Anda di halaman 1dari 31

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

HEMOFILIA

Disusun Oleh:

Maranatha

00000001969

Pembimbing:

Dr. Dina Garniasih, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE RUMAH SAKIT UMUM SILOAM

FAKULTAS KEOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

TANGERANG

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 1


BAB I................................................................................................................................ 3
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 3
BAB II .............................................................................................................................. 4
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................... 4
2.1. Mekanisme Hemostasis ......................................................................................... 4
2.2. Definisi Hemofilia ................................................................................................. 6
2.3. Epidemiologi Hemofilia ........................................................................................ 6
2.4. Sifat Genetik Hemofilia ......................................................................................... 7
2.5. Patofisiologi Hemofilia .......................................................................................... 8
2.6.Klasifikasi Hemofilia .............................................................................................. 8
2.7. Manifestasi Klinis Hemofilia ................................................................................. 9
2.8. Diagnosis Hemofilia ............................................................................................ 12
2.9. Pendekatan Diagnosis dan Diagnosis Banding Hemofilia................................... 14
2.10. Tatalaksana dan Pengobatan Hemofilia .............. Error! Bookmark not defined.
2.11. Komplikasi dan Penanganan Komplikasi Hemofilia ......................................... 26
2.12. Prognosis Hemofilia .......................................................................................... 28
BAB III ........................................................................................................................... 29
KESIMPULAN .............................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 30

2
BAB I

PENDAHULUAN

Pada keadaan normal apabila seseorang mengalami trauma pada pembuluh


darah, maka sistem pembekuan darah akan bekerja dengan mengaktifasi faktor-faktor
koagulasi secara beruntun sehingga dapat terbentuk sumbat trombosit yang stabil.
Apabila salah satu faktor itu gagal berfungsi baik atau jumlahnya berkurang, maka
sumbat trombosit yang terbentuk menjadi tidak stabil sehingga perdarahan dapat
berlangsung lama.1 Salah satu contoh penyakit akibat defisiensi faktor koagulasi adalah
hemofilia.1-3

Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara


x-linked recessive pada hemofilia A dan B, serta secara autosomal resesif pada
hemofilia C.1,3,4 Hemofilia A dan B merupakan yang tersering dan manifestasi klinis
yang lebih buruk. Hemofilia C sering terjadi pada ras Yahudi Ashkanazi dengan angka
kejadian sangat rendah.10 Pada makalah ini pembahasan difokuskan pada hemofilia A
dan B.

Secara umum insiden hemofilia di populasi hanya 0.09% dimana 85% nya
merupakan hemofilia A. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan mengenai seluruh ras
dan budaya.1,4,5 Hemofilia dapat menimbulkan berbagai masalah serius sejak kelahiran
hingga dewasa. Pendekatan diagnosis dan tatalaksana awal sangat penting untuk
mencegah terjadinya komplikasi seperti kerusakan sendi, masalah kardiovaskuler, dan
infeksi yang dapat menyebabkan cacat bahkan kematian.1,19

Walaupun penyakit ini sudah dikenal cukup lama di Indonesia, namun hingga
saat ini masih banyak kendala mulai dari penegakan diagnosis, ketersediaan terapi,
pencegahan komplikasi, dan pemberian dukungan suportif bagi penderita hemofilia. Di
negara maju pemberian terapi profilaksis faktor pembekuan pengganti dan terapi di
rumah telah menjadi pilar utama dalam penanganan hemofilia dimana hal tersebut
terbukti efektif mengurangi mortalitas dan morbiditas penyakit ini.18,19 Maka dari itu
pemahaman mengenai hemofilia beserta diagnosis dan tatalaksanya perlu ditingkatkan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Mekanisme Hemostasis


Hemostasis adalah proses aktif pembekuan darah yang bersifat lokal pada daerah
terjadinya luka di pembuluh darah. Beberapa komponen yang penting dalam sistem
hemostasis adalah dinding pembuluh darah, trombosit, protein koagulasi, protein
antikoagulan, dan mekanisme fibrinolisis.1 Hemostasis terbagi atas primer dan
sekunder. Hemostasis primer berlangsung cepat setelah terjadinya luka dan melibatkan
pembuluh darah serta trombosit. Hemostasis sekunder melibatkan trombosit dan faktor
koagulasi.1,2

Pembuluh darah dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang utuh memiliki sifat anti-
koagulan dengan menghasilkan inhibitor agregrasi trombosit dan inhibitor pembekuan
darah. Jika terdapat suatu rangsangan atau luka, endotel akan bersifat prokoagulan dan
mengalami vasokonstriksi lokal. Faktor-faktor koagulasi seperti tromboplastin, faktor
Von Willenbrand, inhibitor protein C, dan inhibitor plasminogen tipe I akan teraktivasi.
Jaringan ikat kolagen, elastin, dan membran basal akan terbuka dan mengaktifasi adhesi
trombosit.1,2

Trombosit selanjutnya akan terpapar dengan protein-protein prokoagulan pada


membran basalis dan mengalami aktivasi. Trombosit yang teraktifasi dapat berikatan
dengan jaringan ikat pada lapisan subendotel melalui interaksi antara reseptor
glikoprotein pada trombosit dengan protein subendotel terutama faktor Von
Willenbrand. Berbagai senyawa yang terdapat dalam granul sitoplasma trombosit akan
terlepaskan dan menstimulasi agregrasi trombosit lebih lanjut agar dapat menghasilkan
sumbat trombosit yang stabil. Pada permukaan trombosit akan terjadi aktifasi membran
fosfolipid yang memfasilitasi reaksi kompleks protein koagulasi. Reaksi ini terjadi
secara berurutan membentuk suatu kaskade koagulasi.1,2

Proses pembekuan darah merupakan suatu reaksi enzimatik yang melibatkan


protein plasma faktor-faktor pembekuan darah, fosfolipid, dan ion kalsium. Faktor-
faktor pembekuan beredar dalam darah sebagai prekusor dan akan berubah menjadi

4
enzim apabila diaktifkan. Proses pembekuan darah dimulai dari dua jalur yaitu jalur
intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik dicetuskan oleh kontak faktor-faktor pembekuan
dengan permukaan asing yang bermuatan negatif. Jalur ini melibatkan faktor XII, XI,
IX, VIII, high-molecular-weight kininogen (HMKW), prekallikrein (PK), fosfolipid,
dan ion kalsium. Jalur ekstrinsik dicetuskan oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan
faktor VII, serta ion kalsium. Kedua jalur ini akan bergabung menjadi jalur bersama
yang melibatkan faktor X, V, PF-3, protrombin, dan fibrinogen. Hasil dari reaksi ini
adalah terjadinya pembentukan trombin yang akan mengubah fibrinogen menjadi
benang-benang fibrin. Trombin juga akan mengaktifasi faktor V, VIII, dan XI. Faktor
XI yang teraktivasi akan meningkatkan aktivitas trombin dan menginhibisi fibrinolisis.
Fibrin sebagai hasil akhir dari proses pembekuan darah akan menstabilkan sumbatan
trombosit.1,2

Pada proses pembekuan darah ada mekanisme kontrol untuk mencegah aktifasi
dan pemakaian protein-protein pro-koagulan secara berlebihan. Empat protein anti-
koagulan yang penting adalah antitrombin-III (AT-III), protein C, protein S, dan tissue
factor pathway inhibitor (TFPI). AT-III meregulasi faktor Xa, trombin, IXa, dan XIIa.
Protein C memiliki sifat proteolisis terhadap faktor Va dan VIIIa. TFPI meregulasi
tissue factor (TF) dan membatasi aktivasi faktor X. Dalam darah, faktor VIII yang tidak
teraktifasi berikatan dengan VWF dan terlindungi dari inaktifasi protein C. Ketika
trombin dan faktor Xa mengaktifasi faktor VIIIa, faktor tersebut akan terlepas dari
VWF. Bersamaan dengan faktor IXa, faktor VIIIa akan mengaktifasi faktor X dengan
adanya bantuan ion kalsium dan fosfolipid.1,2

Sistem fibrinosilis bekerja sesaat setelah terbentuknya bekuan fibrin. Fibrin


merangsang aktifasi plasminogen menjadi plasmin oleh aktifator plasminogen seperti
tissue plasminogen activator (t-PA), urukinase plasminogen activator (u-PA), faktor
XIIa, dan kallikerin. Fibrin akan dipecah oleh plasmin dan menghasilkan fibrin
degeneration product (FDP). Untuk menghindari aktifasi plasmin yang berlebihan,
tubuh memiliki mekanisme kontrol berupa inhibitor aktifator plasminogen (PAI-I).
Inhibitor tersebut akan menginaktifasi t-PA, u-PA, dan alfa 2 anti-plasmin sehingga
plasmin yang terinaktivasi akan masuk kembali ke sirkulasi.2

5
Gambar 2.1. Kaskade koagulasi2

2.2. Definisi Hemofilia

Hemofilia merupakan penyakit kelainan faal koagulasi yang bersifat herediter.


Ada tiga tipe hemofilia yaitu hemofilia A, B, dan C. Hemofilia disebabkan oleh
defisiensi faktor-faktor yang berperan dalam kaskade koagulasi yaitu faktor VIII pada
hemofilia A, faktor IX pada hemofilia B, dan faktor XI pada hemofilia C. Dalam
makalah ini pembahasan lebih ditekankan kepada hemofilia A dan B. Hemofilia A dan
B diturunkan secara X-linked recessive.3 Hemofilia A sering disebut sebagai classic
hemophilia sedangkan hemofilia B disebut juga christmas disease.4 Pada sepertiga
kasus tidak ditemukan riwayat hemofilia dalam keturunan dan penyakitnya disebabkan
oleh mutasi genetik baru.3,6

2.3. Epidemiologi Hemofilia


Menurut World Federation of Hemophilia (WFH), saat ini diperkirakan terdapat
sekitar 400.000 kejadian hemofilia di seluruh dunia dan 85% nya merupakan hemofilia
A. Insiden hemofilia A adalah 1:5.000-10.000 penduduk laki-laki lahir hidup,
sedangkan hemofilia B 1: 30.000-50.000 penduduk laki-laki lahir hidup.3,5 Menurut data
Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) tahun 2011, jumlah pasien
hemofilia yang terdaftar di Indonesia mencapai 1.388 jiwa. Jumlah ini meningkat
dibandingkan data yang diambil pada tahun 2007 yaitu 1.130 jiwa. Diperkiraan jumlah
penderita hemofilia sesungguhnya di Indonesia mencapai kurang lebih 20.000 jiwa.5
Hemofilia menyerang seluruh ras dan etnis di dunia. Menurut WFH 43% populasi
tersebar di negara India, Banglades, Indonesia, dan Cina.2 Hemofilia lebih banyak

6
menyerang laki-laki dibandingkan perempuan dengan manifestasi penyakit yang lebih
berat.6

2.4. Sifat Genetik Hemofilia


Hemofilia diturunkan secara X-linked recessive. Gen faktor VIII terletak pada
lengan panjang kromosom X terdiri atas 26 exons dan 186.000 pasang basa. Gen faktor
IX terletak di dekat ujung lengan kromosom X dan memiliki 8 exons.6 Gen tersebut
berfungsi mengatur produksi dan sintese faktor VIII/IX. Jika terjadi mutasi sitogenetik
pada gen faktor VIII/IX di kromosom X, faktor-faktor tersebut tidak akan dapat
diproduksi dan akan muncul manifestasi klinis hemofilia. Seorang laki-laki yang
memiliki kelainan pada kromosom X akan mewariskan kromosom Y pada anak laki-
laki dan kromosom X pada anak perempuan-nya. Karena itu anak laki-laki dari ayah
yang menderita hemofilia tidak akan pernah terkena hemofilia, sedangkan anak
perempuan dari ayah yang menderita hemofilia akan menjadi carrier. Seorang
perempuan carier hemofilia yang menikah dengan laki-laki normal memiliki 50%
peluang menurunkan hemofilia pada anak laki-laki dan perempuan-nya, dimana anak
laki-laki akan menderita hemofilia sedangkan anak perempuan nya menjadi carrier 4,6
Seorang anak perempuan dapat menderita hemofilia bila seorang perempuan carrier
hemofilia menikah dengan laki-laki penderita hemofilia dimana hal ini sangat jarang
terjadi.6

Gambar 2.2. Pola Herediter Hemofilia6

Perempuan carrier hemofilia dapat menunjukan gejala perdarahan yang ringan


walaupun hal ini sangat jarang terjadi.7 Kira-kira sepertiga pasien hemofilia tidak
memiliki riwayat penyakit dalam keluarga dan disebabkan oleh mutasi spontan pada
gen orang tersebut. Mutasi yang sering terjadi adalah delesi dan missense (geser). Berat

7
ringan-nya manifestasi klinis penderita hemofilia sangat bergantung pada kelainan
yamg terjadi pada kromosom X.1,6

2.5. Patofisiologi Hemofilia


Penelitian telah membuktikan bahwa jalur aktivasi utama faktor X oleh faktor
VII dan tissue factor adalah melalui aktivasi dari faktor IX. Faktor IX yang teraktivasi
akan membentuk kompleks dengan faktor VIIIa, ion kalsium, dan fosfatdilserin pada
permukaan membran trombosit yang kemudian mengaktivasi faktor X. Selanjutnya
akan terbentuk kompleks protombinase pada trombosit (kalsium, faktor VIIa, IXa, X).1
Faktor VIII dan IX sama-sama dibutuhkan untuk membentuk protombinase kompleks
sehingga gambaran klinis pada hemofilia A dan B hampir sama. Jadi, secara fisiologis
aktivasi faktor X melalui jalur ekstrinsik juga membutuhkan faktor VIII dan IX. Hal ini
dapat menjelaskan manifestasi perdarahan berat yang diakibatkan oleh defisiensi faktor
VIII dan IX. Waktu protombin akan menunjukan hasil yang normal pada hemofilia A
dan B karena mekanisme aktivasi faktor IX oleh faktor VII dan tissue factor hanya
terjadi secara in vivo.1,2
Hemostasis normal memerlukan aktivitas faktor VIII lebih dari 30-40% dan
faktor IX lebih dari 25-30%. Karena pada hemofilia tipe A dan B terdapat defisiensi
faktor VIII dan IX, pembekuan darah akan terhambat akibat penurunan aktifitas
kompleks protombinase. Perdarahan yang paling sering terjadi adalah perdarahan
dalam, berlokasi di otot dan sendi. Kapsul sendi dilapisi oleh sel sinovium yang
diperdarahi oleh banyak pembuluh darah kapiler. Jika kapiler sinovium terluka akan
terjadi perdarahan. Pada orang normal, perdarahan ini akan secara cepat diatasi oleh
mekanisme hemostasis. Dengan adanya defisiensi faktor-fakor koagulasi pada penderita
hemofilia, perdarahan tidak dapat teratasi dengan cepat.1,10 Ketika perdarahan terjadi
pada daerah yang tertutup seperti sendi, akan terjadi mekanisme tampon dimana luka di
pembuluh darah lama-kelamaan akan terbendung. Namun pada luka terbuka,
perdarahan dapat terjadi terus menerus sehingga menyebabkan kehilangan darah dalam
jumlah besar. Pada hemofilia, bekuan darah bersifat rapuh dan perdarahan ulang sering
terjadi pada pasien-pasien yang tidak diobati dengan baik.1,9,10
2.6.Klasifikasi Hemofilia

Derajat keparahan hemofilia diklasifikasikan berdasarkan kadar faktor VIII dan


IX dalam plasma.3,9 Menurut satuan internasional World Health Organization (WHO),

8
1 ml plasma normal mengandung 1 unit faktor VIII atau faktor IX, sehingga 100 ml
plasma normal mempunyai 100 internasional unit (IU/dL) setiap faktor. Kadar faktor
tersebut dinilai berdasarkan persentase aktivitas dimana nilai 100% berarti terdapat 100
IU faktor dalam 100 mL plasma. Kadar hemostasis faktor VIII adalah >30-40% dan
faktor IX >25-30%. Batas ter-rendah kedua faktor tersebut pada orang normal adalah
50%.2
Tabel 2.1. Klasifikasi hemofilia3,4

Klasifikasi Kadar faktor VIII atau IX Gambaran Klinis


Berat < 1% Hemartrosis dan perdarahan spontan
(< 1IU/dL) tanpa adanya penyebab (trauma atau
tindakan operatif). Perdarahan
spontan dapat terjadi pada saat
melakukan aktivitas sehari-hari.
Pada umumnya ditemukan di usia
dini bahkan kurang dari satu tahun,
dapat disertai deformitas sendi dan
kecacatan bila tidak diobati secara
adekuat
Sedang 1-5% Perdarahan spontan jarang terjadi.
(0,01 0,05 IU/ml) Perdarahan sukar atau tidak dapat
berhenti pada trauma atau tindakan
operasi kecil. Biasanya terdeteksi
pada saat ekstraksi gigi atau
sirkumsisi.
Ringan 5-25% Perdarahan spontan jarang terjadi.
(0,05 0,25 IU/ml) Perdarahan terjadi setelah trauma
berat atau setelah operasi besar.

2.7. Manifestasi Klinis Hemofilia


Pada pasien hemofilia perdarahan dapat terjadi dimana saja. Pada bayi baru lahir
perdarahan yang paling sering terjadi adalah perdarahan intrakranial. Perdarahan lain
yang dapat terjadi adalah sefalhematoma, perdarahan pada tempat penyuntikan, tempat
pengambilan darah vena, dan perdarahan sirkumsisi.1,9 Perdarahan intrakramial terjadi
pada 3-4% bayi baru lahir.10 Perdarahan intrakranial dapat terjadi secara spontan atau

9
setelah terjadinya trauma. Faktor resiko terjadinya perdarahan intrakranial pada
bayi baru lahir adalah derajat hemofilia berat, adanya inhibitor, persalinan kala dua yang
memanjang, nuliparitas, penggunaan ekstraktor seperti forsep dan vakum. Perdarahan
dapat segera didiagnosis saat lahir atau baru muncul 1 bulan setelahnya. Lokasi
perdarahan paling sering adalah subdural dan intraserebral. Tanda dan gejalanya adalah
bayi menjadi rewel karena sakit kepala, letargik, lemas, muntah, dan kejang.9,10

Pada balita, manifestasi perdarahan mulai nampak saat anak mulai merangkak,
berdiri, atau berjalan, dimana pada masa itu anak sering mengalami trauma minor akibat
tekanan pada jaringan lunak dari sendi lutut. Perdarahan pada rongga sendi lutut disebut
hemartrosis.1 Pada anak usia 12-36 bulan, perdarahan pada frenulum dan mulut sering
ditemukan. Pada hemofilia derajat ringan hingga sedang, biasanya manifestasi
perdarahan baru muncul saat anak berusia 6 bulan hingga 11 tahun yang disadarai saat
anak tersebut menjalani prosedur ekstrasi gigi. Pada anak perempuan biasanya keluhan
berupa perdarahan menstruasi yang berkepanjangan. Perdarahan pada dahi yang
berbentuk benjolan (goose-eggs) sering menjadi manifestasi klinis yang muncul
pertama kali atau satu-satunya manifestasi yang nampak jelas pada anak-anak dengan
hemofilia derajat ringan dan sedang.1,10,22

A B

Gambar 2.3. A. goose eggs hematoma B. Hemartrosis di sendi lutut10,22

Berdasarkan lokasi perdarahan, dapat dibedakan menjadi lokasi perdarahan yang


serius yaitu perdarahan pada sendi, otot/jaringan lunak, mulut/gusi/hidung, ginjal, dan
lokasi yang mengancam jiwa seperti perdarahan sistem saraf pusat, gastrointestinal,
leher/tenggorokan, serta perdarahan paska trauma berat.9 Hemartrosis memiliki insiden
tertinggi sebesar 70-80% dari semua manifestasi perdarahan pada hemofilia, diikuti
perdarahan pada otot dan jaringan lunak (10-20%), perdarahan mayor lain (5-10%),

10
dan perdarahan pada sistem saraf pusat (<5%). Insiden perdarahan pada sendi
paling sering terjadi di lutut (45%), siku (30%), tumit (15%), bahu (3%), pergelangan
tangan (3%), panggul (2%), dan lain-lain (2%).1,9

Pada anak usia 12-36 bulan ini, hemartrosis paling sering muncul pada sendi
pergelangan kaki karena anak usia ini akan mulai belajar berdiri dan menyeimbangkan
badan sehingga titik tumpu berat lebih besar di sendi-sendi pergelangan kaki.1,10 Pada
anak yang lebih besar, hemartrosis lebih sering muncul pada sendi lutut. Perdarahan
biasanya berlokasi pada satu sendi dan jarang pada banyak sendi sekaligus. Hemartrosis
menimbulkan gejala nyeri dan spasme otot akibat peningkatan tekanan dalam rongga
sinovial. Gejalanya bervariasi berdasarkan usia dimana pada bayi yang belum dapat
berbicara gejala utamanya adalah rewel dan terbatasnya pergerakan atau penggunaan
sendi yang sakit. Pada anak yang lebih dewasa hemartrosis didahului oleh gejala
prodomal berupa kekakuan, kesemutan, rasa hangat dan panas, yang kemudian diikuti
rasa nyeri dan pembengkakan sendi yang memberat secara progresif. Pada pemeriksaan
fisik akan ditemukan keterbatasan gerakan, pembengkakan, nyeri tekan, dan rasa hangat
saat palpasi.1,9-11

Pada otot, perdarahan terjadi pada lokasi yang dalam dan menimbulkan gejala
berupa nyeri saat digerakan serta perasaan tidak enak. Massa hematoma sulit teraba
karena perdarahan terjadi dalam daerah yang tertutup. Otot yang sering terkena adalah
otot illiospoas dan quardisep femoris. Jika perdarahan dibairkan dapat terjadi fibrosis
jaringan otot yang berakibat kontraktur. Selain itu, dapat pula terjadi nekrosis jaringan
sekitar akibat sindroma kompartmen. Pada perdarahan otot illiospoas, gejala berupa rasa
tidak nyaman pada abdomen bagian bawah dan paha atas. Pasien akan berjalan dengan
paha difleksikan dan cenderung berotasi ke arah dalam karena paha nyeri dan sulit
diekstensikan. Pada pemeriksaan fisik ekstensi paha tidak dapat dilakukan namun rotasi
internal dan eksternal normal.1,10

Manifestasi perdarahan pada daerah orofaringeal dapat berupa mimisan,


perdarahan gusi, mukosa mulut, dan hidung. Perdarahan juga sering muncul akibat
trauma minor setelah dilakukan ekstraksi gigi. Batuk dan bersin dapat memicu
perdarahan pada faring posterior dan berpotensi mengganggu jalan nafas. Perdarahan
gastrointestinal bermanifestasi sebagai hematemesis dan melena. Perdarahan pada

11
dinding abdomen menimbulkan gejala nyeri akut abdomen yang mirip dengan penyakit
apendisitis, obstruksi usus, dan intususepsi. Perdarahan pada saluran kemih dapat
berasal dari ginjal atau kandung kemih. Perdarahan ini dapat berlangsung selama
beberapa hari hingga minggu. Bekuan darah dapat menyumbat uretra menimbulkan
gangguan dan nyeri berkemih.1,10

2.8. Diagnosis Hemofilia


Diagnosis hemofilia didapat melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboraturium. Melalui anamnesis dapat diketahui tanda, gejala, dan riwayat
keluarga. Melalui anamnesis saja perdadarahan akibat hemofilia A dan B tidak dapat
dibedakan. Perlu ditanyakan apakah ada riwayat perdarahan masif atau memar berulang
yang muncul baik secara spontan maupun setelah terjadi trauma. Gejala klinis yang
muncul sesuai dengan lokasi perdarahan. Perdarahan yang sering ditemukan adalah
hemartrosis dan lebam berwarna kebiruan pada beberapa bagian tubuh. Hemofilia
derajat ringan atau sedang seringkali baru dapat didiagnosis pada anak yang lebih
dewasa dengan manifestasi tersering berupa perdarahan setelah prosedur pencabutan
gigi dan perdarahan menstruasi yang masif pada anak perempuan yang sudah menarche.
Hemofilia derajat berat akan menimbulkan manifestasi klinis sejak bayi dilahirkan. 1,3,10
Riwayat keluarga sangat penting untuk ditanyakan ketika melakukan anamnesis.
Apabila saudara laki-laki pasien atau saudara laki-laki dari ibu pasien ada yang
menderita hemofilia, seorang ibu diduga sebagai carrier hemofilia.1,6Pada pemeriksaan
fisis dapat ditemukan kelainan sesuai dengan lokasi perdarahan. Pada perdarahan berat
dapat terjadi syok hemoragik dan penurunan kesadaran.3,10

Hemofilia dapat didiagnosis berdasarkan kriteria-kriteria di bawah ini yaitu:4

Kecenderungan terjadinya perdarahan yang sukar berhenti setelah suatu


tindakan, timbulnya kebiruan dan hematoma setelah trauma ringan, terjadinya
hemartrosis.
Riwayat keluarga (sifat pewarisan X-linked recessive).
Masa protombin (PT) normal, tetapi masa tromboplastin partial teraktifasi
(APTT) memanjang.
Pewarisan defisiensi faktor VIII dan IX yang telah dikonfirmasi melalui
pemeriksaan genetik dan pemeriksaan penunjang.

12
2.8.1. Pemeriksaan Laboraturium

Pemeriksaan laboratorium berguna untuk menegakan diagnosis dan


menyingkirkan diagnosis penyakit lain yang memiliki manifestasi perdarahan.
Pemeriksaan skrining awal yang pertama kali dilakukan pada anak yang dicurigai
hemofilia adalah pemeriksaan darah lengkap (hemoglobin, hematokrit, eritrosit,
trombosit, leukosit), hitung trombosit, waktu perdarahan, masa protombin (PT), dan
masa tromboplastin partial teraktifasi (APTT).10-12 Pada penderita hemofilia, hasil
pemeriksaan darah lengkap biasanya normal kecuali bila perdarahan telah berlangsung
dalam waktu lama menyebabkan anemia normositik normokromik. Pada hemofilia akan
terjadi pemanjangan APTT sedangkan PT normal. Dengan kemungkinan seseorang
menderita hemofilia perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa pemeriksaan kadar
faktor VII atau IX. Jika hasil dari pemeriksaan kadar faktor tersebut menunjukan
aktivitas yang menurun maka ini merupakan petunjuk bahwa pasien menderita
hemofilia A atau B.10

Tabel 2.2. Pemeriksaan skrining laboraturium kelainan perdarahan9

Kemungkinan PT APTT BT Hitung trombosit


kondisi

Normal Normal Normal Normal Normal

Hemofilia A atau B Normal Memanjang Normal Normal

VWD Normal Normal atau memanjang Normal atau memanjang Normal atau berkurang

Defek trombosit Normal Normal Normal atau memanjang Normal atau berkurang

Vaskulopati, Normal Normal Normal atau memanjang Normal


kelainan jaringan
ikat, dan kolagen
Trombositopenia Normal Normal Memanjang Berkurang

Pada kasus hemofilia derajat ringan APTT seringkali tidak memanjang karena
APTT dapat menunjukan hasil yang normal dengan kadar faktor pada plasma diatas
15%.9,10 Pada hemofilia berat akan terjadi pemanjangan APTT hingga 2-3 kali diatas
batas normal serta penurunan dan faktor VIII dan IX.6 Pada bayi baru lahir, secara
fisiologis APTT akan sedikit memanjang karena defisiensi faktor-faktor yang
metabolismenya bergantung dengan vitamin K yaitu faktor II, VII, IX, dan X. Stimulus
stres yang terjadi saat proses persalinan dapat meningkatkan kadar faktor VIII sehingga

13
pada pasien dengan hemofilia derajat ringan, APTT dan kadar faktor VIII dapat
terdeteksi normal.7

Jika APTT memanjang, perlu dilakukan pemeriksaan studi koreksi atau mixing
dengan mencampurkan plasma pasien dengan plasma normal dalam perbandingan
50:50. Jika hasil pemeriksaan koreksi menunjukan APTT yang normal, berarti ada
defisiensi faktor koagulasi dalam plasma pasien. Jika pada hasil uji koreksi APTT tetap
memanjang, kemungkinan terdapat zat antikoagulan (inhibitor lupus, antibodi terhadap
faktor VIII dan IX, heparin) dalam plasma pasien.10,11

Diagnosis pasti hemofilia didapat melalui pemeriksaan kadar aktivitas faktor.


Nilai normal kadar aktivitas faktor adalah diatas 50%. Jika hasil dari pemeriksaan kadar
faktor tersebut menunjukan aktivitas dibawah 40% maka ini merupakan petunjuk bahwa
pasien menderita hemofilia A atau B. Diagnosis hemofilia juga dapat dipastikan jika
kadar faktor diatas 40% disertai dengan adanya mutasi pada genetik yang sudah
terkonfirmasi.6,10-12 Kondisi tertentu dapat mengganggu hasil pemeriksaan kadar
aktivitas faktor seperti adanya antikoagulan lupus dan inhibitor faktor. Pemeriksaan
faktor Von Willebrand perlu dilakukan pada pasien dengan defisiensi faktor VIII untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit Von Willebrand.6

Diagnosis prenatal pada ibu carrier hemofilia dimulai dengan menentukan jenis
kelamin janin. Jenis kelamin laki-laki berpotensi tinggi terkena hemofilia. Jika jenis
kelamin janin perempuan, pemeriksaan lebih lanjut tidak perlu dilakukan hingga bayi
lahir. Pemeriksaan invasif saat ini jarang dilakukan karena mempertimbangkan resiko
yang ditimbulkan. Pemeriksaan invasif yang dapat dilakukan adalah amniosintesis atau
pengambilan darah fetus melalui vena umbilikalis menggunakan jarum dengan panduan
ultrasonografi pada usia kehamilan 16 hingga 20 minggu. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah biopsi korion pada usia kemahilan 8-10 minggu.6,10

2.9. Pendekatan Diagnosis dan Diagnosis Banding Hemofilia


Diagnosis banding dari penyakit hemofilia adalah penyakit lain dengan
manifestasi perdarahan. Banyak penyakit yang dapat menyebabkan perdarahan. Dalam
melakukan pendekatan diagnosis harus dilakukan pendekatan dimulai dari anamnesis,
pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang.

14
2.9.1. Anamnesis

Dalam anamnesis yang harus digali adalah usia saat terjadinya onset perdarahan,
jenis kelamin, manifestasi klinis perdarahan, riawayat penyakit sebelumnya, dan riwayat
keluarga.12 Saat anamnesis, pertama perlu ditanyakan karakteristik dan lokasi
perdarahan. Perdarahan dapat dideskripsikan sebagai memar, perdarahan nyata, bintik-
bintik merah yang soliter ataupun menyebar. Perdarahan pada kulit dan mukosa
umumnya disebabkan oleh masalah pada pembuluh darah atau trombosit sedangkan
perdarahan pada jaringan lunak, otot, dan sendi disebabkan oleh masalah sistem
koagulasi.12,13

Tabel 2.3. Manifestasi klinis perdarahan12

Manifestasi klinis Masalah koagulasi Masalah pembuluh darah dan


trombosit
Petekie Jarang terlihat Karakteristik
Ekimosis Sering ukuran besar, jumlah Karakteristik ukuran kecil,
1 atau lebih banyak, tersebar
Hematoma jaringan lunak Karakteristik Jarang
Perdarahan sendi Karakteristik Jarang terlihat
Perdarahan setelah operasi Segera Muncul kemudian
atau trauma
Perdarahan setelah abrasi Jarang Sering dan menetao
ringan
Riwayat perdarahan dalam Sering Jarang
keluarga
Jenis kelamin Didominasi laki-laki Didominasi perempuan

Kelainan perdarahan dapat bersifat kongengital atau didapat. Perdarahan yang


terjadi pada bayi baru lahir seringkali bersifat kongengital dan memiliki manifestasi
yang lebih berat. Perdarahan yang terjadi pada anak-anak dapat bersifat kongengital
ataupun didapat dan memiliki manifestasi yang lebih ringan. Riwayat perdarahan dalam
keluarga perlu ditanyakan dalam anamnesis karena kelainan hemostasis dapat
diturunkan secara X-linked recessive (hemofilia A dan B), autosomal dominan (heredity
hemorrhagic telangiectasia, PvW), dan autosomal resesif (defisiensi faktor VII dan XI).
Riwayat medikamentosa juga harus digali. Obat-obatan yang dapat memicu perdarahan

15
adalah obat anti inflamasi non-steroid, antikoagulan, anti agregrasi platelet, obat-obatan
herbal (jahe, gingko biloba, bawang putih, dll), antibiotik (quinine, quinidine, rifampin,
trimetroprim-sulfametoksasol, dll). Riwayat penyakit dan kondisi medis lain seperti
penyakit hati, ginjal, penyakit jantung bawaan, infeksi, dan malabsorbsi juga perlu
ditanyakan.12,13

Tabel 2.4. Kelainan perdarahan yang didapat14

Penyakit penyebab Masalah hemostasis Penyebab


Sepsis Dissemination intravascular Kerusakan endothelium,
coagulation koagulasi konsumtif
Penyakit hati Defisiensi faktor-faktor Berkurangnya sintesis,
koagulasi peningkatan fibrinolisis,
berkurangnya produksi
antikoagulan alami,
hypercoagulable state,
berkurangnya metabolisme
aktivator plasminogen,
hipersplenisme,
trombositopenia
Penyakit jantung bawaan Trombositopenia Pemendekan usia trombosit,
sianotik gangguan agregrasi trombosit,
abnormalitas fungsi trombosit
Penyakit jantung bawaan Berkurangnya high molecular Konsumsi
asianotik weight VWF
Malabsorbsi Berkurangnya faktor II, VII, Defisiensi vitamin K
IX, X, protein C, protein S

2.9.2. Pemeriksaan fisis

Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan tanda vital untuk mencari tanda-
tanda komplikasi perdarahan masif seperti anemia dan syok hipovolemik. Selanjutnya
perlu dibedakan apakah manifestasi klinis yang muncul merupakan manifestasi dari
kelainan perdarahan atau bukan. Lesi di kulit seperti erupsi obat, eksentema nodosum,
eksentema virus, dan gigitan serangga dapat memiliki gambaran mirip kelainan

16
perdarahan. Manifestasi kelainan perdarahan di kulit dapat berupa petekie, ekimosis,
hematoma, hemartosis, dan perdarahan mukokutaneus.

Petekie berukuran kurang dari 3 mm menandakan perdarahan pembuluh darah


kecil dengan pola distribusi pada area-area tubuh dimana terdapat tekanan vena yang
tinggi seperti daerah kaos kaki, tas ransel, topi, perban, dll. Petekie tidak teraba, tidak
nyeri, dan tidak pucat ketika diberikan tekanan. Munculnya petekie menandakan
gangguan pada sistem hemostasis primer (trombosit dan integritas vaskular). Ekimosis
adalah purpura yang berukuran lebih besar dari 10 mm, kadang menonjol, berwarna
keunguan, dan disebabkan oleh perdarahan subkutan. Pada defisisensi faktor koagulasi
ekimosis berukuran lebih besar dan jumlahnya satu atau lebih.13,14

Pemeriksaan abdomen harus dilakukan untuk melihat adanya splenomegali dan


hepatomegali dimana kelainan ini dapat berhubungan dengan masalah sistemik seperti
leukimia maupun masalah hepatoselular yang mengganggu sintesis faktor-faktor
koagulasi. Selanjutnya harus dilihat lokasi perdarahan apakah terlokalisasi atau tersebar
luas di seluruh permukaan tubuh. Luka memar karena kekerasan fisik pada anak
biasanya berlokalisasi di tulang panjang, leher, dada, dan punggung sedangkan
perdarahan karena masalah koagulasi terletak di tonjolan-tonjolan tulang seperti
prosesus spinosus.13,14

2.9.3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboraturium diperlukan untuk menegakan diagnosis kelainan


perdarahan. Pemeriksaan laboraturium awal adalah pemeriksaan skrining yang berguna
untuk mengetahui ada tidaknya masalah hemostasis dan mengarahkan diagnosis kepada
penyebab masalah tersebut. Pemeriksaan skrining awal ini belum dapat menegakkan
diagnosis. Parameter yang umumnya diperiksa dalam skrining awal adalah PT, APTT,
waktu perdarahan, dan pemeriksaan darah lengkap.1,9,13 Pada hemofilia, hasil
pemeriksaan skrining yang didapatkan adalah pemanjangan APTT sedangkan PT dan
parameter lain normal. Diagnosis banding untuk penyakit perdarahan dengan hasil
pemeriksaan penunjang serupa adalah penyakit von willebrand, defisiensi faktor XI,
lupus anticoagulant, dan pada pasien yang menggunakan heparin. Setelah pemeriksaan
skrining, dilakukan pemeriksaan yang lebih spesifik dimana jenis pemeriksaan yang

17
dipilih diarahkan sesuai dengan dugaan diagnosis yang didapat dari pemeriksaan
skrining.9,13

Gambar 2.4. Pendekatan diagnosis perdarahan mukokutaneous14

2.10. Tatalaksana dan Pengobatan Hemofilia


Penanganan hemofilia harus dilakukan di pusat penanganan yang komprehensif
karena melibatkan beberapa tim seperti ahli hematologi, perawat terlatih, fisioterapis,
dan pekerja sosial. Penanganan hemofilia terdiri dari penanganan umum dan khusus.
Secara umum penanganan ditujuakan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita
hemofilia agar dapat menjalani kehidupan seperti orang normal dengan batasan-batasan
tertentu. Terapi umum yang dapat diberikan adalah konseling, edukasi, dan
mempersiapkan pengetahuan penderita dan keluarga. Penderita dan keluarga harus
diberikan pengetahuan praktis mengenai penyakit hemofilia, pencetus perdarahan,
komplikasi yang dapat timbul, dan cara pencegahannya.9,12 Secara khusus, penanganan
hemofilia ditujukan pada etiologinya yaitu terjadi defisiensi protein koagulasi faktor
VIII ataupun faktor IX. Dalam hal ini terapi pengganti faktor merupakan tatalaksana
yang penting untuk dilakukan.12

18
Pencegahan perlu dilakukan sedini mugkin agar dapat menghindari komplikasi.
Prinsip dari pencegahan adalah menghindari trauma dan hal-hal lain yang dapat memicu
terjadinya perdarahan. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah:

1. Pencegahan pada bayi baru lahir12,16


Pada bayi baru lahir yang dicurigai hemofilia, tidak dianjurkan melakukan
injeksi intramuskular sebelum status koagulasi diketahui. Vaksinasi hepatitis
B diberikan secara subkutan menggunakan jarum berdiameterk kecil
sedangkan pemberian vitamin K diberikan secara oral.
Pemeriksaan darah harus diperoleh dari vena superfisial dan harus diberikan
tekanan sampai perdarahan berhenti.
Prosedur pembedahan seperti sirkumsisi tidak dianjurkan dilakukan pada
bayi penderita hemofilia. Sirkumsisi dapat dilakukan jika diagnosis
hemofilia sudah ditegakkan dengan pertimbangan pemberian profilaksis
terapi pengganti faktor, dan terapi lokal seperti lem fibrin.16
Pada bayi penderita hemofilia yang mengalami trauma lahir, persalinan sulit,
persalinan yang menggunakan alat ekstraksi seperti forsep atau vakum, harus
diwaspadai terjadinya perdarahan intrakranial.
2. Pencegahan pada anak-anak9,12
Orangtua harus menjaga dan menciptakan situasi lingkungan yang aman
bagi anaknya ketika anak bermain dan menjalani aktivitas sehari-hari
sehingga anak tersebut dapat tumbuh layaknya anak normal lainnya.
Aktivitas fisik yang dapat meningkatkan kekuatan otot seperti berenang,
bersepeda, dan mendaki dianjurkan untuk pasien hemofilia. Aktifitas yang
menyebabkan kontak fisik seperti sepak bola, bela diri, gulat, basket, dll
tidak dianjurkan.
Anak-anak dengan hemofilia harus divaksinasi dengan metode subkutan.
Pada anak yang akan melakukan prosedur perawatan seperti pembersihan
karies, ekstraksi , dan operasi gigi, harus berkonsultasi terlebih dahulu
dengan ahli hematologi agar dipertimbangkan untuk diberikan terapi
profilaksis.

19
Penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan perdarahan seperti
NSAID dan aspirin harus dihindari. Analgetik yang aman bila diperlukan
adalah parasetamol dan asetaminofen

2.10.1 Penatalaksanaan Perdarahan Akut

Pada pasien hemofilia dengan perdarahan akut tujuan dari terapi adalah
meningkatkan dengan segera kadar faktor VIII atau IX hingga mencapai level
hemostasis yang aman. Terapi faktor pengganti bergantung pada lokasi perdarahan,
derajat keparahan, dan ada tidaknya luka.16 Langkah pertama apabila terjadi perdarahan
akut adalah RICE yakni imobilisasi (rest), kompres dingin (ice), melakukan
penekanan/pembebatan (compression), dan meninggikan daerah perdarahan (elevation).
Tindakan ini harus segera dilakukan terutama bila jauh dari pusat pengobatan.
Imobilisasi dilakukan dengan mengistirahatkan sendi pada ekstremmitas yang terkena
diatas bantal. Selanjutnya dilakukan kompres dengan air dingin atau es yang dibungkus
handuk lalu diletakan diatas sendi yang terkena selama 5 menit lalu di angkat selama 10
dan kompres lagi selama 5 menit berulang kali dengan jeda 10 menit antara kompres.
Kompres dapat dilakukan selama sendi masih terasa nyeri dan panas. Setelah itu harus
dilakukan kompresi mengunakan perban elastis atau splinting dengan tujuan untuk
mengurangi perdarahan membatasi pergerakan.3,9

Selanjutnya pasien harus segera dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat karena


harus mendapatkan terapi pengganti faktor dalam waktu kurang dari 2 jam sejak onset
perdarahan.12 Setelah tiba di pusat pelayanan kesehatan, pemeriksaan harus dilakukan
dengan dan pemberian terapi pengganti harus dilakukan tanpa menunggu hasil
laboraturium.16

2.10.2 Terapi Pengganti

Tanpa adanya inhibitor, satu unit faktor VIII dapat meningkatkan level plasma
sekitar 2% (0,02 U/ml) dengan waktu paruh 8-12 jam sehingga infus berulang perlu
diberikan sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tingkat aktivitas yang diinginkan.
Sebaliknya, satu unit faktor IX dapat menaikan level plasma sekitar 1% (0,01 U/ml) dan
waktu paruhnya lebih lama dibandingkan faktor VIII yakni dapat mencapai 24 jam

20
sehingga pemberian konsentrat faktor IX tidak sebanyak faktor VIII.1,12,16 Kadar faktor
plasma dan durasi yang dibutuhkan bergantung dari jenis dan lokasi perdarahan:

Tabel 2.5. Kadar faktor plasma dan durasi pemberian yang direkomendasikan jika tidak ada
hambatan sumber daya yang signifikan12

Tabel 2.6. Kadar faktor plasma dan durasi pemberian yang direkomendasikan jika ada
hambatan sumber daya yang signifikan12

21
2.10.3. Terapi Hemofilia A

Terapi konsentrat faktor pengganti dapat diperoleh dari plasma atau dihasilkan
melalui proses rekayasa genetik (konsentrat rekombinan faktor VIII). Konsentrat ini
tersedia dalam bentuk bubuk terliofilisasi dalam botol 250-500 unit yang dapat
dilarutkan sebelum penggunaan. Rekombinan faktor VIII memiliki beberapa
keunggulan yaitu aman dari penularan virus, menimbulkan reaksi antibodi yang lebih
rendah, jarang menimbulkan reaksi alergi, dapat bertahan di suhu ruangan selama 24-48
jam, cocok digunakan untuk terapi di rumah, dan menjanjikan suplai yang tidak
terbatas. Kelemahan dari produk ini adalah harganya yang mahal.1,12,17 Dosis
rekombinan faktor VIII yang diberikan dihitung dengan menggunakan rumus:1,9,12

(kadar yang diinginkan kadar sekarang (%)) x BB (kg)x 0,5

Infus diberikan secara IV lambat dengan kecepatan 100 unit per menit pada anak-anak.9

Kriopresipitat merupakan salah satu modalititas terapi untuk hemofilia A yang


terbuat dari fresh frozen plasma (FFP) yang dibekukan. Terapi ini menjadi pilihan
apabila konsentrat faktor tidak tersedia. Kandungan faktor VIII per kantong
kriopresipitat adalah 60-100 unit (rata-rata 80 unit) dalam volume 30-40 ml. Satu
kantong kriopresipitat/5kg berat badan meningkatkan kadar pada resipien kira-kira 50%
(50 unit/dL).1,12 FFP dapat digunakan apabila konsentrat faktor tidak tersedia. Satu ml
FFP mengandung 1 unit aktivitas faktor VIII. Dosis awal yang diberikan adalah 15-20

22
ml/kg.1,12 Pemberian FFP lebih beresiko menularkan infeksi dibandingkan
kriopresipitat.

Desmopresin (DDAVP: 1-deamino 8-D arginine vasopressin) merupakan analog


sintetik dari vasopresin yang dapat berguna dalam pengobatan pasien hemofilia derajat
ringan dan sedang yang mempunyai aktivitas faktor VIII >5% . Desmopresin tidak
efektif digunakan untuk terapi hemofilia A derajat berat, hemofilia B, dan penyakit von
willenbrand.1,12 Respon terhadap terapi berbeda-beda pada setiap orang dengan rentang
peningkatan level faktor VIII antara 2 hingga 15 kali dari kadar faktor VIII awal. Maka
dari itu nilai dasar faktor VIII pada setiap pasien harus diperiksa terlebih dahulu
sebelum memulai terapi. Obat ini memiliki efek samping takikardia, flushing, tremor,
nyeri kepala bila diberikan terlalu cepat. Efek samping lain yang dapat ditimbulkan
adalah hiponatremia dan trombosis.1,12,16

Terapi antifibrinolitik dapat diberikan pada perdarahan akibat hemofilia ringan


baik sebagai terapi tunggal maupun bersamaan dengan terapi pengganti faktor. Pada
ekstraksi gigi, penggunaan antifibrinolitik terbukti dapat mengurangi kebutuhan
profilaksis faktor VIII.1,18 Antifibrinolitik bekerja dengan menghambat secara
kompetitif aktivasi plasmin dari plasminogen. Antifibrinolitik yang biasa diberikan
adalah asam traneksamat dosis 25 mg/kgBB (peroral) dengan dosis maksimum 1,5 gram
atau 10 mg/kgBB (IV) dengan dosis maksimum 1 gram selama 6 hingga 8 jam. Obat
diberikan selama 2-5 hari sampai proses penyembuhan mukosa sempurna.9,16 Pemberian
antifibrinolitik belum terbukti efektif untuk perdarahan lain selain perdarahan mukosa
dan dikontraindikasikan pada pasien dengan hematuria serta yang menjalani prosedur
pembedahan thorax.1,12,16

2.10.4 Terapi Hemofilia B

Konsentrat faktor IX terbagi dalam 2 kelas, yakni pure coagulation FIX


products dan prothrombin complex concentrates (PCCs).12,16 Produk faktor IX yang
dimurnikan bebas resiko trombosis dan koagulasi intravaskuler disemitana (DIC), yang
dapat terjadi pada pemberian PCCs dosis tinggi. PCCs berisi protrombin dan bentuk
aktif dari faktor VII, IX, dan X. Konsentrat faktor IX murni lebih dianjurkan pada

23
pembedahan, penyakit hepar, terapi dosis tinggi dalam jangka waktu lama, pasien
dengan riwayat trombosis, dan penggunaan bersamaan dengan obat antifibrinolitik.1,12,16

Tiap vial konsentrat faktor IX tersedia dalam dosis yang memiliki rentan antara
300 sampai 1200 unit. Tiap unit faktor IX per kilogram berat badan diinfuskan secara
intravena akan meningkatkan kadar faktor IX plasma kira-kira 1%. Perhitungan dosis
rekombinan faktor IX menggunakan rumus:

Kadar yang diinginkan (%) x BB (kg) x 1,4 : 0,7

Konsentrat faktor IX diberikan secara lambat dengan kecepatan tidak melebihi


100 unit per menit pada anak-anak.9,16

Fresh frozen plasma (FFP) digunakan pada hemofilia B apabila konsentrat


faktor tidak tersedia. Dosis awal yang diberikan adalah 15-20 ml/kgBB. Komplikasi
yang sering terjadi adalah anemia hemolitik.1,9 Agen antifibrinolitik baik sebagai terapi
primer maupun tambahan tidak direkomendasikan pada pasien-pasien hemofilia B yang
telah mendapatkan konsentrat protombin kompleks dosis besar.12,16

Obat analgetik seperti parasetamol dapat digunakan sebagai lini pertama untuk
mengatasi nyeri akut maupun kronik pada penderita hemofilia. Pemberian inhibitor
COX-2 seperti meloxicam dan celecoxib dapat diberikan pada nyeri sendi. Penambahan
kodein dapat diberikan bersamaan dengan parasetamol.12,16

2.10.5 Terapi di Rumah

Terapi di rumah saat ini memungkinkan untuk dilakukan mengingat adanya


ketersediaan konsentrat faktor VIII dan IX yang dapat disimpan di kulkas rumah.
Seorang anak yang menderita hemofilia dapat diberikan penanganan segera begitu
didapati kecurigaan terjadinya perdarahan. Kemajuan terapi ini telah mengurangi angka
kejadian hemartrosis yang menyebabkan deformitas dan kebutuhan perawatan di rumah
sakit. Pasien diajarkan untuk mengenali tanda perdarahan dan komplikasi, menghintung
dosis obat, cara menyimpan dan prosedur pemberian obat, tindakan aseptik, cara
melakukan pungsi vena atau mengakses kateter sentral, pencatatan, dan juga
pembuangan jarum setelah penggunaan.9 Terapi di rumah diawasi oleh pusat perawatan
komprehensif dan dapat dimulai setelah diberikan pendidikan mengenai penyakit serta

24
cara pemberian obat. Alat akses vena sentral dapat membuat terapi injeksi jauh lebih
mudah, namun meningkatkan resiko infeksi lokal dan trombosis.1,12,16

2.10.6. Pembedahan

Faktor pengganti VIII dan IX diberikan untuk persiapan tindakan operatif


dengan dosis yang bergantung pada beratnya perdarahan dan jenis tindakan yang akan
dilakukan. Pengkajian pre-operatif harus meliputi skrining inhibitor. Tindakan operasi
harus dilakukan di pusat yang memiliki fasilitas laboraturium yang adekuat dan dapat
memonitor kadar faktor VIII dan IX secara baik. Prosedur bedah harus didiskusikan
bersama dengan tim yang berpengalaman dalam penanganan hemofilia.9,16

2.10.7. Terapi profilaksis

Terapi profilaksis adalah pemberian faktor pembekuan secara teratur untuk


mencegah terjadinya perdarahan. Saat ini banyak pusat kesehatan di Amerika dan
negara maju lainnya memberikan terapi profilaksis rekombinan faktor VIII dan IX.
Profilaksis sangat efektif dalam mengurangi kejadian perdarahan dan komplikasi kronis
seperti arthropati pada penderita hemofilia.1,18 Berdasarkan panduan World Federation
of Hemophilia, profilaksis dibagi menjadi:

Profilaksis primer: Diberikan pada pasien yang belum mengalami manifestasi


perdarahan namun beresiko tinggi dimana kadar faktor VIII dan IX dibawah 1%.
Pada observasi didapatkan bahwa pasien hemofilia derajat sedang yang kadar
faktor pembekuannya dipertahankan > 1% (1-5%), jarang terjadi perdarahan
spontan dan komplikasi jangka panjang.9,18
Profilaksis sekunder: Diberikan pada pasien-pasien dengan perdarahan lebih dari
satu kali, pada pasien dengan target joint yang disertai bukti adanya kelainan
sendi dari pemeriksaan fisis dan radiologi. Profilaksis sekunder diberikan selama
4 sampai 8 minggu untuk memutuskan siklus perdarahan. Pasien dengan
hemofilia derajat berat dimana kadar faktor dibawah 1% dengan episode
perdarahan berulang harus mendapatkan profilaksis sekunder.
Profilaksis intermitent diberikan pada pasien hemofilia derajat ringan yang
memiliki kadar faktor diatas 5% dan tidak ada riwayat perdarahan. Kebutuhan
terapi profilaksis disesuaikan dengan kadar faktor dan aktivitas fisik masing-

25
masing pasien. Terapi profilaksis primer diberikan selama beberapa minggu
hingga beberapa bulan dan setelah itu dihentikan.9,18

Terapi profilaksis sebaiknya diberikan sedini mungkin, apalagi jika didapati


kadar faktor dibawah 1% dengan manifestasi klinis perdarahan. Terapi profilaksis
primer dimulai pada anak berusia 1 hingga 1.5 tahun untuk mempertahankan kadar
faktor VIII dan IX diatas 1%. Dosis pemberian disesuaikan dengan kadar faktor awal
pasien dan usia. Pada anak yang berusia lebih besar, banyak aktivitas fisik yang dapat
menimbulkan perdarahan sehingga dibutuhkan dosis yang lebih tinggi. Untuk hemofilia
A dapat diberikan dosis 25-40 IU/kgBB tiga kali seminggu. Pada hemofilia B dapat
diberikan terapi profilaksis 25-40 IU/kgBB dua kali seminggu.18

2.11. Komplikasi dan Penanganan Komplikasi Hemofilia


2.11.1 Komplikasi muskuloskeletal

Pada anak dengan perdarahan sendi berulang yang tidak mendapat penanganan
secara adekuat, dapat muncul komplikasi pada sendi. Sendi dapat kehilangan fungsinya
untuk bergerak menyebabkan atrofi otot, nyeri, deformitas, dan kontraktur.19
Komplikasi tersering pada sendi adalah hemofilik artropati. Hemofilik artropati muncul
rata-rata pada dekade kedua dan paling sering terjadi pada pasien hemofilia berat yang
disebabkan oleh hemartrosis berulang.1,12,19

Bergantung dengan derajatnya, pada derajat ringan dapat ditemukan sinovitis


dengan penebalan sinovium dan kerusakan sendi yang minimal. Pada sinovitis
pergerakan sendi biasanya masih normal. Perdarahan yang terjadi berulang dapat
menyebabkan ploriferasi sel sinovium dan erosi kartilago. Pada tahap ini pasien akan
mengalami gejala artritis yang sulit dibedakan dengan perdarahan sendi. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan krepitus, pembengkakan, berkurangnya gerakan
sendi, dan nyeri.12,19 Pada tahap akhir, ruang antara sendi akan menjadi semakin sempit
dan sendi dapat menyatu. Nyeri akan berkurang namun gerakan sendi sangat sulit
dilakukan pada tahap ini. Pada pemeriksaan radiografi dapat ditemukan penyempitan
ruang sendi, ankilosis, fibrosis, kista subkondral, dan erosi pada kartilago.1,19

Tujuan dari terapi adalah memperbaiki fungsi sendi, meredakan rasa nyeri, dan
membantu pasien agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari layaknya orang normal.

26
Terapi bergantung pada tahap kerusakan sendi, gejala pasien, ketersediaaan sumber
daya, dan dampak terhadap kualitas hidup pasien.12 Pemberian terapi profilaksis primer
dapat menghambat progresifitas kerusakan sendi. Profilaksis primer dapat diberikan
selama paling sedikit 45 minggu dalam satu tahun dan dapat dimulai pada anak usia
dibawah tiga tahun sebelum ditemukan manifestasi perdarahan pada sendi-sendi besar.18
Jika pengobatan medikamentosa gagal, dapat dipertimbangkan dilakukan prosedur
pembedahan seperti sinovektomi dan operasi pengganti sendi. Terapi suportif yang
dapat diberikan adalah pengurangan berat badan, fisioterapi, dan pencegahan nyeri
menggunakan inhibitor selektif COX-2.12,19

2.11.2. Inhibitor

Komplikasi paling sering dari hemofilia dan terapinya adalah terbentuknya


antibodi poliklonal (IgG) terhadap faktor VIII dan IX yang menetralisir atau
menghambat aktivitas faktor koagulan sehingga terapi pengganti yang diberikan
menjadi kurang atau tidak infektif. Antibodi poliklonal tersebut dikenal sebagai
inhibitor.1,12,20 Insiden terbentuknya inhibitor pada hemofilia A adalah 20-30% dimana
5-10% diantaranya memiliki manifestasi yang ringan. Inhibitor yang terbentuk saat anak
berusia tiga tahun atau kurang menandakan penyakit hemofilia berat. Pada hemofilia
ringan dan sedang inhibitor terbentuk pada dekade ke 2 hingga 3. Insiden terbentuknya
inhibitor pada hemofilia B jauh lebih rendah yakni berkisar antara 1-5%.12,20

Faktor resiko terbentuknya inhibitor adalah usia yang lebih muda, riwayat
terbentuknya inhibitor pada keluarga, ras berkulit gelap, derajat hemofilia berat,
penggunaan pengganti faktor rekombinan, dan dosis serta paparan faktor koagulan
pengganti yang diberikan. Terbentuknya inhibitor harus dicurigai jika terapi pengganti
faktor koagulan yang diberikan tidak dapat atau sulit menghentikan perdarahan. Hal ini
terutama terjadi pada hemofilia berat.1,9,20

Untuk menegakkan diagnosis terbentuknya inhibitor dapat dilakukan


pengukuran menggunakan Bethesda inhibitory assay. Hasil pengukurannya dilaporkan
dalam Bethesda unit. Inhibisi Bethesda unit adalah besarnya aktivitas inhibitor dalam 1
ml plasma yang mengurangi kadar faktor VIII atau IX dalam 1 ml plasma normal dari 1
menjadi 0,5 unit. Semakin besar titer inhibitor, semakin besar dilusi yang dibutuhkan.20
Apabila hasil pemeriksaan menunjukan kadar <5 unit Bethesda, disebut inhibitor titer

27
rendah (low responder), sedangkan bila > 5 unit Bethesda disebut inhibitor titer tinggi
(high responder).3,12,20

Pada pasien hemofilia A dengan respon inhibitor lemah dan titer Bethesda
rendah dapat diobati dengan pemberian infus faktor pengganti dengan dosis yang lebih
tinggi dan lebih sering. Penggunaan porcine faktor VIII yang berasal dari babi juga
dapat digunakan sebagai pilihan terapi lainnya karena memiliki faktor VIII yang sama
dengan manusia dan dapat berpartisipasi dalam proses koagulasi fisiologis. Porcine
faktor VIII digunakan untuk perdarahan yang besar dengan dosis awal 100-150
unit/kgBB. Efek samping yang ditimbulkan berupa demam, mual, nyeri kepala, muka
merah, dan muntah.1,20

Pada hemofilia B dan sering juga pada hemofilia A, pengobatan perdarahan


minor dan mayor dapat menggunakan PCCs, activated prothrombin complex
concentrates (aPCC), dan recombinant activated factor VIIa. Pada pasien dengan
hemofilia A, eradikasi inhibitor dimungkinkan dengan terapi immune tolerance. Terapi
ini bertujuan untuk menurunkan toleransi imun individu terhadap faktor pembekuan
darah dan mengurangi pembentukan antibodi. Terapi ini memerlukan infus faktor VIII
(25 IU/kg/hari) atau IX secara regular baik dengan injeksi bolus atau infus kontinu
selama beberapa minggu sampai beberapa tahun. 12,20

2.11.3. Infeksi

Komplikasi yang juga sering dilaporkan adalah hepatitis C dan HIV. Dilaporkan
bahwa hepatitis C ditemukan pada 60-95% hemofilia di usia lebih dari 7 atau 8 tahun.19

2.12. Prognosis Hemofilia


Dengan adanya terapi profilaksis, angka harapan hidup penderita hemofilia
meningkat. Sebuah studi di Inggris mendapatkan bahwa dengan terapi profilaksis,
angka harapan hidup pasien hemofilia berat tanpa infeksi HIV mencapi rata-rata 65
tahun sedangkan pada hemofilia derajat ringan dan sedang dapat mencapai 75 tahun.21
Penyebab kematian terbanyak pada pasien hemofilia yang menjalani transfusi adalah
infeksi hepatitis dan HIV.19-21

28
BAB III

KESIMPULAN

Hemofilia merupakan suatu penyakit gangguan koagulasi herediter akibat


kekurangan faktor pembekuan VIII pada hemofilia A dan IX pada hemofilia B.
Penyakit ini terjadi pada seluruh ras dan suku di dunia dimana angka kejadian
hemofilia A jauh lebih tinggi (85%) dibanding hemofilia B. Adapun penyakit ini
lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan perempuan.
Diagnosis hemofilia dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta dikonfirmasi menggunakan pemeriksaan penunjang. Gejala khas
perdarahan bergantung pada usia dan derajat keparahan penyakit. Pada bayi baru
lahir perdarahan yang tersering adalah perdarahan intrakranial, pada balita dan
anak-anak perdarahan biasanya terletak di persendian atau baru diketahui saat
prosedur ekstraksi gigi.
Tatalaksana hemofilia dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan
berbagai tim ahli dan keluarga. Pengobatan utama untuk hemofilia adalah
pemberian penggantian faktor VIII/IX dengan dosis yang disesuaikan dengan
usia, lokasi perdarahan, dan ketersediaan. Jika faktor pengganti tidak tersedia
dapat diberikan terapi lain yaitu kriopresipitat dan fresh frozen plasma dimana
didalamnya juga terkandung faktor-faktor pembekuan yang dibutuhkan.
Di negara maju, terapi hemofilia saat ini berfokus pada pemberian profilaksis
konsentrat faktor pembekuan dimana terapi tersebut dapat dimulai pada anak
usia dibawah 3 tahun.
Komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit hemofilia paling sering adalah
hemofilik artropati sedangkan komplikasi dari transfusi adalah terbentuknya
inhibitor serta infeksi hepatitis C dan HIV.
Angka harapan hidup penderita hemofilia yang tidak terkena infeksi akibat
transfusi dan rutin mendapatkan terapi profilaksis dapat seperti orang normal.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Paola JD, Montgomery RR, Gill JC, Flood V. Hemophilia and Von Willenbrand
Disease. Dalam: Orkin SH, Fisher DE, Look AT, Lux SE, Ginsburg D, Nathan
DG, penyunting. Nathan and Oskis hematology and oncology of infancy and
childhood. edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier saunders; 2015. h 1028-1050
2. Scot JP, Raffini LJ. Hemostasis. Dalam: Stanton BF, Geme JW, Schor NF,
Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. edisi ke-20.
Philadelphia: Saunders; 2016. h 2379-2384
3. Anonimus. Hemofilia. Dalam: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra E, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan medis ikatan
dokter anak indonesia. edisi 1. Jakarta: Ikatan dokter anak indonesia; 2009. h 92-
97
4. Gatot D, Moeslichan S. Gangguan pembekuan darah yang diturunkan. Dalam:
Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M,
penyunting. Buku ajar hematologi-onkologi anak. edisi ke-3. Jakarta: Ikatan
dokter anak indonesia; 2010. h 174-7
5. Anonimus. Program penanganan hemofilia di Indonesia. Himpunan masyarakat
hemofilia Indonesia. 2012 (diakses tanggal 19 September 2017). tersedia di
http://www.rikadanrekan.com/wp-content/uploads/2012/05/Hemofilia-
2012_PressCon_Press-Release_Final.com
6. Hoots WK, Shapiro AD. Genetics of the hemophilia. Uptodate. 2017 (diakses
tanggal 20 september 2017). tersedia di:
https://www.uptodate.com/contents/genetics-of-the-
hemophilias?source=see_link
7. Koesoema AM. Penyakit hemofilia di Indonesia: Masalah diagnostik dan
pemberian komponen darah [Tesis]. Medan: Universitas Sumatra Utara; 2006
8. Blanchette VS, Key NS, Ljung R, Johnson JM, Berg HMVD, Srivastava A.
Definitions in hemophilia: communication from the SSC of the ISTH. J thromb
Haemost. 2014; 12: 1935-9
9. Santosa. Panduan penatalaksanaan hemofilia. Dalam: Wijaya B, Anggraini F,
Hakam MA, Prihranto S, penyunting. Panduan penatalaksanaan hemofilia. edisi
1. Semarang: 2005
10. Hoots WK, Shapiro AD. Clinical manifestation and diagnosis of hemophilia.
Uptodate. 2017 (diakses tanggal 20 september 2017). tersedia di:
https://www.uptodate.com/contents/clinical-manifestations-and-diagnosis-of-
hemophilia?source=see_link
11. Kitchen S, McCraw A, Echenagucia M. Diagnosis of hemofilia and other
bleeding disorder. Dalam: Mansor A, Bosch N, Lam C, Nair S, Street A, Hillarp
A, dkk, penyunting. edisi ke-2. Montreal: World federation of hemophilia; 2010
12. Anonimus. Guidlines for the management of hemophilia. WFH. 2017 (diakses
tanggal 20 September 2017). tersedia di:
https://www1.wfh.org/publication/files/pdf-1472.pdf
13. Yee LD. Approach to child with the bleeding symptoms. Uptodate. 2017
(diakses tanggal 20 September 2017). tersedia di
https://www.uptodate.com/contents/approach-to-the-child-with-bleeding-
symptoms?source=see_link

30
14. Paola JD, Chford B. Approach to the child with a suspected bleeding disorder.
Dalam: Orkin SH, Fisher DE, Look AT, Lux SE, Ginsburg D, Nathan DG,
penyunting. Nathan and Oskis hematology and oncology of infancy and
childhood. edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier saunders; 2015. h 999-1009
15. Chalmers E, Williams M, Brennand J, Liesner R, Collins P, Richards M.
Guideline on the management of haemophilia in the fetus and neonate. BJH.
2011; 154: 208-215
16. Hoots W, Shapiro AD. Treatment of bleeding and perioperative management in
hemophilia A and B. Uptodate. 2017 (diakses tanggal 20 September 2017).
Tersedia di: https://www.uptodate.com/contents/treatment-of-bleeding-and-
perioperative-management-in-hemophilia-a-and-b?source=see_link
17. Franchini M. Plasma-derived versus recombinant factor VIII concentrates for the
treatment of hemophilia A: recombinant is better. doi. 2010; 4: 292-6
18. Hoots W, Shapiro AD. Hemophilia A and B: Routine management including
prophylaxis. Uptodate. 2017 (diakses tanggal 12 Oktober 2017). Tersedia di
https://www.uptodate.com/contents/hemophilia-a-and-b-routine-management-
includingprophylaxis?source=see_link&sectionName=DDAVP+test+dose+for+
mild+hemophilia+A&anchor=H901872873#H901872873
19. Hoots W, Shapiro AD. Chronic complications and age-related comorbidities in
people with hemophilia. Uptodate. 2017 (diakses tanggal 15 Oktober 2017).
tersedia di:
https://www.uptodate.com/contents/chronic-complications-and-age-related-
comorbidities-in-people-with-
hemophilia?source=see_linkincludingprophylaxis?source=see_link&sectionNa
me=DDAVP+test+dose+for+mild+hemophilia+A&anchor=H901872873#H901
872873
20. Leung LLK, Mahoney DH. Factor VIII and factor IX inhibitors in patients with
hemophilia. Uptodate. 2017 (diakses tanggal 18 Oktober 2017). tersedia di:
https://www.uptodate.com/contents/factor-viii-and-factor-ix-inhibitors-in-
patients-with-hemophilia?source=see_link
21. Darby SC, Kan SW, Spooner RJ, Giangrande PL, Hill FG, Hay CR, dkk.
Chronic complications and age-related comorbidities in people with hemophilia
A or B in the United Kingdom who were not infected with HIV. Epub; 2007: 3:
815

31

Anda mungkin juga menyukai