HEMOFILIA
Disusun Oleh:
Maranatha
00000001969
Pembimbing:
TANGERANG
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum insiden hemofilia di populasi hanya 0.09% dimana 85% nya
merupakan hemofilia A. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan mengenai seluruh ras
dan budaya.1,4,5 Hemofilia dapat menimbulkan berbagai masalah serius sejak kelahiran
hingga dewasa. Pendekatan diagnosis dan tatalaksana awal sangat penting untuk
mencegah terjadinya komplikasi seperti kerusakan sendi, masalah kardiovaskuler, dan
infeksi yang dapat menyebabkan cacat bahkan kematian.1,19
Walaupun penyakit ini sudah dikenal cukup lama di Indonesia, namun hingga
saat ini masih banyak kendala mulai dari penegakan diagnosis, ketersediaan terapi,
pencegahan komplikasi, dan pemberian dukungan suportif bagi penderita hemofilia. Di
negara maju pemberian terapi profilaksis faktor pembekuan pengganti dan terapi di
rumah telah menjadi pilar utama dalam penanganan hemofilia dimana hal tersebut
terbukti efektif mengurangi mortalitas dan morbiditas penyakit ini.18,19 Maka dari itu
pemahaman mengenai hemofilia beserta diagnosis dan tatalaksanya perlu ditingkatkan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pembuluh darah dilapisi oleh sel endotel. Endotel yang utuh memiliki sifat anti-
koagulan dengan menghasilkan inhibitor agregrasi trombosit dan inhibitor pembekuan
darah. Jika terdapat suatu rangsangan atau luka, endotel akan bersifat prokoagulan dan
mengalami vasokonstriksi lokal. Faktor-faktor koagulasi seperti tromboplastin, faktor
Von Willenbrand, inhibitor protein C, dan inhibitor plasminogen tipe I akan teraktivasi.
Jaringan ikat kolagen, elastin, dan membran basal akan terbuka dan mengaktifasi adhesi
trombosit.1,2
4
enzim apabila diaktifkan. Proses pembekuan darah dimulai dari dua jalur yaitu jalur
intrinsik dan ekstrinsik. Jalur intrinsik dicetuskan oleh kontak faktor-faktor pembekuan
dengan permukaan asing yang bermuatan negatif. Jalur ini melibatkan faktor XII, XI,
IX, VIII, high-molecular-weight kininogen (HMKW), prekallikrein (PK), fosfolipid,
dan ion kalsium. Jalur ekstrinsik dicetuskan oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan
faktor VII, serta ion kalsium. Kedua jalur ini akan bergabung menjadi jalur bersama
yang melibatkan faktor X, V, PF-3, protrombin, dan fibrinogen. Hasil dari reaksi ini
adalah terjadinya pembentukan trombin yang akan mengubah fibrinogen menjadi
benang-benang fibrin. Trombin juga akan mengaktifasi faktor V, VIII, dan XI. Faktor
XI yang teraktivasi akan meningkatkan aktivitas trombin dan menginhibisi fibrinolisis.
Fibrin sebagai hasil akhir dari proses pembekuan darah akan menstabilkan sumbatan
trombosit.1,2
Pada proses pembekuan darah ada mekanisme kontrol untuk mencegah aktifasi
dan pemakaian protein-protein pro-koagulan secara berlebihan. Empat protein anti-
koagulan yang penting adalah antitrombin-III (AT-III), protein C, protein S, dan tissue
factor pathway inhibitor (TFPI). AT-III meregulasi faktor Xa, trombin, IXa, dan XIIa.
Protein C memiliki sifat proteolisis terhadap faktor Va dan VIIIa. TFPI meregulasi
tissue factor (TF) dan membatasi aktivasi faktor X. Dalam darah, faktor VIII yang tidak
teraktifasi berikatan dengan VWF dan terlindungi dari inaktifasi protein C. Ketika
trombin dan faktor Xa mengaktifasi faktor VIIIa, faktor tersebut akan terlepas dari
VWF. Bersamaan dengan faktor IXa, faktor VIIIa akan mengaktifasi faktor X dengan
adanya bantuan ion kalsium dan fosfolipid.1,2
5
Gambar 2.1. Kaskade koagulasi2
6
menyerang laki-laki dibandingkan perempuan dengan manifestasi penyakit yang lebih
berat.6
7
ringan-nya manifestasi klinis penderita hemofilia sangat bergantung pada kelainan
yamg terjadi pada kromosom X.1,6
8
1 ml plasma normal mengandung 1 unit faktor VIII atau faktor IX, sehingga 100 ml
plasma normal mempunyai 100 internasional unit (IU/dL) setiap faktor. Kadar faktor
tersebut dinilai berdasarkan persentase aktivitas dimana nilai 100% berarti terdapat 100
IU faktor dalam 100 mL plasma. Kadar hemostasis faktor VIII adalah >30-40% dan
faktor IX >25-30%. Batas ter-rendah kedua faktor tersebut pada orang normal adalah
50%.2
Tabel 2.1. Klasifikasi hemofilia3,4
9
setelah terjadinya trauma. Faktor resiko terjadinya perdarahan intrakranial pada
bayi baru lahir adalah derajat hemofilia berat, adanya inhibitor, persalinan kala dua yang
memanjang, nuliparitas, penggunaan ekstraktor seperti forsep dan vakum. Perdarahan
dapat segera didiagnosis saat lahir atau baru muncul 1 bulan setelahnya. Lokasi
perdarahan paling sering adalah subdural dan intraserebral. Tanda dan gejalanya adalah
bayi menjadi rewel karena sakit kepala, letargik, lemas, muntah, dan kejang.9,10
Pada balita, manifestasi perdarahan mulai nampak saat anak mulai merangkak,
berdiri, atau berjalan, dimana pada masa itu anak sering mengalami trauma minor akibat
tekanan pada jaringan lunak dari sendi lutut. Perdarahan pada rongga sendi lutut disebut
hemartrosis.1 Pada anak usia 12-36 bulan, perdarahan pada frenulum dan mulut sering
ditemukan. Pada hemofilia derajat ringan hingga sedang, biasanya manifestasi
perdarahan baru muncul saat anak berusia 6 bulan hingga 11 tahun yang disadarai saat
anak tersebut menjalani prosedur ekstrasi gigi. Pada anak perempuan biasanya keluhan
berupa perdarahan menstruasi yang berkepanjangan. Perdarahan pada dahi yang
berbentuk benjolan (goose-eggs) sering menjadi manifestasi klinis yang muncul
pertama kali atau satu-satunya manifestasi yang nampak jelas pada anak-anak dengan
hemofilia derajat ringan dan sedang.1,10,22
A B
10
dan perdarahan pada sistem saraf pusat (<5%). Insiden perdarahan pada sendi
paling sering terjadi di lutut (45%), siku (30%), tumit (15%), bahu (3%), pergelangan
tangan (3%), panggul (2%), dan lain-lain (2%).1,9
Pada anak usia 12-36 bulan ini, hemartrosis paling sering muncul pada sendi
pergelangan kaki karena anak usia ini akan mulai belajar berdiri dan menyeimbangkan
badan sehingga titik tumpu berat lebih besar di sendi-sendi pergelangan kaki.1,10 Pada
anak yang lebih besar, hemartrosis lebih sering muncul pada sendi lutut. Perdarahan
biasanya berlokasi pada satu sendi dan jarang pada banyak sendi sekaligus. Hemartrosis
menimbulkan gejala nyeri dan spasme otot akibat peningkatan tekanan dalam rongga
sinovial. Gejalanya bervariasi berdasarkan usia dimana pada bayi yang belum dapat
berbicara gejala utamanya adalah rewel dan terbatasnya pergerakan atau penggunaan
sendi yang sakit. Pada anak yang lebih dewasa hemartrosis didahului oleh gejala
prodomal berupa kekakuan, kesemutan, rasa hangat dan panas, yang kemudian diikuti
rasa nyeri dan pembengkakan sendi yang memberat secara progresif. Pada pemeriksaan
fisik akan ditemukan keterbatasan gerakan, pembengkakan, nyeri tekan, dan rasa hangat
saat palpasi.1,9-11
Pada otot, perdarahan terjadi pada lokasi yang dalam dan menimbulkan gejala
berupa nyeri saat digerakan serta perasaan tidak enak. Massa hematoma sulit teraba
karena perdarahan terjadi dalam daerah yang tertutup. Otot yang sering terkena adalah
otot illiospoas dan quardisep femoris. Jika perdarahan dibairkan dapat terjadi fibrosis
jaringan otot yang berakibat kontraktur. Selain itu, dapat pula terjadi nekrosis jaringan
sekitar akibat sindroma kompartmen. Pada perdarahan otot illiospoas, gejala berupa rasa
tidak nyaman pada abdomen bagian bawah dan paha atas. Pasien akan berjalan dengan
paha difleksikan dan cenderung berotasi ke arah dalam karena paha nyeri dan sulit
diekstensikan. Pada pemeriksaan fisik ekstensi paha tidak dapat dilakukan namun rotasi
internal dan eksternal normal.1,10
11
dinding abdomen menimbulkan gejala nyeri akut abdomen yang mirip dengan penyakit
apendisitis, obstruksi usus, dan intususepsi. Perdarahan pada saluran kemih dapat
berasal dari ginjal atau kandung kemih. Perdarahan ini dapat berlangsung selama
beberapa hari hingga minggu. Bekuan darah dapat menyumbat uretra menimbulkan
gangguan dan nyeri berkemih.1,10
12
2.8.1. Pemeriksaan Laboraturium
VWD Normal Normal atau memanjang Normal atau memanjang Normal atau berkurang
Defek trombosit Normal Normal Normal atau memanjang Normal atau berkurang
Pada kasus hemofilia derajat ringan APTT seringkali tidak memanjang karena
APTT dapat menunjukan hasil yang normal dengan kadar faktor pada plasma diatas
15%.9,10 Pada hemofilia berat akan terjadi pemanjangan APTT hingga 2-3 kali diatas
batas normal serta penurunan dan faktor VIII dan IX.6 Pada bayi baru lahir, secara
fisiologis APTT akan sedikit memanjang karena defisiensi faktor-faktor yang
metabolismenya bergantung dengan vitamin K yaitu faktor II, VII, IX, dan X. Stimulus
stres yang terjadi saat proses persalinan dapat meningkatkan kadar faktor VIII sehingga
13
pada pasien dengan hemofilia derajat ringan, APTT dan kadar faktor VIII dapat
terdeteksi normal.7
Jika APTT memanjang, perlu dilakukan pemeriksaan studi koreksi atau mixing
dengan mencampurkan plasma pasien dengan plasma normal dalam perbandingan
50:50. Jika hasil pemeriksaan koreksi menunjukan APTT yang normal, berarti ada
defisiensi faktor koagulasi dalam plasma pasien. Jika pada hasil uji koreksi APTT tetap
memanjang, kemungkinan terdapat zat antikoagulan (inhibitor lupus, antibodi terhadap
faktor VIII dan IX, heparin) dalam plasma pasien.10,11
Diagnosis prenatal pada ibu carrier hemofilia dimulai dengan menentukan jenis
kelamin janin. Jenis kelamin laki-laki berpotensi tinggi terkena hemofilia. Jika jenis
kelamin janin perempuan, pemeriksaan lebih lanjut tidak perlu dilakukan hingga bayi
lahir. Pemeriksaan invasif saat ini jarang dilakukan karena mempertimbangkan resiko
yang ditimbulkan. Pemeriksaan invasif yang dapat dilakukan adalah amniosintesis atau
pengambilan darah fetus melalui vena umbilikalis menggunakan jarum dengan panduan
ultrasonografi pada usia kehamilan 16 hingga 20 minggu. Pemeriksaan lain yang dapat
dilakukan adalah biopsi korion pada usia kemahilan 8-10 minggu.6,10
14
2.9.1. Anamnesis
Dalam anamnesis yang harus digali adalah usia saat terjadinya onset perdarahan,
jenis kelamin, manifestasi klinis perdarahan, riawayat penyakit sebelumnya, dan riwayat
keluarga.12 Saat anamnesis, pertama perlu ditanyakan karakteristik dan lokasi
perdarahan. Perdarahan dapat dideskripsikan sebagai memar, perdarahan nyata, bintik-
bintik merah yang soliter ataupun menyebar. Perdarahan pada kulit dan mukosa
umumnya disebabkan oleh masalah pada pembuluh darah atau trombosit sedangkan
perdarahan pada jaringan lunak, otot, dan sendi disebabkan oleh masalah sistem
koagulasi.12,13
15
adalah obat anti inflamasi non-steroid, antikoagulan, anti agregrasi platelet, obat-obatan
herbal (jahe, gingko biloba, bawang putih, dll), antibiotik (quinine, quinidine, rifampin,
trimetroprim-sulfametoksasol, dll). Riwayat penyakit dan kondisi medis lain seperti
penyakit hati, ginjal, penyakit jantung bawaan, infeksi, dan malabsorbsi juga perlu
ditanyakan.12,13
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pemeriksaan tanda vital untuk mencari tanda-
tanda komplikasi perdarahan masif seperti anemia dan syok hipovolemik. Selanjutnya
perlu dibedakan apakah manifestasi klinis yang muncul merupakan manifestasi dari
kelainan perdarahan atau bukan. Lesi di kulit seperti erupsi obat, eksentema nodosum,
eksentema virus, dan gigitan serangga dapat memiliki gambaran mirip kelainan
16
perdarahan. Manifestasi kelainan perdarahan di kulit dapat berupa petekie, ekimosis,
hematoma, hemartosis, dan perdarahan mukokutaneus.
17
dipilih diarahkan sesuai dengan dugaan diagnosis yang didapat dari pemeriksaan
skrining.9,13
18
Pencegahan perlu dilakukan sedini mugkin agar dapat menghindari komplikasi.
Prinsip dari pencegahan adalah menghindari trauma dan hal-hal lain yang dapat memicu
terjadinya perdarahan. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
19
Penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan perdarahan seperti
NSAID dan aspirin harus dihindari. Analgetik yang aman bila diperlukan
adalah parasetamol dan asetaminofen
Pada pasien hemofilia dengan perdarahan akut tujuan dari terapi adalah
meningkatkan dengan segera kadar faktor VIII atau IX hingga mencapai level
hemostasis yang aman. Terapi faktor pengganti bergantung pada lokasi perdarahan,
derajat keparahan, dan ada tidaknya luka.16 Langkah pertama apabila terjadi perdarahan
akut adalah RICE yakni imobilisasi (rest), kompres dingin (ice), melakukan
penekanan/pembebatan (compression), dan meninggikan daerah perdarahan (elevation).
Tindakan ini harus segera dilakukan terutama bila jauh dari pusat pengobatan.
Imobilisasi dilakukan dengan mengistirahatkan sendi pada ekstremmitas yang terkena
diatas bantal. Selanjutnya dilakukan kompres dengan air dingin atau es yang dibungkus
handuk lalu diletakan diatas sendi yang terkena selama 5 menit lalu di angkat selama 10
dan kompres lagi selama 5 menit berulang kali dengan jeda 10 menit antara kompres.
Kompres dapat dilakukan selama sendi masih terasa nyeri dan panas. Setelah itu harus
dilakukan kompresi mengunakan perban elastis atau splinting dengan tujuan untuk
mengurangi perdarahan membatasi pergerakan.3,9
Tanpa adanya inhibitor, satu unit faktor VIII dapat meningkatkan level plasma
sekitar 2% (0,02 U/ml) dengan waktu paruh 8-12 jam sehingga infus berulang perlu
diberikan sesuai dengan kebutuhan untuk mencapai tingkat aktivitas yang diinginkan.
Sebaliknya, satu unit faktor IX dapat menaikan level plasma sekitar 1% (0,01 U/ml) dan
waktu paruhnya lebih lama dibandingkan faktor VIII yakni dapat mencapai 24 jam
20
sehingga pemberian konsentrat faktor IX tidak sebanyak faktor VIII.1,12,16 Kadar faktor
plasma dan durasi yang dibutuhkan bergantung dari jenis dan lokasi perdarahan:
Tabel 2.5. Kadar faktor plasma dan durasi pemberian yang direkomendasikan jika tidak ada
hambatan sumber daya yang signifikan12
Tabel 2.6. Kadar faktor plasma dan durasi pemberian yang direkomendasikan jika ada
hambatan sumber daya yang signifikan12
21
2.10.3. Terapi Hemofilia A
Terapi konsentrat faktor pengganti dapat diperoleh dari plasma atau dihasilkan
melalui proses rekayasa genetik (konsentrat rekombinan faktor VIII). Konsentrat ini
tersedia dalam bentuk bubuk terliofilisasi dalam botol 250-500 unit yang dapat
dilarutkan sebelum penggunaan. Rekombinan faktor VIII memiliki beberapa
keunggulan yaitu aman dari penularan virus, menimbulkan reaksi antibodi yang lebih
rendah, jarang menimbulkan reaksi alergi, dapat bertahan di suhu ruangan selama 24-48
jam, cocok digunakan untuk terapi di rumah, dan menjanjikan suplai yang tidak
terbatas. Kelemahan dari produk ini adalah harganya yang mahal.1,12,17 Dosis
rekombinan faktor VIII yang diberikan dihitung dengan menggunakan rumus:1,9,12
Infus diberikan secara IV lambat dengan kecepatan 100 unit per menit pada anak-anak.9
22
ml/kg.1,12 Pemberian FFP lebih beresiko menularkan infeksi dibandingkan
kriopresipitat.
23
pembedahan, penyakit hepar, terapi dosis tinggi dalam jangka waktu lama, pasien
dengan riwayat trombosis, dan penggunaan bersamaan dengan obat antifibrinolitik.1,12,16
Tiap vial konsentrat faktor IX tersedia dalam dosis yang memiliki rentan antara
300 sampai 1200 unit. Tiap unit faktor IX per kilogram berat badan diinfuskan secara
intravena akan meningkatkan kadar faktor IX plasma kira-kira 1%. Perhitungan dosis
rekombinan faktor IX menggunakan rumus:
Obat analgetik seperti parasetamol dapat digunakan sebagai lini pertama untuk
mengatasi nyeri akut maupun kronik pada penderita hemofilia. Pemberian inhibitor
COX-2 seperti meloxicam dan celecoxib dapat diberikan pada nyeri sendi. Penambahan
kodein dapat diberikan bersamaan dengan parasetamol.12,16
24
cara pemberian obat. Alat akses vena sentral dapat membuat terapi injeksi jauh lebih
mudah, namun meningkatkan resiko infeksi lokal dan trombosis.1,12,16
2.10.6. Pembedahan
25
masing pasien. Terapi profilaksis primer diberikan selama beberapa minggu
hingga beberapa bulan dan setelah itu dihentikan.9,18
Pada anak dengan perdarahan sendi berulang yang tidak mendapat penanganan
secara adekuat, dapat muncul komplikasi pada sendi. Sendi dapat kehilangan fungsinya
untuk bergerak menyebabkan atrofi otot, nyeri, deformitas, dan kontraktur.19
Komplikasi tersering pada sendi adalah hemofilik artropati. Hemofilik artropati muncul
rata-rata pada dekade kedua dan paling sering terjadi pada pasien hemofilia berat yang
disebabkan oleh hemartrosis berulang.1,12,19
Tujuan dari terapi adalah memperbaiki fungsi sendi, meredakan rasa nyeri, dan
membantu pasien agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari layaknya orang normal.
26
Terapi bergantung pada tahap kerusakan sendi, gejala pasien, ketersediaaan sumber
daya, dan dampak terhadap kualitas hidup pasien.12 Pemberian terapi profilaksis primer
dapat menghambat progresifitas kerusakan sendi. Profilaksis primer dapat diberikan
selama paling sedikit 45 minggu dalam satu tahun dan dapat dimulai pada anak usia
dibawah tiga tahun sebelum ditemukan manifestasi perdarahan pada sendi-sendi besar.18
Jika pengobatan medikamentosa gagal, dapat dipertimbangkan dilakukan prosedur
pembedahan seperti sinovektomi dan operasi pengganti sendi. Terapi suportif yang
dapat diberikan adalah pengurangan berat badan, fisioterapi, dan pencegahan nyeri
menggunakan inhibitor selektif COX-2.12,19
2.11.2. Inhibitor
Faktor resiko terbentuknya inhibitor adalah usia yang lebih muda, riwayat
terbentuknya inhibitor pada keluarga, ras berkulit gelap, derajat hemofilia berat,
penggunaan pengganti faktor rekombinan, dan dosis serta paparan faktor koagulan
pengganti yang diberikan. Terbentuknya inhibitor harus dicurigai jika terapi pengganti
faktor koagulan yang diberikan tidak dapat atau sulit menghentikan perdarahan. Hal ini
terutama terjadi pada hemofilia berat.1,9,20
27
rendah (low responder), sedangkan bila > 5 unit Bethesda disebut inhibitor titer tinggi
(high responder).3,12,20
Pada pasien hemofilia A dengan respon inhibitor lemah dan titer Bethesda
rendah dapat diobati dengan pemberian infus faktor pengganti dengan dosis yang lebih
tinggi dan lebih sering. Penggunaan porcine faktor VIII yang berasal dari babi juga
dapat digunakan sebagai pilihan terapi lainnya karena memiliki faktor VIII yang sama
dengan manusia dan dapat berpartisipasi dalam proses koagulasi fisiologis. Porcine
faktor VIII digunakan untuk perdarahan yang besar dengan dosis awal 100-150
unit/kgBB. Efek samping yang ditimbulkan berupa demam, mual, nyeri kepala, muka
merah, dan muntah.1,20
2.11.3. Infeksi
Komplikasi yang juga sering dilaporkan adalah hepatitis C dan HIV. Dilaporkan
bahwa hepatitis C ditemukan pada 60-95% hemofilia di usia lebih dari 7 atau 8 tahun.19
28
BAB III
KESIMPULAN
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Paola JD, Montgomery RR, Gill JC, Flood V. Hemophilia and Von Willenbrand
Disease. Dalam: Orkin SH, Fisher DE, Look AT, Lux SE, Ginsburg D, Nathan
DG, penyunting. Nathan and Oskis hematology and oncology of infancy and
childhood. edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier saunders; 2015. h 1028-1050
2. Scot JP, Raffini LJ. Hemostasis. Dalam: Stanton BF, Geme JW, Schor NF,
Behrman RE, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. edisi ke-20.
Philadelphia: Saunders; 2016. h 2379-2384
3. Anonimus. Hemofilia. Dalam: Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS,
Gandaputra E, Harmoniati ED, penyunting. Pedoman pelayanan medis ikatan
dokter anak indonesia. edisi 1. Jakarta: Ikatan dokter anak indonesia; 2009. h 92-
97
4. Gatot D, Moeslichan S. Gangguan pembekuan darah yang diturunkan. Dalam:
Permono HB, Sutaryo, Ugrasena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M,
penyunting. Buku ajar hematologi-onkologi anak. edisi ke-3. Jakarta: Ikatan
dokter anak indonesia; 2010. h 174-7
5. Anonimus. Program penanganan hemofilia di Indonesia. Himpunan masyarakat
hemofilia Indonesia. 2012 (diakses tanggal 19 September 2017). tersedia di
http://www.rikadanrekan.com/wp-content/uploads/2012/05/Hemofilia-
2012_PressCon_Press-Release_Final.com
6. Hoots WK, Shapiro AD. Genetics of the hemophilia. Uptodate. 2017 (diakses
tanggal 20 september 2017). tersedia di:
https://www.uptodate.com/contents/genetics-of-the-
hemophilias?source=see_link
7. Koesoema AM. Penyakit hemofilia di Indonesia: Masalah diagnostik dan
pemberian komponen darah [Tesis]. Medan: Universitas Sumatra Utara; 2006
8. Blanchette VS, Key NS, Ljung R, Johnson JM, Berg HMVD, Srivastava A.
Definitions in hemophilia: communication from the SSC of the ISTH. J thromb
Haemost. 2014; 12: 1935-9
9. Santosa. Panduan penatalaksanaan hemofilia. Dalam: Wijaya B, Anggraini F,
Hakam MA, Prihranto S, penyunting. Panduan penatalaksanaan hemofilia. edisi
1. Semarang: 2005
10. Hoots WK, Shapiro AD. Clinical manifestation and diagnosis of hemophilia.
Uptodate. 2017 (diakses tanggal 20 september 2017). tersedia di:
https://www.uptodate.com/contents/clinical-manifestations-and-diagnosis-of-
hemophilia?source=see_link
11. Kitchen S, McCraw A, Echenagucia M. Diagnosis of hemofilia and other
bleeding disorder. Dalam: Mansor A, Bosch N, Lam C, Nair S, Street A, Hillarp
A, dkk, penyunting. edisi ke-2. Montreal: World federation of hemophilia; 2010
12. Anonimus. Guidlines for the management of hemophilia. WFH. 2017 (diakses
tanggal 20 September 2017). tersedia di:
https://www1.wfh.org/publication/files/pdf-1472.pdf
13. Yee LD. Approach to child with the bleeding symptoms. Uptodate. 2017
(diakses tanggal 20 September 2017). tersedia di
https://www.uptodate.com/contents/approach-to-the-child-with-bleeding-
symptoms?source=see_link
30
14. Paola JD, Chford B. Approach to the child with a suspected bleeding disorder.
Dalam: Orkin SH, Fisher DE, Look AT, Lux SE, Ginsburg D, Nathan DG,
penyunting. Nathan and Oskis hematology and oncology of infancy and
childhood. edisi ke-8. Philadelphia: Elsevier saunders; 2015. h 999-1009
15. Chalmers E, Williams M, Brennand J, Liesner R, Collins P, Richards M.
Guideline on the management of haemophilia in the fetus and neonate. BJH.
2011; 154: 208-215
16. Hoots W, Shapiro AD. Treatment of bleeding and perioperative management in
hemophilia A and B. Uptodate. 2017 (diakses tanggal 20 September 2017).
Tersedia di: https://www.uptodate.com/contents/treatment-of-bleeding-and-
perioperative-management-in-hemophilia-a-and-b?source=see_link
17. Franchini M. Plasma-derived versus recombinant factor VIII concentrates for the
treatment of hemophilia A: recombinant is better. doi. 2010; 4: 292-6
18. Hoots W, Shapiro AD. Hemophilia A and B: Routine management including
prophylaxis. Uptodate. 2017 (diakses tanggal 12 Oktober 2017). Tersedia di
https://www.uptodate.com/contents/hemophilia-a-and-b-routine-management-
includingprophylaxis?source=see_link§ionName=DDAVP+test+dose+for+
mild+hemophilia+A&anchor=H901872873#H901872873
19. Hoots W, Shapiro AD. Chronic complications and age-related comorbidities in
people with hemophilia. Uptodate. 2017 (diakses tanggal 15 Oktober 2017).
tersedia di:
https://www.uptodate.com/contents/chronic-complications-and-age-related-
comorbidities-in-people-with-
hemophilia?source=see_linkincludingprophylaxis?source=see_link§ionNa
me=DDAVP+test+dose+for+mild+hemophilia+A&anchor=H901872873#H901
872873
20. Leung LLK, Mahoney DH. Factor VIII and factor IX inhibitors in patients with
hemophilia. Uptodate. 2017 (diakses tanggal 18 Oktober 2017). tersedia di:
https://www.uptodate.com/contents/factor-viii-and-factor-ix-inhibitors-in-
patients-with-hemophilia?source=see_link
21. Darby SC, Kan SW, Spooner RJ, Giangrande PL, Hill FG, Hay CR, dkk.
Chronic complications and age-related comorbidities in people with hemophilia
A or B in the United Kingdom who were not infected with HIV. Epub; 2007: 3:
815
31