJUDDIN BANTACUT
and AJI HERMAWAN.

Agroindustry institution is one of the most strategic elements in agroindustry


development. The importance of agro-industrial development is deeply associated
to necessity for development of agriculture-based economic activities. An
alternative model and an institutional model selected should consider the innovation
taken, feasibility, the lowest cost, the lowest possible consequences or risks.
The purpose of this research was to design development strategies of Gayo
coffee agroindustrial institutions in Aceh Province, so that the weakness based on
institutional maturity assessment which was conducted and how to formulate
development pattern in the future could be determined. Several stages in this
research included: 1) situational analysis and intervention strategy of Gayo coffee
agroindustry institutional using soft systems methodology (SSM) method and
institutional intervention, 2) design and analysis of quantitative assessment system
for Gayo agroindustry institutional maturity using System Development Life Cycle
(SDLC), use case diagrams, Business Procedures Model and Notation (BPMN) and
surveys of expert and stakeholders; 3) human resource development strategy
analysis as supporting aspects of Gayo coffee agroindustry institutional using SSM
method; 4) prospective analysis strategy of Gayo agroindustry institutional
development through parcipatory prospective analysis and analitical hierarchy
process (AHP) approaches; and 5) formulation of Gayo coffee agroindustry
instutional development strategy comprehensively through interpretive structural
modeling (ISM) approach.
Based on the results, it was known that Gayo coffee agroindustry
institutional had developeded into 4 institutional forms, namely certification
institutional, cooperative institutional, general trading partnership institutional and
independent business institutional. Intervention strategy of certification and
cooperative institutional was through assistance, whereas general trading
partnership institutional was through facilitation, and independent business
institutional was through promotion. To assess maturity levels of an agroindustry
institutional, a Quantitative Assessment Systems for Institutional Maturity of
Agroindustry (QASIMA) had successfully developeded. Institutional maturity
assessment application toward Gayo coffee agroindustry showed that its
institutional maturity was at level 3, that is growing stage (growing). One aspect
which was also important in considering the development of agroindustry
institutions was human resource (HR) aspect of the agroindustry itself. The
development of Gayo coffee agroindustry was a strategic to create the competence
and quality of agroindustry actors with high competitiveness, especially in facing
global competition through various human resource capacity development
programs. To survive and to face transformation, a prospective analysis of Gayo
coffee agroindustry institutional development had been successfully conducted,
resulting in 3 scenarios of Gayo coffee agroindustry institutional development in
the future, namely optimistic scenario, moderate scenario and pessimistic scenario.
Finally, as an overall accumulation of this research was formulation of Gayo coffee
vii

agroindustry institutional development strategy comprehensively including


objective elemen, constraint element, activity element, success indicator element,
and actors element programs. This doctoral dissertation research had provided an
approach regarding the direction, pattern, scenario and strategy of Gayo coffee
agroindustry institutional development in the future, so that it can be a base and a
model for other agro-industry development.

Keywords: agroindustry, institutional, Gayo coffee, strategy.


viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018


Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ix

STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN


AGROINDUSTRI KOPI GAYO

RAHMAT FADHIL

Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : Prof Dr Ir Sukardi, MM


Dr Ir Saptana, MSi Drh R Harry
Soehartono, MAppSc PhD Dr Drh Anita Esfandiari, MSi

Penguji Luar Komisi pada Sidang Promosi : Prof Dr Ir Sukardi, MM


Dr Ir Saptana, MSi h Anita
Esfandiari, MSi
Dr Drh Sugito, MSi
xi

Judul Disertasi : Strategi Pengembangan Kelembagaan Agroindustri Kopi Gayo


Nama : Rahmat Fadhil
NIM : F361150061

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir M Syamsul Maarif, MEng, Dipl Ing, DEA


Ketua

Dr Ir Tajuddin Bantacut, MSc Dr Ir Aji Hermawan, MM


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Plt. Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Industri Pertanian

Prof Dr Ir Machfud, MS Dr Ir Eka Intan Kumala Putri, MSi

Tanggal Ujian Tertutup: Tanggal Lulus:


29 Januari 2018

Tanggal Sidang Promosi:


14 Februari 2018
xii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai November 2017 ini ialah
Strategi Pengembangan Kelembagaan Agroindustri Kopi Gayo, dengan tahapan
penelitian meliputi Analisis Situasional dan Strategi Intervensi Kelembagaan
Agroindustri Kopi Gayo, Desain dan Analisis Sistem Penilaian Kuantitatif
Kematangan Kelembagaan Agroindustri, Analisis Strategi Pengembangan
Sumberdaya Manusia Agroindustri Kopi Gayo, Analisis Prospektif Pengembangan
Kelembagaan Agroindustri Kopi Gayo, dan Formulasi Strategi Pengembangan
Kelembagaan Agroindustri Kopi Gayo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir M Syamsul Maarif
MEng Dipl Ing DEA, Dr Ir Tajuddin Bantacut MSc, dan Dr Ir Aji Hermawan MM
selaku komisi pembimbing, Prof Dr Ir Sukardi MM dan Dr Ir Saptana MSi sebagai
penguji luar komisi serta Ketua dan Sekretaris Program Doktor Teknologi Industri
Pertanian IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Rektor IPB, Ketua
Program Studi Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dekan
Fakultas Pertanian Unsyiah, dan Rektor Unsyiah. Penghargaan penulis sampaikan
kepada Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi Doktor
melalui Beasiswa Program Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Terima kasih
juga untuk sahabat di Program Studi Teknologi Industri Pertanian baik angkatan
2015 maupun lainnya, Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) Bogor,
Forum Keluarga Unsyiah Bogor (FORKUB), Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong
(IMTR), Taman Iskandar Muda (TIM) Bogor dan Jakarta, Forum Mahasiswa
Pascasarjana (FORUM WACANA) IPB dan seluruh tetangga di perumahan Ziara
Valley RT 06 RW 02 Marga Jaya - Bogor, tempat penulis tinggal bersama keluarga
selama 2,5 tahun dalam menyelesaikan pendidikan S3 di IPB.
Teristimewa karya ini penulis persembahkan untuk, istri, anak-anak, kedua
orang tua dan mertua serta seluruh keluarga tercinta yang tanpa kasih sayang, doa,
keikhlasan dan motivasi yang tulus tidak mungkin perjalanan panjang dengan
penuh suka dan duka bisa penulis selesaikan.
Akhirnya hanya ALLAH SWT pemilik segala kesempurnaan, segala
kekurangan dalam penulisan ini hanyalah kekhilafan penulis, kritik dan saran ke
arah yang lebih baik sangat penulis harapkan dan semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Bogor, 14 Februari 2018

Rahmat Fadhil
xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii


DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR ISTILAH xv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan dan Tahapan Penelitian 5
Ruang Lingkup 5
Manfaat Penelitian 5
Rencana Kontribusi 6
Sistematika Penulisan 7
2 TEORI, KONSEP DAN PERSPEKTIF ANALISIS 9
Pendahuluan 9
Pembangunan Agroindustri Kopi Gayo 10
Terminologi Kelembagaan 13
Studi Kelembagaan 15
Pengembangan Kelembagaan Agroindustri di Indonesia 19
Model dan Pola Kelembagaan Agroindustri 21
Strategi Riset dan Analisis Kelembagaan 22
Soft System Methodology 23
Intervensi Kelembagaan 24
Penilaian Kematangan Kelembagaan 25
Analisis Prospektif 28
Analitical Hierarchy Process 29
Interpretive Structural Modeling 30
Penelitian Terdahulu 31
Analisis 33
Tahapan Penelitian dan Metode 36
3 ANALISIS SITUASIONAL DAN STRATEGI INTERVENSI
KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI KOPI GAYO 38
Pendahuluan 38
Metode 40
Hasil dan Pembahasan 42
Simpulan 56
4 DESAIN DAN ANALISIS SISTEM PENILAIAN KUANTITATIF
KEMATANGAN KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI 57
Pendahuluan 57
Metode 58
Hasil dan Pembahasan 59
Simpulan 67
xiv

5 STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA


AGROINDUSTRI KOPI GAYO 69
Pendahuluan 69
Metode 70
Hasil dan Pembahasan 72
Simpulan 81
6 STRATEGI PROSPEKTIF PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
AGROINDUSTRI KOPI GAYO 82
Pendahuluan 82
Metode 83
Hasil dan Pembahasan 87
Simpulan 92
7 FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN
AGROINDUSTRI KOPI GAYO 93
Pendahuluan 93
Metode 94
Hasil dan Pembahasan 97
Simpulan 102
8 PEMBAHASAN UMUM 103
Pendahuluan 103
Sintesa 104
Generalisasi Konsep dan Metode 106
Verifikasi dan Validasi 108
Implikasi Manajerial 108
Kontribusi 109
Keterbatasan 109
Penutup 110
9 SIMPULAN DAN SARAN 111
Simpulan 111
Saran 111
DAFTAR PUSTAKA 113
LAMPIRAN 131
RIWAYAT HIDUP 137
xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbedaan antara kelembagaan/lembaga dan keorganisasian/


organisasi 14
Tabel 2 Perbedaan antara model ekonomi neo-klasik (mainstream
economics) dengan ekonomi kelembagaan (institutional
economics) 17
Tabel 3 Berbagai model penilaian kelembagaan 27
Tabel 4 Jenis dan sumber data 35
Tabel 5 Tahapan riset pengembangan kelembagaan agroindustri kopi
Gayo 37
Tabel 6 Elemen dan deskripsi CATWOE 41
Tabel 7 Jenis sertifikasi produksi kopi Gayo 43
Tabel 8 Analisis CATWOE 47
Tabel 9 Perbandingan model dengan dunia nyata, rumusan jangka
Pendek (3-4 tahun mendatang) 51
Tabel 10 Kriteria, nilai dan atribut penilaian kuantitatif
kematangan kelembagaan agroindustri 64
Tabel 11 Analisis hirarki permasalahan 73
Tabel 12 Analisis CATWOE 76
Tabel 13 Perbandingan model dengan dunia nyata 78
Tabel 14 Pedoman penilaian analisis prospektif 85
Tabel 15 Skala perbandingan 87
Tabel 16 Definisi faktor dalam strategi pengembangan kelembagaan 88
Tabel 17 Prioritas strategi pengembangan kelembagaan 89
Tabel 18 Skenario pengembangan kelembagaan 91
Tabel 19 Identifikasi elemen dan sub-elemen 99

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sistematika penulisan 8
Gambar 2 Pilar norma kelembagaan dalam pendekatan kebudayaan 16
Gambar 3 Pengelompokkan kelembagaan di masyarakat 16
Gambar 4 Kelembagaan berdasarkan kesatuan aktivitas 17
Gambar 5 Kelembagaan dalam sistem agribisnis 18
Gambar 6 Kelembagaan berdasarkan orientasi, tujuan pelayanan dan
sifat keanggotaan 18
Gambar 7 Kelembagaan berdasarkan fungsi yang dijalankan 18
Gambar 8 Strategi intervensi pengembangan kelembagaan 24
Gambar 9 Diagram hirarki kajian agroindustri dengan fokus tentang
kelembagaan 26
Gambar 10 Skenario masa depan dalam analisis prospektif 28
Gambar 11 Persentase publikasi penelitian kopi Gayo 32
Gambar 12 Tahapan proses penelitian 34
Gambar 13 Tahapan soft systems methodology 40
Gambar 14 Rich picture permasalahan 45
Gambar 15 Kopi Gayo dalam berbagai tahapan pengolahan 46
xvi

Gambar 16 Model konseptual kelembagaan agroindustri kopi Gayo


secara umum 49
Gambar 17 Model konseptual kelembagaan sertifikasi 49
Gambar 18 Model konseptual kelembagaan koperasi 50
Gambar 19 Model konseptual kelembagaan kemitraan dagang umum 50
Gambar 20 Model konseptual kelembagaan usaha mandiri 51
Gambar 21 Formulasi strategi intervensi kelembagaan agroindustri kopi
Gayo 55
Gambar 22 Daur hidup pengembangan sistem 59
Gambar 23 Diagram use case 61
Gambar 24 BPMN desain dan analisis sistem 62
Gambar 25 Sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan
agroindustri 66
Gambar 26 Hasil penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo 67
Gambar 27 Rich picture permasalahan 74
Gambar 28 Model konseptual strategi pengembangan SDM 77
Gambar 29 Formulasi strategi pengembangan SDM agroindustri kopi
Gayo 80
Gambar 30 Diagram alir proses kajian 84
Gambar 31 Diagram pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam
sistem 86
Gambar 32 Analisis prospektif kebutuhan stakeholders 88
Gambar 33 Hasil analisis menggunakan software Expert Choice 89
Gambar 34 Pemetaan keadaan pengembangan kelembagaan di masa
mendatang 90
Gambar 35 Tahapan menggunakan metode ISM 96
Gambar 36 Analisis MICMAC 97
Gambar 37 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen tujuan
Program 98
Gambar 38 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen kendala 98
Gambar 39 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen aktivitas 100
Gambar 40 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen indikator
keberhasilan program 100
Gambar 41 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen pelaku 101
Gambar 42 Penyusunan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri 107

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat izin penelitian 131
Lampiran 2 Foto-foto kegiatan penelitian 132
Lampiran 3 Berbagai tahapan pengolahan kopi Gayo 133
Lampiran 4 Beberapa bentuk pengemasan kopi Gayo 134
Lampiran 5 Generasilisasi konsep, proses dan prosedur strategi
pengembangan kelembagaan agroindustri (kasus
agroindustri kopi Gayo) 135
xvii

DAFTAR ISTILAH

AEKI Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia


AHP Analitical Hierarchy Process
APKI Asosiasi Pedagang Kopi Indonesia
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
BPMN Business Proces Model and Notation
BPTP Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
BUMD Badan Usaha Milik Daerah
CATWOE Costumer, Actor, Transformation, World-view, Owner, Environment
Digraph Directional Graph
Disbun Dinas Perkebunan
Ditjenbun Direktorat Jendral Perkebunan
Fairtrade Sertifikasi produksi kopi yang bertujuan untuk memastikan
perdagangan yang adil bagi produsen
ICCRI Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute
ICO International Coffee Organization
IIED International Institute for Environment and Development
IMI Institutional Maturity Index
IPB Institut Pertanian Bogor
ISM Interpretive Structural Modeling
Kementan Kementerian Pertanian
Kopi Gayo Kopi yang dibudidayakan di kawasan Dataran Tinggi Gayo
Kriteria Suatu prinsip atau patokan dalam menilai sesuatu
Kuantitatif Penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan
fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuannya adalah
mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-
teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam.
Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian
kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental
antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-
hubungan kuantitatif.
LIPSOR Laboratory for investigation in Prospective Strategy and
Organization
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MEA Masyarakat Ekonomi ASEAN
MICMAC Matrice d’Impacts Croisés-Multiplication Appliquee à un
Classement atau Matrix of Cross Impact Multiplications Applied to
a Classification (MIC-MAC), merupakan suatu analisis yang
digunakan untuk menganalisis kekuatan penggerak (driver power)
dan kekuatan ketergantungan (dependence power) dari suatu
variabel, sehingga hasil dari analisis dapat diindentifikasi sebagai
variabel kunci didalam sistem
MIR Microfinance Institutional Rating
Model Rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek,
sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau
idealisasi. Bentuknya dapat berupa model fisik (maket, bentuk
xviii

prototipe), model citra (gambar rancangan, citra komputer), atau


rumusan matematis.
Organic Sertifikasi produksi kopi dengan tujuan menciptakan sistem
pertanian berkelanjutan yang selaras dengan lingkungan, menjamin
biodiversitas, dan peningkatan kesuburan tanah
PAD Pendapatan Asli Daerah
Pemda Pemerintah Daerah
PRE-NET Policy Research Expert Network
PSEKP Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
PT Perguruan Tinggi
QASIMA Quantitative Assessment Systems for Institutional Maturity of
Agroindustry
Rainforest Sertifikasi produksi kopi dengan misi memajukan produser dan
pengenalan merek yang menggambarkan komitmen terhadap
keberlanjutan
Ranking Pemberian nilai suatu peringkat untuk setiap elemen keputusan yang
menunjukkan derajat kepentingan relatif elemen tersebut terhadap
keputusan yang akan dibuat, biasanya disusun berdasarkan
peringkatnya, yaitu pertama, kedua dan seterusnya.
Rating Pemberian nilai tertentu, misalnya antara 0 sampai 100, sehingga
perlu dipahami bahwa bila suatu elemen diberi nilai tinggi, maka
elemen lainnya haruslah diberi nilai lebih rendah.
RDs Root Definition (definisi akar)
Rich Picture Penggambaran peta dunia nyata
Ristekdikti Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi
SCAA Specialty Coffee Association of America
SDLC System Development Life Cycle
SDM Sumberdaya Manusia
Sistem Suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang
dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi
atau energi dalam mencapai suatu tujuan. Istilah ini sering
dipergunakan untuk menggambarkan suatu set entitas yang saling
berinteraksi.
Specialty Kopi yang memiliki aroma khas dengan perisa (flavor) kompleks
dan kekentalan (body) yang kuat
SSIM Structural Self Interaction Matrix
SSM Soft Systems Methodology
Stakeholders Para pihak
Strategi Cara yang terencana untuk mencapai suatu tujuan yang bersifat
incremental (senantiasa meningkat) dan berkesinambungan,
sehingga dapat dimaknai sebagai sesuatu yang dimulai dari apa yang
memungkinkan terjadi kemudian, bukan dimulai dari apa yang
terjadi
UGP Universitas Gajah Putih
UMKM Usaha Mikro Kecil dan Menengah
UNSYIAH Universitas Syiah Kuala
WUM Water Utility Maturity
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelembagaan agroindustri merupakan perangkat formal dan non-formal yang


mengatur perilaku (behavioural rules) dan dapat memfasilitasi terjadinya
koordinasi atau mengatur hubungan-hubungan interaksi antar berbagai individu.
Masyarakat membuat pengaturan perilaku untuk semua individu bertujuan agar
individual tidak mengancam/merusak keberlanjutan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan. Contoh dari kelembagaan adalah kelembagaan pertukaran dari barang
dan jasa melalui ekonomi pasar (market economy) atau kelembagaan non pasar
yang banyak terdapat di wilayah pedesaan seperti bagi hasil atau sewa atau hak
pakai, dimana pembagian hasil diatur menurut kesepakatan bersama (Ikatrinasari et
al. 2011). Nasution (2002) mendefinisikan kelembagaan adalah wadah dan sebagai
norma suatu institusi dengan seperangkat aturan, prosedur, perilaku individual dan
sangat penting artinya bagi pengembangan pertanian. Juga sebagai suatu sistem
organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya yang sekaligus mengatur hubungan
antara seorang dengan lainnya. Sementara Walker (1992); Arkadie (1990) dan
Robbins (2009) mendefinisikan kelembagaan atau organisasi adalah kumpulan
beberapa orang yang secara sadar dengan sebuah batasan yang relatif dapat
diidentifikasi dan berkerjasama untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Gibson et al.
(2011) menyatakan organisasi adalah kesatuan yang memungkinkan masyarakat
mencapai suatu tujuan yang tidak dapat dicapai secara individu atau perseorangan.
Beberapa pengertian kelembagaan tersebut menunjukkan bahwa peranan
utama kelembagaan adalah untuk mengurangi ketidakteraturan dengan menentukan
suatu struktur yang stabil bagi interaksi manusia. Mengingat posisi strategisnya,
peran kelembagaan dalam upaya akselerasi pembangunan pada sektor agroindustri,
maka dalam kaidah sederhananya dapat disampaikan bahwa apabila kelembagaan
agroindustri yang ditopang oleh individu-individu yang mampu dalam
mengharmonisasikan dan mensinergikan pengetahuannya dengan kapasitas yang
unggul mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, implementasi dan evaluasi
berkesinambungan, maka pembangunan agroindustri rakyat akan semakin mudah
untuk dilakukan (Bunch dan Lopez 1996; Cernea 1993; de los Reyes dan Jopillo
1986; Kottak 1991; Uphoff 1992).
Kehadiran agroindustri sebagai salah satu pilar dalam sistem perekonomian
Indonesia sekarang ini menunjukkan bahwa keberadaannya menjadi sangat
strategis. Namun pada kenyataannya memperlihatkan bahwa sistem agroindustri
nasional belum menunjukkan kinerja yang baik. Menurut Maarif (2000)
menyatakan bahwa kinerja kelembagaan agroindustri dan agribisnis secara nasional
belum optimal. Beliau berpendapat pertumbuhan agroindustri dan agribisnis di
Indonesia lebih disebabkan oleh kondisi eksternal yang melatarbelakanginya
sehingga sektor tersebut memungkinkan terus berkembang. Persoalan mendasarnya
adalah terlihat dari dua hal; Pertama, pengembangan sistem agroindustri dan
agribisnis tidak dikembangkan dari faktor internalnya secara terintegrasi. Kedua,
proses pertumbuhan dan perubahan pada sistem agroindustri dan agribisnis tidak
dikelola dengan baik (profesional). Kedua hal inilah yang menjadi penyebab utama
keterlambatan pengembangan sistem agroindustri dan agribisnis di Indonesia. Oleh
2

karenanya kajian-kajian yang mendalam berkaitan dengan faktor internal, terutama


kelembagaan sebagai organisasi dan kapasitas sumberdaya manusia menjadi
penting untuk dikaji secara holistik dengan memperhatikan berbagai aktor yang
terlibat di dalamnya.
Sebagai sektor unggulan, agroindustri sangat ditunjang oleh kemampuan
dan keterampilan para pelakunya dari berbagai sub-sistem dalam menjalankan
perannya masing-masing, termasuk komitmen untuk secara bersama-sama
mengembangkan seluruh sub-sistem agroindustri. Seluruh komponen sub-sistem
agroindustri yang meliputi organisasi, manajemen, mekanisme, sistem dan
prosedur dari sub-sistem produksi, penanganan pasca panen sampai pemasaran dan
distribusi, harus mampu mengemban misinya dan tidak hanya dalam menjalankan
fungsinya secara parsial, tetapi juga harmonisasi dalam pengembangan agroindustri
secara integral (Maarif 2000). Siregar (2006) menyatakan bahwa sektor industri
diharapkan menjadi motor penggerak pembangunan perekonomian nasional karena
sektor ini memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang kuat serta memiliki
daya saing yang berkelanjutan dan tangguh di pasar internasional. Menurut
kebijakan Departemen Perindustrian Republik Indonesia tahun 2006 menyatakan
bahwa salah satu industri yang diprioritaskan pengembangannya dimasa yang akan
datang adalah industri berbasis agro (agroindustri), karena memiliki karakteristik
industri berkelanjutan sebab lebih mengandalkan pada sumberdaya manusia
berpengetahuan dan terampil, sumberdaya alam yang terbarukan serta penguasaan
teknologi. Indriati (2015) meyakini bahwa sumberdaya manusia memiliki peran
penting dalam mencapai keberhasilan, karena fasilitas yang canggih dan lengkap
belum merupakan jaminan akan berhasilnya suatu organisasi tanpa diimbangi oleh
kualitas sumberdaya manusia yang akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Oleh
karena itu, individu-individu yang terlibat dalam suatu usaha dapat mempengaruhi
keberhasilan dari usaha tersebut.
Menurut Gouillart dan Kelly (1996), revitalisasi dalam suatu industri
merupakan proses mendorong pertumbuhan organisasi dengan mengaitkan dan
mengharmonisasikan organisasi kedalam lingkungannya. Revitalisasi menuntut
dilakukannya tiga hal, yaitu: mencapai fokus pasar, menemukan bisnis baru,
merubah aturan-aturan melalui teknologi informasi, dan aplikasi revitalisasi dalam
kelembagaan agribisnis (Maarif 2000). Anderson dan Anderson (2010)
menjelaskan bahwa diperlukan transformasi yang merupakan perubahan
fundamental dari suatu keadaan ke keadaan lainnya sehingga membutuhkan
perubahan budaya yang signifikan, perilaku, pola pikir untuk mengeksekusi secara
baik dan terus-menerus sepanjang waktu. Perubahan kelembagaan dan organisasi
dapat terjadi dalam struktur, teknologi dan orang-orang (Greenberg dan Baron
2007). Sedangkan menurut Robbins (2009) berpendapat perlu strategi intervensi
manusia, struktur, teknologi dan proses organisasi yang dilakukan untuk
menerapkan transformasi dalam organisasi. Uphoff (1986) membagi kelembagaan
dalam tiga pilar, yaitu private sector (kelembagaan pasar/ekonomi), voluntary
sector (kelembagaan komunitas), dan public sector (kelembagaan pemerintah). Dan
ketiga sektor ini satu sama lainnya sangat diharapkan membangun sinergi saling
mendukung dalam pembangunan agroindustri.
Salah satu ciri khas agroindustri di Indonesia adalah sebahagian besar
beroperasi dalam skala yang relatif kecil. Agroindustri ini bersifat menyebar, masif,
dengan sumberdaya yang tersebar secara terpisah-pisah sehingga menimbulkan
3

masalah tersendiri dalam mengorganisasikan dan mensinergikan secara efektif


(Djamhari 2004). Padahal peningkatan mutu sumberdaya manusia yang strategis
terhadap keterampilan, motivasi, pengembangan dan manajemen pengorganisasian
sumberdaya manusia merupakan syarat utama dalam era globalisasi untuk mampu
bersaing dan mandiri (Maarif 2000). Menurut Djamhari (2004) penguatan kapasitas
dan kemampuan pelaku agroindustri sangat dimungkinkan karena agroindustri
dapat diusahakan bahkan pada skala relatif kecil, sehingga tidak memerlukan
banyak modal investasi. Usaha agroindustri skala kecil dapat bergerak luwes
menyesuaikan diri dalam situasi yang cepat berubah karena tidak perlu terhambat
oleh persoalan-persoalan birokrasi sebagaimana yang sering dikeluhkan oleh
perusahaan besar; usaha agroindustri kecil memiliki tenaga penjualan dan
wirausaha yang tertempa secara alami; dan perubahan selera konsumen yang
semakin bergeser dari produk-produk tahan lama yang dihasilkan secara massal ke
produk-produk yang lebih bersifat customized, yang akan lebih tepat untuk
ditangani oleh usaha kecil.
Penelitian disertasi doktoral ini akan mengkaji secara komprehensif dan
terfokus pada aspek kelembagaan agroindustri. Namunpun demikian aspek yang
sangat terkait lainnya seperti sumberdaya manusia akan turut dibahas karena
memiliki hubungan yang erat dengan aspek kelembagaan (Fadhil et al. 2017e).
Untuk mendapatkan model aplikasi sebagai bentuk pembelajaran dari implementasi
riset ini, seluruh proses dan prosedur pengembangan kelembagaan agroindustri
dilakukan terhadap agroindustri kopi Gayo.
Agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh merupakan salah satu usaha yang
penting dalam meningkatkan perekonomian masyarakat di wilayah tersebut,
terutama di daerah penghasil kopi Gayo, yaitu Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten
Bener Meriah dan Kabupaten Gayo Lues. Nama Gayo merupakan sebutan untuk
dataran tinggi yang terletak di pegunungan Bukit Barisan yang wilayah
administratifnya berada di Propinsi Aceh dengan melingkupi tiga kabupaten yang
disebutkan di atas. Akan tetapi daerah yang dominan penghasil kopi Gayo ini hanya
dua kabupaten saja, yaitu Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah.
Tanaman kopi di kawasan ini sudah ada sejak tahun 1908 dan sampai sekarang telah
mencapai 81,000 hektar luas perkebunan kopi.
Menurut Jaya (2014) walaupun luas areal perkebunan kopi di kawasan ini
cukup besar, namun tingkat produktivitas hanya berkisar antara 0.6 - 0.8 ton per
hektar. Kondisi ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas di Brazil
dan Vietnam yang mencapai sekitar 1.2 ton per hektar. Rendahnya produktivitas
hasil perkebunan kopi ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah 1)
masih terdapatnya tanaman yang sudah tua sekitar 10 % dari total tanaman yang
menghasilkan kopi; 2) kurangnya pemeliharaan, terutama dalam pemangkasan dan
peremajaan tanaman kopi; 3) sistem pemupukan yang tidak mengikuti kaidah-
kaidah secara sistematis seperti tidak tepat waktu, dosis berlebih atau kurang,
komposisi dan cara pemupukan; 4) penanganan perlindungan tanaman terutama
pencegahan dan penanggulangan hama dan penyakit tidak mengikuti standar
pengendalian tanaman terpadu; 5) kurangnya pengembangan pemahaman dan
manajemen pengetahuan dalam budidaya kopi, termasuk teknologi dan inovasi
terkini, karena lebih mengandalkan pengetahuan secara turun temurun dari keluarga.
Kopi Gayo secara umum di ekspor ke negara-negara Uni Eropa, Amerika
Serikat dan Jepang dalam bentuk kopi biji atau green bean (Puslit Kopi dan Kakao
4

Indonesia 2008; Silitonga 2008). Dalam laporan International Coffee Organization


(2011) menyebutkan bahwa tren perdagangan kopi Gayo ke negara-negara importir
semakin meningkat. Keadaaan ini sesuai dengan meningkatnya tren permintaan
kopi Arabika di pasaran dunia yang mencapai 0.5 persen per tahun. Meningkatnya
produksi kopi Arabika Gayo di pasaran dunia, ternyata tidak diikuti oleh
penanganan kopi dengan baik, terutama dalam hal penanganan pasca panen dan
pengolahan awal seperti aplikasi teknologi fermentasi, pengolahan semi basah dan
efisiensi penggunaan air (Novita 2012; Puslit Kopi dan Kakao Indonesia 2008).
Menurut Putri (2013), kebanyakan petani kopi Gayo belum mengusahakan proses
penanganan kopinya secara profesional karena kurang mempertimbangkan pasar,
modal dan teknologi. Bird (1996) dan Delmar (1996) menyatakan bahwa di antara
faktor penting yang mempengaruhi perilaku kewirausahaan adalah individu
(sumberdaya manusia) dan organisasi-organisasi (kelembagaan), selain dari
lingkungan dan proses lainnya.
Berdasarkan fenomena di atas maka pengkajian dan penelitian tentang
agroindustri kopi Gayo dianggap sangat penting dan strategis untuk terus dilakukan,
terutama berkaitan dengan kapasitas sumberdaya manusia dan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo. Pengembangan kelembagaan dan sumberdaya manusia
menjadi salah satu kunci penting dalam menjawab permasalahan ini, karena pada
era globalisasi saat ini dibutuhkan petani yang kreatif dan inovatif agar mampu
bertahan dan bersaing. Oleh karena itu, harapannya dari waktu ke waktu dengan
proses pembangunan agroindustri secara berkelanjutan dapat mempengaruhi
produktifitas kopi Gayo menjadi lebih baik lagi dimasa yang akan datang.

Perumusan Masalah

Beberapa permasalahan dalam pembangunan agroindustri, termasuk


agroindustri kopi Gayo adalah dalam konteks kelembagaan dan sumberdaya
manusia, sehingga permasalahan yang hendak diselesaikan melalui penelitian ini
antara lain sebagai berikut:
1. Salah satu aspek yang paling strategis dalam pembangunan suatu agroindustri
adalah kondusifitas kelembagaan, sehingga diperlukan pemetaan kondisi
situasional kelembagaan agroindustri saat ini (agroindustri kopi Gayo) dan
strategi intervensi seperti apa yang dapat dilakukan untuk pengembangan
kelembagaannya.
2. Sistem penilaian kematangan kelembagaan agroindustri belum tersedia,
sehingga perlu dirancang sebuah mekanisme untuk menilai bagaimana suatu
kelembagaan dapat terus berkembang dalam menghadapi perubahan yang terus
terjadi.
3. Kelembagaan agroindustri yang telah ada perlu dinilai bagaimana tingkat
kematangan kelembagaannya untuk dapat terus tumbuh dan berkembang.
4. Sumberdaya manusia merupakan salah satu aspek yang berhubungan erat
dengan aspek kelembagaan, sehingga strategi pengembangan sumberdaya
manusia menjadi aspek penentu yang memerlukan analisis secara mendalam.
5. Strategi bertahan dan menghadapi tantangan zaman memerlukan suatu desain
prospektif pengembangan kelembagaan agroindustri dimasa depan dengan
berpedoman pada kondisi saat ini.
5

6. Formulasi strategi pengembangan kelembagaan agroindustri (studi kasus


agroindustri kopi Gayo) selama ini belum dilakukan secara komprehensif,
sehingga suatu kajian yang lengkap diperlukan bagi para pengambil kebijakan.

Tujuan dan Tahapan Penelitian

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh, sehingga dapat diketahui
kelemahan dan kekurangan berdasarkan penilaian kematangan kelembagaan yang
dilakukan serta bagaimana memformulasikan pola pengembangannya ke depan.

Tahapan
Tahapan penelitian ini meliputi :
1. Menganalisis kondisi situasional dan strategi intervensi kelembagaan
agroindustri kopi Gayo di Provinsi Aceh.
2. Mendesain dan menganalisis sistem penilaian kuantitatif kematangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo.
3. Merumuskan strategi pengembangan sumberdaya manusia sebagai aspek
pendukung kelembagaan agroindustri kopi Gayo.
4. Menganalisis strategi prospektif pengembangan kelembagaan agroindustri kopi
Gayo.
5. Memformulasikan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo
secara komprehensif.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini adalah:


1. Analisis kelembagaan agroindustri dilakukan pada dua kabupaten penghasil kopi
Gayo di Propinsi Aceh, yaitu Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener
Meriah.
2. Analisis pengembangan kelembagaan kopi Gayo dilakukan meliputi analisis
situasional, desain dan analisis sistem penilaian kuantitatif kematangan
kelembagaan, analisis strategi pengembangan sumberdaya manusia dalam
kaitannya dengan kelembagaan agroindustri, analisis prospektif pengembangan
kelembagaan, dan formulasi strategi pengembangan kelembagaan agroindustri
kopi Gayo.

Manfaat Penelitian

Kalangan Akademisi dan Peneliti


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi tambahan sebagai
bahan informasi dan referensi bagi kalangan akademisi dan peneliti yang akan
menjadikan bagian dari penelitian lanjutan dan pengembangannya. Apalagi
penelitian dan pengkajian tentang pengembangan kelembagaan dan kapasitas
6

sumberdaya manusia agorindustri belum ada yang secara sepesifik melakukannya,


termasuk pada agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh, sehingga keberlanjutan
usaha kopi Gayo dapat berkembang secara berkesinambungan.

Kalangan Praktisi
Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan kontribusi praktis, strategis
dan taktis kepada para pihak yang terlibat sebagai praktisi seperti pebisnis, investor
dan usaha kecil menengah lainnya, agar mampu mengembangkan agroindustri
menjadi lebih baik lagi, baik dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinyuitasnya.
Manfaat selanjutnya adalah meningkatkan akses dan volume pemasaran di tengah
pasar yang makin kompetitif.

Kalangan Pengambil Kebijakan


Hasil penelitian juga akan dapat memberikan masukan, informasi dan analisis
tambahan bagi para pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan, khususnya
yang berada di Propinsi Aceh, dengan spesifik Kabupaten Bener Meriah dan
Kabupaten Aceh Tengah sebagai daerah penghasil kopi terbesar di Aceh dalam
melakukan proses pengembangan agroindustri kopi Gayo khususnya.

Rencana Kontribusi

Penelitian terdahulu berkaitan dengan kelembagaan agroindustri pada


umumnya belum ada yang mengkaji secara komfrehensif. Kajian dan penelitian
selama ini lebih didominasi pada aspek lingkungan, produksi, mutu, ekonomi,
sumberdaya lahan, rantai pasok, dan budaya, sementara pada aspek kelembagaan
hanya melihat para pelaku yang terlibat didalamnya dan terpisah-pisah secara
parsial tanpa penelahaan secara lebih mendalam.
Kontribusi dalam penelitian ini direncanakan mencakup objek, metodologi,
rumusan strategi dan informasi sebagai berikut:
1. Kontribusi dari segi objek dan metode yang dikaji, yaitu:
a. Penelitian ini dilakukan secara komprehensif dalam aspek pengembangan
kelembagaan agroindustri (studi kasus agroindustri kopi Gayo) dengan
mempertimbangkan pendekatan kultural dan struktural, mulai dari analisis
situasional kelembagaan yang telah berkembang, strategi intervensi sampai
desain strategi pengembangan kelembagaan yang diperlukan.
b. Desain dan analisis penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan
agroindustri belum pernah ada sebelumnya, sehingga penelitian ini memberi
kontribusi bagi para pengambil kebijakan terhadap berbagai perencanaan
pengembangan kelembagaan suatu agroindustri ke depan, termasuk
agroindustri kopi Gayo.
c. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu proses
generalisasi dalam hal konsep, metode, dan prosedur penilaian kematangan
kelembagaan agroindustri secara kuantitatif dengan mengambil kasus
agroindustri kopi Gayo.
2. Kontribusi dalam rumusan strategi
a. Perancangan strategi prospektif pengembangan kelembagaan agroindustri
menjadi suatu panduan bagi para pengambil kebijakan tentang berbagai
7

skenario yang diperkirakan akan terjadi dimasa depan dengan berpedoman


pada kondisi saat ini.
b. Perancangan strategi pengembangan sumberdaya manusia menjadi bagian
yang terkait dalam konteks kelembagaan agroindustri (khususnya
agroindustri kopi Gayo), sehingga langkah-langkah penanganan sumberdaya
manusia menjadi suatu grand strategi yang sangat penting.
c. Formulasi strategi pengembangan kelembagaan agroindustri tersusun secara
holistik meliputi aspek tujuan, kendala yang dihadapi, aktivitas yang
dibutuhkan, indikator keberhasilan dan para pelaku yang terlibat.
3. Kebaruan dalam informasi:
a. Diperoleh informasi terkini keadaan kelembagaan agroindustri kopi Gayo dan
strategi intervensi yang dapat dilakukan.
b. Diperoleh informasi posisi tingkat kematangan kelembagaan agroindustri
kopi Gayo.
c. Diperoleh informasi skenario pengembangan kinerja kelembagaan dan
program penanganan sumberdaya manusia dalam kaitan dengan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo.
d. Diperoleh informasi berbagai tindakan untuk pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo.

Sistematika Penulisan

Penulisan disertasi ini terdiri dari 9 Bab seluruhnya. Bab 1 menjelaskan


tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan tahapan penelitian, ruang
lingkup, manfaat penelitian, rencana kontribusi, dan sistematika penulisan. Bab 2
menerangkan tentang teori, konsep dan perspektif analisis berkaitan dengan
terminologi kelembagaan, studi kelembagaan, pengembangan kelembagaan
agroindustri di Indonesia, model dan pola kelembagaan agroindustri, strategi riset
dan analisis kelembagaan, soft systems methodology (SSM), intervensi
kelembagaan, penilaian kuantitatif kelembagaan, analisis prospektif, interpretive
structural modeling (ISM), penelitian terdahulu dan analisis yang dilakukan. Bab 3
membahas tentang analisis situasional dan strategi intervensi kelembagaan
agroindustri kopi Gayo. Bab 4 menjelaskan tentang desain dan analisis sistem
penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri. Bab 5 menyajikan
analisis prospektif pengembangan kelembagaan kopi Gayo. Bab 6 menguraikan
analisis strategi pengembangan sumberdaya manusia agroindustri kopi Gayo. Bab
7 memberikan formulasi strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi
Gayo dengan pendekatan teknik pemodelan interpretasi struktural (interpretive
structural modeling). Bab 8 berisi pembahasan umum secara keseluruhan berkaitan
dengan hasil penelitian strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi
Gayo, termasuk menjelaskan verifikasi, validasi, implikasi manajerial, kontribusi
dan keterbatasan. Bab terakhir yaitu Bab 9 merupakan simpulan dan saran dari hasil
penelitian. Secara lengkapnya keterkaitan antar Bab dijelaskan dalam Gambar 1.
Penulisan Bab 3 dilakukan terlebih dahulu untuk memberikan landasan
berpikir dan lebih memudahkan dalam merumuskan Bab selanjutnya. Bab 4
merupakan desain sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan
agroindustri secara umum dan analisisnya dilakukan pada kelembagaan
8

agroindustri kopi Gayo. Untuk Bab 5, Bab 6 dan Bab 7 dapat dirumuskan secara
berurutan sehingga diperoleh suatu formulasi strategi secara komprehensif. Bab 8
ditulis setelah seluruh penelitian dilakukan, termasuk menjelaskan bagaimana
verifikasi, validasi dilakukan beserta implikasi manajerialnya. Terakhir Bab 9
dirumuskan setelah semua pekerjaan pada Bab sebelumnya diselesaikan.

Gambar 1 Sistematika penulisan


9

2 TEORI, KONSEP DAN PERSPEKTIF ANALISIS

Pendahuluan

Agroindustri adalah industri yang mengolah hasil pertanian (tumbuhan dan


hewan) yang meliputi proses transformasi fisik dan kimia, penyimpanan,
pengemasan dan distribusi (Austin 1992). Sementara Sukardi (2011) menyatakan
bahwa agroindustri adalah industri yang menghasilkan produk-produk yang
komponen utamanya berasal dari hewan dan tanaman. Komponen utama produk
dapat diketahui dari arti penting keberadaan komponen tersebut mengkarakterisasi
produk dan bukan oleh kuantitasnya dalam suatu produk tersebut. Jadi agroindustri
merupakan perpanjangan dari pertanian secara keseluruhan.
Perkembangan agroindustri dapat mendorong untuk lebih menstabilkan dan
menguntungkan pertanian, ini termasuk juga menciptakan lapangan kerja yang
lebih luas, mulai dari tahap produksi sampai pada bagian pemasaran.
Perkembangan lebih luas dari produk agroindustri akan meningkatkan infrastruktur
modal sosial (kelembagaan dan sumberdaya manusia) dan infrastruktur fisik
(bangunan dan peralatan). Oleh karenanya, hal ini juga mendorong terjadinya
diversifikasi dan komersialisasi pertanian yang lebih baik lagi, yang pada akhirnya
tentu akan meningkatkan pendapatan, kesejahteraan dan mewujudkan ketahanan
pangan.
Pada umumnya, agroindustri di Indonesia berskala rumah tangga, kecil dan
menengah, sehingga termasuk dalam kriteria pengembangan usaha kecil dan
menengah (UKM) dalam konteks pembangunan daerah otonomi dan pemberdayaan
masyarakat. Hal ini sesuai dengan sifat dan bentuknya, yaitu: (1) berbasis pada
sumberdaya lokal sehingga dapat memanfaatkan potensi secara maksimal dan
memperkuat kemandirian, (2) dimiliki dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal
sehingga mampu mengembangkan sumberdaya manusia, (3) menerapkan teknologi
lokal sehingga dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal, dan (4)
tersebar dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan
pembangunan yang efektif (Bantacut et al. 2001).
Agroindustri biasanya dikategorikan dalam 3 jenis, yaitu:
a. Industri Rumah Tangga (IRT): dimiliki dan dikelola oleh suatu rumah tangga
atau gabungan rumah tangga di tingkat pedesaan dengan investasi modal sangat
sedikit dan kinerja yang tinggi secara manual.
b. Industri Skala Kecil (ISK): industri ini lebih besar dari industri rumah tangga,
dimana investasinya sudah lebih meningkat. Aktifitas kerja sudah mulai semi
otomatis dengan manajerial yang sedikit dan masih sederhana.
c. Industri Skala Menengah (ISM): industri yang memiliki investasi besar, baik
untuk mesin dan peralatan serta sumberdaya (manusia dan bahan baku).
Aktifitas kerja sebahagian besar sudah otomatis dan manajerial sudah dibangun
dengan fungsinya tersendiri dengan unit-unit tertentu sebagai penanggung
jawabnya.
d. Industri Skala Besar (ISB): investasi sudah sangat besar dengan tingkat otomasi
yang juga tinggi. Manajemen kinerja sudah terkelola dengan sistematis melalui
berbagai fungsi yang saling terkait secara struktural dan fungsional.
10

Peran agroindustri sangat vital dalam mendorong tumbuh dan


berkembangnya perekonomian yang turut menopang ekonomi negara secara
nasional (Austin 1992; Siregar 2006; Djamhari 2004). Kepentingan pembangunan
agroindustri sangat berkaitan dengan keperluan pengembangan kegiatan ekonomi
berbasis pertanian (berkontribusi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB),
penyerapan tenaga kerja, menumbuhkan pengusaha kecil-menengah, menarik
investor dan devisa ekspor) (Arsyad 1999; Fatma 2011; Gaspersz 2000; Nasution
2002; Silitonga 2008).

Pembangunan Agroindustri Kopi Gayo

Agroindustri kopi Gayo merupakan usaha yang sangat strategis bagi


peningkatan perekonomian masyarakat produsen kopi di Propinsi Aceh. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Austin (1992) yang mengemukakan bahwa agroindustri
merupakan pilar strategis sebagai penggerak perekonomian suatu negara. Agar
agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama, industrialisasi pedesaan
harus memenuhi persyaratan seperti terintegrasi vertikal ke bawah, berlokasi di
pedesaan, mempunyai kaitan dengan industri lainnya, dimiliki oleh penduduk desa,
padat tenaga kerja dari desa setempat, bahan baku merupakan produk lokal, dan
hasil produknya selain dikonsumsi untuk sendiri juga untuk dipasarkan secara luas
(Simatupang dan Purwoto 1990).
Menurut Supriyati dan Suryani (2006) mengemukakan bahwa peluang
pengembangan agroindustri masih terbuka, baik ditinjau dari ketersediaan bahan
baku maupun dari sisi permintaan produk olahan. Namunpun demikian masih
terdapat beberapa kendala utama seperti: (1) kualitas dan kontinyuitas produk
pertanian kurang terjamin, (2) kemampuan sumberdaya manusia masih terbatas, (3)
teknologi yang digunakan sebagian besar masih bersifat sederhana, sehingga
menghasilkan produk yang berkualitas rendah, dan (4) kondusifitas kelembagaan
agroindustri belum berkembang secara luas, terutama dalam membangun kemitraan
antara agroindustri berskala kecil/rumah tangga dengan agroindustri berskala
menengah/besar.
Kopi Gayo merupakan salah satu kopi specialty Indonesia dengan cita rasa
yang khas sehingga telah mendapatkan sertifikasi Indeks Geografis sebagai kopi
dengan nilai harga jual tertinggi di dunia (Herdyanti 2013; Saputra 2012). Kopi
Gayo diproduksi di Dataran Tinggi Gayo-Propinsi Aceh, khususnya di Kabupaten
Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah pada ketinggian 950-1 450 meter di atas
permukaan laut (Hulupi et al. 2013; Ditjenbun 2011). Produktivitas kopi di daerah
ini mencapai 700 sampai 800 kg/ha dan seluruh lahan kopi diusahakan oleh
perkebunan rakyat (Disbun Aceh 2013). Secara nasional kopi Gayo telah turut
menyumbang sebesar 28.23 persen dari total produksi kopi di Indonesia (Kementan
2013; Salima et al. 2012).
Dalam konsep pembangunan agroindustri, Austin (1992); Brown (1994)
dan Nasution (2002) menyebutkan bahwa terdapat enam permasalahan utama, yaitu
(1) kualitas sumberdaya manusia, (2) kondusifitas kelembagaan, (3) sumberdaya
biofisik, meliputi air, lahan, lingkungan, produksi, kualitas, kuantitas dan bahan
baku, (4) aplikasi teknologi, (5) akses pasar, dan (6) sistem pendukung, antara lain
kebijakan, investasi, infrastruktur, modal, status kepemilikan dan lainnya.
11

Berdasarkan permasalahan tersebut, maka setiap pembangunan dan pengembangan


agroindustri perlu memperhatikan keenam aspek tersebut.
Untuk mengidentifikasi berbagai permasalahan dalam pengembangan
agroindustri kopi Gayo dilakukanlah penelusuran literatur sehingga diperolehlah
beberapa hal sebagai berikut:
a. Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM)
• Pengembangan dan peningkatan SDM sangat tergantung pada penyuluh
pertanian dengan fasilitas yang minim dan jumlah petugas yang terbatas
berbanding wilayah perkebunan yang mesti ditangani (Jaya 2013; Silitonga
2008).
• Kurangnya pengembangan pemahaman dan manajemen pengetahuan dalam
budidaya kopi, termasuk teknologi dan inovasi terkini, karena lebih
mengandalkan pengetahuan secara turun temurun dari keluarga (Indra 2011;
Romano 2009).
• Produktivitas belum optimal karena penguasaan teknologi yang kurang dan
lemahnya keterampilan petani (Bilhak dan Maarif 2014; Ibrahim dan Zailani
2010; Silitonga 2008).
• Kurangnya kreatifitas dan inovasi dalam pengolahan produk dan industri
pengolahan yang minim, terutama berkaitan dengan penanganan pasca panen
dan pengolahan awal seperti fermentasi, pengolahan semi basah dan efisiensi
penggunaan air (Fatma 2011; Bilhak dan Maarif 2014).
• Pendidikan dan pelatihan secara kontinyu terhadap petani kopi sangat
diperlukan agar kualitas produksi menjadi lebih baik (Walker 2015; Novita
2012; Jaya 2014; Mujiburrahman 2011).
b. Kondusifitas Kelembagaan
• Hasil produksi rata-rata petani kopi yang terorganisir melalui koperasi lebih
tinggi karena adanya dukungan agronomi dan teknologi, dibandingkan
dengan petani yang tidak terorganisir (Almqvist 2011).
• Petani dan kelompok tani selaku pelaku utama agroindustri menanggung
beban resiko mutu paling besar dalam sistem rantai pasok kopi Gayo (Jaya
2014).
• Kelembagaan berperan penting sebagai media penyebaran inovasi hasil
pertanian, sertifikasi dan pengelolaan mutu industri pangan seperti aplikasi
teknologi alat pengeringan, pemanenan, pengangkutan dan pengemasan
(Hennxsy 2003; Budi et al. 2009; Silitonga 2008; Putri et al. 2013; Walker
2015).
• Pasar kopi di tingkat petani tidak terintegrasi dengan eksportir baik dalam
jangka panjang maupun jangka pendek. Hal ini menunjukkan bahwa dalam
proses penentuan harga petani cenderung sebagai penerima harga (Putri et al.
2013; Waroko et al. 2008; Yantu et al. 2010).
• Sinergisitas pelaku agroindustri kopi belum terbangun dengan baik terutama
berkaitan dengan revenue sharing, spesifikasi mutu, jumlah dan time-
delevery (Jaya 2013; Putri et al. 2013).
c. Sumberdaya Biofisik
• Kurangnya pemeliharaan tanaman terutama dalam pemangkasan dan
peremajaan, masih terdapatnya tanaman yang sudah tua sekitar 10 % dari total
tanaman yang menghasilkan kopi, sistem pemupukan yang tidak mengikuti
kaidah-kaidah secara sistematis seperti tidak tepat waktu, dosis berlebih atau
12

kurang, komposisi dan cara pemupukan (Jaya 2014; Hasni 2011; Descroix
dan Snoeck 2009; Charley dan Weafer 1998).
• Penanganan perlindungan tanaman terutama pencegahan dan
penanggulangan hama dan penyakit tidak mengikuti standar pengendalian
tanaman terpadu, penanganan pasca panen dan pengolahan awal meliputi
fermentasi dan pengolahan semi basah belum tertangani dengan baik (Bilhak
dan Maarif 2014; Anhar 2013; Romano 2009; Marsh 2005; Alejandro dan
Morales 2002).
• Tingginya risiko mutu buah kopi yang dihasilkan petani, yang disebabkan
oleh tidak seragamnya tingkat kematangan, teknik panen stripping, dan
penanganan pasca panen sering mengalami kontaminasi fisik yang tingginya
(Jaya 2013; Ibrahim dan Zailani 2010; Silitonga 2008; Gonzales-Rios et al.
2007).
d. Aplikasi Teknologi
• Aplikasi teknologi belum berkembang dengan baik, terutama untuk proses
pengolahannya (Bilhak dan Maarif 2014).
• Secara umum pengolahan kopi masih mengikuti cara-cara tradisional yang
berkembang dari generasi ke generasi (Romano 2009).
• Panen kopi dan sortasi saat pemetikan dan sesudah pemetikan dilakukan
secara manual (Silitonga 2008).
• Teknologi pasca panen menjadi salah satu masalah yang paling penting untuk
ditangani selain sistem budidaya dan resiko mutu (Jaya 2014; Silitonga 2008).
e. Akses Pasar
• Mekanisme pasar belum maksimal, sehingga harga ditentukan oleh pihak lain
(pedagang) yang relatif lebih murah dan terkadang nilai hasil produksi tidak
sebanding dengan biaya produksi (Bilhak dan Maarif 2014; Mujiburrahman
2011).
• Walaupun beberapa sertifikasi telah dilakukan dalam sistem perdagangan
kopi (sejak 1992) seperti fair-trade, rain-forest, organic dan indikasi
geografis, kenyataannya petani masih sulit mendapatkan posisi tawar dalam
penentuan harga yang lebih baik dibandingkan eksportir (Taylor 2005;
Raynolds 2009; Putri et al. 2013; ICRRI 2008; Waroko et al. 2008; Yantu et
al. 2010)
• Perdagangan kopi masih mengalami masalah fluktuasi harga yang sangat
tinggi dan cenderung tidak adil antara berbagai pelaku agroindustri (Adam
dan Ghaly 2007; Giovannucci dan Potts 2008; Jaya 2014).
f. Sistem Pendukung
• Belum optimal dukungan pemerintah dalam pengembangan perkebunan
sebagai sektor unggulan, terutama berkaitan dengan sarana dan prasarana,
dan akses permodalan (Bilhak dan Maarif 2014; Giroh et al. 2010; Putri et al.
2013; Kizito 2011; Romano 2009).
• Kebijakan keuangan dan perbankkan belum sepenuhnya menjangkau petani
di daerah-daerah pedalaman penghasil kopi, sehingga terkadang kesulitan
keuangan petani kopi selama mengunggu masa panen sangat tergantung
dengan pemilik modal besar, dan tidak sedikit yang terlilit hutang dengan
rentenir (Putri et al. 2013).
Menurut Fadhil et al. (2017e) berdasarkan risetnya menyatakan bahwa dari
enam aspek pembangunan agroindustri kopi Gayo, melalui pembobotan
13

kepentingan menurut pendapat para pakar diperoleh bahwa kondusifitas


kelembagaan merupakan aspek yang paling utama harus diperhatikan dibandingkan
aspek lainnya. Walaupun demikian dari analisisnya menunjukkan bahwa aspek
sumberdaya manusia memiliki nilai bobot kepentingan yang sangat dekat dengan
aspek kondusifitas kelembagaan, sehingga ini menjadi pertimbangan tersendiri bagi
para pengambil kebijakan dalam pengambilan keputusan.

Terminologi Kelembagaan

Beberapa definisi ataupun penjelasan tentang kelembagaan menunjukkan


bahwa para ahli, akedemisi dan pengambil kebijakan sering menggunakan istilah
yang berbeda tentang kelembagaan, namun terkadang memiliki arti yang sama.
Dalam analisis Syahyuti (2012) menyebutkan bahwa istilah ‘institution’ pada
literatur berbahasa Inggris maupun istilah ‘lembaga’ dan ‘kelembagaan’ dalam
literatur berbahasa Indonesia cenderung tidak konsisten dan tidak diperoleh
pengertian yang sama antar ahli, termasuk dengan istilah ‘organization’. Beberapa
rujukan menunjukkan bahwa penggunaan istilah kelembagaan ini memiliki asumsi
yang berbeda-beda dan penuh pertentangan (Scott 2008; Uphoff 1986; Lobo 2008;
Ruttan 2006; Ruttan dan Hayami 1984; Horton dan Hunt 1984; Fowler 1992; North
2014; Hebding dan Glick 1995; Soekanto 1999; Tjondronegoro 1999; Yustika
2008; Purwaka 2006; Robbins 2009).
Penggunaan terminologi atau istilah tertentu dalam menjelaskan sesuatu hal
sering menimbulkan banyak makna, arti dan maksud yang tidak seragam atau
berdeda-beda. Inilah yang terjadi dalam pendefinisian istilah lembaga,
kelembagaan atau organisasi dan keorganisasian. Lembaga (institution) sering
dimaknai sebagai kelembagaan dan lembaga, begitu pula sebaliknya. Adapun
organisasi (organization) sering diartikan sebagai organisasi dan lembaga,
sementara keorganisasian (organizational) dimaknai sebagai keorganisasian dan
kelembagaan.
Sebahagian para ahli terkadang tanpa sadar menggunakan istilah ‘institution’
sebagai justifikasi dalam menerangkan sesuatu dengan dimaksudkan sebagai
‘kelembagaan’. Ada pula yang menjelaskan tentang ‘lembaga’ sebagai ‘organisasi’.
North (2014) yang merupakan ahli ekonomi kelembagaan ataupun Scott (2008)
yang memperkenalkan teori kelembagaan baru (new institutionalism), sering
menggabungkan istilah lembaga dan organisasi, tetapi kadang juga
memisahkankannya. Sementara Mitchell (2006) terkadang menggunakan istilah
organization saja atau institution saja. Menurut peneliti, inilah yang kemudian
menjadi persoalan mendasar sesungguhnya terhadap para penulis tersebut yang
terkesan kurang begitu memperhatikan istilah yang dipergunakan. Secara umum
perbedaan antara kelembagan/lembaga dan keorgansiasian/ organisasi menurut
beberapa pakar dapat dilihat pada Tabel 1.
Beberapa pengertian kelembagaan tersebut menunjukkan bahwa peranan
utama kelembagaan adalah untuk mengurangi ketidakteraturan dengan menentukan
suatu struktur yang stabil bagi interaksi manusia. Mengingat posisi strategisnya,
peran kelembagaan dalam upaya akselerasi pembangunan pada sektor agroindustri,
maka dalam kaidah sederhananya dapat disampaikan bahwa apabila kelembagaan
agroindustri yang ditopang oleh individu-individu yang mampu dalam
14

mengharmonisasikan dan mensinergikan pengetahuannya dengan kapasitas yang


unggul mulai dari tahap perencanaan, pengorganisasian, implementasi dan evaluasi
berkesinambungan, maka pembangunan agroindustri rakyat akan semakin mudah
untuk dilakukan (Bunch dan Lopez 1996; Cernea 1993; de los Reyes dan Jopillo
1986; Kottak 1991; Uphoff 1992).

Tabel 1 Perbedaan antara kelembagaan/lembaga dan keorganisasian/organisasi

No Kelembagaan/Lembaga Keorganisasian/Organisasi Referensi


1 Bersifat tradisional Modern Uphoff (1986)
2 Pengikut Anggota Uphoff (1986)
3 Lokal Lintas daerah dan wilayah Uphoff (1986)
Pendekatan bawah-atas Pendekatan atas –bawah
4 Uphoff (1986)
(bottom up) (top down)
Kelembagaan/lembaga Organisasi merupakan
5 belum tentu sebagai kelembagaan yang belum Djogo (2003)
suatu organisasi melembaga
Djogo (2003);
Kelembagaan bukan Organisasi bagian dari
6 Ruttan dan
bagian dari organisasi kelembagaan
Hayami (1984)
Kelembagaan bersifat Organisasi bersifat sempit Syahyuti
7
luas dan baur dan tegas (2003)
Rule of game (aturan
8 The players (para pemain) North (1995)
permainan)
Mencakup penataan Aktor atau pelaku ekonomi
Williamson
9 institusi (pemaduan dalam kontrak atau
(1985)
organisasi dan lembaga) transaksi

Dalam penggunaan istilah lembaga, kelembagaan, organisasi dan


keorganisasian segala sesuatunya biasanya bersumber pada dua hal yaitu dari para
pakar dan pembuat kebijakan. Kedua hal tersebut dikenal juga sebagai aktor yang
memiliki peran penting dalam membangun pemahaman atas definisi dari istilah-
istilah tersebut, sehinggga kemudian lahir dalam bentuk naskah akademik dan
panduan-panduan kebijakan. Pada sisi yang lain juga kemudian berimplikasi pada
pelaksanaan kebijakan dan objek dari sasaran kebijakan tersebut. Pendefinisian
tertentu sangat besar akibatnya pada pemenuhan tujuan dan target yang ingin
dicapai.
Konseptual kelembagaan yang telah berkembang dari waktu ke waktu
senantiasa mestilah dievaluasi untuk lebih mendekatkan kepada tujuan-tujuan yang
hendak dicapai. Kejelasan sasaran dan maksud dari objek yang akan dikembangkan,
sangat memiliki arti penting bagi capaian target yang ingin ditangani. Redefinisi
lembaga, kelembagaan, organisasi dan keorganisasian melalui penguraian dengan
melakukan proses penelusuran kebelakang (backward tracking) serta kebutuhan
kejelasan tujuan saat ini dan masa yang akan datang sangat memungkinkan untuk
lebih memberikan arah kesepahaman yang lebih baik dalam tindakan pembangunan
yang hendak diraih. Proses ini memerlukan konsistensi para pihak dalam
menerjemahkan maksud yang terarah tersebut dalam berbagai bentuk media
15

desiminasi yang digunakan. Oleh karenanya, saran kami untuk setiap peneliti
(pakar) dan pembuat kebijakaan, sebelum menguraikan segala sesuatu berkaitan
dengan kelembagaan, maka sebaiknya menjelaskan terlebih dahulu dari maksud
dan istilah yang digunakan tersebut. Dengan demikian kesepahaman dapat lebih
baik terbangun dan kesalahpahaman dapat lebih diminimalisasi.
Dalam penelitian ini, kelembagaan agroindustri yang dimaksud adalah
merupakan suatu perangkat formal dan non formal yang mengatur perilaku dan
dapat memfasilitasi terjadinya koordinasi atau mengatur hubungan-hubungan
interaksi antar berbagai individu, antar lembaga, dan kelompok. Oleh karena itu
kelembagaan agroindustri merupakan lingkungan dimana agroindustri dapat
tumbuh dan berkembang mengikuti proses dinamisasi berbagai perangkat yang
melingkupi disekitarnya.

Studi Kelembagaan

Ilmu kelembagaan berkembang dari dasar ilmu sosial dan ilmu kebudayaan.
Menurut Syahyuti (2003), pemahaman ilmu kelembagaan biasanya didasari oleh
kedua aspek ilmu tersebut, sehingga kaidah kebudayaan menyumbang sisi dinamis
dari kelembagaan (disebut sebagai aspek kelembagaan), sedangkan ilmu sosiologi
terutama sosiologi kelompok menyumbangkan aspek statis dari kelembagaan
(aspek keorganisasian).
Menurut ilmu Sosiologi, ada dua jalan masuk untuk mempelajari
kelembagaan (Soekanto 1999):
1. Studi Kebudayaan: menyangkut aspek nilai dan norma, sehingga kelembagaan
dijelaskan sebagai himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan
antar manusia. Sistem norma merupakan salah satu unsur dari kebudayaan,
atau merupakan unsur pokok dalam kehidupan bermasyarakat. Norma
terbentuk yang seiring dengan waktu akan terus dipertahankan jika dirasakan
ada manfaatnya. Norma memiliki kekuatan mengikat yang berbeda dan juga
sanksi sosial yang berbeda pula bila dilanggar. Pilar norma seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.
2. Sosiologi Kelompok: kelompok sosial seperti keluarga, masyarakat desa,
masyarakat kota, bangsa dan lainnya. Beberapa ahli membaginya berdasarkan
pandangannya sendiri-sendiri. George Simmel membagi berdasarkan besar
kecilnya jumlah anggota, pengaruh individu terhadap kelompok dan interaksi
sosial dalam kelompok. F Stuart Chapin mengelompokkan menjadi primary
group (sederhana) dan secondary group (besar). Ferdinand Tonnies
membaginya berdasarkan derajat kepentingan antara komunitas yang memiliki
kepentingan bersifat umum dan bersifat khusus. Dia membaginya dengan
gemeinschaft (paguyuban) yang anggotanya diikat dengan hubungan batin
murni, lama dan kekal dan gesselschaft (patembayan) sebagai ikatan lahir
bersifat pokok dan berjangka pendek. Ada juga yang membagi berdasarkan
crowd (kerumunan) dengan jangka waktu yang pendek dan community
(komunitas) yang memiliki jangka waktu lebih lama.
Secara umum pengelompokkan kelembagaan adalah seperti yang
disampaikan oleh Koentjaraningrat (1997) yang menggolongkan jenis-jenis
kelembagaan yang berkembang ditengah masyarakat dalam tujuh unsur yang
16

Cara
(Usage)

Tata
kelakuan
4 pilar Kebiasaan
(Foklways)
(Mores) norma

Adat-
istiadat
(Custom)

Gambar 2 Pilar norma kelembagaan dalam pendekatan kebudayaan (Diadaptasi


dari Soekanto 1999)

berbeda-beda (Gambar 3). Pada ketujuh unsur kelembagaan tersebut, terlihat bahwa
kelembagaan pertanian (termasuk agroindustri) merupakan kelembagaan dalam
unsur ekonomi (economic institutional).
Kelembagaan pertanian sebagai bagian dari kelembagaan ekonomi
memiliki perbedaan dengan bidang ekonomi mainstream yang telah berkembang
terlebih dahulu. Pada awalnya ekonomi mainstream tumbuh sebagai suatu bentuk
ekonomi yang materialistik dengan sistem yang tertutup. Seiring dengan
perkembangan dan perubahan dinamika dalam hubungan dan relasi masyarakat,
ekonomi mainstream mulai ditinggalkan dan berganti ke ekonomi kelembagaan
yang lebih idealistik, transaksional dan sistem yang terbuka. Perbedaan antara

Gambar 3 Pengelompokkan kelembagaan di masyarakat (Diadaptasi dari


Koentjaraningrat 1997)
17

kedua model ekonomi neo-klasik (mainstream economics) dengan ekonomi


kelembagaan (institutional economics) seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Perbedaan antara model ekonomi neo-klasik (mainstream economics)


dengan ekonomi kelembagaan (institutional economics)

Uraian Elemen Ekonomi Neo-Klasik Ekonomi Kelembagaan


Pendekatan Materialistik Idealistik
Satuan observasi Komoditas & harga Transaksi
Hubungan dgn ilmu
Diri sendiri (self interest) Diri sendiri & orang lain
sosial lain
Hanya ilmu ekonomi Hampir semua ilmu
Konsep nilai
saja sosial
Konsep ekonomi Nilai dalam pertukaran Nilai dalam penggunaan
Falsafah Mirip ilmu-ilmu alam Pendekatan budaya
Tingkah laku sosial Percaya free-will Behaviorist
Postulat Keseimbangan Ketidakseimbangan
Fokus Sebagian (particularim) Keseluruhan (holism)
Metode ilmiah Hampir pasti positif Kebanyakan normatif
Data Kebanyakan kuantitatif Kebanyakan kualitatif
Sistem Tertutup Terbuka
Ekonometrika Dipakai secara baik Tidak/kadang dipakai
Visi ekonomi Mengarah ke statis Lebih ke arah dinamis
Merekomendasikan
Peranan Memberikan pilihan
pilihan
Sikap terhadap kegiatan
Melawan Tidak dapat dihindari
kolektif
Adam Smith, Thorstein Veblen,
Tokoh panutan
Alfred Marshal John R Commons
Sumber: Paarlberg (1993)

Secara khusus dalam bidang pertanian, kelembagaan menurut para ahli


muncul dengan beragam versi. Mulai dari versi yang sederhana sampai versi yang
paling komplek di dalamnya. Diantara jenis-jenis kelembagaan pertanian yang telah
berkembang adalah (1) kelembagaan berdasarkan kesatuan aktivitas (Gambar 4)

Nilai-nilai
Penerimaan Luas
Perkembangan yang diterima Fungsi
masyarakat penyebaran
masyarakat

Gambar 4 Kelembagaan berdasarkan kesatuan aktivitas (Diadaptasi dari Gillin


dan Gillin 1956)
18

(Gillin dan Gillin 1956), (2) kelembagaan beradasarkan orientasi, tujuan pelayanan
dan sifat keanggotaan (Gambar 5) (Uphoff 1986), (3) kelembagaan berdasarkan
fungsi yang dijalankan (Gambar 6) (Appendini et al. 2003, dan (4) kelembagaan
berdasarkan sistem agribisnis (Gambar 7) (Syahyuti 2003).

Sektor
Sektor Publik Sektor Pribadi
Kerelawanan
Keanggotaan Pelayanan
Administrasi Lokal
Organisasi Organisasi

Pemerintahan Lokal Kerjasama Bisnis Pribadi

Gambar 5 Kelembagaan berdasarkan orientasi, tujuan pelayanan dan sifat


keanggotaan (Diadaptasi dari Uphoff 1986)

Produksi dan
Penyedia input Penjamin menjaga makna
untuk produksi keselamatan sosial hakikat kemanusian
dan kehidupan

Gambar 6 Kelembagaan berdasarkan fungsi yang dijalankan (Diadaptasi dari


Appendini et al. 2003)

Pengadaan sarana input produksi

Aktivitas budidaya

Aktivitas pengolahan hasil produksi

Pemasaran

Pendukung
Gambar 7 Kelembagaan dalam sistem agribisnis (Diadaptasi dari Syahyuti 2003)
19

Berbagai macam peran dan faktor-faktor yang mempengaruhi kelembagaan


terdapat dua kelompok yang memiliki perspektif berbeda dan berada pada kutub
yang berlawanan namun bersifat continuum (merupakan rangkaian kesatuan).
Pertama adalah kelompok organik yang menganut teori unintended consequences,
yaitu kelompok yang berpandangan bahwa persediaan (supply) dan permintaan
(demand) mempengaruhi perubahan kelembagaan yang bersifat inherent (melekat)
dan terbentuk secara alamiah. Kelompok ini merupakan kelompok ekonomi klasik
dan neo-klasik yang terinspirasi dari Adam Smith, Max Weber dan Frederich
Hayek (Lal 1998). Kedua, kelompok yang dikenal dengan gagasan kelembagaan
rekayasa. Kelompok ini disebut juga kelompok constructivist yang menganggap
bahwa kelembagaan perlu direkayasa agar dapat berperan secara efektif dan efisien.
Kelempok kedua ini terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran ilmu sosial modern yang
menekankan pentingnya rekayasa dan inovasi kelembagaan (Saptono 2011). Teori
ini sejalur dengan pendekatan yang dibangun oleh Ruttan dan Hayami (1971) yang
menganggap bahwa perkembangan rekayasa kelembagaan dapat dimulai dengan
pendekatan inovasi teknologi yang akan berakibat pada peningatan produksi dan
pada akhirnya dapat menaikkan permintaan (posisi tawar) akan kelembagaan itu
sendiri.
Dari berbagai referensi yang menjelaskan tentang kelembagaan dalam
berbagai perspektif, maka dapat diperoleh suatu kerangka dasar yang dapat
dipetakan. Pertama, pihak yang terlibat, baik secara individual maupun secara grup
sosial. Kedua, tata hubungan yang melingkupi di dalamnya yang kita sebut sebagai
aspek struktural. Ketiga, merupakan aspek kultural, yaitu aturan main atau
kesepakatan-kesepakatan di antara para pihak yang terlibat tersebut. Menurut
Syahyuti (2003), aspek kultural dan aspek struktural merupakan dua komponen
utama yang dimiliki oleh setiap kelembagaan.

Pengembangan Kelembagaan Agroindustri di Indonesia

Dalam prakteknya selama ini, kelembagaan agroindustri terbentuk melalui


pendekatan kultural dan struktural. Pendekatan kultural merupakan proses
terbentuknya kelembagaan secara mandiri dan seakan-akan tumbuh sendiri
mengikuti kebutuhan dan kepentingan dalam menjalin hubungan diantara berbagai
kepentingan. Pendekatan ini biasanya tumbuh dan berkembang dari bawah ke atas.
Sedangkan pendekatan struktural adalah pendekatan yang dibangun atas
kepentingan lembaga tertentu atau implementasi program tertentu. Biasanya
pendekatan ini dibangun atas bantuan atau suatu program pembangunan dari
pemerintah.
Menurut Syahyuti (2003) pemerintah selama ini kurang memberi perhatian
terhadap pengembangan kelembagaan yang tumbuh secara alami dari suatu nilai
dan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Terkadang juga menghilangkan
sistem kelembagaan yang sudah ada dan dirasakan manfaatnya bertahun-tahun oleh
masyarakat dan diganti dengan sistem yang baru dengan tujuan keseragaman dan
memudahkan dalam pengawasan. Namun pada kenyataannya sistem kelembagaan
yang baru tidak sepenuhnya dapat diimplementasi dengan baik dan optimal, karena
disebabkan oleh berbagai pendekatan yang kadang tidak menghargai kearifan lokal.
Sementara kelembagaan yang sudah berkembang jarang ditelaah atau dijadikan
20

pintu masuk sebagai modal sosial untuk dikembangkan atau diperbaiki dari yang
sudah ada (Togbe et al. 2012; Zuraida dan Rizal 1993; Agustian et al. 2003;
Syahyuti 2003; Purwanto et al. 2007). Pengkajian secara mendalam tentang sistem
kelembagaan struktural dan kultural yang telah berkembang di masyarakat saat ini
sesungguhnya menjadi pintu masuk awal untuk menelaah lebih jauh lagi. Dengan
demikan diperoleh beragam model pengembangan kelembagaan melalui
pendekatan kultural ataupun struktural, termasuk strategi menggabungkan
keduanya dalam suatu kesatuan secara dinamis.
Sebagai tambahan untuk memahami bagaimana pengembangan
kelembagaan yang terjadi di Indonesia selama ini, Syahyuti (2003) telah
merumuskan sejumlah kekeliruan yang terjadi. Di antara bentuk-bentuk kekeliruan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun hanya terbatas untuk
memperkuat ikatan-ikatan horizontal, namun lemah dalam ikatan vertikal.
Kekeliruan ini kemudian diperbaiki dengan mengembangkan konsep
kelembagaan agribisnis yang lebih dipentingkan adalah ikatan-ikatan
vertikal.
2. Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan
memudahkan tugas kontrol bagi pelaksanaan program yang hendak
diimplementasikan, bukan sebagai bentuk peningkatan social capital
masyarakat secara mendasar. Oleh karenanya tidak mengherankan jika
sebuah kelembagaan akan bubar ketika pelaksanaan program tersebut telah
selesai.
3. Struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam tanpa
mempertimbangkan bentuk-bentuk yang sudah ada, bahkan terkadang
menghilangkan kelembagaan yang lain yang telah berkembang sebelumnya.
Generalisasi sering dilakukan dengan terburu-buru, sembrono serta analogi-
analogi yang tidak relevan karena mengejar target pelaksanaan program
tertentu.
4. Meskipun kelembagaan telah terbentuk, namun pembinaan yang dijalankan
masih cenderung individual yang terbatas kepada pengurus dan tokoh-tokoh
dengan prinsip trickle down effect (memberikan akses dan kemudahan bagi
orang-orang tertentu, dengan harapan aset pengetahuan dari orang-orang
tertentu tersebut, akan memberikan peluang mengembangkan pengetahuan
bagi yang lain, namun pada kenyataannya tidak ada), semestinya pembinaan
dengan pendekatan social learning approach (pendekatan pembelajaran
secara sosial).
5. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural dan
lemah dari pengembangan pada aspek kultural. Struktur organisasi
dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek
kulturalnya seperti perumusan visi, motivasi, semangat, manajemen dan
lainnya.
6. Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material
dibandingkan non-material, sehingga perubahan yang dibangun adalah
perubahan secara materialistik.
7. Introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan lokal (kearifan
lokal) yang ada sebelumnya, bahkan menyebabkan terganggunya
21

hubungan-hubungan horizontol yang telah berkembang dengan baik


sebelumnya.
8. Bila ditelaah secara mendalam, maka pada hakikatnya pengembangan
kelembagaan masih lebih merupakan jargon politik dari pada kenyataan ril
di lapangan.
9. Kelembagaan pendukung untuk usaha pertanian tidak dikembangkan
dengan baik, karena pendekatan pembangunan yang lebih mengedepankan
struktural yang sektoral.

Model dan Pola Kelembagaan Agroindustri

Kelembagaan agroindustri adalah sarana penting dalam mengembangkan


suatu kegiatan ekonomi. Kelembagaan disini diperlukan untuk mengorganisir
seluruh sumberdaya yang dimiliki oleh suatu agroindustri sehingga dapat lebih baik
dalam mencapai tujuan dan sekaligus pengembangannya. Suatu pola atau model
kelembagaan yang dipilih memiliki berbagai konsekuensi dalam
pengembangannya, sehingga setiap pola tersebut memiliki posisinya masing-
masing dalam dinamika kelembagaan yang ada. Menurut Nehnevajsa (1993),
menyatakan bahwa untuk menentukan suatu alternatif pola kelembagaan mana
yang akan dipilih harus mempertimbangkan inovasi yang akan digunakan,
kelayakan, biaya paling rendah, dan konsekuensi atau resiko sekecil mungkin.
Budi (2009) dan Nasution (2002) menguraikan beberapa model dan pola
kelembagaan yang sudah berkembang di Indonesia antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Aliansi strategis, merupakan suatu bentuk kelembagaan ekonomi yang mengatur
kerjasama antara dua atau lebih pelaku usaha untuk mencapai tujuan bersama
dalam jangka panjang melalui penggabungan sumberdaya dan kompetensi
secara sinergis dengan tetap mempertahankan entitas masing-masing pelaku
usaha. Dalam aliansi strategis terjadi proses penciptaan dan penyamaan nilai dari
pelaku usaha dalam aliansi yang bisa menghasilkan tiga aspek penting, yakni 1)
kemampuan bersaing melalui kerjasama, 2) sinergis penggabungan sumberdaya
spesifik, dan 3) memperoleh kompetensi melalui pembelajaran internal.
2. Kemitraan, merupakan suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan
prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Terdapat tiga pola
kemitraan yang termasuk dalam alternatif yakni pola kemitraan inti plasma, pola
kemitraan dagang umum, dan pola kemitraan operasional agribisnis.
3. Pola kemitraan inti plasma, merupakan pola hubungan kemitraan antara
petani/kelompok tani atau kelompok mitra sebagai plasma dengan perusahaan
inti yang bermitra usaha. Perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi,
bimbingan teknis dan manajemen, menampung, mengolah, dan memasarkan
hasil produksi. Perusahaan inti tetap memproduksi kebutuhan perusahaannya,
sedangkan kelompok mitra usaha memenuhi kebutuhan perusahaan sesuai
dengan persyaratan yang telah disepakati.
4. Pola kemitraan dagang umum, merupakan pola hubungan usaha dalam
pemasaran hasil antara pihak perusahaan pemasar dengan pihak kelompok usaha
pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar.
22

5. Pola kemitraan kerjasama operasional agribisnis, merupakan pola hubungan


bisnis, dimana kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga. Adapun
pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen, dan pengadaan
sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditi
pertanian.
6. Pola koperasi agroindustri, merupakan koperasi yang bergerak pada bidang
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan anggota-
anggotanya, khususnya bergerak dibidang agroindustri. Koperasi agroindustri
mempunyai fungsi dan peran membangun dan mengembangkan potensi dan
kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya,
untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya, mempertinggi
kualitas kehidupan manusia dan masyarakat, memperkokoh perekonomian
rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan
koperasi sebagai sokogurunya, dan berusaha untuk mewujudkan dan
mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi. Kelembagaan ini dapat
mengadakan kesepakatan-kesepakatan dengan lembaga-lembaga lain, termasuk
pemerintah, dan sumber-sumber luar dalam memperoleh modal.
7. Pola kelompok usaha, merupakan perkumpulan dari agroindustri yang
terorganisir untuk melaksanakan salah satu atau beberapa bagian dari kegiatan
industri. Prinsip dasar dari kelompok usaha ini adalah mensinergikan kekuatan
kekuatan kecil dari industri tersebut menjadi kekuatan yang lebih besar.
Kelompok usaha akan dapat meningkatkan posisi tawar industri kecil karena
secara teknis ekonomis dapat berproduksi lebih efisien.
8. Pola jejaring, merupakan suatu bentuk hubungan kerjasama antar kelompok
yang memiliki keterkaitan dan terintegrasi serta bersinergi dalam bidang tertentu.
Pola jejaring usaha adalah melakukan pembangunan hubungan kerjasama dan
sinergi kekuatan diantara sesama dengan prinsip kesetaraan (equal partnership).
Melalui jejaring usaha ini, unit-unit agroindustri mensinergikan kekuatan dan
saling menutupi kelemahan untuk mencapai suatu tujuan bisnis yang
menguntungkan.
9. Usaha mandiri, merupakan usaha agroindustri yang dilakukan dengan tanpa
melakukan ikatan secara formal dengan agroindustri atau kelompok lain.
Kegiatan usaha mandiri agroindustri ini dilakukan sebagai satu kesatuan unit
sendiri, sehingga baik penyediaan bahan baku, proses produksi, pengemasan,
dan pemasaran diupayakan oleh industri kecil itu sendiri.

Strategi Riset dan Analisis Kelembagaan

Dalam penelitian ini kelembagaan agroindustri yang dimaksud adalah


merupakan perangkat formal dan non formal yang mengatur perilaku dan dapat
memfasilitasi terjadinya koordinasi atau mengatur hubungan-hubungan interaksi
antar berbagai individu, antar lembaga dan kelompok. Jadi secara sederhananya
dapat dipahami bahwa kelembagaan agroindustri merupakan lingkungan dimana
suatu agroindustri dapat tumbuh dan berkembang mengikuti proses dinamisasi
berbagai perangkat yang melingkupi disekitarnya.
23

Kelembagaan sangat berfungsi sebagai wadah untuk sosialisasi anggota


baru, menjaga keteraturan sosial, persiapan untuk peran sosial, dan yang
berhubungan dengan pekerjaan (posisi), mempertahankan prinsip-prinsip etika dan
moral serta untuk mengatur produksi dan distribusi barang dan jasa. Fungsi
kelembagaan ini begitu esensial dalam mewadahi aktivitas sosial dan bahkan dalam
produksi, termasuk dalam kaitannya dengan bidang pertanian. Oleh karena itu
berbagai strategi riset dan analisis kelembagaan sangat penting untuk dipelajari agar
berbagai sistem kelembagaan yang telah terbentuk dan berkembang saat ini dapat
semakin efektif dan efisien dalam mencapai tujuan bagi kesejahteraan masyarakat.
Strategi riset dan analisis kelembagaan terbangun dari pemikiran lintas
pengetahuan dan multi disiplin ilmu, sehingga melahirkan multi metodologi dalam
mengkajinya. Karena sesungguhnya kelembagaan bukan sekedar group of people,
melainkan berbagai aspek sosial, budaya dan ekonomi yang melingkupinya.
Dalam penelitian ini peneliti memilih pendekatan sistem untuk merumuskan
strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo. Analisis yang
dilakukan meliputi (1) analisis situasional dan strategi intervensi kelembagaan
dengan metode soft systems methodology (SSM), (2) desain dan analisis sistem
penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan, (3) analisis strategi pengembangan
sumberdaya manusia dalam konteks pengembangan kelembagaan, (4) analisis
prospektif, dan (5) formulasi strategi pengembangan kelembagaan secara holistik
dengan interpretive structural modeling (ISM).

Soft Systems Methodology

Soft Systems Methodology (SSM) adalah sebuah pendekatan holistik di


dalam melihat aspek-aspek ril dan konseptual di masyarakat. SSM dipandang
sebagai salah satu strategi dalam menangani berbagai masalah manajemen yang
lahir dari sistem aktivitas manusia (human activity system) (Bergvall-Kareborn
2002; Martin 2008). SSM sangat cocok diimplementasikan sebagai sebuah
kerangka kerja (framework) pemecahan masalah yang dirancang secara khusus
pada keadaan yang secara hakikatnya masalah tersebut sulit untuk didefinisikan
(Martin 2008; Sinn 1998).
Metode SSM menurut penggagasnya, Checkland dan Polter (2010)
menyatakan bahwa SSM adalah proses mencari tahu dengan orientasi aksi terhadap
situasi problematis dari kehidupan nyata. SSM digunakan untuk pembelajaran yang
dimulai dari mengidentifikasi situasi dan kemudian merumuskan tindakan yang
perlu diperbaiki dari situasi problematis tersebut. Proses pembelajaran terjadi
melalui proses yang terorganisir dimana situasi nyata diekplorasi dengan
menggunakan alat intelektual yang disebut sebagai model aktivitas dengan
berdasarkan atas sejumlah sudut pandang (worldviews) yang murni. SSM juga
sering dipakai untuk membuat konsep model, memperbaiki tindakan pragmatis,
mencari kompromi, maupun pembelajaran bersama dan partisipatif seperti
pengembangan organisasi dan pengembangan komunitas, serta juga untuk
pengembangan usaha.
Dengan proses ini, SSM nantinya akan memberikan pemahaman yang lebih
baik mengenai dunia nyata (research) dan memberikan ide-ide perbaikan (action)
(Sonatha dan Prayama 2011; Checkland dan Scholes 1990; Brocklesby 1995). SSM
24

memiliki kapabilitas dalam menyediakan kerangka kerja untuk memahami masalah


yang dihadapi bahkan masalah yang kompleks sekalipun (Daellenbach dan
McNickle 2005). Implementasi SSM pada berbagai disiplin ilmu sudah banyak
diterapkan oleh para pakar, peneliti dan akademisi, mulai dari persoalan struktural,
kebijakan, militer, lingkungan, metode pengajaran, sosial, permasalahan energi,
inovasi dan sebagainya (Khisty 1995; Bjerke 2008; Patel 1995; Cox 2010; Konis
1994; Staker 1999).
Manfaat penggunaan SSM menurut Delbridge (2008) adalah untuk:
1. meningkatkan pemahaman secara holistik pihak-pihak yang dieksplorasi
terhadap kasus yang dihadapi;
2. penggunaan SSM membuat proses pembelajaran dapat dibagikan kepada semua
pihak yang terlibat; dan
3. proses inovasi dalam penyelesaian masalah dapat dieksplorasi bersama-sama
sehingga melahirkan banyak alternatif solusi.

Intervensi Kelembagaan

Suatu kelembagaan memiliki keadaan posisi tertentu dalam sebuah sistem


agroindustri yang ada. Oleh karena itu, jika ingin melakukan proses pengembangan
kelembagaan, terlebih dahulu harus dianalisa kelembagaan yang selama ini berlaku
dalam suatu masyarakat atau organisasi. Apakah sistem kelembagaan yang sudah
ada perlu dibantu (assistance), difasilitasi (facilitation) atau dipromosikan
(promotion) (North 2014; Nasution 2002). Setelah dilakukan analisis kondisi
terkini kelembagaan (existing institution), barulah diambil keputusan berkaitan
dengan rencana metode yang akan diterapkan dalam pengembangan kelembagaan
tersebut (Gambar 8).

Bantuan
(Assistance)

Fasilitasi
(Facilitation)

Promosi
(Promotion)

Gambar 8 Strategi intervensi pengembangan kelembagaan


25

Penilaian Kematangan Kelembagaan

Para pakar ekonomi kelembagaan berbeda dalam mendefinisikan


pengertian kelembagaan. Namun semuanya sepakat bahwa kesejahteraan suatu
bangsa dipengaruhi oleh kelembagaan ekonomi yang ada. Sebagian besar ekonom
bahkan yang paling liberal sekalipun, meyakini bahwa kelembagaan dapat menjadi
sumber efisiensi dan kemajuan ekonomi (Yustika 2006). Kelembagaan dapat
dimaksudkan sebagai regulasi perilaku (Rutherford 2001), aturan sosial,
kesepakatan, dan elemen lain dari struktur kerangka kerja interaksi sosial (Bardhan
1989). Hal ini juga disepakati oleh Ostrom (2005) dan North (2014) dalam ekspresi
lain memaknai kelembagaan sebagai aturan yang membatasi perilaku menyimpang
manusia untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi dan sosial. Hal ini
berarti dalam kelembagaan ada dua hal, pertama norma atau aturan dan interaksi
sosial antara struktur yang ada dalam lembaga.
Acemoglu (2003) menyebutkan minimal ada tiga ciri sebuah kelembagaan
yang baik :
(1) Penegakan terhadap hak kepemilikan (enforcement of property right).
Adanya hak kempemilikan di masyarakat akan memberikan insentif bagi
individu untuk melakukan kegiatan ekonomi, misalnya investasi.
(2) Membatasi para elit, tokoh atau kelompok berpengaruh atau politisi untuk
mengambil keuntungan ekonomi tanpa prosedur yang benar, seperti perilaku
yang mencari rente (rent seeking behavior).
(3) Memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk mengerjakan
aktivitas ekonomi, khususnya dalam meningkatkan kapasitas individu atau
kegiatan ekonomi produktif.
Untuk menemukan jalan riset kelembagaan ini, berbagai hasil publikasi
yang telah ada ditelusuri. Referensi yang dipergunakan untuk menelusuri kajian
tentang kelembagaan menggunakan bantuan pencarian melalui website google
cendikia (https://scholar.google.com) dengan kata kunci kelembagaan di dalam
bahasa Indonesia dan institutions atau institutional dalam bahasa Inggris.
Selanjutnya untuk mengekplorasi kajian kelembagaan ini dicarilah kata kunci lebih
lanjut berkaitan dengan potensi inovasi dan kematangan kelembagaan sehingga
dapat dipetakan jalan riset yang akan diputuskan untuk menentukan kajian yang
dirasa masih ditemukannya celah (gap) kajian yang dapat diisi sebagai bagian dari
kontribusi keilmuan. Hasil pencarian tersebut maka diperolehlah peta atau diagram
hirarki kajian agroindustri dengan objek kajian tentang kelembagaan seperti pada
Gambar 9.
Kajian agroindustri meliputi 6 aspek utama yaitu sumberdaya manusia
(SDM), kelembagaan, sumberdaya biofisik (meliputi bahan, mutu produk,
lingkungan, lahan dan lainnya), teknologi, akses pasar dan sistem pendukung
(infrastruktur, modal, keuangan, kebijakan dan lainnya). Riset kelembagaan telah
banyak dilakukan terutama terkait dengan sistem kelembagaan (Suradisastra 2011;
Anantanyu 2011; Zakaria 2009; Widiyanti 2009; Marliati et al. 2008; Nuddin et al.
2007; Elizabeth 2007), model kelembagaan (Kusnandar et al. 2013; Prima 2012;
Yumi et al 2011; Sucihatiningsih dan Waridin 2010; Satriawan dan Oktavianti
26

2012; Kholil et al. 2008; Nugrohon et al. 2008), dan kinerja kelembagaan (Aji et
al. 2014; Abubakar et al. 2013; Sucihatiningsih dan Waridin 2010; Hadi 2010;
Suhanda et al. 2008; Marliati et al. 2008), sementara kajian berkaitan inovasi
kelembagaan dan kondusifitas atau kematangan kelembagaan didapati masih sangat
terbatas. Tahap berikutnya didalami lebih lanjut dengan pencarian kata kunci yang
lebih spesifik berkaitan dengan inovasi kelembagaan dan kondusifitas atau
kematangan kelembagaan. Diperoleh pada kata kunci potensi inovasi lebih banyak
berbicara tentang inovasi organisasi atau suatu lembaga, ide inovasi dan perilaku
inovasi, sedangkan potensi inovasi kelembagaan tidak diperoleh sama sekali.
Begitu juga halnya pada kata kunci kematangan (maturity) kelembagaan dengan
kekhususan agroindustri tidak diperoleh satu artikel pun yang membahas hal
tersebut.

Gambar 9 Diagram hirarki kajian agroindustri dengan fokus tentang kelembagaan


(Fadhil et al. 2016)

Selama ini, penilaian kelembagaan selalu didasari oleh pertimbangan-


pertimbangan secara deskriptif dengan memperhatikan sejumlah aspek tertentu
sesuai dengan rencana dari suatu program yang akan diimplementasikan melalui
kelembagaan tersebut. Deskripsi yang diperolehpun cenderung tidak jauh berbeda
antara satu kelembagaan dengan kelembagaan lainnya. Padahal kelembagaan
merupakan unsur esensial dalam menjalankan suatu kegiatan dan tidak bisa secara
serta merta menerapkan bentuk kelembagaan agroindustri satu untuk agroindustri
lainnya, tidak seperti halnya dengan modal dan teknologi (Haris 2006; Syam 2006).
Oleh karenanya, para pengambil kebijakan terkadang memiliki kecenderungan
pendekatan yang seragam dan menyederhanakan persoalan untuk memudahkan
dalam merealisasi suatu program yang akan dijalankan. Sementara pada
kenyataannya menunjukkan bahwa praktek pengembangan kelembagaan antara
suatu kawasan atau model kelembagaan yang telah terbentuk dan berkembang
biasanya memiliki karakteristik tertentu yang terkadang agak susah bila
didefinisikan secara deskriptif saja. Oleh karenanya melalui riset ini penulis
mengusulkan suatu sistem penilaian kematangan kelembagaan secara kuantitatif.
27

Penilaian kelembagaan sejauh ini sudah banyak berkembang pada berbagai


objek kajian. Misalnya penilaian tingkat partisipasi dan kapasistas
organisasi/lembaga swadaya di pedesaan yang dilaporkan oleh para peneliti seperti
Saadi (2016); Nabi (2005); Tetlay dan Mahmood (1993); dan Tetlay et al. (1993)
yang disebut dengan Institutional Maturity Index (indeks kematangan
kelembagaan). Dalam bidang keuangan mikro juga dikenal adanya sistem penilaian
tingkat perkembangan kelembagaan dengan menganalisis kelemahan internal
terkait organisasi dan operasionalnya yang disebut Microfinance Institutional
Rating (penilaian kelembagaan keuangan-mikro), serta berbagai penilaian
kelembagaan lainnya (Tabel 3).

Tabel 3 Berbagai model penilaian kelembagaan (Fadhil et al. 2016)

Metode Deskripsi Referensi


Penilaian tingkat
Saadi 2016; Nabi 2005;
Institutional Maturity partisipasi dan kapasitas
Tetlay dan Mahmood
Index organisasi/ lembaga
1993; Tetlay et al. 1993
swadaya di pedesaan
Institutional maturity in Penilaian kematangan
Roskelley dan Rigney
the development of kelembagaan pertanian
2008
indigenous agricultural adat
Institutional Maturity Sebuah alat untuk
Meyer 2014; Concha et
Model: procurement mengukur perkembangan
al. 2012
systems sistem pengadaaan
Sistem evaluasi Kayaga et al. 2013;
Institutional keberlanjutan AMCOW 2011; Gandhi
Sustanibility of water kelembagaan pengguna et al. 2009; Locussol
utylity: Water Utility air. Mengembangkan dan van Ginneken
Maturity (WUM) model kerangka konseptual dan 2008; Saleth dan Dinah
arah riset 2004
The ECAR Analytics Penilaian analitik tingkat
Reinitz 2015; Reinitz
Maturity Index for kematangan pendidikan
2014
Higher Education tinggi
Penilaian tingkat
perkembangan
kelembagaan keuangan Wu et al. 2014; Abrams
Microfinance
mikro dengan 2012; Ahmad et al.
Institutional Rating
menganalisis kelemahan 2003
internal terkait organisasi
dan operasi
Steedle 2012; Mayhew
Institutional Assessment Menilai kelembagaan
et al.2010; Berdrow dan
in Education pendidikan
Evers 2009; Bers 2008
Quantitative
Assessment System for Penilaian kuantitatif
Institutional Maturity of tingkat kematangan Peneliti (2018)
Agroindustry kelembagaan agroindustri
(QASIMA)
28

Pada Tabel 3, penulis juga mencantumkan usulan sistem penilaian kuantitatif


kelembagaan agroindustri yang selama ini belum pernah ada. Metode penilaian
kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri ini dibangun dengan
memperhatikan berbagai aspek-aspek yang ditelusuri dengan berbagai pendekatan,
baik diskusi, wawancara, kajian literatur dan pertemuan dengan para pihak yang
berkepentingan. Sistem ini penulis sebut sebagai sistem penilaian kuantitatif
kematangan kelembagaan agroindustri (Quantitative Assessment System for
Institutional Maturity of Agroindustry) yang disingkat dengan QASIMA.

Analisis Prospektif

Analisis prospektif merupakan salah satu teknik untuk menganalisis


berbagai strategi yang mungkin dapat terjadi dimasa depan dengan berpedoman
pada kondisi yang ada saat ini (Gambar 10). Analisis prospektif sangat berguna
untuk mempersiapkan langkah-langkah strategis dan mempertimbangkan apakah
perubahan diperlukan dimasa yang akan datang (Godet 2000). Dengan analisis
prospektif akan diperoleh sejumlah informasi mengenai faktor kunci dan tujuan
strategi apa saja yang berperan dalam pengembangan kelembagaan agroindustri
yang sesuai dengan kebutuhan para pihak (stakeholders) yang terlibat di dalam
pemanfaatan masa depan. Selanjutnya faktor kunci dan tujuan strategi (kebutuhan)
tersebut digunakan untuk mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi
kemungkinan masa depan bagi pengembangan kelembagaan agroindustri.

Gambar 10 Skenario masa depan dalam analisis prospektif

Analisis prospektif dipergunakan untuk memprediksi berbagai kemungkinan


yang akan terjadi dimasa depan. Analisis prospektif tidak sama dengan peramalan
karena dari analisis prospektif dapat diprediksi alternatif-alternatif yang akan terjadi
dimasa yang akan datang, baik yang bersifat positif (diinginkan) ataupun yang
negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah untuk: (1)
mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan, (2) menentukan tujuan
strategis dan kepentingan pelaku utama, serta (3) mendefinisikan dan
mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan (Bourgeois dan Jesus 2004;
Godet et al. 2004). Sedangkan proses pendefinisian skenario perubahan terencana
yang mungkin dapat terjadi dimasa depan adalah dengan mengidentifikasikan
29

bagaimana elemen kunci dapat berubah, kemudian memeriksa perubahan mana


yang dapat terjadi bersamaan (kombinasi faktor dan keadaan) dan selanjutnya
menggambarkan skenario dengan memasukkan perubahan yang akan terjadi
(Eriyatno dan Sofyar 2007). Analisis prospektif juga sangat tepat digunakan untuk
perancangan strategi kebijakan (Godet 2010; Dunn 2016).

Analitical Hierarchy Process

Proses Hirarki Analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah


salah satu alat pengambilan keputusan yang mengidentifikasi struktur masalah,
kemudian dibobot atau dinilai untuk memilih alternatif penyelesaian masalah. AHP
dipergunakan untuk mengorganisasikan informasi dan judgment dalam memilih
alternatif yang paling disukai atau paling baik (Saaty 2008).
Menurut Marimin dan Maghfiroh (2013) menyatakan bahwa prinsip kerja
AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan komplek yang tidak terstruktur,
strategik dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian dan tertata dalam suatu
hirarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif
tentang arti penting variabel tersebut dan secara relatif dibandingkan dengan
variabel lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk
menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk
mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.
Saaty dan Vargas (2012) mengemukankan bahwa para perencana
menggunakan AHP untuk mengkaji persoalan dengan cara mendefinisikan situasi
dengan seksama, memasukkan sebanyak mungkin detil yang relevan, dan kemudian
menyusunnya ke dalam suatu hirarki yang terdiri atas beberapa tingkat rincian.
Tingkat tertinggi merupakan sasaran menyeluruh atau tujuan sistem tersebut
dikembangkan. Tingkat terendah terdiri atas berbagai tindakan akhir atau rencana-
rencana alternatif yang dapat berkontribusi secara positif atau negatif bagi
pencapaian sasaran utama melalui pengaruhnya pada berbagai kriteria yang ada di
antara kedua tingkat tersebut.
AHP memiliki banyak kelebihan dalam menjelaskan proses pengambilan
keputusan karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh
semua pihak yang terlihat dalam pengambilan keputusan. Penggunaan AHP juga
dapat menguraikan keputusan yang komplek menjadi keputusan-keputusan yang
lebih sederhana untuk dapat ditangani dengan mudah (Marimin 2008).
Prinsip pemikiran AHP dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis
eksplisit menggunakan tiga prinsip, yaitu prinsip menyusun hirarki, prinsip
menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi logis (Saaty 2012). Prinsip
penyusunan hirarki adalah untuk mempersepsikan benda dan gagasan,
mengidentifikasinya serta mengkomunikasikan apa yang diamati, sehingga
diperoleh pengetahuan terinci dari realitas yang komplek ke dalam bagian yang
menjadi elemen pokoknya sampai elemen turunannya secara hirarkis. Jumlah
bagian-bagian ini berkisar antara lima sampai sembilan. Prinsip penetapan prioritas
adalah prinsip untuk mempersepsikan hubungan antara hal-hal yang diamati,
membandingkan sepasang benda atau hal yang serupa berdasarkan kriteria tertentu
dan membedakan kedua anggota pasangan itu dengan menimbang intensitas
preferensi terhadap hal yang satu dibandingkan dengan lainnya. Adapun prinsip
30

konsistensi logis adalah menguji tingkat konsistensi penilaian bila terjadinya


penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, sehingga hal ini
mengindikasikan penilaian perlu diperbaiki atau hirarki mesti distruktur ulang.
Penggunaan AHP telah sangat luas, beberapa riset menggunakan metode
AHP adalah perumusan strategi penguatan kinerja sistem agribisnis (Oelviani 2013),
analisis perilaku institusional investor (Natapura 2009), optimasi alokasi
sumberdaya (Ergu et al. 2013; Pedrycz dan Song 2011), managemen rantai pasok
(Govindana et al. 2014), strategi mitigasi (Yuan et al. 2015), pemilihan pemasok
(Kar 2015) dan beberapa review (Subramaniana dan Ramanathan 2012; Sipahi dan
Timor 2010; Ishizaka dan Labib 2011).

Interpretive Structural Modeling

Model strukturisasi kelembagaan merupakan salah satu strategi dalam riset


dan analisis kelembagaan yang digunakan. Di antara metode yang sering dipakai
adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Saxena (1992) melalui Interpretive
Structural Modeling (Permodelan Interpretasi Struktural). Metode ini adalah proses
pengkajian secara kelompok (group learning process) dimana model-model
struktural kelembagaan dihasilkan guna menggambarkan perihal yang komplek
dari suatu keadaan sistem kelembagaan melalui pola yang dirancang dengan
sistematis menggunakan grafis dan kalimat (Eriyatno 2012). Teknik Interpretive
Structural Modeling (ISM) merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk
menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencanaan jangka panjang yang
sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi
statistik deskriptif (Marimin 2008).
Menurut Kanungo dan Bhatnagar (2002), metode ISM dapat digunakan
untuk mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh
(dukungan atau pengabaian), struktur prioritas (‘lebih penting dari’ atau ‘sebaiknya
dipelajari sebelumnya’) dan kategorisasi ide (misalnya ‘termasuk dalam kategori
yang sama dengan’)
Strukturisasi pengembangan kelembagaan terdiri dari data elemen
pengembangan, data sub-elemen strukturisasi pengembangan kelembagaan dan
data hubungan kontekstual. Data elemen pengembangan menggambarkan elemen-
elemen yang terdapat dalam sistem strukturisasi pengembangan kelembagaan
agroindustri, sedangkan data sub-elemen menggambarkan sub-elemen yang
terdapat pada masing-masing elemen tersebut. Data penilaian hubungan
kontekstual berisi tentang hubungan kontekstual antar sub-elemen pada masing-
masing elemen strukturisasi pengembangan. Data-data tersebut digunakan sebagai
basis data dalam sub-model pemilihan kelembagaan usaha dan strukturisasi
pengembangan kelembagaan.
Hasil model pemilihan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri
berupa prioritas utama dari berbagai alternatif kelembagaan terpilih yang
selanjutnya dilakukan strukturisasi sistem pengembangan kelembagaan. Menurut
Saxena (1992) program strukturisasi pengembangan kelembagaan dapat dianalisis
berdasarkan sembilan elemen, yang terdiri dari:
1. Elemen tujuan
2. Elemen kebutuhan
31

3. Elemen kendala utama


4. Elemen tolok ukur keberhasilan
5. Elemen lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan
6. Elemen sektor masyarakat yang terpengaruh
7. Elemen perubahan yang dimungkinkan
8. Elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam perencanaan tindakan, dan
9. Elemen ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap
aktivitas
Beberapa jenis elemen lain yang juga dapat dipergunakan adalah seperti
yang diberikan oleh Sharma (1994), yaitu:
1. Elemen pernyataan atas tujuan
2. Elemen usulan program atau pilihan
3. Elemen parameter ekonomi
4. Elemen tolok ukur pembinaan
5. Elemen nilai
6. Elemen permasalahan, peluang dan penyebab, serta
7. Elemen aktivitas, kejadian (events).
Beberapa riset kelembagaan menggunakan pendekatan ISM adalah Budi et
al (2009); Forstater (2001); Jaya et al. (2013); Hsu et al. (2015); Murtadlo dan
Utomo (2014); Panackal dan Singh (2015); dan Pandi et al (2016).

Penelitian Terdahulu

Penelitian Kopi Gayo


Penelitian tentang kopi Gayo khususnya di Aceh, selama ini terfokus pada
soal lahan (Karim et al. 2002; Abubakar et al. 2011; Darussalam et al. 2000; Hulupi
et al. 2012; Yulianur et al. 2012; Hanisch et al. 2011; Ellyanti et al. 2012; Wahyuni
et al. 2013), lingkungan (Widayat 2015; Yulianur et al. 2012; Ellyanti et al. 2012;
Chairawaty 2012), mutu poduk (Abubakar et al. 2011; Hulupi et al. 2013; Hanisch
et al. 2011; Wahyuni et al. 2013), rantai pasok dan rantai nilai (Jaya et al. 2014;
Ibrahim et al. 2010; Mujiburrahman 2011; Saputra 2012), ekonomi-modal-
keuangan (Walker 2015; Jaya et al. 2013; Nielson 2008; Almqvist 2011; Putri et al.
2013; Romano 2009; Mujiburrahman 2011; Silitonga 2008; Bilhak dan Maarif
2014; Hakim et al. 2014; Suryadi et al. 2013; Indra 2011), kebijakan (Charawaty
2012; Hakim et al. 2014; Almqvist 2011; Walker 2015; Putri et al. 2013),
kelembagaan (Jaya et al. 2014; Almqvist 2011; Aliamin dan Ariyuni 2011), dan
sumberdaya manusia (Aliamin dan Ariyuni 2011). Secara persentase penelitian
tentang kopi Gayo dari beberapa peneliti sebelumnya menunjukkan bahwa kajian
tentang ekonomi, modal dan keuangan menempati urutan yang paling tinggi (29
persen), sedangkan kelembagaan dan sumberdaya manusia adalah yang paling
sedikit dikaji yaitu masing-masing 7 persen dan 2 persen (Gambar 11). Hampir
tidak ada yang secara spesifik mengkaji mengenai kelembagaan agroindustri yang
terlibat di dalamnya secara komprehensif dan mendalam.
Oleh karena itu, hal inilah yang mendorong penilitian ini menjadi strategis
untuk dilakukan. Paling tidak ada tiga hal strategis yang penting untuk dipelajari.
Pertama adalah bagaimana sistem kelembagan agroindutri kopi Gayo dapat
bertahan dan memberi andil dalam meningkatkan kesejahteraan bagi petani. Kedua,
32

bagaimana upaya-upaya penguatan kapasitas sumberdaya manusia dalam konteks


kelembagaan dapat mendorong produktivitas secara terus-menerus. Ketiga,
mengingat kopi Gayo merupakan produk hasil perkebunan yang utama di
Kabupaten Bener Meriah dan Kabupaten Aceh Tengah, maka kajian-kajian secara
sepesifik seperti ini sangat memiliki arti penting bagi pengembangan kawasan dan
agroindustri dimasa-masa yang akan datang.

Sumberdaya
Kelembagaan Manusia
7% 2% Lahan
20%
Kebijakan
12%
Lingkungan
10%

Mutu produk
10%
Ekonomi, modal
dan keuangan
Rantai pasok
29%
dan rantai nilai
10%
Gambar 11 Persentase publikasi penelitian kopi Gayo

Penelitian Kelembagaan Kopi Gayo


Beberapa penelitian kelembagaan kopi Gayo seperti Jaya et al. (2014),
menguraikan tentang para aktor yang terlibat dalam agroindustri dengan
pendekatan kelembagaan rantai pasok. Almqvist (2011), kajiannya secara umum
adalah tentang sertifikasi kopi Gayo yang punya hubungan dalam membentuk
kelembagaan tersendiri. Aliamin dan Ariyuni (2011), lebih fokus pada
kelembagaan agribisnis. Oleh karenanya, dari berbagai referensi penelitian
kelembagaan kopi Gayo belum ada yang lengkap secara keseluruhan, termasuk
bagaimana menilai kelembagaan yang sudah ada terutama berkaitan dengan
efektifitas model kelembagaan yang sudah terbangun selama ini. Penelitian ini lebih
terdorong dengan semangat untuk mengembangkan kelembagaan yang sudah ada
melalui strategi intervensi pengembangan kelembagaan untuk menjadi lebih baik
lagi.

Posisi Penting Penelitian Kelembagaan


Acemoglu dan Robinson (2012) lewat karya monumentalnya Why Nations
Fail: The Origins of Power, Prosperity and Poverty, menuliskan bahwa selama
kurang lebih 15 tahun penelitiannya berkaitan dengan faktor-faktor yang
33

menentukan sebuah negara-bangsa menjadi kaya atau miskin, sukses atau gagal dan
maju atau terbelakang, ternyata mereka berkesimpulan bahwa faktor institusional
(kelembagaan) merupakan faktor yang paling penting. Menurut mereka bahwa
institusi yang inklusif (politik, ekonomi, hukum) merupakan penentu utama
kemajuan suatu bangsa, sedangkan institusi yang ekstraktif dan eksploitatif hanya
menguntungkan sebagain kecil orang atau elit saja yang pada akhirnya akan
menyebabkan keterpurukan dan kegagalan bangsa itu sendiri. Sampai sekarang
Acemoglu masih terus menganalisis peran kelembagaan beserta inovasi yang
memiliki efek terhadap politik dan pertumbuhan ekonomi (Acemoglu dan Ucer
2015; Acemoglu 2015; Acemoglu et al. 2015; Acemoglu et al. 2014a; Acemoglu
et al. 2014b; Acemoglu dan Robinson 2012; Acemoglu 2010; Acemoglu et al.
2008; Acemoglu dan Robinson 2008; Acemoglu dan Johnson 2005; Acemoglu et
al. 2005).
Pemikiran inilah yang melandasi betapa strategisnya faktor kelembagaan
dan penilaian kematangan suatu kelembagaan menjadi kajian yang penting untuk
dilakukan. Walaupun tidak dalam konteks besar secara nasional, tetapi paling tidak
untuk level daerah merupakan suatu kajian yang strategis dan bermakna bagi
keberlangsungan usaha masyarakat khususnya yang terlibat dalam suatu
agroindustri seperti kopi Gayo.

Analisis

Kerangka Penelitian
Peran penting agroindustri dalam menopang perekonomian negara
dirasakan cukup strategis dan berkesinambungan. Upaya melakukan penguatan
kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia menjadi suatu
keharusan dalam membangun agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh untuk
menjadi lebih baik. Apalagi sebahagian besar hasil produksi kopi di daerah tersebut
diekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara
Eropa lainnya. Oleh karenanya sangat dituntut kondusifitas kelembagaan, sehingga
dapat memberikan kepastian bagi keberlanjutan kuantitas dan kualitas produk yang
tersedia dengan tetap memperhatikan keseimbangan berbagai faktor yang
melingkupinya.
Agroindustri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia bisnis,
sehingga dalam prakteknya sangat terkait dengan kompleksitas berbagai pemangku
kepentingan, terutama kelembagaan dan sumberdaya manusia. Hal ini berimplikasi
pada produksi dan daya saing produk kopi yang dihasilkan. Penguatan kelembagaan
dan peningkatan sumberdaya manusia akan senantiasa memegang peranan penting
sebagai prospek pada setiap usaha-usaha pengembangan yang akan dilakukan. Oleh
karenanya penelitian ini akan mendalami aspek kelembagaan dan mengkaitkannya
dengan aspek sumberdaya manusia melalui kerangka pemikiran seperti Gambar 12.

Pengumpulan Data
Data dan informasi dalam topik penelitian yang dikaji sangat diperlukan
untuk menghasilkan suatu penelitian yang berkualitas, sehingga berbagai
pengetahuan yang mendukung dan relevan perlu direncanakan dengan baik. Proses
identifikasi data dan informasi perlu dilakukan untuk lebih memberikan kejelasan
34

Gambar 12 Tahapan proses penelitian

dari sejak awal terhadap berbagai hal yang hendak dikumpulkan. Data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini secara umum terbagi dua, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh peneliti
35

melalui pengamatan di lapangan dan diskusi baik wawancara maupun dialog secara
mendalam dengan para pihak yang terlibat langsung dengan objek kajian yang di
teliti. Para pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan agroindustri kopi Gayo
meliputi praktisi, akademisi dan peneliti yang memiliki pengalaman dan
pengetahuan. Untuk memudahkan dalam merumuskan pengumpulan data disiapkan
alat bantu berupa kuisioner yang didesain sesuai dengan tujuan penelitian. Data-
data primer yang dikumpulkan meliputi: (1) data pendapat para pihak (stakeholder)
tentang praktek kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang telah berlangsung,
termasuk bagaimana penilaian sistem kelembagaan yang telah terjadi selama ini,
(2) data pengetahuan para pihak berkaitan dengan alternatif-alternatif
pengembangan kelembagaan yang dapat dirumuskan untuk memperbaiki atau
meningkatkan sistem produksi dan manajerial penanganan kopi Gayo.
Penentuan responden para pihak yang akan diminta pendapatnya dilakukan
melalui curah gagasan (brainstorming) dan eksplorasi pengetahuan dari berbagai
pengalaman dan praktek agroindustri kopi Gayo. Oleh karenanya kriteria yang
digunakan dalam pemilihan responden para pihak ini adalah berdasarkan tingkat
pengetahuan yang ditentukan oleh pekerjaan, pengalaman dan pengetahuan.
Selanjutnya responden para pihak yang dimaksud dalam penelitian ini ditentukan
melalui mekanisme purposive sampling (secara sengaja).
Selain data primer, peneliti juga mengambil data-data sekunder yang
mendukung dari berbagai sumber yang relevan. Data sekunder meliputi model dan
pola kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang telah berkembang, kendala dan
masalah-masalah yang dihadapi, pihak-pihak yang terlibat, data produksi, data
perusahaan (agroindustri), data luas perkebunan, kepemilikan, akses pasar, dan
data-data lainnya yang relevan dengan topik penelitian ini. Data-data ini diperoleh
baik melalui studi literatur, dokumen pemerintah maupun swasta (Tabel 4).

Tabel 4 Jenis dan Sumber Data

Jenis Data Sumber Data


Wawancara dengan para pihak
Focus Group Discussion (FGD)
Data Primer
Pengamatan dilapangan
Berbagi pengalaman
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab. Aceh Tengah
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kab. Bener Meriah
Badan Pusat Statistik (BPS)
Pemerintah Aceh
Data Sekunder Dinas Perkebunan Propinsi Aceh
Lembaga Penyuluhan
Agroindustri
LSM terkait
Jurnal Nasional dan Internasioanl
Media massa
36

Tahapan Penelitian dan Metode

Secara ringkas tahapan penelitian strategi pengembangan kelembagaan


agroindustri kopi Gayo yang dilakukan dalam disertasi ini adalah seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 5.

--------------------
Kajian pada BAB ini, sebahagian besar telah diterbitkan pada Asian Journal of
Applied Science (AJAS) Vol.5 No.4 Hal. 747-763 tahun 2017 (Agustus), Pakistan;
Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vo.27 No.1 Hal. 103-113 tahun 2017 (April),
Akreditasi B DIKTI; dan Prosiding FW Great Event 2016 “Sinergis Pertanian
Menjawab Permasalahan Bangsa”, IPB-Dramaga, 3 Desember 2016, ISBN 978-
602-440-246-4 .
Tabel 5 Tahapan riset pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo

TAHAPAN METODE INPUT PROSES OUTPUT


1.
Penetapan s ituasi dunia nyata
1. Da ta dan Informasi 2.
Pera ncangan Rich Picture
Analisis Situasional dan 1. Si tuasional Kelembagaan
Kel embagaan 3.
Pera ncangan Root Definition (CATWOE)
Strategi Intervensi Soft Systems 2. Stra tegi Intervensi
2. Berba gai Model 4.
Pera ncangan Model Konseptual
Kelembagaan (Asistensi, Methodelogy Kel embagaan
Kel embagaan ya ng telah 5.
Perba ndingan Model dengan Dunia Nya ta
Fasilitasi, Promosi) 3. Publ ikasi 1 a rtikel
berkembang 6.
Merumuskan Rencana Perubahan
7.
Merumuskan Rencana Tindakan
System Development 1.
Pendefinisian sistem 1. Si s tem Penilaian Kuantitatif
Desain dan Analisis 1. Entitas Pembentuk Sistem
Life Cycle (SDLC), Us e 2.
Ana l isa kebutuhan Kema tangan Kelembagaan
Sistem Penilaian 2. Peni laian kelembagaan
Ca s e Diagram, dan 3.
Mendesain s ecara graphical para aktor Agroi ndustri
Kuantitatif Kematangan s elama i ni
Business Process 4.
Mera ncang Model BPMN 2. Ti ngkat Kematangan
Kelembagaan 3. Berba gai aspek dalam
Model and Notation 5.
Merumuskan aspek penilaian kematangan kelembagaan Kel embagaan Agroindustri
Agroindustri Kopi Gayo s ua tu kelembagaan
(BPMN) 6.
Peni laian Kuantitatif Kematangan Kelembagaan Agroindustri 3. Publ ikasi 1 a rtikel
1.
Penetapan s ituasi dunia nyata
2.
Pera ncangan Rich Picture
Analisis Strategi 1. Stra tegi Pengembangan
Da ta dan Informasi 3.
Pera ncangan Root Definition (CATWOE)
Pengembangan Sumber Soft Systems Sumber Daya Manusia
Pengembangan Sumber Daya 4.
Pera ncangan Model Konseptual
Daya Manusia Methodelogy Agroi ndustri Kopi Gayo
Ma nusia 5.
Perba ndingan Model dengan Dunia Nya ta
Agroindustri Kopi Gayo 2. Publ ikasi 1 a rtikel
6.
Merumuskan Rencana Perubahan
7.
Merumuskan Rencana Tindakan
1. Al ternatif-alternatif 1.
Merumuskan faktor dan tujuan sistem pengembangan
Analisis Prospektif 1. Skenario Prospektif :
keja dian dimasa depan kel embagaan
Pengembangan Optimis, Moderat dan
Prospective Analysis (pos itif dan negatif) 2. Mel a kukan pembobotan ti ngkat kepentingan faktor melalui
Kelembagaan Pes i mis
2. Des kripsi Evolusi Analitical Hierarchy Process (AHP)
Agroindustri Kopi Gayo 2. Publ ikasi 1 a rtikel
Kemungkinan Masa Depan 3. Mera ncang Skenario Pengembangan Kelembagaan
El emen Kunci: 1. Identifikasi elemen, sub-elemen dan pengumpulan pendapat
1. Tujua n Program pa kar
Formulasi Strategi 1. El emen dan Sub-Elemen
Interpretive 2. Kendala Utama 2. Perumusan matrik interaksi tunggal terstruktur (Structural Self
Pengembangan Kunci
Structural Modelling 3. Aktivi tas ya ng dibutuhkan Interaction Matrix).
Kelembagaan 2. Hi ra rki Sub-Elemen
(ISM) 4. Tol ok Ukur Keberhasilan 3. Merumuskan Reachability Matrix da n menjadikan matriks biner,
Agroindustri Kopi Gayo 3. Publ ikasi 1 a rtikel
Progra m s erta mengkaji menurut aturan transivity
5. Pa ra Pelaku 4. Penetapan pilihan jenjang (level partition).
37
3 ANALISIS SITUASIONAL DAN STRATEGI INTERVENSI
KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI KOPI GAYO

Pendahuluan

Analisis situasional adalah suatu kajian untuk mengetahui kondisi terkini


suatu objek yang dikaji, sehingga memberikan pengetahuan aktual terhadap
keadaan yang sebenarnya pada saat itu. Analisis situasional sering dijadikan salah
satu metode untuk menelaah berbagai fenomena sosial, keadaaan masyarakat dan
kondisi wilayah. Melalui pengungkapan situasional ini akan memberikan
penggambaran dari suatu peristiwa atau keadaaan tertentu yang akan bermanfaat
bagi tindakan ataupun perencanaan yang akan dilakukan.
Strategi intervensi adalah suatu rencana yang cermat berkaitan dengan
gagasan, perencanaan, dan eksekusi mengenai kegiatan tertentu untuk mencapai
sasaran khusus terhadap sesuatu. Adapun kelembagaan menurut Syahyuti (2006)
diartikan sebagai hubungan kerja yang sistimatis teratur dan saling mendukung
diantara beberapa lembaga, baik sejenis maupun tidak sejenis dan terikat dengan
seperangkat nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama dalam rangka
mencapai satu atau lebih yang menguntungkan semua pihak.
Secara umum pengertian kelembagaan mempunyai dua makna. Pengertian
pertama adalah sebagai aturan main dalam interaksi interpersonal dan pengertian
kedua adalah kelembagaan sebagai organisasi yang memiliki hirarki. Sebagai
aturan main kelembagaan diartikan sebagai kumpulan aturan, baik formal maupun
informal, tertulis maupun tidak tertulis, mengenai tata hubungan manusia dengan
lingkungan yang menyangkut hak-hak dan perlindungan serta tanggungjawabnya.
Selanjutnya kelembagaan sebagai suatu organisasi, dalam pengertian ekonomi
menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga-
harga tetapi oleh mekanisme administratif atau kewenangan (Anwar 1998).
Kelembagaan merupakan hal yang komplek karena banyak faktor yang
mempengaruhi keberlangsungan kelembagaan itu. Kelembagaan tidak bisa hanya
dilihat dari segi internal kelembagaan saja, tetapi juga dari segi eksternal yang
mempengaruhi kegiatan kelembagaan tersebut (Kusnandar et al. 2013). Oleh
karena itu, analisis situasional suatu kelembagaan sangat diperlukan agar kondisi
yang sebenarnya dapat diketahui secara mendalam dan dapat ditentukan langkah
perbaikan atau pengembangan jika masih terdapat kekurangan pada kelembagaan
tersebut. Untuk melakukan perubahan kelembagaan, maka harus melakukan
pemetaan dan analisis keterkaitannya, sehingga perlu mengidentifikasi pelaku,
mekanisme kelembagaan, peluang dan tantangan yang dihadapi (Hounkonnou et al.
2012; Wijayanti et al. 2016)
Kusnandar et al. (2013) menyatakan analisis kelembagaan dalam bidang
pertanian adalah analisis yang ditujukan untuk memperoleh deskripsi mengenai
suatu fenomena sosial ekonomi pertanian, yang berkaitan dengan hubungan antara
dua atau lebih pelaku interaksi sosial ekonomi, mencakup dinamika aturan-aturan
yang berlaku dan disepakati bersama oleh para pelaku interaksi, disertai dengan
analisis mengenai hasil akhir yang diperoleh dari interaksi yang terjadi. Dalam
batas-batas tertentu analisis kelembagaan dapat berlaku umum diberbagai wilayah
dan keadaan, namun dalam banyak hal, aspek lokalitas dan permasalahan spesifik
39

harus selalu memperoleh penekanan, mengingat peluang besar terjadinya variasi


per lokalitas maupun permasalahan (Syahyuti 2003).

Soft Systems Methodology


Soft Systems Methodology (SSM) adalah sebuah pendekatan holistik di
dalam melihat aspek-aspek riil dan konseptual di masyarakat. SSM merupakan
sistem pembelajaran yang tidak pernah berhenti (siklik) dan dipandang sebagai
salah satu strategi dalam menangani berbagai masalah manajemen yang lahir dari
sistem aktivitas manusia (human activity system) (Bergvall-Kåreborn 2002; Martin
2008). Sistem ini melibatkan secara aktif aktor-aktor yang berkepentingan dalam
situasi masalah melalui persepsi mereka dan kesiapan mereka dalam memutuskan
tindakan yang terarah dengan mengakomodasi persepsi, penilaian, dan nilai-nilai
aktor yang berbeda (Ningsih 2013). SSM menyediakan pendekatan yang koheren
terhadap pemikiran kelompok dan individual mengenai konteks, kompleksitas dan
ambiguitas kebijakan (Chapman 2004).
Pendekatan soft systems dianggap sebagai metodologi yang sangat produktif
untuk mempelajari setiap aktivitas manusia yang terorganisir di dalam mencapai
tujuan-tujuan tertentu tersebut (Patel 1995). Oleh karenanya SSM sangat cocok
diimplementasikan sebagai sebuah kerangka kerja (framework) pemecahan
masalah yang dirancang secara khusus pada keadaan yang secara hakikatnya
masalah tersebut sulit untuk didefinisikan (Martin 2008; Sinn 1998). SSM juga
sering dipakai untuk membuat konsep model, memperbaiki tindakan pragmatis,
mencari kompromi, maupun pembelajaran bersama dan partisipatif seperti
pengembangan organisasi dan pengembangan komunitas, serta untuk
pengembangan usaha (Fadhil et al. 2017f).
Pendekatan SSM pada hakikatnya adalah memberikan perbandingan antara
dunia nyata dengan suatu permodelan yang diperkirakan merepresentasikan dunia
itu sendiri. Tujuan perbandingan ini nantinya akan memberikan pemahaman yang
lebih baik mengenai dunia nyata (research) dan memberikan ide-ide perbaikan
(action) (Sonatha dan Prayama 2011; Brocklesby 1995; Checkland dan Scholes
1990). SSM memiliki kapabilitas dalam menyediakan kerangka kerja untuk
memahami masalah yang dihadapi bahkan masalah yang kompleks sekalipun
(Daellenbach dan McNickle 2005).
Penggunaan SSM pada berbagai disiplin ilmu telah banyak diterapkan oleh
peneliti, mulai dari persoalan industri, sumberdaya manusia, manajemen, rantai
pasok, energi, militer, struktural, pertanian, organisasi, kesehatan, kebijakan, sosial,
bisnis, lingkungan, inovasi dan sebagainya (Proches dan Bodhanya 2017; Fadhil et
al. 2017f; Uršič dan Pivka 2017; Espinosa dan Duque 2017; Mello et al. 2017;
Staker 1999; Ackermann 2012; Sørensen et al. 2010; Wang et al. 2015; Holm et al.
2013; Houghton 2012; Paucar-Caceres et al. 2015; Suriya dan Mudgal 2012;
Antunes et al. 2016).
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis situasional dan
merumuskan strategi intervensi kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Propinsi
Aceh. Analisis situasional dilakukan dengan pendekatan SSM, sedangkan strategi
intervensi kelambagaan menggunakan analisis intervensi kelembagaan. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan permodelan konseptual dari
situasional kelembagaan agroindustri kopi Gayo dan strategi intervensi
kelembagaan yang akan berguna bagi pengambilan keputusan untuk
40

pengembangan kelembagaan agroindustri selanjutnya.

Metode

Analisis situasional kelembagaan agroindustri dilakukan menggunakan


metode soft systems methodology (SSM) yang dikembangkan oleh Checkland dan
Poulter (2010); Checkland dan Scholes (1990). Metode SSM memiliki 7 tahapan
(Gambar 13), yaitu:
(1) Mengkaji masalah yang tidak terstruktur. Pada tahap ini dilakukan
pengumpulan sejumlah informasi yang diperlukan berkaitan dengan kondisi
situasional dan strategi intervensi kelembagaan agroindustri kopi Gayo,
termasuk pandangan dan asumsi para pihak yang terlibat. Informasi primer
diperoleh melalui diskusi mendalam dengan para pakar yang berkompeten.
Para pakar yang dipilih sebanyak 7 orang yaitu dari Dinas Pertanian Kabupaten
Aceh Tengah, dosen Universitas Gajah Putih di Takengon, pengusaha UMKM
kopi Gayo, pengusaha coffeeshop di Takengon, petani kopi Gayo, pedagang
pengumpul, dan koperasi kopi Gayo. Untuk data sekunder diperoleh dari
dokumen-dokumen kepustakaan lembaga pemerintah dan swasta termasuk
bahan-bahan hasil penelitian.
(2) Mengekspresikan situasi masalah. Bahan yang diperoleh pada tahap pertama,
selanjutnya digunakan untuk membangun rich picture (penggambaran peta
dunia nyata) atau disebut juga representasi keadaan sekarang.
(3) Membangun definisi permasalahan yang berkaitan dengan situasi masalah.
Bagian ini adalah merumuskan root definition (definisi akar), yaitu suatu
kalimat singkat yang menyatakan “suatu sistem melakukan P dengan cara Q
untuk mencapai R”. Root definitions (RDs) selanjutnya dituangkan dalam
mnemonic CATWOE sebagaimana Tabel 6.

merumuskan melakukan
permasalahan tindakan
1 berdasarkan 7 perbaikan atas
situasi permasalahan menetapkan
perubahan yang
6 layak dan
diinginkan
membandingan
mengekspresikan
model konseptual
2 situasi
permasalahan
5 dengan dunia
nyata dunia nyata

pemikiran sistem
mendefinisikan tentang dunia
akar membangun nyata
3 permasalahan dari 4 model
sistem yang konseptual
relevan

Gambar 13 Tahapan Soft Systems Methodology


Diadopsi dari Checkland (1981); Checkland dan Poulter (2010)
41

Tabel 6 Elemen dan deskripsi CATWOE

Elemen CATWOE Deskripsi


Costumer Siapa yang mendapatkan manfaat dari aktivitas tujuan?
Actor Siapa yang melaksanakan aktivitas-aktivitas?
Transformation Apa yang harus berubah agar input menjadi output?
World-view Cara pandang seperti apa yang membuat sistem berarti?
Owner Siapa yang dapat menghentikan aktivitas-aktivitas?
Environment Hambatan apa yang ada dalam lingkungan sistem?

Diadopsi dari Checkland dan Scholes (1990).

(4) Membangun model konseptual. Berdasarkan root definition di atas untuk setiap
elemen yang didefinisikan, kemudian dibangun model konseptual yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ideal. Model ini mengidentifikasi
sistem aktivitas manusia hasil ekspresi situasi masalah dalam rich picture dan
merepresentasikan hubungan antar kegiatan. Model konseptual ini merupakan
proses adaptif, karena terjadi umpan balik antara proses memodelkan dengan
hasil ekspresi situasi masalah. Semua elemen yang tertuang dalam CATWOE
disertakan dalam model konseptual.
(5) Membandingkan model konseptual dengan situasi masalah. Model konseptual
dibandingkan dengan dunia nyata untuk menjelaskan kemungkinan perubahan
di dunia nyata. Setiap pihak yang terlibat memberikan persepsi dan penilaian
terhadap aktivitas yang dimodelkan, untuk menentukan apa yang seharusnya
dilakukan, dipertahankan, diperbaiki atau ditinjau kembali. Draft awal model
konseptual didesain oleh peneliti yang selanjutnya diminta koreksi, masukan
dan klarifikasi kepada setiap pakar sebagai narasumber dari penelitian ini.
Suatu model perbandingan dirumuskan meliputi aktivitas yang ditawarkan,
realita atau kondisi dunia nyata yang terjadi dan rekomendasi untuk tindak
lanjut. Model ini disempurnakan dan akan menjadi rekomendasi untuk
perubahan.
(6) Menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan. Tujuan tahap ini adalah
untuk mengidentifikasi dan mencari perubahan yang diinginkan secara
sistemik dan layak. Perubahan dapat terjadi dalam hal struktur, prosedur atau
sikap orang-orang.
(7) Melakukan tindakan perbaikan atas masalah. Pada tahap ini akan muncul
rekomendasi perubahan untuk dapat diimplementasikan. Proses ini
menghasilkan sistem yang tepat untuk melakukan perubahan yang aktivitasnya
diharapkan dapat menjadi praktik dalam pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo atau disebut juga sebagai “dunia nyata”.
Untuk perumusan strategi intervensi kelembagaan menggunakan
pendekatan yang dikembangkan oleh Nasution (2002) dan North (2014). Menurut
Fadhil et al. (2017b) menyatakan bahwa suatu kelembagaan memiliki keadaan
posisi tertentu dalam sebuah sistem agroindustri yang ada. Oleh karena itu, jika
ingin melakukan proses pengembangan kelembagaan, terlebih dahulu harus
dianalisis kelembagaan yang selama ini berlaku dalam suatu masyarakat atau
organisasi. Apakah sistem kelembagaan yang sudah ada perlu dibantu (assistance),
difasilitasi (facilitation) atau dipromosikan (promotion) (Nasution 2002; North
42

2014). Setelah dilakukan analisis kondisi terkini kelembagaan (existing institution),


barulah diambil keputusan berkaitan dengan rencana strategi yang akan diterapkan
dalam pengembangan kelembagaan tersebut.
Nasution (2002) menyatakan bahwa apabila kelembagaan lokal (local
institution, private enterprise) di pedesaan telah berfungsi kuat dan mampu
mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan, maka peran pihak luar adalah
bersifat bantuan (assistance), sedangkan apabila kelembagaan lokal masih lemah
dan belum berpengalaman sehingga pengambilan inisiatif masih lemah, maka peran
pihak luar adalah dalam bentuk fasilitasi (facilitation), dan apabila kelembagaan
lokal sama sekali belum berkembang (local institutions are underdevelopment),
maka strategi yang sesuai adalah mempromosikan, artinya pihak luar haruslah
memiliki peran yang pro-aktif dalam menumbuhkan kemampuan kelembagaan
lokal tersebut.

Hasil dan Pembahasan

Permasalahan Tidak Terstruktur


Dalam pengembangan agroindustri kopi Gayo, masalah kelembagaan
menjadi isu utama dibandingkan isu-isu lainnya seperti sumberdaya manusia,
sumberdaya biofisik, aplikasi teknologi, akses pasar dan sistem pendukung (Fadhil
et al. 2017e). Sejauh ini belum ada suatu strategi yang komprehensif dilakukan
untuk mengembangkan kelembagaan agroindustri secara serius. Permasalahan
utama adalah sering suatu kebijakan pengembangan kelembagaan menggunakan
pendekatan penyeragaman (Syahyuti 2012). Hal ini menyebabkan penyelesaian
masalah kelembagaan yang berkembang tidak efektif dan tidak memenuhi harapan
yang diinginkan.
Menurut Syahyuti (2003) pemerintah selama ini kurang memberi perhatian
terhadap pengembangan kelembagaan yang tumbuh secara alami dari suatu nilai
dan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Terkadang juga menghilangkan
sistem kelembagaan yang sudah ada dan dirasakan manfaatnya bertahun-tahun oleh
masyarakat dan diganti dengan sistem yang baru dengan tujuan keseragaman dan
memudahkan dalam pengawasan. Namun pada kenyataannya sistem kelembagaan
yang baru tidak sepenuhnya dapat diimplementasi dengan baik dan optimal, karena
disebabkan oleh berbagai pendekatan yang kadang tidak menghargai kearifan lokal.
Sementara kelembagaan yang sudah berkembang jarang ditelaah atau dijadikan
pintu masuk sebagai modal sosial untuk dikembangkan atau diperbaiki dari yang
sudah ada (Togbe et al. 2012; Zuraida dan Rizal 1993; Agustian et al. 2003;
Syahyuti, 2003; Purwanto et al. 2007).
Secara umum, terdapat empat bentuk kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang
telah ada saat ini, yaitu:
1. Sertifikasi: merupakan sistem kelembagaan yang terbentuk berdasarkan
konsep produksi kopi berkelanjutan (sustainable coffee production) yang
dilakukan berdasarkan tuntutan dari importir. Sertifikasi kopi telah
berkembang pesat, terutama untuk negara-negara Amerika dan Eropa.
Beberapa jenis sertifikasi telah dilakukan di Indonesia, seperti Organic,
Fair Trade, UTZ, Rain Forest Alliance, Bird Friendly, dan 4C. Untuk kopi
Gayo saat ini telah mendapatkan sertifikasi produk antara lain Organic
43

certified, Fairtrade dan Rain Forest (Disbun Aceh 2013). Perbedaan ketiga
jenis sertifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Jenis sertifikasi produksi kopi Gayo

Jenis
Organic Fair Trade Rain Forest Alliance
Sertifikasi
Menciptakan sistem
pertanian
berkelanjutan yang Memajukan produser
Untuk
selaras dengan dan pengenalan merek
memastikan
Misi lingkungan, yang menggambarkan
perdagangan yang
menjamin komitmen terhadap
adil bagi produsen
biodiversitas, dan keberlanjutan
peningkatan
kesuburan tanah
Manajemen, konservasi
Elemen pokok Lingkungan, Sosial, ekonomi,
lingkungan, ekosistem,
dalam produktivitas lahan lingkungan dan
UU tenaga kerja, dan
sertifikasi dan standar proses organisasi
keuntungan komunitas
Semua pihak kecuali
Keanggotaan Semua pihak yang
yang tidak Semua pihak dari
dalam sistem sudah terdaftar
berhubungan dengan produsen hingga penjual
sertifikasi dalam sertifikasi
proses dan penjualan
Ketelusuran
sistem Dijamin dari pembeli hingga produsen
sertifikasi
Perbedaan
harga dengan Ada
non sertifikasi
Biaya yang Biaya inspeksi
dikeluarkan (biasanya ditanggung Biaya proses audit Biaya audit
produsen oleh negara)
Tidak dikenakan
Biaya yang
Sekitar USD 1000- biaya tetapi harus USD 2 per pon kopi
dikeluarkan
5000 per tahun membayar dengan beras
oleh pembeli
harga minimum
Fokus pasar Bagi produk-produk Pasar khusus, Specialty dan merek
dan promosi organik konsumen khusus utama, bisnis ke bisnis
www.transfairusa. www.rainforestalliance.
Referensi www.ota.com
org org

Sumber : IIED (2005); Ardiyani dan Erdiansyah (2012)

2. Koperasi: merupakan koperasi yang bergerak pada bidang ekonomi untuk


memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan anggota-anggotanya
khususnya bergerak dibidang agroindustri. Kelembagaan ini dapat
mengadakan kesepakatan-kesepakatan dengan lembaga-lembaga lain,
termasuk pemerintah, dan sumber-sumber luar dalam memperoleh modal
(Budi et al. 2009; Nasution 2002; Fadhil et al. 2017b).
44

3. Kemitraan dagang umum: merupakan pola hubungan usaha dalam


pemasaran hasil antara pihak perusahaan pemasar dengan pihak kelompok
usaha pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar.
4. Usaha mandiri: merupakan usaha agroindustri yang dilakukan dengan tanpa
melakukan ikatan secara formal dengan agroindustri atau kelompok lain.
Kegiatan usaha mandiri agroindustri ini dilakukan sebagai satu kesatuan
unit sendiri, sehingga baik penyediaan bahan baku, proses produksi,
pengemasan, dan pemasaran diupayakan oleh industri kecil itu sendiri atau
disebut juga Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Setiap bentuk kelembagaan memiliki karakteristiknya tersendiri yang
terkadang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Walaupun demikian
terkadang satu bentuk kelembagaan memiliki kemiripan dengan bentuk
kelembagaan lainnya dalam praktek yang berlaku. Oleh karenanya diperlukan
pengidentifikasian yang jelas terhadap masing-masing bentuk kelembagaan yang
telah berkembang tersebut. Dengan demikian maka diharapkan dapat ditentukan
bentuk intervensi pengembangan kelembagaan yang akan dipilih nantinya.

Pemetaan Masalah
Perumusahan masalah dilakukan dengan pemetaan masalah yang detail dan
kaya dibuat melalui diagram, gambar atau model yang dapat menjelaskan
hubungan struktur dan proses para pihak yang terlibat serta dikaitkan dengan
kondisi lingkungan tempat aktivitas itu berlangsung. Struktur mencakup denah
fisik, hirarki, struktur pelaporan, dan pola komunikasi baik formal maupun
informal. Tahapan ini diekspresikan melalui rich picture yang menampilkan
berbagai perspektif dalam memahami persoalan yang dihadapi (Gambar 14).
Berdasarkan rich picture yang dibangun, dapat menggambarkan
permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan kelembagan agroindustri. Saat
ini dengan empat bentuk kelembagaan yang telah berkembang (kelembagaan
sertifikasi, koperasi, kemitraan dagang umum dan usaha mandiri) telah membentuk
suatu mekanisme tersendiri dalam hubungan dengan pedagang pengumpul
(lapangan, kecil dan besar), kelompok tani dan petani. Kelembagaan sertifikasi
memang dirasakan paling besar manfaatnya terhadap jaminan terserapnya semua
produksi hasil perkebunan dari petani. Namun kelembagaan sertifikasi tidak
sepenuhnya memberikan keuntungan bagi petani. Kondisi ini juga turut dilaporkan
oleh Walker (2015) dan Putri (2013) yang menyatakan bahwa hasil rata-rata
produksi kopi yang teroganisir dalam sistem sertifikasi lebih tinggi karena adanya
dukungan agronomi dan teknologi dibandingkan dengan petani yang tidak
terorganisir, akan tetapi petani masih sulit mendapatkan posisi tawar dalam
penentuan harga yang lebih baik dibandingkan eksportir.
Hal yang menarik juga ditemukan bahwa dari segi nilai tambah, hasil
produksi kopi Gayo masih sangat rendah. Para petani, kelompok tani dan pedagang
pengumpul cenderung menjual kopi pada kondisi kopi ceri, kopi hard skin (HS)
kadar air (k.a) 40 % atau kopi beras k.a 40 %, sehingga nilai jualnya juga tidak
terlalu tinggi. Sementara perusahaan dan koperasi yang juga sebagai ekportir
melakukan proses pengolahan kopi pada dua kondisi utama, yaitu Green off grade
(kopi beras k.a 12 %) dan Green Bean (kopi beras k.a < 12 %), sehingga nilai
tambahnya lebih besar. Selain itu dalam tiga tahun terakhir sudah mulai tumbuh
45

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang melakukan proses pengolahan
kopi untuk konsumen terbatas (lokal dan nasional) dengan melakukan sangrai
(roasting) dan pengemasan (packaging). Akan tetapi UMKM ini masih sangat
sedikit dan terbatas, baik di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah,
termasuk secara keseluruhan di Propinsi Aceh juga masih belum banyak. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 15 yang menunjukkan berbagai tahapan
pengolahan kopi Gayo dan pelaku yang terlibat dalam penanganannya.

Gambar 14 Rich picture permasalahan


46

Dilain sisi, ada beberapa pihak yang dapat disebut sebagai lembaga
pendukung, meliputi pemerintah daerah, perguruan tinggi dan lembaga penelitian,
penyuluh dan pendamping perkebunan, lembaga keuangan dan perbankkan, serta
lembaga swadaya masyarakat seperti Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI),
Asosiasi Pedagang Kopi Indonesia (APKI) dan lembaga kopi lainnya di
masyarakat. Para pihak inilah yang diharapkan dapat mengambil peran memberikan
intervensi bagi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo, sehingga
strategi yang dilakukan tentulah berbeda untuk setiap bentuk kelembagaan yang
ada. Peran para pihak ini sangat penting untuk memastikan usaha agroindustri kopi
Gayo terus dapat bertahan dan berkelanjutan, serta multi efeknya adalah untuk
pembangunan dan pengembangan daerah itu sendiri.

Gambar 15 Kopi Gayo dalam berbagai tahapan pengolahan

Definisi Akar (Root Definitions)


Root definitions (RDs) ditulis berdasarkan semua informasi tentang
kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang telah dikumpulkan, dieksplorasi, dan
dibahas melalui tahapan proses SSM sebelumnya. Penyusun RDs menggunakan
rumus umum PQR, yaitu mengerjakan P dengan Q untuk mewujudkan R. PQR ini
menjawab pertanyaan apa, bagaimana, dan mengapa, sehingga tahap berikutnya
untuk memahami akar permasalahan yang hendak diselesaikan, sebuah tabel
analisis CATWOE dirumuskan beserta definisi dari deskripsinya (Tabel 8).
47

Tabel 8 Analisis CATWOE

Deskripsi Hasil Definisi


Costumer: orang yang
C berpengaruh/ Petani, Pedagang Pengumpul, Koperasi dan Perusahaan
dipengaruhi oleh sistem
• Petani: pelaku yang melakukan budidaya, penanganan
pra dan pasca panen
• Pedagang Pengumpul: melakukan penanganan pasca
panen dan perdagangan kepada agroindustri (koperasi
Actor: orang dan peran
A dan perusahaan)
sistem dalam aktivitas
• Koperasi dan Perusahaan: pihak yang melakukan
pembelian kepada petani dan pedagang pengumpul
yang kemudian menjual kepada pembeli (buyer)
nasional dan internasional (importir)
• Pengidentifikasian bentuk kelembagaan akan berguna
bagi perumusan strategi intervensi kelembagaan
agroindustri yang hendak dilakukan.
Transformation: proses
T • Setiap bentuk kelembagaan memiliki filosofinya
dan perubahan
tersendiri, sehingga setiap pendekatan yang dilakukan
adalah unik untuk setiap proses dan perubahan yang
dikembangkan.
• Situasional kelembagaan agroindustri menggambarkan
keadaaan terkini yang berlangsung secara sistematis
World-view: dampak dengan dinamikanya tersendiri.
W dari implementasi • Melahirkan rumusan perencanaan dan strategi
sistem intervensi kelembagaan agroindustri kopi Gayo
sebagai bagian dari rencana pembangunan daerah
secara berkelanjutan.
Petani, Pedang Pengumpul, Koperasi, Perusahaan, LSM
O Owner: para pihak kopi, Perbankkan, Lembaga Penelitian/PT, dan
Pemerintah Daerah
• Berbagai bentuk intervensi kelembagaan yang tidak
terarah dan cenderung melakukan penyeragaman,
Environment: kendala
membuat strategi pengembangan kelembagaan
lingkungan yang
E agroindustri kopi Gayo tidak optimal.
melingkupi sistem dan
implikasinya • Keengganan para pihak tertentu yang merasa nyaman
dengan kondisi yang ada merupakan tantangan
tersendiri yang mesti ditangani dengan seksama.
ROOT DEFINITION:
Sistem melakukan kegiatan analisis situasional dan perumusan strategi intervensi
kelembagaan agroindustri kopi Gayo (P) dengan cara mengidentifikasi kondisi terkini
dan mendeskripsikan berbagai bentuk kelembagaan yang ada beserta para pihak yang
terkait di dalam sistem tersebut (Q) untuk menghasilkan rencana dan tindakan
pengembangan kelembagaan, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka
menengah dan jangka panjang secara berkelanjutan (R)

Model Konseptual
Berdasarkan root definitions yang dirumuskan sebelumnya, kemudian
disusunlah gambaran model konseptual dalam mengidentifikasi aktifitas yang
48

berkembang dalam sistem kelembagaan agroindustri kopi Gayo. Gambar 16


menunjukkan model konseptual kelembagaan agroindustri kopi Gayo secara
umum, Gambar 17 merupakan model konseptual kelembagaan sertifikasi, Gambar
18 adalah model konseptual kelembagaan koperasi, Gambar 19 adalah model
konseptual kelembagaan kemitraan dagang umum dan terakhir adalah Gambar 20
yang menunjukkan model konseptual kelembagaan usaha mandiri. Model
konseptual tersebut dikembangkan melalui gagasan systems thinking (berpikir serba
sistem) yang akan memudahkan dalam memahami seluruh aktifitas yang
berlangsung dalam masing-masing sistem kelembagaan itu (Nee 2005).

Perbandingan Model Dengan Dunia Nyata


Pada tahapan ini adalah melakukan perbandingan antara model konseptual
(human activity system) dengan dunia nyata, sehingga menghasilkan rekomendasi
tentang apa yang sebaiknya dipertahankan, ditingkatkan, diperbaiki atau dibuat
yang baru. Rekomendasi yang diberikan pada proses ini adalah berdasarkan bentuk
kelembagaan masing-masing yaitu promosi untuk kelembagaan usaha mandiri,
fasilitasi untuk kelembagaan kemitraan dagang umum, dan asistensi untuk
kelembagaan koperasi dan kelembagaan sertifikasi. Untuk memahami lebih detil
dapat dipelajari pada Tabel 9.
Identifikasi kondisi “dunia nyata” pada Tabel 9, menggunakan 5 aspek
pengamatan, meliputi 1) pihak utama yang berperan, 2) skala usaha, 3) pasar
sasaran, 4) hubungan dan interaksi para pihak, dan 5) penanganan produk.

Rumusan Jangka Menengah dan Panjang (5-10 tahun mendatang)


Dengan berpedoman pada kondisi situasional dan rumusan strategi
intervensi kelembagaan pada jangka pendek, maka untuk jangka menengah dan
panjang direkomendasikan agar mulai disusun perencanaan yang lebih
komprehensif bagi pengembangan agroindustri kopi Gayo kedepan. Sebagai
langkah awal beberapa masukan yang mengemuka antara lain adalah:
1. Menumbuhkan sebuah badan setara Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang
fokus pada komoditas kopi. BUMD adalah perusahaan yang didirikan dan
dimiliki oleh pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah membentuk
dan mengelola BUMD ditegaskan dalam peraturan pemerintah No. 25 Tahun
2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai
daerah otonom. BUMD ini diharapkan memberi kemudahan kepada
masyarakat luas dalam memperoleh berbagai alat pemenuhan kebutuhan hidup
yang berupa barang atau jasa, mencegah monopoli pasar atas barang dan jasa
yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak oleh sekelompok pengusaha
swasta yang bermodal kuat, meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi
komoditi ekspor sebagai sumber devisa, menghimpun dana untuk mengisi kas
daerah, yang akan dimanfaatkan untuk memajukan dan mengembangkan
perekonomian di daerah tersebut.
2. Merumuskan kebijakan daerah (kabupaten atau propinsi) tentang perdagangan
kopi Gayo. Dengan kebijakan otonomi khusus, memungkinkan pemerintah
Propinsi Aceh atau pemerintah Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener
Meriah mengeluarkan kebijakan yang memberikan jaminan kesejahteraan bagi
pengembangan agroindustri kopi Gayo. Pemerintah juga dapat menerapkan
kebijakan secara perlahan-lahan dengan pengkajian yang komprehensif untuk
Gambar 16 Model konseptual kelembagaan agroindustri kopi Gambar 17 Model konseptual kelembagaan sertifikasi
Gayo secara umum
49
50

Gambar 18 Model konseptual kelembagaan koperasi Gambar 19 Model konseptual kelembagaan kemitraan
dagang umum
51

Gambar 20 Model konseptual kelembagaan usaha mandiri

Tabel 9 Perbandingan Model dengan dunia Nyata, Rumusan Jangka Pendek


(3-4 tahun mendatang)

Intervensi dan Bentuk Kelembagaan


Kondisi Dunia Nyata Rekomendasi
Promosi: Usaha Mandiri
Kelembagaan ini adalah paling bebas
Peran utama dilakukan oleh UMKM
diantara semua bentuk kelembagaan yang
dengan skala usaha kecil dan permodalan
ada, karena para pihak yang terlibat di
sedikit. Pemasaran dominan ditingkat lokal
dalamnya tidak terikat dengan suatu ikatan
(pasar lokal), pasar individual, dan
tertentu antara satu dengan lainnya. Bentuk
coffeeshop. Hubungan antara petani,
intervensi yang dapat dilakukan adalah
pedagang pengumpul dan UMKM adalah
mengembangkan usaha mandiri ini
hubungan relasi biasa, bahkan sebahagian
menjadi lebih banyak dan beragam jenis
UMKM merangkap sebagai petani dan
turunan produk hilir, karena bagaimanapun
pedagang pengumpul. Penanganan produk
kelembagaan usaha mandiri ini memberi
utamanya adalah pada proses sangrai
efek nilai tambah yang tinggi
(roasting) dan pengemasan (packaging).
dibandingkan kelembagaan lainnya. Peran
Pengemasan yang dilakukan masih sangat
utama dari lembaga pendukung adalah
52

sederhana dan menggunakan teknologi mempromosikan kelembagaan ini secara


yang masih terbatas. terus menerus dan mempermudah berbagai
jalan baik kebijakan, keuangan,
pendampingan, pengembangan kapasitas
serta fasilitas (sarana dan prasarana).
Fasilitasi: Kemitraan Dagang Umum
Peran utama kelembagaan mitra umum Posisi petani memilik strata keuntungan
dimainkan oleh pedagang pengumpul paling rendah dalam hirarki penentuan
(lapangan, kecil dan besar) dengan skala harga. Secara dominan keuntungan
usaha menengah. Pemasaran mereka terbesar berada pada posisi pedagang
utamanya adalah kepada koperasi dan besar, koperasi dan perusahaan. Sangat
perusahaan, serta sebahagian kecil ke pasar diperlukan peran lembaga pendukung agar
domestik (biasanya yang ditolak oleh dapat memfasilitasi berbagai kebijakan
koperasi dan perusahaan). Hubungan yang langsung berefek pada keuntungan
petani dengan pedagang pengumpul ini, petani, seperti memberikan perhatian
melebihi dari sekedar hubungan bisnis, kepada petani lebih dominan dibandingkan
bahkan beberapa menjadi hubungan pelaku agroindustri lainnya. Perhatian ini
emosional yang sangat erat dan tidak dapat dapat berupa penentuan harga terendah
dipisahkan dari ketergantungan karena bagi kualitas tertentu, penampungan/
sebab-sebab ekonomi. Sementara penggudangan bila produksi melimpah,
hubungan pedagang pengumpul dengan dan pengembangan sumberdaya manusia
koperasi dan perusahaan adalah kemitraan bagi petani secara intensif. Semakin
dagang umum baik melalui kontrak tertulis berdaya para petani dengan dukungan para
ataupun tidak tertulis. Penanganan produk pihak terutama pemerintah daerah, akan
masih pada tahapan kopi ceri, kopi hard semakin kuat posisi tawar petani terhadap
skin (HS) kadar air (k.a) 40 %, dan kopi para pedagang pengumpul besar ataupun
beras k.a 40 %. koperasi dan perusahaan.
Asistensi: Koperasi
Kelembagaan koperasi tentu tumpuan Sistem kelembagaan ini lebih memberikan
utama pelakunya adalah koperasi. keadilan bagi para pihak yang terlibat
Koperasi kopi Gayo di Aceh sebahagian dalam koperasi, sehingga setiap pelaku
besar adalah juga sebagai eksportir dengan dalam struktur hirarki kelembagaan
skala besar. Pasar sasaran utama adalah koperasi memberikan keuntungan yang
importir kopi di luar negeri (Amerika, terbagi rata, walaupun masih ada yang
Eropa dan Jepang). Hubungan antara para merasa bahwa para pihak pengelola
pihak di dalam sistem kelembagaan koperasi terkadang mendapatkan
koperasi adalah hubungan kepemilikan keuntungan lebih dari berbagai aktifitas
bersama, dimana petani, pedagang transaksi lainnya yang sulit teridentifikasi
pengumpul, dan pengurus koperasi adalah secara jelas dalam proses perdagangan
para pihak yang sama-sama memiliki yang dilakukan. Peran lembaga pendukung
kepentingan untuk menjamin kualitas dan adalah melakukan asistensi secara
harga yang saling menguntungkan bagi kontinyu untuk memastikan prinsip-
mereka. Sistem ini lebih stabil dari sistem prinsip kinerja suatu organisasi
kelembagaan kemitraan umum dan perkoperasian sesuai dengan undang-
kelembagaan usaha mandiri. Penanganan undang yang berlaku dan tata kinerja
produk pada tahapan ini adalah kopi beras koperasi yang semestinya. Selain itu untuk
k.a 12 % (green off grade) dan kopi beras memberikan kepahaman dan
k.a < 12% (green bean), sehingga nilai pengembangan pengetahuan seluruh
tambahnya relatif lebih besar daripada anggota koperasi sangat diharapkan
menjual dalam keadaan kopi ceri dan kopi mendapatkan pelatihan, pemberdayaan
HS dengan k.a 40%. dan asistensi dalam membangun hubungan
53

kinerja yang profesional, transparan dan


berkeadilan.
Asistensi: Sertifikasi
Karena sertifikasi merupakan program
utama dari importir, sehingga pelaku
utama dalam sistem kelembagaan ini
adalah para importir itu sendiri. Skala
usaha ini sudah besar dengan penanggung
Sistem kelembagaan sertifikasi sangat
jawab utama ditingkat lokal adalah
menjanjikan keadilan dan kesejahteraan
perusahaan dan koperasi yang tergabung
bagi petani, namun sistem pengawasan
dalam sistem sertifikasi tersebut. Sasaran
sepertinya belum efektif. Perlu secara terus
pasar utama dari sistem ini adalah lembaga
menerus lembaga pendukung untuk
pengimpor yang memiliki sertifikasi
melakukan asistensi penguatan
secara khusus. Hubungan yang terbangun
kelembagaan ini, sehingga para pihak yang
antara pengimpor, perusahaan dan
memiliki keterikatan langsung dengan
koperasi (eksportir), pedagang pengumpul
pelaku agroindustri dapat secara intensif
dan petani adalah terikat dengan kontrak
melakukan intervensi dalam berbagai
dan jaminan berdasarkan sertifikasi yang
program dan kebijakan yang lebih baik.
telah ditentukan. Sistem ini dianggap
Terutama sekali dalam memfasilitasi
paling ideal, namun pengembalian
petani yang sering mendapatkan resiko
keuntungan bagi petani dirasakan belum
terbesar dan keuntungan terendah dari
optimal, dan para pelaku dilapangan yaitu
sistem kelembagaan tersebut.
koperasi dan perusahaan sering
mengkonversikannya dalam bentuk
barang. Penanganan produk pada tahapan
ini adalah sama dengan pada sistem
kelembagaan koperasi.

mulai membatasi ekspor, dan sebagai konsekuensinya memperbanyak


pengolahan ditingkat lokal sehingga nilai tambah akan semakin lebih besar
pula.
3. Mendirikan industri pengolahan kopi. Bersamaan dengan rencana pengolahan
kopi lebih diperbanyak ditingkat lokal, maka sebaiknya beberapa industri hilir
sudah mulai digagas sejak sekarang. Pemerintah daerah dan pihak swasta yang
ada ditingkat lokal maupun di luar daerah dapat melakukan promosi ke
berbagai daerah maupun negara lain untuk melakukan penawaran investasi
bagi pembangunan berbagai industri hilir pengolahan kopi di Propinsi Aceh.
Dengan demikian maka keuntungan terbesar juga akan dinikmati secara
langsung oleh masyarakat, terutama pelaku agroindustri kopi dan pemerintah
daerah di Aceh.
4. Edukasi secara kontinyu kepada para pelaku agroindustri kopi Gayo. Secara
terus menerus diperlukan pendidikan, pelatihan, pendampingan, asistensi,
pembekalan dan konseling bagi pelaku agroindustri kopi Gayo di Aceh.
Harapannya tentulah dari waktu ke waktu pada segi pengetahuan, keterampilan
dan inovasi akan terus tumbuh dan berkembang, sehingga secara efisiensi,
efektifitas dan produktivitas akan semakin menjadi lebih lagi.
54

Rencana Perubahan
Pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo semestinya tidak
hanya terfokus pada satu atau dua bentuk kelembagaan yang ada. Boleh jadi setiap
kelembagaan memiliki kelemahan dan kekurangan, sehingga yang menjadi
perhatian adalah memperbaiki kelemahan dan kekurangan tersebut. Sudah tidak
saatnya lagi melakukan penyeragaman terhadap satu bentuk kelembagaan yang
telah berkembang, bahkan tidak tertutup kemungkinan bila dikemudian hari
tumbuh dan berkembang bentuk kelembagaan lainnya. Oleh karenanya jalan
terbaik adalah senantiasa melakukan pengawasan (monitoring) dan evaluasi untuk
terus menuju ke kondisi paling ideal yang menguntungkan para pihak (stakeholder).
Selain itu, peran strategis pemerintah tidaklah dapat dinafikan, mengingat
salah satu elemen terpenting untuk menjaga keberlanjutan agroindustri kopi Gayo
di Aceh adalah jaminan pemerintah terhadap keamanan dan kondusifitas daerah.
Sudah seharusnya pemerintah daerah memberikan perhatian yang lebih kepada
petani dan kelompok tani, sebagai produsen yang menghadapi resiko paling tinggi
dan keuntungan paling rendah dalam sistem atau bentuk kelambagaan apapun yang
telah berkembang saat ini. Pemerintah kita perlu mengambil pelajaran dari negara
lain dalam melindungi para produsen kopi di negaranya.
Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh Vietnam sebagai salah satu negara
produsen utama kopi dunia. Pemerintah Vietnam menjadikan petani sebagai aset
yang paling berharga dalam menjaga keberlangsungan perekonomian negara. Apa
yang dilakukan Vietnam adalah sejumlah aktivitas yang menempatkan petani
sebagai perhatian paling utama dibanding berbagai pelaku agroindustri lainnya.
Beberapa kebijakan pemerintah Vietnam antara lain: (1) pemerintah memberikan
dukungan terhadap penyediaan infrastruktur (sarana dan prasarana), informasi,
pengembangan penelitian, penerapan teknologi dan kebijakan yang memberikan
jaminan kepada petani untuk memproleh harga yang sesuai, seperti sistem contract
farming untuk menjaga stabilitas harga ditingkat petani, (2) manajemen
kelembagaan yang berorientasi kepada petani, bukan hanya profit orientied (Hue
2001; Putri 2013).
Begitu juga dengan pemerintah Colombia dalam mendukung kesejahteraan
petaninya. Sejak tahun 2002 mereka telah menjalankan program kemitraan
perdesaan, dimana pemerintah menyediakan dana yang besar bagi asosiasi petani
di perdesaan. Tujuannya antara lain untuk menyesuaikan penerapan teknologi
produksi petani dengan permintaan pasar, seperti halnya sertifikasi organik dan
kepedulian terhadap kesehatan. Selama lebih dari 5 tahun, sebanyak 300 organisasi
telah ditumbuhkan sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 20
persen dan menciptakan lapangan kerja sebesar 10 persen (Putri 2013). Secara
otomatis maka berakibat positif bagi peningkatan perekonomian di daerah.
Syam (2006) menyatakan secara ekonomi, tolok ukur keberhasilan
pengembangan kelembagaan adalah terpenuhinya pareto improvement, yaitu
perubahan dapat berlangsung lama apabila terdapat sekelompok masyarakat yang
diuntungkan dan sebaliknya tidak ada sekelompok masyarakat yang dirugikan.
Kondisi inilah yang akan terus dikembangkan melalui sejumlah tindakan dan
rencana perubahan yang diharapkan. Pada akhirnya tentulah, perubahan-perubahan
yang dilakukan tersebut memberikan kesejahteraan secara merata bagi pelaku
agroindustri dan sekaligus akan menjamin pertumbuhan usaha yang lebih baik
kedepan.
55

Tindakan Perbaikan
Setelah berhasil menemukan, memetakan dan mendefinikan permasalahan,
kemudian mendesain model konseptual serta melakukan perbandingan model
konseptual dengan situasi masalah yang dihadapi, sehingga menghasilkan rencana
perubahan, maka tahapan akhir adalah merumuskan tindakan perbaikan. Desain
tindakan perubahan merupakan tindakan untuk memperbaiki, menyempurnakan,
atau mengubah situasi problematis (actions to improve the situation).
Berdasarkan Gambar 21, terlihat bahwa formulasi strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo adalah melalui empat bentuk kelembagaan
yang telah eksis saat ini, yaitu kelembagaan sertifikasi, kelembagaan koperasi,
kelembagaan kemitraan dagang umum, dan kelembagaan usaha mandiri.

Gambar 21 Formulasi strategi intervensi kelembagaan agroindustri kopi Gayo


56

Masing-masing kelembagaan ini terkait dengan para pihak yang terlibat di


dalamnya, sehingga untuk kelembagaan sertifikasi dan kelembagaan koperasi
tindakan intervensi yang diperlukan adalah asistensi, sedangkan kelembagaan
kemitraan dagang umum adalah fasilitasi dan kelembagaan usaha mandiri bentuk
intervensi yang dilakukan adalah promosi. Dengan jelasnya masing-masing bentuk
intervensi kelembagaan yang akan dilakukan, sehingga pengembangan
kelembagaan agroindustri diharapkan akan fokus dan tepat sasaran sebagaimana
permasalahan yang dihadapi. Dari sinilah peran para pihak sebagai lembaga
pendukung yang meliputi pemerintah daerah, penyuluh dan pendamping
perkebunan, lembaga keuangan, lembaga penelitian dan perguruan tinggi, serta
LSM dan asosiasi kopi seperti AEKI, APKI dan lain-lain dapat mengambil
perannya masing-masing. Agar peran yang dijalankan efektif dan efisien,
sinergisitas antar lembaga tersebut sangatlah diperlukan.
Penting untuk dipahami bahwa, tidak ada cara tunggal untuk mencapai
tujuan. Masing-masing memiliki tujuan yang pada akhirnya seberapa jauh tujuan
itu tercapai akan sangat menentukan sejauh mana permodelan yang dilakukan
sesuai dengan konteks yang dihadapi (Purnomo et al. 2004). Syam (2006)
berpendapat bahwa tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan kelembagaan
dapat dilihat dari tingkat penerimaan masyarakat yang didasarkan pada seberapa
jauh pengembangan tersebut mampu memberi keharmonisan semua unsur
masyarakat atau organisasi. Apabila masyarakat merasa mendapatkan
keharmonisan dari pengembangan tersebut, maka akan diikuti oleh partisipasi
masyarakat lebih luas dan kontinyu.

Simpulan

Kondisi situasional menunjukkan bahwa dari keempat bentuk kelembagaan


agroindustri kopi Gayo yang telah berkembang saat ini, masing-masing memiliki
permasalahan yang memerlukan perbaikan secara terus-menerus agar mencapai
kondisi paling ideal dan menguntungkan para pihak yang terlibat di dalamnya.
Dengan memahami secara jelas masing-masing permasalahan yang dihadapi, maka
memberikan kepastian terhadap bentuk intervensi yang dapat dilakukan oleh
berbagai lembaga pendukung yang terkait dengan agroindustri kopi Gayo di Aceh.
Bagi kelembagaan sertifikasi dan kelembagaan koperasi tindakan intervensi
kelembagaan yang dapat diberikan adalah asistensi, sedangkan kelembagaan
kemitraan dagang umum adalah dalam bentuk fasilitasi, dan kelembagaan usaha
mandiri melalui pengembangan produk (product development) dan promosi produk
(product promotion). Untuk mewujudkan pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo secara optimal, maka sinergisitas lembaga pendukung yang
meliputi pemerintah daerah, penyuluh dan pendamping perkebunan, lembaga
keuangan, lembaga penelitian dan perguruan tinggi, serta LSM dan asosiasi kopi
seperti AEKI, APKI dan lain-lain adalah sangat penting.

--------------------
Kajian pada BAB ini telah diterbitkan pada Journal of Food, Agriculture and
Environment (JFAE) Vol. 16 No.1 Hal. 31-40 tahun 2018 (Januari), Finland, Q3
Scopus.
4 DESAIN DAN ANALISIS SISTEM PENILAIAN
KUANTITATIF KEMATANGAN KELEMBAGAAN
AGROINDUSTRI

Pendahuluan

Penilaian kelembagaan selama ini selalu didasari oleh pertimbangan-


pertimbangan secara deskriptif dengan memperhatikan sejumlah aspek tertentu
sesuai dengan rencana dari suatu program yang akan diimplementasikan melalui
kelembagaan tersebut. Deskripsi yang diperolehpun cenderung tidak jauh berbeda
antara satu kelembagaan yang terbangun pada suatu kawasan dengan kawasan yang
lainnya. Padahal kelembagaan merupakan unsur esensial dalam menjalankan suatu
kegiatan dan tidak bisa secara serta merta menerapkan bentuk kelembagaan
agroindustri satu untuk agroindustri lainnya, tidak seperti halnya dengan modal dan
teknologi (Fadhil et al. 2017a; Haris 2006; Syam 2006). Oleh karenanya para
pengambil kebijakan terkadang memiliki kecendrungan pendekatan yang seragam
dan menyederhanakan persoalan untuk memudahkan dalam merealisasi suatu
program yang akan dijalankan. Sementara pada kenyataannya menunjukkan bahwa
praktek pengembangan kelembagaan antara suatu kawasan atau model
kelembagaan yang telah terbentuk dan berkembang biasanya memiliki karakteristik
tertentu yang terkadang agak susah bila didefinisikan secara deskriptif saja (Fadhil
et al. 2016). Oleh karenanya melalui riset ini penulis mengusulkan suatu sistem
penilaian kematangan kelembagaan secara kuantitatif.
Penilaian kelembagaan saat ini sudah banyak berkembang pada berbagai
objek kajian. Beberapa metode penilaian kelembagaan, misalnya penilaian tingkat
partisipasi dan kapasitas organisasi/lembaga swadaya di pedesaan yang dilaporkan
oleh para peneliti seperti Saadi et al. (2016); Nabi (2005); Tetlay dan Mahmood
(1993); dan Tetlay et al. (1993) yang disebut dengan Institutional Maturity Index
(indeks kematangan kelembagaan). Dalam bidang keuangan mikro juga dikenal
adanya sistem penilaian tingkat perkembangan kelembagaan dengan menganalisis
kelemahan internal terkait organisasi dan operasionalnya yang disebut
Microfinance Institutional Rating (penilaian kelembagaan keuangan-mikro) (Wu et
al. 2014; Abrams 2012; Ahmad et al. 2003), serta berbagai metode penilaian
kelembagaan lainnya (Tabel 3).
Pada Tabel 3, penulis juga mencantumkan usulan sistem penilaian kuantitatif
kelembagaan agroindustri yang selama ini belum pernah ada. Metode penilaian
kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri ini dibangun dengan
memperhatikan berbagai aspek yang ditelusuri dengan beragam pendekatan, baik
diskusi, wawancara, kajian literatur dan pertemuan dengan para pihak yang
berkepentingan. Sistem ini penulis sebut sebagai sistem penilaian kuantitatif
kematangan kelembagaan agroindustri (Quantitative Assessment Systems for
Institutional Maturity of Agroindustry) yang disingkat dengan QASIMA (Fadhil et
al. 2016).
Pemikiran inilah yang melandasi betapa strategisnya faktor penilaian
kematangan suatu kelembagaan menjadi kajian yang penting untuk dilakukan.
Walaupun tidak dalam konteks besar secara nasional, tetapi paling tidak untuk level
58

daerah merupakan suatu kajian yang strategis dan bermakna bagi keberlangsungan
usaha masyarakat, khususnya yang terlibat dalam bidang agroindustri tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain dan menganalisis sistem
penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri, sehingga dapat
dipergunakan untuk menilai tingkat kematangan kelembagaan dari suatu
agroindustri yang telah ada. Hasil desain sistem penilaian kematangan kelembagaan
agroindustri ini akan diaplikasikan penggunaannya pertama sekali pada
agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh, Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat
merumuskan suatu sistem penilaian kematangan kelembagaan agroindustri di
negara berkembang seperti Indonesia, sehingga untuk menilai tingkat kondusifitas
kelembagaan maka dapat dilihat dengan seberapa matangnya kelembagaan tersebut
tumbuh dan berkembang di suatu wilayah.

Metode

Desain dan analisis sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan


agroindustri dikembangkan dengan pendekatan Daur Hidup Pengembangan Sistem
(System Development Life Cycle (SDLC)) (Moore 2015; Wasson 2015; Fadhil et al.
2017a), use case diagram, Business Proces Model and Notation (BPMN) serta
survei pakar dan para pihak (stakeholder). Siklus ini dapat dilihat pada Gambar 22.
Analisis sistem mengikuti enam tahapan yaitu mendefinisikan sistem, analisis
kebutuhan, use case diagram, membuat BPMN, merumuskan aspek penilaian
kuantitatif kematangan kelembagaan dan pengukuran kematangan kelembagaan.
Perancangan sistem dibangun dengan menggunakan software Sybase-Power
Designer version 16.5 (Sybase 2013).
Definisi sistem adalah suatu inisiasi dalam menjelaskan secara lengkap
tentang batasan masalah yang biasanya berisi tujuan, jadwal, biaya dan model yang
akan dikembangkan untuk menyelesaikan suatu permasalahan (Fadhil et al. 2017b).
Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang
akan dicapai jika mekanisme sistem tersebut dijalankan, sekaligus menjadi dasar
pertimbangan dalam pemahaman sistem yang dikaji. Penggunaan use case diagram
adalah untuk menggambarkan secara graphical para aktor atau stakeholder yang
saling berinteraksi di dalam sistem. Sementara model BPMN dirancang untuk
merepresentasikan aliran sebuah proses bisnis dengan menyajikan berbagai notasi
yang digunakan untuk proses permodelan. Notasi grafis ini misalnya adalah start
event, task, intermediate message, end event, gateway dan lainnya (Wasson 2015;
Miers dan White 2008; Djatna 2016). Perumusan aspek penilaian kuantitatif
kematangan kelembagaan dilakukan melalui kajian literatur dan pendapat para pakar
sehingga menghasilkan seperangkat alat penilaian kuantitatif kematangan
kelembagaan. Tahap akhir adalah mengaplikasikan sistem penilaian kuantitatif
kematangan kelembagaan pada agroindustri kopi Gayo.

Survei Pakar dan Para Pihak (Stakeholder)


Pengumpulan kriteria dan atribut dalam perumusan sistem penilaian
kematangan kelembagaan adalah melalui survei pakar yang memahami tentang
kelembagaan, sedangkan penilaian kematangan kelembagaan agroindustri kopi
59

Gambar 22 Daur hidup pengembangan sistem


(Dikembangkan dari Moore 2015; Fadhil et al. 2017a; Djatna 2016;
Parnell et al. 2011; dan Wasson 2015)

Gayo adalah melalui survei para pihak (stakeholders) yang memahami tentang
agroindustri kopi gayo di Provinsi Aceh, Indonesia. Survei pakar kelembagaan
terdiri dari peneliti kelembagaan pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian (PSEKP) Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Dosen Institut
Pertanian Bogor (IPB), Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) dan kajian literatur. Untuk survei stakeholders
meliputi Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah (pemerintah daerah), Dosen
Universitas Gajah Putih di Takengon, perusahaan agroindustri kopi Gayo,
pengusaha Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kopi Gayo, pedagang
pengumpul, dan petani.

Hasil dan Pembahasan

Desain dan Analisis Sistem


Desain dan analisis sistem adalah suatu proses perumusan penilaian
kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri untuk menghasilkan sistem
penilaian yang komprehensif sehingga posisi atau tingkat kondusifitas
kelembagaan yang dalam kajian ini dimaknai sebagai kematangan dapat diketahui
secara kuantitatif. Proses ini melalui tahapan identifikasi berbagai kriteria strategis
sehingga menghasilkan suatu sistem penilaian kelembagaan dengan pendefinisian
60

secara jelas. Tujuan identifikasi sistem adalah sebagai peta jalan atau kerangka
kerja yang menjadi acuan untuk mencapai suatu tujuan dan sekaligus sebagai suatu
ukuran pengembangan dari sistem yang telah ada. Oleh karenanya perumusan
sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agorindustri ini adalah untuk
memberikan kemudahan dalam pengembangan kelembagaan menjadi lebih baik
lagi (menuju kondisi ideal). Ini sesuai dengan kaidah yang dikemukakan oleh
Mitzberg (1992) yang menyatakan bahwa “If you can’t measure it, you can’t
understand it; If you can’t understand it, you can’t control it; If you can’t control
it, you can’t improve it” (jika anda tidak dapat mengukurnya, maka anda tidak akan
memahaminya; jika anda tidak memahaminya, maka anda tidak dapat
mengontrolnya; dan jika anda tidak dapat mengontrolnya, maka anda tidak dapat
meningkatkannya).
Dalam penelitian ini, kelembagaan diartikan sebagai suatu perangkat formal
dan non-formal yang mengatur perilaku dan dapat memfasilitasi terjadinya
koordinasi atau mengatur hubungan-hubungan interaksi antar berbagai individu,
antar lembaga, dan kelompok. Oleh karena itu suatu kelembagaan merupakan
lingkungan dimana pertumbuhan dan perkembanganya mengikuti proses
dinamisasi berbagai perangkat yang melingkupi disekitarnya (Fadhil et al. 2016;
Fadhil et al. 2017a). Adapun kematangan kelembagaan adalah suatu keadaan
dimana keberadaan kelembagaan tersebut sangat ideal berdasarkan penilaian
tertentu dengan tingkat kondusifitas tertinggi dan sangat diharapkan oleh para pihak
yang terkait di dalamnya untuk tetap dipertahankan, dikembangkan dan dikelola
secara efektif, efisien dan fleksibel.
Untuk menjelaskan peran masing-masing pihak yang terkait dengan sistem
yang dikembangkan, maka didesainlah sebuah diagram use case. Diagram use case
membantu untuk memahami peran masing-masing pelaku dalam sistem dan
keterkaitannya antara satu dengan lainnya (Mondal et al. 2014; Almutairi et al.
2013). Pada penelitian ini diagram use case menggambarkan peran
peneliti/pengguna, pakar yang diminta pendapat dalam penyusunan dan perumusan
kriteria penilaian, para pihak yang terlibat dalam agroindustri kopi Gayo sebagai
penilai dalam mengaplikasi sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan
agroindustri, serta para pengambil kebijakan yang berfungsi sebagai pengambil
keputusan untuk pengembangan kelembagaan agroindustri melalui suatu intervensi
dan formulasi strategi tertentu (Gambar 23).
Analisis sistem berikutnya dirumuskan dengan membuat diagram Business
Proces Model and Notation (BPMN) yang merupakan aliran aktifitas agar
memudahkan dalam menganalisis permodelan suatu proses yang dikembangkan
(Leopold et al. 2016; Zafar et al. 2018; Wasson 2015; Fadhil et al. 2017a; Lopez-
Campos et al. 2013; Chinosi dan Trombetta 2012; Mier dan White 2008). Diagram
BPMN sangat efektif untuk merepresentasikan serangkaian aktifitas desain dan
analisis sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembangan agroindustri karena
memiliki sejumlah fungsi notasi yang lengkap. Setiap aliran aktifitas dapat
dipahami sebagai sebuah tahapan dari capaian proses operasi sistem yang dilakukan
(Gambar 24). Mulai dari proses awal dalam rangkaian sistem, termasuk tahapan
verifikasi dan validasi sebagai kontrol, hingga diperoleh hasil desain dan analisis
sistem secara bertahap.
61

Gambar 23 Diagram Use Case

Kriteria dan Atribut Penilaian


Perumusan penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri
berdasarkan pendapat para pakar dan kajian literatur diperolehlah sejumlah kriteria
(Drajat 2006; Fadhil et al. 2016). Berbagai pandangan dan pendapat tersebut maka
dirumuskanlah tujuh kriteria penilaian kematangan kelembagaan agroindustri,
yaitu:
1) Kebutuhan (needs), keberadaan kelembagaan dibutuhkan oleh para pihak yang
terlibat di dalamnya, bahkan antara satu dengan lainnya saling menguatkan dan
saling melengkapi.
2) Manfaat (benefit), sistem kelembagaan yang terbangun memiliki manfaat yang
signifikan bagi para pihak (stakeholders) dalam menjalankan aktifitas
agroindustri.
62

Gambar 24 BPMN desain dan analisis sistem

3) Efektifitas (effectiveness), peran kelembagaan dalam pencapaian tujuan dapat


dilakukan secara baik dan benar, terutama dalam menjalankan fungsi
kepemimpinan dan koordinasi.
63

4) Efisiensi (efficiency), sistem kelembagaan terbangun secara mudah, sederhana


dan meminimalisir biaya transaksi ekonomi.
5) Pemerataan keuntungan dan risiko (profit and risk sharing), kelembagaan
tumbuh dan berkembang dengan keuntungan, risiko, alokasi dan distribusi
sumberdaya yang merata secara proporsional kepada setiap pelaku agroindustri.
6) Fleksibilitas (flexibility), kelembagaan berkembang dengan menggunakan
sumberdaya yang ada, menghargai dinamika lokal (local wisdom), dan
memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan, baik
secara internal maupun eksternal.
7) Keberlanjutan (sustainable), para pihak merasakan manfaat yang signifikan,
sehingga bersungguh-sungguh mempertahankan keberlangsungan sistem
kelembagaan yang sudah terbentuk, dengan terus berusaha menyeimbangkan
dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Tabulasi kriteria dan atribut penilaian kematangan kelembagaan agroindustri
secara lengkap adalah seperti pada Tabel 10. Untuk merangkumkan hasil penilaian
dari para pihak yang dimintakan pendapatnya, maka nilai modus diambil sebagai
tetapan untuk setiap kriteria yang dipilih. Akumulasi keseluruhan penilaian
selanjutnya dihitung untuk mendapatkan nilai akhir. Penilaian ini secara pasti
menunjukkan levelisasi atau posisi kematangan kelembagaan agroindustri yang
dinilai tersebut (Gambar 25), dalam penelitian ini diaplikasikan untuk penilaian
kematangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo.

Penilaian Kuantitatif Kematangan Kelembagaan Agroindustri Kopi Gayo


Untuk aplikasi penggunaan sistem penilaian kematangan kelembagaan
agroindustri ini, dilakukanlah penilaian terhadap agroindustri kopi Gayo.
Agroindustri kopi Gayo merupakan salah satu agroindustri yang sudah lama
berkembang di Provinsi Aceh, Indonesia. Kopi Gayo, baik dari jenis Arabica
maupun Robusta adalah kopi specialty yang dibudidayakan oleh masyarakat di
Dataran Tinggi Gayo (Gayo Highland). Kopi Gayo ini telah memiliki sertifikasi
indeks geografis berdasarkan wilayah penghasil biji kopi dengan aroma yang khas,
perisa (flavor) yang kompleks dan kekentalan (body) yang kuat. Kopi Gayo
merupakan salah satu kopi yang berkualitas tinggi dan sangat diminati oleh pasar
kopi dunia (Putri et al. 2013; ICCRI 2008)
Seperti agroindustri lainnya yang tumbuh dan berkembang di Indonesia,
agroindustri kopi Gayo merupakan agroindustri yang sangat kompetitif dan telah
diekspor ke berbagai negara di dunia, seperti Amerika, Jepang dan negara-negara
Eropa. Beberapa negara importir bahkan mempersyaratkan adanya sertifikasi untuk
kopi yang diekspor ke negara mereka, sehingga kopi Gayo saat ini telah memiliki
beberapa sertifikasi produk, antara lain Organic, Fairtrade dan Rain Forest
(Disbun Aceh 2013). Oleh karenanya sangatlah potensial agroindustri kopi Gayo
ini untuk dikembangkan lebih lanjut, terutama dari segi kelembagaan yang
dirasakan masih belum begitu baik, walaupun menurut Fadhil et al. (2017d)
menyatakan bahwa dari segi potensi inovasi agroindustri kopi Gayo sudah baik,
namun masih memerlukan perbaikan pada beberapa hal seperti pengembangan
pengetahuan dalam budidaya kopi, pengembangan sumberdaya manusia dan
termasuk aspek kelembagaan.
Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh para pakar diperolehlah hasil
sebagaimana yang tunjukkan pada Gambar 26. Terlihat bahwa nilai tertinggi yang
64

Tabel 10 Kriteria, nilai dan atribut penilaian kuantitatif kematangan


kelembagaan agroindustri

Kriteria Nilai dan Atribut


5. Kelembagaan yang ada sangat dibutuhkan, bahkan antara para pihak
saling menguatkan dan saling melengkapi, diharapkan untuk terus
dipertahankan.
4. Kelembagaan yang ada dibutuhkan, namun masih terdapat beberapa
kekurangan yang mesti diperbaiki, terutama pasa aspek manajerial
Kebutuhan
dan koordinasi.
(Needs)
3. Kelembagaan yang ada dibutuhkan, akan tetapi sangat banyak
permasalahan yang mesti diselesaikan.
2. Kelembagaan yang ada tidak diharapkan karena terdapat berbagai
permasalahan dan tidak memberikan efek positif bagi para pihak.
1. Kelembagaan tidak jelas bentuk dan sistem yang terbangun.
5. Dirasakan manfaat secara signifikan oleh para pihak yang terlibat,
sehingga sangat diharapkan untuk terus dipertahankan dan
dikembangkan.
4. Beberapa manfaat keberadaan kelembagaan belum optimal
Manfaat terpenuhi, sehingga masih memungkinkan untuk terus diperbaiki.
(Benefit) 3. Manfaat kelembagaan dirasakan cukup berarti, namun belum
berfungsi secara baik.
2. Manfaat kelembagaan belum begitu terasa, terutama akibat aktifitas
yang terpisah-pisah antara satu dengan lainnya.
1. Tidak jelas kemanfaatan yang dirasakan para pihak.
5. Kelembagaan berfungsi secara benar dalam mencapai tujuan, para
pihak merasakan fungsi kepemimpinan dan koordinasi secara nyata.
4. Kelembagaan sudah terlihat pencapaian tujuan dengan jelas, namun
belum berfungsi secara baik, terutama dari sisi kepemimpinan dan
koordinasi.
Efektifitas
3. Kelembagaan belum dapat mencapai tujuan dengan baik, beberapa
(Effectiveness)
fungsi belum terlaksana.
2. Kelembagaan belum memiliki tujuan secara jelas, sehingga
kesulitan mendapatkan capaian yang diharapkan.
1. Kelembagaan tidak memiliki kejelasan baik dalam hal tujuan
maupun fungsi yang hendak dilakukan.
5. Sistem kelembagaan telah terbangun dengan baik, mudah,
sederhana dan memiliki biaya transaksi ekonomi yang rendah dalam
mencapai tujuannya.
4. Sistem kelembagaan telah terbangun, namun masih belum murah,
mudah, sederhana dan biaya transaksi ekonomi belum minimal.
Efisiensi
3. Sistem kelembagaan telah terbangun, namun terdapat berbagai
(Efficiency)
permasalahan dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
2. Sistem kelembagaan belum terbangun dengan baik, namun sudah
memiliki tujuan yang akan dicapai.
1. Sistem kelembagaan belum terbangun dengan baik dan tidak
memiliki tujuan secara jelas.
65

Kriteria Nilai dan Atribut


5. Kelembagaan tumbuh dan berkembang dengan keuntungan dan
risiko yang merata secara proporsional bagi para pihak agroindustri.
4. Kelembagan tumbuh dan berkembang dengan keuntungan dan
risiko dirasakan belum merata bagi seluruh pelaku agroindustri yang
Pemerataan
terkait.
keuntungan
3. Kelembagaan tumbuh dan berkembang, namun keuntungan dan
dan risiko
risiko diperoleh secara tidak seimbang (ketimpangan yang besar).
(profit and risk
2. Kelembagaan tumbuh dan berkembang, akan tetapi aktifitas antara
sharing)
para pihak agroindustri saling bertentangan antara satu dengan
lainnya.
1. Kelembagaan yang berkembang tidak mempertimbangkan
pemerataan keuntungan dan risiko.
5. Kelembagaan terbentuk dengan memanfaatkan sumberdaya yang
tersedia serta kearifan lokal dan dapat menyesuaikan diri terhadap
berbagai perubahan, baik secara internal maupun eksternal.
4. Kelembagaan terbentuk dengan menggunakan sumberdaya yang
ada tetapi belum stabil, sehingga masih memerlukan pembenahan
untuk lebih siap dalam menghadapi perubahan.
Fleksibilitas
3. Kelembagaan terbentuk dengan sumberdaya yang ada, namun
(Flexibility)
masih belum menghargai dinamika lokal dan belum disiapkan untuk
menyesuaikan diri dengan perubahan.
2. Kelembagaan terbentuk dengan dorongan dari pihak yang tidak
terkait langsung dengan para pihak agroindustri.
1. Kelembagaan terbentuk dengan terpaksa dan tidak mudah
berdaptasi dengan perubahan-perubahan.
5. Kelembagaan dirasakan sangat penting terutama dalam kaitan aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga keberlangsungannya
sangat diharapkan.
4. Kelembagaan penting dalam menjamin keberlanjutan, namun
berbagai kendala dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan
Keberlanjutan
masih perlu diatasi.
(Sustainable)
3. Kelembagaan berpotensi untuk terus berkelanjutan, akan tetapi para
pihak perlu mengambil inisatif yang lebih baik untuk memperbaiki
berbagai kondisi yang masih kurang.
2. Kelembagaan tidak berpotensi untuk terus berkelanjutan.
1. Kelembagaan tidak diharapkan terus berkelanjutan.

diperoleh dari hasil penilaian kematangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo


adalah pada aspek kebutuhan dengan nilai 4.17, diikuti secara berturut-turut oleh
aspek manfaat (4.00), aspek keberlanjutan (3.83), aspek fleksibelitas (3.50), aspek
efisiensi (3.33), aspek efektifitas (2.83) dan yang paling rendah adalah pada aspek
pemerataan keuntungan dan risiko dengan nilai 2.67. Setelah diakumulasikan
penilaian secara keseluruhan maka diperolehlah nilai sebesar 3.47, ini berarti bila
merujuk kepada sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri
(Gambar 25), maka kelembagaan agroindustri kopi Gayo berada pada level 3
dengan tahapan pertumbuhan. Angka hasil penilaian ini sedikit dibawah level 4
(berkembang) yaitu hanya terpaut selisih nilai sebesar 0.02 saja.
Hasil kajiian ini menunjukkan bahwa aspek efektifitas dan aspek pemerataan
keuntungan dan risiko adalah dua aspek yang paling lemah dalam sistem
66

kelembagaan agroindustri kopi Gayo saat ini. Pada aspek efektifitas, fungsi
kepemimpinan dan koordinasi belum sepenuhnya terbangun dengan baik, sehingga
tujuan yang hendak dicapai tidak optimal terlaksana. Begitupula halnya pada aspek
pemerataan keuntungan dan risiko juga belum terdistribusi secara proporsional
kepada setiap pelaku agroindustri. Temuan ini persis seperti yang kami dapatkan
pada penelitian sebelumnya (Fadhil et al. 2018b), dimana kami menemukan bahwa
petani dan pedagang pengumpul adalah kelompok pelaku agroindustri yang
mendapatkan keuntungan paling rendah dengan risiko paling tinggi.

Gambar 25 Sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri

Dengan demikian maka dapat dipahami bahwa kelembagaan agroindustri


kopi Gayo dirasakan telah memiliki manfaat, namun pertumbuhannya masih sangat
minimal, sehingga berbagai aktifitas penguatan baik dari internal (stakeholder)
maupun dukungan lembaga terkait (eksternal) masih sangat diperlukan.
Kelembagaan agroindustri kopi Gayo sangat berpotensi untuk terus tumbuh dan
berkembang, sehingga diharapkan dapat meningkat pada levelisasi berikutnya, bila
beberapa persoalan yang dihadapi saat ini dapat diperbaiki menjadi lebih baik lagi.

Verifikasi, Validasi dan Reliabiliti


Verifikasi dilakukan untuk memeriksa kembali seluruh prosedur yang telah
dilakukan dengan bantuan software Sybase-PowerDesaigner 16.5 (Sybase 2013).
Kegiatan ini meliputi desain SDLC, running use case dan BPMN. Seluruh proses
desain diperiksa pada tahapan verifikasi dan dianggap telah benar bila tidak
ditemukan error dan warning.
Validasi dilakukan terhadap desain sistem yang telah dibangun dengan
mengkonfirmasi kembali kepada para pakar kelembagaan dan stakeholder yang
terkait dengan kelembagaan agroindustri kopi Gayo. Seluruh masukan dan
klarifikasi dihimpun untuk menghasilkan rumusan akhir dari sistem yang didesain.
67

Proses validasi digunakan untuk mempelajari bagaimana sistem yang dibangun


telah memenuhi harapan kebutuhan operasional yang diharapkan (Fadhil et al.
2017a).

Kebutuhan
(needs)
5,0 0

4,17
4,0 0

Keberlanjutan
(sustainable) 3,83 3,0 0
4,00 Manfaat (benefit)
2,0 0

1,0 0

0,0 0

Flesibelitas 2,83 Efektifitas


(flexibility) 3,50 (effectiveness)

2,67
Pemerataan 3,33
keuntungan & Efisiensi
risiko (profit & (Efficiency)
risk sharing)

Gambar 26 Hasil penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri


kopi Gayo

Untuk memastikan bahwa sistem penilaian kematangan kelembagaan


agroindustri ini bersifat terandal (reliable) dilakukanlah uji Parallel-forms
Reliability. Pengujian ini menggunakan dua form (alat ukur atau kuisioner) yang
sama dan diajukan kepada dua kelompok responden untuk memberikan penilaian
terhadap kriteria yang telah ditentukan. Korelasi antara nilai hasil kedua form atau
kelompok penilai tersebut adalah penduga dari reliabilitas (Marimin 2013).
Konsistensi dicapai dengan memeriksa hasil penilaian sehingga memiliki data yang
dapat diandalkan.

Simpulan

Sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri telah


berhasil didesain dan diaplikasikan untuk menganalisis kematangan kelembagaan
pada agroindustri kopi Gayo. Hasil penilaiannya menunjukkan bahwa agroindustri
kopi Gayo saat ini memiliki tingkat kematangan kelembagaan diposisi 3 pada
tahapan pertumbuhan. Desain dan analisis sistem penilaian kuantitatif kematangan
kelembagaan agroindustri ini, akan sangat bermanfaaat untuk menilai tingkat
kematangan kelembagaan suatu agroindustri. Oleh karenanya, hasil riset ini telah
berkontribusi untuk membantu para pengambil kebijakan dalam membuat
68

keputusan untuk mengembangkan kelembagaan suatu agroindustri dengan


mengetahui pada aspek apa saja yang menjadi perhatian untuk ditangani secara
pasti.

--------------------
Kajian pada BAB ini direncanakan untuk diajukan ke Irish Journal of Agricultural
and Food Research, Ireland, Q2 Scopus.
5 STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA
MANUSIA AGROINDUSTRI KOPI GAYO

Pendahuluan

Kopi Gayo sebagai kopi specialty yang berkembang di Indonesia,


dibudidayakan oleh masyarakat yang tinggal di Dataran Tinggi Gayo (Gayo
Highland), Propinsi Aceh, tepatnya di Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Bener
Meriah dan Kabupaten Gayo Lues dengan luas areal sekitar 58 393 hektar pada
ketinggian 950 - 1 450 meter diatas permukaan laut (Hulupi et al. 2013; Ditjenbun
2011). Bagi masyarakat Gayo, kopi merupakan komoditas penting yang turut
meningkatkan pendapatan keluarga, menggerakkan ekonomi masyarakat dan
sekaligus menambah pendapatan asli daerah (PAD).
Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah merupakan wilayah
penghasil kopi terbesar di Aceh, dihuni oleh suku Gayo sebesar 70 persen, suku
Aceh 15 persen, suku Jawa 10 persen dan sisanya adalah suku-suku lainnya yang
datang dari berbagai daerah maupun propinsi di Indonesia. Pendapatan terbesar
masyarakat adalah bersumber dari hasil perkebunan kopi, walaupun beberapa
penduduk berstatus pegawai negeri sipil tetapi tetap memiliki pekerjaan sampingan
sebagai petani kebun (Silitonga 2008). Kopi menjadi komoditas pertanian utama
dikembangkan oleh masyarakat selain dari sayuran, buah-buahan dan tanaman
lainnya. Sementara dari segi tingkat pendidikan masyarakat di kawasan tersebut
sekitar 41 persen SD, 32 persen SMP, 21 persen SMA, 1.5 persen PT dan lainnya
4.5 persen. Jadi secara umum tingkat pendidikan masyarakat di kawasan produksi
kopi Gayo ini masih cukup rendah, apalagi bila dihadapkan dengan persaingan
dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Menurut Fatma (2011) pengelolaan kopi masih bersifat tradisional dan belum
menggunakan teknologi budidaya kopi secara baik dan benar, hal ini
menggambarkan masih rendahnya pengetahuan petani kopi tentang teknologi
budidaya kopi. Padahal tujuan utama pengelolaan usaha tani kopi adalah untuk
meningkatkan produksi agar pendapatan petani kopi juga meningkat, sehingga
petani sebagai pengelola usaha semestinya mengerti cara mengalokasikan sumber
daya atau faktor produksi yang dimilikinya agar tujuan tersebut dapat tercapai.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan pembinaan melalui
berbagai cara dalam mengembangkan kemampuan kompetensi dan kualitas
sumberdaya manusia (SDM), ilmu pengetahuan, teknologi, dan pendidikan. Karena
bagaimanapun kompetensi pelaku agroindustri akan menggambarkan keterampilan,
pengetahuan, perilaku, karakteristik personal dan motivasi yang akan berkorelasi
dengan kesuksesan dalam menjalankan usaha. Semua hal tersebut tentu
memerlukan kontribusi berbagai pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya,
termasuk pemerintah sendiri. Oleh karenanya faktor produksi tenaga kerja bersama-
sama dengan faktor produksi lainnya, bila dimanfaatkan secara optimal akan
mampu meningkatkan produksi secara maksimal. Karena biasanya setiap
penggunaan tenaga kerja produktif hampir selalu dapat meningkatkan produksi.
Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa belum ada yang secara
spesifik mengkaji tentang pengembangan SDM dengan mendalam pada
agroindustri kopi Gayo. Penelitian-penelitian mengenai agroindustri kopi Gayo
70

yang ada selama ini lebih menekankan pada aspek produksi, bahan baku, ekonomi,
keuangan, sistem sertifikasi, rantai pasok, kelembagaan dan lingkungan (Walker
2015; Jaya 2014; Bilhak dan Maarif 2014; Novita 2012; Indra 2011; Almqvist
2011; Fatma 2011; Romano 2009), yang sedikit dikaitkan dengan aspek SDM.
Sementara kajian ini akan berkontribusi lebih fokus pada aspek SDM dengan
pendekatan soft systems methodology (SSM).
SSM adalah sebuah pendekatan holistik di dalam melihat aspek-aspek riil dan
konseptual di masyarakat. SSM dipandang sebagai salah satu strategi dalam
menangani berbagai masalah manajemen yang lahir dari sistem aktivitas manusia
(human activity system) (Bergvall-Kareborn 2002; Martin 2008). Serangkaian
aktivitas manusia disebut sebagai sebuah sistem karena setiap aktivitas-aktivitas
tersebut saling berhubungan antara satu sama lainnya dan membentuk suatu ikatan
(keterkaitan) tertentu. Pendekatan soft systems dianggap sebagai metodologi yang
sangat produktif untuk mempelajari setiap aktivitas manusia yang terorganisir di
dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu tersebut (Patel 1995). Oleh karenanya, SSM
sangat cocok diimplementasikan sebagai sebuah kerangka kerja (framework)
pemecahan masalah yang dirancang secara khusus pada keadaan yang secara
hakikatnya masalah tersebut sulit untuk didefinisikan (Martin 2008; Sinn 1998).
SSM juga sering dipakai untuk membuat konsep model, memperbaiki tindakan
pragmatis, mencari kompromi, maupun pembelajaran bersama dan partisipatif
seperti pengembangan organisasi dan pengembangan komunitas, serta untuk
pengembangan usaha.
Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan model strategi
pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo dengan pendekatan sistem
menggunakan soft systems methodology (SSM). Dengan demikian diharapkan
dapat menghasilkan permodelan konseptual strategi pengembangan SDM para
pelaku (stakeholder) agroindustri dengan meningkatnya produktifitas dalam
mewujudkan kesejahteraan dan keberlanjutan agroindustri kopi Gayo.

Metode

Untuk memformulasikan strategi pengembangan SDM agroindustri kopi


Gayo dilakukan dengan menggunakan metode soft systems methodology (SSM)
yang dikembangkan oleh Checkland dan Poulter (2010), Checkland dan Scholes
(1990). Seperti pendekatan sistem lainnya, inti dari SSM ini sendiri adalah
memberikan perbandingan antara dunia nyata dengan suatu permodelan yang
diperkirakan merepresentasikan dunia itu sendiri. Tujuan perbandingan ini nantinya
akan memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai dunia nyata (research)
dan memberikan ide-ide perbaikan (action) (Sonatha dan Prayama 2011;
Brocklesby 1995; Checkland dan Scholes 1990).
SSM memiliki kapabilitas dalam menyediakan kerangka kerja untuk
memahami masalah yang dihadapi bahkan masalah yang kompleks sekalipun
(Daellenbach dan McNickle 2005). Implementasi SSM pada berbagai disiplin ilmu
sudah banyak diterapkan oleh para pakar, peneliti dan akademisi, mulai dari
persoalan struktural, kebijakan, militer, lingkungan, metode pengajaran, sosial,
permasalahan energi, industri, inovasi dan sebagainya (Triyonggo et al. 2015;
Novani et al. 2014; Riyanto et al. 2014; Staadt 2012; Liu et al. 2012; Mahregan et
71

al. 2012; Cox 2010; Bjerke 2008; Staker 1999; Khisty 1995; Patel 1995; Konis
1994).
Metode SSM memiliki 7 tahapan (Gambar 13), yaitu:
(1) Mengkaji masalah yang tidak terstruktur. Pada tahap ini dilakukan
pengumpulan sejumlah informasi yang diperlukan berkaitan dengan strategi
pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo, termasuk pandangan dan asumsi
para pihak yang terlibat. Informasi primer diperoleh melalui diskusi mendalam
dengan para pakar yang berkompeten. Para pakar yang dipilih sebanyak 5
orang yaitu dari Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah, dosen Universitas
Gajah Putih di Takengon, petani kopi Gayo, pedagang pengumpul, dan
koperasi kopi Gayo. Untuk data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen
kepustakaan lembaga pemerintah dan swasta termasuk bahan-bahan hasil
penelitian.
(2) Mengekspresikan situasi masalah. Bahan yang diperoleh pada tahap pertama,
selanjutnya digunakan untuk membangun rich picture (penggambaran peta
dunia nyata) atau disebut juga representasi keadaan sekarang.
(3) Membangun definisi permasalahan yang berkaitan dengan situasi masalah.
Bagian ini adalah merumuskan root definition (definisi akar), yaitu suatu
kalimat singkat yang menyatakan “suatu sistem melakukan P dengan cara Q
untuk mencapai R”. Root definition selanjutnya dituangkan dalam mnemonic
CATWOE sebagaimana Tabel 6.
(4) Membangun model konseptual. Berdasarkan root definition di atas untuk setiap
elemen yang didefinisikan, kemudian dibangun model konseptual yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ideal. Model ini mengidentifikasi
sistem aktivitas manusia hasil ekspresi situasi masalah dalam rich picture dan
merepresentasikan hubungan antar kegiatan. Model konseptual ini merupakan
proses adaptif, karena terjadi umpan balik antara proses memodelkan dengan
hasil ekspresi situasi masalah. Semua elemen yang tertuang dalam CATWOE
disertakan dalam model konseptual.
(5) Membandingkan model konseptual dengan situasi masalah. Model konseptual
dibandingkan dengan dunia nyata untuk menyoroti kemungkinan perubahan di
dunia nyata. Setiap pihak yang terlibat memberikan persepsi dan penilaian
terhadap aktivitas yang dimodelkan, untuk menentukan apa yang seharusnya
dilakukan, dipertahankan, diperbaiki atau ditinjau kembali. Draft awal model
konseptual didesain oleh peneliti yang selanjutnya diminta koreksi, masukan
dan klarifikasi kepada setiap pakar sebagai narasumber dari penelitian ini.
Suatu model perbandingan dirumuskan meliputi aktivitas yang ditawarkan,
realita atau kondisi dunia nyata yang terjadi dan rekomendasi untuk tindak
lanjut. Model ini disempurnakan dan akan menjadi rekomendasi untuk
perubahan.
(6) Menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan. Tujuan tahap ini adalah
untuk mengidentifikasi dan mencari perubahan yang diinginkan secara
sistemik dan layak. Perubahan dapat terjadi dalam hal struktur, prosedur atau
sikap orang-orang.
(7) Melakukan tindakan perbaikan atas masalah. Pada tahap ini akan muncul
rekomendasi perubahan untuk dapat diimplementasikan. Akan ditunjukkan
sistem yang tepat untuk melakukan perubahan yang aktivitasnya dapat menjadi
“dunia nyata”.
72

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan tahapan-tahapan yang dikembangkan melalui pendekatan SSM,


berikut ini diuraikan penjelasan hasil dan pembahasan yang diperoleh dari masing-
masing tahapan yang dikaji.

Permasalahan Tidak Terstruktur


Salah satu permasalahan dalam pembangunan agroindustri adalah aspek
kualitas SDM. Adapun yang dimaksud dengan SDM dalam konteks agroindustri
adalah potensi yang dimiliki oleh individu-individu sebagai modal insani yang
dapat dikembangkan untuk suatu proses produksi sehingga menunjukkan ukuran
produktifitas tertentu. Beberapa persoalan dalam aspek SDM agroindustri kopi
Gayo yang berhasil diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengembangan dan peningkatan SDM sangat tergantung pada penyuluh
pertanian dengan fasilitas yang minim dan jumlah petugas yang terbatas
berbanding wilayah perkebunan yang mesti ditangani. Kondisi ini serupa dengan
temuan Jaya (2013) dan Silitonga (2008).
2. Kurangnya pengembangan pemahaman dan manajemen pengetahuan dalam
budidaya kopi, termasuk teknologi dan inovasi terkini, karena lebih
mengandalkan pengetahuan secara turun temurun dari keluarga. Hal ini juga
pernah dilaporkan oleh Indra (2011) dan Romano (2009) yang melihat bahwa
proses bertani dan pengelolaan pertanian, baik pra dan pasca panen lebih
dipengaruhi oleh pengetahuan dari orang tua yang ditransfer kepada anak-
anaknya.
3. Produktivitas belum optimal karena penguasaan teknologi yang kurang dan
lemahnya keterampilan petani. Menurut laporan Bilhak dan Maarif (2014);
Ibrahim dan Zailani (2010); Silitonga (2008) juga menemukan keadaan yang
sama, dimana keterampilan petani lebih dominan karena autodidak, sangat
jarang keterampilan petani ditingkatkan melalui suatu program peningkatan
keahlian tertentu.
4. Kurangnya kreatifitas dan inovasi dalam pengolahan produk dan industri
pengolahan yang minim, terutama berkaitan dengan penanganan pasca panen
dan pengolahan awal seperti fermentasi, pengolahan semi basah dan efisiensi
penggunaan air. Temuan yang serupa juga diperoleh dari Fatma (2011) dan
Bilhak dan Maarif (2014).
5. Intensitas pendidikan dan pelatihan secara kontinyu terhadap petani kopi sangat
diperlukan agar kualitas produksi agroindustri menjadi lebih baik. Pendapat ini
juga diakui oleh Walker (2015); Jaya (2014); Novita (2012); dan Mujiburrahman
(2011).
Indriati (2015) meyakini bahwa SDM memiliki peran penting dalam
mencapai keberhasilan, karena fasilitas yang canggih dan lengkap belum
merupakan jaminan akan berhasilnya suatu organisasi tanpa diimbangi oleh kualitas
SDM yang akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Adam dan Ghaly (2007)
berpandangan bahwa salah satu strategi dalam mencapai industri kopi secara
berkelanjutan adalah dengan memberdayakan (empowerment) petani untuk
meningkatkan kapasitas pasokan dan pemenuhan mutu. Hal ini sejalan dengan
kebijakan Departemen Perindustrian Republik Indonesia dalam memprioritaskan
pengembangan industri dimasa yang akan datang adalah industri yang berbasis agro
73

(agroindustri), karena memiliki karakteristik industri berkelanjutan dan lebih


mengandalkan pada SDM berpengetahuan dan terampil, sumberdaya alam yang
terbarukan serta penguasaan teknologi.
Dari berbagai persoalan yang dikemukakan diatas, peran pemangku
kepentingan (stakeholder) sangat penting dalam mendorong pengembangan SDM
terutama sebagai bagian yang tidak terpisahkan antara satu dengan yang lainnya.
Untuk menjelaskan hal ini diuraikan dalam bentuk tabulasi analisis hirarki
permasalahan dan peran para pihak yang terlibat dalam permasalahan
pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo (Tabel 11).

Tabel 11 Analisis hirarki permasalahan

Pihak yang
Levelisasi Fokus Isu Sifat
terlibat
• Pemerintah • Kebijakan
daerah pengembangan SDM • Perencanaan
• Pimpinan • Pengarahan dan strategis
koperasi pengawasan • Kebijakan
Direktif
• Pimpinan • Strategi keuangan dan pembangunan
perusahaan kredit usaha • Investasi &
agroindustri • Keamanan dan keuangan
• Perbankkan konflik sosial politik
• Perancang dan
• Manajemen
pelaksana program
Koperasi
pengembangan SDM
• Manajemen • Manajerial
• Proses penanganan
Perusahaan • Pengorganisasian
Strategis dan pemberdayaan
• Dinas • Evaluasi dan
SDM
Pertanian pengawasan
• Manajemen
dan
pengetahuan &
Perkebunan
koordinasi antar unit
• Pendampingan pelaku
• Penyuluh agroindustri
pertanian • Pengorganisasian
• Operasional
• Komunitas kelompok masyarakat
teknis
masyarakat/ • Pengembangan
• Kawasan
Taktis kelompok kapasitas SDM
perkebunan
usaha tani melalui lembaga dan
• Antar lembaga
• Lembaga kelembagaan
dan kemitraan
swadaya • Pemberdayaan
masyarakat masyarakat
tani/pekebun
• Produktifitas SDM
• Petani • Pengembangan diri • Perkebunan
Operasional • Pedagang dan keterampilan • Kawasan
Pengumpul • Relasi sosial yang produksi
dinamis
74

Sebagai sektor unggulan, agroindustri sangat ditunjang oleh kemampuan


dan keterampilan para pelakunya dari berbagai sub-sistem dalam menjalankan
perannya masing-masing, termasuk komitmen untuk secara bersama-sama
mengembangkan seluruh sub-sistem agroindustri. Seluruh komponen sub-sistem
agroindustri yang meliputi organisasi, manajemen, mekanisme, sistem dan
prosedur dari sub-sistem produksi, penanganan pasca panen sampai pemasaran dan
distribusi, harus mampu mengemban misinya dan tidak hanya dalam menjalankan
fungsinya secara partial, tetapi juga harmonisasi dalam pengembangan agroindustri
secara integral (Maarif 2000).

Pemetaan Masalah
Untuk menggambarkan situasi masalah yang dihadapi dalam pengembangan
SDM, sebuah rich picture ditampilkan dengan berbagai perspektif yang
menekankan struktur, proses, hubungan, konflik dan ketidakpastian, serta
mengungkapkan masalah, nilai-nilai yang diyakini dan divisualisasikan melalui
simbol-simbol (Gambar 27).

Gambar 27 Rich picture permasalahan


75

Berdasarkan rich picture yang terbangun, dapat dipahami peta masalah yang
melingkupi persoalan pengembangan SDM. Mulai dari masalah kemampuan dan
kualitas SDM yang ada saat ini, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pendidikan dan keterampilan sampai keterlibatan multi pihak yang berperan di
dalamnya. Kebijakan yang diputuskan pemerintah untuk terlibat dalam
perdagangan bebas setingkat ASEAN, menjadi tantangan dan sekaligus ancaman
bagi SDM agroindustri kopi Gayo. Jika tindakan dan dukungan para pihak dalam
mengembangkan SDM para pelaku agroindustri, terutama petani, pedagang
pengumpul, pengelola koperasi dan perusahaan agroindustri kopi lokal tidak
ditangani dengan baik, maka akan menjadi persoalan serius dikemudian hari.
Masuknya tenaga asing dengan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik
boleh jadi menyebabkan keterpinggiran pelaku agroindustri kita sendiri karena
kalah dalam persaingan. Hal ini pulalah yang dicemaskan Triyonggo et al. (2015)
yang menganalisis bagaimana kesiapan SDM Indonesia dalam menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN, terutama dari kalangan praktisinya.

Definisi Akar (Root Definition)


Peningkatan mutu SDM yang strategis terhadap keterampilan, motivasi,
pengembangan dan manajemen pengorganisasian SDM merupakan syarat
utama dalam era globalisasi untuk mampu bersaing dan mandiri (Maarif 2000).
Inilah yang sedang dihadapi dalam konteks MEA yang sudah mulai berjalan sejak
awal tahun 2016 yang lalu.
Untuk mendeskripsikan bagaimana proses sistem pengembangan kapasitas
SDM yang hendak dibangun maka dianalisis dengan menggunakan tabel CATWOE
(Tabel 12).

Model Konseptual
Dengan berpedoman pada root definition, selanjutnya disusunlah gambaran
model konseptual dalam mengidentifikasi aktivitas yang diperlukan dalam sistem
pengembangan SDM yang dibangun. Model konseptual ini merupakan proses
adaptif, dimana terjadi aktivitas para pelaku dan adanya umpan balik antara
proses dan pelaku dalam sistem (Gambar 28).

Antara Model dan Dunia Nyata


Setelah model konseptual diperoleh, maka tahap berikutnya adalah
melakukan perbandingan antara model konseptual (human activity system)
dengan dunia nyata yang menghasilkan rekomendasi tentang apa yang sebaiknya
dipertahankan, ditingkatkan atau dibuat yang baru. Rekomendasi yang diberikan
dalam proses ini meliputi tujuh hal, yaitu pelatihan pengembangan diri dan
keterampilan, pengembangan kelembagaan, studi banding sebagai media
pembelajaran langsung, pameran agroindustri, penyuluhan intensif, tenaga
pendamping perkebunan dan penelitian berkesinambungan. Untuk lebih detilnya
seperti yang dijelaskan pada Tabel 13.

Rencana Perubahan
Tujuan utama pengelolaan usaha tani kopi Gayo adalah untuk meningkatkan
produksi agar pendapatan petani kopi meningkat, karena itu petani sebagai
pengelola usahanya harus mengerti cara mengalokasikan sumberdaya atau faktor
76

Tabel 12 Analisis CATWOE

Deskripsi Hasil Definisi


Costumer: orang yang
Petani, Pedagang Pengumpul, Koperasi dan
C berpengaruh/dipengaruhi
Perusahaan
oleh sistem
• Petani: pelaku yang melakukan budidaya,
penanganan pra dan pasca panen
• Pedagang Pengumpul: melakukan penanganan
pasca panen dan perdagangan kepada agroindustri
(koperasi dan perusahaan)
• Koperasi dan Perusahaaan: pihak yang melakukan
pembelian kepada petani dan pedagang
pengumpul yang kemudian menjual kepada
Actor: orang dan peran pembeli (buyer) nasional dan internasional
A
sistem dalam aktivitas • Perguruan Tinggi, BPTP (Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian), Lembaga penelitian:
lembaga yang menyediakan ilmu, teknologi dan
melakukan diseminasi hasil penelitian kepada
petani dan pedagang pengumpul, serta pelaksana
bagi pemberi kebijakan
• Penyuluh dan Pendamping: pelaku yang
mendesiminasikan hasil-hasil penelitian dan
teknologi serta sebagai mitra pelaku agroindustri
Terbangunnya strategi pengembangan kapasitas
Transformation: proses SDM agroindustri kopi Gayo melalui berbagai
T
dan perubahan program, pelatihan, penyuluhan, pemberdayaan
masyarakat, penelitian dan perumusan kebijakan
Terbentuknya kebijakan pemerintah dan
terbangunnya pengetahuan yang baik secara
bersama-sama bagi seluruh elemen yang terlibat
World-view: Dampak dari
W untuk memiliki rasa tanggung jawab dalam
implementasi sistem
merencanakan, mengendalikan dan memperbaiki
pengembangan kapasitas SDM agroindustri kopi
Gayo secara berkelanjutan
O Owner: Para pihak Koperasi, Perusahaan, Pemerintah Daerah
• Program pengembangan SDM masih sangat
Environment: kendala
sedikit dan terbatas jangkauannya
lingkungan yang
melingkupi sistem dan • Transfer pengetahuan budidaya serta penanganan
E
pra dan pasca panen hanya berdasarkan
implikasinya
pengetahuan turun temurun
ROOT DEFINITION:
Sistem melakukan kegiatan pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo (P) dengan
cara penerapan berbagai program secara efektif dan tepat sasaran dengan keterlibatan
berbagai pihak (Q) untuk dapat meningkatkan kapasitas SDM secara berkelanjutan
dalam menghadapi perdagangan bebas termasuk MEA (R)
77

Gambar 28 Model konseptual strategi pengembangan SDM

produksi yang dimilikinya sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Kopi yang
dihasilkan harus memenuhi syarat kualitas tertentu sehingga dapat diterima pasar.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah meningkatkan kualitas SDM petani dan
penguasaan terhadap ilmu dan teknologi tentang agroindustri dan kualitas kopi.
Kopi Gayo yang merupakan salah satu kopi terbaik dari kopi yang ada di Indonesia
adalah modal dasar yang dimiliki daerah sebagai daya saing bagi pemenuhan
kebutuhan kopi dunia. Petani seharusnya menguasai teknologi penanganan pra dan
pasca panen untuk memperoleh kopi yang memenuhi standar kualitas terbaik
sehingga mendapatkan nilai jual terbaik pula. Melakukan program-program
pengembangan SDM semestinya menjadi perhatian utama berbagai pihak di Aceh
maupun Indonesia, untuk meningkatkan kapasitas pelaku agroindustri sehingga
mampu bersaing dengan berbagai kompetitor lainnya. Berbagai bentuk kerjasama
antar unit pemerintah, swasta dan perguruan tinggi sangat penting dilakukan agar
peluang-peluang dalam rangka implementasi kebijakan untuk pengembangan SDM
dapat dilaksanakan secara inovatif dan variatif melalui pendekatan-pendekatan
sosial kemasyarakatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Salah satu upaya
78

Tabel 13 Perbandingan model dengan dunia nyata


Aktivitas Kondisi Dunia Nyata Rekomendasi
Memperbanyak fasilitas dan sarana
pengembangan diri dan keterampilan,
Pelatihan Fasilitas dan sarana mengusahakan agar menyentuh
pengembangan pengembangan diri maupun masyarakat yang lebih jauh ke pedesaan
diri dan keterampilan masih sangat dan dapat menjalin kerjasama yang baik
keterampilan terbatas dengan perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat maupun komunitas
kopi lainnya.
Pendekatan pengembangan
Melakukan pemilahan sistem pendekatan
Pengemba- kelembagaan terlihat
kelembagaan, ada yang perlu dibantu
ngan seragaman, padahal setiap
(assistance), difasilitasi (facilitation) atau
kelembagaan bentuk kelembagaan memiliki
cukup dipromosikan (promotion) saja.
kondisi yang berbeda-beda
Koperasi dan perusahaan perlu melakukan
Beberapa koperasi sudah
program studi banding secara kontinyu
memprogramkan kegiatan
Studi banding untuk menambah pengetahuan baru dan
studi banding ke perusahaan
sebagai media membuka wawasan. Peran serta
dan koperasi kopi di daerah
pembelajaran pemerintah sangat diharapkan turut
lain di Indonesia, termasuk ke
langsung berpartisipasi mendukung dan
pusat penelitian dan
memfasilitasi kerjasama antar daerah dan
pengembangan kopi di Jember
wilayah agroindustri kopi
Partisipasi pameran
agroindustri dan sejenisnya Perlu dorongan dan penyediaan wadah
selama ini lebih didominasi pameran agroindustri dalam skala rakyat,
Pameran
oleh perusahaan dan koperasi, dimana kelompok-kelompok tani dapat
agroindustri
sangat sedikit atas inisiatif dan tampil menunjukkan kelebihan ataupun
partisipasi kelompok prestasi tertentu dalam usaha taninya
masyarakat secara mandiri
Tenaga penyuluh masih Penambahan jumlah penyuluh dan
terbatas dan tidak menjangkau pengembangan kapasitas penyuluh sangat
Penyuluhan daerah-daerah yang memiliki penting untuk diperhatikan, sehingga
intensif kondisi alam yang sulit selain jumlah yang lebih memadai juga
(pedalaman, susah transportasi memiliki pengetahuan yang terus
dan alam yang ekstrim) berkembang
Pemerintah daerah perlu
mempertimbangkan untuk merekrut
Tenaga pendamping selama ini
Tenaga pendamping tersendiri untuk kawasan
direkrut dari alumni perguruan
pendamping perkebunan kopi Gayo, atau dapat juga
tinggi melalui program tertentu
perkebunan menyediakan pendidikan keterampilan
pada suatu unit pemerintahan
teknis setara Diploma bagi keluarga
(anak-anak) petani kebun kopi.
Perguruan tinggi, BPTP, Kajian-kajian pengembangan SDM perlu
lembaga penelitian lainnya secara terus menerus dilakukan penelitian,
lebih banyak melakukan riset sehingga dari waktu ke waktu kualitas
Penelitian pada hal-hal teknis budidaya, SDM petani, pedagang pengumpul dan
berkesinambu- penanganan pra & pasca pelaku agroindustri kopi lainnya semakin
ngan panen, lahan, dan sejenisnya, berkembang dan meningkat lebih baik
sementara kajian-kajian dalam mewujudkan kesejahteraan
tentang pengembangan SDM keluarga dan masyarakat di wilayah
masih sangat terbatas. produksi kopi.
79

percepatan transfer pengetahuan dan teknologi adalah melalui pendidikan kepada


generasi penerus petani pekebun kopi dan pelaku agroindustri kopi lainnya melalui
sarana pendidikan.
Pemerintah daerah khususnya di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten
Bener Meriah perlu mempertimbangkan sebuah level pendidikan teknis
keterampilan bagi generasi muda di daerah tersebut dalam kaitannya dengan
agroindustri kopi, mulai dari budidaya sampai pemasaran. Pendidikan setara
Diploma mungkin dapat jadi alternatif yang dapat terserap langsung baik kepada
unit penyedia tenaga kerja ataupun mengembangkan usaha sendiri (wirausaha).

Tindakan Untuk Perbaikan


Strategi pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo bukanlah pekerjaan
musiman dan temporal, melainkan aktifitas berkesinambungan yang tentunya
diharapkan dari waktu ke waktu semakin berkembang dan menjadi lebih baik.
Sebuah desain formulasi strategi perlu dirumuskan dan diimplementasikan secara
menyeluruh, termasuk evaluasi dan pengawasan sepanjang waktu pelaksanaannya.
Formulasi strategi akan memberikan sebuah peta jalan kemana arah yang akan
dituju dan melalui jalan apa yang dipilih dengan segala dinamika yang mungkin
akan terus berkembang setiap saat.
Berdasarkan Gambar 29, terlihat bahwa dalam strategi pengembangan
SDM agroindustri kopi Gayo, terdapat tiga elemen penting dalam mendorong
proses pengembangan kapasitas SDM yang dapat diturunkan dalam berbagai
program. Pertama, kebijakan pengembangan SDM terutama dengan program-
program pemerintah daerah melalui dinas terkait. Kedua, dengan sistem sertifikasi
produk.
Menurut Disbun (2013), sekitar 70 persen kopi Arabika Gayo ini telah
mendapatkan sertifikat produk yang berprinsip pada sistem pertanian berkelanjutan
seperti Organic certified, Fairtrade dan Rainforest. Sistem sertifikasi ini dengan
sendirinya melibatkan lembaga pengimpor untuk menjamin kualitas dan proses
produksi kopi yang dihasilkan (Walker 2015; Almqvist 2011). Oleh karenanya
lembaga pengimpor yang menggunakan sertifikasi tersebut berkewajiban untuk
membina SDM pelaku agroidustri yang terlibat dalam jaringan kerjanya. Ketiga,
merupakan inisiasi secara swadaya dari komunitas pecinta kopi ditingkat lokal dan
lembaga-lembaga penelitian, baik perguruan tinggi maupun pemerintah seperti
BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian). Semua institusi ini diharapkan
memberikan sasaran kepada petani, pedagang pengumpul, penyuluh, pendamping
perkebunan, manajemen koperasi maupun perusahaan agroindustri secara langsung.
Pendekatan untuk setiap segmen mungkin bisa berbeda-beda, tergantung dengan
capaian yang hendak diinginkan. Misalnya petani difokuskan dengan program
pengembangan budidaya, penanganan pra dan pasca panen, manajemen mutu dan
penyimpanan.
Untuk pedagang pengumpul dapat dilakukan dengan peningkatan
pemahaman tentang penanganan pra dan pasca panen, manajemen mutu,
penyimpanan dan penggudangan kecil. Bahkan beberapa program tambahan seperti
teknik sortasi dan pengkelasan (grading) manual juga dapat dibekali untuk para
pedagang pengumpul ini.
Bagi penyuluh dan tenaga pendamping perkebunan, perlu dikembangkan
berbagai pelatihan (training), pendampingan (mentoring), pembinaan (coaching),
80

Gambar 29 Formulasi strategi pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo

dan konseling (counseling), sehingga mereka selalu terasah pengetahuan dan


keahliannya dalam memberikan penyuluhan dan pendampingan bagi para petani,
tenaga pengumpul dan pelaku agroindustri lainnya dilapangan. Untuk pelaku
agroindustri kelas menengah seperti manajemen koperasi dan perusahaan
agroindustri, perlu dilakukan pendekatan asistensi (assistance), fasilitasi
(facilitation) atau promosi (promotion). Ini sesuai dengan pandangan Nasution
(2002) dan North (2014), yang menyatakan bahwa setiap lembaga perlu diketahui
kondisi terkininya (existing institution) sehingga dapat diputuskan bentuk
intervensi yang dapat diberikan, apakah dibantu, difasilitasi atau cukup
mendapatkan dukungan promosi saja.
Rekomendasi untuk perubahan merupakan sebuah kebijakan yang tidak
mudah, apalagi merubah kebiasaan yang sudah bergenerasi dan terkesan nyaman,
namun perubahan memang harus selalu dimaknai sebagai sebuah cara untuk
menjadikan sesuatu lebih baik dari keadaan sebelumnya yang kurang baik atau
kurang optimal. Hal ini penting untuk menghargai bahwa setelah perubahan ini
dilaksanakan, situasi masalah akan dimodifikasi dan pada akhirnya proses tersebut
81

tidak pernah berhenti pada satu titik akhir. Dengan kata lain proses adalah siklus
yang dilakukan dengan perbaikan secara terus menerus sebagaimana disajikan
dalam Gambar 29 tersebut.
Salah satu hasil penting dari penelitian ini ditemukan bahwa peran pemangku
kepentingan (stakeholder) sangat strategis untuk mendorong pengembangan SDM.
Untuk memastikan sinergisitas dan harmonisasi hubungan antar para pihak sebagai
pelaku agroindustri kopi Gayo tersebut, selanjutnya perlu dikaji sistem
kelembagaan seperti apa yang cukup efektif untuk dikembangkan. Termasuk hal
yang terpenting pula adalah bagaimana melakukan penilaian tingkat kematangan
kelembagaan yang sudah terbentuk selama ini, sehingga nantinya dapat diketahui
lebih lanjut bentuk intervensi apa yang akan dilakukan terhadap kelembagaan
tersebut terkait hubungannya dengan pengembangan SDM kedepan.

Simpulan

Strategi pengembangan sumber daya manusia (SDM) agroindustri kopi Gayo


merupakan tindakan strategis untuk melahirkan kompetensi dan kualitas pelaku
agroindustri dengan daya saing yang tinggi terutama dalam menghadapi persaingan
global dan persaingan dalam kawasan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Pendekatan
soft systems methodology mampu menguraikan permasalahan dengan baik dan
menemukan model konseptual sebagai suatu bentuk formulasi strategi
pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo. Berbagai program pengembangan
kapasitas SDM direkomendasikan untuk dapat lebih ditingkatkan dengan
melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi dan
lembaga penelitian. Terdapat lima kelompok sasaran pengembangan SDM yang
berkaitan langsung sebagai para pelaku agroindustri, yaitu petani, pedagang
pengumpul, penyuluh, pendamping, dan manajemen koperasi/perusahaan
agroindustri. Investasi SDM sesungguhnya merupakan sebuah investasi intelektual
yang memiliki arti penting bagi pembangunan daerah dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di kawasan produksi agroindustri kopi, termasuk kopi
Gayo.

--------------------
Kajian pada BAB ini telah diterbitkan pada Jurnal Manajemen Teknologi Vol. 16
No. 2 hal. 141-155 tahun 2017 (Agustus), Akreditasi B DIKTI.
6 STRATEGI PROSPEKTIF PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI KOPI GAYO

Pendahuluan

Dalam perdagangan dunia, kopi selalu menjadi incaran para pembeli dari
berbagai negara dan merupakan salah satu komoditas paling penting di dunia
(Taylor 2005; Ponte 2004). Diantara negara-negara pengkonsumsi kopi terbesar
adalah Belanda, Amerika, Jepang, Inggris, Italia, dan Jerman dengan rata-rata
permintaan pasar sebesar 5.8 juta ton per tahun dan terus mengalami peningkatan
sebesar 0.5 persen setiap tahunnya (SCAA 2005). Indonesia merupakan salah satu
negara produsen kopi di dunia dengan mengekspor sebesar 11 persen atau setara
dengan 600 ribu ton per tahun dari total perdagangan kopi dunia. Posisi Indonesia
cukup strategis karena menjadi negara pengekspor kopi terbesar keempat setelah
Brazil, Colombia dan Vietnam. Produktifitas rata-rata kopi dari negara-negara
pengekspor tersebut adalah Vietnam 1 540 kg/ha/tahun, Colombia 1 220
kg/ha/tahun dan Brazil 1 000 kg/ha/tahun, sementara Indonesia sebesar 792
kg/ha/tahun (AEKI 2013). Salah satu propinsi penghasil kopi di Indonesia adalah
Propinsi Aceh yang dikenal dengan nama kopi Gayo dengan menyumbang 28.23
persen dari total produksi kopi secara nasional (Kementan 2013; Salima et al. 2012;
AEKI 2013).
Untuk perdagangan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN),
negara pesaing penghasil kopi terbesar adalah Vietnam sebagai kompetitor yang
patut diperhitungkan. Namun kelebihan kopi Gayo dibandingkan kopi-kopi lain di
Indonesia dan dunia adalah cita rasanya yang khas, sehingga telah mendapatkan
sertifikat Indeks Geografis sebagai salah satu kopi specialty dengan nilai harga jual
yang tinggi di dunia (Saputra 2012). Menurut Specialty Coffee Association of
America (SCAA), kopi Gayo (terutama jenis Arabika) adalah kopi specialty.
Maksudnya adalah kopi Gayo memiliki aroma yang khas dengan perisa (flavor)
kompleks dan kekentalan (body) yang kuat, menjadikan kopi Gayo sebagai kopi
berkualitas tinggi yang sangat diminati oleh pasar kopi dunia (ICCRI 2008; Putri et
al. 2013).
Menurut laporan International Coffee Organization (2011) menyebutkan
bahwa tren perdagangan kopi Gayo ke negara-negara importir semakin meningkat.
Keadaaan ini dengan sendirinya telah menyebabkan meningkatnya permintaan kopi
Arabika di pasaran dunia dari tahun ke tahun. Meningkatnya pasar dunia kopi
Arabika Gayo, ternyata tidak diikuti peningkatan pendapatan petani (Walker 2015;
Almqvist 2011), salah satu persoalannya adalah sinergisitas antar pelaku
(kelembagaan) agroindustri kopi Gayo belum terbangun dengan baik (Jaya et al.
2011; Putri et al. 2013). Padahal kelembagaan dapat berperan penting sebagai
media penyebaran inovasi hasil pertanian, sertifikasi dan pengelolaan mutu industri
pangan seperti aplikasi teknologi alat pengeringan, pemanenan, pengangkutan dan
pengemasan (Hennxsy 2003; Budi et al. 2009; Silitonga 2008; Putri et al. 2013;
Walker 2015).
Kelembagaan agroindustri adalah suatu perangkat formal dan non formal
yang mengatur hubungan atau interaksi yang dapat memfasilitasi terjadinya
koordinasi atau kerjasama antar berbagai individu. Sistem hubungan ini lahir
83

sebagai cara untuk mengatur individu-individu yang terlibat di dalamnya agar dapat
menjalani kehidupan bermasyarakat secara baik dan tidak merusak atau
mengancam kehidupan antara satu dengan lainnya.
Analisis prospektif merupakan salah satu teknik untuk menentukan berbagai
strategi yang mungkin dapat terjadi dimasa depan dengan berpedoman pada kondisi
saat ini (Gambar 10). Analisis prospektif sangat berguna untuk mempersiapkan
langkah-langkah strategis dan mempertimbangkan apakah perubahan diperlukan
dimasa yang akan datang (Godet 2010). Dengan analisis prospektif akan diperoleh
sejumlah informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategi apa saja yang
berperan dalam pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo sesuai dengan
kebutuhan para pihak (stakeholders) yang terlibat di dalam pemanfaatan masa
depan. Selanjutnya faktor kunci dan tujuan strategi (kebutuhan) tersebut digunakan
untuk mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi
pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh, Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Propinsi
Aceh-Indonesia, menentukan skenario strategi secara prospektif, dan merumuskan
prioritas alternatif strateginya.

Metode

Penelitian ini dilaksanakan dengan beberapa tahapan yaitu (1) penentuan


pakar sebagai pemberi keputusan (2) pendekatan parcipatory prospective analysis
(analisis prospektif), dan (3) analitical hierarchy process (AHP). Pengumpulan
data dilakukan melalui wawancara, penyebaran kuisioner, pengamatan langsung
dan sintesa data di lapangan. Para pakar yang dianggap berkompeten untuk
memberikan keputusan memiliki kepakaran berdasarkan pendidikan formal pada
bidang yang diteliti, berdasarkan pengalaman dan riwayat pekerjaan, serta praktisi
di bidang yang terkait dengan kopi Gayo.
Dalam menganalisis berbagai alternatif untuk pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo ini dilakukan pengumpulan pendapat dari enam pakar yang
terdiri dari dosen Universitas Syiah Kuala, petani kopi, pengusaha kopi lokal, Dinas
Pertanian Kabupaten Aceh Tengah, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Aceh dan komunitas kopi. Gabungan pendapat para pakar dinalisis sehingga
diperoleh strategi prospektif dan prioritas pengembangan kelembagaan agroindustri
kopi Gayo yang penting untuk dilakukan kedepan. Adapun diagram alir proses
kajian adalah seperti pada Gambar 30.

Analisis Prospektif
Analisis prospektif dipergunakan untuk memprediksi berbagai
kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Analisis prospektif tidak sama
dengan peramalan karena dari analisis ini dapat diprediksi alternatif-alternatif yang
akan terjadi di masa yang akan datang baik yang bersifat positif (diinginkan)
ataupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah untuk:
(1) mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan, (2) menentukan tujuan
strategis dan kepentingan pelaku utama, serta (3) mendefinisikan dan
mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan (Benjumea-Arias et. al. 2016;
84

Bourgeois dan Jesus 2004; Godet 2004). Proses pendefinisian skenario perubahan
terencana yang mungkin dapat terjadi dimasa depan adalah dengan
mengidentifikasikan bagaimana elemen kunci dapat berubah, kemudian memeriksa
perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan (kombinasi faktor dan keadaan) dan
selanjutnya menggambarkan skenario dengan memasukkan perubahan yang akan
terjadi (Eriyatno dan Sofyar 2007; Toumache dan Rouaski 2016). Analisis
prospektif juga sangat tepat digunakan untuk perancangan strategi kebijakan (Godet
2010; Dunn 2016).

Gambar 30 Diagram proses kajian

Analisis prospektif merupakan pengembangan dari metode Delphi yang


menggunakan pendapat kelompok pakar untuk pengambilan keputusan. Tahapan
dalam analisis prospektif menurut Hardjomidjojo (2016); Bourgeois dan Jesus
(2004) adalah:
1. Mendefinisikan tujuan sistem yang dikaji secara spesifik sehingga dimengerti
oleh semua pakar yang akan diminta pendapatnya. Hal ini dilakukan agar pakar
85

mengerti ruang lingkup kajian dan penyamaan pandangan tentang sistem yang
dikaji.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan
tersebut, yang biasanya merupakan kebutuhan stakeholders dalam sistem yang
dikaji. Berdasarkan tujuan studi yang ingin dicapai, pakar diminta
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan.
Pakar diharapkan dapat mewakili stakeholders dari sistem yang dikaji, sehingga
semua kepentingan elemen sistem dapat terwakili. Penelitian ini mengkaji
faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan agroindustri kopi Gayo.
Setelah diidentifikasi, faktor-faktor tersebut didefinisikan agar semua pakar
memiliki persepsi yang sama, sehingga dapat menilai faktor-faktor tersebut
sesuai dengan definisi faktor dan tujuan sistem. Pada tahapan ini definisi dari
tiap faktor harus jelas dan spesifik.
3. Penilaian pengaruh langsung antar faktor. Semua faktor yang teridentifikasi dan
terdefinisi akan dinilai pengaruh langsung antar faktor dengan berpedoman pada
penilaian analisis prospektif (Tabel 14). Hasil matriks gabungan pendapat pakar
diolah dengan perangkat lunak prospective analysis yang berpedoman pada
analisis MICMAC yang dikembangkan oleh the Institut d'Innovation
Informatique pour l'Entreprise, under the supervision of their creators,
Laboratory for investigation in Prospective Strategy and Organization, LIPSOR
(Godet 2004). Oleh karenanya dapat divisualisasikan dalam diagram pengaruh
dan ketergantungan antar faktor dalam sistem yang dianalisis (Gambar 31).

Tabel 14 Pedoman penilaian analisis prospektif

Skor Keterangan
0 Tidak ada pengaruh
1 Berpengaruh kecil
2 Berpengaruh sedang
3 Berpengaruh sangat kuat

4. Penyusunan keadaan yang mungkin terjadi (state) pada setiap kriteria


berdasarkan faktor dominan yang didapat pada tahap 3, disusun keadaan yang
mungkin terjadi di masa depan. Untuk setiap faktor dapat dibuat satu atau lebih
keadaan dengan ketentuan sebagai berikut: (1) keadaan harus memiliki peluang
sangat besar untuk terjadi pada masa yang akan datang, dan (2) keadaan
bukanlah tingkatan atau ukuran suatu faktor (besar, kecil, sedang atau baik dan
buruk) tetapi merupakan deskripsi tentang situasi dari suatu faktor. Kuadran I
merupakan faktor yang memberikan pengaruh tinggi terhadap kinerja sistem
dengan ketergantungan yang rendah terhadap keterkaitan antar faktor. Kuadran
II merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh dan ketergantungan
yang tinggi. Kuadran III memiliki pengaruh rendah terhadap kinerja sistem dan
ketergantungan yang tinggi terhadap keterkaitan antar faktor sehingga menjadi
86

output dalam sistem. Kuadran IV mempunyai pengaruh rendah terhadap kinerja


sistem dan ketergantungan juga rendah terhadap keterkaitan antar faktor.

I II
I

III IV
I I

Gambar 31 Diagram pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem


(Bourgeois dan Jesus 2004)

5. Penyusunan skenario. Skenario merupakan kombinasi dari keadaan faktor secara


mutual compatible (timbal balik) dari keadaan yang paling optimis sampai
paling pesimis.
6. Analisis skenario dan penyusunan strategi. Berdasarkan skenario yang disusun
pada tahap sebelumnya didiskusikan strategi yang perlu dilakukan untuk
pencapaian skenario yang diinginkan ataupun menghindari skenario yang akan
berdampak negatif bagi sistem.

Analytical Hierarchy Process


Proses Hirarki Analitik atau Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah
salah satu alat pengambilan keputusan yang mengidentifikasi struktur masalah,
kemudian dibobot atau dinilai untuk memilih alternatif penyelesaian masalah. AHP
dipergunakan untuk mengorganisasikan informasi dan judgment dalam memilih
alternatif yang paling disukai atau paling baik (Saaty 2008). Dalam penelitian ini,
analisis AHP dilakukan dengan menggunakan software Expert Choice versi 11
(Expertchoice 2004). Menurut Saaty (2008), ide dan prinsip kerja AHP adalah
sebagai berikut :
a. Penyusunan Hirarki.
Persoalan yang akan diselesaikan, diuraikan menjadi unsur-unsurnya, yaitu
kriteria dan alternatif yang kemudian disusun menjadi struktur hirarki.
b. Penilaian Kriteria dan Alternatif.
Kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan dengan skala 1
sampai 9 dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat
kualitatif dari skala perbandingan Saaty dapat dilihat dari Tabel 15.
87

Tabel 15 Skala perbandingan

Nilai Keterangan
1 Kriteria A sama penting dengan kriteria/alternatif B
3 A sedikit lebih penting dari B
5 A jelas lebih penting dari B
7 A sangat jelas lebih penting dari B
9 A mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan.
1/(2-9) Kebalikan dari keterangan nilai 2 sampai 9

c. Penentuan Prioritas
Untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif
maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang
telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.
d. Konsistensi Logis.
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten
sesuai dengan suatu kriteria yang logis.

Hasil dan Pembahasan

Kebutuhan Pengembangan Kelembagaan


Berdasarkan pendapat para pakar, untuk pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo diharapkan dapat memenuhi 13 kebutuhan (Tabel 16).
Kebutuhan tersebut didefinisikan dengan jelas sehingga memudahkan dalam
menganalisis faktor-faktor kunci sebagai penentu dalam pengembangan
kelembagaan agroindustri. Hasil analisis diolah dengan perangkat lunak analisis
MICMAC yang divisualisasikan dalam diagram pengaruh dan ketergantungan antar
faktor (Gambar 32).
Faktor-faktor yang terdapat pada Kuadran I dan Kuadran II merupakan
faktor kunci yang sangat berpengaruh terhadap pengembangan agroindustri kopi
Gayo. Gabungan pendapat para pakar diperoleh 5 faktor kunci yang mempengaruhi
pengembangan kelembagaan, yaitu (1) basis pengetahuan, (2) kemitraan antar
pelaku, (3) dukungan Pemerintah Daerah (Pemda), (4) kesadaran berkomunitas,
dan (5) kapasitas sumberdaya manusia (SDM). Selanjutnya faktor-faktor kunci
tersebut, sebelum proses formulasi skenario pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo dilakukan dengan segala kemungkinan yang akan terjadi
dimasa depan, terlebih dahulu dianalisis alternatif prioritas dengan metode
Analytical Hierarchy Process (AHP).

Formulasi Prioritas Strategi


Untuk menentukan prioritas dalam strategi pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo dengan metode AHP, diperolehlah bobot tertinggi sampai
dengan yang terendah (Gambar 33). Selanjutnya dilakukan pengurutan untuk
88

Tabel 16 Definisi faktor dalam strategi pengembangan kelembagaan

No Kebutuhan Definisi
1 Basis pengetahuan Membangun basis pengetahuan pelaku
agroindustri
2 Kemitraan antar Membangun kemitraan intensif antar pelaku
pelaku agroindustri
3 Budaya pembelajaran Mengembangkan budaya pembelajaran melalui
organisasi
4 Dukungan Pemda Dukungan dan pembelaan Pemda terhadap
pelaku agroindustri
5 Kohesifitas relasi Membangun kohesifitas dalam relasi sosial yg
sosial setara & berkeadilan dalam organisasi petani
6 Kearifan lokal Mengembangkan kearifan lokal sebagai basis
sosial kapital
7 Partisipasi masyarakat Menumbuhkan semangat partisipasi masyarakat
dalam mengembangkan dirinya
8 Pembinaan kinerja Mengembangkan pembinaan kinerja kelompok
kelompok melalui social learning approach
9 Kesadaran Membangun keasadaran berkomunitas/
berkomunitas kelompok atas dasar kebutuhan
10 Kompetensi penyuluh Meningkatkan kompetensi penyuluh dalam
memfasilitasi petani
11 Kapasitas SDM Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia
12 Finansial Dukungan finansial dari lembaga keuangan
13 Internalisasi Membangun stabilitas internalisasi kelembagaan
kelembagaan

Gambar 32 Analisis prospektif kebutuhan stakeholders


89

memperoleh prioritas dengan bobot tertinggi sebagai prioritas utama dan bobot
terendah dengan prioritas paling rendah (Tabel 17).
Berdasarkan analisis AHP terlihat bahwa prioritas utama dalam strategi
pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo adalah meningkatkan
kapasitas sumberdaya manusia (SDM) dengan bobot terbesar (0,429). Ini
mengindikasikan bahwa upaya peningkatan kapasitas petani menjadi sangat
strategis, baik saat ini maupun untuk masa mendatang. Pendapat ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Jaya et al. (2011); Wibowo (2010); Maarif (2000),
Ibrahim dan Zailani (2010); Bilhak dan Maarif (2014).

Gambar 33 Hasil analisis menggunakan software Expert Choice (Expertchoice


2004).

Formulasi Strategi Prospektif


Skenario strategi prospektif pengembangan kelembagaan agroindustri kopi
Gayo disusun berdasarkan faktor-faktor kunci yang berpengaruh terhadap sistem
yang dibangun. Berdasarkan faktor-faktor tersebut dapat dideskripsikan tentang
berbagai kemungkinan keadaan yang akan tejadi di masa mendatang. Berdasarkan
kelima faktor kunci yang berpengaruh terhadap pengembangan kelembagaan
agroindustri, selanjutnya dipilih keadaan yang paling memungkinkan akan terjadi.

Tabel 17 Prioritas strategi pengembangan kelembagaan

Strategi Bobot Prioritas


Membangun basis pengetahuan pelaku agroindustri 0.151 3
Membangun kemitraan intensif antar pelaku agroindustri 0.112 4
Dukungan dan pembelaan Pemda terhadap pelaku 0.072 5
agroindustri
Membangun kesadaran berkomunitas/kelompok atas dasar 0.236 2
kebutuhan bersama
Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) 0.429 1

Pemetaan skenario keadaan dimasa yang akan datang terhadap


pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo dapat dilihat pada Gambar 34.
Skenario dibangun untuk memudahkan dalam memvisualisasikan keadaan yang
90

Faktor A B C

Tetap seperti
Kapasitas SDM
sekarang,
Meningkatkan semakin rendah
1 kapasitas sumber
program
dengan bergantinya
Kapasitas peningkatan
daya manusia generasi & tanpa
SDM kapasitas SDM
(SDM) adanya transfer
masih sangat
pengetahuan
kurang

Membangun Tetap seperti


Apa adanya dan
kesadaran sekarang,
individualis
2 berkomunitas/ kesadaran untuk
semakin besar
Kesadaran kelompok secara berkomunitas
serta kepedulian
berkomunitas intensif atas dasar lahir karena
semakin
kebutuhan program tertentu
berkurang
bersama dari pemerintah

Membangun basis Tetap seperti


3 pengetahuan pelaku sekarang, basis
Basis agroindustri untuk pengetahuan tidak
pengetahuan menjadi semakin ditangani & berjalan
baik seperti biasa saja

Membangun Tetap seperti


4 kemitraan intensif sekarang,
Kemitraan antar pelaku kemitraan belum
antar pelaku agroindustri optimal & tidak
setara

Tetap seperti
Dukungan dan sekarang, Tidak adanya
5 pembelaan Pemda dukungan
Dukungan dukungan
terhadap pelaku seadanya saja program dari
Pemda agroindustri pemerintah
sesuai dengan
program
Keterangan:
: Kondisi saat ini
: Skenario Optimis
: Senario Moderat
: Skenario Pesimis

Gambar 34 Pemetaan keadaan pengembangan kelembagaan di masa mendatang


91

tentunya akan mempengaruhi rencana dan tindakan. Selanjutnya skenario disusun


untuk mendapatkan hasil rekomendasi operasional terbaik dengan segala dinamika
yang mungkin saja terjadi sepanjang waktu dimasa hadapan dengan berpedoman
pada apa yang telah ada saat ini.
Menurut Hardjomidjojo (2016), skenario propektif dikembangkan untuk
memprediksi kemungkinan yang dapat terjadi pada faktor tersebut, apakah akan
berkembang ke arah yang lebih baik dari sekarang, tetap atau akan semakin buruk
dari keadaan sekarang. Hasil ini dapat memberikan kewaspadaan bagi pengambil
kebijakan untuk menjalankan strategi yang dipilih.
Skenario prospektif pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo di
petakan dalam empat kondisi, yaitu (1) kondisi saat ini, (2) skenario optimis, (3)
skenario moderat, dan (4) skenario pesimis. Berdasarkan skenario tersebut, maka
para pengambil kebijakan dapat menjadikan pedoman dalam memutuskan
perencanaan kedepan dengan segala konsekuensi yang akan melingkupinya.
Sebuah kebijakan yang berpedoman pada suatu proses secara komprehensif akan
lebih terarah sesuai dengan yang diharapkan untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki.

Rekomendasi Skenario Operasional


Hasil utama penyusunan skenario pengembangan kelembagaan agroindustri
kopi Gayo adalah untuk mendapatkan rekomendasi operasional yang diharapkan
terjadi dimasa depan (Tabel 18). Berdasarkan analisis skenario operasional maka
diperolehlah bahwa skenario yang sangat diharapkan dimasa depan adalah Skenario
1 yaitu skenario yang paling baik (optimis): (1A) meningkatkan kapasitas SDM,
(2A) membangun kesadaran berkomunitas atau kelompok secara intensif atas dasar
kebutuhan bersama, (3A) membangun basis pengetahuan pelaku agroindustri untuk
menjadi semakin baik, (4A) membangun kemitraan intensif antar pelaku
agroindustri, serta (5A) dukungan dan pembelaan pemerintah daerah terhadap
pelaku agroindustri.
Selanjutnya Skenario 2 yaitu skenario moderat, merupakan suatu skenario
pertengahan yang dikembangkan dengan syarat paling minimal sehingga dapat
tercapai keadaan yang dimaksud. Keadaan skenario moderat ini adalah (1A)
meningkatkan kapasitas SDM, (2A) membangun kesadaran berkomunitas atau
kelompok secara intensif atas dasar kebutuhan bersama, (3A) membangun basis
pengetahuan pelaku agroindustri untuk menjadi semakin baik, (4B) tetap seperti
sekarang, kemitraan belum optimal dan tidak setara, serta (5B) tetap seperti
sekarang, dukungan seadanya saja sesuai dengan program pemerintah.

Tabel 18 Skenario pengembangan kelembagaan

No Skenario Keadaaan
1 Optimis 1A – 2A – 3A – 4A – 5A
2 Moderat 1A – 2A – 3A – 4B – 5B
3 Pesimis 1C – 2C – 3B – 4B – 5C

Pada Skenario 3 yaitu skenario pesimis, merupakan skenario yang paling


tidak diharapkan terjadi di masa depan. Skenario pesimis meliputi: (1C) kapasitas
SDM semakin rendah dengan bergantinya generasi dan tanpa adanya transfer
92

pengetahuan, (2C) apa adanya dan individualis semakin besar serta kepedulian
semakin berkurang, (3B) tetap seperti sekarang, basis pengetahuan tidak ditangani
dan berjalan seperti biasa saja, (4B) tetap seperti sekarang, kemitraan belum optimal
dan tidak setara, serta (5C) tidak adanya dukungan program dari pemerintah.
Implikasi operasional dari ketiga skenario ini akan sangat menentukan arah
pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang akan dibangun. Skenario
optimis perlu menjadi perhatian sungguh-sungguh agar dapat terealisasikan dengan
memperhatikan faktor-faktor penentunya yang meliputi (1) kapasitas SDM, (2)
kesadaran berkomunitas, (3) basis pengetahuan, (4) kemitraan antar pelaku, dan (5)
dukungan pemerintah daerah.

Simpulan

Penelitian ini masih terbatas pada pemetaan faktor-faktor kunci beserta skenario
yang memungkinkan terjadi di masa depan. Penelitian lebih lanjut masih sangat
diperlukan berkaitan dengan berbagai alternatif program dan aktifitas yang
dibutuhkan untuk mengarahkan berbagai faktor-faktor kunci yang diperoleh dari
hasil penelitian ini. Mengingat faktor-faktor kunci yang berhasil dirumuskan masih
secara umum, sehingga menguraikan desain tindakan untuk masing-masing faktor
tersebut masih sangat memungkinkan untuk dilakukan melalui penelitian lanjutan.

--------------------
Kajian pada BAB ini telah diterima untuk diterbitkan pada Bulgarian Journal of
Agricultural Science (BJAS) Vol. 24 No.6 tahun 2018 (November), Bulgaria, Q3
Scopus.
7 FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI KOPI GAYO

Pendahuluan

Model strukturisasi kelembagaan merupakan salah satu strategi dalam riset


dan analisis kelembagaan yang digunakan. Diantara metode yang sering dipakai
adalah pendekatan yang dikembangkan oleh Saxena (1992) melalui Interpretive
Structural Modeling (Permodelan Interpretasi Struktural). Metode ini adalah proses
pengkajian secara kelompok (group learning process) dimana model-model
struktural kelembagaan dihasilkan guna menggambarkan perihal yang komplek
dari suatu keadaan sistem kelembagaan melalui pola yang dirancang dengan
sistematis menggunakan grafis dan kalimat (Eriyatno 2012). Metode Interpretive
Structural Modeling (ISM) adalah proses pembelajaran yang interaktif dimana
sekumpulan dari elemen-elemen yang disusun dalam model sistem yang
komprehensif. ISM membantu dalam menentukan urutan dan tujuan pada
hubungan yang kompleks antar elemen dalam sistem (Pfohl et al. 2011; Indrawati
2013).
Menurut Kanungo dan Bhatnagar (2002), metode ISM dapat digunakan untuk
mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh (dukungan
atau pengabaian), struktur prioritas (‘lebih penting dari’ atau ‘sebaiknya dipelajari
sebelumnya’) dan kategorisasi ide (misalnya ‘termasuk dalam kategori yang sama
dengan’). Strukturisasi pengembangan kelembagaan terdiri dari data elemen
pengembangan, data sub-elemen strukturisasi pengembangan kelembagaan dan
data hubungan kontekstual. Data elemen pengembangan menggambarkan elemen-
elemen yang terdapat dalam sistem strukturisasi pengembangan kelembagaan
agroindustri, sedangkan data sub-elemen menggambarkan sub-elemen yang
terdapat pada masing-masing elemen tersebut. Data penilaian hubungan
kontekstual berisi tentang hubungan kontekstual antar sub-elemen pada masing-
masing elemen strukturisasi pengembangan. Data-data tersebut digunakan sebagai
basis data dalam sub-model pemilihan kelembagaan dan strukturisasi
pengembangan kelembagaan.
Hasil model pemilihan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri
berupa prioritas utama dari berbagai alternatif kelembagaan terpilih yang
selanjutnya dilakukan strukturisasi sistem pengembangan kelembagaan. Menurut
Saxena (1992) program strukturisasi pengembangan kelembagaan dapat dianalisis
berdasarkan sembilan elemen, yang terdiri dari elemen tujuan, elemen kebutuhan,
elemen kendala utama, elemen tolok ukur keberhasilan, elemen lembaga yang
terlibat dalam pelaksanaan, elemen sektor masyarakat yang terpengaruh, elemen
perubahan yang dimungkinkan, elemen aktivitas yang dibutuhkan dalam
perencanaan tindakan, dan elemen ukuran aktivitas guna mengevaluasi hasil yang
dicapai oleh setiap aktivitas.
Namunpun demikian, para peneliti biasanya tidak menggunakan semua
elemen dalam melakukan suatu analisis. Hal ini sangat tergantung dengan
kebutuhan riset yang hendak dihasilkan, biasanyanya hanya menganalisis 2 sampai
5 elemen saja, bahkan tidak jarang juga ada yang menggunakan satu elemen saja.
Beberapa riset kelembagaan menggunakan pendekatan ISM adalah Budi et al.
94

(2009); Forstater (2001); Jaya et al. (2013); Hsu et al. (2015); Murtadlo dan Utomo
(2014); Panackal dan Singh (2015); dan Pandi et al. (2016).

Agroindustri Kopi Gayo


Kopi Gayo merupakan kopi arabica specialty dari Indonesia dan telah
memperoleh indeks geografis sebagai kopi dengan harga jual tertinggi di dunia
(Herdyanti 2013, SCAA 2005). Kopi Gayo memiliki aroma yang khas dengan
perisa (flavor) kompleks dan kekentalan (body) yang kuat, menjadikan kopi Gayo
sebagai kopi berkualitas tinggi yang sangat diminati oleh pasar kopi dunia (ICCRI
2008; Putri et al. 2013). Kondisi inilah yang menjadikan agroindustri kopi Gayo
merupakan usaha yang strategis bagi masyarakat dataran tinggi Gayo (Gayo
highland) di Provinsi Aceh, yaitu suatu kawasan pegunungan yang meliputi
Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Gayo Lues
(Fadhil et al. 2017d). Tanaman kopi di kawasan ini sudah ada sejak tahun 1908 dan
sampai sekarang telah mencapai 97 796 hektar luas perkebunan kopi yang ditanam
pada ketinggian 950 - 1 450 meter diatas permukaan laut (Hulupi et al. 2013; Fadhil
et al. 2017c).
Berdasarkan laporan International Coffee Organization (2011) disebutkan
bahwa permintaan kopi Gayo ke negara-negara importir dari tahun ke tahun selalu
meningkat, terutama untuk pasar Eropa, Amerika dan Jepang. Namun, peningkatan
permintaan kopi Gayo oleh masyarakat dunia tidak berefek positif terhadap
pendapatan petani secara langsung (Walker 2015; Almqvist 2011). Diantara
penyebabnya adalah aspek kondusifitas kelembagaan yang belum terbangun
dengan optimal, terutama masih lemahnya sinergisitas antar pelaku agroindustri
kopi Gayo itu sendiri (Fadhil et al. 2017e; Putri et al. 2013). Padahal beberapa studi
menunjukkan bahwa aspek kelembagaan merupakan salah satu elemen terpenting
dalam pembangunan suatu agroindustri, termasuk agroindustri kopi Gayo (Walker
2015; Budi et al. 2009; Silitonga 2008). Oleh karenanya sangatlah penting
diformulasikan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo untuk
memberikan jalan bagi stakeholder dalam membangun industri kopi yang lebih
kompetitif dan produktif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk memformulasi strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo menggunakan pendekatan interpretive
structural modeling (ISM). Hasil desain strategi ini diharapkan menjadi masukan
bagi para pengambil kebijakan untuk memperbaiki dan meningkatkan
pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo menjadi lebih baik, terarah,
fokus dan berkelanjutan berdasarkan berbagai agenda yang dirumuskan.

Metode

Formulasi strategi pengembangan kelembagaan agroindustri menggunakan


metode Interpretive Structural Modeling (ISM) (Attri et al. 2013; Saxena et al.
1992). Permodelan ISM merupakan salah satu teknik permodelan kebijakan
strategis. Menurut Saxena et al. (1992), menyatakan bahwa teknik ISM bersangkut
paut dengan interpretasi dari suatu objek yang utuh atau perwakilan sistem melalui
aplikasi teori grafis secara sistematika dan iteratif. ISM merupakan proses
mentransformasikan model mental yang tidak terang dan lemah penjelasannya
95

menjadi model mental yang tampak (visible) serta didefinikan secara jelas dan
bermanfaat untuk beragam tujuan. Dalam kajian ini permodelan ISM digunakan
untuk merumuskan hirarki elemen-elemen strategis bagi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo.
Untuk menganalisis berbagai alternatif bagi pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo ini dilakukan pengumpulan pendapat dari tujuh pakar yang
terdiri dari dosen Universitas Syiah Kuala, petani kopi, pedagang pengumpul,
pengusaha kopi lokal, Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh dan komunitas kopi. Pengolahan data dilakukan
menggunakan software dDSS V.1 PRE-NET (Policy Research Expert Network).
Adapun tahapan penggunakan metode ISM adalah seperti pada Gambar 35.
Prosedur penerapan ISM ini adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi elemen dan sub-elemen melalui wawancara secara mendalam
dengan pakar, penelitian lapangan dan kajian literatur.
b. Merumuskan hubungan kontekstual antar elemen yang dibangun menggunakan
matrik interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix/SSIM).
Perumusan ini dilakukan dengan penilaian hubungan konstektual pada matriks
perbandingan berpasangan menggunakan simbol V, A, X dan O, yaitu:
V jika eij = 1 dan eji = 0
A jika eij = 0 dan eji = 1
X jika eij = 1 dan eji = 1
O jika eij = 0 dan eji = 0
c. Merubah matrik SSIM menjadi Matrik Reachability (Reachability Matrix) dan
kemudian menjadi matriks biner. Proses ini adalah menerjemahkan V, A, X, O
menjadi bilangan 1 dan 0 yang kemudian dikoreksi lebih lanjut sampai menjadi
matriks tertutup yang memenuhi aturan transitivity, yaitu kelengkapan dari
lingkaran sebab-akibat (causal-loop), dimana misalnya A mempengaruhi B dan
B mempengaruhi C, maka A harus mempengaruhi C. Reachability Matrix
dilakukan untuk mendapatkan kekuatan penggerak (driving power) dan
kekuatan ketergantungan (dependent power). Reachability Matrix yang telah
memenuhi Transivity Rule dapat dilanjutkan dengan menetapkan pilihan jenjang
(level partition).
d. Merumuskan Canonical Matrix, yaitu pengelompokkan elemen-elemen dalam
level yang sama. Pembuatan canonical matrix dilakukan dengan menyusun
variabel berdasarkan level yang dihasilkan dari level partition, dalam bentuk
tabel reachability matrix final.
e. Analisis MICMAC, yaitu merupakan suatu analisis yang digunakan untuk
menganalisis kekuatan penggerak (driver power) dan kekuatan ketergantungan
(dependence power) dari suatu variabel, sehingga hasil dari analisis dapat
diindentifikasi sebagai variabel kunci di dalam sistem (Mandal dan Deshmukh
1994). Variabel-variabel pada analisis MICMAC akan diklasifikasikan menjadi
4 sektor (Gambar 36), yaitu:
i. Sektor 1 merupakan autonomous factors (weak driver – weak dependent
variables). Elemen yang masuk sektor ini merupakan elemen yang
mempunyai kekuatan penggerak dan ketergantungan yang lemah. Elemen
tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin hanya memiliki sedikit
hubungan, sehingga elemen akan dihilangkan dari sistem.
96

Gambar 35 Tahapan menggunakan metode ISM


(Attri et al. 2013; Saxena et al. 1992).

ii.Sektor 2 merupakan dependent factors (weak driver – strongly dependent


variables). Elemen yang masuk sektor ini merupakan elemen yang
mempunyai kekuatan penggerak yang lemah dan ketergantungan yang kuat.
Elemen di sektor ini merupakan elemen yang tidak bebas.
iii. Sektor 3 merupakan linkage factors (strong driver – strongly dependent
variables). Elemen yang masuk sektor ini merupakan elemen yang
mempunyai kekuatan penggerak dan ketergantungan yang kuat. Elemen di
sektor ini merupakan elemen yang harus dikaji secara hati–hati, sebab
hubungan antar elemen tidak stabil.
iv. Sektor 4 merupakan Independent factors (strong driver – weak dependent
variables). Elemen yang masuk sektor ini merupakan elemen yang
mempunyai kekuatan penggerak yang kuat dan ketergantungan yang lemah.
Elemen di sektor ini merupakan elemen yang menjadi faktor kunci dalam
pembangunan model.
f. Menyusun matrik Digraph (Directional Graph) yaitu sebuah grafik dari elemen-
elemen yang saling berhubungan secara langsung pada suatu level hirarki.
97

g. Structural Model yaitu model ISM yang dihasilkan melalui pemindahan semua
nomor elemen dengan deskripsi elemen yang aktual, sehingga dapat
memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai sebuah sistem dari elemen
dan aliran hubungannya.

IV III
Independent Linkage
Driver Power
I II
Autonomous Dependent

Dependence
Gambar 36 Analisis MICMAC

Hasil dan Pembahasan

Pada tahap awal identifikasi dari permasalahan yang akan diselesaikan dalam
perumusan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo ini adalah
dengan menentukan daftar elemen utama. Berdasarkan pendapat pakar dipilihlah 5
(lima) elemen utama yang dianggap paling penting untuk dirumuskan strateginya,
yaitu: 1) tujuan yang diharapkan, 2) kendala yang dihadapi, 3) aktivitas yang
diperlukan, 4) indikator keberhasilan program, dan 5) pelaku utama dalam sistem
kelembagaan agroindustri kopi Gayo. Pengumpulan pendapat pakar dari setiap
elemen menghasilkan sejumlah sub-elemen strategis bagi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo. Untuk lebih lengkapnya dapat dipelajari pada
Tabel 19.

Struktur Elemen Tujuan Program


Pada strukturisasi elemen tujuan program diperoleh sejumlah sub-elemen
antara lain adalah 1) peningkatan kapasitas kelembagaan agroindustri, 2)
peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kinerja kelembagaan, 3)
memperoleh peta masalah kelembagaan dan sumberdaya manusia, 4) membangun
stabilitas internalisasi kelembagaan, dan 5) memperkokoh basis kearifan lokal
sebagai modal sosial kelembagaan (Tabel 19). Selanjutnya dengan analisis
MICMAC diperoleh bahwa E2 merupakan faktor independen, E1 dan E3 adalah
faktor linkage, sedangkan E4 dan E5 merupakan varibel dependen (Gambar 37). Ini
berarti bahwa varibel E2 adalah sub-elemen yang mempunyai kekuatan penggerak
paling kuat dan paling rendah ketergantungan dengan sub-elemen yang lain,
sehingga sub-elemen ini merupakan sub-elemen faktor kunci dalam pembangunan
model.
98

a) Analisis MICMAC b) Stuktural Sub-elemen


Gambar 37 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen tujuan program

Struktur Elemen Kendala


Untuk strukturisasi elemen kendala yang dihadapi, berdasarkan analisis
diperoleh tujuh sub-elemen (Tabel 19). Berdasarkan analisis MICMAC
diperolehlah bahwa E2 dan E3 merupakan variabel independen, namun sub-elemen
E2 memiliki kekuatan penggerak paling kuat dengan ketergantungan paling rendah
terhadap sub-elemen lainnya (level 4), diikuti oleh sub-elemen E3 (level 3)
(Gambar 38). Sub-elemen E5, E6 dan E7 merupakan variabel linkage yang
mempunyai kekuatan penggerak dan ketergantungan yang kuat dengan sub-elemen
lainnya. Sub-elemen E1 dan E4 adalah sub-elemen yang tidak bebas (dependent),
artinya sangat tergantung dengan sub-elemen lainnya dan memiliki faktor
penggerak yang lemah.

a) Analisis MICMAC b) Stuktural Sub-elemen


Gambar 38 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen kendala

Struktur Elemen Aktivitas


Berdasarkan stukturisasi elemen aktivitas, diperoleh sebanyak duabelas sub-
elemen yang perlu dilakukan (Tabel 19). Melalui analisis MICMAC menghasilkan
E11, E1, E3, E7 dan E9 sebagai variabel independen, akan tetapi sub-elemen E11
merupakan sub-elemen kunci yang diikuti oleh sub-elemen E1, sedangkan sub-
elemen E3, E7 dan E9 memiliki levelisasi yang setara (Level 4) (Gambar 39). Untuk
variabel independen diperoleh tiga sub-elemen yaitu E2, E5, E6 dan E8 dengan
levelisasi yang setara. Selanjutnya pada variabel dependen diperoleh sub-elemen
E4 dan E12 yang setara (level 2) dan yang sangat tergantung dengan sub-elemen
lain adalah E10 (level 1).
99
Tabel 19 Identifikasi elemen dan sub-elemen

Elemen Sub-Elemen
E1.Peningkatan kapasitas kelembagaan agroindustri
E2.Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kinerja kelembagaan
Tujuan
E3.Memperoleh peta masalah kelembagaan dan sumberdaya manusia
Program
E4.Membangun stabilitas internalisasi kelembagaan
E5.Memperkokoh basis kearifan lokal sebagai modal sosial kelembagaan
E1.Keamanan dan konflik sosial-politik
E2.Hubungan kerjasama antar pelaku agroindustri belum optimal
E3.Kompetensi dan keahlian belum berkembang
E4.Belum terhubungnya usaha tani berskala kecil dengan sistem agroindustri
Kendala secara komplementer
E5. Modal dan keuangan belum merata
E6. Struktur belum kondusif bagi pengembangan para pengusaha kecil dan
koperasi
E7. Pengembangan kapasitas masih terbatas
E1. Membangun basis pengetahuan pelaku agroindustri
E2. Membangun kemitraan intensif antara produsen dan konsumen (antar pelaku)
E3. Mengembangkan budaya pembelajaran melalui organisasi
E4. Dukungan dan pembelaan Pemda terhadap pelaku agroindustri
E5. Membangun kohesifitas dalam relasi sosial yang setara dan berkeadilan dalam
organisasi petani
E6. Mengembangkan kearifan lokal sebagai basis sosial kapital
Aktivitas E7. Menumbuhkan semangat partisipasi masyarakat dalam mengembangkan
dirinya
E8. Mengembangkan pembinaan kinerja kelompok melalui social learning
approach
E9. Membangun kesadaran berkomunitas/ kelompok atas dasar kebutuhan
E10. Meningkatkan kompetensi penyuluh dalam memfasilitasi petani
E11. Meningkatkan kapasitas Sumberdaya Manusia
E12. Dukungan finansial dari lembaga keuangan
E1. Peningkatan produktivitas hasil agroindustri kopi Gayo
E2. Peningkatan kualitas SDM (petani, pengumpul, penyuluh) secara konsisten
pada sistem kelembagaan
Indikator
E3. Peningkatan intensitas program pengembangan kelembagaan
Keberhasilan
E4. Terbentuknya sistem kelembagaan agroindustri yang kondusif dan
Program
berkembang
E5. Peningkatan peran pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
perguruan tinggi dalam pengembangan agroindustri kopi Gayo
E1. Petani
E2. Kelompok tani
E3. Pedagang pengumpul
E4. Eksportir
E5. Lembaga keuangan
Pelaku E6. Pemerintah daerah
E7. Lembaga penelitian/penyuluh
E8. Perguruan tinggi
E9. Koperasi
E10. Pengusaha

Keterangan: tulisan yang tebal (bold) adalah elemen dan sub-elemen kunci yang terpilih
100

a) Analisis MICMAC b) Stuktural Sub-elemen


Gambar 39 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen aktivitas

Struktur Elemen Indikator Keberhasilan Program


Strukturisasi pada elemen indikator keberhasilan program diperoleh lima sub-
elemen (Tabel 19). Sub-elemen independen adalah E4 (level 3), sedangkan sub-
elemen linkage dengan level setara adalah E2 dan E3, sedangkan pada sub-elemen
E1 dan E5 merupakan sub-elemen dependen dengan levelisasi yang setara (Gambar
40).

a) Analisis MICMAC b) Stuktural Sub-elemen


Gambar 40 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen indikator
keberhasilan program

Struktur Elemen Pelaku


Untuk strukturisasi elemen pelaku diperoleh sebanyak sepuluh sub-elemen
(Tabel 19) yang terdiri dari empat sub-elemen pada faktor independen, empat sub-
elemen pada faktor linkage dan 2 sub-elemen pada faktor dependen. Pada faktor
independen terdiri dari sub elemen E1 dan sub-elemen E2 (level 6) adalah faktor
penggerak paling kuat dengan ketergantungan paling rendah terhadap sub-elemen
lainnya, diikuti oleh sub-elemen E6 (level 5) dan sub-elemen E5 (level 4). Pada
faktor linkage, sub-elemen dihasilkan adalah E3, E4, E9, dan E10 pada levelisasi
yang setara (level 3), sedangkan pada faktor dependen adalah E7 (level 2) dan E8
(level 1) (Gambar 41).
101

a) Analisis MICMAC b) Stuktural Sub-elemen


Gambar 41 Perumusan sub-elemen kunci pada setiap elemen pelaku

Setelah dianalisis masing-masing elemen seperti yang dijelaskan di atas,


maka rumusan masing-masing sub-elemen kunci pada setiap elemen dapat
dirangkumkan seperti pada Tabel 19 (tercetak tebal/bold).
Ada dua temuan menarik dari kajian ini terutama berkaitan dengan
sumberdaya manusia, yaitu pada tujuan program dengan sub-elemen kunci adalah
peningkatan sumberdaya manusia dan kinerja kelembagaan agroindustri.
Kemudian pada aktivitas program yang menjadi elemen kunci adalah pentingnya
meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia. Kedua persoalan ini menjadi
menarik untuk dicermati bahwa, selalu saja kajian pengembangan kelembagaan
sangat terkait erat dengan sumberdaya manusia. Artinya bahwa antara sistem
kelembagaan dengan sumberdaya manusia merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan. Penelitian tentang kaitan yang sangat erat antara kelembagaan
dan sumberdaya manusia juga turut dilaporkan oleh peneliti lainnya seperti Budi et
al. (2009); Jaya et al. (2013); Murtadlo dan Utomo (2014); dan Fadhil et al. (2017f).
Oleh karenanya setiap penelitian kelembagaan perlulah untuk senantiasa
memperhatikan juga hubungannya dengan sumberdaya manusia yang terkait
dengan sistem kelembagaan tersebut.
Pada elemen kendala dan indikator program juga diperoleh dua hal yang
signifikan, yaitu sub-elemen kunci pada elemen kendala adalah hubungan
kerjasama antar pelaku agroindustri yang belum optimal. Selanjutnya pada elemen
indikator keberhasilan program diperoleh sub-elemen kunci yaitu terbentuknya
sistem kelembagaan agroindustri yang kondusif dan berkembang. Antara elemen
kendala dengan elemen indikator keberhasilan program pengembangan
kelembagaan pada agroindustri kopi Gayo ini terlihat bahwa harmonisasi dan
sinergisitas para pelaku masih perlu ditingkatkan. Hal ini persis seperti yang
dinyatakan oleh Fadhil et al. (2018b) bahwa suatu sistem kelembagaan akan
berjalan dengan baik dan mencapai tingkat kematangan tertentu, sangat dipengaruhi
oleh bagaimana para pihak dalam membangun sistem kemitraan yang saling
menguntungkan. Pada akhirnya, tentulah capaian yang akan diharapkan sebagai
ukuran keberhasilan sejumlah program pengembangan kelembagaan agroindustri
kopi Gayo ini, dapat dinilai dengan seberapa kondusifnya sistem kelembagaan yang
terbangun dan dapat terus berkembang.
102

Untuk elemen pelaku, sub-elemen kunci yang dihasilkan adalah petani dan
kelompok tani. Ini menandakan bahwa petani dan kelompok tani memegang
peranan yang paling penting dan strategis dalam sistem kelembagaan agroindustri
kopi Gayo. Petani dan kelompok tani adalah pelaku yang paling besar menerima
risiko dalam penanganan hasil pertanian, termasuk kopi (Walker 2015; Jaya et al.
2013; Saputra 2012; Almqvist 2011; Ibrahim dan Zailani 2010). Selain itu, petani
dan kelompok tani biasanya adalah penerima keuntungan paling kecil dari sistem
kelembagaan yang terbangun selama ini. Kondisi ini perlu diperbaiki dengan
pengkajian lebih lanjut, sehingga sistem kelembagaan agroindustri yang terbangun
tidak merugikan satu atau dua pelaku. Kerugian yang besar atau risiko yang terlalu
besar ditanggung oleh satu pihak (salah satu pelaku) akan mengakibatkan
kesenjangan yang akan merugikan sistem kelembagaan itu sendiri, sehingga pihak
yang dirugikan akan melakukan tindakan yang berlawanan atau menolak sistem
kelembagaan itu untuk terus berlanjut.

Simpulan

Berdasarkan analisis pengembangan kelembagaan agroindustri yang


dilakukan melalui penelitian ini, diperolehlah formulasi strategi untuk masing-
masing elemen dalam sistem yang dikaji. Untuk elemen tujuan program, strategi
yang perlu dilakukan adalah peningkatan sumberdaya manusia dan kinerja
kelembagaan. Pada elemen kendala, strategi yang terpilih adalah membangun
hubungan kerjasama antar pelaku agorindustri yang perlu dioptimalkan. Untuk
elemen aktivitas, strategi utama adalah meningkatkan kapasitas sumberdaya
manusia pelaku agroindustri. Kemudian pada elemen indikator keberhasilan
program, strategi yang direkomendasikan adalah membentuk sistem kelembagaan
agroindustri yang kondusif dan berkembang. Elemen terakhir adalah pelaku dengan
strategi yang perlu difokuskan untuk dikembangkan adalah petani dan kelompok
tani. Hasil formulasi strategi ini menjadi referensi yang berharga bagi rencana
tindak lanjut pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Provinsi Aceh
dan dapat menjadi model bagi pengembangan kelembagaan agroindustri pada
komoditas lainnya.

--------------------
Kajian pada BAB ini telah diajukan ke Acta Universitatis Agriculturae et
Silviculturae Mendelianae Brunensis, Czech Republic, Q3 Scopus.
8 PEMBAHASAN UMUM

Pendahuluan

Strategi pengembangan kelembagaan agroindustri adalah segala cara yang


terencana untuk mencapai tujuan tertentu yang bersifat incremental (senantiasa
meningkat) dan berkesinambungan terhadap suatu kelembagaan agroindustri yang
hendak dikembangkan. Beberapa kesalahan selama ini dilakukan dalam
pengembangan kelembagaan adalah dengan menghadirkan bentuk atau
menawarkan model kelembagaan yang baru, tanpa mempertimbangkan bentuk atau
model kelembagaan yang telah berkembang (Sesbany 2014; Anantanyu 2011;
Purwanto et al. 2007; Syahyuti 2003; Agustian 2003; Zuraida dan Rizal 1993). Oleh
karenanya sering sekali riset-riset kelembagaan bukan malah memberikan
kontribusi bagi penyelesaian masalah, namun menghadirkan solusi dengan
memberikan masalah-masalah baru yang harus dihadapi. Baik karena
ketidaksesuaian dengan dinamika yang telah berkembang (kearifan lokal) ataupun
intervensi pengambil kebijakan yang terlalu terkesan memaksa atas suatu bentuk
kelembagaan baru yang dikembangkan.
Melalui suatu penelitian yang mendalam dan komprehensif, penulis
mencoba memberikan kontribusi dalam bentuk peta jalan yang disebut sebagai
strategi pengembangan kelembagaan agroindustri, pada kasus ini secara khusus
dengan mengambil pelajaran dari pengembangan kelembagaan pada agroindustri
kopi Gayo di Provinsi Aceh. Paling tidak terdapat dua alasan utama kenapa
agroindustri kopi Gayo dipilih sebagai model untuk pembelajaran dalam
pengembangan kelembagaan agroindustri. Pertama, karena agroindustri kopi Gayo
merupakan salah satu agroindustri unggulan daerah di Provinsi Aceh yang sangat
besar kepentingannya bagi pengembangan wilayah, peningkatan pendapatan asli
daerah (PAD), dan penopang hidup masyarakat di kawasan tersebut. Kedua,
agroindustri kopi Gayo telah berkembang dengan signifikan, hal ini terlihat dari
tingkat ekspor yang terus meningkat, adanya sertifikasi produk, dan penerimaan
kopi Gayo sebagai kopi specialty yang sangat diminati pasar dunia maupun dalam
negeri.
Setiap perumusan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri sudah
semestinya dilakukan melalui suatu kajian yang komprehensif, baik dalam hal
konsep, metode, proses dan prosedurnya. Konsep adalah gagasan, ide dan
pengetahuan yang masih abstrak, sementara metode lebih kepada cara yang akan
dilakukan. Adapun proses merupakan perjalanan setiap tahapan yang dilalui secara
bertahap, sedangkan prosedur adalah serangkaian langkah-langkah yang spesifik
dalam menyelesaikan suatu aktivitas. Dalam ruang lingkup inilah strategi
pengembangan kelembagaan agrondustri perlu dirumuskan secara fokus, terarah
dan terencana. Tentu saja hasil yang diharapkan dari penelitian disertasi doktoral
ini bukan hanya menjadi rekomendasi bagi pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo saja, namun dapat juga bermanfaat bagi pengembangan
kelembagaan agroindustri pada komoditas lainnya.
104

Sintesis

Untuk mengetahui kondisi terkini dari suatu kelembagaan yang telah


berkembang, maka penelitian analisis situasional perlu dilakukan. Analisis
situasional sering dijadikan salah satu metode untuk mengkaji berbagai fenomena
sosial, keadaan masyarakat dan kondisi suatu wilayah. Melalui analisis ini akan
memberikan perspektif awal bagi peneliti tentang keadaan sebenarnya yang terjadi
saat itu dan akan sangat bermanfaat bagi tindakan ataupun perencanaan yang akan
dilakukan selanjutnya (Fadhil et al. 2018b). Termasuk juga tahap berikutnya adalah
penentuan strategi intervensi yang akan dilakukan dengan mempertimbangkan
keadaaan kelembagaan yang telah berkembang. Semakin jelas bentuk kelembagaan
yang dipelajari akan semakin memudahkan bentuk intervensi yang akan dilakukan.
Oleh karenanya analisis situasional yang dikombinasikan dengan strategi intervensi
kelembagaan, akan sangat berguna dalam pengambilan kebijakan untuk
penanganannya lebih lanjut.
Untuk mengetahui bagaimana tingkat pertumbuhan dan perkembangan
kelembagaan agroindustri, maka perlu dirumuskan suatu sistem penilaian tingkat
atau levelisasi kematangan kelembagaan agroindustri yang berkembang tersebut.
Penelitian ini telah berhasil merumuskan suatu sistem penilaian yang disebut
dengan Sistem Penilaian Kuantitatif Kematangan Kelembagaan Agroindustri
(Quantitative Assessment Systems for Institutional Maturity of Agroindustry) yang
disingkat dengan QASIMA (Fadhil et al. 2016; Fadhil et al. 2017a; Fadhil et al.
2017g). Sistem penilaian ini memberikan kemudahan bagi pengambil kebijakan
ataupun akademisi dan peneliti dalam mempertimbangkan keputusan dan
rekomendasi pengembangan kelembagaan yang akan dilakukan. Sebagaimana
pendapat Mitzberg (1992), yang menyatakan bahwa jika anda tidak dapat
mengukurnya, maka anda tidak dapat memahaminya; jika anda tidak dapat
memahaminya, maka anda tidak dapat mengontrolnya; dan jika anda tidak dapat
mengontrolnya, maka anda tidak dapat meningkatkannya. Sistem penilaian
QASIMA ini, untuk pertama sekali diaplikasikan dalam menilai tingkat
kematangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Aceh. Hasil penilaian sangat
bermanfaat untuk mengetahui tingkat atau levelisasi kematangan kelembagaan
agroindustri yang telah ada saat ini. Sistem penilaian ini memiliki 7 kriteria, yaitu
meliputi aspek kebutuhan (needs), manfaat (benefit), efektifitas (effectiveness),
efisiensi (efficiency), pemerataan keuntungan dan risiko (profit and risk sharing),
fleksibelitas (flexibility), dan keberlanjutan (sustainable). Tingkat kematangan
kelembagaan agroindustri yang diperoleh dari sistem penilaian ini, menjadi indikasi
bahwa kelembagaan agroindustri (kasus agroindustri kopi Gayo) saat ini masih
sangat berpotensi untuk terus tumbuh dan berkembang, sehingga dapat meningkat
pada levelisasi berikutnya dengan memperbaiki berbagai persoalan yang masih ada.
Setiap kriteria yang menjadi aspek penilaian akan menjelaskan kekurangan atau
kelemahannya dan kelebihannya masing-masing. Hasil penilaian ini akan
memudahkan para pengambil kebijakan dalam melakukan penanganan pada aspek
apa saja yang perlu diperbaiki, ditingkatkan atau dimodifikasi agar menjadi lebih
baik lagi.
Perumusan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri sangat terkait
erat dengan sumberdaya manusia (SDM) yang terlibat didalamnya. Oleh karenanya
pengembangan SDM agroindustri adalah suatu kesatuan yang tidak dapat
105

dipisahkan dengan riset tentang kelembagaan agroindustri tersebut (Fadhil et al.


2017b; Fadhil et al. 2017e). Pada perumusan strategi pengembangan SDM
agroindustri kopi Gayo dengan pendekatan soft systems methodology (SSM)
menghasilkan permodelan konseptual strategi pengembangan SDM para pemangku
kepentingan (stakeholder) agroindustri, yaitu melalui perbandingan kondisi yang
ada saat ini dengan rekomendasi perbaikan untuk ditangani lebih lanjut. Strategi
pengembangan SDM agroindusti merupakan tindakan strategis untuk melahirkan
kompetensi dan kualitas pelaku agroindustri dengan daya saing yang tinggi
terutama dalam menghadapi persaingan global melalui berbagai program
pengembangan kapasitas SDM. Investasi SDM merupakan sebuah investasi
intelektual yang memiliki arti penting bagi pembangunan daerah dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di kawasan produksi agroindustri kopi Gayo. Melalui
perumusan strategi pengembangan SDM agroindustri ini, para pengambil kebijakan
dapat mengetahui secara jelas aktivitas apa saja yang dirasakan masih kurang atau
tidak tepat yang selama ini telah dilakukan, sehingga perlu untuk diperbaiki dan
ditingkatkan menjadi lebih baik lagi pada tahap berikutnya.
Untuk menghadapi perubahan dan tantangan masa depan, sebagai bagian dari
strategi bertahan dan menghadapi persaingan yang semakin kompetitif, suatu
analisis prospektif pengembangan kelembagaan agroindustri penting dilakukan.
Tentu saja banyak faktor yang melatarbelakangi perubahan-perubahan yang terjadi,
baik secara langsung ataupun tidak langsung akan mempengaruhi pengembangan
kelembagaan agroindustri dimasa depan. Faktor-faktor ini perlu diindentifikasi
sejak awal, agar perubahan yang terjadi dimasa depan telah dipersiapkan dengan
baik berdasarkan kondisi yang dimiliki atau keadaan yang ada saat ini. Setelah
diidentifikasi sejumlah faktor yang ada, perlu ditetapkan faktor prioritas untuk
ditangani oleh para pengambil kebijakan, sehingga kemudian dapat dikembangkan
dalam 3 skenario pengembangan kelembagaan agroindustri kedepan, yaitu skenario
optimis, skenario moderat dan skenario pesimis. Skenario optimis adalah skenario
paling ideal yang sangat diharapkan terjadi dimasa depan dengan segala
konsekuensi yang akan dipersiapkan untuk menuju kesana. Skenario moderat
adalah skenario paling minimal yang harus diusahakan untuk terjadi dengan
memperhatikan berbagai kendala, kelemahan, kekurangan dan permasalahan yang
dihadapi. Skenario moderat adalah serendah-rendahnya skenario yang sejak dari
awal diketahui dengan baik oleh para pengambil kebijakan. Adapun skenario yang
sangat tidak diharapkan adalah skenario pesimis, artinya skenario ini adalah
skenario yang sangat buruk harus dihadapi. Pentingnya skenario pesimis diketahui,
agar para pengambil kebijakan memiliki kesiapan dalam menghadapinya dengan
segala risiko yang akan terjadi nantinya. Oleh karenanya analisis prospektif sangat
efektif digunakan dalam merumuskan perencanaan pengembangan suatu
kelembagaan, termasuk pada kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang telah
ditelaah dalam disertasi ini.
Pada bagian formulasi strategi pengembangan kelembagaan agroindustri
menggunakan interpretive structural modeling (ISM) adalah untuk menemukan
elemen dan sub-elemen penting sebagai kunci dalam penyusunan program dan
agenda pengembangan kelembagaan agroindustri. Paling tidak terdapat 5 elemen
penting dalam penyusunan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri yang
perlu dirumuskan, yaitu elemen tujuan program, elemen kendala, elemen aktivitas,
elemen indikator keberhasilan program dan elemen pelaku. Setiap elemen tersebut
106

akan menghasilkan sejumlah sub-elemen didalamnya, peran pengambil kebijakan


selanjutnya adalah menentukan sub-elemen apa saja yang harus diutamakan untuk
ditangani terlebih dahulu. Pilihan sub-elemen yang dianggap strategis dari setiap
elemen ini adalah dengan mempertimbangkan akibat, baik positif maupun negatif
yang akan ditimbulkan sebagai dampak dari implementasi kebijakan. Hasil
formulasi strategi ini menjadi referensi yang berharga bagi rencana tindak lanjut
pengembangan kelembagaan agroindustri dimasa depan.

Generalisasi Konsep dan Metode

Riset disertasi doktoral ini telah menawarkan suatu gagasan jalan


pengembangan kelembagaan agroindustri melalui serangkaian kajian, analisis,
desain dan sintesis secara komprehensif. Penelaahan awal dilakukan melalui kajian
berbagai literatur yang telah banyak diajukan oleh beragam hasil-hasil penelitian.
Penelaahan ini telah diuraikan pada BAB 2 disertasi doktoral ini dan telah
diterbitkan pada jurnal nasional dan internasional. Kemudian hasil penelaahan
tersebut dikolaborasikan dengan pendapat pakar, temuan lapangan dan diskusi
mendalam dengan para pihak (stakeholder) yang terkait dengan agroindustri, secara
khusus dipilih agroindustri kopi Gayo sebagai salah satu agroindustri yang telah
berkembang dengan cukup baik pada suatu kawasan di Indonesia (Fadhil et al.
2017b; Fadhil et al. 2017c; Fadhil et al. 2017d; Fadhil et al. 2017e).
Berdasarkan pengkajian disertasi riset doktoral ini, maka peneliti
merekomendasikan suatu generalisasi konsep dan metode penyusunan strategi
pengembangan kelembagaan agroindustri, secara rinci dapat dilihat pada Gambar
42. Tahap awal penyusuan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri
dimulai dengan melakukan identifikasi permasalahan dan tujuan yang hendak
diselesaikan atau ditemukan jawabannya. Pada bagian berikutnya, para penyusun
strategi pengembangan kelembagaan agroindustri perlu memahami teori, konsep
dan perspektif analisis yang terkait dengan hal tersebut, sehingga memberikan
wawasan yang komprehensif terhadap permasalahan yang dihadapi. Selanjutnya,
disusunlah tahapan secara spesifik dengan hasil yang akan dicapai pada setiap
bagiannya sebagai suatu kesatuan dalam pengembangan kelembagaan agroindustri.
Adapun tahapan ini meliputi: 1) analisis situasional dan strategi intervensi
kelembagaan agroindustri, 2) penilaian tingkat atau levelisasi kematangan
kelembagaan agroindustri saat ini, 3) analisis pengembangan sumberdaya manusia
yang sangat erat kaitannya dengan kelembagaan agroindustri, 4) penyusunan
strategi bertahan dan menghadapi perubahan melalui perumusan strategi prospektif
pengembangan kelembagaan agroindustri, dan 5) memformulasikan program serta
agenda pengembangan kelembagaan agroindustri melalui permodelan interpretasi
struktural. Pada tahap akhir adalah melakukan sintesa data, informasi dan hasil riset
yang diperoleh dari setiap tahapan tersebut, sehingga kemudian menghasilkan
rekomendasi kebijakan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri secara
komprehensif.
Dengan demikian maka, peneliti telah memberikan suatu kontribusi bagi
proses dan prosedur pengembangan kelembagaan agroindustri secara komprehensif.
Hal ini dapat terlihat dari proses pendalaman latar belakang terhadap kelembagaan
107

agroindustri, perumusan masalah yang hendak diselesaikan, tahapan proses dan


prosedur dalam menjawab permasalahan tersebut melalui sejumlah riset disertasi
doktoral yang telah dilakukan, memberikan peta jalan penyelesaian melalui sintesa
data, informasi, dan temuan, serta model strategi pengembangan kelembagaan
agroindustri dengan mengambil kasus agroindustri kopi Gayo. Berdasarkan seluruh
rangkaian tahapan ini, maka tidaklah berlebihan bila peneliti menyebut bahwa
disertasi doktoral ini sebagai sebuah bentuk kontribusi yang signifikan bagi strategi
pengembangan kelembagaan agroindustri, khususnya di Indonesia. Seluruh
pekerjaan ini dapat menjadi model dan modal bagi strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri, baik pada komoditas yang sama ataupun pada komoditas
lainnya.

Gambar 42 Penyusunan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri.


108

Verifikasi dan Validasi

Untuk menjamin bahwa seluruh proses penelitian ini telah dilakukan dengan
baik, maka peneliti melakukan tahapan verifikasi dan validasi. Verifikasi dilakukan
pada setiap tahapan meliputi input, proses dan output dari seluruh sistem yang
dikerjakan. Jika masih terdapat kesalahan maka diperbaiki kembali pada setiap
tahapan yang telah dilakukan tersebut. Untuk validasi dilakukan dengan
menggunakan teknik face validity (Kidder 1982; Lewis-Beck 2004), yaitu sejauh
mana sebuah tes dilihat secara subjektif mencakup konsep, metode dan analisis
yang diukur atau dinilai atas dasar apa yang dilihat dan dipelajari. Ini mengacu pada
transparansi atau relevansi tes karena berkaitan dengan apa yang nampak dari
pengamatan (Holden 2010; Gravetter dan Forzano 2012). Dengan kata lain, sebuah
tes dapat dikatakan memiliki face validity jika "terlihat seperti" itu yang akan
mengukur apa yang seharusnya diukurnya. Proses ini dilakukan dengan meminta
saran, masukan dan perbaikan terhadap penggunaan metode, proses dan hasil riset
yang telah dilakukan dari 3 orang pakar yang terdiri dari dosen Universitas Syiah
Kuala, peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
Kementerian Pertanian Republik Indonesia, dan peneliti pada Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Aceh.

Implikasi Manajerial

Penelitian disertasi doktoral ini telah berhasil memberikan solusi konstruktif


bagi pengembangan kelembagaan agroindustri di Indonesia, khususnya
agroindustri kopi Gayo yang menjadi objek dari riset ini. Tentunya riset aksi seperti
ini bukanlah pekerjaan yang sederhana untuk dilakukan karena melibatkan banyak
pihak dan banyak kepentingan di dalamnya. Segala solusi dan rekomendasi dari
riset ini adalah semata-mata dalam perspektif kompetensi, pengetahuan dan
keilmuwan penulis, tentu dengan usaha yang sungguh-sungguh dan tidak dengan
sengaja berdiri pada salah satu kepentingan yang ada. Namunpun demikian
kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan atau diimplementasikan di lapangan
sangat memerlukan kesepakatan-kesepakatan teknis yang perlu disetujui secara
bersama-sama, terutama para pihak (stakeholder) yang terkait dengan agroindustri
kopi Gayo ini. Tidak ada solusi terbaik yang dapat dilakukan bila para pihak tidak
saling menghargai antara satu dengan lainnya. Satu-satunya cara paling baik adalah
dengan berusaha menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang dapat disepakati
bersama-sama, karena tujuan akhir yang ingin dicapai adalah keberlanjutan dan
keberlangsungan bisnis kopi Gayo ini. Disinilah kearifan para pengambil kebijakan
dapat memetakan secara baik dan komprehensif untuk menemukan beragam solusi
yang tepat, kiranya tidak salah kalau penulis berharap bahwa penelitian ini dapat
memberikan sumbangsih dari sekian banyak gagasan untuk pengembangan
agoindustri kopi Gayo, terutama pada aspek kelembagaan dan sumberdaya manusia,
sehingga menjadi lebih baik lagi dimasa depan.
109

Kontribusi

Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi bagi pengambil kebijakan,


akademisi, peneliti, praktisi, dan pengembangan ilmu serta pengetahuan, khususnya
pada bidang kelembagaan dan agroindustri. Adapun kontribusi secara spesifik
adalah sebagai berikut:
1. Menghasilkan kondisi situasional kelembagaan agroindustri kopi Gayo saat
ini dan bagaimana bentuk intervensi yang mesti dilakukan, termasuk
merumuskan strategi prospektif untuk menghadapi tantangan melalui
skenario yang diperkirakan akan terjadi dimasa depan dengan berpedoman
pada kondisi saat ini, dan sekaligus strategi pengembangan sumberdaya
manusia (SDM) karena sangat terkait dengan pengembangan kelembagaan
agroindustri itu sendiri.
2. Menghasilkan sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan
agroindustri (Quantitative Assessment Systems for Institutional Maturity of
Agroindustry) yang disingkat dengan QASIMA dan telah berhasil
diaplikasikan dalam menilai tingkat kematangan kelembagaan agroindustri
kopi Gayo di Provinsi Aceh.
3. Penelitian ini telah menghasilkan suatu proses generalisasi dalam hal
konsep, metode, dan prosedur penilaian kematangan kelembagaan
agroindustri secara kuantitatif dengan mengambil kasus agroindustri kopi
Gayo.
4. Menghasilkan formulasi strategi pengembangan kelembagaan agroindustri
kopi Gayo dengan berbagai program secara komprehensif dan strategis yang
dapat menjadi modal dan model bagi perumusan strategi pengembangan
kelembagaan pada agroindustri lainnya.

Keterbatasan

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain adalah:


1. Pengujian dan aplikasi seluruh sistem pengembangan kelembagaan
agroindustri secara terfokus dilakukan terhadap agroindustri kopi Gayo,
sehingga perlu dilakukan pengujian dan aplikasi pada agroindustri
perkebunan lainnya, seperti kelapa sawit, teh, kakao dan lain sebagainya.
2. Penggunaan terminologi kelembagaan yang kemudian melahirkan
kontribusi menjadi teori adalah berdasarkan fakta dari kajian lapangan, jadi
bukan berdasarkan pendekatan dari definisi yang telah berkembang.
Mengingat definisi yang digunakan oleh peneliti atau akademisi dan
pengambil kebijakan ditemukan pendapat yang tidak seragam bahkan
cenderung berbeda-beda antara satu dengan lainnya.
3. Sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri yang
dikembangkan dalam penelitian disertasi ini, masih menggunakan
perhitungan sederhana dengan penilaian biasa berdasarkan pendapat pakar,
penggunaan metode pengambilan keputusan multi kriteria (multi criteria
decision making) yang saat ini sangat berkembang belum diintegrasikan
dalam sistem penilaian tersebut.
110

Penutup

Strategi pengembangan kelembagaan agroindustri, mestilah memiliki


rumusan yang jelas, terukur dan dapat dievaluasi sepanjang waktu. Riset doktoral
ini telah memberikan peta jalan bagi strategi pengembangan kelembagaan
agroindustri secara komprehensif, dengan mengambil pelajaran dari strategi
pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Provinsi Aceh. Adapun
proses dan prosedur strategi pengembangan kelembagaan agroindustri meliputi
analisis situasional dan strategi intervensi kelembagaan, penilaian kematangan
kelembagaan agroindustri, analisis pengembangan sumberdaya manusia yang
terlibat dalam kelembagaan agroindustri, analisis prospektif pengembangan
kelembagaan sebagai skenario bertahan dan menghadapi perubahan, dan kemudian
formulasi program, agenda serta kebijakan sebagai strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri secara keseluruhan. Strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang dibahas dalam disertasi doktoral ini
dapat menjadi modal dan model bagi strategi pengembangan kelembagaan
agroindustri lainnya.
9 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kelembagaan agroindustri kopi Gayo saat ini telah berkembang dalam 4


bentuk kelembagaan, yaitu kelembagaan sertifikasi, kelembagaan koperasi,
kelembagaan kemitraan dagang umum dan kelembagaan usaha mandiri. Adapun
strategi intervensi kelembagaan sertifikasi dan kelembagaan koperasi adalah
melalui asistensi, sedangkan kelembagaan kemitraan dagang umum adalah melalui
fasilitasi, dan kelembagaan usaha mandiri adalah melalui promosi. Untuk menilai
tingkat kematangan kelembagaan suatu agroindustri telah berhasil dikembangkan
suatu sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri
(Quantitative Assessment Systems for Institutional Maturity of Agroindustry) yang
disingkat dengan QASIMA. Pada aplikasi penilaian kematangan kelembagaan
terhadap agroindustri kopi Gayo menunjukkan pada level 3 yaitu tahap
pertumbuhan (growing). Pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo merupakan
tindakan strategis untuk melahirkan kompetensi dan kualitas pelaku agroindustri
dengan daya saing yang tinggi terutama dalam menghadapi persaingan global
melalui berbagai program pengembangan kapasitas SDM. Untuk terus bertahan dan
menghadapi perubahan, suatu analisis prospektif pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo telah berhasil dilakukan, sehingga menghasilkan 3 skenario
pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo ke depan, yaitu skenario
optimis, skenario moderat dan skenario pesimis. Salah satu aspek yang juga penting
untuk dipertimbangkan dalam pengembangan kelembagaan agroindustri adalah
aspek sumberdaya manusia (SDM) agroindustri itu sendiri. Terakhir, sebagai
akumulasi keseluruhan riset ini adalah formulasi strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo secara komprehensif meliputi elemen tujuan
program, elemen kendala, elemen aktivitas, elemen indikator keberhasilan program
dan elemen pelaku. Riset disertasi doktoral ini telah memberikan suatu jalan
tentang arah, pola, skenario dan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri
kopi Gayo ke depan, sehingga harapannya dapat menjadi modal dan model
pengembangan agroindustri lainnya.

Saran

Penelitian ini secara mendalam memfokuskan pada aspek kelembagaan


agroindustri. Hal ini berdasarkan pada riset pendahuluan penulis yang
menunjukkan bahwa dari 6 permasalahan utama dalam pembangunan agroindustri
kopi Gayo, yaitu aspek kualitas sumberdaya manusia, aspek kondusifitas
kelembagaan, aspek sumberdaya biofisik (air, lahan, lingkungan, produksi, kualitas,
kuantitas dan bahan baku), aspek aplikasi teknologi, aspek akses pasar dan aspek
sistem pendukung (kebijakan, investasi, infrastruktur, modal, status lahan, dan
lainnya), maka aspek kondusifitas kelembagaan adalah yang paling utama dihadapi
saat ini. Walau bagaimanapun, permasalahan pada aspek lainnya juga dirasakan
perlu ditangani, namun permasalahan kelembagaan dianggap paling utama untuk
diselesaikan terlebih dahulu. Sangat terbuka peluang riset lanjutan untuk
112

mengeksplorasi lebih dalam pada aspek lainnya, sehingga perbaikan-perbaikan


dalam pengembangan agroindustri kopi Gayo dapat dilakukan menjadi lebih baik
lagi dari waktu ke waktu.
DAFTAR PUSTAKA

Abrams J. 2012. Global Microfinance Ratings Comparability. Washington, DC:


Multilateral Investment Fund (Member of the IDB Group).
<http://services.iadb.org/mifdoc/website/publications/e252ace0-eebf-4f64-
8b5b-d5d2193f81cd.pdf>
Abubakar I, Yantu M, Asih DN. 2013. Kinerja Kelembagaan Pemasaran Kakao Biji
Tingkat Petani Perdesaan Sulawesi Tengah: Kasus Desa Ampibabo
Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong. Agrotekbis 1 (1): 74-80.
Abubakar Y, Karim A, Fahlufi F. 2011. Flavor of arabica coffee grown in Gayo
Palteau as affected by varieties and processing techniques. Proceedings of the
Annual International Conference Syiah Kuala University 2011, Banda Aceh,
Indonesia. November 29-30, 2011.
Acemoglu D, Egorov G, Sonin K. 2008. Dynamics and Stability of Constitutions,
Coalitions, and Clubs (August 4, 2008). MIT Department of Economics
Working Paper No. 08-15. Available at SSRN: https://ssrn.com/
abstract=1201982 or http://dx.doi.org/10.2139/ssrn. 1201982.
Acemoglu D, Gallego FA, Robinson JA. 2014b. Institutions, Human Capital, and
Development. Annu Rev Econom 6 (1): 875-912. DOI: 10.1146/annurev-
economics-080213-041119.
Acemoglu D, García-Jimeno C, Robinson JA. 2015. State Capacity and Economic
Development: A Network Approach. American Economic Review 105 (8):
2364-2409.
Acemoglu D, Johnson S, James Robinson. 2005. The Rise of Europe: Atlantic
Trade, Institutional Change, and Economic Growth. American Economic
Review 95 (3): 546-579.
Acemoglu D, Johnson S. 2005. Unbundling Institutions. Journal of Political
Economy 113 (5): 949-995.
Acemoglu D, Mostagir M, Ozdaglar A. 2014a. Managing Innovation in a Crowd.
NBER Working Papers 19852, National Bureau of Economic Research, Inc.
Acemoglu D, Robinson JA. 2008. Persistence of Power, Elites and Institutions.
American Economic Review 98: 267–93.
Acemoglu D, Robinson JA. 2012. Why Nations Fail: The Origin of Power,
Prosperity and Poverty. Profile Books LTD, London.
Acemoglu D, Ucer M. 2015. The Ups and Downs of Turkish Growth, 2002-2015:
Political Dynamics, the European Union and the Institutional Slide. NBER
Working Papers 21608, National Bureau of Economic Research, Inc.
Acemoglu D. 2003. Root Causes: A historical approach to assessing the role.
Finance and Development 40 (2): 27-30.
Acemoglu D. 2010. Institutions, Factor Prices, and Taxation: Virtues of Strong
States?. American Economic Review 100 (2): 115-129.
Acemoglu D. 2015. Localised and Biased Technologies: Atkinson and Stiglitz's
New View, Induced Innovations, and Directed Technological Change.
Economic Journal 583 (3): 443-463.
114

Ackermann F. 2012. Problem structuring methods ‘in the Dock’: Arguing the case
for Soft OR. European Journal of Operational Research 219 (3): 652-658.
DOI: 10.1016/j.ejor.2011.11.014.
Adam M, Ghaly AE. 2007. Maximizing sustainability of the costa rican coffee
industry. Journal of Cleaner Production 15 (17): 1716-1729. DOI: 10. 1016/j.
jclepro. 2006.08.013.
AEKI [Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia Daerah Aceh]. (2013).
Laporan Realisasi Ekspor Kopi Arabika Provinsi Aceh. Aceh (ID): AEKI.
Agustian A, Supena F, Syahyuti, Ariningsih E. 2003. Studi Baseline Program PHT
Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Ahmad F, Saleem S, Begg MF. 2003. Micro Finance Institutions; Rating
Methodology. JCR-VIS Credit Rating Company Limited, Karachi, Pakistan.
Aji AA, Satria A, Hariono B. 2014. Strategi Pengembangan Agribisnis Komoditas
Padi Dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan Kabupaten Jember. Jurnal
Manajemen dan Agribisnis 11 (1): 60-67.
Alejandro M, Morales F. 2002. Examining the Case of Green Coffee to Illustrate
the Limitation of Grading System/Expert Tester in Sensory Evaluation for
Quality Control. Food Quality and Preference 13: 355-367.
Aliamin dan Ariyuni. 2011. Pengaruh Tingkat Pendidikan Para Petani Kopi
Terhadap Sistem Pemasaran Kopi di Desa Bies Penentanan Kecamatan Bies
Kabupaten Aceh Tengah. J Ilm Manj Muhammadiy 1 (1): 54-63.
Almqvist AC. 2011. Coffee, a fair trade? –a study about fairtrade certified gayo
cofffee farmers in Aceh, Indonesia. [Thesis]. Department of Horticulture,
Faculty of Landcape Planning, Horticulture and Agricultural Science,
Swedish University of Agricultural Sciences (SLU).
Almutairi S, Abu-Samaha A, Bell G, Chen F. 2013. An enhanced use case diagram
to model Context Aware Systems. Science and Information Conference,
London, 7-9 Oct. 2013, pp.270-274. http://ieeexplore.ieee.org/stamp/
stamp.jsp?tp=&arnumber=6661750& isnumber= 6661709
AMCOW [African Ministers’ Council on Water] 2011. AMCOW Country Status
Overviews: Pathways to Progress (CSO2). AMCOW Publication.
Anantanyu S. 2011. Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan
Kapasitasnya. SEPA 7 (20): 102-109.
Anderson D, Anderson LA. 2010. Beyond Change Management: How to Achieve
Breakthrough Results Through Conscious Change Leadership. Second
Edition. San Francisco: Pfeiffer, an Imprint of Wiley.
Anhar A. 2013. Adaptasi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Produksi Kopi
Gayo. Workshop Adaptasi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Produksi
Kopi, Takengon 30 Mei 2013.
Antunes CH, Dias L, Dantas G, Mathias J, Zamboni L. 2016. An Application of
Soft Systems Methodology in the Evaluation of Policies and Incentive
Actions to Promote Technological Innovations in the Electricity Sector.
Energy Procedia 106: 258-278. DOI: 10.1016/j.egypro.2016.12.121.
Anwar A. 1998. Ekonomi Organisasi: Beberapa Aspek dari Analisis Ekonomi
Biaya biaya Transaksi. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
115

Appendini K, Nuijten M, Rawal V. 2003. Rural Household Income Strategies and


Interactions with the Local Insititutional Environment: A Methodological
Framework. Rural Institutions and Participation Service (SDAR). FAO, Rural
Development Division, Rome.
Ardiyani, Erdiansyah. 2012. Sertifikasi Kopi Berkelanjutan di Indonesia. Warta
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 24 (2): 21-25.
Arkadie BV. 1990. The Role of Institutions in Development. Proceedings of World
Bank Annual Conference on Development Economics, 153-157.
Arsyad L. 1999. Ekonomi Pembangunan. STIE YKPN Yogyakarta.
Attri R, Dev N, Sharma V. 2012. Interpretive Structural Modelling (ISM) approach:
An Overview. Research Journal of Management Sciences 2 (2): 3-8.
Austin JE. 1992. Agroindustrial Project Analysis; Critical Design Factors. EDI
Series in Economic Development. Baltimore and London: The Johns Hopkins
University Press.
Bantacut T, Sutrisno, Rawi DFA. 2001. Pengembangan Ekonomi Berbasis Usaha
Kecil dan Menengah Dalam Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal.
Yayasan Mitra Pembangunan Desa–Kota dan Business Innovation Center of
Indonesia. Jakarta.
Bardhan P. 1989. The economic theory of agrarian institutions. Oxford: Clarendon.
Benjumea-Arias M, Castañeda L, Valencia-Arias A. 2016. Structural Analysis of
Strategic Variables through MICMAC Use: Case Study. Mediterranean
Journal of Social Sciences 7 (4): 11-19. DOI: 10.5901/mjss.2016.v7n4p11
Berdrow I, Evers FT. 2010. Bases of competence: an instrument for self and
institutional assessment. Assessment & Evaluation in Higher Education 35
(4): 419-434. DOI: 10.1080/02602930902862842.
Bergvall-Kåreborn B. 2002. Qualifying function in SSM modeling – a case study.
Systemic Practice and Action Research 15 (4): 309-330. DOI:
10.1023/A:1016396304746.
Bers TH. 2008. The role of institutional assessment in assessing student learning
outcomes. New Directions for Higher Education 141: 31-39. DOI:
10.1002/he.291.
Bilhak A, Maarif S. 2014. Pengembangan Agribisnis Kopi dalam Kerangka
Pembangunan Ekonomi Wilayah di Kabupaten Aceh Tengah. Jurnal Teknik
PWK 3 (2): 254-261.
Bird MJ. 1996. Entrepreneurial Behavior. Singapore: Irwin Mc Graw Hill.
Bjerke OL. 2008. Soft systems methodology in action: a case study at a purchasing
department. [Thesis]. Department of Applied Information Technology, IT
Universtiy of Göteborg, Chalmers University of Technology and Universtiy
of Gothenburg Göteborg, Sweden.
Bourgeois R, Jesus F. 2004. Participatory Prospective Analysis; Exploring and
Anticipating Challenges with Stakeholders. CAPSA Monograph No 46.
United Nations.
Brocklesby J. 1995. Using soft systems methodology to identify competence
requirements in HRM. International Journal of Manpower 16 (5/6): 70-84.
DOI: 10.1108/01437729510095962.
Brown JE. 1994. Agroindustrial Investment and Operations. World Bank
Publications. Wassington.
116

Budi LS, Maa’rif MS, Sailah I, Raharja S. 2009. Strategi Pemilihan Model
Kelembagaan dan Kelayakan Finansial Agroindustri Wijen. Jurnal Teknologi
Industri Pertanian 19 (2): 56-63. DOI: 10.24961/jtip.19.%25p
Bunch R, López G. 1996. Soil Recuperation in Central America: Sustaining
Innovation after Intervention. Gatekeeper Series SA 55. London: Sustainable
Agriculture Programme, International Institute for Environment and
Development.
Cernea MM. 1993. Culture and Organization: The Social Sustainability of Induced
Development. Sustain Develop 1 (2): 18-29. DOI: 10.1002/sd.3460010207.
Chairawaty F. 2012. Dampak Pelaksanaan Perlindungan Lingkungan Melalui
Sertifikasi Fair Trade (Studi Kasus: Petani Kopi Anggota Koperasi Permata
Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam). J Ilm Lingk
10 (2): 76-84.
Chapman J. 2004. System Failure: Why governments must learn to think differently.
Demos. London.
Charley H, Weafeer C. 1998. Coffee, Tea, Chocolate and Cocoa Food. New Jersey;
Prentice Hall.
Checkland P, Scholes J. 1990. Soft System Methodology in Action, England: Jhon
Wiley & Sons Ltd.
Checkland P, Poulter J. 2010. Learning for action: a short definitive account of soft
systems methodology, and its use for practitioners, teachers and students.
New York: Wiley.
Checkland P. 1981. Systems thinking, systems practice. Chichester: Wiley & Sons.
Chinosi M, Trombeeta. 2012. BPMN: An introduction to the standard. Computer
Standards & Interfaces 34 (1): 124-134. DOI: 10.1016/j.csi.2011.06.002.
Conchaa G, Astudilloa H, Porrúab M, Pimentac C. 2012. E-Government
procurement observatory, maturity model and early measurements.
Government Information Quarterly 29 (1): S43–S50. DOI: 10.1016/
j.giq.2011.08.005.
Cox G. 2010. Defining innovation: using soft systems methodology to approach the
complexity of innovation in educational technology. International Journal of
Education and Development using Information and Communication
Technology (IJEDICT) 6 (1): 12-20.
Daellenbach H, McNickle D. 2005. Management science: decision making through
systems thinking. Hampsire: Palgrave Macmillan.
de los Reyes RP, Jopillo SMG. 1986. An Evaluation of NIA's Participatory
Communal Program. Paper presented at the Conference on Public
Intervention in Farmer-Managed Irrigation Systems. International Irrigation
Manageaent Institute and Water and Energy Commission Secretariat,
Kathmandu, Nepal. August 1986.
Delbridge R. 2008. An illustrative application of soft systems methodology (SSM)
in a library and information service context: Process and outcome. Library
Management 29 (6/7)
Delmar F. 1996. The Impact of Intellectual Ability and Motivation on Venture
Performance, 171, July 1, 2014, dari http://www.diva-portal.org
Descroix F, Snoeck J. 2009. Environmental Factors Suitable for Coffee Cultivation.
In: Wintgents JN. 2009: Coffee: Growing, Processing, Sustainable
Production. 2nd edition. Weinheim: WILEY-VCH. Pages: 168-176.
117

Disbun Aceh [Dinas Perkebunan Provinsi Aceh]. 2013. Prospek Pengembangan


Kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Aceh
(ID): Disbun Aceh.
Ditjenbun [Direktorat Jenderal Perkebunan]. 2011. Statistik Perkebunan Indonesia
2010 - 2012. Kopi (Coffee). Jakarta, Desember 2011.
Djamhari C. 2004. Orientasi Pengembangan Agroindustri Skala Kecil dan
Menengah; Rangkuman Pemikiran. Infokop 25: 121-132.
Djatna T. 2016. Analisis dan Desain Sistem Produksi Agroindustri. Program Pasca
Sarjana, Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Djogo T. 2003. Kelembagaan dan Kebijaksanaan dalam Pengembangan
Agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF).
Dradjat B. 2006. Model Inovasi Kelembagaan Dalam Prima Tani. Sinar Tani Edisi
29 Nopember -5 Desember 2006.
Dunn WN. 2016. Public Policy Analysis. 5th Edition. New York: Rotledge, Taylor
& Francis Group,
Elizabeth R. 2007. Penguatan dan Pemberdayaan Kelembagaan Petani Pendukung
Pengembangan Agribisnis Kedelai. Prosiding Seminar Nasional "Dinamika
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah
Pengembangan Ekonomi Rakyat" 2007, 165-173. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian.
Ellyanti, Karim A, Basri H. 2012. Analisis Indikasi Geografis Kopi Arabika Gayo
Ditinjau Dari Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. J Agrista 16 (2): 46-
61.
Ergu D, Kou G, Peng Y, Shi Y, Shi Y. 2013. The analytic hierarchy process: task
scheduling and resource allocation in cloud computing environment. The
Journal of Supercomputing 64 (3): 835–848.
Eriyatno, Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan, Metode Penelitian untuk Pascasarjana.
Bogor (ID): IPB Press.
Eriyatno. 2012. Ilmu Sistem, meningkatkan mutu dan efektifitas manajemen.
Penerbit Guna Widya, Surabaya.
ExpertChoice. 2004. Expert Choice version 11. Expert Choice Resource Aligner.
Expert Choice, Inc.
Fadhil R, Djatna T, Maarif MS. 2017a. Analysis and Design of a Human Resources
Performance Measurement System for the Nutmeg Oil Agro-industry in Aceh.
Journal Regional and City Planning 28 (2): 99-110. DOI: 10.5614%
2Fjrcp.2017.28.2.2.
Fadhil R, Maarif MS, Bantacut T, Hermawan A. 2016. Sistem Penilaian Potensi
Inovasi dan Kematangan Kelembagaan Agroindustri: Suatu Tinjauan.
Prosiding Seminar Nasional FW GREAT EVENT 2016, Eds. Nahrowi et al.
Bogor 3 Desember 2016.
Fadhil R, Maarif MS, Bantacut T, Hermawan A. 2017b. A Review on the
Development Strategies of Agro-industrial Institutions in Indonesia. Asian
Journal of Applied Sciences 5 (4): 747-763. DOI: 10.24203/ajas.v5i4.4877
Fadhil R, Maarif MS, Bantacut T, Hermawan A. 2017c. Alternative Assessment of
Development in the Quality Management System of Gayo Coffee
Agroindustry Using Non-Numeric Multi Experts-Multi Criteria Decision
Making Approach. Proceedings of Aceh Development International
Conference 2017, Kuala Lumpur, 24-26 March 2017.
118

Fadhil R, Maarif MS, Bantacut T, Hermawan A. 2017d. Assessment of Innovation


Potential of Gayo Coffee Agroindustry. Quality Innovation Prosperity 21 (3):
114-126. DOI: 10.12776/QIP.V21I3.888
Fadhil R, Maarif MS, Bantacut T, Hermawan A. 2017e. Sistem Penunjang
Keputusan Multi Kriteria Untuk Pengembangan Agroindustri Kopi Gayo
Menggunakan Pendekatan Fuzzy-Eckenrode dan Fuzzy-Topsis. Jurnal
Teknologi Industri Pertanian 21 (1): 103-113. DOI: 10.24961/j.tek.ind.
pert.2017.27.1.103.
Fadhil R, Maarif MS, Bantacut T, Hermawan A. 2017f. Model Strategi
Pengembangan Sumber Daya Manusia Agroindustri Kopi Gayo Dalam
Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Jurnal Manajemen Teknologi 16
(2): 141-155. DOI: 10.12695/jmt.2017.16.2.3.
Fadhil R, Maarif MS, Bantacut T, Hermawan A. 2018a. Formulation Development
Strategies for Institutional of Gayo-Coffee Agroindustry using Interpretive
Structural Modeling. Acta Universitatis Agriculturae et Silviculturae
Mendelianae Brunensis. Submitted.
Fadhil R, Maarif MS, Bantacut T, Hermawan A. 2018b. Situational Analysis and
Intervention Strategy for Gayo Coffee Agroindustry Institution. Journal of
Food, Agricultural and Environment 16 (1), 31-40.
Fadhil R, Maarif MS, Nivada A. 2017g. Strategi Pengambilan Keputusan Untuk
Pengembangan Pertahanan Nasional Menggunakan Multi Criteria Decision
Making: Pembelajaran dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat.
Prosiding Seminar Nasional Universitas Pertahanan 2017, IPSC Sentul Bogor,
14-15 Desember 2017.
Fadhil R, Maarif MS, Nivada A. 2018c. A Prospective Strategy for Institutional
Development of Gayo-Coffee Agroindustry in Aceh Province-Indonesia.
Bulgarian Journal of Agricultural Science 24 (6), in press (November).
Fatma Z. 2011. Analisis fungsi produksi dan efisiensi usaha tani kopi rakyat di Aceh
Tengah. [Thesis]. Sekolah Pascasarjana IPB.
Forstater M. 2001. Phenomenological and Interpretive-Structural Approaches to
Economics and Sociology: Schutzian Themes in Adolph Lowe’s Political
Economics. The Review of Austrian Economics 14 (2-3): 209–218.
Fowler A. 1992. Prioritizing Institutional Developmet: A New Role for NGO.
Centre for Study and Development. Sustainable Agriculture Programme
Gasekeeper Series SA35. London: IIED.
Gandhi V, Crase L, Roy A. 2009. Institutional Analysis of the Performance of Water
Institutions in Three Major States of India. Earthscan, London.
Gaspersz V. 2000. Manajemen Produktivitas Total. Jakarta: Gramedia.
Gibson J, Konopaske R, Ivancevich J. 2011. Organizations: Behavior, Structure,
Processes. New York: McGraw-Hill Education.
Gillin JL, Gillin JP. 1956. Cultural Sociology: A Revision of an Introduction to
Sociology. The MacMillan Book Company, New York.
Giovannucci D, Potts J. 2008. Seeking Sustainability: COSA Preliminary Analysis
of Sustainability Initiatives in the Coffee Sector. Commitee on Sustainability
Assessment, Winnipeg, Canada.
Giroh DY, Umar HY, Yakub W. 2010. Structure, conduct and performance of farm
gate marketing of natural rubber in Edo and Delta States, Nigeria. African
Journal of Agricultural Research 5 (14): 1780-1783.
119

Godet M, Monti R, Meunier F, Roubelat F. 2004. Scenarios and Strategies: A


Toolbox for Scenario Planning. Lipsor Working Papers, 3th issue. Laboratory
for Investigation in Prospective and Strategy (LIPSOR). Available on line:
http://en.laprospective.fr/dyn/anglais/articles/bo-lips-en.pdf
Godet M. 2000. The Art of Scenarios and Strategic Planning: Tools and Pitfalls.
Technological Forecasting and Social Change 65 (1): 3–22. DOI:
10.1016/S0040-1625(99)00120-1
Godet M. 2010. Future Memories. Technological Forecasting & Social Change 77
(9): 1457-1463. DOI: 10.1016/j.techfore.2010.06.008
Godet M. 2012. To predict or to build the future?. The Futurist 46-49.
Gonzales-Rios O, Suares-Ouiroz ML, Bulanger R, Barel M, Guyot B, Guiraud JP,
Schorr-Galindo S. 2007. Impact of “Ecological” Post Harvest Processing on
the Volatile Fraction of Coffee Bean. Journal of Food Composition and
Analysis 20: 289-296.
Gouillart FJ, Kelly JN. 1996. Transforming the Organization. New York: Mc Graw
Hill, Inc.
Govindana K, Kaliyana M, Kannan D, Haq AN. 2014. Barriers analysis for green
supply chain management implementation in Indian industries using analytic
hierarchy process. International Journal of Production Economics 147 B:
555–568.
Gravetter FJ, Forzano LAB. 2012. Research Methods for the Behavioral
Sciences (4th ed.). Belmont, Calif.: Wadsworth.
Greenberg J, Baron RA. 2007. Behavior in Organizations. 9th Edition. New Jersey:
Prentice Hall International, Inc.
Hadi PU. 2010. Kinerja, Prospek dan Kebijakan Investasi di Indonesia. Analisis
Kebijakan Pertanian 8 (2): 28-39.
Hanisch, Dara SZ, Brinkman K, Buerkert A. 2011. Soil Fertility and Nutrient Status
of Traditional Gayo Coffee Agroforestry Systems in Takengon Region, Aceh
Province, Indonesia. JARTS 112 (2): 87-100. http://nbn-resolving.de/urn:
nbn:de:hebis:34-2012011640331.
Hardjomidjojo H. 2016. Metode Analisis Prospektif. Departemen Teknologi
Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
(IPB), Bogor.
Haris U. 2006. Rekayasa Model Aliansi Strategis Sistem Agroindustri Crumb
Rubber. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hasni D. 2011. Designing a quality management framework in coffee industry: A
literature study of improvement of Arabica coffee as specialty coffee in
Indonesia. [Thesis]. University of Kassel and University Applied Scince
Fulda.
Hebding DE, Glick L. 1995. Introduction to Sociology. McGraw-Hill Inc.
Hennexsy DA. 2003. Information Asymmetry as a Reason for Food Industry.
American Journal of Agriculture Economic 74 (4): 167-176. DOI:
10.2307/1243859
Herdyanti K. 2013. Perancangan Awal dan Analisis Kelayakan Usaha Pengolahan
Biji Kopi di Kabupaten Bener Meriah Provinsi Aceh. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Holden R.R. 2010. Face Validity. In Weiner I.B.; Craighead W.E. The Corsini
Encyclopedia of Psychology (4th ed.). Hoboken, New Jersey: Wiley
120

Holm LB, Dahl FA, Barra M. 2013. Towards a multimethodology in health care –
synergies between Soft Systems Methodology and Discrete Event
Simulation. Health Systems 2 (1): 11-23. DOI: 10.1057/hs.2012.21.
Horton PB, Hunt CL. 1984. Sociology. McGraw-Hill Book Company, New York.
Houghton L. 2012. Why Can't We All Just Accommodate: A Soft Systems
Methodology Application on Disagreeing Stakeholders. Systems Research
and Behavioral Science 30 (4): 430–443. DOI: 10.1002/sres.2136.
Hounkonnou D, Kossou D, Kuyper TW, Leeuwis C, Nederlof ES, Röling N, Sakyi-
Dawson O, Traoré M, Huis AV. 2012. An innovation systems approach to
institutional change: Smallholder development in West Africa. Agricultural
Systems Journal 108: 74–83. DOI: 10.1016/j.agsy.2012.01.007.
Hsu DWL, Shen YC, Yuan BJC, Chou CY. 2015. Toward successful
commercialization of university technology: Performance drivers of
university technology transfer in Taiwan. Technological Forecasting & Social
Change 92: 25–39.
Hue NH. 2001. Contract Farming in Vietnam. National Institute of Agricultural
Planning and Projection. Vietnam (VE): Ministry of Agriculture and
Development.
Hulupi R, Nugroho D, Yusianto. 2013. Keragaan beberapa varietas lokal kopi
arabika di dataran tinggi Gayo. Pelita Perkebunan 29 (2): 69-81.
Ibrahim HW, Zailani S. 2010. A review on the competitiveness of global supply
chain in a coffee industry in Indonesia. International Business Management
4 (3): 105-115. DOI: 10.3923/ibm.2010.105.115.
ICCRI [Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute]. (2008). Panduan
Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo. Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia. Jakarta (ID): Azrajens Mayuma.
IIED [International Institute for Environment and Development] 2005. From bean
to cup: how consumer choice impacts on coffee producers and the
environment. London (US): Consumers International and IIED.
Ikatrinasari ZF, Maarif MS, Sa’id EG, Bantacut T, Munandar A. 2011. Model
Pemilihan Kelembagaan Agropolitan Berbasis Agroindustri dengan
Analytical Network Process. J Tek Ind Pert 19 (3): 130-137.
Indra. 2011. Penentuan Skala Usaha dan Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Tani
Kopi Rakyat di Kabupaten Aceh Tengah. Agrisep 12 (1): 1-8.
Indrawati CD. 2013. Permodelan struktural keterkaitan risiko rantai pasok dengan
pendekatan interpretive structural modeling (ISM). Prosiding Seminar
Nasional Manajemen Teknologi XVII, MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013,
A25, 1-12.
Indriati A. 2015. Strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk
meningkatkan kinerja usaha kecil dan menengah. [Thesis]. Sekolah
Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor.
International Coffee Organization. 2011. Annual Review 2011. London, UK.
Ishizaka A, Labib A. 2011. Review of the main developments in the analytic
hierarchy process. Expert Systems with Applications 38 (11): 14336–14345.
Jaya R, Machfud, Islam M. 2011. Aplikasi Teknik ISM dan ME-MCDM Untuk
Identifikasi Posisi Pemangku Kepentingan dan Alternatif Kegiatan Untuk
Perbaikan Mutu Kopi. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 21 (1): 1-8. DOI:
10.24961/jtip.21.%25p
121

Jaya R. 2013. Model pengelolaan pasokan dan risiko mutu rantai pasok kopi Gayo.
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia 5 (3): 24-32.
Jaya R. 2014. Rancang Bangun Rantai Pasok Kopi Gayo Berkelanjutan.
(Disertasi). Bogor (ID): Departemen Teknologi Industri Pertanian, Sekolah
Pascasarjana IPB.
Kanungo S, Bhatnagar VV. 2002. Beyond generic models for information system
quality: the use of interpretive structural modeling (ISM). Systems Research
and Behavioral Science 19 (6): 531-549.
Kar AK. 2015. A hybrid group decision support system for supplier selection using
analytic hierarchy process, fuzzy set theory and neural network. Journal of
Computational Science 6: 23–33.
Kayaga S, Mugabi J, Kingdom W. 2013. Evaluating the institutional sustainability
of an urban water utility: a conceptual framework and research directions.
Utilities Policy 27: 15-27. DOI: 10.1016/j.jup.2013.08.001.
Kementan [Kementerian Pertanian Republik Indonesia]. (2013). Statistik Pertanian
2012 (Agricultural Statistics 2012). Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian. Jakarta (ID): Kementan.
Khisty CJ. 1995. Soft-System Methodology, as Learning and Management Tool.
Journal of Urban Planning and Development 121 (3): 91-107.
Kholil, Eriyatno, Sutjahyo SH. 2008. Pengembangan Model Kelembagaan
Pengelola Sampah Kota dengan Metode ISM (Interpretative Structural
Modeling) Studi Kasus di Jakarta Selatan. Sodality Jurnal Sosiologi
Pedesaan 2 (1): 31-48.
Kidder L.H. 1982. Face validity from multiple perspectives. New Directions for
Methodology of Social & Behavioral Science 12: 41-57.
Kizito AM. 2011. The Structure, Conduct and Performance of Agricultural Market
Information Systems in Sub-Saharan Africa. [Dissertation]. Michigan State
University. Michigan.
Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Konis CY. 1994. A soft system management approach to energy management and
conservations for the hotel industry of Cyprus. International System
Dynamics Conference, 115-123.
Kottak CP. 1991. When People Don‘t Come First: Some Lessons from Completed
Projects. In Putting People First: Sociological Variables in Rural
Development, 2nd ed. M. Cernea ed. New York: Oxford University Press.
Kusnandar, Padmaningrum D, Rahayu W, Wibowo A. 2013. Rancang Bangun
Model Kelembagaan Agribisnis Padi Organik dalam Mendukung Ketahanan
Pangan. Jurnal Ekonomi Pembangunan 14 (1): 92-101. DOI: 10.23917/
jep.v14i1.163
Lal D. 1998. Unintended Consequences: The Impact of Factor Endowments,
Culture, and Politics on Long-Run Economic Performance. Cambridge MA:
The MIT Press.
Leopold H, Mendling J, Günther O. 2016. Learning from Quality Issues of BPMN
Models from Industry. IEEE Software 33 (4): 26-33. DOI:
https://doi.org/10.1109/MS.2015.81.
122

Lewis-Beck MS, Bryman A, Liao TF. 2004. Face Validity, In: The SAGE
Encyclopedia of Social Science Research Methods. DOI:
10.4135/9781412950589.n323
Liu WB, Meng W, Mingers J, Tang N, Wang W. 2012. Developing a performance
management system using soft systems methodology: a Chinese case study.
European Journal of Operational Research 223 (2): 529-540. DOI: 10.1016/
j.ejor.2012.06.029.
Lobo C. 2009. Institutional and Organisational Analysis for Pro–Poor Change.
Meeting IFAD”s Millennium Challenge. the International Fund for
Agricultural Development (IFAD).
Locussol A, van Ginneken M. 2008. Template for assessing the governance of
public water supply and sanitation service providers. Water Working Note
No. 23, The World Bank.
Lopez-Campos MA, Márquez AC, Fernández JFG. 2013. Modelling using UML
and BPMN the integration of open reliability, maintenance and condition
monitoring management systems: An application in an electric transformer
system. Computers in Industry 64 (5): 524-542. DOI:
10.1016/j.compind.2013.02.010.
Maarif MS. 2000. Revitalisasi kelembagaan agribisnis. AGRIMEDIA 4 (3): 30-33.
Maarif MS, Tanjung H. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif untuk Manajemen. PT
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Mahregan M.R., Hosseinzadeh M., Kazemi A. 2012. An application of soft system
methodology. Procedia - Social and Behavioral Sciences 41: 426-433. DOI:
10.1016/j. sbspro.2012.04.051.
Mandal A, Deshmukh SG. 1994. Vendor Selection Using Interpretive Structural
Modelling (ISM). International Journal of Operations & Production
Management 14 (6): 52-59. DOI: 10.1108/01443579410062086
Marimin, Maghfiroh N. 2013. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam
Manajemen Rantai Pasok. PT Penerbit IPB Press, Bogor.
Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jakarta.
Marliati, Sumardjo, Asngari PS, Tjitropranoto, Saefuddin A. 2008. Faktor-Faktor
Penentu Peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian Dalam Memberdayakan
Petani (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). Jurnal Penyuluhan 4 (2):
92-99.
Marsh A. 2005. A Review of the Aceh Coffee Industry. UNDP ERTR - Livelihood
Component. [Internet], Available at: http://aped-project.org/download/
consultantreport/CoffeeReport.pdf (Accessed on: 28 Maret 2016).
Martin E. 2008. Aplikasi metodologi sistem lunak untuk pengelolaan kawasan
hutan rawan konflik: kasus hutan penelitian Benakat, Sumatera Selatan.
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mayhew MJ, Seifert TA, Pascarella ET. 2010. A Multi-Institutional Assessment of
Moral Reasoning Development among First-Year Students. Education 33 (3):
357-390. DOI: 10.1353/rhe.0.0153.
Mello MH, Gosling J, Naim MM, Strandhagen JO, Brett PO. 2017. Improving
coordination in an engineer-to-order supply chain using a soft systems
approach. Production Planning & Control 28 (2): 89-107. DOI:
10.1080/09537287.2016.1233471.
123

Meyer J. 2014. Institutional Maturity Model: A tool to fill gaps in measuring


development of procurement systems. Millennium Challenge Corporation, US.
Miers D, White SA. 2008. BPMN Modeling and Reference Guide. Future Strategies
Inc., Lighthouse Pt, Florida.
Mitchell GD. 2006. A New Dictionary of the Social Sciences. Aldine Transaction:
2nd editions New Jerse.
Mitzberg H. 1992. Structure in Fives: Designing Effective Organizations. Pearson
Education, McGraw-Hill, and Harper Collins.
Mondal B, Das B, Banerjee P. 2014. Formal Specification of UML Use Case
Diagram - A CASL based approach. International Journal of Computer
Science and Information Technologies 5 (3): 2713-2717. DOI:
10.1.1.441.9373.
Moore N. 2015. Systems Development Life Cycle (SDLC). Systems Development
Life Cycle Cheat Sheet. https://www. cheatography.com/ nataliemoore/cheat-
sheets/systems-development-life-cycle/
Mujiburrahman. 2011. Sistem jaringan pasok dan nilai tambah ekonomi kopi
organik (studi kasus di KBQ Baburrayan kabupaten Aceh Tengah). Agrisep
12 (1): 1-10.
Murtadlo K, Utomo D. 2014. Interpretative Structural Modeling Institutional Land
Use of Agricultural in Pasuruan. Journal of Economics and Sustainable
Development 5 (12): 113-122.
Nabi RU. 2005. The Process of Organizational Change in the Aga Khan Rural
Support Programme, Pakistan: Lessons for Rural Development NGOs.
International Journal of Rural Studies 4 (2): 1-5.
Nasution M. 2002. Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan Untuk
Agroindustri. Bogor: IPB Press.
Natapura. 2009. Analisis Perilaku Investor Institusional dengan Pendekatan
Analytical Hierarchy Process (AHP). Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu
Administrasi dan Organisasi 16 (3): 180-187.
Nee V. 2005. The New Institutionalism in Economics and Sociology. In the
Handbook of Economic Sociology (2nd ed.) edited by Neil Smelser and
Richard Swedberg. Princeton: Princeton University Press.
Nehnevajsa J. 1993. Sosiologi Modernisasi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Neilson J. 2008. Global Private Regulation and Value-Chain Restructuring in
Indonesian Smallholder Coffee Systems. World Development 36 (9): 1607-
1622.
Ningsih T. 2013. Pengembangan UKM sentra industri pengolahan kerupuk ikan
dan udang dengan pendekatan soft system methodology. [Disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
North DC. 2014. Institutions, institutional change and economic performance. E-
book. Cambridge University Press, Ebook Editors: Randall Calvert and
Thrainn Eggertsson.
Novani S, Putro US, Hermawan P. 2014. An application of soft system
methodology in batik industrial cluster solo by using service system science
perspective. Procedia - Social and Behavioral Sciences 115: 324-331. DOI:
10.1016/j.sbspro. 2014.02.439.
124

Novita E. 2012. Desain proses pengolahan pada agroindustri kopi robusta


menggunakan modifikasi teknologi olah basah berbasis produksi bersih.
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Nuddin A, Sinukaban N, Murtilaksono K, Alikodra HS. 2007. Analisis Sistem
Kelembagaan Dalam Perencanaan dan Strategi Pengelolaan Lahan Kritis
DAS Bila. Jurnal Penyuluhan 3 (2): 119-128.
Nugrohon AS, Monintja DR, Hardjomidjojo H. 2008. Analisis Aplikasi Model
Lembaga Keuangan Mikro dalam Program Pemberdayaan Ekonomi
Masyarakat Pesisir Di Kabupaten Cirebon. MANAJEMEN IKM: Jurnal
Manajemen Pengembangan Industri Kecil Menengah 3 (2): 43-52.
Oelviani R. 2013. Penerapan Metode Analytic Hierarchy Process Untuk
Merumuskan Strategi Penguatan Kinerja Sistem Agribisnis Cabai Merah di
Kabupaten Temanggung. Informatika Pertanian 22 (1): 11–19.
Ostrom E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton University Press,
Princeton.
Paarlberg D. 1993. The Case for Institutional Economics. American Journal of
Agricultural Economics 75 (3): 823-827.
Panackal N, Singh A. 2015. Using Interpretive Structural Modeling to Determine
the Relation between Youth and Sustainable Rural Development. Journal of
Management and Research 4 (1): 58-74.
Pandi AP, Rajendra Sethupathi PV, Jeyathilagar D. 2016. The IEQMS model for
augmenting quality in engineering institutions–an interpretive structural
modelling approach. Total Quality Management & Business Excellence 27
(3-4): 292-308.
Parnell GS, Driscoll PJ, Henderson DL. 2011. Decision Making for Systems
Engineering and Management, 2nd Edition, Wiley Series in Systems
Engineering, Wiley & Sons Inc.
Patel NV. 1995. Application of soft systems methodology to the real-world process
of teaching and learning. International Journal of Educational Management
9 (1): 13-23. DOI: 10.1108/09513549510075998.
Paucar-Caceres A, Hart D, Roma i Verges J, Sierra-Lozano D. 2015. Applying Soft
Systems Methodology to the Practice of Managing Family Businesses in
Catalonia. Systems Research and Behavioral Science 33 (3): 312–323. DOI:
10.1002/sres.2356.
Pedrycz W, Song M. 2011. Analytic Hierarchy Process (AHP) in Group Decision
Making and its Optimization With an Allocation of Information Granularity.
IEEE Transactions on Fuzzy Systems 19 (3): 527-539.
Pereira TF, Montevechi JAB, Miranda RDC, Friend JD. 2014. Integrating soft
systems methodology to aid simulation conceptual modeling. International
Transactions in Operational Research 22 (2): 265-285. DOI:
10.1111/itor.12133.
Pfohl HC, Gallus P, Thomas D. 2011. Interpretive structural modeling of supply
chain risks. International Journal of Physical Distribution & Logistics
Management 41 (9): 839–859.
Ponte S. 2004. Standards and Sustainability in the Coffee Sector: A Global Value
Chain Approach. Manitoba (Canada): International Institute for Sustainable
Development. Available on line: http://www.iisd.org/pdf/2004/sci_
coffee_standards.pdf
125

PRE-NET [Policy Research Expert Network]. 2010. dDSS v.1. PRE-Net Indonesia.
Prima A. 2012. Pemodelan Kelembagaan, Peran dan Kompetensi Government
Chief Information Officer Di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
[Tesis]. Magister Teknologi Informasi, Universitas Gadjah Mada.
Proches CNG, Bodhanya S. 2017. An Application of Soft Systems Methodology in
the Sugar Industry. International Journal of Qualitative Methods 14 (1): 1-
15. DOI: 10.1177/160940691501400101.
Purnomo H, Mendoza GA, Prabhu R. 2004. Model for collaborative planning of
community-managed resources based on qualitative soft systems approach.
Journal of Tropical Forest Science 16 (1), 106-131. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/23616391.
Purwaka T. 2006. Dasar-Dasar Pemahaman Peningkatan dan Pengembangan
Kapasitas Kelembagaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Purwanto, Syukur M, Santoso P, 2007. Penguatan Kelembagaan Kelompok Tani
Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Jawa Timur. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian. Malang. Jawa Timur.
Puslit Kopi & Kakao Indonesia. 2008. Panduan budidaya dan pengolahan Kopi
Arabika Gayo. Banda Aceh.
Putri MA, Fariyanti A, Kusnadi N. 2013. Struktur dan Integrasi Pasar Kopi Arabika
Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Buletin RISTRI 4(1):
47-54.
Putri MA. 2013. Sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan Structure, Conduct,
Performance (SCP). [Thesis]. Bogor: Program Studi Agribisnis, Sekolah
Pascasarjana IPB.
Raynolds LT. 2009. Mainstreaming Fair Trade Coffee: From Partnership to
Treaceability. World Development 37 (6): 1083-1093.
Reinitz BT. 2014. Maximizing Value in a Time of Change. Summit Report
(Louisville, CO: ECAR), from the EDUCAUSE/NACUBO 2014
Administrative IT Summit.
Reinitz BT. 2015. Building Institutional Analytics Maturity. Summit report.
Louisville, CO: ECAR.
Riyanto A, Eriyatno, Pasaribu B, Maulana A. 2014. Perancangan model integrasi
manajemen kebijakan outsourcing dalam perspektif hubungan industrial.
Jurnal Manajemen Teknologi 13 (1): 79-94. DOI: 10.12695/ jmt.2014.13.1.7
Robbins SP. 2009. Organization Theory: Structure, Design and Application. 3rd
Edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
Romano. 2009. Kajian sistem agribisnis kopi organik di daerah pegunungan Gayo.
Jurnal Aplikasi Manajemen 7 (1): 21-33.
Roskelley RW, Rigney JA. 2008. Measuring institutional maturity in the
development of indigenous agricultural universities. CIC-AID Rural
Development Research Project, Cornell University.
Rutherford M. 2001. Institutional Economics: Then and Now. Journal of Economic
Perspectives 15: 173–94.
Ruttan VW, Hayami. 1984. Agricultural Development; an International
Perspective. John Hopkins Press, Baltimore.
126

Ruttan VW. 2006. Social science knowledge and induced institutional innovation:
an institutional design perspective. JOIE 2 (3): 249–272. https://doi.org/10.
1017/S1744137406000403.
Saadi FA, Shahzad K, Ahmed M. 2016. Approaches and Methodologies for
Institutional Maturity Index (IMI). Sindh Union Council and Community
Economic Strengthening Support (SUCCESS) Programme. Rural Support
Programmes Network (RSPN), Pakistan.
Saaty TL, Vargas LG. 2012. Models, Methods, Concepts & Applications of the
Analytic Hierarchy Process. Springer US.
Saaty TL. 2008. Decision Making With the Analytic Hierarchy Process.
International Journal of Services Sciences 1 (1): 83–98. DOI:
10.1504/IJSSci.2008.01759
Saaty TL. 2012. Decision Making for Leaders: The Analytic Hierarchy Process for
Decisions in a Complex World. 3rd Revised edition. RWS Publications, New
York.
Saleth M, Dinah A. 2004. The Institutional Economics of Water: A Cross-Country
Analysis of Institutions and Performance. The International Bank for
Reconstruction and Development/ The World Bank. Edward Elgar Publishing
Limited, Cheltenham.
Salima R, Karim A, Sugianto. 2012. Evaluasi Kriteria Kesesuaian Lahan Kopi
Arabika Gayo 2 Di Dataran Tinggi Gayo. Jurnal Manajemen Sumberdaya
Lahan 1 (2): 194-206.
Saptono IT. 2011. Rekayasa Model Lembaga Pembiayaan Pertanian Nasional
Sektor Tanaman Pangan (Studi Kasus Komoditi Beras). [Disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Saputra A. 2012. Desain Rantai Pasok Kopi Organik di Aceh Tengah untuk
Optimalisasi Balancing Risk [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Satriawan B, Oktavianti H. 2012. Upaya Pengentasan Kemiskinan Pada Petani
Menggunakan Model Tindakan Kolektif Kelembagaan Pertanian. Jurnal
Ekonomi Pembangunan 13 (1): 96-112.
Saxena JJP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan
Elements using Interpretive Structural Modelling. System Practice 5 (6): 652-
670.
Sesbany. 2014. Penguatan kelembagaan petani untuk meningkatkan posisi tawar
petani. Makalah Dosen STTP, Medan.
SCAA [Specialty Coffee Association of America]. 2005. Trade Show and
Convention in Seattle. Available on line: http://www.scaa.org/page=Sustain.
Scott RW. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los Angeles:
Sage Publication. Third Edition.
Sharma HD. 1994. A Structural Approach to Analysis Course of System Waste in
the Indian Economy. System Research 11 (2): 17-41.
Silitonga CM. 2008. Analisis keunggulan bersaing kopi arabika Gayo organik di
Indonesia. [Thesis]. Medan: Universitas Terbuka.
Simatupang P, Purwoto A. 1990. Pengembangan Agroindustri sebagai penggerak
Pembangunan Desa. Prosiding Agroindustri Faktor Penunjang
Pembangunan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
127

Sinn JS. 1998. A comparison of interactive planning and soft systems methodology:
enhancing the complementarist position. Systemic Practice and Action
Research 11 (4): 435–453. DOI: 10.1023/A:1023098025076.
Sipahi S, Timor M. 2010. The analytic hierarchy process and analytic network
process: an overview of applications. Management Decision 48 (5): 775 –
808.
Siregar H. 2006. Perspektif Model Agro-Based Cluster Menuju Peningkatan Daya
Saing Industri. AGRIMEDIA 11 (2): 1-20.
Soekanto S. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Baru Cet. 28. PT. Raja
Grafinco Persada, Jakarta.
Sonatha Y, Prayama D. 2011. Penerapan Soft System Methodology dalam
Mengatasi Permasalahan Home Monitoring. Poli Rekayasa 6 (2): 154-160.
Sørensen CG, Fountas S, Nash E, Pesonen L, Bochtis D, Pedersen SM, Basso B,
Blackmore SB. 2010. Conceptual model of a future farm management
information system. Computers and Electronics in Agriculture 72 (1): 37-47.
DOI: 10.1016/j.compag.2010.02.003.
Staadt J. 2012. Redesigning a project‐oriented organization in a complex system: a
soft systems methodology approach. International Journal of Managing
Projects in Business 5 (1): 51-66. DOI: 10.1108/ 17538371211192892.
Staker RJ. 1999. An Application of Checkland’s Soft Systems Methodology to the
Development of a Military Information Operations Capability for the
Australian Defence Force. DSTO Electronics and Surveillance Research
Laboratory Australia.
Steedle JT. 2012. Selecting value-added models for postsecondary institutional
assessment. Assessment & Evaluation in Higher Education 37 (6): 637-652.
DOI: 10.1080/02602938.2011.560720.
Subramaniana N, Ramanathan R. 2012. A review of applications of Analytic
Hierarchy Process in operations management. International Journal of
Production Economics 138 (2): 215–241.
Sucihatiningsih DWP, Waridin. 2010. Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Penyuluh Pertanian Dalam meningkatkan Kinerja Usaha Tani Melalui
Transaction Cost, Studi Empiris di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi
Pembangunan 11 (1): 13-29.
Suhanda NS, Jahi A, Sugihen BG, Susanto D. 2008. Kinerja Penyuluh Pertanian Di
Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan 4 (2): 100-108.
Sukardi. 2011. Formulasi Definisi Agroindustri dengan Pendekatan Backward
Tracking. Pangan 20 (3): 269-281.
Supriyati, Suryani E. 2006. Peranan, Peluang dan Kendala Pengembangan
Agroindustri di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24 (20): 92-106.
Suradisastra K. 2011. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Mempercepat
Pembangunan Sektor Pertanian Dalam Era Otonomi Daerah. Pengembangan
Inovasi Pertanian 4 (2): 18-136.
Suriya S, Mudgal BV. 2013. Soft systems methodology and integrated flood
management: a study of the Adayar watershed, Chennai, India. Water and
Environment Journal 27 (4): 462–473. DOI: 10.1111/j.1747-6593.2012.
00365.
128

Suryadi, Hamid AH, Agussabti. 2013. Strategi Bertahan Hidup Petani Kopi Pasca
Konflik (Studi Kasus Di Kecamatan Kute Panang Kabupaten Aceh Tengah).
Agrisep 14 (1): 44-53.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan
Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian &
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian.
Penjelasan tentang konsep, istilah, teori dan indikator serta variabel. Jakarta:
Bina Rena Pariwara.
Syahyuti. 2012. Rekonseptualisasi Lembaga dan Organisasi untuk Teori dan
Praktek Penyuluhan Pertanian Yang Lebih Efektif. Disampaikan pada
Pertemuan Nasional Pendidikan Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian
Indonesia, di Universitas Padjajaran tanggal 25-26 Januari 2012.
Syam H. 2006. Model Strukturisasi Sistem dan Kelembagaan Usaha Agroindustri
Berbasis Kakao. Usahawan 8, 43-48.
Syam H. 2006. Rancang Bangun Model Sistem Pengembangan Agroindustri
Berbasis kakao Melalui Pola Jejaring Usaha. [Disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Sybase. 2013. Sybase PowerDesigner (R), Version 16.05.0.3982. Documentation
Collection. PowerDesigner Standalone Local. Sybase, Inc., One Sybase Drive,
Dublin, CA.
Taylor PL. 2005. In the Market But Not of It: Fair Trade Coffee and Forest
Stewardship Council Certifications as Market-Based Social Change. World
Development 33 (1): 129-147. DOI: 10.1016/j. worlddev.2004.07.007
Tetlay KA, Mahmood S. 1993. Institutional Maturity Index: A Process Approach
for Participatory Monitoring and Evaluation of Village Organisations in
Gilgit. Aga Khan Rural Support Programme, Pakistan.
Tetlay KA. 1993. Analysing village organisation development: institutional
maturity index results from Northern Pakistan. Gilgit The Aga Khan Rural
Support Programme, Pakistan.
Tjondronegoro SMP. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan
Jawa. Dalam buku “Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan”. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Togbe CE, Zannou ET, Vadouhe SD, Haagsma R, Gbehounou G, Kossou DK, van
Huis A. 2012. Technical and institutional constraints of a cotton pest
management strategy in Benin. NJAS-Wageningen Journal of Life Sciences
60-63: 67-78. DOI: 10.1016/j.njas.2012.06.005.
Toumache R, Rouaski K. 2016. Prospective Analysis of the Algerian Economic
Growth By 2025: Structural Analysis. The Journal of Applied Business
Research 32 (3): 791-803. DOI: 10.19030/jabr.v32i3.9657
Triyonggo Y, Maarif MS, Sukmawati A, Baga LB. 2015. Analisis situasional
kompetensi praktisi sumber daya manusia indonesia menghadapi MEA 2015.
Jurnal Manajemen Teknologi 14 (1): 100-112. DOI: 10.12695/jmt.2015.
14.1.7
Uphoff NT. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with
Cases. Kumarian Press library of management for development. West
Hartford, Ct: Kumarian Press. Inc.
129

Uphoff NT. 1992. Learning from Gal Oya: Possibilities for Participatory
Development and Post-Newtonian Social Science. Ithaca: Cornell University
Press.
Uršič D, Pivka M. 2017. Management concepts transformation in Slovenia.
Management: Journal of Contemporary Management Issues 5 (2): 18-33.
DOI: hrcak.srce.hr/184591.
Wahyuni E, Karim A, Anhar A. 2013. Analisis Citarasa Kopi Arabika Organik Pada
Beberapa Ketinggian Tempat dan Cara Pengolahannya Di Datararan Tinggi
Gayo. JMSDL 2 (3): 261-269.
Walker H. 2015. Kopi, Cooperatives & Compliance: A Case Study of Fair Trade
in Aceh, Indonesia. [Thesis]. School of Geography, Environment & Earth
Science, Victoria University of Wellington.
Walker JW. 1992. Human Resources Strategy. New York: McGraw-Hill. Inc
Wang W, Liu W, Mingers J. 2015. A systemic method for organisational
stakeholder identification and analysis using Soft Systems Methodology
(SSM). European Journal of Operational Research 246 (2): 562-574. DOI:
doi.org/10.1016/j.ejor.2015.05.014.
Waroko TK, van Schalkwyk HD, Alemu ZG, Ayele G. 2008. Producer Price and
Price Transmission in a Deregulated Ethiopian Coffee Market. AgEcon 47
(4). http://ageconsearch.umn.edu [24 Maret 2016].
Wasson CS. 2015. System Analysis, Design, and Development: Concepts, Principles,
and Practices. John Wiley & Sons Inc., Hoboken, New Jersey.
Wibowo Y. 2010. Analisis Prospektif Strategi Pengembangan Daya Saing
Perusahaan Daerah Perkebunan. AGROINTEK 4 (2): 104-113.
Widayat HP, Anhar A, Baihaqi A. 2015. Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Produksi, Kualitas Hasil dan Pendapatan Petani Kopi Arabika di Aceh
Tengah. Agrisep 16 (2): 8-16.
Widiyanti S. 2009. Studi Kelembagaan Kelompok Tani Hutan Rakyat di Wilayah
Cianjur Selatan. [Skripsi]. Departemen Manajemen Hutan. Institut Pertanian
Bogor.
Wijayanti F, Dyah S, Saparita R, Abbas A. 2016. Institutional Transformation of
Local Innovation Systems in Farmer Community of Belu, East Nusa
Tenggara. Journal of STI Policy and Management 1(2): 137–151. DOI:
10.14203/STIPM.2016.51.
Williamson OE. 1985. Economic Institutions of Capitalism: Firms, Markets,
Relational Contracting. The Free Press, Macmillan New York.
Wu W, Harris G, Gu M, Yan A, Yang KY, Yap A, Wu Y, Zhang M. 2014. The
Role of Microfinance Ratings in The Sustainable Development of China's
Financial Inclusion Sector. The Credit Suisse Microfinance Capacity
Building Initiative.
Yantu MR, Bambang J, Hermanto S, Isang G, Setia H. 2010. Integrasi pasar kakao
biji perdesaan Sulawesi Tengah dengan pasar dunia. JAE 28 (2): 201-225.
Yuan XC, Wang Q, Wang K, Wang B, Jin JL, Wei YM. 2015. China’s regional
vulnerability to drought and its mitigation strategies under climate change:
data envelopment analysis and analytic hierarchy process integrated approach.
Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 20 (3): 341–359.
Yulianur A, Rizalihadi M, Benara R. 2012. A Preliminary Study on Rainfall
Interception Loss and Water Yield Analysis on Arabica Coffee Plants in
130

Central Aceh Regency, Indonesia. AIJST 1 (3): 94-97. https://doi.org/10.


13170/aijst.1.3.137.
Yumi, Sumardjo, Gani DS, Sugihen BS. 2011. Model Pengembangan Pembelajaran
Petani Dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari: Kasus Di Kabupaten
Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten
Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan 8 (3): 196–210.
Yustika AE. 2006. Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori, dan Strategi. Penerbit
Bayumedia, Malang.
Zafar U, Bhuiyan M, Prasad PWC, Haque F. 2018. Integration of Use Case Models
and BPMN Using Goal-Oriented Requirements Engineering. Journal of
Computers 13 (2): 212-221. DOI: 10.17706/jcp.13.2.212-221.
Zakaria WA. 2009. Penguatan Kelembagaan Kelompok Tani Kunci Kesejahteraan
Petani. Prosiding Seminar Nasional "Dinamika Pembangunan Pertanian dan
Perdesaan: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani"
2009, 294-315. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Zuraida D, Rizal J. 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan: Pokok-
Pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
LAMPIRAN
132

Lampiran 1 Surat izin penelitian


133

Lampiran 2 Foto-foto kegiatan penelitian


134

Lampiran 3 Berbagai tahapan pengolahan kopi Gayo

Kopi Ceri (cherry) Kopi Hard Skin k.a 40 %

Kopi Beras k.a 40 % Kopi Beras k.a 12 %

Kopi Beras k.a < 12 % Kopi Sangrai (roasting)


135

Lampiran 4 Beberapa bentuk pengemasan kopi Gayo


Lampiran 5 Generasilisasi konsep, proses dan prosedur strategi pengembangan kelembagaan agroindustri (kasus agroindustri kopi
136

Gayo)
137

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sigli, Kabupaten Pidie,


Provinsi Aceh pada tanggal 24 November 1978,
merupakan anak ketiga dari Bapak Drs. Tgk. H.
Syahbuddin Aziz dan Ibu Hj. Mardhiah Ibrahim.
Menikah dengan Drh. Rizki Amelia dan dikaruniai
3 orang putri bernama Rumaisha Khairatun Hisan,
Ruhama Althafunnisa, Rufaida Nailal Husna dan
seorang putra bernama Riayat Syah Athallah.
Pendidikan Sarjana diselesaikan pada Program Studi
Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas
Syiah Kuala dan pendidikan Pascasarjana Magister
pada bidang Agricultural Process Engineering, di
Departement of Process and Food Engineering, Faculty of Engineering, Universiti
Putra Malaysia.
Sejak tahun 2005 hingga sekarang, penulis bekerja sebagai dosen pada
Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala, Banda
Aceh. Selain itu penulis juga aktif pada beberapa organisasi profesi dan
kemasyarakatan seperti International Association of Acehnese Scholars (IAAS),
Asia-Pacific Chemical, Biological, and Environment Engineering Society
(APCBEES), International Association of Engineers (IAENG), Perhimpunan
Teknik Pertanian Indonesia (PERTETA), Masyarakat Akuakultur Indonesia,
Society for Indonesian Biodiversity, Lingkaran Aceh, Jaringan Survei Inisiatif (JSI),
Aceh Center of Excellence (ACE), Lembaga Kajian Strategis Pembangunan Aceh
(LEMKASPA) dan STIGMA Institute.
Adapun aktifitas selama studi di IPB antara lain adalah penasehat Ikatan
Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) Bogor (tahun 2016, 2017 dan 2018),
Penasehat Forum Mahasiswa Pascasarjana (FW) IPB (2016 dan 2017), Aceh
Badminton Club-IPB, Editor Proceedings of Aceh Development International
Conference (ADIC) 2017, Editor Prosiding Seminar Nasional FW-Great Event
2016, Editor Buku Wacana untuk Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Indonesia
(2017), Editor Buku Perdagangan Anak di Negeri Syariat (2017), Editor buku
Berdamai Dengan Masa Lalu: Dinamika Keberaadaan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi Aceh (2017), Dewan Juri Lomba Paper Festival of Agroindustry
(FOA) 2017, Dewan Juri Pekan Inovasi Mahasiswa Pertanian Indonesia (PIMPI)
IPB (2016 dan 2017), salah satu penulis Buku Aceh [tidak] Hitam Putih (2017), dan
Editor Buku Diskursus Politik Lokal dalam Konstruksi Media (2018).
Selama mengikuti program doktoral di Departemen Teknologi Industri
Pertanian IPB dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN)
Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, penulis bersama dengan
komisi pembimbing telah menulis karya ilmiah sebanyak 15 artikel dengan rincian
2 prosiding nasional, 1 prosiding internasional, 5 jurnal nasional, dan 7 jurnal
internasional. Dari 15 artikel tersebut sampai saat ini telah published 10, accepted
1, review process 1, submitted 2, dan draft 1, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat
pada daftar publikasi selama studi pada halaman berikutnya.
138

# Judul Artikel Jurnal/Proseding* Status


Sistem Penilaian Potensi Inovasi Proseding FW Great Event
1 dan Kematangan Kelembagaan 2016, IPB-Dramaga, 3 Published
Agroindustri: Suatu Tinjauan Desember 2016
Alternative Assessment of
Proceedings of Aceh
Development in the Quality
Development International
Management System of Gayo
Conference 2017, Kuala
2 Coffee Agroindustry Using Non- Published
Lumpur, 24-26 March
Numeric Multi Experts-Multi
2017.
Criteria Decision Making
ISBN 978-967-5742-12-5
Approach
Perbandingan Teknik
Pengambilan Keputusan Multi- Jurnal Manajemen
Kriteria Antara Metode Agribisnis 14 (2), 109-117
3 Published
Eckenrode Dengan Metode (2017),
Fuzzy Eckenrode Pada Kinerja Akreditasi B DIKTI
Agroindustri
Sistem Penunjang Keputusan
Multi Kriteria Untuk Jurnal Teknologi Industri
Pengembangan Agroindustri Pertanian 21 (1), 103-113
4 Published
Kopi Gayo Menggunakan (2017),
Pendekatan Fuzzy-Eckenrode Akreditasi B DIKTI
dan Fuzzy-Topsis
A Review on the Development Asian Journal of Applied
5 Strategies of Agro-industrial Sciences, 5 (4), 747-763 Published
Institutions in Indonesia (2017), Pakistan
Analysis and Design of a Human
Journal of Regional and
Resources Performance
City Planning 28 (2), 99-
6 Measurement System for the Published
110 (2017)
Nutmeg Oil Agro-industry in
Akreditasi B DIKTI
Aceh
Strategi Pengembangan Sumber Jurnal Manajemen
Daya Manusia Agroindustri Teknologi 16 (2) 144-151
7 Published
Kopi Gayo Dalam Menghadapi (2017)
Masyarakat Ekonomi ASEAN Akreditasi B DIKTI
Assessment on the Innovation Quality Innovation
8 Potential of Gayo Coffee Prosperity (QIP), 21 (3): Published
Agroindustry 114-126, Slovakia, Q3
Strategi Pengambilan Keputusan
Untuk Pengembangan Prosiding Seminar
Pertahanan Nasional Nasional Universitas
9 Menggunakan Multi Criteria Pertahanan 2017, IPSC Published
Decision Making: Pembelajaran Sentul Bogor, 14-15
dari Departemen Pertahanan Desember 2017
Amerika Serikat
139

# Judul Artikel Jurnal/Proseding* Status


Situational Analysis and the Journal of Food,
Strategy Intervention for Agriculture and
10 Published
Agroindustry Institutions of Environment 16 (1),31-40,
Gayo Coffee 2018, Finland, Q3 Scopus.
A prospective strategy of Bulgarian Journal of Accepted to
institutional development of Agricultural Science publish
11
Gayo coffee agroindustry in (BJAS), 24 (6) 2018, (November
Aceh province-Indonesia Bulgaria, Q3 Scopus 2018)
A Design and Analysis of Irish Journal of
Quantitative Assessment Systems Agricultural and Food
12 Draft
for Institutional Maturity of Research (IJAFR), Ireland,
Agroindustry (QASIMA) Q2 Scopus
Formulation for Development Acta Universitatis
Strategy of Gayo Coffee Agriculturae et
13 Agroindustry Institution Using Silviculturae Mendelianae Submitted
Interpretive Structural Modeling Brunensis, Czech
(ISM) Republic, Q3 Scopus.
Formulation Development
Periodica Polytechnica
Strategies for Quality
Social and Management Review
14 Management System of Gayo
Sciences, Hungary, Q2 process
Coffee Agro-Industry Using Soft
Scopus
Systems Methodology
Analisis dan Desain Sistem
Jurnal Aplikasi Teknologi
Produksi Mie Aceh Spesial
15 Pangan Submitted
Menggunakan Model Process
Akreditasi B DIKTI
Oriented Analysis (POA)

Anda mungkin juga menyukai