Anda di halaman 1dari 107

STRATEGI PENINGKATAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

OLAHAN PERTANIAN MELALUI PENERAPAN GOOD


MANUFACTURING PRACTICES PADA UMKM PANGAN
BERDAYA SAING DI KOTA BANDUNG

ANI RAHAYUNI RATNA DEWI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Peningkatan Mutu dan
Keamanan Pangan Olahan Pertanian Melalui Penerapan Good Manufacturing Practices
pada Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Pangan Berdaya Saing di Kota
Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, November 2017

Ani Rahayuni Ratna Dewi


NIM P 054150115
RINGKASAN

ANI RAHAYUNI RATNA DEWI. Strategi Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan
Olahan Pertanian Melalui Penerapan Good Manufacturing Practices pada UMKM
Pangan Berdaya Saing di Kota Bandung. Dibimbing oleh H. MUSA HUBEIS dan EKO
RUDY CAHYADI.

Salah satu faktor yang menentukan daya saing suatu produk pangan dalam
perdagangan bebas adalah adanya jaminan mutu dan keamanan pangan (food safety)
bagi konsumen. Jaminan mutu dan keamanan produk tidak hanya untuk melindungi
konsumen domestik namun juga untuk mengantisipasi meningkatnya persyaratan dalam
perdagangan internasional. Globalisasi memaksa produsen untuk meningkatkan mutu
dan keamanan produk yang dihasilkan, tidak terkecuali untuk Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) pangan olahan hasil pertanian. Sebagai suatu upaya minimal yang
harus dilakukan oleh setiap pelaku usaha untuk terciptanya jaminan mutu dan keamanan
pangan bagi adalah dengan menerapkan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik
(CPPOB) atau Good Manufacturing Practices (GMP).
Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki
jumlah UMKM cukup besar. Tercatat pada tahun 2015, jumlah UMKM mencapai
99,9% dari seluruh industri (15.865 unit) di Kota Bandung (BPS 2016). Jenis
industri/usaha mikro dan kecil Kota Bandung, didominasi oleh industri yang bergerak di
sektor makanan dan minuman (85,22%) dengan jumlah 10.458 unit pada tahun 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengidentifikasi penerapan prinsip GMP, (2)
Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan GMP, (3) Merancang
alternatif strategi peningkatan mutu dan keamanan pangan olahan hasil pertanian dalam
mendukung daya saing UMKM di Kota Bandung. Tahapan penelitian meliputi (1)
Identifikasi karakteristik usaha pangan olahan pertanian, observasi penerapan GMP; (2)
Identifikasi faktor lingkungan internal dan eksternal; (3) Perumusan strategi dengan
matriks Strengths, Weakness, Opportunities dan Threats (SWOT); (4) Pemilihan
rekomendasi strategi menggunakan Analytic Hierarchy Process (AHP) dengan bantuan
software Expert Choice 2000.
Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik purposive sampling yang melibatkan 30
responden dan tiga ahli/pakar. Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi), kuisioner
dan wawancara, sementara data sekunder melalui studi pustaka dan literatur.
Produk olahan pertanian yang dihasilkan oleh UMKM responden yaitu aneka
keripik (pisang, singkong, tempe, dan sayur), bawang goreng, sale pisang, nugget jamur,
abon, rendang, dendeng, cokelat, serta serundeng kelapa. Sertifikasi yang telah dimiliki
oleh UMKM adalah Sertifikat Produksi Pangan-Industri Rumah Tangga (SPP-IRT)
(100%), GMP 1 usaha (0,03%), sertifikat halal sebanyak 27 usaha (90%), Hak atas
Kekayaan Intelektual (HaKI) 21 usaha (70%) yaitu hak atas merk, serta Sistem
Manajemen Mutu ISO 9001:2008 sebanyak 2 usaha (0,06%). Hasil observasi penerapan
GMP pada 30 UMKM adalah 15 usaha berada pada level 4 (50%), 10 usaha pada level
3 (33,33%), tiga usaha level 2 (10%), sementara hanya terdapat dua UMKM yang
berada pada level 1 (6,67%). Hal ini menunjukkan bahwa UMKM pangan olahan
pertanian di Kota Bandung telah mulai melakukan upaya penerapan GMP, namun masih
memerlukan berbagai usaha perbaikan dalam penerapan GMP untuk meningkatkan
ii

mutu dan keamanan pangan. Mayoritas temuan ketidaksesuaian adalah pada bangunan;
fasilitas dan program pemeliharaan sanitasi; pengawasan proses; karyawan; dokumentasi
dan pencatatan; pelatihan; serta penarikan produk.
Berdasarkan analisis bivariat korelasi Pearson Product Moment (PPM) faktor
yang nyata memengaruhi penerapan GMP adalah tingkat pendidikan formal dengan
kontribusi 25,84%, frekuensi mengikuti pelatihan mutu dan keamanan pangan
(47,24%), umur pimpinan/pemilik usaha (26,04%), omset usaha (42,85%) serta adanya
fasilitasi/bantuan pemerintah sebesar 44,48%. Berdasarkan analisis lingkungan, terdapat
12 faktor internal dengan kekuatan utama yaitu UMKM telah memiliki izin edar (skor
0,340) sedangkan kelemahan utama adalah kesenjangan pemahaman tentang keamanan
pangan antara pimpinan dengan karyawan (skor 0,102). Sementara untuk faktor
lingkungan eksternal terdapat 10 faktor eksternal dengan peluang utama adalah
ketersediaan air bersih dan bahan baku bermutu (skor 0,399) dan ancaman utama adalah
persaingan dengan produk sejenis dari industri yang menerapkan GMP/HACCP (skor
0,130). Berdasarkan perhitungan nilai matriks Internal Factor Evaluation (IFE) adalah
2,329 yang berarti faktor internal berada pada posisi rataan. Sementara nilai matriks
External Factor Evaluation (EFE) adalah 2,808 dimana kemampuan UMKM dalam
merespon peluang dan ancaman berada dalam posisi rataan, sehingga pada matriks
Internal-External (IE), posisi UMKM pangan olahan pertanian di Kota Bandung berada
pada sel V (hold and maintain). Strategi yang sebaiknya dipilih adalah strategi penetrasi
pasar dan pengembangan produk.
Berdasarkan analisis SWOT, terdapat empat jenis alternatif strategi yang dapat
dilakukan, yaitu: (1) Strategi S-O : Menjalin hubungan baik dengan instansi pemerintah
untuk mendapatkan fasilitasi penerapan dan sertifikasi sistem jaminan mutu dan
keamanan pangan; melakukan survey pasar untuk mengetahui selera konsumen; edukasi
dan promosi kepada masyarakat tentang pangan aman dan bermutu; penerapan
teknologi; dan memanfaatkan Food Safety Clearing House (FSCH) Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM), (2) Strategi W-O : Pelatihan internal untuk karyawan
secara rutin; pemberian penghargaan bagi karyawan berprestasi yang konsisten dalam
menerapkan GMP; membangun kemitraan dengan usaha besar dengan mekanisme
mutual quality; merancang dan menerapkan dokumen sistem mutu; mempelajari titik
kritis proses pengolahan produk (HACCP) dan meningkatkan penerapan GMP ke arah
HACCP, (3) Strategi S-T : Konsisten melakukan continues improvement, menciptakan
dan menonjolkan keunikan produk; (4) Strategi W-T : menerapkan GMP secara
konsisten untuk meningkatkan mutu dan keamanan pangan produk dan penerapan
internal control.
Alternatif strategi yang dipilih berdasarkan AHP berturut-turut adalah investasi
teknologi dan penerapan standar (bobot 0,222), public awareness (promosi, edukasi,
apresiasi) (bobot 0,221), dan peningkatan kompetensi SDM (bobot 0,198).

Kata kunci : GMP, mutu dan keamanan pangan, pangan olahan pertanian, UMKM
berdaya saing.
SUMMARY

ANI RAHAYUNI RATNA DEWI. Strategy of Improving Quality and Safety of


Agricultural Processed Food through Implementation of Good Manufacturing Practices
at Competitive Food MSMEs in Bandung City. Supervised by H. MUSA HUBEIS and
EKO RUDY CAHYADI.

One of the factors in free trade era that determine the competitiveness of food
product is quality assurance and food safety. Quality assurance and food safety not only
to protect domestic consumers but also to anticipate the increasing requirements in
international trade. Globalization has forced producers to improve the quality and safety
of products, including for Micro, Small and Medium Enterprises (MSMEs) agricultural
processed food. As a minimum effort that every business actor should undertake to
ensure the quality assurance and food safety is to implement Good Manufacturing
Practices (GMP).
Bandung is one of the big cities in Indonesia which has a large number of
MSMEs. Based on BPS data in 2015, the number of MSMEs reached 99.9% of the
entire industries (15,865 units) in Bandung (BPS 2016). Types of industries / micro and
small businesses in Bandung, dominated by industries related to food and beverage
sector (85.22%) with the number of 10.458 units in 2015.
This research aims to (1) identify the application of GMP principles, (2) to
identify the factors that related to the implementation of GMP, (3) to design alternative
strategies of quality and food safety improvement of agricultural processed food to
support the competitiveness of MSMEs in Bandung. Stages of research included (1)
Identification of agricultural food processing business characteristics, observation of
GMP implementation; (2) Identification of internal and external environmental factors;
(3) Strategy formulation with Strengths, Weakness, Opportunities and Threats (SWOT)
matrix; (4) Selection of strategic recommendation using Analytic Hierarchy Process
(AHP) calculated by Expert Choice 2000 software.
Analyis used are descriptive qualitative and quantitative analysis. Data collection
was done by purposive sampling technique involving 30 respondents and three experts.
The data consists of primary and secondary data. Primary data obtained through
observation, questionnaire and interview, while secondary data obtained through
literature study.
The products which produced by MSMEs respondents are chips (bananas,
cassava, tempeh, and vegetables), fried onions, banana sale, mushroom nugget, abon,
rendang, jerked meat, chocolate, and coconut serundeng. The certification already
possessed by MSMEs is Sertificate of Food Production for Household Industry (SPP-
IRT) (100%), GMP 1 business (0.03%), Halal certificate of 27 (90%), Intellectual
Property Rights on brand 21 business (70%), and ISO 9001: 2008 Quality Management
System 2 business (0.06%). The results of observations on the implementation of GMP
at 30 MSMEs are the majority still at level 4 (15 business or 50%), 10 businesses at
level 3 (33.33%), three level 2 (10%), while there are only two MSMEs at level 1
(6.67%). It indicates that MSMEs agricultural food processed in the city of Bandung has
begun to apply GMP, but still need various improvement efforts in the application of
GMP to improve the quality and food safety. The majority of findings of
nonconformities are in buildings; sanitation facilities and programs; process control;
employees; documentation and recording; training; and product withdrawal.
iv

Based on bivariate analysis of Pearson Product Moment correlation (PPM), the


factors that influence the application of GMP are formal education level with
contribution of 25,84%, frequency of attending quality training and food safety
(47,24%), age of leader / owner of business (26,04 %), business turnover (42.85%) and
the existence of facilitation / government assistance (44.48%). Based on environmental
analysis, there are 12 internal factors which it main strength is that MSMEs has owned
circulation license (score 0,340) while it main weakness is the gap of understanding
about food safety between the leader with the employee (score 0,102). There are 10
external factors which it main opportunity is the availability of clean water and qualified
raw materials (score 0.399) and the main threat is competition with similar products
from industries which applying GMP / HACCP (score 0.130). Based on the calculation
of the Internal Factor Evaluation (IFE) matrix is 2,329, it means that the internal factor
is in an average position. The value of External Factor Evaluation (EFE) matrix is 2,808
where the ability of UMKM in responding to opportunities and threats are in an average
position, so that in Internal-External (IE) matrix, position of MSMEs food processed
farm in Bandung is in cell V (hold and maintain). The strategy should be chosen is
market penetration strategy and product development.
Based on the SWOT analysis, there are four types of alternative strategies that
can be done, namely: (1) S-O Strategy: Establish good relationships with government
agencies to obtain facilitation and application of quality assurance systems and food
safety; conduct market surveys to find out the tastes of consumers; education and
promotion to the community about safe and quality food; application of technology; and
utilizing BPOM Food Safety Clearing House (FSCH), (2) W-O Strategy: Internal
training for employees on a regular basis; awarding employees with consistent
achievements in applying GMP; building partnerships with large businesses with
mutual quality mechanisms; design and implement quality system documents; study the
critical point of product processing (HACCP) and improve the application of GMP
towards HACCP, (3) S-T Strategy: Consistent perform continuous improvement, create
and highlight product uniqueness; (4) W-T Strategy: apply GMP consistently to
improve the quality and safety of food products, and applying internal control.
The alternative strategies chosen based on AHP are technology investment and
standard application (score 0,222), public awareness (promotion, education,
appreciation) (score 0,221), and development of human resource competence (score
0,198).

Keywords : agricultural processed food, competitive MSMEs, GMP, quality and food
safety
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
vi

STRATEGI PENINGKATAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN


OLAHAN PERTANIAN MELALUI PENERAPAN GOOD
MANUFACTURING PRACTICES PADA UMKM PANGAN
BERDAYA SAING DI KOTA BANDUNG

ANI RAHAYUNI RATNA DEWI

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesional
pada
Program Studi Pengembangan Industri Kecil Menengah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA.
Judul Tesis Strategi Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan Olahan Pertanian
Melalui Penerapan Good Manufacturing Practices pada UMKM
Pangan Berdaya Saing di Kota Bandung
Nama Ani Rahayuni Ratna Dewi
NIM P054l50115

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

~
Prof Dr Ir H Musa Hubeis, MS, Dipl.lng, DEA Dr Eko Ruddy Cahyadi, S.Hut, MM
Ketua Anggota

Diketahui oleh

.--

Ketua Program Studi


Pengembangan Industri Kecil Menengah

-?
~
Prof Dr Ir H Musa Hubeis, MS, Dipl.lng, DEA

Tanggal Ujian: 6 Nopember 2017 Tanggal Lulus: 2 1 NOV 2017


viii

Judul Tesis : Strategi Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan Olahan Pertanian
melalui Penerapan Good Manufacturing Practices pada UMKM Pangan
Berdaya Saing di Kota Bandung
Nama : Ani Rahayuni Ratna Dewi
NIM : P 054150115

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir H.Musa Hubeis, MS,Dipl.Ing,DEA Dr Eko Rudy Cahyadi, SHut,MM


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Plt. Dekan Sekolah Pascasarjana


Industri Kecil Menengah

Prof Dr Ir H.Musa Hubeis, MS,Dipl.Ing,DEA Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MSi

Tanggal Ujian : 6 November 2017 Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Magister di Program Magister Profesional Industri,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof Dr Ir H.Musa Hubeis, MS, Dipl.Ing, DEA dan Dr Eko Rudy Cahyadi,
SHut, MM sebagai Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan
dan saran dalam penyusunan tugas akhir ini.
2. Para narasumber dari Dinas Kesehatan Kota Bandung, Dinas Peternakan dan
Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan
Kota Bandung, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, serta para
pimpinan UMKM pangan olahan hasil pertanian di Kota Bandung yang telah
membantu hingga tugas akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.
3. Keluarga penulis, ayah, ibu, kakak, suami dan anak-anak atas semua doa, perhatian,
dukungan dan kasih sayangnya.
4. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa/i MPI angkatan 22 atas dukungan,
kebersamaan dan kekompakan selama ini.
5. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang sudah membantu
dalam penyusunan tesis ini.
Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, November 2017

Ani Rahayuni Ratna Dewi


NIM P 054150115
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................................. i
DAFTAR TABEL.......................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................... ii
1. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
Latar Belakang..................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................. 2
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 3
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................ 4
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah ...................................................................... 4
Mutu dan Keamanan Pangan ................................................................................ 4
Pangan dan Pangan Olahan .................................................................................. 5
Good Manufacturing Practices ............................................................................ 6
Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal ................................................................. 7
Analisis SWOT .................................................................................................... 8
Analytic Hierarchy Process ................................................................................. 9
Penelitian Terkait ................................................................................................. 9
3. METODE PENELITIAN ........................................................................................ 16
Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 16
Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................................. 16
Pengumpulan Data ............................................................................................. 17
Pengolahan dan Analisis Data ............................................................................ 17
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................... 28
5. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................... 54
Simpulan ........................................................................................................... 54
Saran ................................................................................................................. 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 55
LAMPIRAN ............................................................................................................... 58
RIWAYAT HIDUP .................................................................................................... 92

DAFTAR TABEL
1.1 Jumlah Industri di Kota Bandung Tahun 2015 ......................................................... 2
2.1 Kriteria UMKM ...................................................................................................... 4
2.2 Penelitian Terkait .................................................................................................. 12
3.1 Penilaian Penerapan GMP ..................................................................................... 19
3.2. Interpretasi koefisien korelasi nilai r ..................................................................... 21
3.3 Pembobotan Matriks IFE ....................................................................................... 22
3.4. Pembobotan Matriks EFE..................................................................................... 23
3.5. Analisis matriks IFE ............................................................................................. 24
ii

3.6. Analisis matriks EFE............................................................................................ 24


3.7 Penilaian Kriteria .................................................................................................. 26
4.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Bandung Tahun 2015 ......................... 28
4.2 Hasil penilaian penerapan GMP. ........................................................................... 31
4.3. Hasil analisis bivariat korelasi PPM ..................................................................... 37
4.4 Analisis matriks IFE .............................................................................................. 40
4.5. Analisis Matriks EFE ........................................................................................... 43
4.6 Matriks SWOT ...................................................................................................... 47
4.7 Bobot faktor terhadap goal .................................................................................... 50
4.8 Bobot kriteria terhadap faktor ................................................................................ 50
4.9 Bobot alternatif terhadap kriteria ........................................................................... 51

DAFTAR GAMBAR
3.1 Kerangka Pemikiran .............................................................................................. 16
3.2.Matriks IE ............................................................................................................. 25
4.1 Contoh penyimpangan pada aspek bangunan ......................................................... 32
4.2 Kondisi pintu pada UMKM pangan olahan yang menerapkan GMP ...................... 32
4.3 Kondisi fasilitas sanitasi pada UMKM pangan olahan pertanian ............................ 33
4.4 Bahan baku pangan olahan pertanian ..................................................................... 34
4.5 Hasil pengujian masa kadaluarsa produk .............................................................. 35
4.8 Matriks IE ............................................................................................................. 46
4.9 Hirarki AHP .......................................................................................................... 49

DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuesioner Aspek Umum dan Kinerja Perusahaan .................................................... 58
2. Identifikasi Penerapan Prinsip GMP. ....................................................................... 62
3. Pemberian Nilai/Rating Terhadap Faktor-Faktor Strategik Internal ......................... 78
4. Pemberian Nilai/Rating Terhadap Faktor-Faktor Strategik Eksternal ....................... 79
5. Pembobotan Terhadap Faktor Internal dan Eksternal ............................................... 80
6. Kuisioner AHP........................................................................................................ 82
7. Hasil perhitungan AHP ........................................................................................... 89
8. Responden UMKM pangan olahan hasil pertanian .................................................. 91
1. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) berperan penting dalam


menggerakkan roda perekonomian Indonesia, dengan jumlah pada tahun 2013
adalah 57.900.787 unit usaha (Depkop 2013). Mayoritas UMKM merupakan
usaha padat karya sehingga membuka peluang bagi tenaga kerja di lingkungan
sekitar dan mengurangi pengangguran. Sebaran UMKM yang mencapai tingkat
desa dapat membantu pemerataan tingkat pendapatan masyarakat di daerah
(Hapsari et al. 2014). Komposisi UMKM di Indonesia didominasi oleh UMKM
sektor pangan. Hal ini didukung oleh pertumbuhan penduduk yang akan
meningkatkan permintaan pangan. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tahun
2010-2015 sebesar 1,38% (BPS 2017). UMKM pangan mayoritas merupakan
UMKM pengolahan pangan hasil pertanian dengan jumlah mencapai 53.6% dari
53.823.734 UMKM di Indonesia pada tahun 2011 (Sparingga 2014).
Komoditas hasil pertanian memiliki karakteristik mudah rusak, baik
kerusakan fisik, mekanis maupun mikrobiologis. Pengolahan hasil pertanian
menjadi pangan olahan selain dapat mencegah kerusakan, memperpanjang masa
simpan, juga dapat meningkatkan nilai tambah (value added) produk (Kementan
2010). Pada pengembangan UMKM berbasis pertanian pangan, pemerintah masih
menghadapai berbagai permasalahan baik internal maupun eksternal, dari hulu
hingga hilir yang meliputi penyediaan bahan baku, proses produksi dan teknologi,
keuangan, mutu, pemasaran, sumberdaya manusia dan upaya penciptaan nilai
tambah (Hubeis et al. 2015).
Salah satu dampak dari era perdagangan bebas saat ini adalah produk dari
setiap negara dapat dengan mudah masuk ke negara lain tanpa ada hambatan
berarti, sehingga tingkat persaingan akan semakin tinggi. Persaingan terjadi tidak
hanya dengan produk impor namun juga dengan produk lokal yang sejenis.
UMKM pun harus melakukan upaya untuk meningkatkan daya saingnya. Menurut
Hubeis et al. (2015), UMKM pangan berdaya saing memiliki kriteria berikut :
1. Memiliki muatan inovasi
2. Menciptakan lapangan kerja
3. Meningkatkan mutu produksi yang meliputi Sanitasi dan Higiene, Good
Manufacturing Practises (GMP) atau Hazzard Analytic Control Point
(HACCP), perbaikan desain dan bahan kemasan, Hak Kekayaan Intelektual
(HKI), halal, masa kadaluarsa (label expired), barcode dan Standar Nasional
Indonesia (SNI)
4. Jangkauan pemasaran regional
5. Berkontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)
6. Memiliki legalitas (minimal surat izin UMKM)
7. Mampu menjaga kontinuitas produksi
8. Menerapkan unsur K3 (Kesehatan, Keselamatan dan Kerja)
9. Mampu berkolaborasi/integrasi antar wilayah

Mutu dan keamanan pangan merupakan salah satu kunci untuk


meningkatkan daya saing produk (Rahayu et al. 2012). Globalisasi memaksa
2

produsen untuk harus dapat meningkatkan mutu dan keamanan produk yang
dihasilkan, tidak terkecuali untuk UMKM pangan olahan. Namun sayangnya
UMKM pada umumnya masih kurang memperhatikan hal-hal yang akan
memengaruhi mutu dan keamanan pangan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(WNPG) IX Tahun 2008 menunjukkan beberapa permasalahan mengenai
keamanan pangan di UMKM pangan yang belum memadai dan perlu dibenahi,
khususnya yang terkait dengan mutu SDM, penggunaan Bahan Tambahan Pangan
(BTP) dan bahan kimia berbahaya yang dilarang digunakan untuk pangan, serta
fasilitas dan teknologi (Rahayu et al. 2012). Kasus insiden keracunan makanan
pada tahun 2012 menduduki posisi paling tinggi (66,7%), dibandingkan dengan
keracunan akibat penyebab lain, misalnya obat, kosmetika, dan lain-lain yang
disebabkan kandungan boraks, formalin dan rhodamin-B (BPOM dalam
Paratmanitya dan Aprilia 2016).
Kota Bandung merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki
jumlah UMKM cukup besar. Berdasarkan klasifikasi BPS, tercatat pada tahun
2015, jumlah UMKM mencapai 99,9% dari seluruh industri (15.865 unit) di Kota
Bandung (Tabel 1.1). Jenis industri/usaha mikro dan kecil Kota Bandung,
didominasi oleh industri yang bergerak di sektor makanan dan minuman (85,22%)
dengan jumlah 10.458 unit pada tahun 2015 dan menyerap tenaga kerja 32.169
orang (BPS Kota Bandung 2016).

Tabel 1.1 Jumlah Industri di Kota Bandung Tahun 2015

No Kriteria Unit Usaha Tenaga Kerja


1. Industri Besar* 10 857
2. Industri Sedang** 825 23.321
3. Industri Kecil Formal *** 2.770 43.692
4. Industri Kecil Non Formal**** 12.270 43.326
Jumlah 15.875 111.196
Catatan :
*) Nilai investasi > Rp. 1 milyar
**) Nilai investasi 200 juta – 1 milyar
***) Nilai investasi 5-200 juta
****) Nilai investasi dibawah 5 juta
Sumber : BPS Kota Bandung (2016)

Perumusan Masalah

UMKM pangan dituntut harus mampu menerapkan sistem jaminan


keamanan dan mutu pangan yang diterapkan sesuai dengan kemampuan masing-
masing usaha. Secara bertahap sistem manajeman keamanan pangan yang perlu
diterapkan adalah persyaratan higiene dan sanitasi; cara produksi/pengolahan
pangan yang baik, standar operasi baku untuk sanitasi hingga sistem manajemen
mutu seperti HACCP dan ISO 22000. Sebagai suatu upaya minimal yang harus
dilakukan oleh setiap pelaku usaha untuk terciptanya jaminan mutu dan keamanan
pangan bagi konsumen produk olahan hasil-hasil pertanian adalah dengan
menerapkan GMP.
3

Fardiaz dalam Hariyadi-Dewanti dan Hariyadi (2012) menyatakan selama


ini ada empat masalah utama keamanan pangan yaitu (1) pencemaran pangan oleh
mikroba karena rendahnya praktek sanitasi dan higiene; (2) pencemaran pangan
oleh bahan kimia berbahaya seperti residu pestisida, residu obat hewan, logam
berat, miktoksin, dll; (3) penggunaan yang salah (misuse) bahan berbahaya yang
dilarang digunakan untuk pangan; (4) penggunaan melebihi batas maksimum
yang diijinkan (abuse) dari BTP yang sudah diatur penggunaannya oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penyebab utama permasalahan tersebut
adalah lemahnya pelaksanaan cara produksi pangan yang baik (GMP).
Survei BPOM tahun 2013 terhadap 1000 UMKM di 12 provinsi Indonesia
menunjukkan masalah higiene perorangan dan sanitasi pengolahan merupakan
temuan yang paling banyak pada saat pemeriksaan sarana produksi, baik untuk
produsen yang memiliki nomor registrasi MD maupun industri rumah tangga.
Parameter yang diperiksa adalah Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB) GMP
untuk sarana produksi MD dan CPPB-IRT untuk Industri Rumah Tangga Pangan
(IRTP). Pada pengawasan distribusi, ditemukan pelanggaran terbanyak adalah
penjualan produk kadaluarsa (Sparingga 2014).
Berdasarkan uraian diatas, maka beberapa permasalahan yang akan diteliti
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penerapan prinsip GMP pada UMKM pangan olahan hasil pertanian
di Kota Bandung sebagai pre-requisite sistem jaminan mutu dan keamanan
pangan?
2. Apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan GMP pada UMKM
pangan olahan hasil pertanian di Kota Bandung?
3. Bagaimana strategi untuk meningkatkan mutu dan keamanan produk pangan
olahan hasil pertanian dalam mendukung daya saing UMKM di Kota Bandung?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:


1. Mengidentifikasi penerapan prinsip GMP pada UMKM pangan olahan hasil
pertanian di Kota Bandung.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan GMP pada
UMKM pangan olahan hasil pertanian di Kota Bandung.
3. Merancang alternatif strategi peningkatan mutu dan keamanan pangan olahan
hasil pertanian dalam mendukung daya saing UMKM di Kota Bandung.

Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini akan bermanfaat bagi :


1. UMKM pangan olahan hasil pertanian dalam merancang peningkatan mutu
dan keamanan pangan produk melalui penerapan GMP
2. Instansi Pemerintah baik pusat maupun daerah sebagai informasi/masukan
dalam penyusunan kebijakan dan pembinaan bagi UMKM pangan olahan.
3. Pihak-pihak terkait pengembangan UMKM pangan olahan hasil pertanian.
4

2. TINJAUAN PUSTAKA

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

Menurut UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM yang berlaku saat ini
didasarkan kepada nilai kekayaan bersih dan nilai hasil penjualan sebagaimana
tertera pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Kriteria UMKM

No Uraian Kriteria
Aset* (Kekayaan besih) Omzet (Hasil Penjualan
Tahunan)
1. Usaha Mikro Maksimal 50 Juta Maksimal 300 Juta
2. Usaha Kecil >50 Juta – 500 Juta >300 Juta – 2,5 Milyar
3. Usaha >500 Juta – 10 Milyar >2,5 Milyar – 50 Milyar
Menengah
* tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha

Penggolongan usaha berdasarkan jumlah tenaga kerja, digunakan oleh


Badan Pusat Statistik (BPS). Usaha mikro memiliki 1-4 orang tenaga kerja, usaha
kecil 5-19 orang, sementara usaha menengah memiliki 20-99 orang tenaga kerja.
Pengertian usaha pengolahan menurut BPS adalah suatu kegiatan ekonomi yang
melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau
dengan tangan, sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau barang yang
kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilai dan sifatnya.
Menurut Departemen Perindustrian dan Perdagangan, IKM adalah
kelompok industri kecil modern, industri tradisional, dan industri kerajinan yang
mempunyai investasi modal untuk mesin-mesin dan peralatan sebesar Rp 70 juta
ke bawah dan usahanya dimiliki oleh warga Negara Indonesia (Hubeis dalam
Arkeman 2015). Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 yang termasuk
dalam IRTP adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat
tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis.

Mutu dan Keamanan Pangan

Menurut Fiegenbaum (1996) mutu adalah sesuatu yang diputuskan oleh


pelanggan, diukur berdasarkan persyaratan pelanggan, dan selalu mewakili
sasaran yang bergerak dalam pasar yang penuh persaingan. Produk yang
dihasilkan harus memenuhi harapan pelanggan. Menurut Juran dalam Muhandri
dan Kadarisman (2012), mutu merupakan kecocokan untuk digunakan, produk
dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan serta memberi jaminan kepercayaan
pada konsumen.
Faktor-faktor dasar yang memengaruhi mutu menurut Fiegenbaum (1996)
adalah sembilan M yaitu market (pasar), money (uang), management
(manajemen), men (manusia), motivation (motivasi), material (bahan), machine
(mesin), mechanization (mekanisasi), modern information method (metode
5

informasi modern) dan mounting product requirement (persyaratan proses


produksi). Karakterikstik mutu produk industri pangan terdiri dari karakteristik
fungsional (sifat fisika, sifat kimia, sifat mikrobiologi), karakteristik kemudahan
penggunaan, karakteristik masa simpan (shelf life), karakteristik psikologi,
karakteristik keamanan (Muhandri dan Kadarisman 2012).
Menurut Hariyadi-Dewanti dan Hariyadi (2012), secara umum mutu pangan
(food quality) adalah hal-hal yang membuat suatu produk pangan menjadi lebih
baik dan enak dimakan dalam kaitannya dengan citarasa, warna, tekstur, dan
kriteria mutu lainnya seperti pilihan, ukuran, sifat fungsional, nilai gizi, dll.
Keamanan pangan adalah hal-hal yang membuat produk pangan aman untuk
dimakan; bebas dari faktor-faktor yang bisa menyebabkan penyakit misalnya
mengandung sumber penular penyakit (infectious agents), mengandung bahan
kimia beracun, mengandung benda asing (foreign objects).
UU Pangan No. 18 tahun 2012 mendefinisikan mutu pangan sebagai nilai
yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan gizi pangan.
Sementara keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain
yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia, serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan dan budaya masyarakat sehingga
aman untuk dikonsumsi.
UU Pangan mengatur bahwa setiap orang yang memproduksi dan
memperdagangkan pangan wajib memenuhi standar keamanan pangan dan mutu
pangan. Pemenuhan standar keamanan pangan dan mutu pangan dilakukan
melalui penerapan Sistem Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
Pemerintah dan/atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh Pemerintah dapat
memberikan Sertifikat Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
Penyelenggaraan keamanan pangan untuk kegiatan atau proses produksi
pangan untuk dikonsumsi harus dilakukan melalui sanitasi pangan, pengaturan
terhadap bahan tambahan pangan, pengaturan terhadap pangan produk rekayasa
genetik dan iradiasi pangan, penetapan standar kemasan pangan, pemberian
jaminan keamanan pangan dan mutu pangan, serta jaminan produk halal bagi
yang dipersyaratkan. Pelaku usaha pangan bertanggungjawab terhadap pangan
yang diedarkan, terutama apabila pangan yang diproduksi menyebabkan kerugian,
baik terhadap gangguan kesehatan maupun kematian orang yang mengonsumsi
pangan tersebut (UU Pangan 18/2012).

Pangan dan Pangan Olahan

Menurut Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012, definisi pangan


adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian,
perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air, baik yang diolah
maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk BTP, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan
atau minuman.
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau
metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. Mutu pangan adalah nilai
6

yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar
perdagangan terhadap bahan makanan, makanan dan minuman (PP 28/2004). Gizi
adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat
bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.

Good Manufacturing Practices

Cara Produksi Pangan yang Baik (CPPB)/Good Manufacturing Practices


(GMP) menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 adalah cara produksi
yang memperhatikan aspek keamanan pangan, yaitu :
1. Mencegah tercemarnya pangan olahan oleh cemaran biologis, kimia dan
benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan
2. Mematikan atau mencegah hidupnya jasad renik patogen dan mengurangi
jumlah jasad renik lainnya
3. Mengendalikan proses, antara lain pemilihan bahan baku, penggunaan bahan
tambahan pangan, pengolahan, pengemasan, penyimpanan atau pengangkutan.
Kementerian Perindustrian menetapkan Pedoman CPPOB (GMP) untuk
industri pengolahan pangan melalui Permenprin Nomor 75 tahun 2010. Industri
pengolahan pangan yang dimaksud adalah perusahaan yang memproduksi makan
atau minuman hasil pengolahan dengan cara atau metode tertentu dengan atau
tanpa bahan tambahan. Ruang lingkup CPPOB/GMP dalam industri pengolahan
pangan adalah (1) Lokasi; (2) Bangunan; (3) Fasilitas Sanitasi; (4) Mesin dan
Peralatan; (5) Bahan; (6) Pengawasan Proses; (7) Produk akhir; (8) Laboratorium;
(9) Karyawan; (10) Pengemas; (11) Label dan Keterangan Produk; (12)
Penyimpanan; (13) Pemeliharaan dan Program Sanitasi; (14) Pengangkutan; (15)
Dokumentasi dan Pencatatan; (16) Pelatihan; (17) Penarikan Produk; (18)
Pelaksanaan Pedoman.
Persyaratan dalam pedoman CPPOB terdiri atasi tiga tingkatan, yaitu
“harus” (shall), “seharusnya” (should) dan “dapat (can). Persyaratan “harus”
adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi akan
memengaruhi keamanan produk secara langsung, dan dalam penilaian/audit
dinyatakan sebagai ketidaksesuaian kritis. Persyaratan “seharusnya” adalah
persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi akan mempunyai
potensi yang berpengaruh terhadap keamanan produk dan dalam penilaian/audit
dinyatakan sebagai ketidaksesuaian major. Persyaratan “dapat” adalah persyaratan
yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi mempunyai potensi yang kurang
berpengaruh terhadap keamanan produk dan dalam penilaian/audit dinyatakan
sebagai ketidaksesuaian minor (Kemenprin 2010).
Pada sektor pertanian, penerapan Cara Pengolahan Hasil Pertanian Asal
Tumbuhan yang Baik (GMP) diharapkan antara lain dapat meningkatkan daya
saing produk olahan hasil pertanian; meningkatkan mutu produk olahan yang
dihasilkan secara konsisten sehingga aman dikonsumsi masyarakat; dan
menciptakan unit pengolahan yang ramah lingkungan (Kementan 2008).
BPOM mengeluarkan kebijakan untuk mengatur keamanan pangan bagi
IRTP. Menurut BPOM (2012), CPPB-IRT adalah cara produksi yang
memperhatikan aspek keamanan pangan bagi IRTP untuk memproduksi pangan
7

agar bermutu, aman dan layak dikonsumsi. CPPB-IRT mencakup seluruh mata
rantai produksi mulai dari bahan baku sampai produk akhir yaitu : (1) Lokasi dan
Lingkungan Produksi; (2) Bangunan dan Fasilitas; (3) Peralatan Produksi; (4)
Suplai Air atau Sarana Penyediaan Air; (5) Fasilitas dan Kegiatan Higiene dan
Sanitasi; (6) Kesehatan dan Higiene Karyawan; (7) Pemeliharaan dan Program
Higiene Sanitasi Karyawan; (8) Penyimpanan; (9) Pengendalian Proses; (10)
Pelabelan Pangan; (11) Pengawasan oleh Penanggungjawab; (12) Penarikan
Produk; (13) Pencatatan dan Dokumentasi; (14) Pelatihan Karyawan.
Persyaratan CPPB-IRT terdiri atas empat tingkatan, yaitu "harus"(shall),
“seharusnya” (should), “sebaiknya” (may) dan "dapat" (can), yang diberlakukan
terhadap semua lingkup yang terkait dengan proses produksi, pengemasan,
penyimpanan dan atau pengangkutan pangan. Persyaratan "harus" adalah
persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi akan memengaruhi
keamanan produk secara langsung dan/atau merupakan persyaratan yang wajib
dipenuhi, dan dalam inspeksi dinyatakan sebagai ketidaksesuaian kritis.
Persyaratan "seharusnya" adalah persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak
dipenuhi mempunyai potensi memengaruhi keamanan produk, dan dalam inspeksi
dinyatakan sebagai ketidaksesuaian serius. Persyaratan "sebaiknya" adalah
persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi mempunyai potensi
memengaruhi efisiensi pengendalian keamanan produk, dan dalam inspeksi
dinyatakan sebagai ketidaksesuaian mayor. Persyaratan "dapat" adalah
persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak dipenuhi mempunyai potensi
memengaruhi mutu (wholesomeness) produk, dan dalam inspeksi dinyatakan
sebagai ketidaksesuaian minor (BPOM 2012).
Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (SPP-IRT) adalah
jaminan tertulis yang diberikan oleh Bupati/Walikota cq. Pemerintah Daerah
(Pemda) Kabupaten/Kota terhadap pangan IRT di wilayah kerjanya yang telah
memenuhi persyaratan pemberian SPP-IRT dalam rangka peredaran pangan IRT
(BPOM 2012).

Evaluasi Faktor Internal dan Eksternal

Faktor internal dan eksternal dari perusahaan didapatkan dengan melakukan


analisis terhadap lingkungan internal berupa kekuatan dan kelemahan dari dalam
perusahaan dan analisis terhadap lingkungan eksternal berupa peluang dan
ancaman yang sedang maupun akan dihadapi oleh perusahaan dimasa yang akan
datang. Menurut David 2009, dari hasil analisis terhadap faktor internal dan
eksternal ini kemudian diolah menggunakan beberapa matriks, yaitu:

1. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)


Matriks IFE merupakan suatu alat strategi yang digunakan untuk meringkas
dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama dalam area-area fungsional
bisnis, dan juga menjadi landasan untuk mengidentifikasi serta mengevaluasi
hubungan di antara area tersebut. Kekuatan dan kelemahan internal merupakan
aktivitas terkontrol suatu organisasi yang mampu dijalankan dengan sangat baik
atau buruk. Kekuatan dan kelemahan internal ini muncul dalam manajemen,
pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan,
dan aktivitas sistem informasi manajemen suatu bisnis. Faktor-faktor internal
8

dapat ditentukan dengan sejumlah cara termasuk menghitung rasio, mengukur


kinerja dan membandingkan dengan pencapaian masa lalu serta rataan industri.

2. Matriks External Factor Evaluation (EFE)


Matriks EFE digunakan untuk menganalisis faktor eksternal perusahaan
berupa peluang dan ancaman yang sedang dan kemungkinan akan dihadapi
perusahaan dimasa yang akan datang. Peluang dan ancaman eksternal ini meliputi
berbagai tren dan kejadian ekonomi, sosial, budaya, demografis, lingkungan
hidup, politik, hukum, pemerintahan, teknologi dan kompetitif yang dapat secara
nyata menguntungkan atau merugikan suatu organisasi di masa mendatang.
Matriks EFE dapat membantu para penyusun strategi untuk mengevaluasi pasar
dan industri.

Analisis SWOT

Analisis SWOT mengkombinasikan antara faktor lingkungan internal


strength dan weakness serta lingkungan eksternal opportunities dan threats yang
dihadapi dunia bisnis untuk menghasilkan beberapa alternatif strategi. Analisis
SWOT didahului dengan identifikasi posisi perusahaan/institusi melalui nilai
faktor internal dan evaluasi nilai faktor eksternal (Marimin 2008).
Matriks SWOT dapat menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif :
1. Strategi SO (Strengths–Opportunity). Strategi ini menggunakan kekuatan
internal perusahaan untuk meraih peluang yang ada di luar perusahaan.
2. Strategi WO (Weakneses–Opportunity). Strategi ini bertujuan untuk
memperkecil kelemahan internal perusahaan dengan memanfaatkan peluang
eksternal.
3. Strategi ST (Strengths–Threats). Melalui strategi ini perusahaan berusaha
untuk menghindari, atau mengurangi dampak dari ancaman eksternal.
4. Strategi WT (Weakneses–Threats). Strategi ini merupakan taktik untuk
bertahan dengan cara mengurangi kelemahan internal dan menghindari
ancaman eksternal.

Internal Strengths (S) Weakness (W)


Factor (IF) Daftar Kekuatan Daftar Kelemahan
1. 1.
External 2. 2.
Factor (EF) 3. 3.
Opportunies (O) Strategi – S O Strategi – W O
Daftar Peluang Strategi yang disusun untuk Strategi yang disusun untuk
1. memanfaatkan kekuatan mengurangi kelemahan yang
2. yang ada dalam upaya ada dalam upaya meraih
3. meraih peluang. peluang
Threats (T) Strategi – S T Strategi – W T
Daftar Ancaman Strategi yang disusun untuk Strategi yang disusun untuk
1. memanfaatkan kekuatan mengurangi kelemahan yang
2. yang ada dalam upaya ada dalam upaya menghadapi
3. menghadapi ancaman. ancaman.
Sumber . Marimin 2008
Gambar 2.1. Matriks SWOT
9

Analytic Hierarchy Process

Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analytic Hierarchy Process (AHP)


merupakan metode yang dapat digunakan untuk menelaah suatu kebijakan strategis
yang bersifat hirarki. Metode ini dikembangkan pada tahun 1970 di Amerika Serikat
oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pitsburgh. AHP
adalah model pendukung keputusan yang sering digunakan untuk membuat urutan
prioritas alternatif strategi atau keputusan terbaik. Menurut Marimin dan Maghfiroh
(2011), prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam
suatu hirarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap peubah diberi nilai numerik
secara subjektif tentang arti penting peubah tersebut secara relatif dibandingkan
dengan peubah yang lain. Persoalan dalam keputusan AHP dikonstruksikan sebagai
diagram bertingkat (hirarki). Dimulai dengan goal sasaran lalu kriteria level pertama,
subkriteria, dan akhirnya alternatif.
AHP merupakan proses yang ampuh untuk menanggulangi berbagai persoalan
politik dan sosio-ekonomi yang kompleks. Proses ini dapat diterapkan pada banyak
persoalan nyata dan terutama berguna untuk pengalokasian sumber daya,
perencanaan, analisis pengaruh kebijakan dan penyelesaian konflik. Para ilmuwan
dan pembuat kebijakan dapat menggunakan metode ini untuk beberapa hal, yaitu:
perencanaan perusahaan, pemilihan portofolio, serta pengambilan keputusan manfaat
dan biaya (Saaty 1993).

Penelitian Terkait

Penelitian Arkeman et al. (2015) untuk merumuskan strategi peningkatan


mutu dan keamanan pangan IKM Roti Kota Bogor, memperoleh hasil bahwa
posisi Pemda Kota Bogor berada pada koordinat matriks IE (2,333; 2,476), yaitu
kuadran V (hold and maintain), sehingga strategi diarahkan untuk menjaga dan
mempertahankan IKM yang telah memenuhi GMP melalui pengawasan. Strategi
penetrasi dilakukan terhadap IKM roti yang belum memenuhi penerapan GMP
melalui kegiatan penyuluhan, publikasi, promosi. Unsur kunci aktor pelaku yang
memengaruhi penerapan Good Manufacturing Practices IKM Roti yaitu Badan
Perencanaan Daerah, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota
Bogor serta Perguruan Tinggi. Unsur kunci faktor kendala yang memengaruhi
peningkatan penerapan GMP IKM roti yaitu belum adanya Rencana Strategis
(Renstra) Aksi Pangan-Gizi Daerah maupun Renstra Pengembangan Industri yang
ditetapkan oleh Pemda Kota Bogor. Elemen kunci faktor pendukung yaitu letak Kota
Bogor yang strategik, dukungan sarana prasarana yang memadai, peluang potensial
pasar, perubahan pola konsumsi dan kesadaran hidup sehat konsumen dan
penggunaan teknologi informasi. Strategi yang dipilih dengan mempertimbangkan
faktor kekuatan yang dimiliki oleh Pemda Kota Bogor, yaitu (1) Penyediaan
“Kawasan Promosi Jajanan Sehat-Aman Asli Bogor” di kawasan strategik bagi
produk IKM roti yang memiliki SPP-IRT, (2) Mempertahankan kebijakan
pembebasan biaya SPP-IRT. Sementara strategi yang mempertimbangkan faktor
kelemahan yang dimiliki oleh Pemda Kota Bogor : (1) Menetapkan Renstra Aksi
Pangan-Gizi Daerah dan Renstra Pengembangan Industri, (2). Program pelatihan
terencana petugas penyuluh keamanan pangan (PKP) dan petugas pengawas
pangan (DFI) dan (3) Melaksanakan pengawasan berkala setahun sekali.
10

Muhandri et al. 2016 melakukan penelitian terhadap 24 UMKM pangan di


Kota Palu untuk untuk mengetahui penerapan GMP/CPMB dan mengidentifikasi
kesiapan industri kecil (pangan) dalam memenuhi klausul SNI ISO 9001:2008.
Diperoleh hasil bahwa UMKM pangan belum menerapkan semua aspek CPMB
(Cara Produksi Makanan yang Baik). UMKM terbaik hanya memenuhi 21%
klausul SNI ISO 9001:2008.
Hasil penelitian Suhartono (2009) terhadap Penerapan Mutu dan Keamanan
Pangan pada 15 IRT tempe di Lampung Barat menunjukkan bahwa pengendalian
sanitasi lingkungan masih buruk (28,57%) dengan faktor yang memperburuk
adalah ketiadaan tempat sampah tertutup, tempat pembuangan limbah dan
pencegahan binatang pengerat. Pengendalian bahan baku tempe dilakukan dengan
baik (69,64%), pengendalian kondisi sarana dan prasarana masih kurang baik
(57%), pengendalian produksi dilakukan dengan baik (88%). Titik kritis yang
perlu diperhatikan dalam memproduksi tempe yaitu penggunan air dari sumber air
yang bersih, pencucian kedelai sebelum dan sesudah perebusan serta pengendalian
binatang pengerat dan binatang kecil lainnya. Hal yang perlu diperhatikan agar
mutu dan keamanan pangan tempe meningkat adalah : (1) Menyediakan tempat
sampah tertutup, pembuangan limbah yang benar dan pembersihan di sekitar
lingkungan pabrik; (2) Menggunakan bahan baku kedele yang telah dibersihkan
dan air yang bersumber dari air bersih dan aman; (3) Memakai tutup kepala dan
menggunakan pakaian kerja. Pemerintah perlu melakukan upaya berupa program :
(1) Penyediaan sarana air bersih untuk keperluan industri kecil; (2) Pelatihan
tentang industri kecil; (3) Pelatihan tentang cara pengolahan pangan yang baik
dan benar; (4) Pengadaan dokumen Standard Operational Procedure (SOP).
Yuwono et al. (2012) melakukan penelitian tentang Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Penerapan Cara Produksi yang Baik dan SOP Sanitasi pada 26
Industri Pengolahan Fillet Ikan di Jawa, dimana terdapat 15 pabrik pengolahan
ikan fillet yang tidak melanjutkan penerapan GMP dan SSOP dan 11 pabrik
pengolahan fillet ikan yang masih melanjutkan aplikasi. Diketahui bahwa faktor-
faktor yang memengaruhi kelangsungan penerapan GMP dan SSOP di pabrik
pengolahan fillet ikan yang tidak melanjutkan aplikasi terdiri atas faktor internal
yaitu kurangnya pendidikan, dan kurangnya pengalaman, dan faktor-faktor
eksternal yaitu kurangnya kebijakan pemerintah dalam sosialisasi, kurangnya air
porTabel dan pasokan es, kurangnya sistem rantai dingin fasilitas, kurangnya
kebijakan pemerintah dalam pelatihan, pemantauan, penegakan rendah, tidak ada
kebutuhan pasar, dan karakteristik faktor inovasi yang ada keuntungan relatif
dalam melaksanakan GMP dan SSOP, tidak kompatibilitas, kompleksitas GMP
dan SSOP. Untuk mendorong penerapan GMP dan SSOP di industri tersebut,
disarankan untuk meningkatkan sosialisasi, pembinaan, pelatihan, pemantauan
dan teknis dalam lokus khusus, memfasilitasi air dan es pasokan, menjalankan
penerapan GMP dan SSOP dalam produk perikanan di pasar domestik, serta
meningkatkan pendidikan mengenai pentingnya penerapan GMP dan SSOP dalam
industri fillet ikan kepada publik.
Syah et al. (2015) melakukan penelitian terhadap akar utama permasalahan
keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) khususnya bakso, makanan
ringan dan mi. Hasil survei BPOM pada tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat
141 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan terjadi. Dari 141 kejadian, 15%
disebabkan oleh PJAS dengan tingkat kejadian tertinggi (69-79%) terjadi di
11

Sekolah Dasar. Keracunan pangan tersebut diakibatkan oleh tingginya konsumsi


PJAS oleh anak sekolah yang tidak diikuti dengan penerapan CPPB oleh para
penjaja pangan. Berdasarkan hasil Pareto diketahui bahwa masalah utama
keamanan pangan pada penelitian ini adalah masalah cemaran mikrobiologis
akibat sanitasi-higiene yang kurang baik pada proses produksi dan penyiapan
PJAS, serta masalah cemaran kimiawi akibat penyalahgunaan bahan kimia
berbahaya pada pangan. Bakso paling tidak memenuhi persyaratan keamanan
pangan dengan angka lempeng total (ALT) dan koliform yang melebihi jumlah
maksimal dimana pekerja (produsen dan penjaja bakso) merupakan sumber
kontaminasi utama pada bakso. Masalah utama keamanan pangan pada mi adalah
penyalahgunaan formalin dan E. coli yang melebihi batas maksimal. Demikian
juga dengan bakso, sumber kontaminasi E.coli yang utama adalah pekerja.
Sedangkan masalah utama keamanan pangan pada makanan ringan adalah
penyalahgunaan boraks dan rhodamin B.
Yuniarti et al. (2015) melakukan menelitian terhadap penerapan HACCP
pada keripik tempe di UMKM Ridho Putra Malang dengan mengamati aspek
GMP dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) sebagai persyaratan
dasar. Aspek GMP yang dinilai memiliki penyimpangan serius yang dapat
menyebabkan resiko terhadap kualitas keamanan produk pangan meliputi fasilitas
sanitasi, karyawan dan label atau keterangan produk. Perbaikan terhadap kondisi
ketiga aspek tersebut perlu segera ditindaklanjuti. Rekomendasi untuk
pengembangan sistem HACCP sehingga menghasilkan produk yang aman untuk
dikonsumsi meliputi rekomendasi terkait kehigienisan karyawan, peralatan
penunjang, analisis 5 S (seiri, seiton, seiso, seiketsu, shitsuke) dan rekomendasi
terkait tata letak ruang produksi.
Penelitian Hilman dan Ikatrinasari (2014) untuk menentukan dan
menganalisa faktor yang memengaruhi penerapan sistem HACCP di PT. Tirta
Investama, diketahu bahwa atribut manusia dan atribut perusahaan memengaruhi
efektifitas penerapan HACCP, sementara atribut sistem dan atribut eksogen tidak
memengaruhi efektifitas penerapan HACCP. Langkah-langkah yang perlu
dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam HACCP yaitu mengembangkan
program training untuk karyawan di semua level secara berkelanjutan,
memastikan pelaksanaan Good Manufacturing Practices/Prerequisite Program
berjalan dengan baik yaitu dengan melakukan audit secara berkala dan
membangun metode komunikasi yang efektif.
Handayani et al (2015) melakukan penelitian untuk mengetahui faktor yang
memengaruhi perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB pada industri
rumah tangga pangan (IRTP) di Kabupaten Karangasem dengan mengambil
contoh 79 orang penjamah makanan yang bekerja pada IRTP. Data dianalisis
menggunakan regresi poisson untuk melihat pengaruh pengetahuan, sikap dan
dukungan pengelola terhadap perilaku penjamah makanan. Diperoleh hasil bahwa
perilaku penjamah makanan dalam penerapan CPPB IRTP masih rendah dan
dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap penjamah serta dukungan dari pengelola
IRTP. Pengetahuan dan sikap penjamah makanan masih tergolong kurang dengan
persentase 48,10% dan 53,16%. Perilaku penjamah makanan yang tergolong baik
sebesar 49,37%. Perilaku penjamah makanan secara nyata dipengaruhi oleh
pengetahuan (PR=1,48; 95%CI: 1,01-2,15), sikap (PR=2,13; 95%CI: 1,47-3,08)
dan dukungan pengelola (PR=3,01; 95%CI: 1,77-5,13).
12

Purba et al. (2014) melakukan penelitian pada 71 IRTP di Kabupaten


Cianjur mendapatkan hasil bahwa 58,94% responden IRTP telah menerapkan
beberapa parameter CPPB IRT dengan nilai baik antara lain pada lingkungan
produksi, peralatan produksi, fasilitas dan kegiatan hygiene dan sanitasi,
kebijakan terhadap kesehatan karyawan, praktik sanitasi dan hygiene, dan
penyimpanan produk. Sementara hampir 38,78% dinilai kurang pada parameter
suplai air dan pengolahan, pengendalian hama, praktik sanitasi, serta kemasan
pelabelan. Regulasi yang dirujuk cukup memadai tetapi belum lengkap, karena
regulasi pokok untuk pembinaan tidak disosialisasikan seluruhnya oleh
Pemerintah Kabupaten Cianjur dan Pemkab belum mengembangkan regulasi
mutu keamanan pangan IRTP.
Kajian penerapan GMP pada UMKM kerupuk teripang di Kabupaten
Sukolilo oleh Anggraini dan Yudhastuti (2014) menunjukkan bahwa penerapan
Good Manufacturing Practices pada pembuatan kerupuk teripang termasuk buruk
(53,02%). Aspek yang memperoleh kategori nilai kurang baik dan perlu
diperbaiki adalah aspek desain dan fasilitas ruang produksi, pemeliharaan sarana
pengolahan dan kegiatan sanitasi, serta pencatatan administratif dan penarikan
produk.
Tabel 2.2 Penelitian Terkait

No Nama Judul Metode Metode Hasil


Peneliti dan Penelitian Sampling Analisis
1. Arkeman Y Formulasi Purposive IFE-EFE Alternatif strategi : (1) Penyediaan
et.all (2015) Strategi Untuk sampling ISM “Kawasan Promosi Jajanan Sehat-
Meningkatkan (5 IKM) SWOT Aman Asli Bogor” di kawasan
Keamanan strategik bagi produk IKM roti yang
Pangan memiliki SPP-IRT, (2)
Industri Kecil Mempertahankan kebijakan
Menengah pembebasan biaya SPP-IRT, (3)
Roti Melalui Menetapkan Renstra Aksi Pangan-
Penerapan Gizi Daerah dan Renstra
GMP Pengembangan Industri, (4) Program
pelatihan terencana petugas penyuluh
keamanan pangan (PKP) dan petugas
pengawas pangan (DFI) dan (5)
Melaksanakan pengawasan berkala
setahun sekali.
2. Muhandri et Kesiapan Purposive Gap Seluruh UMKM belum menerapkan
al. 2016 Usaha Mikro sampling analysis aspek Cara Pengolahan Makanan
Kecil (24 ISO yang Baik (CPMB). UMKM terbaik
Menengah UMKM) 9001:200 hanya menerapkan 21% dari aspek
Pangan dalam 8 ISO 9001. Pemenuhan terhadap
Penerapan ISO klausul SNI ISO 9001 meningkat
9001:2008 antara 45-86% setelah dilakukan
(Studi Kasus pendampingan.
di Palu,
Sulawesi
Tengah)
13

Lanjutan Tabel 2.2

3. Suhartono Analisis Purposive Excel, Nilai rata-rata pengendalian sanitasi


(2009) Penerapan sampling SPSS lingkungan masih buruk (28,57%),
Mutu dan (15 unit pengendalian bahan baku tempe
Keamanan usaha) dilakukan dengan baik (69,64%),
Pangan Pada pengendalian kondisi sarana dan
Produksi prasarana masih kurang baik (57%),
Pangan IRT pengendalian produksi dilakukan
Studi Kasus dengan baik (88%).
Industri
Tempe di
Lampung
Barat
4. Yuwono et Faktor-Faktor Purposive Deskriptif Faktor yang mempengaruhi
al. (2012) yang sampling , kelangsungan penerapan GMP dan
Mempengaruh (26 unit Prasyarat SSOP di pabrik pengolahan fillet
i Penerapan usaha) ikan yang tidak melanjutkan aplikasi
Cara Produksi terdiri atas faktor internal (kurangnya
yang Baik dan pendidikan, kurangnya pengalaman),
Standar dan faktor eksternal (kurangnya
Prosedur kebijakan pemerintah dalam
Operasi sosialisasi, kurangnya air portabel
Sanitasi dan pasokan es, kurangnya sistem
Pengolahan rantai dingin fasilitas, pelatihan,
Fillet Ikan di pemantauan, penegakan rendah, tidak
Jawa ada kebutuhan pasar, dan
karakteristik faktor inovasi yang ada
keuntungan relatif dalam
melaksanakan GMP dan SSOP, tidak
kompatibilitas, kompleksitas GMP
dan SSOP
5. Syah et.all Akar Masalah Data Analisis Masalah utama keamanan pangan
(2015) Keamanan sekunder Ragam, pada penelitian ini adalah masalah
Pangan hasil Diagram cemaran mikrobiologis akibat
Jajanan Anak pengujian Pareto sanitasi-higiene yang kurang baik
Sekolah 7 jenis pada proses produksi dan penyiapan
(PJAS) : PJAS PJAS serta masalah cemaran kimiawi
Studi Kasus akibat penyalahgunaan bahan kimia
pada Bakso, berbahaya pada pangan
Makanan
Ringan, dan
Mi
6. Yuniarti et al. Penerapan Purposive Deskriptif Aspek GMP yang dinilai memiliki
(2015) Sistem Hazard sampling Prasyarat penyimpangan serius yang dapat
Analysis (1 menyebabkan resiko terhadap
Critical UMKM) kualitas keamanan produk pangan
Control Point meliputi fasilitas sanitasi, karyawan
(HACCP) dan label atau keterangan produk
pada Proses
Pembuatan
Keripik Tempe
14

Lanjutan Tabel 2.2

7. Hilman dan Faktor-Faktor Purposive Analisis Atribut manusia dan atribut


Ikatrinasari Yang sampling faktor perusahaan mempengaruhi efektifitas
(2014) Mempengaruh (1 penerapan HACCP, sementara atribut
i Efektifitas industri) sistem dan atribut eksogen tidak
Penerapan mempengaruhi efektifitas penerapan
Sistem HACCP. Langkah untuk mengatasi
HACCP hambatan dalam HACCP :
mengembangkan program training
untuk karyawan di semua level
secara berkelanjutan, memastikan
pelaksanaan GMP/Prerequisite
Program berjalan dengan baik yaitu
dengan melakukan audit secara
berkala dan membangun metode
komunikasi yang efektif.
8. Handayani et Faktor yang Survey Cross Penerapan CPPB IRTP masih rendah
al (2015) Mempengaruh sectional dan dipengaruhi oleh pengetahuan
i Perilaku analytic, dan sikap penjamah serta dukungan
Penjamah Analisis dari pengelola IRTP. Pengetahuan
Makanan univariat, dan sikap penjamah makanan masih
dalam bivariat tergolong kurang dengan persentase
Penerapan dan secara berturut-turut 48,10% dan
Cara multivaria 53,16%. Perilaku penjamah makanan
Pengolahan t. yang tergolong baik sebesar 49,37%.
Pangan yang Perilaku penjamah makanan secara
Baik pada nyata dipengaruhi oleh pengetahuan
Industri (PR=1,48; 95%CI: 1,01-2,15), sikap
Rumah (PR=2,13; 95%CI: 1,47-3,08) dan
Tangga dukungan pengelola (PR=3,01;
Pangan di 95%CI: 1,77-5,13)
Kabupaten
Karangasem.
9. Purba et al. Efektivitas Purposive Deskriptif Didapatkan 58 ,94% responden IRTP
(2014) Program sampling ,Program telah menerapkan beberapa
Peningkatan (71 IRTP) Model parameter CPPB IRT dengan nilai
Mutu dan Logika, baik : lingkungan produksi, peralatan
Keamanan Excel produksi, fasilitas dan kegiatan
Pangan 2007, hygiene dan sanitasi, kebijakan
Industri SPSS 16 terhadap kesehatan karyawan, praktik
Rumah sanitasi dan hygiene, dan
Tangga penyimpanan produk. Sementara
Pangan (IRTP) hampir 38,78% dinilai kurang pada
di Kabupaten parameter suplai air dan pengolahan,
Cianjur pengendalian hama, praktik sanitasi,
serta kemasan pelabelan. Regulasi
yang dirujuk cukup memadai tetapi
belum lengkap, Pemkab belum
mengembangkan regulasi mutu
keamanan pangan IRTP.
15

Lanjutan Tabel 2.2

10. Anggraini Penerapan Purposive Deskriptif Penerapan GMP termasuk buruk


dan GMP pada sampling (53,02%). Aspek dengan kategori
Yudhastuti IRT Kerupuk (studi nilai kurang baik dan perlu
(2014) Teripang Di kasus) diperbaiki adalah aspek desain
Sukolilo dan fasilitas ruang produksi,
Surabaya pemeliharaan sarana pengolahan dan
kegiatan sanitasi, serta pencatatan
administratif dan penarikan produk.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian terkait lainnya adalah


menggunakan metode analisis deskriptif, penarikan contoh secara purposive
sampling, formulasi strategi melalui tahapan analisis lingkungan internal dan
eksternal, perumusan alternatif strategi menggunakan SWOT dan pemilihan
rekomendasi/prioritas strategi menggunakan AHP. Sementara perbedaan
penelitian ini dibandingkan dengan penelitian lainnya adalah menggunakan
checklist audit GMP yang mengacu pada peraturan Dirjen Agro Kementerian
Perindustrian, dan responden adalah berbagai UMKM pangan olahan hasil
pertanian (hortikultura, tanaman pangan, peternakan dan perkebunan) di Kota
Bandung, sehingga bisa dianggap penelitian ini mendukung penelitian terkait
lainnya.
16

3. METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

Kota Bandung merupakan kota dengan jumlah UMKM pangan olahan yang
cukup banyak. Salah satu permasalahan penting penentu daya saing UMKM
pangan olahan adalah mutu dan keamanan pangan. Melalui penelitian ini akan
terdeskripsikan penerapan prinsip GMP, serta faktor-faktor yang berhubungan
dengan penerapan GMP di UMKM pangan olahan hasil pertanian termasuk faktor
internal dan eksternal. Penelitian ini akan merekomendasikan strategi peningkatan
mutu dan keamanan pangan UMKM olahan pertanian melalui penerapan GMP di
Kota Bandung.

UMKM Pangan Olahan Pertanian Berdaya Saing

Identifikasi karakteristik UMKM

Penerapan prinsip GMP sebagai pre-


requisite SJMKP

Faktor-faktor yang memengaruhi penerapan GMP

Faktor Lingkungan Internal (IFE) Faktor Lingkungan Eksternal (EFE)

Analisa IE

SWOT

AHP

Rekomendasi
Strategi Peningkatan Mutu dan
Keamanan Pangan Olahan Pertanian

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Bandung. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan


secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa Kota Bandung
merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang memiliki jumlah UMKM
17

cukup banyak dan berkembang pesat dengan jenis pangan olahan yang variatif.
Hal ini ditunjang dengan Kota Bandung sebagai daerah tujuan wisata sehingga
pangsa pasar cukup besar. Inovasi produk pangan olahan juga banyak diciptakan
di Kota Bandung. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei–September 2017.

Pengumpulan Data

Jumlah contoh UMKM diambil berdasarkan kuota yaitu sebanyak 30 (tiga


puluh) UMKM. UMKM dipilih secara purposive (non probabilty sampling) dari
UMKM yang dianggap telah memenuhi satu atau beberapa kriteria daya saing
sesuai penelitan Hubeis et al. (2015), yaitu memiliki inovasi, memiliki legalitas,
menciptakan tenaga kerja, melakukan upaya perbaikan mutu produk, mampu
menjaga kontinuitas produksi, dan lainnya.
Responden dalam penelitian ini merupakan UMKM pangan olahan yang
menggunakan bahan baku utama (sedikitnya 70%) hasil pertanian (tanaman
pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan), memiliki masa simpan
minimal 6 (enam) bulan, serta termasuk kategori pangan olahan yang diizinkan
untuk menggunakan izin edar SPP-IRT. Data yang dikumpulkan terdiri atas data
primer dan sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data primer diperoleh
melalui pengamatan langsung (observasi) di lapangan, kuisioner dan wawancara
dengan responden terpilih.
1. Observasi lapangan
Data diperoleh dari pengamatan langsung serta melakukan wawancara
dengan para pelaku UMKM pangan olahan pertanian yang berdaya saing.
Observasi dilakukan untuk melihat penerapan prinsip GMP di UMKM.
Wawancara dan kuesioner juga digunakan untuk menggali informasi tentang
faktor-faktor yang memengaruhi penerapan GMP di UMKM.
2. Opini Pakar
Penentuan pakar dilakukan secara purposive, yaitu memilih pakar kompeten
dan terlibat langsung dalam pengawasan/penerapan/pembinaan atau penelitian
GMP pada UMKM. Penetapan pakar berdasarkan atas (1) reputasi, kedudukan
dan kredibilitasnya menurut topik penelitian; (2) bersedia untuk diwawancara
secara mendalam dan/atau (3) memiliki pengalaman minimal tiga tahun di bidang
yang terkini. Pakar dilibatkan terutama dalam proses perumusan strategi. Pakar
berjumlah tiga orang berasal dari Dinas Kesehatan, Kementerian Pertanian dan
praktisi.
3. Data sekunder
Data ini diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka dan informasi-
informasi dari instansi terkait (Badan Pusat Stastistik Kota Bandung, Dinas
Koperasi, UMKM, Perdagangan dan Perindustrian Kota Bandung, Dinas
Kesehatan Kota Bandung, Dinas Pertanian, dll).

Pengolahan dan Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif.


a. Identifikasi UMKM
18

Identifikasi dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif untuk


memperoleh Gambaran umum mengenai karakteristik produk pangan olahan
hasil pertanian, asal bahan baku, pemasaran, penggunaan tenaga kerja, izin
edar dan sertifikat yang dimiliki oleh UMKM.
b. Analisis penerapan prinsip GMP
Analisis dilakukan terhadap pemenuhan penerapan prinsip GMP pada
UMKM pangan olahan pertanian. Penilaian dilakukan dengan mengacu pada
Petunjuk Teknis Penilaian Penerapan CPPOB yang diterbitkan oleh
Kementerian Perindustrian (Peraturan Dirjen Agro Nomor 30/2011).
Penilaian meliputi 18 (delapan belas) ruang lingkup dalam Pedoman CPPOB.
Hal ini mempertimbangkan bahwa penilaian CPPOB tersebut dapat dianggap
juga sebagai self assestment/penilaian sendiri bagi usaha/industri pangan
olahan baik skala mikro, kecil, menengah maupun besar.
c. Formulasi Strategi
Menurut David (2009), teknik formulasi strategi dapat diintegrasikan
kedalam tiga tahap kerangka pengambilan keputusan, yaitu (1) tahap
pengumpulan input (the input stage), (2) tahap pemanduan (the matching
stage) dan (3) tahap penetapan strategi (the decision stage). Formulasi
dimulai dengan menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
penerapan GMP dalam UMKM pangan olahan pertanian. Tahap berikutnya
menganalisis faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal untuk
mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi yang
selanjutnya dipadukan dengan menggunakan analisis SWOT. Tahap akhir
adalah memberikan keputusan rekomendasi strategi yang merupakan hasil
dari pemetaan SWOT dengan menggunakan AHP.

Penilaian Penerapan Prinsip GMP

Penerapan prinsip GMP mengacu pada Permenprin Nomor 75/2010 tentang


Pedoman CPPOB. Persyaratan penerapan CPPOB terdiri atas tiga tingkatan yang
diberlakukan terhadap semua lingkup yang terkait yaitu :
1. Harus (shall). “Harus” merupakan persyaratan yang mengindikasikan apabila
tidak dipenuhi akan memengaruhi keamanan produk secara langsung
2. Seharusnya (should). “Sharusnya” merupakan persyaratan yang mengindikasikan
apabila tidak dipenuhi akan mempunyai potensi yang berpengaruh terhadap
keamanan produk
3. Dapat (can). “Dapat” merupakan persyaratan yang mengindikasikan apabila tidak
dipenuhi mempunyai potensi yang kurang berpengaruh terhadap keamanan
produk.
Penerapan prinsip GMP di UMKM dinilai dengan menggunakan check list
sesuai Peraturan Dirjen Agro Nomor 30/2011 tentang Petunjuk Teknis Penilaian
Penerapan CPPOB. Penilaian dilakukan terhadap ketidaksesuaian yang ditemukan
pada UMKM. Kategori ketidaksesuaian sudah ditentukan dalam check list yaitu :
1. Critical adalah penyimpangan dari persyaratan “harus”
2. Major adalah penyimpangan dari persyaratan “seharusnya”
3. Minor adalah penyimpangan dari persyaratan “dapat”
Hasil dari penilaian terhadap ketidaksesuaian dalam penerapan GMP
tersebut diklasifikasikan menjadi 4 tingkatan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1.
19

Tabel 3.1 Penilaian Penerapan GMP

No Tingkat Penyimpangan Maksimun


MN (Minor) MJ (Major) (CR) Critical
1. Level I 0 s/d 6 0 s/d 5 -
2. Level II ≥7 6 s/d 10 -
3. Level III Tidak terbatas ≥ 11 6
4. Level IV Tidak terbatas Tidak terbatas ≥7
Sumber : Kemenprin 2011

Pada penelitian ini setiap tingkatan diberikan bobot :


- 4 = Level I
- 3 = Level II
- 2 = Level III
- 1 = Level IV

Penerapan prinsip GMP meliputi :


1. Lokasi
Untuk menetapkan letak pabrik/tempat produksi perlu mempertimbangkan
lokasi dan keadaan lingkungan yang bebas dari sumber pencemaran dalam
upaya untuk melindungi pangan olahan yang diproduksi.
2. Bangunan
Bangunan dan ruangan dibuat berdasarkan perencanaan yang memenuhi
persyaratan teknik dan higiene sesuai dengan jenis olahan pangan yang
diproduksi serta urutan proses produksi, sehingga mudah dibersihkan, mudah
dilakukan kegiatan sanitasi, mudah dipelihara dan tidak terjadi kontaminasi
silang antar produk.
3. Fasilitas Sanitasi
Fasilitas sanitasi pada bangunan pabrik/tempat produksi dibuat berdasarkan
perencanaan yang memenuhi persyaratan teknik dan higiene. Perlu
diperhatikan sarana penyediaan air; sarana pembuangan air dan limbah;
sarana pembersihan/pencucian; sarana toilet; sarana higiene karyawan
4. Mesin dan Peralatan
Mesin/peralatan yang kontak langsung dengan bahan pangan olahan didesain,
dikonstruksi dan diletakkan sehingga menjamin mutu dan keamanan produk.
Perlu diperhatikan persyaratan dan tata letak mesin/peralatan; pengawasan
dan pemantauan mesin/peralatan dan bahan perlengkapan serta alat ukur.
5. Bahan
Bahan yang dimaksud adalah bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong,
air, dan BTP.
6. Pengawasan Proses
Untuk mengurangi terjadinya produk yang tidak memenuhi syarat mutu dan
keamanan, perlu tindakan pencegahan melalui pengawasan proses.
Pengawasan proses dimaksudkan untuk menghasilkan pangan olahan yang
aman dan layak dikonsumsi.
7. Produk akhir
Perlu penetapan spesifikasi produk akhir agar pangan olahan diproduksi
dengan mutu seragam dan memenuhi standar /persyaratan yang ditetapkan.
20

8. Laboratorium
Adanya laboratorium memudahkan industri mengetahui secara cepat mutu
bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong dan BTP serta mutu produk
yang dihasilkan.
9. Karyawan
Higiene dan kesehatan karyawan yang baik akan memberikan jaminan bahwa
pekerja yang kontak langsung maupun tidak dengan proses produksi tidak
akan mencemari produk.
10. Pengemas
Penggunaan pengemas yang memenuhi syarat akan mempertahankan mutu
dan melindungi produk terhadap pengaruh dari luar.
11. Label dan Keterangan Produk
Kemasan diberi label yang jelas dan informatif untuk memudahkan
konsumen dalam memilih, menangani, menyimpan, mengolah dan
mengkonsumsi produk. Lsbel produk harus memenuhi ketentuan dalam PP 69
tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
12. Penyimpanan
Penyimpanan bahan yang digunakan dalam proses produksi dan produk akhir
dilakukan dengan baik sehingga tidak menyebabkan penurunan mutu dan
keamanan pangan olahan.
13. Pemeliharaan dan Program Sanitasi
Pemeliharaan dan program sanitasi terhadap fasilitas produksi (bangunan,
mesin/peralatan, pengendalian hama, penanganan limbah, dll) dilakukan
secara berkala untuk menghindari kontaminasi silang.
14. Pengangkutan
Pengangkutan produk akhir membutuhkan pengawasan untuk menghindari
kesalahan yang mengakibatkan kerusakan dan penurunan mutu.
15. Dokumentasi dan Pencatatan
Perusahaan yang baik melakukan dokumentasi dan pencatatan mengenai
proses produksi dan distribusi yang disimpan sampai batas waktu yang
melebihi masa simpan produk.
16. Pelatihan
Pembina dan pengawas harus mempunyai pengetahuan mengenai prinsip-
prinsip dan praktek higiene pangan. Program pelatihan yang diberikan
seharusnya dimulai dari prinsip dasar sampai praktek cara produksi yang baik.
17. Penarikan Produk
Penarikan produk merupakan tindakan menarik produk dari peredaran.
Penarikan dilakukan apabila produk diduga penyebab timbulnya
penyakit/keracunan.
18. Pelaksanaan Pedoman
Perusahaan seharusnya mendokumentasikan pengoperasian program CPPOB.
Manajemen perusahaan harus bertanggung jawab atas sumber daya untuk
menjamin penerapan CPPOB. Karyawan sesuai fungsi dan tugasnya harus
bertanggung jawab atas pelaksanaan CPPOB.
21

Faktor yang Berhubungan dengan Penerapan GMP

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan penerapan GMP


di UMKM digunakan metode analisis bivariat korelasi Pearson Product Moment
(PPM). Analisis PPM berguna untuk mengetahui derajat, kontribusi dan arah
hubungan antara dua peubah. Peubah (Y) dalam penelitian ini adalah penerapan
GMP, sementara peubah (X) adalah peubah yang diduga memiliki hubungan
dengan penerapan GMP di UMKM, yaitu : tingkat pendidikan, umur
pemilik/pimpinan UMKM, umur usaha, frekuensi mengikuti pelatihan keamanan
pangan, omset perusahaan, adanya fasilitasi/bantuan Pemerintah.
Rumus yang digunakan dalam korelasi PPM (Riduwan dan Sunarto 2011)
adalah :

Korelasi PPM dilambangkan (r) dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari
harga (-1 ≤ r ≤ +1). Apabila nilai r = -1 artinya korelasinya negatif sempurna; r =0
artinya tidak ada korelasi; dan r = 1 berarti korelasinya sangat kuat. Sedangkan
arti harga r akan dikonsultasikan dengan Tabel interpretasi nilai r sebagai berikut :

Tabel 3.2. Interpretasi koefisien korelasi nilai r

Interval Koefisien Tingkat Hubungan


0,80 - 1, 00 Sangat kuat
0,60 - 0,799 Kuat
0,40 - 0,599 Cukup kuat
0,20 - 0,399 Rendah
0,00 - 0,199 Sangat rendah

Selanjutnya untuk menyatakan besar kecilnya sumbangan peubah X


terhadap Y dapat ditentukan dengan rumus koefisien diterminan sebagai berikut :

Dimana KP = nilai koefisien diterminan r = koefisien korelasi


Pengujian lanjutan, yaitu uji nyata berikut :

Dimana : t hitung = nilai t


r = nilai koefisien korelasi
n = jumlah contoh
Pengujian pada tingkat 
Jika nilai t hitung ≥ t Tabel , maka tolak Ho artinya nyata
Jika nilai t hitung ≤ t Tabel , maka terima Ho artinya tidak nyata
Ho : Tidak ada hubungan yang nyata antara peubah (X) dengan peubah (Y).

Faktor-faktor yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :


1. Tingkat pendidikan formal. Skala yang digunakan untuk penilaian :
- SD s/d SMA/sederajat = 1 - D1 s/d D3 = 2 - S1 s/d S2 = 3
22

2. Umur usaha :
- dibawah 1 tahun = 1 - 1 s/d 3 tahun = 2 - diatas 3 tahun = 3
3. Umur pemilik/pimpinan UMKM :
- 21 s/d 30 th = 1 - 31 s/d 40 th = 2 - 41 s/d 50 th = 3
- 51 s/d 60 th = 4 - > 60 th =5
4. Frekuensi mengikuti pelatihan keamanan pangan
- belum pernah = 1 - 1 s/d 2 kali = 2 - lebih dari 2 kali = 3
5. Omset perusahaan per bulan, dengan pemberian skala :
- < Rp. 50 juta =1
- Rp. 50 juta s/d Rp. 200 juta =2
- > Rp. 200 juta s/d Rp. 300 juta =3
- > Rp. 300 juta s/d Rp. 2,5 Miliar =4
- > Rp 2,5 Miliar – 50 Miliar =5
6. Fasilitasi/bantuan Pemerintah dalam hal teknologi pengolahan, sertifikasi
terkait mutu dan keamanan pangan :
- Belum pernah memperoleh fasilitasi/bantuan Pemerintah = 1
- Pernah memperoleh fasilitasi/bantuan Pemerintah =2

Matriks IFE dan EFE

Analisis lingkungan internal dan eksternal dilakukan pada masing-masing


UMKM. Tahap-tahap untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan dalam
matriks IFE dan EFE adalah :
1. Identifikasi faktor internal dengan mendaftar kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki perusahaan. Identifikasi faktor eksternal organisasi dilakukan dengan
menyusun peluang dan ancaman yang dimiliki perusahaan. Hasil identifikasi
kedua faktor lingkungan tersebut diberikan bobot dan rating.
2. Penentuan bobot dengan cara identifikasi tingkat kepentingan suatu faktor
dalam industri tempat perusahaan berada, kepada pakar dengan menggunakan
metode paired comparison (metode perbandingan berpasangan). Metode ini
digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor internal
dan eksternal dengan membandingkan setiap peubah pada baris (horizontal)
dengan peubah kolom (vertikal). Penentuan bobot setiap faktor dapat dilihat
pada Tabel 3.3. Penentuan bobot setiap peubah digunakan skala 1, 2 dan 3.
Skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah :
1 = indikator horizontal kurang penting dibanding indikator vertikal
2 = indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal
3 = indikator horizontal lebih penting dibanding indikator vertikal.

Tabel 3.3 Pembobotan Matriks IFE

Faktor
Strategik A B C D Total Xi Bobot
Internal
A
B
C
...
Sumber. David 2009
23

Bobot setiap faktor diperoleh dengan menenetukan nilai setiap faktor


terhadap jumlah nilai keseluruhan faktor (Tabel 3.3). Bobot yang diberikan
pada setiap faktor berada pada kisaran 0,0 (tidak penting) hingga 1,0 (paling
penting). Faktor-faktor yang dianggap mempunyai pengaruh terbesar pada
prestasi perusahaan diberi bobot tertinggi. Hal ini berlaku juga untuk faktor
eksternal (Tabel 3.4).

Tabel 3.4. Pembobotan Matriks EFE

Faktor
Total
Strategik A B C ... Bobot
Xi
Eksternal
A
B
C
...
Sumber : David, 2009

Bobot setiap peubah diperoleh dengan menentukan nilai setiap peubah


terhadap jumlah nilai keseluruhan peubah dengan menggunakan rumus berikut:

dimana : αi = bobot peubah ke-i i = 1,2,3,..,n


Xi = nilai peubah ke-i n = jumlah peubah.

Total bobot yang diberikan harus sama dengan 1,0. Pembobotan ini kemudian
ditempatkan pada kolom kedua matriks IFE - EFE.

3. Memberikan peringkat/rating pada masing-masing faktor. Rating didasarkan


pada efektifitas strategi, kondisi dan kemampuan perusahaan. Nilai rating
adalah 1-4 untuk setiap faktor. Untuk faktor strategi internal, nilai
peringkat/rating yang digunakan, yaitu :
1 = sangat lemah 2 = lemah 3 = kuat 4 = sangat kuat
Untuk faktor strategik eksternal, nilai peringkat/rating yang digunakan, yaitu :
1 = sangat rendah, respon kurang 2 = rendah, respon sama dengan rataan
3 = tinggi, respon di atas rataan 4 = sangat tinggi, respon superior.

4. Mengalikan nilai bobot dengan nilai peringkat (rating) dari masing-masing


faktor untuk mendapatkan skor pembobotan. Semua hasil kali tersebut
dijumlahkan secara vertikal untuk mendapatkan skor total bagi perusahaan
yang dinilai. Hasil pembobotan dan rating berdasarkan analisis situasi
perusahaan dimasukan dalam matriks (Tabel 3.5).
24

Tabel 3.5. Analisis matriks IFE

Faktor Kunci
Bobot (a) Rating (b) Skor (a x b)
Internal
Kekuatan
-
-
Kelemahan
-
-
Total
Sumber. David, 2009

Total skor pembobotan berkisar 1-4, dengan rataan 2,5. Jika total skor IFE
(3,0-4,0) berarti kondisi internal perusahaan tinggi, atau kuat, (2,0–2,99) berarti
kondisi internal perusahaan rataan, atau sedang dan (1,0–1,99) berarti kondisi
internal perusahaan rendah, atau lemah. Matriks EFE diilustrasikan pada Tabel
3.6. Total skor pembobotan berkisar 1-4 dengan rataan 2,5. Total skor EFE
dikelompokan dalam kuat (3,0–4,0) berarti perusahaan merespon kuat terhadap
peluang dan ancaman, rataan (2,0–2,99) dan (1,0–1,99) berarti perusahaan tidak
dapat merespon peluang dan ancaman.

Tabel 3.6. Analisis matriks EFE

Faktor Kunci
Bobot (a) Rating (b) Skor (a x b)
Eksternal
Peluang
-
-
Ancaman
-
-
Total
Sumber. David, 2009

Matriks IE

Matriks IE merupakan hasil penggabungan antara matriks IFE dan EFE.


Penggunaan Matriks IE bertujuan untuk memperoleh strategi bisnis ditingkat
divisi unit bisnis lebih detail. Matriks IE didasarkan pada dua (2) dimensi kunci,
yaitu total nilai IFE yang diberi bobot pada sumbu X, dan total nilai EFE yang
diberi bobot pada sumbu Y, seperti yang terlihat pada Gambar 3.2.
25

Total Nilai IFE Diberi Bobot


Kuat Rataan Lemah

Total Nilai EFE


Diberi Bobot
3,0-4,0 2,0-2,99 1,0-1,99
Tinggi (I) (II) (III)
3,0-4,0
Menengah (IV) (V) (VI)
2,0-2,99
Rendah (VII) (VIII) (IX)
1,0-1,99

Sumber. David, 2009


Gambar 3.2. Matriks IE

Diagram tersebut mengidentifikasikan sembilan sel strategi perusahaan


dalam matriks IE, tetapi pada prinsipnya sembilan sel itu dapat dikelompokan
menjadi strategi utama, yaitu :
1. Strategi tumbuh dan bina (growth and build), yang berada pada sel I, II, dan
IV. Strategi yang tepat untuk diterapkan adalah strategi intensif (penetrasi
pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk), atau strategi
integratif (integrasi ke depan, ke belakang dan horizontal)
2. Strategi mempertahankan dan memelihara (hold and maintain), yang berada
pada sel III, V dan VII. Strategi penetrasi pasar dan pengembangan produk
merupakan 2 (dua) strategi yang terbanyak dilakukan untuk tipe-tipe divisi ini.
3. Strategi panen atau divestasi (harvest or divest), yang berada pada sel VI,
VIII, IX. Strategi yang umum dipakai adalah strategi divestasi dan likuidasi.
Organisasi yang sukses dapat mencapai portofolio bisnis, yang diposisikan
berada dalam atau disekitar sel I dalam matrik IE. Nilai-nilai IFE dikelompokan
dalam kuat (3,0–4,0), sedang (2,0–2,99), dan lemah ((1,00–1,99). Sedangkan nilai
EFE dapat dikelompokan dalam tinggi (3,0–4,0), sedang (2,0–2,99) dan rendah
(1,00–1,99).

Matriks SWOT

Matriks SWOT digunakan untuk mencocokkan faktor-faktor lingkungan


yang penting dengan mengembangkan empat tipe strategi yaitu SO (kekuatan-
peluang atau strength-opprtunities), WO (kelemahan-peluang atau weakness-
opportunities), ST (kekuatan-ancaman atau strength-threats), dan WT
(kelemahan-ancaman atau weakness-threats).
Langkah-langkah dalam menyusun matrik SWOT (Hubeis dan Najib 2014) :
1. Identifikasi peluang eksternal perusahaan yang menentukan.
2. Identifikasi ancaman eksternal perusahaan yang menentukan.
3. Identifikasi kekuatan internal perusahaan yang menentukan.
4. Identifikasi kelemahan internal perusahaan yang menentukan.
5. Cocokkan kekuatan internal dengan peluang eksternal dan catat resultan
strategi S-O dalam sel yang tepat.
26

6. Cocokkan kelemahan internal dengan peluang eksternal dan catat resultan


strategi W-O dalam sel yang tepat.
7. Cocokkan kekuatan internal dengan ancaman eksternal dan catat resultan
strategi S-T dalam sel yang tepat.
8. Cocokkan kelemahan internal dengan ancaman eksternal dan catat resultan
strategi W-T dalam sel yang tepat.

Analytic Hierarchy Process

Berbagai pilihan strategi yang telah dihasilkan berdasarkan analisis SWOT


dari ketiga kelompok UMKM, akan diolah menggunakan AHP untuk dapat
menentukan prioritas dari strategi yang akan direkomendasikan. Dalam penelitian
ini AHP menggunakan bantuan software Expert Choice 2000.
Menurut Marimin (2008) terdapat empat ide dasar dalam prinsip kerja AHP:
1. Penyusunan hirarki.
Penyusunan hirarki dilakukan dengan cara mengidentifikasi pengetahuan
atau informasi yang sedang diamati. Penyusunan tersebut dimulai dari
permasalahan yang kompleks yang diuraikan menjadi unsur pokok. Unsur pokok
ini diuraikan lagi ke dalam bagian-bagian, dan seterusnya secara hirarki.

2. Penilaian kriteria dan alternatif.


Pada proses perbandingan berpasangan suatu kasus permasalahan,
penggunaan skala 1 sampai dengan 9 merupakan teknik penilaian yang terbaik
dalam mengekspresikan pendapat (Marimin, 2008). Secara lengkap, Tabel 3.7
menyajikan nilai skala dan maksud dari skala tersebut.

Tabel 3.7 Penilaian Kriteria

Nilai Keterangan
1 Kriteria / alternatif A sama penting dengan kriteria /alternatif B
3 A sedikit lebih penting dari B
5 A jelas lebih penting dari B
7 A sangat jelas lebih penting dari B
9 Mutlak lebih penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber. Marimin 2008

Nilai perbandingan A dengan B adala 1 (satu) dibagi dengan nilai


perbandingan B dengan A.

3. Penentuan Prioritas
Setiap level hirarki perlu dilakukan perbandingan berpasangan (pairwise
comparisons) untuk menentukan prioritas. Sepasang unsur dibandingkan
berdasarkan kriteria tertentu dan menimbang intensitas preferensi antar unsur.
Dalam konteks ini, unsur yang pada tingkat yang tinggi tersebut berfungsi
sebagai suatu kriteria disebut sifat (property).
27

Baik kriteria kualitatif maupun kuantitatif dapat dibandingkan sesuai dengan


judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas.
Bobot atau prioritas dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui
penyelesaian persamaan matematik.

4. Konsistensi Logis
Semua unsur dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten
sesuai dengan suatu kriteria yang logis. AHP mengukur konsistensi
menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai
rasio konsistensi harus 10% atau kurang. Jika lebih dari 10%, maka
penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki.
28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kota Bandung


Kota Bandung merupakan ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung
terletak diantara 1070 36’ Bujur Timur dan 6055’ Lintang Selatan. Berdasarkan
posisi geografisnya, Kota Bandung berbatasan dengan Kabupaten Bandung dan
Kab Bandung Barat (Utara), Kabupaten Bandung (Selatan), Kota Cimahi (Barat)
dan Kabupaten Bandung (Timur). Luas wilayah kota Bandung adalah 167,31 km2
yang terbagi menjadi 30 kecamantan yang mencakup 151 kelurahan. Kecamatan
terluas adalah Kecamatan Gedebage dengan luas 9,58 km2, sedangkan kecamatan
dengan luas terkecil adalah Kecamatan Astanaanyar yaitu 2,89 km2.

Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Bandung Tahun 2015

No Kecamatan Luas (km2)


1. Bandung Kulon 6,46
2. Babakan Ciparay 7,45
3. Bojongloa Kaler 3,03
4. Bojongloa Kidul 6,26
5. Astanaanyar 2,89
6. Regol 4,30
7. Lengkong 5,90
8. Bandung Kidul 6,06
9. Buah Batu 7,93
10. Rancasari 7,33
11. Gedebage 9,58
12. Cibiru 6,32
13. Panyileukan 5,10
14. Ujungberung 6,40
15. Cinambo 3,68
16. Arcamanik 5,87
17. Antapani 3,79
18. Mandalajati 6,67
19. Kiaracondong 6,12
20. Batununggal 5,03
21. Sumur Bandung 3,40
22. Andir 3,71
23. Cicendo 6,86
24. Bandung Wetan 3,39
25. Cibeunying Kidul 5,25
26. Cibeunying Kaler 4,50
27. Coblong 7,35
28. Sukajadi 4,30
29. Sukasari 6,27
30. Cidadap 6,11
Total 167,31
Sumber : BPS Kota Bandung (2016)
29

Jumlah penduduk Kota Bandung pada tahun 2015 sebesar 2.482.469 jiwa
dengan komposisi 50,51 persen penduduk laki-laki dan 49,49 persen perempuan.
Jumlah penduduk tersebut mengalami peningkatan sebesar 0,43 persen dan hal ini
berarti memengaruhi peningkatan kebutuhan pangan penduduk Kota Bandung.
Karakteristik wilayah kota Bandung merupakan pusat bisnis, perdagangan,
industri dan pendidikan sehingga banyak potensi UMKM pangan berdaya saing di
berbagai sektor yang dapat dikembangkan. Faktor eksternal penentu daya saing
UMKM pangan di Kota bandung antara lain keunggulan produk, lokasi,
pelanggan, pemasok dan peran pemerintah, sementara faktor internal adalah
masalah produksi, minat pembeli serta mutu dari produk maupun bahan baku
(Hubeis et al. 2015).

4.2 Karakteristik Industri/Usaha Pangan Olahan Kota Bandung

Kota Bandung dikenal sebagai daerah tujuan wisata yang memiliki aneka
jenis kuliner. Variasi pangan olahan yang dihasilkan sangat beragam. Responden
dalam penelitian ini merupakan UMKM pangan olahan yang menggunakan bahan
baku utama hasil pertanian sedikitnya 70%, memiliki masa simpan minimal 6
(enam) bulan, serta termasuk kategori pangan olahan yang diizinkan untuk
menggunakan izin edar SPP-IRT. Pangan olahan yang diproduksi olah UMKM
responden dalam penelitian ini adalah aneka keripik (pisang, singkong, tempe,
dan sayur), bawang goreng, sale pisang, nugget jamur, abon, rendang, dendeng,
cokelat, dan serundeng kelapa.
UMKM responden mendapatkan bahan baku dari pasar tradisional dan
supplier, dimana umumnya bahan baku berasal dari kabupaten sekitar Kota
Bandung seperti Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Lembang dan
lainnya. Hal ini disebabkan tidak banyak jenis komoditi pertanian yang dihasilkan
di Kota Bandung dengan keterbatasan lahan dan kesesuaian lahan yang ada.
Pemasaran produk pangan olahan hasil pertanian dari Kota Bandung
mencakup Kota Bandung dan kota/kabupaten lain di Indonesia seperti Jakarta,
Surabaya, Malang, Medan, dan lainnya. Pemasaran dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung yang melibatkan distributor dan reseller. Seiring dengan
perkembangan teknologi informasi, mayoritas UMKM (22 usaha atau 73,33
persen) telah menggunakan teknologi informasi dalam promosi dan pemasaran
produk seperti media sosial, website, dan toko online. Media sosial yang
digunakan antara lain facebook, instagram dan twitter. Sementara pemasaran
melalui toko online seperti buka lapak, blibli, tokopedia, lazada, dan lainnya.
Salah satu program Pemerintah Kota Bandung untuk mendukung UMKM adalah
adanya Little Bandung sebagai sarana promosi bagi UMKM di Kota Bandung
termasuk UMKM pangan olahan. Saat ini seluruh UMKM belum memiliki
kemitraan dengan usaha yang lebih besar. Kalaupun melakukan kemitraan,
UMKM hanya melakukan kemitraan dengan UMKM lain yang sejenis dan berada
di skala yang sama.
Tenaga kerja digunakan dalam UMKM umumnya berjumlah minimal 3
orang yang berasal dari dalam dan luar keluarga. Tenaga kerja terdiri dari tenaga
tetap dan juga tenaga tidak tetap/harian yang dipekerjakan bila tingkat
permintaan/pesanan produk sedang meningkat drastis. Hal ini mengindikasikan
30

bahwa UMKM mampu membuka lapangan pekerjaan dan turut andil dalam
mengurangi tingkat pengangguran di daerah sekitar UMKM berada.
Selain memiliki izin edar SPP-IRT atau MD, hampir seluruh UMKM telah
memiliki sertifikat halal dari LPPOM-MUI yaitu 27 usaha (90%). Untuk Hak atas
Kekayaan Intelektual (HaKI), terdapat sekitar 21 UMKM (70%) telah memiliki
hak atas merk. Hal ini didukung dengan adanya fasilitasi dari Dinas Perindustrian,
Perdagangan dan UMKM untuk pendaftaran hak atas merk bagi UMKM.
Penerapan Sistem Manajemen Mutu oleh UMKM telah dilakukan oleh dua
UMKM (0,06%) hingga memiliki sertifikat ISO 9001:2008 yaitu Restu Mande
dan CV. Bright Food Riung Gunung. Kedua UMKM tersebut merupakan UMKM
olahan daging. Sertifikasi ISO diperoleh dengan adanya bantuan/fasilitasi dari
Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat serta Badan
Standardisasi Nasional (BSN). Restu Mande dengan produk olahan utama
rendang dalam kemasan bahkan telah memiliki sertifikat GMP yang diterbitkan
oleh Lembaga Sertifikasi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2016.
Pembinaan UMKM pangan olahan hasil pertanian di Kota Bandung selama
ini dilakukan oleh berbagai instansi terkait antara lain Dinas Ketahanan Pangan
dan Peternakan Provinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, Dinas
Perkebunan Provinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Kota Bandung, Dinas
Kesehatan Kota Bandung, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan UMKM Kota
Bandung, serta Universitas Padjajaran. Pembinaan/pelatihan yang pernah diikuti
oleh para pemilik atau pegawai UMKM antara lain mengenai keamanan pangan,
pemasaran, pengemasan serta manajemen usaha.
Bantuan/fasilitasi peralatan pengolahan seperti mesin deep frying, alat
pengemas dan lainnya juga diberikan oleh pemerintah kepada UMKM pangan
olahan pertanian di Kota Bandung. Fasilitasi dalam hal promosi berbentuk
keikutsertaan dalam aneka pameran baik di dalam maupun luar negeri.

4.3. Kondisi Penerapan GMP pada UMKM Pangan Olahan Hasil Pertanian

Seluruh responden UMKM pangan olahan pertanian di Kota Bandung telah


memiliki izin edar SPP-IRT yang diterbitkan oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung
atau izin edar MD yang diterbitkan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
(BBPOM) Provinsi Jawa Barat. Sertifikat diperoleh baik secara swadaya maupun
bantuan fasilitasi dari Pemerintah. Setiap tahun Dinas Kesehatan Kota Bandung
memfasilitasi 200 UMKM dalam mendapatkan SPP-IRT.
Persyaratan utama untuk mendapatkan sertifikat tersebut adalah telah
mengikuti penyuluhan keamanan pangan yang diselenggarakan oleh Dinas
Kesehatan dan mampu memenuhi persyaratan minimal keamanan pangan yaitu
sanitasi dan higiene. Petugas Dinas Kesehatan akan melakukan pemeriksaan
sarana produksi pada saat UMKM mengajukan SPP-IRT. Untuk pendampingan
UMKM dalam menerapkan cara pengolahan pangan yang baik, Dinas Kesehatan
memiliki keterbatasan sumberdaya dimana hanya terdapat 4 orang sebagai
Petugas Penyuluh Keamanan Pangan dan 2 orang sebagai pengawas pangan/ Drug
Food Inspector (DFI). Hal ini belum mampu untuk menjangkau seluruh UMKM
pangan olahan yang ada di Kota Bandung.
Sertifikat SPP-IRT berlaku selama 5 tahun, sementara monitoring atau
pengawasan dari instansi berwenang tidak dilaksanakan secara rutin. Hal ini
31

berdampak pada penerapan cara pengolahan pangan yang baik (GMP) sangat
bergantung pada konsistensi UMKM itu sendiri.
Berdasarkan penilaian penerapan persyaratan GMP pada responden
UMKM pangan olahan di Kota Bandung sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.2
diperoleh hasil bahwa dari 30 UMKM mayoritas masih berada pada level 4 (50%)
dimana terdapat ≥ 7 penyimpangan kritis, sementara hanya terdapat dua UMKM
yang berada pada level 1 (6,67%) dimana terdapat 0 s/d 6 penyimpangan minor
dan 0 s/d 5 penyimpangan mayor. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM pangan
olahan pertanian di Kota Bandung telah mulai melakukan upaya penerapan GMP,
namun masih memerlukan berbagai usaha perbaikan dalam penerapan GMP untuk
meningkatkan mutu dan keamanan pangan.
Mayoritas temuan ketidaksesuaian dalam penerapan persyaratan GMP pada 30
UMKM responden adalah pada bangunan; pengawasan proses; karyawan;
pemeliharaan dan program sanitasi; dokumentasi dan pencatatan; pelatihan; serta
penarikan produk. Sementara aspek yang sudah cukup baik penerapannya adalah
pada pengemasan, penyimpanan, pengangkutan, label dan keterangan produk.

Tabel 4.2 Hasil penilaian penerapan GMP

Jenis UMKM Jumlah UMKM dalam Penerapan GMP


Level 1 Level 2 Level 3 Level 4
Pangan olahan 2 3 10 15
hasil pertanian (6,67%) (10%) (33,33%) (50%)

Secara umum aspek pemenuhan persyaratan GMP pada UMKM pangan


olahan hasil pertanian di Kota Bandung sebagai berikut :

4.3.1 Lokasi
Seluruh lokasi UMKM pangan olahan pertanian terdapat di daerah
pemukiman penduduk, baik yang tidak terlalu padat maupun yang padat seperti di
dekat pasar. Akses jalan menuju lokasi cukup baik, terletak jauh dari tempat
pembuangan sampah yang dapat menjadi sumber kontaminasi. Di Kota Bandung
belum terdapat daerah/pusat/cluster industri yang diciptakan oleh Pemerintah
Daerah khusus sebagai lokasi industri pangan olahan tertentu sehingga lokasi
UMKM pangan olahan pertanian tersebar di seluruh wilayah Kota Bandung.

4.3.2 Bangunan
Mayoritas bangunan UMKM merupakan bangunan rumah tinggal yang
dimodifikasi satu ruangan tertentu untuk dijadikan sebagai ruang produksi.
Sebagian besar UMKM (86,67%) kesulitan dalam memenuhi persyaratan terkait
bangunan dan fasilitas, mengingat bangunan produksi tidak didesain sejak awal
untuk produksi pangan yang memenuhi persyaratan GMP. Umumnya desain
konstruksi sudut pertemuan dinding dengan lantai membentuk sudut mati, tidak
dibuat landai/ cekung. Tata letak di ruang masih banyak yang belum didesain
sesuai aliran proses produksi sehingga memungkinkan terjadinya kontaminasi.
Gambar 4.1 menunjukkan beberapa penyimpangan yang terjadi pada
UMKM dari aspek bangunan. Pintu masuk bahan baku/ karyawan dan pintu
keluar produk yang sudah jadi tidak dibuat terpisah. Pada beberapa UMKM masih
32

ditemukan kondisi lantai yang pecah-pecah. Dinding atau pemisah ruangan jarang
dibuat dari bahan kedap air, berwarna terang, tidak mudah mengelupas. Tidak
semua pintu dan jendela dilengkapi dengan pintu kasa yang dapat dilepas untuk
memudahkan pembersihan dan perawatan. Pintu menuju ruang produksi juga
umumnya tidak membuka ke luar. Penerangan di ruang produksi seluruhnya
cukup memadai, namun tidak dilengkapi dengan sarana pelindung.

Gambar 4.1 Contoh penyimpangan pada aspek bangunan

Pada UMKM yang sudah memiliki sertifikat GMP atau sistem manajemen
mutu, jauh lebih baik dalam menerapkan cara produksi pangan olahan, seperti
dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Kondisi pintu pada UMKM pangan olahan yang menerapkan GMP

4.3.3 Fasilitas Sanitasi


Sumber air bersih UMKM berasal dari air sumur dan juga PAM. Air untuk
proses pencucian peralatan atau pencucian tangan umumnya menggunakan air
sumur atau PAM yang telah memenuhi standar air bersih. Sarana pembersihan
umumnya tidak dilengkapi dengan suplai air panas dan dingin. Air panas berguna
untuk melarutkan sisa-sisa lemak dan untuk tujuan disinfeksi peralatan. Peralatan
hanya dicuci menggunakan sabun cuci piring dan tidak pernah dilakukan
disinfeksi secara teratur.
Mayoritas UMKM belum mempunyai sarana higiene karyawan yang
lengkap untuk menjamin kebersihan karyawan guna mencegah kontaminasi
terhadap bahan pangan olahan. Untuk fasilitas untuk cuci tangan seluruh UMKM
33

telah memilikinya meskipun masih terdapat beberapa UMKM yang fasilitas cuci
tangannya belum diletakkan di depan pintu masuk ruangan pengolahan, belum
dilengkapi dengan alat pengering tangan (handuk, kertas serap atau pengering
aliran udara panas). Namun seluruh UMKM memasang instruksi/peringatan untuk
pegawai agar mencuci tangan terlebih dahulu sebelum memulai produksi. Untuk
fasilitas ganti pakaian dan fasilitas pembilas sepatu kerja masih sangat sedikit
UMKM yang menyediakannya. UMKM mayoritas belum dilengkapi dengan
tempat sampah yang tertutup. Keberadaan toilet umumnya merupakan
toilet/kamar mandi yang ada di dalam rumah. Letak toilet/kamar mandi cukup
banyak yang berdekatan dengan ruang produksi.

Gambar 4.3 Kondisi fasilitas sanitasi pada UMKM pangan olahan pertanian

4.3.4 Mesin dan Peralatan


Karena keterbatasan luas ruangan, umumnya penempatan mesin/peralatan
diletakkan tidak sesuai dengan urutan proses sehingga menyulitkan praktek
higiene yang baik dan dapat memudahkan terjadinya kontaminasi silang.
Mesin/peralatan belum dilengkapi dengan alat pengatur dan pengendali
kelembaban, aliran udara yang memengaruhi keamanan pangan olahan. Untuk alat
ukur mayoritas UMKM tidak melakukan kalibrasi alat untuk menjaga tingkat
keakuratan alat.

4.3.5 Bahan
Seluruh UMKM telah memiliki formulasi untuk produk olahannya, namun
tidak semuanya memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dan instruksi kerja
untuk masing-masing tahapan/proses produksi. Untuk penggunaan bahan baku
UMKM memiliki persyaratan sendiri, namun mayoritas belum mengacu pada
Standar Nasional Indonesia (SNI). Bahan Tambahan Pangan (BTP) seperti gula,
garam, bahan penyedap, penguat rasa, pewarna dan lainnya yang digunakan oleh
seluruh UMKM pangan olahan pertanian responden merupakan BTP yang
diijinkan oleh Pemerintah. Pemilik UMKM sudah mendapatkan pengetahuan
tentang penggunaan BTP yang dilarang ataupun diperbolehkan dari Dinas
Kesehatan setempat. Namun untuk jumlah maksimal penggunaan BTP, tidak
semua pemilik/pengelola UMKM mengetahuinya. Bahan baku utama mayoritas
berasal dari supplier (0,66%) UMKM, namun ada juga UMKM yang
mendapatkan bahan baku dengan cara membeli langsung di pasar, hal ini cukup
34

menyulitkan dalam hal kemampuan telusur (traceability). Selain itu, umumnya


UMKM tidak memelihara catatan mengenai bahan yang digunakan.

Gambar 4.4 Bahan baku pangan olahan pertanian

4.3.6 Pengawasan Proses


Mayoritas pemilik/pengelola UMKM tidak mengetahui titik kritis dari
proses pengolahan pangan yang diproduksi. Pemilik UMKM umumnya bertindak
juga sebagai pengelola, pengawas proses hingga pengawas produk akhir. Hanya
6,67% UMKM yang memiliki tenaga khusus sebagai quality control yang
bertugas memantau seluruh proses produksi hingga menjadi produk akhir.
Masih banyak UMKM melakukan penempatan/penyimpanan bahan baku
yang tidak terpisah dari bahan yang telah diolah atau produk akhir. Hal ini terkait
dengan keterbatasan sarana yang dimiliki UMKM. Dalam menangani proses
produksi, masih banyak karyawan UMKM yang belum menggunakan alat-alat
pelindung seperti baju kerja, topi/haircap dan alas kaki.
Lampu di tempat pengolahan, pengemasan dan penyimpanan tidak
dilindungi dengan bahan-bahan yang tidak pecah, sehingga membuka peluang
untuk terjadinya kontaminasi.

4.3.7 Produk akhir


Sebagian besar UMKM telah menetapkan persyaratan mutu produk akhir
yang dihasilkan. Umumnya persyaratan produk mengacu pada permintaan
pasar/konsumen. Meskipun belum memiliki sertifikasi SNI, namun untuk produk
olahan daging, mayoritas persyaratan produk akhir tersebut mengacu pada Standar
Nasional Indonesia (SNI).
Sebelum diedarkan umumnya UMKM memeriksa mutu produk yang
dihasilkan, namun hanya secara organoleptik seperti kesesuaian rasa,
keseragaman bentuk/ukuran. Namun untuk keamanan pangan sendiri tidak
dilakukan pemeriksaan akhir secara mendalam seperti pengujian.

4.3.8 Laboratorium
Seluruh UMKM pangan olahan pertanian di Kota Bandung tidak memiliki
fasilitas laboratorium sendiri. Namun UMKM melakukan pengujian mutu produk
dilakukan minimal 1 kali pada laboratorium milik Dinas Kesehatan Kota
Bandung, laboratorium Universitas, atau laboratorium swasta yang terdapat di
Kota Bandung pada saat akan mengajukan SPP-IRT atau MD. Pengujian
35

umumnya dilakukan terhadap penggunaan bahan tambahan pangan, masa


kadaluarsa, kandungan nutrisi, serta pengujian mutu air.

Gambar 4.5 Hasil pengujian masa kadaluarsa produk

4.3.9 Karyawan
Kendala terbesar dalam penerapan GMP dalam UMKM adalah seringnya
terjadi pergantian personel/pekerja. Pekerja yang umumnya berasal dari tenaga
kerja luar keluarga dan umumnya dibayar secara harian sering berganti-ganti,
sehingga membutuhkan waktu untuk melatih kembali dan membiasakan pekerja
tersebut untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip GMP. Hampir 80% pimpinan
UMKM menyatakan bahwa karyawan menjadi kendala dalam penerapan GMP.
Kesadaran dan konsistensi karyawan dalam menerapkan GMP relatif kurang
baik. Masih ditemui pada beberapa UMKM, karyawan dalam unit pengolahan
memakai perhiasan, jam tangan atau benda lain yang membahayakan keamanan
produk. Karyawan masih perlu seringkali diingatkan oleh pemilik/pengelola
UMKM. Mayoritas UMKM pengolaan pangan belum menunjuk dan menetapkan
personil yang terlatih dan kompeten sebagai penanggungjawab pengawasan
keamanan pangan olahan. Pemiliklah yang bertugas sebagai penanggungjawab
mutu (quality control).

4.3.10 Pengemas
Salah satu keunggulan dari produk olahan di Kota Bandung adalah
kemasan yang cukup menarik. Design, bentuk dan warna kemasan dirancang agar
eye catching. Kemasan umumnya terbuat bahan yang aman untuk pangan. Bahan
kemasan produk antara menggunakan plastik, kertas berlapis alumunium foil,
kaleng, botol dan lainnya menyesuaikan produk olahan yang dihasilkan.
Penyimpanan bahan pengemas, mayoritas UMKM tidak menyimpan
secara terpisah dari bahan baku dan produk akhir. Hanya beberapa UMKM saja
yang memisahkan tempat penyimpanan bahan kemasan.

4.3.11 Label dan Keterangan Produk


Label produk pangan olahan mengacu pada ketentuan yang tercantum
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan
Pangan. Label antara lain berisi tentang merk, nama perusahaan, alamat
perusahaan, komposisi bahan, berat bersih, tanggal kadaluarsa serta nomor izin
edar. Namun masih sangat sedikit UMKM yang mencantumkan kode produksi
36

serta kandungan gizi dari produk yang dihasilkan. Label halal yang dicantumkan
dalam kemasan seluruhnya merupakan label resmi dari MUI.

4.3.12 Penyimpanan
Pada beberapa UMKM ditemukan ketidaksesuaian bahwa bahan yang
digunakan dalam proses pengolahan dan produk akhir tidak disimpan terpisah di
dalam ruangan yang bersih, aliran udara terjamin, suhu sesuai, cukup penerangan
dan bebas hama. Penyimpanan bahan baku menyentuh lantai, menempel dinding
dan dekat dengan langit-langit. Penyimpanan bahan belum menggunakan sistem
kartu yang menyebutkan nama bahan, tanggal penerimaan, asal bahan, tanggal
pengeluaran dan informasi lain yang diperlukan. Penyimpanan produk akhir
belum menggunakan sistem kartu yang menyebutkan nama produk, tanggal
produksi, kode produksi, tanggal pengeluaran, jumlah pengeluaran dan informasi
lain yang diperlukan.

4.3.13 Pemeliharaan dan Program Sanitasi


Program pembersihan dan desinfeksi belum dilakukan secara berkala serta
dipantau ketepatan dan keefektifannya. Sekitar 86% UMKM belum memiliki
program pengendalian hama. Jendela, pintu dan ventilasi tidak dilapisi dengan
kasa dari kawat untuk menghindari masuknya dari hama. Limbah yang dihasilkan
dari proses produksi umumnya masih dibiarkan menumpuk di lingkungan/tempat
produksi, tidak segera ditangani, diolah atau segera dibuang.

4.3.14 Pengangkutan
Setelah selesai melalui proses produksi dan dikemas, produk olahan
umumnya ditempatkan dalam wadah plastik seperti container sebelum
dimasukkan ke dalam kemasan sekunder (kardus karton). Wadah dan alat
pengangkutan pangan olahan umumnya dipelihara dalam keadaan bersih dan
terawat, dan hanya digunakan untuk mengangkut bahan-bahan pangan saja.

4.3.15 Dokumentasi dan Pencatatan


Salah satu permasalahan utama pada UMKM pangan olahan pertanian
adalah dokumentasi dan pencatatan. Mayoritas UMKM (90%) belum memiliki
sistem pencatatan yang baik. Pencatatan hanya berupa jumlah barang yang
diproduksi dan dijual setiap hari. Namun untuk kemampuan ketulusuran
(traceability) masih sangat lemah.

4.3.16 Pelatihan
Pelatihan karyawan umumnya hanya dilakukan secara internal, namun
tidak ada jadwal rutin untuk pelaksanaan pelatihan. Hanya pada UMKM yang
telah memiliki sertifikat ISO 9001:2008 saja yang memiliki jadwal rutin untuk
pelaksanaan pelatihan karyawan. Umumnya pemilik atau petugas quality control
yang telah mengikuti pelatihan dari instansi pemerintah atau sumber lain akan
mengajarkan pengetahuan yang didapatkan kepada para karyawannya secara
informal.

4.3.17 Penarikan Produk


37

Mayoritas UMKM belum memiliki mekanisme untuk penarikan produk


jika suatu saat terjadi penyimpangan setelah produk beredar. Terlebih lagi sistem
pemasaran yang digunakan pada mayoritas UMKM adalah distributor dan
reseller dimana sistem penjualan lebih bersifat beli putus. Hanya pada UMKM
yang telah memiliki sertifikat ISO 9001:2008 saja yang memiliki sistem untuk
mekanisme penarikan produk.

4.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penerapan GMP

Peubah (Y) dalam penelitian ini adalah penerapan GMP, sementara peubah
(X) adalah faktor-faktor yang diduga memiliki hubungan dengan penerapan GMP,
yaitu : tingkat pendidikan formal, frekuensi mengikuti pelatihan mutu dan
keamanan pangan, umur pimpinan/pemilik UMKM, omset perusahaan, adanya
fasilitasi/bantuan Pemerintah dalam hal sarana pengolahan, sertifikasi, dll dan
umur usaha. Hasil dari perhitungan korelasi ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Hasil analisis bivariat korelasi PPM

No Faktor Nilai r Nilai Nilai KP Tingkat


thitung ttabel (%) hubungan
1. Tingkat pendidikan formal 0,508 3,123 2,048 25,84 Nyata, cukup kuat
2. Frekuensi mengikuti pelatihan 0,687 5,007 2,048 47,24 Nyata, kuat
mutu dan kemanan pangan
3. Umur pimpinan usaha -0,510 3,139 2,048 26,04 Nyata, cukup kuat
4. Omset 0,654 4,582 2,048 42,85 Nyata, kuat
5. Adanya fasilitasi/ bantuan 0,666 4,736 2,048 44,48 Nyata, kuat
pemerintah
6. Umur usaha 0,185 0,996 2,048 4,42 Tidak nyata

4.4.1 Tingkat Pendidikan


Tingkat pendidikan formal para pimpinan UMKM pangan olahan
mayoritas adalah S1 s/d S2 sebanyak 17 orang (56,66%), disusul SD s/d SMA
berjumlah 9 orang (30%), serta D1 s/d D3 sebanyak 4 orang (13,33%).
Berdasarkan perhitungan secara statistik pada taraf uji diperoleh hasil
bahwa terdapat hubungan yang positif dan nyata antara pendidikan formal dengan
penerapan GMP, dengan tingkat hubungan yang cukup kuat. Semakin tinggi
tingkat pendidikan formal yang dimiliki oleh pimpinan UMKM maka semakin
baik penerapan GMP di UMKM tersebut. Hal ini berhubungan dengan
kompetensi SDM yang dimiliki. Tingkat pendidikan formal memberikan
kontribusi terhadap penerapan GMP sebesar 25,84 % dan sisanya ditentukan
peubah lain.

4.4.2 Frekuensi mengikuti pelatihan mutu dan keamanan pangan


Pemilik UMKM umumnya bertindak sebagai pimpinan sekaligus
pengelola UMKM. Frekuensi pimpinan UMKM dalam mengikuti pelatihan mutu
dan keamanan pangan seperti penyuluhan keamanan pangan, sosialisasi mutu dan
standardisasi, sistem manajemen mutu, sistem jaminan mutu dan keamanan
pangan, HACCP, dll mayoritas adalah 1 s/d 2 kali sebanyak 22 UMKM (73,33%),
38

sementara yang mengikuti lebih dari 2 kali pelatihan adalah sebanyak 8 UMKM
(26,67%). Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa terdapat korelasi positif
yang nyata antara frekuensi mengikuti pelatihan mutu dan keamanan pangan
dengan penerapan GMP dengan tingkat hubungan kuat. Semakin sering pimpinan
UMKM mengikuti pelatihan maka semakin baik penerapan GMP. Hal ini
berhubungan dengan peningkatan wawasan dan pengetahuan pimpinan/pemilik
UMKM. Frekuensi pelatihan mutu keamanan pangan memberikan kontribusi
terhadap penerapan GMP sebesar 47,24 % dan sisanya ditentukan peubah lain.

4.4.3 Umur Pimpinan/Pemilik UMKM


Pimpinan/pemilik UMKM pangan olahan responden mayoritas berumur
antara 31 s/d 40 th berjumlah 12 orang (40%), diikuti 41 s/d 50 tahun (11 orang,
36,66%), 20-30 th (5 orang, 16,67%) dan 51 s/d 60 th (2 orang, 6,66 %). Hal ini
menunjukkan bahwa seluruh pemimpin/pemilik UMKM termasuk ke dalam usia
produktif dan termasuk angkatan kerja. Berdasarkan hasil perhitungan statistik
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara umur
pemimpin/pemilik UMKM dengan penerapan GMP pada UMKM dengan tingkat
hubungan cukup kuat. Korelasi yang terjadi bersifat negatif dimana semakin muda
umur pimpinan UMKM maka semakin baik penerapan GMP di UMKM
bersangkutan. Hal ini antara lain disebabkan karena pemilik UMKM berumur
muda relatif lebih responsif terhadap adanya inovasi. Umur pemilik memberikan
kontribusi terhadap penerapan GMP sebesar 26,04 % dan sisanya ditentukan
peubah lain.

4.4.4 Omset perusahaan


Omset UMKM pangan olahan hasil pertanian per tahun mayoritas adalah
sebesar >200-300 juta sebanyak 13 usaha (43,33%), omset > 300 juta-2,5 milyar
(7 usaha, 23,33%), <50 juta (6 usaha, 20%), 50-200 juta (3 usaha, 10%), 2,5-50
milyar (1 usaha, 3,33%). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil terdapat
hubungan yang nyata antara omset UMKM dengan penerapan GMP dengan
tingkat hubungan yang kuat. Semakin tinggi omset maka semakin baik penerapan
GMP, hal ini berkaitan dengan biaya yang diperlukan untuk menerapkan GMP
secara lebih baik terutama dalam melengkapi sarana dan prasarana. Omset per
tahun memberikan kontribusi terhadap penerapan GMP sebesar 42,851 % dan
sisanya ditentukan peubah lain.

4.4.5 Adanya fasilitasi/bantuan pemerintah.


Untuk meningkatkan mutu dan keamanan pangan produk olahan UMKM,
pemerintah pusat maupun daerah memiliki program pemberian fasilitasi/bantuan
dalam hal teknologi dan sarana pengolahan, pendampingan intensif penerapan
mutu dan keamanan pangan, atau sertifikasi. Dari 30 responden penelitian,
terdapat 4 UMKM (13,33%) yang pernah mendapatkan fasilitasi/bantuan dari
pemerintah. Berdasarkan hasil perhitungan statistik pada taraf uji
diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang nyata dan positif antara
fasilitasi/bantuan Pemerintah dengan penerapan GMP. Tingkat hubungan kedua
peubah kuat. Fasilitasi/bantuan Pemerintah memberikan kontribusi terhadap
penerapan GMP sebesar 44,483% dan sisanya ditentukan peubah lain. Hal ini
menunjukkan bahwa UMKM yang mendapatkan fasilitasi/bantuan dari
39

Pemerintah lebih baik dalam penerapan GMP dibanding yang tidak mendapatkan
fasilitasi.

4.4.6 Umur usaha


Umur usaha mayoritas responden adalah diatas 3 tahun sebanyak 20
UMKM (66,67%), diikuti antara 1 s/d 3 tahun sebanyak 10 UMKM (33,33%),
sementara tidak ada UMKM yang berumur dibawah 1 tahun. Berdasarkan hasil
perhitungan korelasi pada taraf uji diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada
hubungan yang nyata antara umur usaha dengan penerapan GMP pada UMKM
pangan olahan hasil pertanian di Kota Bandung. Umur usaha hanya memberikan
kontribusi terhadap penerapan GMP sebesar 3,42 % dan sisanya ditentukan
peubah lain.

4.5 Analisis Lingkungan

Faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal yang memengaruhi penerapan


GMP pada UMKM pangan olahan pertanian di Kota Bandung diperoleh berdasarkan
studi literatur, tinjauan langsung ke lokasi penelitian serta wawancara yang mendalam
dengan para pakar. Faktor-faktor internal dilihat dari berbagai aspek internal, yaitu
produksi, sumberdaya manusia, keuangan, dan pemasaran. Faktor-faktor lingkungan
eksternal dikaji dari berbagai aspek eksternal yang ada, seperti ekonomi, sosial,
teknologi, politik, konsumen, dan pesaing.
Penetapan bobot untuk analisis matriks Internal Factor Evaluation (IFE)
dan External Factor Evaluation (EFE) melibatkan tiga orang pakar, yaitu :
1. Pejabat Fungsional Pengawas Keamanan Pangan Dinas Kesehatan Kota
Bandung
2. Tenaga Pendamping Kegiatan WUB (Wira Usaha Baru) Dinas Ketahanan
Pangan dan Peternakan Provinsi Jawa Barat
3. Kepala Bidang Keamanan Pangan, Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan
Keamanan Pangan, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian

Analisis Matriks Internal Factor Evaluation (IFE)

Berdasarkan hasil analisis faktor internal, terdapat 12 faktor yang terdiri dari
lima faktor yang menjadi kekuatan dan tujuh faktor yang menjadi kelemahan.
Perhitungan bobot dan rating faktor internal ditunjukkan pada Tabel 4.4. Pada
Tabel 4.4 terlihat bahwa kekuatan utama yang dimiliki oleh UMKM yang mendukung
dalam penerapan cara produksi pangan olahan yang baik (GMP) adalah UMKM telah
memiliki izin edar (skor 0,340), sementara kelemahan utama yang dimiliki adalah
kesenjangan pemahaman tentang keamanan pangan antara pimpinan dengan
karyawan (skor 0,102).
40

Tabel 4.4 Analisis matriks IFE

No Faktor Strategik Internal Bobot Rating Skor


(a) (b) (axb)
Kekuatan
1. Pimpinan/pemilik telah mengikuti 0,079 4,000 0,315
penyuluhan keamanan pangan
2. Jumlah tenaga kerja yang digunakan 0,065 3,667 0,239
3. Teknologi proses relatif sederhana 0,078 3,567 0,277
4. Kemasan produk menarik (eye catching) 0,079 3,567 0,282
5. Memiliki izin edar 0,085 4,000 0,340
Kelemahan
6. Komitmen dan konsistensi pimpinan dalam 0,101 1,567 0,159
penerapan GMP
7. Kesenjangan pemahaman tentang keamanan 0,082 1,233 0,102
pangan antara pimpinan dengan karyawan
8. Kesadaran karyawan dalam menerapkan 0,100 1,367 0,137
prinsip GMP
9. Kemampuan permodalan 0,075 1,533 0,115
10. Kemampuan telusur (traceability) 0,096 1,300 0,125
11. Karakteristik bahan baku (kecepatan 0,090 1,500 0,135
kerusakan)
12. Lemahnya hubungan kemitraan 0,069 1,500 0,103
Total 1,000 28,800 2,329

Pimpinan/pemilik telah mengikuti penyuluhan keamanan pangan


Seluruh pimpinan/pemilik UMKM pangan olahan telah pernah
mendapatkan penyuluhan keamanan pangan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan
Kota Bandung. Hal ini menjadi kekuatan karena berarti para pimpinan UMKM
telah mengetahui prinsip keamanan pangan dan cara pengolahan pangan yang
baik untuk industri rumah tangga. Penyuluhan dilakukan selama 2 (dua ) hari
dengan materi antara lain terdiri dari : a) Peraturan perundang-undangan di bidang
pangan; b) Keamanan dan Mutu pangan; c) Teknologi Proses Pengolahan Pangan;
d) Prosedur Operasi Sanitasi yang Standar /SSOP); e) Cara Produksi Pangan Yang
Baik untuk Industri Rumah Tangga (CPPB-IRT); f) Penggunaan Bahan
Tambahan Pangan (BTP); g) Persyaratan Label dan Iklan Pangan; i) Label Halal

Jumlah tenaga kerja yang digunakan


Jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh UMKM tidak banyak sehingga
relatif lebih mudah untuk dibina dan diawasi. Ketika pimpinan UMKM sudah
menentukan aturan/prosedur yang harus diikuti dan dilaksanakan oleh para
karyawan, maka karyawan akan mengikuti aturan tersebut. Komunikasi antar
pimpinan dengan karyawan lebih terbuka. Pengawasan terhadap karyawan yang
sedikit juga akan lebih mudah dilakukan. Meskipun pada UMKM sering terjadi
pergantian karyawan terutama karyawan tidak tetap. Hal ini menjadi salah satu
kekuatan internal dalam penerapan GMP.
41

Teknologi proses relatif sederhana


Teknologi proses pengolahan yang digunakan oleh UMKM umumnya
masih sederhana, sarana/alat pengolahan mayoritas secara manual, untuk
pengemasan umumnya menggunakan alat pengemas semi otomatis. Berkaitan
dengan keamanan pangan, hal ini mempermudah dalam hal pengawasan proses,
penyusunan standar operasional prosedur, serta pembersihan alat.

Kemasan produk menarik (eye catching)


Produk pangan olahan yang dihasilkan oleh UMKM berdaya saing di Kota
Bandung umumnya sudah memiliki kemasan yang didesain cukup menarik, warna
kontras, serta menggunakan merk yang cukup unik agar menarik perhatian
konsumen, seperti Tempe Gila, Gorila, Zanana, Tempe Coklat Buluk Lupa, dll.
Inovasi dalam bentuk kemasan pun banyak dilakukan, selain untuk menarik
konsumen juga untuk mempertahankan mutu dan daya simpan produk.

Memiliki izin edar


Izin edar merupakan salah satu persyaratan suatu produk dapat dipasarkan
di Indonesia. Seluruh UMKM telah memiliki izin edar SPP-IRT yang diterbitkan
oleh Dinas Kesehatan Kota Bandung. Dengan telah memiliki izin edar, pimpinan
UMKM memiliki tanggungjawab moril untuk mempertahankan penerapan GMP
di usaha olahan mereka.

Komitmen/konsistensi pimpinan/pemilik usaha


Struktur organisasi UMKM masih sederhana. Seluruh pemilik UMKM
berperan sebagai pimpinan, sehingga komitmen yang dimiliki oleh pimpinan
sangat berpengaruh langsung terhadap penerapan GMP di UMKM, termasuk
keberlanjutan usaha secara keseluruhan. Walaupun UMKM telah mendapat
penyuluhan dan pembinaan dari pemerintah namun bila tidak diikuti komitmen
dan dukungan dari pimpinan/pemilik UMKM akan menyebabkan penerapannya
berhenti.
UMKM yang telah memiliki SPP-IRT pada prinsipnya telah memenuhi
persyaratan minimal keamanan pangan industri pangan rumah tangga yang
ditetapkan oleh BPOM. Petugas Dinas Kesehatan Kota Bandung melakukan
pemeriksaan sarana produksi pada saat UMKM mengajukan izin pertama kali.
Setelah UMKM mendapatkan sertifikat, komitmen dan konsistensi dari pimpinan
usaha yang menjadi faktor penentu keberlanjutan penerapan keamanan pangan.
Monitoring atau pengawasan dari instansi berwenang jarang dilakukan secara
rutin. Umumnya pimpinan bersemangat menerapkan GMP pada saat awal-awal
usaha atau setelah mendapatkan penyuluhan tentang keamanan pangan, namun
setelah itu penerapannya tidak konsisten.

Kesenjangan pemahaman keamanan pangan antara pimpinan dengan


karyawan
Kesenjangan antara pengetahuan pimpinan dan karyawan UMKM tentang
cara pengolahan pangan yang baik (GMP) relatif cukup tinggi. Seluruh pimpinan
pernah mendapatkan pelatihan/pembinaan tentang keamanan pangan sekurang-
kurangnya satu kali pada saat penyuluhan cara pengolahan pangan industri rumah
tangga di Dinas Kesehatan Kota Bandung, namun para karyawan masih banyak
42

yang belum mendapatkan pelatihan tentang keamanan pangan. Pendidikan


karyawan UMKM pun relatif rendah karena umumnya merekrut masyarakat dari
lingkungan sekitar.

Kesadaran karyawan dalam menerapkan prinsip GMP


Berkaitan dengan masih kurangnya pengetahuan para karyawan tentang
pentingnya cara pengolahan pangan yang baik maka tingkat kesadaran karyawan
dalam hal penerapan GMP masih cukup rendah. Karyawan masih harus sering
diingatkan dan diawasi terutama dalam hal penerapan sanitasi dan higiene saat
proses produksi.
Kajian penerapan GMP pada UMKM kaki naga di Parung yang dilakukan
oleh Mardiana et al (2016) menunjukkan bahwa terdapat beberapa aspek GMP
dan SSOP yang masih belum sesuai yang disebabkan rendahnya pemahaman dan
pengetahuan karyawan akan pentingnya GMP dan SSOP sehingga tingkat
kontaminasi terhadap bahan pangan masih tinggi.

Kemampuan permodalan
Seluruh UMKM responden menggunakan modal pribadi atau keluarga
dalam menjalankan usahanya, belum ada yang memanfaatkan akses pembiayaan
dari lembaga keuangan sehingga modal relatif terbatas. Dana CSR yang
disediakan oleh BUMN seperti BNI, Pertamina, BRI, atau perusahaan swasta
masih belum sebanding dengan jumlah UMKM yang ada. Untuk memaksimalkan
penerapan GMP diperlukan berbagai perbaikan terutama dari sisi sarana dan
prasarana yang membutuhkan biaya cukup besar. Hal ini dianggap cukup
memberatkan bagi sebagian besar pemilik UMKM.

Kemampuan telusur (traceability)


Kemampuan telusur produk-produk UMKM masih sangat lemah baik dalam
hal bahan baku maupun produk akhir. Bahan baku utama mayoritas berasal dari
supplier, namun ada juga UMKM yang mendapatkan bahan baku dengan cara
membeli langsung di pasar, hal ini menyulitkan dalam hal kemampuan telusur
(traceability). Selain itu, umumnya UMKM tidak memelihara catatan mengenai
bahan-bahan yang digunakan. Produk akhir dijual baik secara langsung maupun
melalui distributor/reseller. Tidak adanya kode produksi maupun pencatatan
secara lengkap akan barang keluar menyebabkan sulitnya ketelusuran
(traceability) jika suatu saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti
keracunan atau kontaminasi produk yang mengakibatkan penarikan produk.

Karakteristik bahan baku (kecepatan kerusakan)


Hasil pertanian memiliki karakteristik mudah rusak, mudah busuk dan
mudah terkontaminasi sehingga membutuhkan penanganan yang cepat dan hati-
hati. Penanganan yang baik mulai dari penanganan bahan baku, proses
pengolahan, pemasaran hingga produk sampai di tangan konsumen harus
dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan produk pangan olahan.
Bahan baku bisa menjadi salah satu titik kritis yang berpotensi menjadi
bahaya. Seperti dalam kajian penentuan titik kritis pengolahan dodol nanas di
Jambi oleh Yanti dan Novalinda (2016), diketahui bahwa bahan baku nanas
merupakan salah satu Critical Control Point (CCP) karena terdapat kemungkinan
43

busuk, tercemar/terkontaminasi dan sebagai media tumbuhnya kuman sehingga


dapat mempengaruhi keamanan produk.

Lemahnya hubungan kemitraan


Seluruh UMKM responden selama ini belum memiliki hubungan
kemitraan dengan pihak lain seperti industri yang memiliki skala lebih besar.
Kerjasama hanya dilakukan dengan pemasok bahan baku, serta industri repacking
dengan sistem jual putus tanpa ada perjanjian untuk pembinaan ataupun
penjaminan mutu.

Analisis Matriks External Factor Evaluation (EFE)

Berdasarkan hasil analisis faktor eksternal diperoleh 10 faktor eksternal


yang terdiri tujuh faktor menjadi peluang dan tiga faktor menjadi ancaman.
Dikategorikan sebagai peluang jika kemampuan UMKM dalam merespon faktor
tersebut cukup/sangat tinggi. Sementara suatu faktor dikategorikan sebagai
ancaman bila kemampuan UMKM dalam merespon/memanfaatkan faktor tersebut
cukup/sangat rendah. Untuk faktor strategik eksternal seperti terlihat pada Tabel 4.5,
peluang utama yang dimiliki oleh UMKM pangan olahan hasil pertanian di Kota
Bandung adalah ketersediaan air bersih dan bahan baku yang bermutu (skor 0,399),
Sementara ancaman terbesar adalah persaingan dengan produk sejenis dari industri
yang menerapkan GMP/HACCP (0,130).

Tabel 4.5. Analisis Matriks EFE


No Faktor Strategik Eksternal Bobot Rating Skor
(a) (b) (axb)
Peluang
1. Pembinaan dan fasilitasi Pemerintah 0,102 3,267 0,335
Pusat dan Daerah
2. Persyaratan mutu dan keamanan pangan 0,099 3,333 0,329
yang ditetapkan oleh modern market
3. Infrastruktur penunjang di daerah 0,085 3,433 0,291
setempat (seperti laboratorium)
4. Ketersediaan air bersih dan bahan baku 0,106 3,767 0,399
bermutu
5. Perkembangan teknologi informasi 0,097 3,700 0,358
6. Penghargaan lomba mutu dan keamanan 0,096 3,333 0,322
pangan
7. Kesadaran masyarakat akan pangan aman 0,102 3,467 0,354
dan bermutu
Ancaman
8. Kompleksitas persyaratan keamanan 0,112 1,367 0,153
pangan
9. Persaingan dengan produk sejenis dari 0,095 1,367 0,130
industri yang menerapkan GMP/HACCP
10. Keterbatasan tenaga penyuluh dan 0,105 1,300 0,137
pengawas keamanan pangan
Total 1,000 28,333 2,808
44

Pembinaan dan fasilitasi dari Pemerintah Pusat dan Daerah


Pembinaan dan fasilitasi dari pemerintah sangat memengaruhi penerapan
GMP di UMKM. Semakin intensif pembinaan dilakukan maka semakin tinggi
motivasi UMKM dalam menerapkan GMP. Pada UMKM olahan daging yang
telah memiliki sertifikasi ISO 9001:2008, proses penerapan dan pengurusan
sertifikasi ISO merupakan fasilitasi dari Badan Standardisasi Nasional (BSN).
Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Kota Bandung memberikan fasilitasi
dalam bentuk bantuan alat pengolahan produk peternakan, serta pendampingan
dalam pengurusan sertifikat MD di Balai Besar POM Provinsi Jawa Barat. Dinas
Perindustrian, Perdagangan dan UMKM Kota Bandung banyak memfasilitasi
dalam hal promosi dan pemasaran produk olahan melalui keikutsertaan dalam
berbagai ajang pameran.

Persyaratan mutu dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh modern


market
Tuntutan akan pangan yang aman dan bermutu umumnya datang dari pasar
modern serta tujuan ekspor. Sementara untuk pemasaran tujuan pasar tradisional
biasanya tidak terlalu memperhatikan masalah keamanan pangan. Unsur utama
yang lebih diperhatikan adalah penampilan produk seperti bentuk kemasan yang
menarik serta varian rasa yang unik. Namun pada prinsipnya seluruh UMKM
bersedia untuk menerapkan GMP secara lebih baik bila memang hal tersebut
dipersyaratkan oleh konsumen dan biaya yang dikeluarkan untuk penerapan GMP
sebanding dengan pendapatan yang diperoleh.

Infrastruktur penunjang di daerah setempat (seperti laboratorium)


UMKM pangan olahan tidak ada yang memiliki laboratorium sendiri, oleh
karena itu harus didukung dengan infrastruktur milik Pemerintah Daerah atau
swasta untuk pengujian terkait keamanan pangan. Di Kota Bandung terdapat
laboratorium pengujian milik Dinas Kesehatan Kota Bandung serta Balai Besar
POM Provinsi Jawa Barat. Laboratorium milik swasta seperti Sucofindo juga
terdapat di Kota Bandung. Umumnya UMKM lebih memilih untuk menguji
produknya di laboratorium milik pemerintah dengan pertimbangan biaya yang
lebih murah.

Ketersediaan air bersih dan bahan baku bermutu


Ketersediaan air bersih dan bahan baku yang bermutu sangat menentukan
mutu dan kemanan pangan olahan yang dihasilkan. UMKM pangan olahan di
Kota Bandung mayoritas memanfaatkan PDAM Tirtawening sebagai sumber air
bersih. Kualitas air yang dihasilkan oleh PDAM Tirtawening Kota Bandung sudah
memenuhi standar air bersih. Saat ini PDAM Tirtawening memanfaatkan 3
sumber air yaitu air permukaan/air sungai (sungai cisangkuy, cikapundung,
cibeureum, cipanjalu), mata air dan air tanah. Untuk air sebagai bahan baku dalam
proses pengolahan, pelaku usaha umumnya menggunakan air minum dalam
kemasan.
Bahan baku hasil pertanian banyak didatangkan dari daerah sekitar Kota
Bandung. Untuk mendukung peningkatan mutu dan keamanan pangan produk
pertanian segar di Kota Bandung, Dinas Pertanian Kota Bandung sudah memiliki
minilab security yang ditempatkan di beberapa pasar modern di Bandung untuk
45

pengujian cepat (rapid test) mutu dan keamanan pangan produk pertanian segar
yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.
Berdasarkan kajian Delmayuni et.all (2017) ketersediaan bahan baku yang
bermutu juga merupakan salah satu kekuatan utama yang dimiliki UMKM pangan
di Kota Palembang dalam menentukan daya saing UMKM

Perkembangan teknologi informasi


Perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat membuka
peluang bagi UMKM pangan olahan terutama dalam hal kemudahan akses
informasi serta media pemasaran. UMKM dengan mudah mengakses berbagai
perkembangan teknologi pengolahan pangan di dunia, teknologi kemasan, hingga
kebijakan pemerintah tentang mutu dan keamanan pangan.
Teknologi informasi juga sangat membantu dalam hal pemasaran produk.
Pemasaran dan promosi secara online melalui website, media sosial, serta toko
online baik yang dikelola oleh UMKM secara langsung maupun oleh reseller
mampu meningkatkan penjualan produk olahan UMKM. Melalui teknologi
informasi juga terbuka peluang pemasaran hingga ke luar negeri.

Penghargaan lomba keamanan pangan


Penghargaan mutu dan keamanan pangan merupakan salah satu bentuk
apresiasi yang telah dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah terhadap
UMKM yang terus melakukan perbaikan dan inovasi dalam memproduksi produk
olahan mereka. Beberapa instansi pemerintah tersebut antara lain adalah
Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif, serta Badan Standardisasi Nasional. Keberadaan lomba tersebut
mampu mendorong sebagian besar UMKM pangan olahan untuk terus
memperbaiki mutu dan kualitas produk pangan mereka.

Kesadaran masyarakat akan pangan aman dan bermutu


Masyarakat dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang relatif tinggi
saat ini cenderung lebih sadar akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang aman
dan bermutu. Seperti halnya pangan/sayuran organik, berdasarkan kajian
Kipdiyah et al. (2013) keamanan produk bagi konsumen merupakan kekuatan
utama yang dimiliki oleh usahatani sayuran organik di Pengalengan. Kajian
preferensi konsumen bakso pada mahasiswa di sekitar Universitas Brawijaya
menunjukkan pertimbangan utama dalam menentukan pembelian adalah faktor
mutu/kualitas (Thah dan Yuwono 2014).

Kompleksitas persyaratan keamanan pangan


Sebagian besar UMKM menganggap bahwa persyaratan keamanan pangan
seperti GMP, HACCP sangat komplek dan cukup merepotkan dimana untuk
penerapan seluruh persyaratan tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Persyaratan cukup rinci dan banyak. Sementara harga jual dari produk tidak
terlalu tinggi, sehingga peningkatan biaya untuk melakukan penerapan
GMP/HACCP secara baik tidak sebanding dengan peningkatan harga jual produk.

Persaingan dengan produk sejenis dari industri yang menerapkan


GMP/HACCP
46

Seiring dengan berlakunya perdagangan bebas dimana produk dari negara


lain dapat dengan mudah masuk ke Indonesia, maka tingkat persaingan akan
meningkat tidak hanya dengan sesama produk Indonesia namun juga produk
impor. Selain itu produk UMKM juga harus bersaing dengan produk industri
besar yang menghasilkan produk sejenis dengan mutu dan keamanan pangan yang
lebih terjamin.

Keterbatasan tenaga penyuluh dan pengawas keamanan pangan


Terkait dengan keamanan pangan olahan pertanian, instansi yang paling
berwenang dalam hal pembinaan dan pengawasan adalah Dinas Kesehatan Kota
Bandung. Namun saat ini jumlah sumber daya manusia yang memiliki kompetensi
dan sertifikat sebagai tenaga penyuluh dan pengawas keamanan pangan hanya 6
orang, yang berarti masih jauh tidak sebanding dengan jumlah UMKM pangan
olahan di Kota Bandung. Pemeriksaan sarana produksi oleh petugas pengawas
keamanan pangan hanya dilakukan saat UMKM mengajukan SPP-IRT.
Pengawasan setelah produk diedarkan (post market) umunya dilaksankan saat
menjelang hari raya.

Matriks Internal-Eksternal (IE)

Untuk memperoleh strategi yang lebih detail berdasarkan perhitungan skor


dari analisis matrik IFE dan EFE, maka digabungkan ke dalam matriks IE.
Matriks IE digunakan untuk mengetahui posisi UMKM saat ini. Pemetaan posisi
penting untuk menentukan alternatif strategi dalam usaha peningkatan mutu dan
keamanan pangan UMKM. Berdasarkan perhitungan sebelumnya, nilai matriks
IFE adalah 2,329 yang artinya faktor internal berada pada posisi rataan. Sementara
nilai matriks EFE adalah 2,808 yang berarti kemampuan UMKM dalam merespon
peluang dan ancaman berada dalam posisi rataan. Sehingga pada matriks IE,
posisi UMKM pangan olahan pertanian di Kota Bandung berada pada sel V (hold
and maintain) dimana strategi yang sebaiknya dipilih adalah strategi penetrasi
pasar dan pengembangan produk. Strategi tersebut antara lain berupa strategi
harga yang kompetitif, promosi yang gencar, serta pengembangan inovasi produk
dari varian, kemasan, dan lainnya. Gambar 4.8 menunjukkan hasil analisis matriks
IE UMKM pangan olahan hasil pertanian di Kota Bandung.

Total Nilai IFE Diberi Bobot


Kuat Rataan Lemah
Total Nilai EFE
Diberi Bobot

3,0-4,0 2,0-2,99 1,0-1,99


Tinggi (I) (II) (III)
3,0-4,0
Menengah (IV) (V) (VI)
2,0-2,99
Rendah (VII) (VIII) (IX)
1,0-1,99

Gambar 4.8 Matriks IE


47

4.6 Analisis SWOT


Analisis SWOT mengkombinasikan antara faktor lingkungan internal
strength dan weakness serta lingkungan eksternal opportunities dan threats yang
dihadapi UMKM untuk menghasilkan empat tipe strategi yaitu SO (kekuatan-
peluang atau strength-opprtunities), WO (kelemahan-peluang atau weakness-
opportunities), ST (kekuatan-ancaman atau strength-threats), dan WT
(kelemahan-ancaman atau weakness-threats). Alternatif strategi yang dihasilkan
merupakan pilihan-pilihan strategi yang dianggap sesuai dan tidak menunjukkan
prioritas. Tidak semua alternatif strategi yang dikembangkan dalam matriks
SWOT akan dipilih dan diimplementasikan. Hasil analisis matriks SWOT secara
kualitatif ditunjukkan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Matriks SWOT

Internal Strengths (S) Weakness (W)


Factor (IF) 1. Pimpinan/pemilik telah 1. Komitmen pimpinan/pemilik dalam
mendapatkan penyuluhan penerapan GMP
keamanan pangan 2. Kesenjangan pemahaman tentang
2. Jumlah tenaga kerja yang keamanan pangan antara pimpinan
digunakan dengan karyawan
External 3. Teknologi proses relatif 3. Kesadaran karyawan dalam
Factor (EF) sederhana menerapkan prinsip GMP
4. Kemasan produk menarik (eye 4. Kemampuan permodalan
catching) 5. Kemampuan telusur (traceability)
5. Memiliki izin edar 6. Karakteristik bahan baku (kecepatan
kerusakan)
7. Lemahnya hubungan kemitraan
Opportunies (O) Strategi – S O Strategi – W O
1. Pembinaan dan fasilitasi 1. Menjalin hubungan baik dengan 1. Pelatihan internal untuk karyawan
Pemerintah instansi pemerintah untuk secara rutin (W1, W2, W3, W5, O1,
2. Persyaratan mutu dan mendapatkan fasilitasi penerapan O2)
keamanan pangan yang dan sertifikasi sistem jaminan 2. Pemberian penghargaan bagi karyawan
ditetapkan oleh modern mutu dan keamanan pangan (S1, berprestasi yang konsisten dalam
market S5, O1, O3, O6) menerapkan GMP (W1, W2, W3, O1,
3. Infrastruktur penunjang di 2. Melakukan survey pasar untuk O6)
daerah setempat (seperti mengetahui selera konsumen 3. Membangun kemitraan dengan industri
laboratorium) (S4, S5, O2, O7) besar dengan mekanisme mutual
4. Ketersediaan air bersih dan 3. Edukasi dan promosi kepada quality (W4, W5, W7, O4, O5, O6,
bahan baku masyarakat tentang pangan aman O7)
5. Perkembangan TI dan bermutu (S4, S5, O2, O5, 4. Merancang dan menerapkan dokumen
6. Penghargaan lomba mutu O6, O7) sistem mutu (W5, O2, O6)
dan keamanan pangan 4. Penerapan teknologi (S2, S3, O3, 5. Mempelajari titik kritis proses
7. Kesadaran masyarakat akan O4, O5) pengolahan produk (HACCP) (W6,
pangan aman dan bermutu 5. Memanfaatkan Food Safety O2, O3, O5)
Clearing House (FSCH) BPOM 6. Meningkatkan penerapan GMP ke arah
(S1, S2, O3, O5) HACCP (W1, W5, W6,O2, O6, O7)
Threats (T) Strategi – S T Strategi – W T
1. Kompleksitas persyaratan 1. Konsisten melakukan continues 1. Menerapkan GMP secara konsisten
keamanan pangan improvement (S2, S3, T1, T3) untuk meningkatkan mutu dan
2. Persaingan dengan produk 2. Menciptakan dan menonjolkan keamanan pangan produk (W1, W2,
sejenis dari industri yang keunikan produk (S1, S4, S5, T2) W3, W5, W6, T1, T2)
menerapkan GMP/HACCP 2. Menerapkan internal control (W1,
3. Keterbatasan tenaga W2, W3, W4, W5, W6, W7, T1, T3)
penyuluh dan pengawas
keamanan pangan
48

1. Strategi S – O (Strengths - Opportunities)


Strategi S – O merupakan strategi yang disusun untuk memanfaatkan
kekuatan internal dalam upaya meraih peluang yang ada. Adapun strategi yang
dilakukan antara lain melakukan membangun/menjalin hubungan serta jejaring
dengan beberapa stakeholder khususnya instansi pemerintah dalam rangka
mendapatkan fasilitasi penerapan dan sertifikasi sistem jaminan mutu dan
keamanan pangan. Fasilitasi yang diberikan oleh pemerintah seperti Badan
Standardisasi Nasional (BSN), Kementerian UMKM dan kementerian lain antara
lain berupa bantuan sarana pengolahan, pendampingan penerapan Sistem Jaminan
Mutu dan Keamanan Pangan, Sistem Manajemen Mutu hingga proses sertifikasi.
Selain itu, diharapkan dengan jejaring tersebut dapat dijadikan program
bersama dalam komunikasi, informasi dan edukasi serta promosi kepada
masyarakat luas tentang pemahaman pangan yang aman dan bermutu. Strategi
lainnya melakukan survey pasar untuk mengetahui selera konsumen yang
berkembang. Hal ini perlu dilakukan agar dalam pengembangan maupun
penerapan teknologi tepat guna pada produk sesuai dengan keinginan pasar dan
diselaraskan pada regulasi yang ditetapkan, salah satunya dengan memanfaatkan
Food Safety Clearing House (FSCH) BPOM.

2. Strategi W - O (Weakness - Opportunities)


Strategi W – O merupakan strategi yang disusun untuk mengurangi
kelemahan internal dalam upaya meraih peluang yang ada. Strategi yang
dilakukan mulai dari pendekatan sumber daya manusia, sistem yang akan
dikembangkan serta jejaring pengembangan usaha. Faktor- faktor tersebut
merupakan bagian penting meningkatkan suatu usaha.
Strategi pendekatan sumber daya manusia antara lain perlu pengembangan
SDM salah satunya dengan pelatihan internal karyawan secara berkala dan rutin.
Hal lain yang dapat menjadi perhatian pada SDM yang menjadi tulang punggung
pelaksaan usaha adalah pemberian penghargaan bagi karyawan berprestasi yang
konsisten dalam menerapkan GMP.
Materi pelatihan yang diberikan tentunya materi yang bersifat
pengembangan pada pribadi karyawan dan unit usaha. Pengembangan unit usaha
yang perlu dalam proses produksi yaitu dengan mempelajari titik kritis dalam
proses pengolahan produk (HACCP). Selain itu, perlu meningkatkan penerapan
GMP ke arah HACCP dengan didukung oleh dokumentasi yang baik mulai dari
perencanaan dan penyusunan rancangan serta penerapan dokumen sistem mutu.
Strategi pengembangan usaha lainnya adalah perlunya membangun kemitraan
dengan industri besar dengan mekanisme mutual quality dimana UMKM
memasok produk ke industri besar dengan standar dan persyaratan yang
ditetapkan kemudian industri besar yang menjamin keamanan pangan produk
yang dihasilkan.

3. Strategi S – T (Strengths - Threats)


Strategi S – T merupakan strategi yang disusun untuk memanfaatkan
kekuatan internal yang dimiliki UMKM dalam upaya menghadapi ancaman dari
ekternal. Dalam pengembangan usaha selain faktor SDM, produksi serta pasar.
Hal yang perlu diperhatikan adalah konsisten melakukan continues improvement
49

dengan melakukan inovasi dan/atau pembaharuan dalam menciptakan serta


menampilkan keunikan/ kekhasan dari produk yang dihasilkan

4. Strategi W – T (Weakness - Threats)


Strategi W – T merupakan strategi yang disusun untuk mengurangi
kelemahan internal UMKM dalam upaya menghadapi ancaman yang ada. Strategi
yang dikembangkan adalah dengan memperhatikan penerapan GMP secara
konsisten untuk meningkatkan mutu dan keamanan pangan produk serta
dilakukan monitoring evaluasi secara berkala dan periodik melalui pengawasan
internal (internal control).

4.7 Analityc Hierarchy Process (AHP)

Pemilihan strategi merupakan tahap terakhir dari proses pengolahan data


dalam penelitian ini. Beberapa strategi yang telah dihasilkan melalui proses
analisa SWOT, dirangkum secara garis besar menjadi beberapa alternatif strategi
yang akan dipilih menggunakan Analityc Hierarchy Process (AHP). Penggunaan
AHP sebagai alat dalam pemilihan strategi dengan pertimbangan bahwa AHP
memiliki fleksibiltas yang tinggi, kemampuan untuk mengakomodasi
kompleksitas permasalahn yang ada serta mengakomodasi perbedaan pendapat
dari para pakar yang memberikan pertimbangan. Identifikasi untuk tiap masing-
masing unsur dalam hirarki AHP dilakukan oleh pendapat tiga (3) orang
ahli/pakar keamanan pangan. Hirarki dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Goal Penentuan Strategi Peningkatan Mutu dan


Keamanan Pangan Olahan Pertanian

Faktor SDM Dukungan Modal Persyaratan Pasar


Pemerintah

Kriteria Jangka pendek Kemudahan Berdampak ganda


Biaya Minimal
(1-3 th) Implementasi (Multiplier effect)

Kemitraan Peningkatan Fasilitasi / Public Law Perbaikan


dengan kapasitas Investasi Awareness Enforce- kemam-
industri SDM Teknologi (edukasi, ment puan
Alternatif besar (pendampi- dan promosi, (penga- telusur
(Mutual ngan, penerapan apresiasi wasan (traceabili
Quality) pelatihan, standar UMKM dan ty system)
SJMKP) (pengolahan, berprestasi) sanksi)
TI)

Gambar 4.9 Hirarki AHP


4.7.1 Goal
Goal dari hirarki dalam analisis AHP ini adalah untuk menentukan prioritas
strategi Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan UMKM Pangan Olahan Hasil
Pertanian di Kota Bandung.
50

4.7.2 Faktor
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan diskusi dengan pakar, diketahui
bahwa faktor-faktor yang dapat memengaruhi kondisi penerapan GMP dan
berpengaruh dalam penentuan strategi peningkatan mutu dan keamanan pangan
adalah sumber daya manusia (SDM), fasilitasi pemerintah, modal dan persyaratan
pasar. Hasil analisis AHP pada Tabel 4.7 diperoleh hasil bahwa faktor paling
berpengaruh adalah sumber daya manusia (0,339) diikuti oleh persyaratan pasar
(0,285), fasilitasi pemerintah (0,240) dan terakhir adalah modal (0,137).

Tabel 4.7 Bobot faktor terhadap goal

Kriteria Bobot Prioritas


Sumber daya manusia (SDM) 0,339 1
Persyaratan pasar 0,285 2
Fasilitasi pemerintah 0,240 3
Modal 0,137 4

4.7.3 Kriteria
Kriteria yang digunakan dalam mempertimbangkan pemilihan alternatif
strategi adalah (1) Membutuhkan biaya yang minimal, (2) Penerapan jangka
pendek (1-3 tahun), (3) Kemudahan implementasi, (4) Mampu memberikan
dampak ganda (multiplier effect). Berdasarkan pertimbangan dari pakar yang
dianalisis menggunakan AHP maka diperoleh hasil bahwa prioritas pertimbangan
dalam menentukan strategi paling utama adalah mampu memberikan dampak
ganda (multiplier effect) dengan bobot 0,463. Kriteria selanjutnya seperti terlihat
pada Tabel 4.8 yaitu :

Tabel 4.8 Bobot kriteria terhadap faktor

Kriteria Bobot Prioritas


Mampu memberikan dampak ganda (multiplier effect) 0,463 1
Kemudahan implementasi 0,320 2
Membutuhkan biaya yang minimal 0,271 3
Penerapan jangka pendek (1-3 tahun) 0,233 4

4.7.4 Alternatif
Berdasarkan analisis SWOT yang telah dilakukan sebelumnya, dihasilkan
beberapa alternatif strategi yang secara garis besar adalah :
1. Kemitraan dengan industri besar (mutual quality) (WO3, SO4)
2. Peningkatan kapasitas SDM (pendampingan, pelatihan, SJMKP) (SO1, SO5,
WO1, WO2, WO4, WO5, WO6)
3. Fasilitasi/investasi teknologi dan penerapan standar (pengolahan, teknologi
informasi) (SO4, SO2, SO5, WO4, WO5, WO6, ST1, WT1)
4. Public awareness (edukasi, promosi, apresiasi UMKM berprestasi) (SO1,
SO2, SO3, ST2)
5. Law enforcement (pengawasan dan sanksi) (WT2)
6. Pengembangan kemampuan telusur (traceability system) (WO4, WT1)
51

Berdasarkan penggabungan pendapat para pakar yang dianalisis dengan


AHP sesuai Tabel 4.9 terdapat enam hasil alternatif dengan bobot terendah 0,070
dan tertinggi adalah 0,222. Adapun nilai ratio konsistensi akhir adalah 0,01 yang
berarti penilaian yang dilakukan logis dan konsisten. Dengan pertimbangan nilai
total keseluruhan bobot adalah satu dengan jumlah enam alternatif maka
selanjutnya dipilih strategi yang memiliki bobot diatas 0,167 sebagai strategi
pilihan/rekomendasi. Berdasarkan Tabel 4.9 terdapat 3 strategi yang memiliki
bobot diatas 0,167 yaitu fasilitasi/investasi teknologi dan penerapan standar,
public awareness, dan peningkatan kompetensi/kapasitas SDM.

Tabel 4.9 Bobot alternatif terhadap kriteria

Kriteria Bobot Prioritas


Fasilitasi/investasi teknologi dan penerapan standar 0,222 1
Public awareness 0,221 2
Peningkatan kapasitas SDM 0,198 3
Kemitraan dengan usaha besar (mutual quality) 0,152 4
Law enforcement (pengawasan dan sanksi) 0,136 5
Pengembangan kemampuan telusur (traceability 0,070 6
system)

Strategi prioritas pertama adalah strategi fasilitasi/investasi teknologi dan


penerapan standar dengan bobot 0,222. Strategi ini dianggap memiliki dampak
ganda (multiplier effect) bagi UMKM. Melalui penerapan teknologi pengolahan
pangan tepat guna yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, perguruan tinggi
ataupun inovasi pribadi akan dapat menghasilkan produk yang lebih bermutu,
aman, serta ramah lingkungan. Penggunaan teknologi yang tepat juga diharapkan
mampu meningkatkan kompetensi karyawan UMKM. Perkembangan teknologi
pengolahan di dalam maupun luar negeri semakin mudah diakses dengan bantuan
teknologi informasi.
Penerapan standar mulai dari bahan baku, proses pengolahan/produksi,
produk akhir, serta proses distribusi hingga sampai ke tangan konsumen perlu
dilakukan meskipun di tingkat UMKM. Standar Nasional Indonesia (SNI)
merupakan salah satu standar yang dapat dijadikan sebagai acuan selain standar
internasional atau standar dari negara tujuan ekspor. Dengan penerapan standar
baik SNI produk maupun SNI proses seperti HACCP, maka mutu dan keamanan
pangan akan terjamin. Hal ini akan meningkatkan daya saing produk tidak hanya
di pasar domestik namun juga pasar internasional.
Prioritas strategi kedua adalah public awareness (0,221) meliputi edukasi
kepada masyarakat luas tentang pentingnya mutu dan keamanan pangan, promosi
dengan menonjolkan keunggulan, keunikan, serta sertifikat keamanan pangan
yang dimiliki perlu dilakukan untuk pengembangan pasar yang baru baik dalam
maupun luar negeri. Pemberian penghargaan/apresiasi keamanan pangan bagi
UMKM yang berprestasi juga perlu dilakukan dengan rutin untuk memacu
semangat UMKM agar selalu melakukan perbaikan secara terus menerus
(continues improvement), menciptakan inovasi baru yang dapat meningkatkan
daya saing produk.
52

Alternatif strategi ketiga adalah peningkatan kapasitas SDM dengan bobot


0,198. Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan adalah pendampingan/asistensi
dari instansi pemerintah serta perguruan tinggi. Pelatihan rutin baik secara internal
maupun dari pihak eksternal perlu diberikan untuk meningkatkan kapasitas SDM.
Pengetahuan terutama tentang mutu dan keamanan pangan seperti Sistem Jaminan
Mutu Keamanan Pangan, HACCP, ISO, dll perlu ditingkatkan.
Alternatif strategi keempat, kelima dan keenam dapat diabaikan karena
memiliki bobot dibawah 0,167. Strategi keempat adalah kemitraan dengan
industri besar (mutual quality) dengan bobot 0,152. Industri besar akan menjamin
mutu dan keamanan pangan produk olahan yang dipasok oleh UMKM binaan.
Industri melakukan pembinaan agar UMKM dapat memproduksi pangan sesuai
dengan standar dan persyaratan yang ditetapkan oleh industri besar. Melalui
kemitraan juga dapat menjadi alternatif solusi dalam hal keterbatasan permodalan,
serta pemanfaatan peluang dana CSR dari BUMN yang ada. Alternatif strategi
kelima yaitu law enforcement atau penegakan hukum melalui pengawasan dan
pemberian sanksi oleh instansi yang berwenang (bobot 0,136). Selama ini bagi
UMKM cenderung masih diberikan toleransi terhadap penyimpangan-
penyimpangan yang dilakukan. Tindak lanjut dari hasil pengawasan biasanya
cenderung lebih bersifat pembinaan. Melalui penerapan hukum yang lebih tegas
diharapkan dapat menimbulkan efek jera baik untuk UMKM pelaku
penyimpangan dan memberikan pelajaran bagi UMKM lainnya agar tidak
melakukan hal yang serupa. Strategi pengembangan kemampuan telusur
(traceability system) memiliki bobot paling kecil yaitu 0,07. Kemampuan telusur
minimal 1 tahap sebelum dan 1 tahap sesudah perlu mulai dirancang dan
diterapkan oleh UMKM.

4.8 Implikasi Manajerial

Implikasi manajerial dalam upaya meningkatkan mutu dan keamanan


pangan olahan pertanian pada UMKM meliputi aspek berikut :
1. Aspek produksi
Teknologi yang diterapkan bukan berarti harus modern atau canggih, namun
sebaiknya adalah teknologi yang tepat guna dan dapat meningkatkan higienitas
produk pangan dihasilkan. Pemimpin/pemilik UMKM dapat memanfaatkan
teknologi informasi untuk mencari informasi tentang Teknologi Tepat Guna
(TTG) yang telah banyak dihasilkan oleh lembaga penelitian pemerintah,
perguruan tinggi, atau pelaku usaha lain baik di dalam maupun luar negeri.
Penerapan standar mulai dari meskipun saat ini belum banyak diperhatikan
oleh konsumen dalam negeri, namun hal ini sangat penting karena berhubungan
juga dengan masa simpan produk, mutu dan keamanan produk yang pada
akhirnya berimplikasi pada daya saing produk.
Pemilik/pimpinan UMKM yang telah menerapkan GMP secara baik perlu
mempertahankan konsistensi penerapan GMP di usahanya dan mencoba untuk
mulai meningkatkan penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan ke
arah yang lebih tinggi yaitu Hazzard Analysis Critical Control Point (HACCP).
Bagi UMKM yang belum menerapkan GMP secara baik, perlu melakukan
berbagai upaya perbaikan meliputi seluruh aspek/prinsip GMP.
53

2. Aspek sumberdaya manusia


Peningkatan kompetensi SDM perlu dilakukan baik secara internal maupun
eksternal mengingat mayoritas karyawan UMKM memiliki tingkat pendidikan
yang tidak terlalu tinggi. Pendampingan oleh universitas seperti LPPM, Inkubator
Bisnis dan mahasiswa magang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kinerja dan
kemajuan UMKM.

3. Aspek pemasaran
Pemimpin UMKM juga diharapkan untuk bersifat kreatif dan inovatif,
selalu melakukan upaya perbaikan dan pengembangan produk untuk menciptakan
keunggulan produknya dibandingkan kompetitor produk sejenis. Promosi perlu
dilakukan secara intensif baik pada pasar yang telah ada untuk menciptakan
loyalitas konsumen, maupun perluasan pasar yang baru. Pemanfaatan media
sosial, peran serta dalam pameran dan mengikuti lomba keamanan pangan
merupakan beberapa upaya promosi yang dapat dilakukan oleh UMKM.

4. Aspek Keuangan
Pimpinan UMKM perlu proaktif dalam mencari akses sumber permodalan
seperti memanfaatkan dana CSR dari BUMN, kredit usaha rakyat dan alternatif
lainnya. Pencatatan atau pembukuan keuangan yang lebih baik diperlukan sebagai
bahan pengajuan ke lembaga keuangan. Keikutsertaan dalam lomba keamanan
pangan juga bisa menjadi alternatif karena hadiah yang diberikan untuk para
pemenang dapat berupa bantuan permodalan bagi UMKM.
54

5. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Hasil observasi penerapan prinsip GMP menunjukkan bahwa UMKM pangan


olahan pertanian di Kota Bandung telah mulai melakukan upaya penerapan
GMP, namun masih memerlukan berbagai usaha perbaikan. Ketidaksesuaian
yang cukup banyak ditemukan adalah pada bangunan; pengawasan proses;
karyawan; pemeliharaan dan program sanitasi; dokumentasi dan pencatatan;
pelatihan; serta penarikan produk. Sementara penerapan yang baik pada aspek
pengemasan, penyimpanan dan pengangkutan.
2. Faktor-faktor yang berkorelasi positif dengan penerapan GMP adalah tingkat
pendidikan formal pimpinan UMKM, frekuensi mengikuti pelatihan mutu
dan keamanan pangan, omset usaha dan adanya fasilitasi/bantuan pemerintah,
sementara umur pimpinan/pemilik usaha berkorelasi secara negatif terhadap
penerapan GMP.
3. Alternatif strategi yang dipilih berdasarkan matriks SWOT dan AHP adalah
investasi teknologi dan penerapan standar, public awareness (promosi,
edukasi, apresiasi) dan peningkatan kompetensi SDM.

Saran

Upaya penerapan strategi peningkatan mutu dan keamanan pangan untuk


meningkatkan daya saing UMKM pangan olahan hasil pertanian membutuhkan
dukungan dari instansi pemerintah pusat melalui kebijakan, pemerintah daerah
melalui pembinaan dan pengawasan, perguruan tinggi melalui pendampingan oleh
LPPM, Inkubator Bisnis Perguruan Tinggi, dan mahasiswa, pengembangan TTG,
BUMN melalui dana CSR, dan swasta/industri besar melalui kemitraan (mutual
quality) serta UMKM itu sendiri. Kerjasama dan sinkronisasi
kebijakan/program/kegiatan perlu dilakukan lebih intensif dan berkesinambungan.
Kota Bandung termasuk kota dengan jumlah UMKM pangan yang sangat
besar sehingga cukup mempengaruhi kondisi penerapan mutu dan keamanan
pangan olahan pertanian secara nasional. Untuk mendapatkan model strategi
peningkatan mutu dan keamanan pangan olahan hasil pertanian yang lebih
komprehensif, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan metode analisis
kuantitatif yaitu analisis Structural Equation Modelling (SEM), atau analisis jalur
(path analysis).
55

DAFTAR PUSTAKA
Anggraini T, Yudhastuti R. 2014. Penerapan Good Manufactoring Practices pada
Pembuatan Kerupuk Teripang. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Januari. Vol.
7 (2) : 148–158
Arkeman Y, Herlinawati T, Wibawa DS, Adinegoro H. 2015. Formulasi Strategi
Untuk Meningkatkan Keamanan Pangan Industri Kecil Menengah Roti
melalui Penerapan Good Manufacturing Practice. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian. Vol 25 (1) : 43-51.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Laju Pertumbuhan Penduduk menurut
Provinsi. [Internet]. [Diunduh 1 November 2017]. Terdapat pada :
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1268
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Bandung. 2016. Kota Bandung dalam Angka
2015. Badan Pusat Statistik Kota Bandung. [Internet]. [Diunduh 18 Februari
2017]. Terdapat pada : http://bandungkota.bps.go.id/Publikasi/view/id/155.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2012. Cara Produksi Pangan Yang
Baik Untuk Industri Rumah Tangga. Peraturan Kepala BPOM Nomor
HK.03.1.23.04.12.2206. Jakarta (ID) : BPOM.
David, FR. 2009. Manajemen Strategis Konsep. [Terjemahan]. Ed ke-12. Jakarta
(ID): Salemba Empat.
Delmayuni A, Hubeis M, Cahyadi ER. 2017. Strategi Peningkatan Daya Saing
UMKM di Palembang. Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan. Juli. Vol.11
(1) : 97-122
[Depkop] Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia.
2013. Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan
Usaha Besar (UB) Tahun 2012-2013. [Internet]. [Diunduh 21 Februari
2016]. Terdapat pada : http://www.depkop.go.id/berita-informasi/data-
informasi/data-umkm/
Feigenbaum, AV. 1996. Kendali Mutu Terpadu. [Terjemahan]. Edisi Ketiga. Jilid
1. Jakarta (ID) : PT. Erlangga.
Handayani NMA, Adhi KT, Duarsa DP. 2015. Faktor yang Memengaruhi
Perilaku Penjamah Makanan dalam Penerapan Cara Pengolahan Pangan
yang Baik pada Industri Rumah Tangga Pangan di Kabupaten Karangasem.
Laporan Hasil Penelitian. Public Health and Preventive Medicine Archive.
Desember. Vol 3 (2) : 194-202
Hapsari PP, Hakim A, Soeaidy S. 2014. Pengaruh Pertumbuhan Usaha Kecil
Menengah (UKM) terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi di
Pemerintah Kota Batu). Wacana. Vol. 17(2) : 88-96.
Hariyadi-Dewanti R, Hariyadi P. 2012. Antisipasi Terhadap Isu-isu Baru
Keamanan Pangan. Jurnal Pangan. Maret. Vol. 21(1) : 85-100.
Hilman MS, Ikatrinasari ZF. 2014. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Efektifitas
Penerapan Sistem HACCP. Jurnal Standardisasi. November. Vol. 16 (3) :
223 – 234.
Hubeis M, Mulyati H, Dewi FR, Widyastuti H. 2015. Strategi Pengembangan
UMKM Pangan yang Berdaya Saing di Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
Prosiding Seminar Hasil-Hasil PPM IPB 2015. Vol. I : 126–143
________, Purwanto B, Dewi FR, Widyastuti H, Febtyanisa M. 2016. Daya Saing
dan Prospek UMKM Pengolahan Pangan Lokal. Bogor (ID) : IPB Press.
56

________, Najib M. 2014. Manajemen Strategik dalam Pengembangan Daya


Saing Organisasi. Jakarta (ID) : PT. Elex Media Komputindo.
[Kemenprin] Kementerian Perindustrian. 2010. Pedoman Cara Produksi Pangan
Olahan yang Baik (Good Manufacturing Practices). Permenprin No 75/M-
Ind/PER/7/2010. Jakarta (ID) : Kemenprin.
__________ Kementerian Perindustrian. 2011. Petunjuk Teknis Penilaian
Penerapan Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik. Peraturan Dirjen Agro
Nomor 30/IA/Per/12/2011. Ditjen Agro. Jakarta (ID) : Kemenprin.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2010. Blue Print Peningkatan Nilai Tambah
dan Daya Saing Produk Pertanian dengan Pemberian Insentif Bagi
Tumbuhnya Industri Perdesaan. Peraturan Menteri Pertanian No. 18/
Permentan/OT.140/2/2010. Jakarta (ID) : Kementan.
__________ Kementerian Pertanian. 2008. Persyaratan dan Penerapan Cara
Pengolahan Hasil Pertanian Asal Tumbuhan yang Baik (Good
Manufacturing Practices). Peraturan Menteri Pertanian No. 35/Permentan/
OT.140/7/2008. Jakarta (ID) : Kementan.
Kipdiyah S, Hubeis M, Suharjo B. 2013. Strategi Rantai Pasok Sayuran Organik
Berbasis Petani di Kecamatan Pengalengan Jawa Barat. Jurnal Manajemen
IKM, September. Vol. 6 (2) : 99-114.
Mardiana S, Gumilar I, Hamdani H. 2016. Analisis Prospektif Usaha Produk
Olahan Kaki Naga (Studi Kasus di CV Bening Jati Anugrah Kabupaten
Bogor). Jurnal Perikanan Kelautan. Desember. Vol. 7 (2) : 22-28
Marimin. 2008. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk.
Cetakan Ketiga. Jakarta (ID). Grasindo.
_______, Maghfiroh N. 2011. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam
Manajemen Rantai Pasok. Cetakan 2. Bogor (ID) : IPB Press.
Muhandri T, Kadarisman D. 2012. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Edisi
2. Cetakan 2. Bogor (ID) : IPB Press.
__________, Herawati D, Budi FS, Nuraida L, Koswaara S, Agista AZ,
Sukmawati Y. 2016. Kesiapan Usaha Mikro Kecil Menengah Pangan dalam
Penerapan ISO 9001:2008 (Studi Kasus di Palu, Sulawesi Tengah).
Agrokreatif Jurnal Ilmiah Pengabdian kepada Masyarakat. November. Vol
2 (2): 61-66
Paratmanitya Y, Aprilia V. 2016. Kandungan Bahan Tambahan Pangan
Berbahaya pada Makanan Jajanan Anak Sekolah Dasar di Kabupaten Bantul
Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia. Januari. Vol. 4 (1) : 49-55
[PP]. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Keamanan, Mutu dan Gizi
Pangan. Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004.
Purba DF, Nuraida L, Koswara S. 2014. Efektivitas Program Peningkatan Mutu
dan Keamanan Pangan Industri Rumah Tangga Pangan (IRTP) di
Kabupaten Cianjur. Jurnal Standardisasi. Juli. Vol 16 (2) : 103-112
Rahayu, Nababan, Hariyadi, Novinar. 2012. Keamanan Pangan Dalam Rangka
Peningkatan Daya Saing Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah Untuk
Penguatan Ekonomi Nasional. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi X.
Jakarta. 20-21 November 2012.
Riduwan, Sunarto. 2011. Pengantar Statistika untuk Penelitian Pendidikan,
Sosial, Ekonomi komunikasi dan Bisnis. Cetakan ke-4. Bandung (ID) :
Alfabeta.
57

Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan : Bagi Para Pemimpin. Terjemahan


oleh Liana Setiono. Jakarta (ID) : PT. Pustaka Binaman Pressindo.
Sparingga R. 2014. Penerapan Keamanan Pangan Bagi Industri Makanan dan
Minuman dalam rangka Menghadapi ASEAN Economic Community 2015.
Disampaikan pada Rapat Kerja Kementerian Perindustrian. BPOM.
[Internet]. [Diunduh 20 Maret 2017]. Tersedia pada :
http://rocana.kemenperin.go.id/index.php/download/category/41-2014#
Suhartono. 2009. Analisis Penerapan Mutu dan Keamanan Pangan pada Produksi
Pangan Industri Rumah Tangga : Studi Kasus Industri Tempe di Kabupaten
Lampung Barat. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Syah D, Ghaisani M, Suratmono, Sparringa RA, Palupi NS. 2015. Akar Masalah
Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah : Studi Kasus pada Bakso,
Makanan Ringan, dan Mi. Jurnal Mutu Pangan. Vol. 2 (1) : 18-25.
Thah HM, Yuwono SS. 2014. Analisis Preferensi, Perilaku Mahasiswa dan
Kemanan Pangan Produk Bakso. Jurnal Pangan dan Agroindustri. Oktober.
Vol. 2 (4) : 89-100.
[UU]. Undang-Undang Republik Indonesia. 2008. Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah. Undang-Undang No 20 Tahun 2008.
[UU]. Undang-Undang Republik Indonesia. 2012. Pangan. Undang-Undang No
18 Tahun 2012.
Yanti L, Novalinda D. 2016. Kajian Keamanan Pangan pada Proses Pembuatan
Dodol Nanas Tangkit (Studi Kasus di Desa Tangkit, Kecamatan Sungai
Gelam,Kabupaten Muaro Jambi). Prosiding Seminar Nasional Lahan
Suboptimal 2016. Palembang 20-21 Oktober 2016.
Yuniarti R, Azlia W, Sari RA. 2015. Penerapan Sistem Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP) pada Proses Pembuatan Keripik Tempe. Jurnal
Ilmiah Teknik Industri, Juni .Vol. 14 (1) : 86-95.
Yuwono B, Zakaria FR, Panjaitan NK. 2012. Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Penerapan Cara Produksi yang Baik dan Standar Prosedur Operasi Sanitasi
Pengolahan Fillet Ikan di Jawa. Jurnal Manajemen IKM, Februari. Vol. 7
(1) : 10-19.
58

LAMPIRAN
Lampiran 1. Kuesioner Aspek Umum dan Kinerja Perusahaan

A. DATA RESPONDEN

Nama : ...........................................................................................
Jenis Kelamin : [ ] Laki-laki [ ] Perempuan
Umur : ........ tahun
Pendidikan terakhir : [ ] S2 [ ] S1
[ ] Diploma [ ] SMA/sederajat
[ ] SMP [ ] SD
Jabatan : ...........................................................................................
Pelatihan yang :
pernah diikuti

No Judul Pelatihan Penyelenggara

B. DATA UMKM

1. Nama UMKM : ...........................................................................................


2. Merk dagang/produk : .................................................................................
.................................................................................
3. Alamat : ...........................................................................................
..................................................................................
..................................................................................
4. Legalitas/ Bentuk : [ ] CV [ ] PT [ ] Firma
Badan Usaha [ ] Perorangan [ ] Koperasi [ ] Lainnya ...........
5. Umur Usaha : ......................... tahun
6. Produk yang : ...........................................................................................
dihasilkan ..........................................................................................
7. Kapasitas Produksi : ..................................................................................
per bulan ..................................................................................
8. Bahan baku utama : 1. ..................................................................................
yang digunakan 2. ..................................................................................
3. ..........................................................................
9. Bahan tambahan, : 1. ..................................................................................
bahan penolong yang 2. ..................................................................................
digunakan 3. ..................................................................................
4. ...........................................................................
10. Alat/mesin produksi .................................................................................
yang dimiliki .................................................................................
.................................................................................
59

Lanjutan Lampiran 1.

11. Omset (Hasil : [ ] < Rp. 50 juta


penjualan) per tahun [ ] Rp. 50 juta s/d Rp. 200 juta
[ ] > Rp. 200 juta s/d Rp. 300 juta
[ ] > Rp. 300 juta s/d Rp. 2,5 Miliar
[ ] > Rp 2,5 Miliar – 50 Miliar
12. Jumlah Tenaga Kerja : Tetap : ....................................... orang
Tidak Tetap : .............................. orang
13. Pendidikan : SD : ........................................ orang
Karyawan SMP : ........................................ orang
SMA : ........................................ orang
S1 : ........................................ orang
S2 : ........................................ orang

Untuk pertanyaan selanjutnya mohon dapat memberi tanda checklist [√] pada jawaban
yang dipilih, dan boleh memilih lebih dari 1 jawaban.
14. Asal Bahan Baku : 1. [ ] Dalam negeri/lokal [ ] Impor
Utama 2. Jika dalam negeri/lokal :
[ ] Kota Bandung
[ ] Luar Kota Bandung. Sebutkan ...........................
...................................................................................
Jika impor, dari negara : ...........................................
...................................................................................
15. Sumber bahan baku : [ ] Hasil budidaya sendiri
utama [ ] Dari pemasok/supplier
[ ] Membeli di pasar
[ ] Lainnya .....................................................................
..........................................................................................
16. Persyaratan dalam : [ ] SNI
penentuan bahan [ ] Persyaratan sendiri, sebutkan ................................
baku .................................................................................
.................................................................................
.................................................................................
17. Area/tujuan : [ ] Dalam Negeri : .........................................................
Pemasaran ...........................................................................................
[ ] Luar Negeri/ekspor : ................................................
..........................................................................................
18. Kemitraan : [ ] Dengan industri besar, sebutkan .............................
[ ] Dengan UMKM lain, sebutkan ...............................
..................................................................................
[ ] Belum ada
[ ] Lainnya ..............................................................
19. Bantuan/fasilitasi : [ ] Peralatan/mesin, sebutkan jenis dan sumber bantuan:
yang pernah .................................................................................
didapatkan dari pihak .................................................................................
lain .................................................................................
[ ] Modal, sebutkan jumlah dan sumber bantuan :
..................................................................................
[ ] Lainnya ..............................................................
60

Lanjutan Lampiran 1.

20. Izin edar produk yang : [ ] Sertifikat Penyuluhan (SP)


dimiliki [ ] Sertifikat Produk Pangan Industri Rumah Tangga
(SPP-IRT)
[ ] MD
[ ] ML
21. Sertifikat Mutu dan : [ ] SPPT-SNI (Sertifikat Produk Pengguna Tanda SNI)
Keamanan Pangan [ ] GMP (GoodManufacturing Practices)
yang dimiliki [ ] ISO 9001 Sistem Manajemen Mutu
[ ] ISO 22000
[ ] HACCP
[ ] Lainnya .....................................................................
22. Sertifikat Lain : [ ] Halal
[ ] Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
[ ] Lainnya ..................................................................
23. Informasi yang : [ ] Merek [ ] Berat bersih
tercantum dalam [ ] Nama Perusahaan [ ] Alamat perusahaan
label produk [ ] Komposisi bahan
[ ] Kandungan Gizi : karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
dan mineral
[ ] Expired date
[ ] Nomor SP-IRT atau MD
[ ] Logo halal BPPOM-MUI
[ ] Nomor SPPT-SNI
[ ] Lainnya ..................................................................
24. Pendapat Saudara : [ ] Sangat penting
terhadap perlunya [ ] Penting
penerapan GMP [ ] Tidak penting
25. Motivasi dalam : [ ] Kesadaran pribadi akan pentingnya mutu dan keamanan
penerapan GMP pangan
[ ] Tuntutan konsumen/buyer lokal
[ ] Persyaratan ekspor
[ ] Tuntutan/peraturan pemerintah
[ ] Mengikuti tren
[ ] Harga jual lebih tinggi
[ ] Daya saing produk yang dihasilkan lebih tinggi
[ ] Persaingan dengan produk sejenis dari UMKM lain
[ ] Persaingan dengan produk impor
[ ] Ingin meraih/memenangkan penghargaan dari
Pemerintah
[ ] Lainnya .....................................................................
...........................................................................................
...........................................................................................
61

Lanjutan Lampiran 1.

26. Permasalahan utama : [ ] Keterbatasan SDM yang kompeten


dalam penerapan [ ] Kurangnya kesadaran karyawan dalam penerapan GMP
GMP [ ] Keterbatasan dana/modal
[ ] Keterbatasan sarana dan prasarana yang tersedia
[ ] Kompleksitas penerapan GMP
[ ] Kurangnya pembinaan dari instansi pembina
[ ] Kurangnya akses terhadap informasi / standar /
peraturan mutu dan keamanan pangan
[ ] Lemahnya pengawasan dari Pemerintah
[ ] Tidak ada kemitraan dengan industri besar
[ ] Lokasi UMKM sejak awal tidak direncanakan sebagai
tempat usaha
[ ] Kurangnya ketersediaan air bersih
[ ] Kurangnya infrastruktur penunjang seperti laboratorium
pengujian produk
[ ] Lainnya .....................................................................
..........................................................................................
..........................................................................................
..........................................................................................
..........................................................................................
27. Faktor pendukung : [ ] Pembinaan/pelatihan dari instansi pembina
dalam penerapan [ ] Pendampingan dari Perguruan Tinggi
GMP [ ] Fasilitasi/bantuan dari Pemerintah
[ ] Kemudahan dalam akses informasi terkait mutu dan
keamanan pangan
[ ] Kesadaran karyawan cukup tinggi
[ ] Perkembangan teknologi
[ ] Kemitraan dengan industri besar
[ ] Lainnya .....................................................................
..........................................................................................
..........................................................................................
..........................................................................................
..........................................................................................
...................................................................................
28. [ ] Sangat setuju [ ] Sangat tidak setuju
[ ] Setuju [ ] Tidak setuju
29. [ ] Sangat setuju [ ] Sangat tidak setuju
[ ] Setuju [ ] Tidak setuju
62

Lampiran 2. Identifikasi Penerapan Prinsip GMP.


Mengacu pada Peraturan Dirjen Agro Nomor 30/IA/Per/12/2011
tentang Petunjuk Teknis Penilaian Penerapan CPPOB

KATEGORI PENILAIAN (TEMUAN KETIDAKSESUAIAN)


OK (V) OK (V) apabila pernyataan negatif aspek penilaian tidak sesuai
di lapangan
MN (Minor) Minor adalah penyimpangan dari persyaratan“dapat”
MJ (Major) Major adalah penyimpangan dari persyaratan “seharusnya”
CR (Critical) Critical adalah penyimpangan dari persyaratan “harus”
TA (Tidak Ada) TA adalah pernyataan tidak tersedianya persyaratan aspek
penilaian di lapangan
Petunjuk Pengisian :
- Beri tanda (√ ) pada kolom OK jika pernyataan negatif pada Aspek Penilaian tidak sesuai di lapangan
- Lingkari (O) Kategori Penilaian MN, MJ atau CR jika pernyataan negatif pada Aspek Penilaian sesuai
di lapangan
- Beri tanda (V) pada kolom TA jika tidak ada atau tidak tersedianya persyaratan Aspek Penilaian

KATEGORI PENILAIAN
No ASPEK PENILAIAN KET
OK MN MJ CR TA
1 LOKASI
Pertimbangan lokasi pabrik/tempat produksi
a. Pabrik/tempat produksi terletak di lingkungan yang X
tercemar atau tempat kegiatan industri usaha yang tercemar
b. Jalan menuju pabrik/tempat produksi berdebu atau X
ada/genangan air, tidak disemen dipasang batu/ atau paving
block dan tidak dibuat saluran air yang mudah dibersihkan
c. Lingkungan pabrik/tempat produksi tidak bersih dan X
banyak sampah teronggok
d. Pabrik/tempat produksi berada di daerah yang mudah X
tergenang air atau daerah banjir
e. Pabrik/tempat produksi berada di daerah semak-semak X
atau daerah sarang hama
f. Pabrik/tempat produksi dekat dengan tempat pembuangan X
sampah umum, limbah atau pemukiman penduduk kumuh,
tempat rongsokan dan tempat-tempat lain yang dapat
menjadi sumber cemaran
g. Lingkungan diluar bangunan pabrik/tempat produksi yang X
terbuka digunakan untuk kegiatan produksi
2 BANGUNAN PABRIK
2.1 Desain dan tata Letak :
Bagian dalam ruangan dan tata letak pabrik/tempat produksi X
belum dirancang sehingga belum memenuhi persyaratan
hyiene pangan olahan dan belum mengutamakan
persyaratan mutu dan keamanan pangan olahan dengan cara
baik. Sulit untuk dibersihkan dan didesinfeksi serta kurang
melindungi makananan atau minuman dari kontaminasi
silang selama proses
63

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
2.2 Struktur Ruangan
Struktur ruangan tidak terbuat dari bahan yang tahan lama, X
mudah dipelihara dan dibersihkan atau didesinfeksi.
Struktur ruangan pabrik tempat produksi pengolahan pangan
meliputi : lantai, dinding, atap, pintu, jendela, ventilaii dan
permukaan tempat kerja serta penggunaan bahan gelas
dengan persyaratan sebagai berikut :
2.2.1 Lantai
Konstruksi lantai memenuhi praktek higiene pangan olahan
yang baik yaitu tahan lama, memudahkan pembuangan air,
air tidak teergenang, mudah dibersihkan dan mudah
didesinfeksi
a. Lantai ruangan produksi kurang kedap air, kurang tahan X
terhadap garam, basa, tahan asam/bahan kimia lainnya,
permukaan kurang rata, licin dan sulit dibersihkan
b. Lantai ruangan produksi yang digunakan untuk proses X
pencucian ternyata kemiringannya kurang cukup untuk
memeudahkan pengaliran air, saluran air atau lubang
pembuangan sehingga bisa menimbulkan genangan air dan
berbau
c. Lantai dengan dinding membentuk sudut mati atau sudut X
siku-siku yang menahan air atau kotoran sehingga tidak
membentuk sudut melengkung kedap air
d. Lantai ruangan kamar mandi, tempat cuci tangan dan X
sarana toilet kurang mempunyai kemiringan yang cukup ke
arah saluran pembuangan sehingga menimbulkan genangan
air dan berbau.
2.2.2 Dinding
Konstruksi dinding atau pemisah ruangan memenuhi syarat
higiene pangan olahan yang baik, yaitu mudah dibersihkan,
mudah didesinfeksi serta melindungi pangan olahan dari
kontaminasi selama proses
a. Dinding ruang produksi terbuat dari bahan yang X
mengandung racun
b. Permukaan dinding ruang produksi bagian dalam terbuat X
dari bahan yang kurang halus, rata, berwarna terang, tahan
lama, mudah mengelupas dan sulit dibersihkan
c. Dinding ruang produksi tingginya tidak mencapai 2 m X
dari lantai, sehingga dapat menyerap air, kurang tahan
terhadap garam, basa atau bahan kimia lain
d. Pertemuan dinding dengan dinding pada ruang produksi X
membentuk sudut mati atau siku-siku yang dapat menahan
air dan kotoran, kurang membentuk sudut melengkung
sehingga sulit dibersihkan
e. Permukaan dinding kamar mandi, tempat mencuci tangan X
dan toilet tingginya tidak mencapai 2 m dari lantai, sehingga
dapat menyerap air, seerta terbuat dari keramik yang tidak
berwarna putih atau warna terang.
64

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
2.2.3 Atap dan langit-langit
Konstruksi atap dan langit-langit memenuhi syarat higiene
pangan olahan yang baik, yaitu dapat melindungi ruangan
dan tidak mengakibatkan pencemaran produk
a. Atap terbuat dari bahan yang kurang tahan lama, kurang X
tahan terhadap air dan mudah bocor
b. Langit-langit terbuat dari bahan yang mudah terkelupas X
atau terkikis, sulit dibersihkan dan mudah retak
c. Langit-langitnya terdapat lubang dan retak bisa untuk X
keluar masuknya binatang termasuk tikus dan serangga serta
mudah bocor
d. Langit-langit dari lantai tingginya tidak mencapai 3 m X
sehingga kurang memberikan aliran udara yang cukup dan
kurang mengurangi panas yang diakibatkan proses produksi
e. Permukaan langit-langit kurang rata, berwarna kurang X
terang dan sulit dibersihkan
f. Permukaan langit-langit di ruang produksi yang X
menggunakan atau menimbulkan uap air terbuat dari bahan
yang mudah menyerap air dan tidak dilapisi cat tahan panas
g. Penerangan pada permukaan kerja dalam ruang produksi X
kurang terang, kurang sesuai dengan keperluan dan
persyaratan kesehatan serta sulit dibersihkan
2.2.4 Pintu
a. Terbuat dari bahan yang kurang tahan lama, kurang kuat X
dan mudah pecah
b. Permukaan pintu ruangan kurang rata, halus, berwarna X
terang dan sulit dibersihkan
c. Pintu ruangan termasuk pintu kasa dan tirai udara tidak X
dapat ditutup dengan baik
d. Pintu ruangan produksi tidak membuka keluar, debu dan X
kotoran lain dari luar bisa masuk
2.2.5 Jendela dan Ventilasi
Jendela dan Ventilasi
a. Belum dibuat dari bahan tahan lama, kurang kuat dan X
mudah pecah atau rusak
b. Permukaan jendela tidak rata, tidak halus dan tidak X
berwarna terang serta sulit dibersihkan
c. Jendela dari lantai tingginya kurang dari 1 m sehingga X
sulit untuk membuka dan menutup dengan letak jendela
terlalu rendah dan mudah masuk debu
d. Jumlah dan ukuran jendela kurang sesuai dengan X
besarnya bangunan
e. Desain jendela tidak dibuat sedemikian rupa untuk X
mencegah penummpukan debu
f. Belum dilengkapi dengan kasa pencegah serangga yang X
dapat dilepas dan dibersihkan
65

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
Ventilasi
a. Kurang menjamin peredaran udara dengan lebih baik, X
menghilangkan uap, gas, asap, bau, debu dan panas yang
timbul selama pengolahan serta yang dapat membahayakan
kesehatan
b. Kurang bisa mengontrol suhu agar tidak terlalu panas X
c. Kurang bisa mengontrol bau yang mungkin timbul X
d. Kurang bisa mengatur suhu yang diperlukan dan X
diinginkan
e. Mencemari pangan olahan yang diproduksi melalui lairan X
udara yang masuk
f. Lubang ventilasi belum dilengkapi kasa untuk mencegah X
masuknya serangga serta mengurangi masuknya kotoran ke
dalam ruangan, sulit dilepas dan dibersihkan
2.2.6 Permukaan Tempat Kerja
a. Permukaan tempat kerja yang kontak langsung dengan X
bahan pangan olahan tidak dalam kondisi baik, tahan lama,
tidak mudah dipelihara, sulit dibersihkan dan disanitasi
b. Permukaan tempat kerja dibuat dari bahan yang mudah X
menyerap air, permukaan kasar, bereaksi dengan bahan
pangan olahan, detergen dan desinfektan
2.2.7 Penggunaan Bahan Gelas (Glass)
Perusahaan belum mempunyai kebijakan penggunaan bahan X
gelas yang bertujuan mencegah kontaminasi bahaya fisik
terhadap produk jika terjadi pecahan gelas
3 FASILITAS SANITASI
3.1 Sarana Penyediaan Air
s. Sarana penyediaan air (air sumur atau PAM) belum X
dilengkapi dengan tempat penampungan air dan pipa-pipa
untuk mengalirkan air
b. Sumber air minum atau air bersih untuk proses produksi X
tidak cukup dan kualitasnya tidak memenuhi syarat
kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
c. Air yang digunakan untuk proses produksi dan X
mengalami kontak langsung dengan bahan pangan olahan
kurang memenuhi syarat kualitas air bersih
d. Air yang tidak digunakan untuk proses produksi dan tidak X
mengalami kontak langsung dengan bahan pangan olahan
belum mempunyai sistem yang terpisah dengan air untuk
konsumsi atau air minum
e. Sistem pemipaan belum dibedakan antara air minum atau X
air yang kontak langsung dengan bahan pangan olahan
dengan air yang tidak kontak langsung dengan bahan
pangan olahan, misalnya dengan tanda atau warna berbeda
66

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
3.2 Sarana Pembuangan Air dan Limbah
a. Pembuangan air dan limbah belum dibedakan antara saran X
pembuangan limbah cair, semi padat/padat
b. Sistem pembuangan air dan limbah tidak didesain dan X
dikonstruksi untuk mencegah resiko pencemaran pangan
olahan, air minum dan air bersih
c. Limbah tidak segera dibuang ke tempat khusus untuk X
mencegah air agar tidak menjadi tempat berkumpulnya
hama binatang pengerat, serangga atau binatang lainnya
sehingga mencemari bahan pangan olahan maupun sumber
air
d. Wadah untuk limbah bahan berbahaya belum terbuat dari X
bahan yang kuat, diberi tanda dan tertutup rapat, untuk
menghindari terjadinya tumpahan yang mencemari produk
3.3 Sarana Pembersihan/Pencucian
a. Pembersihan/pencucian kurang dilengkapi dengan saran X
yang ckup untuk pembersihan/pencucian : bahan pangan,
peralatan, perlengkapan dan bangunan (lantai dan dinding)
b. Sarana pembersihan tidak dilengkapi dengan air bersih, X
dan suplai air panas dan dingin. Air panas berguna untuk
melarutkan sisa-sisa lemak dan untuk tujuan disinfeksi
peralatan
3.4 Sarana Toilet
a. Sarana toilet belum didesain dan dikonstruksi sesuai X
dengan persyaratan higiene, sumber air yang mengalir dan
saluran pembuangan
b. Letak toilet terbuka langsung ke ruang pengolahan dan X
tidak selalu tertutup
c. Toilet belum diberi tanda peringatan bahwa setiap X
karyawan harus mencuci tangan deengan sabun atau dengan
detergen sesudah menggunakan toilet
d. Toilet tidak dalam keadaan bersih X
e. Area toilet kurang mendapatkan penerangan dan ventilasi X
f. Jumlah toilet belum sesuai dengan aturan yang ditetapkan X
3.5 Sarana Higiene Karyawan
3.5.1 Industri pengolahan belum mempunyai sarana higiene X
karyawan untuk menjamin kebersihan karyawan guna
mencegah kontaminasi terhadap bahan pangan olahan yaitu
fasilitas untuk cuci tangan, fasilitas ganti pakaian dan
fasilitas pembilas sepatu kerja
3.5.2 Fasilitas untuk cuci tangan belum : a. Diletakkan di depan X
pintu masuk ruangan pengolahan, dilengkapi dengan kran
air mengalir dan sabun atau detergen. B. Dilengkapi dengan
alat pengering tangan (handuk, kertas serap atau pengering
aliran udara panas). C. Dilengkapi dengan tempat sampah
yang tertutup. d. Tersedia dalam jumlah yang sesuai dengan
jumlah karyawan
67

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
3.5.3 Fasilitas ganti pakaian untuk mengganti pakaian dari luar X
dengan pakaian kerja belum dilengkapi tempat
menyimpan/menggantung pakaian kerja dan pekaian luar
yang terpisah
3.5.4 Fasilitas pembilas sepatu kerja belum ditempatkan di depan X
pintu masuk tempat produksi
4 MESIN DAN PERALATAN
4.1 Mesin/peralatan yang digunakan dalam proses produksi X
kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
4.1.1 Tidak sesuai dengan jenis produksi
- Permukaan yang kontak langsung dengan bahan pangan
olahan tidak halus, berlubang atau bercelah, mengelupas,
menyerap air dan berkarat
- Dapat menimbulkan pencemaran terhadap produk oleh
jasad renik, bahan logam yang terlepas dari mesin/peralatan,
minyak pelumas, bahan bakar dan bahan-bahan lain yang
menimbulkan bahaya
- Sulit dilakukan pembersihan, didesinfeksi dan
pemeliharaan untuk mencegah pencemaran terhadap bahan
pangan olahan
- Terbuat dari bahan yang tidak tahan lama, beracun, sulit
dipindahkan atau dibongkar pasang sehingga menghambat
pemeliharaan, pembersihan, desinfeksi, pemantauan dan
pengendalian hama
4.2 Mesin/peralatan belum ditemparkan dalam ruangan yang X
tepat dan benar sehingga :
4.2.1 Diletakkan tidak sesuai dengan urutan proses sehingga
menyulitkan praktek higiene yang baik dan memudahkan
terjadinya kontaminasi silang
4.2.2 Menyulitkan perawatan, pembersihan dan pencucian
4.2.3 Kurang berfungsisesuai dengan tujuan kegunaan dalam
proses produksi
4.3 Pengawasan dan Pemantauan Mesin/Peralatan
4.3.1 Mesin/peralatan tidak diawasi, diperiksa dan dipantau X
sehingga tidak menjamin proses produksi bahan pangan
olahan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
4.3.2 Mesin/peralatan yang digunakan dalam proses produksi X
(memasak, memanaskan, membekukan,mendinginkan atau
mehyimpan pangan olahan) sulit diawasi dan dipantau
4.3.3 Mesin/peraltan belum dilengkapi dengan laat pengatur dan X
pengendali kelembaban, aliran udara yang memepengaruhi
keamanan pangan olahan
4.4 Bahan Perlengkapan dan Alat Ukur
4.4.1 Bahan perlengkapan mesin/peralatan terbuat dari kayu X
belum ada cara pembersihannya yang dapat menjamin
sanitasi
4.4.2 Alat ukur yang terdapat pada mesin/peralatan belum bisa X
dipastika keakuratannya
68

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
5 BAHAN
5.1 Persyaratan Bahan :
5.1.1 Bahan yang digunakan belum dituangkan dalam bentuk X
formula dasar yang menyebutkan jenis dan persyaratan
mutu bahan
5.1.2 Bahan yang digunakan rusak, busuk atau mengandung X
bahan-bahan berbahaya
5.1.3 Bahan yang digunakan merugikan, membahayakan X
kesehatan dan tidak memenuhi standar mutu atau
persyaratan yang ditetapkan
5.1.4 Penggunaan BTP yang standar mutu dan persyaratannya X
yang belum ditetapkan, ternyata penggunaannya belum
memiliki izin dari otoritas kompeten
5.2 Persyaratan Air (jika tidak digunakan abaikan)
5.2.1 Air merupakan bagian dari pangan olahan belum memenuhi X
persyaratan air minum atau air bersih sesuai peraturan
perundang-undangan
5.2.2 Air yang digunakan untuk mencuci/kontak langsung dengan X
bahan pangan olahan, belum memenuhi persyaratan air
bersih sesuai peraturan perundang-undangan
5.2.3 Air, es dan uap panas (steam) tidak dijaga jangan sampai X
tercemar oleh bahan-bahan dari luar
5.2.4 Uap panas (steam) yang kontak langsung dengan bahan X
pangan olahan atau mesin/peralatan mengandung bahan-
bahan berbahaya bagi keamanan pangan olahan.
5.2.5 Air yang digunakan berkali-kali (resirkulasi) belum X
dilakukan penanganan dan pemeliharaan agar tetap aman
terhadap pangan yang diolah
6 PENGAWASAN PROSES
6.1 Pengawasan Proses
6.1.1 Untuk setiap jenis produk belum dilengkapi petunjuk yang X
menyebutkan mengenai :
a. Jenis dan jumlah seluruh bahan yang digunakan
b. Tahap-tahap produksi secara rinci
c. Langkah yang perlu diperhatikan selama proses produksi
d. Jumlah produk yang diperoleh untuk satu kali proses
produksi
e. Lain-lain informasi yang diperlukan
6.1.2 Untuk setiap satuan pengolahan (satu kali proses) belum X
dilengkapi petunjuk yang menyebutkan mengenai :
a. Nama produk
b. Tanggal pembuatandan kode produksi
c. Jenis dan jumlah seluruh bahan yang digunakan dalam
satu kali proses pengolahan
d. Jumlah produksi yang diolah
e. Lain-lain informasi yang diperlukan
69

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
6.1.3 Pengawasan waktu dan suhu proses X
Waktu dan suhu dalam proses produksi (pemanasan,
pendinginan, pembekuan, pengeringan dan penyimpanan
produk)
6.2 Pengawasan Bahan
6.2.1 Bahan yang digunakan dalam proses produksi belum X
memenuhi persyaratan mutu
6.2.2 Bahan yang digunakan tidak diperiksa terlebih dahulu X
secara organoleptik dan fisik (adanya pecahan gelas, kerikil)
juga diuji secara kimia dan mikrobiologi di laboratorium
6.2.3 Perusahaan tidak memelihara catatan mengenai bahan yang X
digunakan
6.3 Pengawasan terhadap kontaminasi
Untuk mencegah terjadinya kontaminasi dari luar dan
kontaminasi silang diperlukan tindakan-tindakan sebagai
berikut :
6.3.1 Proses produksi tidak diatur sehingga dapat mencegah X
masuknya bahan kimia berbahaya dan bahan asing ke dalam
pangan yang diolah, misalnya bahan pembersih, pecahan
kaca, potongan logam, kerikil
6.3.2 Bahan beracun tidak disimpan jauh dari tempat X
penyimpanan pangan dan diberi label secara jelas
6.3.3 Bahan baku tidak disimpan terpisah dari bahan yang telah X
diolah atau produk akhir
6.3.4 Tempat produksi tidak mendapat pengawasan dengan baik X
6.3.5 Karyawan belum menggunakan alat-alat pelindung seperti X
baju kerja, topi dan sepatu karet serta selalu mencuci tangan
sebelum masuk ke tempat produksi
6.3.6 Permukaan meja kerja, peralatan dan lantai tempat produksi X
tidak bersih dan perlu didesinfeksi setelah digunakan untuk
mengolah/menangani bahan baku, terutama daging ungga
dan hasil perikanan
6.3.7 Kontaminasi bahan gelas (glass) :
a. Belum menghindari penggunaan bahan gelas,porselen di X
tempat produksi, area pengamasan dan area penyimpanan
b. Lampu di tempat pengolahan, pengemasan dan X
penyimpanan tidak dilindungi dengan bahan-bahan yang
tidak pecah
c. Di tempat produksi,pengemasan dan penyimpanan belum X
menggunakan wadah/alat tara pangan dan tidak
menggunakan bahan gelas
d. Jika menggunakan wadah/alat dari bahan gelas di area X
produksi, semua wadah/alat dari bahan gelas tidak diperiksa
secara cermat sebelum digunakan dan ada yang pecah/retak
e. Bagian produksi tidak mencatat kejadian gelas pecah di X
unit pengolahan yang mencakup waktu, tanggal, tempat,
produk terkontaminasi dan tindakan koreksi yang diambil
70

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
6.4 Pengawasan Proses Khusus
6.4.1 Proses produksi khusus atau tahap lainnya yang dapat X
menimbulkan bahaya pada pangan olahan tidak mendapat
pengawasan. Proses produksi atau tahap terebut misalnya
proses iradiasi, penutupan hermetis pada pengalengan,
pengemasan dan vakum
6.4.2 Khusus untuk proses iradiasi pangan olahan tidak memenuhi X
persyaratan yang dikeluarkan oleh instansi kompeten
7 PRODUK AKHIR
7.1 Persyaratan Produk Akhir
Produk akhir yang dihasilkan memenuhi ketentuan sebagai
berikut :
7.1.1 Produk akhir tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan X
oleh Otoritas Kompeten dan dapat merugikan atau
membahayakan konsumen
7.1.2 Produk akhir yang standar mutunya beum ditetapkan, X
persyaratannya belum ditentukan sendiri oleh perusahaan
yang bersangkutan dan persyaratan tersebut belum mampu
telusur terhadap standar yang berlaku
7.1.3 Mutu dan keamanan produk akhir sebelum diedarkan belum X
diperiksa dan dipantau secara periodik (organoleptik, fisika,
kimia, mikrobiologi dan biologi)
8 LABORATORIUM
8.1 Kepemilikan laboratorium
8.1.1 Perusahaan yang memproduksi pangan olahan belum X
memilikilaboratorium sendiri untuk melakukan
pengendalian mutu dan keamanan bahan baku, bahan
setengah jadi dan produk akhir
8.1.2 Perusahaan yang tidak memiliki laboratorium belum X
menggunakan laboratorium pemerintah atau swasta yang
dapat dipercaya
8.2 Cara berlaboratorium yang baik
Laboratorium perusahaan belum menerapkan cara X
berlaboratorium yang baik (Good LaboratoryPractices) dan
alat ukur yang digunakan belum dikalibrasi secara reguler
untuk menjamin ketelitiannya
9 KARYAWAN
9.1 Persyaratan karyawan pada industri pengolahan pangan
sebagai berikut :
9.1.1 Karyawan tidak mempunyai kompetensi dan memiliki tugas X
secara jelas dalam melaksanakan program keamanan pangan
olahan
9.1.2 Karyawan tidak dalam keadaan sehat, bebas dari X
luka/penyakit kulit, atau hal lain yang diduga
mengakibatkan pencemaran terhadap produk
9.1.3 karyawan belum mengenakan pakaian kerja/alat pelindung X
siri, antara lain sarung tangan, tutup kepala dan sepatu
sesuai dengan tempat produksi
71

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
9.1.4 Kryawan tidak mencuci tangan sebelum melakukan X
pekerjaan dan tidak makan,minum, merokok, meludah atau
melakukan tindakan lain di tempat produksi yang dapat
mengakibatkan pencemaran produk
9.1.5 Karyawan yang diketahui atau disuga menderita penyakit X
menular diperbolehkan masuk ke tempat produksi
9.1.6 Karyawan dalam unit pengolahan memakai perhiasan, jam X
tangan atau benda lain yang membahayakan keamanan
produk
9.2 Pengunjung yang memasuki tempat produksi belum X
menggunakan pakaian pelindung dan mematuhi persyaratan
higiene yang berlaku bagi karyawan
9.3 Industri pengolaan pangan belum menunjuk dan X
menetapkan personil yang terlatih dan kompeten sebagai
penanggungjawab pengawasan keamanan pangan olahan
10 PENGEMAS
10.1 Persyaratan kemasan untuk mengemas produk sebagai
berikut :
10.1.1 Tidak melindungi dan mempertahankan mutu produk X
pangan olahan terhadap pengaruh dari luar, terutama selama
penyimpanan dalam jangka waktu lama
10.1.2 Dibuat dari bahan yang tidak larut atau melepaskan X
senyawa-senyawa tertentu yang dapat mengganggu
kesehatan atau memengaruhi mutu produk
10.1.3 Tidak tahan terhadp perlakuan selama pengolahan, X
pengangkutan dan peredaran (kemasan tidak mudah penyok,
sobek atau pecah selama proses produksi atau jika terkena
benturan selama pengangkutan)
10.1.4 Belum menjamin keutuha dan keaslian produk di dalamnya X
10.1.5 Desain dan bahan kemasan tidak memberikan perlindungan X
terhadap produk dalam memperkecil kontaminasi,
mencegah kerusakan dan memungkinkan pelabelan yang
baik,
10.1.6 Bahan pengemas atau gas yang digunakan dalam X
pengemasan produk beracun, mempertahankan mutu produk
dan kurang melindungi produk terhadap pengaruh dari luar
10.1.7 Kemasan yang dipakai kembali seperti botol minuman tidak X
kuat, sulit dibersihkan, didesinfeksi jika diperlukan, serta
digunakan untuk mengemas produk non pangan
10.1.8 Bahan pengemas tidak disimpan dan ditangani pada kondisi X
higiene, terpisah dari bahan baku dan produk akhir
11 LABEL DAN KETERANGAN PRODUK
11.1 Label produk tidak memenuhi ketentuan yang tercantum X
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan atau perubahannya
11.2 Label pangan olahan belum dibuat dengan ukuran, X
kombinasi warna/bentuk yang berbeda untuk setiap jenis
pangan olahan, agar mudah dibedakan.
72

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
12 PENYIMPANAN
12.1 Cara Penyimpanan :
a.Bahan yang digunakan dalam proses pengolahan dan X
produk akhir tidak disimpan terpisah di dalam ruangan yang
bersih, aliran udara terjamin, suhu sesuai, cukup penerangan
dan bebas hama
b. Penyimpanan bahan baku menyentuh lantai, menempel X
dinding dan dekat dengan langit-langit
c. Penyimpanan bahan dan produk akhir tidak diberi tanda, X
dan ditempatkan secara dicampur sehingga tidak dapat
membedakan antara; sebelum dan sesudah diperiksa,
memenuhi dan tidak memenuhi syarat, bahan dan produk
akhir yang masuk/diproduksi lebih awal
digunakan/diedarkan lebih dahulu
d. Penyimpanan bahan belum menggunakan sistem kartu X
yang menyebutkan:nama bahan,tanggal penerimaan,asal
bahan,tanggal pengeluaran dan informasi lain yang
diperlukan
e. Penyimpanan produk akhir belum menggunakan sistem X
kartu yang menyebutkan : nama produk, tanggal produksi,
kode produksi, tanggal pengeluaran, jumlah pengeluaran
dan informasi lain yang diperlukan
12.1.2 Penyimpanan bahan berbahaya
Penyimpanan bahan berbahaya (disinfektan, insektisida, X
pestisida, rodentisida, bahan mudah terbakar/meledak dan
bahan berbahaya lainnya) tidak dalam ruangan tersendiri
dan diawasi dapat mencemari bahan dan produk akhir serta
membahayakan karyawan
12.1.3 Penyimpanan wadah dan pengemas
Penyimpanan wadah dan pengemas tidak rapi, di tempat X
kotor dan tidak terlindung, saat digunakan mencemari
produk
12.1.4 Penyimpanan Label
Label belum disimpan secara rapi dan teratur, maka dapat X
terjadi kesalahan dalam penggunaan
12.1.5 Penyimpanan mesin/peralatan produksi
Penyimpanan mesin/peralatan produksi yang telah X
dibersihkan tapi belum digunakan tidak dalam kondisi baik
13 PEMELIHARAAN DAN PROGRAM SANITASI
13.1 Pemeliharaan dan Pembersihan
13.1.1 Fasilitas produksi (nagunan, mesin/peralatan) dalam X
keadaan tidak terawat dengan baik, prosedur sanitasi belum
berjalan efektif, mesin/peralatan tidak berfungsi sesuai
prosedur yang ditetapkan terutama pada tahap krisis dan
terjadi pencemaran fisik, kimia dan biologis/mikrobiologis
13.1.2 Pembersihan dan sanitasi mesin/peralatan produksi :
a. Mesin/peralatan produksi yang berhubungan langsung X
dengan bahan dan produk tidak dibersihkan dan dikenakan
tindakan sanitasi secara teratur
73

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
b. Mesin/peralatan produksi yang tidak X
berhubunganlangsung dengan produk tidak selalu dalam
keadaan bersih
c. Mesin/peralatan produksi tidak selalu dibersihkan/dicuci X
untuk menghilangkan sis-sisa bahan dan kotoran serta tidak
dilakukan tindakan desinfeksi
d. Bahan kimia pencuci tidak ditangani dan digunakan X
sesuai prosedur dan disimpan di dalam wadah yang berlabel
untuk menghindari pencemaran terhadap bahan dan produk
e. Alat angkut dan alat pemindahan barang di dalam X
pabrik/tempat produksi kurang dalam keadaan bersih dan
dapat merusak barang yang diangkut atau dipindahkan
13.2 Prosedur pembersihan dan sanitasi
13.2.1 Prosedur pembersihan belum sepenuhnya dilakukan dengan X
menggunakan :
a. Proses fisik dengan penyiatan, penyemprotan air
bertekanan atau penghisap vakum
b. Proses kimia menggunakan deterjen, basa atau asam
c. Gabungan proses fisik dan kimia
13.2.2 Kegiatan pembersihan dan sanitasi belum dilakukan dengan: X
a. Menghilangkan kotoran dari permukaan
Melepaskan tanah dan lapisan jasad renik dari
mesin/peralatan dengan menggunakan deterjen atau
merendamnya di dalam larutan deterjen
c. Membilas dengan menggunakan air bersih yang
memenuhi persyaratan untuk menghilangkan tanah yang
sudah relepas dan sisa deterjen
d. Pembersihan kering atau cara lain untuk menghilangkan
sisa-sisa bahan yang diolah dan kotoran
e. Tindakan desinfeksi jika diperlukan
13.3 Program pembersihan
13.3.1 Progrram pembersihan dan desinfeksi belum menjamin X
semua bagian dari pabrik/tempat produksi telah bersih,
termasuk pencucian alat-alat pembersih
13.3.2 Program pembersihan dan desinfeksi belum dilakukan X
secara berkala serta dipantau ketepatan dan keefektifannya
dan jika perlu dilakukan pencatatan
13.3.3 Catatan program pembersihan belum mencakup : X
a. Ruangan, mesin/peralatan dan perlengkapan
b. Karyawan yang bertanggungjawab terhadap pembersihan
c. Cara dan frekuensi pembersihan
d. Cara memantau kebersihan
74

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
13.4 Program pengendalian hama
13.4.1 Hama (binatang pengerat, serangga, unggas dan lainnya) X
merupakan penyebab utama menurunnya mutu dan
keamanan pangan olahan. Praktek higiene yang baik tidak
diterapkan untuk mencegah masuknya hama ke dalam
pabrik. Program pengendalian hama dilakukan untuk
mengurangi serangan hama melalui :
a. Program sanitasi yang baik
b. Pengawasan terhadap bahan-bahan yang masuk ke dalam
pabrik/tempat produksi
c. Memantau atau mengurangi penggunaan pestisida,
insektisida dan rodentisida yang dapat mencemari produk
13.4.2 Untuk mencegah masuknya hama ke dalam pabrik/tempat X
produksi belum dilakukan tindakan-tindakan sbb :
a. Bangunan pabrik/tempat produksi dalam keadaan terawat
dengan kondisi baik untuk mencegah masuknya hama
b. Lubang-lubang dan saluran yang memungkinkan
masuknya hama dalam keadaan tertutup
c. Jendela, pintu dan venetilasi dilapisi dengan kasa dari
kawat untuk menghindari masuknya dari hama
d. Hewan seperti anjing dan kucing tidak boleh berkeliaran
di lingkungan dan di dalam pabrik/tempat produksi
13.4.3 Untuk mencegah timbulnya sarang hama di dalam
pabrik/tempat produksi diperlukan tindakan sebagai berikut:
a. Pangan olahan belum disimpan dan disusun dengan baik, X
masih langsung bersentuhan dengan lantai dan dekat dari
dinding serta langit-langit
b. Ruangan di dalam maupun di lau pabrik/tempat produksi X
kurang bersih
c. Tempat sampah tidak dalam keadaan tertutup dan dibuat X
dari bahan yang tahan lama
d. Pabrik/tempat produksi dan lingkungannya belum X
diperiksa dan dipantau dari kemungkinan timbulnya sarang
hama
13.4.4 Sarang hama belum segera dimusnahkan X
13.4.5 Pembasmian hama dengan bahan kimia, bahan biologi atau X
secara fisik belum dilakukan tanpa memengaruhi mutu dan
keamanan produk
13.5 Penanganan limbah
Penanganan, pengolahan/pembuangan limbah pabrik/tempat
produksi dilakukan dengan cara yang tepat dan cepat dengan
tindakan sebagi berikut :
13.5.1 Limbah yang dihasilkan dari proses produksi dibiarkan X
menumpuk di lingkungan pabrik/tempat produksi, tidak
segera fitangani, diolah atau dibuang
13.5.2 Limbah padat tidak segera dikumpulkan untuk dikubur, X
dibakar atau diolah
75

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
13.5.3 Limbah cair tidak diolah terlebih dahulu sebelum dialirkan X
ke luar pabrik/tempat produksi atau ke sungai
13.5.4 Limbah gas belum diatur dan diolah sehingga mengganggu X
kesehatan karyawan dan menimbulkan pencemaran
lingkungan
14 PENGANGKUTAN
14.1 Persyaratan wadah dan alat pengangkutan
Wadah dan alat pengangkutan tidak didesain sehingga : X
a. Mencemari produk
b. Sulit dibersihkan dan jika perlu didesinfeksi
c. Produkdari bahan non pangan selama pengangkutan
belum dipisahkan
d. Kurang melindungi produk dari kontaminasi terutama
debu dan kotoran
e. Tidak mampu mempertahankansuhu, kelembaban dan
kondisi penyimpanan
f. Mempersulit pengecekan suhu, kelembaban dan lainnya
14.2 Pemeliharaan wadah dan alat pengangkutan
14.2.1 Wadah dan alat pengangkutan pangan olahan tidak X
dipelihara dalam keadaan bersih dan terawat, dan digunakan
untuk mengangkut bahan-bahan berbahaya
14.2.2 Wadah dan alat pengangkutan pangan olahan digunakan X
untuk pengangkutan bahan-bahan lain tidak dilakukan
pembersihan dan desinfeksi
15 DOKUMEN DAN PENCATATAN
15.1 Dokumentasi/catatan yang diperlukan
Dokumentasi/catatan belum dimiliki dan diperlihara oleh X
perusahaan yang meliputi : catatan bahan yang masuk,
proses produksi, jumlah dan tanggal produksi, distribusi,
inspeksidan pengujian, penarikan produk dan mampu
telusur bahan, penyimpanan, pembersihan dan sanitasi,
kontrol hama, kesehatan karyawan, pelatihan dan kalibrasi
76

Lanjutan Lampiran 2.

KATEGORI PENILAIAN KET


NO ASPEK PENILAIAN
OK MN MJ CR TA
16 PELATIHAN
16.1 Program Pelatihan X
Program pelatihan yang diberikan tidak dimulai dari prinsip
dasar sampai pada praktek cara produksi yang baik, meliputi
pelatihan/penyuluha yang terkait dengan :
16.1.1 Dasar-dasar higiene karyawan dan higiene pangan olahan
kepada petugas pengolahan
16.1.2 faktor-faktor yang menyebabkan penurunan mutu dan
kerusahan pangan olahan termasuk yang mendukung
pertumbuhan jasad renik patogen dan pembusuk
16.1.3 Faktor-faktor yang mengakibatkan penyakit dan keracunan
melalui pangan olahan
16.1.4 Cara produksi pangan olahan yang baik termasuk
penanganan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan dan
pengangkutan
16.1.5 Prinsip-prinsip dasar pembersihan dan sanitasi
mesin/peralatan dan fasilitas lainnya
16.1.6 Penanganan bahan pembersih atau bahan kimia berbahaya
bagi petugas
17 PENARIKAN PRODUK (Jika terjadi penarikan produk)
17.1 Tindakan penarikan produk
Jika produk yang dihasilkan tersebut diduga menimbulkan
bahaya (penyakit atau keracunan) maka diperlukan tindakan
sebagai berikut :
17.1.1 Penarikan produk dari peredaran/pasaran tidak dilakukan X
oleh perusahaan
17.1.2 Manajer atau kepala produksi tidak menyiapkan prosedur X
penarikan produk dari peredaran/pasaran
17.1.3 Produk lain yang dihasilkan pada kondisi yang sama dengan X
produk penyebab bahaya belum ditarik dari
peredaran/pasaran
17.1.4 Masyarakat belum diberi informasi tentang kemungkinan X
beredarnya produk yang menimbulkan bahaya
17.1.5 Produk yang ditarik tidak diawasi sampai dimusnahkan atau X
digunakan untuk keperluan lain tetapi bukan untuk
konsumsi manusia
17.1.6 Produk yang terbukti berbahaya, proses produknya tidak X
dihentikan sampai masalahnya diatasi
18 PELAKSANAAN PEDOMAN
18.1 Perusahaan belum mendokumentasikan operasionalisasi X
program CPPOB
18.2 Manajemen perusahaan tidak bertanggungjawab atas X
sumber daya untuk menjamin penerapan CPPOB
18.3 Karyawan sesuai fungsi dan tugasnya tidak X
bertanggungjawab atas pelaksanaan CPPOB
Hasil Penilaian
77

Lanjutan Lampiran 2.

No Tingkat Penyimpangan Maksimun


MN (Minor) MJ (Major) (CR) Critical
1. Level I 0 s/d 6 0 s/d 5 -
2. Level II ≥7 6 s/d 10 -
3. Level III Tb ≥ 11 6
4. Level IV Tb Tb ≥7
Cttn : Tb = tidak berlaku
78

Lampiran 3. Pemberian Nilai/Rating Terhadap Faktor-Faktor Strategik Internal

Faktor strategik internal dalam kuesioner ini adalah faktor-faktor strategik yang
berasal dari dalam perusahaan yang dapat memengaruhi penerapan GMP di
UMKM.

Petunjuk pengisian :
1. Pemberian nilai/rating didasarkan pada kemampuan UMKM/organisasi dalam
penerapan GMP. Pemberian nilai peringkat didasarkan pada keterangan
berikut :
- Nilai 1 : jika faktor strategi tersebut dinilai menjadi kelemahan utama.
- Nilai 2 : jika faktor strategi tersebut dinilai menjadi kelemahan kecil.
- Nilai 3 : jika faktor strategi tersebut dinilai menjadi kekuatan kecil.
- Nilai 4 : jika faktor tersebut dinilai menjadi kekuatan utama.
2. Berilah tanda checklist (√) pada kolom nilai yang dianggap paling sesuai.

No Faktor Strategik Internal Nilai/Rating Ket


1 2 3 4
1. Pimpinan/pemilik telah mendapatkan
penyuluhan keamanan pangan
2. Jumlah tenaga kerja yang digunakan
3. Teknologi proses relatif sederhana
4. Kemasan produk menarik (eye catching)
5. Memiliki izin edar
6. Komitmen pimpinan/pemilik dalam
penerapan GMP
7. Kesenjangan pemahaman tentang
keamanan pangan antara pimpinan
dengan karyawan
8. Kesadaran karyawan dalam menerapkan
prinsip GMP
9. Kemampuan permodalan
10. Kemampuan telusur (traceability)
11. Karakteristik bahan baku (kecepatan
kerusakan
12. Lemahnya hubungan kemitraan
13. Faktor lainnya
...................................................................
...................................................................
..............
79

Lampiran 4. Pemberian Nilai/Rating Terhadap Faktor-Faktor Strategik Eksternal

Faktor strategik eksternal dalam kuesioner ini adalah faktor-faktor strategik yang
berasal dari luar perusahaan yang dapat memengaruhi penerapan GMP di
UMKM.

Petunjuk pengisian :
1. Pemberian nilai/rating didasarkan pada kuat lemahnya kemampuan UMKM
dalam memanfaatkan peluang.
- Nilai 1 : jika kemampuan UMKM dalam merespon/memanfaatkan faktor
sangat rendah (ancaman utama).
- Nilai 2 : jika kemampuan UMKM dalam merespon/memanfaatkan faktor
cukup rendah (ancaman kecil).
- Nilai 3 : jika kemampuan UMKM dalam merespon/memanfaatkan faktor
cukup tinggi (peluang kecil).
- Nilai 4 : jika kemampuan UMKM dalam merespon/memanfaatkan faktor
sangat tinggi (peluang utama).
2. Berilah tanda checklist (√) pada kolom nilai yang dianggap paling sesuai.

No Faktor Strategik Eksternal Nilai/Rating Ket


1 2 3 4
1. Pembinaan dan fasilitasi Pemerintah
2. Persyaratan mutu dan keamanan pangan
yang ditetapkan oleh modern market
3. Infrastruktur penunjang di daerah
setempat (seperti laboratorium)
4. Ketersediaan air bersih dan bahan baku
5. Perkembangan teknologi informasi
6. Penghargaan lomba mutu dan keamanan
pangan
7. Kesadaran masyarakat akan pangan aman
dan bermutu
8. Kompleksitas persyaratan keamanan
pangan
9. Persaingan dengan produk sejenis dari
industri yang menerapkan GMP/HACCP
10. Produk impor yang lebih murah
11. Faktor Lainnya
...........................................................
..........................................................
80

Lampiran 5. Pembobotan Terhadap Faktor Internal dan Eksternal

I. Pembobotan terhadap kekuatan dan kelemahan internal

Petunjuk Pengisian

Pemberian bobot dilakukan dengan membandingkan secara berpasangan (paired


comparison) setiap peubah pada baris (horizontal) dengan peubah kolom
(vertikal) berdasarkan t ingkat kepentingan atau pengaruhnya terhadap penerapan
GMP.
Skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah :
1 = indikator horizontal kurang penting dibanding indikator vertikal
2 = indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal
3 = indikator horizontal lebih penting dibanding indikator vertikal.

Contoh :
- Untuk mengisi kolom B pada baris/horizontal A :
1. “Pengetahuan Karyawan” ( A pada baris/horizontal ) kurang penting daripada
“Kesadaran karyawan” ( B pada kolom/vertikal ), maka nilainya = 1
2. “Pengetahuan Karyawan” ( A pada baris/horizontal ) sama penting daripada
“Kesadaran karyawan” ( B pada kolom/vertikal ), maka nilainya = 2
3. “Pengetahuan Karyawan” (A pada baris/horizontal) lebih penting daripada
“Kesadaran karyawan” ( B pada kolom/vertikal ), maka nilainya = 3

Faktor Strategik Internal A B C D E F G H I J K L


A. Pimpinan/pemilik telah
mendapatkan penyuluhan
keamanan pangan
B. Jumlah tenaga kerja yang
digunakan
C. Teknologi proses relatif sederhana
D. Kemasan produk menarik (eye
catching)
E. Memiliki izin edar
F. Komitmen pimpinan/pemilik
dalam penerapan GMP
G. Kesenjangan pemahaman tentang
keamanan pangan antara
pimpinan dengan karyawan
H. Kesadaran karyawan dalam
menerapkan prinsip GMP
I. Kemampuan permodalan
J. Kemampuan telusur (traceability)
K. Karakteristik bahan baku
(kecepatan kerusakan
L. Lemahnya hubungan kemitraan
81

II. Pembobotan terhadap peluang dan ancaman eksternal

Petunjuk Pengisian

Pemberian bobot dilakukan dengan membandingkan secara berpasangan (paired


comparison) setiap peubah pada baris (horizontal) dengan peubah kolom
(vertikal) berdasarkan tingkat kepentingan atau pengaruhnya terhadap penerapan
GMP.
Skala yang digunakan untuk pengisian kolom adalah :
1 = indikator horizontal kurang penting dibanding indikator vertikal
2 = indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal
3 = indikator horizontal lebih penting dibanding indikator vertikal.

Contoh :
- Untuk mengisi kolom B pada baris/horizontal A :
1. “Fasilitasi Pemerintah” ( A pada baris/horizontal ) kurang penting daripada
“Pembinaan Pemerintah” ( B pada kolom/vertikal ), maka nilainya = 1
2. “Fasilitasi Pemerintah” ( A pada baris/horizontal ) sama penting daripada
“Pembinaan Pemerintah” ( B pada kolom/vertikal ), maka nilainya = 2
3. “Fasilitasi Pemerintah” (A pada baris/horizontal) lebih penting daripada
“Pembinaan Pemerintah” ( B pada kolom/vertikal ), maka nilainya = 3

Faktor Strategik Eksternal A B C D E F G H I J


A. Pembinaan dan fasilitasi
Pemerintah
B. Persyaratan mutu dan
keamanan pangan yang
ditetapkan oleh modern
market
C. Infrastruktur penunjang di
daerah setempat (seperti
laboratorium)
D. Ketersediaan air bersih
dan bahan baku
E. Perkembangan teknologi
informasi
F. Penghargaan lomba mutu
dan keamanan pangan
G. Kesadaran masyarakat
akan pangan aman dan
bermutu
H. Kompleksitas persyaratan
keamanan pangan
I. Persaingan dengan produk
sejenis dari industri yang
menerapkan
GMP/HACCP
J. Keterbatasan tenaga
penyuluh dan pengawas
keamanan pangan
82

Lampiran 6. Kuisioner AHP

KUESIONER PENELITIAN

STRATEGI PENINGKATAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN OLAHAN


PERTANIAN MELALUI PENERAPAN GMP PADA UMKM BERDAYA
SAING DI KOTA BANDUNG

Nama Responden :
Jabatan :
No Telp :

1. Penjelasan Singkat
a. Tujuan kuesioner ini adalah untuk menentukan alternatif pilihan Strategi
Peningkatan Keamanan Pangan UMKM Pangan Olahan Pertanian. Dasar utama
pengisian ini adalah Hierarki (struktur AHP) dengan elemen-elemen yang telah
disusun, seperti pada Gambar dibawah ini :

Goal Penentuan Strategi Peningkatan Mutu dan


Keamanan Pangan Olahan Pertanian

SDM Dukungan Modal Persyaratan Pasar


Faktor
Pemerintah

Jangka pendek Kemudahan Biaya Minimal Berdampak ganda


Kriteria Implementasi (Multiplier effect)
(1-3 th)

Kemitraan Peningkatan Fasilitasi / Public Law Perbaikan


dengan kapasitas Investasi Awareness Enforcement kemampuan
industri SDM Teknologi (edukasi, (pengawasan telusur
Alternatif
besar (pendampi- dan promosi, dan sanksi) (traceability
(Mutual ngan, penerapan apresiasi system)
Quality) pelatihan, standar UMKM
SJMKP) (pengolahan, berprestasi)
TI)

b. Responden dalam penelitian ini adalah responden yang dianggap sebagai


pakar/expert yang terlibat dalam pengawasan/penerapan/pembinaan GMP pada
UMKM pangan olahan hasil pertanian.
c. Mengingat pentingnya masukan dari Bapak/Ibu, mohon kiranya dapat
memberikan penilaian dalam kuesioner berikut.

2. Petunjuk Pengisian
a. Pemberian nilai dilakukan dengan membandingkan secara berpasangan (paired
comparison) setiap elemen dalam satu level hierarki yang berkaitan dengan
elemen level sebelumnya.
83

b. Penilaian terhadap elemen setiap level hirarki didasarkan atas bobot prioritas atau
kepentingannya. Penilaian dinyatakan secara numerik (skala 1 sampai 9) dengan
definisi verbal sebagai berikut:
Nilai Perbandingan Definisi
(A dibandingkan B)
1 A sama penting dengan B
3 A sedikit lebih penting daripada B
1/3 Kebalikannya (B sedikit lebih penting dari A)
5 A jelas lebih penting daripada B
1/5 Kebalikannya (B jelas lebih penting dari A)
7 A sangat jelas lebih penting daripada B
1/7 Kebalikannya (B sangat jelas lebih penting dari A)
9 A mutlak lebih penting daripada B
1/9 Kebalikannya (B mutlak lebih penting dari A)
2,4,6,8 Ragu-ragu, diberikan apabila terdapat sedikit perbedaan dengan
patokan diatas
Contoh :
Terdapat empat faktor yang mempengaruhi investasi yaitu faktor A, B, C dan F.
Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat kepentingan antara faktor dalam
mempengaruhi investasi, maka :
- Untuk mengisi “(Ab)” (kolom B pada baris A) :
1. Jika “Faktor A” (A pada baris ) sama penting dengan faktor B (B pada kolom)
dalam mempengaruhi investasi maka nilainya = 1
2. Jika “Faktor A” (A pada baris ) sedikit lebih penting daripada faktor B (B pada
kolom) dalam mempengaruhi investasi maka nilainya = 3
3. Jika “Faktor B” (B pada kolom) sedikit lebih penting daripada faktor A (A pada
baris ) dalam mempengaruhi investasi maka nilainya = 1/3
4. Jika “Faktor A” (A pada baris ) jelas lebih penting daripada faktor B (B pada
kolom) dalam mempengaruhi investasi maka nilainya = 5
5. Jika “Faktor B” (B pada kolom) jelas lebih penting daripada faktor A (A pada baris
) dalam mempengaruhi investasi maka nilainya = 1/5
6. Jika “Faktor A” (A pada baris ) sangat jelas lebih penting daripada faktor B (B
pada kolom) dalam mempengaruhi investasi maka nilainya = 7
7. Jika “Faktor A” (A pada baris ) mutlak lebih penting daripada faktor B (B pada
kolom) dalam mempengaruhi investasi maka nilainya = 9
8. Jika “Faktor B” (B pada kolom) mutlak lebih penting daripada faktor A (A pada
baris ) dalam mempengaruhi investasi maka nilainya = 1/9

FAKTOR
FAKTOR
A B C D
Ab
A 1 .......... .......... ...........
B 1 .......... ...........
C 1 ...........
D 1
Keterangan : Nilai 1=sama penting; 3=sedikit lebih penting; 5=jelas lebih penting; 7=sangat
jelas lebih penting; 9=mutlak lebih penting; nilai 2, 4, 6, 8 adalah nilai-nilai diantaranya.
84

Tabel 1. Perbandingan tingkat kepentingan elemen Faktor terhadap Goal Strategi


Peningkatan Keamanan Pangan Olahan UMKM Hasil Pertanian.

Dalam pengisian Tabel dibawah ini, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat
kepentingan masing-masing elemen faktor A dengan B dalam menentukan
prioritas Strategi Peningkatan Keamanan Pangan Olahan UMKM Hasil
Pertanian. Berikan bobot berdasarkan petunjuk.

ELEMEN FAKTOR B
ELEMEN FAKTOR A Dukungan Persyaratan
SDM Modal
Pemerintah pasar
SDM 1 .......... .......... ...........
Dukungan Pemerintah 1 .......... ...........
Modal 1 ...........
Persyaratan pasar 1

Tabel 2. Perbandingan tingkat kepentingan elemen Kriteria terhadap Faktor Sumber


Daya Manusia (SDM)

Dalam pengisian Tabel dibawah ini, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat
kepentingan masing-masing elemen kriteria A dengan B dalam menentukan Faktor
Sumber Daya Manusia. Berikan bobot berdasarkan petunjuk.

ELEMEN KRITERIA B
ELEMEN KRITERIA A Jangka Berdampak
Kemudahan Biaya
Pendek ganda (Multiplier
Implementasi Minimal
(1-3th) Effect)
Jangka Pendek (1-3th) 1 .......... .......... ...........
Kemudahan Implementasi 1 .......... ...........
Biaya Minimal 1 ...........
Berdampak ganda (Multiplier Effect) 1

Tabel 3. Perbandingan tingkat kepentingan elemen Kriteria terhadap Faktor


Dukungan Pemerintah

Dalam pengisian Tabel dibawah ini, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat
kepentingan masing-masing elemen kriteria A dengan B dalam menentukan Faktor
Dukungan Pemerintah. Berikan bobot berdasarkan petunjuk.

ELEMEN KRITERIA B
ELEMEN KRITERIA A Jangka
Kemudahan Biaya Berdampak ganda
Pendek
Implementasi Minimal (Multiplier Effect)
(1-3th)
Jangka Pendek (1-3th) 1 .......... .......... ...........
Kemudahan Implementasi 1 .......... ...........
Biaya Minimal 1 ...........
Berdampak ganda (Multiplier
1
Effect)
85

Tabel 4. Perbandingan tingkat kepentingan elemen Kriteria terhadap Faktor Modal

Dalam pengisian Tabel dibawah ini, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat
kepentingan masing-masing elemen kriteria A dengan B dalam menentukan Faktor
Modal. Berikan bobot berdasarkan petunjuk.

ELEMEN KRITERIA B
ELEMEN KRITERIA A Jangka
Kemudahan Biaya Berdampak ganda
Pendek
Implementasi Minimal (Multiplier Effect)
(1-3th)
Jangka Pendek (1-3th) 1 .......... .......... ...........
Kemudahan Implementasi 1 .......... ...........
Biaya Minimal 1 ...........
Berdampak ganda (Multiplier Effect) 1

Tabel 5. Perbandingan tingkat kepentingan elemen Kriteria terhadap Faktor


Persyaratan Pasar

Dalam pengisian Tabel dibawah ini, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat
kepentingan masing-masing elemen kriteria A dengan B dalam menentukan Faktor
Persyaratan Pasar. Berikan bobot berdasarkan petunjuk.

ELEMEN KRITERIA B
ELEMEN KRITERIA A Jangka
Kemudahan Biaya Berdampak ganda
Pendek
Implementasi Minimal (Multiplier Effect)
(1-3th)
Jangka Pendek (1-3th) 1 .......... .......... ...........
Kemudahan Implementasi 1 .......... ...........
Biaya Minimal 1 ...........
Berdampak ganda (Multiplier Effect) 1

Tabel 6. Membandingkan tingkat kepentingan elemen Alternatif terhadap Kriteria


Jangka Pendek (1-3 th).

Dalam pengisian Tabel dibawah ini, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat
kepentingan masing-masing elemen Alternatif A dibanding B dalam menentukan Kriteria
Jangka Pendek (1-3th). Berikan bobot berdasarkan petunjuk.

ELEMEN ALTERNATIF B
Fasilitasi / Public
Kemitraan
Peningkatan Investasi Awareness Perbaikan
ELEMEN dengan Law
kapasitas SDM Teknologi dan (edukasi, kemampuan
ALTERNATIF A industri Enforcement
(pendampingan, penerapan promosi, telusur
besar (pengawasan
pelatihan, standar apresiasi (traceability
(Mutual dan sanksi )
SJMKP) (pengolahan, UMKM system)
Quality)
TI) berprestasi)
Kemitraan dengan
industri besar 1 .......... .......... ........... ........... ...........
(Mutual Quality)
Peningkatan
kapasitas SDM
1 .......... ........... ........... ...........
(pendampingan,
pelatihan, SJMKP)
86

Fasilitasi / Investasi
Teknologi dan
1 ........... ........... ...........
penerapan standar
(pengolahan, TI)
Public Awareness
(edukasi, promosi,
1 ........... ...........
apresiasi UMKM
berprestasi)
Law Enforcement
(pengawasan dan 1 ...........
sanksi )
Perbaikan
kemampuan telusur 1
(traceability system)

Tabel 7. Membandingkan tingkat kepentingan elemen Alternatif terhadap Kriteria


Kemudahan Implementasi.

Dalam pengisian Tabel dibawah ini, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat
kepentingan masing-masing elemen Alternatif A dibanding B dalam menentukan Kriteria
Kemudahan Implementasi. Berikan bobot berdasarkan petunjuk.

ELEMEN ALTERNATIF B
Fasilitasi / Public
Kemitraan
Peningkatan Investasi Awareness Perbaikan
ELEMEN dengan Law
kapasitas SDM Teknologi (edukasi, kemampuan
ALTERNATIF A industri Enforcement
(pendampingan, dan penerapan promosi, telusur
besar (pengawasan
pelatihan, standar apresiasi (traceability
(Mutual dan sanksi )
SJMKP) (pengolahan, UMKM system)
Quality)
TI) berprestasi)
Kemitraan dengan
industri besar 1 .......... .......... ........... ........... ...........
(Mutual Quality)
Peningkatan
kapasitas SDM
1 .......... ........... ........... ...........
(pendampingan,
pelatihan, SJMKP)
Fasilitasi / Investasi
Teknologi dan
1 ........... ........... ...........
penerapan standar
(pengolahan, TI)
Public Awareness
(edukasi, promosi,
1 ........... ...........
apresiasi UMKM
berprestasi)
Law Enforcement
(pengawasan dan 1 ...........
sanksi )
Perbaikan
kemampuan telusur 1
(traceability system)
87

Tabel 8. Membandingkan tingkat kepentingan elemen Alternatif terhadap Kriteria


Biaya Minimal.

Dalam pengisian Tabel dibawah ini, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat
kepentingan masing-masing elemen Alternatif A dibanding B dalam menentukan Kriteria
Biaya Minimal. Berikan bobot berdasarkan petunjuk.

ELEMEN ALTERNATIF B
Fasilitasi / Public
Kemitraan
Peningkatan Investasi Awareness Perbaikan
ELEMEN dengan Law
kapasitas SDM Teknologi (edukasi, kemampuan
ALTERNATIF A industri Enforcement
(pendampingan, dan penerapan promosi, telusur
besar (pengawasan
pelatihan, standar apresiasi (traceability
(Mutual dan sanksi )
SJMKP) (pengolahan, UMKM system)
Quality)
TI) berprestasi)
Kemitraan dengan
industri besar 1 .......... .......... ........... ........... ...........
(Mutual Quality)
Peningkatan
kapasitas SDM
1 .......... ........... ........... ...........
(pendampingan,
pelatihan, SJMKP)
Fasilitasi / Investasi
Teknologi dan
1 ........... ........... ...........
penerapan standar
(pengolahan, TI)
Public Awareness
(edukasi, promosi,
1 ........... ...........
apresiasi UMKM
berprestasi)
Law Enforcement
(pengawasan dan 1 ...........
sanksi )
Perbaikan
kemampuan telusur 1
(traceability system)
88

Tabel 9. Membandingkan tingkat kepentingan elemen Alternatif terhadap Kriteria


Berdampak Ganda (Multiplier Effect).

Dalam pengisian Tabel dibawah ini, Bapak/Ibu diminta untuk membandingkan tingkat
kepentingan masing-masing elemen Alternatif A dibanding B dalam menentukan Kriteria
Berdampak Ganda (Multiplier Effect). Berikan bobot berdasarkan petunjuk.

ELEMEN ALTERNATIF B
Fasilitasi / Public
Kemitraan
Peningkatan Investasi Awareness Perbaikan
ELEMEN dengan Law
kapasitas SDM Teknologi dan (edukasi, kemampuan
ALTERNATIF A industri Enforcement
(pendampingan, penerapan promosi, telusur
besar (pengawasan
pelatihan, standar apresiasi (traceability
(Mutual dan sanksi )
SJMKP) (pengolahan, UMKM system)
Quality)
TI) berprestasi)
Kemitraan dengan
industri besar 1 .......... .......... ........... ........... ...........
(Mutual Quality)
Peningkatan
kapasitas SDM
1 .......... ........... ........... ...........
(pendampingan,
pelatihan, SJMKP)
Fasilitasi / Investasi
Teknologi dan
1 ........... ........... ...........
penerapan standar
(pengolahan, TI)
Public Awareness
(edukasi, promosi,
1 ........... ...........
apresiasi UMKM
berprestasi)
Law Enforcement
(pengawasan dan 1 ...........
sanksi )
Perbaikan
kemampuan telusur 1
(traceability system)
89

Lampiran 7. Hasil perhitungan AHP

Goal Penentuan Strategi Peningkatan Mutu


dan Keamanan Pangan Olahan Pertanian

SDM Dukungan Modal Persyaratan Pasar


Faktor Pemerintah
(0,339) (0,137) (0,285)
(0,240)

Biaya Jangka Pendek Kemudahan Berdampak ganda


Kriteria Minimal (1-3th) Implementasi (Multiplier effect)
0,271 0,233 0,320 0,463

Kemitraan Peningkatan Fasilitasi / Public Law Perbaikan


dengan kapasitas Investasi Awareness Enforcement kemampuan
industri SDM Teknologi (edukasi, (pengawasan telusur
Alternatif besar (pendampi- dan promosi, dan sanksi) (traceability
(Mutual ngan, penerapan apresiasi (0,136) system)
Quality) pelatihan, standar UMKM (0,07)
(0,152) SJMKP) (pengolahan, berprestasi)
(0,198) TI) (0,221)
(0,222)
90

Dynamic Sensitivity for nodes below:


Goal: Strategi Peningkatan Mutu dan Keamanan Pangan

33,9% Sumber daya manusia (L: ,339) 15,2% Kemitraan dengan usaha besar (Mutual Quality)

24,0% Fasilitasi Pemerintah (L: ,240) 19,8% Peningkatan kompetensi SDM

13,7% Modal (L: ,137) 22,2% Investasi teknologi dan penerapan standar

28,5% Persyaratan Pasar (L: ,285) 22,1% Public awareness (promosi, edukasi, apresiasi)

13,6% Law enforcement (pengawasan dan sanksi)

7,0% Pengembangan kemampuan telusur (traceability s

0 .1 .2 .3 .4 .5 .6 .7 .8 .9 1 0 .1 .2 .3 .4

Objectives Names

Sumber daya
Fasilitasi P
Modal (L: ,1
Persyaratan
91

Lampiran 8. Responden UMKM pangan olahan hasil pertanian

No Nama UMKM Produk Olahan


1. 2M Snack Keripik pisang, tempe
2. Al Barokah Keripik singkong
3. Algifari Harapan Utama Keripik pisang
4. Djoeragan Tempe Keripik Tempe
5. Selfie Sale pisang
6. De Kasreng Keripik bayam
7. Mitra Usaha Jaya Keripik pisang
8. Airasa Bawang Bawang goreng
9. Tempe Coklat Buluk Lupa Keripik Tempe
10. Jeges Keripik jamur
11. Dian Lestari Kerpik kentang
12. Zanana Chips Keripik pisang
13. Gorila Keripik pisang
14. Azka Mushroom Kerpik Jamur
15. CV. Miko Pangan Utama Sosis-nugget jamur tiram
16. Bagindo Panda Keripik kentang balado, Rendang
17. Dendeng Pak Udju Dendeng
18. Rendang Ni Elvi Rendang
19. Restu Mande Rendang, dendeng
20. Rendang Nenek Rendang
21. CV. Bright Food Riung Gunung Nugget, Bakso, Risol, Batagor
22. Abyakta Dendeng
23. Rendang Uni Pipit Rendang Daging, Paru Kering
24. Palasari Abon sapi ayam ikan, Dendeng
25. Sokita Dendeng, Abon
26. Bu Broto Abon
27. Abon Bandung Abon
28. Marantau Abon sapi
29. Mones Chocholate Cokelat
30. Kelapa Indung Serundeng kelapa
92

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 25 Oktober 1979 dari ayah


bernama Drs. Roemadi, MBA dan ibu Dra. Sriyatin. Penulis merupakan anak
bungsu dari empat bersaudara. Penulis menikah dengan drh. Armin Riandi dan
telah dikaruniai anak Arfan Rajendra W.R dan Amara Raeesa C. Pendidikan
terakhir penulis adalah S1 Jurusan Sosial Ekonomi Agribisnis, Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor (IPB) setelah sebelumnya menempuh pendidikan di
SMUN 81 Jakarta.
Saat ini penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kementerian
Pertanian dan mulai bekerja sejak tahun 2003. Mengawali pekerjaan di Direktorat
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, saat ini penulis ditempatkan di Ditjen
Perkebunan Kementerian Pertanian. Penulis mendapatkan beasiswa pascasarjana
dari Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian,
Kementerian Pertanian pada tahun 2015.

Anda mungkin juga menyukai