Anda di halaman 1dari 5

AKUNTANSI SPIRITUAL

BY ANDRE SABAM P MUNTHE

Terlihat adanya doktrin kapitalisme pada praktek akuntansi modern saat ini dimana kekuatan kapitalisme
yang besar baik nyata ataupun tersamar telah mengkooptasi dan mengeksploitasi kehidupan manusia dan
alam semesta secara sistematis sehingga akuntansi tidak lebih sebagai instrumen mati yang digunakan untuk
memperkokoh kekuatan kapitalisme. Akuntansi dikembangkan dalam sebuah lingkungan yang sarat
dengan konteks sosial, budaya, hukum, norma, agama dan variabel lainnya sehingga dikatakan akuntansi
dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia dibentuk (socially constructed)

Konsekuensi lain dari penerapan akuntansi modern tersebut memunculkan dampak yang kurang
memuaskan. Fakta menunjukkan banyaknya skandal akuntansi dan manipulasi laporan keuangan yang
melanda perusahaan serta rendahnya kepedulian mereka akan tanggung jawab sosial dan lingkungan
menyiratkan bahwa terjadi perubahan yang sangat besar pada para pelaku akuntansi. Kondisi ini
menggambarkan bahwa akuntansi telah gagal untuk menggambarkan realitas bisnis secara utuh. Secara
sistematis menjelaskan beberapa kelemahan yang muncul berkaitan dengan praktik akuntansi konvensional
(modern) yakni: Akuntansi modern mengabaikan dua aspek penting yaitu lingkungan dan sosial sehingga
gagal menggambarkan realitas bisnis yang semakin kompleks; Sifat egoisme sangat melekat pada
akuntansi modern sehingga terefleksi ke dalam bentuk private costs/benefits dan berorientasi melaporkan
profit untuk kepentingan pemilik modal/pemegang saham; dan Akuntansi modern lebih bersifat
materialistik sehingga memarjinalkan nilai-nilai spiritualitas padahal manusia sebagai pelaku akuntansi
memiliki dua hal tersebut yakni material dan spiritual.

Oleh karena itu bisa kita pahami bahwa ketika akuntansi modern mampu menghadirkan realitas sosial
dengan semangat kapitalismenya maka yang terjadi adalah praktek-praktek akuntansi yang bebas dari nilai-
nilai lokalitas masyarakat (value free) sehingga realitas sosial tersebut menjadi parsial (tidak utuh). Kondisi
ini juga menyiratkan penerapan hukum universal dalam ekonomi mainstream (termasuk akuntansi)
memiliki potensi kuat untuk memberangus nilai-nilai local (local wisdom) yang berlaku dalam masyarakat.
Di sisi yang lain, adanya sifat yang parsial ini melahirkan budaya masyarakat yang mengabaikan nilai-nilai
etika, moralitas dan keberagaman sosial maupun spiritualitas keagamaan.

Dengan demikian patut diyakini bahwa mengembangkan akuntansi ditinjau dari perspektif sosio historisnya
perlu memasukkan aspek value untuk menciptakan wajah akuntansi yang sarat dengan nilai (value laden).
Maka dari itu akuntansi yang bernilai spiritualitas diharapkan mampu menjadikan praktek akuntansi yang
mendorong perilaku manusia lebih beragama, bernilai spiritualitas dan beretika dalam kehidupan sosial dan
lingkungannya.

Defenisi Spritual

Ada tiga sudut pandang (perspektif) dalam melihat konsep spiritualitas ini yakni the intrinsic-origin,
pandangan agama (religious) dan existentialist view.

Sudut pandang the intrinsic-origin

Dalam pandangan ini menyatakan bahwa spiritualitas adalah sebuah konsep atau prinsip yang berasal dari
dalam diri seseorang (individu).

Definisi dari sudut pandang the intrinsic-origin secara eksplisit menegaskan bahwa spiritualitas lebih luas
dari konsep agama, terlepas dari agama apapun itu juga. Spiritualitas berdiri di atas semua agama yang ada
di dunia dan spiritualitas jauh lebih suci dibandingkan agama yang kita yakini. Spiritualitas bersifat sangat
personal, bebas dan tidak terikat dengan aturan-aturan dogmatis. Oleh karenanya spiritualitas setiap orang
akan sangat mungkin berbeda karena tidak ada aturan ataupun nilai-nilai yang mengikatnya.

Sudut pandang agama (religions)

Cara pandang spiritualitas dalam dunia kerja dari masing-masing agama dapat dijelaskan sebagai berikut

Agama Islam. Menggunakan istilah etika kerja Islami (Islamic Work Ethic) dalam Yousef (2000) yang
menekankan komitmen dan kerjasama antar karyawan untuk mencapai keberhasilan organisasi. Di sisi yang
lain Yousef (2000) juga menegaskan pentingnya nilai-nilai (values) dan keadilan (justice) dalam sebuah
organisasi.

Agama Kristen. Bahwa partisipasi kita bekerja dalam dunia ini dalam kerangka kreatifitas Tuhan
merupakan sebuah keberkatan karena pada dasarnya bekerja merupakan panggilan Tuhan.

Agama Hindu. Mereka percaya bahwa spiritualitas adalah melakukan pekerjaan sebagai bentuk pengabdian.
Menjadi satu hal yang harus digarisbawahi bahwa usaha untuk mencapai tujuan merupakan hal yang
paling penting sedangkan hasilnya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan.

Agama Budha. Melihat bahwa bekerja keras dan pengabdian adalah alat yang digunakan untuk mengubah
hidup seseorang dan institusi secara keseluruhan.
Agama Protestan. Mengutip pandangan Martin Luther dalam Naylor et al (1966) bahwa Tuhan secara terus-
menerus akan menciptakan segala sesuatu sedangkan manusia diminta untuk ikut berpartisipasi di
dalamnya.

Sudut pandang existentialist

Dalam pandangan Existentialist, memaknai spiritualitas dalam dunia kerja sebagai sebuah konsep pencarian
hakikat (meaning) dari aktifitas kerja yang kita lakukan.

Identifikasi Nilai- Nilai Spiritualitas Dalam Dunia Kerja

Banyak penelitian yang menyarankan untuk mengimplementasikan nilai-nilai spiritualitas ke dalam profesi
atau dunia kerja yang digelutinya. Ada beberapa manfaat yang dapat dipetik meliputi kreatifitas,
kejujuran dan kepercayaan, pemenuhan pribadi (personal fulfillment), dan komitmen yang
kesemuanya akan mendorong peningkatan kinerja organisasi.

Intuisi dan kreatifitas

Dengan spiritualitas akan mendorong lahirnya sebuah kesadaran, melalui kesadaran ini maka akan
muncullah intuisi, selanjutnya intuisi ini akan melahirkan sebuah kreatifitas (Freshman 1999). Demikian
pula dengan semakin kaya nilainilai spiritual yang dimiliki karyawan akan mendorong munculnya kepuasan
dan kebahagiaan sehingga karyawan akan jauh lebih kreatif (Turner 1999).

Kejujuran dan kepercayaan (honesty and trust )

Banyak organisasi menempatkan nilai-nilai kejujuran sebagai fokus utama yang harus dimiliki (Burack
1999). Dengan kejujuran maka setiap pikiran dan tindakan akan seiring sejalan dengan tujuan dan aturan
organisasi. Banyak kasus-kasus besar yang terungkap dalam praktek akuntansi seperti kecurangan
(financial fraud), manipulasi dan rekayasa laporan keuangan serta tindakan pelanggaran etis lainnya
ditengarai merupakan ketidakjujuran akuntan dalam menjalankan profesinya.

Aktualisasi diri (personal fulfillment )

Jika dihubungkan dengan teori piramida kebutuhan Maslow maka kebutuhan akan aktualisasi diri
menempati tingkatan yang paling tinggi. Seseorang yang memiliki nilai spiritualitas yang tinggi akan
merasakan sesuatu yang utuh dalam dirinya dalam bekerja sehingga berefek pada meningkatnya nilai-
nilai moral dan kebutuhan akan aktualisasi diri (Krishnakumar dan Neck, 2002). Konsekuensinya tentu
akan berdampak positif pada kinerja atau keberhasilan organisasi.
Komitmen profesi dan komitmen organisasi

Pada dasarnya nilai-nilai spiritualitas akan meningkatkan komitmen karyawan melalui budaya kepercayaan
yang terbentuk di organisasi. Komitmen profesi diartikan sebagai intensitas identifikasi dan keterlibatan
kerja individu dengan profesi tertentu. Identifikasi ini membutuhkan beberapa tingkat kesepakatan dengan
tujuan dan nilai profesi termasuk nilai moral dan etika.

Implementasi Nilai- Nilai Spiritualitas Dalam Dunia Kerja

Ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk melihat implementasi nilai-nilai spiritualitas dalam sebuah
organisasi yaitu pertama, perspektif yang berpusat pada organisasi (organization-centered perspective) dan
kedua, perspektif yang berpusat pada individu (individual-centered perspective).

Perspektif yang berpusat pada organisasi

Pendekatan ini memandang bahwa nilai-nilai spiritualitas seharusnya diimplemantasikan ke dalam


organisasi secara keseluruhan. Konflik kepentingan dan keinginan dapat disebabkan oleh perbedaan nilai-
nilai spiritualitas yang diyakininya. Jika kondisi ini dibiarkan tentunya akan menimbulkan perpecahan
dalam organisasi sehingga tujuan-tujuan yang sudah disusun tidak dapat tercapai. Pandangan ini
menawarkan konsep bahwa nilai-nilai spiritualitas mustinya dikendalikan oleh perusahaan bukan
diserahkan kepada individu- individu.

Perspektif yang berpusat pada individu

Pada perspektif ini maka konsep spiritualitas dilihat dari sudut pandang individu. Bahwa organisasi
semestinya menghargai dan mengakomodasi berbagai nilai spiritualitas masing-masing individunya
(karyawan). Seorang pemimpin dalam suatu organisasi seyogyanya berusaha untuk menerima dan
memahami variasi spiritualitas yang ada sebagai konsekuensi dari keberagaman individu dalam organisasi.

Keterkaitan Antara Etika Kerja Islami Terhadap Komitmen Profesi Dan Organisasi

Sulistiyo (2004) dan Astri (2003) menunjukkan bahwa nilai-nilai dalam etika kerja Islami berpengaruh
positif dan signifikan terhadap terhadap komitmen profesi seorang akuntan. Nilai-nilai dalam etika kerja
Islami mengandung tuntunan dan pedoman bagi setiap orang dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya.
Dalam terminologi Islam, bekerja memiliki dua dimensi yang penting yaitu dimensi duniawi dan dimensi
ibadah. Bekerja bukan semata-mata sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak namun
lebih daripada itu bekerja merupakan kegiatan ibadah yang mendatangkan pahala dan kebaikan baik di
dunia maupun akhirat kelak.
Etika kerja Islami menganjurkan setiap orang untuk bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur dalam
menjalankan tugas dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap profesi yang dijalaninya, tak terkecuali
dalam hal ini adalah profesi auditor internal. Sebagai seorang auditor internal yang patuh pada aturan dan
kode etik profesi tentunya harus tetap jujur dan menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

Jika seorang auditor internal memahami dengan baik etika kerja dalam Islam yang bersifat universal dan
mengandung nilai-nilai ibadah tentunya mereka tidak akan lagi mengalami kondisi yang dilematis. Mereka
memiliki satu tujuan yang jelas ketika menjalankan tugas atau pekerjaannya yaitu bekerja dengan jujur,
patuh pada kode etik profesi dan bersikap independen terhadap tekanan dari pihak manapun untuk berbuat
kecurangan atau kejahatan. Hal ini secara implisit menyatakan bahwa yang seharusnya ditakuti dan ditaati
oleh auditor internal bukan pihak manajemen atau pihak lain yang mengajak berbuat kecurangan melainkan
Tuhan semata.

Keterkaitan antara etika kerja Islami terhadap komitmen organisasi

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa nilai-nilai etika kerja Islami bukan hanya mendorong
seseorang untuk loyal kepada profesi yang dijalaninya namun juga meningkatkan komitmen terhadap
organisasi yang dinaunginya tak terkecuali profesi auditor internal. Organisasi atau perusahaan memberikan
wadah untuk mengembangkan karir, menyalurkan kreatifitas dan memperoleh pendapatan atau penghasilan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya nilai-nilai dalam etika kerja Islami yang mendorong untuk
bekerja dengan sungguh-sungguh demi kemajuan organisasi akan berdampak positif pada peningkatan
komitmen organisasinya (Sulistiyo, 2004).

Keterkaitan antara etika kerja Islami pada sikap terhadap perubahan organisasi

Dalam setiap organisasi atau perusahaan, perubahan merupakan suatu hal yang wajar dan lazim terjadi.
Perubahan yang terjadi dalam internal organisasi dilakukan untuk mengantisipasi dan menyesuaikan
terhadap perkembangan lingkungan eksternal. Kondisi ini menuntut setiap anggota organisasi untuk
bersikap terbuka dan mau menerima perubahan yang terjadi dalam lingkungan organisasinya.

Fakta empiris menunjukkan bahwa mereka yang memegang nilai-nilai etika kerja Islami lebih dapat
menerima segala perubahan dalam organisasinya (Sulistiyo, 2004; Astri, 2003).

Anda mungkin juga menyukai