Pengelolaan Delta Berkelanjutan
Pengelolaan Delta Berkelanjutan
I. Pendahuluan
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memiliki atribut yang khas dan memiliki
karakter tersendiri. Ekosistem pesisir memiliki karakter yang kompleks dimana di
dalamnya berlangsung hubungan timbal balik antar komponen penyusun ekosistem
terrestrial maupun laut. Hal ini dapat dimengerti mengingat letak wilayah pesisir yang
merupakan pertemuan antara sistem daratan dengan sistem perairan laut. Pertemuan
antara ekosistem daratan dan lautan inilah yang menyebabkan keragaman ekologi
wilayah pesisir menjadi sangat tinggi. Selain memiliki karakter darat dan laut, wilayah
pesisir juga memiliki kekhasan endemik wilayah pesisir yang tidak dijumpai di ekosistem
daratan maupun lautan. Setidaknya tercatat beberapa ekosistem penting di kawasan
pesisir antara lain : ekosistem mangrove, hutan pantai, hutan rawa pantai, estuaria,
terumbu karang, padang lamun, lahan basah, pantai lumpur, pantai berbatu dan
ekosistem pelagis dangkal. Keseluruh ekosistem tersebut menyimpan sumberdaya
hayati yang besar dan sekaligus rentan terhadap perubahan yang melebihi kapasitas
daya dukungnya.
1
Secara historis-demografis, kawasan pesisir merupakan kawasan yang telah lama
dihuni oleh manusia, dikarenakan letaknya yang strategis dan subur. Kawasan pesisir
selain menyimpan sumberdaya hayati yang tinggi juga menyediakan berbagai jasa
lingkungan, seperti sebagai areal pelabuhan, jalur transportasi, kawasan industri,
kawasan pariwisata dan rekreasi, kawasan tambak dan tempat pembuangan limbah.
Salah satu kawasan pesisir yang perlu segera mendapat perhatian karena tekanan yang
tinggi untuk kepentingan ekonomi adalah delta, sehingga perlu dilakukan upaya untuk
mengelolanya secara berkelanjutan.
Delta adalah area pertemuan air tawar dan air asin, nutrien yang terbawa mendorong
proses ekologi dan produktivitas perairan yang tinggi sehingga membuat delta
merupakan wilayah yang memiliki peran penting baik dalam biodiversitas, maupun
peran sosial ekonomi karena kelimpahan sumberdaya (pulih maupun tidak pulih) serta
sebagai tempat berbagai aktivitas lainnya seperti industri dan transportasi. Wilayah delta
yang merupakan bagian dari wilayah pesisir selama ini juga cenderung mengalami
tekanan ekologi dan kurang mendapat perhatian yang serius untuk mengatasi
kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia maupun alam. Kerusakan delta yang terjadi
umumnya meliputi sedimentasi, polusi, turunnya kualitas habitat maupun biodiversitas
(Kusumastanto, 2001). Dengan tipologi yang spesifik, Indonesia dianugerahi berbagai
macam delta, baik dalam kategori city delta maupun rural delta di Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi hingga Papua. Tekanan ekonomi dan intensitas pembangunan
menyebabkan hampir semua wilayah delta tersebut mengalami degradasi yang
signifikan. Masalah ini tidak hanya dipicu oleh permasalahan di delta tetapi juga oleh
kerusakan di wilayah hulu daerah aliran sungai yang terkait dengan delta tersebut
maupun pengaruh aktivitas laut serta faktor alam seperti arus, gelombang atau
perubahan iklim. Kepentingan pembangunan ekonomi yang tinggi dalam pemanfaatan
delta menutupi kepentingan lingkungan yang dapat diperankan oleh delta sehingga
aktivitas mengarah hanya kepada pemanfaatan dan eksploitasi tanpa memperhatikan
integritas ekosistem yang sangat penting bagi kesejahteraan masyarakat maupun
keberlanjutan delta. Kondisi pemanfaatan delta saat ini mengarah pada kerusakan
sehingga pengelolaan dan upaya restorasi delta mutlak dilakukan untuk kepentingan
pembangunan secara berkelanjutan.
2
4. Pengelolaan Delta : Studi Kasus Delta Mahakam
Delta Mahakam secara fisik terdiri dari sejumlah pulau yang telah terbentuk sejak ribuan
tahun lalu, yang berada di sekitar muara Sungai Mahakam, Kabupaten Kutai
Kertanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Dengan demikian maka kawasan Delta
Mahakam memiliki keterkaitan ekologis dengan hulu Sungai Mahakam yang mengalir ke
arah hilir di Selat Makassar. Delta Mahakam adalah wilayah pesisir yang merupakan
tempat pertemuan air tawar dan air asin serta dipengaruhi oleh pasang surut air laut, di
mana komunitas ekosistem yang ada di kawasan seperti ini biasanya merupakan
campuran beberapa spesies dari dua habitat yang berbeda sehingga memiliki
keanaeka- ragaman hayati yang tinggi.
Seiring dengan besarnya potensi ekologis dan ekonomi Delta Mahakam, maka
perkembangan jumlah penduduk di wilayah ini meningkat pesat, khususnya di wilayah
pesisir Delta Mahakam. Perkembangan jumlah penduduk yang didominasi oleh arus
imigrasi ini menimbulkan konsekuensi logis pada perubahan ekosistem pesisir,
khususnya kerusakan hutan mangrove. Kerusakan sistemik ekosistem mangrove yang
dikonversi ke pemanfaatan lain seperti tambak, pemukiman, industri dan lain
sebagainya dapat menyebabkan kerusakan ekosistem keseluruhan Delta Mahakam,
apabila tidak dikendalikan dan dikelola dengan baik. Padahal dari sisi peraturan, Delta
Mahakam adalah Kawasan Budididaya Kehutanan yang tidak dengan begitu saja dapat
dikonversi. Pada saat ini sulit ditemui hutan mangrove dalam kondisi baik di berbagai
wilayah di Indonesia, hal yang sama terjadi di kawasan Delta Mahakam yang saat ini
hutan mangrovenya banyak di konversi untuk pengusahaan tambak atau pemukiman.
Dalam rangka mengembalikan fungsi keberadaan ekosistem hutan mangrove perlu
dilakukan pengelolaan yang baik dan bijaksana, di antaranya dengan cara melakukan
realokasi pemanfaatan/penggunaan lahan di wilayah pesisir, rehabilitasi lingkungan dan
pembuatan sabuk hijau (green belt) mangrove di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Kondisi lingkungan Delta Mahakam saat ini sangat kritis, dengan indikasi ekosistem
mangrove yang merupakan ekosistem dominan delta, kini mengalami tekanan yang luar
biasa, karena lebih 80% luasan mangrove yang ada telah dirubah peruntukannya dan
sebagian besar menjadi kawasan pertambakan (Kusumastanto, 2009). Berdasarkan
Citra Satelit SPOT, dapat dilihat kecenderungan penurunan luasan ekosistem mangrove
dan vegetasi yang terus meningkat (Gambar 1) dan berubah fungsi menjadi tambak.
3
Luas hutan mangrove di Delta Mahakam semula diperkirakan mencapai 120.00 ha,
namun saat ini yang tersisa hanya 20 %-nya (Creocean, 2000). Gambar 1 berikut
adalah gambaran perubahan penggunaan lahan dari tahun 1992-1998.
Gambar 1. Gambaran sebagian Delta Mahakam dari Citra satelit SPOT. Warna merah
mengindikasikan tutupan vegetasi, termasuk hutan mangrove. (a) Tahun
1992, tambak udang hanya meliputi 4 % dari luas hutan mangrove. (b).
Tahun 1998, tambak udang telah merusak 41% dari luas hutan mangrove.
(c) Inset dari daerah di dalam kotak bergaris putih pada gambar (b),
menunjukkan pola tambak yang berkembang di kawasan tersebut.
(Diadaptasi dari berbagai sumber, 2009)
Demikian pula laju perubahan di lahan mangrove di atas diikuti dengan meningkatnya
secara drastis luasan tambak yang dibuka, hal ini menunjukkan keterkaitan kuat bahwa
deforestasi yang terjadi adalah untuk dibuka menjadi tambak dan pemukiman. Laju
deforestasi besar-besaran terjadi sekitar tahun 1991-1996. Gambar 2 menunjukkan
tren deforestasi mangrove di wilayah ini. Sementara Gambar 3 menunjukan bahwa
seiring dengan berkurangnya luasan hutan nipah (Nypa sp) dan hutan bakau diikuti
dengan meningkatnya luasan tambak.
4
Luas mangrove (ha)
Gambar 2. Laju Deforestasi Delta Mahakam dari Tahun ke Tahun (Creocean dalam
PKSPL IPB, 2009)
Gambar 3. Proses perubahan lahan secara drastis di Delta Mahakam sebagai dampak
krisis moneter. Perubahan paling besar dialami oleh hutan nipah
(dimodifikasi dari Bourgeois et al., 2002).
Hilangnya hutan mangrove berpengaruh terhadap penurunan daya dukung fisik pesisir,
yang dapat berakibat pada penurunan potensi sumberdaya perikanan, intrusi air laut,
5
peningkatan laju abrasi dan hilangnya biodiversitas. Semenjak tahun 1996, laju abrasi
diperkirakan mencapai sekitar 1.4 km2 per tahun; sementara sebelumnya hanya sekitar
0.13 km2 per tahun (Levang, 2002).
Akibat laju deforestasi ini juga berupa peningkatan laju abrasi pantai sebesar 10 kali
lipat yang diakibatkan oleh tidak adanya greenbelt. Dampak lainnya yang sekarang
dirasakan adalah intrusi air laut ke sumur-sumur di wilayah-wilayah hilir delta sampai
puluhan kilometer, sehingga air menjadi payau, terutama saat musim kemarau. Hal ini
terjadi karena ekosistem mangrove yang dulu menjadi filter alam sekarang sudah hilang
sehingga air laut jauh masuk ke wilayah delta.
Bila melihat kondisi nyata Delta Mahakam maka sangat mendesak dilakukan langkah-
langkah untuk memperbaiki kondisi yang mengkhawatirkan tersebut. Beberapa program
pengelolaan Delta Mahakam telah diusahakan, namun belum dapat mengatasi masalah
yang dihadapi, diantaranya diakibatkan oleh factor-faktor yang menjadi kendala yakni
belum adanya penataan ruang yang baik dan memiliki kekuatan hukum, tumpang tindih
kewenangan dan kelembagaan dalam pengelolaan, berkembangnya aktivitas yang
merusak kawasan delta, serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam mengelola
lingkungan.
Wilayah delta memiliki hubungan yang sangat erat dengan daerah hulu dan laut
sehingga pendekatan pengelolaan pesisir terpadu (Integrated Coastal Management-
ICM) harus diperluas. Sehingga pengelolaan delta tidak akan terlepas dari pengelolaan
daerah aliran sungai (DAS) maupun pengelolaan wilayah laut maupun lautan yang
memiliki keterkaitan ekologis dengan delta. Dengan demikian pengelolaan delta sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari pesisir harus menggunakan dasar pengelolaan
6
berbasis ekosistem yang luas (large based ecosystem) karena adanya keterkaitan yang
erat antara DAS, pesisir maupun laut/lautan. Sehingga konsepsi ICM dikembangkan
menjadi IRCOM (Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management). Konsep
dasar dari IRCOM ini adalah bahwa dalam pengelolaan pesisir, kondisi ekologi, ekonomi
dan sosial yang dikaji tidak hanya wilayah pesisirnya saja, tetapi juga kondisi yang sama
untuk wilayah DAS, karena justru sebagian besar limbah dan partikel tersuspensi yang
masuk ke wilayah pesisir berasal dari DAS. Limbah dan partikel tersuspensi tersebut
tidak saja terbawa oleh aliran air pada saat hujan, tetapi secara terus menerus dibuang
ke sungai melalui saluran pembuangan limbah sehingga andilnya sangat besar terhadap
pencemaran yang terjadi di wilayah delta. Selain hal tersebut, pengelolaan pesisir juga
dipengaruhi oleh aktivitas laut/lautan diantaranya arus, gelombang, polusi maupun
bencana yang berasal dari laut/lautan, perubahan permukaan laut sehingga perspektif
pengelolaan pesisir harus mempertimbangkan laut/lautan sebagai faktor penting bagi
keberhasilan pengelolaan (Kusumastanto, 2008).
Melalui IRCOM, tidak saja akan diketahui tingkat pencemaran yang terjadi di wilayah
pesisir, tetapi juga akan diketahui proses-proses alami yang terjadi di sekitar DAS
seperti siklus air, transfer material dan energi yang terjadi di sekitar DAS serta
pengaruhnya pada wilayah pesisir. Selain itu, akan diketahui pula aktivitas-aktivitas
manusia yang berada di sekitar DAS dan wilayah pesisir yang mempengaruhi proses-
proses alami yang terjadi seperti urban development (perumahan, industri dan
sebagainya), rural activities (kehutanan, peternakan, pertanian, perikanan, dan
sebagainya), serta infrastruktur (irigasi, bendungan, pintu air dan dam). Dari sisi laut
dapat diketahui dan sekaligus direncanakan berbagai implikasi dari kegiatan ekonomi
maupun aktivitas laut seperti gelombang, arus serta berbagai aspek perubahan laut
yang diakibatkan oleh perubahan iklim (sea level rise dlsb) serta mitigasi bencana yang
diakibatkan gempa di laut (dampak tsunami), polusi yang berasal dari laut/lautan.
Pendekatan IRCOM bukan pendekatan yang instan dan singkat, tetapi merupakan
sebuah pendekatan yang terintegrasi, menyeluruh dan rinci, karena meliputi beberapa
proses perencanaan pengelolaan lingkungan yang mendetail. Dalam konsep IRCOM,
dilakukan beberapa tahapan antara lain analisis kondisi eksisting, identifikasi konflik dan
peluang, identifikasi tujuan dan alternatif pengelolaan lingkungan untuk rencana aksi,
pengembangan strategi, implementasi dan monitoring serta evaluasi. Dengan demikian
7
maka penanganan permasalahan melalui pendekatan IRCOM sangat penting sekali
dilakukan, sehingga akar permasalahan tentang pencemaran air, kondisi alam dan
dinamika fisik persebaran bahan pencemar, jenis-jenis pencemaran, penyebab
pencemaran dan efek dari pencemaran terhadap mahluk hidup diharapkan dapat
terjawab melalui pendekatan ini. Sehingga, langkah-langkah yang dapat diambil
(effective prevention measures) sebagai sebuah jawaban terhadap penyelesaian
permasalahan degradasi delta dapat dilaksanakan dengan tepat.
Pengelolaan yang terpadu antara kawasan pesisir, DAS dan lautan dibutuhkan agar
pemanfaatan secara optimal sumberdaya delta dapat dilakukan. Pengelolaan kawasan
pesisir, DAS, lautan secara terpadu akan mengkaitkan sistem alam, ekonomi, dan
lingkungan serta proses ekologi sehingga tekanan terhadap ekosistem kawasan pesisir,
DAS dan laut yang terkait dengan delta dapat dilakukan secara terintegrasi.
Interkorelasi antar sub-wilayah dalam wilayah DAS, pesisir dan laut yang memiliki tujuan
akhir kepada pengelolaan wilayah yang berkelanjutan disajikan pada Gambar 4 sebagai
berikut:
Social Welfare
MONITORING
IMPLEMENTATION
Processes
Interactions
Activities
Identified
Environmental Economic
Integrity MANAGEMENT Efficiency
THE LOW-LAND
THE INLAND ZONE ZONE
8
5. Pengelolaan Delta Berkelanjutan
Ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan budaya, pengelolaan wilayah delta beserta
sumberdaya alam di dalamnya, seharusnya memberikan manfaat terbesar kepada
masyarakat pesisir sebagai pelaku utama pemanfaat/pengelola sumberdaya tersebut.
Oleh karena itu, segala aktivitas pembangunan di wilayah delta diarahkan untuk
meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pesisir tanpa mengorbankan
9
aspek-aspek sosial budaya masyarakat setempat serta kelestarian sumberdayanya..
Dengan demikian kebijakan pengelolaan pesisir ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan
budaya yang harus diterapkan diantaranya sebagai berikut:
10
Proses penyusunan perencanaan pembangunan wilayah delta hendaknya
dilakukan dalam dua arah, yaitu perencanaan yang bersifat bottom up dan
perencanaan yang bersifat top down. Dengan demikian terdapat keseimbangan
antara kepentingan pemerintah dengan kepentingan masyarakat yang lebih luas
serta mendapat dukungan politik sehingga agenda pengelolaan delta diadopsi
oleh eksekutif dan legislatif agar program yang dilaksanakan dapat didukung
oleh stakeholders.
6. Penutup
11
maka berbagai aspek yang meliputi aspek ekosistem, sosial dan ekonomi pada ke tiga
ekosistem utama yang berpengaruh pada pengelolaan delta dipertimbangkan secara
terintegratif sehingga pengelolaan delta dapat lebih komprehensif guna mencapai
keberlanjutan delta serta memberi manfaat pada masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Briguglio, L. 1995. Small Island Developing States and Their Economic Vulnerabilities.
World Development, 23 (9), 1615-1632.
Debance, K.S. 1999. The Challenges of Sustainable Management for Small Island.
[online]. Available online at http://www.insula.org/islands/small-islands.html. Accessed
in May 25, 1999.
Hein, P.L. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands, in : Beller, W., P.
dAyala and P. Hein (Eds). Sustainable Development and Environmental Management of
Small Islands. The Parthenon Publishing Group. Paris, France, New Jersey, USA. pp.
35-44.
Kusumastanto, T, 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negara Bahari di Era Otonomi
Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
12
Kusumastanto, T. 2008. Current Status of Integrated Coastal Zones Management in
Indonesia. In Mimura, N (Ed.) 2008. Asia Pasific Coasts and Their Management. State
of Environment. Springer and EMECS. The Netherlands.
Lonergan, S and B. Kavaragh. 1991. Climate Change, Water Resources and Security in
the Middle East. Global Environmental Changes 1 (4), 272-290.
13