Anda di halaman 1dari 81

ANALISIS STATUS KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN

KELAPA SAWIT RAKYAT PROVINSI JAMBI

IDA KURNIA SARAGIH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Analisis Status


Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Provinsi Jambi” adalah benar
karya saya denganarahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2019

Ida Kurnia Saragih


H351170201
RINGKASAN

IDA KURNIA SARAGIH. Analisis Status Keberlanjutan Perkebunan Kelapa


Sawit Rakyat Provinsi Jambi.Dibimbing oleh DWI RACHMINA dan BAYU
KRISNAMURTHI.
Pembangunan berkelanjutan saat ini menjadi agenda pembangunan yang
tengah menjadi perhatian dunia. Konsep pembangunan berkelanjutan dibutuhkan
untuk memenuhi kebutuhan manusia yang bersifat tidak terbatas dengan sumber
daya alam yang terbatas sehingga diperlukan formula yang tepat untuk
mengintegrasikan antara alam atau lingkungan, ekonomi, dan sosial sebagai
wadah untuk berinteraksi. Perubahan arah pembangunan juga berdampak pada
arus bisnis dimana motif bisnis sudah menjadi 3P (profit, people, dan planet) yang
bermakna memperhatikan unsur keberlanjutan.
Komoditas kelapa sawit menjadi komoditas andalan bagi perekonomian
Indonesia juga mengalami tuntutan produksi berkelanjutan. Keberlanjutan
komoditas kelapa sawit meliputi seluruh rantai pasok,mulai dari kebun hingga
pabrik. Provinsi Jambi merupakan salah satu dari sepuluh besar provinsi penghasil
kelapa sawit, dimana 75 persen dari total luas lahan perkebunan kelapa sawit
adalah perkebunan rakyat.Perkebunan kelapa sawit rakyat merupakan bagian dari
rantai pasok komoditas kelapa sawit yang memerlukan aspek pembangunan
berkelanjutan.Keterbatasan menejerial, akses informasi, dan kemampuan
kelembagaan pada perkebunan kelapa sawit rakyat menjadi keterbatasan petani
dalam pemenuan aspek berkelanjutan.Penelitian ini digunakan untuk memetakan
kondisi keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat saat ini sehingga dapat
memberikan informasi tentang arah kebijakan untuk menciptakan keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat di Provinsi Jambi.
Perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi telah memasuki tahap
sertifikasi keberlanjutan. Gabungan Kelompok Tani Tanjung Sehati (GTS) di
Kabupaten Merangin menjadi salah satu gapoktan yang telah tersertifikasi RSPO.
Penelitian ini menganalisis indeks dan status keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit rakyat dengan membandingkan yang tersertifikasi dan non-sertifikasi.
Penelitian ini juga melihat indikator kunciyangmempengaruhi terhadap
keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat.
Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis keberlanjutan perkebunan
kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi ditinjau dari lima dimensi yakni ekonomi,
sosial, lingkungan, kelembagaan, dan teknologi; (2) menganalisis indikator kunci
yang mempengaruhi keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat pada masing-
masing dimensi; (3) menganalisis keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat
tersertifikasi dan non-sertifikasi.
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer sebagai data
utama dan data sekunder sebagai data pendukung. Data primer diperoleh dengan
wawancara kepada petani sedangkan data sekunder diperoleh dari literature
review, Badan Pusat Statistik, dan Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. Data
dianalisis menggunakan Teknik ordinasi RAPFISH yang ditransformasikan
menjadi RAP-Palmoil melalui metode Multidimensional Scaling
(MDS).Penelitian ini menggunakan 48 atribut yang ditentukan berdasarkan
criteria keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat oleh RSPO, ISPO, dan
penelitian terdahulu yang relevan pada penelitian ini. Atribut pada penelitian ini
terdiri 48 atribut pada dimensi ekonomi 9 atribut, sosial 10 atribut, lingkungan 9
atribut, kelembagaan 10 atribut, teknologi 10 atribut. Analisis ordinasi dengan
MDS untuk menentukan status keberlanjutan pada setiap dimensi dalam skala
indeks keberlanjutan. Melakukan analisis laverage untuk menentukan peubah
kunci yang mempengaruhi keberlanjutan, dan analisis monte carlountuk
menghitung dimensi ketidakpastian pada selang kepercayaan 95 persen.
Hasil analisis RAPPO menghasilkan nilai indeks keberlanjutan perkebunan
kelapa sawit rakyat secara multi dimensi cukup berkelanjutan (57.79). Indeks
keberlanjutan masing-masing dimensi menghasilkan nilai beragam, dimensi
ekonomi (54.11), dimensi sosial (66.83), dimensi lingkungan (58,64), dimensi
kelembagaan (46.40), dan teknologi (59.02). Kategori keberlanjutan berdasarkan
nilai indeks adalah cukup berkelanjutan pada dimensi ekonomi, sosial,
lingkungan, dan teknologi dan kurang berkelanjutan pada dimensi kelembagaan.
Indikator kunci yang mempengaruhi keberlanjutan perkebunan kelapa sawit
Provinsi Jambi yaitu pada dimensi ekonomi; sistem pendapatan perkebunan
kelapa sawit bagi petani, kemudahan akses informasi harga, keseimbangan
distribusi keuntungan, pada dimensi sosial; akses kesehatan, pandangan
masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit, akses pendidikan, pada dimensi
lingkungan; pencemaran lingkungan, penerapan teknis budidaya dan
pengangkutan, kesesuian lahan dan agroklimat, pada dimensi kelembagaan; akses
petani ke sumber teknologi, kemampuan LKM melayani kebutuhan petani,
kemampuan modal kelompok tani, dan pada dimensi lingkungan; mekanisme
pengelolaan tanah, jarak tanam, penggunaan pupuk sesuai rekomendasi.
Nilai indeks keberlanjutan pada perkebunan kelapa sawit rakyat
tersertifikasi yaitu 60.90, non-sertifikasi yaitu 53.10 dan keduanya masuk dalam
kategori cukup berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit
rakyat non-sertifikasi non-mitra yaitu 46,65 dalam kategori kurang berkelanjutan
dan nilai indeks keberlanjutan pada perkebunan kelapa sawit rakyat non-sertifikasi
mitra yaitu 54.90 dalam kategori cukup berkelanjutan. Sementara nilai
keberlanjutan pada masing-masing dimensi nilai indeks keberlanjutan dimensi
lingkungan pada perkebunan tersertfikasi memiliki nilai tertinggi yaitu 71.56 dan
dimensi kelembagaan pada perkebunan non-sertifikasi non-mitra memiliki indeks
keberlanjutan terendah yaitu 30.03.

Kata kunci: dimensi keberlanjutan, multidimensional scaling (MDS), sertifikasi


keberlanjutan
SUMMARY

IDA KURNIA SARAGIH. Analysis sustainability status of smallholders palm oil


plantations in Jambi Province. Supervised by DWI RACHMINA and BAYU
KRISNAMURTHI.

Sustainable development is currently a development agenda that is


becoming a global concern. The concept of sustainable development is needed to
meet unlimited human needs with limited natural resources so that the right
formula is needed to integrate nature or the environment, economy, and society as
a platform for interaction. Changes in the direction of development also have an
impact on business flows where business motives have become 3P (profit, people,
and planet) which means paying attention to the element of sustainability.
The oil palm commodity being a mainstay commodity for the Indonesian
economy is also experiencing demands for sustainable production. Palm oil
commodity sustainability covers the entire supply chain, from the plantation to the
mill. Jambi Province is one of the top ten oil palm producing provinces, where 75
percent of the total land area of oil palm plantations is community plantations.
Smallholder oil palm plantations are part of the palm oil commodity supply chain
that requires aspects of sustainable development. The managerial limitations,
access to information, and institutional capabilities in the community's oil palm
plantations are the limitations of farmers in establishing sustainable aspects. This
research is used to map the current condition of the sustainability of community
oil palm plantations so that they can provide information about the policy
direction to create sustainability of community oil palm plantations in Jambi
Province.
The Jambi Province smallholders palm oil plantations have entered the
sustainability certification stage. Tanjung Sehati Farmers Group (GTS) in
Merangin District is one of the RSPO certified farmer groups. This study analyzes
the index and sustainability status of community oil palm plantations by
comparing certified and non-certified. This study also looks at what attributes
most influence the sustainability of community oil palm plantations.
The aim of study are (1) to analyze the sustainability of the smallholder‟s
palm oil plantations in Jambi Province in terms of five dimensions thats
economic, social, environmental, institutional, and technological; (2) analyzing
sensitive attributes that affect the sustainability of community oil palm plantations
in each dimension; (3) analyze the sustainability of certified and non-certified
community oil palm plantations.
The data used in this study are primary data as primary data and secondary
data as supporting data. Primary data were obtained by interviewing farmers while
secondary data were obtained from literature review, Badan Pusat Statistik, and
the Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. Data were analyzed using RAPFISH
ordination technique which was transformed into RAP-Palmoil through the
Multidimensional Scaling (MDS) methods. This study uses 48 attributes that are
determined based on the sustainability criteria of community oil palm plantations
by RSPO, ISPO, and previous relevant research in this study. Attributes in this
study consisted of 48 attributes on economic dimensions 9 attributes, social
attributes 10, environment 9 attributes, institutional attributes 10, technology 10
attributes. Ordination analysis with MDS to determine the position of
sustainability status on each dimension in the sustainability index scale. Perform a
leverage analysis to determine key variables that affect sustainability, and Monte
Carlo analysis to calculate the uncertainty dimension at a 95 percent confidence
interval.
The results of the RAP-Palmoil analysis produce a multi-dimensional
sustainability index value of community oil palm plantations that is quite
sustainable (57.79). The sustainability index of each dimension produces various
values, economic dimension (54.11), social dimension (66.83), environmental
dimension (58.64), institutional dimension (46.40), and technology (59.02). The
sustainability category based on the index value is quite sustainable in the
economic, social, environmental and technological dimensions and less
sustainable in the institutional dimension.
Sensitive attributes that affect the sustainability of smallholders palm oil
plantations in Jambi Province, namely the economic dimension; palm oil
plantation income system for farmers, easy access to price information, balance of
profit distribution, on the social dimension; health access, community views on oil
palm plantations, access to education, on the environmental dimension;
environmental pollution, the application of technical cultivation and
transportation, land suitability and agro-climate, on the institutional dimension;
farmer access to technology resources, MFI's ability to service farmers' needs,
farmer group capital capacity, and on the environmental dimension; soil
management mechanism, spacing, fertilizer use according to recommendations.
The value of the sustainability index in certified community oil palm
plantations is 60.90, non-certification is 53.10 and both are in the quite sustainable
category. The sustainability index value of non-certified community oil palm
plantations of non-partners is 46.65 in the unsustainable category and the value of
the sustainability index in non-certified community oil palm plantations of
partners is 54.90 in the moderately sustainable category. While the sustainability
value in each dimension the index value of the environmental dimension of
sustainability in the certified plantation has the highest value of 71.56 and the
institutional dimension of the non-certified non-partner plantation has the lowest
sustainability index of 30.03.

Keywords: multidimensional scaling (MDS), sustainability dimensions,


sustainability certification
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS STATUS KEBERLANJUTAN PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT RAKYAT PROVINSI JAMBI

IDA KURNIA SARAGIH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Amzul Rifin, SP, M.A
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga tesis berjudul “Analisis Status
Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Provinsi Jambi” sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi
Agribisnis, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak akan tersusun tanpa bantuan dan
kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku ketua komisi
pembimbing atas waktu, pemikiran, dan arahan dalam memberikan
bimbingan, perhatian dan kesabaran dalam penyusunan tesis ini. Ucapan
terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Bayu Krisnamurthi, MS
selaku anggota komisi pembimbing atas waktu, pemikiran, dan arahan dalam
memberikan bimbingan, dan dukungan dalam penulisan tesis ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada Dr Amzul Rifin, SP, M.A sebagai penguji
utama, Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku dosen evaluator kolokium, serta
seluruh dosen pengajar di program studi agribisnis IPB. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada pihak-pihak terkait pada penelitian di lapangan
yakni Bapak Panca Pria selaku kepala bidang pengembangan dan penyuluhan
Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Bapak Zainal selaku personalia PT XYZ di
Kecamatan Sungai Gelam, Ibu Baya Zulhakim selaku pimpinan LSM Setara,
seluruh pengurus Gapoktan Tanjung Sehati, Koperasi Berkah Sejahtera
Kecamatan Kumpeh Ulu, dan seluruh petani responden yang telah
meluangkan waktu, tempat, dan tenaga dalam proses pencarian data pada
penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di
program studi agrbisnis IPB angkatan 2017/MSA 8 khususnya sahabat our
adventure yang telah menjadi teman berdiskiusi selama perkuliahan dan
penulisan tesis. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua atas doa, tenaga, dan materi yang diberikan kepada penulis selama
menjalani proses perkuliahan hingga penelitian. Semoga Allah senantiasa
memberikan rahmat dan hidayah kepada kita agar selalu menjadi manusia
yang bertaqwa.

Bogor, 20 September 2019

Ida Kurnia Saragih


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI Y
DAFTAR TABEL YL
DAFTAR GAMBAR YLL
DAFTAR LAMPIRAN YLL

1. PENDAHULUAN 1
LatarBelakang 1
RumusanMasalah 
Tujuan 
Manfaat 
RuangLingkupPenelitian 

2. TINJAUAN PUSTAKA 
Keberlanjutan Kelapa Sawit 
Indeks Keberlanjutan Pada Beberapa Sektor 
RAP dan MDS Mengukur Keberlanjutan 10

3. KERANGKA PEMIKIRAN 
Kerangka Pemikiran Teoritis 
Konsep Keberlanjutan 
Indikator Pertnian Berkelanjutan 1
Analisis Keberlanjutan 1
Kerangka Pemikiran Operasional 1

4 METODE PENELITIAN 1
Lokasi dan Waktu Penelitian 1
Jenis dan Sumber Data 1
Metode Penentuan Responden 1
Metode Analisis Data 1

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 2


Keadaan umum daerah penelitian 24
Gambaran umum agribisnis kelapa sawit Provinsi Jambi 2
Perkembangan luas areal dan produksi kelapa sawit Provinsi Jambi 2
Industri hilir kelapa sawit Provinsi Jambi 2
Karakteristik petani sampel perkebunan kelapa sawit 

6 HASIL DAN PEMBAHASAN 


Indeks dan status keberlanjutan multidimensi 3
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat berdasarkan dimensi 3
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat dimensi ekonomi 3
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat dimensi sosial 3
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat dimensi lingkungan 
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat dimensi kelembagaan 4
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat dimensi teknologi 4
Analisis keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat tersertifikasi dan 4
non-sertifikasi
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat tersertifikasi 
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat non-sertifikasi 
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat non-sertifikasi non- 
mitra
Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat non-sertifikasi mitra 5

SIMPULAN DAN SARAN 5


Simpulan 5
Saran 5
DAFTAR PUSTAKA 5
LAMPIRAN 57
RIWAYAT HIDUP 65

DAFTAR TABEL
1 Pemilihan indikator keberlanjutan pertanian dengan mempertimbangkan 13
karakteristik spasial, temporal dan tiga aspek keberlanjutan di negara
berkembang
2 Sampel petani perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi 20
3 Kategori dan nilai indeks serta status keberlanjutan 24
4 Produk Domestik Rrgional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan Provinsi 25
Jambi Tahun 2014-2018
5 Luas areal, produksi, dan kabupaten sentra tanaman perkebunan Provinsi 27
Jambi 2018
6 Luas areal produksi dan rata-rata harga kelapa sawit Provinsi Jambi 29
menurut kabupaten Tahun 2017
7 Jumlah dan kapasitas pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) Provinsi Jambi 30
2017
8 Karakteristik petani sampel perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi 32
9 Parameter statistik (goodness of fit) dari analisis indeks dan status 33
keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat
10 Profil usahatani perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi 49
11 Indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi 50
12 Nilai keberlanjutan dan parameter statistic MDS perkebunan kelapa sawit 51
rakyat tersertifikasi
13 Hasil analisis leverage pada daerah tersertifikasi 52
14 Nilai keberlanjutan dan parameter statistic MDS perkebunan kelapa sawit 53
rakyat non-sertifikasi
15 Nilai keberlanjutan dan parameter statistic MDS non-sertifikasi non-mitra 54
16 Nilai keberlanjutan dan parameter statistic MDS non-sertifikasi mitra 57
17 Hasil analisis leverage perkebunan kelapa sawit non-sertifikasi mitra 57

DAFTAR GAMBAR
1 Luas perkebunan kelapa sawit provinsi jambi berdasarkan penguasaan 1
2 Model pembangunan berkelanjutan, champbell 10
3 Indikator operasional untuk mengukur keberlanjutan pertanian di negara 12
berkembang
4 Kerangka pemikiran keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat 17
5 Tahapan analisis RAPPO 20
6 Diagram layang analisis keberlanjutan 22
7 Luas daerah menurut kabupaten Provinsi Jambi 23
9 Pola distribusi perdagangan minyak goreng di Provinsi Jambi 28
10 Indeks keberlanjutan multidimensi perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi 32
Jambi
11 Diagram layang indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat 33
12 Indeks keberlanjutan dan indikator kunci dimensi ekonomi 35
13 Indeks keberlanjutan dan atribut senstif dimensi sosial 38
14 Indeks keberlanjutan dan indikator kunci dimensi lingkungan 40
15 Indeks keberlanjutan dan indikator kunci dimensi kelembagaan 43
16 Indeks keberlanjutan dan indikator kunci dimensi teknologi 45

DAFTAR LAMPIRAN
1 Atribut, Skor Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Provinsi Jambi 58
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan untuk


memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa menganggu kemampuan
pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. Perkembangan
aktivitas binsis mengalami pergeseran paradigma dimana motif awalnya hanyalah
profit berkembang untuk melakukan aktivitas yang mengacu pada konsep
sustainable development yakni 3P (profit people dan planet). Pembahasan agenda
pembangunan berkelanjutan juga diperkenalkan oleh PBB melalui agenda global
pembangunan keberlanjutan atau dikenal dengan Sustainable Development Goals
(SDGs) pada Tahun 2015 yang terdiri dari 17 tujuan dan 169 target yang
diharapkan dicapai pada 2030 (UN 2015). Kesepakatan yang disetuji oleh negara
anggota termasuk Indonesia tersebut menghimbau seluruh dunia untuk
mempraktekkan dan melakukan aktivitas produksi dengan memperhatikan unsur
keberlanjutan.
Himbauan melakukan produksi secara berkelanjutan disambut positif oleh
pihak konsumen sehingga menciptakan iklim produksi yang baru untuk
mendukung memproduksi barang yang memiliki jaminan keberlanjutan.
Menindaklanjuti tuntutan konsumen hingga tahun 2012 terdapat 435 produk yang
arah perkembangan produk berkelanjutan (COSA 2013). Sektor pertanian sebagai
aktivitas produksi di Indonesia juga menjadi sasaran penerapan praktik-praktik
berkelanjutan. Mekanisme agribisnis harus diciptakan sedemikian rupa untuk
menciptakan iklim bisnis yang mampu diterima sehingga produk pertanian tidak
kehilangan pasar. Salah satu komoditas pertanian yang sering mendapat perhatian
terhadap pemenuhan kriteria keberlanjutan oleh konsumen adalah produk kelapa
sawit.
Kelapa sawit merupakan komoditas ekspor utama yang memiliki manfaat
bagi perekonomian Indonesia. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dimulai
pada Tahun 1969 dimulai ketika pemerintah Indonesia membentuk perusahaan
negara perkebunan (PNP) dengan awal pendanaan investasi oleh Bank Dunia
(World Bank) dan Bank Pembangunan Asia (The Asian Development Bank). Sejak
awal pertumbuhan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 1970-an perkebunan
kelapa sawit masih didominasi oleh perkebunan besar baik swasta maupun negara.
Dilihat dari pertumbuhan rata-rata perkebunan kelapa sawit sebesar 10,99% pada
periode 1998-2016. Pada Tahun 1980 luas areal perkebunan kelapa sawit
Indonesia sebesar 29.456 ribu hektar maka pada Tahun 2015 telah mencapai 11.30
juta hektar. Pertumbuhan produksi mengikuti luas areal kelapa sawit sebesar
11.50 persen (Kementerian Pertanian 2017). Tahap perkembangan perkebunan
kelapa sawit mengalami pergeseran dimana pada perkebunan rakyat telah
mendominasi kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit. Luas perkebunan
kelapa sawit rakyat mencapai 41 persen dari luas keseluruhan kebun kelapa sawit
di Indonesia dengan jumlah pekebun yang terlibat mencapai 22 juta (Ditjenbun
2014).
2

Provinsi Jambi termasuk sepuluh besar provinsi produsen kelapa sawit


Indonesia ditinjau dari luas dan produkssinya. Perkebunan kelapa sawit
berkembang pesat era 1980 - 1990 dimana terjadi fenomena transmigrasi dari
Pulau Jawa ke Pulau Sumatera yang sebagian besar penduduk mengusahakan
perkebunan kelapa sawit sebagai komoditas penopang perekonomian keluarga.
Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi diusahakan secara mandiri maupun
bermitra keperusahan. Supriadi (2013) menyatakan bahwa pembangunan
perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan mobilitas penduduk yang tinggi
sehingga daerah-daerah sekitar pembangunan perkebunan muncul pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi di pedesaan kondisi ini menyebabkan meningkatnya daya
beli masyarakat pedesaan terutama terhadap kebutuhan rutin rumah tangga dan
kebutuhan sarana produksi perkebunan kelapa sawit.
Perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi secara ekonomi mampu
meningkatkan pendapatan masyarakat dilihat dari pertumbuhan sebelum dan
sesudah perkebunan kelapa sawit berkembang. Luas perkebunan kelapa sawit
Provinsi Jambi berdasarkan kepimilikan didominasi perkebunan rakyat sementara
perkembangan perkebunan negara cenderung stabil namun perkebunan rakyat
cenderung meningkat. Dapat dilihat pada Gambar 1 berikut bahwa perkebunan
kelapa sawit Provinsi Jambi paling tinggi dibanding perkebunan negara dan
swasta.Berdasarkan data (statistik perkebunan Provinsi Jambi 2018) sekitar 75
persen perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi berdasarkan penguasaan adalah
perkebunan kelapa sawit rakyat. Luas lahan perkebunan kelapa sawit rakyat pada
tahun 2017 lebih dari 500 ribu hektar jumlah ini akan sema kin bertambah dengan
melihat antusias masyarakat terhadap bisnis perkebunan kelapa sawit.

700000

600000

500000
Hektar

400000

300000

200000

100000

0
2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017

Tahun
PBN PBS PR

Gambar 1 Luas perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi berdasarkan penguasaan


Sumber : Statistik perkebunan Provinsi Jambi (2018)

Perkebunan kelapa sawit rakyat merupakan bagian dari rantai pasok


agribisnis kelapa sawit yang perlehan dituntut untuk menerapkan aspek
keberlanjutan. Sertifikasi keberlanjutan seakan menjadi kewajiban untuk
3

memasuki pasar sementara posisi perkebunan yang tidak memiliki kemampuan


menejerial menjadi keterbatasan bagi petani. Pemenuhan aspek keberlanjutan
terhadap perkebunan kelapa sawit rakyat bukan hal yang mudah karena motif
ekonomi masih mendominasi dalam praktik budidaya perkebunan kelapa sawit
rakyat namun hal ini tidak menjadi alasan bagi pihak pengambil kebijakan untuk
mewujudkan perkebunan kelapa sawit rakyat berkelanjutan. Wujud dari
pemenuhan aspek berkelanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat adalah sertifikasi
keberlanjutan yang diterbitkan oleh lembaga berkelanjutan untuk perkebunan
antara lain Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable
Sustainability Palm Oil (RSPO). Kepemilikan sertifikat perkebunan kelapa sawit
rakyat di provinsi jambi hanya dimiliki oleh dua gapoktan yang berada di
Kabupaten Merangin dan Tanjung Jabung Barat. Kepemilikan sertifikasi bukan
menjadi akhir dari keberlanjutan namun menjadi awal untuk mendorong petani
untuk melakukan kegiatan perkebunan yang memenuhi aspek keberlanjutan maka
diperlukan analisis status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat.

Perumusan Masalah

Pola perkebunan kelapa sawit rakyat dimulai dengan program Pola Inti
Rakyat (PIR) yang dimulai pada tahun 1960-an pada awal perkembangan dibuat
oleh pemerintah dalam upaya pengembangan kawasan ekonomi baru. Pola ini
didasari oleh agenda transmigrasi masyarakat Pulau Jawa ke Provinsi Jambi dan
kelapa sawit menjadi komoditas utama yang diusahakan masyarakat
transmigrasisebagai petani dan perusahaan sebagai pihak pembina dan
penampung hasil produksi melalui skema kerja sama kemitraan. Perkembangan
daerah transmigrasi cukup pesat akibat multiplier effect yang diciptakan kelapa
sawit mampu meningkatkan pusat-pusat perekonomian baru dan meningkatkan
pendapatan masyarakat. Hal ini menarik perhatian masyarakat lokal dan
pendatang non-trans memanfaatkan lahan pertanian mereka untuk perkebunan
kelapa sawit menjadi petani perkebunan kelapa sawit rakyat (swadaya) non-mitra.
Pemerintah menyadari manfaat yang diterima masyarakat dari pengembangan
perkebunan kelapa sawit antara lain mmenciptakan lapangan kerja baru menjadi
sumber pendapatan utama rumahtangga dan menciptakan devisa (Nediasari 2017
dan Lifi 2017).
Perkebunan kelapa sawit rakyat merupakan bagian dari rantai pasok
agribisnis kelapa sawit. Adanya tekanan dari pasar internasional atas penerapan
RSPO menyebabkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit harus mendapatkan
bahan baku dari kebun yang telah tersertifikasi keberlanjutan (Darmawan 2015).
Kondisi ini menjadi pendorong pemerintah dan lembaga keberlanjutan RSPO
untuk menerapkan keberlanjutan pada perkebunan kelapa sawit rakyat. Posisi
petani kelapa sawit rakyat sangat lemah menghadapi perubahan pasar
internasional. Berbagai tantangan dan keterbatasan yangn dihadapi petani
menyebabkan rendahnya akses petani untuk menjadi rantai pasok pasar global.
Keterbatasan karakter kemampuan sumber daya dan akses ke sumber daya pada
petani sangat bervariasi sehingga menyulitkan koordinasi petani dalam satu
kelompok terintegrasi dan sistem produksi dan manajemen yang baik.
4

Provinsi Jambi memiliki dua gapoktan yang telah memiliki sertifikasi


keberlanjutan terletak di Kabupaten Merangin dan Tanjung Jabung Barat.
Pembentukan sertifikasi RSPO pada perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi
Jambi dimulai pada tahun 2015 hingga terdapat dua gapoktan yang mendapat
sertifikat RSPO yakni Gapoktan Tanjung Sehati di Kabupaten Merangin dan
tahun 2017 Gapoktan Forum Petani Swadaya Merlung di Tanjung Jabung Barat.
Keberhasilan sertifikasi ini menjadi harapan bagi perkebunan kelapa sawit rakyat
di Provinsi Jambi. Proses sertifikasi melibatkan berbagai pihak antara lain
pemerintah pengurus kelompok tani dan gapoktan dan lembaga swadaya
masyarakat Yayasan Setara Jambi yang mendampingi petani sebagai penyambung
informasi kepada RSPO. Fokus kegiatan yang dilakukan pihak RSPO pemerintah
serta LSM untuk memantau petani menjaga kelestarian alam dan konservasi
menjadi pada perkebunan kelapa sawit rakyat yang tersertifikasi.
Sertifikasi perkebunan kelapa sawit rakyat menjadi agenda penting bagi
keberlangsungan perdagangan kelapa sawit Indonesia. Faktor-faktor penentu
keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat perlu ditelusuri untuk memudahkan
pemerintah mengambil kebijakan.Pembangunan perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan setidaknya dapat dicapai dengan memecahkan permasalahan yang
terjadi pada aspek ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan lingkungan.
Konsep agribisnis kemitraan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit dapat
berkelanjutan jika memenuhi setidaknya tiga aspek pengelolaan berkelanjutan.
Dari segi ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dari segi sosial
dapat meningkatkan kesejahteraan melalui pendistribusian secara merata hasil
kelapa sawit dan dari segi lingkungan dapat terjaga dan berkelanjutan karena
kerjasama yang sinergis antara pemerintah swasta dan masyarakat (Kospa
2016).Berdasarkan uraian tersebut maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah :
1. Seperti apakah kondisi keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat
tersertifikasi maupun non-sertifikasi di Provinsi Jambi ?
2. Bagaimana indikator yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat di Provinsi Jambi ?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah :


1. Menganalisis keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat tersertifikasi dan
non-sertifikasi Provinsi Jambi.
2. Menganalisis indikator kunci keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat di
Provinsi Jambi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menggambarkan kondisi terkini


keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat provinsi jambi sebagai dasar
pengambilan kebijakan dan evaluasi oleh pemerintah maupun swasta. Penelitian
ini juga diharapkan mampu menggambarkan perbedaan keberlanjutan perkebunan
kelapa sawit rakyat yang telah sertifikasi dan non-sertifikasi.
5

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengkaji keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat yang


tersertifikasi dan non-sertifikasi di Provinsi Jambi. Penelitian keberlanjutan
merupakan kajian dengan cakupan yang luas maka keberlanjutan pada penelitian
ini dibatasi pada keberlanjutan pada tiga aspek yakni aspek ekonomi, sosial,
lingkungan, kelembagaan, dan teknologi. Pengukuran aspek-aspek tersebut akan
dibagi pada indikator sesuai prinsip dan kriteria kelapa sawit berkelanjutan oleh
RSPO/ISPO maupun penelitian terdahulu. Responden pada penelitian adalah
petani yang berada pada sentra perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Keberlanjutan Kelapa Sawit

Menurut Permana (1996) dalam (Fauzi 2004) setidaknya ada tiga alasan
utama mengapa pembangunan ekonomi harus berkelanjutan.Pertama menyangkut
alasan moral. Generasi kini yang menikmati barang dan jasa yang dihasilkan dari
sumberdaya alam dan lingkungan memiliki kewajiban moral untuk menyisakan
layanan sumberdaya alam tersebut untuk generasi mendatang. Kewajiban moral
tersebut mencakup tidak mengkestraksi sumberdaya alam yang merusak
lingkungan sehingga menghilangkan kesempatan bagi generasi mendatang untuk
menikmati layanan yang sama. Kedua menyangkut alasan ekologi.
Keanekaragaman hayati misalnya memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi
sehingga aktivitas ekonomi semestinya tidak diarahkan pada hal yang mengancam
fungsi ekologi tersebut. Ketiga menyangkut alasan ekonomi. Alasan dari sisi
ekonomi memang masih menjadi perdebatan karena tidak diketahui apakah
aktivitas ekonomi selama ini sudah atau belum memenuhi kriteria berkelanjutan.
Dimensi ekonomi keberlanjutan sendiri cukup kompleks sehingga sering aspek
keberlanjutan dari sisi ekonomi ini hanya dibatasi pada pengukuran kesejahteraan
antar generasi.
Wacana pembangunan berkelanjutan bukan merupakan isu baru jika
menelaah siklus investasi produksi dan konsumsi yang berlangsung dan dilakukan
dalam skala besar maka akan menimbulkan pertanyaan bagi keberlangsungan
alam dan kehidupan manusia. Sebagai negara berkembang yang memiliki
kekayaan biodiversiti Indonesia layak dikatakan negara yang mampu menjamin
pembangunan keberlanjutan bagi masyarakatnya Ngoyo (2015).
Saragih (2017) melakukan penelitian tentang ketelusuran kelapa sawit
berkelanjutan dengan hasil bahwa keberlanjutan kelapa sawit dipengaruhi dua
sektor yakni kebun dan pabrik. Kegiatan yang harus diperhatikan untuk
menghasilkan minyak sawit berkelanjutan adalah dokumen penguasaan lahan
(HGU) AMDAL SEIA analisa HCV Land Use Change Analysis GHG assesment
dan proses FPIC. Pada kegiatan pemeliharaan hal-hal yang harus diperhatikan
adalah ketersediaan peta luas lahan legal adat pakai pengolahan tanah gambut dan
tata air serta lindungan badan air sempa dan sungai.
6

Guan (2013) pada penelitian Sustainability in the Malaysia palm oil


industry menyatakan bahwa pemeberian eco-labeling pada produk minyak sawit
yang dikeluarkan oleh pabrik mampu meningkatkan keberlanjutan kelapa sawit
pada tingkat industri. Serta penyesuaian data yang digunakan pada masing-masing
elemen industri akan memudahkan pemberian label keberlanjutan kelapa sawit di
Malaysia. Mengumpulkan sumber dan sistem data duibuat pada proses pembuatan
data dapat mendukung jaringan suplai berkelanjutan dari sektor lain.
Menurut Hidayatno (2011) permasalahan keberlanjutan produksi biodiesel
Indonesia produksi harus memiliki tujuan utama untuk memenuhi pemanfaatan
biodiesel yang ditargetkan. Tujuan ini juga harus sejajar dengan pemangku
kepentingan lainnya yang dapat mempengaruhi pencapaian tujuan seperti publik
Lembaga Swadaya Masyarakat dan perusahaan; yang menciptakan tiga aspek
keberlanjutan dari sistem: target produksi hasil LCA (Life Cycle Analysis) dan
indikator sosial. model diasumsikan bahwa harga akan menjadi faktor kunci pada
profitabilitas industri yang pada gilirannya akan mempengaruhi volume produksi
biodiesel dan kapasitas ekspansi. Peningkatan produksi harus menuntut untuk
tenaga kerja lebih banyak untuk mendukung produksi di sisi lain juga akan
meningkatkan dampak lingkungan akibat peningkatan produksi. Variabel input
eksogen eksternal adalah minyak dunia dan harga CPO permintaan minyak
nasional ketersediaan lahan dan indikator ekonomi seperti inflasi dan suku bunga.
PASPI (2018) menyatakan bahwa industri sawit berperan penting dalam
tujuan SDGS-1, SDGs-3 dan SDGs-4 sebagai platform pembangunan
berkelanjutan dunia yakni secara empiris pembangunan daerah tersebut dengan
menciptakan kesempatan kerja peningkatan pendapatan petani pengurangan
kemiskinan serta adanya efek-multipliernya terhadap sektor-sektor ekonomi
lainnya dipedesaan dan perkotaan. Memposisikan industri sawit sebagai aktor
SDGs selain secara built-in dapat meningkatkan keberterimaan industri sawit
secara internasional karena kontribusinya pada SDGs yang telah diakui sebagai
norma global (global value) baru. Industri minyak sawit juga menjadi industri
primadona nasional karena minyak goreng merupakan termasuk makan pokok
masyarakat Indonesia karena menjadi sumber vitamin dan asam lemak bagi tubuh
manusia.
Lembaga swadaya masyarakat dunia telah meluncurkan sistem ertifikasi
terhadap produk-produk kelapa sawit yaitu Roundtable on Sustainability Palm Oil
(RSPO) untuk mengatasi dampak negatif pembagunan kelapa sawit (RSPO 2017).
RSPO adalah standar global berkelanjutan sebagai parameter untuk produk-
produk yang dihasilkan dari kelapa sawit untuk dapat memasuki pasar
internasional (RSPO 2012). Sejumlah perusahaan besar telah berkomitmen hanya
akan membeli dan menggunakan produk-produk kelapa sawit yang sudah
disertifikasi RSPO mulai Tahun 2015 (Gayatri 2011). Disamping RSPO yang
didirikan oleh LSM internasional yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
(komisi ISPO 2014).Sertifikat ISPO merupakan komitmen pmerintah Indonesia
untuk nmemproduksi kelapa sawit secara lestari dan berkelanjutan. ISPO
didirikan dengan tujuan yang hampir samadengan RSPO yaitu untuk
menghindari/menghentikan defortasi dan mengurangi dampaknya terhadap
lingkungan dan kehidupan sosial (ISPO 2014).
ISPO dan RSPO merupakan sebuah lembaga yang menangani praktik
berkelanjutan perkebunan kelapa sawit namun terdapat beberapa perbedaan ISPO
7

dan RSPO.Bersadarkan publikasi (ISPO 2015). RSPO adalah inisiatif bisnis


dimana para anggotanya secara sukarela mengikatkan diri pada mekanisme RSPO
dengan tujuan untuk memproduksi dan menggunakan minyak sawit berkelanjutan.
Praktek perkebunan yang berpegang pada prinsip-prinsip sustainability
memprioritaskan aspek legalitas lingkungan dan kelayakan sosial ekonomi jangka
panjang. Namun ISPO bertujuan untuk memastikan diterapkannya peraturan
perundang-undangan terkait perkebunan kelapa sawit. Sustainable palm oil dan
mendukung komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah
kaca. Berbeda dengan RSPO yang bersifat sukarela (voluntary) sebagai peraturan
pemerintah Indonesia maka ISPO berlaku wajib (mandatory) bagi perusahaan
perkebunan tapi sukarela (voluntary) untuk usaha pekebun kecil.

Indeks Keberlanjutan Pada Beberapa Sektor

Berbagai penelitian berkelanjutan pada sektor pertanian banyak dilakukan


oleh beberapa ahli. Nurmalinab (2008) meneliti keberlanjutan beras dengan
metode Multi Dimensional Scalling (MDS) dengan hasil bahwa indeks
keberlanjutan sistem ketersediaan beras nasional menggunakan dimensi-dimensi
yang digunakan pada penelitian tersebut adalah ekologi ekonomi sosial budaya
kelembagaan dan teknologi. Hasilnya adalah 64.51dengan kategori cukup
berkelanjutan serta dimensi-dimensi keberlanjutan tidak ada yang masuk kategori
buruk. Indeks masing-masing dimensi berkisar antara 43.48 – 91.70 dimana
dimensi ekonomi memiliki indeks yang paling rendah lalu dimensi sosial budaya
ekologi teknologi dan dimensi kelembagaan yang paling tinggi. Menandakan
bahwa keberlanjutan ketersediaan beras dari segi eknomi perlu diperhatikan lebih
lanjut.
Jaya et al. (2013) dalam penelitiannya mengenai keberlanjutan rantai
pasok kopi gayo dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekonomi sosial
sumberdaya lingkungan dan material. Hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks
keberlanjutan pada rantai pasok kopi gayo masih tergolong kurang berkelanjutan
dengan nilai sebesar 37.33 persen dan dibutuhkannya penanganan dalam
pengembangan setiap aspek atau dimensi untuk menciptakan perkebunan kopi
yang berkelanjutan. Rekomendasi kebijakan ditujukan untuk pihak agroindustri
itu sendiri dan pemerintah daerah. Penelitian berkelanjutan juga dapat dipadukan
dengan suatu penilaian model pengelolaan yang dapat memprediksikan untuk
beberapa tahun yang akan datang seperti penelitian yang dilakukan oleh
Frimawaty et al. (2013) mengenai keberlanjutan lahan padi menghadapi
perubahan iklim yang menunjukkan bahwa keberlanjutan lahan pertanian padi
kurang berkelanjutan pada setiap dimensi di Provinsi Jambi. Provinsi Jambil
berada pada letak geografis dan topografi yang bervariasi sehingga iklim berada
pada tipe A dengan klasifikasi curah hujan rata-rata berkisar 2 600 mm/tahun.
Kemudian keterkaitannya dengan peran beras dalam konstruksi lima tahun
terakhir (2005 - 2009) telah meningkat 0.28 persen yang masih sangat kecil dan
tidak seimbang dengan peningkatan populasi dan konsumsi beras. Disisi
lainbahwa kondisi sebagian besar petani di Provinsi Jambi mencerminkan
karakteristik hidup yang tidak didukung oleh tingkat pendidikan yang tinggi
8

sehingga hal itu dapat menyebabkan adopsi teknologi oleh petani tidak optimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk gabungan
setiap dimensi sebesar 41.96 persen dan dimensi teknologi memiliki nilai indeks
terendah sebesar 10.46 persen.
Penggambaran indeks dan aspek keberlanjutan berdasarkan bebrapa
dimensi yang digunakan dalam penelitian terdahulu di beberapa sektor seperti
penelitian yang dilakukan Closs et al. (2011) yang menggambarkan inisiatif
keberlanjutan pada beberapa kategori untuk menggambarkan konsep
keberlanjutan pada sebuah perusahaan diukur melalui empat dimensi yaitu
lingkungan etika pendidikan dan ekonomi. Persada et al. (2014) melakukan
penelitian mengenai model kebijakan dan pembangunan infrastruktut
berkelanjutan dengan meninjau pada ketiga aspek utama yaiutu aspek ekonomi
sosial dan lingkungan kemudian ditambah dengan aspek teknologi dan
pemerintahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai indeks secara
keseluruhan akan kesinambungan infrastruktur bandarlampung ddianggap kurang
berkelanjutan dengan skor 38.05 persen dan perlu ditingkatkan untuk mencapai
pembangunan infrastruktut yang berkelanjutan.
Pada penelitian Ali (2015) penelitian status keberlanjutan ikan tangkap di
Kabupaten Bone menggunakan rapfish menggunakan lima atribut yaitu ekologi
sosial ekonomi teknologi etika dan pemerintah dengan 20 atribut. Indeks
keberlanjutan ikan tangkap adalah 53.76 persen (cukup berkelanjutan) engan
detail masing-masing dimensi multi dimensi yaitu; ukuran ekologi 48.52 persen
(kurang) dimensi ekonomi 56.31 persen (cukup) dimensi sosial 56.29 persen
(cukup) teknologinya 58.01 persen (cukup) etika dan pemerintahan 48.69 persen
(kurang). Dimnensi ekologi merupakan dimensi yang paling rendah status
keberlanjutannya karena para nelayan belum memeperhatikan keberlanjutan
ekologi dalam penangkapan ikan.

RAP Dan MDS Mengukur Keberlanjutan

Salah satu software yang banyak digunakan untuk analisis keberlanjutan


adalah Rapfish (Rapid Apraisal for Fisheries) yang dikembangkan oleh
University of British Columbia sejak tahun 1998.Rapfish menggunakan teknik
statistik MDS (multi dimensional scaling) untuk melakukan penilaian secara tepat
terhadap status keberlanjutan suatu sistem.Saat ini teknik Rapfish telah banyak
dimodifikasi untuk pengembangan penelitian berkelanjutan dalam berbagai sektor
dan cakupan penelitian yang lebih luas. Dalam perkembangannya RAPFISH ini
dipakai juga untuk evaluasi keberlanjutan bidang-bidang lainnya kemudian
dimodifikasi sesuai dengan objek penelitian seperti budidaya ternak oleh Mersyah
(2005) dengan menyusun indeks keberlanjutan sistem budidaya sapi potong atau
Rap-SIBUSAPO dan penelitiann usahatani padi organik oleh Suwdani (2005)
melalui pendekatan Rap-CLS (Crop Livestock System). Pengujian statistik dalam
software Rap akan menggunakan tiga teknik analisis yaitu MDS untuk
mengetahui gambaran status keberlanjutan Leverage analisis untuk mengetahui
pengaruh indikator kinerja terhadap status keberlanjutan pada setiap dimensi dan
Monte Carlo untuk untuk proses pendugaan nilai ordinasi yang akan melihat
aspek ketidakpastian.
9

RAP dan MDS awalnya digunakan pada penelitian keberlanjutan pada


sektor perikanan. Salah satu penelitian pada sektor perikanan menggunakan RAP-
MDS adalah Suryana et al. (2012) menggunakan RAP-MDS pada analisis
keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan kakap merah di tanjungpandan.
Analisis montecarlo menilai status keberlanjutan dengan hasil 60.11 persen untuk
pancing dan 59.23 persen untuk alat tangkap bubu analisis leverage digunakan
untuk menganilis atribut yang paling sensitif dengan hasil atribut kapal 5.71 dan
atribut keamanan bagi nelayan 4,88 yang dinilai paling sensitif mempengaruhi
keberlanjutan.
Pada penelitian Zainal (2013) mengukur keberlanjutan pengelolaan ikan
tangkap di sulawesi selatan dengan menggunakan MDS didapati kesimpulan
bahwa dimensi ekologi masuk kepada golongan tidak berkelanjutan dengan nilai
49.07 maka status keberlanjutan pengelolaan ikan tangkap tidak memenuhi
persyaratan berkelanjutan. Rapfish juga dapat dimodifikasi menjadi Rap-palm oil
untuk melakukan penelitian menggunakan aplikasi ini pada analisa keberlanjutan
kelapa sawit. Seperti yang dilakukan pada penelitian Dahliani et al. (2018)
menggunakan model MDS menggunakan dimensi sosial dan ekologi. Hasilnya
Atribut-atribut serapan tenaga kerja (5.57) aksesibilitas komunikasi desa (5.69)
sinkronisasi kebijakan (5.64) dan kaidah sosial (5.61) dalam skenario perumusan
strategi dan program prioritas bagi keberlanjutan sosial pengelolaan kelapa sawit
layak menjadi kriteria utama.

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritk

Konsep Keberlanjutan
Konsep pembangunan berkelanjutan telah menjadi konsep yang populer
dan fokus dunia internasional sejak dipertegasnya pendekatan ini pada KTT Bumi
di Rio de Jenairo pada tahun 1992. Hampir seluruh negara kemudian
menggunakan pembangunan berkelanjutan sebagai jargon pembangunannya.
Akhir-akhir ini popularitas konsep pembangunan berkelanjutan menjadi semakin
mengemuka dengan digadang-gadangnya Sustainable Development Goals (SDGs)
sebagai pengganti dari Millennium Development Goals (MDGs) yang akan
berakhir pada 2015.
Konsep pembangunan berkelanjutan bukanlah merupakan pemikiran yang
baru.Fauzi (2004) menuliskan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan
sebenarnya sejak sudah lama menjadi perhatian para ahli. Namun istilah
keberlanjutan (sustainability) sendiri memang baru muncul beberapa dekade yang
lalu walaupun perhatian terhadap keberlanjutan sudah dimulai sejak Malthus pada
tahun 1798 yang mengkhawatirkan ketersediaan lahan di Inggris akibat ledakan
penduduk yang pesat. Satu setengah abad kemudian perhatian terhadap
keberlanjutan ini semakin mengental setelah Meadow dan kawan-kawan pada
tahun 1972 menerbitkan publikasi yang berjudul The Limit to Growth yang dalam
kesimpulannya mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan sangat dibatasi
10

oleh ketersediaan sumber daya alam. Dengan ketersediaan sumber daya alam yang
terbatas arus barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam tidak akan
selalu bisa dilakukan secara terus menerus (on sustainable basis). Pada pembuatan
wilayah yang berkelanjutan Campbell (1996) menyatakan bahwa setidaknya
terdapat tiga elemen yang harus diperhatikan yakni keadilan sosial permasalahan
lingkungan dan pembangunan ekonomi yangdigambarkan pada (Gambar 2).

Equity, Social
Juctice

Property Development
and is
Conflict Conflict
sustainability
Conflict at the center ?

Economic Resource
Development Environmental
Conflict Protection
Development Conflict
ment 2 Model Pembangunan Berkelanjutan Campbell (1996) dalam
Gambar
Nurmalinaa (2008)

Pemenuhan keberlanjutan dilakukan untuk mempertahankan nilai-nilai


sosial ekonomi dan lingkungan bagi masa sekarang maupun masa yang akan
datang. Menurut Heal dalam Fauzi (2004) konsep keberlanjutan paling tidak
mengandung dua dimensi yaitu pertama dimensi waktu karena keberlanjutan pasti
menyangkut apa yang terjadi di masa mendatang. Kedua adalah dimensi interaksi
antara sistem ekonomi dan sistem sumberdaya alam dan lingkungan. Pezzey
(1992) melihat keberlanjutan dari sisi yang berbeda yaitu melihat dari pengertian
statik dan dinamik. Keberlanjutan statik diartikan sebagai pemanfaatan
sumberdaya alam terbarukan dengan laju teknologi yang konstan sementara
keberlanjutan dinamik diartikan sebagai pemanfaatan sumberdaya yang tidak
terbarukan dengan tingkat teknologi yang terus berubah. Karena adanya multi
dimensi dan multi- interpretasi maka terdapat dua hal yang secara implisit menjadi
perhatian yaitu pertama menyangkut pentingnya memperhatikan kendala
sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan
konsumsi.Kedua menyangkut perhatian terhadap kesejahteraan (well being)
generasi mendatang. Dengan demikian prinsip pembangunan berkelanjutan
dihasilkan dengan memperhatikan 3 aksioma yaitu: (a) perlakukan masa kini dan
masa mendatang yang menempatkan nilai positif dalam jangka panjang (b)
menyadari bahwa aset ling- menempatkan nilai positif dalam jangka panjang (b)
menyadari bahwa aset lingkungan memberikan kontribusi terhadap economic well
being dan (c) mengetahui kendala akibat implikasi yang timbul pada aset
lingkungan.
Sejalan dengan hal tersebut pada penelitian Kospa (2016) tentang
pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan setidaknya dapat dicapai
dengan memecahkan permasalahan yang terjadi pada aspek ekonomi sosial-politik
11

dan lingkungan. Konsep agribisnis kemitraan dalam pengelolaan perkebunan


kelapa sawit dapat berkelanjutan jika memenuhi tiga aspek pengelolaan
berkelanjutan. Dari segi ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarkat dari
segi sosial dapat meningkatkan kesejahteraan melalui pendistribusian secara
merata hasil kelapa sawit dan dari segi lingkungan dapat terjaga dan berkelanjutan
karena kerjasama yang sinergis antara pemerintah swasta dan masyarakat.

Indikator Pertanian Berkelanjutan


Pemilihan indikator yang efektif adalah kunci keberhasilan dari setiap
evaluasi keberlanjutan. Indikator keberlanjutan semakin dianggap sebagai alat
penting dalam menilai dan melaksanakan sistem yang berkelanjutan. Konsep
keberlanjutan pertanian adalah suatu hal yang dinamisapa yang dipandang
berkelanjutan di suatu wilayah mungkin tidak berkelanjutan di wilayah lainnya
dan apa yang dipandang berkelanjutan pada suatu waktu mungkin tidak
berkelanjutan di masa yang akan datang karena perubahan kondisi. Keberlanjutan
juga bervariasi terkait dengan faktor sosio-budaya ekonomi dan politik. Prioritas
keberlanjutan masing-masing dimensi (dimensi ekonomi sosial dan lingkungan)
bisa berbeda untuk masing-masing karakteristik spasial dan temporal. Dale dan
Beyeler (2001) telah mengemukakan kriteria dalam memilih indikator
keberlanjutan pertanian di negara berkembang secara jelas dari masing-masing
dimensi atau aspek (ekonomi sosial lingkungan).Hal tersebut diuraikan pada
Gambar 6.

 Pendapatan bersih usahatani


Ekonomi  Produksi pangan per kapita
 Rasio manfaat-biaya produksi

 Kemandirian pangan
 Keadilan pada distribusi pendapatan dan pangan
Sosial  Akses terhadap sumberdaya dan bantuan
 Pengetahuan dan kesadaran petani terhadap
konservasi sumberdaya

 Jumlah pupuk atau pestisida yang digunakan per


unit lahan yang ditanami
 Jumlah air irigasi yang digunakan per unit lahan
Lingkungan yang ditanami
(Ekologi)  Kadar hara atau kesuburan tanah
 Kedalaman muka air tanah
 Kualitas air tanah untuk irigasi
 Efisiensi penggunaan air
 Kadar nitrat pada air tanah dan tanaman

Gambar 3 Indikator operasional untuk mengukur keberlanjutan pertanian di negara


berkembang
Menurut Zhen dan Routrey (2003) pemilihan suatu indikator operasional
keberlanjutan (termasuk pertanian berkelanjutan) dan aplikasinya harus spesifik
12

waktu dan ruang terkait dengan karakteristik spasial (nasional regional lokal) dan
temporal (jangka pendek jangka menengah dan jangka panjang).

Tabel 1 Pemilihan indikator keberlanjutan pertanian di negara berkembang


Temporal
Jangka
Spasial Jangka Jangka Panjang
Menengah(5-10
Pendek(1-5 th) (10-20 th)
th)
Nasional 1>2>3 3>1=2 1=2=3
Regional
(Provinsi/negara 1>2>3 3>1=2 1=2=3
bagian)
Lokal
1>2>3 1>2=3 1=2=3
(Kabupaten/Kecamatan)
Sumber: Zhen dan Routray (2003)
Keterangan: 1 = Keberlanjutan ekonomi
2 = Keberlanjutan sosial dan
3 = Keberlanjutan ekologi

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa untuk pembangunan pertanian


yang berkelanjutan dalam jangka pendek pemilihan indikator keberlanjutan pada
level nasional regional dan lokal di negara berkembang pertama yang harus
dipertimbangkan adalah keberlanjutan ekonomi kemudian keberlanjutan sosial
dan selanjutnya keberlanjutan lingkungan. Umumnya tujuan utama petanian di
negara berkembang adalah produksi dan menjaga mata pencaharian dalam jangka
pendek. Untuk pembangunan jangka menengah pemilihan indikator pada level
nasional dan regional pertama kali harus mempertimbangkan aspek lingkungan
dan selanjutnya memberikan prioritas yang sama bagi keberlanjutan sosial dan
ekonomi. Perbedaan antara level lokal dengan nasional dan regional adalah pada
pemilihan indikator pertama kali harus mempertimbangkan aspek ekonomi dan
selanjutnya memberikan prioritas yang sama bagi aspek sosial dan ekologis.
Peningkatan manfaat ekonomi masih menjadi tujuan utama bagi negara-negara
berkembang terutama di level lokal (kabupaten dan kecamatan). Untuk
pembangunan jangka panjang pemilihan indikator pada berbagai level (nasional
regional dan lokal) harus memberikan perhatian yang sama untuk ketiga dimensi
keberlanjutan tersebut (ekonomi sosial dan lingkungan).
Konsep pertanian berkelanjutan terus berkembang diperkaya dan
dipertajam dengan kajian model metode dan teori-teori dari berbagai disiplin ilmu
sehingga menjadi suatu kajian ilmu terapan yang bermanfaat bagi kehidupan
generasi yang akan datang. Selain dari tigak aspek pembangunan berkelanjutan
terdapat juga beberapa hal lain yang menjadi indikator keberlanjutan pertanian
pada umumnya. secara kompleks Zamora (1995) dalam Salikin (1997)
menyatakan bahwa indikator keberlanjutan pertanian terdiri dari:
1. Kesadaran lingkungan (ecologically sound)
Sistem pertanian haruslah menjaga keseimbangan lingkungan demi
keharmonisan sistem ekologi alam yang terbentuk secara alami. Pelanggaran dan
pemanfatan alam yang tidak seimbang hanya akan merusak alam dan meyebabkan
ketidakseimbangan sistem ekologi yang merugikan mahlkuk hidup juga manusia.
2. Bernilai ekonomis (economic valuable)
13

Sistem pertanian memiliki motif ekonomi yang menciptakan keuntungan bagi


petani. Motif ekonomi juga harus disandingkan dengan kesadaran terhadap jangka
panjang dengan tidak melakukan hal-hal yang mendongkrak keuntungan namun
merugikan pada masa yang akan datang.
3. Berwatak sosial atau kemasyaraktan (sosially just)
Sistem pertanian secara sosial harus mampu diterima disetiap unsur yang
melengkapinya baik individu petani anggota masyarakat dan sistem lainnya.
Sistem pertanian secara sosial juga menjamin bahwa aktivitas pertanian tidak
melanggar norma yang berlaku. Selain itu fungsi dari sistem sosial adalah
menjamin bahwa kativitas pertanian mampu meningkatkan mobilitas masyarakat.
4. Kepantasan secara budaya (culturally apporiate)
Sistem pertanian juga mempertimbangkan nilai-nilai budaya yang berlaku
keyakinan agama dan tradisi.
5. Pendekan sistem holistik (systems and holistic approach)
Sistem pertanian haruslah didasari dengan keilmuan sebagai pendekatan
holistik yang memperhatikan unsur-unsur biofisik sosial ekonomi budaya dan
politik. Keilmuan akan membantu petani dalam meintegrasikan kegiatan on farm
dan kegiatan diluar pertanian off farm serta aktivitas lain.

Kepentingan pembangunan pertanian berkelanjutan telah menjadi perhatian


pada ahli dan pengambil kebijakan hingga konsep pembangunan berkelanjutan
digerakkan. Perhatian ini disertai dengan upaya untuk membangun sistem yang
bermanfaat untuk mengukur keberlanjutan. Tahapan mendasar dalam
meformulasikan kebijakan untuk pembangunan berkelanjutan adalah menemukan
indikator kuantitatif untuk mengetahui dengan tepat kondisi perubahan dan
mengetahui apakah pembangunan meningkat atau menurun.

Analisis Keberlanjutan
Analisis keberlanjutan dapat diukur dengan RAPFISH (Rapid Appraisal
Technique for Fisheries) yang telah digunakan oleh University of British
ColumbiaCanada pada tahun 1998 untuk menilai status keberlanjutan sistem
usahaperikanan. Dengan menggunakan metode “multivariate” yang dikenal
dengan Multi Dimensional Scaling (MDS) metode ini digunakan untuk
menilaistatus keberlanjutan (existing condition). Dalam penelitian yang
menggunakan teknik RAPFISH untuk mengukur keberlanjutan perikanan sistem
yang kompleks dapat dinilai secara cepat dan hasilnya dapat memberikan
gambaran yang jelas dan komprehensif.Analisis dengan teknik RAPFISH
penilaiannya dilakukan melalui pemberian skor (nilai) terhadap indikator yang
telah ditetapkan dan dikelompokkan dalam group evaluation field pada setiap
dimensi yang ingin diketahui. Kemudian dengan teknik skoring 0 pada kondisi
buruk hingga skoring 2 pada kondisi baik (Kavanagh dan Pitcher 2004).Penelitian
mengenai analisis keberlanjutan perikanan teknik RAPFISH kemudian
dimodifikasi menjadi Rap-Palmoil. Analisis keberlanjutan dengan teknik
RAPFISH ini telah banyak digunakan dalam berbagai bidang seperti komoditas
pertanian perikanan peternakan pembangunan wilayah infrastruktur dan lain
sebagainya.
14

Dalam teknik RAPFISH yang menggunakan MDS sebagai metode analisis


kemudian menggunakan analisis leverage (analisis sensitivitas) untuk mengetahui
efek stabilitas jika salah satu indikator dihilangkan atau dilakukan ordinasi yang
dinyatakan dalam bentuk persentase terhadap perubahan root mean square pada
masing-masing indikator. Indikator dengan persentase tertinggi merupakan
indikator atau faktor yang paling sensitif berpengaruh terhadap keberlanjutan
(Susilo 2003). Analisis ketiga yang dilakukan analisis monte carlo yang
digunakan untuk menduga pengaruh galat pada selang kepercayaan 95 persen.
Analisis ini merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi efek random error
pada proses pendugaan dan diperlukan untuk memperaljari efek ketidakpastian
dari beberapa faktor yaitu; 1) kesalahan pembuatan scorring dalam setiap
indikator 2) dampak keragaman scoring dari perbedaan penilaian 3) stabilitas
MDS dalam running 4) tingginya nilai s-stress dari algoritma ASCAL (Kavanagh
dan Pitcher 2004).

Kerangka Pemikiran Operasional

Komoditi kelapa sawit dan turunannya memberikan manfaat ekonomi baik


bagi negara maupun masyarakat. Bagi negara ekspor CPO menjadi komoditas
unggulan ekspor yang mampu menciptakan devisa dan bagi daerah perkembangan
perkebunan kelapa sawit menimbulkan multiplier effect pada perekonomian
masyarakat. Perkembangan kelapa sawit semakin menjadi primadona petani
maupun pengusaha perkebunan.Banyaknya peminat perkebunan kelapa sawit ini
sering kali menjadi penyebab alih fungsi lahan.Rendahnya sumberdaya dan
pengetahuan membuat banyak pihak yang tidak bertanggung jawab melakukan
praktik-praktik tidak ramah lingkungan untuk budidaya perkebunan kelapa
sawit.Dewasa ini sudah saatnya perkebunan kelapa sawit dikelola dengan
memperhatikan aspek ekonomi sosial dan lingkungan yang disebut dengan praktik
berkelanjutan.
Indikator pembangunan pertanian berkelanjutan umunya dilihat dari tiga
pilar yakni sosial ekonomi lingkungan namun beberapa ahli menambahkan unsur
kelembagaan politik dan teknologi. Pemilihan indikator didasari oleh fenomena
permasalahan yang akan dipecahkan oleh analisis tertentu. Arah penelitian
mengacu pada tujuan penelitian sehingga penggunaan indikator berkelanjutan
ditetapkan dan dirumuskan oleh beberapa dasar pemikiran. Penelitian ini
menggunakan lima dimensi (indikator keberlanjutan) yakni ekonomi sosial
lingkungan kelembagan dan teknologi. Pemilihan dimensi tersebut berdasarkan
permasalahan yang dirumuskan pada rumusan masalah yang akan dijawab pada
tujuan penelitian.
Persoalan perkebunan kelapa sawit rakyat didasari pada keterbatasan
sumber daya kemapuan dan karakter yang bervariasi hingga rendahnya
produktivitas sementara iklim usaha perkebunan kelapa sawit rakyat terus
berkembang. Fenomena pergerakan perdagangan CPO juga yang memasuki era
eco-labelling mengharuskan produksi kelapa sawit memiliki jaminan
berkelanjutan dari hulu hingga hilir. Perkebunan berkelanjutan ditujukan dengan
tetap terjaganya kualitas lahan dan keseimbangan ekosistem bersifat adil aman
15

bagi kesehatan petani dan dapat mendorong iklim usaha yang kondusif serta
mampu meningkatkan pendapatan rumah tangga petani. Namun rendahnya
produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat menjadi gambaran utama bahwa
praktik perkebunan kelapa sawit skala perkebunan rakyat belum mampu
menerapkan Good Agricultural Practices pada usahatani perkebunannya.Hal
tersebut juga mendasari penelitian ini untuk mengkaji aspek-aspek berkelanjutan
pada perkebunan kelapa sawit rakyat.
Permasalahan rendahnya produktivitas pencemaran lingkungan hingga
dugaan alih fungsi lahan hutan terhadap perkebunan kelapa sawit menjadi
ancaman bagi keberlanjutan sektor ini.Maka diperlukan analisa yang mampu
mengukur sejauh mana aspek-aspek keberlanjutan diterapkan pada budidaya
perkebunan kelapa sawit rakyat di Provinsi Jambi. Penelitian ini akan menganalisa
keberlanjutan perkebunan rakyat dengan lima dimensi yakni sosial ekonomi
lingkungan teknologi dan kelembagaan yang diduga berpengaruh pada aspek
keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat. Dimensi tersebut akan diuraikan
pada berbagai atribut-atribut yang digunakan untuk mengukur kelima dimensi
tersebut. Atribut-atribut didasarkan pada prinsip dan kriteria yang ditetapkan oleh
RSPO dan ISPO sebagai lembaga penilai status keberlajutan hasil diskusi dengan
pemangku kebijakan perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi.
Pada penelitian dilakukan identifikasi faktor keberlanjutan perkebunan
kelapa sawit rakyat melalui pemilihan atribut disetiap dimensi dengan penelusuran
penelitian terdahulu prinsip dan kriteria RSPO dan ISPO. Nilai keberlanjutan
dianalisis berdasarkan dimensi maupun gabungan seluruh dimensi (multi dimensi)
melalui analisis ordinasi. Selanjutnya nilai indeks keberlanjutan ditentukan
berdasarkan indeks keberlanjutan yang sudah ditetapkan berdasarkan teori.
Penelitian ini juga mampu mengindentifikasi faktor paling sensitif dari atribut-
atribut yang telah disusun melalui analisis leverage. Alat analisis yang digunakan
pada penelitian ini adalah Multi Dimensional Scaling (MDS) dengan teknik
RAPPO yang akan merepresentasikan indeks keberlanjutan dan indikator kunci
(yang paling sensitif) mempengaruhi keberlanjutan kelapa sawit rakyat di Provinsi
Jambi. Skema kerangka pemikiran operasional pada Gambar 4.
16

Pentingnya sustainable palm oil

Dimensi keberlanjutan kelapa sawit

Ekonomi :
1. Produktivitas perkebunan kelapa sawit
2. Keuntungan usaha tani kelapa sawit
3. Akses penjualan TBS
4. Keseimbangan distribusi keuntungan,
5. Kemudahan akses informasi harga
6. Penyerapan tenaga kerja
7. Perubahan upah riil tenaga kerja pertanian
8. Status pendapatan perkebunan kelapa sawit bagi rumah tangga

Sosial : Lingkungan :
1. Tingkatpendidikan formal masyarakat 1. Kerusakan hutan atau pembakaran hutan
2. Rata-rata umur petani 2. Kesesuaian lahan dan agroklimat untuk
3. Ketersediaan infrastruktur dalam kegiatan pertanian tanaman kelapa sawit
4. Pandangan masyarakat terhadap usahatani kelapa 3. Luas lahan tanamankelapa sawit yang
sawit dikelola
5. Akses pendidikan
4. Penerapan teknis budidaya dan
6. Akses kesehatan
pengangkutan kelapa sawit
7. Penyelesaian konflik sengketa lahan
5. Pencemaran Lingkungan
8. Komitmen terhadap transparansi dan ketelusuran
(traceability)
6. Keberadaan tanaman penutup
9. HAM dan hak pekerja 7. Perizinan dan legalitas lingkungan
10. Legalitas, pengormatan terhadap hak tanah dan 8. Penggunaan lahan gambut
kesejahteraan masyarakat 9. Penggunaan konversi lahan hutan

Kelembagaan : Teknologi :
1. Rumah tangga pertanian yang mendapatkan 1. Sistem usahatani perkebunan
penyuluhan pertanian 2. Penggunaan benih unggul bermutu dan
2. Keikut sertaan pada kelompok tani bersertifikat
3. Keikutsertaan pada gabungan kelompok tani 3. Mekanisme pengolahan tanah
4. Kemampuan modal kelompok tani 4. Jarak tanam
5. Aksesibilitas kelompok tani ke perbankan 5. Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi
6. Penyuluhan dari perusahaan tentang usahatani 6. Waktu dab cara pemberian pupuk
kelapa sawit 7. Penyiangan
7. Kemampuan LKM melayani kebutuhan petani 8. Waktu dabn cara panen
perkebunan 9. Pengelolaan organisme penganggu tanaman
8. Akses petani ke sumber teknologi (OPT)
9. Peran koperasi pada usahatani kelapa sawit 10. Penerapan teknologi konservasi lahan dan air
10. Pencatatan penerapan SPPL (surat pengelolaan dan
pemanfatan lingkungan)

Analisis indeks dan status keberlanjutan dengan MDS dengan RAPPO

Kebijakan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat

Gambar 4 Kerangka pemikiran keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat


Provinsi Jambi
4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat dilakukan di


Provinsi Jambi pada dua kabupatenyakni Kabupaten Merangin dan Kabupaten
Muaro Jambi. Kabupaten dipilih sebagai kabupaten sentra perkebunan kelapa
sawit berdasarkan luas lahan. Penetuan wilayah penelitian dilakukan secara
purposive dengan pertimbangan pengelompokan daerah berdarkan karakteristik
perkebunan kelapa sawit. Kecamatan Kumpeh mewakili perkebunan kelapa sawit
rakyat yang bermitra dengan perusahaan Kecamatan Sungai Bahar mewakili
perkebunan swadaya sebagai perkebunan rakyat pertama di Provinsi Jambi
Kecamatan Tabir Selatan mewakili perkebunan rakyat yang telah tersertifikasi
RSPO.

Jenis dan Sumber Data

Data utama yang digunakan adalah data primer dan sekunder sebagai data
pendukung. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada petani
sampel pada daerah penelitian sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi dinas perkebunan Provinsi Jambi dan
instansi terkait lainnya.

Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder yang dikumpulkan


sesuai dengan tujuan penelitian dengan sasaran perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan. Responden pada penelitian ini terdiri dari petani dan pemangku
kebijakan perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi. Pemangku kebijakan
perkebunan kelapa sawit terdiri dari dinas perkebunan Provinsi Jambi yaitu kepala
bidang pengembangan dan penyuluhan perkebunan personalia perusahaan kelapa
sawit PT XYZ ketua yayasan setara sebagai pendamping petani dalam proses
sertifikasi berkelanjutan penyuluh dari yayasan setara. Pengambilan informasi
pada pemangku kebijakan dilakukan dengan wawancara dan diskusi. Hasil dari
wawancara dan diskusi digunakan untuk acuan pemilihan atribut terhadap lima
dimensi.
Data primer pada penelitian ini adalah data yang dikumpulkan dari petani
perkebunan kelapa sawit. Jenis data primer yang utama antara lain yakni data
produktivitas lahan, pendapatan usahatani, karakteristik rumah tangga petani,
sumber penghasilan rumah tangga, kondisi sosial daerah perkebunan kelapa sawit,
teknik budidaya perkebunan kelapa sawit, peran kelembagaan pada perkebunan
kelapa sawit. Data yang digunakan adalah sebagaian besar data on the spot dalam
kurun waktu satu tahun dan sebagian data disesusaikan pada waktu perlakuan.
Penentuan sampel berdasarkan stratified sampling yang dikelompokkan
menjadi 3 kelompok yakni petani tersertifikasi petani non-mitra dan petani mitra
masing-masing 33 sampel sehingga terdapat total 99 sampel. Pemilihan sampel
dipilih secara purposive dari rekomendasi pengurus kelompok tani berdasarkan
18

pemahaman dan kesediaan petani anggota. Pengelompokan sampel petani


dikelompokkan menjadi lima yakni pengurus gapoktan masing-masing ketua
kelompok tani anggota kelompok tani dengan luas lahan 1 - 5 hektar dan anggota
kelompok tani dengan lahan 5 - 10 hektar dengan jumlah seperti pada Tabel 2.
Jumlah petani gapoktan tanjung sehati sebagai daerah tersertifikasi yaitu 214
petani dengan 6 gapoktan gapoktan sari makmur sebagai daerah non-mitra yaitu
207 terdiri dari 9 kelompok tani dan untuk daerah mitra hanya terdiri dari satu
kelompok tani yakni kelompok tani berkah sejahtera yasng terdiri dari 203 petani.

Tabel 2 Sampel petani perkebunan kelapa sawit rakyat


Tersertifikasi Non-sertifikasi
Sampel
Non-mitra Non-mitra Mitra
Pengurus gapoktan 3 3 -
Ketua kel tani 6 9 1
Anggota kel tani 1-5 ha 18 13 19
Anggota kel tani 5-10 ha 6 8 13
Total 33 33 33

Data sekunder berupa data yang dipublikasikan oleh dinas terkait yang
mencakup tentang perkebunan kelapa sawit diantaranya adalah data luas produksi
produktivitas perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi data jumlah petani
perkebunan kelapa sawit dirinci berdasarkan kecamatan/desa di Kabupaten Muaro
Jambi dan Kabupaten Merangin oleh Dinas Perkebunan provinsi Jambi. Data luas
wilayah dan gambaran penduduk wilayah desa/kecamatan daerah sampel oleh
badan pusat statistik Provinsi Jambi data jumlah dan identitas petani oleh masing-
masing gabungan kelompok tani pada wilayah penelitian oleh Gapoktan Tanjung
Sehati, Gapoktan Sari Makmur dan Kelompok Tani Berkah Sejahtera dan
penelitian terdahulu yang relevan terhadap penelitian ini.

Metode Analisis Data

Penilaian status keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat digunakan


metode analisis teknik ordinasiRAP-Palmoil (RAPPO) yang telah dimodifikasi
RAPFISH (Rapid Appraisal Technique for Fisheries) melalui metode Multi
Dimensional Scaling (MDS)yang dikembangkan oleh Fisheries Centre University
of British Columbia (Kavanagh dan Pitcher 2004). Modifikasi tersebut dilakukan
dengan cara pengembangan atau merubah indikator pada setiap dimensi maupun
dimensi yang akan digunakan karena disesuaikan dengan sistem atau topik dan
cakupan penelitian. Pada penelitian ini dimensi yang akan dianalisis adalah
dimensi ekonomi sosial dan lingkungan. Untuk menilai indeks dan status
keberlanjutan serta untuk mengidentifikasi indikator kunci atau indikator kunci
dari masing-masing dimensi keberlanjutan melalui analisis leverage pada MDS.
Kavanagh (2001) merekomendasikan lima tahapan yang harus dilalui
dalam prosedur Rapfish yaitu: (1) penentuan indikator sebagai kriteria penilaian
dan identifikasi kondisi saat ini (2) penilaian atau skor setiap indikator (3) ordinasi
setiap indikator (4) analisa monte carlo dan sensitivitas serta (5) analisis
19

keberlanjutan. Sedangkan berdasarkan Fauzi (2012) prosedur penggunaan


Rapfish sebagai berikut: (1) review atribut meliputi berbagai kategori dan skoring;
(2) identifikasi dan pendefinisian atribut; (3) skoring untuk mengkonstruksi
reference point untuk good dan bad; (4) Multi Dimensional Ordination untuk
setiap atribut; (5) Simulasi Monte Carlo (6) Analisis Leverage; (7) Analisis
keberlanjutan. Fauzi dan Anna (2005) mengatakan bahwa MDS sendiri pada
dasarnya adalah teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multi
dimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah. Adapun prosedur dari RAPPO
mengikuti struktur di bawah ini:

Mulai

Analisis situasional
Review atribut (meliputi
perkebunan kelapa
berbagai kategori dan
sawitra kyat Provinsi
scoring kriteria)
Jambi

Skoring (mengkontruksi reference umtuk good and bad


serta anchor)

Simulasi Monte Carlo


Simulasi Leverage

Analsis keberlanjutan

Gambar 5 Tahapan analisis RAPPO

Fauzi dan Anna (2002) mengatakan bahwa analisis dengan MDS dalam
RAPFISH memberikan hasil yang stabil jika dibandingkan dengan metode multi
variete analysis yang lain. Dalam MDS dua titik atau objek yang sama dipetakan
dalam satu titik yang saling berdekatan. Sebaliknya obyek atau titik yang tidak
sama digambarkan dengan titik-titik yang berjauhan. Teknik ordinasi atau
penentuan jarak di dalam MDS didasarkan pada euclidian distance yang dalam
ruang berdimensi n persamaannya adalah:

Ordinasi dari obyek atau titik tersebut kemudian diaproksimasi dengan


meregresikan jarak eulidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal ( ij).
Sebagaimana dengan persamaan:

dij=
20

Untuk meregresikan persamaan di atas digunakan metode last squared


bergantian berdasarkan akar Euclidian Distance (square distance) atau disebut
dengan metode ALSCAL. Metode ini mengoptimalkan jarak kuadrat
(squareddistance = dijklm) terhadap data kuadrat (titik asal = Oijklm). Dalam lima
dimensi (ijklm) disebut S-Stress sesuai dengan persamaan:

∑ ∑
√ ∑
∑ ∑

Jarak kuadrat merupakan jarak Euclidiansesuai dengan persamaan :

Setelah dilakukan ordinasi kemudian dilakukan penilaian goodness of fit


yaitu jarak titik pendugaan dengan titik asal. Nilai goodness of fit mencerminkan
besaran nilai S-Stress dari R2.Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004) model yang
baik jika nilai S-Stress kurang dari 0.25 (S < 0.25) dan R2 mendekati 1 (100
persen). Nilai stress dan koefisien determinasi (R2) menentukan perlu tidaknya
penambahan peubah untuk memastikan bahwa peubah yang digunakan telah
mewakili sifat obyek yang dibdaningkan.
Melalui metode analisis MDS maka posisi titik keberlanjutan dapat
divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal yang digambarkan
oleh analisis leverage dan analisis monte carlo. Analisis leverage dilakukan untuk
mengetahui indikator yang sensitif dalam mempengaruhi keberlanjutan. Menurut
Hidayanto et al. (2009) dan Kusbimanto et al. (2013) analisis sensitivitas
(leverage) dalam MDS dilakukan untuk mengetahui indikator kunci. Indikator
kunci diperoleh berdasarkan hasil analisis leverage yang terlihat pada perubahan
Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan
RMS maka semakin sensitif peranan indikator tersebut terhadap peningkatan
status keberlanjutan. Analisis selanjutnya yaitu analisis ketidakpastian
(montecarlo). Analisis montecarlomerupakan analisis untuk menduga pengaruh
galat (error) acak dalam proses analisis yang dilakukan pada selang kepercayaan
95 persen. Analisis monte carlo merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi
dampak dari kesalahan acak (random error) terhadap seluruh dimensi.
Sebagaimana dikemukakan oleh Kavanagh dan Pitcher (2004) ada tiga tipe untuk
melakukan Monte Carlo algoritma. Dalam studi ini hanya dilakukan analisis
Monte Carlo dengan metode “scatter plot” yang menunjukkan ordinasi dari setiap
dimensi. Nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam
bentuk diagram layang-layang (kite diagram) sepertipada Gambar 6.
21

Gambar 6 Diagram layang analisis keberlanjutan

Setiap indikator pada masing-masing kriteria diberikan skor berdasarkan


scientific judgment dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0 - 2
tergantung pada keadaan masing-masing indikator yang diartikan mulai dari yang
buruk (0) sampai baik (2). Nilai skor dari masing-masing indikator dianalisis
secara multidimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang
mencerminkan posisi keberlanjutan pada lima dimensi analisis keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu
titik baik (good) dan titik buruk (bad). Skor dianalisis dengan RAPPO untuk
menentukan status keberlanjutan menurut Kavanagh dan Pitcher (2004) seperti
pada Tabel 2.

Tabel 3 Kategori dan nilaii ndeks serta status keberlanjutan


Nilai indeks Kategori status
0,00 – 25,00 Buruk; tidak berkelanjutan
25,01 – 50,00 Kurang; kurang berkelanjutan
50,01 – 75,00 Cukup; cukup berkelanjutan
75,01 – 100,00 Baik; sangat berkelanjutan
Sumber :Kavanagh dan Pitcher (2004)

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Keadaan Umum Daerah Penelitian

Provinsi Jambi terletak pada 00.450 Lintang Utara 20.450 Lintang Selatandan
antara 101.100 – 104.550 Bujur Timur. Berbatasan sebelah utara dengan Provinsi
Riau sebelah timur dengan Laut Cina Selatan sebelah selatan dengan Provinsi
Sumatera Selatan dan sebelah barat dengan Provinsi Sumatera Barat dab Provinsi
Bengkulu. Luas wilayag Provinsi Jambi 53 435 Km2 dengan luas daratan 5 016
005 Km2 dan luas perairan sebesar 327495 Km2. Luas wilayah per kabupaten
disajikan pada Gambar 7 berikut. Keadaan iklim Provinsi Jambi bertemperatur
sedang dan suhu tertinggi terjadi pada bulan Mei - Juni dengan rata-rata 27.30C.
Rata-rata suhu udara tertinggi pertahun adalah 27.20C dan terendah 26.50C.
22

kelembapan udara rata-rata perbulan 83 persen dengan kelembapan udara tertinggi


pada bulan Juni Oktoberdan Desember yaitu 85 persen. Dalam satu tahun terdapat
rata-rata 18 hari hujan dengan hari hujan tertinggi pada Bulan November
sebanyak 24 hari hujan (BPS 2018).

Kota Jambi , Kota Sungai


205.43, 0% penuh, 391.5, 1%
Tebo, 6461, 14% Kerinci, 3355.27,
7%
Tanjung Jabung
Barat, 4649.85,
10% Merangin, 7679,
17%
Tanjung Jabung Sarolangun, 6184,
Timur, 5445, 12% 14%
Muaro Jambi,
Batanghari, 5804,
5326, 12%
13%

Gambar 7 Luas daerah menurut kabupaten Provinsi Jambi


Sumber : BPS 2018

Berdasarkan hasil registrasi penduduk Provinsi Jambi oleh BPS Tahun


2018 jumlah penduduk Provinsi Jambi sebanyak 3 458 926 Jiwa terdiri dari 1.79
juta jiwa laki-lai dan 1.72 juta jiwa perempuan dengan rasio jenis kelamin sebesar
10 417 serta kepadatan penduduk sebesar 7 008 jiwa/km2. Rata-rata laju
pertumbuhan penduduk Provinsi Jambi Tahun 2013 - 2017 sebesar 167 persen
dengan kabupaten dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi adalah Kabupaten
Muaro Jambi sebesar 264 persen per tahun. Keadaan ekonomi daerah Provinsi
Jambi digambarkan melalui angka PDRB pada Tabel 4.
Tabel 4 menunjukkan bahwa struktur prekonomian Provinsi Jambi
didominasi oleh pertanian kehutanan dan perikanan. Sektor ini menyumbang
sekitar 26 persen dari total PDRB Provinsi Jambi. Pertumbuhan sektor ini pada
Tahun 2014 10.95 persen dan pada tahun 2017 sebesar 5.43 persen. Sektor
pertanian provinsi jambi didominasi oleh subsebktor perkebunan yang banyak
diusahakan oleh perusahaan negara swasta maupun rakyat. Perkebunan daerah
Provinsi Jambi umumnya adalah perkebunan rakyat dengan luas terbesar
perkebunan rakyat adalah tanaman sawit sebesar 665 334 hektar yang menjadi
komoditas andalan dengan produksi 1 juta ton per tahun (BPS 2018).
Sektor selanjutanya adalah pertambangan dan penggalian merupakan
sektor kedua penyumbang pendapatan daerah Provinsi Jambi terbesar.
Pertambangan dan penggalian menyumbang sekitar 24 persen dari total PDRB
Provinsi Jambi dengan pertumbuhan 3.77 persen pada tahun 2017 namun sempat
mengalami penurunan sebesar 0.23 pada tahun 2015. Jenis produksi
pertambangan yang dihasilkan di Provinsi Jambi adalah minyak bumi gas bumi
batubara dan biji besi. Perusahaan-perusahaan pengelolaan minyak bumi juga
tersebar di berbagai 3wilayah antara lain Kabupaten Batanghari ( PT Pertamina
Ep) Kabupaten Muaro Jambi (PT Pertamina Ep) Kabupaten Tebo (Montd‟or Oil)
Kabupaten TanJabTim ( Petrochina Jabung) Kabupaten TanJabBar (Petrocina
23

Jabung Montd‟or Oil Mandala Lemang Energi) Kab Sarolangun (Petrocina


bangko PT Pertamina EP Samudera Energi Meruap). Keberadaan perusahaan
pertambangan di Provinsi Jambi menandakan kekayaan sumber energi yang
dimiliki Provinsi Jambi sehingga menjadi penyumbang pendapatan daerah kedua
terbesar.

Tabel 4 Produk Domenstik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan
Provinsi Jambi Tahun 2014-2018 (dalam juta rupiah)
No Lapangan Usaha 2014 2015 2016 2017
A Pertanian
Kehutanan 37 967 924 4 793 239 5 148 503 56 199 421
Perikanan
B Pertambangan
35 447 665 29 467 852 28 493 824 33 741 825
dan Penggalian
C Industri
15 846 430 17 134 219 17 986 469 19 638 552
Pengolahan
D Pengadaan Listrik
66 586 82 454 103 551 121 089
dan Gas
E Pengadaan Air
Pengelolaan
201 641 223 223 247 079 265 026
Sampah dan
Limbah
F Konstruksi 10 279 304 11 216 708 12 065 945 13 307 999
G Perdagangan
Besar dan
Eceran; Rparasi 14 167 092 17 249 970 20 871 365 23 164 518
Mobil Dan
Sepeda Motor
H Traansportasi dan
4 269 563 4 912 744 5 747 666 6 231 196
Pergudangan
I Penyediaan
Akomodasi dan 1 596 130 1 779 129 2 033 124 2 293 923
Makan Minum
J Informasi dan
4 443 387 5 385 598 6 450 836 7 394 248
Komunikasi
K Jasa Keuangan
3 540 955 3 764 058 4 342 372 4 676 213
dan Asuransi
L Real Estate 2 100 437 2 418 257 2 729 979 2 968 967
MN Jasa Perusahaan 1 578 528 1 804 713 2 072 800 2 296 950
O Administrasi
Pemerintah
Pertahanan dan 6 018 912 7 563 198 8 085 248 8 565 088
Jaminan Sosial
Wajib
P Jasa Pendidikan 4 522 682 5 111 004 5 727 534 6 309 034
Q Jasa Kesehatan
dan Kegiatan 1 471 272 1 667 230 1 888 745 2 091 758
Sosial
RSTU Jasa Lainnya 1 295 927 1 483 650 1 659 144 1 834 906
PDRB JAMBI 144 814 418 155 065 656 171 654 184 191 098 712
Sumber: BPSa (2018)
24

Berdasarkan struktur sektor pembentuk PDRB Provinsi Jambi dapat dilihat


bahwa perekonomian Provinsi Jambi ditopang oleh sumber daya alam yang
dimiliki oleh Provinsi Jambi. Kekayaan alam dan kondisi alam yang mendukung
memang manjadi nilai tambah tersendiri bagi Provinsi Jambi. Perkebunan
merupakan subsektor penghasil komoditas andalan bagi perekonomian Provinsi
Jambi. Terdapat beberapa subsektor perkebunan yang diusahakan secara luas di
Provinsi Jambi. Beberapa faktor yang menjadikan tanaman perkebunan menjadi
populer diusahakan adalah kesesuaian lahan iklim dan kondisi geografis yang
tepat untuk menanam tanaman perkebunan.
Tanaman perkebunan yang dibudidayakan secara luas di Provinsi Jambi
antara lain karet kelapa sawit kelapa dalam kulit kayu manis kopi robusta dan
pinang. Karet merupakan komoditas dengan luas lahan terluas yang diusahakan
disusul oleh kelapa sawit. Komoditas perkebunan tersebar diseluruh kabupaten di
seluruh Provinsi Jambi namun terdapat sentra-sentra kabupaten yang dominan
mengusahakan komoditas tertentu disajikan pada Tabel 5 kabupaten sentra
komoditas perkebunan di Provinsi Jambi.

Tabel 5 Luas areal produksi dan kabupaten sentra tanaman perkebunan di Provinsi
Jambi 2018
Produksi
No Jenis Tanaman Luas (Ha) Kabupaten Sentra
(Ton)
Merangin, Sarolangun,
1 Karet 669 135 341 313
Tebo, Bungo, Batang Hari
Muaro Jambi, Tanjab
2 Kelapa sawit 497 984 341 313 Barat, Merangin, Bungo,
Tebo, Batang Hari
Merangin, Tanjab Barat,
3 Kelapa dalam 118 340 108 087
Tanjab Timur
Kulit kayu Kerinci, Kota Sungai
4 45 924 56 681
manis Penuh
Merangin, Kerinci, Tanjab
5 Kopi robusta 25 125 14 064
Barat
Tanjab Barat, Tanjab
6 Pinang 20 986 13 395
Timur
Sumber : BPSa (2018)

Gambaran Umum Agribisnis Kelapa Sawit Provinsi Jambi

Perkembangan Luas Areal Dan Produksi Kelapa Sawit Provinsi Jambi

Sektor perkebunan merupakan sektor yang banyak diusahakan masyarakat


Provinsi Jambi dan menjadisumber mata pencaharian utama masyrakat.
Komoditas perkebunan yang umumnya diusahakan masyarakat provinsi jambi
adalah karet dan kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang
populer diusahakan masyarakat karena dapat meningkatkan pendapatan petani.
Berdasarkan kepemilikan luas lahan kelapa sawit dibagi menjadi tiga yakni
25

Perkebunan Besar negara (PBN) Perkebunan Besar Swasta (PBS) dan Perkebunan
Rakyat (PR). Awal perkembangan kelapa sawit pada tahun 1950 an perkebunan
kelapa sawit dikuasai oleh negara (PBN) disusul oleh swasta (PBS) karena
ketertarikan pengusaha kepada manfaat ekonomi yang ditimbulakn kelapa sawit
namun seiring perkembangannya masyarakat mulai tertarik dengan tanaman
perkebunan ini dan mulai mengusahakannya dengan kerjasama kepada
perusahaan (bermitra). Pada Tahun 2007 - 2017 dapat dilihat bahwa tren
perkebunan kelapa sawit sudah dikuasai oleh perkebunan rakyat (Gambar 1).
Dapat dilihat bahwa kepemilikan llahan perkebunan kelapa sawit telah dikuasai
oleh perkebunan rakyat. Sekitar 60 persen dari total perkebunan kelapa sawit
provinsi jambi adalah perkebunan rakyat dan 35 persen perkebunan swasta dan
hanya sebagian kecil merupakan perkebunan negara.
Keberadaan perkebunan kelapa sawit di provinsi jambi menyebar disulurh
wilayah kabupaten kecuali di dua kota. Kabupaten dengan luas terbesar adalah
Muaro Jambi Tanjung Jabung Timur dan Merangin. Dilihat dari keberadaan lahan
dan produksi kelapa sawit di Provinsi Jambi memang menyebar luas diseluruh
kabupaten yang membuat kabupaten terluas menjadi sentra kelapa sawit namun
tidak menjamin harga TBS (Tandan Buah Segar) juga merata disetiap daerah.
Harga TBS bahkan lenih besar di daerah yang bukan merupakan sentra
perkebunan kelapa sawit yakni Tanjung Jabung Timur.

Tabel 6 Luas areal produksi dan rata-rata harga kelapa sawit Provinsi Jambi
menurut kabupaten 2017
Kabupaten/Kota Luas (ha) Produksi (ton) Rata-rata Harga (Rp)
Kerinci 94 10 1 300
Merangin 68 714 202 027 1 618
Sarolangun 35 492 59 910 1 346
Batanghari 52 206 140 224 1 453
Muaro Jambi 97 749 189 663 1 480
Tanjung Jabung Timur 94 344 251 199 1 394
Tanjung Jabung Barat 33 872 47 806 1 703
Tebo 59 468 129 046 1 343
Bungo 56 045 103 424 1 696
Kota Jambi 0 0 0
Kota Sungai Penuh 0 0 0
Sumber: Statistik Perkebunan Provinsi Jambi (2018)

Industri Hilir Kelapa Sawit Provinsi Jambi


Industri hilir kelapa sawit merupakan rangkain dari kegiatan agribisnis
kelapa sawit yang memegang peran penting dalam penciptaan nilai tambah
komoditas kelapa sawit. Kelapa sawit yang merupakan tanaman tahunan dengan
usia produktif 3 sampai 25 tahun. Daging dan kulit buah kelapa sawit
mengandung minyak yang dapat diolah menjadi minya sait untuk bahan baku
berbagai produk turuanan lain seperti minyak goreng sabun lilin komestik dsb.
Selain itu bungkil kelapa sawit dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak
sedangkan tempurungnya dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar arang. Provinsi
26

jambi sebagai provinsi penghasil produk kelapa sawit berpotensi besar untuk
menciptakan nilai tambah dengan produk kelapa sawit dengan memaksimalkan
pengembangan industri hilr dalam memproduksi berbagai produk turuan kelapa
sawit. Dewasa ini produk hilir dari provinsi jambi yang diproduksi secara masal
adalah minyak kelapa sawit CPO dan KPO dan minyak goreng. Industri hilir
kelapa sawit terdiri industri minyak sawit dan industri minyak goreng.

Industri Pengolahan Minyak Sawit


Industri hilir kelapa sawit mengolah tandan buah segar (TBS) menjadi
minyak sawit terus mengalami peningkatan seiring perkembangan luas lahan dan
produksi kelapa sawit yang mendorong pergerakan industri hilirnya. Penolahan
TBS dimulai dari pabrik pengolahan yang disebut dengan pabrik minyak kelapa
sawit (PMKS). PMKS di provinsi jambi tersebar dibeberapa kabupaten dengan
jumlah pabrik terbanyak pada kabupaten muaro jambi yakni 18 perusahaan yang
memegang izin kapasitas produk 900 ton tbs/jam pada Tabel 7. Kapasitas
produksi PMKS yang sudah terpakai per Tahun 2017 adalah total 2449 Ton TBS/
jam sehingga dapat disimpulkan bahwa produksi minyak sawit di Provinsi Jambi
mencapai 2.5 ton/jam.

Tabel 7 Jumlah dan kapasitas pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) di Provinsi
Jambi tahun 2017
Jumlah Kapasitas PKS (ton tbs/jam)
Kabupaten
Perusahaan Izin Terpasang Terpakai
Batang Hari 7 355 370 266
Muaro Jambi 18 900 870 772
Bungo 5 305 275 240
Tebo 5 195 195 180
Merangin 5 270 270 215
Sarolangun 6 255 255 252
Tanjab Barat 13 600 570 524
Tanjab Timur 2
65 Unit Pks (58
Jumlah 2880 2805 2449
Perusahaan)
Sumber: Statistik Perkebunan Provinsi Jambi (2017)

Industri Pengolahan Minyak Goreng


Minyak goreng merupakan salah satu komoditas tururnan berbasis minyak
sawit yang di produksi Provinsi Jambi. Industri minyak goreng berkembang di
beberapa wilayah di provinsi jambi namun belum mampu memenuhi permintaan
pasar. Berdasarkan data BPS industri miyak goreng di Provinsi Jambi hanya
mampu memenuhi 6% dari pangsa pasar minyak goreng di Provinsi Jambi dan
sekitar 91 % melakukan pembeliaan dari wilayah Sumatera Selatan (Gambar 9).
27

Wilayah 15 % Wilayah penjualan


Industri
pembeliaan dari ke luar provinsi :
luar provinsi : DKI Jakarta
Sumatera utara 6% (1.1 % )
(0.0001%)
Sumatera selatan Pedagag Pedagag Rumah
(91.23%) Grosir Eceran Tangga
DKI Jakarta a
(0.03%)
Jawa barat
(0.02 %)
Jawa timur 6% 60 %
(0.01%) Wilayah penjualan
20 %
keluar negeri :
Supermarket Malaysia (4.4%)
/swalayan

Gambar 9 Pola distribusi perdagangan minyak goreng di Provinsi Jambi


Sumber : BPSb (2018)

Industri minyak goreng di Provinsi Jambi memang tidak banyak


mengalami kemajuan dapat dilihat dari distribusi perdagangan minyak goreng di
Provinsi Jambi bahwa hanya 6 persen dari total permintaan minyak goreng yang
mampu didistribusikan industri selebihnya dipenuhi oleh daerah lain. Sumatera
selatan merupakan daerah yang mendistribusikan 91 persen dari total permintaan
minyak goreng di Provinsi Jambi. Di sisi lain sebagian besar hasil industri minyak
goreng yang di produksi dijual ke negara tetangga sebanyak 60 persen. Sementara
itu pelaku perdagangan minyak goreng yang terlibat di Provinsi Jambi adalah
pedagang grosir pedagang eceran dan supermarket/swalayan dan rumah tangga
sebagai konsumen akhir.

Karakteristik Petani Sampel Petani Perkebunan Kelapa Sawit


Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di
provinsi jambi dibandingkan dengan tanaman perkebunan lain kelapa sawit
merupakan tanaman yang relatif baru karena tanaman perkebunan diusahakan
secara turun temurun. Awal perkembangan tanaman perkebunan di Provinsi Jambi
adalah tanaman karet dan kelapa dalam munculnya tanaman kelapa sawit populer
diusahakan setelah era transmigrasi dari daerah Pulau Jawa yang sebagian lahan
pertanian masyarakat ditanami oleh perkebunan kelapa sawit. Petani kelapa sawit
terdiri dari petani plasma dan swadaya. Petani plasma adalah petani yang bekerja
sama (bermitra) kepada perusahaan dengan skema tertentu sementara petani
swadaya adalah petani melakukan usaha perkebunan kelapa sawit secara mandiri
tanpa ikatan tertentu kepada perusahaan.
Petani sebagai pelaku utama kegiatan usahatani dalam mengelola
usahanya dipenagruhi oleh beberapa faktor untuk mengambil keputusan pada
pengelolaan perkebunannya. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi umur
tingkat pendidikan lama pengalaman berusaha tani jumlah anggota keluarga.
Adapun hasil survei dan wawancara yang dilakukan terdapat beberapa
karakteristik petani sampel perkebunan kelapa sawit provinsi jambi. Pada Tabel 8
28

dijelaskan bahwa umur petani bervariasi antara 24 - 69 tahun dengan rata-rata


tahun. Dengan menggunakan standar bahwa pekerja berumur 15 - 55 merupakan
pekerja dengan usia produktif maka petani kelapa sawit masih dapat dikategorikan
dalam usia produktif. Maka petani perkebunan kelapa sawit masih memiliki
potensi pengembangan karena memiliki fisik dan mental yang baik.

Tabel 8 Karaskteristik sampel petani perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi


Jambi 2018
Uraian Minimum Maksimum Rata-rata
Umur petani (tahun) 24 65 41.37
Pendidikan (tahun) 6 15 9.52
Pengalaman (tahun) 8 28 14.03
Jumlah anggotan keluarga (orang) 2 8 5.12

Pada aspek pendidikan petani responden rata-rata hanya memiliki


pengalaman pendidikan selama 9 tahun setara dengan SMP sederajat saja. Hal ini
membuat kesulitan pada petani untuk mengadopsi teknik budidaya dan
pengelolaan yang sesuai seperti pola tanam pemupukan sesuai dosis pengendalian
hama dan penyakit tanaman, pemakaian bibit unggul, serta perhatian terhadap
keberlangsungan aspek lingkungan. Rendahnya pendidiakan yang mereka miliki
menggambarkan wawasan yang tercermin dari cara petani melakukan usaha
perkebunan miliknya dengan apa adanya tanpa ada proses perencanaan yang
layak.
Pengalaman bertani dalam mengusahakan tanaman kelapa sawit relatif
lama. Memiliki rata-rata waktu berusaha tani perkebunan kelapa sawit selama 14
tahun dengan demikian petani memiliki waktu yang sudah cukup lama pada usaha
perkebunan kelapa sawit. Pada penelitian ini terdapat pula beberapa petani di
suatu daerah yang awalnya mengusahakan perkebunan karet lalu
mengalihfungsikan lahan mereka pada kelapa sawit. Sehingga sebenarnya
pengalaman melakukan usaha perkebunan sudah relatif lama namun dengan
komoditas yang berbeda. Terdapat pula di suatu daerah yang memang perkebunan
kelapa sawitnya sudah memasuki fase peremajaan sehingga pengalaman pada
perkebunan kelapa sawit memang sudah relatif lama.
Jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga petani
kelapa sawit berkisar antara 3 – 8 orang dengan rata-rata 5 orang. Maka setiap
petani menanggung anggota keluarga lain sebanyak 5 orang. Hal ini meliputi
segala aspek mulai kesehatan sampai pendidikan yang bergantung pada usaha
perkebunan kelapa sawit. Umumnya anggota keluarga petani memiliki anggota
keluarga yang memiliki usia remaja dalam usia sekolah baik perempuan maupun
laki-laki.
6 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keberlanjutan Perkebunan Sawit Rakyat Provinsi Jambi

Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat merupakan agenda yang


mampu menggambarkan status keberlanjutan berdasarkan indikator-indikator
keberlanjutan yang ditetapkan. Indeks keberlanjutan keberlanjutan perkebunan
kelapa sawit rakyat provinsi jambi dianalisis melalui Rap-Palmoil dan status
keberlanjutan berdasarkan kategori yang telah ditetapkan. Parameter statistik pada
penelitian ini terdiri dari analisis monte carlo nilai s-stress dan R2. Hasil analisis
memperlihatkan nilai S-stress yang dihasilkan pada setiap dimensi maupun multi
dimensi memiliki nilai yang lebih kecil dai ketentuan (>025) semakin kecil dari
0.25 semakin baik (Tabel 8). Sedangkan koeisien determinasi (R2) di setiap
dimensi dan multidimensi semua nilainya mendekati 1 dengan denikian dari
kedua parameter statistik ini menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan
dan dianalisis secara dimensi atapun multi dimensi sudah memenuhi kroteria
statistik dan layak menerangkan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat
Provinsi Jambi.

Tabel 8 Parameter statistik (goodness of fit) dari analisis indeks dan status
keberlanjutanperkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi
Wilayah MDS Monter Perbedaan S-Stress R2
Carlo
Multidimensi 57.795 56.839 0.956 0.198 0.901
Ekonomi 54.111 53.119 0.992 0.217 0.897
Sosial 66.831 65.864 0.967 0.230 0.887
Lingkungan 58.645 57.722 0.954 0.227 0.854
Kelembagaan 46.405 45.482 0.923 0.152 0.911
Teknologi 57.795 56.884 0.911 0.223 0.870

Tabel 8 memeprlihatkan bahwa nilai S-stress rata-rata berada diantara


0.15-0.22 (dan nilai R2 berada pada 0.85 – 0.91 dapat diartikan bahwa nilai
goodness of fit pada analisis ini sudah terpenuhi. Nilai R2 menggambarkan bahwa
kemampuan atribut untuk menjelaskan dan memberikan kontribusi tehadap
keberlanjutan sistem yang dikaji mampu dipenuhi. Nilai S-Stress terpenuhi maka
konfigurasi atribut dapat mencerminkan data aslinya sehingga dapat dinyatakan
bahwa indikator yang dikaji telah mencukupi akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan secara statistik.
Analisisis monte carlo merupakan analisis untuk evaluasi pengaruh galat
(error) dengan tujuan untuk mengetahui: a) pengaruh kesalahan pembuatan skor
atribut (b) pengaruh variasi pemberian skor (c) stabilitas proses analisis MDS
yang berulang-ulang (d) kesalahan pemasukan atau hilangnya data (missing data)
dan (e) nilai stress dapat diterima apabila < 25 persen. Analisis monte carlo pada
analisis ini menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit rakyat pada taraf kepercayaan 90 persen memperlihatan bahwa hasil analisis
Rap-Palmoil antara nilai MDS dan nilai monte carlo tidak mengalami perbedaan
30

yang signifikan. Perbedaan hasl analisis pada nilai MDS dan monte carlo relatif
kecil menunjukkan bahwa analisis MDS menggunakan atribut dengan (Kavanagh
2011):
1. Kesalahannya relatif kecil dalam pemberian skoring pada setiap atribut
2. Kesalahan rendah pada variasi pemberian skoring karena perbedaan opini
3. Stabilitas MDS tinggi
4. Kesalahan dalam memasukkan data atau data hilang dapat dihindari
5. Nilai S-stress yang tinggi dapat dihindari
6. Sistem yang dikaji mempunyai tingkat kepercayaan tinggi
7. Metode MDS cukup baik sebagai salah satu alat evaluasi pengelolaan
perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi

Indeks dan Status Keberlanjutan Multidimensi


Hasil analisis RAPPO multidimensi dengan menggunakan metode multi
dimensional scalling menghasilkan nilai IKB-PO (indeks keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi) sebesar 57.79 pada skala keberlanjutan 0
- 100 termasuk dalam kategori “cukup berkelanjutan” dengan nilai S-Stress 0.198
dan R2 0.90 seperti terlihat skala ordinasipada Gambar 10.
Berdasarkan hasil analisisskala keberlanjutan perkebunan kelapa sawit
Provinsi Jambi dilihat dari multidimensi indeks keberlanjutan palm oil (IKB-PO =
57.79) termasuk dalam katogeri cukup berkelanjutan. Analisis ini merupakan
gabungan antara seluruh dimensi (ekonomi, sosial, lingkungan, kelembagaan dan
teknologi) yang disebut dengan analisis multidimensi. Masing-masing dimensi
memiliki atribut yang menjadi tolak ukur keberlanjutan perkebunan kelapa sawit
di Provinsi Jambi.

60 Up
Other Distingishing Features

40

20
Bad Good
0
0 20 40 60 80 100 120
-20

-40

-60 Down
Skala Sustainability
Gambar 10 Indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi
multidimensi

Pada penelitian lain mengenai keberlanjutan kelapa sawit multidimensi Al-jaktsa


(2018) keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat Kabupaten Aceh Selatan
diperoleh hasil 47.66 dan termasuk dalam status kurang berkelanjutan. Kelapa sawit
merupakan komoditas strategis di Provinsi Jambi menjadi komoditas unggulan di
31

Provinsi Jambi sehingga berbagai pihak mengupayakan keberlanjutan perkebunan


kelapa sawit. Peran pemerintah dan swasta juga terlihat pada beberapa sistem
perkebunan kelapa sawit rakyat di Provinsi Jambi. Berbagai peran pemerintah dan
swasta pada perkebunan kelapa sawit rakyat adalah melalui pola kemitraan penyediaan
layanan penyuluhan bantuan modal peremajaan dan informasi harga TBS.
Kebijakan pemerintah Provinsi Jambi bagi pengembangan komoditas kelapa sawit
adalah terfokus pada peningkatan kapasitaskelembagaan dan peremajaan dengan
kemitraan melalui program sistem kebersamaan ekonomi-berdasarkan kemitraan (SKE-
BK). Program ini diharapkan mampu meningkatkan partisipasi petani dalam melakukan
praktik-praktik usaha perkebunan kelapa sawit yang saling menguntungkan antara
pemerintah swasta dan petani swadaya. Sedangkan program peremajaan di fokuskan
pada perkebunan dengan usia tua atas sinergi kepada BDPPKS.

Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Berdasarkan Dimensi

Dimensi-dimensi keberlanjutan dipilih berdasarkan permasalahan pada


keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi. berdasarkan hasil analisis
nilai IKB-Palmoil diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 48 atribut keberlanjutan
yang tercakup pada lima dimensi. Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi
keberlajutan antara lain dimensi ekonomi 54.11 (cukup berkelanjutan), dimensi sosial
66.83 (cukup berkelanjutan), dimensi lingkungan 58.65 (cukup berkelanjutan), dimensi
kelembagaan 46.41 (kurang berkelanjutan), dimensi teknologi 57.80 (kurang
berkelanjutan) dapat dilihat secara diagram layang pada (Gambar 11).

100.000
75.00054.11
50.000
25.000 66.83
59.03
0.000

46.41
58.65

Gambar 11 Diagram layang indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat

Nilai dimensi keberlanjutan diproyeksi pada diagram layang dapat


ddiartikan bahwa semakin titik keberlanjutan mengarah keluar dari titik tengah
maka nilai keberlanjutan semakin besar. Berdasarkan diagram dapat dilihat bahwa
dimensi kelembagaan memiliki nilai keberlanjutan paling rendah kemudian
dimensi ekonomi, dimensi teknologi, dimensi lingkungan, dan dimensi sosial.
Nilai indeks dimensi keberlanjutan secara diagram belum presisi, berarti masing-
masing dimensi keberlanjutan masih belum diterapkan secara seimbang.
Pembahasan dimensi selengkapnya dijelaskan sebagai berikut:
32

Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Dimensi Ekonomi


Dimensi ekonomi merupakan kemampuan perkebunan kelapa sawit rakyat
memenuhi kebutuhan petani secara berkelanjutan. Pengukuran keberalanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat dimensi ekonomi menggunakan analisis Rap-
Palmoil berdasarkan beberapa rujukan. Indikator pengukuran keberlanjutan
dimensi ekonomi berdasarkan atribut-atribut yang telah disusun antara lain :

1. Produktivitas perkebunan kelapa sawit


Produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat adalah kemampuan
perkebunan luas lahan menghasilkan TBS dalam satuan ton/hektar. Skala
pengukuran produktivitas sesuai dengan PPKS (2013) dan Sunarko
(2009)tinggi apabila mampu menghasilkan 24 ton TBS per hektar per tahun.
2. Keuntungan usahatani kelapa sawit
Keuntungan perkebunan kelapa sawit adalah pendapatan yang didapat
petani setelah dikurangi seluruh biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan
Sipayung et al. (2011) sebaiknya perkebunan kelapa sawit mampu
menghasilkan 40 juta pertahun.
3. Akses penjualan TBS
Tandan Buah Segar (TBS) merupakan produk pertama yang dihasilkan
oleh perkebunan kelapa sawit rakyat. Menurut Saragih (2017) sebaiknya
petani mampu memilih penjualan TBS tanpa kendala apa pun dengan
pertimbangan jarak penjualan dan ongkos perjalanan.
4. Kesimbangan distribusi keuntungan
Menurut (Sumartono 2011) akan terjadi keseimbangan keuntungan
apabila saluran perdagangan yang mampu berjalan dengan efisien sehingga
petani setidaknya memiliki 99% dari harga pabrik.
5. Kemudahan akses informasi harga
Akses informasi harga yang diterima petani sebaiknya transparan
hingga petani mampu mengkalkulasikan keuntungan untuk memilih tempat
penjualan (Sumartono 2011).
6. Penyerapan tenaga kerja
Perhitungan tenaga kerja berdasarkan item kerja pada perkebunan
rakyat berdasarkan item kerja dalam satuan HOK/tahun. Alfayanti et al
(2012)menyatakan bahwa curahan tenaga kerja yang diberdayakan
oleh petani dalamusahatani kelapa sawit rakyat rata-rata berjumlah 85.79
HOK/tahun. Tenaga kerja ini diberdayakan pada kegiatan pemupukan
penyiangan penyemprotan hama dan penyakit serta panen dan pengangkutan
hasil panen. Penyerapan tenaga kerja terbanyak adalah pada kegiatan panen
dan pengangkutan hasil panen dengan frekuansi panen antara 18 dan 24 kali
pertahun Yulistriani (2017).
7. Perubagan upah riil tenaga kerja pertanian
Perubahan upah riil tenaga kerja didasarkan pada perubahan upah yang
diberikan sesuai dengan perubahan UMR pada daerah penelitian untuk
memastikan bahwa tenaga kerja memperoleh haknya.
8. Status pendapatan perkebunan kelapa sawit bagi rumah tangga
Kemampuan perkebunan kelapa sawit memenuhi kebutuhan rumah
tangga petani dapat dilihat dari status pendapatan rumahtangga petani.
33

Lifianthi et al (2013) kegiatan usahatani kelapa sawit ternyata tidak dapat


memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga petani plasma sehngga petani
harus bekerja diluar dari perkebunan kelapa sawit. Namun pada penelitian
lain Andriani (2017) menyatakan bahwa petani yang memiliki sumber
pendapatan lain (nafkah ganda) memiliki penghasilan yang lebih rendah
daripada petani yang hanya fokus kepada perkebunan sawit sehingga petani
cenderung tidak memiliki sumber pendapatan lain diluar usaha perkebunan
kelapa sawit.

Secara ekonomi perkebunan kelapa sawit rakyat memberikan nilai positif


dari segi ekonomi dengan mengurani kemiskinan bagi masyarakat petani
perkebunan kelapa sawit. Pada penelitian Supriadi (2013) bahwa perkembangan
kelapa sawit di kabupaten sambas berdampak positif pada perekonomian dengan
meningkatkan daya beli masyarakat pedesaan. Memiliki multiplier effect terutama
dalam lapangan pekerjaan dan peluang usaha akibat perputaran uang yang terjadi
pada daerah tersebut.Hasil penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 11
menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat
dimensi eknonomi sebesar 54,11 berdasarkan nilai indeks keberlanjutan dimensi
ekonomi maka sejalan dengan nilai indeks pada multisimensi nilai indeks
keberlanjutan dimensi ekonomi termasuk dalam ketegori cukup berkelanjutan.

60 Up 1.580
status pendapatan… 4.419
Other Distingishing Features

40 perubahan upah rill… 2.527


penyerapan tenaga kerja
Attribute

3.017
20
Bad Good kemudahan akses… 3.722
0 keseimbangan… 3.289
0 20 40 60 80 100 120 akses penjualan TBS 2.690
-20 keuntungan kelapa sawit 3.411
produktivitas… 2.328
-40
0 5
-60 Down Root Mean Square Change % in Ordination when
Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Fisheries Status
Gambar 11 Indeks keberlanjutan dan indikator kunci dimensi ekonomi

Berdasarkan hasil analisis leverage keberlajutan perkebunan kelapa sawit


Provinsi Jambi dimensi ekonomi terlihat pada gambar diketahui bahwa dari 9
atribut yang dianalisis terdapat 3 atribut yang sensitif mempengaruhi
skeberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat antara lain: (1) sistem pendapatan
perkebunan kelapa sawit bagi petani (2) kemudahan akses informasi harga (3)
keseimbangan distribusi keuntungan. Dengan demikian atribut-atribut tersebut
perlu diperhatikan dan dikelola dengan sedemikian rupa untuk keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi.
Atribut pertama yang paling mempengaruhi keberlanjutan perkebunan
kelapa sawit Provinsi Jambi pada dimensi ekonomi adalah status pendapatan
perkebunan kelapa sawit bagi petani. Status pendapatan perkebunan kelapa sawit
34

dinilai berdasarkan apakah sebagai sumber pendapatan utama atau terdapat


sumber pendapatan lainnya. Rata-rata petani perkebunan kelapa sawit di Provinsi
Jambi menjadikan kelapa sawit menjadi sumber pendapatan utama dan hanya
bergantung kepada penjualan Tandan Buah Segar (TBS) dari perkebunan milik
mereka. Berdasarkan penelitian Andriani (2017) menyatakan bahwa petani yang
memiliki sumber pendapatan lain (nafkah ganda) memiliki penghasilan yang lebih
rendah daripada petani yang hanya fokus kepada perkebunan sawit sehingga
petani cenderung tidak memiliki sumber pendapatan lain diluar usaha perkebunan
kelapa sawit.
Petani perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi cenderung tidak memiliki
sumber pendapatan lain karena tidak ada keahlian lain diluar dari pertanian
perkebunan kelapa sawit. Pendapatan dari usaha perkebunan kelapa sawut
berkisar pad Rp 16 juta – Rp 25 juta per hektar per tahun dan petani memiliki
lahan berkisar 2 - 5 Ha sehingga dirasa cukup untuk memeniuhi kebutuhan bagi
rumah tangga. Namun apabila pengelolaan pendapatan perkebunan kelapa sawit
tidak dikelola dengan baik maka akan mengancam keberlanjutan perkebunan
kelapa sawit rakyat dari dimensi ekonomi apabila tidak efisien pada persiapan
input dan peremajaan.
Atribut lainnya adalah akses informasi harga. Akses informasi harga
diperlukan petani bagi penentuan penjualan TBS ke pabrik yang membeli dengan
harga tertinggi. Kemudahan akses informasi harga secara transparan dari
pemerintah maupun swasta akan membantu petani dalam mempertimbangkan
penjualan terkait jarak tempuh kebun-pabrik dan resiko lainnya. Berkaitan
dengan indikator kunci ketiga yakni kesimbangan distribusi keuntungan yang
berhubungan dengan rantai penjualan TBS. Petani diharapkan mampu mengakses
sampai penjualan ke pabrik secara langsung namun terkadang petani tidak
memiliki pilihan lain untuk menjual TBS kepada „‟tengkulak” dengan marjin
harga tertentu dari pabrik. Kondisi ini akibat dari waktu panen yang tidak seragam
pada daerah yang sama sehingga membuat ongkos pengiriman akan lebih besar
untuk mengantar langsung ke pabrik sehingga menjual kepada tengkulak. Kondisi
ini terjadi mengingat untuk mempertahankan mutu TBS harus dalam kondisi segar
sampai ke pabrik untuk diolah.

Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Dimensi Sosial


Keberlanjutan dimensi sosial merupakan kemampuan perkebunan kelapa
sawit rakyat menjadi wadah interaksi sosial. Dimensi sosial terdiri dari 10 atribut
yang disusun berdasarkan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit dari berbagai kajian pustaka. Indikator-indikator pada
dimensi sosial adalah:

1. Tingkat pendidikan formal masyarakat


Pendidikan petani digunakan untuk mengukur kondisi sosial petani
yang dapat mempengaruhi adopsi keberlanjutan secara tidak langsung.
2. Umur petani
Umur petani digunakan untuk mengukur usia yang paling tepat untuk
mengadopsi praktik berkelanjutan perkebunan kelapa sawit. Mantra (2004)
umur produktif secara ekonomu terbagi atas usia belum produktif (0 - 14
tahun) usia produktif (15 - 64) usia tidak produktif (64 tahun ke atas).
35

3. Ketersediaan infrastruktur dalam kegiatan pertanian


ISPO (2015) tentang lokasi perkebunan menerangkan bahwa lokasi
perkebunan swadaya secara teknis sesuai dengan tata ruang dan lingkungan
untuk perkebunan kelapa sawit. Indikatornya adalah akses lokasi kebun
menuju tempat pengumpul/pengangkutan TBS harus memenuhi persyaratan
agar TBS terjaga kualitasnya.
4. Pandangan masyarakat terhadap usahatani kelapa sawit
Pandangan masyarakat diukur dengan respon masyarakat non-petani
kelapa sawit terhadap perkebunan kelapa sawit menurut petani perkebunan
kelapa sawit.
5. Akses pendidikan
Pendidikan merupakan aspek fungsional yang digunakan untuk
meningkatkan sumber daya manusia. Kospa (2015) pendidikan di daerah
perkebunan kelapa sawit yang kan dibangun biasanya tertinggal untuk itu
saatnya memberikan kontribusi kepada masyarakat sekitar sehingga dapat
memperbaiki kualistas pendidikan daerah. Pendidikan diukur dengan jumlah
sekolah dan jarak sekolah ke rumah petani.
6. Akses kesehatan
RSPO (2018) pada prinsip dan kriteria hak dan HAM pekerja
menyatakan bahwa semua orang yang bekerja di unit
sertifikasi/perkebunan/lahan milik (termasuk didalamnya pekerja yang diupah
dan anggota yang tidak diupah) memiliki akses terhadap tempat kerja yang
aman dan sehat termasuk (jika memungkinkan) kondisi tempat tinggal yang
aman. Dan memiliki akses terhadap pelatihan dan peralatan kesehatan dan
keselamatan kerja dan persediaan pertolongan pertama pada kecelakaan
(P3K) dasar yang sesuai dengan konteksnya guna memastikan kondisi pekerja
aman dan sehat. Semua orang memiliki akses terhadap air minum yang aman.
7. Penyelesaian konflik sengketa
Terdapat beberapa kriteria sengketa yang dijelaskan ISPO (2015) dan
indikator penyelesaiannya. Koperasi dan kelompok tani harus memastikan
bahwa lahan perkebunan bebas dari status sengketa dengan masyarakat
disekitarnya atau sengketa lainnya. Apabila terjadi sengketa maka tersedia
catatan atau status kesepakatan penyelesaian sengketa.
8. Komitmen terhadap transparansi dan ketelurusan
RSPO (2018) petani perorangan telah memetakan perkebunannya yang
turut mencakup informasi tentang ukuran jenis pemanfaatan lahan catatan
hasil panen (perkiraan/rata-rata). Petani perorangan menjaga catatan
penjualan TBS-nya.
9. HAM dan hak pekerja
RSPO (2018) menjamin hak para tenaga kerja perkebunan kelapa sawit
yang tercantum pada prinsip dan kriteria dengan poin-poin; tidak ada
penggunaan pekerja paksa upah dan kondisi kerja para pekerja sesuai dengan
persyaratan minimun yang diatur oleh hukum berlaku standar wajib industri
dan perjanjian kerja bersama (PKB hanya berlaku bagi pekerja yang diupah)
sebagaimana diatur dalam hukum nasional.
10. Legalitas penghormatan terhadap hak tanah dan kesejahteraan masyarakat
Legalitas dan penggunaan tanah terdapat pada prinsip dan kriteria
RSPO (2018) terdapat beberapa poin yang harus disesuaikan yakni hak dan
36

pemanfaatan lahan sesuai hukum positif yang berlaku atau hukum


adatberlokasi di areal yang berada diluar disklasifikasi taman
nasioanalmenghormati hak masyarakat sekitarnya untuk memanfatakan dan
mengakses lahan dan sumber daya.

Hasil analisis indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi


Jambi dimensi sosial sebesar 66.83 dengan kategori cukup berkelanjutan. Nilai
indeks tersebut diatas dari nilai keberlanjutan pada multidimensi dan dimensi
ekonomi. Hal ini mengindikasikan bahwa secara sosial perkebunan kelapa sawit
rakyat lebih berkelanjutan dari aspek ekonomi.Berdasarkan hasil analisis leverage
dapat diketahui bahwa indikator kunci yang paling mempengaruhi keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi adalah: (1) akses kesehatan; (2)
pandangan masyarakat terhadap perkebunan kelapa sawit; (3) akses pendidikan
dapat dilihat pada (Gambar 12).

60 Up
legalitas, penghormatan… 2.947
Other Distingishing Features

40 HAM dan Hak pekerja 3.709


komitmen terhadap… 2.197
penyelesaian konflik… 3.431
Attribute

20
Bad akses kesehatan 4.487
Good
akses pendidikan 4.292
0 pandangan masyarakat… 4.302
0 20 40 60 80 100 120 ketersediaan… 3.020
-20 umur petani(thn) 1.956
Tingkat pendidikan… 2.111
-40 0 5
Root Mean Square Change % in Ordination when
-60 Down Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to
100)
Skala Sustainability

Gambar 12 Indeks keberlanjutan danindikator kuncidimensi sosial

Akses kesehatan merupakan atribut yang paling sensitif pada dimensi sosial
pada keberlanjutan perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi karena berdasarkan
kondisi geografis perkebunan kelapa sawit yang jauh dari perkotaan biasanya sulit
untuk mendapatkan akses kesehatan. Hal lain yang dipertimbangkan pada petani
dari segi kesehatan adalah penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang sering
diabaikan pekerja khususnya petani swadaya (perkebunan rakyat) akibatnya masih
terdapat kecelakaan kerja yang terjadi pada pekerja. Hal ini tentu menjadikan
perhatian khusus oleh pemerintah sebagai penyedia layanan jasa kesehatan
masyarakat pedesaan karena sulitnya akses kesehatan yang diterima petani sering
membuat petani mengambil pengobatan tradisional yang membahayakan
kesehatan masyarakat khususnya petani.
Atribut selanjutanya adalah pandangan masyarakat terhadap perkebunan
kelapa sawit. Atribut ini mewakili pandangan petani terhadap masyarakat sekitar
bagaimana ketertarikan masyarakat kepada usaha perkebunan kelapa
sawit.Sebagian besar masyarakat masih sangat tertarik kepada usaha perkebunan
37

kelapa sawit.Tingginya keinginan masyarakat pada usaha perkebunan kelapa


sawit juga harus diikuti dengan regulasi yang mumpuni untuk menjamin
masyarakat tidak melanggar peraturan dan tetap pada skema perdagangan yang
tepat demi menjamin harga.
Faktor lain yang memicu keprihatinan pemerintah terhadap ketertarikan
masyarakat terhadap kelapa sawit adalah alih fungsi lahan pangan. Rendahnya
pendapatan petani pangan dibanding petani sawit menjadi alasan petani
meninggalkan sawah dan beralih ke perkebunan sawit sebenarnya pemerintah
telah melakukan berbagai regulasi melalui PERDA namun inkonsistensi kebijakan
pemerintah membuat praktik alih fungsi lahan menjadi tidak terkendali (Daulay et
al. 2016).
Akses pendidikan juga merupakan indikator kunci yang mempengaruhi
keberlanjutan perkebunan kelapa sawit pada dimensi sosial. Lokasi perkebunan
kelapa sawit di Provinsi Jambi yang jauh dari perkotaan menajadi alasan atribut
ini menjadi atibut yang dipetimbangkan pada dimensi sosial. Tiga daerah
penelitian pada penelitian ini hanya memiliki akses pendidikan sampai jenjang
sekolah dasar untuk melanjutkan ke sekolah menengah maka anak-anak dari
petani menempuh jarak yang cukup jauh atau harus stinggal di dekat perkotaan
yang jauh dari tempat tinggal di daerah perkotaan sehingga tidak efisien waktu
dan biaya pendidikan yang dikeluarkan. Hal ini seharusnya menjadi perhatian
khusus pemerintah untuk menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan yang
terjangkau oleh masyarakatkhususnya petani kelapa sawit di pelosok desa.

Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Dimensi Lingkungan


Keberlanjutan dimensi lingkungan merupakan manfaat perkebunan kelapa
sawit terhadap kelestarian lingkungan. Keberlanjutan dimensi lingkungan diukur
dari 9 atribut yang disusun berdasarkan kajian keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit rakyat pada literatur terdahulu dilengkapi oleh prinsip dan kriteria lembaga
keberlanjutan. Atribut-atribut pada dimensi sosial antara lain:

1. Kerusakan hutan atau pembakaran hutan


Ketentuan perusakan dan pembakaran hutan telah dikeluarkan oleh
undang-undang namun secara khusus untuk keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit diterangkan oleh ISPO (2015). Panduan ISPO menerangkan bahwa
petani melaksanakan pembukaan lahan sesuai pedoman pembukaan lahan
tanpa bakar.
2. Kesesuaian agroklimat untuk tanaman kelapa sawit
Kesesuaian agroklimat terhadap perkebunan kelapa sawit dijelaskan
oleh peneliti PPKS Siregar (1997) yang menerangkan kesesuaian curah hujan
(mm) bulan kering (bln) elvasi (m.dpl) penyinaran surya (jam/hari).
Pengukuran agroklimatologi berdasarkan data sekunder dari BPS kecamatan
masing-masing daerah.
3. Luas lagan tanaman kelapa sawit yang dikelola
RSPO (2018) luas tanaman yang dikelola petani swadaya umumnya 1-5
hektar hingga 5-10 hektar.
38

4. Penerapan teknis budidaya dan pengangkutan


ISPO (2015) menerangkan bahwa indikator pengangkutan buah
berkelanjutan adalah; tersedia catatan untuk jumlah pengangkutan TBS dan
nama lokasi pabrik yang dituju menggunakan alat dan transportasi yang baik
dan alat pendukung lainnya.
5. Pencemaran lingkungan
Indaktor pencemaran lingkungan pada perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan dijelaskan oleh (Sipayung et al (2011), RSPO (2018), ISPO
(2015). Tanggung jawab lingkungan dilakukan dengan pengelolaan sumber
daya alam dan konservasi kenaeka ragaman hayati pelestarian biodiversitas
dan praktik tidak merusak konservasi air oleh limbah kimia.
6. Keberadaan tanaman penutup
Fauzi et al. (2012) menerangkan bahwa keberadaan tanaman penutup
diusia kelapa sawit 1-4 tahun diperlukan untuk menjaga dehidrasi tanah.
7. Perizinan dan legalitas lingkungan
Legalitas kepemilikan dan penggunaan tanah serta perhatian terhadap
lingkungan dituangkan pada ISPO (2015) dan RSPO (2018).
8. Penggunaan lahan gambut
Paduan penggunaan lahan gambut oleh ISPO (2015) antara lain;
penanaman dilakukan pada lahan gambut bebentuk hamparan dengan
kedalaman < 3 m dan proporsi mencakup 70 persen dari total areal lapisan
tanah mineral dibawag gambut bukan pasir kuarsa atau tanah sukfat masam
pada lahan gambut dengan tingkat kematangan (saprik) areal disisakan
minimal 30 persen tidak ditanami untuk konservasi. Pengaturan jumlah
tanaman dan jarak tanam sesuai dengan kondisi lapangan dan praktek
budidaya perkebunan terbaik. RSPO (2018) jika unit berada di lahan gambut
maka subidensi (pelesakan) tanah gambut harus diminimalkan melalui praktik
pengelolaan terbaik termasuk pengelolaan air dan tutupan lahan.
9. Penggunaan konversi lahan hutan
RSPO (2018) jika untuk sertifikasi berada di kawasan yang
diidentifikasi sebagai kawasan Nilai Konservasi Tinggi (KNT) dan dibuka
setelah tahun 2005 maka unit sertifikasi harus menyusun rencana dan praktik
mitigasi untuk meminimalkan dampak negatif lebih lanjut pada NKT dan
memelihara atau meninmgkatkan NKT yang sudah ada saat ini.

Nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi


dimensi lingkungan dari hasil ananlsis ordinasi sebesar 58.64 termasuk dalam
kategori cukup berkelanjutan. Jika dibandingkan dengan nilai keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat multidimensi maka angka pada hasil analisis pada
dimensi lingkungan tidak jauh berbeda namun dibawah dari nilai keberlanjutan
dimensisosial.Hal ini mengindikasikan bahwa secara sosial perkebunan kelapa
sawit rakyat lebih baik dibanding secara lingkungan.
Pada penelitian ini berdasarkan analisis leverage untuk melihat faktor utama
yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi lingkungan 3 dari 10 atribut yang
sensitif mempengaruhi adalah (1) pencemaran lingkungan; (2) penerapan teknis
budidaya dan pengangkutan; (3) kesesuian lahan dan agroklimat. Dengan
39

demikian untuk memenuhi keberlanjutan dimensi lingkungan atribut-atribut


tersebut perlu diperhatikan dan dikelola dengan baik dapat dilihat pada Gambar 13.

60 Up
penggunaan… 3.020
penggunaan… 2.802
40
perizinan dan… 3.299
Other Distingishing Features

20 keberadaan… 3.093
Bad Good pencemaran… 6.009

Attribute
0 penerapan… 5.713
0 20 40 60 80 100 120 Luas lahan… 3.343
-20
Kesesuaian… 3.494
-40 Kerusakan… 2.640
0 2 4 6 8
-60 Down
Root Mean Square Change % in
-80 Ordination when Selected Attribute
Fisheries Status Removed (on Status scale 0 to 100)

Gambar 13 Indeks keberlanjutan dan indikator kunci dimensi lingkungan

Indikator kunci yang mempengaruhi keberlanjutan perkebunan kelapa sawit


pada penelitian ini adalah pencemaran lingkungan. Pada penelitian ini jenis
pencemaran lingkungan yang disoroti adalah yang kerap terjadi pada perkebunan
rakyat antara lainseperti pembuangan limbah cair yang dilakukan tidak
memperhatikan status pencemaran aliran sungai penggunaan pupuk yang tidak
sesuai rekomendasi dan pada satu wilayah gambut tidak memperhatikan teknis
budidaya pada daerah gambut. Sesuai penelitian Utami (2017) menyatakan bahwa
di Kabupaten Tanjabtim Provinsi Jambi ekspansi perkebunan kelapa sawit
memiliki dampak positif dan negatif. Berdasarkan persepsi masyarakat ekspansi
perkebunan kelapa sawit walaupun secara ekonomi meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat namun pada perkebunan kelapa sawit dapat
mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan berupa berkurangnya
kuantitas air tanah pencemaran air dan berkurangnya populasi satwa dibandingkan
dengan kondisi sebelum adanya ekspansi perkebunan kelapa sawit sedangkan
untuk eksternal akibat limbah cair industri pengolahan CPO sudah
diinternalisasikan dengan membuat instalasi pengolahan air limbah (IPAL) namun
kondisi saat ini kapasitas IPAL mulai menurun akibatnya limbah cair tidak dapat
tertampung dan meluap ke sungai yang mengakibatkan kembali terjadi
eksternalitas. Maka perlu adanya regulasi yang mumpuni kepada masyarakat
tetang pentingnya menjaga kelesatarian lingkungan dalam usaha perkebunan
kelapa sawit rakyat.
Indikator kunci lainnya adalah penerapan teknis budidaya dan pengangkutan
serta kesesuaian lahan dengan agroklimat. Penerpan teknis budidaya yang
dimaksudkan adalah segala aspek pada teknis budidaya dan pengangkutan
berkelanjutan yang digunakan oleh petani. Teknis budidaya yang dilakukan petani
beragam disetiap lokasi penelitian. Penilaian pada penelitian ini dilakuakn
berdasarkan wawancara pada petani tentang teknis budidaya dari pembibitan
hingga pemanenan. Item teknis budidaya yang rentan pada kategori keberlanjutan
40

adalah perawatan dan pemupukan karena dibeberapa daerah masih melakukan


pembakaran sisa gulma dalam skala kecil dan membuang sisa bahan kimia
sembarangan. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan petani tentang teknis
budidaya yang baik dan benar. Sementara dengan atribut kesesuaian lahan dengan
agroklimat adalah di beberapa tempat petani sudah memperhatikan kesesuaian
lahan namun di beberapa titik lainnya petani bahkan tidak mengetahui jenis lahan
dan iklim seperti apa yang dimiliki oleh petani daerah tersebut. Sehingga memang
sudah sangat penting petani diberikan pemahaman yang tentang budidaya
keberlanjutan perkebunan kelapa sawit.

Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Dimensi Kelembagaan


Keberlanjutan dimensi kelembagaan merupakan kemampuan integrasi
kelompok pada perkebunan kelapa sawit rakyat dalam menjalankan fungsi
kelembagaan untuk memudahkan aktivitas usaha perkebunan. Indikator yang
terdapat pada dimensi kelembagaan sebanyak 10, disusun berdasarkan indikator-
indikator kelembagaan berdasarkan wawancara pakar dan penelitian terdahulu.
Atribut pada dimensi kelembagaan antara lain:

1. Rumah tangga pertanian yang mendaptkan penyuluhan pertanian


Berdasarkan wawancara kepada dinas perkebunan provinsi jambi bahwa
setidaknya terdapat dua kali dalam setahun petani kelapa sawit swadaya
mendapatkan penyuluhan tentang good agricultural practisies.
2. Keikutsertaan pada kelompok tani
Petani kelapa sawit harus memiliki kelompok tani agar terintegrasi dan
memudahkan pendataan. ISPO (2015) indikator kelompok tani antara lain;
tersedia tanda buktu petani masuk kelompok tani dan koperasi tersedia
dokumen pembentukan dan susunan pengurus kelompok tani tersedia
dokumen kegiatan operasional petani dan kelompok tani tersedia laporan
kegiatan kelompok tani yang terdokumntasi.
3. Keikut sertaan pada gabungan kelompok tani
Setelah bergabung pada kelompok tani maka petani berkesempatan membuat
gapoktan apabila kondisi dan jumlah petani terpenuhi.
4. Kemampuan modal kelompok tani
Kelompok tani harus menjadi lembaga simpan/pinjam petani.
5. Aksesibilitas kelompok tani ke perbankan
Kelompok tani yang terintegrasi sebaiknya mampu juga mengakses
perbankan sebagai sumber modal.
6. Penyuluhan dari perusahaan tentang usahatani kelapa sawit
Apabila petani bermitra maka perusahaan juga menjadi badan penyuluh bagi
petani.
7. Kemampuan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) melayani kebutuhan petani
Peran LKM sangatlah dibutuhkan bagi petani swadaya untuk penjamin
sumber modal.
8. Akses petani ke sumber teknologi
Akses petani dilihat dari teknologi yang digunakan dalam usahataninya dan
kemampuan mengakses teknologi yang tersedia.
41

9. Peran koperasi pada usahatai kelapa sawit


Keberadaan koperasi dibutuhkan sebagai lembaga yang
menaungi akses keuangan petani. ISPO (2015) indikator
koperasiantara lain; tersedia tanda bukti petani masuk koperasi
tersedia dokumen pembentukan dan susunan pengurus koperasi
tersedia dokumen kegiatan operasional petani dan kelompok tani
tersedia laporan kegiatan koperasi yang terdokumntasi.
10. Pencattan penerapan SPPL (surat pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan)
Kepemilikan SPPL pada perkebunan kelapa sawit diatur dalam UU 32/2009
tentang PPLH.

Nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat dimensi


kelembagaan berdasarkan hasil analisis sebesar 4 640 termasuk dlam kategori
kurang berkelanjutan. Nilai keberlanjutan terendah dibandingkan dengan nilai
kebrlanjutan multi dimensi maupun dimensi (Gambar 14). Kelembagaan
merupakan faktor penting pada sektor pertanian.Adanya kelembagaan dapat
memangkas biaya transaksi dan memudahkan penerapan teknologi. Menurut
(Bunch 1991 dalam Anantayu 2009) kelembagaan pada pertanian berguna untuk
memberikan keberlanjutan pada usaha dan penerapan teknologimenyiapkan
masyarakat agar mampu bersaing secara ekonomi terbuka. Berdasarkan analisis
leverage dapat diketahui bahwa atribut yang berpengaruh sensitif terhadap
keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi adalah (1) akses
petani ke sumber teknologi; (2) kemampuan LKM melayani kebutuhan petani; (3)
kemampuan modal kelompok tani.

60 Up
pencatatan dan… 2.326
Other Distingishing Features

40 peran koperasi… 3.450


akses petani ke… 7.726
20 kemampuan… 6.414
Bad
Attribute

Good penyuluhan dari… 3.951


0 aksesibilitas… 3.902
0 20 40 60 80 100 120
kemampuan… 4.516
-20 keikutertaan pada… 3.012
keikutsertaan… 3.157
-40 rumah tangga… 4.329

-60 Down 0 Change % in Ordination


Root Mean Square 5 when 10
Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to
skala sustainability 100)

Gambar 14 Indeks keberlanjutan dan indikator kunci dimensi kelembagaan

Peran kelembagaan dibutuhkan oleh petani untuk kemudahan akses dan


bantuan. Pemerintah dan swasta dilibatkan dalam peran kelembagaan kepada
petani. Berdasarkan hasil penelitian ini dimensi kelembagaan pada perkebunan
kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi masuk dalam kategori kurang berkelanjutan
artinya dimensi kelembagaan kurang berfungsi pada daerah penelitian ini dan
apabila dibiarkan seperti kondisi saat ini maka akan berbahaya bagi keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat.
42

Indikator kunci mempengaruhi keberlanjutan perkebuna kelapa sawit rakyat


dimensi kelembagaan adalah akses petani ke sumber teknologi. Atribut ini
meliputi jarak antara lokasi kebun dan sumber teknologi sarana infrastruktur dan
sarana mobilitas petani. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa akses petani
ke sumber teknologi belum dapat dikatakan baik karena para petani masih
mengeluhkan masalah ruas jalan yang rusak yang membuat jarak tempuh ke
sumber teknologi semakin jauh. Serta ketidakmampuan kelompok tani dan
pemerintah setempat menampung aspirasi petani terkait hal tersebut membuat
permasalahan ini sulit diatasi.
Kemampuan lembaga keuangan mikro (LKM) melayani kebutuhan petani
dan kemampuan modal kelompok tani juga termasuk atribut yang sensitif
mempengaruhi keberlanjutan dimensi kelembagaan. Pada daerah penelitian
permasalahan LKM beragam. Antara LKM dan kelompok tani juga saling
memiliki keterkaitan dalam penyediaan layanan keuangan atau modal. KUD yang
diharapkan mampu menjadi sarana simpan pinjam dalam kenyataannya hanya
sebagai sarana pinjam dan sulit untuk pengembalian sehingga para pengurus dan
pemerintah menjadi kewalahan dalam mengatasi masalah ini. Kelompok tani
sudah menajalankan tugasnya dengan baik ada beberapa yang kurang aktif namun
masih saling membutuhkan karena aktivitas perkebunan (pemanenan peraatan dan
pemupukan) membutuhkan kelompok tani unutk mengatur jadwal dan
pengangkutan. Namun kelompok tani tidak bisa menjadi saran penjamin modal
kepada pihak perbankan ataupun KUD. Peran kelompok tani dari segi keuangan
kepada pengajuan modal kepada pemerintah seperti bantuan modal peremajaan
yang sedang berlangsung antara kelompok tani di Sungai Bahar dan pemerintah
melalui BPDPKS. Untuk meningkatkan peran kelambagaan pada perkebunan
kelapa sawit rakyat yang sensitif untuk keberlanjutan adalah peran pemerintah dan
LKM dari segi keuangan atau jaminan modal.

Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Dimensi Teknologi


Keberlanjutan dimensi teknologi merupakan penggunaan dan adopsi
teknologi pada perkebunan kelapa sawit rakyat untuk mempermudah usaha
perkebunan. Dimensi teknologi disusun atas 10 atribut yang berasal dari indikator
keberlanjutan oleh lembaga keberlanjutan maupun penelitian terdahulu. Atribut
dimensi teknologi antara lain:

1. Sistem usahatani pertanian


Sistem usahatani perkebunan kelapa sawit yang ada di provinsi jambi
anatara lain konservasi lahan gambut dan lahan mineral. Penggunaannya
diatur oleh undang-undang dan acuannya terdapat pada RSPO (2018).
2. Penggunaan benih unggul bermutu dan bersertifikat
PPKS (2002) penggunaan benih unggul bersertifikat meningkatkan 20 -
30 persen produksi daripada benih biasa.
3. Mekanisme pengolahan tanah
ISPO (2015) petani melaksanakan penanaman yang sesuai pedoman
teknis budidaya kelapa sawit terbaik (GAP). Panduan teknis penanaman;
realisasi luas areal penanaman pengaturan jumlah tanaman sesuai dengan
43

kondisi lapangan dan praktek perkebunan yang baik pembuatan terasering


untuk lahan miring.
4. Jarak tanam
Jarak tanam sesuai rekomendasi PPKS (2013) adalah 8 - 10 meter
sesuai jenis lahan.
5. Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi
Penggunaan pupuk sesuai aturan tepat jenis tepat cara tepat waktu dan
tempat sesuai anjuran penggunaan pupuk.
6. Waktu dan cara pemberian pupuk
Menurut Pahan (2007) waktu dan frekuensi pemupukan dipengaruhi
oleh iklim terutama curah hujan sifat fisik tanahpengadaan pupuk serta
adanya sifat sinergis dan antagonis antar unsur hara.Pemupukan dapat diserap
secara maksimal oleh tanaman apabila curah hujan 100 - 250 mm bulan-
1
.Kondisi ini menunjukan tanah cukup basah tetapi belum jenuhsehingga
memudahkan terserapnya unsur hara oleh tanaman. PPKS (2005) menyatakan
curah hujan minimum untuk pemupukan yaitu 60 mm bulan-1 dan curah hujan
maksimum 300 mm bulan-1.
7. Penyiangan
Penyiangan dilakukan 2 - 4 bulan dilakukan dengan kimia maupun
manual sesua kondisi lahan.
8. Waktu dan cara panen
ISPO (2015) mengatur cara pemanenan dengan indikator buah yang dipanen
adalah buah matang panen dan dilakukan pada waktu yang tepat sesuai
pedoman teknis panen tersedia catatan waktu dan lokasi pelaksanaan
pemanenan. Kriteria penetapan matang panen adalah kurang matang (12.5 –
60 persen bauh luar membrondol) buah berwarna kemerahan matang 1 (25
persen – 60 persen buah luar membrondol) buah berwarna merah mengkilat
matang 2 (50 – 75 persen buah luar membrondol) buah berwarna orange.
9. Pengelolaan OPT
Pengendalian OPT ISPO (2015) pengendalian OPT dilakukan dengan
pengendalian hama terpadu (PHT) yaitu melalui teknik budidaya kebersighan
kebun penggunaan musuh alami (parasitoid predator dan agen hayati) secara
mekanis OPT lainnya (parasitoid predator agensia hayati feromon dll).
Tersedia sarana pengendalian sesuai petunjuk teknis tersedia tenaga (regu)
pngendali yang sudah terlatih tersedia ruang penyimpangan alat dan bahan
kimia pengendalian OPT.
10. Penerapan teknologi lahan dan air
RSPO (2018) petani tidak menngunakam pestisida seperti paraquat. Zona
penyangga tepian sungai dilindungi dan dikelola untuk meminimalkan resiko
erosi dari bahan kimia.

Nilai keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi dimensi


teknlogi pada penelitian ini adalah 59.02 termasuk dalam kategori cukup
berkelanjutan. Nilai keberlanjutan dimensi keberlanjutan tidak berbeda jauh dari
nilai keberlanjutan multi dimensi. Hasil analisis leverage (Gambar 15) dapat
dilihat bahwa indikator kunci yang paling mempengaruhi keberlanjutan pada
dimensi teknologi adalah (1) mekanisme pengelolaan tanah; (2) jarak tanam; (3)
44

penggunaan pupuk sesuai rekomendasi. Maka untuk meningkatkan keberlanjutan


dimensi teknologi atribut-atribut tersebut perlu diperhatikan.

60 Up
penerapan teknologi… 1.557
pengelolaan organisme… 2.128
Other Distingishing Features

40
waktu dan cara panen 3.185
penyiangan 3.077

Attribute
20
waktu dan cara… 3.491
Bad Good
penggunaan pupuk… 4.101
0
jarak tanam 4.211
0 20 40 60 80 100 120
mekanisme pengolahan… 4.578
-20
penggunaan benih… 2.193
sistem usaha tani… 3.240
-40
0 % in Ordination when
Root Mean Square Change 5
-60 Down Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to
skala sustainability 100)

Gambar 15 Indeks keberlanjutan dan indikator kunci dimensi teknologi

Dimensi teknologi pada penelitian ini terfokus pada agribisnis hulu


perkebunan kelapa sawit yakni perkebbunan rakyat maka sentuhan teknologi pada
perkebunan rakyat tidak banyak berubah ataupun berevolusi. Namun berdasarkan
analisis leverage mekanisme pengelolaan tanah termasuk dalam atribut yang
sensitif mempengaruhi keberlanjutan dimensi teknologi. Pada daerah penelitian
mekanisme pengelolaan tanah baik pembukaan dan persiapan lahan hingga
peremajaan masih menggunakan cara tradisional petani belum mampu mengakses
teknologi untuk pengelolaan tanah akibat kurang persiapan modal yang tidak
sedikit.
Atribut lainnya adalah penggunaan bibit unggul dan jarak tanam. Pada
penelitian ini masih banyak petani yang belum meggunakan bibit unggul
bersertifikat terutama untuk tanaman lama. Petani masih merasa terbebani dengan
harga bibit unggul bersertifikat dan memilih menggunakan bibit yang disemai
sendiri. Pada atribut jarak tanam masih banyak petani yang belum mengetahui
kesesuaian jarak tanam bedasarkan jenis lahan sehingga sering menganggu
tumbuh kembang tanaman yang mempengaruhi produksinya.

Analisis Keberlanjutan Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat


Tersertifikasi dan Non-sertfikasi

Perkebunan kelapa sawit berdasarkan sistem usahatani terdiri plasma yang


bermitra dengan perusahaan dan swadaya yang bebas tidak terikat dengan
lembaga. Lestari et al. (2015) meyatakan bagwa terdapat perbedaan pendapatan
praktek budidaya produktivitas antara petani swadaya dan plasma yang
menentukan kemampuan petani untuk memenuhi standar yang ditetapkan RSPO
maupun ISPO dalam proses sertifikasi. Petani plasma memiliki pendapatam
produktivitas lahan dan praktik budidaya yang lebih baik dibanding petani plasma.
Hal ini karena secara akses informasi akses input akses finansial dan akses pasar
petani swadaya terbatas dibanding petani plasma yang didukung oleh perusahaan.
45

Perkebunan kelapa sawit rakyat yang sudah tersertifikasi berkelanjutan


RSPO di Provinsi Jambi yakni pada Gabungan Kelompok Tani Tanjung Sehati
(GTS) di Kabupaten Merangin untuk melihat perbedaan berdasarkan karakteristik
tersebut maka penelitian ini juga menganalisis keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit rakyat dengantiga karakter berdasarkan perkebunan rakyat tersertifikasi
perkebunan rakyat bermitra dan perkebunan rakyat non-mitra. Perbedaan profil
ketiga karakter tersebut disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Profil usahatani perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi


Penggu-
Luas Umur Penggunaan
Produktivitas lahan Keuntungan naan
Petani lahan tanaman pupuk sesuai
(ton/ha/tahun) (juta/ha/tahun) benih
(Ha) (Tahun) rekomendasi
unggul
Non-
Sertifikasi 17.33 19.44 1.89 16 Belum Sesuai
mitra

Non-
14.82 18.88 3.38 22 Bervariasi Bervariasi
Non-sertifikasi mitra
Mitra 16.29 14.41 2.3 18 Unggul Bervariasi

Rata-rata produktivitas dan keuntungan petani tersertifikasi lebih tinggi


dibanding petani non-mitra dan mitra. Luas lahan yang dikelola petani non-mitra
lebih luas dibanding petani mitra dan petani sertifikasi. Penggunaan benih unggul
diterapkan oleh petani mitra namun untuk petani sertifikasi belum memggunakan
dan sebagian menggunakan pada petani non mitra. Produktivitas petani mitra
rendah padahal menggunakan benih unggul akibat dari sebagian lahan yang
digunakan adalah lahan gambut yang sulit diakses walaupun perusahaan telah
memiliki legalitas penggunaan namun hal ini masih menjadi hambatan bagi
produktivitas. Hasil penelitian Lee (2013) di beberapa wilayah di Sumatera
menunjukkan produksi perkebunan kelapa sawit pekebun swadaya umur 5 – 9
tahun rata-rata 1 482 ton TBS/ha/tahun sedangkan produktivitas pekebun plasma
178 ton TBS/ha/ tahun. Untuk tanaman usia 9 – 17 tahunproduktivitas pekebun
swadaya hanya 159 ton TBS/ha/tahun sedangkan pekebun plasma 221 ton
TBS/ha/ tahun.Pengetahuan pekebun yang rendah tentang tanaman kelapa sawit
menyebabkan perkebunan kelapa sawit dikelola dengan praktik-praktik budi daya
yang kurang baik. Namun terbatasnya akses pekebun swadaya pada berbagai
sumber daya seperti akses informasi input financial dan pasar dapat juga
memengaruhi kinerja usaha pekebun kelapa sawit pola swadaya (Molenaar et al
2010 dalam Hutabarat 2017).
Analisis keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat dengan teknik
ordinasi Rap-Palmoil melalui metode MDS selain menilai indeks dan status
perkebunan kelapa sawit rakyat secara multidimensi dan juga masing-masing
dimensi. Metode ini juga dapat mengindentifikasi indikator kunci yang
berpengaruh terhadap indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat
masing-masing dimensi melalui analisis leverage. Hasil analisis RAPPO dan
leverage pada setiap daerah adalah sebagai berikut.
46

Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Tersertifikasi


Gabungan kelompok tani tanjung sehati (GTS) merupakan perkebunan
kelapa sawit rakyat yang sudah memiliki sertifikat RSPO sejak Tahun 2015.
Beranggotakan 214 petani dengan luas 316.57 hektar perkebunan kelapa sawit
GTS mampu menjadi perkebunan rakyat pertama yang mampu mendapatkan
sertifikat RSPO di Provinsi Jambi. GTS berada di desa Mekar Jaya Kecamatan
Tabir Selatan Kabupaten Merangin. Desa Mekar Jaya merupakan desa satu dari 8
desa yang ada di Kecamatan Tabir Selatan berbatasan dengan Tabir Ilir (selatan)
Bungo Tanjung (selatan) Kecamatan Margo (barat)Kab Tebo (timur) berjarak 15
Km ke pusat ibu kota kecamatan dan 44 km ke pusat ibukota kabupaten
merupakan desa terjauh kepusat perkotaan dibanding 7 desa lainnya. Luas desa
Mekar Jaya yakni 9.50 Km2 dengan jumlah penduduk 1797 Jiwa. Lahan pertanian
di Kecamatan Tabir Selatan di dominasi oleh perkebunan sawit sebesar 66 persen
(BPS 2018).
Hasil analisis Rap-Palmoil menggunakan MDS secara mult dimensi
dengan menggabungkan lima dimensi secara keseluruhan pada 48 atribut. Hasil
analisis ordinasi pada daerah tersertifikasi menunjukkan hasil 60.909 secara multi
dimensi dan termasuk dalam kategori “cukup berkelanjutan”. Angka tersebut
menggambarkan bahwa seluruh kegiatan usahatani yang digambarkan oleh
atribut-atribut tersebut dilaksanakan secara cukup berkelanjutan di daerah
tersertifikasi.
Pada analisis masing-masing dimensi nilai keberlanjutan pada daerah
tersertifikasi menghasilkan nilai yang beragam. Nilai indeks keberlanjutan mula
dari 54.571 (kelembagaan) 54.994 (ekonomi) 62.196 (sosial) 64.491 (teknologi)
dan 71.566 (lingkungan). Status keberlanjutan berdasarkan nilai indeks ordinasi
seluruh dimensi termasuk dalam kategori “cukup berkelanjutan”.

Tabel 10 Nilai keberlanjutan dan parameter statistik MDS perkebunan kelapa


sawit rakyat tersertifikasi

Dimensi Nilai MDS Monte carlo Perbedaan S-Stress R2

Ekonomi 54.994 56.326 1.332 0.207 0.923


Sosial 62.196 63.177 0.981 0.193 0.934
Lingkungan 71.566 72.564 0.998 0.139 0.960
Kelembagaan 54.571 55.593 1.022 0.136 0.953
Teknologi 64.491 65.480 0.989 0.178 0.946

Nilai keberlanjutan pada dimensi lingkungan tertinggi dan nilai


keberlanjutan dimensi kelembagaan sebagai nilai terendah.Nilai keberlanjutan
menggambarkan proyeksi keberlanjutan dimensi tersebut pada daerah
tersertifikasi maka dapat dikatakan bahwa dimensi lingkungan termasuk sebagai
dimensi yang paling berkelanjutan dibanding dengan dimensi lainnya. Analisis
leverage digunakan untuk mengukur atribut yang paling sensitif mempengaruhi
pada suatu dimensi. Pada model ordinasi MDS Rap-Palmpoil nilai leverage
dihasilkan oleh analisis jarak dari nilai yang diharapkan pada nilai yang
sesungguhnya sehingga menghasilkan atribut-atribut yang jaraknya paling sensitif
mempengaruhi. Hasil analisis leverage pada keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit rakyat tersertifikasi pada masing-masing dapat dilihat pada Tabel 11.
47

Tabel 11 Hasil analisis leverage pada perkebunan kelapa sawit rakyat tersertifikasi
Dimensi Atribut sensitive Nilai RMS
Ekonomi 1. Kesimbangan distribusi keuntungan 3.589
2. Kemudahan akses informasi harga 3.432
3. Status pendapatan PKS bagi rumahtangga 3.102
Sosial 1. Akses pendidikan 3.371
2. Akses kesehatan 3.307
3. Komitmen terhadap traceability 2.942
Lingkungan 1. Pencemaran lingkungan 6.569
2. Penerapan teknis budidaya dan pengangkutan 5.704
3. Luas lahan yang dikelola 5.659
Kelembagaan 1. Peran koperasi 5.018
2. Kemampuan LKM 4.797
3. Akses petani ke sumber teknologi 4.207
Teknologi 1. Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi 4.734
2. Penggunaan benih unggul bersertifikat 4.630
3. Mekanisme pengolahan tanah 4.004

Nilai RMS merupakan angka hasil perhitungan jarak antara angka harapan
dan aktual dimana nlainya berkisar 2 – 6 persen (Fauzi, 2019). Berdasarkan
analisa jarak melalui angka RMS dapat dilihat bahwa semakin besar nilai RMS
maka semakin besar pengaruh indikator tersebut terhadap keberlanjutan. Terdapat
tiga atribut yang paling sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada masing-masing
dimensi.Indikator kunci merupakan atribut kunci pada suatu dimensi dimana
untuk meningkatkan keberlanjutan pada suatu dimensi maka indikator kunci
dianggap mampu menjadi atribut yang paling menentukan. Dimensi kelembagaan
merupakan dimensi yang memiliki nilai indeks keberlanjutan terkecil diantara
dimensi lainnya maka untuk meningkatkan keberlanjutan dimensi kelembagaan di
daerah tersertifikasi dapat dilakukan dengan memperhatikan atribut berikut; peran
koperasi pada usahatanikemampuan lembaga keuangan mikro (LKM) dan akses
petani ke sumber teknologi.

Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Non-Sertifikasi


Hasil analisis Rap-Palmoil menggunakan MDS secara mulidimensi pada
perkebunan kelapa sawir rakyat yang non-sertifikasi menunjukkan hasil 53.109
dan termasuk dalam kategori “cukup berkelanjutan”. Angka tersebut
menggambarkan bahwa seluruh kegiatan usahatani yang digambarkan oleh
atribut-atribut tersebut dilaksanakan secara cukup berkelanjutan di daerah
tersertifikasi.
Nilai keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat non-sertifikasi pada
multidimensi berada pada kategori cukup berkalnjutan. Analisis ordinasi juga
dilakukan pada masing-masing dimensi, nilai keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit rakyat non-sertifikasi pada masing-masing dimensi beragam yaitu berada
pada nilai 42.147 – 63.635 dan keseluruhan berada pada kategori “cukup
berkelanjutan”. Pada Tabel 12 juga terdapat parameter statistik pengukuran
keberlajutan, nilai s-stress > 0.25 dan perbedaan nilai MDS dan monte carlo
hingga nilai R2 sudah memenuhi kriteria statistik.
48

Tabel 12 Nilai keberlanjutan dan parameter statistik MDS perkebunan kelapa


sawit rakyat non-sertifikasi
Dimensi Nilai MDS Monte carlo Perbedaan S-Stress R2

Ekonomi 51.172 52.403 1.231 0.216 0.892


Sosial 63.635 64.623 0.988 0.225 0.897
Lingkungan 48.516 49.494 0.978 0.205 0.895
Kelembagaan 42.147 43.024 0.877 0.144 0.945
Teknologi 52.087 52.566 0.479 0.234 0.864

Nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat pada masing-


masing menghasilkan nilai beragam berada pada kategori kurang dan cukup
berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan tertinggi pada dimensi sosial (63.635),
teknologi (52.087), ekonomi (51.172) masuk dalam kategori “cukup berkelanjutan”
sedangkan nilai indeks pada dimensi lingkungan (48.516), dimensi kelembagaan
(42.147) masuk pada kategori “kurang berkelanjutan”.

Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Non-Sertifikasi Non-Mitra


Perkebunan kelapa sawit non-mitra yang dipilih pada penelitian ini adalah
perkebunan kelapa sawit rakyat yang berada pada Kecamatan Sungai Bahar
sebagai desa perkebunan kelapa sawit rakyat eks pemerintahan transmigrasi
sekaligus sebagai perkebunan rakyat tertua di Provinsi Jambi. Perkebunan kelapa
sawit menyebar luas di sepanjang desa di kecamatan sungai bahar namun dalam
penelitian ini desa sampel dipilih adalah Desa Mekar Sari makmur sebagai
wilayah administratif masyarakat pemilik perkebunan kelapa sawit terbanyak.
Menurut data BPS (2018) luas wilayah Kecamatan Sungai Bahar adalah 20
770.80 km2 dengan jumlah penduduk 27 445 jiwa. Desa mekar sari makmur
merupakan desa yang dekat dengan wilayah ibukota kecamatan dengan jarak 4
Km membuat kemudahan akses bagi warga desa terutama petani perkebunan
kelapa sawit. Kondisi pertanian di kematan bahar berdasarkan luas lahan
didominasi oleh perkebunan kelapa sawit sekitar 15 000 Ha atau 33 persen dari
total luas lahan pertanian dan 75 persen dari luas lahan perkebunan. Berdasarkan
data tersebut dapat dilihat bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan komoditas
perkebunan utama di Kecamatan Bahar.
Hasil analis Rap-Palmoil menggunakan MDS indeks keberlanjutan secara
multi dimensi di Kecamatan Sungai Bahar sebagai daerah non-mitra perkebunan
kelapa sawit menunjukkan angka 39.639 dan berdasarkan kategori keberlanjutan
termasuk dalam status keberlanjutan “kurang berkelanjutan”. Nilai keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit pada daerah yang tidak bermitra relatif kecil
menggambarkan bahwa kurang memperhatikan aspek keberlanjutan.
Nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Kecamatan
Sungai Bahar berdasarkan analisis ordinasi MDS Rap-Palmoil bervariasi mulai
dari 30.038 – 62.897. Nilai indeks keberlanjutan berurutan mulai terkecil dimensi
kelembagaan (30.038) ekonomi (39.639) lingkungan (48.413) teknologi (48.558)
dan sosial (62.897). Nilai parameter statistik pada setiap dimensi melalui nilai
perbedaan nilaimontecarlonilai s-stressdan nilai R2 sudah memenuhi kariteria
parameter statistik maka model ordinasi indeks keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit Kecamatan Sungai Bahar dapat digunakan sebagai parameter keberlanjutan
(Tabel 13).
49

Tabel 13 Nilai keberlanjutan dan parameter statistik MDS non-sertifikasi non-


mitra

Dimensi Nilai MDS Monte carlo Perbedaan S-Stress R2

Ekonomi 39.639 40.636 0.997 0.224 0.890


Sosial 62.897 63.786 0.889 0.185 0.921
Lingkungan 48.413 49.167 0.754 0.171 0.941
Kelembagaan 30.038 31.040 1.002 0.132 0.957
Teknologi 48.558 49.434 0.876 0.238 0.892

Analisis leverage digunakan untuk mengukur atribut yang paling sensitif


mempengaruhi pada suatu dimensi. Pada model ordinasi MDS RAPPO nilai
leverage dihasilkan oleh analisis jarak dari nilai yang diharapkan pada nilai yang
sesungguhnya sehingga menghasilkan atribut-atribut yang jaraknya paling sensitif
mempengaruhi. Hasil analisis leverage pada keberlanjutan perkebunan kelapa
sawit rakyat di Kecamatan sungai bahar pada masing-masing dapat dilihat pada
Tabel 14.

Tabel 14 Hasil analasis leverage pada daerah non-mitra


Dimensi Indikator kunci (nilai RMS) Nilai RMS
Ekonomi 1. Kemudahan akses informasi harga 3.660
2. Penyerapan tenaga kerja 2.708
3. Keseimbangan distribusi keuntungan 2.591
Sosial 1. Komitmen terhadap traceability 4.867
2. HAM dan hak pekerja 4.018
3. Penyelesaian konflik sengketa lahan 3.840
Lingkungan 1. Perizinan dan legalitas lingkungan 3.870
2. Kerusakan hutan atau pembakaran hutan 3.795
3. Luas lahan yang dikelola 2.590
Kelembagaan 1. Akses petani ke sumber teknologi 7.269
2. Peran koperasi 5.462
3. Penyuluhan 5.200
Teknologi 1. Penggunaan pupuk 3.186
2. Jarak tanam 3.149
3. Penggunaan benih unggul 1.812

Nilai RMS merupakan angka hasil perhitungan jarak antara angka harapan
dan aktual dimana nlainya berkisar 2 – 6 persen (Fauzi, 2019). Indikator kunci
merupakan atribut kunci pada suatu dimensi dimana untuk meningkatkan
keberlanjutan pada suatu dimensi maka indikator kunci dianggap mampu menjadi
atribut yang paling menentukan. Dimensi kelembagaan merupakan dimensi yang
memiliki nilai indeks keberlanjutan terkecil diantara dimensi lainnya maka untuk
meningkatkan keberlanjutan dimensi kelembagaan di daerah non-mitra dapat
dilakukan dengan memperhatikan atribut berikut; akses petani ke sumber
teknologi peran koperasi dan penyuluhan.
50

Perkebunan Kelapa Sawit RakyatNon-Sertifikasi Mitra


Perkebunan kelapa sawit rakyat bermitra yang dipilih adalah yang bermitra
dengan Perusahaan XYZ terletak pada dua desa yakni Desa Arang-Arang pada
Kecamatan Kumpeh Ulu dan Desa Parit Kecamatan Sungai Gelam Kabupaten
Muaro Jambi. PT XYZ merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
perkebunan dang pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton TBS perjam
dan berstatus PMDN (Statistik Perkebunan Jambi 2017). Kemitraan perkebunan
dilakukan kepada masyarakat sejak pemindahan aset usaha dari perusahaan pada
Tahun namun mulai mengoperasikan pabrik pengolahan TBS pada Tahun 2005.
Lokasi perkebunan dan pabrik yang berada di beberapa wilayah di dua kecamatan
dengan jarak 35 Km dari ibukota provinsi. Masyarakat yang bermitra umumnya
yang berada pada daerah sekitar perkebunan dan memiliki ikatan kemitraan
melalui koperasi sebagai pihak penghubung antara masyarakat dan perusahaan.
Hasil analisis Rap-Palmoil menngunakan MDS pada perkebunan kelapa
sawit rakyat bermitra secara multi dimensi menunjukkan angka 54.905 dan
termasuk pada kategori “cukup berkelanjutan”. Nilai indeks keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat mitra berdasarkan analisis ordinasi MDS Rap-
Palmoil bervariasi mulai antara 47.647 – 60.942. Nilai indeks keberlanjutan
berurutan mulai terkecil dimensi lingkungan (47.647) kelembagaan (53.981)
teknologi (54.794) sosial (56.143) dan ekonomi (60.942) dan seluruh dimensi
masuk dalam kategori berkelanjutan kecuali dimensi lingkungan yaitu masuk
kedalam kategori “kurang berkelanjutan”. Nilai parameter statistik pada setiap
dimensi melalui nilai perbedaan nilaimontecarlo nilai s-stress dan nilai R2 sudah
memenuhi kariteria parameter statistik maka model ordinasi indeks keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit Kecamatan Sungai Bahar dapat digunakan sebagai
parameter keberlanjutan (Tabel 15).

Tabel 15 Nilai keberlanjutan dan parameter statistik MDS non-sertifikasi mitra

Dimensi Nilai MDS Monte carlo Perbedaan S-Stress R2

Ekonomi 60.942 61.905 0.963 0.247 0.942


Sosial 56.143 57.091 0.876 0.247 0.909
Lingkungan 47.647 48.619 0.972 0.229 0.886
Kelembagaan 53.981 54.803 0.822 0.143 0.950
Teknologi 54.794 55.469 0.675 0.208 0.884

Analisis leverage digunakan untuk mengukur atribut yang paling sensitif


mempengaruhi pada suatu dimensi. Pada model ordinasi MDS Rap-Palmpoil nilai
leverage dihasilkan oleh analisis jarak dari nilai yang diharapkan pada nilai yang
sesungguhnya sehingga menghasilkan atribut-atribut yang jaraknya paling sensitif
mempengaruhi. Dimensi lingkungan pada perkebunan kelapa sawit rakyat
bermitra merupakan dimensi yang kurang berkalanjutan. Pada analisis leverage
(Tabel 16) dapat dilihat bahwa faktor sensitif yang mempengaruhi dimensi
lingkungan adalah penggunaan lahan gambut, perizinan dan legalitas lahan, dan
pencemaran lingkungan. Maka untuk meningkatkan keberlanjutan dimensi
lingkungan pada perkebunan kelapa sawit bermitra dapat dilakukan dengan
memperhatikan hal tersebut. Hasil analisis leverage pada keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan sungai bahar pada masing-masing.
51

Tabel 16 Hasil analisis leverage pada daerah mitra


Dimensi Indikator kunci Nilai RMS
Ekonomi 1. Keseimbangan distribusi keuntungan 5.139
2. Keuntungan usahatani kelapa sawit 3.731
3. Akses penjualan TBS 3.337
Sosial 1. Pandangan masyarakat terhadap kelapa sawit 2.661
2. Akses pendidikan 2.214
3. Penyelesaian konflik sengketa lahan 2.200
Lingkungan 1. Penggunaan lahan gambut 3.093
2. Perizinan dan legalitas lahan 2.919
3. Pencemaran lingkungan 2.797
Kelembagaan 1. Aksesibilitas 5.057
2. Kemampuan LKM 4.910
3. Akses petani ke sumber teknologi 4.197
Teknologi 1. Penggunaan pupuk sesuai rekomendasi 4.620
2. Waktu dan cara pemberian pupuk 4.474
3. Jarak tanam 4.304

Nilai RMS merupakan angka hasil perhitungan jarak antara angka harapan
dan aktual dimana nlainya berkisar 2 – 6 persen (Fauzi, 2019). Indikator kunci
merupakan atribut kunci pada suatu dimensi dimana untuk meningkatkan
keberlanjutan pada suatu dimensi maka indikator kunci dianggap mampu menjadi
atribut yang paling menentukan.Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat
pada daerah mitra dapat dilakukan dengan memperhatikan indikator kunci
tersebut.

Keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat tersertifikasi dan non-


sertifikasi Provinsi Jambi

Analisis ordinasi untuk melihat indeks keberlanjutan perkebunan kelapa


sawit rakyat provinsi jambi yang tersertifikasi dan non-sertifikasi dapat dilihat
pada Tabel 17. Secara multidimensi nilai MDS perkebunan kelapa sawit
tersertifikasi lebih tinggi dibanding yang non-tersertifikasi. Secara eknomi nilai
keberlanjutan petani non-sertifikasi mitra lebih tinggi dan non sertifikasi non
mitra yang paling rendah. Nilai keberlanjutan pada dimensi sosial nilai
keberlanjutan reatif sama. Nilai keberlajutan dimensi lingkungan pada perkebunan
tersertifikasi paling tinggi. Pada dimensi kelembagaan nilai keberlanjutan
perkebunan petani non sertifikasi non mitra paling rendah. Pada dimensi teknologi
nilai keberlanjutan petani non sertifikasi non mitra juga paling rendah.

Tabel 17 Indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi


Petani Multdimensi Ekonomi Sosial Lingkungan Kelembagaan Teknologi
Non
Sertifikasi 60.909 54.994 62.196 71.566 54.571 64.491
-mitra
Non-sertifikasi 56.946 51.172 63.605 48.516 42.147 52.087
Non
46.650 39.639 62.897 48.413 30.038 48.558
-mitra
Mitra 54.905 60.942 56.143 47.647 53.981 54.794
52

Nilai indeks keberlanjutan menggambarkan penerapan aspek keberlanjtan


berdasarkan indikator penilaian keberlanjutan. Kondisi yang diharapkan
berdasarkan angka skor dan kondisi aktual berdasarkan data lapangan.
Berdasarkan Tabel 17 secara multidimensi perkebunan tersertifikasi memiliki
angka yang lebih tinggi dibanding perkebunan non-sertifikasi, hal ini disebabkan
oleh penerapan aspek keberlanjutan secara multidimensi lebih baik pada daerah
sertifikasi. Selisih nilai indeks keberlanjutan terbesar terdapat pada dimensi
lingkungan dimana perkebunan tersertifikasi, hal ini disebabkan oleh perlakuan
petani terahadap perkebunan kelapa sawit mereka dari segi lingkungan sudah
lebih memperhatikan aspek keberlanjutan dibanding petani dengan perkebunan
yang tidak tersertifikasi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Nilai indeks keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi


secara multi dimensi adalah 57.79 masuk dalam kategori “cukup berkelanjutan”.
Nilai indeks keberlanjutan masing-masing dimensi berkisar antara 46.60 – 66.83
dimensi berada pada kategori cukup berkelanjutan. Dimensi kelembagaan
memiliki nilai keberlanjutan paling rendah pada kategori kurang berkelanjutan.
Dimensi dengan nilai keberlanjutan tertinggi adalah dimensi sosial. Indikator
kunci mempengaruhi keberlanjutan terdapat 3 pada masing-masing dimensi
sehingga terdapat total 15 indikator kunci mempengaruhi keberlanjutan
perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi.
Keberlanjutan multi dimensi pada perkebunan kelapa sawit tersertifikasi
60.909 dan non-sertifikasi 53.109 masuk dalam kategori „cukup berkelanjutan‟.
Pada perkebunan non-sertifikasi mitra indeks keberlanjutanya yaitu 54.905 dan
termasuk dalam kategori “cukup berkelanjutan” sementara perkebunan non-mitra
39.639 masuk dalam kategori “kurang berkelanjutan”. Nilai keberlanjutan pada
daerah non-mitra nilai terendah dari daerah sertifikasi dan non-sertifikasi mitra.

Saran

Perlu dilakukan upaya peningkatan keberlanjutan perkebunan kelapa


sawit rakyat dengan melihat 15 indikator kunci pada penelitian ini sebagai faktor
penggerak keberlanjutan perkebunan kelapa sawit Provinsi Jambi. Infrastruktur
sarana pendidikan dan kesehatan merupakan hal yang perlu mendapat perhatian
khusus dari pemerintah untuk segera di evaluasi pada daerah pedesaan yang
dihuni oleh petani perkebunan kalapa sawit. Sertifikasi merupakan instrumen
yang tepat untuk meningkatkan fungsi lingkungan dan penjagaannya, namun perlu
bantuan pemerintah maupun swasta untuk petani dapat menjangkau sertifikasi
secara ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA

Alfayanti, Zul E. 2012. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi


kelapa sawit rakyat di Kabupatem Mukomuko. Jurnal Agrisep 12(1): 1-10
Ali S A. 2015. Rapfish analysis to assess the status of the sustainability of capture
fisheries systems in Bone Bay. Makassar [ID]. International journal of
science and research (IJSR). 6(9): 2319-7064
Al-Jaktsa NLN. 2018. Status keberlanjutan pengelolaan perkebunan inti rakyat
kelapa sawit berkelanjutan di Trumon Kabupaten Aceh Selatan [Tesis].
Bogor. Institut Petanian Bogor
Anantayu S. 2009. Partisipasi petani dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan
kelompok petani. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjanan IPB. Bogor
Andriani E. 2017. Analisis sumber pendapatan petani kelapa sawit. Jurnal-
Agrisep. 16(2): 2579-9959
a
[BPS] . Badan Pusat Statistik. 2018. Jambi Dalam Angka. Provinsi Jambi: Badan
Pusat Statistik
b
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Distribusi komoditas perdagangan minyak
goreng Indonesia. Jakarta Pusat: Badan Pusat Statistik
Closs DJ, Speier C, Meacham N. 2011. Sustainability to support end-to-end value
chains: The role of supply chain management. J. of the Acad. Mark. Sci.
39:101–116.
Dahliani L, Maharani D J M. 2018. Palm oil sustainable managemen using mds
model for social dimension. Education And Humanities Research. 231:
2352-5398.
Dale VH, Beyeler SC. 2001. Challenges in the development dan use of ecological
indicators.Ecological Indocators. 1(3):10.
Darmawan D H A. 2015. Update of palm oil industry in Indonesia. Presentation
on ISPO Promotion 12 October 2015. Indonesian Palm Oil Board (IPOB)
The Hague Netherlands.
Daulay AR. 2016. Analisis faktor penyebab alih fungsi lahan sawah menjadi sawit
di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Analisis Kebijakan Pertanian
14(1):1-15
[Ditjenbun]. Direktorat Jendral Perkebunan. 2014. Statistik perkebunan kelapa
sawit indonesia. Sekretariat Direktorat Jendral Perkebunan.
http/ditjenbun.pertanian.go.id
Fauzi A, Anna S. 2005. Pemodelan sumberdaya perikanan kelautan untuk analisis
kebijakan. Penerbit Gramedia Pustaka. Jakarta
Fauzi A. 2004. Ekonomi sumber daya alam dan lingkungan teori dan aplikasi
Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Fauzi Y. 2004. Seri agribisnis kelapa sawit budidaya pemanfaatan hasil dan
limbah analisis usaha dan pemasaran. Edisi Revisi. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Gayatri. 2011. Industri kelapa sawit Indonesia harus siap sertifikasi 2015.
Retrieved from http://www.bumn.go.id/ptpn8/publikasi/industri-kelapa-
sawitindonesia-harus-siap-sertifikasi-2015
Guan CC, Alison M. 2013. Sustainability in the Malaysia palm oil industri.
Cjurnal Cleaner Production 1(7)
54

Hidayanto M. 2010. Peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan untuk


perkebunan kakao rakyat di kawasan perbatasan Kalimantan Timur-
Malaysia [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hutabarat S. 2017. Tantangan keberlanjutan pekebun kelapa sawit rakyat di
kabupaten pelalawan riau dalam perubahan perdagangan global. Jurnal
Masyarakat Indonesia 34(1)
[ISPO]. Indonesian Sustainable Palm Oil. 2015. Prinsip dan kriteria perkebunan
kelapa sawit berkelanjutan Indonesia untuk usaha kebun swadaya. Jakarta
[ID]. ISPO. [diunduh pada 2018 desember 17]. Tersedia pada
http://www.ispoorg.or.id/images/pearturan/LAMPIRAN%20VI%20PC%2
0Swadaya.pdf
Jaya R, Machfud R S, Marimin. 2013. Sustainability analysis for gayo coffee
supply chain. International Journal on Advance Science Engineering
Information Technology. (3):24-28.
Kavanagh P, Pitcher TJ. 2004. Implementing microsoft excel software for rapfish:
a technique for the rapid appraisal of fisheries status. Fisheries Centre
Research Reports.12(2): 3-75.
Kavanagh P. 2001.Rapid appraisal for fisheries project. Rafish software
description for microsoft excel. University Of Britishcolumbia Fisheries
Center Vancouver. 36
Kusbimanto IW, SRP Sitorus, Machfud, PIF Poerwo, M Yani. 2013. Analisis
keberlanjutan pengembangan prasarana transportasi perkotaan di
Metropolitan Mamminasata Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Jalan
Jembatan. 30(1): 1-15.
Kospa HSD. 2016. Konsep perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Jurnal Tekno
Global. 5(1): 2477-6955
Lee J S H. (2013). Oil palm expansion in indonesia assessing livelihood and
environmental impacts from the smallholder sector [Thesis]. ETH Zürich
University Switzerland
Lestari E, Sakti H, Novia Dewi. 2015. Studi komparatif perkebunan kelapa sawit
rakyat pola plasma dan pola swadaya dalam menghadapi sertifikasi rspo
(Studi Kasus Desa Bukit Lembah Subur Kabupaten Pelalawan Provinsi
Riau). Jurnal Sorot 10(1) : 1-142
Lifianthi SO, Desi A. 2013. Strategi alokasi tenaga kerja dan faktor produksi
utama pada perkebunan kelapa sawit di dua tipologi lahan sumatera
selatan untuk peningkatan kemampuan ekonomi keluarga petani. Laporan
penelitian hibah bersaing tahun 2013. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Mantra IB. 2004. Demografi Umum. Penerbit Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Mersyah R. 2005. Desain sistem budidaya sapi potong berkelanjutan untuk
mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan
[Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nediasari D. 2017. Konsumen Indonesia & industri kelapa sawit. Makalah
dipresentasikan pada RSPO General Lecture UNRI 18 Agustus 2017.
RSPO Pekanbaru.
Ngoyo MF. 2015. Mengawal sustainable development goals (SDGs) meluruskan
orientasi pembangunan yang berkeadilan. Jurnal Sosioreligius 1(1)
Nurmalina Ra. 2008. Analisis indeks dan status keberlanjutan sistem ketersediaan
beras di beberapa wilayah Indoneia. Jurnal Agro Ekonomi 26(1): 47-79
55

Nurmalina Rb. 2008.Keberlanjutan sistem ketersediaan beras nasional :pendekatan


teknik ordinasi rap-rice dengan metoda multidimensional scaling (MDS).
Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian 2(2):1978-479
[PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2018. Kontribusi
industri sawit pada SDGS : penghapusan kemiskinan (SDGs-1). Bogor.
Paspi Monitor. 4(38):36/09/2018
Pahan L. 2008. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisnis dari hulu
hingga hilir. Penebar Swadaya.
Persada C S, SRP Marimin, Djakapermana RD. 2014.Determination sustainability
status in urban infrastructure dan policy recommendation for development
case study: Bandar Lampung city indonesia. Civil dan Environmental
Research.6(12): 2225-0514
Pezzey J. 1992. Sustainable development concepts an economic analysis.
Washington D.C. World Bank Environment Paper 2(1): 0-8213-2278-8
[PPKS]. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2013. Prosedur operasional baku
pembibitan kelapa sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit
[RSPO]. Roundtable On Sustainable Palm Oil. 2018. Standar RSPO untuk
srtifikasi dukungan dan keikutsertaan petani. Jakarta [ID]. RSPO.
[diunduh pada 2018 Desember 17]. Tersedia pada
https://www.rspo.org/publication/principe-and-criteria
Rumondang T. 2017. Transforming the market to make sustainable palm oil the
norm. Paper presented at the RSPO general lecture unri 18 Januari 2017.
Pekanbaru: RSPO.
Salikin K. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Saragih WA. 2017. Analisis ketelusuran minyak sawit berkelanjutan
indonesia.[Tesis]. Bogor[ID]. Institut Pertanian Bogor
Sipayung H, Halomoan TL. 2011. Kunci sukses mendapatkan benih sawit unggul.
Yogyakarta [ID]. Lily Publisher
Statistik Perkebunan Provinsi Jambi. 2018. Dinas Perkebunan Provinsi Jambi.
Provinsi Jambi: Dinas Perkebunan
SumartonoE, Melly S, Redy Badrudin AR. Analisis pemasaran tandan buah segar
kelapa sawit di Kecamatan Putrid Hijau Kabupaten Bengkulu. Agraris:
Journal Of Agribusiness And Rural Development Research . 4(1): 4157
Sunarko IR. 2009. Budi daya dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan
sistem kemitraan. Jakarta [ID]. Agromedia Pustaka
Supriadi W. 2013.Perkebunan kelapa sawit dan kesejahteraan masyarakat di
Kabupaten Sambas. Jurnal Ekonomi Daerah. 1(1):1978-7170
Suryana A, Budi W, Daniel RM, Eko SW. 2012. Analisis keberlanjutan rapfish
dalam pengelolaan sumber daya ikan kakap merah (latjanus sp.) di
perairan Tanjungpandan. Bogor [ID]. Buletin PSP 20(1): 0251-286x
Susilo SB. 2003. Keberlanjutan pembangunan pulau-pulau kecil: studi kasus
Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta
[Disertasi]. Institut Pertanian Bogor
Suwdani. 2005. Keberlanjutan usaha tani pola padi sawah-sapi potong terpadu di
Kabupaten Sragen: Pendekatan RAP-CLS [Disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
56

[UN] United Nation. 2015. Transforming Our World: The 2030 Agenda for
Sustainable Development. A/Res/70/1. United Nation.
www.Sustainabledevelopment.un.org
Utami R, Eka IKS, Meti E. 2017. Dampak ekonomi dan lingkungan ekspansi
perkebunan kelapa sawit (studi kasus: Desa Penyabungan Kecamatan
Merlung Kabupaten Tanjung Jabung Barat Jambi). Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia (JIPI). 22(2): 2443-346
Yulistriani M. 2017. Profil alokasi dan pendapatan tenaga kerja pada perkebunan
kelapa sawit rakyat di Kabupaten Solok Selatan. Jurnal Agrisep 16(1):25-
32
Zainal A. 2013. Model pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Sulawesi
Selatan[Disertasi]. Bogor [ID]. Institut Pertanian Bogor.
Zhen L, Rontray JK. 2003. Operational indocators for measuring agricultural
sustainability in developing countries. Environmental Management
32(1):34-36
/$03,5$1
Lampiran 1 Atribut dan kategori keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat Provinsi Jambi

Atribut Dimensi Skor Indikator


No. Kategori Indikator Keberlanjutan Baik Buruk Keterangan
Ekonomi Keberlanjutan

Tinggi; ≥24 Ton TBS/Ha 2 PPKS (2013),Sunarko (2009)


1. Produktivitas perkebunan Sedang; 18 - 20 Ton TBS/Ha 1 Didasarkan pada kemampuan perkebunan
2 0
kelapa sawit kelapa sawit memproduksi
Rendah; ≤ 18 Ton TBS/Ha 0
TBS/Hektar/Tahun.
Tinggi; Rp 40 Jt/Ha/tahun 2 Sipayunget al, (2011)
Keuntungan usaha tani Sedang; Rp 20-40Jt/Ha/Tahun 1 Didasarkan pada keuntungan optimum yang
2. 2 0
kelapa sawit mamopu dihasilkan perkebunan kelapa
Rendah; ≤Rp 20 Jt/Ha/Tahun 0 sawit.
Baik; Mudah karena tidak ada kendala apapun 2 Saragih, (2017)
Cukup; karena penjualan terdapat beberapa kendala 1 Didasarkan kepada kemampuan sarana dan
3. Akses penjualan TBS 2 0
prasarana untuk penjualan TBS dari kebun
Buruk; sulit karena sering kali terdapat kendala 0
ke pabrik yang tidak mengurangi kualitas.
Baik; petani mendapat harga 99 persen dari pabrik 2 Sumartonoet al. (2018)
Keseimbangan distribusi
4. Cukup; petani mendapat harga 95-99 persen dari pabrik 1 2 0 Didasarkan kepada perolehan harga TBS
keuntungan
Buruk; petani mendapat harga <95 persen dari pabrik 0 optimum dari pabrik.
Baik; tersedia informasi variasi di harga pabrik 2 Sumartonoet al. (2018)
Kemudahan akses Cukup; kurang tersedia informasi variasi harga di pabrik 1 Didasarkan pada ketersediaan informasi
5. 2 0
informasi harga harga yang diterima petani pada masing-
Buruk; tidak tersedia informasi harga di pabrik 0
masing pabrik penjualan.
Baik; lebih dari 85 HOK per tahun 2 Alfayanti et al. (2012)
6. Penyerapan
. tenaga kerja Cukup; 85 HOK pertahun 1 2 0 Didasarkan pada penyerapan tenaga kerja
Buruk; kurang dari 85 HOK pertahun 0 yang digunakan petani.
Buruk, selalu berubah berdasarkan perubahan upah riil 2 Didasarkan pada data BPS tentang
Perubahan upah riil
7. . Cukup, terkadang mengikuti perubahan upah riil 1 2 0 perubahan upah riil buruh tani per september
tenaga kerja pertanian
Buruk, tidak mengikuti perubahan upah riil 0 yakni Rp 52.665,00 per hari.
Baik; sebagaisumberpendapatanutama 2
Lifianthi et al. (2013), andriani (2017)
Status pendapatan
Cukup; terdapatsumberpendapatan lain 1 Didasarkan kepada kemampuan perkebunan
8. perkebunan kelapa sawit
2 0 kelapa sawit memenuhi kebutuhan rumah
bagi rumah tangga
Buruk; tidakmenjadisumberpendapatanutama 0 tangga petani.
59
Lanjutan lampiran 1
60

Skor Indikator
No. Atribut Dimensi Sosial Kategori Indikator Keberlanjutan Good Bad Keterangan
Keberlanjutan
Tamat SMP-SMA 2
Didasarkan kepada tingkat pendidikan
1. Tingkat pendidikan petani Tidak tamat SD-Tamat SD 1 2 0
terakhir petani kelapa sawit.
Tidak sekolah 0
15-64 tahun 3 Mantra (2004)
>64 Tahun 2 Didasarkan pada produktivitas petani
2. Rata-rata umur petani 3 0
berdasarkan usia produktif.
0-14 Tahun 1
Baik; tersedia infrastruktur yang lengkap dan terpelihara; 2 ISPO (2015)
Ketersediaan infrastruktur dalam Cukup; tersedia infrastruktur tidak terpelihara dengan baik; 1 Didasarkan kepada pengukuran keadaan
3. 2 0
kegiatan pertanian infrastruktur pada kawasan perkebunan
Buruk; tidak tersedianya infrastruktur. 0
kelapa sawit.
Sangat tertarik. 2 Hidayanto (2010) menggunakan indikator ini
Pandangan
Cukup tertarik 1 untuk mengukur ketertarikan masyarakat
4. masyarakat 2 0
terhadap usaha perkebunan kakao dan pada
terhadap usahatani kelapa sawit Tidak tertarik 0
penelitian ini diadopsi pada kelapa sawit.
Mudah, dapat memeperoleh sarana pendidikan dengan mudah 2 Kospa (2016)
5. Sedang, dapatmemperoleh sarana pendidikanterjangkau 1 Pengukuran aksees pendidikan didasarkan
Akses pendidikan 2 0
pada jarak dan fasilita yang digunakan anak
Sulit, sulitmemperolehsaranapendidikan 0
petani.
Baik, akses kesehatan terpenuhi 2 RSPO (2018)
6. Akses kesehatan Cukup, akses kesehatan kurang terpenuhi 1 2 0 Lokasi perkebunan memiliki akses P3K, air
Buruk. Akses kesehatan tidak terpenuhi 0 minum yang aman, dan akses rumah sakit.
Baik, terbebasdarisengketalahan 2 ISPO (2015)
Penyelesaian konflik sengketa Cukup, terdapat catatan penyelesaian sengketa lahan 1 Apabila terjadi sengketa lahan maka tersedia
7. 2 0
lahan catatan penyelesaian persengatan oleh kedua
Buruk, terdapatsengketalahan 0
belah pihak.
Baik, tersedia 2 RSPO (2018)
8. Komitmen terhadap transparansi Cukup, sebagian tersedia 1 2 0 Pencatatan luas lahan, pemanfaatan lahan,
dan ketelusuran (traceability) Buruk, tidakbersedia 0 hasil panen, dan perawatan.
Baik, melaksanakan HAM dan hak pekerja 1 RSPO (2018)
9. HAM danhakpekerja Cukup, kurang melaksanakan HAM dan hak pekerja 0 2 0 Tidak terdapat pekerja paksa, pemberian
Buruk, tidak melaksanakan HAM dan hak pekerja upah, tidak terdapat pekerja dibawah umur.
Baik, melaksanakan legalitas 2 RSPO (2018)
Legalitas, pengormatan terhadap Cukup, kurang memperhatikan legalitas 1 Pemanfaatan lahan tidak melanggar hukum
10. hak tanah dan kesejahteraan dan hukum adat, diluar disklasifikasi taman
2 0
masyarakat Buruk, tidak mengetahui dan melaksanakan legalitas. 0 nasional, menghormati hak masyarakat
dalam pemanfaatan lahan dan sumber daya.
Lanjutan 2 lampiran 1
Skor Indikator
No. Atribut Dimensi Lingkungan Kategori Indikator Keberlanjutan Good Bad Keterangan
Keberlanjutan
2 RSPO (2018), ISPO
Baik; jika pertumbuhan lahan tidak merusak hutan;
Didasarkan kepada tidak menggunakan api
Kerusakan hutan atau
1. Cukup; jika karena untuk perluasan lahan kadangkala merusak hutan; 1 2 0 dalam membuka lahan, pengelolaan limbah
pembakaran hutan
kimia, tidak menggunakan hutan lindung
Buruk; Jika pertumbuhan dan perluasan lahan merusak hutan. 0

Sangat sesuai 2 RSPO (2018) , ISPO(2017), Sunarko (2009)


Kesesuaian lahan dan
Didasarkan kepada kesesuaian lahan
2. agroklimat untuk tanaman Cukup sesuai 1 2 0
perkebunan dengan keadaan iklim oleh
kelapasawit
Tidak sesuai 0 BPS.
10-25Ha 2 RSPO, (2018)
Luas lahan tanaman 5-10 Ha 1 Didasarkan pada luas lahan perkebunan
3. 3 0
Kelapasawit yang dikelola kelapa sawit yang dikelola petani.
<5 Ha 0

Baik; karena sudah melakukan butir-butir teknis budidaya sesuai GAP 2 ISPO, (2015)
Cukup; sebagian melakukan teknis budidaya dan tidak ada Didasarkan kepada ketersediaan catatan
Penerapan teknis budidaya dan 1
4. pelanggaran hukum 2 0 jumlah pengangkutan TBS dan alat
pengangkutan kelapa sawit
transportasi yang tidak merusak kawasan
Buruk; yaitu melakukan teknis budidaya tidak sesuai GAP 0
hutan dan sungai.
Baik; memperhatikan aspek lingkungan 2 Sipayunget al, (2011)
Cukup; sedikit memperhatikan aspek lingkungan 1 Didasarkan kepada penggunaan bahan
5. Pencemaran Lingkungan 2 0
kimia tidak membahyakan, zona penyangga
Buruk; tidak memperhatikan aspek lingkungan
tepian sungai, konservasi lahan terasering.
Baik; terdapat LCC 0 Fauziet al, (2012)
6. Keberadaan tanaman penutup / Cukup; terdapat sebgaian LCC 2 0 Didasarkan kepada penggunaan tanaman
Land Cover Crop (LCC) 2 penutup pada tanaman kelapa sawit usia 1-4
Buruk; tidak terdapat LCC 1
tahun.
Baik; terdapat legalitas 0 Lubiset al. (2012)
7. Perizinan dan legalitas Kuran; legalitas sedangdiurus 2 2 0 Didasarkan kepada bukti kepemilikan lahan
lingkungan dan legal terhaap pemakaian lahan untuk
Buruk; tidakterdapatlegalitas 1
kelapa sawit.
Baik; tidak menggunakan lahan gambut 0
Sedang; menggunakan lahan gambut dan memperhatikan kesesuaian ISPO (2017)
2 2
8. Penggunaan lahan gambut lahan pada usahatani Didasarkan kepada ketentua penggunaan
0
Buruk; menggunakan lahan gambut dan tidak memperhatikan dan pengolahan lahan gambut
1
kesesuaian lahan
Baik; tidak menggunakan hutan konversi 0 ISPO, RSPO (2017)
Penggunaan konversi lahan Sedang; menggunakan hutan konversi berizin 2 0 Didasarkan pada penggunaan hutan
9.
hutan 2 konversi untuk tanaman kelapa sawit
Buruk; menggunakan hutan konversi tanpa izin 1
61
Lanjutan 3 lampiran 1
62

Atribut Dimensi Skor Indikator


No Kategori Indikator Keberlanjutan Good Bad Keterangan
Kelembagaan Keberlanjutan
Baik; selalu mengikuti penyuluhan pertanian 2 ISPO (2015)
Rumah tangga pertanian
Cukup; terkadang mengikuti penyuluhan pertanian 1 Didasarkan pada rumah tangga yang
1. yang mendapatkan 2 0
mendapat penyuluhan pertanian oleh
penyuluhan pertanian Buruk; tidak mengikuti penyuluhan pertanian 0
pemerintah/swasta.
Baik; mengikuti dan aktif pada kegiatan kelompok tani 2 ISPO (2015)
Keikut sertaan pada
2. Cukup; mengikuti kegiatan kelompok tani 1 2 0 Didasarkan pada keikutsertaan pada
kelompok tani
Buruk; tidak mengikuti kegiatan kelompok tani 0 kelompok tani.
Keikutsertaan pada Baik; mengikuti dan aktif pada kegiatan gapoktan 2 ISPO (2015)
3. gabungan kelompok Cukup; mengikuti kegiatan gapoktan 1 2 0 Didasarkan pada keikutsertaan pada
tani Buruk; tidak mengikuti kegiatan gapoktan 0 gapoktan.
Kemampuan modal Baik; memiliki akses modal dari kelompok tani 2 ISPO (2015)
4. kelompok tani Cukup; kurang memiliki akses modal dari kelompok tani 1 2 0 Didasarkan pada kemampuan kelompok
Buruk; tidak memiliki akses modal dari kelompok tani 0 tani menyediakan modal usaha.
Baik; memiliki akses ke perbankan 2
Aksesibilitas kelompok Didasarkan kepada akses perbankan yang
5. Cukup; kurang memiliki akses ke perbankan 1 2 0
tani ke perbankan diterima petani dari kelompok tani.
Buruk; tidak memiliki akses ke perbankan 0
Baik; terdapat penyuluhan dari perusahaan dan aktif mengikuti 2 Didasarkan pada ketersediaan dan
Penyuluhan dari
6. Cukup; terdapat penyuluhan namun kurang aktif 1 2 0 keikutsertaan petani pada penyuluhan dari
perusahaan
Buruk; tidak terdapat penyuluhan dari perusahaan 0 perusahaan minumal 2 kali setahun.
Kemampuan LKM Baik; terdapat LKM dan aktif 2 Didasarkan pada ketersediaan LKM dan
7. melayani kebutuhan Cukup; terdapat LKM namun kurang aktif 1 2 0 kemapuan LKM melayani kebutuhan
petani perkebunan Buruk; tidak terdapat LKM 0 petani.
Baik; tersedia akses dengan baik 2 Didasarkan pada sarana dan prasarana
Akses petani ke sumber Cukup; kurang tersedia 1 petani mengakses teknologi meliputi
8. 2 0
teknologi angkutan, jalan, dan ketersediaan alat dan
Buruk; tidak tersedia 0
bahan.
Baik; koperasi aktif menjadi wadah simpan pinjam 2 ISPO (2015)
Peran koperasi pada Cukup; koperasi kurang aktif 1 Didasarkan kepada bukti petani masuk
9. 2 0
usahatani kelapa sawit koperasi, tersedia dokumen kegiatan,
Buruk; tidak terdapat peran koperasi 0
tersedia laporan kegiatan koperasi.
Pencatatan penerapan Baik; terdapat SPPL 2
SPPL (surat Cukup; dalam proses pengurusan SPPL 1
10. 2 0 Didasarkan pada kepemilikan SPPL dalam
pengelolaan dan
Buruk; tidak terdapat SPPL 0 pengelolaan perkebunan kelapa sawit.
pemanfatan lingkungan)
Lanjutan 4 lampiran 1
Skor Indikator
No Atribut Dimensi Teknologi Kategori Indikator Keberlanjutan Good Bad Keterangan
Keberlanjutan
Baik; tidak terdapat pelanggaran peraturan 2
Berdasarkan wawancara pakar: dinas
1. Sistem usahatani perkebunan Cukup; pernah terdapat pelanggaran peraturan 1 2 0
perkebunan Provinsi Jambi
Buruk; terdapat pelanggaran 0
Baik; menggunakanbibitsertifikat 100 persen 2 Kariyasa, (2015)
Penggunaan benih unggul
2. Cukup; menggunakanbibitunggulsebagian 1 2 0 Didasarkan pada penggunaan benih unggul
bermutu dan bersertifikat
Buruk; tidak menggunakan bibit unggul 0 bersertifikat.
Baik; pengolahan sesuai jenis tanah 2 ISPO (2015)
Cukup; pengolahan tanah tidak melanggar aturan 1 Didasarkan pada realisasi las aral
3. Mekanisme pengolahan tanah 2 0
penanaman, jumlah tanaman disesuaikan
Buruk; terdapat pel;amggaran pengolahan tanah 0
dengan kondisi lahan, pembuatan terasering.
Baik; jarak tanam sesuai lahan keseluruhan 2 PPKS (2013)
Cukup; kesesuaian jarak tanam dan lahan sebagian 1 Berdasarkan pedomsan teknis budidaya yakni
4. 2 0 0,8 – 1 meter untuk lahan datar dan gambut,
Jarak tanam
Buruk; tidak sesuai antara lahan dan jarak tanam 0 6 – 12 meter potomgan teras untuk lahan
miring.
Baik; selalu sesuai rekomendasi 2 Pahan (2007)
Penggunaan pupuk sesuai Cukup; kurang sesuai rekomendasi 1 Didasarkan kepada pemberian pupuk
5. 2 0
rekomendasi berdasarkan tepat dosis, jenis, cara, dan
Buruk; tidak sesuai rekomendasi 0
waktu.
Baik; selalu sesuai rekomendasi 2 Pahan (2007)
Waktu dan cara pemberian Cukup; kurang sesuai rekomendasi 1 Didasarkan pada pemberian pupuk optimum
6. 2 0
pupuk 6 bulan sekali dilaksanakan berdasarkan
Buruk; tidak sesuai rekomendasi 0
keadaan curah hujan.
Baik; selalu sesuai rekomendasi 2
Berdasarkan wawancara pakar: perusahaan
7. Penyiangan Cukup; kurang sesuai rekomendasi 1 2 0
perkebunan kelapa sawit
Buruk; tidak sesuai rekomendasi 0
Baik; selalu sesuai rekomendasi 2 ISPO (2015)
Cukup; kurang sesuai rekomendasi 1 Waktu panem memperhatikan kriteria
matang TBS kurang matang (12.5% - 60%
bauh luar membrondol) buah berwarna
8. 2 0
Waktu dan cara panen kemerahan matang 1 (25% - 60% buah luar
Buruk; tidak sesuai rekomendasi 0
membrondol) buah berwarna merah
mengkilat matang 2 (50% - 75% buah luar
membrondol) buag berwarna orange.
Baik; selalu sesuai rekomendasi 2
Pengelolaan organisme Berdasarkan wawancara pakar: perusahaan
9. Cukup; kurang sesuai rekomendasi 1 2 0
penganggu tanaman (OPT) perkebunan kelapa sawit
Buruk; tidak sesuai rekomendasi 0
Baik; selalu memperhatikan konservasi air dan lahan 2 RSPO (2018)
Penerapan teknologi Cukup; terkadang memperhatikam konservasi air dan lahan 1 Didasarkan pada tidak menggunakan
10. 2 0
konservasi lahan dan air pestisida berbahaya, pembuatan penyangga
Buruk; tidak terdapat konservasi air dan lahan 0
tepian sungai.
63

Anda mungkin juga menyukai