RAHMAT FADHIL
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
ii
iii
Rahmat Fadhil
NIM F361150061
iv
RINGKASAN
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ix
RAHMAT FADHIL
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
x
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai November 2017 ini ialah
Strategi Pengembangan Kelembagaan Agroindustri Kopi Gayo, dengan tahapan
penelitian meliputi Analisis Situasional dan Strategi Intervensi Kelembagaan
Agroindustri Kopi Gayo, Desain dan Analisis Sistem Penilaian Kuantitatif
Kematangan Kelembagaan Agroindustri, Analisis Strategi Pengembangan
Sumberdaya Manusia Agroindustri Kopi Gayo, Analisis Prospektif Pengembangan
Kelembagaan Agroindustri Kopi Gayo, dan Formulasi Strategi Pengembangan
Kelembagaan Agroindustri Kopi Gayo.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir M Syamsul Maarif
MEng Dipl Ing DEA, Dr Ir Tajuddin Bantacut MSc, dan Dr Ir Aji Hermawan MM
selaku komisi pembimbing, Prof Dr Ir Sukardi MM dan Dr Ir Saptana MSi sebagai
penguji luar komisi serta Ketua dan Sekretaris Program Doktor Teknologi Industri
Pertanian IPB, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Rektor IPB, Ketua
Program Studi Teknik Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Dekan
Fakultas Pertanian Unsyiah, dan Rektor Unsyiah. Penghargaan penulis sampaikan
kepada Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia
yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi Doktor
melalui Beasiswa Program Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN). Terima kasih
juga untuk sahabat di Program Studi Teknologi Industri Pertanian baik angkatan
2015 maupun lainnya, Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh (IKAMAPA) Bogor,
Forum Keluarga Unsyiah Bogor (FORKUB), Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong
(IMTR), Taman Iskandar Muda (TIM) Bogor dan Jakarta, Forum Mahasiswa
Pascasarjana (FORUM WACANA) IPB dan seluruh tetangga di perumahan Ziara
Valley RT 06 RW 02 Marga Jaya - Bogor, tempat penulis tinggal bersama keluarga
selama 2,5 tahun dalam menyelesaikan pendidikan S3 di IPB.
Teristimewa karya ini penulis persembahkan untuk, istri, anak-anak, kedua
orang tua dan mertua serta seluruh keluarga tercinta yang tanpa kasih sayang, doa,
keikhlasan dan motivasi yang tulus tidak mungkin perjalanan panjang dengan
penuh suka dan duka bisa penulis selesaikan.
Akhirnya hanya ALLAH SWT pemilik segala kesempurnaan, segala
kekurangan dalam penulisan ini hanyalah kekhilafan penulis, kritik dan saran ke
arah yang lebih baik sangat penulis harapkan dan semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.
Rahmat Fadhil
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sistematika penulisan 8
Gambar 2 Pilar norma kelembagaan dalam pendekatan kebudayaan 16
Gambar 3 Pengelompokkan kelembagaan di masyarakat 16
Gambar 4 Kelembagaan berdasarkan kesatuan aktivitas 17
Gambar 5 Kelembagaan dalam sistem agribisnis 18
Gambar 6 Kelembagaan berdasarkan orientasi, tujuan pelayanan dan
sifat keanggotaan 18
Gambar 7 Kelembagaan berdasarkan fungsi yang dijalankan 18
Gambar 8 Strategi intervensi pengembangan kelembagaan 24
Gambar 9 Diagram hirarki kajian agroindustri dengan fokus tentang
kelembagaan 26
Gambar 10 Skenario masa depan dalam analisis prospektif 28
Gambar 11 Persentase publikasi penelitian kopi Gayo 32
Gambar 12 Tahapan proses penelitian 34
Gambar 13 Tahapan soft systems methodology 40
Gambar 14 Rich picture permasalahan 45
Gambar 15 Kopi Gayo dalam berbagai tahapan pengolahan 46
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat izin penelitian 131
Lampiran 2 Foto-foto kegiatan penelitian 132
Lampiran 3 Berbagai tahapan pengolahan kopi Gayo 133
Lampiran 4 Beberapa bentuk pengemasan kopi Gayo 134
Lampiran 5 Generasilisasi konsep, proses dan prosedur strategi
pengembangan kelembagaan agroindustri (kasus
agroindustri kopi Gayo) 135
xvii
DAFTAR ISTILAH
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk merancang strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh, sehingga dapat diketahui
kelemahan dan kekurangan berdasarkan penilaian kematangan kelembagaan yang
dilakukan serta bagaimana memformulasikan pola pengembangannya ke depan.
Tahapan
Tahapan penelitian ini meliputi :
1. Menganalisis kondisi situasional dan strategi intervensi kelembagaan
agroindustri kopi Gayo di Provinsi Aceh.
2. Mendesain dan menganalisis sistem penilaian kuantitatif kematangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo.
3. Merumuskan strategi pengembangan sumberdaya manusia sebagai aspek
pendukung kelembagaan agroindustri kopi Gayo.
4. Menganalisis strategi prospektif pengembangan kelembagaan agroindustri kopi
Gayo.
5. Memformulasikan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo
secara komprehensif.
Ruang Lingkup
Manfaat Penelitian
Kalangan Praktisi
Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan kontribusi praktis, strategis
dan taktis kepada para pihak yang terlibat sebagai praktisi seperti pebisnis, investor
dan usaha kecil menengah lainnya, agar mampu mengembangkan agroindustri
menjadi lebih baik lagi, baik dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinyuitasnya.
Manfaat selanjutnya adalah meningkatkan akses dan volume pemasaran di tengah
pasar yang makin kompetitif.
Rencana Kontribusi
Sistematika Penulisan
agroindustri kopi Gayo. Untuk Bab 5, Bab 6 dan Bab 7 dapat dirumuskan secara
berurutan sehingga diperoleh suatu formulasi strategi secara komprehensif. Bab 8
ditulis setelah seluruh penelitian dilakukan, termasuk menjelaskan bagaimana
verifikasi, validasi dilakukan beserta implikasi manajerialnya. Terakhir Bab 9
dirumuskan setelah semua pekerjaan pada Bab sebelumnya diselesaikan.
Pendahuluan
kurang, komposisi dan cara pemupukan (Jaya 2014; Hasni 2011; Descroix
dan Snoeck 2009; Charley dan Weafer 1998).
• Penanganan perlindungan tanaman terutama pencegahan dan
penanggulangan hama dan penyakit tidak mengikuti standar pengendalian
tanaman terpadu, penanganan pasca panen dan pengolahan awal meliputi
fermentasi dan pengolahan semi basah belum tertangani dengan baik (Bilhak
dan Maarif 2014; Anhar 2013; Romano 2009; Marsh 2005; Alejandro dan
Morales 2002).
• Tingginya risiko mutu buah kopi yang dihasilkan petani, yang disebabkan
oleh tidak seragamnya tingkat kematangan, teknik panen stripping, dan
penanganan pasca panen sering mengalami kontaminasi fisik yang tingginya
(Jaya 2013; Ibrahim dan Zailani 2010; Silitonga 2008; Gonzales-Rios et al.
2007).
d. Aplikasi Teknologi
• Aplikasi teknologi belum berkembang dengan baik, terutama untuk proses
pengolahannya (Bilhak dan Maarif 2014).
• Secara umum pengolahan kopi masih mengikuti cara-cara tradisional yang
berkembang dari generasi ke generasi (Romano 2009).
• Panen kopi dan sortasi saat pemetikan dan sesudah pemetikan dilakukan
secara manual (Silitonga 2008).
• Teknologi pasca panen menjadi salah satu masalah yang paling penting untuk
ditangani selain sistem budidaya dan resiko mutu (Jaya 2014; Silitonga 2008).
e. Akses Pasar
• Mekanisme pasar belum maksimal, sehingga harga ditentukan oleh pihak lain
(pedagang) yang relatif lebih murah dan terkadang nilai hasil produksi tidak
sebanding dengan biaya produksi (Bilhak dan Maarif 2014; Mujiburrahman
2011).
• Walaupun beberapa sertifikasi telah dilakukan dalam sistem perdagangan
kopi (sejak 1992) seperti fair-trade, rain-forest, organic dan indikasi
geografis, kenyataannya petani masih sulit mendapatkan posisi tawar dalam
penentuan harga yang lebih baik dibandingkan eksportir (Taylor 2005;
Raynolds 2009; Putri et al. 2013; ICRRI 2008; Waroko et al. 2008; Yantu et
al. 2010)
• Perdagangan kopi masih mengalami masalah fluktuasi harga yang sangat
tinggi dan cenderung tidak adil antara berbagai pelaku agroindustri (Adam
dan Ghaly 2007; Giovannucci dan Potts 2008; Jaya 2014).
f. Sistem Pendukung
• Belum optimal dukungan pemerintah dalam pengembangan perkebunan
sebagai sektor unggulan, terutama berkaitan dengan sarana dan prasarana,
dan akses permodalan (Bilhak dan Maarif 2014; Giroh et al. 2010; Putri et al.
2013; Kizito 2011; Romano 2009).
• Kebijakan keuangan dan perbankkan belum sepenuhnya menjangkau petani
di daerah-daerah pedalaman penghasil kopi, sehingga terkadang kesulitan
keuangan petani kopi selama mengunggu masa panen sangat tergantung
dengan pemilik modal besar, dan tidak sedikit yang terlilit hutang dengan
rentenir (Putri et al. 2013).
Menurut Fadhil et al. (2017e) berdasarkan risetnya menyatakan bahwa dari
enam aspek pembangunan agroindustri kopi Gayo, melalui pembobotan
13
Terminologi Kelembagaan
desiminasi yang digunakan. Oleh karenanya, saran kami untuk setiap peneliti
(pakar) dan pembuat kebijakaan, sebelum menguraikan segala sesuatu berkaitan
dengan kelembagaan, maka sebaiknya menjelaskan terlebih dahulu dari maksud
dan istilah yang digunakan tersebut. Dengan demikian kesepahaman dapat lebih
baik terbangun dan kesalahpahaman dapat lebih diminimalisasi.
Dalam penelitian ini, kelembagaan agroindustri yang dimaksud adalah
merupakan suatu perangkat formal dan non formal yang mengatur perilaku dan
dapat memfasilitasi terjadinya koordinasi atau mengatur hubungan-hubungan
interaksi antar berbagai individu, antar lembaga, dan kelompok. Oleh karena itu
kelembagaan agroindustri merupakan lingkungan dimana agroindustri dapat
tumbuh dan berkembang mengikuti proses dinamisasi berbagai perangkat yang
melingkupi disekitarnya.
Studi Kelembagaan
Ilmu kelembagaan berkembang dari dasar ilmu sosial dan ilmu kebudayaan.
Menurut Syahyuti (2003), pemahaman ilmu kelembagaan biasanya didasari oleh
kedua aspek ilmu tersebut, sehingga kaidah kebudayaan menyumbang sisi dinamis
dari kelembagaan (disebut sebagai aspek kelembagaan), sedangkan ilmu sosiologi
terutama sosiologi kelompok menyumbangkan aspek statis dari kelembagaan
(aspek keorganisasian).
Menurut ilmu Sosiologi, ada dua jalan masuk untuk mempelajari
kelembagaan (Soekanto 1999):
1. Studi Kebudayaan: menyangkut aspek nilai dan norma, sehingga kelembagaan
dijelaskan sebagai himpunan norma-norma yang diwujudkan dalam hubungan
antar manusia. Sistem norma merupakan salah satu unsur dari kebudayaan,
atau merupakan unsur pokok dalam kehidupan bermasyarakat. Norma
terbentuk yang seiring dengan waktu akan terus dipertahankan jika dirasakan
ada manfaatnya. Norma memiliki kekuatan mengikat yang berbeda dan juga
sanksi sosial yang berbeda pula bila dilanggar. Pilar norma seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 2.
2. Sosiologi Kelompok: kelompok sosial seperti keluarga, masyarakat desa,
masyarakat kota, bangsa dan lainnya. Beberapa ahli membaginya berdasarkan
pandangannya sendiri-sendiri. George Simmel membagi berdasarkan besar
kecilnya jumlah anggota, pengaruh individu terhadap kelompok dan interaksi
sosial dalam kelompok. F Stuart Chapin mengelompokkan menjadi primary
group (sederhana) dan secondary group (besar). Ferdinand Tonnies
membaginya berdasarkan derajat kepentingan antara komunitas yang memiliki
kepentingan bersifat umum dan bersifat khusus. Dia membaginya dengan
gemeinschaft (paguyuban) yang anggotanya diikat dengan hubungan batin
murni, lama dan kekal dan gesselschaft (patembayan) sebagai ikatan lahir
bersifat pokok dan berjangka pendek. Ada juga yang membagi berdasarkan
crowd (kerumunan) dengan jangka waktu yang pendek dan community
(komunitas) yang memiliki jangka waktu lebih lama.
Secara umum pengelompokkan kelembagaan adalah seperti yang
disampaikan oleh Koentjaraningrat (1997) yang menggolongkan jenis-jenis
kelembagaan yang berkembang ditengah masyarakat dalam tujuh unsur yang
16
Cara
(Usage)
Tata
kelakuan
4 pilar Kebiasaan
(Foklways)
(Mores) norma
Adat-
istiadat
(Custom)
berbeda-beda (Gambar 3). Pada ketujuh unsur kelembagaan tersebut, terlihat bahwa
kelembagaan pertanian (termasuk agroindustri) merupakan kelembagaan dalam
unsur ekonomi (economic institutional).
Kelembagaan pertanian sebagai bagian dari kelembagaan ekonomi
memiliki perbedaan dengan bidang ekonomi mainstream yang telah berkembang
terlebih dahulu. Pada awalnya ekonomi mainstream tumbuh sebagai suatu bentuk
ekonomi yang materialistik dengan sistem yang tertutup. Seiring dengan
perkembangan dan perubahan dinamika dalam hubungan dan relasi masyarakat,
ekonomi mainstream mulai ditinggalkan dan berganti ke ekonomi kelembagaan
yang lebih idealistik, transaksional dan sistem yang terbuka. Perbedaan antara
Nilai-nilai
Penerimaan Luas
Perkembangan yang diterima Fungsi
masyarakat penyebaran
masyarakat
(Gillin dan Gillin 1956), (2) kelembagaan beradasarkan orientasi, tujuan pelayanan
dan sifat keanggotaan (Gambar 5) (Uphoff 1986), (3) kelembagaan berdasarkan
fungsi yang dijalankan (Gambar 6) (Appendini et al. 2003, dan (4) kelembagaan
berdasarkan sistem agribisnis (Gambar 7) (Syahyuti 2003).
Sektor
Sektor Publik Sektor Pribadi
Kerelawanan
Keanggotaan Pelayanan
Administrasi Lokal
Organisasi Organisasi
Produksi dan
Penyedia input Penjamin menjaga makna
untuk produksi keselamatan sosial hakikat kemanusian
dan kehidupan
Aktivitas budidaya
Pemasaran
Pendukung
Gambar 7 Kelembagaan dalam sistem agribisnis (Diadaptasi dari Syahyuti 2003)
19
pintu masuk sebagai modal sosial untuk dikembangkan atau diperbaiki dari yang
sudah ada (Togbe et al. 2012; Zuraida dan Rizal 1993; Agustian et al. 2003;
Syahyuti 2003; Purwanto et al. 2007). Pengkajian secara mendalam tentang sistem
kelembagaan struktural dan kultural yang telah berkembang di masyarakat saat ini
sesungguhnya menjadi pintu masuk awal untuk menelaah lebih jauh lagi. Dengan
demikan diperoleh beragam model pengembangan kelembagaan melalui
pendekatan kultural ataupun struktural, termasuk strategi menggabungkan
keduanya dalam suatu kesatuan secara dinamis.
Sebagai tambahan untuk memahami bagaimana pengembangan
kelembagaan yang terjadi di Indonesia selama ini, Syahyuti (2003) telah
merumuskan sejumlah kekeliruan yang terjadi. Di antara bentuk-bentuk kekeliruan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun hanya terbatas untuk
memperkuat ikatan-ikatan horizontal, namun lemah dalam ikatan vertikal.
Kekeliruan ini kemudian diperbaiki dengan mengembangkan konsep
kelembagaan agribisnis yang lebih dipentingkan adalah ikatan-ikatan
vertikal.
2. Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan
memudahkan tugas kontrol bagi pelaksanaan program yang hendak
diimplementasikan, bukan sebagai bentuk peningkatan social capital
masyarakat secara mendasar. Oleh karenanya tidak mengherankan jika
sebuah kelembagaan akan bubar ketika pelaksanaan program tersebut telah
selesai.
3. Struktur keorganisasian yang dibangun relatif seragam tanpa
mempertimbangkan bentuk-bentuk yang sudah ada, bahkan terkadang
menghilangkan kelembagaan yang lain yang telah berkembang sebelumnya.
Generalisasi sering dilakukan dengan terburu-buru, sembrono serta analogi-
analogi yang tidak relevan karena mengejar target pelaksanaan program
tertentu.
4. Meskipun kelembagaan telah terbentuk, namun pembinaan yang dijalankan
masih cenderung individual yang terbatas kepada pengurus dan tokoh-tokoh
dengan prinsip trickle down effect (memberikan akses dan kemudahan bagi
orang-orang tertentu, dengan harapan aset pengetahuan dari orang-orang
tertentu tersebut, akan memberikan peluang mengembangkan pengetahuan
bagi yang lain, namun pada kenyataannya tidak ada), semestinya pembinaan
dengan pendekatan social learning approach (pendekatan pembelajaran
secara sosial).
5. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural dan
lemah dari pengembangan pada aspek kultural. Struktur organisasi
dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek
kulturalnya seperti perumusan visi, motivasi, semangat, manajemen dan
lainnya.
6. Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material
dibandingkan non-material, sehingga perubahan yang dibangun adalah
perubahan secara materialistik.
7. Introduksi kelembagaan baru telah merusak kelembagaan lokal (kearifan
lokal) yang ada sebelumnya, bahkan menyebabkan terganggunya
21
Intervensi Kelembagaan
Bantuan
(Assistance)
Fasilitasi
(Facilitation)
Promosi
(Promotion)
2012; Kholil et al. 2008; Nugrohon et al. 2008), dan kinerja kelembagaan (Aji et
al. 2014; Abubakar et al. 2013; Sucihatiningsih dan Waridin 2010; Hadi 2010;
Suhanda et al. 2008; Marliati et al. 2008), sementara kajian berkaitan inovasi
kelembagaan dan kondusifitas atau kematangan kelembagaan didapati masih sangat
terbatas. Tahap berikutnya didalami lebih lanjut dengan pencarian kata kunci yang
lebih spesifik berkaitan dengan inovasi kelembagaan dan kondusifitas atau
kematangan kelembagaan. Diperoleh pada kata kunci potensi inovasi lebih banyak
berbicara tentang inovasi organisasi atau suatu lembaga, ide inovasi dan perilaku
inovasi, sedangkan potensi inovasi kelembagaan tidak diperoleh sama sekali.
Begitu juga halnya pada kata kunci kematangan (maturity) kelembagaan dengan
kekhususan agroindustri tidak diperoleh satu artikel pun yang membahas hal
tersebut.
Analisis Prospektif
Penelitian Terdahulu
Sumberdaya
Kelembagaan Manusia
7% 2% Lahan
20%
Kebijakan
12%
Lingkungan
10%
Mutu produk
10%
Ekonomi, modal
dan keuangan
Rantai pasok
29%
dan rantai nilai
10%
Gambar 11 Persentase publikasi penelitian kopi Gayo
menentukan sebuah negara-bangsa menjadi kaya atau miskin, sukses atau gagal dan
maju atau terbelakang, ternyata mereka berkesimpulan bahwa faktor institusional
(kelembagaan) merupakan faktor yang paling penting. Menurut mereka bahwa
institusi yang inklusif (politik, ekonomi, hukum) merupakan penentu utama
kemajuan suatu bangsa, sedangkan institusi yang ekstraktif dan eksploitatif hanya
menguntungkan sebagain kecil orang atau elit saja yang pada akhirnya akan
menyebabkan keterpurukan dan kegagalan bangsa itu sendiri. Sampai sekarang
Acemoglu masih terus menganalisis peran kelembagaan beserta inovasi yang
memiliki efek terhadap politik dan pertumbuhan ekonomi (Acemoglu dan Ucer
2015; Acemoglu 2015; Acemoglu et al. 2015; Acemoglu et al. 2014a; Acemoglu
et al. 2014b; Acemoglu dan Robinson 2012; Acemoglu 2010; Acemoglu et al.
2008; Acemoglu dan Robinson 2008; Acemoglu dan Johnson 2005; Acemoglu et
al. 2005).
Pemikiran inilah yang melandasi betapa strategisnya faktor kelembagaan
dan penilaian kematangan suatu kelembagaan menjadi kajian yang penting untuk
dilakukan. Walaupun tidak dalam konteks besar secara nasional, tetapi paling tidak
untuk level daerah merupakan suatu kajian yang strategis dan bermakna bagi
keberlangsungan usaha masyarakat khususnya yang terlibat dalam suatu
agroindustri seperti kopi Gayo.
Analisis
Kerangka Penelitian
Peran penting agroindustri dalam menopang perekonomian negara
dirasakan cukup strategis dan berkesinambungan. Upaya melakukan penguatan
kelembagaan dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia menjadi suatu
keharusan dalam membangun agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh untuk
menjadi lebih baik. Apalagi sebahagian besar hasil produksi kopi di daerah tersebut
diekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan negara-negara
Eropa lainnya. Oleh karenanya sangat dituntut kondusifitas kelembagaan, sehingga
dapat memberikan kepastian bagi keberlanjutan kuantitas dan kualitas produk yang
tersedia dengan tetap memperhatikan keseimbangan berbagai faktor yang
melingkupinya.
Agroindustri merupakan bagian yang tak terpisahkan dari dunia bisnis,
sehingga dalam prakteknya sangat terkait dengan kompleksitas berbagai pemangku
kepentingan, terutama kelembagaan dan sumberdaya manusia. Hal ini berimplikasi
pada produksi dan daya saing produk kopi yang dihasilkan. Penguatan kelembagaan
dan peningkatan sumberdaya manusia akan senantiasa memegang peranan penting
sebagai prospek pada setiap usaha-usaha pengembangan yang akan dilakukan. Oleh
karenanya penelitian ini akan mendalami aspek kelembagaan dan mengkaitkannya
dengan aspek sumberdaya manusia melalui kerangka pemikiran seperti Gambar 12.
Pengumpulan Data
Data dan informasi dalam topik penelitian yang dikaji sangat diperlukan
untuk menghasilkan suatu penelitian yang berkualitas, sehingga berbagai
pengetahuan yang mendukung dan relevan perlu direncanakan dengan baik. Proses
identifikasi data dan informasi perlu dilakukan untuk lebih memberikan kejelasan
34
dari sejak awal terhadap berbagai hal yang hendak dikumpulkan. Data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini secara umum terbagi dua, yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung oleh peneliti
35
melalui pengamatan di lapangan dan diskusi baik wawancara maupun dialog secara
mendalam dengan para pihak yang terlibat langsung dengan objek kajian yang di
teliti. Para pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan agroindustri kopi Gayo
meliputi praktisi, akademisi dan peneliti yang memiliki pengalaman dan
pengetahuan. Untuk memudahkan dalam merumuskan pengumpulan data disiapkan
alat bantu berupa kuisioner yang didesain sesuai dengan tujuan penelitian. Data-
data primer yang dikumpulkan meliputi: (1) data pendapat para pihak (stakeholder)
tentang praktek kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang telah berlangsung,
termasuk bagaimana penilaian sistem kelembagaan yang telah terjadi selama ini,
(2) data pengetahuan para pihak berkaitan dengan alternatif-alternatif
pengembangan kelembagaan yang dapat dirumuskan untuk memperbaiki atau
meningkatkan sistem produksi dan manajerial penanganan kopi Gayo.
Penentuan responden para pihak yang akan diminta pendapatnya dilakukan
melalui curah gagasan (brainstorming) dan eksplorasi pengetahuan dari berbagai
pengalaman dan praktek agroindustri kopi Gayo. Oleh karenanya kriteria yang
digunakan dalam pemilihan responden para pihak ini adalah berdasarkan tingkat
pengetahuan yang ditentukan oleh pekerjaan, pengalaman dan pengetahuan.
Selanjutnya responden para pihak yang dimaksud dalam penelitian ini ditentukan
melalui mekanisme purposive sampling (secara sengaja).
Selain data primer, peneliti juga mengambil data-data sekunder yang
mendukung dari berbagai sumber yang relevan. Data sekunder meliputi model dan
pola kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang telah berkembang, kendala dan
masalah-masalah yang dihadapi, pihak-pihak yang terlibat, data produksi, data
perusahaan (agroindustri), data luas perkebunan, kepemilikan, akses pasar, dan
data-data lainnya yang relevan dengan topik penelitian ini. Data-data ini diperoleh
baik melalui studi literatur, dokumen pemerintah maupun swasta (Tabel 4).
--------------------
Kajian pada BAB ini, sebahagian besar telah diterbitkan pada Asian Journal of
Applied Science (AJAS) Vol.5 No.4 Hal. 747-763 tahun 2017 (Agustus), Pakistan;
Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vo.27 No.1 Hal. 103-113 tahun 2017 (April),
Akreditasi B DIKTI; dan Prosiding FW Great Event 2016 “Sinergis Pertanian
Menjawab Permasalahan Bangsa”, IPB-Dramaga, 3 Desember 2016, ISBN 978-
602-440-246-4 .
Tabel 5 Tahapan riset pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo
Pendahuluan
Metode
merumuskan melakukan
permasalahan tindakan
1 berdasarkan 7 perbaikan atas
situasi permasalahan menetapkan
perubahan yang
6 layak dan
diinginkan
membandingan
mengekspresikan
model konseptual
2 situasi
permasalahan
5 dengan dunia
nyata dunia nyata
pemikiran sistem
mendefinisikan tentang dunia
akar membangun nyata
3 permasalahan dari 4 model
sistem yang konseptual
relevan
(4) Membangun model konseptual. Berdasarkan root definition di atas untuk setiap
elemen yang didefinisikan, kemudian dibangun model konseptual yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ideal. Model ini mengidentifikasi
sistem aktivitas manusia hasil ekspresi situasi masalah dalam rich picture dan
merepresentasikan hubungan antar kegiatan. Model konseptual ini merupakan
proses adaptif, karena terjadi umpan balik antara proses memodelkan dengan
hasil ekspresi situasi masalah. Semua elemen yang tertuang dalam CATWOE
disertakan dalam model konseptual.
(5) Membandingkan model konseptual dengan situasi masalah. Model konseptual
dibandingkan dengan dunia nyata untuk menjelaskan kemungkinan perubahan
di dunia nyata. Setiap pihak yang terlibat memberikan persepsi dan penilaian
terhadap aktivitas yang dimodelkan, untuk menentukan apa yang seharusnya
dilakukan, dipertahankan, diperbaiki atau ditinjau kembali. Draft awal model
konseptual didesain oleh peneliti yang selanjutnya diminta koreksi, masukan
dan klarifikasi kepada setiap pakar sebagai narasumber dari penelitian ini.
Suatu model perbandingan dirumuskan meliputi aktivitas yang ditawarkan,
realita atau kondisi dunia nyata yang terjadi dan rekomendasi untuk tindak
lanjut. Model ini disempurnakan dan akan menjadi rekomendasi untuk
perubahan.
(6) Menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan. Tujuan tahap ini adalah
untuk mengidentifikasi dan mencari perubahan yang diinginkan secara
sistemik dan layak. Perubahan dapat terjadi dalam hal struktur, prosedur atau
sikap orang-orang.
(7) Melakukan tindakan perbaikan atas masalah. Pada tahap ini akan muncul
rekomendasi perubahan untuk dapat diimplementasikan. Proses ini
menghasilkan sistem yang tepat untuk melakukan perubahan yang aktivitasnya
diharapkan dapat menjadi praktik dalam pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo atau disebut juga sebagai “dunia nyata”.
Untuk perumusan strategi intervensi kelembagaan menggunakan
pendekatan yang dikembangkan oleh Nasution (2002) dan North (2014). Menurut
Fadhil et al. (2017b) menyatakan bahwa suatu kelembagaan memiliki keadaan
posisi tertentu dalam sebuah sistem agroindustri yang ada. Oleh karena itu, jika
ingin melakukan proses pengembangan kelembagaan, terlebih dahulu harus
dianalisis kelembagaan yang selama ini berlaku dalam suatu masyarakat atau
organisasi. Apakah sistem kelembagaan yang sudah ada perlu dibantu (assistance),
difasilitasi (facilitation) atau dipromosikan (promotion) (Nasution 2002; North
42
certified, Fairtrade dan Rain Forest (Disbun Aceh 2013). Perbedaan ketiga
jenis sertifikasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
Jenis
Organic Fair Trade Rain Forest Alliance
Sertifikasi
Menciptakan sistem
pertanian
berkelanjutan yang Memajukan produser
Untuk
selaras dengan dan pengenalan merek
memastikan
Misi lingkungan, yang menggambarkan
perdagangan yang
menjamin komitmen terhadap
adil bagi produsen
biodiversitas, dan keberlanjutan
peningkatan
kesuburan tanah
Manajemen, konservasi
Elemen pokok Lingkungan, Sosial, ekonomi,
lingkungan, ekosistem,
dalam produktivitas lahan lingkungan dan
UU tenaga kerja, dan
sertifikasi dan standar proses organisasi
keuntungan komunitas
Semua pihak kecuali
Keanggotaan Semua pihak yang
yang tidak Semua pihak dari
dalam sistem sudah terdaftar
berhubungan dengan produsen hingga penjual
sertifikasi dalam sertifikasi
proses dan penjualan
Ketelusuran
sistem Dijamin dari pembeli hingga produsen
sertifikasi
Perbedaan
harga dengan Ada
non sertifikasi
Biaya yang Biaya inspeksi
dikeluarkan (biasanya ditanggung Biaya proses audit Biaya audit
produsen oleh negara)
Tidak dikenakan
Biaya yang
Sekitar USD 1000- biaya tetapi harus USD 2 per pon kopi
dikeluarkan
5000 per tahun membayar dengan beras
oleh pembeli
harga minimum
Fokus pasar Bagi produk-produk Pasar khusus, Specialty dan merek
dan promosi organik konsumen khusus utama, bisnis ke bisnis
www.transfairusa. www.rainforestalliance.
Referensi www.ota.com
org org
Pemetaan Masalah
Perumusahan masalah dilakukan dengan pemetaan masalah yang detail dan
kaya dibuat melalui diagram, gambar atau model yang dapat menjelaskan
hubungan struktur dan proses para pihak yang terlibat serta dikaitkan dengan
kondisi lingkungan tempat aktivitas itu berlangsung. Struktur mencakup denah
fisik, hirarki, struktur pelaporan, dan pola komunikasi baik formal maupun
informal. Tahapan ini diekspresikan melalui rich picture yang menampilkan
berbagai perspektif dalam memahami persoalan yang dihadapi (Gambar 14).
Berdasarkan rich picture yang dibangun, dapat menggambarkan
permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan kelembagan agroindustri. Saat
ini dengan empat bentuk kelembagaan yang telah berkembang (kelembagaan
sertifikasi, koperasi, kemitraan dagang umum dan usaha mandiri) telah membentuk
suatu mekanisme tersendiri dalam hubungan dengan pedagang pengumpul
(lapangan, kecil dan besar), kelompok tani dan petani. Kelembagaan sertifikasi
memang dirasakan paling besar manfaatnya terhadap jaminan terserapnya semua
produksi hasil perkebunan dari petani. Namun kelembagaan sertifikasi tidak
sepenuhnya memberikan keuntungan bagi petani. Kondisi ini juga turut dilaporkan
oleh Walker (2015) dan Putri (2013) yang menyatakan bahwa hasil rata-rata
produksi kopi yang teroganisir dalam sistem sertifikasi lebih tinggi karena adanya
dukungan agronomi dan teknologi dibandingkan dengan petani yang tidak
terorganisir, akan tetapi petani masih sulit mendapatkan posisi tawar dalam
penentuan harga yang lebih baik dibandingkan eksportir.
Hal yang menarik juga ditemukan bahwa dari segi nilai tambah, hasil
produksi kopi Gayo masih sangat rendah. Para petani, kelompok tani dan pedagang
pengumpul cenderung menjual kopi pada kondisi kopi ceri, kopi hard skin (HS)
kadar air (k.a) 40 % atau kopi beras k.a 40 %, sehingga nilai jualnya juga tidak
terlalu tinggi. Sementara perusahaan dan koperasi yang juga sebagai ekportir
melakukan proses pengolahan kopi pada dua kondisi utama, yaitu Green off grade
(kopi beras k.a 12 %) dan Green Bean (kopi beras k.a < 12 %), sehingga nilai
tambahnya lebih besar. Selain itu dalam tiga tahun terakhir sudah mulai tumbuh
45
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang melakukan proses pengolahan
kopi untuk konsumen terbatas (lokal dan nasional) dengan melakukan sangrai
(roasting) dan pengemasan (packaging). Akan tetapi UMKM ini masih sangat
sedikit dan terbatas, baik di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah,
termasuk secara keseluruhan di Propinsi Aceh juga masih belum banyak. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 15 yang menunjukkan berbagai tahapan
pengolahan kopi Gayo dan pelaku yang terlibat dalam penanganannya.
Dilain sisi, ada beberapa pihak yang dapat disebut sebagai lembaga
pendukung, meliputi pemerintah daerah, perguruan tinggi dan lembaga penelitian,
penyuluh dan pendamping perkebunan, lembaga keuangan dan perbankkan, serta
lembaga swadaya masyarakat seperti Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI),
Asosiasi Pedagang Kopi Indonesia (APKI) dan lembaga kopi lainnya di
masyarakat. Para pihak inilah yang diharapkan dapat mengambil peran memberikan
intervensi bagi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo, sehingga
strategi yang dilakukan tentulah berbeda untuk setiap bentuk kelembagaan yang
ada. Peran para pihak ini sangat penting untuk memastikan usaha agroindustri kopi
Gayo terus dapat bertahan dan berkelanjutan, serta multi efeknya adalah untuk
pembangunan dan pengembangan daerah itu sendiri.
Model Konseptual
Berdasarkan root definitions yang dirumuskan sebelumnya, kemudian
disusunlah gambaran model konseptual dalam mengidentifikasi aktifitas yang
48
Gambar 18 Model konseptual kelembagaan koperasi Gambar 19 Model konseptual kelembagaan kemitraan
dagang umum
51
Rencana Perubahan
Pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo semestinya tidak
hanya terfokus pada satu atau dua bentuk kelembagaan yang ada. Boleh jadi setiap
kelembagaan memiliki kelemahan dan kekurangan, sehingga yang menjadi
perhatian adalah memperbaiki kelemahan dan kekurangan tersebut. Sudah tidak
saatnya lagi melakukan penyeragaman terhadap satu bentuk kelembagaan yang
telah berkembang, bahkan tidak tertutup kemungkinan bila dikemudian hari
tumbuh dan berkembang bentuk kelembagaan lainnya. Oleh karenanya jalan
terbaik adalah senantiasa melakukan pengawasan (monitoring) dan evaluasi untuk
terus menuju ke kondisi paling ideal yang menguntungkan para pihak (stakeholder).
Selain itu, peran strategis pemerintah tidaklah dapat dinafikan, mengingat
salah satu elemen terpenting untuk menjaga keberlanjutan agroindustri kopi Gayo
di Aceh adalah jaminan pemerintah terhadap keamanan dan kondusifitas daerah.
Sudah seharusnya pemerintah daerah memberikan perhatian yang lebih kepada
petani dan kelompok tani, sebagai produsen yang menghadapi resiko paling tinggi
dan keuntungan paling rendah dalam sistem atau bentuk kelambagaan apapun yang
telah berkembang saat ini. Pemerintah kita perlu mengambil pelajaran dari negara
lain dalam melindungi para produsen kopi di negaranya.
Sebagai contoh apa yang dilakukan oleh Vietnam sebagai salah satu negara
produsen utama kopi dunia. Pemerintah Vietnam menjadikan petani sebagai aset
yang paling berharga dalam menjaga keberlangsungan perekonomian negara. Apa
yang dilakukan Vietnam adalah sejumlah aktivitas yang menempatkan petani
sebagai perhatian paling utama dibanding berbagai pelaku agroindustri lainnya.
Beberapa kebijakan pemerintah Vietnam antara lain: (1) pemerintah memberikan
dukungan terhadap penyediaan infrastruktur (sarana dan prasarana), informasi,
pengembangan penelitian, penerapan teknologi dan kebijakan yang memberikan
jaminan kepada petani untuk memproleh harga yang sesuai, seperti sistem contract
farming untuk menjaga stabilitas harga ditingkat petani, (2) manajemen
kelembagaan yang berorientasi kepada petani, bukan hanya profit orientied (Hue
2001; Putri 2013).
Begitu juga dengan pemerintah Colombia dalam mendukung kesejahteraan
petaninya. Sejak tahun 2002 mereka telah menjalankan program kemitraan
perdesaan, dimana pemerintah menyediakan dana yang besar bagi asosiasi petani
di perdesaan. Tujuannya antara lain untuk menyesuaikan penerapan teknologi
produksi petani dengan permintaan pasar, seperti halnya sertifikasi organik dan
kepedulian terhadap kesehatan. Selama lebih dari 5 tahun, sebanyak 300 organisasi
telah ditumbuhkan sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar 20
persen dan menciptakan lapangan kerja sebesar 10 persen (Putri 2013). Secara
otomatis maka berakibat positif bagi peningkatan perekonomian di daerah.
Syam (2006) menyatakan secara ekonomi, tolok ukur keberhasilan
pengembangan kelembagaan adalah terpenuhinya pareto improvement, yaitu
perubahan dapat berlangsung lama apabila terdapat sekelompok masyarakat yang
diuntungkan dan sebaliknya tidak ada sekelompok masyarakat yang dirugikan.
Kondisi inilah yang akan terus dikembangkan melalui sejumlah tindakan dan
rencana perubahan yang diharapkan. Pada akhirnya tentulah, perubahan-perubahan
yang dilakukan tersebut memberikan kesejahteraan secara merata bagi pelaku
agroindustri dan sekaligus akan menjamin pertumbuhan usaha yang lebih baik
kedepan.
55
Tindakan Perbaikan
Setelah berhasil menemukan, memetakan dan mendefinikan permasalahan,
kemudian mendesain model konseptual serta melakukan perbandingan model
konseptual dengan situasi masalah yang dihadapi, sehingga menghasilkan rencana
perubahan, maka tahapan akhir adalah merumuskan tindakan perbaikan. Desain
tindakan perubahan merupakan tindakan untuk memperbaiki, menyempurnakan,
atau mengubah situasi problematis (actions to improve the situation).
Berdasarkan Gambar 21, terlihat bahwa formulasi strategi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo adalah melalui empat bentuk kelembagaan
yang telah eksis saat ini, yaitu kelembagaan sertifikasi, kelembagaan koperasi,
kelembagaan kemitraan dagang umum, dan kelembagaan usaha mandiri.
Simpulan
--------------------
Kajian pada BAB ini telah diterbitkan pada Journal of Food, Agriculture and
Environment (JFAE) Vol. 16 No.1 Hal. 31-40 tahun 2018 (Januari), Finland, Q3
Scopus.
4 DESAIN DAN ANALISIS SISTEM PENILAIAN
KUANTITATIF KEMATANGAN KELEMBAGAAN
AGROINDUSTRI
Pendahuluan
daerah merupakan suatu kajian yang strategis dan bermakna bagi keberlangsungan
usaha masyarakat, khususnya yang terlibat dalam bidang agroindustri tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendesain dan menganalisis sistem
penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agroindustri, sehingga dapat
dipergunakan untuk menilai tingkat kematangan kelembagaan dari suatu
agroindustri yang telah ada. Hasil desain sistem penilaian kematangan kelembagaan
agroindustri ini akan diaplikasikan penggunaannya pertama sekali pada
agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh, Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat
merumuskan suatu sistem penilaian kematangan kelembagaan agroindustri di
negara berkembang seperti Indonesia, sehingga untuk menilai tingkat kondusifitas
kelembagaan maka dapat dilihat dengan seberapa matangnya kelembagaan tersebut
tumbuh dan berkembang di suatu wilayah.
Metode
Gayo adalah melalui survei para pihak (stakeholders) yang memahami tentang
agroindustri kopi gayo di Provinsi Aceh, Indonesia. Survei pakar kelembagaan
terdiri dari peneliti kelembagaan pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian (PSEKP) Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Dosen Institut
Pertanian Bogor (IPB), Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) dan kajian literatur. Untuk survei stakeholders
meliputi Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah (pemerintah daerah), Dosen
Universitas Gajah Putih di Takengon, perusahaan agroindustri kopi Gayo,
pengusaha Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kopi Gayo, pedagang
pengumpul, dan petani.
secara jelas. Tujuan identifikasi sistem adalah sebagai peta jalan atau kerangka
kerja yang menjadi acuan untuk mencapai suatu tujuan dan sekaligus sebagai suatu
ukuran pengembangan dari sistem yang telah ada. Oleh karenanya perumusan
sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan agorindustri ini adalah untuk
memberikan kemudahan dalam pengembangan kelembagaan menjadi lebih baik
lagi (menuju kondisi ideal). Ini sesuai dengan kaidah yang dikemukakan oleh
Mitzberg (1992) yang menyatakan bahwa “If you can’t measure it, you can’t
understand it; If you can’t understand it, you can’t control it; If you can’t control
it, you can’t improve it” (jika anda tidak dapat mengukurnya, maka anda tidak akan
memahaminya; jika anda tidak memahaminya, maka anda tidak dapat
mengontrolnya; dan jika anda tidak dapat mengontrolnya, maka anda tidak dapat
meningkatkannya).
Dalam penelitian ini, kelembagaan diartikan sebagai suatu perangkat formal
dan non-formal yang mengatur perilaku dan dapat memfasilitasi terjadinya
koordinasi atau mengatur hubungan-hubungan interaksi antar berbagai individu,
antar lembaga, dan kelompok. Oleh karena itu suatu kelembagaan merupakan
lingkungan dimana pertumbuhan dan perkembanganya mengikuti proses
dinamisasi berbagai perangkat yang melingkupi disekitarnya (Fadhil et al. 2016;
Fadhil et al. 2017a). Adapun kematangan kelembagaan adalah suatu keadaan
dimana keberadaan kelembagaan tersebut sangat ideal berdasarkan penilaian
tertentu dengan tingkat kondusifitas tertinggi dan sangat diharapkan oleh para pihak
yang terkait di dalamnya untuk tetap dipertahankan, dikembangkan dan dikelola
secara efektif, efisien dan fleksibel.
Untuk menjelaskan peran masing-masing pihak yang terkait dengan sistem
yang dikembangkan, maka didesainlah sebuah diagram use case. Diagram use case
membantu untuk memahami peran masing-masing pelaku dalam sistem dan
keterkaitannya antara satu dengan lainnya (Mondal et al. 2014; Almutairi et al.
2013). Pada penelitian ini diagram use case menggambarkan peran
peneliti/pengguna, pakar yang diminta pendapat dalam penyusunan dan perumusan
kriteria penilaian, para pihak yang terlibat dalam agroindustri kopi Gayo sebagai
penilai dalam mengaplikasi sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembagaan
agroindustri, serta para pengambil kebijakan yang berfungsi sebagai pengambil
keputusan untuk pengembangan kelembagaan agroindustri melalui suatu intervensi
dan formulasi strategi tertentu (Gambar 23).
Analisis sistem berikutnya dirumuskan dengan membuat diagram Business
Proces Model and Notation (BPMN) yang merupakan aliran aktifitas agar
memudahkan dalam menganalisis permodelan suatu proses yang dikembangkan
(Leopold et al. 2016; Zafar et al. 2018; Wasson 2015; Fadhil et al. 2017a; Lopez-
Campos et al. 2013; Chinosi dan Trombetta 2012; Mier dan White 2008). Diagram
BPMN sangat efektif untuk merepresentasikan serangkaian aktifitas desain dan
analisis sistem penilaian kuantitatif kematangan kelembangan agroindustri karena
memiliki sejumlah fungsi notasi yang lengkap. Setiap aliran aktifitas dapat
dipahami sebagai sebuah tahapan dari capaian proses operasi sistem yang dilakukan
(Gambar 24). Mulai dari proses awal dalam rangkaian sistem, termasuk tahapan
verifikasi dan validasi sebagai kontrol, hingga diperoleh hasil desain dan analisis
sistem secara bertahap.
61
kelembagaan agroindustri kopi Gayo saat ini. Pada aspek efektifitas, fungsi
kepemimpinan dan koordinasi belum sepenuhnya terbangun dengan baik, sehingga
tujuan yang hendak dicapai tidak optimal terlaksana. Begitupula halnya pada aspek
pemerataan keuntungan dan risiko juga belum terdistribusi secara proporsional
kepada setiap pelaku agroindustri. Temuan ini persis seperti yang kami dapatkan
pada penelitian sebelumnya (Fadhil et al. 2018b), dimana kami menemukan bahwa
petani dan pedagang pengumpul adalah kelompok pelaku agroindustri yang
mendapatkan keuntungan paling rendah dengan risiko paling tinggi.
Kebutuhan
(needs)
5,0 0
4,17
4,0 0
Keberlanjutan
(sustainable) 3,83 3,0 0
4,00 Manfaat (benefit)
2,0 0
1,0 0
0,0 0
2,67
Pemerataan 3,33
keuntungan & Efisiensi
risiko (profit & (Efficiency)
risk sharing)
Simpulan
--------------------
Kajian pada BAB ini direncanakan untuk diajukan ke Irish Journal of Agricultural
and Food Research, Ireland, Q2 Scopus.
5 STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBERDAYA
MANUSIA AGROINDUSTRI KOPI GAYO
Pendahuluan
yang ada selama ini lebih menekankan pada aspek produksi, bahan baku, ekonomi,
keuangan, sistem sertifikasi, rantai pasok, kelembagaan dan lingkungan (Walker
2015; Jaya 2014; Bilhak dan Maarif 2014; Novita 2012; Indra 2011; Almqvist
2011; Fatma 2011; Romano 2009), yang sedikit dikaitkan dengan aspek SDM.
Sementara kajian ini akan berkontribusi lebih fokus pada aspek SDM dengan
pendekatan soft systems methodology (SSM).
SSM adalah sebuah pendekatan holistik di dalam melihat aspek-aspek riil dan
konseptual di masyarakat. SSM dipandang sebagai salah satu strategi dalam
menangani berbagai masalah manajemen yang lahir dari sistem aktivitas manusia
(human activity system) (Bergvall-Kareborn 2002; Martin 2008). Serangkaian
aktivitas manusia disebut sebagai sebuah sistem karena setiap aktivitas-aktivitas
tersebut saling berhubungan antara satu sama lainnya dan membentuk suatu ikatan
(keterkaitan) tertentu. Pendekatan soft systems dianggap sebagai metodologi yang
sangat produktif untuk mempelajari setiap aktivitas manusia yang terorganisir di
dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu tersebut (Patel 1995). Oleh karenanya, SSM
sangat cocok diimplementasikan sebagai sebuah kerangka kerja (framework)
pemecahan masalah yang dirancang secara khusus pada keadaan yang secara
hakikatnya masalah tersebut sulit untuk didefinisikan (Martin 2008; Sinn 1998).
SSM juga sering dipakai untuk membuat konsep model, memperbaiki tindakan
pragmatis, mencari kompromi, maupun pembelajaran bersama dan partisipatif
seperti pengembangan organisasi dan pengembangan komunitas, serta untuk
pengembangan usaha.
Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan model strategi
pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo dengan pendekatan sistem
menggunakan soft systems methodology (SSM). Dengan demikian diharapkan
dapat menghasilkan permodelan konseptual strategi pengembangan SDM para
pelaku (stakeholder) agroindustri dengan meningkatnya produktifitas dalam
mewujudkan kesejahteraan dan keberlanjutan agroindustri kopi Gayo.
Metode
al. 2012; Cox 2010; Bjerke 2008; Staker 1999; Khisty 1995; Patel 1995; Konis
1994).
Metode SSM memiliki 7 tahapan (Gambar 13), yaitu:
(1) Mengkaji masalah yang tidak terstruktur. Pada tahap ini dilakukan
pengumpulan sejumlah informasi yang diperlukan berkaitan dengan strategi
pengembangan SDM agroindustri kopi Gayo, termasuk pandangan dan asumsi
para pihak yang terlibat. Informasi primer diperoleh melalui diskusi mendalam
dengan para pakar yang berkompeten. Para pakar yang dipilih sebanyak 5
orang yaitu dari Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah, dosen Universitas
Gajah Putih di Takengon, petani kopi Gayo, pedagang pengumpul, dan
koperasi kopi Gayo. Untuk data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen
kepustakaan lembaga pemerintah dan swasta termasuk bahan-bahan hasil
penelitian.
(2) Mengekspresikan situasi masalah. Bahan yang diperoleh pada tahap pertama,
selanjutnya digunakan untuk membangun rich picture (penggambaran peta
dunia nyata) atau disebut juga representasi keadaan sekarang.
(3) Membangun definisi permasalahan yang berkaitan dengan situasi masalah.
Bagian ini adalah merumuskan root definition (definisi akar), yaitu suatu
kalimat singkat yang menyatakan “suatu sistem melakukan P dengan cara Q
untuk mencapai R”. Root definition selanjutnya dituangkan dalam mnemonic
CATWOE sebagaimana Tabel 6.
(4) Membangun model konseptual. Berdasarkan root definition di atas untuk setiap
elemen yang didefinisikan, kemudian dibangun model konseptual yang
dibutuhkan untuk mencapai tujuan yang ideal. Model ini mengidentifikasi
sistem aktivitas manusia hasil ekspresi situasi masalah dalam rich picture dan
merepresentasikan hubungan antar kegiatan. Model konseptual ini merupakan
proses adaptif, karena terjadi umpan balik antara proses memodelkan dengan
hasil ekspresi situasi masalah. Semua elemen yang tertuang dalam CATWOE
disertakan dalam model konseptual.
(5) Membandingkan model konseptual dengan situasi masalah. Model konseptual
dibandingkan dengan dunia nyata untuk menyoroti kemungkinan perubahan di
dunia nyata. Setiap pihak yang terlibat memberikan persepsi dan penilaian
terhadap aktivitas yang dimodelkan, untuk menentukan apa yang seharusnya
dilakukan, dipertahankan, diperbaiki atau ditinjau kembali. Draft awal model
konseptual didesain oleh peneliti yang selanjutnya diminta koreksi, masukan
dan klarifikasi kepada setiap pakar sebagai narasumber dari penelitian ini.
Suatu model perbandingan dirumuskan meliputi aktivitas yang ditawarkan,
realita atau kondisi dunia nyata yang terjadi dan rekomendasi untuk tindak
lanjut. Model ini disempurnakan dan akan menjadi rekomendasi untuk
perubahan.
(6) Menetapkan perubahan yang layak dan diinginkan. Tujuan tahap ini adalah
untuk mengidentifikasi dan mencari perubahan yang diinginkan secara
sistemik dan layak. Perubahan dapat terjadi dalam hal struktur, prosedur atau
sikap orang-orang.
(7) Melakukan tindakan perbaikan atas masalah. Pada tahap ini akan muncul
rekomendasi perubahan untuk dapat diimplementasikan. Akan ditunjukkan
sistem yang tepat untuk melakukan perubahan yang aktivitasnya dapat menjadi
“dunia nyata”.
72
Pihak yang
Levelisasi Fokus Isu Sifat
terlibat
• Pemerintah • Kebijakan
daerah pengembangan SDM • Perencanaan
• Pimpinan • Pengarahan dan strategis
koperasi pengawasan • Kebijakan
Direktif
• Pimpinan • Strategi keuangan dan pembangunan
perusahaan kredit usaha • Investasi &
agroindustri • Keamanan dan keuangan
• Perbankkan konflik sosial politik
• Perancang dan
• Manajemen
pelaksana program
Koperasi
pengembangan SDM
• Manajemen • Manajerial
• Proses penanganan
Perusahaan • Pengorganisasian
Strategis dan pemberdayaan
• Dinas • Evaluasi dan
SDM
Pertanian pengawasan
• Manajemen
dan
pengetahuan &
Perkebunan
koordinasi antar unit
• Pendampingan pelaku
• Penyuluh agroindustri
pertanian • Pengorganisasian
• Operasional
• Komunitas kelompok masyarakat
teknis
masyarakat/ • Pengembangan
• Kawasan
Taktis kelompok kapasitas SDM
perkebunan
usaha tani melalui lembaga dan
• Antar lembaga
• Lembaga kelembagaan
dan kemitraan
swadaya • Pemberdayaan
masyarakat masyarakat
tani/pekebun
• Produktifitas SDM
• Petani • Pengembangan diri • Perkebunan
Operasional • Pedagang dan keterampilan • Kawasan
Pengumpul • Relasi sosial yang produksi
dinamis
74
Pemetaan Masalah
Untuk menggambarkan situasi masalah yang dihadapi dalam pengembangan
SDM, sebuah rich picture ditampilkan dengan berbagai perspektif yang
menekankan struktur, proses, hubungan, konflik dan ketidakpastian, serta
mengungkapkan masalah, nilai-nilai yang diyakini dan divisualisasikan melalui
simbol-simbol (Gambar 27).
Berdasarkan rich picture yang terbangun, dapat dipahami peta masalah yang
melingkupi persoalan pengembangan SDM. Mulai dari masalah kemampuan dan
kualitas SDM yang ada saat ini, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
pendidikan dan keterampilan sampai keterlibatan multi pihak yang berperan di
dalamnya. Kebijakan yang diputuskan pemerintah untuk terlibat dalam
perdagangan bebas setingkat ASEAN, menjadi tantangan dan sekaligus ancaman
bagi SDM agroindustri kopi Gayo. Jika tindakan dan dukungan para pihak dalam
mengembangkan SDM para pelaku agroindustri, terutama petani, pedagang
pengumpul, pengelola koperasi dan perusahaan agroindustri kopi lokal tidak
ditangani dengan baik, maka akan menjadi persoalan serius dikemudian hari.
Masuknya tenaga asing dengan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik
boleh jadi menyebabkan keterpinggiran pelaku agroindustri kita sendiri karena
kalah dalam persaingan. Hal ini pulalah yang dicemaskan Triyonggo et al. (2015)
yang menganalisis bagaimana kesiapan SDM Indonesia dalam menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN, terutama dari kalangan praktisinya.
Model Konseptual
Dengan berpedoman pada root definition, selanjutnya disusunlah gambaran
model konseptual dalam mengidentifikasi aktivitas yang diperlukan dalam sistem
pengembangan SDM yang dibangun. Model konseptual ini merupakan proses
adaptif, dimana terjadi aktivitas para pelaku dan adanya umpan balik antara
proses dan pelaku dalam sistem (Gambar 28).
Rencana Perubahan
Tujuan utama pengelolaan usaha tani kopi Gayo adalah untuk meningkatkan
produksi agar pendapatan petani kopi meningkat, karena itu petani sebagai
pengelola usahanya harus mengerti cara mengalokasikan sumberdaya atau faktor
76
produksi yang dimilikinya sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Kopi yang
dihasilkan harus memenuhi syarat kualitas tertentu sehingga dapat diterima pasar.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah meningkatkan kualitas SDM petani dan
penguasaan terhadap ilmu dan teknologi tentang agroindustri dan kualitas kopi.
Kopi Gayo yang merupakan salah satu kopi terbaik dari kopi yang ada di Indonesia
adalah modal dasar yang dimiliki daerah sebagai daya saing bagi pemenuhan
kebutuhan kopi dunia. Petani seharusnya menguasai teknologi penanganan pra dan
pasca panen untuk memperoleh kopi yang memenuhi standar kualitas terbaik
sehingga mendapatkan nilai jual terbaik pula. Melakukan program-program
pengembangan SDM semestinya menjadi perhatian utama berbagai pihak di Aceh
maupun Indonesia, untuk meningkatkan kapasitas pelaku agroindustri sehingga
mampu bersaing dengan berbagai kompetitor lainnya. Berbagai bentuk kerjasama
antar unit pemerintah, swasta dan perguruan tinggi sangat penting dilakukan agar
peluang-peluang dalam rangka implementasi kebijakan untuk pengembangan SDM
dapat dilaksanakan secara inovatif dan variatif melalui pendekatan-pendekatan
sosial kemasyarakatan dengan memperhatikan kearifan lokal. Salah satu upaya
78
tidak pernah berhenti pada satu titik akhir. Dengan kata lain proses adalah siklus
yang dilakukan dengan perbaikan secara terus menerus sebagaimana disajikan
dalam Gambar 29 tersebut.
Salah satu hasil penting dari penelitian ini ditemukan bahwa peran pemangku
kepentingan (stakeholder) sangat strategis untuk mendorong pengembangan SDM.
Untuk memastikan sinergisitas dan harmonisasi hubungan antar para pihak sebagai
pelaku agroindustri kopi Gayo tersebut, selanjutnya perlu dikaji sistem
kelembagaan seperti apa yang cukup efektif untuk dikembangkan. Termasuk hal
yang terpenting pula adalah bagaimana melakukan penilaian tingkat kematangan
kelembagaan yang sudah terbentuk selama ini, sehingga nantinya dapat diketahui
lebih lanjut bentuk intervensi apa yang akan dilakukan terhadap kelembagaan
tersebut terkait hubungannya dengan pengembangan SDM kedepan.
Simpulan
--------------------
Kajian pada BAB ini telah diterbitkan pada Jurnal Manajemen Teknologi Vol. 16
No. 2 hal. 141-155 tahun 2017 (Agustus), Akreditasi B DIKTI.
6 STRATEGI PROSPEKTIF PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI KOPI GAYO
Pendahuluan
Dalam perdagangan dunia, kopi selalu menjadi incaran para pembeli dari
berbagai negara dan merupakan salah satu komoditas paling penting di dunia
(Taylor 2005; Ponte 2004). Diantara negara-negara pengkonsumsi kopi terbesar
adalah Belanda, Amerika, Jepang, Inggris, Italia, dan Jerman dengan rata-rata
permintaan pasar sebesar 5.8 juta ton per tahun dan terus mengalami peningkatan
sebesar 0.5 persen setiap tahunnya (SCAA 2005). Indonesia merupakan salah satu
negara produsen kopi di dunia dengan mengekspor sebesar 11 persen atau setara
dengan 600 ribu ton per tahun dari total perdagangan kopi dunia. Posisi Indonesia
cukup strategis karena menjadi negara pengekspor kopi terbesar keempat setelah
Brazil, Colombia dan Vietnam. Produktifitas rata-rata kopi dari negara-negara
pengekspor tersebut adalah Vietnam 1 540 kg/ha/tahun, Colombia 1 220
kg/ha/tahun dan Brazil 1 000 kg/ha/tahun, sementara Indonesia sebesar 792
kg/ha/tahun (AEKI 2013). Salah satu propinsi penghasil kopi di Indonesia adalah
Propinsi Aceh yang dikenal dengan nama kopi Gayo dengan menyumbang 28.23
persen dari total produksi kopi secara nasional (Kementan 2013; Salima et al. 2012;
AEKI 2013).
Untuk perdagangan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN),
negara pesaing penghasil kopi terbesar adalah Vietnam sebagai kompetitor yang
patut diperhitungkan. Namun kelebihan kopi Gayo dibandingkan kopi-kopi lain di
Indonesia dan dunia adalah cita rasanya yang khas, sehingga telah mendapatkan
sertifikat Indeks Geografis sebagai salah satu kopi specialty dengan nilai harga jual
yang tinggi di dunia (Saputra 2012). Menurut Specialty Coffee Association of
America (SCAA), kopi Gayo (terutama jenis Arabika) adalah kopi specialty.
Maksudnya adalah kopi Gayo memiliki aroma yang khas dengan perisa (flavor)
kompleks dan kekentalan (body) yang kuat, menjadikan kopi Gayo sebagai kopi
berkualitas tinggi yang sangat diminati oleh pasar kopi dunia (ICCRI 2008; Putri et
al. 2013).
Menurut laporan International Coffee Organization (2011) menyebutkan
bahwa tren perdagangan kopi Gayo ke negara-negara importir semakin meningkat.
Keadaaan ini dengan sendirinya telah menyebabkan meningkatnya permintaan kopi
Arabika di pasaran dunia dari tahun ke tahun. Meningkatnya pasar dunia kopi
Arabika Gayo, ternyata tidak diikuti peningkatan pendapatan petani (Walker 2015;
Almqvist 2011), salah satu persoalannya adalah sinergisitas antar pelaku
(kelembagaan) agroindustri kopi Gayo belum terbangun dengan baik (Jaya et al.
2011; Putri et al. 2013). Padahal kelembagaan dapat berperan penting sebagai
media penyebaran inovasi hasil pertanian, sertifikasi dan pengelolaan mutu industri
pangan seperti aplikasi teknologi alat pengeringan, pemanenan, pengangkutan dan
pengemasan (Hennxsy 2003; Budi et al. 2009; Silitonga 2008; Putri et al. 2013;
Walker 2015).
Kelembagaan agroindustri adalah suatu perangkat formal dan non formal
yang mengatur hubungan atau interaksi yang dapat memfasilitasi terjadinya
koordinasi atau kerjasama antar berbagai individu. Sistem hubungan ini lahir
83
sebagai cara untuk mengatur individu-individu yang terlibat di dalamnya agar dapat
menjalani kehidupan bermasyarakat secara baik dan tidak merusak atau
mengancam kehidupan antara satu dengan lainnya.
Analisis prospektif merupakan salah satu teknik untuk menentukan berbagai
strategi yang mungkin dapat terjadi dimasa depan dengan berpedoman pada kondisi
saat ini (Gambar 10). Analisis prospektif sangat berguna untuk mempersiapkan
langkah-langkah strategis dan mempertimbangkan apakah perubahan diperlukan
dimasa yang akan datang (Godet 2010). Dengan analisis prospektif akan diperoleh
sejumlah informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategi apa saja yang
berperan dalam pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo sesuai dengan
kebutuhan para pihak (stakeholders) yang terlibat di dalam pemanfaatan masa
depan. Selanjutnya faktor kunci dan tujuan strategi (kebutuhan) tersebut digunakan
untuk mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi
pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Propinsi Aceh, Indonesia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo di Propinsi
Aceh-Indonesia, menentukan skenario strategi secara prospektif, dan merumuskan
prioritas alternatif strateginya.
Metode
Analisis Prospektif
Analisis prospektif dipergunakan untuk memprediksi berbagai
kemungkinan yang akan terjadi di masa depan. Analisis prospektif tidak sama
dengan peramalan karena dari analisis ini dapat diprediksi alternatif-alternatif yang
akan terjadi di masa yang akan datang baik yang bersifat positif (diinginkan)
ataupun yang negatif (tidak diinginkan). Kegunaan analisis prospektif adalah untuk:
(1) mempersiapkan tindakan strategis yang perlu dilakukan, (2) menentukan tujuan
strategis dan kepentingan pelaku utama, serta (3) mendefinisikan dan
mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan (Benjumea-Arias et. al. 2016;
84
Bourgeois dan Jesus 2004; Godet 2004). Proses pendefinisian skenario perubahan
terencana yang mungkin dapat terjadi dimasa depan adalah dengan
mengidentifikasikan bagaimana elemen kunci dapat berubah, kemudian memeriksa
perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan (kombinasi faktor dan keadaan) dan
selanjutnya menggambarkan skenario dengan memasukkan perubahan yang akan
terjadi (Eriyatno dan Sofyar 2007; Toumache dan Rouaski 2016). Analisis
prospektif juga sangat tepat digunakan untuk perancangan strategi kebijakan (Godet
2010; Dunn 2016).
mengerti ruang lingkup kajian dan penyamaan pandangan tentang sistem yang
dikaji.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan
tersebut, yang biasanya merupakan kebutuhan stakeholders dalam sistem yang
dikaji. Berdasarkan tujuan studi yang ingin dicapai, pakar diminta
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan.
Pakar diharapkan dapat mewakili stakeholders dari sistem yang dikaji, sehingga
semua kepentingan elemen sistem dapat terwakili. Penelitian ini mengkaji
faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengembangan agroindustri kopi Gayo.
Setelah diidentifikasi, faktor-faktor tersebut didefinisikan agar semua pakar
memiliki persepsi yang sama, sehingga dapat menilai faktor-faktor tersebut
sesuai dengan definisi faktor dan tujuan sistem. Pada tahapan ini definisi dari
tiap faktor harus jelas dan spesifik.
3. Penilaian pengaruh langsung antar faktor. Semua faktor yang teridentifikasi dan
terdefinisi akan dinilai pengaruh langsung antar faktor dengan berpedoman pada
penilaian analisis prospektif (Tabel 14). Hasil matriks gabungan pendapat pakar
diolah dengan perangkat lunak prospective analysis yang berpedoman pada
analisis MICMAC yang dikembangkan oleh the Institut d'Innovation
Informatique pour l'Entreprise, under the supervision of their creators,
Laboratory for investigation in Prospective Strategy and Organization, LIPSOR
(Godet 2004). Oleh karenanya dapat divisualisasikan dalam diagram pengaruh
dan ketergantungan antar faktor dalam sistem yang dianalisis (Gambar 31).
Skor Keterangan
0 Tidak ada pengaruh
1 Berpengaruh kecil
2 Berpengaruh sedang
3 Berpengaruh sangat kuat
I II
I
III IV
I I
Nilai Keterangan
1 Kriteria A sama penting dengan kriteria/alternatif B
3 A sedikit lebih penting dari B
5 A jelas lebih penting dari B
7 A sangat jelas lebih penting dari B
9 A mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan.
1/(2-9) Kebalikan dari keterangan nilai 2 sampai 9
c. Penentuan Prioritas
Untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Baik kriteria kualitatif
maupun kriteria kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang
telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.
d. Konsistensi Logis.
Semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten
sesuai dengan suatu kriteria yang logis.
No Kebutuhan Definisi
1 Basis pengetahuan Membangun basis pengetahuan pelaku
agroindustri
2 Kemitraan antar Membangun kemitraan intensif antar pelaku
pelaku agroindustri
3 Budaya pembelajaran Mengembangkan budaya pembelajaran melalui
organisasi
4 Dukungan Pemda Dukungan dan pembelaan Pemda terhadap
pelaku agroindustri
5 Kohesifitas relasi Membangun kohesifitas dalam relasi sosial yg
sosial setara & berkeadilan dalam organisasi petani
6 Kearifan lokal Mengembangkan kearifan lokal sebagai basis
sosial kapital
7 Partisipasi masyarakat Menumbuhkan semangat partisipasi masyarakat
dalam mengembangkan dirinya
8 Pembinaan kinerja Mengembangkan pembinaan kinerja kelompok
kelompok melalui social learning approach
9 Kesadaran Membangun keasadaran berkomunitas/
berkomunitas kelompok atas dasar kebutuhan
10 Kompetensi penyuluh Meningkatkan kompetensi penyuluh dalam
memfasilitasi petani
11 Kapasitas SDM Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia
12 Finansial Dukungan finansial dari lembaga keuangan
13 Internalisasi Membangun stabilitas internalisasi kelembagaan
kelembagaan
memperoleh prioritas dengan bobot tertinggi sebagai prioritas utama dan bobot
terendah dengan prioritas paling rendah (Tabel 17).
Berdasarkan analisis AHP terlihat bahwa prioritas utama dalam strategi
pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo adalah meningkatkan
kapasitas sumberdaya manusia (SDM) dengan bobot terbesar (0,429). Ini
mengindikasikan bahwa upaya peningkatan kapasitas petani menjadi sangat
strategis, baik saat ini maupun untuk masa mendatang. Pendapat ini serupa dengan
penelitian yang dilakukan oleh Jaya et al. (2011); Wibowo (2010); Maarif (2000),
Ibrahim dan Zailani (2010); Bilhak dan Maarif (2014).
Faktor A B C
Tetap seperti
Kapasitas SDM
sekarang,
Meningkatkan semakin rendah
1 kapasitas sumber
program
dengan bergantinya
Kapasitas peningkatan
daya manusia generasi & tanpa
SDM kapasitas SDM
(SDM) adanya transfer
masih sangat
pengetahuan
kurang
Tetap seperti
Dukungan dan sekarang, Tidak adanya
5 pembelaan Pemda dukungan
Dukungan dukungan
terhadap pelaku seadanya saja program dari
Pemda agroindustri pemerintah
sesuai dengan
program
Keterangan:
: Kondisi saat ini
: Skenario Optimis
: Senario Moderat
: Skenario Pesimis
No Skenario Keadaaan
1 Optimis 1A – 2A – 3A – 4A – 5A
2 Moderat 1A – 2A – 3A – 4B – 5B
3 Pesimis 1C – 2C – 3B – 4B – 5C
pengetahuan, (2C) apa adanya dan individualis semakin besar serta kepedulian
semakin berkurang, (3B) tetap seperti sekarang, basis pengetahuan tidak ditangani
dan berjalan seperti biasa saja, (4B) tetap seperti sekarang, kemitraan belum optimal
dan tidak setara, serta (5C) tidak adanya dukungan program dari pemerintah.
Implikasi operasional dari ketiga skenario ini akan sangat menentukan arah
pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo yang akan dibangun. Skenario
optimis perlu menjadi perhatian sungguh-sungguh agar dapat terealisasikan dengan
memperhatikan faktor-faktor penentunya yang meliputi (1) kapasitas SDM, (2)
kesadaran berkomunitas, (3) basis pengetahuan, (4) kemitraan antar pelaku, dan (5)
dukungan pemerintah daerah.
Simpulan
Penelitian ini masih terbatas pada pemetaan faktor-faktor kunci beserta skenario
yang memungkinkan terjadi di masa depan. Penelitian lebih lanjut masih sangat
diperlukan berkaitan dengan berbagai alternatif program dan aktifitas yang
dibutuhkan untuk mengarahkan berbagai faktor-faktor kunci yang diperoleh dari
hasil penelitian ini. Mengingat faktor-faktor kunci yang berhasil dirumuskan masih
secara umum, sehingga menguraikan desain tindakan untuk masing-masing faktor
tersebut masih sangat memungkinkan untuk dilakukan melalui penelitian lanjutan.
--------------------
Kajian pada BAB ini telah diterima untuk diterbitkan pada Bulgarian Journal of
Agricultural Science (BJAS) Vol. 24 No.6 tahun 2018 (November), Bulgaria, Q3
Scopus.
7 FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN
KELEMBAGAAN AGROINDUSTRI KOPI GAYO
Pendahuluan
(2009); Forstater (2001); Jaya et al. (2013); Hsu et al. (2015); Murtadlo dan Utomo
(2014); Panackal dan Singh (2015); dan Pandi et al. (2016).
Metode
menjadi model mental yang tampak (visible) serta didefinikan secara jelas dan
bermanfaat untuk beragam tujuan. Dalam kajian ini permodelan ISM digunakan
untuk merumuskan hirarki elemen-elemen strategis bagi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo.
Untuk menganalisis berbagai alternatif bagi pengembangan kelembagaan
agroindustri kopi Gayo ini dilakukan pengumpulan pendapat dari tujuh pakar yang
terdiri dari dosen Universitas Syiah Kuala, petani kopi, pedagang pengumpul,
pengusaha kopi lokal, Dinas Pertanian Kabupaten Aceh Tengah, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh dan komunitas kopi. Pengolahan data dilakukan
menggunakan software dDSS V.1 PRE-NET (Policy Research Expert Network).
Adapun tahapan penggunakan metode ISM adalah seperti pada Gambar 35.
Prosedur penerapan ISM ini adalah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi elemen dan sub-elemen melalui wawancara secara mendalam
dengan pakar, penelitian lapangan dan kajian literatur.
b. Merumuskan hubungan kontekstual antar elemen yang dibangun menggunakan
matrik interaksi tunggal terstruktur (Structural Self Interaction Matrix/SSIM).
Perumusan ini dilakukan dengan penilaian hubungan konstektual pada matriks
perbandingan berpasangan menggunakan simbol V, A, X dan O, yaitu:
V jika eij = 1 dan eji = 0
A jika eij = 0 dan eji = 1
X jika eij = 1 dan eji = 1
O jika eij = 0 dan eji = 0
c. Merubah matrik SSIM menjadi Matrik Reachability (Reachability Matrix) dan
kemudian menjadi matriks biner. Proses ini adalah menerjemahkan V, A, X, O
menjadi bilangan 1 dan 0 yang kemudian dikoreksi lebih lanjut sampai menjadi
matriks tertutup yang memenuhi aturan transitivity, yaitu kelengkapan dari
lingkaran sebab-akibat (causal-loop), dimana misalnya A mempengaruhi B dan
B mempengaruhi C, maka A harus mempengaruhi C. Reachability Matrix
dilakukan untuk mendapatkan kekuatan penggerak (driving power) dan
kekuatan ketergantungan (dependent power). Reachability Matrix yang telah
memenuhi Transivity Rule dapat dilanjutkan dengan menetapkan pilihan jenjang
(level partition).
d. Merumuskan Canonical Matrix, yaitu pengelompokkan elemen-elemen dalam
level yang sama. Pembuatan canonical matrix dilakukan dengan menyusun
variabel berdasarkan level yang dihasilkan dari level partition, dalam bentuk
tabel reachability matrix final.
e. Analisis MICMAC, yaitu merupakan suatu analisis yang digunakan untuk
menganalisis kekuatan penggerak (driver power) dan kekuatan ketergantungan
(dependence power) dari suatu variabel, sehingga hasil dari analisis dapat
diindentifikasi sebagai variabel kunci di dalam sistem (Mandal dan Deshmukh
1994). Variabel-variabel pada analisis MICMAC akan diklasifikasikan menjadi
4 sektor (Gambar 36), yaitu:
i. Sektor 1 merupakan autonomous factors (weak driver – weak dependent
variables). Elemen yang masuk sektor ini merupakan elemen yang
mempunyai kekuatan penggerak dan ketergantungan yang lemah. Elemen
tidak berkaitan dengan sistem dan mungkin hanya memiliki sedikit
hubungan, sehingga elemen akan dihilangkan dari sistem.
96
g. Structural Model yaitu model ISM yang dihasilkan melalui pemindahan semua
nomor elemen dengan deskripsi elemen yang aktual, sehingga dapat
memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai sebuah sistem dari elemen
dan aliran hubungannya.
IV III
Independent Linkage
Driver Power
I II
Autonomous Dependent
Dependence
Gambar 36 Analisis MICMAC
Pada tahap awal identifikasi dari permasalahan yang akan diselesaikan dalam
perumusan strategi pengembangan kelembagaan agroindustri kopi Gayo ini adalah
dengan menentukan daftar elemen utama. Berdasarkan pendapat pakar dipilihlah 5
(lima) elemen utama yang dianggap paling penting untuk dirumuskan strateginya,
yaitu: 1) tujuan yang diharapkan, 2) kendala yang dihadapi, 3) aktivitas yang
diperlukan, 4) indikator keberhasilan program, dan 5) pelaku utama dalam sistem
kelembagaan agroindustri kopi Gayo. Pengumpulan pendapat pakar dari setiap
elemen menghasilkan sejumlah sub-elemen strategis bagi pengembangan
kelembagaan agroindustri kopi Gayo. Untuk lebih lengkapnya dapat dipelajari pada
Tabel 19.
Elemen Sub-Elemen
E1.Peningkatan kapasitas kelembagaan agroindustri
E2.Peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kinerja kelembagaan
Tujuan
E3.Memperoleh peta masalah kelembagaan dan sumberdaya manusia
Program
E4.Membangun stabilitas internalisasi kelembagaan
E5.Memperkokoh basis kearifan lokal sebagai modal sosial kelembagaan
E1.Keamanan dan konflik sosial-politik
E2.Hubungan kerjasama antar pelaku agroindustri belum optimal
E3.Kompetensi dan keahlian belum berkembang
E4.Belum terhubungnya usaha tani berskala kecil dengan sistem agroindustri
Kendala secara komplementer
E5. Modal dan keuangan belum merata
E6. Struktur belum kondusif bagi pengembangan para pengusaha kecil dan
koperasi
E7. Pengembangan kapasitas masih terbatas
E1. Membangun basis pengetahuan pelaku agroindustri
E2. Membangun kemitraan intensif antara produsen dan konsumen (antar pelaku)
E3. Mengembangkan budaya pembelajaran melalui organisasi
E4. Dukungan dan pembelaan Pemda terhadap pelaku agroindustri
E5. Membangun kohesifitas dalam relasi sosial yang setara dan berkeadilan dalam
organisasi petani
E6. Mengembangkan kearifan lokal sebagai basis sosial kapital
Aktivitas E7. Menumbuhkan semangat partisipasi masyarakat dalam mengembangkan
dirinya
E8. Mengembangkan pembinaan kinerja kelompok melalui social learning
approach
E9. Membangun kesadaran berkomunitas/ kelompok atas dasar kebutuhan
E10. Meningkatkan kompetensi penyuluh dalam memfasilitasi petani
E11. Meningkatkan kapasitas Sumberdaya Manusia
E12. Dukungan finansial dari lembaga keuangan
E1. Peningkatan produktivitas hasil agroindustri kopi Gayo
E2. Peningkatan kualitas SDM (petani, pengumpul, penyuluh) secara konsisten
pada sistem kelembagaan
Indikator
E3. Peningkatan intensitas program pengembangan kelembagaan
Keberhasilan
E4. Terbentuknya sistem kelembagaan agroindustri yang kondusif dan
Program
berkembang
E5. Peningkatan peran pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan
perguruan tinggi dalam pengembangan agroindustri kopi Gayo
E1. Petani
E2. Kelompok tani
E3. Pedagang pengumpul
E4. Eksportir
E5. Lembaga keuangan
Pelaku E6. Pemerintah daerah
E7. Lembaga penelitian/penyuluh
E8. Perguruan tinggi
E9. Koperasi
E10. Pengusaha
Keterangan: tulisan yang tebal (bold) adalah elemen dan sub-elemen kunci yang terpilih
100
Untuk elemen pelaku, sub-elemen kunci yang dihasilkan adalah petani dan
kelompok tani. Ini menandakan bahwa petani dan kelompok tani memegang
peranan yang paling penting dan strategis dalam sistem kelembagaan agroindustri
kopi Gayo. Petani dan kelompok tani adalah pelaku yang paling besar menerima
risiko dalam penanganan hasil pertanian, termasuk kopi (Walker 2015; Jaya et al.
2013; Saputra 2012; Almqvist 2011; Ibrahim dan Zailani 2010). Selain itu, petani
dan kelompok tani biasanya adalah penerima keuntungan paling kecil dari sistem
kelembagaan yang terbangun selama ini. Kondisi ini perlu diperbaiki dengan
pengkajian lebih lanjut, sehingga sistem kelembagaan agroindustri yang terbangun
tidak merugikan satu atau dua pelaku. Kerugian yang besar atau risiko yang terlalu
besar ditanggung oleh satu pihak (salah satu pelaku) akan mengakibatkan
kesenjangan yang akan merugikan sistem kelembagaan itu sendiri, sehingga pihak
yang dirugikan akan melakukan tindakan yang berlawanan atau menolak sistem
kelembagaan itu untuk terus berlanjut.
Simpulan
--------------------
Kajian pada BAB ini telah diajukan ke Acta Universitatis Agriculturae et
Silviculturae Mendelianae Brunensis, Czech Republic, Q3 Scopus.
8 PEMBAHASAN UMUM
Pendahuluan
Sintesis
Untuk menjamin bahwa seluruh proses penelitian ini telah dilakukan dengan
baik, maka peneliti melakukan tahapan verifikasi dan validasi. Verifikasi dilakukan
pada setiap tahapan meliputi input, proses dan output dari seluruh sistem yang
dikerjakan. Jika masih terdapat kesalahan maka diperbaiki kembali pada setiap
tahapan yang telah dilakukan tersebut. Untuk validasi dilakukan dengan
menggunakan teknik face validity (Kidder 1982; Lewis-Beck 2004), yaitu sejauh
mana sebuah tes dilihat secara subjektif mencakup konsep, metode dan analisis
yang diukur atau dinilai atas dasar apa yang dilihat dan dipelajari. Ini mengacu pada
transparansi atau relevansi tes karena berkaitan dengan apa yang nampak dari
pengamatan (Holden 2010; Gravetter dan Forzano 2012). Dengan kata lain, sebuah
tes dapat dikatakan memiliki face validity jika "terlihat seperti" itu yang akan
mengukur apa yang seharusnya diukurnya. Proses ini dilakukan dengan meminta
saran, masukan dan perbaikan terhadap penggunaan metode, proses dan hasil riset
yang telah dilakukan dari 3 orang pakar yang terdiri dari dosen Universitas Syiah
Kuala, peneliti pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP)
Kementerian Pertanian Republik Indonesia, dan peneliti pada Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Aceh.
Implikasi Manajerial
Kontribusi
Keterbatasan
Penutup
Simpulan
Saran
Ackermann F. 2012. Problem structuring methods ‘in the Dock’: Arguing the case
for Soft OR. European Journal of Operational Research 219 (3): 652-658.
DOI: 10.1016/j.ejor.2011.11.014.
Adam M, Ghaly AE. 2007. Maximizing sustainability of the costa rican coffee
industry. Journal of Cleaner Production 15 (17): 1716-1729. DOI: 10. 1016/j.
jclepro. 2006.08.013.
AEKI [Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia Daerah Aceh]. (2013).
Laporan Realisasi Ekspor Kopi Arabika Provinsi Aceh. Aceh (ID): AEKI.
Agustian A, Supena F, Syahyuti, Ariningsih E. 2003. Studi Baseline Program PHT
Perkebunan Rakyat Lada di Bangka Belitung dan Lampung. Laporan
Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Bogor.
Ahmad F, Saleem S, Begg MF. 2003. Micro Finance Institutions; Rating
Methodology. JCR-VIS Credit Rating Company Limited, Karachi, Pakistan.
Aji AA, Satria A, Hariono B. 2014. Strategi Pengembangan Agribisnis Komoditas
Padi Dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan Kabupaten Jember. Jurnal
Manajemen dan Agribisnis 11 (1): 60-67.
Alejandro M, Morales F. 2002. Examining the Case of Green Coffee to Illustrate
the Limitation of Grading System/Expert Tester in Sensory Evaluation for
Quality Control. Food Quality and Preference 13: 355-367.
Aliamin dan Ariyuni. 2011. Pengaruh Tingkat Pendidikan Para Petani Kopi
Terhadap Sistem Pemasaran Kopi di Desa Bies Penentanan Kecamatan Bies
Kabupaten Aceh Tengah. J Ilm Manj Muhammadiy 1 (1): 54-63.
Almqvist AC. 2011. Coffee, a fair trade? –a study about fairtrade certified gayo
cofffee farmers in Aceh, Indonesia. [Thesis]. Department of Horticulture,
Faculty of Landcape Planning, Horticulture and Agricultural Science,
Swedish University of Agricultural Sciences (SLU).
Almutairi S, Abu-Samaha A, Bell G, Chen F. 2013. An enhanced use case diagram
to model Context Aware Systems. Science and Information Conference,
London, 7-9 Oct. 2013, pp.270-274. http://ieeexplore.ieee.org/stamp/
stamp.jsp?tp=&arnumber=6661750& isnumber= 6661709
AMCOW [African Ministers’ Council on Water] 2011. AMCOW Country Status
Overviews: Pathways to Progress (CSO2). AMCOW Publication.
Anantanyu S. 2011. Kelembagaan Petani: Peran dan Strategi Pengembangan
Kapasitasnya. SEPA 7 (20): 102-109.
Anderson D, Anderson LA. 2010. Beyond Change Management: How to Achieve
Breakthrough Results Through Conscious Change Leadership. Second
Edition. San Francisco: Pfeiffer, an Imprint of Wiley.
Anhar A. 2013. Adaptasi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Produksi Kopi
Gayo. Workshop Adaptasi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Produksi
Kopi, Takengon 30 Mei 2013.
Antunes CH, Dias L, Dantas G, Mathias J, Zamboni L. 2016. An Application of
Soft Systems Methodology in the Evaluation of Policies and Incentive
Actions to Promote Technological Innovations in the Electricity Sector.
Energy Procedia 106: 258-278. DOI: 10.1016/j.egypro.2016.12.121.
Anwar A. 1998. Ekonomi Organisasi: Beberapa Aspek dari Analisis Ekonomi
Biaya biaya Transaksi. Bogor: Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
115
Budi LS, Maa’rif MS, Sailah I, Raharja S. 2009. Strategi Pemilihan Model
Kelembagaan dan Kelayakan Finansial Agroindustri Wijen. Jurnal Teknologi
Industri Pertanian 19 (2): 56-63. DOI: 10.24961/jtip.19.%25p
Bunch R, López G. 1996. Soil Recuperation in Central America: Sustaining
Innovation after Intervention. Gatekeeper Series SA 55. London: Sustainable
Agriculture Programme, International Institute for Environment and
Development.
Cernea MM. 1993. Culture and Organization: The Social Sustainability of Induced
Development. Sustain Develop 1 (2): 18-29. DOI: 10.1002/sd.3460010207.
Chairawaty F. 2012. Dampak Pelaksanaan Perlindungan Lingkungan Melalui
Sertifikasi Fair Trade (Studi Kasus: Petani Kopi Anggota Koperasi Permata
Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Nanggroe Aceh Darussalam). J Ilm Lingk
10 (2): 76-84.
Chapman J. 2004. System Failure: Why governments must learn to think differently.
Demos. London.
Charley H, Weafeer C. 1998. Coffee, Tea, Chocolate and Cocoa Food. New Jersey;
Prentice Hall.
Checkland P, Scholes J. 1990. Soft System Methodology in Action, England: Jhon
Wiley & Sons Ltd.
Checkland P, Poulter J. 2010. Learning for action: a short definitive account of soft
systems methodology, and its use for practitioners, teachers and students.
New York: Wiley.
Checkland P. 1981. Systems thinking, systems practice. Chichester: Wiley & Sons.
Chinosi M, Trombeeta. 2012. BPMN: An introduction to the standard. Computer
Standards & Interfaces 34 (1): 124-134. DOI: 10.1016/j.csi.2011.06.002.
Conchaa G, Astudilloa H, Porrúab M, Pimentac C. 2012. E-Government
procurement observatory, maturity model and early measurements.
Government Information Quarterly 29 (1): S43–S50. DOI: 10.1016/
j.giq.2011.08.005.
Cox G. 2010. Defining innovation: using soft systems methodology to approach the
complexity of innovation in educational technology. International Journal of
Education and Development using Information and Communication
Technology (IJEDICT) 6 (1): 12-20.
Daellenbach H, McNickle D. 2005. Management science: decision making through
systems thinking. Hampsire: Palgrave Macmillan.
de los Reyes RP, Jopillo SMG. 1986. An Evaluation of NIA's Participatory
Communal Program. Paper presented at the Conference on Public
Intervention in Farmer-Managed Irrigation Systems. International Irrigation
Manageaent Institute and Water and Energy Commission Secretariat,
Kathmandu, Nepal. August 1986.
Delbridge R. 2008. An illustrative application of soft systems methodology (SSM)
in a library and information service context: Process and outcome. Library
Management 29 (6/7)
Delmar F. 1996. The Impact of Intellectual Ability and Motivation on Venture
Performance, 171, July 1, 2014, dari http://www.diva-portal.org
Descroix F, Snoeck J. 2009. Environmental Factors Suitable for Coffee Cultivation.
In: Wintgents JN. 2009: Coffee: Growing, Processing, Sustainable
Production. 2nd edition. Weinheim: WILEY-VCH. Pages: 168-176.
117
Holm LB, Dahl FA, Barra M. 2013. Towards a multimethodology in health care –
synergies between Soft Systems Methodology and Discrete Event
Simulation. Health Systems 2 (1): 11-23. DOI: 10.1057/hs.2012.21.
Horton PB, Hunt CL. 1984. Sociology. McGraw-Hill Book Company, New York.
Houghton L. 2012. Why Can't We All Just Accommodate: A Soft Systems
Methodology Application on Disagreeing Stakeholders. Systems Research
and Behavioral Science 30 (4): 430–443. DOI: 10.1002/sres.2136.
Hounkonnou D, Kossou D, Kuyper TW, Leeuwis C, Nederlof ES, Röling N, Sakyi-
Dawson O, Traoré M, Huis AV. 2012. An innovation systems approach to
institutional change: Smallholder development in West Africa. Agricultural
Systems Journal 108: 74–83. DOI: 10.1016/j.agsy.2012.01.007.
Hsu DWL, Shen YC, Yuan BJC, Chou CY. 2015. Toward successful
commercialization of university technology: Performance drivers of
university technology transfer in Taiwan. Technological Forecasting & Social
Change 92: 25–39.
Hue NH. 2001. Contract Farming in Vietnam. National Institute of Agricultural
Planning and Projection. Vietnam (VE): Ministry of Agriculture and
Development.
Hulupi R, Nugroho D, Yusianto. 2013. Keragaan beberapa varietas lokal kopi
arabika di dataran tinggi Gayo. Pelita Perkebunan 29 (2): 69-81.
Ibrahim HW, Zailani S. 2010. A review on the competitiveness of global supply
chain in a coffee industry in Indonesia. International Business Management
4 (3): 105-115. DOI: 10.3923/ibm.2010.105.115.
ICCRI [Indonesian Coffee and Cocoa Research Institute]. (2008). Panduan
Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika Gayo. Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia. Jakarta (ID): Azrajens Mayuma.
IIED [International Institute for Environment and Development] 2005. From bean
to cup: how consumer choice impacts on coffee producers and the
environment. London (US): Consumers International and IIED.
Ikatrinasari ZF, Maarif MS, Sa’id EG, Bantacut T, Munandar A. 2011. Model
Pemilihan Kelembagaan Agropolitan Berbasis Agroindustri dengan
Analytical Network Process. J Tek Ind Pert 19 (3): 130-137.
Indra. 2011. Penentuan Skala Usaha dan Analisis Efisiensi Ekonomi Usaha Tani
Kopi Rakyat di Kabupaten Aceh Tengah. Agrisep 12 (1): 1-8.
Indrawati CD. 2013. Permodelan struktural keterkaitan risiko rantai pasok dengan
pendekatan interpretive structural modeling (ISM). Prosiding Seminar
Nasional Manajemen Teknologi XVII, MMT-ITS, Surabaya 2 Februari 2013,
A25, 1-12.
Indriati A. 2015. Strategi peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk
meningkatkan kinerja usaha kecil dan menengah. [Thesis]. Sekolah
Pascasarjana Intitut Pertanian Bogor.
International Coffee Organization. 2011. Annual Review 2011. London, UK.
Ishizaka A, Labib A. 2011. Review of the main developments in the analytic
hierarchy process. Expert Systems with Applications 38 (11): 14336–14345.
Jaya R, Machfud, Islam M. 2011. Aplikasi Teknik ISM dan ME-MCDM Untuk
Identifikasi Posisi Pemangku Kepentingan dan Alternatif Kegiatan Untuk
Perbaikan Mutu Kopi. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 21 (1): 1-8. DOI:
10.24961/jtip.21.%25p
121
Jaya R. 2013. Model pengelolaan pasokan dan risiko mutu rantai pasok kopi Gayo.
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia 5 (3): 24-32.
Jaya R. 2014. Rancang Bangun Rantai Pasok Kopi Gayo Berkelanjutan.
(Disertasi). Bogor (ID): Departemen Teknologi Industri Pertanian, Sekolah
Pascasarjana IPB.
Kanungo S, Bhatnagar VV. 2002. Beyond generic models for information system
quality: the use of interpretive structural modeling (ISM). Systems Research
and Behavioral Science 19 (6): 531-549.
Kar AK. 2015. A hybrid group decision support system for supplier selection using
analytic hierarchy process, fuzzy set theory and neural network. Journal of
Computational Science 6: 23–33.
Kayaga S, Mugabi J, Kingdom W. 2013. Evaluating the institutional sustainability
of an urban water utility: a conceptual framework and research directions.
Utilities Policy 27: 15-27. DOI: 10.1016/j.jup.2013.08.001.
Kementan [Kementerian Pertanian Republik Indonesia]. (2013). Statistik Pertanian
2012 (Agricultural Statistics 2012). Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian. Jakarta (ID): Kementan.
Khisty CJ. 1995. Soft-System Methodology, as Learning and Management Tool.
Journal of Urban Planning and Development 121 (3): 91-107.
Kholil, Eriyatno, Sutjahyo SH. 2008. Pengembangan Model Kelembagaan
Pengelola Sampah Kota dengan Metode ISM (Interpretative Structural
Modeling) Studi Kasus di Jakarta Selatan. Sodality Jurnal Sosiologi
Pedesaan 2 (1): 31-48.
Kidder L.H. 1982. Face validity from multiple perspectives. New Directions for
Methodology of Social & Behavioral Science 12: 41-57.
Kizito AM. 2011. The Structure, Conduct and Performance of Agricultural Market
Information Systems in Sub-Saharan Africa. [Dissertation]. Michigan State
University. Michigan.
Koentjaraningrat. 1997. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Konis CY. 1994. A soft system management approach to energy management and
conservations for the hotel industry of Cyprus. International System
Dynamics Conference, 115-123.
Kottak CP. 1991. When People Don‘t Come First: Some Lessons from Completed
Projects. In Putting People First: Sociological Variables in Rural
Development, 2nd ed. M. Cernea ed. New York: Oxford University Press.
Kusnandar, Padmaningrum D, Rahayu W, Wibowo A. 2013. Rancang Bangun
Model Kelembagaan Agribisnis Padi Organik dalam Mendukung Ketahanan
Pangan. Jurnal Ekonomi Pembangunan 14 (1): 92-101. DOI: 10.23917/
jep.v14i1.163
Lal D. 1998. Unintended Consequences: The Impact of Factor Endowments,
Culture, and Politics on Long-Run Economic Performance. Cambridge MA:
The MIT Press.
Leopold H, Mendling J, Günther O. 2016. Learning from Quality Issues of BPMN
Models from Industry. IEEE Software 33 (4): 26-33. DOI:
https://doi.org/10.1109/MS.2015.81.
122
Lewis-Beck MS, Bryman A, Liao TF. 2004. Face Validity, In: The SAGE
Encyclopedia of Social Science Research Methods. DOI:
10.4135/9781412950589.n323
Liu WB, Meng W, Mingers J, Tang N, Wang W. 2012. Developing a performance
management system using soft systems methodology: a Chinese case study.
European Journal of Operational Research 223 (2): 529-540. DOI: 10.1016/
j.ejor.2012.06.029.
Lobo C. 2009. Institutional and Organisational Analysis for Pro–Poor Change.
Meeting IFAD”s Millennium Challenge. the International Fund for
Agricultural Development (IFAD).
Locussol A, van Ginneken M. 2008. Template for assessing the governance of
public water supply and sanitation service providers. Water Working Note
No. 23, The World Bank.
Lopez-Campos MA, Márquez AC, Fernández JFG. 2013. Modelling using UML
and BPMN the integration of open reliability, maintenance and condition
monitoring management systems: An application in an electric transformer
system. Computers in Industry 64 (5): 524-542. DOI:
10.1016/j.compind.2013.02.010.
Maarif MS. 2000. Revitalisasi kelembagaan agribisnis. AGRIMEDIA 4 (3): 30-33.
Maarif MS, Tanjung H. 2003. Teknik-Teknik Kuantitatif untuk Manajemen. PT
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Mahregan M.R., Hosseinzadeh M., Kazemi A. 2012. An application of soft system
methodology. Procedia - Social and Behavioral Sciences 41: 426-433. DOI:
10.1016/j. sbspro.2012.04.051.
Mandal A, Deshmukh SG. 1994. Vendor Selection Using Interpretive Structural
Modelling (ISM). International Journal of Operations & Production
Management 14 (6): 52-59. DOI: 10.1108/01443579410062086
Marimin, Maghfiroh N. 2013. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam
Manajemen Rantai Pasok. PT Penerbit IPB Press, Bogor.
Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jakarta.
Marliati, Sumardjo, Asngari PS, Tjitropranoto, Saefuddin A. 2008. Faktor-Faktor
Penentu Peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian Dalam Memberdayakan
Petani (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau). Jurnal Penyuluhan 4 (2):
92-99.
Marsh A. 2005. A Review of the Aceh Coffee Industry. UNDP ERTR - Livelihood
Component. [Internet], Available at: http://aped-project.org/download/
consultantreport/CoffeeReport.pdf (Accessed on: 28 Maret 2016).
Martin E. 2008. Aplikasi metodologi sistem lunak untuk pengelolaan kawasan
hutan rawan konflik: kasus hutan penelitian Benakat, Sumatera Selatan.
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mayhew MJ, Seifert TA, Pascarella ET. 2010. A Multi-Institutional Assessment of
Moral Reasoning Development among First-Year Students. Education 33 (3):
357-390. DOI: 10.1353/rhe.0.0153.
Mello MH, Gosling J, Naim MM, Strandhagen JO, Brett PO. 2017. Improving
coordination in an engineer-to-order supply chain using a soft systems
approach. Production Planning & Control 28 (2): 89-107. DOI:
10.1080/09537287.2016.1233471.
123
PRE-NET [Policy Research Expert Network]. 2010. dDSS v.1. PRE-Net Indonesia.
Prima A. 2012. Pemodelan Kelembagaan, Peran dan Kompetensi Government
Chief Information Officer Di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
[Tesis]. Magister Teknologi Informasi, Universitas Gadjah Mada.
Proches CNG, Bodhanya S. 2017. An Application of Soft Systems Methodology in
the Sugar Industry. International Journal of Qualitative Methods 14 (1): 1-
15. DOI: 10.1177/160940691501400101.
Purnomo H, Mendoza GA, Prabhu R. 2004. Model for collaborative planning of
community-managed resources based on qualitative soft systems approach.
Journal of Tropical Forest Science 16 (1), 106-131. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/23616391.
Purwaka T. 2006. Dasar-Dasar Pemahaman Peningkatan dan Pengembangan
Kapasitas Kelembagaan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Purwanto, Syukur M, Santoso P, 2007. Penguatan Kelembagaan Kelompok Tani
Dalam Mendukung Pembangunan Pertanian di Jawa Timur. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian. Malang. Jawa Timur.
Puslit Kopi & Kakao Indonesia. 2008. Panduan budidaya dan pengolahan Kopi
Arabika Gayo. Banda Aceh.
Putri MA, Fariyanti A, Kusnadi N. 2013. Struktur dan Integrasi Pasar Kopi Arabika
Gayo di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Buletin RISTRI 4(1):
47-54.
Putri MA. 2013. Sistem pemasaran kopi Arabika Gayo di Kabupaten Aceh Tengah
dan Bener Meriah, Provinsi Aceh: Pendekatan Structure, Conduct,
Performance (SCP). [Thesis]. Bogor: Program Studi Agribisnis, Sekolah
Pascasarjana IPB.
Raynolds LT. 2009. Mainstreaming Fair Trade Coffee: From Partnership to
Treaceability. World Development 37 (6): 1083-1093.
Reinitz BT. 2014. Maximizing Value in a Time of Change. Summit Report
(Louisville, CO: ECAR), from the EDUCAUSE/NACUBO 2014
Administrative IT Summit.
Reinitz BT. 2015. Building Institutional Analytics Maturity. Summit report.
Louisville, CO: ECAR.
Riyanto A, Eriyatno, Pasaribu B, Maulana A. 2014. Perancangan model integrasi
manajemen kebijakan outsourcing dalam perspektif hubungan industrial.
Jurnal Manajemen Teknologi 13 (1): 79-94. DOI: 10.12695/ jmt.2014.13.1.7
Robbins SP. 2009. Organization Theory: Structure, Design and Application. 3rd
Edition. New Jersey: Prentice Hall International, Inc.
Romano. 2009. Kajian sistem agribisnis kopi organik di daerah pegunungan Gayo.
Jurnal Aplikasi Manajemen 7 (1): 21-33.
Roskelley RW, Rigney JA. 2008. Measuring institutional maturity in the
development of indigenous agricultural universities. CIC-AID Rural
Development Research Project, Cornell University.
Rutherford M. 2001. Institutional Economics: Then and Now. Journal of Economic
Perspectives 15: 173–94.
Ruttan VW, Hayami. 1984. Agricultural Development; an International
Perspective. John Hopkins Press, Baltimore.
126
Ruttan VW. 2006. Social science knowledge and induced institutional innovation:
an institutional design perspective. JOIE 2 (3): 249–272. https://doi.org/10.
1017/S1744137406000403.
Saadi FA, Shahzad K, Ahmed M. 2016. Approaches and Methodologies for
Institutional Maturity Index (IMI). Sindh Union Council and Community
Economic Strengthening Support (SUCCESS) Programme. Rural Support
Programmes Network (RSPN), Pakistan.
Saaty TL, Vargas LG. 2012. Models, Methods, Concepts & Applications of the
Analytic Hierarchy Process. Springer US.
Saaty TL. 2008. Decision Making With the Analytic Hierarchy Process.
International Journal of Services Sciences 1 (1): 83–98. DOI:
10.1504/IJSSci.2008.01759
Saaty TL. 2012. Decision Making for Leaders: The Analytic Hierarchy Process for
Decisions in a Complex World. 3rd Revised edition. RWS Publications, New
York.
Saleth M, Dinah A. 2004. The Institutional Economics of Water: A Cross-Country
Analysis of Institutions and Performance. The International Bank for
Reconstruction and Development/ The World Bank. Edward Elgar Publishing
Limited, Cheltenham.
Salima R, Karim A, Sugianto. 2012. Evaluasi Kriteria Kesesuaian Lahan Kopi
Arabika Gayo 2 Di Dataran Tinggi Gayo. Jurnal Manajemen Sumberdaya
Lahan 1 (2): 194-206.
Saptono IT. 2011. Rekayasa Model Lembaga Pembiayaan Pertanian Nasional
Sektor Tanaman Pangan (Studi Kasus Komoditi Beras). [Disertasi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Saputra A. 2012. Desain Rantai Pasok Kopi Organik di Aceh Tengah untuk
Optimalisasi Balancing Risk [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Satriawan B, Oktavianti H. 2012. Upaya Pengentasan Kemiskinan Pada Petani
Menggunakan Model Tindakan Kolektif Kelembagaan Pertanian. Jurnal
Ekonomi Pembangunan 13 (1): 96-112.
Saxena JJP, Sushil, Vrat P. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan
Elements using Interpretive Structural Modelling. System Practice 5 (6): 652-
670.
Sesbany. 2014. Penguatan kelembagaan petani untuk meningkatkan posisi tawar
petani. Makalah Dosen STTP, Medan.
SCAA [Specialty Coffee Association of America]. 2005. Trade Show and
Convention in Seattle. Available on line: http://www.scaa.org/page=Sustain.
Scott RW. 2008. Institutions and Organizations: Ideas an Interest. Los Angeles:
Sage Publication. Third Edition.
Sharma HD. 1994. A Structural Approach to Analysis Course of System Waste in
the Indian Economy. System Research 11 (2): 17-41.
Silitonga CM. 2008. Analisis keunggulan bersaing kopi arabika Gayo organik di
Indonesia. [Thesis]. Medan: Universitas Terbuka.
Simatupang P, Purwoto A. 1990. Pengembangan Agroindustri sebagai penggerak
Pembangunan Desa. Prosiding Agroindustri Faktor Penunjang
Pembangunan Pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
127
Sinn JS. 1998. A comparison of interactive planning and soft systems methodology:
enhancing the complementarist position. Systemic Practice and Action
Research 11 (4): 435–453. DOI: 10.1023/A:1023098025076.
Sipahi S, Timor M. 2010. The analytic hierarchy process and analytic network
process: an overview of applications. Management Decision 48 (5): 775 –
808.
Siregar H. 2006. Perspektif Model Agro-Based Cluster Menuju Peningkatan Daya
Saing Industri. AGRIMEDIA 11 (2): 1-20.
Soekanto S. 1999. Sosiologi: Suatu Pengantar. Edisi Baru Cet. 28. PT. Raja
Grafinco Persada, Jakarta.
Sonatha Y, Prayama D. 2011. Penerapan Soft System Methodology dalam
Mengatasi Permasalahan Home Monitoring. Poli Rekayasa 6 (2): 154-160.
Sørensen CG, Fountas S, Nash E, Pesonen L, Bochtis D, Pedersen SM, Basso B,
Blackmore SB. 2010. Conceptual model of a future farm management
information system. Computers and Electronics in Agriculture 72 (1): 37-47.
DOI: 10.1016/j.compag.2010.02.003.
Staadt J. 2012. Redesigning a project‐oriented organization in a complex system: a
soft systems methodology approach. International Journal of Managing
Projects in Business 5 (1): 51-66. DOI: 10.1108/ 17538371211192892.
Staker RJ. 1999. An Application of Checkland’s Soft Systems Methodology to the
Development of a Military Information Operations Capability for the
Australian Defence Force. DSTO Electronics and Surveillance Research
Laboratory Australia.
Steedle JT. 2012. Selecting value-added models for postsecondary institutional
assessment. Assessment & Evaluation in Higher Education 37 (6): 637-652.
DOI: 10.1080/02602938.2011.560720.
Subramaniana N, Ramanathan R. 2012. A review of applications of Analytic
Hierarchy Process in operations management. International Journal of
Production Economics 138 (2): 215–241.
Sucihatiningsih DWP, Waridin. 2010. Model Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Penyuluh Pertanian Dalam meningkatkan Kinerja Usaha Tani Melalui
Transaction Cost, Studi Empiris di Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Ekonomi
Pembangunan 11 (1): 13-29.
Suhanda NS, Jahi A, Sugihen BG, Susanto D. 2008. Kinerja Penyuluh Pertanian Di
Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan 4 (2): 100-108.
Sukardi. 2011. Formulasi Definisi Agroindustri dengan Pendekatan Backward
Tracking. Pangan 20 (3): 269-281.
Supriyati, Suryani E. 2006. Peranan, Peluang dan Kendala Pengembangan
Agroindustri di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi 24 (20): 92-106.
Suradisastra K. 2011. Revitalisasi Kelembagaan Untuk Mempercepat
Pembangunan Sektor Pertanian Dalam Era Otonomi Daerah. Pengembangan
Inovasi Pertanian 4 (2): 18-136.
Suriya S, Mudgal BV. 2013. Soft systems methodology and integrated flood
management: a study of the Adayar watershed, Chennai, India. Water and
Environment Journal 27 (4): 462–473. DOI: 10.1111/j.1747-6593.2012.
00365.
128
Suryadi, Hamid AH, Agussabti. 2013. Strategi Bertahan Hidup Petani Kopi Pasca
Konflik (Studi Kasus Di Kecamatan Kute Panang Kabupaten Aceh Tengah).
Agrisep 14 (1): 44-53.
Syahyuti. 2003. Bedah Konsep Kelembagaan: Strategi Pengembangan dan
Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian &
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian.
Penjelasan tentang konsep, istilah, teori dan indikator serta variabel. Jakarta:
Bina Rena Pariwara.
Syahyuti. 2012. Rekonseptualisasi Lembaga dan Organisasi untuk Teori dan
Praktek Penyuluhan Pertanian Yang Lebih Efektif. Disampaikan pada
Pertemuan Nasional Pendidikan Sosiologi dan Penyuluhan Pertanian
Indonesia, di Universitas Padjajaran tanggal 25-26 Januari 2012.
Syam H. 2006. Model Strukturisasi Sistem dan Kelembagaan Usaha Agroindustri
Berbasis Kakao. Usahawan 8, 43-48.
Syam H. 2006. Rancang Bangun Model Sistem Pengembangan Agroindustri
Berbasis kakao Melalui Pola Jejaring Usaha. [Disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
Sybase. 2013. Sybase PowerDesigner (R), Version 16.05.0.3982. Documentation
Collection. PowerDesigner Standalone Local. Sybase, Inc., One Sybase Drive,
Dublin, CA.
Taylor PL. 2005. In the Market But Not of It: Fair Trade Coffee and Forest
Stewardship Council Certifications as Market-Based Social Change. World
Development 33 (1): 129-147. DOI: 10.1016/j. worlddev.2004.07.007
Tetlay KA, Mahmood S. 1993. Institutional Maturity Index: A Process Approach
for Participatory Monitoring and Evaluation of Village Organisations in
Gilgit. Aga Khan Rural Support Programme, Pakistan.
Tetlay KA. 1993. Analysing village organisation development: institutional
maturity index results from Northern Pakistan. Gilgit The Aga Khan Rural
Support Programme, Pakistan.
Tjondronegoro SMP. 1999. Revolusi Hijau dan Perubahan Sosial di Pedesaan
Jawa. Dalam buku “Keping-Keping Sosiologi dari Pedesaan”. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.
Togbe CE, Zannou ET, Vadouhe SD, Haagsma R, Gbehounou G, Kossou DK, van
Huis A. 2012. Technical and institutional constraints of a cotton pest
management strategy in Benin. NJAS-Wageningen Journal of Life Sciences
60-63: 67-78. DOI: 10.1016/j.njas.2012.06.005.
Toumache R, Rouaski K. 2016. Prospective Analysis of the Algerian Economic
Growth By 2025: Structural Analysis. The Journal of Applied Business
Research 32 (3): 791-803. DOI: 10.19030/jabr.v32i3.9657
Triyonggo Y, Maarif MS, Sukmawati A, Baga LB. 2015. Analisis situasional
kompetensi praktisi sumber daya manusia indonesia menghadapi MEA 2015.
Jurnal Manajemen Teknologi 14 (1): 100-112. DOI: 10.12695/jmt.2015.
14.1.7
Uphoff NT. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with
Cases. Kumarian Press library of management for development. West
Hartford, Ct: Kumarian Press. Inc.
129
Uphoff NT. 1992. Learning from Gal Oya: Possibilities for Participatory
Development and Post-Newtonian Social Science. Ithaca: Cornell University
Press.
Uršič D, Pivka M. 2017. Management concepts transformation in Slovenia.
Management: Journal of Contemporary Management Issues 5 (2): 18-33.
DOI: hrcak.srce.hr/184591.
Wahyuni E, Karim A, Anhar A. 2013. Analisis Citarasa Kopi Arabika Organik Pada
Beberapa Ketinggian Tempat dan Cara Pengolahannya Di Datararan Tinggi
Gayo. JMSDL 2 (3): 261-269.
Walker H. 2015. Kopi, Cooperatives & Compliance: A Case Study of Fair Trade
in Aceh, Indonesia. [Thesis]. School of Geography, Environment & Earth
Science, Victoria University of Wellington.
Walker JW. 1992. Human Resources Strategy. New York: McGraw-Hill. Inc
Wang W, Liu W, Mingers J. 2015. A systemic method for organisational
stakeholder identification and analysis using Soft Systems Methodology
(SSM). European Journal of Operational Research 246 (2): 562-574. DOI:
doi.org/10.1016/j.ejor.2015.05.014.
Waroko TK, van Schalkwyk HD, Alemu ZG, Ayele G. 2008. Producer Price and
Price Transmission in a Deregulated Ethiopian Coffee Market. AgEcon 47
(4). http://ageconsearch.umn.edu [24 Maret 2016].
Wasson CS. 2015. System Analysis, Design, and Development: Concepts, Principles,
and Practices. John Wiley & Sons Inc., Hoboken, New Jersey.
Wibowo Y. 2010. Analisis Prospektif Strategi Pengembangan Daya Saing
Perusahaan Daerah Perkebunan. AGROINTEK 4 (2): 104-113.
Widayat HP, Anhar A, Baihaqi A. 2015. Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Produksi, Kualitas Hasil dan Pendapatan Petani Kopi Arabika di Aceh
Tengah. Agrisep 16 (2): 8-16.
Widiyanti S. 2009. Studi Kelembagaan Kelompok Tani Hutan Rakyat di Wilayah
Cianjur Selatan. [Skripsi]. Departemen Manajemen Hutan. Institut Pertanian
Bogor.
Wijayanti F, Dyah S, Saparita R, Abbas A. 2016. Institutional Transformation of
Local Innovation Systems in Farmer Community of Belu, East Nusa
Tenggara. Journal of STI Policy and Management 1(2): 137–151. DOI:
10.14203/STIPM.2016.51.
Williamson OE. 1985. Economic Institutions of Capitalism: Firms, Markets,
Relational Contracting. The Free Press, Macmillan New York.
Wu W, Harris G, Gu M, Yan A, Yang KY, Yap A, Wu Y, Zhang M. 2014. The
Role of Microfinance Ratings in The Sustainable Development of China's
Financial Inclusion Sector. The Credit Suisse Microfinance Capacity
Building Initiative.
Yantu MR, Bambang J, Hermanto S, Isang G, Setia H. 2010. Integrasi pasar kakao
biji perdesaan Sulawesi Tengah dengan pasar dunia. JAE 28 (2): 201-225.
Yuan XC, Wang Q, Wang K, Wang B, Jin JL, Wei YM. 2015. China’s regional
vulnerability to drought and its mitigation strategies under climate change:
data envelopment analysis and analytic hierarchy process integrated approach.
Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 20 (3): 341–359.
Yulianur A, Rizalihadi M, Benara R. 2012. A Preliminary Study on Rainfall
Interception Loss and Water Yield Analysis on Arabica Coffee Plants in
130
Gayo)
137